JURNAL GERONTIK D[1]

41
BAB I PENDAHULUAN Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus dan berkesinambungan (Dekpes RI, 2001 dalam Maryam dkk, 2011). Proses ini merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia yang akan dialami oleh setiap individu (Surilena & Agus, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia sehingga menyebabkan sebagian besar lansia mengalami kemunduran atau perubahan pada fisik, psikologis, dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008) Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh lansia. Gangguan keseimbangan tubuh merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Apabila gangguan keseimbangan ini tidak dikontrol maka akan meningkatkan risiko jatuh pada lansia (Kustanto dkk, 2007). Gunarto (2005) menyatakan bahwa 31%-48% lansia jatuh karena gangguan keseimbangan. Berdasarkan survei di masyarakat AS, sekitar 30% lansia yang berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) 3

Transcript of JURNAL GERONTIK D[1]

BAB I

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat

dihindari, berjalan secara terus-menerus dan berkesinambungan

(Dekpes RI, 2001 dalam Maryam dkk, 2011). Proses ini merupakan

tahap akhir dari siklus hidup manusia yang akan dialami oleh

setiap individu (Surilena & Agus, 2006). Pertambahan usia akan

menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur dan fisiologis

dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada

tubuh manusia sehingga menyebabkan sebagian besar lansia

mengalami kemunduran atau perubahan pada fisik, psikologis,

dan sosial (Mubarak dkk, 2010; Putri dkk, 2008)

Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu

perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan perubahan

fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan dan

kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, serta

kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan fungsi dan kekuatan otot

akan mengakibatkan penurunan kemampuan mempertahankan

keseimbangan postural atau keseimbangan tubuh lansia. Gangguan

keseimbangan tubuh merupakan masalah yang sering terjadi pada

lansia. Apabila gangguan keseimbangan ini tidak dikontrol maka

akan meningkatkan risiko jatuh pada lansia (Kustanto dkk, 2007).

Gunarto (2005) menyatakan bahwa 31%-48% lansia jatuh

karena gangguan keseimbangan. Berdasarkan survei di masyarakat

AS, sekitar 30% lansia yang berumur lebih dari 65 tahun jatuh

setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh

berulang. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing home) 3

kali lebih banyak. Lima persen dari penderita jatuh ini

mengalami patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah

sakit. Sedangkan di rumah-rumah perawatan berkisar 50%

penghuninya mengalami jatuh dan memerlukan perawatan di rumah

sakit sekitar 10-25%. Diestimasikan 1% lansia yang jatuh akan

mengalami fraktur kolum femoris, 5 % akan mengalami fraktur

tulang lain seperti iga, humerus, pelvis, dan lain-lain, 5%

akanmengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan jaringan

lunak yang serius seperti subdural hematom, hemarthroses,

memar dan keseleo otot juga sering merupakan komplikasi akibat

jatuh (Darmojo,2000).

Kejadian jatuh merupakan masalah yang sering terjadi di

panti. Frekuensi kejadian jatuh pada lansia di panti jompo

rata – rata dua kali per tempat tidur dalam satu tahun. Hal

ini disebabkan para lansia memiliki masalah kesehatan yang

serius, kualitas hidup menurun. Kejadian jatuh disebabkan oleh

kerusakan kognitif oleh karena proses penuaan. Para lansia di

panti jompo memiliki resiko jatuh yang cukup tinggi. Kemampuan

untuk bergerak berangsur – angsur menurun sehingga kemampuan

mereka untuk mengenali dan menghindari benda berbahaya

menurun. Oleh karena itu, hal yang paling penting adalah

memberikan tindakan yang adekuat untuk mencegah resiko jatuh

pada grup lansia.

Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan didapatkan

data bahwa di PSTW Wana Sraya terdapat 47 orang lansia. Dari

47 orang lansia terdapat 19 orang lansia yang mengalami

hipertensi, 1 orang lansia yang mengalami DM, 16 orang lansia

yang menderita osteoartritis, 5 orang yang mengalami vertigo,

8 orang yang mengalami dispepsia, 6 orang yang mengalami ISPA,

4 orang yang mengalami IMP of H (Impaired of Hearing), dan 13

orang yang mengalami IMP of V (Impaired of Vision). Hal

tersebut menunjukkan bahwa lansia di PSTW Wana Seraya Denpasar

berisiko mengalami jatuh. Berdasarkan pengkajian yang

dilakukan di PSTW Wana Seraya Denpasar, dari 47 penghuni PSTW

diperoleh 18 orang mengalami gangguan muskuloskeletas dan 11

orang memiliki riwayat jatuh.

Dalam jurnal yang berjudul A multifactorial intervention for the

prevention of falls in psychogeriatric nursing home patients, a randomised

controlled trial (RCT) menjelaskan mengenai program intervensi untuk

meminimalkan resiko jatuh pada lansia. Oleh karena itu, kami

tertarik untuk mengananalisis jurnal tersebut untuk mengetahui

perbandingan lansia yang mendapat program intervensi resiko

jatuh terhadap kejadian jatuh pada lansia.

A. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah analisa PICOT terhadap jurnal tersebut?

2. Bagaimanakah implikasi keperawatan dalam penerapan program

fall prevention terhadap kejadian jatuh pada lansia?

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui analisa PICOT terhadap jurnal tersebut

2. Untuk mengetahui implikasi keperawatan dalam penerapan

program fall prevention menggunakan pengkajian yang berfokus

pada resiko jatuh dan ditambahan dengan instrumen evaluasi

yang spesifik pada pengkajian riwayat jatuh, penggunaan

obat – obatan, kemampuan dalam mobilitas dan alat – alat

yang digunakan untuk membantu dan melindungi saat

beraktivitas.

C. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Memperkaya teori di bidang ilmu keperawatan geriatri

khususnya intervensi yang dapat dilakukan pada wanita

lanjut usia yang berisiko mengalami insiden jatuh.

2. Manfaat Praktis

Intervensi ini dapat diterapkan sebagai intervensi

keperawatan pada pasien lanjut usia yang berisiko mengalami

resiko jatuh.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANSIA

1. Pengertian

Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia,

merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat

dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.

Pada tahap ini individu mengalami banyakperubahan baik

secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam

berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.

Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan

normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut

ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera,

serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman

bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka

harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran

diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-

orang yang dicintai.Semua hal tersebut menuntut

kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat

menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).

Ada beberapa pembagian lansia, antara lain

menurut Depkes RI, WHO, dan menurut pasal 1 Undang –

undang No. 4 tahun 1965.

a. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai

berikut : kelompok menjelang usia lanjut (45-54

tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia

lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok

usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai senium.

b. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut

dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia

pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45

sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74

tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia

sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

c. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965:

“Seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau usia

lanjut setelah yang bersangkutan mencapai usia 55

tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari

nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-

hari, dan menerima nafkah dari orang lain”

(Mubarak, 2009).

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang berusia

60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih

aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang

tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga

bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya

(Ineko, 2012).

2. Proses Menua

Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai

dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat

diramalkan dan terjadi pada semua orang pada saat

mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis

tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang

kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi

setiap sel dan berkembang sampai pada keseluruhan

sistem (Stanley, 2006).

Dalam Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang

berkaitan dengan proses penuaan:

a. Teori Biologi

Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi,

immunology slow theory, teori stress, teori radikal bebas,

dan teori rantai silang. Menurut teori genetik dan

mutasi, menua terjadi sebagai akibat dari perubahan

biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan

setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Menurut

Immunologyslow theory, sistem imun menjadi efektif dengan

bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh

yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. Teori

stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya

sel-sel yang biasa digunakan tubuh.Regenerasi jaringan

tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan

internal, kelebihan usaha, dan stres yang dapat

menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak

stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan

oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti

karbohidrat dan protein.Radikal ini menyebabkan sel-

sel tidak dapat melakukan regenerasi.Pada teori rantai

silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua

menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan

kolagen.Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas,

kakacauan, dan hilangnya fungsi sel.

b. Teori Psikologi

Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi

secara alamiah seiring dengan penambahan usia.

Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan

dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang

efektif.Kepribadian individu yang terdiri atas

motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik

konsep diri dari seorang lansia.Konsep diri yang

positif dapat menjadikan seorang lansia mampu

berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang

ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya

penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi,

kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada saat usia

lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan

berinteraksi.

c. Teori Sosial

Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses

penuaan, yaitu: teori interaksi sosial menjelaskan

mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu,

yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat.

Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang

sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga

berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan

kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.Teori

penarikan diri menyatakan bahwa kemiskinan yang

diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan

mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan

menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.Teori

aktivitas menyatakan bahwa penuaan yang sukses

bergantung bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan

dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan

aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan

kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.

Teori kesinambungan mengemukakan adanya kesinambungan

dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup

seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak

pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat

bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang

ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi

lansia. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana

proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan

bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan

tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif.

Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana

cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya

diterapkan oleh lansia tersebut.

Teori stratifikasi usia adalah teori dengan pendekatan

yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat

dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara

kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat

ditinjau dari sudut pandang demografi dan

keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.

Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan

untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat

bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta

terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.

d. Teori Spirtual

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merajuk pada

pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan

persepsi individu tentang arti kehidupan.

3. Perubahan Pada Lansia

a. Perubahan Fisik

1) Sel terjadi perubahan menjadi lebih sedikit

jumlahnya dan lebih besar ukurannya, serta

berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya

intraseluler.

2) Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak

10-20%, lambat dalam respon dan waktu untuk

bereaksi serta mengecilnya syaraf panca indera

yang menyebabkan berkurangnya penglihatan,

hilangnya pendengaran, menurunnya sensasi perasa

dan penciuman sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya masalah kesehatan misalnya glaukoma

dan sebagainya.

3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya

daya pendengaran pada telinga dalam, terutama

terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi,

suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata,

50% terjadi pada usia di atas umur 65 tahun

danpendengaran bertambah menurun pada lanjut usia

yang mengalami ketegangan jiwa atau stress.

Hilangnya kemampuan pendengaran meningkat sesuai

dengan proses penuaan dan hal yang seringkali

merupakan keadaan potensial yang dapat

disembuhkan dan berkaitan dengan efek-efek

kolateral seperti komunikasi yang buruk dengan

pemberi perawatan, isolasi, paranoia dan

penyimpangan fungsional.

4) Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya

respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk

spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi

katarak yang menyebabkan gangguan penglihatan,

hilangnya daya akomodasi, meningkatnya ambang

pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam

cahaya gelap, menurunnya lapang pandang sehingga

luas pandangnya berkurang luas.

5) Sistem kardiovaskuler terjadi penurunan

elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal

dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah

menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun,

hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan

volume. Kehilangan elastisitas pembuluh darah

karena kurangnya efektivitas pembuluh darah

perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari

tidur ke duduk, duduk ke berdiri bisa

mengakibatkan tekanan darah menurun yang

mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah

meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi

dari pembuluh darah perifer.

6) Sistem muskuloskeletal terjadi perubahan seperti

tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis,

penipisan dan pemendekan tulang, persendian

membesar dan kaku, tendon mengkerut dan mengalami

sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan

menjadi lamban, otot mudah kram dan nyeri pada

sendi serta terjadi tremor. Fleksibilitas otot

lansia sudah mulai menurun, dikarenakan sel-sel

yang ada telah berkurang.

7) Sistem endokrin / metabolik pada lansi terjadi

perubahan seperti produksi hampir semua hormon

menurun, fungsi paratiroid dan sekesinya tak

berubah. Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi

lebih rendah dan hanya ada di pembuluh darah dan

berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH,

menurunnya produksi aldosteron, menurunnya

sekresi hormon bonads : progesteron, estrogen,

testosterone dan defisiensi hormonal dapat

menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum

tulang serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan

jiwa (stess).

8) Sistem Perkemihan terjadi perubahan antara lain

ginjal yang merupakan alat untuk mengeluarkan

sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah masuk

ke ginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil

dari ginjal yang disebut nefron (tempatnya di

glomerulus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi

atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%

sehingga fungsi tubulus berkurang. Akibatnya,

kemampuan mengkonsentrasi urine menurun, berat

jenis urine menurun. Otot-otot vesika urinaria

menjadi lemah, sehingga kapasitasnya menurun

sampai 200 ml atau menyebabkan buang air seni

meningkat. Vesika urinaria sulit dikosongkan

sehingga terkadang menyebabkan retensi urine pada

pria. Pola berkemih menjadi tidak normal, seperti

banyak berkemih di malam hari.. Hal ini

menunjukkan inkontinensia urin meningkat.

b. Perubahan Mental

Meliputi perubahan dalam memori secara umum.

Gejala-gejala memori cocok dengan keadaan yang

disebut pikun tua, akhir-akhir ini lebih cenderung

disebut kerusakan memori berkenaan dengan usia atau

penurunan kognitif berkenaan dengan proses menua.

Pelupa merupakan keluhan yang sering dikemukakan

oleh manula, keluhan ini di anggap lumrah dan biasa

oleh lansia, keluhan ini didasari oleh fakta dari

peneliti cross sectional dan logitudional didapat

bahwa kebanyakan, namun tidak semua lansia mengalami

gangguan memori, terutama setelah usia 70 tahun,

serta perubahan IQ (intelegentia quotient) tidak

berubah dengan informasi matematika dan perkataan

verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan

ketrampilan psikomotor terjadi perubahan daya

membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor

waktu.

c. Perubahan Psikososial

Nilai seseoarang sering diukur oleh

produktivitasnya dan identitas di kaitkan dengan

peranan dalam pekerjaan.Bila seorang pensiun (purna

tugas) iaakan mengalami kehilangan finansial,

status, teman dan pekerjaan. Merasakan sadar akan

kematian, semakin lanjut usia biasanya mereka

menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan

akhirat dan lebih mementingkan kematian itu sendiri

serta kematian dirinya, kondisi seperti ini benar

khususnya bagi orang yang kondisi fisik dan

mentalnya semakin memburuk, pada waktu kesehatannya

memburuk mereka cenderung untuk berkonsentrasi pada

masalah kematian dan mulai dipengaruhi oleh perasaan

seperti itu, hal ini secara langsung bertentangan

dengan pendapat orang lebih muda, dimana kematian

mereka tampaknya masih jauh dan karena itu mereka

kurang memikirkan kematian

B. JATUH

1. Pengertian Jatuh

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan

penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian

mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di

lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa

kehilangan kesadaran atau luka (Darmojo & Martono,

2004).

Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan

subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah

tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh akibat

pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang.

Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang

spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari

mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh

(Stanley, 2006)

2. Faktor Risiko/Penyebab

Jatuh pada Lansia

a. Faktor Intrinsik

Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang

menentukan mengapa seseorang dapat jatuh pada waktu

tertentu dan orang lain dalam kondisi yang sama

mungkin tidak jatuh (Stanley, 2006). Faktor intrinsik

tersebut antara lain adalah gangguan muskuloskeletal

misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan, kelemahan

ekstremitas bawah, kekakuan sendi. Sinkope yaitu

kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan

oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala

lemah, penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan

pusing (Shobha, 2005).

b. Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar

(lingkungan sekitarnya) diantaranya cahaya ruangan

yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung

benda-benda (Shobha, 2005). Faktor-faktor ekstrinsik

tersebut antara lain lingkungan yang tidak mendukung

meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai

yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak

stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC

yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum dan

alat-alat bantu berjalan (Darmojo & Martono, 2004)

3. Pencegahan Jatuh pada

Lansia

Menurut Shobha (2005), pencegahan jatuh yang dapat

dilakukan oleh lansia antara lain sebagai berikut;

a. Latihan Fisik

Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan

kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan,

koordinasi, dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya

lingkungan. Latihan fisik yang dianjurkan adalah

latihan fisik yang melatih kekuatan tungkai, tidak

terlalu berat dan semampunya. Contonya adalah berjalan

kaki, senam lansia, dan latihan keseimbangan.

b. Magement obat-obatan

Mengurangi penggunaan obat yang sifatnya untuk waktu

lama misalnya obat tidur. Gunakan alat bantu berjalan

jika memang diperlukan selama pengobatan

c. Modifikasi Lingkungan

1) Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panad atau

terlalu dingin untuk menghindari pusing

2) Taruh barang-barang yang memang sering diperlukan

berada dalam jangkauan tanpa harus berjalan dulu.

3) Gunakan karpet antislip di kamar mandi/jaga

kebersihan lantai agar tidak licin

4) Penerangan/cahaya memadai

5) Singkirkan barang-barang yang berserakan di lantai

yang biasa untuk melintas.

6) Jaga lantai agar tidak licin

7) Pasang pegangan tangan pada tempat yang diperlukan

misalnya kamar mandi

d. Memperbaiki Kebiasaan

Lansia yang Buruk

1) Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau

jongkok ke posisi berdiri jangan terlalu cepat

2) Jangan mengankat barang yang berat sekaligus

3) Ambil barang dengan cara yang benar dari lanti

(dengan cara jongkok, bukan membungkuk)

4) Hindari olahraga yang berat/berlebihan

e. Alas kaki

1) Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak

lebar

2) Jangan berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit

untuk menjaga keseimbangan

3) Pakai sepatu antislip (alasnya kasar)

f. Alat Bantu Jalan

Gunakan alat bantu berjalan yang sesuai

g. Memelihara fungsi

penglihatan dan pendenganran dengan baik

h. Memelihara kekuatan

tulang

1) Berhenti merokok

2) Hindari konsumsi alcohol

3) Makan-makanan yang bergizi seperti buah, sayur, dan

susu untuk memelihara kekuatan tulang

4. Penanganan Jatuh Pada

Lansia

Menurut Australian Government, Department of Health

and Ageing (2011) ada beberapa penanganan jatuh pada

lansia antara lain:

a. Menolong diri sendiri jika jatuh

1) Tetap tenang

2) Periksa tubuh anda, apakah ada luka atau patah

tulang

3) Jika anda terluka/mengalami cedera atau patah tulang

maka jangan bergerak dan tetaplah diam di tempat

lalu teriak minta tolong. Tetap tenang dan jangan

panik

4) Jika tidak ada cedera/patah tulang, cari

kursi/meja/tempat yang kokoh di sekitar anda

5) Bergulinglah ke salah satu sisi

6) Merangkaklah atau geser tubuh ke

kursi/meja/furniture yang kokoh/kuat

7) Dengan posisi berlutut, letakkan lengan pada kursi

dan pegang erat

8) Letakkan salah satu lutut di depan dan lutut yang

lain pada lantai

9) Dorong ke atas dengan tangan dan kaki untuk

mendekatkan diri ke kursi. Putar bokong dan dekatkan

ke kursi

10) Duduk dan istirahatlah sebelum mencoba

bergerak/berpindah kembali

11) Beritahu perawat anda jika ada telah terjatuh

b. Menolong Lansia Lain yang Jatuh

1) Jangan terburu-buru membangunkan orang yang terjatuh

2) Tenangkan lansia yang jatuh dan tenangkan diri

sendiri (penolong)

3) Periksa apakah ada cedera. Jika ada cedera segera

panggil bantuan

4) Jika lansia yang jatuh masih bisa bangun, ambil dua

kursi letakkan salah satu di dekat kepala dan satu

lagi di dekat kaki lansia yang jatuh.

Berikut ini adalah langkah-langkah menolong lansia

yang jatuh.

1) Pastikan lansia yang jatuh mampu bergerak dan

melakukan perintah

2) Penolong harus memandu dengan jelas, membantu lansia

yang jatuh untuk berguling ke salah satu sisi

3) Bantu lansia berlutut. Letakkan satu buah kursi di

depan lansia.

4) Minta lansia untuk bertopang pada kursi tersebut dan

arahkan salah satu kaki ke depan, injakkan telapak

kaki pada lantai.

5) Letakkan satu buah kursi lain di belakang lansia.

Minta lansia untuk sedikit mendorong diri ke

belakang menggunakan lengan dan kaki, kemudian duduk

di kursi di belakang. Pandu lansia untuk duduk,

jangan mengangkat tubuh lansia.

BAB III

RINGKASAN JURNAL

Jatuh merupakan masalah terbesar yang dialami oleh

lansia. Kejadian jatuh sendiri sering terjadi di panti werdha

dengan angka kejadian dua kali per bed per tahun. Hal ini

disebabkan oleh banyak faktor, yaitu status kesehatan, keadaan

kognitif, dan kualitas hidup para lansia tersebut. Kejadian

jatuh akibat gangguan kognitif pada lansia menjadi perhatian

khusus. Pasien di panti werdha, terutama pasien psikogeriatri

memiliki risiko yang paling tinggi.

Beberapa enelitian menunjukkan bahwa intervensi

multifaktorial untuk mencegah insiden jatuh dapat memiliki

efek positif. Meskipun pasien dengan gangguan kognitif dan

psikogeriatri memiliki risiko yang paling tinggi, namun belum ada

intervensi khusus yang dilakukan untuk populasi ini. Beberapa

intervensi penelitian di panti werdha tidak memasukkan pasien

dengan dementia kedalam kategori penelitiannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan intervensi

pencegahan jatuh secara multidisipliner dan multifaktorial

bagi pasien psikogeriatrik di panti werdha. Selain itu, Tujuan

utama dari penelitian ini adalah untuk menilai efek dari

intervensi ini pada jumlah jatuh pada populasi ini.

Desain dari penelitian ini adalah cluster randomised

controlled trial (RCT), yang dilakukan pada masing-masing satu

ruang perawatan psikogeriatrik di 12 panti werdha di Netherland

(Belanda). 6 panti werdha dijadikan grup kontrol, dan 6 panti

werdha lainnya dijadikan kelompok perlakuan. Penelitian ini

dilakukan setelah mendapat persetujuan dari komite etik, dan

dilakukan pada bulan November 2003.

Pada kelompok intervensi, staff umum dan para profesional

menerima informasi serta instruksi pengumpulan data secara

verbal dan tulisan, mereka juga menerima informasi mengenai

intervensi yang akan dilakukan. Pada kelompok kontrol, staff

umum, manajer kontrol di ruangan menerima juga informasi dan

instruksi pengumpulan data secara verbal dan tulisan, namun

mereka tidak memiliki informasi tentang program pencegahan

jatuh, seluruh pasien menerima perawatan yang biasa.

Peserta penelitian adalah pasien psikogeriatri yang

dirawat di ruangan khusus psikogeriatri, terlepas dari berapa

lama mereka dirawat. Pasien yang telah setuju dan

menandatangani informed concern-lah yang akan dijadikan sample

penelitian. Jumlah sample penelitian ini adalah 180 pasien

per grup, jadi totalnya adalah 360 orang.

Di setiap pantiwerdha, peneliti memilih satu lingkungan

yang akan dimasukkan dalam penelitian ini, berdasarkan

kriteria berikut: minimal 25 tempat tidur, tidak menggunakan

protokol pencegahan jatuh, dan dengan jumlah terbesar pasien

mobilisasi. Secara total, enam bangsal intervensi memiliki 177

tempat tidur dan enam bangsal kontrol memiliki 171 tempat

tidur. Parameter hasil dalam penelitian ini adalah jumlah

jatuh di bangsal yang berpartisipasi selama periode

penelitian.

Program intervensi terdiri dari, pengkajian umum

khususnya untuk risiko jatuh dan tambahan instrumen evaluasi

kejadian jatuh sebelumnya, pengobatan yang didapat, mobilitas

dan penggunaan alat-alat bantu dan pelindung. Setiap ruang

rawat yang diberi intervensi, diberikan tim pencegahan jatuh

multidisipliner, meliputi dua dokter panti werdha, dua

perawat, seorang fisioterapis, dan seorang terapis tambahan.

Tim ini melakukan intervensi pencegahan risiko jatuh selama

dua minggu pelaksanaan pencegahan jatuh. Mereka mendiskusikan

setiap pasien di ruang penerimaan.

Pengkajian umum juga dilakukan oleh staff dokter ketika

pasien merasa atau memang terjadi gangguan kesehatan. Tim ini

membawa instrumen evaluasi risiko jatuh untuk setiap pasien,

mereka mendiskusikan hasil dari temuan pengkajian tersebut dan

mereka memutuskan pasien mana yang harus diberikan intervensi

risiko jatuh tersebut. Kemudian mereka melakukan kegiatan

pencegahan jatuh tersebut, yang mencakuphal-hal berikut:

mengantisipasi situasi yang menyebabkan jatuh, dan memantau

asupan obat-obatan, meliputi : jenis, dosis, dan waktu intake.

Disamping pencegahan jatuh spesifik tersebut, tim juga harus

mengimplementasikan seluruh tindakan pencegahan secara umum,

termasuk staff training.

Data yang diperoleh secara prospektif didapat dengan cara

bertanya kepada seluruh orang yang berpartisipasi di ruang

rawat tersebut untuk tetap mencatat semua kejadian jatuh

sesuai dengan form laporan. Di akhir, perawat panti werdha

mencatat karakteristik subyek penelitian meliputi umur, jenis

kelamin, Barthel indeks score, MMSE score, total obat yang

didapat masing-masing pasien termasuk jenis obat, data

penggunaan alarm dan restrain selama dilakukan penelitian.

Data tambahan yang didapatkan adalah jam kerja perawat

ruangan, dan jumlah kejadian jatuh selama 12 bulan penelitian.

Hasil yang didapat selama 12 bulan follow up adalah 518 pasien

yang mengikuti penelitian : 269 pada grup kontrol, dan 249

pada grup intervensi. Pada grup intervensi, hanya 229 orang

yang bersedia mengikuti penelitian.

Penelitian ini menunjukkan angka kejadian jatuh dari

pasien psikogeriatri pada panti werdha nenurun secara

signifikan sesuai dengan target intervensi pencegahan jatuh

multifaktorial.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Picot

Populasi:

Populasi penelitian ini diperoleh dengan menyebarkan

kuisioner pada 317 panti jompo yang ada di Belanda, setelah

itu didapatkan 12 panti jompo yang bersedia berpartisipasi

dalam penelitian ini. Kemudian dari 12 panti jompo tersebut

dibagi menjadi dua kelompok, 6 panti jompo sebagai kelompok

kontrol dan 6 panti jompo sebagai kelompok intervensi. Dari

masing-masing panti jompo dipilih satu bangsal secara acak

sebagi tempat penelitian dengan kriteria terdapat 25 tempat

tidur, tidak terdapat protocol penangan pasien jatuh, dan

sebagian besar penghuninya dapat berpindah atau

beraktivitas mandiri. Berdasarkan hal tersebut didapatkan

kelompok kontrol dengan jumlah bed 171 (269 orang),

sedangkan kelompok intervensi dengan jumlah bed 177 (249

orang).

Intervention:

Intervensi yang diberikan pada kelompok intervensi

terdiri dari penilaian umum yang berfokus pada risiko

jatuh, alat evaluasi risiko jatuh, prevalansi kejadian

jatuh pada lansia, asupan obat-obatan, kemampuan

mobilisasi, alat bantu gerak dan pengamanan. Penilaian

risiko jatuh disesuaikan secara individual terhadap

intervensi pencegahan jatuh yang diberikan pada setiap

pasien. Pada setiap bangsal terdapat tim pencegahan jatuh

multidisipliner yang terdiri dari staf rutin, yaitu:

seorang dokter geriatri, dua orang perawat, fisiotherapis,

dan ahli terapi okupasional. Tim pencegahan jatuh

multidisipliner ini melakukan penilaian medis umum ketika

lansia dirawat atau ketika terjadi perubahan dalam kondisi

medis lansia, mengevaluasi risiko jatuh pada setiap lansia

dan memutuskan kegiatan pencegahan individual mana yang

diperlukan. Kemudian dilakukan kegiatan pencegahan jatuh

antara lain : mengantisipasi situasi dan penyebab jatuh,

meninjau dan memantau asupan obat-obatan, merancang program

latihan secara individual, secara cermat menilai kembali

kebutuhan lansia akan alat bantu maupun pelindung, dan

menjelaskan penggunaan alat bantu tersebut dengan benar.

Selain itu, juga dilakukan peninjauan kembali terhadap

bahaya lingkungan yang dapat menyebabkan risiko jatuh.

Selain kegiatan pencegahan risiko jatuh secara spesifik,

tim juga melakukan kegiatan pencegahan risiko jatuh umum

seperti pelatihan dan pendidikan staf.

Comparison :

Penelitian ini membandingkan kelompok kontrol yaitu

kelompok yang tidak diberikan pengenalan intervensi

multifaktorial terstruktur untuk mencegah jatuh, dan

kelompok intervensi yaitu kelompok yang diberikan

pengenalan intervensi multifaktorial terstruktur untuk

mencegah jatuh. Pada kelompok intervensi, staff umum dan

para profesional menerima informasi serta instruksi

pengumpulan data secara verbal dan tulisan, mereka juga

menerima informasi mengenai intervensi yang akan dilakukan.

Pada kelompok kontrol, staff umum, manajer kontrol di

ruangan menerima juga informasi dan instruksi pengumpulan

data secara verbal dan tulisan, namun mereka tidak memiliki

informasi tentang program pencegahan jatuh, seluruh pasien

menerima perawatan yang biasa. Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi memberikan hasil

yang lebih positif dibandingkan dengan kelompok kontrol,

dimana ketika pencegahan risiko jatuh lebih diperhatikan

dengan program intervensi tadi, tentunya akan memberikan

efek yang lebih baik dibandingkan tidak sama sekali.

Hal ini juga didukung oleh sebuah artikel ilmiah yang

berjudul “Hubungan Tes “Timed Up And Go” Dengan Frekuensi

Jatuh Pasien Lanjut Usia” dalam artikel ini dikatakan bahwa

penelitian ini Terhadap subjek penelitian dilakukan

pengisian lembar informed consent, anamnesis ( identitas,

riwayat penyakit, riwayat pengobatan, dan riwayat jatuh)

baik autoanamnesis ataupun alloanamnesis, pemeriksaan fisik

( apakah ada luka atau cacat ekstremitas ) lalu dilanjutkan

dengan tes “Timed Up and Go”(tes TUG) dimana subjek

diperintahkan untuk duduk di kursi kemudian bangkit dari

kursi dilanjutkan berjalan 3 m, bebalik arah dan kembali ke

kursi dan duduk lagi seperti posisi semula, kemudian

pemeriksa menghitung waktu yang diperlukan untuk

menyelesaikan tes “Timed Up and Go”. Dari hasil itu

didapatkan bahwa Semakin tinggi skor tes TUG maka frekuensi

kejadian jatuh meningkat. Analisis statistik didapatkan

hubungan antara tes TUG dengan frekuensi jatuh adalah

bermakna.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penting

untuk kita mengetahui faktor-faktor dari risiko jatuh pada

lansia, sehingga kita mmapu menentukan prioritas intervensi

yang akan diberikan.

Selain itu, berdasarkan penelitian “Studi Risiko Jatuh

Melalui Pemeriksaan Dynamic Gait Index (DGI) Pada Lansia Di

Panti Werdha Hargodedali Surabaya” ditemukan hasil bahwa

dari Hasil pemeriksaan Dynamic Gait Index (DGI) menunjukkan

sebagian besar lansia di Panti Werdha Hargodedali Surabaya

mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian jatuh. Sehingga

pengelola panti sebaiknya memasukkan pemeriksaan prediksi

jatuh kedalam salah satu tangkaian intervensi rutin yang

dilakukan setiap 3 bulan sekali. Bagi petugas kesehatan di

panti sebaiknya melakukan latihan keseimbangan postural

dinamik secara bergantian dengan senam lansia sebagai suatu

bentuk modifikasi kegiatan serta salah satu pencegahan

kejadian jatuh pada lansia. Penelitian ini menunjukkan

bahwa pentingnya peran tim petugas di panti lansia dalam

mencegah risiko jatuh pada lansia.

Outcome:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok intervensi

memiliki nilai rata-rata signifikan tingkat kejadian jatuh

lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (tingkat rasio =

0,64, 95% CI = 0,43-0,96, P = 0,029). Jadi disimpulkan

pengenalan intervensi multifaktorial terstruktur untuk

mencegah jatuh mengurangi jumlah signifikan pasien jatuh.

Time:

Penelitian ini dilakukan mulai tahun 2002 yaitu proses

penentuan jumlah sampel. Penilaian hasil penelitian ini

dilakukan selama 12 bulan.

B. Implikasi Keperawatan

Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia

yaitu perubahan morfologis pada otot yang menyebabkan

perubahan fungsional otot, yaitu terjadi penurunan kekuatan

dan kontraksi otot, elastisitas dan fleksibilitas otot,

serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan fungsi dan

kekuatan otot akan mengakibatkan penurunan kemampuan

mempertahankan keseimbangan postural atau keseimbangan

tubuh lansia. Gangguan keseimbangan tubuh merupakan masalah

yang sering terjadi pada lansia. Apabila gangguan

keseimbangan ini tidak dikontrol maka akan meningkatkan

risiko jatuh pada lansia (Kustanto dkk, 2007).

Gunarto (2005) menyatakan bahwa 31%-48% lansia jatuh

karena gangguan keseimbangan. Berdasarkan survei di

masyarakat AS, sekitar 30% lansia yang berumur lebih dari

65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut

mengalami jatuh berulang. Insiden di rumah-rumah perawatan

(nursing home) 3 kali lebih banyak. Lima persen dari

penderita jatuh ini mengalami patah tulang atau memerlukan

perawatan di rumah sakit. Sedangkan di rumah-rumah

perawatan berkisar 50% penghuninya mengalami jatuh dan

memerlukan perawatan di rumah sakit sekitar 10-25%.

Diestimasikan 1% lansia yang jatuh akan mengalami fraktur

kolum femoris, 5 % akan mengalami fraktur tulang lain

seperti iga, humerus, pelvis, dan lain-lain, 5%

akanmengalami perlukaan jaringan lunak. Perlukaan jaringan

lunak yang serius seperti subdural hematom, hemarthroses,

memar dan keseleo otot juga sering merupakan komplikasi

akibat jatuh (Darmojo,2000).

Faktor-faktor yang menyebabkan jatuh sangat kompleks

dan tergantung kondisi lansia. Di antaranya ada disability,

penyakit yang sedang diderita (vertigo dan dizziness

sebesar 13 %, hipotensi ortostatik sebesar 3 %, syncope

sebesar 0,3 %); perubahan-perubahan akibat proses penuaan

(penurunan pendengaran, penurunan visus sebesar 2 %,

penurunan status menta l (bingung) sebesar 5 %, penurunan

fungsi indera yang lain, lambatnya pergerakan, hidup

sendiri (faktor gaya hidup), gangguan muskuloskeletal

seperti kelemahan otot ekstremitas bawah, gangguan

keseimbangan dan gaya berjalan sebesar 17 % serta serangan

tiba-tiba sebesar 9 % (Shobha, 2005).

Dari penjelasan dan isi jurnal diatas maka peran perawat

gerontik sangat besar dalam penatalaksanaan pencegahan

kejadian jatuh pada Lansia . Peran perawat antara lain:

1. Peran Perawat sebagai Educator

Peran perawat sebagai edukator adalah perawat dapat

memberikan informasi kepada lansia dan rekan sejawat

mengenai cara-cara untuk mencegah lansia mengalami

jatuh, seperti memberikan perhatian ekstra pada lansia,

membantu pasien dalam mobilisasi, menjaga keamanan

lingkungan disekitar lansia, mengoptimalkan penerangan

di malam hari, mengawasi lansia terpeleset terutama bila

ke kamar mandi dan hal-hal penting lainnya. Dengan

demikian, apabila lansia dan perawat gerontik lainnya

telah memiliki pengetahuan yang cukup, diharapkan

insiden jatuh dapat dicegah.

2. Peran Perawat sebagai Care Giver

Peran perawat sebagai care giver adalah perawat dapat

memberikan asuhan keperawatan kepada lansia mulai dari

pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan,

implementasi, dan evaluasi. Dalam hal ini yang lebih

diutamakan adalah pemberian intervensi mengenai risiko

jatuh untuk mencegah hal tersebut dapat terjadi,

contohnya seperti pemasangan pengaman pada kedua sisi

tempat tidur lansia, menyingkirkan barang-barang

berbahaya, lalu mengingatkan lansia untuk menyalakan

pencahayaan dan menjaga keamanan lingkungan sekitar

lansia. Selain penatalaksanaan umum untuk risiko jatuh,

perawat perlu memperhatikan faktor-faktor yang

menyebabkan risiko tinggi jatuh, serta perawat dapat

memberikan penanganan apabila lansia mengalami luka

akibat terjatuh yang dapat memperparah kondisi fisik dan

mempengaruhi psikis lansia.

3. Peran Perawat sebagai Konselor

Peran perawat sebagai konselor adalah dapat memberikan

konsultasi yang tepat bagi lansia dan teman sejawat

apabila lansia tersebut telah atau pernah mengalami

jatuh dan juga berisiko jatuh, sehingga dapat memberikan

solusi untuk menganggulangi cedera atau luka akibat

terjatuh dan memberi saran untuk mencegah terjadinya

jatuh.

4. Peran Perawat sebagai Peneliti

a. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

perawat sebagai insan pendidikan juga diharapkan

dapat terus mengembangkan ilmu pengetahuan dengan

cara melakukan penelitian yang sesuai dengan

kebutuhan lansia. Secara aktif mengaplikasikan ilmu

yang dimiliki, meningkatkan pengetahuan, dan

melakukan penelitian terkait kesehatan lansia,

sehingga dapat diaplikasikan dalam mengatasi

permasalahan kesehatan khususnya pada lansia dan

status kesehatan lansia pada umumnya.

b. Menemukan alternatif baru untuk mencegah kejadian

jatuh pada Lansia, seperti memodifikasi

lingkungannya, memberikan penyuluhan tentang

penanganan jika lansia terjatuh, dll.

c. Melanjutkan penelitian mengenai berbagai faktor yang

digunakan untuk mencegah terjadi jatuh pada lansia,

misalnya mencari tahu apa saja faktor-faktor penyebab

lansia mengalami jatuh, meneliti bagaimana cara

terbaik untuk pencegahannya, apa saja yang harus

lebih difokuskan dalam intervensi dan

implementasinya, kemudian dibandingkan dengan jurnal

atau penelitian-penelitian lain, sehingga apabila

intervensi tersebut diterapkan berdasarkan evidence

based atau penelitian-penelitian terkini maka

diharapkan dapat menurunkan angka terjadinya jatuh

pada lansia.

d. Melakukan lebih dalam penelitian mengenai intervensi-

intervensi lain yang dapat di modifikasi sehingga

dapat mengurangi angka kejadian jatuh pada lansia.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pencegahan jatuh yang dilakukan pada lansia

dilingkungan panti mungkin dan efektif dalam menurunkan

kejadian jatuh pada kelompok lansia dengan risiko jatuh

yang tinggi, tetapi tentu tidak mudah karena diperlukan

banyak usaha dari berbagai pihak.

2. Intervensi pada jurnal ini dapat diterapkan pada

kondisi perawatan lansia dirumah atau pada bangsal

khusus geriatri di rumah sakit, tetapi diperlukan

penyesuaian sebelum diadaptasi.

3. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yang

holistik kepada lansia memiliki peranan penting untuk

mengurangi kejadian jatuh pada lansia dengan memberikan

informasi kepada lansia dan rekan sejawat mengenai

cara-cara untuk mencegah lansia mengalami jatuh dan

pemberian intervensi mengenai risiko jatuh untuk

mencegah hal tersebut dapat terjadi.

B. Saran

1. Kepada lansia dianjurkan untuk

memperhatikan faktor – faktor yang dapat menyebabkan

jatuh baik dari dalam dirinya sendiri ataupun dari

lingkungan sekitar yang dapat menyebabkan kejadian

jatuh.

2. Kepada pihak PSTW Wana Seraya

diharapkan dapat lebih memperhatikan faktor – faktor

yang dapat menyebabkan lansia jatuh khususnya dari

faktor lingkungan agar dapat melakukan pencegahan dan

menurunkan kejadian jatuh pada lansia.

3. Kepada perawat diharapkan dapat

melakukan penelitian lebih jauh mengenai intervensi-

intervensi lain yang dapat di modifikasi sehingga dapat

mengurangi angka kejadian jatuh pada lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Australian Government, Department of Health and Ageing. 2011.Falls Can be Preventen : A Guide to Preventing Falss for Older People.(Online),(http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/E23F5F7BF8F07264CA257BF0002043F5/$File/Don%27t%20fall%20for%20it.pdf, diakses, 20 April 2014).

Darmojo & Martono. 2004. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).Jakarta: FKUI

Maryam dkk. 2011. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta :Salemba Medika

Shobha, S.R. 2005. Prevention of Falls in Older Patients. AmericanAcademy of Family Physicians, 72, 81-8, 93-4

Nugroho, Wahyudi. (2008). Keperawatan Gerontik &Geriatrik.Edisi ke 2.Jakarta: EGC

Mubarak dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas : Konsep & Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika

Putri dkk. 2008. Gambaran Kualitas Hidup Lansia yang Tinggal diPanti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budhi Luhur.Jurnal Ilmu Keperawatan (JIK), (Online), Volume 3, No. 2,(http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/32087477_1907-3690.pdf, diakses 21 Oktober 2012)

Surilena & Agus, D. 2006. Faktor-Faktor yang MempengaruhiDepresi Pada Lansia di Jakarta. Majalah Kedokteran Damais,5(2) : 115-129

Gunarto, Sigit. 2005. Pengaruh latihan four square stepterhadap keseimbangan pada lansia. Tesis. Tidakdipublikasikan. Program Pendidikan Ilmu Kedokteran Fisikdan Rehabilitasi Medik FKUI. Jakarta.

Pujiastuti, Sri Surini dan Utomo, Budi, 2003. Fisioterapi PadaLansia. Jakarta: EGC