HUkum Perusahaan BUMN

49
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional merupakan wujud pengamalan terhadap Pancasila dan juga pelaksanaan terhadap amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Pembangunan Nasional sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia didalam segala aspek kehidupan yang mencakup, aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan Negara yang dilakukan secara terencana, terpadu, terarah, menyeluruh, dan berkelanjutan. Bagi suatu negara, dimana negara tersebut memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat yang hidup di wilayahnya, maka negara tersebut membutuhkan suatu cara agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara membentuk suatu badan usaha milik negara. Badan usaha milik negara (BUMN) ini dijalankan oleh negara sebagi suatu perusahaan yang mana seluruh atau sebagian

Transcript of HUkum Perusahaan BUMN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional merupakan wujud pengamalan terhadap

Pancasila dan juga pelaksanaan terhadap amanat Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang bertujuan untuk

meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam rangka

mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan

sejahtera. Pembangunan Nasional sebagai upaya meningkatkan

kualitas hidup bangsa Indonesia didalam segala aspek kehidupan

yang mencakup, aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan

pertahanan keamanan Negara yang dilakukan secara terencana,

terpadu, terarah, menyeluruh, dan berkelanjutan.

Bagi suatu negara, dimana negara tersebut memiliki tujuan

untuk mensejahterakan masyarakat yang hidup di wilayahnya,

maka negara tersebut membutuhkan suatu cara agar dapat

memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat

dilakukan adalah dengan cara membentuk suatu badan usaha milik

negara. Badan usaha milik negara (BUMN) ini dijalankan oleh

negara sebagi suatu perusahaan yang mana seluruh atau sebagian

besar dari kepemilikan perusahaan tersebut dimiliki oleh

negara, agar segala keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan

tersebut akan menjadi keuntungan negara dan negara dapat

menjalankan salah satu tujuannya yaitu mensejahterakan

masyarakat yang berada di wilayahnya. Untuk itu, dalam

menjalankan badan usaha milik negara tersebut dibutuhkan suatu

peraturan agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan tujuan

didirikannya badan usaha milik negara tersebut, dan didalam

makalah ini selain penulis akan menjelaskan mengenai badan

usaha milik negara secara umum namun akan dikaitkan juga

dengan permasalahan yang sering terjadi di badan usaha milik

negara yang salah satunya adalah mengenai tenaga kerja

outsourcing.

BUMN merupakan salah satu wujud usaha pemerintah dalam

melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana

diamanatkan dalam pembukaan Undang – undang Dasar 1945 dan

lebih rinci dalam pasal 33 Uundang – Undang Dasar 1945.

Berdasarkan amanat pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945

tersebut pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan penguasaan

seluruh kekuatan ekonomi nasional melalui kepemilikan negara

terhadap unit – unit usaha tertentu terutama yang berkaitan

dengan hajat hidup orang banyak dengan maksud untuk memberi

manfaat yang sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang

seluruhnya atau sebagian besar modalnya modalnya dimiliki oleh

negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003). Bentuk dari BUMN terdiri atas dua yaitu

perusahaan perseroan (persero) dan perusahaan umum (perum).

Ini dibagi berdasarkan kepemilikian negara dari BUMN tersebut,

dan untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dalam bab berikutnya.

Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan

utama, yaitu  tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang

bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN

dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis

agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha

yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahan

listrik dan minyak, dan gas bumi. Dengan adanya BUMN

diaharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan

masyarakat, terutama masyarakat yang berada disekitar lokasi

BUMN. Tujuan BUMN bersifat sosial antara lain dapat dicapai

melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk

membangkitkan kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan

usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerinta untuk

memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada

disekitar lokasi BUMN.

Pegawai Outsourcing akhir-akhir ini sering kali menjadi

sorotan dalam permasalahan ketenaga kerjaan, perlu diketahui

bahwa outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh

yang dipekerjakan disuatu perusahaan dengan sistem

kontrak ,tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh

perusahaan pemberi kerja,melainkan oleh perusahaan pengerah

tenaga kerja.Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja

berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja

(uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga

pihak,yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga

kerja/pekerja (penyedia),perusahaan pengguna tenaga

kerja/pekerja (pengguna),dan tenaga kerja/pekerja.1

1 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra AdityaBakti,2009,hlm.74

Pelaksanaan outsourcing2 dalam beberapa tahun setelah

terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan; terutama

hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan

Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan

hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Namun

demikian, pada dasarnya praktek outsourcing tidak dapat

dihindari oleh pengusaha apalagi oleh pekerja. Hal tersebut

dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan

Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, mendapat legalisasi memberlakukan praktek

outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh

undang-undang.

Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain

disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan oleh para pihak.

Pada praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang berhubungan

hukum yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penerima

2

Pengertian atau definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalamUndang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr AniWijayati, “Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain(Outsourcing) dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003,” dalam Bunga RampaiMasalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, h.66.

kerja dan pekerja outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga

pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda.

Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang

tinggi dengan harga yang serendah-rendahnya. Sedangkan

penerima pekerjaan mengharapkan kualitas barang atau jasa

yang terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi lain,

pengusaha mengharapkan pekerja agar melakukan pekerjaan dengan

sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal,

sebaliknya pekerja mengharapkan kerja yang ringan dengan

penghasilan atau upah yang tinggi.3

Yang menjadi sorotan kali ini bahwa Pegawai Outsourcing

justru sangat banyak dalam perusahaan BUMN, tentu sangat

dipertanyakan mengenai bagaimana bisa perusahaan BUMN masih

memperkerjakan seorang pegawai dengan status Outsourcing. Hal

tersebut merupakan permasalahan yang sering kali di keluhkan

oleh pekerja Outsourcing.

Kita ambil contoh di salah satu BUMN yaitu PT Telkom yang

merupakan sebuah BUMN strategis melalui anak perusahaannya, PT

Graha Sarana Duta (GSD) dianggap telah melakukan pelanggaran

hak-hak normatif pekerja, yang dapat dikategorikan sebagai3Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-

undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2, h.95.

praktik eksploitasi tenaga kerja. Sebanyak 378 pekerja security,

cleaning service dan teknik outsourcing TELKOM yang tergabung dalam

Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) afiliasi ASPEK

INDONESIA telah bekerja sejak tahun 1995 di lingkungan TELKOM.

Dengan berganti-ganti status di beberapa perusahaan

outsourcing TELKOM, pada Desember 2012 yang lalu mereka

dipaksa kembali untuk dialihkan status pekerjanya kepada mitra

outsourcing lain. 378 orang pekerja dimaksud menolak

dialihkan, karena tindakan GSD melanggar ketentuan UU.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara kita telah dapat mengetahui tujuan-

tujuan dari BUMN itu sendiri, dalam implementasinya terdapat

tujuan dari BUMN yang belum terpenuhi yang semestinya

keseluruh tujuan dari BUMN dapat dilaksanakan. Dan salah

satunya adalah mengenai karyawan dari BUMN itu sendiri. Dalam

undang-undang itu dijelaskan mengenai karyawan BUMN yang

diperkenankan untuk membentuk serikat pekerja (Pasal 87 Undang

-Undang Nomor 19 Tahun 2003), namun terdapat permasalahan

mengenai kesejahteraan mereka dan ini juga berkaitan dengan

outsourcing. Untuk itu penulis akan lebih lanjut menjelaskan

BUMN serta permasalahannya berkenaan dengan outsourcing.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi

masalahnya adalah:

1. Bagaimana perlindungan bagi pegawai outsourcing di

lingkungan BUMN dikaitkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan ?

2. Bagaimana penyelesaian kasus pada PT.Telkom selaku BUMN

berkenaan dengan pelindungan bagi karyawan Outsourcing di

PT.Telkom?

BAB II

TINJAUAN TEORI MENGENAI BUMN DAN KETENAGAKERJAAN

A. Badan Usah Milik Negara (BUMN)

1.Pengertian dan Tujuan BUMN Berdasarkan Undang – Undang

Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara

Dalam penyelenggaraan ekonomi negara Indonesia Terdapat

tiga jenis badan usaha yang berperan di dalamnya. Ketiga

jenis badan usaha tersebut adalah Badan Usaha Milik Negara

(BUMN), Badan Usaha Milik Swasta, dan Koperasi. Ketiga

jenis badan usaha tersebut dalam menjalankan kegiatan

usahanya melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan

demokrasi ekonomi4.

Dalam sistem perekoniman nasional, BUMN ikut berperan

menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam

rangka mewujudkan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelapor

dan/atau perintis dalam sektor – sektor usaha yang belum

diminati usaha swasta. Disampin itu BUMN juga mempunyai

4 Penjelasan Umum Bagian 1 alinea 2 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN

peranan strategis sebagai pelaksanaan pelayanan publik,

penyeimbang kekuatan – kekuatan swasta besar dan turut

membantu mengembangkan usaha kecil/koperasi. BUMN juga

merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang

signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan

hasil privatisasi. Pelaksanaan peran BUMN tersebut

diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor

perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan,

perkebunan, kehutanan, manufaktur,pertambangan,keuangan,

pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri,

perdagangan serta kontruksi.5

Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 19 Tahun

2003 Tentang BUMN yang dimaksud dengan BUMN adalah badan

usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki

oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal

dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Pemahaman bahwa modal BUMN barasal dari kekayaan negara

yang dipisahkan oleh adanya pemisahan kekayaan negara yang

digunakan sebagai penyertaan modal pada BUMN dengan

kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja5 Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Di Indonesia, Bandung : Pustaka, 2001,Hlm 374

Negara. Selanjutnya pembinaan dan pengelolaan kekayaan

negara yang dipisahkan tersebut tidak lagi didasarkan pada

sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, melainkan

pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip –

prisnsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

BUMN sebagai badan Hukum.

Dalam teori hukum suatu organisasi atau lembaga dapat

menjadi subjek hukum sama halnya seperti manusia. Ketika ia

memenuhi persyaratan tertentu baik yang ditetapkan secara

formal dengan sistem tertutup oleh hukum positif atau

praturan perundang – undangan maupun sistem terbuka yang

dianut oleh pasal 1653 BW.

Suatu badan, perkumpulan atau badan usaha dapat berstatus

sebagai badan hukum, bila memenuhi beberapa syarat yaitu

syarat materiil (menurut doktrin). Berdasarkan syarat

materil, syarat suatu badan hukum adalah6 :

1) Adanya kekayaan yang bersifat terpisah

2) Mempunyai tujuan tertentu

3) Mempunyai kepentingan sendiri

6 Ali Rido, Badan Hukum dan kedudukan badan hukum perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan, wakaf, PT Alumni, Bandung, 2004, hlm 45

4) Adanya organisasi teratur.

Dari bunyi pasal 2 Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003

tentang BUMN didirikan untuk turut membangun perekonomian

nasional, menguasai bidang produksi yang berkaitan bagi

hajat hidup rakyat banyak demi menyelenggarakan kemanfaatan

umum bagi kesejahteraan rakyat serta mengejar keuntungan.

Dari pemahaman akan tujuan pendirian BUMN tersebut kita

dapat menyimpulkan bahwa disatu pihak BUMN diberi kewajiban

untuk memberikan sumbangan bagi penerimaan negara yaitu

BUMN harus berusaha mengejar keuntungan semaksimal mungkin

dalam kegiatan usahanya untuk memberikan deviden bagi

negara, dan disisi lain BUMN juga memilki tujuan pelayanan

masyarakat (public service) yang mengharuskan BUMN dengan

tanpa pamrih melaksanakan tugas kemanfaatan umum bagi

kesejahteraan rakyat.7

2.Bentuk Badan Usaha Milik Negara

UU No. 19 Tahun 2003 yang pada ketentuan penutupnya

mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan –

ketentuan sebagai berikut :

7 Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf a UU N0. 19 Tahun 2003

a. Indonesische Bedrijvenwet (staatblaad Tahun 1927

nomor 419) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan

ditambah terakhir dengan undang – undang Nomor 12

Tahun 1995 Tentang Usaha Negara;

b. Undang – Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang

Perusahaan Negara;

c. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1969 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerinth Pengganti Undang –

Undang Nomor 1 Tahun 1969 Tentang Bentuk – Bentuk

usaha negara.

Berdasarkan pada ketentuan penutup UU No. 19 Tahun 2003

tersebut maka pengaturan mengenai Badan Usaha Milik Negara

mengacu kepada satu ketentuan peraturan perundang –

undangan, yaitu Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang

BUMN. Dalam Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang

BUMN pada pasal 9 menyebutkan bahwa BUMN hanya terdiri dari

Persero dan Perum. Maksud pasal ini adalah semenjak

diberlakukannnya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003

Tentang BUMN maka bentuk Perjan harus berubah status badan

hukumnya menjadi Perum atau Persero. Hal ini diperjelas

dengan ketentuan peralihan Undang – Undang Nomor 19 Tahun

2003 pasal 93 ayat (1) yang seluruhnya berbunyi :

“Dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak undang –

undang ini mulai berlaku, semua BUMN yang berbentuk

perusahaan jawatan (perjan), harus telah dirubah bentuknya

menjadi Perum atau Persero.”

Sejak diberlakukan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003

Tentang BUMN tersebut, BUMN – BUMN di Indonesia mulai

bersiap – siap untuk melakukan penataan bentuk badan

usahanya.8 Dalam persiapan tersebut tidak hanya

mempersiapkan restrukturisasi bentuk badan usaha saja

tetapi juga harus mempersiapkan restrukturisasi pada aspek

– aspek lain dalam perusahaan yang tidak sesuai dengan

pengaturan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang

BUMN.

a. Perusahaan Jawatan

Berdasarkan penjelasan instruksi presiden Nomor 17 Tahun

1967 Tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan

Negara ke dalam tiga Bentuk Usaha Negara, maka ciri – ciri

8 Djokosantoso Moeljono,op cit, hlm 18

pokok perusahaan negara yang berbentuk Perusahaan Jawatan

adalah sebagai berikut9 :

1) Makna usaha adalah “Public service” yang artinya

pengabdian serta pelayanan kepada masyarakat. Dalam

menjalankan usaha dan memberikan pelayanan tersebut, syarat

– syarat efisiensi dan efektifitas harus dipegang teguh.

Dalam pelayanan kepada umum atau masyarakat dilakukan

secara ekonomis (kehematan) dan manajemen yang efektif

dengan cara yang baik dan memuaskan.

2) Sebagai salah satu bagian dari susunan

Departemen/Direktorat Jendral/Pemerintah Daerah maka

Perusahaan Jawatan mempunyai hubungan hukum publik (publiek

rechtelijk verhouding). Bila ada tuntutan/dituntut atau

melakukan tuntutan, maka kedudukannya sebagai pemerintah

atau seijin pemerintah.

3) Tidak dipimpin oleh suatu direksi tetapi oleh

seorang kepala (yang merupakan bawahan suatu bagian dari

departemen/Direktorat Jendral / Direktorat/Pemerintah

Daerah

9 I.G.Widjaya, op.cit hlm 73

Bentuk perusahaan jawatan ini semenjak dikeluarkannya

undang – undang No.19 tahun 2003 tentang BUMN telah

dihapuskan dan selanjutnya bagi BUMN yang masih berbentuk

Perusahaan Jawatan dalam waktu 2 tahun semenjak undang –

undang No.19 tahun 2003 diberlakukan harus telah merubah

bentuknya menjadi Perum atau Persero.10

b. Perusahaan Umum (PERUM)

Perusahaan Umum atau Perum merupakan salah satu BUMN

yang diatur menurut Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003

Tentang BUMN. Selain itu pengaturan Poerum juga mengacu

kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 1998 Tentang Perusahaan Umum.

Organ perum terdiri dari Menteri, Direksi, dan Dewan

Pengawas. Kedudukan menteri adalah sebagai organ yang

memegang kekuasaan tertinggi di perum yang mempunyai segala

wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan

Pengawas dalam batas yang ditentukan oleh Undang – Undang

BUMN dan/atau Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

Menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal

perum menetapkan kebijakan pengembangan perum yang10 Pasal 93 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003

bertujuan menetapkan arah dalam mencapai tujuan perusahaan

baik yang menyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha,

sumber pembiayaannya, penggunaan hasil usaha perusahaan,

dan kebijakan pengembangan lainnya. Dewan pengawas akan

mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, maka usulan

direksi kepada menteri harus didahului dengan persetujuan

dewan pengawas.

Perum didirikan dengan peraturan pemerintah sekaligus

penetapan keputusan untuk melakukan penyertaan modal negara

ke dalam Perum. Perum memperoleh status badan hukum setelah

Peraturan Pemerintah mengenai pendirian Perum Berlaku.

Anggaran Dasar Perum ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah

tentang Pendiriannya.

Pangkat dan pemberhentian Dewan Pengawas ditetapkan oleh

menteri sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang –

undangan.

c. Persero

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tentang PERSERO

dalam pasal 1 menjelaskan definisi Persero yaitu :

“Perusahaan Perseroan, untuk selanjutnya disebut

PERSERO, adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk

berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 yang berbentuk

Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1995 yang seluruh atau paling sedikit 51%

saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh Negara melalui

penyertaan modal secara langsung.”

BUMN Persero merupakan badan usaha dalam bentuk PT

seperti diatur menurut ketentuan – ketentuan kitab Undang –

Undang Hukum Dagang atau KUHD yang saham – sahamnya baik

untuk sebagian maupun seluruhnya dimiliki oleh Negara.

Setelah keluarnya Undang – Undang No. 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas, dengan sendirinya bentuk PT

yang dimaksudkan adalah seperti apa yang diatur dalam UU

No. 40 Tahun 2007 menggantikan berlakunya ketentuan –

ketentuan mengenai PT yang diatur dalam KUHD.

Di dalam BUMN Persero ada yang berbentuk perseroan

terbuka. Perseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan

jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau

persero yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan

peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal11.

Terhadap perseroan terbuka berlaku ketentuan peraturan

perundang – undangan dibidang pasar modal (UU No. 8 Tahun

1995).

Pengertian Outsourcing.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaaan adalah hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa

kerja. Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan

pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang

berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam

hubungan kerjaan, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum

ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama

ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan

hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan

kerja saja.

Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah

memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian

11 Pasal 34 UUNo.19 Tahun 2003

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh yang popular disebut outsourcing.

Pengertian outsourcing adalah hubungan kerja dimana

pekerja/buruh yang dipekerjakan disuatu perusahaan dengan

sistem kontrak ,tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh

perusahaan pemberi kerja,melainkan oleh perusahaan pengerah

tenaga kerja.Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja

berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja

(uitzendverhouding).Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga

pihak,yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga

kerja/pekerja (penyedia),perusahaan pengguna tenaga

kerja/pekerja (pengguna),dan tenaga kerja/pekerja.12

Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau

pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan

penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan

proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta

kreteria yang telah disepakati oleh para pihak.13

Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia

diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa

12 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2009,hlm.7413 Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009, hlm 308.

tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di

Indonesia diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan Nomor 13

tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No.

220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagai

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.14

Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima secara

global di negara-negara lain, bahkan Indonesia sendiri telah

mengadopsinya dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, akan tetapi disebabkan kurangnya pengawasan

pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan sistem

outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing dipakai

perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah buruh,

sehingga mengarah ke perbudakan modern.15

Berdasarkan pasal 64 Undang-undang nomor 13 tahun 2003

ditegaskan bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja

14 Ibid, hlm 33415 Leila Nagib, dikutip dari http :///www.tempo.com, “sistem outsourcing melencengdari tujuan”, di Buat Pada Tanggal 24 April 2012, di Unduh Pada Tanggal 25 Mei2013.

secara tertulis melalui dua cara,yaitu perjanjian pemborongan

pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui

perjanjian pemborongan pekerjaan,harus memenuhi ketentuan

pasal 65 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 sebagai berikut :

a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah :

1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

2) Dilakukan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan

3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara

keseluruhan dan

4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung

a. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk

badan hukum

b. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal

sama dengan perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan

peraturan perundang-undangan

c. hubungan kerja antara perusahan penerima pekerjaan dengan

pekerja/buruh diatur dalam perjanjian secara tertulis

d. Hubungan kerja tersebut butir 4 dapat dilakukan dengan

perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja

waktu tertentu jika memenuhi persyaratan PKWT (pasal 59

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003)

b. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi,demi

hukum hubungan kerja beralih menjadi hubungan kerja antara

perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja/buruh yang

bersangkutan.16

2. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-undang Nomor 13 tahun

2003 diatur penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagai berikut :

a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok

atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi

Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan

langsung dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan

penunjang dalam suatu perusahaan.Yang termasuk kegiatan

penunjang antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning

service),usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh16 Abdul Khakim, Op.cit,hlm 76

(catering),usaha tenaga pengaman (security),usaha jasa

penunjang di pertambangan dan perminyakan,serta usaha

penyediaan angkutan pekerja/buruh.

b. Penyedia jasa pekerja/buruh :

1) Harus memenuhi syarat-syarat :

a) Adaya hubungan kerja antara pekerja/burh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/burh

b) Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditanda tangani

kedua pihak,melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika

memenuhi persyaratan pasal 59 Undang-undang Nomor 13 tahun

2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu

c) Perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat

kerja,serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

Dalam hal ini pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas

perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat kerja,serta

perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya esuai

dengan yang berlaku di perusahaan pengguna jasa

pekerja/buruh.Perlindungan tersebut minimal harus sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

d) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa

pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

2) Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki

izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan.

c. Jika ketentuan butir a,b.1) a), b.1)b), b.1)d) dan b.2)

tidak terpenuhi,demi hukum status hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahan pemberi pekerjaan.

Lebih lanjut,mengenai hal ini telah diatur dalam Keputusan

menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

Kep-101/Men/VI/2004 tentang tata cara perizinan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh.

BAB III

PEMBAHASAN

A. BUMN dan Outsourcing

Berdasarkan Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara menjelaskan bahwa :

“Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan

perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang ketenagakerjaan”

Artinya bahwa pengaturan mengenai segala hal Karyawan BUMN

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, dan selain yang diatur dalam undang-undang

tersebut maka kembali ke Anggaran Dasar dan Peraturan

Perusahaan serta Perjanjian Kerja antara BUMN dan Karyawan.

Dalam Undang-undang tidak di jelaskan secara terperinci

mengenai bagian-bagian dalam pekerjaan, namun pada pasal 56

ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa dalam perjanjian

kerja ada dua jenis yaitu perjanjian kerja untuk waktu

tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu yang tidak di

tentukan.

Untuk pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja untuk waktu yang

tidak ditentukan menurut KEPMEN NO.100 Tahun 2004 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

menegaskan dalam pasal 1 ayat 2 bahwa : “Perjanjian Kerja

Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah

Perjanjian kerja antara Pekerjaan/buruh dengan Pengusaha

untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Dengan

kata lain itu menyatakan bahwa PKWTT merupakan Karyawan

Tetap.

Sedangkan untu Pekerja yang berdasarkan perjanjian kerja

untuk waktu yang ditentukan (PKWT) ini sering kita kenal

sebagai pekerja kontrak. Pekerja Kontrak ada yang berasal

dari melamar kerja sendiri / tanpa dari yayasan penyedia Jasa

dan ada juga Pekerja Outsourcing.

Dimana pekerja kontrak kelak akan di berikan Surat

Perjanjian Kerja yang ditandatangani oleh pengusaha dan

pekerja yang bersangkutan. Ketentuan umum tentang PKWT

menurut Kepmenaker No.100 Tahun 2004 tentang ketentuan

pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu : Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk

pekerja tertentu.

Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Pasal 59 yang menyatakan :

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat

dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat

atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,

yaitu :

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara

sifatnya;

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu

yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan

baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau

penjajakan.

Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima

secara global di negara-negara lain, bahkan Indonesia sendiri

telah mengadopsinya dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi disebabkan kurangnya

pengawasan pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan

sistem outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing

dipakai perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah

buruh, sehingga mengarah ke perbudakan modern.

Hak dan Kewajiban Pegawai Outsourcing :

Pegawai Outsourcing memiliki hak dan kewajiban sebagaimana

pegawai pada lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat

(2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 , bahwa setiap warga

negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan. Dari pasal tersebut dapat dikatakan

bahwa setiap warga Indonesia yang akan menggunakan haknya

untuk mendapatkan pekerjaan harus diberikan perlindungan

dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indoensia yang

sejahtera, adi, makmur dan merata baik materiil maupun

spiritual.

Selain pada UUD 1945, hal tentang hak bagi warga negara

Indonesia untuk memperoleh pekerjaan jelas juga diatur dalam

pasal 5 UU Ketenagakerjaan bahwa :

“Setiap Tenaga Kerja memiliki kesempatan yang sama tanpadiskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”

Begitu juga pada Pasal 6 UU Ketenagakerjaan bahwa :

“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang samatanpa diskriminasi dari perngusaha”

Dari kedua pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap

warga negara Indonesia yang ingin bekerja seharusnya tidak

diperbolehkan untuk di diskriminasikan dalam hal perlakuan

ataupun memperoleh pekerjaan dari pelaku usaha atau dengan

nama lain Pengusaha. Tentu hal tersebut menjadi dasar untuk

para pekerja Kontrak ataupun Outsourcing yang dalam hal ini

seringkali menerima Diskriminasi dari para pengusaha.

Selain mengenai pendiskriminasian , dalam UU

Ketenagakerjaan ini juga mengatur mengenai hak dari para

pekerja, tanpa ada nya pembedaan antara PKWT dan PKWTT.

Walaupun tidak ditegaskan, namun pada pasa 54 ayat 1 huruf f

menjelaskan bahwa syarat – syarat kerja memuat hak dan

kewajiban pengusaha dan pekerja. Yang kemudian pada bagian

penjelasannya diatur bahwa syarat kerja adalah hak dan

kewajiban pengusaha dan pekerja / buruh yang belum diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Artinya kelak menegenai hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dan pengusaha akan diatur dalam Perautran

Perusahaan ataupun Perjanjian Kerja ( PK ) dan / ataupun

Perjanjian Kerja Bersama ( PKB ).

Berikut 5 permasalahan yang terjadi dalam dunia kerja yang

lebih mensoroti pada pekerja Outsourcing yang terjadi baik di

swasta ataupun di BUMN sebagai berikut :

1.Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca

Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan

A.Berlakunya Outsourcing Melegalkan Perdagangan dan

Perbudakan Manusia

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, praktik penyediaan jasa pekerja untuk

dipekerjakan di perusahaan lain sudah terjadi. Bidang-bidang

pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam), sekuriti dan

cleaning service merupakan pekerjaan yang diserahkan

perusahaan untuk dikerjakan oleh tenaga kerja dari perusahaan

lain. Praktik pelaksanaannya pun tidak berbeda dengan yang

diatur dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di Indonesia ditilik

dari sejarahnya telah dilakukan bertahun-tahun yang lampau.

B.Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan

Pekerja

Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan

perusahaan penerima pekerjaan menurut Undang-undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa beralih menjadi

hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja

untuk pekerjaan yang sifatnya berlangsung terus menerus

dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa tenaga

kerja. Hubungan hukum yang dimaksud tidak terbatas pada

pemberian upah dan pesangon ketika pekerja diputus hubungan

kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak pekerja, di

antaranya keikutsertaan pekerja dan keluarganya dalam program

Jamsostek, program perlindungan pensiun dan lain-lain.

Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan pemberi kerja

harus mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam

hal terjadi perusahaan pemberi kerja telah memberi pekerjaan

kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang tidak

berbadan hukum. Akan tetapi masalah yang sering timbul

terjadi pada masalah perjanjian kerja antara pekerja

outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang

harus berakhir karena perjanjian kerja sama antara perusahaan

pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya

telah berakhir. Akibatnya perusahaan pemberi kerja tidak lagi

mempekerjakan pekerja outsourcing dan perusahaan penyedia

jasa juga tidak mau membayar sisa upah yang diperjanjikan

dalam kontrak perjanjian kerja sama. Pada banyak kasus

seperti yang tersebut di atas bermuara pada tuntutan di

Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi hingga tingkat

kasasi pun pekerja outsourcing tidak dapat menuntut hak-

haknya yang menurut undang-undang ketenagakerjaan

kedudukannya beralih dari menjadi pekerja di perusahaan

pemberi kerja apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja

tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan hubungan kerja

yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja. Kasus karyawan

koperasi Setia Kawan melawan PT Bakrie Tosan Jaya karena

buruh menuntut agar dibayarkan upah pesangon sesuai dengan

yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

kepada PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena hubungan kerja

diputus secara sepihak oleh perusahaan penyedia jasanya yaitu

Koperasi Setia Kawan. Dasar pemikiran para karyawan tersebut

yang berjumlah 60 orang adalah karena diatur bahwa buruh yang

dipekerjakan melalui perusahaan penyedia jasa berubah status

hukumnya menjadi pekerja di perusahaan pengguna dengan

segala hak dan kewajibannya. Kelemahan kedudukan dan hak

pekerja outsourcing tersirat dalam Putusan Kasasi No.192

K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena

pada dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai

hubungan hukum dengan perusahaan pengguna, sehingga tidak

mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan

kerja.17

C.Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi

Pekerja Outsourcing

Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya

dalam penerapannya banyak terkait dengan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata dan bidang hukum ketenagakerjaan. Bidang hukum

ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan antara

pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk

melakukan suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa.

Sedangkan fungsi Hukum Perdata terutama menata hubungan

antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian kerja

sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu

tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja

pada umumnya dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada

kepastian kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja

merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah

pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para

pekerja akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk17Ibid., h.360-361.

menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam

hal tidak ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan

kontrak kerja. Pada pelaksanaannya kontrak kerja dapat

berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut

bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan

pekerja yang selesai masa kontraknya diistirahatkan dulu

selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke perusahaan

yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan

penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat

menentukan penawaran dan mengajukan persyaratan kepada

pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja yang tersedia.

Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang

menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak

pelamar lain yang bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang

memberatkan pekerja yang ditetapkan oleh pengusaha.

D.Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing

Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan

ditandatangani oleh pekerja dengan perusahaan pemberi kerja,

akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan perusahaan

pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak

pekerja outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara

kedua perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja.

Keuntungan perusahaan penyedia jasa tersebut diperoleh dari

selisih antara upah yang diberikan perusahaan pengguna dengan

upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh

karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing

biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi

ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal tersebut pula, maka

banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan

para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau

maksimal dengan upah sesuai dengan ketentuan mengenai upah

minimum. Para pekerja outsourcing dalam hal upah ini tidak

dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab pada

satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan

mengenai upah minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha

tidak akan menerima tuntutan pekerja outsourcing untuk

disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja

yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung

kepada perusahaan pemberi kerja.

E.Pengabaian Pengembangan Kemampuan Pekerja Outsourcing

Kesulitan lain yang dihadapi oleh pekerja outsourcing

adalah peningkatan kemampuan seorang pekerja yang sulit

diperolehnya dari pengusaha. Sebab pada umumnya pekerjaan

yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah pekerjaan yang

dilakukan berulang-ulang. Selain itu pengembangan kemampuan

dan karier pada pekerja outsourcing juga dibatasi oleh adanya

spesialisasi yang dilakukan perusahaan pemberi kerja sehingga

yang dihasilkan perusahaan memberi kesan kuat pada perusahaan

pengguna untuk menggunakan jasa tenaga kerja yang ada pada

perusahaan pemberi kerja.

Dari 5 permasalahan diatas tentu juga dialami para pekerja

Outsourcing di BUMN, baik secara langsung ataupun tidak

langsung, tentu hal tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh

sebuah Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya memberikan

perlindungan serta kepastian bagi karyawan yang bekerja untuk

mereka, memang begitu banyaknya permasalahan mengenai

Outsoucing di Indonesia, dengan lambatnya tanggapan dari

pemerintah mencerminkan keperhatianannya para Tenaga Kerja

kita.

B. KASUS DAN ANALISIS

A. Profil PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA TBK18

PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (TELKOM) merupakan

perusahaan penyelenggara informasi dan telekomunikasi (InfoComm)

serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap (full

service and network provider) yang terbesar di Indonesia. TELKOM (yang

selanjutnya disebut juga Perseroan atau Perusahaan) menyediakan jasa

telepon tidak bergerak kabel (fixed wire line), jasa telepon tidak

18 Johannes Simatupang, “KASUS DIBIDANG TELEKOMUNIKASI PT. TELEKOMUNIKASI

INDONESIA, TBK “, 2008, Diakses di https://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB4QFjAA&url=https%3A%2F

%2Fjohannessimatupang.files.wordpress.com%2F2008%2F09%2Fkasus-

telekomunikasi-mm-agustus-

2008.doc&ei=FvzFU7CrKZCLuATQzIHACQ&usg=AFQjCNEhhGME-1bGQYMylEpqJDMZ2pR_Hw

pada [16/07/2014]

bergerak nirkabel (fixed wireless), jasa telepon bergerak (cellular), data &

internet dan network & interkoneksi baik secara langsung maupun

melalui perusahaan asosiasi.

Sejalan dengan visi TELKOM untuk menjadi perusahaan InfoComm

terkemuka di kawasan regional serta mewujudkan TELKOM Goal 3010 maka

berbagai upaya telah dilakukan TELKOM untuk tetap unggul diantara

pemain telekomunikasi. Hasil dari kerja keras tersebut terlihat dari

jumlah pelanggan TELKOM. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2006,

jumlah pelanggan TELKOM sebanyak 48,5 juta pelanggan yang terdiri

dari: pelanggan telepon tidak bergerak kabel sejumlah 8,7 juta,

pelanggan telepon tidak bergerak nirkabel sejumlah 4,4 juta

pelanggan dan 35,6 juta pelanggan jas telepon bergerak.

Pertumbuhan jumlah pelanggan TELKOM ditahun 2006 sebesar

30,73% telah mendorong kenaikan pendapatan usaha TELKOM dalam tahun

2006 sebesar 23% dibanding tahun 2005. Saham TELKOM per 31 Desember

2006 dimiliki oleh pemerintah Indonesia sebanyak 51,19% dan pemegang

saham publik 48,81% yang terdiri dari 45,54% investor asing dan

3,27% investor lokal. Sementara itu, harga saham TELKOM di bursa

efek Jakarta selama tahun 2006 telah meningkat 71,2% dari Rp. 5.900

menjadi Rp. 10.100,-. Kapitalisasi pasar saham TELKOM pada akhir

tahun 2006 sebesar U$ 22,6 Miliar.

Hasil upaya tersebut tercermin dari market share produk dan

layanan yang unggul di antara para pemain telekomunikasi. Selama

tahun 2006 TELKOM telah menerima beberapa penghargaan baik dari

dalam maupun luar negeri, di antaranya The Best Value Creator, The

Best of Performance Excellence Achievement, Asia’s Best Companies

2006 Award dari Majalah Finance Asia.

Dengan pencapaian dan pengakuan yang diperoleh TELKOM, penguasaan

pasar untuk setiap portofolio bisnisnya, kuatnya kinerja keuangan,

serta potensi pertumbuhannya di masa mendatang, saat ini TELKOM

menjadi model korporasi terbaik Indonesia.

B. Permasalahan

Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja

Indonesia (KSPI) mendatangi PT Telkom pada bulan Februari tahun

2013. Perusahaan tersebut dianggap telah melakukan eksploitasi

terhadap buruh yang dilakukan dalam bentuk sistem kontrak

berkepanjangan, lebih dari 5 tahun, dan seharusnya demi hukum

berubah menjadi pekerja tetap. Hak-hak normatif pekerja juga tidak

dibayarkan sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, antara

lain upah di bawah UMP, tidak adanya tunjangan makan dan tunjangan

transport. Bahkan di anak perusahaan TELKOM, pekerja security

dipaksa untuk membayar biaya pelatihan kerja sebesar RP.500.000

untuk biaya sertifikat Garda Pratama, yang seharusnya menjadi

tanggung jawab perusahaan.

PT Telkom merupakan sebuah BUMN strategis melalui anak

perusahaannya, PT Graha Sarana Duta (GSD) dianggap telah melakukan

pelanggaran hak-hak normatif pekerja, yang dapat dikategorikan

sebagai praktik eksploitasi tenaga kerja. Sebanyak 378 pekerja

security, cleaning service dan teknik outsourcing TELKOM yang tergabung dalam

Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) afiliasi ASPEK INDONESIA

telah bekerja sejak tahun 1995 di lingkungan TELKOM. Dengan

berganti-ganti status di beberapa perusahaan outsourcing TELKOM,

pada Desember 2012 yang lalu mereka dipaksa kembali untuk dialihkan

status pekerjanya kepada mitra outsourcing lain. 378 orang pekerja

dimaksud menolak dialihkan, karena tindakan GSD melanggar ketentuan

UU.

Berikut adalah 11 Eksploitasi dan pelanggaran hak-hak normatif yang

dilakukan oleh PT GSD (anak perusahaan PT Telkom)19:

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dilakukan secara terus

menerus, dan terjadi selama belasan tahun d lingkungan TELKOM.

(Pelanggaran Pasal 59 UU 13/2003)

2. Belasan tahun upah di bawah UMP/UMK.

3. Hanya sebagian kecil pekerja didaftarkan sebagai peserta

JAMSOSTEK.

19 _______, “Lakukan Eksploitasi, Buruh Tuntut PT Telkom”, 2013,

http://www.m.cuplik.com/read/ekonomi/2013/02/16/8783/lakukan-eksploitasi-

buruh-tuntut-pt-telkom.html pada [16/07/2014]

4. Upah lembur tidak sesuai UU 13/2003 dan Kepmenakertrans No.102

Tahun 2004.

5. Tunjangan uang makan dan transport yang dihilangkan secara

sepihak.

6. Pungutan paksa Rp.500.000,- untuk biaya pelatihan kerja

(Sertifikat Garda Pratama) yang seharusnya menjadi tanggung jawab

perusahaan namun dibebankan kepada para pekerja. Faktanya pekerja

security tersebut telah memiliki sertifikat SATPAM, namun GSD tetap

memungut uang dari pekerja, bahkan tanpa adanya kegiatan pelatihan

dimaksud (fiktif) namun copy sertifikatnya dapat diberikan kepada

pekerja.

7. Pelemahan/intiminidasi terhadap hak berserikat kepada anggota

dan pengurus serikat pekerja/union busting. (Pelanggaran Pasal 28 UU

21/2000).

8. PHK sepihak terhadap 378 orang pengurus dan anggota SEJAGAD.

9. Tidak membayarkan upah kepada 378 pekerja anggota SEJAGAD,

sejak Januari 2013. (pelanggaran Pasal 151 jo Pasal 155 UU 13/2003).

Sebelumnya, akibat gagalnya proses perundingan, maka pada 3 Oktober

2012 terjadi mogok kerja yang sah oleh SEJAGAD. Pada 11 Januari

2013, 5 dan 6 Februari 2013, SEJAGAD dan ASPEK Indonesia menggelar

aksi unjuk rasa di kantor TELKOM di Jalan Gatot Subroto Jakarta dan

di Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat. 

Tuntutan Buruh20: 20 Ibid

1. Mengangkat 378 pekerja anggota SEJAGAD ASPEK INDONESIA menjadi

Karyawan Tetap TELKOM sesuai Pasal 59 jo Pasal 66 UU No.13 tahun

2003 jo Keputusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011, serta

mempekerjakan kembali seluruh Pengurus dan Anggota SEJAGAD di

pekerjaan dan lokasi semula.

2. Membayar upah seluruh pekerja anggota SEJAGAD ASPEK INDONESIA

sejak Januari 2013.

3. Membayar kekurangan Upah Lembur sesuai UU No.13 Tahun 2003 dan

Kepmenakertrans No.102 Tahun 2004, sejak pekerja bekerja di TELKOM.

4. Memberikan hak seluruh pekerja atas Jamsostek.

5. Membayar tunjangan uang makan dan uang transport yang tidak

diberikan sejak 2 (dua) tahun terakhir hingga saat ini.

6. Mengembalikan uang Sertifikat yang dipungut paksa dari pekerja

sebesar Rp. 500.000,-.

7. Memberikan kesempatan dan waktu kepada Pengurus dan Anggota

SEJAGAD untuk menjalankan kegiatan berserikat di waktu jam kerja.

8. Memberlakukan Struktur Skala Upah yang membedakan upah antara

pekerja baru dengan pekerja di atas masa kerja (1) satu tahun.

Selain itu, PT TELKOM juga dinilai tidak melakukan pengawasan dan

penertiban serta membiarkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan

oleh PT SGD, hal itu berdasarkan pada aturan-aturan sebagai

berikut: 

Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Pasal 18: "Perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh DILARANG MENYERAHKAN pelaksanaan

sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh lain".

Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia Nomor: KD.

15/HK250/CP-B0011000/2010 pasal 6 ayat (2) tentang Pedoman

Penyerahan Sebagian Pelaksana Pekerjaan Kepada Perusahaan Penerima

Pekerjaan (Outsourcing), yang tegas menyatakan: "Perusahaan penerima

pekerjaan TIDAK DAPAT MENYERAHKAN seluruh atau sebagian pekerjaan

yang diterima kepada perusahaan penerima pekerjaan lainya".

Perjanjian Pemborongan Penyediaan Jasa Outsourcing Pelayanan

Pengamanan di Lingkungan TELKOM, No: K.TEL.18/HK810/CRM-00/2012

tanggal 17 Februari 2012, Pasal 17 tentang Larangan Penyerahan

Kepada Pihak Ketiga, yang tegas menyatakan: 

(1) Mitra DILARANG MENYERAHKAN pelaksanaan baik sebagian atau

seluruh pekerjaan dimaksud Pasal 3 Perjanjian ini kepada Pihak

Ketiga.

(2) Apabila ketentuan ayat 1 pasal ini dilanggar oleh Mitra, maka

TELKOM berhak secara sepihak MEMUTUSKAN Perjanjian ini, tanpa adanya

tuntutan apapun dari Mitra dan TELKOM berhak menunjuk pihak lain

untuk melanjutkan pekerjaan tersebut, 

Jo Pasal 34 tentang Larangan Sub-Kontrak dan Gratifikasi: (1) Mitra

DILARANG menyerahkan pekerjaan (sub-kontrak) baik sebagian maupun

seluruhnya kepada perusahaan milik pejabat dan/atau karyawan TELKOM

atau kepada pihak-pihak manapun atau kepada siapapun yang terkait

dengan kedudukan atau tugasnya sebagai pejabat dan atau karyawan

TELKOM".

Keputusan Kepala Kepolisian RI No.24 Tahun 2007 Pasal 23 ayat

(4): "Dukungan pembiayaan pelatihan menjadi tanggung jawab

organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah yang

bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku."

C. Analisis Kasus

Perselisihan outsourcing di BUMN ini di proses berlanjut ke

Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing

(Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi

dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa

pekerja/buruh. Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan

outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan

diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing

(Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang

menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65

(terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat);

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64

dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan

pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara

tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:

Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan

lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang

dibuat secara tertulis (ayat 1);

Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang

dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut

:

- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari

pemberi pekerjaan;

- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)

Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk

badan hukum (ayat 3);

Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan

lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan

perundangan (ayat 4);

Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur

lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);

Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam

perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang

dipekerjakannya (ayat 6)

Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh

dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau

perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);

Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-

syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan

syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan

hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan

penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara

pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).

Sejalan dengan hal tersebut, kami berpendapat bahwa telah terjadi

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia. Pelangaran tersebut tercantum dalam Pasal 59 ayat (7) UU

No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan "Perjanjian

kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)

maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Selain itu dalam Pasal 66 ayat (4) undang undang yang sama

menyatakan bahwa dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak

terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara

pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih

menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi

pekerjaan.

Namun perlu diingat kembali, di dalam Pasal 66 UU

Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 telah

dinyatakan bahwa pekerjaan utama yang menjadi inti roda perusahaan

tidak boleh dialih dayakan. Peraturan-peraturan tersebut juga telah

membatasi penggunaan tenaga alih daya hanya dapat digunakan pada 5

jenis pekerjaan, yakni pengamanan, layanan kebersihan, transportasi,

katering dan jasa penunjang di pertambangan, sekali lagi, bukan

pekerjaan utama yang memegang peranan penting dan menjadi inti

perusahaan. Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa

pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh

digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau

kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali

untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan

proses produksi.21

Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak

berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi

beberapa persyaratan, antara lain:22

21 Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 200322 Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003

Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan

penyedia jasa tenaga kerja;

Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan

penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu

tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan

ditandatangani kedua belah pihak;

Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh;

Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan

hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan.23 Dalam hal syarat-syarat diatas tidak

terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan),

maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan

kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.24

Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

23 Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 200324 Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak

berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang

berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu

perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan

(cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh

catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha

jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha

penyediaan angkutan pekerja/buruh.”

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih

Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang

tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dalam teks UU no

13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan

pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU

tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource

umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core

business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya

(tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada

potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah

apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para

pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan

interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.25

25 R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentangKetenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan padaSeminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-

Ditambah lagi dalam proses persidangan kasus ini Manajemen juga

menyebut telah menjalankan efisiensi internal perusahaan dengan

melakukan beberapa prosedur. Atas dasar itu pihak manajemen berharap

agar majelis hakim menolak gugatan para pekerja untuk seluruhnya.

Sebelumnya, Kasubdit Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial

Kemnakertrans, Reytman Aruan menegaskan bahwa UU Ketenagakerjaan

hanya memungkinkan perusahaan untuk memperpanjang atau memperbaharui

kontrak kerja. Dua hal itu bersifat alternatif, tak bisa

digabungkan. Dengan pemahaman seperti itu, maka pekerja hanya bisa

dikontrak dengan total jangka waktu paling lama adalah tiga tahun

untuk skema perpanjangan dan empat tahun untuk pilihan pembaharuan

kontrak.26

14 oktober 2005, hlm.5.26 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b629f3ebc00/kontrak-tak-jelas–pekerja-outsourcing-menggugat Di akses pada 15 Juli 2014 pukul 13.00