HUkum Perusahaan BUMN
-
Upload
radiodeath -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of HUkum Perusahaan BUMN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional merupakan wujud pengamalan terhadap
Pancasila dan juga pelaksanaan terhadap amanat Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang bertujuan untuk
meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam rangka
mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang adil, makmur, dan
sejahtera. Pembangunan Nasional sebagai upaya meningkatkan
kualitas hidup bangsa Indonesia didalam segala aspek kehidupan
yang mencakup, aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan Negara yang dilakukan secara terencana,
terpadu, terarah, menyeluruh, dan berkelanjutan.
Bagi suatu negara, dimana negara tersebut memiliki tujuan
untuk mensejahterakan masyarakat yang hidup di wilayahnya,
maka negara tersebut membutuhkan suatu cara agar dapat
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan cara membentuk suatu badan usaha milik
negara. Badan usaha milik negara (BUMN) ini dijalankan oleh
negara sebagi suatu perusahaan yang mana seluruh atau sebagian
besar dari kepemilikan perusahaan tersebut dimiliki oleh
negara, agar segala keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan
tersebut akan menjadi keuntungan negara dan negara dapat
menjalankan salah satu tujuannya yaitu mensejahterakan
masyarakat yang berada di wilayahnya. Untuk itu, dalam
menjalankan badan usaha milik negara tersebut dibutuhkan suatu
peraturan agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan tujuan
didirikannya badan usaha milik negara tersebut, dan didalam
makalah ini selain penulis akan menjelaskan mengenai badan
usaha milik negara secara umum namun akan dikaitkan juga
dengan permasalahan yang sering terjadi di badan usaha milik
negara yang salah satunya adalah mengenai tenaga kerja
outsourcing.
BUMN merupakan salah satu wujud usaha pemerintah dalam
melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam pembukaan Undang – undang Dasar 1945 dan
lebih rinci dalam pasal 33 Uundang – Undang Dasar 1945.
Berdasarkan amanat pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945
tersebut pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan penguasaan
seluruh kekuatan ekonomi nasional melalui kepemilikan negara
terhadap unit – unit usaha tertentu terutama yang berkaitan
dengan hajat hidup orang banyak dengan maksud untuk memberi
manfaat yang sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang
seluruhnya atau sebagian besar modalnya modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003). Bentuk dari BUMN terdiri atas dua yaitu
perusahaan perseroan (persero) dan perusahaan umum (perum).
Ini dibagi berdasarkan kepemilikian negara dari BUMN tersebut,
dan untuk lebih jelasnya akan dijelaskan dalam bab berikutnya.
Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan
utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang
bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN
dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis
agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha
yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahan
listrik dan minyak, dan gas bumi. Dengan adanya BUMN
diaharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, terutama masyarakat yang berada disekitar lokasi
BUMN. Tujuan BUMN bersifat sosial antara lain dapat dicapai
melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk
membangkitkan kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan
usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerinta untuk
memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada
disekitar lokasi BUMN.
Pegawai Outsourcing akhir-akhir ini sering kali menjadi
sorotan dalam permasalahan ketenaga kerjaan, perlu diketahui
bahwa outsourcing adalah hubungan kerja dimana pekerja/buruh
yang dipekerjakan disuatu perusahaan dengan sistem
kontrak ,tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh
perusahaan pemberi kerja,melainkan oleh perusahaan pengerah
tenaga kerja.Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja
berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja
(uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga
pihak,yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga
kerja/pekerja (penyedia),perusahaan pengguna tenaga
kerja/pekerja (pengguna),dan tenaga kerja/pekerja.1
1 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra AdityaBakti,2009,hlm.74
Pelaksanaan outsourcing2 dalam beberapa tahun setelah
terbitnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan; terutama
hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang dikeluarkan
Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan dalam pelaksanaan
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Namun
demikian, pada dasarnya praktek outsourcing tidak dapat
dihindari oleh pengusaha apalagi oleh pekerja. Hal tersebut
dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan
Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, mendapat legalisasi memberlakukan praktek
outsourcing tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang oleh
undang-undang.
Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain
disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan oleh para pihak.
Pada praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang berhubungan
hukum yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penerima
2
Pengertian atau definisi mengenai outsourcing tidak ditemukan dalamUndang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lihat Rr AniWijayati, “Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain(Outsourcing) dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003,” dalam Bunga RampaiMasalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, h.66.
kerja dan pekerja outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga
pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda.
Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang
tinggi dengan harga yang serendah-rendahnya. Sedangkan
penerima pekerjaan mengharapkan kualitas barang atau jasa
yang terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi lain,
pengusaha mengharapkan pekerja agar melakukan pekerjaan dengan
sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal,
sebaliknya pekerja mengharapkan kerja yang ringan dengan
penghasilan atau upah yang tinggi.3
Yang menjadi sorotan kali ini bahwa Pegawai Outsourcing
justru sangat banyak dalam perusahaan BUMN, tentu sangat
dipertanyakan mengenai bagaimana bisa perusahaan BUMN masih
memperkerjakan seorang pegawai dengan status Outsourcing. Hal
tersebut merupakan permasalahan yang sering kali di keluhkan
oleh pekerja Outsourcing.
Kita ambil contoh di salah satu BUMN yaitu PT Telkom yang
merupakan sebuah BUMN strategis melalui anak perusahaannya, PT
Graha Sarana Duta (GSD) dianggap telah melakukan pelanggaran
hak-hak normatif pekerja, yang dapat dikategorikan sebagai3Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2, h.95.
praktik eksploitasi tenaga kerja. Sebanyak 378 pekerja security,
cleaning service dan teknik outsourcing TELKOM yang tergabung dalam
Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) afiliasi ASPEK
INDONESIA telah bekerja sejak tahun 1995 di lingkungan TELKOM.
Dengan berganti-ganti status di beberapa perusahaan
outsourcing TELKOM, pada Desember 2012 yang lalu mereka
dipaksa kembali untuk dialihkan status pekerjanya kepada mitra
outsourcing lain. 378 orang pekerja dimaksud menolak
dialihkan, karena tindakan GSD melanggar ketentuan UU.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara kita telah dapat mengetahui tujuan-
tujuan dari BUMN itu sendiri, dalam implementasinya terdapat
tujuan dari BUMN yang belum terpenuhi yang semestinya
keseluruh tujuan dari BUMN dapat dilaksanakan. Dan salah
satunya adalah mengenai karyawan dari BUMN itu sendiri. Dalam
undang-undang itu dijelaskan mengenai karyawan BUMN yang
diperkenankan untuk membentuk serikat pekerja (Pasal 87 Undang
-Undang Nomor 19 Tahun 2003), namun terdapat permasalahan
mengenai kesejahteraan mereka dan ini juga berkaitan dengan
outsourcing. Untuk itu penulis akan lebih lanjut menjelaskan
BUMN serta permasalahannya berkenaan dengan outsourcing.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi
masalahnya adalah:
1. Bagaimana perlindungan bagi pegawai outsourcing di
lingkungan BUMN dikaitkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan ?
2. Bagaimana penyelesaian kasus pada PT.Telkom selaku BUMN
berkenaan dengan pelindungan bagi karyawan Outsourcing di
PT.Telkom?
BAB II
TINJAUAN TEORI MENGENAI BUMN DAN KETENAGAKERJAAN
A. Badan Usah Milik Negara (BUMN)
1.Pengertian dan Tujuan BUMN Berdasarkan Undang – Undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
Dalam penyelenggaraan ekonomi negara Indonesia Terdapat
tiga jenis badan usaha yang berperan di dalamnya. Ketiga
jenis badan usaha tersebut adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Swasta, dan Koperasi. Ketiga
jenis badan usaha tersebut dalam menjalankan kegiatan
usahanya melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan
demokrasi ekonomi4.
Dalam sistem perekoniman nasional, BUMN ikut berperan
menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam
rangka mewujudkan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelapor
dan/atau perintis dalam sektor – sektor usaha yang belum
diminati usaha swasta. Disampin itu BUMN juga mempunyai
4 Penjelasan Umum Bagian 1 alinea 2 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
peranan strategis sebagai pelaksanaan pelayanan publik,
penyeimbang kekuatan – kekuatan swasta besar dan turut
membantu mengembangkan usaha kecil/koperasi. BUMN juga
merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang
signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan
hasil privatisasi. Pelaksanaan peran BUMN tersebut
diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor
perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan,
perkebunan, kehutanan, manufaktur,pertambangan,keuangan,
pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri,
perdagangan serta kontruksi.5
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 19 Tahun
2003 Tentang BUMN yang dimaksud dengan BUMN adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Pemahaman bahwa modal BUMN barasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan oleh adanya pemisahan kekayaan negara yang
digunakan sebagai penyertaan modal pada BUMN dengan
kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja5 Moch. Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Di Indonesia, Bandung : Pustaka, 2001,Hlm 374
Negara. Selanjutnya pembinaan dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan tersebut tidak lagi didasarkan pada
sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, melainkan
pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip –
prisnsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
BUMN sebagai badan Hukum.
Dalam teori hukum suatu organisasi atau lembaga dapat
menjadi subjek hukum sama halnya seperti manusia. Ketika ia
memenuhi persyaratan tertentu baik yang ditetapkan secara
formal dengan sistem tertutup oleh hukum positif atau
praturan perundang – undangan maupun sistem terbuka yang
dianut oleh pasal 1653 BW.
Suatu badan, perkumpulan atau badan usaha dapat berstatus
sebagai badan hukum, bila memenuhi beberapa syarat yaitu
syarat materiil (menurut doktrin). Berdasarkan syarat
materil, syarat suatu badan hukum adalah6 :
1) Adanya kekayaan yang bersifat terpisah
2) Mempunyai tujuan tertentu
3) Mempunyai kepentingan sendiri
6 Ali Rido, Badan Hukum dan kedudukan badan hukum perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan, wakaf, PT Alumni, Bandung, 2004, hlm 45
4) Adanya organisasi teratur.
Dari bunyi pasal 2 Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN didirikan untuk turut membangun perekonomian
nasional, menguasai bidang produksi yang berkaitan bagi
hajat hidup rakyat banyak demi menyelenggarakan kemanfaatan
umum bagi kesejahteraan rakyat serta mengejar keuntungan.
Dari pemahaman akan tujuan pendirian BUMN tersebut kita
dapat menyimpulkan bahwa disatu pihak BUMN diberi kewajiban
untuk memberikan sumbangan bagi penerimaan negara yaitu
BUMN harus berusaha mengejar keuntungan semaksimal mungkin
dalam kegiatan usahanya untuk memberikan deviden bagi
negara, dan disisi lain BUMN juga memilki tujuan pelayanan
masyarakat (public service) yang mengharuskan BUMN dengan
tanpa pamrih melaksanakan tugas kemanfaatan umum bagi
kesejahteraan rakyat.7
2.Bentuk Badan Usaha Milik Negara
UU No. 19 Tahun 2003 yang pada ketentuan penutupnya
mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan –
ketentuan sebagai berikut :
7 Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Huruf a UU N0. 19 Tahun 2003
a. Indonesische Bedrijvenwet (staatblaad Tahun 1927
nomor 419) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan
ditambah terakhir dengan undang – undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Usaha Negara;
b. Undang – Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang
Perusahaan Negara;
c. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1969 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerinth Pengganti Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1969 Tentang Bentuk – Bentuk
usaha negara.
Berdasarkan pada ketentuan penutup UU No. 19 Tahun 2003
tersebut maka pengaturan mengenai Badan Usaha Milik Negara
mengacu kepada satu ketentuan peraturan perundang –
undangan, yaitu Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
BUMN. Dalam Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
BUMN pada pasal 9 menyebutkan bahwa BUMN hanya terdiri dari
Persero dan Perum. Maksud pasal ini adalah semenjak
diberlakukannnya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang BUMN maka bentuk Perjan harus berubah status badan
hukumnya menjadi Perum atau Persero. Hal ini diperjelas
dengan ketentuan peralihan Undang – Undang Nomor 19 Tahun
2003 pasal 93 ayat (1) yang seluruhnya berbunyi :
“Dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak undang –
undang ini mulai berlaku, semua BUMN yang berbentuk
perusahaan jawatan (perjan), harus telah dirubah bentuknya
menjadi Perum atau Persero.”
Sejak diberlakukan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang BUMN tersebut, BUMN – BUMN di Indonesia mulai
bersiap – siap untuk melakukan penataan bentuk badan
usahanya.8 Dalam persiapan tersebut tidak hanya
mempersiapkan restrukturisasi bentuk badan usaha saja
tetapi juga harus mempersiapkan restrukturisasi pada aspek
– aspek lain dalam perusahaan yang tidak sesuai dengan
pengaturan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
BUMN.
a. Perusahaan Jawatan
Berdasarkan penjelasan instruksi presiden Nomor 17 Tahun
1967 Tentang Pengarahan dan Penyederhanaan Perusahaan
Negara ke dalam tiga Bentuk Usaha Negara, maka ciri – ciri
8 Djokosantoso Moeljono,op cit, hlm 18
pokok perusahaan negara yang berbentuk Perusahaan Jawatan
adalah sebagai berikut9 :
1) Makna usaha adalah “Public service” yang artinya
pengabdian serta pelayanan kepada masyarakat. Dalam
menjalankan usaha dan memberikan pelayanan tersebut, syarat
– syarat efisiensi dan efektifitas harus dipegang teguh.
Dalam pelayanan kepada umum atau masyarakat dilakukan
secara ekonomis (kehematan) dan manajemen yang efektif
dengan cara yang baik dan memuaskan.
2) Sebagai salah satu bagian dari susunan
Departemen/Direktorat Jendral/Pemerintah Daerah maka
Perusahaan Jawatan mempunyai hubungan hukum publik (publiek
rechtelijk verhouding). Bila ada tuntutan/dituntut atau
melakukan tuntutan, maka kedudukannya sebagai pemerintah
atau seijin pemerintah.
3) Tidak dipimpin oleh suatu direksi tetapi oleh
seorang kepala (yang merupakan bawahan suatu bagian dari
departemen/Direktorat Jendral / Direktorat/Pemerintah
Daerah
9 I.G.Widjaya, op.cit hlm 73
Bentuk perusahaan jawatan ini semenjak dikeluarkannya
undang – undang No.19 tahun 2003 tentang BUMN telah
dihapuskan dan selanjutnya bagi BUMN yang masih berbentuk
Perusahaan Jawatan dalam waktu 2 tahun semenjak undang –
undang No.19 tahun 2003 diberlakukan harus telah merubah
bentuknya menjadi Perum atau Persero.10
b. Perusahaan Umum (PERUM)
Perusahaan Umum atau Perum merupakan salah satu BUMN
yang diatur menurut Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang BUMN. Selain itu pengaturan Poerum juga mengacu
kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 1998 Tentang Perusahaan Umum.
Organ perum terdiri dari Menteri, Direksi, dan Dewan
Pengawas. Kedudukan menteri adalah sebagai organ yang
memegang kekuasaan tertinggi di perum yang mempunyai segala
wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan
Pengawas dalam batas yang ditentukan oleh Undang – Undang
BUMN dan/atau Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal
perum menetapkan kebijakan pengembangan perum yang10 Pasal 93 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003
bertujuan menetapkan arah dalam mencapai tujuan perusahaan
baik yang menyangkut kebijakan investasi, pembiayaan usaha,
sumber pembiayaannya, penggunaan hasil usaha perusahaan,
dan kebijakan pengembangan lainnya. Dewan pengawas akan
mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, maka usulan
direksi kepada menteri harus didahului dengan persetujuan
dewan pengawas.
Perum didirikan dengan peraturan pemerintah sekaligus
penetapan keputusan untuk melakukan penyertaan modal negara
ke dalam Perum. Perum memperoleh status badan hukum setelah
Peraturan Pemerintah mengenai pendirian Perum Berlaku.
Anggaran Dasar Perum ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
tentang Pendiriannya.
Pangkat dan pemberhentian Dewan Pengawas ditetapkan oleh
menteri sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang –
undangan.
c. Persero
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tentang PERSERO
dalam pasal 1 menjelaskan definisi Persero yaitu :
“Perusahaan Perseroan, untuk selanjutnya disebut
PERSERO, adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 yang berbentuk
Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1995 yang seluruh atau paling sedikit 51%
saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh Negara melalui
penyertaan modal secara langsung.”
BUMN Persero merupakan badan usaha dalam bentuk PT
seperti diatur menurut ketentuan – ketentuan kitab Undang –
Undang Hukum Dagang atau KUHD yang saham – sahamnya baik
untuk sebagian maupun seluruhnya dimiliki oleh Negara.
Setelah keluarnya Undang – Undang No. 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, dengan sendirinya bentuk PT
yang dimaksudkan adalah seperti apa yang diatur dalam UU
No. 40 Tahun 2007 menggantikan berlakunya ketentuan –
ketentuan mengenai PT yang diatur dalam KUHD.
Di dalam BUMN Persero ada yang berbentuk perseroan
terbuka. Perseroan terbuka adalah perseroan yang modal dan
jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau
persero yang melakukan penawaran umum, sesuai dengan
peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal11.
Terhadap perseroan terbuka berlaku ketentuan peraturan
perundang – undangan dibidang pasar modal (UU No. 8 Tahun
1995).
Pengertian Outsourcing.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Ketenagakerjaaan adalah hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa
kerja. Berdasarkan pengertian ketenagakerjaan tersebut dapat dirumuskan
pengertian hukum ketenagakerjaan adalah semua peraturan hukum yang
berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam
hubungan kerjaan, dan sesudah hubungan kerja. Jadi pengertian hukum
ketenagakerjaan lebih luas dari hukum perburuhan yang selama
ini kita kenal yang ruang lingkupnya hanya berkenaan dengan
hubungan hukum antara buruh dengan majikan dalam hubungan
kerja saja.
Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan telah
memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian
11 Pasal 34 UUNo.19 Tahun 2003
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang popular disebut outsourcing.
Pengertian outsourcing adalah hubungan kerja dimana
pekerja/buruh yang dipekerjakan disuatu perusahaan dengan
sistem kontrak ,tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh
perusahaan pemberi kerja,melainkan oleh perusahaan pengerah
tenaga kerja.Sistem outsourcing termasuk hubungan kerja
berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja
(uitzendverhouding).Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga
pihak,yaitu perusahaan penyedia atau pengirim tenaga
kerja/pekerja (penyedia),perusahaan pengguna tenaga
kerja/pekerja (pengguna),dan tenaga kerja/pekerja.12
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau
pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan
penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan
proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta
kreteria yang telah disepakati oleh para pihak.13
Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia
diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
12 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2009,hlm.7413 Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009, hlm 308.
tenaga kerja pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di
Indonesia diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan Nomor 13
tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perjanjian
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Kepmenakertrans No.
220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagai
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.14
Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima secara
global di negara-negara lain, bahkan Indonesia sendiri telah
mengadopsinya dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, akan tetapi disebabkan kurangnya pengawasan
pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan sistem
outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing dipakai
perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah buruh,
sehingga mengarah ke perbudakan modern.15
Berdasarkan pasal 64 Undang-undang nomor 13 tahun 2003
ditegaskan bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja
14 Ibid, hlm 33415 Leila Nagib, dikutip dari http :///www.tempo.com, “sistem outsourcing melencengdari tujuan”, di Buat Pada Tanggal 24 April 2012, di Unduh Pada Tanggal 25 Mei2013.
secara tertulis melalui dua cara,yaitu perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan,harus memenuhi ketentuan
pasal 65 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 sebagai berikut :
a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah :
1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
2) Dilakukan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan
3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan dan
4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung
a. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk
badan hukum
b. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal
sama dengan perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
c. hubungan kerja antara perusahan penerima pekerjaan dengan
pekerja/buruh diatur dalam perjanjian secara tertulis
d. Hubungan kerja tersebut butir 4 dapat dilakukan dengan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja
waktu tertentu jika memenuhi persyaratan PKWT (pasal 59
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003)
b. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi,demi
hukum hubungan kerja beralih menjadi hubungan kerja antara
perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerja/buruh yang
bersangkutan.16
2. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-undang Nomor 13 tahun
2003 diatur penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagai berikut :
a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi
Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan
penunjang dalam suatu perusahaan.Yang termasuk kegiatan
penunjang antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service),usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh16 Abdul Khakim, Op.cit,hlm 76
(catering),usaha tenaga pengaman (security),usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan,serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
b. Penyedia jasa pekerja/buruh :
1) Harus memenuhi syarat-syarat :
a) Adaya hubungan kerja antara pekerja/burh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/burh
b) Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditanda tangani
kedua pihak,melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika
memenuhi persyaratan pasal 59 Undang-undang Nomor 13 tahun
2003 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu
c) Perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat
kerja,serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
Dalam hal ini pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas
perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat kerja,serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya esuai
dengan yang berlaku di perusahaan pengguna jasa
pekerja/buruh.Perlindungan tersebut minimal harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
d) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
2) Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki
izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
c. Jika ketentuan butir a,b.1) a), b.1)b), b.1)d) dan b.2)
tidak terpenuhi,demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahan pemberi pekerjaan.
Lebih lanjut,mengenai hal ini telah diatur dalam Keputusan
menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep-101/Men/VI/2004 tentang tata cara perizinan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
BAB III
PEMBAHASAN
A. BUMN dan Outsourcing
Berdasarkan Pasal 87 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara menjelaskan bahwa :
“Karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan
perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan”
Artinya bahwa pengaturan mengenai segala hal Karyawan BUMN
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, dan selain yang diatur dalam undang-undang
tersebut maka kembali ke Anggaran Dasar dan Peraturan
Perusahaan serta Perjanjian Kerja antara BUMN dan Karyawan.
Dalam Undang-undang tidak di jelaskan secara terperinci
mengenai bagian-bagian dalam pekerjaan, namun pada pasal 56
ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa dalam perjanjian
kerja ada dua jenis yaitu perjanjian kerja untuk waktu
tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu yang tidak di
tentukan.
Untuk pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja untuk waktu yang
tidak ditentukan menurut KEPMEN NO.100 Tahun 2004 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
menegaskan dalam pasal 1 ayat 2 bahwa : “Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT adalah
Perjanjian kerja antara Pekerjaan/buruh dengan Pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Dengan
kata lain itu menyatakan bahwa PKWTT merupakan Karyawan
Tetap.
Sedangkan untu Pekerja yang berdasarkan perjanjian kerja
untuk waktu yang ditentukan (PKWT) ini sering kita kenal
sebagai pekerja kontrak. Pekerja Kontrak ada yang berasal
dari melamar kerja sendiri / tanpa dari yayasan penyedia Jasa
dan ada juga Pekerja Outsourcing.
Dimana pekerja kontrak kelak akan di berikan Surat
Perjanjian Kerja yang ditandatangani oleh pengusaha dan
pekerja yang bersangkutan. Ketentuan umum tentang PKWT
menurut Kepmenaker No.100 Tahun 2004 tentang ketentuan
pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu : Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerja tertentu.
Berdasar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Pasal 59 yang menyatakan :
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima
secara global di negara-negara lain, bahkan Indonesia sendiri
telah mengadopsinya dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi disebabkan kurangnya
pengawasan pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan
sistem outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing
dipakai perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah
buruh, sehingga mengarah ke perbudakan modern.
Hak dan Kewajiban Pegawai Outsourcing :
Pegawai Outsourcing memiliki hak dan kewajiban sebagaimana
pegawai pada lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 , bahwa setiap warga
negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Dari pasal tersebut dapat dikatakan
bahwa setiap warga Indonesia yang akan menggunakan haknya
untuk mendapatkan pekerjaan harus diberikan perlindungan
dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indoensia yang
sejahtera, adi, makmur dan merata baik materiil maupun
spiritual.
Selain pada UUD 1945, hal tentang hak bagi warga negara
Indonesia untuk memperoleh pekerjaan jelas juga diatur dalam
pasal 5 UU Ketenagakerjaan bahwa :
“Setiap Tenaga Kerja memiliki kesempatan yang sama tanpadiskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”
Begitu juga pada Pasal 6 UU Ketenagakerjaan bahwa :
“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang samatanpa diskriminasi dari perngusaha”
Dari kedua pasal tersebut mengandung arti bahwa setiap
warga negara Indonesia yang ingin bekerja seharusnya tidak
diperbolehkan untuk di diskriminasikan dalam hal perlakuan
ataupun memperoleh pekerjaan dari pelaku usaha atau dengan
nama lain Pengusaha. Tentu hal tersebut menjadi dasar untuk
para pekerja Kontrak ataupun Outsourcing yang dalam hal ini
seringkali menerima Diskriminasi dari para pengusaha.
Selain mengenai pendiskriminasian , dalam UU
Ketenagakerjaan ini juga mengatur mengenai hak dari para
pekerja, tanpa ada nya pembedaan antara PKWT dan PKWTT.
Walaupun tidak ditegaskan, namun pada pasa 54 ayat 1 huruf f
menjelaskan bahwa syarat – syarat kerja memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja. Yang kemudian pada bagian
penjelasannya diatur bahwa syarat kerja adalah hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja / buruh yang belum diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Artinya kelak menegenai hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha akan diatur dalam Perautran
Perusahaan ataupun Perjanjian Kerja ( PK ) dan / ataupun
Perjanjian Kerja Bersama ( PKB ).
Berikut 5 permasalahan yang terjadi dalam dunia kerja yang
lebih mensoroti pada pekerja Outsourcing yang terjadi baik di
swasta ataupun di BUMN sebagai berikut :
1.Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca
Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
A.Berlakunya Outsourcing Melegalkan Perdagangan dan
Perbudakan Manusia
Sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, praktik penyediaan jasa pekerja untuk
dipekerjakan di perusahaan lain sudah terjadi. Bidang-bidang
pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam), sekuriti dan
cleaning service merupakan pekerjaan yang diserahkan
perusahaan untuk dikerjakan oleh tenaga kerja dari perusahaan
lain. Praktik pelaksanaannya pun tidak berbeda dengan yang
diatur dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di Indonesia ditilik
dari sejarahnya telah dilakukan bertahun-tahun yang lampau.
B.Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan
Pekerja
Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan
perusahaan penerima pekerjaan menurut Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa beralih menjadi
hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja
untuk pekerjaan yang sifatnya berlangsung terus menerus
dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja. Hubungan hukum yang dimaksud tidak terbatas pada
pemberian upah dan pesangon ketika pekerja diputus hubungan
kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak pekerja, di
antaranya keikutsertaan pekerja dan keluarganya dalam program
Jamsostek, program perlindungan pensiun dan lain-lain.
Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan pemberi kerja
harus mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam
hal terjadi perusahaan pemberi kerja telah memberi pekerjaan
kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang tidak
berbadan hukum. Akan tetapi masalah yang sering timbul
terjadi pada masalah perjanjian kerja antara pekerja
outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang
harus berakhir karena perjanjian kerja sama antara perusahaan
pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya
telah berakhir. Akibatnya perusahaan pemberi kerja tidak lagi
mempekerjakan pekerja outsourcing dan perusahaan penyedia
jasa juga tidak mau membayar sisa upah yang diperjanjikan
dalam kontrak perjanjian kerja sama. Pada banyak kasus
seperti yang tersebut di atas bermuara pada tuntutan di
Pengadilan Hubungan Industrial. Akan tetapi hingga tingkat
kasasi pun pekerja outsourcing tidak dapat menuntut hak-
haknya yang menurut undang-undang ketenagakerjaan
kedudukannya beralih dari menjadi pekerja di perusahaan
pemberi kerja apabila perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan hubungan kerja
yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja. Kasus karyawan
koperasi Setia Kawan melawan PT Bakrie Tosan Jaya karena
buruh menuntut agar dibayarkan upah pesangon sesuai dengan
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
kepada PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena hubungan kerja
diputus secara sepihak oleh perusahaan penyedia jasanya yaitu
Koperasi Setia Kawan. Dasar pemikiran para karyawan tersebut
yang berjumlah 60 orang adalah karena diatur bahwa buruh yang
dipekerjakan melalui perusahaan penyedia jasa berubah status
hukumnya menjadi pekerja di perusahaan pengguna dengan
segala hak dan kewajibannya. Kelemahan kedudukan dan hak
pekerja outsourcing tersirat dalam Putusan Kasasi No.192
K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena
pada dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai
hubungan hukum dengan perusahaan pengguna, sehingga tidak
mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan
kerja.17
C.Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Outsourcing
Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya
dalam penerapannya banyak terkait dengan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan bidang hukum ketenagakerjaan. Bidang hukum
ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan antara
pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk
melakukan suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa.
Sedangkan fungsi Hukum Perdata terutama menata hubungan
antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian kerja
sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu
tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja
pada umumnya dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada
kepastian kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja
merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah
pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para
pekerja akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk17Ibid., h.360-361.
menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam
hal tidak ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan
kontrak kerja. Pada pelaksanaannya kontrak kerja dapat
berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut
bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan
pekerja yang selesai masa kontraknya diistirahatkan dulu
selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke perusahaan
yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat
menentukan penawaran dan mengajukan persyaratan kepada
pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja yang tersedia.
Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang
menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak
pelamar lain yang bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang
memberatkan pekerja yang ditetapkan oleh pengusaha.
D.Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing
Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan
ditandatangani oleh pekerja dengan perusahaan pemberi kerja,
akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan perusahaan
pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak
pekerja outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara
kedua perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja.
Keuntungan perusahaan penyedia jasa tersebut diperoleh dari
selisih antara upah yang diberikan perusahaan pengguna dengan
upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh
karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing
biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi
ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal tersebut pula, maka
banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan
para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau
maksimal dengan upah sesuai dengan ketentuan mengenai upah
minimum. Para pekerja outsourcing dalam hal upah ini tidak
dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab pada
satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan
mengenai upah minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha
tidak akan menerima tuntutan pekerja outsourcing untuk
disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja
yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung
kepada perusahaan pemberi kerja.
E.Pengabaian Pengembangan Kemampuan Pekerja Outsourcing
Kesulitan lain yang dihadapi oleh pekerja outsourcing
adalah peningkatan kemampuan seorang pekerja yang sulit
diperolehnya dari pengusaha. Sebab pada umumnya pekerjaan
yang dilakukan oleh pekerja outsourcing adalah pekerjaan yang
dilakukan berulang-ulang. Selain itu pengembangan kemampuan
dan karier pada pekerja outsourcing juga dibatasi oleh adanya
spesialisasi yang dilakukan perusahaan pemberi kerja sehingga
yang dihasilkan perusahaan memberi kesan kuat pada perusahaan
pengguna untuk menggunakan jasa tenaga kerja yang ada pada
perusahaan pemberi kerja.
Dari 5 permasalahan diatas tentu juga dialami para pekerja
Outsourcing di BUMN, baik secara langsung ataupun tidak
langsung, tentu hal tersebut tidak seharusnya dilakukan oleh
sebuah Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya memberikan
perlindungan serta kepastian bagi karyawan yang bekerja untuk
mereka, memang begitu banyaknya permasalahan mengenai
Outsoucing di Indonesia, dengan lambatnya tanggapan dari
pemerintah mencerminkan keperhatianannya para Tenaga Kerja
kita.
B. KASUS DAN ANALISIS
A. Profil PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA TBK18
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (TELKOM) merupakan
perusahaan penyelenggara informasi dan telekomunikasi (InfoComm)
serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap (full
service and network provider) yang terbesar di Indonesia. TELKOM (yang
selanjutnya disebut juga Perseroan atau Perusahaan) menyediakan jasa
telepon tidak bergerak kabel (fixed wire line), jasa telepon tidak
18 Johannes Simatupang, “KASUS DIBIDANG TELEKOMUNIKASI PT. TELEKOMUNIKASI
INDONESIA, TBK “, 2008, Diakses di https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CB4QFjAA&url=https%3A%2F
%2Fjohannessimatupang.files.wordpress.com%2F2008%2F09%2Fkasus-
telekomunikasi-mm-agustus-
2008.doc&ei=FvzFU7CrKZCLuATQzIHACQ&usg=AFQjCNEhhGME-1bGQYMylEpqJDMZ2pR_Hw
pada [16/07/2014]
bergerak nirkabel (fixed wireless), jasa telepon bergerak (cellular), data &
internet dan network & interkoneksi baik secara langsung maupun
melalui perusahaan asosiasi.
Sejalan dengan visi TELKOM untuk menjadi perusahaan InfoComm
terkemuka di kawasan regional serta mewujudkan TELKOM Goal 3010 maka
berbagai upaya telah dilakukan TELKOM untuk tetap unggul diantara
pemain telekomunikasi. Hasil dari kerja keras tersebut terlihat dari
jumlah pelanggan TELKOM. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2006,
jumlah pelanggan TELKOM sebanyak 48,5 juta pelanggan yang terdiri
dari: pelanggan telepon tidak bergerak kabel sejumlah 8,7 juta,
pelanggan telepon tidak bergerak nirkabel sejumlah 4,4 juta
pelanggan dan 35,6 juta pelanggan jas telepon bergerak.
Pertumbuhan jumlah pelanggan TELKOM ditahun 2006 sebesar
30,73% telah mendorong kenaikan pendapatan usaha TELKOM dalam tahun
2006 sebesar 23% dibanding tahun 2005. Saham TELKOM per 31 Desember
2006 dimiliki oleh pemerintah Indonesia sebanyak 51,19% dan pemegang
saham publik 48,81% yang terdiri dari 45,54% investor asing dan
3,27% investor lokal. Sementara itu, harga saham TELKOM di bursa
efek Jakarta selama tahun 2006 telah meningkat 71,2% dari Rp. 5.900
menjadi Rp. 10.100,-. Kapitalisasi pasar saham TELKOM pada akhir
tahun 2006 sebesar U$ 22,6 Miliar.
Hasil upaya tersebut tercermin dari market share produk dan
layanan yang unggul di antara para pemain telekomunikasi. Selama
tahun 2006 TELKOM telah menerima beberapa penghargaan baik dari
dalam maupun luar negeri, di antaranya The Best Value Creator, The
Best of Performance Excellence Achievement, Asia’s Best Companies
2006 Award dari Majalah Finance Asia.
Dengan pencapaian dan pengakuan yang diperoleh TELKOM, penguasaan
pasar untuk setiap portofolio bisnisnya, kuatnya kinerja keuangan,
serta potensi pertumbuhannya di masa mendatang, saat ini TELKOM
menjadi model korporasi terbaik Indonesia.
B. Permasalahan
Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) mendatangi PT Telkom pada bulan Februari tahun
2013. Perusahaan tersebut dianggap telah melakukan eksploitasi
terhadap buruh yang dilakukan dalam bentuk sistem kontrak
berkepanjangan, lebih dari 5 tahun, dan seharusnya demi hukum
berubah menjadi pekerja tetap. Hak-hak normatif pekerja juga tidak
dibayarkan sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, antara
lain upah di bawah UMP, tidak adanya tunjangan makan dan tunjangan
transport. Bahkan di anak perusahaan TELKOM, pekerja security
dipaksa untuk membayar biaya pelatihan kerja sebesar RP.500.000
untuk biaya sertifikat Garda Pratama, yang seharusnya menjadi
tanggung jawab perusahaan.
PT Telkom merupakan sebuah BUMN strategis melalui anak
perusahaannya, PT Graha Sarana Duta (GSD) dianggap telah melakukan
pelanggaran hak-hak normatif pekerja, yang dapat dikategorikan
sebagai praktik eksploitasi tenaga kerja. Sebanyak 378 pekerja
security, cleaning service dan teknik outsourcing TELKOM yang tergabung dalam
Serikat Pekerja Graha Sarana Duta (SEJAGAD) afiliasi ASPEK INDONESIA
telah bekerja sejak tahun 1995 di lingkungan TELKOM. Dengan
berganti-ganti status di beberapa perusahaan outsourcing TELKOM,
pada Desember 2012 yang lalu mereka dipaksa kembali untuk dialihkan
status pekerjanya kepada mitra outsourcing lain. 378 orang pekerja
dimaksud menolak dialihkan, karena tindakan GSD melanggar ketentuan
UU.
Berikut adalah 11 Eksploitasi dan pelanggaran hak-hak normatif yang
dilakukan oleh PT GSD (anak perusahaan PT Telkom)19:
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dilakukan secara terus
menerus, dan terjadi selama belasan tahun d lingkungan TELKOM.
(Pelanggaran Pasal 59 UU 13/2003)
2. Belasan tahun upah di bawah UMP/UMK.
3. Hanya sebagian kecil pekerja didaftarkan sebagai peserta
JAMSOSTEK.
19 _______, “Lakukan Eksploitasi, Buruh Tuntut PT Telkom”, 2013,
http://www.m.cuplik.com/read/ekonomi/2013/02/16/8783/lakukan-eksploitasi-
buruh-tuntut-pt-telkom.html pada [16/07/2014]
4. Upah lembur tidak sesuai UU 13/2003 dan Kepmenakertrans No.102
Tahun 2004.
5. Tunjangan uang makan dan transport yang dihilangkan secara
sepihak.
6. Pungutan paksa Rp.500.000,- untuk biaya pelatihan kerja
(Sertifikat Garda Pratama) yang seharusnya menjadi tanggung jawab
perusahaan namun dibebankan kepada para pekerja. Faktanya pekerja
security tersebut telah memiliki sertifikat SATPAM, namun GSD tetap
memungut uang dari pekerja, bahkan tanpa adanya kegiatan pelatihan
dimaksud (fiktif) namun copy sertifikatnya dapat diberikan kepada
pekerja.
7. Pelemahan/intiminidasi terhadap hak berserikat kepada anggota
dan pengurus serikat pekerja/union busting. (Pelanggaran Pasal 28 UU
21/2000).
8. PHK sepihak terhadap 378 orang pengurus dan anggota SEJAGAD.
9. Tidak membayarkan upah kepada 378 pekerja anggota SEJAGAD,
sejak Januari 2013. (pelanggaran Pasal 151 jo Pasal 155 UU 13/2003).
Sebelumnya, akibat gagalnya proses perundingan, maka pada 3 Oktober
2012 terjadi mogok kerja yang sah oleh SEJAGAD. Pada 11 Januari
2013, 5 dan 6 Februari 2013, SEJAGAD dan ASPEK Indonesia menggelar
aksi unjuk rasa di kantor TELKOM di Jalan Gatot Subroto Jakarta dan
di Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat.
Tuntutan Buruh20: 20 Ibid
1. Mengangkat 378 pekerja anggota SEJAGAD ASPEK INDONESIA menjadi
Karyawan Tetap TELKOM sesuai Pasal 59 jo Pasal 66 UU No.13 tahun
2003 jo Keputusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011, serta
mempekerjakan kembali seluruh Pengurus dan Anggota SEJAGAD di
pekerjaan dan lokasi semula.
2. Membayar upah seluruh pekerja anggota SEJAGAD ASPEK INDONESIA
sejak Januari 2013.
3. Membayar kekurangan Upah Lembur sesuai UU No.13 Tahun 2003 dan
Kepmenakertrans No.102 Tahun 2004, sejak pekerja bekerja di TELKOM.
4. Memberikan hak seluruh pekerja atas Jamsostek.
5. Membayar tunjangan uang makan dan uang transport yang tidak
diberikan sejak 2 (dua) tahun terakhir hingga saat ini.
6. Mengembalikan uang Sertifikat yang dipungut paksa dari pekerja
sebesar Rp. 500.000,-.
7. Memberikan kesempatan dan waktu kepada Pengurus dan Anggota
SEJAGAD untuk menjalankan kegiatan berserikat di waktu jam kerja.
8. Memberlakukan Struktur Skala Upah yang membedakan upah antara
pekerja baru dengan pekerja di atas masa kerja (1) satu tahun.
Selain itu, PT TELKOM juga dinilai tidak melakukan pengawasan dan
penertiban serta membiarkan terjadinya pelanggaran yang dilakukan
oleh PT SGD, hal itu berdasarkan pada aturan-aturan sebagai
berikut:
Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 Pasal 18: "Perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh DILARANG MENYERAHKAN pelaksanaan
sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh lain".
Keputusan Direksi PT Telekomunikasi Indonesia Nomor: KD.
15/HK250/CP-B0011000/2010 pasal 6 ayat (2) tentang Pedoman
Penyerahan Sebagian Pelaksana Pekerjaan Kepada Perusahaan Penerima
Pekerjaan (Outsourcing), yang tegas menyatakan: "Perusahaan penerima
pekerjaan TIDAK DAPAT MENYERAHKAN seluruh atau sebagian pekerjaan
yang diterima kepada perusahaan penerima pekerjaan lainya".
Perjanjian Pemborongan Penyediaan Jasa Outsourcing Pelayanan
Pengamanan di Lingkungan TELKOM, No: K.TEL.18/HK810/CRM-00/2012
tanggal 17 Februari 2012, Pasal 17 tentang Larangan Penyerahan
Kepada Pihak Ketiga, yang tegas menyatakan:
(1) Mitra DILARANG MENYERAHKAN pelaksanaan baik sebagian atau
seluruh pekerjaan dimaksud Pasal 3 Perjanjian ini kepada Pihak
Ketiga.
(2) Apabila ketentuan ayat 1 pasal ini dilanggar oleh Mitra, maka
TELKOM berhak secara sepihak MEMUTUSKAN Perjanjian ini, tanpa adanya
tuntutan apapun dari Mitra dan TELKOM berhak menunjuk pihak lain
untuk melanjutkan pekerjaan tersebut,
Jo Pasal 34 tentang Larangan Sub-Kontrak dan Gratifikasi: (1) Mitra
DILARANG menyerahkan pekerjaan (sub-kontrak) baik sebagian maupun
seluruhnya kepada perusahaan milik pejabat dan/atau karyawan TELKOM
atau kepada pihak-pihak manapun atau kepada siapapun yang terkait
dengan kedudukan atau tugasnya sebagai pejabat dan atau karyawan
TELKOM".
Keputusan Kepala Kepolisian RI No.24 Tahun 2007 Pasal 23 ayat
(4): "Dukungan pembiayaan pelatihan menjadi tanggung jawab
organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku."
C. Analisis Kasus
Perselisihan outsourcing di BUMN ini di proses berlanjut ke
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing
(Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi
dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
pekerja/buruh. Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan
outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan
diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing
(Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003. Dalam UU No.13/2003, yang
menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65
(terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat);
Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64
dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang
dibuat secara tertulis (ayat 1);
Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk
badan hukum (ayat 3);
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan
lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan
perundangan (ayat 4);
Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur
lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam
perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang
dipekerjakannya (ayat 6)
Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh
dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-
syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan
syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan
hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Sejalan dengan hal tersebut, kami berpendapat bahwa telah terjadi
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Pelangaran tersebut tercantum dalam Pasal 59 ayat (7) UU
No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan "Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Selain itu dalam Pasal 66 ayat (4) undang undang yang sama
menyatakan bahwa dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi
pekerjaan.
Namun perlu diingat kembali, di dalam Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 telah
dinyatakan bahwa pekerjaan utama yang menjadi inti roda perusahaan
tidak boleh dialih dayakan. Peraturan-peraturan tersebut juga telah
membatasi penggunaan tenaga alih daya hanya dapat digunakan pada 5
jenis pekerjaan, yakni pengamanan, layanan kebersihan, transportasi,
katering dan jasa penunjang di pertambangan, sekali lagi, bukan
pekerjaan utama yang memegang peranan penting dan menjadi inti
perusahaan. Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa
pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali
untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.21
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi
beberapa persyaratan, antara lain:22
21 Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 200322 Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003
Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja;
Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu
tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani kedua belah pihak;
Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan
hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan.23 Dalam hal syarat-syarat diatas tidak
terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan),
maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.24
Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
23 Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 200324 Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan
(cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh
catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.”
Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih
Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dalam teks UU no
13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan
pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU
tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource
umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core
business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya
(tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada
potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah
apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para
pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan
interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.25
25 R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentangKetenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan padaSeminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-
Ditambah lagi dalam proses persidangan kasus ini Manajemen juga
menyebut telah menjalankan efisiensi internal perusahaan dengan
melakukan beberapa prosedur. Atas dasar itu pihak manajemen berharap
agar majelis hakim menolak gugatan para pekerja untuk seluruhnya.
Sebelumnya, Kasubdit Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial
Kemnakertrans, Reytman Aruan menegaskan bahwa UU Ketenagakerjaan
hanya memungkinkan perusahaan untuk memperpanjang atau memperbaharui
kontrak kerja. Dua hal itu bersifat alternatif, tak bisa
digabungkan. Dengan pemahaman seperti itu, maka pekerja hanya bisa
dikontrak dengan total jangka waktu paling lama adalah tiga tahun
untuk skema perpanjangan dan empat tahun untuk pilihan pembaharuan
kontrak.26
14 oktober 2005, hlm.5.26 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b629f3ebc00/kontrak-tak-jelas–pekerja-outsourcing-menggugat Di akses pada 15 Juli 2014 pukul 13.00