HAMBATAN IMPLEMENTASI TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK (GOOD CORPORATE GOVERNANCE) PADA BADAN USAHA...

25
463 Hambatan Implementasi Tata...... HAMBATAN IMPLEMENTASI TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK (GOOD CORPORATE GOVERNANCE) PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) YANG BERBENTUK PERSERO Dian Cahyaningrum 1 Abstrak Due to its important role in influencing national economy, Persero as part of state enterprises should be managed based on the principles of good corporate governance. In relation with this, Law No. 19/2003 and Law No. 40/2007 had laid foundation for Persero to be handled according to those principles. This essay attempted to find out problems encountered by Persero in implementing the good corporate governance principles to avoid it from confronting bigger loss in the future. To this end, the author questioned the external relations between Persero and secondary stakeholders in terms of corporate social responsibility. Kata Kunci: Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/ GCG), Badan Usaha Milik Negara, Persero, UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. I. Latar Belakang Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyebutkan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berpijak pada Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, dibentuklah perusahaan negara yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai unit usaha yang mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. 1 Peneliti Muda Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail: [email protected].

Transcript of HAMBATAN IMPLEMENTASI TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK (GOOD CORPORATE GOVERNANCE) PADA BADAN USAHA...

463Hambatan Implementasi Tata......

HAMBATAN IMPLEMENTASI TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

(GOOD CORPORATE GOVERNANCE) PADA BADAN USAHA MILIK

NEGARA (BUMN) YANG BERBENTUK PERSERO

Dian Cahyaningrum1

Abstrak

Due to its important role in influencing national economy, Persero

as part of state enterprises should be managed based on the

principles of good corporate governance. In relation with this,

Law No. 19/2003 and Law No. 40/2007 had laid foundation for

Persero to be handled according to those principles. This essay

attempted to find out problems encountered by Persero in

implementing the good corporate governance principles to avoid

it from confronting bigger loss in the future. To this end, the

author questioned the external relations between Persero and

secondary stakeholders in terms of corporate social

responsibility.

Kata Kunci: Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/

GCG), Badan Usaha Milik Negara, Persero, UU No. 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara, dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

I. Latar Belakang

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyebutkan “bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berpijak pada Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun

1945, dibentuklah perusahaan negara yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

sebagai unit usaha yang mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.

1 Peneliti Muda Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi

(P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail: [email protected].

464 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

Adapun yang dimaksud dengan BUMN berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 19

Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh

atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara

langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Berdasarkan Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2003 Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) terdiri dari Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum

(Perum). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang

modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya

dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar

keuntungan (Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003). Sedangkan Perum adalah

BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham,

yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau

jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan (pasal 1 angka 4 UU No. 19 Tahun 2003).

Dalam perkembangannya, BUMN menjadi salah satu pelaku ekonomi

yang memiliki peran cukup penting. Di dalam Penjelasan Umum, Bagian II, UU

No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dijelaskan beberapa

peran BUMN dalam sistem perekonomian nasional, yaitu sebagai 1) penghasil

barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran masyarakat; 2) pelopor dan/atau perintis dalam sektor-

sektor usaha yang belum diminati usaha swasta; 3) pelaksana pelayanan publik;

4) penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar; 5) turut membantu

pengembangan usaha kecil/koperasi; dan 6) salah satu sumber penerimaan

negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil

privatisasi.2

Selain peran tersebut, BUMN juga memiliki peran penting untuk

mengurangi pengangguran baik secara langsung maupun tidak langsung, yang

sampai saat ini masih menjadi masalah pelik di Indonesia apalagi dalam krisis

keuangan global saat ini dimana banyak perusahaan yang melakukan pemutusan

hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya. Pengurangan pengangguran secara

langsung dilakukan melalui rekrutmen tenaga kerja, sedangkan secara tidak

langsung dilakukan melalui pemberdayaan, pembinaan, dan pengembangan

usaha mikro, kecil, dan menengah (termasuk koperasi) sehingga terciptalah

lapangan kerja baik untuk pengusaha UMKM sendiri maupun untuk angkatan

2 Privatisasi adalah penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak

lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara

dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat (Pasal 1 angka 12 UU No.

19 Tahun 2003).

465Hambatan Implementasi Tata......

kerja lainnya. Berdasarkan data, sampai saat ini UMKM telah mempekerjakan

dua pertiga dari seluruh angkatan kerja yang berjumlah 106,9 juta orang.3

Namun BUMN diragukan kemampuannya untuk dapat menjalankan

fungsi dan perannya tersebut dengan baik mengingat kondisi BUMN yang cukup

memprihatinkan. Sebagaimana dikemukakan Ibrahim, BUMN baik yang dibentuk

untuk kepentingan profit (bisnis) maupun non profit (kepentingan umum)

dipersepsikan oleh publik sebagai perusahaan yang sangat tidak efisien dan

sangat tidak efektif, amburadul, salah urus, manajemen by kuasa, dan sarat

dengan korupsi-kolusi. Hal ini dibuktikan oleh sejarah BUMN yang selalu

dijadikan “sapi perahan” atau “sumber mencari dana” bagi yang berkuasa untuk

kepentingan pribadi maupun kelompok.4

Buruknya kondisi BUMN yang berbentuk Persero tentu saja patut

disayangkan karena mengakibatkan tujuan Persero untuk mengejar keuntungan

belum tercapai dengan baik, padahal negara sangat membutuhkan dana apalagi

dalam kondisi krisis keuangan global seperti sekarang ini. Buruknya kondisi

Persero mengindikasikan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good

corporate governance/GCG) belum diimplementasikan dengan baik. Oleh karena

itu untuk memperbaiki kondisi tersebut, salah satu sasaran peningkatan

pengelolaan BUMN pada tahun 2008 adalah meningkatkan pelaksanaan tata

kelola usaha yang baik pada BUMN.5

Melalui upaya tersebut diharapkan BUMN, khususnya yang berbentuk

Persero dapat menjalankan perannya secara optimal, memberikan manfaat bagi

keuangan negara, dan mampu menjawab tantangan dan persaingan tingkat tinggi

(hyper-competition) baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Kemampuan bersaing ini penting sehubungan dengan adanya globalisasi

3 Kemal Syamsuddin (Pemerhati Kebijakan Publik dan Direktur Eksekutif Institute for National),

“Peran BUMN Mengatasi Pengangguran”, http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-

Peran-BUMN-Mengatasi-Pengangguran,1, diakses tanggal 18 Februari 2009.4 Ibrahim R, “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”, Jurnal Hukum

Bisnis, volume 26-No.1-Tahun 2007, hal. 5-14.5 BAB 20 Peningkatan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), http://www.bappenas.go.id/

index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpress/RKP%202008/

Rancangan%20Awal/Buku2/&view=Bab%2020%20-%20Narasi.pdf, diakses tanggal 20 Februari

2009

466 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

ekonomi6 dan liberalisasi perdagangan yang telah disepakati dunia internasional

seperti World Trade Organization (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA),

ASEAN Framework Agreement on Service, dan kerja sama ekonomi regional

Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation/APEC), yang mengakibatkan

kegiatan ekonomi dan persaingan bisnis di Era Globalisasi tidak mengenal batas

negara.

II. Perumusan Masalah

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003, BUMN yang

berbentuk Persero memiliki tujuan utama mengejar keuntungan. Oleh karena

itu, di tengah krisis keuangan global seperti sekarang ini Persero diharapkan

dapat menjalankan perannya dan mencapai tujuannya dengan baik mengingat

negara sangat membutuhkan dana.

Ironisnya kondisi beberapa Persero masih cukup memprihatinkan dan

justru menjadi beban bagi keuangan negara. Berdasarkan data dari Kementerian

Negera BUMN, beberapa Persero seperti PT PLN, PT Garuda Indonesia, PT

Pelni, dan PT Inhutani7 tidak menghasilkan keuntungan, melainkan menderita

kerugian sehingga negara harus memberikan modalnya. Kerugian ini

mengindikasikan Persero belum dikelola secara baik dan profesional.

Berpijak pada kondisi tersebut, sangatlah menarik untuk mengkaji

permasalahan apakah GCG untuk Persero telah diatur dengan baik dalam UU

No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

yang menjadi landasan hukumnya? Bagaimanakah pengaturannya? Dan apa

hambatan Persero dalam melaksanakannya?

6 Globaliasasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai mendunianya kegiatan ekonomi dan keterikatan

ekonomi. Kegiatan perekonomian tidak lagi mengenal batas kenegaraan, bukan lagi sekedar

internasional tapi bahkan transnasional. Transnasionalisasi kegiatan perekonomian tersebut tidak

hanya terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, melainkan meluas ke aspek produksi

dan pemasaran, bahkan sumber daya manusia. Konsekuensi dari semua ini, perekonomian antar

negara semakin berkaitan erat dengan peristiwa ekonomi di sebuah negara yang akan dengan

cepat dan mudah merambah ke negara-negara lain (Dumairy, “Perekonomian Indonesia, Jakarta:

PT Erlangga. 1996, hal. 10).7 Kinerja BUMN, http://www.kapanlagi.com/h/0000148337.html, Kamis, 14 Desember 2006, diakses

tanggal 13 Februari 2008.

467Hambatan Implementasi Tata......

III. Kerangka Pemikiran

Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)

Corporate governance dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

dengan “pengendalian perusahaan” atau “tata kelola perusahaan”, atau ada juga

yang menterjemahkan dengan “tata-pamong perusahaan”.8 Dengan demikian

good corpoorate governance (GCG) dapat diterjemahkan sebagai “tata kelola

perusahaan yang baik”.

Timbulnya GCG dipicu oleh terjadinya berbagai skandal besar yang

menimpa perusahaan-perusahaan baik di Inggris maupun Amerika Serikat pada

tahun 1980an berupa berkembangnya budaya serakah dan pengambilalihan

perusahaan secara agresif sehingga menyadarkan perlunya sistem tata kelola

perusahaan. Tata kelola ini diperlukan karena dalam suatu perusahaan selalu

terjadi pertarungan antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab kolektif, selalu

ada potensi konflik antara pemilik saham dan pimpinan perusahaan, antara

pemilik saham mayoritas dan minoritas, antara pekerja dan pimpinan perusahaan,

ada potensi mengenai pelanggaran perlindungan lingkungan, potensi kerawanan

dalam hubungan antara perusahaan dan masyarakat setempat, antara

perusahaan dan pelanggan ataupun pemasok, dan sebagainya. Oleh karena itu

pertarungan dan potensi konflik itulah yang menjadi inti pengaturan dari GCG.9

Semula paham corporate governance berkembang di negara-negara

seperti Inggris dan Amerika, namun kemudian juga berkembang di negara-negara

lain.10 Akhirnya GCG menjadi suatu konsep untuk mengelola perusahaan secara

baik di banyak negara termasuk Indonesia. Namun demikian sampai saat ini

belum ada kesamaan pengertian tentang GCG. Terkait dengan pengertian GCG,

Mishardi Wilamarta dalam bukunya yang berjudul “Hak Pemegang Saham

Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance” mengemukakan berbagai

pengertian GCG sebagai berikut:11

1. Konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian

wewenang dan pembagian beban bertanggung jawab dari masing-masing

unsur yang membentuk struktur perseroan dan mekanisme yang harus

8 “Sejarah Timbulnya Corporate Governance”, ditulis pada 9 Oktober 2007 oleh Onvalue, http://

fe.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=2109, diakses tanggal 30 Juli 2009.9 Ibid10 Ibid11 Mishardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Gover-

nance, Jakarta: UI Press, 2002, hal. 39-40.

468 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

ditempuh oleh masing-masing unsur dari struktur perseroan tersebut serta

hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan, mulai dari

RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan antar unsur-unsur dari

struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan, yaitu negara yang

sangat berkepentingan akan memperoleh pajak dari perseroan yang

bersangkutan dan masyarakat luas, yang meliputi para investor publik dari

perseroan itu, calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan.

2. perangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,

pengurus, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta para pemegang

kepentingan intern dan ekstern lainnya, sehubungan dengan hak-hak dan

kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan

mengendalikan perusahaan.

3. Proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola

bisnis dan urusan-urusan perusahaan, dalam rangka meningkatkan

kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama

mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain.

4. Seluruh sistem dari hak, proses dan pengendalian yang dibentuk di dalam

dan di luar manajemen secara menyeluruh dengan tujuan untuk melindungi

kepentingan stakeholder.

5. Keterkaitan antara kepemilikan suatu organisasi perusahaan dan

manajemen, peranan, keterkaitan dan tanggung jawab pada pihak-pihak

yang terkait langsung maupun tidak langsung pada organisasi perusahaan

yang disebut stakeholders responsibility.

6. Kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat

mendorong kinerja perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai

ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang

saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.

7. Sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan,

agar mencapai kesinambungan antara kekuatan kewenangan yang

diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya

dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan

pengaturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan

sebagainya.

Dari berbagai pengertian tentang GCG tersebut dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan GCG adalah suatu konsep untuk mengelola perusahaan

secara baik. Di dalam pengelolaan tersebut diatur struktur perusahaan; tugas,

469Hambatan Implementasi Tata......

wewenang, dan tanggung jawab dari masing-masing organ perusahaan yang

membentuk struktur perusahaan; hubungan internal antar organ perusahaan

sehingga tercipta check-balance yang baik dalam mengelola perusahaan; dan

juga hubungan eksternal perusahaan dengan stakeholder di luar perusahaan

(secondary stakeholder).

Meskipun konsep GCG beragam, namun semuanya didasarkan pada

suatu tujuan yang diorientasikan pada upaya penciptaan pengelolaan

perusahaan yang efektif dan efisien sekaligus mampu melindungi hak-hak dari

para pelaku perusahaan sehingga akhirnya terwujudlah budaya perusahaan

(corporate culture) yang sehat dan baik. Tujuan dan maksud dari GCG juga

dapat ditemukan dalam Pedoman GCG yang dikeluarkan oleh Komite Nasional

Kebijakan Corporate Governance, sebagai berikut:12

1. memaksimalisasi nilai perseroan dan nilai perseroan bagi saham dengan

cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas dapat dipercaya,

bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang

kuat, baik secara nasional maupun internasional, serta dengan demikian

menciptakan ilklim yang mendukung investasi.

2. mendorong pengelolaan perseroan secara profesional, transparan dan efisien,

serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Dewan

Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

3. Mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota

Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai

moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan

yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial Perseroan

terhadap pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun kelestarian

lingkungan disekitar Perseroan.

Terkait dengan tujuan GCG, I Ketut Mardjana mengungkapkan bahwa

Corporate governance merupakan proses dan struktur pengelolaan bisnis dan

urusan-urusan perusahaan lainnya dalam rangka meningkatkan kemakmuran

korporasi dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai

pemegang saham yang optimal dalam jangka panjang dan dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Dengan demikian corporate

governance mengandung dua aspek keseimbangan utama, yakni:13

1. Keseimbangan internal, yang mengatur hubungan antara organ-organ

perusahaan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris dan

12 Budi Agus Riswandi, “Percepatan Implementasi GCG dalam Pengelolaan BUMN: (Strategi dan

Upaya Pemberantasan Korupsi di Badan Usaha Milik Negara)”, Jurnal Keadilan, Vol. 4 No. I,

Tahun 2005/2006, hal.8-1713 I Ketut Mardjana,”Corporate Governance dan Privatisasi,” Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1,

No. 2 (Oktober-Desember 2002, hal 30-31.

470 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

Direksi. Khususnya yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur

kelembagaan dan mekanisme operasional, dan

2. Keseimbangan eksternal, yang menekankan bahwa perusahaan sebagai

entitas bisnis yang berada di tengah-tengah masyarakat hendaknya juga

memperhatikan hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder

sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Dengan

kata lain, perusahaan selayaknya menciptakan keseimbangan antara

kepentingan pemegang saham untuk mendapatkan keuntungan dan berbagai

kemanfaatan bagi stakeholder lainnya sehingga dalam jangka panjang

penyelenggaraan korporasi tidak menimbulkan benturan kepentingan

Agar GCG dapat diselenggarakan dengan baik maka ada beberapa

prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:14

a. Pertanggungjawaban (responsibility). Tanggung jawab perusahaan tidak

hanya diberikan kepada pemegang saham melainkan juga kepada

stakeholder.

b. Transparansi (transparency). Perusahaan harus menyediakan informasi yang

material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh

pemangku kepentingan.

c. Akuntabilitas (accountability). Perusahaan harus dapat

mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar

d. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness). Dalam melaksanakan kegiatannya,

perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham

dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan

kewajaran

e. Independensi (Independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG,

perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing

organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi

oleh pihak lain.

Di Indonesia, konsep GCG mulai banyak diperbincangan di Indonesia

pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi melanda Asia Tenggara

termasuk Indonesia. Dampak dari krisis tersebut, banyak perusahaan (termasuk

BUMN) berjatuhan karena tidak mampu bertahan. Salah satu penyebabnya

adalah karena pertumbuhan yang dicapai tidak dibangun di atas landasan yang

kokoh sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.15

14 Good Corporate Governance, http://one.indoskripsi.com/node/7061, diakses 27 Agustus 2009.15 Ibid.

471Hambatan Implementasi Tata......

Menyadari situasi dan kondisi yang demikian, pemerintah melalui

Kementerian Negara BUMN mulai memperkenalkan konsep GCG di lingkungan

BUMN (termasuk Persero), sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kinerja

BUMN (Persero) yang memiliki nilai aset yang demikian besar untuk mendukung

pencapaian penerimaan/pendapatan negara, sekaligus menghapuskan berbagai

bentuk inefisiensi, korupsi, kolusi, nepotisme dan penyimpangan lainnya untuk

memperkuat daya saing BUMN (Persero) menghadapi pasar global.16

IV. Pengaturan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Persero dalam

UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007

Sebagaimana telah dijelaskan, Persero merupakan salah satu jenis

BUMN dan karenanya Persero tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal

19 Juni 2003. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No. 19

Tahun 2003, Bab VI, Paragraf II, Pembentukan UU No. 19 Tahun 2003 tersebut

antara lain dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa

yang akan datang dan meletakkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip tata kelola

perusahaan yang baik (good corporate governance). Lebih lanjut Bab VI, Paragraf

III juga menyebutkan bahwa UU No. 19 Tahun 2003 juga dirancang untuk

menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan berlandasakan pada prinsip

efisiensi dan produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai (value) BUMN,

serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar

asas tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Dengan demikian, dari Penjelasan

Umum tersebut nampak bahwa UU No. 19 Tahun 2003 memberikan aturan yang

dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengelola Persero secara baik

berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, kemandirian,

akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.

Mengingat Persero berbentuk perseroan terbatas maka selain tunduk

pada UU No. 19 Tahun 2003, Persero juga tunduk pada UU No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 UU No. 19

Tahun 2003 yang menyebutkan “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan

dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Pada

tanggal 16 Agustus 2007, UU No. 1 Tahun 1995 diganti atau disempurnakan

16 Ibid

472 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana

disebutkan dalam Penjelasan Umum Paragraf II UU No. 40 Tahun 2007, salah

satu alasan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1995 tersebut adalah meningkatnya

tuntutan masyarakat akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan

prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Dengan

demikian sama dengan UU No. 19 Tahun 2003, UU No. 40 Tahun 2007 juga

telah mengakomodir tata cara pengelolaan perusahaan (termasuk Persero) secara

baik.

Pengaturan GCG baik yang ada dalam UU No. 19 Tahun 2003 maupun

UU No. 40 Tahun 2007 tidak hanya mencakup keseimbangan internal yang

mengatur hubungan antara organ-organ Persero dalam suatu struktur

perusahaan, melainkan juga keseimbangan eksternal yang menekankan

perusahaan untuk memperhatikan hubungannya dengan seluruh stakeholders

sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Selain itu

sebagai pelaksanaan dari prinsip pertanggungjawaban, UU No. 19 Tahun 2003

dan UU No. 40 Tahun 2007 juga mengamanatkan perusahaan untuk mentaati

semua peraturan perundang-undangan.17 Sebagaimana dikemukakan Haryadi

Sukamdani, tingkat ketaatan perusahaan pada peraturan perundang-undangan

merupakan salah satu indikator selain laba perusahaan untuk mengukur seberapa

jauh suatu perusahaan telah menerapkan GCG.18

Terkait dengan keseimbangan internal, UU No. 19 Tahun 2003 juncto

UU No. 40 Tahun 2007 antara lain mengatur mengenai: 1) struktur organ BUMN

yang berbentuk Persero beserta tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari

masing-masing organ; 2) hubungan antar organ Persero sehingga terciptalah

check and balance yang baik dalam pengelolaan, pengurusan, dan pengawasan

Persero; dan 3) hubungan antara Persero dengan pemegang saham.

Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007,

struktur Persero terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris. Direksi bertanggung

jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuan Persero

serta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan

Komisaris bertanggung jawab penuh atas pengawasan Persero untuk

kepentingan dan tujuan Persero, serta memberikan nasihat kepada Direksi.

17 Lihat Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2007 dan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2003, yang mengamanatkan

perusahaan untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan.18 Wawancara dilakukan dengan Haryadi Sukamdani {Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia

(APINDO)}, Laporan Hasil Penelitian tentang “Membangun Tata Kelola Perusahaan yang Baik

pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”, penelitian dilakukan pada Mei-September 2008.

473Hambatan Implementasi Tata......

Dalam melaksanakan tugasnya, baik Direksi dan Komisaris harus mematuhi

Anggaran Dasar Persero, peraturan perundang-undangan, dan wajib

melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi,

kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran

(prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik).

Selain kewajiban, UU juga mengatur larangan bagi Direksi, dan

Komisaris untuk mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun

tidak langsung dari kegiatan Persero. Mereka juga dilarang dan tidak berwenang

mewakili Persero apabila terjadi perkara di depan pengadilan antara Persero

dengan dirinya atau mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan

kepentingan Persero. Larangan lainnya adalah tidak boleh merangkap jabatan

yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dan jabatan lainnya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusus untuk Direksi juga

dilarang untuk merangkap jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/

lembaga pemerintah pusat dan daerah. Direksi dan Komisaris, dan bahkan

karyawan BUMN dilarang untuk memberikan atau menawarkan atau menerima

baik langsung maupun tidak langsung sesuatu yang berharga kepada atau dari

pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai

imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Organ lainnya yaitu RUPS juga diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2003.

Di dalam Persero, Menteri19 bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham

Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada persero

dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.

Menteri dapat memberikan kekuasaannya tersebut dengan hak substitusi kepada

perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Namun pihak

yang menerima kuasa harus mendapat persetujuan dari Menteri untuk mengambil

keputusan dalam RUPS mengenai perubahan jumlah modal; perubahan anggaran

dasar, rencana penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan,

pemisahan, serta pembubaran Persero, investasi dan pembiayaan jangka

panjang; kerjasama Persero; pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;

dan pengalihan aktiva.

Selaku RUPS atau pemegang saham mayoritas, Menteri memiliki

kewenangan yang cukup besar untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi

19 Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku

pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan

peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5 UU No. 19 Tahun 2003).

474 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

dan Komisaris. Namun demikian pengangkatan dan pemberhentian tersebut

tidak dapat dilakukan sesuka hati, melainkan harus sesuai dengan aturan yang

telah ditetapkan dalam UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007.

Secara umum, untuk dapat diangkat sebagai Direksi dan Komisaris, seseorang

harus mampu melakukan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit

atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah

menyebabkan Persero dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum

karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selain syarat

tersebut, pengangkatan seseorang menjadi Direksi, Komisaris, atau Dewan

Pengawas juga harus berdasarkan pada pertimbangan keahlian, integritas,

kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi

untuk memajukan dan mengembangkan BUMN. Khusus untuk pengangkatan

anggota Direksi dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan. Sedangkan

untuk pemberhentian Direksi dan Komisaris dapat dilakukan sewaktu-waktu,

namun dengan menyebutkan alasannya.

Sebagai alat kontrol terhadap Persero, UU No. 19 Tahun 2003 mengatur

satuan pengawasan intern, Komite Audit, dan Komite lain. Satuan pengawas

intern merupakan aparat pengawas intern perusahaan yang dipimpin oleh seorang

kepala dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama. Atas permintaan tertulis

Komisaris, Direksi memberikan keterangan hasil pemeriksaan atau hasil

pelaksanaan tugas satuan pengawasan intern. Direksi juga wajib memperhatikan

dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu

yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh

satuan pengawasan intern. Sedangkan Komite Audit wajib dibentuk oleh

Komisaris untuk membantu mereka dalam melaksanakan tugasnya. Komite

Audit tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung jawab kepada

Komisaris. Selain Komite Audit, Komisaris juga dapat membentuk komite lain

yang ditetapkan oleh Menteri.

Untuk menjadikan Persero bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan

nepotisme, UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur mengenai pemeriksaan eksternal.

Dalam hal ini pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor

eksternal yang ditetapkan oleh RUPS. Selain auditor eksternal, Badan Pemeriksa

Keuangan juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Persero sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 71 UU No. 19 tahun

2003). UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur bahwa selain organ Persero, pihak

lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan Persero.20 Ketentuan

20 lihat Pasal 91 UU No. 19 Tahun 2003

475Hambatan Implementasi Tata......

ini cukup penting agar Direksi dapat mengelola Persero secara independent,

terlepas dari campur tangan pihak mana pun.

Hal lain yang diatur dalam keseimbangan internal adalah hubungan

antara Persero dengan pemegang saham. Terkait dengan hal ini, Pasal 3 UU

No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab

secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan (Persero) dan

tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku apabila: a) persyaratan

Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b) pemegang

saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad

buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang saham

yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan

oleh Perseroan; d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun

tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan,

yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

utang Perseroan. Aturan lainnya yang mengatur hubungan Persero dengan

pemegang saham adalah Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2007 yang memberikan

hak kepada pemegang saham untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam

RUPS; menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan

menjalankan hak lainnya berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007.

Aturan lainnya yang penting dan merupakan bentuk perlindungan hukum

terhadap pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas adalah Pasal

61 dan Pasal 62 UU No. 40 Tahun 2007. Pasal 61 ayat (1) UU No. 40 Tahun

2007 memberikan hak kepada pemegang saham untuk mengajukan gugatan

terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan

Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat

keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Sedangkan Pasal 62

ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 memberikan hak kepada pemegang saham

untuk meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang

wajar apabila yang bersangkutann tidak menyetujui tindakan Perseroan yang

merugikan pemegang saham atau Perseroan berupa: a) perubahan anggaran

dasar; b) pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai

nilai lebih dari 50% kekayaan bersih Perseroan; atau c) penggabungan,

peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.

Sedangkan terkait dengan keseimbangan eksternal, UU No. 19 Tahun

2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007 mengatur hubungan eksternal antara Persero

dengan stakeholders di luar perusahaan (secondary stakeholders) seperti

476 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

pengusaha kecil; menengah; dan koperasi; dan juga masyarakat. Hubungan ini

penting yaitu selain dapat meminimalisasi atau bahkan mengantisipasi benturan

kepentingan antara Persero dengan secondary stakeholders, Persero juga

diharapkan dapat memberikan manfaat bagi secondary stakeholders khususnya

bagi masyarakat yang ada di sekitar Persero. Sebagai contoh hubungan

eksternal tersebut adalah pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan/

Persero (Corporate Social Responsibility/CSR). Secara teoretik, CSR dapat

didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para

strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar

wilayah kerja dan operasinya.20

Dalam UU No. 19 Tahun 2003 diatur bahwa dalam rangka melaksanakan

CSR, Persero dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan

pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN

Pasal 88 ayat (1). Ketentuan ini merupakan upaya untuk mencapai salah satu

tujuan BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun

2003, yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha

golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Selain itu Persero dalam

batas kepatutan juga dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan sosial

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 90 UU No. 19

Tahun 2003).

Aturan tersebut merupakan penguatan dari Kepmen BUMN No. Kep-

236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan

Program Bina Lingkungan yang dibentuk pada tanggal 17 Juni 2003. Berdasarkan

Kepmen tersebut, BUMN memiliki dua program, yaitu:

a. Program Kemitraan BUMN (PK-BUMN) dengan usaha kecil, yang

menekankan pada peningkatan kemampuan usaha kecil agar cepat mandiri.

Dalam hal ini program kemitraan menyediakan dana pinjaman atau hibah.

b. Program Bina Lingkungan (PBL) yang ditujukan untuk pemberdayaan kondisi

sosial masyarakat (community development) oleh BUMN di wilayah usaha

masing-masing. PBL disalurkan dalam bentuk bantuan untuk membantu

meringankan beban korban bencana alam, peningkatan pendidikan dan/

atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan prasarana dan

sarana umum, dan sarana rumah peribadatan.

20 Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bag. I), 17 Januari 2008, http://www.madani-

ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-bag-i/, diakses tanggal 19

Maret 2009.

477Hambatan Implementasi Tata......

Kewajiban Persero untuk melaksanakan CSR juga diatur dalam Pasal

74 UU No. 40 Tahun 2007 yang menyebutkan “Perseroan yang menjalankan

kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam

wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Adapun yang

dimaksud dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam ketentuan ini

adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi

berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang

bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun

masyarakat pada umumnya (Pasal 1 angka 3). Tanggung jawab sosial dan

lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya

Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan

dan kewajaran. UU bahkan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan bagi Perseroan yang tidak melaksanakannya.

Dengan adanya pengaturan tata kelola perusahaan yang baik dalam

UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 yang dapat dijadikan sebagai

pedoman atau landasan hukum dalam pengelolaan Persero, diharapkan Persero

benar-benar menjadi perusahaan yang sehat dan berdaya saing tinggi sehingga

benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan dapat mencapai tujuan sebagaimana

yang telah ditetapkan dalam UU No.19 Tahun 2003.

V. Hambatan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Persero

Dengan diaturnya tata kelola perusahaan yang baik dalam UU No. 19

Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 maka sudah menjadi kewajiban bagi

Persero untuk melaksanakannya. Artinya Persero harus dikelola secara baik

berdasarkan pada prinsip GCG sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun

2003 dan UU No. 40 Tahun 2007. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan

Umum Bab VI, Paragraf II UU No. 19 Tahun 2003, penerapan prinsip-prinsip

GCG tersebut sangatlah penting dalam pengelolaan dan pengawasan BUMN.

Hal ini didasarkan pada pengalaman yang membuktikan bahwa keterpurukan

ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia, antara lain disebabkan

perusahaan-perusahaan di negara tersebut tidak menerapkan prinsip-prinsip

tata kelola perusahaan yang baik (GCG) secara konsisten.21 Oleh karena itu

dengan dikelolanya Persero secara baik berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG

21 Penjelasan UU No. 19 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4297.

478 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

diharapkan Persero mampu menjalankan perannya dengan baik untuk

mensejahterakan rakyat.

Terkait dengan pengelolaan Persero, sebagaimana dikemukakan oleh

Haryadi Sukamdani beberapa Persero telah dikelola secara baik.22 Hal ini

diindikasikan dengan adanya laba yang dihasilkan. Berdasarkan data, beberapa

Persero yang memperoleh laba pada tahun 2005 adalah PT Pertamina dengan

laba Rp16,4 triliun lebih, PT Telkom Tbk Rp7,9 triliun lebih, dan PT Semen

Gresik Rp 1 triliun lebih.23 Namun berdasarkan hasil kajian dari Pusat Kajian

Kinerja Kelembagaan, Lembaga Administrasi Negara (LAN) diperoleh hasil

prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik ternyata belum tampak

pelaksanaannya dalam operasional perusahaan di beberapa BUMN (BUMN di

sini tentu juga mencakup Persero). Penyebabnya adalah pengetahuan dan

pemahaman SDM tentang prinsip-prinsip GCG masih kurang. Banyak SDM

yang belum mengikuti training, seminar, atau pun lokakarya. Selain itu penerapan

prinsip transparansi di sejumlah Persero juga terkendala dengan belum

memadainya sarana-prasarana, seperti belum tersedianya website.24

Dari sisi yuridis, belum optimalnya pelaksanaan GCG pada Persero

disebabkan sistem GCG yang ada dalam hukum Indonesia diantaranya UU No.

19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007, bersifat soft law (lunak). Tidak ada

sanksi pidana yang dijatuhkan pada Persero atau pun Perseroan Terbatas yang

tidak melaksanakan GCG. Sebagai contoh, Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun

2007 hanya menjatuhkan sanksi berupa tanggung jawab penuh secara pribadi

atas kerugian Perseroan kepada setiap anggota Direksi yang terbukti bersalah

atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal Direksi terdiri atas dua anggota

Direksi atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng

bagi setiap anggota Direksi {Pasal 97 ayat (4)}. Namun anggota Direksi tidak

dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila dapat

membuktikan {Pasal 97 ayat (5)}: a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan

atau kelalaiannya; b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-

hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c)

tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung

22 Wawancara dilakukan dengan Haryadi Sukamdani (Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indone-

sia/APINDO), op. cit.23 Kinerja BUMN, op.cit.24 Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Evaluasi Penerapan prinsip-Prinsip Good Corporate Gover-

nance pada BUMN dan BUMD, Info Kajian Lembaga Administrasi Negara, Volume 1, No. 1, Juli

2006, Jakarta: Biro POK Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2006, hal. 1-10.

479Hambatan Implementasi Tata......

atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) telah mengambil

tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian Perseroan tersebut.

Sifat hukum yang lunak seperti itu berbeda dengan di Amerika Serikat dimana

pelaksanaan GCG-nya didukung oleh perangkat hukum yang keras (hard law).

The Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX) sebagai produk hukum yang mengatur

pelaksanaan GCG mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk menjalankan

prinsip-prinsip GCG. Konsekuensinya, perusahaan yang tidak melaksanakan

GCG dapat dikenai sanksi baik perdata maupun pidana.25

Dengan sifat hukum pelaksanaan GCG yang lunak seperti di Indonesia26

menandakan GCG hanya sekedar sebagai code of conduct atau etika bisnis

semata. Mengingat hanya sebagai etika bisnis maka sebagaimana dikemukakan

oleh Amir, pelaksanaan GCG tidak bersifat memaksa (mandatory) melainkan

hanya didasarkan pada niat baik (good will) semata dari perusahaan/Persero.

Akibatnya penegakan GCG pada Persero cukup lemah. Lebih lanjut Amir juga

mengemukakan bahwa pelaksanaan GCG pada Persero juga terhambat oleh

dualisme sikap pemerintah yang tidak hanya bertindak sebagai regulator

melainkan juga operator sehingga timbullah conflict of interest dalam pengelolaan

Persero.27

Hambatan lain dari pelaksanaan GCG pada Persero adalah adanya

pengaruh atau intervensi politik yang sering terjadi dalam pengelolaan Persero.

Terkait dengan hal ini, Amir mengemukakan bahwa pertimbangan politis selalu

lebih besar jika dibandingkan dengan pertimbangan profesionalisme. Hal ini

ditunjukkan dengan ditempatkannya mantan-mantan pejabat yang tidak memiliki

kompetensi menjadi komisaris di Persero. Sebagai contoh: mantan anggota

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditempatkan menjadi Komisaris di PT.

Krakatau Steel, begitupula mantan pejabat militer ditempatkan menjadi Komisaris

di PT. Pertamina.28 Ini tentu saja menyalahi aturan yang mengamanatkan untuk

mengangkat Direksi dan Komisaris berdasarkan pada profesionalisme dan

kredibilitas yang bersangkutan. Akibatnya, Direksi dan Komisaris kurang dapat

menjalankan tugasnya dengan baik.

25 Daniri, Corporate Governance Gagal?, http://www.madani-ri.com/2008/11/06/corporate-gov-

ernance-gagal/, diakses tanggal 30 Juli 2009.26 Selain di Indonesia, sifat hukum pelaksanaan GCG yang lunak juga diterapkan di Inggris dan

Australia.27 Wawancara dilakukan dengan Amir (Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo),

Laporan Hasil Penelitian tentang “Membangun Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan

Usaha Milik Negara (BUMN)”, penelitian dilakukan pada Mei-September 2008.28 Ibid.

480 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

Ditinjau dari sisi yuridis, penunjukan/penempatan Direksi dan Komisaris

yang tidak sesuai dengan amanat UU tersebut dimungkinkan terjadi khususnya

pada Persero yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah (Persero

yang belum go public atau belum melakukan privatisasi). Sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, hal tersebut disebabkan berdasarkan Pasal 15 juncto

Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2003, kewenangan Menteri dalam pengangkatan

dan pemberhentian Direksi dan Komisaris khususnya dalam Persero yang seluruh

sahamnya dimiliki oleh pemerintah, cukup besar. Dalam Persero tersebut,

Menteri bertindak selaku RUPS, dan karenanya pengangkatan dan

pemberhentian Direksi dan Komisaris ditetapkan oleh Menteri. Dengan demikian,

meskipun pengangkatan Direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan

dan kepatutan,29 namun Menteri tetap memiliki peran dan pengaruh yang cukup

besar dalam pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris. Kondisi

ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan Menteri yang umumnya anggota suatu

partai politik memiliki kecenderungan untuk menempatkan koleganya pada posisi

strategis sebagai Direksi atau Komisaris pada suatu Persero.

Lebih lanjut amir juga mengemukakan bahwa selain pengangkatan

Direksi dan Komisaris yang tidak kompeten, pengaruh atau intervensi politik

terhadap pengelolaan Persero juga dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merugikan keuangan negara.30 Terkait

dengan KKN, berdasarkan hasil temuan dari Indonesia corruption Watch (ICW),

selama 2004-2006 ada indikasi terjadi korupsi sekitar Rp.10,484 triliun di sejumlah

BUMN. Temuan tersebut berdasarkan pada 57 kasus yang sudah terungkap

dan diduga merugikan keuangan negara. ICW mengindikasikan kerugian negara

terbesar ada di sektor keuangan yaitu perbankan dan asuransi sebesar Rp.5,3

triliun, kemudian sektor energi dan listrik sebesar Rp.3 triliun. Diantara kasus

tersebut, modus penyimpangan yang paling banyak dilakukan adalah

penggelembungan dana proyek dengan total kerugian negara sebesar Rp.4 triliun,

disamping juga manipulasi dan kredit macet yang mencapai Rp.2,87 triliun dan

Rp.2,2 triliun.31 Banyaknya kredit macet di sejumlah BUMN juga dikemukakan

oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa mayoritas

piutang yang bermasalah terdapat pada Bank BUMN, yaitu dari total Rp.56,3

29 Lihat: Pasal 16 ayat (2) UU No. 19 Tahun 200330 Ibid31 Badan Usaha Milik Negara Diduga Korupsi Rp 10 Triliun, http://www.komisiyudisial.go.id/

index2.php?option=isi&do_pdf=1&id=1483, diakses tanggal 18 Februrai 2009.

481Hambatan Implementasi Tata......

triliun, 72 persen milik BUMN.32 Terjadinya berbagai kasus KKN menandakan

prinsip accountability belum dilaksanakan secara optimal dalam pengelolaan

BUMN.

Dampak lain dari intervensi politik (politisasi) adalah maksud dan tujuan

Persero terutama dalam mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai

perusahaan kurang dapat dilaksanakan dengan baik, padahal Persero sangat

diharapkan dapat menghasilkan dana yang sangat dibutuhkan untuk mengisi

kas negara. Oleh karena itulah Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Ade Komarudin

(sekarang menjadi anggota Komisi XI DPR RI) mengemukakan bahwa kebijakan

yang dihasilkan manajemen BUMN harus diminimalisasi dari intervensi politik

agar Persero dapat melaksanakan program-programnya dengan baik untuk

melayani masyarakat dan menyumbang pendapatan negara. Begitu pula

Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy juga berpendapat politisasi pada

Persero harus dihilangkan agar tidak ada “ongkos politik” yang merugikan

Persero. Upaya yang sangat penting untuk dilakukan diantaranya adalah

meminimalkan penunjukan politik pada jajaran direksi dan meningkatkan

penunjukan profesional.33

Selain pengaruh atau intervensi politik, sebagaimana diungkapkan oleh

Aditiawan Chandra, pengelolaan BUMN (termasuk Persero khususnya Persero

yang belum go public) juga dipenuhi dengan banyaknya campur tangan baik

langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk

seperti gangguan, rongrongan, atau pun permintaan khusus diantaranya berasal

dari instansi teknis yang membawahi aspek pembinaan, pemerintah, anggota

dewan, dan masyarakat lokal pada Direksi BUMN. Akibatnya, Direksi kurang

memiliki independency dalam menjalankan tugasnya mengelola BUMN.34

Hambatan lain dalam pelaksanaan GCG pada Persero sebagaimana

dikemukakan oleh Aditiawan Chandra adalah proses penggantian biaya

penyelenggaran tugas khusus yang diberikan pada Persero untuk melakukan

pelayanan umum seringkali membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga

dapat menghambat bisnis yang dijalankan oleh Persero. Selain itu Persero

juga mengalami kesulitan untuk memisahkan proses pembukuan dari kegiatan-

32 Ibrahim R, “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”, op.cit.33 Peran Negara dan Pasar Harus Dipisah Politisasi Rugikan BUMN, Media Indonesia, 23 Juni

200534 Aditiawan Chandra (Pegawai BUMN), Mengelola BUMN dalam Kemelut Campur Tangan

Stakeholder, diarsipkan di bawah BUMN, Politik, Taktik Manajemen oleh Aditiawan, 25 Januari

2007, http://businessenvironment.wordpress.com/2007/01/25/mengelola-bumn-dalam-kemelut-

campur-tangan-stakeholders/. Diakses 18 Februari 2009.

482 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

kegiatan penugasan.35 Lamanya proses penggantian biaya dapat mengakibatkan

Persero kehilangan peluang bisnis yang diprediksi dapat menghasilkan

keuntungan karena kurangnya dana sebagai akibat biaya penyelenggaraan tugas

khusus belum diganti.

Penyelenggaraan tugas khusus tersebut sebenarnya merupakan

pelaksanaan tanggung jawab sosial Persero (corporate social responsibility)

pada masyarakat, dan karenanya Persero harus melaksanakannya dengan baik.

Namun demikian pelaksanaan tugas khusus tersebut juga harus memperhatikan

prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Hal ini disebutkan secara

jelas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU No. 19 Tahun 2003 sebagai

berikut:

“Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar

keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan

pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus

dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan

yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus

disertai dengan pembiayaan (kompensasi) berdasarkan

perhitungan bisnis atau komersial.”

Berpijak pada penjelasan tersebut maka proses penggantian biaya

penyelenggaraan tugas khusus pada Persero seharusnya dilakukan secara cepat

dan dengan perhitungan bisnis atau komersial yang tepat agar Persero dapat

menjalankan bisnisnya dengan baik.

Berbagai hambatan dalam pelaksanaan GCG pada Persero

sebagaimana yang telah dipaparkan dikhawatirkan menjadi salah satu penyebab

Persero menderita kerugian. Berdasarkan data dari Kementerian Negara BUMN,

hingga tahun 2005, dari 139 BUMN yang ada di Indonesia, sebanyak 35 BUMN

merugi. Adapun 10 Persero dengan rugi terbesar adalah PT PLN dengan kerugian

Rp 4,9 triliun lebih, PT Garuda Indonesia Rp.560,6 miliar lebih, PT MNA Rp.313

miliar, PT Danareksa Rp.182,3 miliar lebih, PT Pelni Rp.127,8 miliar lebih, PT

Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Rp.74,8 miliar, PTPN II Rp.68,3 miliar lebih,

PT Rukindo Rp.52,2 miliar, PT Posindo Rp.51,4 miliar, dan PT Inhutani I Rp.31,7

miliar.36

35 Ibid36 Kinerja BUMN, op.cit.

483Hambatan Implementasi Tata......

Kerugian tersebut tentu saja menjadi beban bagi keuangan negara dan

karenanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI pada tanggal 24 Januari

2008, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani mengungkapkan kekecewaannya karena

pada saat harga komoditas di pasar dunia meningkat, pemerintah masih harus

memberikan modal ke BUMN.37 Oleh karena itu, sangatlah penting untuk

mengatasi berbagai hambatan tersebut agar GCG benar-benar dapat

dilaksanakan dengan baik pada Persero sehingga Persero nantinya dapat

menjalankan bisnisnya dengan baik dan menghasilkan keuntungan atau dana

yang sangat dibutuhkan oleh negara.

VI. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Persero sebagai perusahaan negara merupakan salah satu pelaku

ekonomi yang memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam

pembangunan perekonomian untuk mensejahterakan rakyat. Dalam krisis

keuangan global seperti sekarang ini, Persero juga diharapkan dapat

menghasilkan keuntungan atau dana yang sangat dibutuhkan oleh negara. Agar

peran tersebut dapat dilaksanakan maka Persero harus dikelola dengan baik,

berdasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good

corporate governance/GCG) agar menjadi perusahaan yang efektif, efisien,

profesional, dan mampu bersaing di dunia bisnis baik di tingkat nasional, regional,

maupun internasional.

UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 yang menjadi landasan

hukum Persero telah memberikan aturan yang dapat digunakan sebagai pedoman

untuk mengelola Persero secara baik berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG.

Pengaturan tidak hanya mencakup keseimbangan internal yang mengatur

hubungan antara organ-organ Persero dalam suatu struktur Persero, melainkan

juga keseimbangan eksternal yang menekankan Persero untuk memperhatikan

hubungannya dengan seluruh stakeholder sebagai perwujudan dari pemenuhan

37 Lembaga Studi dan Advokasi untuk Perlindungan Aset Negara, “Surat Terbuka untuk Presiden

RI, Menteri Ekonomi, Menneg BUMN, Kebijakan Pemerintah untuk Menyehatkan BUMN

Kontradiktif”.  http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/

8507588.html, Jakarta, 28 Januari 2008. diakses 18 Februari 2009.

484 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

tanggung jawab Persero. Dalam keseimbangan eksternal diatur hubungan

eksternal antara Persero dengan secondary stakeholders diantaranya dalam

bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).

Namun demikian, pelaksanaan CSR tersebut juga harus memperhatikan prinsip-

prinsip pengelolaan perusahaan/Persero yang sehat agar Persero dapat

menjalankan bisnisnya dengan baik dan menghasilkan keuntungan/dana yang

sangat dibutuhkan oleh negara.

Meskipun ada beberapa Persero yang telah dikelola dengan baik, namun

ternyata masih ada beberapa Persero yang belum dikelola dengan baik

berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG sebagaimana diatur dalam UU No. 19

Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007. Hal ini disebabkan adanya berbagai

hambatan pelaksanaan GCG pada Persero, yaitu kurangnya pengetahuan SDM

Persero tentang GCG; sarana-prasarana Persero yang kurang memadai; GCG

tidak bersifat mandatory melainkan hanya merupakan etika bisnis yang

pelaksanaannya didasarkan pada niat baik (good will) perusahaan; dualisme

sikap pemerintah; adanya pengaruh atau intervensi politik pada Persero; dan

adanya campur tangan pihak lain dalam pengelolaan Persero. Tidak dikelolanya

Persero secara baik dikhawatirkan dapat mengakibatkan Persero menderita

rugi. Oleh karena itu berbagai hambatan tersebut perlu diatasi agar Persero

dapat dikelola dengan baik dan menghasilkan keuntungan yang sangat

bermanfaat bagi negara.

B. Saran

Kegiatan ekonomi dan persaingan bisnis di era Globalisasi tidak

mengenal batas negara, dan karenanya semua pelaku bisnis termasuk Persero

dituntut untuk memiliki daya saing yang cukup tinggi jika tidak ingin merugi dan

tersingkir dari dunia bisnis. Selain itu Persero juga dituntut untuk menjadi

perusahaan yang profesional sehingga dapat menjalankan perannya dengan

baik dan justru tidak menjadi beban bagi keuangan negara. Untuk itu Persero

harus dikelola dengan baik, dengan berpedoman pada tata kelola perusahaan

yang baik (GCG).

Sebagai wujud pelaksanaan dari GCG, Persero hendaknya terus

memperhatikan dan menjaga keseimbangan baik internal maupun eksternal.

Terkait dengan keseimbangan eksternal, meskipun Persero memiliki tujuan

utama mengejar keuntungan namun hendaknya juga melaksanakan hubungan

eksternal dengan baik, diantaranya dengan melaksanakan CSR sebagaimana

485Hambatan Implementasi Tata......

diamanatkan oleh UU. Namun demikian dalam melaksanakan CSR, Persero

hendaknya juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan

yang sehat agar dapat menjalankan bisnisnya dengan baik dan mendatangkan

keuntungan yang bermanfaat bagi negara.

Berbagai hambatan pelaksanaan GCG pada Persero perlu segera diatasi

agar Persero benar-benar menjadi perusahaan yang profesional. Untuk itu

Persero hendaknya dijauhkan dari unsur-unsur sosial-politik dan campur tangan

dari pihak manapun terhadap pengelolaan Persero. Pemilihan Direksi dan

Komisaris juga harus dilakukan secara profesional, melalui mekanisme

sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu juga

perlu ada pelatihan dan peningkatan pengetahuan tentang GCG terhadap SDM

Persero sehingga mereka benar-benar memahami GCG dan arti penting untuk

mengimplementasikan GCG pada Persero.

Berbagai kasus korupsi yang terjadi pada Persero harus segera ditangani

dan diselesaikan dengan baik. Upaya ini cukup penting karena selain dapat

memberikan shock therapy bagi koruptor untuk tidak mengulangi perbuatannya

lagi, pemberantasan dan penanganan korupsi di Persero dapat meningkatkan

kinerja Persero dan mengembalikan uang negara sehingga kerugian keuangan

negara dapat diminimalisasi.

486 Kajian Vol 14 No.3 September 2009

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Budi Agus Riswandi. “Percepatan Implementasi GCG dalam Pengelolaan BUMN:

(Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi di Badan Usaha Milik

Negara).” Jurnal Keadilan. Vol. 4. No. I. Tahun 2005/2006.

Ibrahim R. “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”.

Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26-No.1-Tahun 2007.

I Ketut Mardjana,”Corporate Governance dan Privatisasi.” Jurnal Reformasi

Ekonomi. Vol. 1. No. 2. Oktober-Desember 2002.

Laporan Hasil Penelitian tentang “Membangun Tata Kelola Perusahaan yang

Baik pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”, penelitian dilakukan

pada Mei-September 2008.

Mishardi Wilamarta. Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good

Corporate Governance. Jakarta: UI Press, 2002.

Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan. “Evaluasi Penerapan Prinsip-Prinsip Good

Corporate Governance pada BUMN dan BUMD”, Info Kajian Lembaga

Administrasi Negara. Volume 1. No. 1. Juli 2006. Jakarta: Biro POK

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2006.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

C. Surat Kabar

Media Indonesia, 23 Juni 2005

D. Internet (Karya Individual)

Aditiawan Chandra. Mengelola BUMN dalam Kemelut Campur Tangan

Stakeholder, http://businessenvironment.wordpress.com/2007/01/25/

mengelola-bumn-dalam-kemelut-campur-tangan-stakeholders/. diakses

18 Februari 2009.

487Hambatan Implementasi Tata......

Daniri, Corporate Governance Gagal?, http://www.madani-ri.com/2008/11/06/

corporate-governance-gagal/, diakses tanggal 30 Juli 2009.

Kemal Syamsuddin. “Peran BUMN Mengatasi Pengangguran”, http://

www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Peran-BUMN-Mengatasi-

Pengangguran,1. diakses 18 Februari 2009.

E. Internet (Karya non Individual)

BAB 20 Peningkatan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). http://

www.bappenas .go . id / index .php?modu le=F i lemanager&

func=download&pathext=ContentExpress/RKP%202008/

Rancangan%20Awal/Buku2/&view=Bab%2020%20-%20Narasi.pdf,

diakses 20 Februari 2009.

Badan Usaha Milik Negara Diduga Korupsi Rp 10 Tril iun. http://

www.komisiyudisial.go.id/index2.php?option=isi&do_pdf=1&id=1483.

diakses 18 Februrai 2009.

Good Corporate Governance, http://one.indoskripsi.com/node/7061, diakses 27

Agustus 2009.

Kinerja BUMN. http://www.kapanlagi.com/h/0000148337.html. Kamis, 14

Desember 2006. diakses 13 Februari 2008.

Lembaga Studi dan Advokasi untuk Perlindungan Aset Negara, “Surat Terbuka

untuk Presiden RI, Menteri Ekonomi, Menneg BUMN, Kebijakan

Pemerintah untuk Menyehatkan BUMN Kontradiktif”.  http://

www.opensubscriber.com/message/[email protected]/

8507588.html, Jakarta, 28 Januari 2008. diakses 18 Februari 2009.

Sejarah Timbulnya Corporate Governance, ditulis pada 9 Oktober 2007 oleh

Onvalue, http://fe.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=2109,

diakses tanggal 30 Juli 2009.

Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bag. I), 17 Januari 2008,

http://www.madani-ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-

sosial-perusahaan-bag-i/, diakses tanggal 19 Maret 2009.