Hasil scan desa di bali

37
A. ASAL-USUL TERBENTUKNYA DESA PAKRAMAN DAN DESA DINAS Sebelumnya menurut catatan sejarah, ± pada abad ke 8 pulau Bali ini bernama pulau Dawa (Panjang), dalam bentuk hutan yang Suas, dengan tumbuh pohon-pohon kayu yang besar-besar. Kemudian pada abad ke 8 itu, Maha Rsi Markendheya dengan pengikutnya berangkat dari gunung Raung, Jawa Timur melakukan perjalanan suci ke Timur, sampai di pulau Dawa (Panjang), kemudian merabas hutan, menebang pohon-pohon kayu yang besar-besar untuk membuka lahan pertanian dan tempat pemukiman penduduk. Pada tahap pertama beliau itu gagal karena banyak pengiringnya (pengikut beliau), kena wabah penyakit dan sebagian meninggal. Maha Rsi ' Markendheya kembali ke gunung Raung bersemadi, memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Akhirnya beliau mendapat pawisik (sabda), agar kembali lagi melanjutkan perjalanan suci itu, melakukan perpindahan penduduk, merabas hutan dengan melakukan upacara keagamaan, mendempedagingan (pancadatu). Petunjuk itu dengan adanya sinar menjurus ke Timur, tepatnya di Besukihan. Beliau menuju tempat itu dengan pengiringnya, kemudian mendirikan pura di Besukihan dengan nama pura Besakih, dan tempat itu dinamakan Besakih. Disana beliau mendirikan pura itu dengan upacara keagamaan (Hindu), dengan lengkap mendem pedagingan (pancadatu). Setelah itu beliau dengan pengiringnya selamat, terus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang diberi nama Taro. Disana merabas hutan, menebang kayu untuk membuka lahan pertanian dan tempat pemukiman. Beliau berhasii disana, kemudian membagi-bagikan tanah/lahan, terus tempat itu di beri nama desa Taro, dan desa Puwakan. Untuk mengatur pengairan pertanian, dibentuklah organisasi pengairan, merupakan cikal-bakal terbentuknya organisasi pengairan yang disebut Subak. Setelah itu beliau terus melakukan perjalan lagi ke tempat-tempat lainnya melakukan usaha yang sama. Perjalan suci Maha RsiMarkendheya'itu, diceritakan daiam sastra (Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markendheya), yang mana beliau dengan mendirikan beberapa tempat suci, salan satu diantaranya belaiau mendirikan pura gunung Raung di Taro (Sirtha, 2008 : 3 ).Selanjutnya dengan kedatangan Mpu Kuturan yang menata desa di Bali dengan mendirikan Kahyangan tiga atau Kahyangan Desa di tiap-tiap desa pakraman. Maka sampai saat ini ukuran terbentuknya desa pakraman, salah satunya harus ada Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa. Diperkirakan abad ke 16, Bali yang diperintah oleh raja keturunan Majapahit di desa ada kraman, dalam perkembangannya tidak terlepasdari berbagai pengaruh. Pusat pemerintahan kerajaan pada waktu itu di Gelgel, Kelungkung. Desa dinas dibentuk atas Pemerintahan Raja dengan tujuan politiknya, menempatkan seorang Perbekeluntuk memungut upeti di tiap-tiap desa, dan sebagai wakil Raja untuk mengawasi keadaan di desa. Begitu dapatdiuraikan secara singkat tentang terbentuknya desa pakraman dan desa dinas. Bagaimanakah hubungan kedua desa yang ada di Bali ini ?.Hal itu akan dapat dilihat berdasarkan Perda Tentang desa pakraman dan Undang- undang Pemerintahan Daerah. B. HUBUNGAN DESA PAKRAMAN DENGAN DESA DINAS Tampaknya hubungan kerja desa pakraman dengan desa dinas tidak kelihatan adanya, sebab masing-masing desa itu 6 1

Transcript of Hasil scan desa di bali

A. ASAL-USUL TERBENTUKNYA DESA PAKRAMAN DAN

DESA DINAS

Sebelumnya menurut catatan sejarah, ± pada abad ke 8 pulau Bali ini bernama pulau Dawa (Panjang), dalam bentuk hutan yang Suas, dengan tumbuh pohon-pohon kayu yang besar-besar. Kemudian pada abad ke 8 itu, Maha Rsi Markendheya dengan pengikutnya berangkat dari gunung Raung, Jawa Timur melakukan perjalanan suci ke Timur, sampai di pulau Dawa (Panjang), kemudian merabas hutan, menebang pohon-pohon kayu yang besar-besar untuk membuka lahan pertanian dan tempat pemukiman penduduk. Pada tahap pertama beliau itu gagal karena banyak pengiringnya (pengikut beliau), kena wabah penyakit dan sebagian meninggal. Maha Rsi ' Markendheya kembali ke gunung Raung bersemadi, memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Akhirnya beliau mendapat pawisik (sabda), agar kembali lagi melanjutkan perjalanan suci itu, melakukan perpindahan penduduk, merabas hutan dengan melakukan upacara keagamaan, mendempedagingan (pancadatu). Petunjuk itu dengan adanya sinar menjurus ke Timur, tepatnya di Besukihan. Beliau menuju tempat itu dengan pengiringnya, kemudian mendirikan pura di Besukihan dengan nama pura Besakih, dan tempat itu dinamakan Besakih. Disana beliau mendirikan pura itu dengan upacara keagamaan (Hindu), dengan lengkap mendem pedagingan (pancadatu). Setelah itu beliau dengan pengiringnya selamat, terus melanjutkan perjalanan menuju tempat yang diberi nama Taro. Disana merabas hutan, menebang kayu untuk membuka lahan pertanian dan tempat pemukiman.

Beliau berhasii disana, kemudian membagi-bagikan tanah/lahan, terus tempat itu di beri nama desa Taro, dan desa

Puwakan. Untuk mengatur pengairan pertanian, dibentuklah organisasi pengairan, merupakan cikal-bakal terbentuknya organisasi pengairan yang disebut Subak. Setelah itu beliau terus melakukan perjalan lagi ke tempat-tempat lainnya melakukan usaha yang sama. Perjalan suci Maha RsiMarkendheya'itu, diceritakan daiam sastra (Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markendheya), yang mana beliau dengan mendirikan beberapa tempat suci, salan satu diantaranya belaiau mendirikan pura gunung Raung di Taro (Sirtha, 2008 : 3 ).Selanjutnya dengan kedatangan Mpu Kuturan yang menata desa di Bali dengan mendirikan Kahyangan tiga atau Kahyangan Desa di tiap-tiap desa pakraman. Maka sampai saat ini ukuran terbentuknya desa pakraman, salah satunya harus ada Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa. Diperkirakan abad ke 16, Bali yang diperintah oleh raja keturunan Majapahit di desa ada kraman, dalam perkembangannya tidak terlepasdari berbagai pengaruh. Pusat pemerintahan kerajaan pada waktu itu di Gelgel, Kelungkung.

Desa dinas dibentuk atas Pemerintahan Raja dengan tujuan politiknya, menempatkan seorang Perbekeluntuk memungut upeti di tiap-tiap desa, dan sebagai wakil Raja untuk mengawasi keadaan di desa. Begitu dapatdiuraikan secara singkat tentang terbentuknya desa pakraman dan desa dinas. Bagaimanakah hubungan kedua desa yang ada di Bali ini ?.Hal itu akan dapat dilihat berdasarkan Perda Tentang desa pakraman dan Undang-undang Pemerintahan Daerah.

B. HUBUNGAN DESA PAKRAMAN DENGAN DESA DINAS

Tampaknya hubungan kerja desa pakraman dengan desa dinas tidak kelihatan adanya, sebab masing-masing desa itu

6 1

mempunyai kewenangannya sendiri-sendiri. Kepala desa yang memimpin desa dinas tidak dapat memberikan perintah kepada prajuru desa pakraman (BendesaJ, tetapi dapat melakukan hubungan yang sifatnya tradisional dan konsultatif yaitu saling membantu dan mendukung dalam melaksanakan program-program pembangunan desa.

92

Desa pakraman di Bali yang merupakan lembaga tradisional, sosia! religius, bersifat Hinduisme; berfungsi untuk menata, mengatur dan membina kehidupan sosial warga desanya, terutama dalam melaksanakan ajaran agama Hindu. Desa dinas mengakui dan menghormati eksistensi desa pakraman. Hal itu dapat dilihat dari iandasan Yuridisnya Tentang Desa Pakraman (Perda No. 3 Tahun 2001 dan Perda No. 3 Tahun 2003). Pasa! 18 B Undang-undang Dasar 1945, juga menyebutkan bahvva tentang adat-istiadat dan lembaga tradisionil tetap diakui dan dihormati dalam pemerintah Republik Indonesia.

Ketentuan lainnya dapat dilihat pada pasal 29 ayat 1 dan 2, pasal II Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, kemudian pasal 35 Undang-undang No. 5 Tahun 1979, Surat Menterl Dalam Negeri Nomor: Desa/5/1/ 29, tanggal 29 April 1979 tentang daftar nama kesatuan masyarakat hukum baik geneaiogis maupun territorial yang secara hierarkis penguasa pemerintahannya berada langsung di bawah Kecamatan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1984. Desa pakraman di Bali yang bereksistensi sebagai lembaga adat dan sekaligus sebagai lembaga keagamaan Hindu di desa, telah dapat mempertahankan eksistensinya itu secara paralel berdampingan dengan desa yang mengemban tugas penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa (desa dinas). Desa dinas memiliki otonomi dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, dan desa pakraman memiliki otonomi dalam bidang sosial agama Hindu, secara bersama-sama di bawah pengayoman negara

Dalam hal, jika terjadinya masalah di desa, kalau melihat ketentuan yang ada diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ada mengatur wewenang

kepala desa (dinas), sebagai hakim perdamaian desa. Dalam pelaksanaan tugasnya di bidang ketentraman dan ketertiban, kepala desa dapat mendamaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa. Hal itu berarti kepala desa berwenang sebagai hakim perdamaian desa. Bagaimanakah kewenangan seperti itu pada prajuru (bendesaadat) ?. Melihat kembali Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyeienggarakan kesatuan susunan kekuasaan kehakiman dan acara peradilan pengadilan sipil yaitu pasal 1 ayat 3 mengenai kekuasaan hakim perdamaian desa, adalah : " Ketentuan yang tersebut dalam ayat 1 tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 a Rechterlijke organizatid'.

Kemudian pasal 3a.Rechtelijke Organisatie (R.O) yang diundangkan dengan Stb. 1935 Nomor 102 menyebutkan :

"Perkara-perkara yang menurut adat masuk kekuasaan hakim dari goiongan kecil (hakim desa) tetap masuk

goiongannya. Kepala pihak-pihak yang berperkara diberi hak untuk memajukan perkaranya secara langsung kepada hakim

yang lain. Hakim desa menjatuhkan keputusan menurut hukum adat dan mereka tidak dapat menjatuhkan hukuman". Dari

ketentuan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa eksistensi bendesa sebagai hakim perdamaian desa masih diakui oleh

Undang-undang. Tetapi kenyataannya para bendesa adat pada umumnya tidak mengetahui bahwa dirinya mempunyai

kewenangan untuk bertindak sebagai hakim perdamaian desa, sehingga ragu-ragu dalam melaksanakan perannya untuk

menyelesaikan sengketa-sengketa adat yang terjadi di desanya. Guna menghilangkan keragu-raguan yang ada baik dikalangan

bendesa adat, kepala desa dinas, kiranya diperlukan penerangan-penerangan secara luas dan merata dari instansi

terkait (Surpha, 2003 : 49).

93

Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia, atau sebagai daerah tujuan wisata internasional, Bali tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga sangat terkenal di mancanegara. Banyak sebutan diberikan kepada Bali semata-mata untuk menggambarkan keindahan alamnya,

94

kebudayaan, adat istiadat, keramah tamahan penduduk dan sebagai nya.

Sebagai daerah tujuan wisata dunia, Pemerintah Provinsi Bali beserta masyarakat Bali senantiasa untuk menjaga supaya Bali tetap aman dan lestari dengan segala keunikannya, kendatipun berbagai pengaruh budaya luar terus menerpa Bali, sehingga para wisatawan baik domestik maupun mancanegara tetap tertarik datang ke Bali untuk menikmati keindahan alam, seni budaya, adat istiadat yang tidak ada duanya di dunia.

Pengembangan industri pariwisata di Bali akan membuka kesempatan kerja yang sangat luas di sektor Ini dan sektor pendukung lainnya, tidak hanya bagi penduduk local (masyarakat Bali), tetapi juga bagi penduduk luar Bali. Oleh karena itu Baii menjadi salah satu tujuan dari penduduk pendatang untuk mengadu nasib mencari kerja atau berusaha di Bali.

Banyaknya penduduk pendatang dari luar pulau Bali terutama pencari kerja, akan membawa dampak baik positifmaupun negative. Dampak positifnya adalah kekurangan tenaga kerja di sektor pariwisata dan sektor-sektor lainnya akan dapat terpenuhi, khususnya tenaga terampil dan profesional. Sementara di sisi lain akan membawa dampak negative yakri\ bertambahnya jumlah penduduk melampaui kemampuan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan sosial yang optimal. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan pelbagai 111 iiwanan sosial seperti: penggangguran, gelandangan, kemiskinan, dan sebagainya yang dapat memicu terjadinya pelbagai tindakh' | , ih , i l , in .

Untuk mengawasi dan mengendalikan migrasi penduduk (li| )c i lukan peraturan perundang-undangan. Secara nasional pengaturan kependudukan diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Pemerintah Provinsi Bali mengatur berdasarkan Peraturan Daerah yang selanjutnya disingkat Perda Nomor 10 Tahun 1998 tentangPengendalian Kependudukan Dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali, yang ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Provinsi Bali.

Mengenai urusan yang menjadi kewenangan daerah, dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibedakan atas urusan wajib dan urusan pilihan, urusan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan berkaitan dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Penyebaran penduduk pendatang tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi sudah menjalar ke wilayah-wilayah desa sebagai wilayah penyangga ekonomi perkotaan.

Permasalahan kependudukan bukanlah masalah yang sederhana, bila tidak tertangani dan diatur dengan baik, dapat membawa dampak negative bag\ pembangunan Bali. Kepentingan yang tujuannya positif merupakan dambaan seluruh bangsa Indonesia, namun jika ada kepentingan lain yang merugikan apalagi mau menghancurkan Bali, bukan menjadi harapan, baik bagi masyarakat Bali, bangsa Indonesia maupun masyarakat internasional.

Perubahan sosial dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Unsur-unsur kemasyarakatan yang mengalami perubahan biasanya mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perikelakuan, tanggung jawab, kepemimpinan dan sebagainya. Secara umum perubahan itu biasanya bersifat

5 11

berantai dan saling berhubungan antara satu unsur dengan unsur kemasyarakatan lainnya (Abdulsyani, 1994 : 162).

Menurut Pasal 27 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

6 11

layak bagi kemanusiaan. Ini berarti bahwa setiap warga negara Republik Indonesia memiliki hak yang sama untuk bekerja dan berusaha di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di Provinsi Bali, namun disisi lain ada kewajiban untuk mentaati peraturan yang berlaku dimana berada.

Dikeluarkannya Perda Nomor 3 Tahun 2003, bukanlah dimaksudkan untuk melarang penduduk pendatang untuk berusaha dan bekerja di Bali, akan tetapi dimaksudkan untuk menciptakan tertib administrasi dibidang kependudukan sehingga dapat mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan kuantitas, kualitas penyebaran serta daya dukung daerah Bali yang serba selaras, serasi dan berkesinambungan dalam hubungan sesama antara manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan lingkungannya serta manusia dengan Tuhan (Tri Hita Karana), yang berarti "Tiga Penyebab Kesejahteraan". Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur tersebut diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir bathin. Sebaliknya hubungan yang tidak seimbang atau yang hanya mengutamakan aspek tertentu saja diyakini akan dapat mengancam kesejahteraan hidup manusia (Pujaastawa, 2001 : 30).

Penduduk pendatang perlu ditertibkan secara lebih serius agar terdata dengan akurat sehingga dapat diawasi keberadaannya baik tempat asalnya maupun keberadaannya di Bali. Oleh karenanya IVmenntahan Kota Denpasar telah berupaya mengantisipasi kriiuingkinan gangguan ketentraman dan ketertiban di Wilayah Kota Denpasar dengan membentuk Dinas Ketentraman Ketertiban dan Sat Pol. PP Kota Denpasar melalui Pertauran Daerah Nomor 13 Tahun 2001. Keberadaan Perda tersebut antara lain untuk mengantisdipasi kehadiran

penduduk pendatang yang datang dari Daerah Kabupaten yang ada di Bali maupun antar Provinsi. Aparat penegak hukum sering kesulitan melacak keberadaan. pelaku tindak kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang berasal dari luar Bali, karena identitas pelaku serta keberadaannya di Bali tidak jeias (belum/tidakterdaftar).

Pengaturan masalah administarasi kependudukan telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Bab IV tentang Pendaftaran Penduduk Paragraf 2 Pasal 15 ayat (1) penduduk warga negara Indonesia yang pindah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melapor kepada Instansi pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah. Sedangkan ayat (2); pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdomisilinya penduduk di alamatyang baru untuk waktu iebih dari 1 (satu) tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu yang kurang dari 1 (satu) tahun. Keluarnya UU No.23 Tahun 2006, khususnya Pasal 15 ayat (2) tersebut diatas menimbulkan konflik norma dengan Kesepakatan Bersama Gubernur Dengan Bupati/ Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan Di Provinsi Bali Pasal 2 ayat (2) huruf a yaitu : melaporkan selambat-lambatnya 2 X 24 jam kedatangan penduduk pendatang yang dijamin, kepada kepala desa/lurah melalui kepala dusun/lingkungan. Denpasar adalah ibu kota Provinsi Bali, dan penduduk pulau Bali adalah mayoritas "etnis Bali yang beragama Hindhu dengan bahasa daerah Bali sebagai bahasa ibu, dan mempunyai huruf (aksara)lokal yaitu aksara Bali". Karena penduduknya mayoritas beragama Hindu, pengaruh Hindu dalam sistem sosial dan budaya Bali sangat kuat, termasuk dalam pelaksanaan tradisi, adat- istiadat dan agama. Kehidupan sosial orang Bali sangatlah khas, lebih-lebih

12 7

dengan banyaknya istilah yang diwadahi dalam suatu organisasi yang bersifat religius, seperti desa adat( desa pakraman), banjar, sekehe, dadia, subak, dan sebagainya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mempunyai peranan mengatur pergaulan hidup mereka, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

12 8

Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan Repubiik Indonesia, sedangkan hukum yang tidak tertulis yang berlaku terhadap masyarakat Bali adalah bersumberdari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang disebut dresta, yang mempunyai ruang lingkup beriakunya secara iokal. Berlakunya hukum Iokal ini berdampingan dengan hukum negara. Hal ini diakibatkan belum semua aspek kehidupan bermasyarakat berhasil diatur secara nasional dalam satu kesatuan hukum (univikasi hukum),Sebagaimana yang disampaikan oleh Von Savigny bahwa hukum merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat {volkgeist),hukm\ berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bahkan tidak berasal dari pembentuk undang-undang ( Sidharta, 1996 : 32).

Berdasarkan akan pemahaman itulah, komitmen pokok (paradigma) pembangunan Kota Denpasar dengan "visi" mewujudkan pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan Budaya, yang dijiwai oleh Agama Hindu dan dilandasi filsafat pembangunan"777 Hita Karana" maka pembangunannya hams dapat menyentuh seluruh kehidupan masyarakat yang berorientasi pada kesejahteraan, peradaban, dinamika dalam kontek Iokal, nasional, global dengan mengedepankan segi-segi positif yang selaras dengan misi pembangunan Kota Denpasar yaitu :1. Membangun pelayanan untuk meningkatkan kesejahtraan

masyarakat menuju "mokshartam jagadhita ya ca iti dharma".

2 . Mewujudkan Pemerintahan yang baik melalui supremasi hukum akuntabilitas, transparansi dan demokrasi.

3. Mepercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan ekonomi melalui sistem ekonomi kerakyatan.

4. Pemberdayaan masyarakat dilandasi budaya daerah.

5. Menumbuh kembangkan jati diri ruang dan masyarakat kota Denpasar berdasarkan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu (Samijaya, 2002:3)Untuk mewujudkan Visi dan Misi tersebut, tidaklah semudah

yang dibayangkan, karena banyak faktor yang menentukan didalamnya, dimana satu dengan yang lainnya saling ketergantungan, termasuk kesetaraan masyarakat yang diidam-;damkan,didapatkan rasa aman, tentram dan tertib. Cita-cita itu terkadang berbenturan dengan kepentingan orang-perorangan, sehingga melahirkan gangguan terhadap ketentraman dan ketertiban. Oleh karena itu Pemerintah Kota Denpasar telah berupaya mengantisipasi kemungkinan gangguan ketenteraman dan ketertiban di wilayah Kota Denpasar dengan membentuk Dinas Ketentraman Ketertiban dan Sat Poi. PP Kota Denpasar melalui peraturan Daerah Nomoor 13 Tahun 2001. Keberadaan Perda tersebut antara lain juga untuk mengantisipasi penduduk pendatang, baik yang datang dari daerah kabupaten yang ada di Bali maupun kehadiran penduduk pendatang lintas kota/provinsi.

Masalah kependudukan adalah suatu problem yang menyangkut segi-segi yang luas atau serba dimensi, baik bidang demografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, kesehatan dan sebagainya. Dalam memecahkan masalah kependudukan yang tidak boleh dilupakan adalah peranan hukum, sebagaimana disampaikan oleh Han Kelsen karena hukum itu tak lain "merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang mentaatinya sebagai suatu keharusannya (Hanifa, 1976:45). Penanganan masalah kependudukan merupakan sikap terprogram karena melihat banyaknya permasalahan lingkungan yang disebabkan adanya pembangunan yang meningkat. Peningkatan ini apabila tidak dikendalikan akan memberikan dampak yang komplek yaitu pencemaran tanah, lingkungan,

9 15

erosi dan banjir. Disamping itu hal ini juga akan berimbas kemacetan lalu lintas yang merupakan rangkaian gangguan lingkungan yang bersumber dari kepadatan penduduk, terutama dengan banyak kehadiran penduduk pendatang.

10 15

Peningkatan urbanisasi dan migrasike kota akan berdampak terhadap pemadatan penduduk, kepadatan pemukiman yang tidak terkendali, kekacauan tata ruang, polusi karena limbah merupakan proses yang semakin merusak kualitas lingkungan perkotaan. Permasalahan yang menyangkut kependudukan tidak semata-mata terkait dengan tersedia iapangan pekerjaan, tempat dlmana dia harus berteduh tetapi juga akan menyangkut baginya tersedia makanan, perumahan, pakaian, Iapangan kehidupan, tersedianya Iapangan pekerjaan sesuai dengan tingkat kemakmuran yang dikehendaki oleh para pembangun bangsa pada sebelum kemerdekaan. Masalah kependudukan saat ini merupakan dilema bagi Daerah Provinsi Baii, karena itulah oleh Pemerintah Provinsi Bali membentuk Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor: 10 Tahun 1998 Tentang Pengendalian Penduduk daiam wilayah Provinsi Bali, dimana daiam Pasal 1 huruf e disebutkan bahwa : penduduk adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan jumlah, ciri-ciri utama, pertumbuhan, penyebaran, mobilitas, penyebaran kualitas, kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, soaial budaya, agama serta lingkungan penduduk tersebut. Untuk semua itu hendaknya ada keserasian hubungan antara sesama manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan serta manusia dengan Tuhan, sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana { Surpha, 1995 : 53).

Masalah kependudukan merupakan suatu hal yang senantiasa mendapat perhatian dari masa- kemasa, juga pada masa dahulu sebelum orang tahu mempergunakan statistik secara teratur serta memahami akan kegunaannya, sudah ada keinginan untuk mengetahui jumlah penduduk, dan ada beberapa alasan untuk mengetahui keadaan penduduk yaitu alasan politik, ekonomi dan alasan sosial budaya.

Bali dan khususnya Kota Denpasar sebagai daerah pariwisata dan daerah industri kecil mempunyai daya tariktersendiri, dan kodisi seperti itu menawarkan berbagai macam impian bagi pencari kerja dalam menopang kehidupan. Terkadang yang paling memprihatinkan bahwa seorang datang ke Bali hanya untuk membuat Bali tidak aman dengan dalih mencari orang-orang yang menentang keyakinan agamanya, sehingga terjadiiah "Tragedi Bom Baii I "pada tanun 2002 tepatnya pada tanggal 12 Oktober 2002 di Legian, Kuta, Kabupaten Badung.

Pengaruh kehadiran penduduk pendatang tidaklah bisa dilepaskan dari meningkatnya jaringan industri pariwisata, pembangunan listrik, jaringan telekomunikasi yang semakin meluas, hadirnya pusat-pusat perbelanjaan seperti "swalayan" yang semuanya itu menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Hadirnya para pencari kerja yang sebagian besar datang dari luar Bali dengan memunculkan pemukiman-pemukiman baru, menjadlkan semakin menyusutnya areal per-subak-an yang telah diubah menjadi pemukiman. Oleh karenanya oleh Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Perda Nomor: 10 tahun 1998 tentang "Pengendalian Kependudukan Dalam Wilayah Provinsi Daerah Bali ".

Upaya peningkatan ketertiban di bidang kependudukan khususnya mengenai bertambahnya penduduk pendatang, diperlukan koordinasi antara desa pakraman dengan desa dinas, dimana dalam Perda disebutkan bahwa: upaya, pengaturan, pengendalian perkembangan kependudukan daerah Bali tetap didasarkan atas kesadaran, rasa tanggung jawab dan secara sukarela dengan memperhatikan nilai-nilai agama, Tri Hita Karana, adat-istiadat, lembaga adat, norma sosial dan kesusilaan dalam wilayah {desa/ banjaradat).

11 17

Berdasarkan penjelasan umum diatas, dapat dikatakan dalam mengendalikan penduduk pendatang persus perkembangannya, hendaknya memperhatikan nilai-nilai agama, 777 Hita Karana dan sebagainya, dalam mana hal tersebut diaplikasikan dalam pasal 11 Undang-undang No: 10 tahun 1998 menyatakan :

12 17

r1. Setiap penduduk mempunyai hak dan kesempatan yang

seluas-luasnya untuk peran serta dalam upaya perkembangan kependudukan.

2. Peran serta sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dilakukan melalui lembaga swadaya dan organisasi masyarakat "psuka dukaan banjar'pvnak swasta dan perorangan secara sukareia.

Keteriibatan desa pakramandan desa dinas ini memiliki peranan yang cukup strategis dan perlu kerja sama (koordinasi), karena bagaimanapun desa pakraman'dan desa dinas khususnya merupakan suatu lembaga yang sangat dekat dengan masyarakatnya, oleh karenanya desa pakraman yang paling awal mengetahui kehadiran dari pertamanya kehadiran penduduk yang baru.

Dalam mengantisipasi perkembangan dan atau kehadiran dari penduduk pendatang, maka sangat diperlukan perhatian dalam ha! pelayanan yang efektif dalam setiap jenjang, juga dengan mengkoordinasikan pelaksanaan dengan cara koordinasi (kerja sama) antara desa pakraman dengan desa dinas. Semua itu bisa terwujud melalui pembentukan pola hubungan dan penanganan penduduk yang seragam, melalui mekanisme yang telah disepakati antara desa pakraman dan desa dinas. Dengan memberikan kewenangan pada masing-masing dalam arti pembagian tugas dan wewenang antara desa pakraman dengan desa dinas yang dikoordinasikan lewat institusi Majelis Desa Pakraman dengan Badan Permusyawaratan Desa ( BPD).

Untuk menghindari melebarnya permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan batasan lingkup masalah-masalah yang akan dibahas, yaitu tentang tugas dan wewenang dari desa pakraman dan desa dinas, terutama meliputi pengendalian penduduk

pendatang dengan suatu persyaratan secara manusiawi, serta kerja sama antara desa pakraman dengan desa dinas dalam penanganan kehadiran penduduk pendatang. Apa yang diisyaratkan Perda Nomor : 10 Tahun 1998 Tentang Pengendalian Penduduk dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali, harus juga tetap diperhatikan. Untuk lebih evektif dan eves/en maka peiaksaan Peraturan Daerah dimaksud periu mengatur dengan lebih rinci lagi.tentang penduduk pendatang yang menetap, penduduk pendatang pencari kerja serta penduduk tanpa pekerjaan.

Bahwa semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin menambah beban bagi banjar/desa pakraman) setempat, terutama yang berkait masalah keamanan, lingkungan hidup, lahan yang tersedia, dan kepentingan desa pakraman dengan kepentingan bangsa secara keseluruhan agar tetap terjadi keseimbangan lahir dan bathin.

Bahwa dalam upaya pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk tersebut diatas dipandang perlu untuk menerapkan pengendalian kependudukan Provinsi Bali dengan Peraturan Daerah. Kehadiran penduduk pendatang, yang notabeneakan mempengaruhi dari seluruh aspek kehidupan masyarakat Bali dengan kultur budaya dan adat istiadat yang cukup ketat dalam penerapannya. Perpindahan/ mobilitas penduduk baik berupa mobilitas permanent maupun non permanent, akan berpengaruh terhadap daerah yang ditinggalkan maupun daerah yang didatangani. Pengaruh yang lebih besar akan dihadapi oleh daerah penerima baik menyangkut aspek ekonomi, maupun budaya, karena interaksi antara penduduk pendatang maupun penduduk asli, memerlukan proses yang tidak sedikit memakan waktu dan pikiran.

1913

Salah satu isu yang sedang berkembang dimasyarakat Kota Denpasar adalah adanya indikasi perpindahan (migran) penduduk yang semakin besar setelah Bom Bali. Indikasi semacam ini terjadi terutama akibat kondisi keamanan diluar Bali yang relative tidak aman, disamping untuk memproleh pekerjaan sangatlah sulit. apalagi

1914

Dengan ditingkatkannya kwalitas mutu " udara ambient ", kwalitas baku mutu air dan menurunnya prosentase kerusakan trumbu karang, disertai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup, sudah bisa diprediksi apa yang diagendakan oleh Pemerintah Kota Denpasar akan terwujud.

Arah kebijakan pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan iingkungan dan mengajegkan Kota Budaya, adalah tidak lain untuk memberikan kesadaran masyarakat agar perduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol sosial dalam memantau kwalitas lingkungan. Untuk mewujudkan semua itu oleh Kota Denpasar melakukan kebijakan umum yang meiiputi :

Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan hidupakibat kegiatan pembangunan dengan bertambahnya kehadiranpenduduk pendatang.

Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup. Meningkatkan informasi penyebaran data dan lingkungan.

2.5. Lokasi PenelitianYang dijadikan lokasi penelitian ini adalah berorientasi dalam

tiga dimensi wajah dan keberagaman penduduk dari suatu desa pakraman maupun desa dinas. Adapun kreteria yang dipergunakan untuk menentukan suatu desa pakraman dan desa dinas menjadi obyek adalah :1. Keberagaman dari penghuninya atau warga masyarakatnya

baik yang beragama Hindu maupun yang " Non Hindu " dipilih lokasi pada Desa Dinas/Perbekelan Wongaya.

2. Kemungkinan dalam satu Desa Dinas ada dua Desa Pakraman, dipilih lokasi Di Desa /Perbekelan Peguyangan Kangin, dan Kelurahan Penatih.

3. Desa Dinas maupun Desa Pakraman yang keberadaannya termasuk lingkungan Pariwisata, hunian dari Desa yang bersangkutan dihuni oleh sebagian wisatawan Manca Negara, dengan mengambil lokasi di Desa/Kelurahan Sanur.

BAB IIIKOORDINASI DESA PAKRAMAN DAN

DESA DINAS

3.1. Susunan Organisasi Desa DinasIstilah Pemerintahan Desa yang disebut Perbekelan itu

digunakan sampai jaman lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, undang-undang tersebut menata pemerintahan di tingkat Desa dan Kelurahan. Bagi Desa yang masih otonom Kepala Pemerintahan desa dipilih oleh warga Desa yang berdomisili di Desa tersebut. Hasil pemilihan yang menghasilkan Kepala Desa itu memiliki masa jabatan 8 tahun. Sedangkan untuk Kelurahan, kepala kelurahannya ditunjuk oleh Bupati atau Wali Kota. Jadinya UU Pemerintahan Desa tersebut tidak mengatur dan mengitervensi desa adat.

Hampir di-seluruh tanah airtata pengaturan kehidupan di desa-desa mempunyai persamaan yaitu memiliki sifat otonomi dalam arti mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selanjutnya berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 94 disebutkan, bahwa di Desa dibentuk Pemerintahan Desa dan Perwakilan Desa yang merupakan bagian dari Pemerintahan Desa. Hal penting mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Pengertian badan permusyawaratan dapat dijumpai dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dimana tercantum adanya kalimat"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

46 15

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bagian umum bab II tentang pokok-pokok pikiran dalam "Pembukaan" pada nomor 3 dijelaskan:

46 16

"Pokok yang ketiga yang terkandung dalam pembukaan adalah Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan permusyawaratan/ perwakilan. Oleh karena itu sistem Negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan".

Kemudian asas permusyawaratan/perwakilan ini sebenarnya merupakan pelaksanaan pemerintahan rakyat. Dimana rakyat menunjukwakili-wakilnya untuk duduk dalam suatu badan perwakilan rakyat, untuk membawakan aspirasi dan kehendak rakyat, dimana badan ini nantinya akan mempunyai peranan penting dalam menentukan soal-soal kenegaraan.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan, maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaha Daerah. Pengertian Badan Permusyawaratan Desa menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tidak diatur secara rinci apa yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa. Bahwa BPD sebagai wadah permusyawaratan yang terdiri dari pemuka masyarakat yang ada di-desa, yang berfungsi melestarikan adat istiadat, membuat, menyelesaikan peraturan desa (perdes), menyerap, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaan pembangunan desa dan pelayanan kepada masyarakat desa.

Dengan demikian BPD merupakan wahana demokrasi untuk menyerap aspirasi masyarakat, menyerap permasalahan yang ada, memberi solusi, jalan pemecahan dan pelaksanaan pembangunan desa berdasarkan potensi yang ada.

Mengenai Pengertian Pemerintahan Desa telah diatur, sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 202 ayat 1,2 dan 3 disebutkan bahwa:

1. Pemerintahan Desa terdiri dari atas Kepala Desa dan Perangkat Desa.

2. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.

3. Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

Dimaksud dengan perangkat desa lainnya dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu kepala desa yang terdiri dari sekretaris desa, pelaksana teknis Iapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan seperti kepala dusun atau sebutan lain. Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan pegawai negeri sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundang-undangan. Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat 1 dipilih langsung oleh dan dari penduduk warga Negara Republik Indonesia. Tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada peraturan pemerintah. Calon Kepala Desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa sebagaimana tersebut diatas ditetapkan sebagai kepala desa.

Tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah :1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa.2. Membina kehidupan masyarakat desa.3. Membina perekonomian desa.4. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa5. Mendamaikan perselisihan masyarakat desa.6. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat

menunjuk kuasa hukumnya.

Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Kepala Desa (Perbekel) wajib bersikap dan bertindak adil, tidak diskriminatifserta tidak mempersulit dalam memberikan

1748

pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan bagi Kepala Desa (Perbekel) dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD. Kepala Desa (Perbekel) dapat diberhentikan

1848

sementara oleh Bupati atas usul BPD dalam hal yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana yang perkaranya daiam proses pengadilan sesuai yang diatur dalam pasal Pasal 17 ayat (3) huruf b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Selama Kepala Desa (Perbekel) diberhentikan sementara, tugas sehari-hari dilakukan oleh pejabat kepala desa. Bupati atas usui BPD, mencabut keputusan pemberhentian sementara dalam hal Kepala Desa yang bersangkutan tidak dijatuhi pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat Banding menetapkan Kepala Desa (Perbekel) yang bersagkutan dijatuhi pidana, sedang yang bersangkutan melakukan upaya banding atau kasasi, paling lama 6 (enam) bulan sejak Putusan Pengadilan dimaksud, BPD mengusulkan kepada Bupati untuk memberhentikan sementara. Apabila setelah proses pengadilan tidak dijatuhi pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Kepala Desa (Perbekel) bersangkutan dikembalikan haknya dan dipulihkan nama baiknya. Kepala Desa (Perbekel) diberhentikan sesuai bunyi Pasal 17 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 karena :1. Meninggal dunia2. Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri3. Tidak lagi memenuhi syarat dan atau melanggar sumpah

atau janji4. Berakhir masa jabatan dan telah dilantik kepala desa yang baru5. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau norma hidup dan berkembang dimasyarakat.

Kepala Desa (Perbekel) yang meninggalkan tugas tanpa keterangan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dapat diberhentikan oleh Bupati atas usul BPD. Kepala Desa yang tidak menjalankan tugas dan kewajibannya karena sakit atau mengalami kecelakaan sampai dengan 6 (enam) bulan berturut-turut, Bupati menunjuk Sekretaris Desa atau perangkat desa lainnya untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai Kepaia Desa (Perbekel). Apabila berdasarkan keterangan dokter atau tim peguji kesehatan yang dibentuk Bupati bahwa Kepala Desa (Perbekel) sebagaimana dimaksud tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya, Bupati dapat memberhentikan yang bersangkutan dan menetapkan Pejabat Kepala Desa atas usul BPD. Kepala Desa dari Pegawai Negeri Sipil dan Anggota TNI/POLRI yang belum berakhir masa jabatannya tidak dapat diberhentikan dengan alasan bahwa yang bersangkutan memasuki masa pensiun dan Kepala Desa (Perbekel) dari Pegawai Negeri Sipil atau Anggota TIN/POLRI yang berhenti atau diberhentikan oieh Bupati, dikembalikan ke instansi induknya. Kemudian Pejabat Kepala Desa (Perbekel)dWantik Bupati atau pejabat yang ditunjuk, masa jabatannya paling lama 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelantikan.

Mengenai Pemerintahan Desa adalah pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa dan Badan Pemusyawaratan Desa. Secara struktur organisasi dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, Pemerintahan Desa merupakan organisasi Pemerintahan terendah dibawah Camat, yang memiliki otonomi sendiri didaiam mengurus dan menyelenggarakan rumah tangganya. Pemerintahan desa di Bali terbagi menjadi dua, pertama yaitu Desa Adat merupakan pemerintahan tradisional dan bersifat otonom, tidak memiliki hubungan keatas, melainkan kebawah yaitu masyarakat desa itu sendiri, yang kedua adalah Pemerintahan Desa Dinas, yang

19 51

merupakan subsistem dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan Nasional, yang memiliki hubungan vertikal keatas kepada kecamatan, kabupaten, provinsi dan pemerintahan pusat, serta mempunyai hubungan vertikal kebawah yaitu kepada banjar-banjar dinas untuk selanjutnya sampai kepada warga masyarakat desa dinas yang bersangkutan.

20 51

Adapun kewenangan yang dimiliki oleh desa berdasarkan Pasal 206 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-

usul desab. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa

c. tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/ atau pemerintah kabupaten/kota

d. urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa

Berdasarkan kewenangan desa dalam Pasa! 206 tersebut, maka kewenangan berdasarkan hak asal-usul dilimpahkan secara keseluruhan sebagai urusan rumah tangga desa, mengingat urusan tersebut sudah ada sejak adanya desa, akan tetapi kewenangan yang lain dan tugas pembantuan, dimana tergantung pada pemberi tugas pembantuan atau tergantung dari sisa kewenangan yang kebetulan tidak dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi atau Pusat.

Menurut Pasal 1 nomor 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas pembantuan adalah "penugasan dari pemerintah kepala daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/ atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Sunarso, 1997 : 7).Yang dimaksudkan adalah tugas yang dilimpahkan oleh pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten, dan oleh kabupaten kepada camat, dapat dilakukan oleh pemerintah desa atas dasar asas-asa dari penyelenggaraan urusan pemerintah. Untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya

manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

Alat-alat perlengkapan Pemerintahan Desa terdiri dari perangkat desa (Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun/Kelian Banjar Dinas), LPM dan BPD.

Tugas dan fungsi perangkat desa ditetapkan dalam keputusan Kepala Desa {Perbekel). Kepala Dusun/Kelian Banjar Dinas berkedudukan sebagai pembantu Kepaia Desa (Perbekel) dalam wilayah kerjanya dan berfungsi menjalankan kegiatan yang dilimpahkan oleh Kepala Desa (Perbekel) $\ wiiayah kerjanya. Kepala Dusun/Kelian Banjar Dinas mempunyai tugas :1. Melaksanakan kegiatan pemerintahan desa di wilayah kerjanya2. Melaksanakan Peraturan Desa dan Keputusan Kepala Desa

(Perbekel).

3.2. Susunan Organisasi Desa PakramanPenjelmaan dari falsafah Tri Hita Karana tersebut diatas

dalam kenyataanya di lingkungan desa pakraman yang ada di Bali sangat variatif, demikian pula mengenai struktur organisasi desa pakraman. Terlepas dari variasi-variasi yang ada, satu hal yang melekat pada semua desa pakraman di Bali adalah bahwa desa pakraman adalah organisasi sosial religius yang otonom, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi desa pakraman'm] mempunyai landasan yang kuat disamping bersumber pada kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan negara karena dalam struktur kenegaraan mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi (Pasal 18 B UUD 1945). Dalam perspektif Iokal, otonomi desa pakraman mendapat penegasan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Pasal 1 dalam angka 4 Peraturan Daerah tersebut menyatakan bahwa yang

52 21

dimaksudkan "desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adatdi Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah

52 22

tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri".

Isi otonomi desa pakraman ini adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Meminjam teori pembagian kekuasaan dalam Negara modern seperti yang dikemukakan oleh Montesque dalam ajaran trias po/itica, kekuasaan yang dimiliki oleh desa pakraman meliputi fungsi-fungsi legislative, eksekutif, dan yudikatif.

Wirta Griadhi seperti dikutip oleh Sudantra menguraikan isi otonomi desa pakraman tersebut sebagai berikut:1. Kekuasaan atau kewenangan menetapkan aturan-aturan

hukum yang berlaku bagi mereka. Dengan kekuasaan ini desa pakraman menetapkan tata hukumnya sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa pakraman. Aturan-aturan hukum ini lazim disebut awig-awig desa pakraman atau pararem, yang ditetapkan secara musyawarah melalui lembaga musyawarah desa yang disebut paruman desa. Kekuasaan ini dapat diidentikkan dengan kekuasaan perundangan-undangan {legislatif) dalam lingkungan negara modern.

2. Kekuasaan atau kewenangan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya. Terlepas dari beragamnya variasi struktur organisasi serta system pemerintahan (Sudantra, 1999 : 98).

Desa pakraman yang dikenal di'Bali, secara umum dapat dikatakan bahwa aktivitas utama desa pakraman adalah aktivitas yang bersifat sosial religius. Perwujudan desa pakraman d\b\dang sosial menyangkut hubungan sosial kemasyarakatan yakni hubungan antar sesama warganya baik dalam ikatan kelompok maupun perorangan. Di bidang kehidupan religius, otonomi tersebut akan terwujud dalam bentuk penyelenggaraa kegiatan keagamaan oleh

masyarakat sebagai satu kesatuan. Semua aktivitas itu diselenggarakan dalam koordinasi pengurus/ pimpinan desa pakraman yang disebut prajuru adat. Susunan prajuru adat ini bervariasi terutama berhubungan dengan tipe desa yang bersangkutan {Bali age dan apanage). Pada desa-desa pakraman yang tergoiong tipe desa pakraman Apanage, pejabat puncak dalam prajuru desa adalah Bendesa atau Kelihan Desa, dibantu oleh pejabat-pejabat lainnya seperti Penyade/ Petajuh/Pangliman sebagai wakilBendesa, Penyarikan/juruSurat yang berfungsi sebagai sekretaris dan Petengan/Juru Raksa yang berfungsi sebagai bendahara. Belakangan ini dalam struktur prajuru desa juga disebut petugas keamanan desa pakraman yang disebut pecalang. Kekuasaan menyelenggarakan kehidupan organisasi desa pakraman ini identik dengan kekuasaan pemerintahan dalam lingkungan negara. 3. Kekuasaan atau kewenangan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Persoalan hukum yang ada pada desa pakraman dapat berupa pelanggaran hukum {awig-awigfdresta lainnya ataupun aturan-aturan hukum lainnya) dan dapat berupa sengketa. Kekuasaan menyelesaikan persoalan hukum ini dapat diidentikkan dengan kekuasaan peradilan {yudikatif) dalam lingkungan negara.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, kewenangan desa pakraman diatur dalam Pasal 5. yang dinyatakan tugas dan wewenang desa pakraman ada\ah sebagai berikut:1. Membuat awig-awig.2. Mengatur kramadesa.3. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.

54 23

4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan.

54 24

5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, meiestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-paros, sagilik saguluk satunglung sabayantaka (musyawarah mufakat).

6. Mengayomi kramadesa. Dilihat dari susunannya, sebagian desa pakramanbersusunan tunggal dan sebagian lagi bertingkat. Desa yang bersusunan tunggal adalah desa pakraman. Desa pakraman yang susunannya bertingkat terdiri dari beberapa banjar, bahkan sebagian dari banjar-banjaritu dibagi-bagi lagi dalam kelompok kerja yang disebut tempekan. Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, banjard\sebut dengan istilah banjar pakraman, yang didefinisikan sebagai" kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desa pakraman". Tjok Istri Putra Astiti memberikan definisi terhadap banjar dengan menekankan pada fungsinya. Oleh Tjok Istri Putra Astiti menyatakan bahwa "banjar merupakan organisasi tradisional yang bersifat religius dengan penekanan fungsinya pada masalah suka-duka, khususnya kematian (Astiti, 2005: 9). Masalah suka-dukayang menjadi bidang tugas A^rmeliputi aktivitas-aktivitas pelaksanaan upacara keagamaan yang berhubungan dengan keadaan suka (upacara perkawinan, upacara-upacara yang berkaitan dengan tahap kehidupan manusia, dan Iain-Iain) dan keadaan duka fupacara yang berkaitan dengan kematian, ngaben dan sebagainya).

3.3. Keanggotaan, Kekayaan Desa PakramanSalah satu unsur penting terbentuknya masyarakat hukum

adat menurut Barend Ter Haar (Rahardjo, 1979 : 53), adalah adanya kelompok masyarakat yang bertindak sebagai satu kesatuan ke dalam maupun ke luar. Kelompok masyarakat atau

kelompok orang dalam desa pakraman\ni\ah yang disebut unsurpawongan{wong = orang). Kelompok orang yang merupakan satu kesatuan dalam wadah desa pakraman itu disebut pakraman, yang merupakan anggota dari desa pakraman. Anggota dari desa pakraman\n\\ah yang lazim disebut krama desa. Sistem pakraman (keanggotaan) desa pakraman yang ada di Bali bervariasi, tetapi dalam garis besarnya dapat dikeiompokkan dalam tiga garis besar, yaitu :1. Sistem pakraman berdasarkan ngemong karang ayahan.

Sistem ini umumnya dianut pada desa pakraman yang masih kuat pengaruh dari tanah adatnya (tanah hak ulayat). Ngemong karang ayahan berarti memegang/menguasai tanah milik desa {tanah ayahan desa'atau tanah karang desa). Berdasarkan sistem ini maka status keanggotaan desa pakraman {krama desa) akan dibedakan menjadi dua kelompok,yaitu pertama kelompok krama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban {ayahan) penuh kepada desa. Kelompok kramaM disebut krama ngarepatau istilah lainnya sesuai dengan adat {dresta) setempat. Kedua, kelompok kramayaug tidak menguasai tanah milik desa sehingga tidak dikenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajiban-kewajiban yang dikenakan terhadap krama pengele ini bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman lainnya sesuai dengan awig-awigyang berlaku di desa tersebut. Kelompok krama ini disebut krama pengele, krama roban, dan sebagainya.

2. Sistem pakraman berdasarkan maplkurenan. Mapikurenanartinya berumah tangga. Berdasarkan sistem ini maka keanggotaan seseorang menjadi krama desa dimulai setelah yang bersangkutan berumah tangga (kawin). Dalam sistem ini tidak ada perbedaan status kramadesa seperti dalam sistem ngemong karang ayahan, sehingga semua

25 57

krama desa mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap desa. Desa pakramandengan sistem ini umumnya dianut oleh desa pakraman yang tidak mempunyai tanah adat atau tidak kuat pengaruh tanah adatnya.

26 57

areal kuburan desa adat. Mempunyai nilai ekonomi atau tidak dalam hal ini tentunya dilihat dari sudut pandang orang Bali yang beragama Hindu. Milik desa adat yang tampak dan mempunyai nilai ekonomi dapat berupa tanah, bangunan, tabungan, tumbuh-tumbuhan dan berbagai barang-barang yang lainnya. Tanah desa terdiri dari: tanah pelaba pura(m\\\k pura), telajakan pura (tanah-tanah yang ada disekitar pura), karang ayahan desa (rumah tinggal penduduk yang tidak termasuk karang gunakaya atau tanah milik pribadi), tanah lapang, telajakan desa{tanah kosong yang ada di beberapa sudut desa), sampih dan tangkid(tanah tak bertuan yang ada dipinggir jurang atau sungai). Duweda\arx\ wujud bangunan milik desa, antara lain dapat berupa : ruko (rumah dan toko yang disewakan), balai wantilan desa, balai banjar, pasardesa dan bangunan lainnya yang dibangun oleh desa. Uang milik desa dapat berupa kas (tunai), dan tabungan/deposito.

Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh prajuru desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing. Setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa pakramanharus mendapat persetujuan paruman{sangkepan) desa. Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama desa pakraman. Salah satu harta kekayaan desa pakraman yang disebutkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 adalah tanah Desa Pakraman, yang tidak boleh disertifikatkan atas nama pribadi.

Dengan demikian, harta desa pakraman harta yang sudah ada maupun harta yang didapat kemudian. Pendapatan desa pakraman didapat dari beberapa sumber, antara lain : pawedalan\paturunan) dari kramadesa, hasil pengelolaan kekayaan desa pakraman, hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD), bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lainnya yang sah (seperti saham dalam berbagai

bidang usaha, donasi rutin dari perusahaan milik pribadi yang ada di wilayah desa pakraman) dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat (Pasal 10).

3,5. Koordinasi Desa Pakraman dan Desa DinasSebelum membicarakan masalah koordinasi kiranya perlu

membaca beberapa kutipan yang menyangkut masalah Adat Bali, karena bagaimanapun juga Adat Bali merupakan pijakan dari masyarakat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengkoordinasikan Desa Pakraman dengan Desa Dinas perlu merevitaliasi Adat Bali (adat kebiasaan) dengan beberapa alasan ;1. Untuk menfilter budaya asing, antara desa pakraman dan

desa dinas melakukan koordinasi desa pakaraman diberikan tugas menerima laporan awa! atas kehadiran tamu asing yang menginap, atau yang melakukan bisnis, atau kegiatan lain yang dapat mempengaruhi ketertiban dan keamanan masyarakat. Sedangkan desa dinas sebagai pihak yang berwenang dalam pengurusan administrasi, memberikan catatan dan pengawasan bekerja sama dengan pecalang dan petugas kepolisian dalam melakukan Kamtibmas.

2. Aturan adat yang mengekang aktivitas masyarakat untuk mencarai sesuap nasi perlu diatur disosialisasikan oleh desa dinas, sebagai wujud keperdulian akan Kamtibmas, sehingga secara etik moral menuju Bali yang mempunyai masa depan yang lebih baik. Sangatlah disadari, ketatnya adat dari masimg-masing desa pakraman adalah tidak lain untuk mempertahankan keluhuran dan jati diri dari masing-masing desa pakraman dari hal-hal yang bersifat negatif. Tetapi dalam kenyataannya ada aturan adat yang demikian "ego" sehingga melahirkan konflik yang berkepanjangan antar masyarakat sendiri. Sudah saatnya Bali dengan adatnya

2772

demikian ketat dan dihormati, berpihak pada mereka yang menuntut kehidupan yang lebih baik dengan memberlakukan adat secara ketat dan fanatik dianggap

2872

melanggar adat, padahal pelanggaran itu bukan ada unsur kesengajaan, tapi demi menyambung hidup keluarga masa depan. Sehingga berimplikasi dengan kemajuan secara global dan merata di semua desa pakraman di Bali.

3. Makin maraknya cafe-cafe yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota dan sebagai perpanjangan tangan adalah desa dinas, perlu dikoordinasikan dengan deesa pakraman dan ini menunjukan iemahnya pihak-pihak yang berwenang yang semestinya berkoordinasi dengan desa pakraman, sehingga cafe-cafe masuk desa pakraman lebih banyak menimbulkan konflik secara menyeluruh dan komplek. Ini juga akibat wewenang yang disalah gunakan karena ujung-ujungnya duit.

4. Penyerobotan lahan-lahan oleh investor terjadi karena ada dua hal pokok (ada pembeli dan ada penjual), perlu koordinasi desa pakraman dengan desa dinas dalam memberikan batas wilayah, dari pura, atau kawasan yang disucikan oleh umat, sehingga tidak terjadi benturan dengan "investor", ujung-ujungnya merugikan masyarakat adat umumnya. Semua ini bisa ditanggulangi apabila antara desa pakraman berkoordinasi pada instansi terkait. namun apakah pihak yang berwenang tidak bisa menanggulanginya ? Kalau memang Pemerintah desa dinas dan desa pakraman yang berkoordinasi dan bersatu padu dalam menata ruang yang baik dan benar, sesuai dengan aturan atau awig-awig yang telah disepakati oleh "Krama Desa" baik desa dinas maupun desa pakraman itu bukanlah hal yang sulit untuk • lilaksanakan. Semua itu adalah demi anak cucu kelak, untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, dengan mempertahankan hak-hak tanah yang melekat didalamnya.

Adat Bali tidak hanya perlu direvitalisasi, tetapi juga perlu di rekontruksi agar Bali yang sudah terkenal dengan keindahan pulaunya serta keramah-tamahan masyarakatnya, jangan sampai orang Bali dikagumi tempatnya bekerja, entah diluar negeri atau diluar daerah, tapi setelah meninggal justru dipersoalkan oleh komunitas sendiri.

Akibat berbagai kelemahan yang timbul dalam masyarakat adat selama ini, maka muncuiian berbagai stigma terhadap orang Bali. Orang Bali dikatakan tidak bisa rukun satu sama lain, tetapi amat respekterhadap kaum pendatang. Stigma\a\n misalnya, orang luar gampang mengubur mayat di Bali, sementara orang Bali sendiri mengaiami hambatan iuar biasa. Di Iapangan, kondisi yang demikian itu bisa berdampak luas. Masyarakat marginal atau mereka yang tergolong miskin, dengan cara haius menunjukkan perlawanan dan ketidak setujuannya, tindakan mereka akhirnya lebih memilih keluar dari Desa Adat.

Seharusnya krama Bali tidak harus melarang kuburan (setra) untuk warganya sendiri sepanjang bisa dibijaksanai. Apalagi sampai menghalang-halangi prosesi orang yang hendak melakukan Pitra Yadnya/ Pengabenan. Selain memalukan, juga tampak seolah-olah sebagai masyarakat yang masih primitive. Bukankah profesi ritual kematian bagi orang Hindhu sifatnya sementara ? Orang Bali sendiri sering dipersulit, dihalang-halangi, bahkan dicegah ?. Kondisi ambivalen tersebut telah membuat banyak krama Baligerah. Mereka tidak lagi menemukan keteduhan menjadi umat Hindu. Parisada pun sering dituding tidak mampu mengayomi umat yang tertindih aturan adat. Padahal pokok persoalannya bukan terletak pada ke tidakmampuan Parisada, tetapi akibat ketentuan Adat yang masih menjunjung paradigma lama.

74 29

Adat secara tidak langsung telah banyak menjadi pemicu umat Hindhu "ioncat pagar" memilih kayakinan agama lain, mari lakukan koreksi atas segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada sistim sosial umat Hindu.

Jika umat Hindu berkeinginan menjadikan adat sebagai benteng budaya dan agama Hindu di Bali, maka yang perlu diperangi atau dibuat keras aturannya adalah soal perjudian, kehadiran cafe,

74 30

minuman keras, dan peredaran narkoba, dan sangatlah idial menjadi dambaan bersama iika adat sterii terhadap masalah-masaiah tersebut.

Pemikiran bijak sangat diperlukan untuk melestarikan Adat Bali, dengan memperhatikan perkembangan zaman dan pola hidup yang selalu bergerak secara dinamis. Penerapan adat bukan seharusnya menonjolkan kesan sakralnya, melainkan harus mempertimbangkan makna dari adat tersebut, apakah adat itu masih dapat memberikan rasa aman, nyaman dan sejahtra bagi penduduknya, ataukah sebaliknya, malah membuat para warganya merasa tertekan dan resah.

Pelanggaran adat yang terjadi hingga menimbulkan warganya terkena sanksi kesepekang, lebih sering menimbulkan citra buruk di-mata masyarakat umum, karena sanksi demikian terkesan kurang mendidik dan terkesan sangat arogan. Persoalan utama yang sering muncul dalam kasus-kasus adat adalah lemahnya kesisteman yang dimiliki adat Bali, sehingga tidak mampu memberikan solusi secara utuh dan terintegrasi. Sehingga tidak dapat dipastikan siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab terhadap suatu kasus adat yang muncul pada suatu desa pakraman kalau masalah itu menyangkut ritual agama, ayah-ayahan, iuran adat, kasepekang, tidak boleh mengubur mayat, menyangkut tanah adat (hak uiayat, A YDS, tanah pelaba pura).

Terhadap munculnya masalah inilah diperlukan "koordinasi"antara desa pakramantian desa dinas. Koordinasi yang dimaksudkan adalah kfij iMtan oprasional gabungan, penggabungan ini mempengaruhinya biasanya lebih besar dari pada jumlah total pengaruh masing-masing satu persatu. Sebagai contoh dapat diambil, keberadaan desa pakraman, diberikan tugas wewenang untuk menerima laporan awal terhadap kehadiran penduduk pendatang, karena desa

pakraman dianggap dekat dengan warganya hubunga satu dengan lainnya. Selanjutnya setelah menerima laporan dari salah satu warga desa pakraman, oleh Kelian Desa Adat mengecek kebenaran, benar tidaknya ada penduduk pendatang baru. Demikian halnya terjadinya ketegangan dalam hal kewenangan dan larangan penguburan mayat, kasepekang dan sebagainya masyarakat mempertanyakan, apakah ini tugas dari PHDI, Sulinggih, Bendesa Adat, Kanwil Agama dan lembaga adat lainnya, manakaia ada kasus-kasus adat yang muncul kepermukaan. Bahwa ada kesan fungsi-fungsi itu tidak berjalan secara utuh, bergerak sendiri-sendiri sehingga kasus adat tidak bisa diselesaikan secara utuh.

Sebagai contoh pertentangan antara Desa Pakraman Kayuputih dan Desa Pakraman Banyuatis, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, akibat tidak diberikan menguburkan mayat warga dari Desa Pakraman Banyuatis, oleh warganya berkehendak untuk membangun Kahyangan Tiga sendiri, sehingga tidak merupakan keharusan bagi warga Desa Pakraman Banyuatis dipaksakan untuk masuk warga "Desa Pakraman Kayuputih" karena palemahan dari beberapa warga Banyuatis secara administrative termasuk wilayah Desa Kayuputih. Tetapi oleh warga Desa Pakraman Banyuatis menolak, karena sejak lahir secara turun-temurun sudah menjadi krama di Desa Pakraman Banyuatis, bahkan ada arogansi Desa Pakraman Kayuputih untuk memaksakan kehendak dan mengancam untuk dibawa ke aparat Kepolisian. Tapi kini belum bisa terselesaikan, sehingga timbul pertanyaan, siapa yang punya kewenangan untuk memberikan suatu kepastian akan status warga yang bersangkutan.

Adanya konflik antara Desa Dinas dan Desa Pakraman Desa Banyuatis dengan Desa Kayuputih, perlu dilihat dari sudut ilmu hukum sebagai" Suigeneris "(spesifik), untuk mencapai keadilan,

3176

diperlukan konsensus antara desa yang bersangkutan dengan mempergunakan teori khusus yaitu "Kebenaran Konsensus" lewat perareman6\ Desa dengan mempertemukan kedua pihak yang bersengketa. Penduduk pendatang dan investor luar serta kejam pada krama sendiri hingga sulit mengembangkan diri, hal ini tercermin dari berbagai kasus adat

3276

yang terjadi, dimana yang menjadi korban hanyalah krama Bali sendiri, sedangkan pendatang yang kesaiahannya jauh lebih berat tetap tenang dan nyaman tinggal. Bagaimana jumlah pendatang di suatu wilayah jauh lebih besar daripada kramaBaW sendiri, masihkah efektif hanya mengatur krama sendiri untuk menjaga Bali?.

Mungkin perlu dlpikirkan agar awig-awig6\ masing-masing desa pakramanJuga mengatur tentang penduduk pendatang, sehingga akan terjaga harmonisasi hidup yang lebih baikdi Bali ini. Penerapan awig-awig dan sanksi adat hendaknyalah disesuaikan denngan perkembangan keadaan masa kini sehingga nilai-nilai budaya dan kearifan Iokal bisa tetap tumbuh namun juga mampu memberi kesempatan yang cukup luas bagi krama-nya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan memberi kontribusi positif bagi desanya. Jika hal ini tak kunjung terwujud yang terjadi justru sebaliknya, dimana para pendatang akan dengan leluasa menguasai banyak bidang kehidupan diluar adat dan orang Bali yang diikat oleh adat yang sangat kuat hanya sibuk berkutat dengan urusan adatnya tanpa sempat mengembangkan potensi yang ada.

Konsep Tri Kona seharusnya dapat diterapkan dalam merevitalisasi adat di Bali. Tiga elemen tersebut yaitu : utpti (penciptaan) dituntut untuk mampu melahirkan konsep atau sistem yang mampu menjaga kelestarian dan keharmonisan tatanan alam dan masyarakatnya menyesuaikan dengan perkembangan yang ada.Stiti (menjaga/memelihara) tetap mempertahankan nilai-nilai

(kearifan Iokal) yang masih relevan dan memang baik untuk menjaga segala hal baik yang diperlukan.

/^///^(pemusnahan), janganlah ragu untuk mengganti aturan-aturan yang justru merugikan dan menghambat kemajuan krama maupun lingkungan sosial sehingga

menganggu harmonisasi alam dan tatanan masyarakat Bali itu sendiri. Unsur-unsur yang mampu memfilter dan menangkal pengaruh buruk nilai-nilai asing yang masuk r

seperti narkoba, kafe masuk desa, termasuk investasi negative lainnya (seperti yang menyerobot lahan produktif) harus mampu dirumuskan dengan tegas dan tidak malu-malu namun layak dan efektif diimpiementasikan sehingga desa pakraman yang diyakini sebagai benteng terakhir masyarakat Bali mampu dengan kokoh membendung hai-hal negative yang menyeruak membanjiri Bali.

Koordinasi oleh. Wayan P. Windia diartikan kegiatan bersama atau kegiatan tergabung. Kalau kegiatan sendiri hasilnya 10 (sepuiuh ), dengan kegiatan bersama atau bersinergi, diharapkan dapat membawa hasil lebih dari pada 10 (sepuiuh) (Windia, 2008 : 1-2). Maksudnya apabila permasalahan diselesaikan sendiri tanpa melakukan koordinasi (dengan pendapat orang lain), maka hasil yang didapatkan kurang sempurna. Sebaliknya makin banyak yang memberikan pendapat, hasilnya akan lebih baik, dari pada suatu persoalan diselesaikan sendiri

Kenapa desa pakraman perlu koordinasi dengan desa dinas ?. Tanpa mengurangi atau mengecilkan arti dalam mewujudkan kesejahtraan masyarakat, semua ini merujuk dalam Surat Parum Bendesa Desa Pakraman ditentukan bahwa; Surat Parum Bendesa Desa Pakraman se Kota Denpasar No: 041/Pngs/PBKD/XII/2005 tertanggal, 14 Desember 2005, akan kehadiran penduduk pendatang yang bertempat tinggal tetap di Kota Denpasar, ditetapkan untuk proses pengurusan Kartu Indentitas Penduduk Sementara ( KIPS ) dan Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tempat Tinggal Sementara (STPPTS), pada tingkat Banjar Dinas/ Banjar Adat, bagi penduduk pendatang yang berasal dari Kabupaten luar Kota Denpasar dikenakan dana solidaritas bermasyarakat masing-masing Rp. 5.000,- bagi pendatang yang berasal dari luar Denpasar. sedang

3378

dalam Propensi Bali yang berasal luar Bali dikenakan Rp. 50.000,-.

Kepala Desa Dauh Puri Kaja, melakukan koordinasi dengan desa pakramannya6a\arr\ hal memantau kehadiran penduduk pendatang. Desa pakraman dibawah kepemimpinan Bendesa Adat menerima

3478

laporan dari warga yang mendatangkan tamiu (tamu), selanjutnya oleh Bendesa Adat meneruskan laporan itu kepada pada Kelian Dinas, oleh Kelian Dinas memberikan bianko sebagai persyaratan untuk diisi oleh penduduk yang baru datang, dan ditanda tangani oleh Bendesa Adat, diserahkan kembali ke Desa Dinas

Wujud kerja sama yang berkoordinasi dan terjadi di Desa Peguyangan Kangin, dan Desa Pakraman Peninjauan, hasil keuntungan Lembaga Perkreditan Desa ((LPD), dibagi secara proporsional; untuk Desa Dinas mendapatkan 30 %, Desa Pakraman 70 %. Pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat-istiadat serta lembaga, dilakukan secara bersama-sama antara Desa Dinas dan Desa Pakraman (Wawancara, tanggal 12 Juli 2008 dengan Kepala Desa Sukeratha, A. A. Sudlra Arta, Ngakan. Putu {Bendesa Adat) Desa Peguyangan Kangin, Desa Pakraman Peninjauan), dengan organisasi atau lembaga adat, pemerintah desa, dan Pemerintah Daerah.

Wujud kerjasama yang berkoordinasi dilakukan adalah dalam upaya melaksanakan pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat-istiadat dan lembaga adat, dan semua itu ditetapkan sebagai" kebijakan " dan langkah-langkah Kepala Desa dan Bendesa Adat yang efektif dengan berpedoman kepada Peraturan Daerah, setelah bermusyawarah secara bersama-sama, baik kepada pemimpin/ pemuka adat di wilayah masing-masing.

Demikian halnya yang disampaikan Kepala Desa Sanur Kaja, Ida Bagus Paramartha; lebih jauh dikatakan, bahwa kebijakan dalam mengkoordinasikan antara Desa Dinas (Kepala Desa/ Kelian Dinas) dapat disusun dalam bentuk keputusan Peraturan Desa (Perdes) i mi uk dijadikan pedoman dalam menangani

penduduk pendatang, sedangkan pelaksanaan pada Desa Pakraman diwujudkan dalam bentuk "awig-awig" dan awig-awig mana tidak boleh bertentangan dengan Perdes yang telah disepakati (Wawancara dengan Kepala Desa Sanur Kaja, Ida Bagus Paramartha, tanggal 14 Juli 2008).

Untuk memberdayakan lembaga adat dalam pengembangan adat-istiadat, antara desa dinas dan desa pakraman dilakukan koordinasi dalam memberdayakan hal diatas diarahkan pada hal-hal sebagai berikut.:1. Melakukan pembinaan masyarakat adat dan penduduk

pendatang untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

2. Mewujudkan pelestarian kebudayaan, sesuai misi dan visi dari Kota Denpasar, Kota yang berwawasan budaya.

3. Terciptanya kebudayaan perkotaan yang berlandaskan Kebhinekaan Tunggal Ika, karena kemajemukan penduduk yang ada pada Desa /Desa Pakraman Pedungan.

a. Mengkondislkan suasana yang dapat mendorong peningkatan peranan fungsi adat- istiadat (Wawancara dengan Kepala Desa Pedungan, I Nyoman Lodra, tanggal 16 Juli 2008). Berdasarkan informasi Kepala Desa Dauh Puri Kelod; I Made Wardana dan Kelian Dinas Drs. Made Suweta, bersama-sama dengan Bendesa Adat Desa Pakraman Dauh Puri Kelod I Gusti Putu Toger, koordinasi dalam penyelenggaraan tugas-tugas adalah :

1. Penanganan Penduduk pendatang atau sering disebut dalam awig-awig desa adat disebut dengan "Krama Tamiu", dalam penertiban penduduk pendatang sebagai amanat Peraturan Desa Dinas senantiasa koordinasi dengan Desa Adat, disamping tetap memberlakukan Undang-Undang Kependudukan dan awig-awig desa adat Setiap penduduk

80 35

pendatang yang bermaksud tinggal lebih dari 2 X 24 jam dalam wilayah Desa Dinas dan Desa Pakraman, wajib melaporkan diri atau diwakili oleh warga penerima tamu paling lambat 1 X 24 jam kepada Kelian Dinas setempat dengan melengkapi, nama, alamat, pekerjaan, dan data penjamin penduduk pendatang. Kelian Dinas wajib menyampaikan hal tersebut kepada Kelian Adat, untuk diketahui

80 36

dan dilanjutkan kepada Kepala Desa guna dibuatkan " Kipem/ Domisili".

2. Kipem/ Domosili berlaku untuk 3 bulan pertama, bisa diperpanjang tiap-tiap tiga bulan sampai menetap selama 1 tahun, baru bisa dimohonkan KTP.

3. Dalam periode tertentu paling tidak 6 bulan sekaii, Desa Pakraman dan Desa Dinas mengerahkan aparat terkait seperti; Hansip, Pecalang, Kelian Adat, Kelian Dinas, Bendesa Adat, Kepala Desa, Babinkamtibmas, mengadakan sidak kelokasi/ rumah-rumahyang dihuni oleh penduduk pendatang, guna penertiban penduduk, apakah ada penghuni baru yang tidak didaftarkan atau dilaporkan.

4. Dalam rangka penertiban penduduk pendatang, guna mengantisipasi laju perkembangannya, pada tingkat banjarteHah dibentuk"Tim Penertiban Penduduk Pendatang" yang terdiri dari unsur-unsur, Banjar Dinas, Banjar Adat, Prajuru Tempekan, dan Pecalang. Sesuai Perda Kota Denpasar No: 5 Tahun 2000, pasal 3 B diatur: bahwa setiap penduduk yang akan menyewa tanah/ rumah/kamardan atau bangunan lainnya diwajibkan melaporkan peristiwa hukum tersebut ke Perangkat Desa dan Bendesa Adat setempat melalui perangkat Banjar setempat. Dan jika terjadi pelanggaran atas pelaksanaan administrasi kependudukan dikenakan sanksi pidana dengan kurungan paling lama 3 bulan atau dengan denda paling banyak'Rp. 5.000.000,-

5. Setiap Hari Raya Nyepi, dalam proses melasti, Pengerupukan, dan Penyepian, antara Desa Dinas dan Desa Pakraman secara bersama-sama dalam mempersiapkan segala sesuatunya berkoordinasi, sehingga prosesi Penyepianb&r\a\ar\ sebagaimana mestinya.

6. Dalam penanganan Tata Ruang khususnya masalah "Investor" antara Desa Dinas dan Desa Pakraman selalu berkoordinasi dalam mengambil keputusan bersama, melalui kajian yang matang, dengan membuat tim khusus rancang bangun, dan semua ini dilakukan dalam proses rapat krama seluruhnya. Memberikan sanksi sesuai denga awig-awig atau peraturan terhadap penduduk pendatang liar atau tanpa Kipem dengan cara pembinaan maupun dikenakan sanksi administrasi atau bahkan dilakukan pengusiran dari Desa Pakraman yang bersangkutan atau dikenakan denda " Penanjung Batu " bagi warga seiman " (Wawancara dengan Kepaia Desa I Made Suweca, Kiian Adat Desa Dauh Puri Kelod, Kecamatan Denpasar Barat, tanggal 17 Juli 2008).

37 83