Penelitian tentang RUU Desa

29
A. Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Desa dalam Mewujudkan Kemandirian Pemerintahan Desa Melalui Penguatan Demokrasi Partisipatif Masyarakat Desa (analisis normatif Bab XI Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Rancangan Undang-Undang tentang Desa) B. Latar Belakang Masalah Desa, yang juga disebut sebagai Nagari di Sumatera Barat, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan, ataupun Negeri di Maluku, dan juga nama-nama lainnya adalah istilah yang diperuntukkan bagi persekutuan penduduk pada masyarakat yang terendah di seluruh wilayah Indonesia. Dalam praksisnya, ada begitu banyak pengertian mengenai desa, namun, secara garis besar, jika ditarik satu kesimpulan mengenai pengertian-pengertian tersebut, maka desa akan meliputi kesatuan- kesatuan pemerintahan, kesatuan ekonomi, kesatuan kulturil dan tradisionil yang kokoh dan kuat, dan disana-sini sudah atau sedang mengalami perubahan maju ke arah perkembangan sebagai akibat pengaruh perkembangan teknologi. 1 1 Sumber Saparin, “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm. 11 1

Transcript of Penelitian tentang RUU Desa

A. Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Desa dalam

Mewujudkan Kemandirian Pemerintahan Desa Melalui Penguatan

Demokrasi Partisipatif Masyarakat Desa (analisis normatif Bab XI

Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

serta Rancangan Undang-Undang tentang Desa)

B. Latar Belakang Masalah

Desa, yang juga disebut sebagai Nagari di Sumatera Barat,

Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan,

ataupun Negeri di Maluku, dan juga nama-nama lainnya adalah

istilah yang diperuntukkan bagi persekutuan penduduk pada

masyarakat yang terendah di seluruh wilayah Indonesia. Dalam

praksisnya, ada begitu banyak pengertian mengenai desa, namun,

secara garis besar, jika ditarik satu kesimpulan mengenai

pengertian-pengertian tersebut, maka desa akan meliputi kesatuan-

kesatuan pemerintahan, kesatuan ekonomi, kesatuan kulturil dan

tradisionil yang kokoh dan kuat, dan disana-sini sudah atau

sedang mengalami perubahan maju ke arah perkembangan sebagai

akibat pengaruh perkembangan teknologi.1

1 Sumber Saparin, “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm. 11

1

Selama ini, desa menjadi bahasan yang selalu menarik, tak

lain karena desa, penduduk, system sosial, dan pemerintahannya

selalu menjadi komoditi yang sering dibicarakan. Keberadaannya

dikaji para pakar dalam forum-forum ilmiah, didesain oleh para

pengambil kebijakan, disakralkan oleh sebagian sosiolog dan

antropolog, kemudian menjadi proyek oleh pejabat dan pemegang

kekuasaan, dan dikeruk kekayaannya oleh para pemilik modal. Akan

tetapi, kesemuanya tidak membuat sebuah dampak signifikan dalam

hal kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri sejak dulu sampai

sekarang. Masyarakat desa tetap saja miskin dan terbelakang dan

terkesan tak ada kemajuan atau perbaikan yang berarti.2

Desa masuk dalam entitas khusus yang diatur dalam satu bab

khusus pada Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah. Desa diatur dalam Bab XI yang berisi Enam Bagian dan 17

pasal. Hal itu menunjukkan posisi desa sebagai bagian penting

dalam tata kenegaraan di Indonesia. Menurut UU No. 32 Tahun 2004,

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah  yurisdiksi , berwenang untuk mengatur dan mengurus tugas

2 Hanif Nurcholis, “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. (Jakarta: Erlangga, 2011)

2

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat

istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem

pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota.

Benar bahwa istilah otonomi desa sudah menjadi bagian dari

kehidupan kenegaraan di Indonesia, khususnya dengan keluarnya

berbagai kebijakan Negara tentang desa. Kebijakan-kebijakan

tersebut selaras dengan kebijakan Negara tentang desentralisasi

yang memang menjadi topik umum dalam regulasi mengenai otonomi

daerah. Namun, dalam berbagai kebijakan yang ada, desa lebih

ditempatkan sebagai bagian terbawah dari penyelenggaraan

pemerintahan nasional, yang menerima kewenangan dari pusat. Hal

ini lah yang membuat desa seakan kurang mandiri. Selain itu,

pergantian undang-undang yang selama ini terjadi tidak mengarah

pada perubahan kedudukan desa yang lebih jelas, justru memicu

bongkar pasang yang menimbulkan masalah-masalah baru.

Keadaan diperparah dengan melihat sebuah fakta bahwa sejak

diundangkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

sampai detik ini belum keluar sebuah regulasi yang mengatur

secara khusus tentang pemerintahan desa. Sebagai contoh, selama

3

ini perubahan mengenai regulasi tentang desa hanya berkisar atau

hanya menyangkut substansi-substansi tertentu saja, seperti

penguatan posisi kepala desa, pengisian sekretaris desa dari PNS,

dan bahkan adanya pemandulan fungsi BPD (Badan Permusyawaratan

Desa). Selebihnya, tidak atau belum ada inovasi-inovasi baru

tentang penguatan dari system pemerintahan desa tersebut.

Kekurangan lain dalam hal pengaturan tentang desa yang

tertuang dalam UU No. 32 juga menyangkut ketidak jelasan tentang

pengaturan tata kewenangan antara pemerintah, pemerintah daerah,

dan desa. UU No 32 Berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi

luas yang dianut oleh UU No. 32/2004, Pemerintah hanya

menjalankan lima kewenangan, dan diluar lima kewenangan itu

menjadi kewenangan daerah. Dengan demikian konsepsi dasar yang

dianut UU No. 32/2004, otonomi berhenti di kabupaten/kota.

Kosekuensinya, pengaturan lebih jauh tentang Desa dilakukan oleh

kabupaten/kota, dimana kewenangan Desa adalah kewenangan

kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa.3

Nilai demokrasi Desa juga diperdebatkan oleh banyak

kalangan. Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana makna

3 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa, hal. 3

4

demokrasi substansial dan demokrasi prosedural yang tepat dan

relevan dengan konteks lokal Desa? UU No. 32/2004 mengusung nilai

demokrasi substansial yang bersifat universal seperti

akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Tentu banyak pihak

menerima nilai-nilai universal ini, mengingat Desa sekarang telah

menjadi institusi modern. Tetapi tidak sedikit orang yang selalu

bertanya: apakah nilai-nilai universal itu cocok dengan kondisi

lokal, apakah orang-orang lokal mampu memahami roh akuntabilitas,

transparansi dan partisipasi dengan cara pandang lokal, atau

adakah nilai-nilai dan kearifan lokal yang bisa diangkat untuk

memberi makna dan simbol akuntabilitas, transparansi dan

partisipasi. Sementara perdebatan pada aras demokrasi prosedural

terletak pada pilihan: permusyawaratan yang terpimpin atau

perwakilan yang populis.4

Dari sisi kesejahteraan, UU No. 32/2004 memang telah membawa

visi kesejahteraan melalui disain kelembagaan otonomi daerah.

Semua pihak mengetahui bahwa tujuan besar desentralisasi dan

otonomi daerah adalah membangun kesejahteraan rakyat. Pemerintah

daerah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab besar meningkatkan

4 Ibid., hal. 4

5

kesejahteraan rakyat melalui kewenangan besar dan keuangan yang

dimilikinya. Tetapi visi kesejahteraan belum tertuang secara

jelas dalam pengaturan mengenai Desa.

Perdebatan mengenai otonomi, demokrasi dan kesejahteraan itu

parallel dengan pertanyaan fundamental tentang apa esensi (makna,

hakekat, fungsi, manfaat) Desa bagi rakyat. Apakah Desa hanya

sekadar satuan administrasi pemerintahan, atau hanya sebagai

wilayah, atau hanya kampung tempat tinggal atau sebagai

organisasi masyarakat lokal? Apakah Desa tidak bisa dikembangkan

dan diperkuat sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial,

berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat

secara budaya?

C. Rumusan Masalah

Dari penjelasan diatas, diperoleh beberapa masalah, yakni:

1. Bagaimana pemahaman atas hakekat desa serta pengaturan

tentang desa yang ingin dicapai melalui Rancangan Undang-

Undang tentang Desa?

2. Mengapa kemandirian pemerintahan desa dan terwujudnya

demokrasi dan kedaulatan rakyat di level desa menjadi hal

6

yang diperlukan dalam mencapai kesuksesan pembangunan di

level nasional?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami hakekat desa serta asas dan perspektif

tentang pengaturan desa yang akan dicapai melalui

Rancangan Undang-Undang tentang Desa.

2. Untuk membuktikan hubungan antara kemandirian desa dan

kesuksesan pembangunan nasional merupakan hubungan yang

bersifat dialektis.

3. Untuk menunjukkan pengesahan terhadap Rancangan Undang-

Undang tentang Desa adalah sebuah batu loncatan besar dalam

mewujudkan kemandirian pemerintahan dan masyarakat di level

desa yang akan berpengaruh terhadap pembangunan di level

nasional.

E. Manfaat Penelitian

Kegunaan dalam penulisan laporan penelitian ini, sebagai

berikut;

1. Manfaat Teoritis

7

Penelitian ini di lakukan untuk pengembangan pengetahuan

hukum pada umumnya dan khususnya pada hukum tata negara

tentang otonomi daerah serta pemerintahan desa sebagai

ruang aktualisasinya.

2. Manfaat Praktis

Bagi para penggiat dan pihak yang peduli terhadap desa

diharapkan karya tulis ini membuka wacana serta wawasan

yang variatif dalam hal pemerintahan desa dalam perannya

sebagai sebuah sarana penguatan terhadap masyarakat desa.

Bagi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dapat menjadi

literatur yang bermanfaat bagi peneliti-peneliti akademis

lainnya yang mempunyai minat dan perhatian yang sama

terutama studi hukum tata negara.

Bagi Masyarakat di harapkan tumbuh kesadaran akan

pentingnya kemandirian pemerintahan desa, hal ini

mengingat bahwa kemandirian pemerintahan dan masyarakat

desa akan sangat berpengaruh terhadap pembangunan dan

program pemerintah secara nasional.

F. TINJAUAN PUSTAKA

8

1. Tinjauan tentang Otonomi Daerah

Peneliti mengacu pada definisi otonomi daerah dalam pasal 1

angka 5 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi:

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi daerah dapat dipahami sebagai suatu proses devolusi

dalam sector public dimana terjadi pengalihan wewenang dari

pemerintahan pusat kepada pemerintahan provinsi dan

kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia,

otonomi daerah diartikan sebagai proses pelimpahan kekuasaan dari

pemerintahan pusat kepada pemerintahan provinsi dan

kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.5

Selanjutnya, tujuan dari otonomi daerah atau desentralisasi

ini sangat beraneka ragam, antara lain: (1) peningkatan pelayanan

masyarakat yang semakin baik, (2) pengembangan kehidupan

demokrasi, (3) keadilan, (4) pemerataan, (5) pemeliharaan

hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah

dalam rangka keutuhan NKRI, (6) mendorong untuk memberdayakan

5 Mas’us Said, “Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia”, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 5

9

masyarakat, (7) menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas,

meningkatkan peran serta masyarakat, serta mengembangkan peran

dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.6

Konsep mengenai otonomi daerah ini telah ada sejak zaman

Yunani Kuno. Dimana saat ini Aristoteles dan pengikutnya telah

secara tegas menekankan pentingnya distribusi dan pembagian

kekuasaan.7 Walaupun memang aplikasi dari premis ini dalam bentuk

desentralisasi baru banyak diperdebatkan, khususnya di Negara-

negara sedang berkembang pada tahun 1950 an.8

Otonomi daerah, atau sebut saja dengan desentralisasi,

didasari fakta bahwa tiada satupun pemerintah dari suatu negera

dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara

efektip ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-

programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi (Bowman &

Hampton, 1983).

Dalam konteks Indonesia, konsep mengenai desentralisasi ini

sudah menjadi cita-cita para founding fathers sejak awal. Dimana

dalam konstitusi Negara secara jelas sudah menyatakan bahwa6 Mohtar Mas’oed, “Politik, Birokrasi dan Pembangunan, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003)7 Syarif Hidayat, “Kegamangan Otonomi Daerah”, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2004), hlm. 178 ibid

10

mereka mengharapkan Indonesia sebagai suatu Negara yang

demokratis dan terlebih desentralistis. Hal ini terjadi karena

mereka sadar, dengan berbagai macam perbedaan antar daerah, dalam

hal ini adalah tingginya variabilitas antar daerah menjadi aspek

yang membuat tidak memungkinkannya Indonesia menjadi Negara yang

sentalistis.

Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami pasang

surut sesuai dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi

di masanya. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami

perkembangan yang berarti sejak dilaksanakannya UU 22/1999 yang

menganut otonomi luas. UU tersebut membatasi urusan pemerintahan

di tingkat pusat dan provinsi melalui Peraturan Pemerintah Nomor

25 tahun 2000 dan mengalihkan sisanya kepada kabupaten/ kota

melalui mekanisme pengakuan.9

Desentralisasi sendiri tidak dapat dilepaskan keterkaitannya

dengan demokratisasi pemerintahan. Desentralisasi harus dipahami

sebagai sebuah pilihan metode untuk mengatur proses

penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu Negara. Tujuan yang ingin

dicapai tidak lain agar cita-cita Negara kesejahteraan (welfare

9 Ibid., hlm. 26

11

state) yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat (bonum commune)

dapat direalisasikan.10 Namun, dalam praksisnya, terlihat cukup

banyak pandangan yang justru terkesan menjadikan desentralisasi

sebagai tujuan dalam kehidupan kenegaraan, dan perwujudan

kesejahteraan rakyat sebagai subordinat saja.11

Ruland (1992:3) mengatakan bahwa desentralisasi, sebagai

akibat wajar dari otonomi local, dapat dilihat sebagai kontribusi

positif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, yang pada

akhirnya akan mengarah pada perkembangan sosio-ekonomi. Dan

memang, filosofi otonomi daerah sendiri seharusnya menempatkan

rakyat sebagai subjek dalam pemerintahan daerah. Moralitas dari

otonomi daerah adalah optimalisasi kinerja pelayanan public

dengan menguatkan akses rakyat dalam proses penyusunan kebijakan

pada level daerah,12

2.Tinjauan tentang Desa dan Pemerintahan Desa

Peneliti mengacu pada definisi Desa dalam Peraturan

Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa yang berbunyi:

10 Willy R. Tjandra, “Praksis Good Governance”, (Jogjakarta: Pondok Edukasi, 2006), hlm. 511 Ibid., hlm. 612 Ibid

12

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengakuan akan otonomi desa juga ada dalam UU No.32/2004.

Dalam UU itu dijelaskan tentang  definisi desa yang dimuat dalam

Pasal 1 angka 12, yakni,  kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui

dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal

ini sesuai dengan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Basis

pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desan adalah

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan

pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya mengenai kewenangan desa, desa mempunyai

beberapa kewenangan, yaitu: (1) Menyelenggarakan urusan

pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, (2)

Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada

desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat

13

meningkatkan pelayanan masyarakat, (3) Tugas pembantuan dari

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota,

(4) Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.

Dalam hal pemerintahan, Desa memiliki pemerintahan sendiri.

Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi

Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan

Desa (BPD). Dalam bab XI Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 diatur

mengenai hal-ikhwal tersebut. Yang pertama, Kepala Desa merupakan

pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan

yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa

jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang lagi

untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki wewenang

menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama

BPD.

Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari

Sekretaris Desa dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat

desa adalah Sekretaris Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri

Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh Sekretaris Daerah

Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota. Perangkat Desa lainnya

14

diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan

dengan Keputusan Kepala Desa. perangkat desa juga mempunyai tugas

untuk mengayomi kepentingan masyarakatnya.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga

perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan

berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari

Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama

dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota

BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1

kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak

diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat

Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala

Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi

kewenangan desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

(APB Desa), bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah.

Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan

oleh pemerintah desa didanai dari APBD. Penyelenggaraan urusan

pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Sumber

15

pendapatan desa terdiri atas: (1) Pendapatan Asli Desa, (2) Bagi

hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota, (3) Bagian dari Dana

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, (4) Bantuan keuangan dari

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota

dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, (5) Hibah dan

sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat, (6) Pinjaman

desa.

APB Desa terdiri atas bagian Pendapatan Desa, Belanja Desa

dan Pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah

perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan

APB Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.

Pada awalnya Desa merupakan organisasi komunitas lokal yang

mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk, dan

mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah

yang disebut dengan self-governing community. Sebutan Desa sebagai

kesatuan masyarakat hukum baru dikenal pada masa kolonial

Belanda. Desa pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri yang

dikelola secara otonom tanpa ikatan hirarkhis-struktural dengan

struktur yang lebih tinggi. Di Sumatera Barat, misalnya, nagari

adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan

16

sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (selfgoverning

community).13

Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai “republik

kecil”, dimana pemerintahan Desa dibangun atas dasar prinsip

kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa

modern juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan

Desa. Desa-Desa di Jawa, mengenal Lurah (kepala Desa) beserta

perangkatnya sebagai badan eksekutif, Rapat Desa (rembug Desa)

sebagai badan legislatif yang memegang kekuasaan tertinggi, serta

Dewan Morokaki sebagai badan yudikatif yang bertugas dalam bidang

peradilan dan terkadang memainkan peran sebagai badan

pertimbangan bagi eksekutif.14 Uraian diatas ingin menegaskan

bahwa desa sejak awal deklarasi kemerdekaan telah diakui memiliki

kedudukan khusus dan memliki kemerdekaan sendiri (zelfbestuur).15

3. Tinjauan tentang Demokrasi Partisipatif di Desa

Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani,

“demos” berarti rakyat, dan “kratos” atau “kratein” yang berarti13 Sumber Saparin, “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977)14 Ibid., hlm. 4615 Willy R. Tjandra, “Praksis Good Governance”, (Jogjakarta: Pondok Edukasi, 2006), hlm. 78

17

kekuasaan. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa”.

Istilah demokrasi secara singkat diartikan sebagai pemerintahan

atau kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 16

Dalam buku Plato berjudul Republic, Plato merumuskan negara kota

Yunani kuno sebagai bentuk partisipasi langsung rakyat dalam roda

pemerintahan yang di representasikan dan di gerakkan oleh para

filsuf. Pandangan Plato tentang keterwakilan/representatif ini di

dasari atas pengaruh Socrates tentang moralitas kepercayaan

individu terhadap tatanan yang alamiah.17

Selepas era Yunani Kuno, muncul konsep Eropa klasik

merupakan respon atas sistem pemerintahan monarki absolut. Tokoh

demokrasi Eropa klasik antara lain; Jean Jacques Rousseau, John

Locke dan Thomas Paine. John Locke seorang filsuf dari Inggris

mengatakan negara harus di bangun di bawah kepercayaan rakyatnya.

Di Indonesia sendiri, sejak dulu sudah dipraktekkan ide

tentang demokrasi ini, dan hal ini dimulai dari tingkat desa.

dalam demokrasi di desa, kepala desa dipilih oleh masyarakat

desa, dan juga ada rembug desa, hal ini lah yang disebut dengan

16 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta; Gramedia, 1984), hal. 5017 Agus Sudibyo, “Politik Otentik; manusia dan kebebasan dalam pemikiranHannah Arendt", (Jakarta; Marjin Kiri, 2012), hlm. 32

18

demokrasi asli ala Indonesia. Desa adalah pemula dari demokrasi,

dan sudah saatnya saat ini demokratisasi desa muncul kembali,

melalui demokrasi partisipatif masyarakat desa, yang tidak

terlepas dari 5 ciri yang dari dulu melekat, yakni rapat,

mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak

menyingkir dari kekuasaan raja absolut mempergunakan pendekatan

kontekstual.18

Demokrasi adalah nilai dan sistem yang memberi bingkai tata

pemerintahan Desa. Secara konseptual demokrasi mengandung

sejumlah prinsip dasar: representasi, transparansi,

akuntabilitas, responsivitas dan partisipasi, yang semua prinsip

ini menjadi fondasi dasar bagi pengelolaan kebijakan, perencanaan

Desa, pengelolaan keuangan Desa dan pelayanan publik. Kalau

prinsip-prinsip dasar ini tidak ada di Desa, maka akan muncul

“penguasa tunggal” yang otokratis, serta kebijakan dan keuangan

Desa akan berjalan apa adanya secara rutin, atau bisa terjadi

kasus-kasus bermasalah yang merugikan rakyat Desa.

Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk

menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah Desa. Aspirasi adalah

18 Miriam Budiarjo, “Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila” (Jakarta: Gramedia, 1996)

19

fondasi kedaulatan rakyat yang sudah lama diamanatkan dalam

konstitusi. Demokrasi juga menjadi arena untuk mendidik mental

dan kepribadian rakyat agar mereka lebih mampu, mandiri, militant

dan mempunyai kesadaran tentang pengelolaan barang-barang publik

yang mempengaruhi hidup mereka. Pendidikan dan pembelajaran ini

penting, mengingat masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi

dan konservatif secara politik, akibat dari perkembangan zaman

yang mengutamakan orientasi material.

Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat

merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di tingkat

Desa. Sampai sekarang, elite Desa tidak mempunyai pemahaman yang

memadai tentang partisipasi. Bagi kepala Desa, partisipasi adalah

bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan

pemerintah Desa. Pemerintah Desa memobilisasi gotong-royong dan

swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber

penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan Desa.19

Secara substantif UU No. 5/1979 menempatkan Kepala Desa

bukanlah pemimpin masyarakat Desa, melainkan sebagai kepanjangan

tangan pemerintah supra Desa, yang digunakan untuk mengendalikan

19 Sumber Saparin, “Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa”. (Jakarta: Ghalia, 1977)

20

penduduk dan tanah Desa. UU No. 5/1979 menegaskan bahwa kepala

Desa dipilih oleh rakyat melalui demokrasi langsung. Ketentuan

pemilihan kepala Desa secara langsung itu merupakan sebuah sisi

demokrasi (elektoral) di aras Desa. Di saat presiden, gubernur

dan bupati ditentukan secara oligarkis oleh parlemen, kepala Desa

justru dipilih secara langsung oleh rakyat. Karena itu

keistimewaan di aras Desa ini sering disebut sebagai benteng

demokrasi di level akar-rumput.20

Tetapi secara empirik praktik pemilihan kepala Desa tidak

sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat. Pilkades selalu sarat

dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supraDesa melalui

persyaratan yang dirumuskan secara politis dan administratif.

Dalam studinya di Desa-Desa di Pati, Franz Husken (2001)

menunjukkan bahwa pilkades selalu diwarnai dengan intimidasi

terhadap rakyat, manipulasi terhadap hasil, dan dikendalikan

secara ketat oleh negara. Bagi Husken, pilkades yang paling

menonjol adalah sebuah proses politik untuk penyelesaian hubungan

kekuasaan lokal, ketimbang sebagai arena kedaulatan rakyat.

20 Ibid.,

21

Kekurang-sempurnaan demokrasi Desa tidak hanya terlihat dari

sisi pilkades, tetapi juga pada posisi kepala Desa. UU No. 5/1979

menobatkan kepala Desa sebagai “penguasa tunggal” di Desa. Kepala

Desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara, akibatnya dia

harus mengetahui apa saja yang terjadi di Desa, termasuk

”selembar daun yang jatuh dari pohon di wilayah yurisdiksinya”.

Akibat selanjutnya, Kepala Desa dalam menjalankan ”perintah”

untuk mengendalikan wilayah dan penduduk Desa terkadang

mengendalikan seluruh hajat hidup orang banyak. Ken Young (1993)

bahkan lebih suka menyebut Kepala Desa sebagai “fungsionaris

negara”

G. METODE PENELITIAN

H. Jenis Penelitian

Metode merupakan cara atau strategi yang digunakan untuk

memperoleh data yang diperlukan. Metode adalah kegiatan ilmiah

yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk

memahami suatu subjek atau objek penelitian sebagai upaya

menemukan jawaban ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun

jenis penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian yuridis

22

normatif. Metode penelitian yuridis normatif dalam penelitian ini

hendak menganalisis Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang

Desa dalam Mewujudkan Kemandirian Pemerintahan Desa Melalui

Penguatan Demokrasi Partisipatif Masyarakat Desa (analisis

normatif Bab XI Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah serta Rancangan Undang-Undang tentang Desa)

I. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan penelitian di atas maka saya mengambil

pendekatan penelitian yang di lakukan antara lain; Pertama

pendekatan perundang-undangan (statuta approach), Pendekatan

undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani. Hal ini meliputi peraturan yang berkaitan dengan

Otonomi Daerah serta yang berhubungan dengan desa seperti Undang-

undang dasar 1945 amandemen ke-4 tahun 2002, Undang-Undang nomor

32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan

Pemerintah no 72 tahun 2005 tentang Desa, serta Rancangan Undang-

Undang tentang Desa.

23

Kedua, pendekatan sejarah (Historical Approarch) yaitu

pendekatan sejarah terhadap perkembangan otonomi daerah dan desa

mulai dari zaman colonial, orde lama, zaman orde baru, zaman

reformasi, hingga pasca reformasi,. Pendekatan sejarah di lakukan

untuk mengetahui model otonomi daerah dan pemerintahan desa yang

di anut oleh Indonesia pasca kemerdekaan. Hal ini di lakukan agar

dapat memberikan kecenderungan bagi peneliti untuk merefleksikan

hukum secara lebih mendalam yang berkaitan dengan pemerintahan

desa sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman

maupun penerapan sistem hukum tertentu.

Ketiga, pendekatan konseptual (conseptual approarch). Konsep

dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang

mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang

kadangkala menunjuk pada hal-hal yang partikular. Pendekatan di

arahkan untuk mengindentifikasi atau menetapkan suatu konsep

tertentu dalam hukum. Hal ini di lakukan dengan cara menganalisis

karakteristik desa dan hakekat desa.

J. Jenis Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer

24

Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan-

bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat.

Bahan-bahan primer terdiri dari;

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

b. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah

c. Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang Desa

d. Rancangan Undang-Undang tentang Desa

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang tidak

mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang

merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli

yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan

memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Dalam

penelitian ini bahan hukum sekunder meliputi data sebagai

informasi yang di peroleh dari literatur yang berhubungan dengan

topik yang peneliti angkat, yaitu;

a. Artikel ilmiah

b. Surat kabar

25

c. Studi kepustakaan

d. Dokumen-dokumen yang di dapat melalui internet

e. Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik

penelitian

3. Bahan Hukum Tersier

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

b. Kamus Hukum Indonesia

c. Kamus Bahasa Inggris

d. Kamus Filsafat

K. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer di peroleh melalu studi pustaka terhadap

peraturan tentang pemerintahan yang relevan serta dokumen penting

lainnya.

26

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder di peroleh melalui studi pustaka

terhadap peraturan yang masih berkaitan dengan pemerintahan desa

serta dokumen-dokumen pendukung yang di peroleh dari internet.

c. Bahan Hukum tersier

Bahan hukum tersier diperoleh dengan mengutip langsung

kamus, dan doktrin-doktrin yang berkaitan langsung dengan masalah

yang di angkat peneliti.

L. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum primer yang telah di kumpulkan di analisis

dengan menggunakan metode yuridis kualitatif yang di gunakan

dalam disiplin ilmu hukum yaitu dengan memperhatikan substansi

yang terkandung dalam undang-undang, sehingga di temukan suatu

pengertian dan kaitan antara bahan hukum primer dengan konsep

pemerintahan desa dalam mewujudkan kemandirian desa melalui

penguatan demokrasi partisipatif masyarakat desa.

Pada bahan hukum sekunder, penulis mengumpulkan data yang di

perlukan untuk kemudian di olah dengan mengkomparasikan atau

27

mengeborasikan dan di jelaskan dengan metode argumentatif

sehingga membentuk suatu wacana terhadap masalah yang di angkat

peneliti. Pada bahan hukum tersier, penulis mengutip dari kamus-

kamus yang di perlukan untuk menjelaskan suatu istilah-istilah

atau doktrin-doktrin tertentu yang berkaitan dengan masalah yang

di angkat peneliti.

M. Definisi Konseptual

1. Otonomi Daerah

Pelimpahan kekuasaan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan

provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh

undang-undang, termasuk hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

2. Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat

28

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Demokrasi Partisipatif

Demokrasi partisipatif adalah sebuah proses demokrasi yang

menekankan partisipasi luas dari konstituen atau rakyat dalam

arah dan pengoperasian sistem politik termasuk didalamnya dalam

hal keputusan dan kebijakan dari pemerintah. Berbeda dengan

demokrasi perwakilan tradisional yang cenderung membatasi

partisipasi warga untuk memberikan suara, dan meninggalkan

pemerintahan yang sebenarnya kepada para politisi.

29