perbaikan mutu genetik itik bali melalui simulasi model desa ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of perbaikan mutu genetik itik bali melalui simulasi model desa ...
PERBAIKAN MUTU GENETIK ITIK BALI MELALUI
SIMULASI MODEL DESA BINAAN
Oleh :
I Gede Suranjaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
i
KATA PENGANTAR
Upaya perbaikan mutu genetik ternak unggas lokal khususnya ternak itik
nampaknya belum banyak dilakukan. Itk Bali adalah salah satu bangsa ternak
unggas lokal yang memiliki potensi dan peranan cukup penting bagi kehidupan
sosio dan budaya masyarakat di Bali.
Produktivitas itik Bali baik produksi telurnya maupun produksi dagingnya
masih perlu ditingkatkan. Melalui beberapa upaya perbaikan mutu genetiknya
diharapkan dapat dihasilkan ternak itik dengan mutu dan produktivitas unggul
yang sangat diharapkan oleh semua pihak. Paper yang berjudul Beberapa Upaya
Perbaikan Mutu Genetik Itik Lokal Di Bali ini dibuat dengan maksud untuk
didokumentasikan di Perpustakaan Pusat Univesitas Udayana Denpasar. Di dalam
tulisan ini dicoba dibahas tentang beberapa upaya atau metode yang digunakan
untuk dapat meningkatkan mutu genetik itik Bali dalam rangka untuk mencapai
peningkatan produktivitasnya.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat Dekan Fakultas Peternakan, Pembantu Dekan I Fakultas
Peternakan dan Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Udayana Denpasar atas
dapat diterimanya karya ilmiah ini untuk didokumentasikan.
Disadari bahwa karya ilimiah ini adalah masih banyak kekurangan dan
keterbatasannya, sehingga saran dan koreksi sangat diharapkan untuk
menyempurnakannya Sebagai akhir kata, besar harapan penulis semoga tulisan ini
ada manfaatnya.
Denpasar, Mei 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
hal
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi ....................................................................................................... ii
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
MANAGEMEN PEMELIHARAAN DAN PRODUKTIVITAS ITIK BALI . 3
Managemen Pemeliharaan .................................................................... 3
Produktivitas Itik Bali .......................................................................... 4
UPAYA PERBAIKAN MUTU GENETIK ITIK BALI................................. 8
Seleksi di dalam Bangsa Murni ............................................................. 8
Metoda Village Breeding/ Desa Pembibitan ......................................... 9
SIMULASI MODEL DESA BINAAN DI BALL ......................................... 11
PENUTUP .................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 15
1
PENDAHULUAN
Itik Bali termasuk bangsa unggas lokal yang memiliki potensi sebagai
penghasil daging dan telur cukup tinggi. Secara umum pemilikan dan keberadaan
ternak itik di Bali tersebar merata dikalangan petani-peternak di desa-desa dengan
managemen pemeliharaannya sebagian besar masih dilakukan secara ekstensif
tradisional. Kondisi seperti itu menyebabkan kemajuan usaha peternakan itik di
Bali tidak sepesat seperti perkembangan usaha peternakan ayam ras, walaupun
disatu sisi ternak itik itu memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sosio budaya masyarakat Hindu Bali. Seperti misalnya pemanfaatan dan
permintaan terhadap itik Bali berbulu putih cukup tinggi baik secara ekonomis
maupun untuk kepentingan upacara adat di Bali, karena ketersediaannya terbatas,
sehingga mengakibatkan harga itik berbulu putih menjadi cukup mahal. Sementara
itik Bali bulu coklat lebih banyak diarahkan sebagai ternak potong dan
produksinya adalah untuk melayani kebutuhan restorant-restorant besar yang
berlokasi di jalur wisata seperti Ubud, Peliatan yang khusus menyediakan menu
olahan daging itik baik tradisional maupun internasional yang sangat digemari
oleh para wisatawan.
Kebutuhan terhadap itik potong terus meningkat sejalan dengan
perkembangan dunia pariwisata di Bali saat ini. Jumlah wisatawan baik domestik
maupun mancanegara yang datang ke Bali setiap tahun semakin meningkat.
Kondisi seperti itu adalah merupakan sebuah peluang sekaligus juga tantangan
bagi para peternak maupun pengusaha dalam upaya mengembangkan usaha
peternakan itik Bali secara lebih intensif. Namun di sisi yang lain, banyaknya alih
fungsi lahan pertanian menjadi tempat pemukiman atau kepentingan lainnya yang
terjadi saat ini adalah suatu kontradiksi dalam upaya pengembangan usaha
peternakan itik itu. Berdasarkan laporan BPS-Bali (2014), populasi ternak itik di
Bali selama periode tahun 2009 – 2013 tercatat terjadi penurunan yang cukup
signifikan. Data terakhir tahun 2013 populasi itik di Bali tercatat sebanyak
692.346 ekor, dengan sebaran populasi terbanyak terdapat di tiga kabupaten yaitu
2
Gianyar sebanyak 155.796 ekor, Klungkung 123.648 ekor dan Tabanan sebanyak
95.599 ekor.
Untuk menunjang program pengembangan peternakan itik di Bali,
ketersediaan bibit yang bermutu dan harganya yang terjangkau oleh daya beli
petani-peternak adalah sangat diperlukan. Di pihak lain, kendala masih rendahnya
tingkat produktivitas itik Bali sebagai penghasil telur dan daging secara kualitas
dan kuantitas adalah perlu mendapat perhatian. Usaha-usaha peningkatan mutu
genetik itik Bali adalah perlu dilakukan, tetapi langkah tersebut hendaknya tidak
mengabaikan usaha pemurniannya untuk tetap mempertahankan kelestariannya
Menurut Martojo dan juga Mansjoer dkk. dalam Hadjosworo (1995) bahwa usaha
peningkatan mutu genetik itik lokal dapat dilakukan melalui program seleksi,
persilangan antar itik lokal ataupun persilangan antara itik lokal dengan bangsa itik
impor bagi daerah yang lingkungannya mendukung. Selanjutnya hasil persilangan
tersebut dapat dipelihara dan dikembangkan di luar lokasi-lokasi pembibitan yang
telah memiliki bangsa itik tertentu.
Desa Takmung di Kabupaten Klungkung dan desa Ubud di Kabupaten
Gianyar Bali, adalah desa yang terkenal sebagai tempat usaha pengembangan dan
pembibitan itik Bali murni yang menghasilkan ternak bibit untuk keperluan petani-
peternak di desa lain. Peningkatan mutu bibit itik Bali yang dihasilkan dari desa
sumber bibit itu nampaknya masih perlu dilakukan. Perbaikan mutu genetik kearah
peningkatan produksi telur dan daging adalah salah satu usaha yang perlu
dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas itik Bali.
3
MANAGEMEN PEMELIHARAAN DAN PRODUKTIVITAS ITIK BALI
Managemen Pemeliharaan
Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa bangsa itik lokal yang ada di
Indonesia saat ini adalah keturunan dari tetua itik pendatang yang telah mengalami
domestikasi tetapi belum ada catatan waktu yang pasti kapan dimasukkan ke
wilayah Indonesia. Di daerah Jawa Barat, bangsa itik lokal itu dikelompokkan atas
tiga kelompok berdasarkan habitat hidupnya, yaitu : 1). Itik dataran rendah yang
hidup di daerah persawahan (itik Cirebon, Karawang, Serang); 2). Itik gunung atau
yang hidup di daerah dataran tinggi (itik Cihateup) dan 3). Itik rawa yaitu itik yang
hidup di derah berawa-rawa (itik Alabio). Sedangkan Windhyarti (1999) membagi
itik peliharaan yang ada saat ini menjadi tiga tipe yaitu : 1). Tipe pedaging,
misalnya itik Muscopy, itik manila; 2). Tipe ornamental/hias, misalnya itik Blue
Swedish; dan 3). Tipe petelur, seperti itik Karawang, itik Mojosari, itik Tegal, itik
Magelang, itik Bali (Anas sp.), itik Alabio (Anas platurynchos borneo), itik khaki
Campbell, serta itik unggul lain hasil persilangan produksi para pakar peternakan
di Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi-Bogor.
Ciri khas itik Bali adalah dari segi pola warna bulunya. Secara umum
terdapat dua pola warna bulu yaitu itik bulu sikep yaitu itik dengan warna bulu
putih, paruh dan kaki (shank) kuning dan yang lainnya adalah itik bulu sumi yaitu
itk dengan warna bulu coklat seperti jerami dengan paruh dan kaki berwarna
hitam.
Usaha peternakan itik umumnya terbatas dilakukan di daerah-daerah
tertentu saja. Terkonsentrasinya pemeliharaan itik di suatu lokasi terjadi karena
pengaruh pola pemeliharaan yang masih bersifat tradisional. Pola pemeliharaan
seperti itu adalah sangat tergantung pada lahan-lahan persawahan yang diperlukan
sebagai tempat penggembalaan. Menurut Matram (1984) bahwa pemeliharaan itik
di Bali adalah masih bersifat tradisional yaitu sekelompok itik digembalakan
secara berpindah-pindah, mencari lokasi sawah yang habis panen dari satu tempat
ke tempat lain. Alasan-alasan cara itu dilakukan adalah : 1) pemeliharaan itik
secara tradisional adalah memerlukan air terbuka, 2). untuk dapat memanfaatkan
sisa panen dan jenis-jenis satwa air sebagai sumber pakan. Hal ini adalah dianggap
sebagai cara yang efektif oleh peternak untuk mendapatkan produksi telor dengan
biaya pakan yang murah. Tetapi sekarang pola pemeliharaan dengan sistem
4
pengembalaan cenderung tidak berkembang dan jumlah penggembala itik juga
berkurang. Salah satu faktor yang disinyalir sebagai penyebabnya adalah karena
semakin banyaknya lahan-lahan pertanian yang dialihfungsikan sebagai daerah
pemukiman/perumahan.
Sedangkan menurut Astiningsih et al., (1993) bahwa dewasa ini di
beberapa tempat pola peternakan itik Bali telah berkembang dari sistem
pemeliharaan ekstensif tradisional ke semi-ekstensif. Kemudian berkembang lagi
ke sistem pemeliharaan terkurung dalam kandang (intensif) dengan
mempergunakan pembatasan makanan sebagai usaha untuk menekan biaya pakan.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan effisiensi penggunaan lahan sebagai
dampak dari menyempitnya lahan peternakan atau lahan untuk penggembalaan.
Konsekuensi dari sistem ini adalah tentu saja harus didukung oleh penyediaan
pakan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan itik akan gizi pada berbagai
tingkatan umur dan produksi.
Menurut Matram (1984) pengembangan pola pemeliharaan ke sistem
terkurung dengan pemberian ransum kering tanpa tersedianya air terbuka dapat
memberikan prospek yang lebih baik bagi petani-peternak. Pemeliharaan itik Bali
dengan sistem terkurung setidak-tidaknya dapat menunjukkan adanya indikasi ke
arah menuju perkembangan peternakan itik yang lebih maju, karena dapat
menjangkau jumlah peternak yang lebih banyak, tidak terbatas seperti pada sistem
penggembalaan.
Produktivitas Itik Bali
Secara umum produktivitas pada bangsa ternak unggas meliputi umur
dewasa kelamin, kecepatan pertumbuhan badan, produksi daging dan karkas,
produksi telur, lama masa waktu bertelur dan kualitas telur. Produktivitas seekor
ternak tergantung dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
mempengaruhi produktivitas pada bangsa unggas adalah umur masak kelamin,
sedangkan faktor lingkungan adalah pakan, managemen pemeliharaan, suhu
lingkungan, kesehatan dan penyakit.
Pertumbuhan itik bali jantan dan betina baik bulu coklat maupun putih
pada umur-umur awal atau sebelum mengalami dewasa kelamin memiliki bobot
5
badan yang hampir sama. Bila dibandingkan dengan itik Alabio dan Mojosari yang
memiliki bobot awal secara rata-rata sebesar 40,27 dan 39,47 g (Susanti, dkk.,
1998), bobot awal itik Bali relatif lebih tinggi daripada kedua jenis itik tersebut.
Menurut Hardjosworo (1988) penyebab perbedaan bobot badan pada umur-umur
awal itu adalah lebih banyak karena faktor genetik dan bobot dari telur tetasnya.
Perbedaan pertumbuhan akan mulai tampak pada umur 6 minggu antara jantan dan
betina, sedangkan berdasarkan warna bulu dalam jenis kelamin yang sama
perbedaan pertumbuhan mulai terjadi pada umur 12 minggu. Itik bali betina bulu
putih memiliki bobot badan 1442,07 gram yang nyata lebih kecil dibandingkan
betina coklat dengan bobot 1495,32 gram. Bobot badan itik Bali pada umur 8
minggu relatif lebih besar dibandingkan dengan itik jenis lain. Susanti, dkk. (1998)
memperoleh bobot badan 8 minggu pada itik Alabio, Mojosari, persilangan Alabio
x Mojosari dan persilangan Mojosari x Alabio berturut-turut 1009 gram, 953 gram,
1002 gram dan 1144 gram. Perbedaan pertumbuhan tersebut sangat dipengaruhi
oleh pakan yang dikonsumsi, lingkungan sekitar, sistem perkandangan dan potensi
genetiknya. Pertambahan bobot badan yang paling tinggi pada umur 4-5 mmggu.
Hal ini sejalan dengan pertumbuhan secara umum yaitu pada 0 - 5 minggu pertama
pertumbuhan mula-mula lambat, kemudian mulai umur 5 minggu pertumbuhan
mulai cepat sampai umur 12 minggu, setelah itu pertumbuhan mulai konstan
sehingga membentuk kurva pertumbuhan yang menyerupai huruf S dan disebut
kurva sigmoid. Konsumsi ransum pada itik Bali baik jantan maupun betina
meningkat sampai dengan umur 12 minggu sesuai dengan tingkat
pertumbuhannya, dengan konsumsi pakan itik jantan 125 g/ekor/hari dan itik
betina 135 g/ekor/hari pada umur 12 minggu. Konsumsi pakan sangat dipengaruhi
oleh keadaan hngkungan, yaitu ketersediaan air. Apabila air sulit diperoleh, maka
itik akan mengkonsumsi pakan lebih sedikit, sehingga pertumbuhan akan
terganggu. Nilai konversi ransum pada umur 0-8 minggu berkisar antara 2,53
sampai 5,39 untuk itik betina dengan rata-rata 3,915, sedangkan nilai konversi
ransum itik jantan berkisar antara 2,59 sampai 5,09 dengan rata-rata 3,52. Nilai
konversi ini relatif sama dengan itik Alabio, Mojosari, maupun persilangan bolak
balik antara Alabio dan Mojosari (Susanti, dkk.,1998) . Mortalitas itik betina lebih
6
tinggi dibanding itik jantan, karena daya tahan dan daya adaptasi itik bali betina
terhadap lingkungan lebih rendah, terutama pada minggu pertama sampai minggu
keempat.
Performans Produksi Telur
Di Bali saat ini terdapat dua jenis itik yaitu itik bulu sumi yaitu warna
bulunya seperti jerami padi dan bulu sikep yang warna bulunya putih, dan kedua
jenis itik itu selanjutnya dikenal sebagai itik Bali. Kemampuan itik Bali sebagai
penghasil telur adalah cukup potensial, tetapi tampak masih terdapat keragaman
produksi yang cukup tinggi.
Hasil penelitian Limbak (1977) menunjukkan bahwa pada awal
produksinya, itik Bali bulu sumi dan bulu putih yang dipelihara secara ekstensif
memiliki berat telur masing-masing 49,9 dan 59,9 gram Sedangkan Sarengat
(1989) melaporkan rata-rata produksi telur selama 6 minggu dari itik Bali umur 7
bulan yang dipelihara secara intensif adalah 14,3 butir dengan berat telur adalah
57,38 gram. Dari laporan itu dinyatakan pula bahwa berat telur itik Bali nyata
lebih rendah dari pada berat telur itik Tegal. Laporan lain oleh Hetzel (1985)
menunjukkan bahwa produksi telur itik Bali yang dipelihara secara intensif sampai
umur 68 minggu adalah 125 butir, dengan rata-rata berat telur yang didapatkan
adalah 65,7 gram Dibandingkan dengan hasil penelitian Gunawan dan Hetzel
(1981) bahwa produksi telur itik Tegal yang dipelihara secara ekstensif sampai
umur 47 minggu adalah 61 butir dengan berat telur rata-rata 69,7 gram Sedangkan
laporan Suharno dan Amri (1995) menyatakan bahwa itik Bali bulu sumi lebih
produktif dibandingkan dengan itik bulu sikep. Itik Bali bulu sumi dapat
menghasilkan telur rata-rata 130 butir/tahun, sedangkan yang bulu sikep adalah
rata-rata 100 butir/tahun dengan berat telur rata-rata 59 gram. Dinyatakan pula
bahwa bobot tubuh standar itik Bali jantan dewasa adalah 1.8 - 2 kg dan yang
betina adalah 1.6 -1.8 kg
Itik Bali umumnya mulai bertelur pada umur 23 - 24 minggu dan tidak
memiliki sifat mengerami telurnya Tingkat fertilitas dan daya tetas telurnya dapat
dikatakan cukup tinggi. Suwendra (1975) melaporkan bahwa fertilitas telur itik
Bali yang dipelihara secara ekstensif pada musim hujan adalah 74,52% dengan
daya tetas 72,70%. Sedangkan pada musim kemarau fertilitas dan daya tetas telur
itik Bali mengalami penurunan yaitu fertilitasnya adalah 65,50% dan daya tetasnya
68,70%.
7
Menurut Hardjosworo dan Rukmiasih (1999) penilaian produktivitas telur dari
sekelompok itik adalah dengan menghitung produksi harian atau PTH (Produksi
Telur Harian). Produktivitas telur baik bila nilai PTH tersebut lebih dari 60%. Itik
mempunyai nilai PTH tinggi bila dipelihara tidak lebih dari umur 18 bulan.
Ransum dengan kualitas baik akan menghasilkan produksi yang tinggi dan dapat
dipertahankan sampai akhir masa produksi. Keadaan ini dapat dicapai bila terjadi
keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan lainnya seperti
lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Itik umumnya mengalami usia masak
kelamin pada umur 20-22 minggu dan lama produksi telur selama 15 bulan. Itik
mengalami puncak produksi tertinggi pada umur 27-32 minggu.
Bobot telur biasanya digunakan sebagai ukuran telur. Ada beberapa variasi
perbedaan ukuran telur, variasi ini disebabkan faktor genetik dan perbedaan
lingkungan seperti bangsa, umur dewasa kelamin, obat-obatan, zat nurisi, tingkat
protein dalam ransum, cara pemeliharaan dan suhu lingkungan (Siagian, 1996).
Dinyatakan pula bahwa berat telur akan bertambah sampai pada batas tertentu dan
selanjutnya berat telur relatif konstan.
Bobot telur pertama itik Bali warna putih dan coklat adalah sebesar 56.33 ±
8.61 g/butir dan 57.68 ± 5.99 g/butir. Menurut Murtidjo (1988), rata-rata bobot
telur itik Bali sebesar 59 g/butir. Produksi telur itik Bali putih nyata lebih tinggi
dibandingkan itik Bali berwarna coklat dimulai pada produksi minggu ke-12
sampai dengan ke-28. Rataan total produksi telur itik Bali putih sebesar 175.22 ±
32.51 hari, nyata lebih cepat dibandingkan itik Bali yang berwarna coklat (199.29
±41.55 hari). Rataan umur pertama bertelur itik Bali (22.14 minggu) ini masih
lebih tinggi dibandingkan itik Alabio, Tegal, CV-A dan CV 2000 yang berturut-
turut sebesar 156, 154, 146 dan 145 hari.
8
UPAYA PERBAIKAN MUTU GENETIK ITIK BALI
Potensi genetik itik lokal yang memiliki nilai ekonomis nampaknya belum
tergali keunggulannya karena kurangnya atau belum adanya usaha-usaha seleksi
untuk sifat-sifat tersebut (Hardjosworo, 1995). Keadaan serupa juga terjadi pada
itik Bali. Walaupun belum mengalami seleksi namun tidak tertutup kemungkinan
bahwa itik-itik yang dipelihara di lingkungan peternak di pedesaan terdapat itik-
itik bermutu unggul. Hal itu ditunjukkan dengan masih bervariasinya kemampuan
produksi telur dan keragaman genetik yang cukup tinggi. Kondisi seperti itu sudah
tentu akan sangat bermanfaat bagi usaha-usaha peningkatan mutu dan
pengembangannya
Menurut Martojo (1979) ada dua alternatif usaha yang dapat dilakukan
dalam program pemuliaan itik lokal di Indonesia yaitu : l)melalui program seleksi
dalam bangsa lokal seperti itik Alabio, Tegal, Mojosari, Bali dan lain-lain yang
cara pelaksanaannya sama seperti pada ayam kecuali pada penetasannya, 2)melalui
program persilangan secara terbatas yang dilakukan di lembaga-lembaga
penelitian atau daerah-daerah non pembibitan murni antara itik lokal dengan lokal
ataupun dengan itik impor.
Seleksi di dalam Bangsa Murni
Seleksi pada populasi itik Bali dimaksudkan adalah proses seleksi yang
dilakukan di lokasi-lokasi peternakan itik Bali murni sesuai dengan anjuran
Martojo (1979). Program seleksi ini dapat dilakukan dengan mengambil pola yang
sama seperti pada program seleksi ayam buras. Secara garis besar tahapan program
yang disarankan itu adalah sebagai berikut:
1. Seleksi didasarkan terutama pada pencatatan produksi telur pada itik betina
dan pertumbuhan/besar tubuh pada itik pejantan/calon pejantan.
2. Seleksi dilakukan secara teratur 3 bulan satu kali dengan seleksi individual
(mass selection) dengan tekanan pada pejantan, dan penyuluhan kepada
9
peternak mengenai seleksi dan culling betina Calon pejantan terpilih
dititipkan kepada penduduk di desa bersangkutan.
3. Dalam hal ini dapat dipilih desa-desa tertentu sebagai pusat pembibitan
dimana usaha seleksi terkosentrasi dapat dilakukan sehingga terbentuk
desa-desa sumber bibit itik Bali murni.
Seleksi terkonsentrasi akan berhasil baik jika dilakukan pada kondisi
peternak yang terhimpun dalam kelompok-kelompok peternak. Melalui beberapa
peternak andalan pada kelompok peternak itu maka pelaksanaan penyuluhan,
proses pencatatan produksi secara sederhana dan seleksi terhadap ternak sebagai
penghasil bibit dapat dilakukan. Proses seleksi ternak penghasil bibit yang
terencana dengan baik pada peternak andalan peternak maka akan menjadikan
peternak penghasil bibit yang baik. Selanjutnya berkembang sebagai kelompok-
kelompok peternak pembibit dan akhirnya akan terbentuk desa-desa sumber bibit.
Melalui desa-desa sumber bibit ini maka program peningkatan mutu genetik itik
Bali dapat dilakukan secara meluas.
Metoda Village Breeding / Desa Pembibitan
Program peningkatan mutu genetik itik Bali dapat pula dilakukan dengan
meniru teknologi village breeding. Teknologi village breeding adalah metode
yang dikembangkan oleh Gunawan, dkk (1995) yang pada dasarnya adalah suatu
program seleksi pada itik Alabio untuk meningkatkan mutu genetiknya. Pada
program itu dilakukan evaluasi terhadap produktivitas ternak itik di desa Amuntai
sebagai sentra peternakan itik Alabio di Kalimantan Selatan. Tahapan-tahapan dari
metoda itu adalah sebagai beriku t:
1. Dilakukan pemilihan populasi itik yang berasal dari 3 peternak penghasil
telur tetas terbaik sebagai populasi dasar dan selanjutnya diikuti dengan
program seleksi.
2. Dari 3 peternak terbaik itu dipilih sebanyak 40 ekor pejantan dan 200 ekor
betina Populasi seleksi dibagi menjadi 40 group yang masing-masing
terdiri dari 5 ekor betina dan 1 ekor jantan. Itik jantan diseleksi
berdasarkan informasi rataan produksi telur kelompok anaknya
10
3. Sedangkan untuk populasi kontrol dipilih secara acak dari 20 orang
peternak sebanyak 4 ekor jantan dan 60 ekor betina, kemudian dibagi
menjadi 4 group yang masing-masing terdiri dari 1 ekor jantan dan 15 ekor
betina.
4. Kedua macam populasi itu ditempatkan pada seorang peternak dan
dipelihara dengan sistem pemeliharaan yang sama Selanjutnya dilakukan
pencatatan fertilitas, daya tetas telur, produksi telur dan effisiensi pakan.
Estimasi respon terhadap satu generasi seleksi dihitung berdasarkan
perbedaan produktivitas antara populasi seleksi dengan populasi kontrol.
Metode diatas pada dasarnya adalah tergantung kepada variasi
produktivitas antar peternak. Kondisi populasi dengan variasi produktivitas yang
tinggi adalah memperbesar peluang keberhasilan peningkatan mutu genetik ternak
melalui seleksi. Secara teoritis pembentukan populasi dasar yang dipilih dari
beberapa peternak akan memberikan respon seleksi yang lebih besar dari pada
hanya menggunakan ternak-ternak dari peternak terbaik saja (Gunawan dan James,
1986). Menurut Gunawan (1995) bahwa melalui metoda village breeding secara
umum dapat meningkatkan produksi telur dari populasi terseleksi yaitu sebesar
6.17% / tahun dengan konversi pakan 0.63 dibandingkan dengan populasi kontrol.
Deviasi itu merupakan expresi dari peningkatan mutu genetik pada populasi
terseleksi sebagai akibat dari respon terhadap seleksi. Peningkatan mutu genetik
itu terutama berasal dari hasil seleksi pej antan dimana itik jantan yang digunakan
dalam populasi seleksi dipilih berdasarkan produksi telur dari rataan kelompok
anaknya Selanjutnya dinyatakan pula apabila peningkatan produksi telur 6.17% itu
konsisten selama 1 tahun, maka hal itu identik dengan peningkatan produksi telur
sebanyak kurang lebih 22 butir/tahun.
11
SIMULASI MODEL DESA BINAAN DI BALI
Untuk daerah Bali, desa Takmung Kabupaten Klungkung dan desa Ubud
Kabupaten Gianyar adalah lokasi yang cukup mendukung digunakan sebagai
model desa binaan tempat dilakukannya seleksi terhadap itik Bali murni. Alasan
yang mendasari karena di kedua desa ini terdapat populasi itik Bali murni yang
cukup besar, juga terdapat kelompok-kelompok peternak dengan organisasi yang
cukup baik serta terdapat beberapa usaha penetasan telur itik secara tradisional
untuk memproduksi ternak bibit bagi keperluan peternak di desa lain. Sesuai
dengan kondisi tersebut diatas maka kedua desa itu dapat digunakan sebagai
model desa binaan tempat pelaksanaan program peningkatan mutu genetik itik
Bali.
Kondisi peternak itik Bali di kedua desa ini yang tergabung dalam bentuk
kelompok-kelompok peternak adalah faktor penunjang dalam pelaksanaan
penyuluhan, program seleksi ataupun pengenalan proses pencatatan
produksi/reproduksi yang sederhana Sesuai dengan pendapat Sidadolog dalam
Hardjosworo (1995) bahwa peningkatan mutu genetik unggas lokal termasuk itik
dapat dilakukan di lahan-lahan peternak dengan melibatkan peternaknya sendiri.
Salah satunya adalah melalui pembentukan kelompok-kelompok peternak
pembibit terdidik.
Kemungkinan menggabungkan yaitu metoda seleksi di dalam bangsa itik
Bali murni (Martojo, 1979) dengan metoda village breeding (Gunawan dkk, 1995)
adalah berpeluang untuk diterapkan di kedua desa ini untuk meningkatkan mutu
genetik itik Bali. Dapat pula dilibatkan kerja sama antara peternak dan perusahaan
penetasan telur tetas. Peranan perusahaan penetasan untuk keberhasilan seleksi
juga cukup penting. Informasi awal mengenai tingkat produksi, fertilitas dan
kualitas telur tetas yang dihasilkan peternak-peternak di masing-masing desa dapat
diperoleh melalui kerja sama dengan perusahaan penetasan setempat yang
menampung telur-telur tetas yang dihasilkan oleh peternak-peternak pembibit di
sekitarnya Hadjosworo (1995) menyatakan bahwa dalam kegiatan memproduksi
bibit yang unggul hendaknya ada kerja sama antara peternak dan pengusaha
Peternak dilibatkan dalam memproduksi ternak berkualitas baik melalui seleksi
12
pendahuluan di lahan peternakannya dengan bimbingan dan arahan seorang ahli.
Sedangkan pengusaha penetasan hendaknya membeli telur-telur tetas yang
dihasilkan oleh peternak atau ternak hasil seleksi peternak untuk dijadikan bahan
dasar bibit unggul.
Berdasarkan informasi atau catatan yang dibuat oleh perusahaan penetasan
itu dapat diketahui kualitas telur tetas dan tingkat produksi dari masing-masing
peternak, selanjutnya dapat dipakai pedoman dalam memilih kelompok peternak
terbaik. Dari kelompok peternak terbaik itu proses seleksi dapat diawali yaitu
dengan memilih sejumlah betina dan jantan terbaik sebagai populasi dasar
terseleksi. Kelompok-kelompok dengan prestasi di atas rata-rata keseluruhan
adalah dipertimbangkan sebagai populasi terbaik. Untuk menghindari proses
inbreeding, maka bisa dilakukan pertukaran pejantan antar peternak terbaik atau
mungkin juga antar peternak terbaik antar kedua desa sumber bibit. Sebagai
ilustrasi dapat digambarkan upaya perbaikan mutu genetik itik bali melalui model
yang disarankan itu adalah sebagai berikut:
13
Gambar 1. Skema sederhana proses produksi ternak bibit
Perternak A
Perternak B
Perternak C
Perusahaan Penetasan
Pop. Terseleksi
Klp. 1
Klp. 2
Klp. 3
Klp. 4
Pop. Terbaik
Ternak bibit
14
PENUTUP
Itik Bali adalah ternak lokal yang memiliki kemampuan menghasilkan telur
dan daging yang cukup potensial. Dari segi sifat-sifat yang memiliki nilai
ekonomis, keunggulan itik Bali masih perlu ditingkatkan lagi. Besarnya
keragaman produksi telur dan pertambahan bobot badan pada itik Bali adalah
salah satu sifat yang memiliki peluang cukup baik untuk dilakukannya seleksi dan
perbaikan mutu genetiknya
Peningkatan mutu genetik itik Bali melalui seleksi akan dapat mencapai
keberhasilan bila melibatkan peternak, dilakukan di lahan peternak dan dengan
metoda seleksi yang sesuai dengan kondisi pedesaan. Kerjasama dengan
perusahaan penetasan telur tetas juga sangat mendukung dalam upaya
menghasilkan bibit-bibit itik yang bermutu baik.
Akhirnya prospek pengembangan dan usaha peningkatan mutu genetik itik
Bali adalah cukup cerah mengingat peranannya tidak hanya sebagai sumber
pangan dan sumber pendapatan bagi peternak tetapi juga berperanan penting
dalam kehidupan sosio budaya masyarakat Bali.
15
DAFTAR PUSTAKA
Astiningsih, K., IK. Anom Wiyana, IN. Suwindra dan IM. Patra. 1993.
Perbandingan Perfbrman Itik Bali, Itik Tegal dan Itik Alabio yang
dipelihara secara berpindah-pindah dan secara terkurung dengan ransum
terapan pada masa pertumbuhan dan peneluran (umur 3-26 minggu).
Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Univ. Udayana. Denpasar.
BPS-Bali., 2014. Bali dalam Angka Tahun 2014. Biro Pusat Statistik Bali,
Denpasar-Bali.
Dinas Peternakan Daerah Tingkat I Bali. 1993. Informasi data Peternakan Prop.
Daerah TK I Bali TH1991-1992. Denpasar-Bali.
Gunawan, B. 1987. The Application of quantitative Genetics Technology In
Development of Indonesian Layer Ducks 1. Genetic Selection Within
Indonesian Native and Exotic Khaki Campbell Ducks For High Egg
ProductionMedia Ilmu dan Peternakan. Vol.3, No. 1, p. 19-21. Balitnak.
Gunawan, B., K. Diwyanto, M. Sabrani dan S.A. Dahlan. 1995. Teknologi Village
Breeding untuk Meningkatkan Produktivitas Itik Alabio Di Amuntai
Kalimantan Selatan. Proc. Seminar Nasional Sains dan Teknologi
Peternakan, 25-26 Januari 1995Balitnak, Ciawi-Bogor.
Hardjosworo, P.S. 1995. Peluang Pemanfaatan Potensi Genetik dan Prospek
Pengembangan Unggas Lokal. Proc. Seminar Nasional Sains dan
Teknologi Peternakan, 25-26 Januari 1995. Balitnak, Ciawi-Bogor.
Hardjosworo, P. dan Rukmiasih. 1999. Itik Permasalahan dan Pemecahan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Hetzel, D.J.L 1985. Duck Breeding strategies the Indonesian example. In Duck
Production Science and world Practice. Ferrel, D.J. and Stapleton, P. Ed.
Univ. of. New England, pp. 204-223.
Limbak, K.K. 1977. Produksi pertama itik bulu sumi dibandingkan dengan itik
bulu putih yang dipelihara oleh rakyat di Kediri Tabanan Bali. Skripsi Fak.
Kedokteran Hewan dan Peternakan. Univ. Udayana Denpasar.
Martojo, H 1979. Beberapa Pemikiran Mengenai Perbaikan Mutu Genetik Unggas
Dalam Peternakan Tradisional. Proc. Seminar Penelitian dan Penunjang
Pengembangan Peternakan, 5-8 Nopember 1979. Lembaga Penelitian
Peernakan. Balitbang Pertanian Deptati Bogor.
16
Matram, R.B. 1984. Pengaruh Imbangan Kalori/Protein dan Pembatasan Ransum
terhadap pertumbuhan dan produksi telur Itik Bali. Desertasi Univ.
Padjajaran Bandung.
Narahari, D., K. Abdul Mujeer, Maqbool, Ahmed, R. Asha Rajini and V.
Sundarasu. 1989. Factors Influencing The Hatching Perforniance of Duck
Eggs. J of British Poultrv Sci. VoI.32,No. 2, p.313-318.
Prasetyo, L. H., B. Brahmantiyo dan B. Wibowo. 2003. Produksi telur persilangan
itik mojosari dan alabio sebagai bibit niaga unggulan itik petelur. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Hal : 360-
364.
Prasetyo, L. H., P. P.Kateren dan P. S. Hardjosworo. 2006. Perkembangan
teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Unggas Air II. Balai
Penelitian Ternak, Bogor. Hal : 145-161.
Sarengat, W. 1989. Perbandingan produksi telur itik Tegal, Itik Magelang, itik
Mojosari dan itik Bali pada pemeliharaan intensif Proc. Seminar Nasional
tentang Unggas Lokal. Univ. Diponogoro. Semarang.
Suharno, B., K. Amri. 1996. Beternak itik secara Intensif PT. Penebar Swadaya
Jakarta.
Suwendra, I.K. 1975. Korelasi antara berat telur itik Bali dengan anaknya pada
penetesan gabah di Kediri Tabanan. Skripsi. Fak. Kedokteran Hewan dan
Peternakan Univ. Udayana. Denpasar.
Windhyarti, S. 1999. Beternak Itik Tanpa Air. Penebar Swadaya, Jakarta.