Game Theory, Prisoners Dilemma, Hukum Persaingan Usaha, Menghancurkan Kartel

188
Aplikasi Game Theory Prisoner's Dilemma dalam Menghancurkan Kartel di Indonesia

Transcript of Game Theory, Prisoners Dilemma, Hukum Persaingan Usaha, Menghancurkan Kartel

Aplikasi Game TheoryPrisoner's Dilemma dalamMenghancurkan Kartel di

Indonesia

ii

DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL.............................................................................................. iBAB I.................................................1PENDAHULUAN...........................................11.1Latar Belakang........................................1

1.2Pokok Permasalahan....................................71.3Tujuan Penulisan......................................7

1.4Kajian Pustaka........................................81.4.2 Dasar pemidanaan suatu perbuatan.................9

1.4.3 Makna perbuatan jahat (crime): Apa itu kejahatan.111.5Metode Penelitian....................................17

1.6Sistematika Penulisan................................19

BAB II...............................................22DASAR PENGKRIMINALISASIAN SUATU PERBUATAN............222.1Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dan Kebijakan Hukum

Pidana (Penal Policy)...................................222.1.1 Arti kebijakan criminal (criminal policy) dan

kebijakan hukum pidana (penal policy) dan hubunganantara keduanya..................................22

2.1.2 Manfaat perumusan kebijakan pidana..............252.2Kriteria penentuan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana/kejahatan (crime)..............................272.3Tujuan Hukum Pidana..................................30

Gulden regel............................................30Menghindari main hakim sendiri.............................31

2.4Fungsi sanksi pidana.................................322.3.1 Retribusi.......................................33

Universitas Indonesia

iii

2.3.2 Deteren atau efek jera..........................34

2.3.3 Pelumpuhan (incapacitation)........................352.3.4 Rehabilitasi....................................35

2.3.5 Restoratif......................................35

BAB III..............................................38PENGERTIAN KARTEL DAN DASAR KRIMINALISASI KARTEL.....383.1Pengertian kartel secara umum........................38

3.2Pengertian kartel berdasarkan unsur Pasal 11 UUNo.5/1999............................................39

3.3Ciri-ciri kartel.....................................423.4..........................................Bentuk kartel

.....................................................431. The minor cartelist...................................43

2. The incompetent cartelist..............................443. The unlucky cartelist..................................45

4. The naïve cartelist....................................453.5.............................Dasar Kriminalisasi Kartel

.....................................................463.4.1 Terkait makna (arti) kejahatan: kartel merupakan

suatu kejahatan..................................463.4.1.1.......Berdasarkan pendekatan teori normatif

...........................................463.4.1.2 Berdasarkan pendekatan konsekuensi perbuatan

...........................................493.4.1.3.........Berdasarkan kriteria-kriteria untuk

menentukan suatu perbuatan suatu kejahatan.493.4.2 Terkait tujuan hukum pidana.....................51

3.4.3 Terkait fungsi hukum pidana.....................523.4.4 Dampak buruk kartel.............................53

3.4.4.1........Kartel secara analogis dan asosiatifmerupakan pencurian........................53

Universitas Indonesia

iv

3.4.4.2. Pengalihan surplus konsumen kepada produsenmerupakan pencurian sehingga perbuatanpengalihan tersebut dikriminalisasi........55

3.4.4.3 Kartel menyebabkan kerugian ekonomi terhadapkonsumen, pelaku usaha, dan kesejahteraanumum.......................................58

BAB IV...............................................70STRATEGI PRISONER’S DILEMMA: DILEMA PENDEKATAN SANKSIPIDANA PENJARA, SANKSI PIDANA DENDA, DAN/ATAU GANTIRUGI PERDATA.........................................704.1Prisoner’s Dilemma......................................71

4.1.1 Sejarah penentuan sanksi atas kartel di AmerikaSerikat..........................................71

4.1.2 Strategi Prisoner’s Dilemma dan tarik-menarik antarasanksi pidana penjara, pidana denda dan/atau gantirugi perdata dalam skema strategi prisoner’s dilemma. 81

4.2. Cara Merumuskan Kebijakan Sanksi Terhadap Kartel UntukMeningkatkan Efek Jera di Amerika Serikat............894.2.1 Gambaran umum tentang Teori Efek Jera Kartel (Cartel

Deterrence)........................................894.2.2 Teori Efek Jera Kartel Awal di Amerika Serikat

(Sebelum Program Corporate Leniency 1993)............904.2.3 Dampak Corporate Leniency Program 1993 Amerika Serikat

dalam mengurangi kartel (Efek Jera Kartel).......924.2.3.1 Kunci observasi pertama: dua ciri utama dari

Corporate Leniency Program 1993.................944.2.3.2 Kunci observasi kedua: Interdependensi p dan

F..........................................964.3......Kemungkinan penerapan strategi prisoner’s dilemma di

Indonesia untuk menghancurkan kartel dan meningkatkanefek jera sanksi atas kartel.........................97

4.4.Kerancuan dan/atau Absurditas Penentuan Sanksi TerhadapKartel Berdasarkan UU No. 5/1999....................100

Universitas Indonesia

v

4.4.1 Pasal 47 dan 48 tidak merumuskan secara jelassubyek sanksi...................................101

4.4.2 Sanksi pidana penjara untuk orang-perseorangandihilangkan.....................................102

4.4.3 Absurditas penentuan “denda” administrasi dan“denda” pidana..................................103

4.4.4 Metode penghitungan lama kurungan akibat tidakdibayarnya pidana denda dalam Pasal 48 UU No.5/1999 tidak sesuai dengan metode penghitungan yangditentukan pasal 30 ayat (4) KUHP...............105

4.5.. Kaitan Antara Penentuan Sanksi Pidana Penjara, PidanaDenda, dan/atau Ganti Rugi Perdata Dalam StrategiPrisoner’s Dilemma Dengan Prinsip Ultimum Remedium.....107

BAB V...............................................110PENUTUP.............................................1105.1Simpulan............................................1105.2Saran...............................................111

DAFTAR PUSTAKA......................................113

Universitas Indonesia

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasal 11 juncto 48 ayat (1) Undang-Undang No. 5

tahun 1999 tentang Larangan Praktek Anti Monopoli dan

Persaingan Usaha Sehat (UU No.5/1999) menentukan bahwa

kartel dikriminalisasi. Namun, tidak ada penjelasan

tentang dasar kriminalisasi kartel baik dalam batang

tubuh UU No.5/1999 maupun dalam penjelasannya. Selain

itu, naskah akademik undang-undang tersebut tidak

membahas tentang dasar kriminalisasi kartel maupun cara

menentukan sanksi pidana atas kartel. Padahal dalam

penerapan UU No.5/1999, Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) secara implisit sudah menjatuhkan sanksi

pidana dalam kasus kartel minyak goreng,1 atau

setidaknya KPPU tidak secara eksplisit menyatakan

sanksi apa yang dijatuhkan atas para terlapor dalam

kasus kartel minyak goreng serta pasal yang digunakan

sebagai dasar penjatuhan hukuman.2

Dalam putusan KPPU tentang kartel minyak goreng,

KPPU “menghukum Terlapor ... untuk membayar denda

sebesar ... yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai1 Pembacaan Putusan Perkara Industri Minyak Goreng Sawit di

Indonesia. Bisa dilihat di http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=1140&encodurl=06%2F07%2F10%2C12%3A06%3A32. Kunjunganterakhir tanggal 7 Juni 2010.

2 Ibid.

Universitas Indonesia

2

Setoran Pendapatan Denda Pelanggaran ...(Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).”3 “Denda

pelanggaran” kelihatannya merupakan istilah yang

merujuk pada sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan

rumusan Pasal 48 ayat (1) UU No.5/1999 yang menentukan

“Pelanggaran terhadap ketentuan .... diancam pidana

denda.” Meskipun dalam praktiknya, KPPU tidak pernah

secara eksplisit menjatuhkan sanksi pidana denda.

Bahkan, bisa dikatakan pasal 48 UU No.5/1999 merupakan

pasal mati.

Kesimpangsiuran seperti yang dijelaskan di atas

berkaitan erat dengan kebijakan kriminal (criminal policy).

Kebijakan kriminal dibagi menjadi kebijakan pidana

penal (sanksi pidana) dan non-penal. Di sinilah prinsip

ultimum remedium tercermin, yaitu bahwa tidak semua

perbuatan yang merugikan (dalam hukum positif) perlu

dihukum dengan penjatuhan sanksi pidana. Kebijakan

pidana, baik penal maupun non-penal pada akhirnya

bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang

terkait erat dengan kebijakan kesejahteraan sosial

(social welfare policy). Hal ini dikumandangkan dalam laporan

Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI

di Tokyo tahun 1979 sebagai berikut:

“Most group members agreed some discussion that “protection of

the society” could be accepted as the final goal of criminal policy,

although not the ultimate aim of society, which might perhaps be

3 Ibid.

Universitas Indonesia

3

described by terms like “happiness of citizens”, “a wholesome and

cultural living”, “social welfare” or equality”.4

Terkait kebijakan pidana kartel, perlindungan

masyarakat, yang mencakup perlindungan atas

kesejahteraan ekonomi, menjadi tujuan utama atau tujuan

akhir dari kebijakan sosial (yang terdiri dari

kebijakan kesejahteraan sosial dan kebijakan

perlindungan sosial). Oleh karena itu, hal lain yang

perlu diperhatikan adalah dinamika interaksi antara

sanksi dalam ranah kebijakan pidana dan sanksi di luar

ranah kebijakan pidana (seperti sanksi perdata dan

administrasi) dalam menciptakan perlindungan masyarakat

atas kesejahteraan ekonomi. Kajian terhadap

fleksibilitas penjatuhan sanksi pidana dan sanksi

lainnya seperti sanksi perdata dan administrasi bisa

meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari sanksi

tersebut sehingga pada gilirannya dapa meningkatkan dan

memaksimalkan fungsi efek jera dari sanksi. Berhubung

kebijakan pidana juga terkait erat dengan kesejahteraan

sosial, maka kajian tentang fleksibilitas sanski (penal

maupun non-penal) merupakan salah satu cara untuk

mencapai tujuan perlindungan masyarakat (kesejahteraan

ekonomi). Dengan kata lain, penjatuhan sanksi harus

memiliki fungsi kemanfaatan (utilitarianisme) yang

4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakanke-II, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 2.

Universitas Indonesia

4

indikatornya bisa dilihat dari meningkatnya atau

maksimalnya efek jera dari sanksi yang dijatuhkan.

Kartel pada dasarnya merupakan ancaman bagi

kesejahteraan ekonomi sehingga perumusan kebijakan

pidana merupakan suatu syarat untuk menjamin

kesejahteraan ekonomi tersebut. The Organisation for Economic

Co-operation and Development (“OECD”) melaporkan bahwa 16

(enam belas) kartel global yang terdeteksi menyebabkan

hilangnya efisiensi ekonomi dalam perdagangan lebih

dari US$ 55 milyar.5 Dengan kata lain, hak ekonomi

konsumen global sebesar US$ 55 milyar dicuri atau

ditipu oleh pelaku kartel. OECD juga menyatakan bahwa

kartel merupakan bentuk pelanggaran paling buruk dari

hukum persaingan usaha.6 Kementerian Perkembangan

Ekonomi (Ministry of Economic Development) Selandia Baru

dalam laporan Regulatory Impact Assessment tentang dasar

kriminalisasi kartel di Selandia Baru pada awal tahun

2010 menjelaskan bahwa kartel merupakan kejahatan yang

menyebabkan hilangnya efisiensi ekonomi.7 Harga5 OECD 2006, Hard Core Cartels – Third Report on the Implementation of the

1998 OECD Recommendation, dalam OECD Journal of Competition Law and Policy,Vol 8 no 1.

6 R. Hewitt Pate, Anti-cartel Enforcement: The Core Antitrust Mission,disampaikan kepada the British Institute of International and Comparative Lawpada Third Annual Conference on International and Comparative Competition Law(May 16, 2003), Lihat:http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/201199.htm (kunjunganterakhir tanggal 20 Mei 2010).

7 Manatu Ohanga, Cartel Criminalisation, Ministry of EconomicDevelopment, Discussion Document for Regulatory Impact Assessment,(Ministry of Economic Development: New Zealand, January 2010), hal18.

Universitas Indonesia

5

pasar/kompetitif barang dan/atau jasa tidak tercipta

karena pelaku usaha terkait meniadakan kompetisi

diantara mereka. Umumnya harga yang tercipta dari

kartel jauh lebih tinggi dari harga pasar/kompetitif

karena pelaku usaha terkait ingin meraup marjin

keuntungan yang lebih besar dari penjualan per satuan

produk dan/jasa mereka. Dampak buruk ini tidak hanya

merugikan konsumen, namun juga pelaku usaha lain

(baru), persaingan, kualitas barang, dan terhadap

semangat inovasi dan pengembangan teknologi.

Selanjutnya, terdapat masalah terkait dengan

penentuan sanksi atas kartel. Sanksi atas kartel pada

dasarnya terdiri dari, berdasarkan urutan hierarki,

sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana.

Urutan hierarki ini tidak secara eksplisit ditentukan

dalam UU No.5/1999, namun merupakan pendapat sarjana

dalam menginterpretasi ketentuan sanksi.8 Sementara

itu, parameter atau takaran penentuan sanksi tersebut

masih terkesan tidak jelas. Pasal 47 ayat (2) f

menentukan bahwa KPPU mempunyai kewenangan untuk

menetapkan pembayaran ganti rugi, sementara pasal 47

ayat (2) g memberikan kewenangan kepada KPPU untuk

menetapkan denda administrasi.

8 Knud Hansen, Peter W. Heermann, et.al., Komentar HukumUndang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat, edisi kedua (Jakarta: Deutsche Gesellschaft für TechnischeZusammenarbeit (GTZ) GmbH dan Penerbit Katalis, 2002), hal 22.

Universitas Indonesia

6

Masalah yang timbul adalah ketidakjelasan dasar

ganti rugi dan ketidakjelasan perbedaan denda

administrasi dengan denda pidana. Ganti rugi merupakan

konsep yang dikenal dalam ranah hukum perdata yang batu

ujinya terletak pada pasal 1365 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPer). Pasal 1365 KUHPer menyatakan

bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

mengganti kerugian tersebut.” Pertanyaannya adalah

apakah KPPU merupakan pihak yang dirugikan? Padahal,

kartel merupakan tindakan yang menyebabkan kerugian,

terutama, terhadap konsumen. Terkait denda

administrasi, walaupun Pedoman KPPU tentang ketentuan

Pasal 47 tentang tindakan administratif menentukan

penghitungan denda administrasi, KPPU dalam praktiknya

tidak menjelaskan dasar perhitungan jumlah denda

administrasi yang dijatuhkan kepada para terlapor.9

Masalah yang muncul dari ketidakjelasan parameter

penentuan sanksi ini mempunyai akibat yang buruk

terkait konteks kepastian dan keadilan hukum. Para

terlapor atas pelanggaran ketentuan kartel berdasarkan

UU No.5/1999 dijatuhkan hukuman denda dengan jumlah

tertentu tanpa mengetahui dasar penentuan sanksi

tersebut.

9 Lihat Pembacaan Putusan Perkara Industri Minyak GorengSawit di Indonesia, op.cit.

Universitas Indonesia

7

Kajian tentang penentuan sanksi atas kartel menjadi

penting untuk mengukur tingkat efisiensi dan

efektifitas sanksi untuk menciptakan efek jera terhadap

pelaku kartel. Kebijakan perumusan sanksi yang tidak

jelas juga mempunyai dampak terhadap prinsip ultimum

remedium. Pada dasarnya, prinsip ultimum remedium

menyatakan bahwa penyelesaian pidana harus menjadi

alternatif penyelesaian terakhir setelah semua semua

alternatif penyelesaian masalah telah dilakukan dan

gagal atau tidak efektif. Ketidakjelasan penentuan

sanksi atas kartel berdampak kepada efektifitas dan

efisiensi sanksi sehingga tidak jelas kapan sanksi

pidana harus dijatuhkan. Padahal sanksi pidana

dijatuhkan setelah sanksi lainnya tidak efektif

dan/atau efisien.

Ketiadaan naskah akademik yang komprehensif dan

kajian tentang (i) dasar kriminalisasi kartel dan (ii)

penentuan sanksi atas kartel merupakan salah satu

akibat dari transplantasi nilai-nilai hukum asing ke

dalam hukum Indonesia. Pasca krisis moneter pada tahun

1998, Indonesia terlilit hutang yang besar akibat

hutang luar negeri. Pada tahun 1996 hutang luar negeri

Indonesia adalah USD 128,941 milyar,10 pada tahun 1997

10 Emmy Hafild, Daris Furqon, et.al., Addicted to Loan: The World BankFoot Prints in Indonesia, WALHI (Indonesian Forum for Environment), hal1. Lihat http://www.asienhaus.de/public/archiv/WB-and_Indonesia_Walhi_paper.pdf. Kunjungan terakhir 22 Juni 2010.

Universitas Indonesia

8

sebesar USD 136,173 milyar,11 dan terjadi lonjakan

besar pada tahun 1998 yaitu sebesar USD 150,875

milyar.12 International Monetary Fund, yang merupakan pemberi

pinjaman terbesar,13 mendesak agar Indonesia membuat

legislasi tentang hukum persaingan usaha untuk

melindungi kepentingan investor yang berkepentingan di

Indonesia. Pada tahun 1999 disahkan UU No.5/1999 yang

rumusan pasalnya sepintas lalu merupakan transplantasi

dari hukum persaingan usaha di Amerika Serikat.

Contohnya, pengenalan istilah trust dalam UU No.5/1999

padahal hukum Indonesia tidak mengenal lembaga trust.

Pada tahun 2008, legislator Australia mengesahkan

ketentuan yang mengkriminalisasi kartel.14 Sementara

Selandia Baru, pada awal tahun 2010, Selandia Baru

membahas tentang kemungkinan pengkriminalisasian

kartel.15 Dasar kriminalisasi kartel dikaji secara

mendalam melalui Regulatory Impact Assessment tentang

kriminalisasi kartel. Dalam RIA tersebut, terlihat

jelas bahwa kebijakan pidana bertujuan untuk

meningkatkan efek jera dari sanksi atas kartel. Alasan

kriminalisasi kartel juga tercermin dari paparan kajian

11 Ibid.

12 Ibid.

13 Ibid.

14 Trade Practices Amendment (Cartel Conduct and other Measures) Bill 2008.Lihat http://www.mondaq.com/australia/article.asp?articleid=93050.Kunjungan terakhir tanggal 22 Juni 2010.

15 .Manatu Ohanga,op.cit., hal. 18.

Universitas Indonesia

9

tersebut tentang sifat kartel yang sulit dideteksi,

terorganisasi dengan baik, dilakukan oleh mereka yang

punya kedudukan terpandang dalam masyarakat, merugikan

konsumen, dan yang lebih sulit lagi adalah untuk

diatasi.

Selain alasan di atas, RIA Selandia Baru merupakan

rujukan yang berguna karena RIA tersebut juga

menggunakan kajian dari OECD tentang kartel. Kajian

OECD merupakan rujukan yang cukup universal karena di

dalamnya terkandung studi internasional tentang

kriminalisasi kartel dan rangkuman tentang kebijakan

kartel dari semua negara anggota OECD, termasuk negara-

negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea

Selatan, Kanada, Brazil, Australia, Meksiko, dan

Britania Raya.16 Kebijakan-kebijakan dari semua negara

anggota OECD tersebut bisa menjadi cerminan dari

kebijakan kriminalisasi kartel maupun penentuan sanksi

atas kartel yang universal.

Terkait dasar penentuan sanksi dan efektifitas

serta efisiensi sanksi, Amerika Serikat merupakan

rujukan studi yang cukup berguna. Hukum tentang

persaingan usaha di Amerika Serikat diletakkan pada

Sherman Act 1890 dan Clayton Act 1914. Kedua undang-undang

ini merupakan batu pondasi dari hukum persaingan usaha

16 OECD, Hard Core Cartels: Third Report on the implementation of the 1998Council Recommendation. Lihat dihttp://www.oecd.org/dataoecd/58/1/35863307.pdf (kunjungan terakhir25 Juni 2010).

Universitas Indonesia

10

di Amerika Serikat serta merupakan salah ketentuan

hukum persaingan paling tua di dunia. Dalam menentukan

sanksi, mengukur efektifitas dan efisiensi sanksi atas

kartel, serta meningkatkan efek jera dari sanksi atas

kartel, Department of Justice Amerika Serikat menggunakan

game theory prisoner’s dilemma. Prisoner’s dilemma terjadi

ketika polisi memisahkan 2 pihak ke ruang yang berbeda

dan masing-masing diberikan tawaran yang sama. Strategi

ini efektif ketika 2 (dua) pihak berkehendak untuk

mengejar kepentingan masing-masing dan bertindak secara

rasional-egois (rationally selfish manner).17 Metamorfosis

penentuan sanksi atas kartel di Amerika Serikat dari

pra-1993, tahun 1993-2004, serta pasca 2004 menunjukkan

bagaimana prisoner’s dilemma merupakan strategi yang tepat

dalam menentukan sanksi atas kartel yang efektif dan

efisien. Strategi prisoner’s dilemma menunjukkan tarik-

menarik antara sanksi pidana penjara, pidana denda, dan

ganti rugi perdata sehingga dapat diukur dengan lebih

akurat kapan sanksi tertentu dijatuhkan dengan tujuan

untuk menciptakan efek jera yang maksimal.

Alasan lain mengapa Penulis merujuk pada kebijakan

Amerika Serikat terkait penentuan sanksi atas kartel

dan strategi untuk menangani kartel adalah karena (i)

hukum persaingan usaha Amerika Serikat merupakan yang

paling tua umurnya, (ii) hukum persaingan usaha Amerika17 Christopher R. Leslie (1), Symposium The Antitrust

Enterprise: Principle and Execution, Antitrust Amnesty, Game Theory, andCartel Stability, Journal of Corporation Law, 31 J. Corp. L. 453, 2006.

Universitas Indonesia

11

Serikat banyak dirujuk dalam perumusan kebijakan kartel

dan bahkan Amerika Serikat merupakan salah satu negara

pertama yang mengkriminalisasi kartel, dan (iii) di

satu sisi, strategi ekonomi (game theory), berkembang

pesat di Amerika Serikat dan, di sisi lain, perkawinan

disiplin ilmu hukum dan ekonomi melahirkan strategi

yang efektif dan efisien dalam penanganan kejahatan

kartel.

1.2 Pokok Permasalahan

1. Bagaimana dasar kriminalisasi kartel di Indonesia?

2. Bagaimana dasar kriminalisasi kartel di Selandia

Baru dan di Amerika Serikat?

3. Bagaimana kemungkinan strategi prisoner’s dilemma

diterapkan untuk meningkatkan efek jera dari

sanksi kartel di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk memaparkan dasar kriminalisasi kartel

berdasarkan pasal 11 juncto pasal 48 UU No. 5 tahun

1999, serta perumusan sanksi atas kartel

berdasarkan Pasal 47 dan 48 UU No. Tahun 1999.

2. Untuk memaparkan dasar kriminalisasi kartel di

Selandia Baru dan Amerika Serikat dan selanjutnya

digunakan sebagai model untuk membandingkan dasar

Universitas Indonesia

12

kriminalisasi kartel antara Indonesia dengan

Selandia Baru dan Amerika Serikat serta penentuan

sanksi atas kartel.

3. Untuk memaparkan tentang kemungkinan penerapan

strategi prisoner’s dilemma untuk meningkatkan efek

jera dari sanksi kartel di Indonesia.

1.4 Kajian Pustaka

Perkembangan hukum yang dinamis menyebabkan

diperlukannya pengaturan pidana dalam Undang-undang

selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Alasannya adalah karena kebutuhan hukum dalam hal

ketentuan substansi hukum pidana maupun sanksinya yang

tidak lagi terakomodasi oleh KUHP. Dalam realitanya,

banyak Undang-Undang di luar KUHP, misalnya Undang-

Undang tentang Lingkungan Hidup, Hak Kekayaan

Intelektual, Persaingan Usaha dan Perbankan yang memuat

ketentuan pidana. Selain itu, banyak pandangan yang

menyatakan bahwa legislator di Indonesia bahkan tidak

memahami asas-asas tertentu dalam KUHP apalagi

menyelaraskan asas yang ada dalam KUHP dengan Undang-

Undang yang disusun.

Akibat perkembangan hukum dan realitas sosial yang

tidak memungkinkan diterapkannya asas-asas dalam buku

kesatu KUHP yang secara konsisten. Meskipun Pasal 103

KUHP memungkinkan penyimpangan asas, namun pertanyaan

Universitas Indonesia

13

utama adalah asas-asas mana saja yang bisa disimpangi

dan tidak bisa disimpangi. Misalnya, apakah mungkin

asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP disimpangi? Bila bisa

disimpangi, apakah ada persyaratan khusus untuk rezim

pidana tertentu seperti terorisme? Masalah selanjutnya

adalah terkait dengan perumusan ketentuan pidana dalam

Undang-Undang lain yang tidak secara eksplisit dan

struktural mengatur penyimpangan dari buku kesatu KUHP

sehingga terjadi kerancuan apakah asas-asas tertentu

dalam KUHP telah disimpangi. Kerancuan ini mempunyai

dampak yang besar terhadap pemahaman ketentuan pidana

dalam Undang-Undang di luar KUHP. Misalnya, dalam

konteks Undang-Undang tentang Hak Kekayaan Intelektual

dan Hukum Persaingan Usaha, pendekatan penyelesaian

yang dianut adalah, secara hierarki, penyelesaian

administratif, perdata, dan terakhir pidana. Urutan

hierarki ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU

tersebut. Artinya, hanya jika penyelesaian

administratif gagal maka penyelesaian perdata akan

ditempuh, kemudian hanya jika penyelesaian perdata

gagal maka penyelesaian pidana akan ditempuh.

Pendekatan ini menggunakan asas ultimum remedium yang

merupakan salah satu asas penting dalam KUHP.

Pada dasarnya, prinsip ultimum remedium menyatakan

bahwa penyelesaian pidana harus menjadi alternatif

penyelesaian terakhir setelah semua semua alternatif

penyelesaian masalah telah dilakukan dan gagal atau

Universitas Indonesia

14

tidak efektif. Pembahasan prinsip ini terkait erat

dengan tujuan dan fungsi pemidanaan.

1.4.2Dasar pemidanaan suatu perbuatan

Dasar kriminalisasi yang berbeda mengakibatkan

perbedaan pemaknaan dan pendekatan terhadap asas

ultimum remedium dalam hal dasar filosofi, batas, dan

aplikasi praktisnya. Senada dengan tujuan yang berbeda

ini, Muladi menyatakan karena tujuannya bersifat

integratif maka perangkat tujuan pemidanaannya adalah :

(a) pencegahan umum dan khusus, (b) perlindungan

masyarakat, (c) memelihara solidaritas masyarakat, dan

(d) pengimbalan/pengimbangan. Untuk mengilustrasikan

keterkaitan erat tujuan pemidanaan dengan prinsip

ultimum remedium, Eva Achjani Zulfa menyatakan “Jika

posisi pemidanaan sebagai ultimum remedium, maka

penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan

pendekatan restoratif justru menjadi primum

remedium.”18

Menurut Mardjono Reksodiputro tujuan

pemidanaan itu harus memperhatikan hak asasi manusia.

Menurutnya, konsep ke-1 RUU KUHPidana yang diajukan

pada tahun 1993 juga memperhatikan perlindungan

18 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentangKemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek PenegakanHukum Pidana), Ringkasan Disertasi, (Jakarta: UniversitasIndonesia, 2009), hal 30.

Universitas Indonesia

15

terhadap hak asasi warga masyarakat, dengan didukung

oleh tiga prinsip yaitu sebagai berikut: 19

a. hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan

atau menegakkan kembali nilai – nilai sosial dasar

(fundamental social values) perilaku hidup

bermasyarakat (dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi

negara Pancasila);

b. hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan

dalam keadaan di mana cara lain melakukan

pengendalian sosial (social control) tidak (belum)

dapat diharapkan keefektifannya; dan

c. hukum pidana (yang telah mempergunakan kedua

pembatasan (a dan b diatas) harus diterapkan

dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan

kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga

perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas

dalam masyarakat demokratik yang moderen.

Akibatnya adalah ketidakjelasan kapan penyelesaian

pidana seharusnya ditempuh. Selain itu, banyak asas

lain yang terkait asas ultimum remedium yang juga

menjadi tidak jelas makna dan penerapannya. Misalnya,

dalam hal perbuatan menghancurkan atau merusakkan

barang Bab XXVII pasal 406 ayat 1 KUHP. Pasal 406 ayat

1 berbunyi “Barang siapa dengan sengaja dan melawan19 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mengkritisi RUU KUHPidana dalam

perspektif HAM, Konsultasi Publik “Perlindungan HAM Melalui ReformasiKUHP” Hotel Santika Slipi Jakarta, 3 - 4 Juli 2007, kerjasamaKOMNAS HAM dan Aliansi Nasional Reformasi Indonesia.

Universitas Indonesia

16

hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat

dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang

seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam

dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah.” Bila seseorang menghancurkan kaca

jendela tetangganya dengan sengaja, maka orang tersebut

dapat dijatuhi sanksi pidana penjara dan sekaligus

digugat secara perdata dan dijatuhkan sanksi ganti rugi

berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata. Pertanyaan yang

muncul adalah apakah masalah belum selesai dengan

adanya penjatuhan sanksi ganti rugi secara perdata?

Apakah penjatuhan sanksi pidana menyelesaikan masalah

atau malah mempersulit masalah yang sudah ada? Contoh,

kasus Nenek Minah yang dijatuhkan sanksi pidana penjara

1 bulan 15 hari dengan hukuman percobaan 3 bulan karena

mencuri 3 buah kakao. Banyak kalangan masyarakat yang

menilai bahwa hukum di Indonesia tidak mengakomodasi

asas keadilan dan hanya secara buta menegakkan

kepastian hukum. Permasalahan seperti ini berakar pada

ketidakjelasan dasar kriminalisasi di Indonesia.

Seperti yang diungkapkan di paragraf sebelumnya

bahwa ketidakjelasan dasar kriminalisasi mempunyai

dampak kepada asas-asas lain, yaitu prinsip

penyelesaian perdata tidak meniadakan pidana yang

dianut dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana

Korupsi, lex specialis derogat legi generalis dalam kaitan

Universitas Indonesia

17

penyimpangan asas buku kesatu KUHP oleh Undang-Undang

di luar KUHP yang memuat ketentuan pidana, dan teori

pemidanaan yaitu tentang syarat sebuah perbuatan

diklasifikasikan tindakan pidana. Dalam konteks

penentuan kriteria tindak pidana, kriteria untuk

menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana

tergantung pada tujuan apakah pada umumnya yang akan

dicapai pembentuk undang-undang dengan menentukan suatu

perbuatan sebagai perbuatan pidana.20 Prinsip ultimum

remedium menjadi relevan dalam pembahasan penentuan

kriteria tindak pidana karena jika sebuah tindakan bisa

diselesaikan dengan penyelesaian di luar penyelesaian

pidana maka tindakan tersebut masih bisa diperdebatkan

apakah masuk dalam kriteria tindak pidana atau tidak.

Misalnya, membunuh, memperkosa, dan mencuri merupakan

tindakan yang dikriminalisasi di hampir semua sistem

pemidanaan di dunia. Artinya, untuk ketiga kategori

perbuatan tadi bisa dikatakan mutlak atau jelas masuk

ke dalam kategori tindakan pidana. Akibatnya adalah

tidak mungkin diselesaikan secara perdata maupun

administrasi. Sedangkan, untuk perbuatan yang berada di

antara ranah perbuatan perdata dan/atau pidana, maka

sulit untuk menentukan secara jelas apakah penyelesaian

pidana itu sebagai primum remedium atau ultimum

remedium atau di antara keduanya. Jika digambarkan

20 Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, SinarGrafika (1988), hal 73.

Universitas Indonesia

18

berdasarkan bagan/spektrum hitam-putih, maka perbuatan

mencuri, membunuh, dan memperkosa masuk dalam kategori

warna hitam, sementara tindakan yang terkait dengan

rezim persaingan usaha maupun hak kekayaan intelektual

masuk dalam area yang lebih abu-abu. Banyak kalangan

menilai bahwa pengaturan tentang hak kekayaan

intelektual, contohnya, harusnya hanya masuk ke dalam

ranah hukum perdata dan tidak seharusnya diatur dengan

ketentuan pidana. Kartel merupakan salah satu perbuatan

yang masuk dalam area abu-abu tersebut. Akibat dari

perbuatan yang masuk ke area abu-abu adalah tidak

jelasnya peran hukum pidana di dalamnya. Hal ini

terjadi karena ketidakjelasan penentuan kriteria tindak

pidana.

1.4.3Makna perbuatan jahat (crime): Apa itu

kejahatan

Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet mempertanyakan

apakah, di satu sisi, pertanyaan “apa itu kejahatan?”

bisa diterjemahkan menjadi pertanyaan “apa itu

pembunuhan, penggelapan pajak, atau pemerkosaan?”21 Di

sisi lain, pertanyaan tersebut bisa diartikan secara

umum tanpa rujukan pada perbuatan tertentu seperti

pembunuhan, namun pada sifat (nature) kejahatannya.22

21 Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet, What Is a Crime? ASecular Answer, (Canada: UBC Press, 2004), hal 1.

22 Ibid.

Universitas Indonesia

19

Menurut Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet, ada dua aspek

penting yang masih kabur dari pertanyaan di atas.23

Pertama, apa yang dicari - definisi lengkap atau teori

yang lebih komprehensif? Kedua, apakah kita

mengkriminalisasikan perbuatan/fakta yang sudah ada

atau yang sudah bisa dideskripsikan, atau kita

berkehendak untuk meletakkan dasar normatif untuk

kriminalisasi di masa yang akan datang?

Kedua aspek penting di atas, lebih lengkapnya,

dijelaskan oleh Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet dengan

menggunakan beberapa metode pendekatan sebagaimana

dijelaskan di bawah.

a. Definisi atau teori

Definisi adalah sekumpulan kata-kata yang bisa

disubstitusikan dalam proses pencarian makna sebuah

kata.24 Sebagai substitusi untuk sebuah kata yang

didefinisikan, definisi umumnya hanya sebatas sebuah

kalimat pendek.25 Menurut George W. Keeton dan George

Schwarzenberger beberapa abad sebelum tahun 1955,

kejahatan masih bisa didefinisikan, namun seiring

dengan perkembangan konsep kejahatan yang semakin23 Ibid.

24 Glanville Williams, The Definition of Crime, dalam Current LegalProblems oleh George W. Keeton dan George Schwarzenberger,University College, vol. 8, (London: Stevens and Sons, 1955), hal.108.

25 Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet, op.cit, hal 2.

Universitas Indonesia

20

rumit, maka diperlukan pondasi epistemologi. Dengan

kata lain, kejahatan tidak mungkin didefinisikan pada

saat sekarang karena sumirnya kata-kata yang

mensubstitusikannya. Selain itu, usaha untuk memberikan

keadilan hukum pada saat sekarang ini, umumnya berkutat

berbagai faktor kejahatan yang semakin berkembang.26

a.1 Definisi Faktual

Pendekatan ini lebih menekankan pada perspektif

yang formalistik, yaitu dengan mempostulasikan bahwa

kejahatan adalah pelanggaran hukum positif.27 Tappan

mencontohkan poin tersebut sebagai berikut: “Kejahatan

adalah perbuatan yang dengan sengaja atau lalai

melanggar hukum pidana formil (dalam bentuk statuta

atau case law di sistem common law), yang dilakukan tanpa

dasar pemaaf (justification) atau pembenar (defence) dan

yang bisa dihukum oleh negara.28 Dalam diskursus hukum

klasik, konsep ini dikenal dengan adagium malum

prohibitum.29

a.2 Definisi Normatif

26 Ibid.

27 Ibid.

28 Paul W. Tappan, Crime, Justice and Correction, (New York: McGraw-Hill Series in Sociology, 1960), hal 10.

29 “Malum prohibitum is an act that is a crime merely because it is prohibited bystatute, although the act itself is not necessarily immoral.” Bryan A. Garner,Blacks Law Dictionary, 8th edition, (Thompson: United States, 1999),hal. 978.

Universitas Indonesia

21

Pendekatan definisi normatif mengambil satu langkah

mundur sebelum membahas reaksi sosial terhadap

perbuatan tertentu dan berusaha mencari alasan-alasan

yang membenarkan kriminalisasi terhadap perbuatan

tertentu.30 Dengan kata, lain terlepas dari apakah

suatu perbuatan dikriminalisasi oleh hukum positif,

pendekatan definisi normatif berusaha menggali alasan

dikriminalisasinya suatu perbuatan, baik berdasarkan

nilai moral, kesusilaan, maupun agama. Dalam diskursus

hukum klasik, konsep ini dikenal dengan adagium malum in

se.31 Sebelum konsep kejahatan berkembang menjadi begitu

rumit, definisi yang berdasarkan konsep rasa sakit

(harm) atau kerusakan (damage) kepada orang lain masih

lazim diterima. Meskipun konsep kejahatan ini merupakan

inti dari ilmu kriminologi, semakin sedikit sarjana

sekarang yang berpendapat bahwa pertanyaan tentang

sifat kejahatan itu bisa diselesaikan dengan merumuskan

definisi kejahatan dalam satu kalimat.32

a.3 Teori Faktual

Teori ini menekankan pada perbuatan-perbuatan yang

dianggap oleh hukum sebagai kejahatan.33 Pendekatan ini30 Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet, op.cit, hal 2.

31 Malum in se is a crime or an act that is inherently immoral, such as murder,arson, or rape. Garner, op.cit.

32 Barone Raffaele Garofalo, Criminology (1885) disadurkanMontclair (New Jersey: Patterson Smith Reprints, 1968), hal 46.

33 Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet, op.cit, hal 2.

Universitas Indonesia

22

adalah ciri utama dari paham formalisme yang menyatakan

bahwa kejahatan adalah produk dari reaksi sosial.34

Durkheim menyatakan bahwa elemen khusus dari kejahatan

adalah keterkaitannya dengan sanksi.35 Perbedaan utama

antara pendekatan teori faktual dengan pendekatan “akal

sehat” atau common sense adalah pendekatan teori faktual

menekankan pada kejahatan dalam dimensi hukum yang utuh

(full legal dimension), sementara pendekatan common sense

menekankan pada sifat dari kejahatan yang serius.

a.4 Teori Normatif

Untuk menentukan kriteria pengkriminalisasian

perbuatan tertentu melalui perbuatan itu sendiri, maka

harus digunakan pendekatan teori normatif.36 Ada dua

variabel dalam pendekatan teori normatif. Variabel

pertama adalah epistimologi. Salah satu Bapak

Kriminologi, Garofalo, berpendapat bahwa disiplin ilmu

kriminologi yang ilmiah bertumpu pada subjek yang

stabil. Untuk memenuhi standar ilmiah ini, Garofalo

mengembangkan teori “kejahatan natural” atau natural

crime, yang hanya berlaku untuk kejahatan berat atau

hard core of criminality. Variabel kedua adalah pragmatisme

yang terdiri dari sistem pemikiran yang merubah34 Ibid.

35 Émile Durkheim, Deux lois de l’évolution pénale L’année sociologique,(1899-1900), hal 65-95 dalam Jean-Paul Brodeur dan GenevièveOuellet, op.cit, hal 2.

36 Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet, op.cit, hal 3.

Universitas Indonesia

23

praktek-praktek yang ada dalam mengkriminalisasikan

berbagai perbuatan.

b. Fakta atau Standar

Langkah selanjutnya adalah mempertanyakan (i) apa

itu kejahatan dengan dasar penelitian terhadap

perbuatan-perbuatan yang pada saat sekarang ini

dianggap oleh hukum sebagai kejahatan atau (ii)

kriteria apa yang harus dipakai untuk menentukan bahwa

perbuatan tertentu merupakan kejahatan di masa yang

akan datang.37 Pendekatan poin (i) dilakukan dengan

menelaah alasan-alasan perbuatan tertentu dianggap

sebagai kejahatan. Sementara itu, pendekatan poin (ii)

terletak pada alam yang lebih ideal, yang bersifat

normatif, dan pada dasarnya subyektif, dimana

argumennya lebih bersifat pembenaran etis daripada

pembuktian empiris.

J.M. van Bemmelen dalam buku “Criminoligie, leerboek der

misdaadkunde”, sejak terbitnya tahun 1942 sampai cetakan

ke-4 pada tahun 1958 berusaha untuk mendapatkan jawaban

atas pertanyaan “apakah kriminalitas/kejahatan?”

Bermelen akhirnya menyimpulkan bahwa “Kejahatan adalah

tiap-tiap kelakuan yang berbahaya dan juga tidak

susila, yang dapat menimbulkan begitu banyak

ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu,

37 Ibid.

Universitas Indonesia

24

sehingga masyarakat itu berhak untuk menyatakan celaan

dan perlawanannya terhadap kelakuan itu dalam bentuk

sengaja membebankan derita yang dikaitkan dengan

kelakuan tersebut.38

Alida Bos menyatakan bahwa “suatu perbuatan pidana

dalam pembentukan hukum adalah perbuatan yang berbahaya

bagi satu atau lebih anggota masyarakat dan bertindak

dengan suatu sanksi pidana terhadap hal itu adalah

efektif, disamping juga berguna dan perlu.”

Jika membandingkan rumusan Jean-Paul Brodeur dan

Geneviève Ouellet , Bemmelen dan Alida, maka akan terlihat

jelas bahwa tidak terdapat banyak perbedaan. Elemen

pokok dari kejahatan menurut ketiga sarjana tersebut

adalah adanya bahaya bagi anggota masyarakat. Elemen

lain seperti ketidaksusilaan, ketidaktenangan, harm,

dan damage pada dasarnya merupakan elemen turunan dari

bahaya perbuatan tersebut.

Michael J. Allen mempostulasikan pendapat yang menarik

dan berbeda dari Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet,

Bemmelen dan Alida. Allen mendefinisikan “kejahatan

sebagai suatu perbuatan (atau kelalaian atau suatu

kondisi) yang melanggar hukum dan yang bisa dihukum

melalui prosedur peradilan pidana dengan konsekuensi

terkait, seperti putusan bersalah dan hukuman.”39 Allen38 J M. van Bemmelen, Criminoligie, leerboek der misdaadkunde, cet-4,

(Zwolle, 1958), hal 16 dalam Roeslan Saleh, op.cit., hal 80.

39 Michael J. Allen, Textbook on Criminal Law, edisi ke-9,(Newyork: Oxford University Press, 2007), hal 1.

Universitas Indonesia

25

menggunakan pendekatan definisi daripada teori.

Perbedaan yang menarik dari pendapatnya adalah bahwa

“ketika pembentuk undang-undang menentukan bahwa

perbuatan tertentu adalah kejahatan, sifat (nature) dari

perbuatan tersebut tidak berubah, namun konsekuensi

dari melakukan perbuatan tersebut yang berubah.”40

Contoh, jika A meninju muka B, maka A bersalah atas

kejahatan penganiayaan. Tindakan meninju tersebut juga

merupakan perbuatan melawan hukum yang merupakan bentuk

pelanggaran terhadap orang-perseorangan. Jika B,

digugat oleh P dan gugatannya dikabulkan, B harus

bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi.

Dalam skripsi ini, Penulis memakai pendekatan teori

dan definisi normatif. Penulis mengambil satu langkah

mundur sebelum suatu perbuatan dikriminalisasi. Dalam

konteks Skripsi ini, perbuatan yang dimaksud adalah

kartel. Alasan Penulis mengambil pendekatan ini adalah

karena kejahatan kartel sulit untuk dideteksi dan

sehingga sulit untuk diukur reaksi sosialnya. Berbeda

dengan kejahatan seperti pembunuhan yang menimbulkan

rasa jijik (disgust), kejahatan kartel merupakan

kejahatan yang bersifat white-collar crime. Selain itu,

senada dengan pendapat Jean-Paul Brodeur dan Geneviève Ouellet,

pembahasan dasar kriminalisasi kartel adalah untuk

meletakkan dasar normatif untuk kriminalisasi di masa

yang akan datang. Penentuan tingkat kejahatan dalam

40 Ibid.

Universitas Indonesia

26

kartel belum dibahas secara komprehensif, terutama di

Indonesia, sehingga diperlukan sebuah kajian untuk

mengupas subyek tersebut.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian Skripsi ini merupakan penelitian hukum.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode kepustakaan. Metode pendekatan analisis

data yang dipergunakan adalah metode analisis

kualitatif sehingga menghasilkan laporan yang bersifat

deskriptif analitis.41 Penelitian Skripsi ini menurut

bentuknya adalah penelitian prespkriptif,42 sedangkan

menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah

(problem-focused research).

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan

tersier. Data sekunder dan tersier digunakan untuk

memperoleh dan menjelaskan bahan hukum yang berkaitan

dengan pokok bahasan. Jenis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari

41 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UniversitasIndonesia,2005), hal 67.

42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UIPress, 2005), hal. 10. Apabila suatu penelitian ditujukan untukmendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untukmengatasi masalah-masalah tertentu, maka penelitian tersebutdinamakan penelitian preskriptif.

Universitas Indonesia

27

bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai

berikut.43

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang

mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan

perundang-undangan Indonesia, yaitu UU No. 5 tahun

1999 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat

kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan

bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori

para sarjana, putusan pengadilan, legislasi asing,

buku, penelusuran internet, artikel ilmiah,

jurnal, surat kabar, dan makalah.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan

hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedi,

atau kamus.

Terkait model pembanding, Penulis menggunakan

Regulatory Impact Assessment (2010) Selandia Baru tentang

dasar kriminalisasi kartel sebagai model pembanding

untuk dasar kriminalisasi kartel. Sementara itu,

Penulis menggunakan game theory of prisoner’s dilemma di

Amerika Serikat sebagai model pembanding untuk dasar

penentuan sanksi dan efektifitas serta efisiensi sanksi

atas kartel.

43 Ibid, hal. 32.

Universitas Indonesia

28

Alasan Penulis menggunakan Selandia Baru sebagai

model pembanding terkait isu dasar kriminalisasi kartel

adalah sebagai berikut. Pertama, kajian tentang dasar

kriminalisasi kartel dalam RIA Selandia Baru merupakan

salah satu kajian tentang dasar kriminalisasi terbaru,

yaitu pada awal tahun 2010.44 Kedua, kajian RIA

tersebut didasarkan pada kajian OECD tahun 2006 tentang

kartel yang merupakan rujukan yang cukup universal

(diterima dan dipraktikan banyak negara), terutama

karena laporan OECD tersebut merangkum praktik negara-

negara yang paling berkembang (advanced) dalam hal

dasar kriminalisasi kartel.45 Ketiga, kajian RIA

tersebut mengupas dasar kriminalisasi kartel secara

cukup komprehensif.

Alasan Penulis menggunakan Amerika Serikat sebagai

model pembanding terkait isu dasar penentuan sanksi dan

efektifitas serta efisiensi sanksi atas kartel adalah

sebagai berikut. Pertama, hukum persaingan usaha di

Amerika Serikat merupakan rezim hukum persaingan usaha

yang paling tua di dunia.46 Kedua, game theory of prisoner’s44 Manatu Ohanga, op.cit.

45 OECD 2006, Hard Core Cartels – Third Report on the Implementation of the1998 OECD Recommendation, dalam OECD Journal of Competition Law and Policy,Vol 8 no 1. Negara-negara berkembang yang dimaksud termasuk,Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa.

46 Di Amerika Serikat, hukum persaingan usaha termaktub dalamSherman Act yang dilegislasi pada tahun 1890 dan Clayton Act yangdilegislasi pada tahun 1914. Sementara di Uni Eropa, hukumpersaingan usaha baru dilegislasi pada tahun 1958 dalam Treaty ofRome. Di Kanada, hukum persaingan Usaha baru dilegislasi padatahun 1985 dalam Competition Act. Di Jepang, hukum persaingan usaha

Universitas Indonesia

29

dilemma berkembang relatif pesat di Amerika Serikat dan

terbukti cukup efektif dan efisien dalam mendeteksi,

menginvestigasi, menangkap, dan menghancurkan kartel.

Hal ini terbukti dari tingkat keberhasilan yang dicapai

oleh otoritas persaingan usaha Amerika Serikat, the

Antitrust Division, yaitu (i) kenaikan jumlah permohonan

amnesti dari korporasi yang diajukan kepada Antitrust

Division, (ii) jumlah sanksi denda terhadap kartel

terlapor meningkat pesat,47 (iii) peningkatan jumlah

denda yang didapatkan Antitrust Division dari USD 29 juta

per tahun (sebelum tahun 1997) menjadi USD 200 juta per

tahun (pada tahun 1997-1998), dan menjari USD 1,1

milyar pada tahun 1999.48 Bahkan melalui bukti-bukti

yang diajukan di pengadilan Amerika Serikat, seperti

terkait kasus F. Hoffman-La Roche tentang kartel penetapan

harga vitamin pada tahun 1999, Pengadilan Uni Eropa

baru dilegislasi pada tahun 1947 dalam Antimonopoly Act.

47 Gary R. Spratling, Asisten Deputi Attorney GeneralAntitrust Division, Deparment of Justice Amerika Serikat, MakingCompanies An Offer They Shouldn't Refuse: The Antitrust Division's Corporate LeniencyPolicy-An Update, dipresentasikan pada the Bar Association of the District ofColumbia's 35th Annual Symposium on Associations and Antitrust 3 (Feb. 16,1999)/ Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/2247.pdf. (kunjungan terakhir 30Mei 2010).

48 Scott D. Hammond (2), Direktur Criminal EnforcementAntitrust Division, Department of Justice Amerika Serikat, Detectingand Deterring Cartel Activity Through An Effective Leniency Program,dipresentasikan pada the International Workshop on Cartels 10 (Nov. 21-22,2000). Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/9928.pdf(kunjungan terakhir 30 Mei 2010).

Universitas Indonesia

30

dibantu untuk mendeteksi dan membuktikan kejahatan

kartel.49

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam Bab I, Penulis akan menjabarkan tentang

permasalahan dan dilema dasar krimsinalisasi di

Indonesia, termasuk penyebab dari kesemrawutan hukum

pidana yang ada, dampak buruk dari kesemrawutan yang

ada. Selain itu, Bab ini juga menjelaskan secara lebih

khusus tentang permasalahan dan dilema dasar

kriminalisasi kartel dalam ranah hukum persaingan

usaha. Selanjutnya, Bab I akan menjelaskan tentang

tujuan umum pemidanaan dan apa tujuan pemidanaan kartel

di Indonesia.

Dalam Bab II, Penulis akan menjabarkan tentang

dasar kriminalisasi/tujuan pemidanaan suatu perbuatan.

Lebih spesifiknya, apa saja yang harus dipertimbangkan

seorang legislator atau lawmaker ketika menentukan

suatu perbuatan sebuah tindak pidana. Dalam Bab II,

juga akan dijelaskan tentang dilema dalam menentukan

kualifikasi/kriteria tindak pidana ketika ada

kepentingan-kepentingan yang bertentangan.

Dalam Bab III, Penulis akan menjabarkan tentang apa

yang dimaksud kartel, ciri-ciri kartel, dampak negatif

kartel, dan dasar kriminalisasi kartel. Penjelasan ini49 F. Hoffman-La Roche juga dihukum oleh otoritas persaingan

usaha Uni Eropa berdasarkan bukti-bukti yang digunakan olehAntitrust Division di pengadilan Amerika Serikat denganmenggunakan strategi prisoner’s dilemma.

Universitas Indonesia

31

akan didasarkan pada RIA Selandia Baru 2010 tentang

kriminalisasi kartel. Penulis akan menjabarkan dampak

buruk kartel dengan menggunakan pendekatan disiplin

ilmu hukum dan ekonomi.

Dalam Bab IV, Penulis akan menjabarkan tentang apa

yang dimaksud dengan strategi prisoner’s dilemma dan

bagaimana cara otoritas Amerika Serikat menerapkannya

terkait dengan dasar penentuan sanksi dan efektifitas

serta efisiensi sanksi atas kartel. Penulis akan

menguraikan kaitan antara penentuan sanksi pidana

penjara, pidana denda, dan/atau ganti rugi perdata

dengan prinsip ultimum remedium. Selanjutnya, Penulis

akan menjabarkan kerancuan dan/atau absurditas

penentuan sanksi terhadap kartel berdasarkan UU No.

5/1999. Pada akhirnya, Penulis akan membahas tentang

kemungkinan penerapan strategi prisoner’s dilemma di

Indonesia untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi

penerapan sanksi atas kartel.

Dalam Bab V, Penulis akan menjabarkan tentang

simpulan dasar kriminalisasi kartel dan metode yang

efektif untuk menangani kartel. Selanjutnya, Penulis

akan memaparkan saran yang konstruktif bagi pihak

legislator dalam perumusan dasar kriminalisasi kartel,

penentuan sanksi atas kartel, dan kemungkinan

menerapkan strategi prisoner’s dilemma di Indonesia untuk

meningkatkan efek jera dari sanksi tersebut.

Universitas Indonesia

32

-Halaman ini sengaja dikosongkan-

Universitas Indonesia

33

BAB IIDASAR PENGKRIMINALISASIAN SUATU PERBUATAN

Jawaban terhadap pertanyaan apa itu kejahatan

(crime) mungkin terkesan sederhana, namun pergelutan

dalam diskursus ini merupakan yang tersulit dalam

disiplin hukum pidana. Perbuatan pidana atau bukan

umumnya bisa dilihat dari ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan atau hukum positif. Misalnya, pasal

338 KUHP melarang pembunuhan. Namun, yang ingin dibahas

penulis dalam bab ini adalah tentang dasar

kriminalisasi yang merupakan satu langkah sebelum

perumusan ketentuan pidana tersebut, contohnya mengapa

pembunuhan dikriminalisasi, bukan pertanyaan mengenai

cara mengidentifikasi suatu perbuatan pidana dalam

hukum positif atau undang-undang.50 Oleh karena itu,

pembahasan Bab I dimulai dari isu paling mendasar yaitu

kebijakan kriminal (criminal policy) dan kebijakan hukum

pidana (penal policy). Kemudian, setelah memaparkan

kebijakan kriminal dan kebijakan hukum pidana, Penulis

akan membahas kriteria penentuan suatu perbuatan

sebagai tindak pidana. Selanjutnya, akan dibahas tujuan

dan fungsi hukum pidana

50 Dalam kutipan arogannya advokat klasik Inggris: “The primarydifference between a lawyer and a commoner is everyone may know what the law is, butlawyer knows where to look for it.”

Universitas Indonesia

34

2.1 Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dan

Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

2.1.1 Arti kebijakan criminal (criminal policy)

dan kebijakan hukum pidana (penal policy) dan

hubungan antara keduanya

Prof Sudarto mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai

kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu:51

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan

metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari

aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara

kerja dari pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari

Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-

badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan

norma-norma sentral dari masyarakat.

Definisi ini sesuai dengan pendapan Marc Ancel

yang merumuskan politik kriminal sebagai “the rational

organization of the control of crime by society”.52 Sementara G.

Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa secara umum“Criminal

51 Barda Nawawi, op.cit., hal 1.52 Marc Ancel, Social Defence, 1965, hal 209 dalam Ibid, hal 2.

Universitas Indonesia

35

policy is the rational organization of the social reaction to crime”.53

Hoefnagels mengemukakan bahwa secara khusus:54

1. Criminal policy is the science of responses;

2. Criminal policy is the science of crime prevention;

3. Criminal policy is a policy of designating human behavior as

crime;

4. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.

Perumusan tujuan kebijakan kriminal (criminal policy)

dinyatakan dalam salah satu laporan UNAFEI di Tokyo

tahun 1973 sebagai berikut:55

“Most of group members agreed some discussion that “protection

of the society” could be accepted as the final goal of criminal policy,

although not the ultimate aim of society, which might perhaps be

described by terms like “happiness of citizens”, a”wholesome and

cultural living”, “social welfare” or “equality”

Singkatnya, kebijakan atau upaya penganggulangan

kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral

dari upaya perlindungan masyarakat (social defense) dan

upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Oleh karena itu, tujuan akhir dari kebijakan kriminal

53 G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, 1969, hal 57dalam Ibid.

54 Ibid, hal 57, 99, 100.

55 Summart Report, Resource Material Series No. 7, UNAGERI, 1974,hal 95.

Universitas Indonesia

36

(criminal policy) ialah “perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan rakyat”

Sementara itu, yang dimaksud kebijakan hukum

pidana (penal policy), menurut Prof. Sudarto, adalah:

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang

baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada

suatu saat.56

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang

berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan

yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang

terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai

apa yang dicita-citakan.57

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal

dengan menggunakan penal policy adalah masalah penentuan:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak

pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau

dikenakan kepada si pelanggar.

Secara skematis, hubungan politik kriminal (social

policy) dengan kebijakan pidana (criminal policy) dan

56 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hal159 dalam Badar Nawawi, op.cit., hal 24.

57 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung:Sinar Baru, 1983) hal 20 dalam Barda Nawawi, Ibid, hal 25.

Universitas Indonesia

37

kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat digambarkan

sebagai berikut.58

Bagan 1

Alasan mengapa criminal policy dibagi menjadi penal

dan non-penal adalah karena tidak semua kebijakan

kriminal diwadahkan dalam kebijakan hukum pidana

terutama terkait dengan sanksi pidana. Senada dengan

pernyataan di atas. G. Peter Hoefnagels juga

mengemukakan:

“Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy: the

law enforcement policy… The legislative and enforcement policy is

in turn part of social policy.”

Bagan 2

58 Barda Nawawi, op.cit., hal 3.

Universitas Indonesia

Social Defence Policy

38

2.1.2 Manfaat perumusan kebijakan pidana

Salah satu tujuan dari social policy adalah

kesejahteraan ekonomi (social welfare policy). Kejahatan

dipandang sebagai suatu perbuatan yang menghilangkan

kesejahteraan ekonomi masyarakat sehingga criminal policy

berorientasi pada tujuan yang sama dengan social welfare

policy yaitu, salah satunya, kesejahteraan ekonomi. Jika

merujuk pada bagan 1 di atas, maka perbedaan social

welfare policy dan criminal policy adalah perumusan social welfare

policy bersifat positif dalam arti tindakan positif

diperlukan untuk menciptakan atau meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Tanpa tindakan positif

tersebut, maka kesejahteraan rakyat tidak akan

Universitas Indonesia

Administrative and civil law

39

tercapai. Sementara itu, perumusan criminal policy bersifat

negatif dalam arti tindakan (kejahatan) tertentu harus

dicegah atau dihalangi supaya kesejahteraan masyarakat

bisa tercipta atau ditingkatkan. Tanpa tindakan

(kejahatan) tersebut, maka kesejahteraan masyarakat

akan tercapai.

Kesejahteraan ekonomi sebagai salah satu tujuan

dari criminal policy juga dikemukakan dalam Deklarasi

Caracas yang dihasilkan Kongres PBB ke-6 tahun 1960

yang menyebutkan:59

“Crime prevention and criminal justice should be considered in the

context of economic development, political system, social and

cultural values and social change, as well as in the context of the

new international economic order (Deklarasi No. 2)”.

Selanjutnya dalam Guiding Principles for Crime Prevention

and Criminal Justice in the Context of Development and a New

International Economic Order yang juga dihasilkan oleh

Kongres PBB ke-7 di Milan, antara lain dinyatakan

( dalam sub B mengenai “National Development and the prevention

of crime”).60

“Crime prevention as part of social policy

59 Sixth UN Congress, Report, 1981, hal 3.

60 United Nation, Guiding Principles for Crime Prevention and CriminalJustice in the Context of Development and a New international Economic Order, UNDepartment of Public Information, Agustus 1988, hal 9-10.

Universitas Indonesia

40

21. The criminal justice system, besides being an instrument to

effect control and deterrence, should also contribute to the

objective of maintaining peace and order for equitable social and

economic development, redressing inequalities and protecting

human rights.”

Kemudian, anggota Kongres ke-5 tahun 1975 di

Geneva meminta perhatian, antara lain, terhadap:

“Crime as business, yaitu kejahatan yang bertujuan

mendapat keuntungan material melalui kegiatan

dalam bisnis atau industry, yang pada umumnya

dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh

mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam

masyarakat, termasuk dalam kejahatan ini antara

lain yang berhubungan dengan pencemaran

lingkungan, perlindungan konsumen dan dalam bidang

perbankan, di samping kejahatan-kejahatan lainnya

yang biasa dikenal dengan “organized crime”, “white

collar crime” dan korupsi.”

Selanjutnya, dalam Kongres PBB ke-7 tahun 1985,

antara lain, dimintakan perhatian terhadap kejahatan-

kejahatan tertentu yang dipandang membahayakan seperti

“economic crime” khususnya yang berhubungan dengan

masalah pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan

barang dan jasa bagi para konsumen (offences against the

provision of goods and services to consumers).

Universitas Indonesia

41

Senada dengan pendapat di atas, Ted Honderich

menyatakan bahwa pendekatan rasional pragmatis berarti

mengandung pula pendekatan kemanfaatan/kegunaan

(utilitas).61 Sehubungan dengan ini juga, Jeremy

Bentham pernah menyatakan bahwa pidana janganlah

diterapkan/digunakan apabila “groundless, needless,

unprofitable, or inefficacious”.62

2.2 Kriteria penentuan suatu perbuatan sebagai

tindak pidana/kejahatan (crime)

Mengenai kriteria penentuan suatu perbuatan sebagai

kejahatan, Professor Ashworth berpendapat bahwa

“kesempatan politik dan kekuasaan, dimana keduanya

terkait dengan kultur politik suatu negara yang sedang

berlangsung merupakan faktor penentu utama.”63

Pendekatan ini bersifat lebih pragmatis. Secara umum,

ada dua pertanyaan yang penting dalam kaitannya dengan

kriteria tersebut.64 Pertama, apakah perbuatan tersebut

mempunyai dampak buruk berupa rasa sakit (harmful)

61 Barda Nawawi, op.cit., hal 35.

62 Ibid.

63 A. Ashworth, Principles of Criminal Law, edisi ke-2, (Oxford:Clarendon, 1995), hal 55.

64 Mike Molan, Denis Lanser, dan Duncan Bloy, Principles of CriminalLaw, edisi ke-4, (Britania Raya: Cavendish Publishing, 2000), hal12.

Universitas Indonesia

42

kepada individu atau masyarakat? Kedua, apakah

perbuatan tersebut immoral?

Jika jawaban kepada kedua pertanyaan tersebut

adalah iya, maka perbuatan tersebut dianggap secara

prima facie pantas untuk dikriminalisasikan. Pendekatan

klasik ini masih terlalu sumir atau simplistik karena

ada perbuatan yang immoral dan harmful namun belum

dikriminalisasi (misalnya, kumpul kebo). Sementara itu,

ada perbuatan yang tidak immoral maupun harmful, namun

dikriminalisasikan, misalnya tidak/lupa memakai seat belt

dan kejahatan yang tidak ada korbannya (victimless crimes).

Hukum tidak bisa mengkriminalisasikan semua

perbuatan immoral karena:65

a. Kesulitan pembuktian (kebanyakan perbuatan

terjadi/dilakukan dalam ruang privat dan tidak

terdapat saksi yang independen).

b. Kesulitan dalam pendefinisian (contohnya, seorang

suami yang ditinggalkan oleh istrinya bertahun

lamanya dan sekarang suami tersebut sudah menikah

lagi. Jika suami tersebut melakukan hubungan intim

(seks), apakah ia bisa dihukum atas kejahatan

perzinahan?).

c. Aturan tentang moralitas dalam situasi tertentu

sangat sulit untuk diterapkan tanpa melanggar hak-

hak individu akan privasi).

65 Id, hal 13.

Universitas Indonesia

43

d. Sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) dalam

beberapa kasus menyediakan kompensasi yang cukup

bagi pihak yang dirugikan oleh perbuatan tertentu

(contoh, hak dari istri yang ditinggalkan).

e. Bagaimana cara menentukan “pendapat moral” yang

ada sementara terdapat perbedaan-perbedaan nilai

moral yang mendalam dan tajam dalam masyarakat

modern?

Lord Devlin berargumen bahwa suatu perbuatan harus

dikriminalisasi jika perbuatan tersebut menimbulkan

“kebencian/kejijikan yang mendalam” (deep disgust)

terhadap individu yang berpikiran benar (right-minded

individual).66 Namun, HLA Hart mengkritik pendapat ini

dengan menyatakan: bagaimana jika orang yang berpikiran

benar tersebut mendasarkan pikirannya pada

ketidaktahuan (ignorance), takhayul, atau

kesalahpahaman?67 Jika pendapat Lord Devlin yang diikuti,

maka kekuasaan pembuat hukum akan didelegasikan kepada

para pemilik surat kabar atau tabloid dan ini merupakan

hal yang sangat buruk. Sebaliknya, jika pembuat hukum

merumuskan hukum tanpa menilik nilai-nilai individu

yang berpikiran benar, hukum akan kehilangan kewibawaan

dan penghormatan dari masyarakat luas dan ini juga

merupakan hal yang sangat buruk.68

66 P. Devlin , The Enforcement of Morals, (Oxford: OUP, 1965).

67 HLA Hart, Law, Liberty and Morality, (Oxford: OUP, 1963).

68 Mike Molan, Denis Lanser, dan Duncan Bloy, op.cit., hal 13.

Universitas Indonesia

44

Pendapat Herbert Packer adalah pendapat yang mungkin

paling berguna dan praktis dalam menentukan perbuatan

apa yang seharusnya dikriminalisasi. Packer menyarankan

beberapa kriteria selain immoralitas dan rasa sakit

(harm) dan kerusakan (damage) yang ditujukan kepada

seseorang atau barang:69

1. Mayoritas masyarakat tersebut memandang perbuatan

tersebut sebagai ancaman sosial.

2. Perbuatan tersebut tidak pernah

ditoleransi/diizinkan oleh sebagian besar kalangan

masyarakat.

3. Menekan/mengisolasi perbuatan tersebut tidak akan

menghalangi perbuatan yang diinginkan masyarakat

luas (socially desirable conduct).

4. Masalah tersebut bisa ditangani dengan

implementasi hukum yang adil dan non-

diskriminatif.

5. Usaha untuk mengontrol perbuatan tersebut tidak

akan mengekspos sistem peradilan pidana kepada

kekangan kualitatif atau kuantitatif yang besar

(severe qualitative or quantitative strains).

6. Tidak ada alternatif lain yang masuk akal selain

sanksi pidana untuk mengatasi masalah tersebut.

7. Biaya untuk penegakkan hukumnya tidak mahal/besar.

69 Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (CA: StanfordUP, 1968).

Universitas Indonesia

45

2.3 Tujuan Hukum Pidana

Prof. Mr. Roeslan Saleh berpendapat bahwa untuk

menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana

maka harus terlebih dahulu dipersoalkan mengenai tujuan

apakah pada umumnya yang akan dicapai pembentuk undang-

undang dengan menentukan suatu perbuatan sebagai

perbuatan pidana.70 Dengan kata lain, apakah yang ingin

dicapai dengan pidana? Beberapa tujuan yang ingin

dicapai hukum pidana adalah pembalasan, prevensi umum,

prevensi khusus, menegakkan hukum, menyelesaikan

konflik-konflik, membatasi dan menghindarkan “main

hakim sendiri”. D. Simons, dalam buku pelajaran hukum

pidana paragraf 18 dari Bagian Umumnya dan paragraf 326

dari Bagian Khususnya menyebutkan, bahwa “pada dasarnya

tiap kepentingan dari individu mendapat perhatian,

untuk jika perlu dilindungi dengan hukum pidana, yaitu

sejauh kepentingan itu secara langsung atau tidak

langsung juga mempunyai arti bagi masyarakat”.

Gulden regel

Kepentingan manusia yang berbeda-beda menyebabkan

banyaknya konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini

harus diselesaikan dengan, salah satu caranya,

menyepakati nilai yang dianggap jahat atau tidak. Salah

satu tujuan pemidanaan/kriminalisasi adalah sebagai

wadah konsensus dari nilai kejahatan. Tanpa wadah70 Roeslan Saleh, op.cit., hal 73.

Universitas Indonesia

46

konsensus ini, ukuran kejahatan menjadi sangat kabur

dan/atau ambigu. Walaupun kesepakatan ini mungkin tidak

melahirkan penentuan nilai kejahatan yang

baik/sempurna, tanpa kesepakatan ini penentuan nilai

kejahatan menjadi jauh lebih kabur dan/atau ambigu.

Kesepakatan atas nilai tersebut, seperti saling

menghormati, kewajiban moral, keadilan dan patut

dihormatinya aturan-aturan tertentu, dinamakan asas

gulden regel.71

Asas gulden regel memaksa anggota masyarakat untuk

menimbang kepentingan sendiri dan kepentingan orang

lain dengan timbangan yang sama. Bagaimana seseorang

dapat meyakinkan orang lain bahwa justru kepentingannya

sendiri yang harus ditimbang lebih berat daripada orang

lain, jika pada kenyataannya kepentingan-kepentingan

itu adalah sama? Anggapan yang ada dalam penerapan

aturan itu adalah bahwa ada kesediaan untuk berunding

yang menimbulkan secara langsung dasar untuk

diadakannya beberapa penentuan dapat dipidananya suatu

perbuatan.

Menghindari main hakim sendiri

Dalam realitanya, masyarakat mempunyai nilai yang

berbeda-beda. Jika nilai tersebut dilanggar oleh

seseorang dalam masyarakat tersebut maupun dari luar

71 Langmeyer, Inleiding tot de studie van de wijsbegeerte des rechts, 2edruk, hal 207 dalam Roeslan Saleh, op.cit., hal 81.

Universitas Indonesia

47

masyarakat tersebut, maka akan muncul perasaan untuk

menghakimi dan menghukum. Oleh karena tidak adanya

kesepakatan penentuan nilai kejahatan, masyarakat akan

cenderung menerapkan sanksi yang dianggap pantas

terhadap suatu perbuatan yang dianggap melanggar nilai

tersebut. Menurut Penulis, salah satu tujuan yang ingin

dicapai pidana adalah untuk menghindari “main hakim

sendiri.” Senada dengan pendapat tersebut, Prof Roeslan

Saleh menyatakan “Dalam kejadian-kejadian dimana

penyelesaian terhadap konflik yang ditimbulkan oleh

pembuat itu adalah semata-mata menegaskan adanya pidana

oleh karena dia, dengan perbuatan itu telah berbuat

lain daripada yang diharapkan dari dia berdasarkan

larangan yang telah diadakan. Pidana itu bertujuan

untuk menghindarkan ‘main hakim sendiri’ yang mungkin

akan dilakukan oleh pihak yang dirugikan dan dari semua

orang yang berkeinginan agar ketentuan-ketentuan itu

dipertahankan.”72 Prof Roeslan memisahkan antara

kejahatan yang berat (misalnya pemerkosaan) dan ringan

(misalnya penyelewengan pajak dan pelanggaran hak

cipta). Kejahatan yang berat cenderung memerlukan

sanksi pidana. Contoh, anggota masyarakat yang

mengetahui bahwa seorang yang mabuk dan bejat yang

memperkosa anak perempuannya tidak dipidana, maka bapak

anak perempuan tersebut pasti akan menghukum pembunuh

itu sendiri.

72 Roeslan Saleh, op.cit., hal 84.

Universitas Indonesia

48

2.4 Fungsi sanksi pidana

Secara umum, fungsi hukum pidana adalah sebagai

kontrol sosial dan moral. Pendapat senada juga

diartikulasikan oleh Mardjono Reksodiputro.73 Hukum

pidana merupakan perwujudan aturan-aturan dari kontrol

sosial dalam sebuah masyarakat. Cara menentukan

aturan-aturan dari kontrol sosial tersebut adalah bahwa

fungsi hukum pidana adalah “untuk melindungi ketertiban

umum dan nilai kepatutan, untuk melindungi masyarakat

dari perbuatan yang dianggap ofensif atau berbahaya dan

untuk menyediakan perlindungan yang cukup melawan

eksploitasi atau korupsi atas orang lain, terutama

kalangan yang rentan karena usia yang muda, lemah

secara fisik maupun psikis, atau tidak berpengalaman,

atau mempunyai ketergantungan fisik, jabatan, atau73 Menurutnya, konsep ke-1 RUU KUHPidana yang diajukan pada

tahun 1993 juga memperhatikan perlindungan terhadap hak asasiwarga masyarakat, dengan didukung oleh tiga prinsip yaitu sebagaiberikut:hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkankembali nilai – nilai sosial dasar (fundamental social values)perilaku hidup bermasyarakat (dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negaraPancasila);

a. hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalamkeadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial(social control) tidak (belum) dapat diharapkankeefektifannya; dan

b. hukum pidana (yang telah mempergunakan kedua pembatasan(a dan b diatas) harus diterapkan dengan cara seminimalmungkin mengganggu hak dan kebebasan individu, tanpamengurangi perlunya juga perlindungan terhadapkepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratikyang modern.

Universitas Indonesia

49

ekonomi secara khusus. Bukan tugas hukum untuk

mengintervensi ruang hidup privat masyarakat, atau

untuk memaksakan penegakkan pola prilaku tertentu.” 74

Sanksi pidana bertujuan untuk menghukum perbuatan

salah yang mengancam nilai-nilai fundamental yang

merupakan pondasi suatu masyarakat.75 Perbuatan mencuri

atau menganiaya menyebabkan rasa sakit (harm) dan

kerusakan (damage) terhadap seorang individu dan pada

saat yang sama menyebabkan rasa sakit (harm) dan

kerusakan (damage) kepada masyarakat luas karena

perbuatan tersebut mengancam keamanan dan kenyamanan

masyarakat.76 Muladi menyatakan karena tujuannya

bersifat integratif maka perangkat tujuan pemidanaannya

adalah: (a) pencegahan umum dan khusus, (b)

perlindungan masyarakat, (c) memelihara solidaritas

masyarakat, dan (d) pengimbalan/pengimbangan.

Lebih khususnya, beberapa fungsi hukum pidana

adalah retribusi, deteren/efek jera, pelumpuhan

(incapacitation), dan rehabilitasi, dan restoratif.

2.3.1 Retribusi

Tujuan utama dari hukuman adalah sebagai retribusi.

Hukuman diberikan kepada pelanggar hukum karena hal

74 The Wolfenden Committee, Report of the Committee of HomosexualOffences and Prostitution (1957), Cmnd 247, paragraf 13 dan 14.

75 Michael J. Allen, op.cit., hal 3.

76 Ibid.

Universitas Indonesia

50

tersebut pantas atas pelanggarannya terhadap hukum. Hal

ini dinyatakan oleh Stephen “Hukuman berdasarkan hukum

menciptakan kepastian dan pembenaran (justification) korban

kejahatan atas rasa benci mereka atas kejahatan yang

dilakukan, dan mendasarkan hukuman tersebut pada moral

dan hal yang diterima khalayak ramai daripada hukuman

berdasarkan hati nurani. Oleh karena itu, hukum pidana

membenarkan secara moral perasaan benci terhadap

kejahatan dan sekaligus membenarkan sentimen tersebut

dengan menjatuhkan hukum terhadap penjahat tersebut.”77

Dengan kata lain, retribusi mencerminkan keinginan

masyarakat untuk membalas dendam. Ketika orang-orang

berkumpul dalam sebuah masyarakat yang diatur oleh

hukum, mereka melepaskan haknya untuk membalas dendam

atas rasa sakit (harm) dan kerusakan (damage) yang

dilakukan kepada mereka sebagai ganti atas perlindungan

yang hukum berikan kepada mereka. Senada dengan

pendapat di atas, H. Cross menyatakan “masyarakat

menuntut hak untuk membalas kejahatan dengan kejahatan

diserahkan oleh setiap individu, dan sebagai gantinya

hukum akan memberikan perlindungan. Perlindungan hukum

ini efektif hanya jika pelanggaran hukum/kejahatan itu

dihukum. Keseimbangan ini tercapai dengan meletakkan

kewajiban moral kepada masyarakat untuk menghukum

77 Stephen, A History of Criminal Law of England, (1883), paragraf 81-82.

Universitas Indonesia

51

kejahatan karena ada kewajiban moral dari setiap

individu untuk tidak melanggar hukum.”78

Balas dendam merupakan salah satu aspek dari

retribusi. Elemen lain adalah kecaman publik

(denunciation).79 Penghukuman menunjukkan ketidaksetujuan

masyarakat atas perbuatan jahat tertentu dan

mengafirmasi nilai-nilai hukum pidana yang telah

ditentukan. Namun, hukuman yang dijatuhkan bukan

merupakan balas dendam yang membabi-buta. Hukuman

tersebut harus beralasan (reasoned) dan masuk akal

(reasonable). Sesuai dengan pendapat Immanuel Kant,

seseorang yang melakukan kejahatan telah mengambil

keuntungan secara tidak adil dari anggota masyarakat

lainnya sehingga hukuman menetralkan keuntungan yang

tidak adil itu (terutama ketika pengadilan

memerintahkan penyitaan, restitusi, atau kompensasi).80

Hukuman yang pantas untuk seorang penjahat, harus

terkait dengan rasa sakit (harm) dan kerusakan

(damage) yang telah disebabkan olehnya. Selain itu,

hukuman tersebut masuk akal hanya jika dijatuhkan

secara proporsional.

2.3.2 Deteren atau efek jera

78 H. Cross, A Theory of Criminal Justice, (1979), paragraf 19-20.

79 Michael J. Allen, op.cit., hal 4.

80 Ibid.

Universitas Indonesia

52

Fungsi kedua dari hukuman adalah deteren/efek jera,

baik efek jera yang khusus (misalnya, memaksa penjahat

untuk tidak mengulangi kejahatannya di masa yang akan

datang) maupun efek jera yang umum (misalnya

mengingatkan calon pelaku kejahatan untuk tidak

melakukan kejahatan tersebut dengan mencontohkan

akibat/hukuman yang diterima oleh pelaku kejahatan

tersebut). Kesulitannya adalah beberapa pelaku

kejahatan mungkin tidak akan mengulangi kejahatannya

walaupun mereka tidak akan tertangkap lagi atau

dihukum, sementara pelaku kejahatan lain tidak akan

mengulangi kejahatan hanya jika hukuman begitu berat

dan bahkan di luar batas proporsional terhadap

kejahatan tersebut. Hukuman merupakan suatu keharusan

supaya hukum tidak kehilangan kekuatan memaksanya.

Masalah apakah seseorang lebih takut akan pemaksaan

itu, tergantung pada beberapa faktor. Packer menyatakan

bahwa “fungsi deteren dari hukum pidana berlaku efektif

kepada individu yang masih dipengaruhi oleh lingkungan

sosialnya sehari-hari. Fungsi deteren tidak akan

mengancam individu-individu yang menyedihkan dan tidak

mempunyai harapan lagi dalam hidupnya. Hukum tidak akan

memperbaiki moral orang-orang yang sistem nilainya

sudah ditutup untuk modifikasi, baik secara psikologis

maupun secara kultural.”81 Oleh karena itu, fungsi

deteren hukum pidana itu bersifat terbatas.

81 H.Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (1968), hal 45.

Universitas Indonesia

53

2.3.3 Pelumpuhan (incapacitation)

Fungsi hukum pidana yang ketiga adalah pelumpuhan

(incapacitation). Jika seorang pelaku kejahatan dipenjara,

maka masyarakat luas atau publik akan dilindungi dari

kejahatan lain yang mungkin dilakukannya karena pelaku

kejahatan tersebut berada di dalam penjara. Fungsi

pelumpuhan ini sama dengan fungsi perlindungan

masyarakat.

2.3.4 Rehabilitasi

Pada dasarnya fungsi rehabilitasi hukum pidana melihat

bahwa pelaku kejahatan adalah orang sakit, sehingga

perlu disembuhkan. Penyakit ini bisa disembuhkan dengan

rehabilitasi melalui hukuman penjara, di mana pelaku

kejahatan tersebut diajarkan disiplin, moral, tingkah

laku yang diterima dalam masyarakat. Pada gilirannya,

pelaku kejahatan tersebut bisa dikembalikan ke dalam

masyarakat dengan fungsi yang baik. Disiplin ilmu

penologi pra-1960 berkutat pada ide tentang

rehabilitasi.82 Hukuman percobaan diperkenalkan untuk

memungkinkan ide rehabilitasi tersebut. Ide

rehabilitasi ini juga terdapat dalam Prison Rules 1964

Amerika Serikat yang menyatakan “tujuan dari pelatihan

dan perlakuan terhadap tahanan penjara adalah untuk

82 Michael J. Allen, op.cit., hal 5.

Universitas Indonesia

54

mendorong dan membantu mereka untuk meraih kehidupan

yang baik dan berguna.”

2.3.5 Restoratif

Menurut Penulis, perbedaan utama fungsi hukum

pidana dalam arti rehabilitasi dan restoratif adalah

sebagai berikut. Fungsi rehabilitasi menekankan pada

“penyembuhan” penjahat dari penyakit. Jadi,

penekanannya ada di penjahat sebagai subyek atau aktor.

Fungsi restoratif menekankan pada “penyembuhan” seluruh

dampak yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan yang

mencakup (i) harm dan damage yang ditimbulkan

kejahatan tersebut, (ii) subyek atau pelaku kejahatan,

(iii) obyek atau korban kejahatan (keluarga korban yang

dibunuh atau korban pemerkosaan, dan (iv) rasa tenteram

atau damai masyarakat.

Fungsi restoratif hukum pidana adalah sebuah konsep

pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan

pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan

masyarakat dan korban yang merasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana

yang ada pada saat ini.83 George Rizer menyatakan bahwa:

“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing

and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by

educational, legal, social work, and counseling professionals and

83 Eva Achjani Zulfa, op.cit., hal 14.

Universitas Indonesia

55

community groups.84 Restorative justice is a value-based approach to

responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the

person harmed, the person causing harm, and the affected community.85

Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu

paradigma baru yang dapat dipakai sebagai bingkai dari

strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan

menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan

pidana yang ada pada saat ini.86 Dasar pertimbangan

filosofis dari mekanisme ini adalah untuk mengurangi

dampak buruk dari stigmatisasi yang dilakukan oleh

masyarakat kepada seorang pelaku tindak pidana yang

kemudian diberi label narapidana.87

Arti leksikal dari kata restoratif (yang berasal

dari kata restore) adalah mengembalikan keadaan yang

rusak akibat kejahatan pada keadaan/kondisi semula.

Pendapat penulis terkait dengan fungsi restoratif hukum

pidana adalah apa nilai moral maupun praktis dari

mengembalikan keadaan yang rusak akibat kejahatan

kepada keadaaan/kondisi semula? Bukankah waktu tetap

berjalan? Bayangkan jika terdapat suatu keadaan A yang

seharusnya berada dalam titik waktu T (masa lampau),

84 George Rizer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) seperti dikutip dalamEva Achjani Zulfa, ibid, hal 14.

85 Ibid.

86 Eva Achjani Zulfa,op.cit., hal 15.

87 Ibid. hal 17.

Universitas Indonesia

56

namun rusak akibat kejahatan tertentu. Apakah tepat,

pada titik waktu S (masa sekarang), untuk mengembalikan

keadaan yang ada yang rusak (B) kepada keadaan yang

seharusnya ada (A)? Kurun waktu yang hilang antara T

sampai dengan S juga harusnya dihitung dalam fungsi

restoratif hukum pidana. Dalam istilah ekonomi, konsep

tersebut dinamakan opportunity cost, yaitu kesempatan yang

hilang akibat keadaan yang tidak ada. Korban kejahatan

banyak kehilangan waktu, tenaga (emosi dan fisik),

uang, dan rasa percaya akibat kurun waktu T sampai

dengan S, sehingga untuk mengembalikan keadaan yang ada

ke keadaan A memosisikan korban kejahatan kepada titik

waktu T, padahal korban tersebut hidup pada titik waktu

S. Jurang waktu ini merupakan suatu faktor yang harus

dipertimbangkan dalam fungsi restoratif hukum pidana.

Universitas Indonesia

57

BAB IIIPENGERTIAN KARTEL DAN DASAR KRIMINALISASI KARTEL

3.1 Pengertian kartel secara umum

Secara umum, kartel terbentuk ketika pelaku usaha

sepakat dengan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak

bersaing dengan satu sama lain. Struktur pasar yang

kompetitif, dimana pelaku usaha yang berusaha di dalam

pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada

hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk kedalam pasar,

membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar

tidak mampu untuk menyetir harga sesuai dengan

keinginannya.88 Pelaku usaha hanya menerima harga yang

sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk

berproduksi secara maksimal supaya bisa mencapai suatu

tingkat produksi yang efesien.

Praktek kartel merupakan salah satu strategi yang

diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat

mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi

mereka. Asumsinya adalah jika produksi mereka di dalam

pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk

mereka di dalam pasar tetap, maka harga produk tersebut

akan naik. Sebaliknya, jika produk mereka melimpah di

88 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, et.al., HukumPersaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, (Indonesia: DeutscheGesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, 2009), hal.107.

Universitas Indonesia

58

dalam pasar, harga produk tersebut akan turun. Oleh

karena itu, pelaku usaha berusaha membentuk suatu

kerjasama horizontal untuk mempengaruhi harga dengan

mengontrol (mengurangi) jumlah produksi dan/atau

pemasaran (penjualan) barang dan/atau jasa.

Membanjirnya pasokan dari suatu produk tertentu di

dalam suatu pasar, dapat membuat harga dari produk

tersebut di pasar menjadi lebih murah, dimana kondisi

ini akan menguntungkan bagi konsumen, tetapi tidak

sebaliknya bagi pelaku usaha (produsen atau penjual),

karena semakin murahnya harga produk mereka di pasar,

membuat keuntungan yang akan diperoleh oleh pelaku

usaha tersebut menjadi berkurang.

Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga

produk dapat memberikan marjin keuntungan yang

sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha

membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur

mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi

mereka di pasar tidak berlebih. Tujuannya adalah agar

membuat harga produk mereka di pasar tidak menjadi

lebih murah. Tujuan paling utama adalah untuk mengeruk

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi

jumlah produk mereka secara signifikan di pasar,

sehingga terjadi kelangkaan produk tersebut di pasar,

yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya

yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha

tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama

Universitas Indonesia

59

dari praktek kartel adalah untuk mengeruk sebanyak

mungkin surplus konsumen ke produsen. Oleh karena

kartel menukar kompetisi dengan tindakan-tindakan yang

kolutif diantara pesaing, maka dilarang dalam hukum

persaingan usaha.89

Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari

kartel.90 Pertama, terdapat konspirasi antara beberapa

pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga,

agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula

alokasi konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat,

adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha

misalnya karena perbedaan biaya. Tidak semua perjanjian

kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat,

seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk

mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus

memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk

melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau

dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannnya

tidak menghambat persaingan.91

3.2 Pengertian kartel berdasarkan unsur Pasal 11 UU

No.5/1999

Terkait definisi kartel, Pasal 11 UU No. 5 /1999

menyatakan:

89 William R. Andersen and C. Paul Rogers III, Antitrust Law: Policyand Practice, 3rd ed. (Mattew Bender, 1999) p.349.

90 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, op.cit, hal 106.

91 Ibid, hal 107.

Universitas Indonesia

60

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan

pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan

atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat.”

Uraian unsur pasal 11 UU No.5/1999 adalah (i)

pelaku usaha, (ii) membuat perjanjian, (iii) pelaku

usaha pesaing, (iv) yang bertujuan untuk mempengaruhi

harga dengan cara mengatur produksi dan/atau pemasaran,

(v) suatu barang dan/atau jasa, (vi) yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat.

a. Pelaku Usaha

Definisi pelaku usaha dijabarkan dalam pasal 1 ayat

5 UU No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum atau badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan

usaha dalam bidang ekonomi.”

Universitas Indonesia

61

b. Perjanjian

Pengertian ’Perjanjian’ dalam UU No. 5 Tahun 1999

diatur dalam pasal 1 ayat (7) UU No. 5 Tahun 1999

sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau

lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri

terhadap satu atau lebih usaha lain dengan

nama apapun, baik tertulis maupun tidak

tertulis.”

c. Pelaku Usaha Pesaingnya

Elemen Pelaku Usaha Pesaingnya terkait erat dengan

pasar bersangkutan yang dijelaskan lebih lanjut

dalam pedoman pelaksana pasal 1 ayat 10 tentang

Pasar Bersangkutan yang diberikan oleh KPPU melalui

Surat Keputusan No. 3 Tahun 2009.92

d. Bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara

mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang

dan/atau jasa

Unsur ini dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) sub-

unsur, yaitu tujuan dan cara. Tujuan akhir dari

perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku pesaing

adalah pada untuk mempengaruhi harga. Caranya adalah

dengan mengatur produksi dan/atau pemasarang suatu

barang dan/atau jasa. Dengan kata lain, perjanjian

92 KPPU, Keputusan KPPU No. 3 tahun 2009 tentang PedomanPelaksana Pasal 1 ayat 10 UU No. 5 Tahun 1999 tentang PasarBersangkutan, hal. 17.

Universitas Indonesia

62

dengan metode penetapan harga tidak terjerat pasal

11, melainkan pasal 5. Perbedaan utama pasal 11 dan

5 adalah pada pasal 11 unsur “mempengaruhi harga”

adalah tujuan akhir, sementara pada pasal 5 unsur

“menetapkan harga” adalah cara/metodenya.

Pasal 1 ayat 8 memberikan definisi mengenai

Persekongkolan sebagai berikut:

“Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk

kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan

pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai

pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha

yang bersekongkol.”

Pasal 1 ayat 9 mengenai definisi Pasar:

“Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para

pembeli dan penjual baik secara langsung

maupun tidak langsung dapat melakukan

transaksi perdagangan barang dan atau jasa.”

Pasal 1 ayat 10 mengenai definisi Pasar Bersangkutan

“Pasar Bersangkutan adalah pasar yang

berkaitan dengan jangkauan atau daerah

pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas

barang dan atau jasa yang sama atau sejenis

atau substitusi dari barang dan atau jasa

tersebut.”

Universitas Indonesia

63

Pasal 1 angka 16 mendefinisikan Barang sebagai

berikut:

“Barang adalah setiap benda, baik berwujud

maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun

tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan,

dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan

oleh konsumen atau pelaku usaha.”

Pasal 1 angka 17 mendefinisikan Jasa sebagai

berikut:

“Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan

dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha.”

e. ”yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat”

Pasal 1 ayat 2 mengenai definisi praktek

monopoli menyatakan:

“Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan

ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang

mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau

pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu

sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak

sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”

Universitas Indonesia

64

Pasal 1 ayat 6 mengenai definisi persaingan

usaha tidak sehat:

“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan

antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan

produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum

atau menghambat persaingan usaha.”

3.3 Ciri-ciri kartel

Ciri-ciri kartel adalah sebagai berikut.93

a. Kartel bersifat rahasia dan dan sangat sulit untuk

dideteksi. Oleh karena itu, kartel sulit dideteksi

oleh otoritas, apalagi konsumen.

b. Kartel hanya menguntungkan pelaku atau anggotanya

dan tidak mempunyai dampak positif bagi konsumen

melalui mekanisme yang lebih efisien

c. Kartel mempunyai dampak yang sangat buruk bagi

persaingan. Kriminalisasi kartel akan meningkatkan

efek jera serta efektifitas larangan kartel.

3.4. Bentuk kartel

Terkait dengan bentuk kartel, OECD mendefinisikan

hard-core cartel sebagai “perjanjian anti-kompetisi,

praktek anti-kompetitif yang concerted atau pengaturan

93 Manatu Ohanga, op.cit., hal. 17.

Universitas Indonesia

65

anti-kompetisi oleh para pelaku usaha yang bersaing

untuk:94

a. Menetapkan harga,

b. Tender kolusif (bid-rigging)

c. Membatasi output atau melakukan kuota, atau

d. Membagi atau memisahkan pasar dengan

mengalokasikan konsumen, pemasok, wilayah,

atau batas komersial.

Selain 4 (empat) bentuk hard-core cartel seperti yang

telah dijelaskan di atas, juga terdapat kartel dalam

bentuk lain yang belum jelas harus dikriminalisasi atau

tidak. Keempat bentuk kartel tersebut adalah:95

a. Kartelis dengan pangsa pasar kecil (the minor

cartelist)

b. Kartelis yang tidak kompeten/mampu (the

incompetent cartelist)

c. Kartelis yang tidak beruntung (the unlucky

cartelist)

d. Kartelis yang naif/bodoh (the naïve cartelist)

1. The minor cartelist

The minor cartelist adalah kartelis yang mempunyai

maksud dan tujuan untuk membentuk kartel, namun dampak

buruk yang disebabkannya kecil karena sifat dan cakupan

kegiatan usahanya yang kecil. Bayangkan ada 2 (dua)94 OECD Recommendation of the Council Concerning Effective Action Against Hard

Core Cartels (diadopsi oleh Dewan pada rapat sesi 921 pada tanggal 25Maret 1998 [C/M (98) 7/PROV]).

95 Manatu Ohanga, op.cit., hal. 36.

Universitas Indonesia

66

produsen susu yang sepakat untuk menetapkan harga.

Asumsikan pula pasar mereka dibatasi oleh kondisi

geografis karena konsumen produk mereka merasa malas

untuk menempuh perjalanan yang jauh untuk membeli

produk mereka. Kedua produsen sepakat untuk menetapkan

harga untuk 10 jenis susu. Kartel ini mungkin saja

sukses, namun dampak ekonominya sangat kecil karena

pendapatan kotor mereka hanya sebesar USD 100.000 per

tahun.

Apakah kartel yang dampaknya terhadap ekonomi

begitu kecil harus dikriminalisasi? Pada umumnya,

pendekatan yang diterapkan adalah dengan tetap

mengkriminalisasi kartel, namun jaksa penuntut umum

diberikan diskresi untuk tidak menuntut kartel yang

berdampak kecil terhadap ekonomi. Pedoman Penuntutan

Australia (Australian Prosecution Guidelines) menyatakan lebih

kecil kemungkinan adanya penuntutan terhadap pelaku

kartel atas kartel yang mempunyai dampak ekonomi kurang

dari AU$ 1 juta jika tidak ada faktor pemberat lainnya.

Jika legislator menggunakan batas peraturan perundang-

undangan (statutory threshold) daripada pedoman penuntutan,

maka calon pelaku kartel akan lebih terdorong untuk

melakukan kartel dengan mengeksploitasi marjin AU$ 1

juta tersebut. Caranya adalah dengan mendiversifikasi

produknya dan menetapkan kerugian kartel sebesar AU$

999.999 per satu jenis produknya.

Universitas Indonesia

67

2. The incompetent cartelist

The incompetent cartelist adalah kartelis yang mengadakan

perjanjian kartel dengan maksud dan tujuan untuk

mengurangi persaingan di antara pihak-pihak yang

terlibat dalam perjanjian tersebut. Kartel tidak

berhasil karena para kartelis tersebut tidak kompeten

untuk membuat kartel yang baik. Para kartelis ini hanya

memiliki 35% pangsa pasar sehingga ketika para kartelis

menaikkan harga produk dan pelaku usaha pesaing para

kartelis ini mengurangi harga produknya, mereka

kehilangan pangsa pasar dan keuntungan yang mereka

harapkan.

Sistem hukum Anglo-Saxon mengenal pembelaan atas

ketidakmungkinan melakukan konspirasi (a defence of

impossibility for conspiracy). Contohnya, dalam kasus DPP v

Nock di Inggris,96 seorang terdakwa dibebaskan walaupun

dia sudah setuju untuk memproduksi morfin melalui zat-

zat kimia tertentu, karena hal tersebut tidak

dimungkinkan berdasarkan disiplin ilmu kimia.

Prinsip ini tidak diikuti oleh Selandia Baru dalam

kasus R v. Sew Hoy karena situasi di atas mirip dengan

percobaan (poging) melakukan kejahatan.97 Pembentukkan

kartel adalah bertentangan dengan kepentingan publik

(public interest) dan incompetent cartelist bisa saja berhasil

96 Director of Public Prosecutions v. Nock and Another, Houseof Lords AC 979 (1978) dikutip dari Ibid hal. 37

97 Manatu Ohanga, op.cit., hal. 37.

Universitas Indonesia

68

membentuk kartel dalam percobaan berikutnya. Oleh

karena itu, incompetent cartelist juga dikriminalisasi

menurut RIA tentang kriminalisasi kartel Selandia

Baru.98

3. The unlucky cartelist

The unlucky cartelist mengadakan perjanjian kartel, namun

karena kondisi dan situasi di luar controlnya,

perjanjian kartel tersebut tidak bisa

dilaksanakan/diimplementasikan. Contohnya, perubahan

kondisi pasar akibat perubahan kurs dolar Amerika

Serikat terhadap rupiah Indonesia sehingga harga produk

para kartelis naik 100%. Karena bahan baku diimpor,

harga produk para kartelis naik 100% sehingga penetapan

harga tinggi menjadi tidak berguna.

4. The naïve cartelist

The naïve cartelist membentuk kartel tanpa menyadari

bahwa kartel itu illegal. Kartelis ini bahkan mungkin

memberitahukan pihak lain bahwa mereka mengadakan

perjanjian penetapan harga. Hal ini lumrah terjadi.

Beberapa pelaku usaha malah menganggap persaingan harga

merupakan pelanggaran terhadap etika bisnis. Tanggung

jawab the naïve cartelist tergantung pada apakah unsur

tujuan (intention) relevan. Britania Raya mempersyaratkan

unsur ketidakjujuran untuk kejahatan kartel agar the

98 Ibid.

Universitas Indonesia

69

naïve cartelist bisa lolos dari tanggung jawab berdasarkan

ketidaktahuan atau ketidakmungkinan untuk mengetahui

secara wajar (reasonably know or should have known) dengan

standar orang awam (ordinary people).99 Sebaliknya, hukum

persaingan usaha di Australia dan Kanada tetap menuntut

pertanggungjawaban the naïve cartelist.100

3.5. Dasar Kriminalisasi Kartel

3.4.1Terkait makna (arti) kejahatan: kartel

merupakan suatu kejahatan

Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I bahwa

terdapat perbedaan antara pendekatan faktual dengan

normatif. Teori faktual menyatakan bahwa suatu

perbuatan merupakan kejahatan karena ada hukum positif

(formal) yang mengkriminalisasinya. Pendekatan ini

adalah ciri utama dari paham formalisme yang menyatakan

bahwa kejahatan adalah produk dari reaksi sosial.

Sementara, teori normatif menyatakan suatu perbuatan

merupakan kejahatan karena sifat (nature) dari perbuatan

tersebut, bukan karena ada hukum positif (formal) yang

engkriminalisasinya semata. Pada bagian ini, Penulis

akan mengkaji dasar kriminalisasi kartel berdasarkan

pendekatan teori normatif dan teori-teori lanjutannya.

99 Ibid.

100 Ibid.

Universitas Indonesia

70

3.4.1.1 Berdasarkan pendekatan teori

normatif

Dua unsur utama kejahatan, yang secara umum

dirumuskan, dalam pendekatan teori normatif (seperti

yang telah dijelaskan di Bab II) adalah (i) harm dan

(ii) damage. Definisi harm dalam Black’s Law Dictionary

adalah “injury, loss; material or tangible detriment”101. Harm

dibagi menjadi accidental harm,102 bodily harm,103 physical

harm,104 dan social harm105. Sementara definisi damage

dalam adalah “loss or injury to person or property”106 Kata

damage-cleer dalam bahasa Latin adalah damma clericorum

atau dalam bahasa Inggris clerk’s compensation. Damage

merupakan biaya yang ditentukan untuk dibayarkan oleh

penggugat dalam the Court of the Common Please King’s Bench di

Inggris atau biaya yang harus dibayarkan sebelum

putusan ganti rugi dijatuhkan oleh hakim.107 Dengan

101 Garner, op.cit., hal 734.

102 Ibid. Harm yang tidak disebabkan oleh perbuatan melawanhukum (tortious act)

103 Ibid. Rasa sakit secara fisik, kesakitan atau penyakit,atau kerusakan tubuh.

104 Ibid. Kerusakan fisik terhadap tanah, benda atau properti,dan tubuh manusia.

105 Ibid. Dampak buruk terhadap kepentingan umum/sosial yangdilindungi oleh hukum pidana. Semua kejahatan meliputi (i)terjadinya social harm, dan (ii) fakta bahwa perbuatan orangtertentu adalah sebab dari harm tersebut.

106 Ibid, hal 416.

107 Ibid.

Universitas Indonesia

71

demikian, dapat disimpulkan bahwa harm juga meliputi

kerugian dalam konteks rasa sakit terhadap fisik dan

psikis manusia, nilai moral, norma sosial, dan benda

atau properti. Sementara damage lebih berorientasi pada

kerusakan yang senyatanya diderita oleh subyek hukum

(orang atau badan hukum) sehingga bisa dikuantifikasi

dalam bentuk uang untuk dimintakan ganti rugi (monetary

compensation).

Secara umum, kartel menyebabkan harm dan damage

karena alasan sebagai berikut.

1. Kartel merupakan perbuatan yang mempunyai asosiasi

sangat erat dengan pencurian dan/atau penipuan.

Pencurian dan/atau penipuan tidak hanya

menyebabkan kerugian uang (monetary compensation),

namun juga menyebabkan kerugian moral (social harm)

dan kerugian fisik serta moral terhadap benda

(physical harm).

2. Gorofalo (yang berorientasi pada pendekatan teori

normatif) mempostulasikan teori “kejahatan

natural” (natural crime) yang meliputi pembunuhan,

pemerkosaan, pencurian, dan pembakaran benda atau

properti. Oleh karena pencurian merupakan

kejahatan natural, maka secara analogis dan

asosiatif kartel juga merupakan kejahatan natural.

3. Kartel mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya

secara tidak adil dari pihak berkuatan ekonomi

jauh lebih kuat dari pihak yang berkuatan ekonomi

Universitas Indonesia

72

jauh lebih lemah. Terhadap kejahatan yang

demikian, pasal 166, 167, dan 168 KUHP Republik

Demokrasi Jerman mengancam pidana.108 Unsur yang

paling fundamental dari sifat jahat kartel adalah

struktur yang memungkinkan terjadinya kartel yaitu

struktur dimana masyarakat yang berkekuatan

ekonomi lebih lemah menghadapi segelintir

pengusaha dengan kekuatan ekonomi yang jauh lebih

kuat. Dalam pencurian, pencuri pada umumnya adalah

masyarakat berekonomi lemah yang berhadapan dengan

masyarakat yang berekonomi kuat atau setidaknya

pencuri dengan korban berada dalam kekuatan

ekonomi yang sama. Memang pencurian juga mungkin

terjadi dalam konteks pencurinya adalah masyarakat

berekonomi relatif lebih kuat dan korbannya adalah

masyarakat berekonomi relatif lebih lemah. Namun,

perbedaan utama pencurian dengan kartel adalah

kartel lahir dalam konteks “pencurinya” adalah

masyarakat berkekuatan ekonomi sangat kuat,

sementara korbannya berkekuatan ekonomi jauh lebih

lemah dibandingkan “pencurinya”. Oleh karena itu,

kartel sering disebut juga sebagai white collar

crime.109

108 A. Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Edisi Revisi, (Jakarta:Erlangga,1996), hal 9.

109 Barda Nawawi Arief, op.cit., hal 13. Sifat kartel adalahsulit dideteksi, terorganisasi dengan baik, dilakukan oleh merekayang punya kedudukan terpandang dalam masyarakat, merugikankonsumen, dan yang lebih sulit lagi adalah untuk diatasi.

Universitas Indonesia

73

4. Selain disparitas kekuatan ekonomi, kartel juga

merenggut kebebasan memilih atau kebebasan ekonomi

seorang konsumen. Jika dalam pencurian konsumen

yang dicuri uangnya masih akan menyadari

kehilangan uangnya, maka dalam kartel konsumen

umumnya tidak mengetahui/menyadari “dicurinya”

uang tersebut. Pencurian dalam kartel dilakukan

dengan “topeng” mekanisme harga dalam pasar,

sehingga konsumen umumnya tidak mengetahui atau

menyadari bahwa uang mereka dicuri melalui

penetapan harga dan kontrol produksi atau

pemasaran. Selain itu, kartel juga bertujuan untuk

mematikan atau menghambat pelaku usaha pesaing

yang aktual maupun potensial sehingga produk pasar

terkonsentrasi pada pelaku kartel. Akibatnya,

insentif menurunkan harga barang dan/atau jasa,

menaikkan kualitas barang dan/atau jasa, serta

inovasi dan diversifikasi menjadi berkurang atau

hilang. Akibat kartel tersebut merupakan

perenggutan terhadap kebebasan konsumen atas

kebebasannya memilih. Jadi dampak kartel bersifat

aktual maupun potensial terhadap baik konsumen

maupun pelaku usaha.

3.4.1.2 Berdasarkan pendekatan konsekuensi

perbuatan

Universitas Indonesia

74

Teori konsekuensi perbuatan yang dipostulasikan

Michael J. Allen pada dasarnya menyatakan bahwa“ketika

pembentuk undang-undang menentukan bahwa perbuatan

tertentu adalah kejahatan, sifat (nature) dari perbuatan

tersebut tidak berubah, namun konsekuensi dari

melakukan perbuatan tersebut yang berubah.” Dengan kata

lain, terdapat perbuatan yang sudah dinilai salah atau

jahat. Namun, pengkriminalisasian perbuatan tersebut

tidak mengubah sifat (nature) salah atau jahat dari

perbuatan tersebut, melainkan hanya memperberat

konsekuensi dari perbuatan yang dinilai salah atau

jahat tersebut. Pemberatan konsekuensi dari perbuatan

tersebut disebabkan tidak efektif dan efisiennya

sanksi-sanksi lain di luar sanksi pidana. Pendekatan

ini bersifat lebih pragmatis (mirip dengan pendekatan

faktual) dibandingkan dengan pendekatan normatif. Dalam

spektrum waktu, pendekatan konsekuensi perbuatan

merupakan langkah selanjutnya dari pendekatan normatif.

Kartel (hard-core cartel) merupakan perbuatan yang

secara faktual sudah dinilai salah atau jahat, namun

dalam sejarah hukum persaingan usaha, contohnya,

Amerika Serikat, kartel hanya dihukum dengan sanksi

administrasi dan/atau ganti rugi perdata. Ketika

Amerika Serikat mengkriminalisasi perbuatan kartel,

sifat (nature) dari perbuatan kartel yang salah atau

jahat tidak berubah, melainkan konsekuensi dari

perbuatan tersebut yang berubah. Konsekuensi yang

Universitas Indonesia

75

dimaksud adalah sanksi pidana penjara dan sanksi pidana

denda. Dengan kata lain, konsekuensi atas perbuatan

kartel diperberat.

Terkait pendekatan konsekuensi perbuatan, kartel

merupakan kejahatan yang pantas mendapatkan hukuman

yang berat karena mempunyai harm dan damage yang besar

terhadap konsumen, pelaku usaha, dan kesejahteraan

umum.

3.4.1.3 Berdasarkan kriteria-kriteria untuk

menentukan suatu perbuatan suatu

kejahatan

Herbert Packer menjabarkan beberapa kriteria untuk

menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan,

diantaranya, sebagai berikut.

1. Mayoritas masyarakat tersebut memandang perbuatan

tersebut sebagai ancaman sosial.

2. Perbuatan tersebut tidak pernah

ditoleransi/diizinkan oleh sebagian besar kalangan

masyarakat.

3. Menekan/mengisolasi perbuatan tersebut tidak akan

menghalangi perbuatan yang diinginkan masyarakat

luas (socially desirable conduct).

4. Tidak ada alternatif lain yang masuk akal selain

sanksi pidana untuk mengatasi masalah tersebut.

Kartel termasuk kejahatan (tindak pidana) karena:

Universitas Indonesia

76

1. Mayoritas masyarakat memandang kartel sebagai

ancaman sosial. Pertama, kartel secara analogis

dan asosiatif mirip dengan pencurian. Masyarakat

memandang pencurian sebagai ancaman sosial. Hal

ini terbukti dengan dikriminalisasinya perbuatan

pencurian di rezim hukum pidana hampir semua

negara di dunia. Kedua, kartel mempunyai dampak

yang bahkan lebih buruk daripada sekedar pencurian

karena kartel menyebabkan kerugian nyata (aktual)

dan potensial terhadap konsumen, pelaku usaha, dan

kesejahteraan umum. Ketiga, kartel dilakukan

dengan metode yang sangat canggih (advanced) dan

sangat susah dideteksi apalagi ditangkap dan

dibuktikan di pengadilan.

2. Jika perbuatan mencuri tidak pernah ditoleransi

masyarakat, maka perbuatan kartel juga tidak

ditoleransi masyarakat.

3. Menekan/mengisolasi kartel tidak akan menghalangi

perbuatan yang diinginkan masyarakat luas, yaitu

kebebasan memilih atau kebebasan ekonomi serta hak

ekonomi atas harga barang dan/atau jasa yang lebih

murah.

4. Tidak ada alternatif lain yang masuk akal selain

sanksi pidana untuk mengatasi/menangani kartel.

Kartel dilakukan dengan metode yang sangat canggih

(advanced) dan sangat susah dideteksi apalagi

ditangkap dan dibuktikan di pengadilan. Oleh

Universitas Indonesia

77

karena itu, negara harus turun tangan untuk

melabel kartel sebagai suatu kejahatan sehingga

tingkat perhatian dan keseriusan terhadap

penanganan kartel menjadi tinggi. Di Amerika

Serikat, penentuan kartel sebagai kejahatan

menjadi legitimasi pembentukan otoritas persaingan

usaha dengan sumber daya manusia, infrastruktur,

dan pendanaan yang besar.110 Pelabelan kartel

sebagai kejahatan meningkatkan rasa mawas diri

dari pelaku kartel karena (i) label “kejahatan”

merusak nama baik korporasi besar, dan (ii) sanksi

atas kartel diperberat.

3.4.2Terkait tujuan hukum pidana

Tujuan hukum pidana (seperti yang telah dijelaskan

dalam Bab II) diantaranya adalah adalah pembalasan,

prevensi umum, prevensi khusus, menegakkan hukum,

menyelesaikan konflik-konflik, membatasi dan

menghindarkan “main hakim sendiri”.

Terkait dengan tujuan hukum pidana, kriminalisasi

kartel bertujuan untuk:

1. Mendera atau membalas para pelaku kartel atas

harm dan damage yang sudah ditimbulkan.

2. Mencegah (preventif) terjadinya kartel di masa

yang akan datang.

110 Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Bab IV Skripsi ini.

Universitas Indonesia

78

3. Menciptakan stigma terhadap kartel karena dampak

buruk yang ditimbulkan kartel, kesulitan

mendeteksi dan menangkap pelaku kartel,

meningkatkan rasa mawas diri dari pelaku kartel,

dan memperberat sanksi atas kartel.

4. Menyelesaikan kepentingan yang berbeda-beda. Di

satu sisi, pelaku kartel yang mengejar keuntungan

sebesar-besarnya dengan metode yang canggih

(advanced) dan mengorbankan kepentingan konsumen,

pelaku usaha lain, dan kesejahteraan umum. Di

sisi lain, konsumen mempunyai hak kebebasan

ekonomi dan kebebasan memilih sementara pelaku

usaha lain mempunyai hak atas kesempatan

berusaha (aktivitas ekonomi), berinovasi, dan

memperoleh penghidupan yang layak atau

kesejahteraan.

5. Menciptakan takaran atau timbangan bahwa

kepentingan konsumen dan pelaku usaha tersebut

berada di atas kepentingan segelintir pelaku

kartel. Dengan demikian, kartel merupakan suatu

social deviant behaviour dimana pelakunya pantas

disebut sebagai penjahat dan dikenai hukuman yang

paling berat, yaitu sanksi pidana.

3.4.3Terkait fungsi hukum pidana

Fungsi hukum pidana (seperti yang telah dijelaskan

dalam Bab II Skripsi ini) diantaranya adalah (i)

Universitas Indonesia

79

retribusi (ii) pelumpuhan, dan (iii) deteren. Terkait

dengan fungsi hukum pidana, pengkriminalisasian kartel

berfungsi untuk:

1. Menciptakan kepastian dan pembenaran bagi korban

kejahatan atas rasa benci mereka atas kejahatan

kartel yang dilakukan. Dengan dikriminalisasinya

kartel, maka terdapat pembenaran (justification) bagi

korban kejahatan untuk menyatakan perbuatan kartel

immoral dan/atau patut dijatuhkan hukuman yang

berat. Selain itu, fungsi kriminalisasi kartel

adalah juga untuk membenarkan kecaman publik

(denunciation) atas kejahatan kartel. Dengan

dikriminalisasinya kartel, publik bisa menunjukkan

ketidaksetujuannya atas kejahatan tersebut dan

mendapatkan alasan yang cukup atas

ketidaksetujuannya.

2. Sanksi pidana mampu menciptakan efek jera yang

lebih besar dibandingkan sanksi lainnya. Pelaku

kartel pada umumnya adalah individu dalam

korporasi besar yang dalam kenyataan sehari-

harinya dipandang sebagai masyarakat yang taat

hukum. Sanksi pidana merupakan sanksi yang paling

berat dan memalukan bagi orang-orang dalam kelas

tersebut. Oleh karena itu, kriminalisasi kartel

mampu menciptakan efek jera yang besar bagi pelaku

kartel.

Universitas Indonesia

80

3. Berhubung pelaku kartel merupakan makhluk ekonomi

yang mementingkan keuntungan sekaligus individu

yang hakiki, maka sanksi pidana penjara dan denda

sekaligus mampu melumpuhkan aktivitas kartel.

Sanksi pidana denda yang relatif besar mampu

menciptakan efek jera karena pelaku kartel

bertumpu pada keunggulan ekonominya dalam

menjalankan/melakukan kartel. Sanksi pidana

penjara mampu menciptakan kecaman publik sehingga

pelaku maupun calon pelaku kartel, yang pada

umumnya mereka anggota masyarakat yang dianggap

taat hukum, akan berpikir berkali-kali sebelum

mereka menjalankan/melakukan kartel. Selain itu,

korporasi besar juga bertumpu pada nama baik dalam

menjalankan kegiatan usahanya. Label kriminal akan

secara sistematis menghancurkan kredibilitas suatu

korporasi besar yang sudah dibangun dengan susah

payah dalam kurun waktu yang lama. Dengan sanksi

pidana penjara, pelaku kartel akan menghadapi

resiko yang lebih besar daripada keuntungan yang

didapatkannya sehingga pelaku maupun calon pelaku

kartel mempunyai insentif yang besar untuk

mematuhi hukum (tidak melakukan kartel).

3.4.4Dampak buruk kartel

Universitas Indonesia

81

3.4.4.1 Kartel secara analogis dan asosiatif

merupakan pencurian

Dampak buruk kartel seperti yang dijelaskan pada

paragraf sebelumnya, merupakan alasan utama kartel

dikriminalisasi. Dalam bab ini akan diuraikan secara

lebih rinci kaitan dampak buruk tersebut dengan

kriminalisasi kartel serta pemaparan kesamaan/kemiripan

kartel dengan pencurian. Dengan kata lain, kartel

merupakan bentuk perbuatan mencuri. Berikut adalah

uraian elemen pencurian.

Secara umum, pencurian dikriminalisasi karena

perbuatan tersebut mengambil hak milik orang lain yang

tidak diperolehnya sendiri. Dalam pendekatan

utilitarianisme, orang seperti itu harus diberikan

sanksi pidana bentuk penjara supaya pencuri tersebut

tidak melakukan perbuatan menyakiti (harm) dan merusak

(damage) kepada orang lain. Dalam pendekatan

retributif, pencuri tersebut harus dipenjara karena

dipandang sebagai bentuk penyimpangan dari norma sosial

yang umum (deviant social behaviours) supaya tidak mengganggu

ketenangan masyarakat. Selain itu pendekatan retributif

juga melihat bahwa tindakan pencurian harus

dikriminalisasi untuk memberikan rasa

adil/tenang/terpuaskan dari anggota masyarakat yang

merasa haknya diambil secara paksa dan melawan

keinginannya. Dalam pendekatan rehabilitatif, pencuri

tersebut perlu dididik secara disiplin di penjara untuk

Universitas Indonesia

82

(i) memahami secara jelas konsekuensi dari tindakan

mencuri dan (i) memahami bahwa tindakan tersebut

menimbulkan rasa jijik (disgust) (dalam bahasa Lord Devlin)

dan bahwa masyarakat memandang itu sangat ditentang dan

dibenci oleh masyarakat. Didikan dengan penjara

tersebut dipandang mampu dan perlu untuk mengubah pola

perilaku pencuri yang bertentangan dengan norma

masyarakat umum, sehingga pada akhirnya pencuri

tersebut bisa dikembalikan ke masyarakat untuk

berfungsi secara normal berdasarkan norma-norma umum

yang diterima masyarakat.

Jika kita mengaplikasikan pendapat D. Simons yang

menekankan pada fungsi hukum pidana sebagai pelindung

kepentingan individu yang juga merupakan kepentingan

bagi masyarakat luas, maka, pencurian dikriminalisasi

kepentingan individu dan masyarakat luas yang terancam.

Kepentingan tersebut dianggap patut dilindungi dengan

memenjarakan pencuri karena keinginan atas rasa aman

yang dituntut oleh setiap individu maupun masyarakat.

Pencurian bukan hanya merupakan sekedar perbuatan yang

menghilangkan/mengambil suatu barang sehingga bisa

selesai (terestitusi) dengan pengembalian barang atau

sejumlah uang sebesar nilai barang tersebut. Pencurian

juga menyebabkan hilangnya rasa aman dan kepercayaan

terhadap sesama individu dalam tatanan sosial, sehingga

penjara (sanksi pidana) diperlukan untuk membedakan

Universitas Indonesia

83

sorang pencuri dan seorang individu yang bukan

merupakan pencuri.

Dalam tataran yang lebih pragmatis, Ashworth

menggariskan dua indikator mengapa suatu perbuatan

harus dikriminalisasi yaitu (i) apakah perbuatan

tersebut mempunyai dampak buruk berupa rasa sakit

(harmful) kepada individu atau masyarakat? dan (ii)

apakah perbuatan tersebut amoral?111 Jika kita

mengaplikasikan indikator Ashworth, maka pencurian

merupakan perbuatan yang dikriminalisasi karena

mempunyai dampak buruk (harmful) kepada individu atau

masyarakat dan bersifat amoral.

Dalam pendekatan yang positivistik berdasarkan

Pasal 362 KUHP, pencurian dinyatakan sebagai berikut.

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya

atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk

dimiliki secara melawan hukum, diancam karena

pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Unsur-unsur pasal 362 KUHP yang penting dan terkait

dengan pembahasan Skripsi ini adalah (i) mengambil

barang, (ii) kepunyaan orang lain, (iii) dengan maksud

untuk dimiliki, dan (iv) secara melawan hukum.

111 A. Ashworth, op.cit.

Universitas Indonesia

84

Pasal lain yang terkait dengan kartel adalah Pasal

382bis KUHP tentang perbuatan curang yang menyatakan:

“Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan

atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan

milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan

curang untuk menyesatkan khalayak umum atau

seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu

dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-

konkurennya atau konguren-konkuren orang lain,

karena persaingan curang, dengan pidana penjara

paling lama satu tahun empat bulan atau pidana

denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus

rupiah.”

Unsur-unsur pasal 382bis yang penting dan terkait

dengan pembahasan Skripsi ini adalah (i) melakukan

perbuatan curang, (ii) untuk menyesatkan khalayak umum

atau seorang tertentu, untuk (iv) mendapatkan,

melangsungkan, atau memperluas, dan (v) hasil

perdagangan atau perusahan milik sendiri atau orang

lain.

3.4.4.2 Pengalihan surplus konsumen kepada

produsen merupakan pencurian sehingga

perbuatan pengalihan tersebut

dikriminalisasi

Universitas Indonesia

85

Sebagai pengantar bagian ini, Penulis mengutip

pernyataan Anne K. Bingman dalam pidato pembukaan di

Departement of Justice Amerika Serikat.112 Beliau menyatakan

bahwa “pelaku yang melakukan tender kolusif (salah satu

bentuk kartel), membagi pasar atau menetapkan harga

mengambil uang dari kantong konsumen Amerika Serikat

dan mencuri uang dari ‘mesin kasir’ bisnis Amerika, dan

ini sama saja dengan merampok sebuah rumah di malam

hari dengan masuk secara diam-diam dalam kegelapan.”

Pelaku kartel adalah kriminal karena mereka

menaikan harga, menurunkan kualitas dan membatasi

pilihan konsumen. Dalam perspektif yang sempit, mereka

mencuri uang dari konsumen. Dalam perspektif yang lebih

luas, pelaku kejahatan tersebut menghancurkan sendi-

sendi hidup masyarakat. Suatu masyarakat yang

menoleransi kejahatan kartel tidak bisa melindungi

kebebasan ekonominya, sama halnya dengan masyarakat

yang menoleransi pembunuhan tidak bisa melindungi

kebebasan fisiknya.113 Terkait dengan pentingnya

perlindungan masyarakat dari dampak buruk kartel,

Senator John Sherman menyatakan “Saya tidak mengetahui

112 Anne K.Bingman dan Gary R. Spratling, Criminal AntitrustEnforcement, dalam Criminal Antitrust Law and Procedure WorkshopABA Section ofAntitrust, Hyatt Regency Hotel Dallas, Texas, February 23, 1995.Lihat di http://www.justice.gov/atr/public/speeches/0103.pdf(kunjungan terakhir 25 Mei 2010).

113 Ibid.

Universitas Indonesia

86

obyek apa lagi yang lebih penting dari perlindungan hak

tersebut.”114

Selanjutnya, kartel memenuhi unsur-unsur Pasal 362

dan 382bis KUHP. Pertama, unsur-unsur pasal 362 KUHP

adalah (i) mengambil barang, (ii) kepunyaan orang lain,

(iii) dengan maksud untuk dimiliki, dan (iv) secara

melawan hukum. Pengalihan surplus konsumen ke produsen

dalam bentuk marjin harga sama dengan mengambil barang

yang bukan kepunyaannya dengan maksud untuk dimiliki

oleh produsen dan perbuatan ini dilakukan secara

melawan hukum. Perbuatan melawan hukum muncul ketika

pengambilan barang tersebut (i) tidak dengan

persetujuan dari konsumen atau (ii) dilakukan dengan

menipu konsumen sehingga seolah-olah konsumen

menyetujui harga produk yang ditawarkan di pasar,

padahal konsumen ditipu oleh produsen dengan

menghilangkan produk yang seharusnya lebih efisien dan

oleh karenanya lebih murah. Konsumen dipaksa untuk

membayarkan sejumlah uang yang tidak seharusnya ia

bayarkan kepada produsen untuk barang yang sama pada

waktu dan ruang yang sama dan ini sama saja dengan

mengambil uang dari kantong konsumen.

Kedua, unsur-unsur penting dan terkait dengan

pembahasan Skripsi ini adalah (i) melakukan perbuatan

curang, (ii) untuk menyesatkan khalayak umum atau

seorang tertentu, untuk (iv) mendapatkan,

114 Ibid.

Universitas Indonesia

87

melangsungkan, atau memperluas, dan (v) hasil

perdagangan atau perusahan milik sendiri atau orang

lain. Kartel adalah perbuatan curang karena dilakukan

dengan menipu konsumen sehingga seolah-olah konsumen

menyetujui harga produk yang ditawarkan di pasar,

padahal konsumen ditipu oleh produsen dengan cara

menghilangkan produk yang seharusnya lebih efisien dan

oleh karenanya lebih murah dari pasar. Dengan kata

lain, konsumen dipaksa untuk membayarkan sejumlah uang

yang tidak seharusnya ia bayarkan kepada produsen untuk

barang yang sama pada waktu dan ruang yang sama.

Perbuatan di atas juga merupakan penyesatan khalayak

umum terhadap persepsi konsumen atas harga yang barang

yang seharusnya atau pantas dan dilakukan untuk

mendapatkan keuntungan maksimum untuk perusahaan milik

sendiri ataupun orang lain.

Alasan paling fundamental dikriminalisasinya kartel

adalah kebebasan konsumen yang direnggut seluruhnya.

Pertama, konsumen tidak memiliki pijakan yang berimbang

(equal footing) dengan korporasi raksasa dalam hal

informasi dan hal ini menyebabkan information asymmetry.115

Akibatnya, korporasi raksasa bisa mengeksploitasi

kondisi tersebut dengan menetapkan harga (price setter).

Hukum persaingan usaha berfungsi melindungi kaum

115 Information asymmetry terjadi akibat salah satu pihak dalamtransaksi mempunyai informasi yang lebih banyak atau lebih baikdari pihak lainnya. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalamtransaksi dimana satu pihak bisa mengeksploitasi ketidaktahuanatau ketidaktersediaan informasi kepada pihak lain.

Universitas Indonesia

88

konsumen yang lebih ‘lemah’ dari kewenangan korporasi

raksasa dengan cara mendistribusi kekuasaan price setter

kepada beberapa pelaku usaha untuk memastikan

keberadaan kompetisi yang sehat di antara pelaku usaha.

Seperti halnya dua kutub yang berlawanan dan saling

tarik menaruk, tujuan kartel berada pada kutub yang

berseberangan dengan tujuan hukum persaingan usaha.

Kartel berusaha menarik pasar ke arah kekuasaan price

setter yang lebih besar sementara hukum persaingan usaha

menarik ‘pegas’ pasar ke arah kekuasaan price setter yang

lebih rendah.

Kedua, akibat dari tidak adanya equal footing

tersebut, konsumen kehilangan kebebasan ekonomi atau

lebih tepatnya tidak mengetahui bahwa kebebasan

ekonominya telah direnggut. Bayangkan seorang konsumen

dan asumsikan harga beras pada umumnya adalah Rp.

5.000/kg. Jika hari ini semua beras yang tersedia di

pasar (dalam hal kuantitas maupun kualitas) dijual

dengan harga minimum Rp. 8.000/kg, maka konsumen

terpaksa harus membelinya juga. Kebebasan ekonomi

konsumen atas beras seharga Rp. 5.000/kg direnggut

karena tidak adanya pilihan lain. Selain itu,

dikarenakan struktur ‘makhluk hidup’ yang memerlukan

makanan dan nasi bersifat inelastis di Indonesia,

konsumen harus membayar Rp. 8.000/kg beras. Lebih buruk

lagi, konsumen bahkan tidak mengetahui bahwa ia

membayar lebih mahal daripada yang anda seharusnya

Universitas Indonesia

89

bayar, karena konsumen hanya akan menerima bahwa

mungkin Rp. 8.000/kg beras adalah harga pasar. Hampir

tidak mungkin dibayangkan seorang konsumen mempunyai

sumber daya (resources) yang cukup untuk melakukan

penelitian yang membuktikan tingkat harga pasar

seharusnya adalah Rp. 5.000/ kg beras dan pelaku usaha

beras menaikkan harganya menjadi sebesar Rp. 8.000/kg

beras.

Kebebasan memilih merupakan faktor yang sangat

penting karena pilihan dengan informasi lengkap

(informed consent) merupakan hak seorang konsumen. Jika

hak ini dicuri atau direnggut oleh seorang produsen

maka produsen tersebut bersalah di hadapan hukum.

Konsep ini juga merupakan prinsip fundamental dalam

hukum kedokteran, dimana pasien boleh memilih perawatan

(medical procedure) manapun yang ia inginkan, bahkan

termasuk perawatan yang merugikan kesehatannya. Poin

pentingnya adalah pilihan pasien tersebut dibuat dengan

informasi yang lengkap sehingga ia mengetahui

konsekuensi dari pilihan tersebut.

3.4.4.3 Kartel menyebabkan kerugian ekonomi

terhadap konsumen, pelaku usaha, dan

kesejahteraan umum

The Organisation for Economic Co-operation and Development

(“OECD”) melaporkan bahwa 16 (enam belas) kartel global

yang terdeteksi menyebabkan hilangnya efisiensi ekonomi

Universitas Indonesia

90

dalam perdagangan lebih dari US$ 55 milyar.116 Dengan

kata lain, hak ekonomi konsumen global sebesar US$ 55

milyar dicuri atau ditipu oleh pelaku kartel. OECD juga

menyatakan bahwa kartel merupakan bentuk pelanggaran

paling buruk dari hukum persaingan usaha.117

Kementerian Perkembangan Ekonomi (Ministry of Economic

Development) Selandia Baru dalam laporan Regulatory Impact

Assessment tentang dasar kriminalisasi kartel di

Selandia Baru pada awal tahun 2010 menjelaskan bahwa

kartel merupakan kejahatan yang menyebabkan hilangnya

efisiensi ekonomi.118 Harga pasar/kompetitif barang

dan/atau jasa tidak tercipta karena pelaku usaha

terkait meniadakan kompetisi diantara mereka. Umumnya

harga yang tercipta dari kartel jauh lebih tinggi dari

harga pasar/kompetitif karena pelaku usaha terkait

ingin meraup marjin keuntungan yang lebih besar dari

penjualan per satuan produk dan/jasa mereka. Dampak

buruk ini tidak hanya merugikan konsumen, namun juga

pelaku usaha lain (baru), persaingan, kualitas barang,

116 OECD 2006, Hard Core Cartels – Third Report on the Implementation of the1998 OECD Recommendation, dalam OECD Journal of Competition Law and Policy,Vol 8 no 1.

117 R. Hewitt Pate, Anti-cartel Enforcement: The Core Antitrust Mission,disampaikan kepada the British Institute of International and Comparative Lawpada Third Annual Conference on International and Comparative Competition Law(May 16, 2003), Lihat:http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/201199.htm (kunjunganterakhir tanggal 20 Mei 2010).

118 Manatu Ohanga,op.cit., hal. 18.

Universitas Indonesia

91

dan terhadap semangat inovasi dan pengembangan

teknologi.

Dampak buruk ini nampaknya juga merupakan dasar

kriminalisasi kartel jika merujuk pada UU No.5/1999.

Pada bagian menimbang UU No.5/1999 dijelaskan bahwa:

a. pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada

terwujudnya kesejahteraan rakyat.

b. demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya

kesempatan yang sama bagi setiap warga negara

untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan

pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha

yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya

ekonomi pasar yang wajar.

c. setiap orang yang berusaha di Indonesia harus

berada dalam situasi persaingan yang sehat dan

wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya

pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha

tertentu.

Pasal 3 UU No.5/1999 menyatakan:

“Tujuan pembentukan undang-undang ini adalahuntuk:

a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan

efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu

upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui

pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga

Universitas Indonesia

92

menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha

yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha

menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku

usaha; dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam

kegiatan usaha.”

Selanjutnya, bagian penjelasan umum UU No.5/1999

menyatakan:

“Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan

kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan

kepentingan umum dengan tujuan untuk: menjaga

kepentingan umum dan melindungi konsumen;

menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui

terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan

menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama

bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan

efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi

nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan

kesejahteraan rakyat.”

Universitas Indonesia

93

Kartel membuat para pelaku usaha yang terlibat

didalamnya kehilangan insentif untuk berinovasi. Pelaku

usaha, dalam stuktur pasar kompetitif harus memenangkan

persaingan dengan mengurangi harga, meningkatkan

kualitas, atau mendiversifikasi produk. Tentunya,

pengurangan harga dan peningkatan kualitas tersebut

dengan asumsi semua faktor produksi tetap sama (ceteris

paribus), yang artinya dilakukan secara jujur, misalnya:

bukan dengan jual rugi. Dalam skenario tersebut, pelaku

usaha didorong secara jujur untuk memenangkan

persaingan dengan cara berpikir keras untuk berinovasi.

Inovasi tersebut diwujudkan dalam bentuk, salah

satunya, diversifikasi produk dan peningkatan

penelitian dan pengembangan (research & development).

Bayangkan jika produk elektronik untuk telekomunikasi

hanya dikuasai oleh perusahaan telegram melalui kartel,

maka mungkin saja telepon tidak akan

diciptakan/ditemukan. Sama halnya dengan persaingan

antara produk telekomunikasi telepon genggam melalui

jaringan Global System for Mobile Communication (“GSM”) dengan

Voice over Internet Protocol (“VoIP”), seperti Skype.119

119 Skype adalah sebuah program komunikasi dengan teknologiP2P (peer to peer). Program ini merupakan program bebas (dapatdiunduh gratis) dan dibuat dengan tujuan penyediaan saranakomunikasi suara (voice) berkualitas tinggi yang murah berbasiskaninternet untuk semua orang di berbagai belahan dunia. PenggunaSkype dapat berbicara dengan pengguna Skype lainnya dengan gratis,menghubungi telepon tradisional dengan biaya (skypeOut), menerimapanggilan dari telepon tradisional (skypeIn), dan menerima pesansuara.

Universitas Indonesia

94

Singkatnya, layanan telekomunikasi berbentuk VoIP yang

jauh lebih efisien dan murah dibandingkan dengan GSM

tidak akan diciptakan jika ada kartel dalam industri

telekomunikasi.

Senada dengan pendapat di atas, RIA tentang

kriminalisasi kartel di Selandia Baru menjabarkan

dampak buruk kartel sebagai berikut.120

a. Kartel menyebabkan kerugian terhadap ekonomi

dan konsumen. Konsumen yang dimaksud di sini

adalah konsumen dalam arti umum, yang termasuk

pelaku usaha pesaing, dan pelaku usaha yang

bukan konsumen akhir (end-consumer), dan konsumen

akhir.

b. Kartel menciptakan hilangnya efisiensi ekonomi

karena mematikan kinerja pasar. Dalam pasar

kompetitif, harga barang dan jasa ditetapkan

agar sumber daya dialokasikan kepada produksi

barang dan jasa yang mempunyai nilai paling

tinggi untuk konsumen. Seorang kartelis yang

sukses menaikkan harga di atas tingkat harga

pasar dan mengurangi permintaan dan oleh

karenanya mengurangi produksi barang dan jasa.

Akibatnya, sumber daya alam tidak dialokasikan

ke sektor yang paling bermanfaat atau

menguntungkan bagi konsumen (inefisiensi

alokatif). Kartel juga melindungi anggotanya

120 Manatu Ohanga, op.cit., hal. 17-19.

Universitas Indonesia

95

dari resiko kehilangan pangsa pasar akibat

persaingan, oleh karenanya mengurangi insentif

bagi mereka melakukan inovasi untuk mengurangi

biaya atau meningkatkan kualitas produk mereka

supaya bisa mempertahankan atau memenangkan

pangsa pasar. Kartel melindungi pelaku usaha

yang tidak efisien dan menghilangkan efisiensi

produksi.

c. Kegiatan usaha yang dikartelisasi juga menjadi

daya tarik bagi investasi karena kegiatan usaha

tersebut lebih menguntungkan daripada kegiatan

usaha dalam pasar kompetitif. Dalam disiplin

ilmu ekonomi, hal ini dinamakan hilangnya

efisiensi dinamis (dynamic efficiency). Dampak buruk

yang praktis dari hilang efisiensi dinamis

adalah investasi yang seharusnya ditanamkan

dalam sektor usaha lain yang lebih kompetitif

dan lebih bermanfaat dialihkan ke bidang usaha

yang dikartelisasi tersebut. Hal ini

menyebabkan efek rentetan seperti (i)

inefisiensi faktor produksi, misalnya bahan

baku dialihkan ke sektor usaha lain yang tidak

bermanfaat; (ii) penutupan lapangan kerja di

sektor usaha kompetitif; (iii) hilangnya

potensi lapangan kerja, dan (iv) berhentinya

atau berkurangnya inovasi dalam sektor usaha

kompetitif sehingga barang dan/atau jasa yang

Universitas Indonesia

96

diproduksinya semakin mahal dan menurun

kualitasnya.

d. Kartel menyebabkan rasa sakit (harm) dan

kerusakan (damage) langsung kepada konsumen

melalui transfer kekayaan dari konsumen kepada

kartelis. Jika konsumen membeli barang atau

jasa dari kartel, konsumen tersebut membayar

lebih daripada yang seharusnya dibayarkannya

jika pasar tersebut bersifat kompetitif. Jika

konsumen mengetahui bahwa harga barang atau

jasa tersebut telah diatur melalui kartel,

bukan melalui mekanisme pasar, maka konsumen

tersebut tidak akan membayar sejumlah uang

tertentu untuk membeli barang atau jasa

tersebut. Namun, karena konsumen mengasumsikan

bahwa harga penjualan adalah harga pasar

kompetitif, mereka secara tanpa mengetahuinya

telah membantu produsen kartel mendapatkan

keuntungan berlebih yang dikeruk dari kantong

konsumen.

e. Meskipun (assuming arguendo) transfer kekayaaan

dari konsumen ke produsen dianggap netral dan

bukan suatu pelanggaran hukum, kartel tetap

menyebabkan dampak buruk, yaitu inefisiensi

ekonomi.

f. Kartel merupakan intervensi yang melawan hukum,

seperti halnya manipulasi dan insider trading

Universitas Indonesia

97

(distorsi terhadap pasar saham), penyelundungan

pajak (distorsi terhadap sistem pemungutan

pendapatan) dan pelanggaran terhadap sistem

hukum, seperti penghalangan proses hukum

(obstruction of justice).

Singkatnya, kartel memungkinkan para pelakunya untuk

menaikkan keuntungan mereka dengan membatasi atau

menghilangkan kompetisi yang memungkinkan harga produk

berada pada tingkat harga kompetitif. Kartel

menyebabkan rasa sakit (harm) dan kerusakan (damage)

dengan:

a. mengurangi output ekonomi;

b. melemahkan persaingan sebagai mekanisme yang

menentukan harga;

c. melemahkan kepercayaan dalam pasar;

d. menyebabkan hilangnya efisiensi alokatif,

produktif, dan dinamis;

e. memperlambat pertumbuhan produktifitas; dan

f. mendistorsi investasi dengan menciptakan kesan

bahwa kartel lebih menguntungkan bagi bisnis

daripada pasar yang tidak terdistorsi oleh kartel.

Untuk menjelaskan dampak buruk kartel secara lebih

rinci, Penulis akan memaparkan penjelasan tentang

hilangnya efisiensi akibat kartel berdasarkan disiplin

ilmu ekonomi di bawah ini.

i. Konsep biaya (Cost)

Universitas Indonesia

98

1. Fixed cost dan variable cost

Biaya total (total cost) sama dengan biaya tetap

ditambah biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah

biaya yang besarnya tidak tergantung pada jumlah

produksi, contohnya biaya barang modal, gaji pegawai,

bunga pinjaman, sewa gedung kantor. Biaya variabel

(variable cost) adalah biaya yang besarnya tergantung pada

tingkat produksi, contohnya upah buruh dan biaya bahan

baku.

TC = TFC + TVC

di mana:

TC = biaya total jangka pendek

TFC = biaya tetap jangka pendek

TVC = biaya variabel jangka pendek

TFC bernilai konstan yang artinya bahwa besarnya

biaya tetap tidak tegantung pada jumlah produksi.

Sementara TVC menunjukan hubungan terbalik antara

tingkat produktivitas dengan besarnya biaya.

2. Average Cost (AC)

Biaya rata-rata adalah biaya yang harus dikeluarkan

untuk memproduksi satu unit output. Besarnya biaya

rata-rata adalah biaya total dibagi jumlah output.

Karena dalam jangka pendek TC=TFC+TVC, maka biaya rata-

rata (average cost) sama dengan biaya tetap rata-rata

(average fixed cost) ditambah biaya variabel rata-rata

(average variable cost).

Universitas Indonesia

99

di mana:

AC = biaya rata-rata jangka pendek

AFC = biaya tetap rata-rata jangka pendek

AVC = biaya variabel rata-rata jangka pendek

Nilai AFC akan semakin menurun bila produksi

ditambah. Nilai AVC pada tahap awal produksi akan

mengalami penurunan, namun pada tahap penggunaan

kapasitas secara penuh, nilai AVC akan mulai meningkat.

Pola ini berkaitan dengan hukum the Law of Diminishing

Return.121

3. Marginal Cost (MC)

121 Dalam disiplin ilmu ekonomi, the diminishing returns merujukpada produksi marjinal dari sebuah faktor produksi mulai berkurangsecara bertahap ketika faktor produksi bertambah. Menurut konsepini, dalam sistem produksi dengan input yang tetap (fixed) dantidak tetap (variable) (misalnya ukuran pabrik dan jumlah tenagakerja), akan terdapat satu titik dimana penambahan setiap unitvariable input (contoh: jumlah jam buruh) akan menghasilkan outputyang semakin kecil, juga mengurangi tingkat produktivitas setiappekerja. Sebaliknya, untuk produksi setiap unit akan diperlukanbiaya yang lebih besar dan semakin meningkat seiring dengan jumlahproduksi yang bertambah. Singkatnya, the law of diminishing returnmenyatakan “bahwa kita akan mendapatkan semakin sedikit dansemakin sedikit output tambahan ketika kita menambah dosis inputsementara fixed inputs tetap. Dengan kata lain, produksi marjinaldari setiap input unit akan berkurang karena jumlah input tersebutbertambah sementara input lain tetap (konstan).

Universitas Indonesia

100

Yang paling penting di antara semua komponen biaya

adalah konsep biaya marjinal (MC), yakni naiknya biaya

total yang disebabkan oleh produksi satu unit

output. Sebagai contoh diumpamakan sebuah perusahaan

menghasilkan 1.000 unit output per periode dan

memutuskan untuk menaikkan tingkat produksi menjadi

1.001. Menghasilkan satu unit ekstra akan meningkatkan

biaya dan kenaikan tersebut (artinya, biaya memproduksi

unit yang ke 1001 itu) merupakan biaya marjinal.

ii. Efisiensi ekonomi

Dalam struktur pasar persaingan sempurna kinerja

pasar akan optimal. Optimal dalam hal ini adalah

efisiensi yang dihasilkan oleh pasar tersebut, yaitu

efisiensi alokatif dan efisiensi produktif. Struktur

pasar persaingan sempurna merupakan satu-satunya pasar

dimana kedua efisiensi tersebut tercapai sekaligus.

Efisiensi alokatif adalah suatu kondisi dimana

pengalokasian sumber daya telah sesuai dengan

peruntukannya yang diindikasikan oleh kondisi ketika

tingkat harga (Price=P) sama dengan biaya marjinal

secara ekonomi (Marginal Cost=MC). Sedangkan efisiensi

produktif adalah suatu kondisi dimana perusahaan

memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang paling

rendah atau tingkat produksi yang paling efisien, yang

diindikasikan oleh kondisi dimana tingkat produksi

Universitas Indonesia

101

berada pada tingkat biaya rata-rata per unit (Average

Cost=AC) yang paling rendah.

Efisiensi alokatif juga terkait dengan apakah

faktor produksi sudah ditempatkan di ruang dan waktu

dimana hasil produksi dibutuhkan, sementara efisiensi

produktif terkait erat dengan efisiensi penggunaan 4

(empat) faktor produksi untuk menghasilkan barang

dengan harga paling murah dan kualitas yang paling

baik. Misalnya, kota A mempunyai tingkat permintaan 100

sepatu per bulan dan pabrik sepatu di kota A mampu

menghasilkan 200 sepatu dalam kondisi produksi yang

optimal, sementara kota B mempunyai tingkat permintaan

200, namun pabtrik sepatu hanya mampu memproduksi 100

sepatu dalam kondisi produksi yang optimal. Asumsinya

adalah (i) pabrik sepatu di kota A tidak mengekspor

sepatunya karena biaya yang tinggi; dan (ii) jarak kota

A dan B tidak jauh sehingga biaya transportasi tidak

terlalu tinggi. Jika struktur seperti ini

dipertahankan, maka terjadi inefisiensi alokatif

walaupun pabrik sepatu di kota A bisa memproduksi

sepatu dengan tingkat efisiensi produktif yang tinggi.

Alasannya adalah karena sepatu yang diproduksi sebesar

200 buah tidak akan habis diserap permintaan pasar,

sehingga pada bulan berikutnya pabrik sepatu di A tidak

akan berproduksi; dan harga sepatu juga akan bertambah

murah. Akibatnya, penghasilan pabrik sepatu A berkurang

dan tingkat produksinya juga akan berkurang (baik

Universitas Indonesia

102

kualitas maupun kuantitas) untuk menyesuaikan diri

dengan kondisi pasar.

Dengan demikian, dalam jangka panjang, di dalam

pasar persaingan sempurna akan tercapai kondisi

efisiensi ekonomi (economic efficiency) yaitu ketika

efisiensi alokatif dan efisiensi produktif tercapai,

yang dapat ditunjukkan oleh persamaan di bawah ini:

Keterangan

P = Price

MC = Marginal Cost

ACMin =Average Cost Minimum

SRAC = Short-Run Average Cost

LRAC = Long-Run Average Cost

Secara grafis kondisi tersebut dapat ditunjukkan

dalam gambar I. Secara sosial, kinerja yang dihasilkan

oleh struktur pasar persaingan sempurna juga sangat

baik (desirable). Dengan tercapainya efisiensi alokatif

dan efisiensi produktif, maka kesejahteraan (welfare)

pasar juga akan optimal. Kesejahteraan pasar diukur

dari keuntungan yang diperoleh konsumen atau yang

sering disebut dengan surplus konsumen (consumer

surplus), dan keuntungan yang diperoleh produsen atau

disebut dengan surplus produsen (producer surplus).

Gambar I122

Keseimbangan Jangka Panjang Pasar Persaingan Sempurna122 Andi Fahmi Lubis, Anna Maria Tri Anggraini, et.al., op.cit.,

hal 37

Universitas Indonesia

103

Keterangan

SATC = Short-run Average Total Cost

LATC = Long-run Average Total Cost

Surplus konsumen adalah selisih antara harga

maksimum yang bersedia dibayar oleh konsumen (willingness

to pay) dengan harga yang benar-benar dibayar oleh

konsumen. Surplus produsen adalah selisih antara harga

minimum yang bersedia diterima oleh produsen (sebesar

biaya marjinalnya) dengan harga yang benar-benar

diterima oleh produsen. Total surplus yang ada di pasar

adalah penjumlahan surplus konsumen dan produsen. Hal

ini dapat dilihat pada gambar II.

Apabila struktur pasar bersifat tidak sempurna

(imperfect market), maka akan terjadi inefisiensi ekonomi.

Terjadinya inefisiensi ekonomi disebut sebagai

kegagalan pasar (market failure) . Selain dari bentuk

pasar yang tidak sempurna, kegagalan pasar juga terjadi

karena adanya eksternalitas, barang publik, dan

informasi yang tidak simetris.

Universitas Indonesia

104

Singkatnya, efisiensi ekonomi tercapai ketika

permintaan (demand) dan penawaran (supply) berada pada

titik ekuilibrium karena efisiensi alokatif dan

efisiensi produktif tercapai.

Gambar II123

Kesejahteraan di Pasar

Keterangan

PS = Producer surplus

CS = Consumer surplus

Gambar III

Deadweight Loss: Hilangnya surplus konsumen

123 Ibid, hal 38.

Universitas Indonesia

105

Gambar III menunjukkan bagaimana pelaku usaha

mengambil surplus konsumen dan mengubahnya menjadi

surplus produsen. Ketika jumlah produksi dikurangi,

maka akan terjadi kelangkaan kuantitas barang di pasar

dan kelangkaan tersebut menyebabkan naiknya harga

barang. Gambar III menunjukkan terjadinya deadweight

loss.124 Deadweight loss tersebut terjadi pada bagian consumer

surplus yang diambil oleh produsen melalui peningkatan

harga (artinya, marjin harga untuk produk dengan

124 Dalam disiplin ilmu ekonomi, deadweight loss (atau disebutjuga inefisiensi alokatif) adalah kehilangan efisiensi ekonomiyang terjadi karena ekuilibrium untuk barang atau jasa tidakberada pada Pareto optimal. Dengan kata lain, yang terjadi adalah (i)orang dengan keuntungan marginal yang lebih besar dari biayamarginal tidak membeli produk, atau (ii) orang dengan biayamarginal yang lebih besar dari keuntungan marginal membeli produk.

Universitas Indonesia

106

kualitas yang sama dan pada waktu yang sama lebih

tinggi dari harga pasar).

Selanjutnya, Gambar III menunjukkan adanya

pertentangan kepentingan ekonomi hukum antara produsen

dengan konsumen. Seperti yang telah dijelaskan di atas

(Bab II, Poin 2.2 (A) tentang kriteria penentuan tindak

pidana), salah satu kriteria penentuan suatu perbuatan

sebagai perbuatan pidana adalah penyelesaian

pertentangan kepentingan-kepentingan hukum. Ketika

suatu pertentangan kepentingan hukum tertentu

membutuhkan penyelesaian yang efektif maka hukum pidana

menjadi jawaban yang efektif. Jika kita mengaitkan

konsep tersebut dengan Gambar III maka dapat

disimpulkan bahwa pertentangan kepentingan ekonomi

antara produsen dan konsumen mempersyaratkan kehadiran

hukum pidana di dalamnya. Selain itu, dampak dari

kartel yang sangat buruk berupa rasa sakit (harmful)

semakin memperkuat pendapat bahwa kartel harus

dikriminalisasi. Faktor lain yang menguatkan pendapat

bahwa kartel harus dikriminalisasi adalah sangat tidak

berimbangnya posisi produsen (yang lebih kuat) dan

konsumen (yang jauh lebih lemah).

Universitas Indonesia

107

BAB IVSTRATEGI PRISONER’S DILEMMA: DILEMA PENDEKATAN SANKSIPIDANA PENJARA, SANKSI PIDANA DENDA, DAN/ATAU GANTIRUGI PERDATA

“Grant I may never prove so fond,To trust man on his oath or bond.”-William Shakespeare

Timon of Athens, I. ii. 64

Pada Bab II telah dijabarkan dasar kriminalisasi

suatu perbuatan dan pada Bab III telah dijabarkan dasar

kriminalisasi kartel. Penjelasan Bab IV menggunakan

asumsi bahwa (i) kartel adalah suatu perbuatan dan/atau

perjanjian yang memenuhi kualifikasi/kriteria suatu

perbuatan yang dikriminalisasi (lihat penjelasan Bab II

tentang Dasar Kriminalisasi Suatu Perbuatan) dan (ii)

kartel adalah perbuatan yang dikriminalisasi

berdasarkan perspektif utilitarianisme (yaitu

menyebabkan kerugian, rasa sakit, ketidaksenangan, dan

ketidakpuasan manusia). Penulis menggunakan perspektif

utilitarianisme dalam melakukan analisis terhadap

dilema pendekatan sanksi pidana penjara, sanksi pidana

denda, dan/atau ganti rugi perdata. Implikasinya adalah

selama efektifitas dan efisiensi tercapai, maka hukum

sudah mencapai tujuannya. Analisis yang dilakukan dalam

Bab IV menitikberatkan pada tingkat efektifitas dan

efisiensi sanksi.

Universitas Indonesia

108

Strategi prisoner’s dilemma menggambarkan tarik-menarik

antara penentuan sanksi pidana penjara, denda, dan

ganti rugi perdata atas kartel. Strategi ini sangat

berguna dalam menerapkan asas ultimum remedium karena

mampu mengukur tingkat efektifitas dan efisiensi sanksi

sehingga otoritas persaingan usaha maupun legislator

mampu menentukan dengan timbangan yang lebih akurat

sanksi mana yang dipakai.

Penulis akan menganalisis apakah penyelesaian

pidana merupakan penyelesaian yang paling efektif dan

efisien dibandingkan dengan penyelesaian lain untuk

memberikan perlindungan yang cukup terhadap kepentingan

masyarakat. Strategi prisoner’s dilemma menunjukkan tarik-

menarik antara tingkat efektifitas dan efisiensi sanksi

pidana penjara, sanksi pidana denda, dan ganti rugi

perdata sehingga kedinamisan penetapan sanksi atas

kartel terlihat jelas. Analisis ini akan menggambarkan

bagaimana dan kapan sanksi pidana penjara, sanksi

pidana denda, dan ganti rugi perdata digunakan. Menurut

Penulis, konsep “bagaimana dan kapan” tersebut mampu

menjawab pertanyaan legislator atau otoritas persaingan

usaha di Indonesia tentang penetapan sanksi.

Secara umum, Bab IV membahas tentang strategi

prisoner’s dilemma dan tarik ulur penyelesaian pidana

penjara, pidana denda dan/atau gugatan ganti rugi

perdata.125 Selanjutnya, Penulis akan menjelaskan secara

125 Berdasarkan Pasal 10 KUHP, sanksi pidana meliputi sanksipidana mati, penjara, kurungan, denda, dan tutupan.

Universitas Indonesia

109

rinci tentang (i) strategi prisoner’s dilemma, (ii)

sejarah penerapannya di Amerika Serikat, (iii) logika

penerapan strategi prisoner’s dilemma, (iv) kaitan tarik

ulur sanksi pidana penjara, pidana denda dan/atau ganti

rugi perdata dalam strategi prisoner’s diemma, (v)

bagaimana strategi prisoner’s dilemma bisa diterapkan untuk

mengakomodasi atau memungkinkan terpenuhinya fungsi

hukum pidana, (vi) kerancuan dan/atau absurditas

penentuan sanksi terhadap kartel berdasarkan UU

No.5/1999, dan (vii) analisis komparatif tentang cara

merumuskan kebijakan sanksi terhadap kartel untuk

meningkatkan efek jera di Amerika Serikat.

4.1 Prisoner’s Dilemma

4.1.1 Sejarah penentuan sanksi atas kartel di

Amerika Serikat

Bagan pola perubahan sanksi dalam hukum persaingan usaha Amerika

Serikat

Act/kebijakan dan tahun Sanksi pidana penjara dan pidana

denda

Sherman Act 1890 Sanksi pidana denda USD 5.000

dan penjara selama 1 (satu)

tahunSection 4 Clayton Act 1914 Penghitungan ganti rugi perdata

adalah tiga kali lipat dari

kerugian aktual atau treble damages

Universitas Indonesia

110

Amandemen Sherman Act pada

tahun 1955

Sanksi pidana denda USD 50.000

dan penjara selama 1 (satu)

tahunThe Antitrust Procedures and

Penalties Act 1974 menentukan

kejahatan persaingan usaha

sebagai felony (kejahatan

berat)

Sanksi pidana denda USD 1 juta

untuk korporasi dan USD 100.000

untuk individu dan penjara

selama 3 (tiga) tahun

Criminal Fine Enforcement Act

1984

USD 250.000 ribu untuk individu

Sentencing Reform Act dengan

lampiran Sentencing Guidelines

dan Criminal Fines Improvement

Act 1987.

Penghitungan sanksi pidana denda

adalah dua kali lipat dari

kerugian aktual atau double

damages

Berdasarkan Title 18 United

States Code § 3571(d):

Title 15 United States Code

§ 1 pada tahun 1990

Sanksi pidana denda adalah USD

10 juta untuk korporasi dan USD

350.000 untuk individuCorporate Leniency Program dari

Department of Justice 1993

Penghitungan ganti rugi perdata

adalah tigakali lipat dari

kerugian aktual atau treble damages

Korporasi dan individual bisa

Universitas Indonesia

jumlah sanksi pidana denda =

keuntungan yang didapatkan atau

kerugian yang diderita X 2

jumlah total ganti rugi perdata =

keuntungan yang didapatkan atau

kerugian yang diderita X 3

111

dibebaskan dari tuntutan pidana

penjara jika mereka adalah yang

pertama kali maju, mengaku

salah, dan bekerjasama dengan

Antitrust Division untuk membongkar

kejahatan persaingan usaha

tersebut. Pembebasan tuntutan

pidana penjara hanya berlaku

untuk pihak yang pertama kali

maju.

Antitrust Criminal Penalties

Enforcement and Reform Act 2004

Berdasarkan Section 215 Antitrust

Criminal Penalties Enforcement and Reform

Act 2004, batas maksimum sanksi

pidana denda diubah menjadi USD

100 juta untuk korporasi dan USD

1 juta untuk individu.

Treble damages dalam gugatan ganti

rugi perdata dihapuskan sehingga

perhitungan ganti rugi perdata

adalah sejumlah kerugian aktual

atau single civil damages.

dan

Korporasi dan individual bisa

dibebaskan dari tuntutan pidana

penjara jika mereka maju,

Universitas Indonesia

112

mengaku salah, dan bekerjasama

dengan Antitrust Division untuk

membongkar kejahatan persaingan

usaha tersebut. Pembebasan

tuntutan pidana penjara berlaku

untuk yang maju pertama kali,

kedua kali dan seterusnya.

i.Sebelum 1993

Section 1, 2, dan 3 Sherman Act menerapkan 2 (dua)

sanksi untuk kartel, yaitu pidana penjara dan pidana

denda. Selama beberapa dekade, Departemen Hukum

Persaingan Usaha atau Antitrust Division Amerika Serikat

mempertimbangkan apakah kartel dihukum dengan pidana

penjara atau pidana denda. Sejarahnya, penerapan sanksi

pidana penjara terhadap kartel dimulai dari perumusan

ketentuan dalam Sherman Act pada tahun 1890 (yang

merupakan peraturan perundang-undangan Amerika Serikat

pertama tentang persaingan usaha), dimana sanksi denda

sebesar USD 5.000 (lima ribu) dan penjara selama 1

(satu) tahun diterapkan sebagai sanksi maksimum bagi

pelanggaran hukum persaingan usaha. Sejalan dengan

waktu, kongres Amerika Serikat memutuskan untuk

memperberat sanksi pidana penjara dalam Sherman Act. Pada

tahun 1955, kongres menaikkan sanksi denda maksimum

Universitas Indonesia

113

menjadi USD 50.000 untuk setiap pelanggaran.126

Selanjutnya, Undang-Undang Prosedur dan Sanksi

Antitrust atau The Antitrust Procedures and Penalties Act tahun

1974 menentukan bahwa pelanggaran Sherman Act

ditingkatkan menjadi kejahatan berat (felonies)127 dan

menaikkan pidana denda menjadi USD 1 juta untuk

korporasi dan USD 100.000 untuk individu, dan menaikkan

pidana penjara menjadi tiga tahun. Pada tahun 1984,

diundangkan Undang-Undang Pelaksanaan Pidana Denda atau

Criminal Fine Enforcement Act menaikkan pidana denda maksimum

untuk individu menjadi USD 250.000. Pada tahun yang

sama, diundangkan Undang-Undang Reformasi Sanksi atau

Sentencing Reform Act bersamaan dengan Pedoman Sanksi atau

Sentencing Guidelines yang diikuti dengan diundangkannya

Undang-Undang Peningkatan Pidana Denda atau Criminal Fines

Improvement Act pada tahun 1987. Criminal Fines Improvement Act

126 Glenn Harrision dan Matthew Bell, Recent Enchancements inAntitrust Criminal Enforcement: Bigger Sticks and Sweeter Carrots, HoustonBusiness and Tax Law Journal, 2006, 6 Hous. Bus. & Tax. L.J. 207.

127 Felony adalah kejahatan serius berdasarkan sistem Anglo-Saxon. Kata felony berasal dari sistem Hukum Common Law Inggris.Felony awalnya merupakan kejahatan yang melibatkan penyitaanterhadap tanah dan benda seseorang. Amerika Serikat mendefiniskanfelony sebagai kejahatan yang bisa dihukum dengan hukuman mati ataupenjara lebih dari satu tahun (Lihat 18 U.S.C. § 3559 dihttp://www.law.cornell.edu/uscode/18/3559.html (kunjungan terakhirtanggal 7 Juni 2010). Berdasarkan Pasal 18 United States Code § 3559,kejahatan-kejahatan yang merupakan felony termasuk, namun tidakterbatas pada, pembunuhan (murder), pemerkosaan (rape),penganiayaan berat (aggravated assault), dan/atau penganiayaan(battery), pembakaran (arson), pencurian dengan memasuki rumah ataupekarangan (burglary), penjualan obat-obatan terlarang, danpencurian benda/barang (robbery).

Universitas Indonesia

114

mengotorisasi sanksi alternatif yang dikodifikasi pada

Title 18 United States Code (“USC”) § 3571(d) yang

menyatakan:

“(d) Alternative Fine Based on Gain or Loss. If any person derives

pecuniary gain from the offense, or if the offense results in pecuniary

loss to a person other than the defendant, the defendant may be

fined not more than the greater of twice the gross gain or twice the

gross loss, unless imposition of a fine under this subsection would

unduly complicate or prolong the sentencing process.”

Terjemahan bebasnya:

“(d) Denda alternatif berdasarkan keuntungan atau

kerugian. Jika seseorang mendapatkan keuntungan

finansial (uang) dari kejahatannya, atau jika

kejahatan tersebut mengakibatkan kerugian finansial

(uang) kepada seseorang selain dari terdakwa, maka

terdakwa bisa dikenakan ganti rugi perdata tidak

lebih dari 2 (dua) kali keuntungan uang yang ia

dapatkan atau 2 (dua) kali kerugian uang yang

dialami oleh orang lain, kecuali jika penerapan

ganti rugi perdata berdasarkan sub-bagian ini akan

secara tidak pantas/tepat mempersulit atau

memperpanjang proses persidangan.”

Sejak tahun 1987, Antitrust Division telah bergantung

pada U.S.C. § 3571(d) untuk menegosiasikan sanksi

Universitas Indonesia

115

pidana denda melebihi USD 10 juta, angka mana merupakan

sanksi denda maksimum berdasarkan Sherman Act. Pada

kenyataannya, Antitrust Division berhasil mendapatkan nilai

denda sejumlah lebih dari USD 100 juta, termasuk rekor

sanksi denda dari Department of Justice sebesar USD 500 juta

terhadap F. Hoffman-La Roche terkait dengan produk

vitamin. Walaupun Antitrust Division berhasil mendapatkan

nilai denda melebihi jumlah denda maksimum yang

ditentukan Sherman Act, keberhasilan Antitrust Division ini

hanya terbatas pada kasus-kasus yang diselesaikan

melalui plea agreement atau peringanan hukuman yang

diberikan karena tersangka/terdakwa mengaku bersalah.128

Pada tahun 1990, kongres Amerika Serikat

meningkatkan kembali sanksi pidana dengan menaikkan

sanksi denda menjadi USD 10 juta untuk korporasi dan

USD 350.000 untuk individu.129 Pada dasarnya, Sentencing

Guidelines menentukan dua cara untuk menghitung pidana

denda untuk korporasi.130

128 Glenn Harrision dan Matthew Bell, op.cit

129 Title 15 United States Code § 1 (2000).

130 Lihat U.S. Sentencing Guidelines Manual § 2B1.1(b)(9)(C) (2004)(diamandemen tahun 2005). Berdasarkan Under § 8C2.4(a), sanksidenda minimum untuk korporasi adalah alternatif yang lebihmemberatkan di antara ketiga alternatif di bawah:

(1) Jumlah perhitungan berdasarkan bagan § 8C2.4(d)terkait dengan tingkat kejahatan yang ditentukanberdasarkan under § 8C2.3

(2) Jumlah keuntungan uang yang didapatkan organisasitersebut; atau

(3) Kerugian uang yang disebabkan oleh kejahatanorganisasi tersebut sejauh kerugian tersebut disebabkansecara sengaja, secara tahu, atau secara tidak berhati-hati.

Universitas Indonesia

116

Program amnesti131 Antitrust Division atau corporate leniency

program yang dimulai pada tahun 1978.132 Kebijakan pra-

1993 menentukan bahwa pelaku usaha pertama yang

menyerahkan diri/mengaku bersalah dan membantu Antitrust

Division untuk membongkar kejahatan persaingan usaha

tidak dituntut dan dibebaskan dari gugatan ganti rugi

perdata, jika beberapa kriteria berikut dipenuhi.

Pelaku usaha yang memohon amnesti akan dimaafkan hanya

jika pelaku usaha tersebut mengaku bersalah sebelum

Antitrust Division mengetahui aktivitas ilegal atau sebelum

Antitrust Division melakukan investigasi. Kebijakan pra-1993

tidak membahas tentang keringanan hukuman terhadap

pejabat, direktur dan pekerja korporasi.

ii. Corporate Leniency Program 1993

Pada tahun 1993, Antitrust Division mengeluarkan

kebijakan Corporate Leniency Program yang pada dasarnya

bertujuan untuk mendeteksi kartel dengan mendorong para

131 Istilah amnesti yang digunakan dalam Skripsi ini bukanmerupakan istilah amnesti seperti yang dikenal dalam Pasal 14 UUD1945. “Amnesti” dalam Skripsi ini berarti pemaafan (pengampunan)yang diberikan kepada pelaku usaha yang membantu dan bekerja samadengan otoritas persaingan usaha.

132 Robert E. Bloch, Program Amnesti The Antitrust Division,dipresentasikan pada the American Bar Association's Section of Antitrust Law'sCriminal Antitrust Law and Procedure Workshop (Feb. 23-24, 1995). Lihat dihttp:// www.mayerbrownrowe.com/publications/article.asp?id=841&nid=6 (kunjungan terakhir 29 Mei 2010). Sejak tahun 1978sampai tahun 1993, 17 korporasi telah mendaftarkan permohonanuntuk amnesti korporasi dan 10 di antaranya mendapatkan amnestitersebut.

Universitas Indonesia

117

kartelis untuk melaporkan aktivitas ilegal mereka

kepada pemerintah. Jika suatu pelaku usaha masuk dalam

Corporate Leniency Program dengan maju, mengaku bersalah,

dan membantu Antitrust Division dalam investigasinya, Antitrust

Division akan membebaskan mereka dari semua tuntuntan

pidana penjara yang terkait dengan keanggotaan pelaku

usaha tersebut dalam kartel.133 Namun, pengakuan

bersalah ini tidak meniadakan sanksi denda atau gugatan

perdata dari pihak yang dirugikan. Tidak

dimaafkannya/digugurkannya gugatan ganti rugi perdata

adalah kunci utama yang membedakan Corporate Leniency

Program 1993. Artinya, kartelis yang mengaku hanya

dimaafkan atas tanggung jawab pidana, namun tetap

dihukum untuk mengganti rugi perdata tiga kali lipat

atau treble damages.

Prosedur permohonan untuk masuk dalam Corporate

Leniency Program adalah sebagai berikut. Pertama, corporate

leniency program memberikan amnesti secara otomatis kepada

pelaku usaha yang melaporkan kegiatan persaingan usaha

ilegal sebelum investigasi dimulai (disebut “amnesti

A”) dengan syarat 6 kondisi berikut dipenuhi: (1)

Antitrust Division belum menerima informasi tentang

aktivitas ilegal dari sumber manapun; (2) segera

setelah ditemukan bukti permulaan, pelaku usaha133 Department of Justice Amerika Serikat, Corporate Leniency Policy

(1993). Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/guidelines/0091.htm (kunjungan terakhir30 Mei 2010). Keringanan (leniency) artinya tidak ada tuntutanterhadap korporasi terlapor yang dimintakan pertanggungjawabanpidana.

Universitas Indonesia

118

bertindak sesegera mungkin untuk mengakhiri

keikutsertaannya dalam aktivitas tersebut; (3) pelaku

usaha secara jujur dan lengkap melaporkan aktivitas

tersebut dan membantu otoritas dalam penyelidikan; (4)

pengakuan tersebut merupakan perbuatan pelaku usaha,

dan bukan merupakan pengakuan dari individu (misalnya

yang bekerja untuk pelaku usaha); (5) pelaku usaha

merestitusi pihak-pihak yang dirugikan; dan (6) pelaku

usaha tidak memaksa pihak manapun untuk ikut serta

dalam aktivitas ilegal dan pelaku usaha tersebut bukan

pemimpin atau yang memulai aktivitas ilegal tersebut.

Kedua, kebijakan baru tersebut menentukan jika

suatu pelaku usaha mengaku bersalah setelah investigasi

dimulai, pelaku usaha tersebut masih bisa mendapatkan

amnesti (disebut “amnesti B”) jika Antitrust Division belum

menemukan bukti kuat (meyakinkan) yang memungkinkan

Antitrust Division memenangkan tuntutannya (likely to result in a

sustainable conviction), dengan syarat: (1) pelaku usaha

tersebut adalah pelaku usaha pertama yang mengaku

bersalah dan memenuhi syarat amnesti; (2) pada saat

melapor, Antitrust Division mempunyai bukti kuat (meyakinkan

yang memungkinkannya untuk memenangkan tuntutan; (3)

sesegera setelah ditemukan bukti tersebut, pelaku usaha

bertindak secepat dan seefektif mungkin untuk

mengakhiri keikutsertaannya dalam aktivitas ilegal

tersebut; (4) pelaku usaha tersebut secara jujur dan

lengkap melaporkan kegiatan tersebut dan bekerjasama

Universitas Indonesia

119

secara penuh dengan Antitrust Division dalam investigasi

(penyidikan dan penyelidikan); (5) pengakuan tersebut

merupakan perbuatan pelaku usaha, dan bukan merupakan

pengakuan dari individu (misalnya yang bekerja untuk

pelaku usaha); (6) pelaku usaha merestitusi pihak-pihak

yang dirugikan; (7) Antitrust Division menentukan (i) bahwa

memberikan keringanan kepada pihak lain adalah adil

mengingat sifat (nature) dari aktivitas ilegal tersebut,

(ii) peran pelaku usaha yang melapor dalam aktivitas

tersebut, dan (iii) kapan pelaku usaha tersebut mengaku

salah.

Dalam situasi dimana suatu korporasi sedang

diinvestigasi atas partisipasinya dalam kegiatan

persaingan usaha ilegal tidak memenuhi syarat amnesti A

dan amnesti B dan (ii) korporasi tersebut menemukan

keikutsertaan dalam pejabat atau pekerjanya dalam

aktivitas persaingan usaha ilegal lainnya (yang tidak

diketahui oleh Antitrust Division), pelaku usaha tersebut

bisa memohon ‘amnesti plus’. Singkatnya, jika korporasi

tersebut memenuhi syarat untuk amnesti plus dan bekerja

sama dalam investigasi atas kasus baru dan berbeda,

Antitrust Division akan memberikan amnesti penuh kepada

korporasi tersebut dalam investigasi baru dan

memberikan keuntungan tambahan bagi korporasi tersebut

(contoh, pengurangan sanksi denda) dalam penghitungan

dendanya dalam plea agreement. Keuntungan ganda ini

merupakan insentif yang efektif bagi perusahaan untuk

Universitas Indonesia

120

maju dan mengaku bersalah berdasarkan inisiatifnya

sendiri.134

Pada tanggal 10 Agustus 1994, satu tahun setelah

diadopsinya Corporate Leniency Policy yang direvisi, Antitrust

Division mengumumkan kebijakan pendamping untuk individu.

Kebijakan ini berlaku untuk semua individu yang

membantu dan bekerjasama dengan Antitrust Division

berdasarkan inisiatifnya sendiri dan bukan merupakan

bagian dari pengakuan korporasi.135 Syarat diberikannya

amnesti individu adalah (i) individu tersebut harus

melaporkan aktivitas persaingan usaha ilegal yang belum

pernah diberitahukan kepada Antitrust Division (ii) individu

tersebut harus jujur dan bekerjasama secara penuh dan

kontinyu dalam proses investigasi (iii) individu

tersebut bukan merupakan inisiator atau pemimpin dari

aktivitas ilegal dan tidak memaksa pihak lain untuk

ikut serta dalam aktivitas tersebut.

iii. Antitrust Criminal Penalties Enforcement and Reform

Act 2004

134 Glenn Harrision dan Matthew Bell, op.cit

135 Antitrust Division, Department of Justice Amerika Serikat,Corporate Leniency Policy (1994). Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/guidelines/lencorp.htm (kunjunganterakhir 30 Mei 2010). Corporate Leniency Policy 1993 menentukan kondisiuntuk keringanan terhadap direktur, pejabat, dan pekerja, dalamkapasitasnya sebagai bagian dari korporasi, yang maju, mengakubersalah, dan membantu Antitrust Division dalam investigasi.

Universitas Indonesia

121

Section 215 dari Antitrust Criminal Penalties Enforcement and

Reform Act 2004 menaikkan sanksi pidana denda maksimum

untuk korporasi menjadi USD 100 juta,136 sementara

individu menjadi USD 1 juta.137 Sanksi pidana penjara

ditingkatkan menjadi maksimum 10 tahun.138 Act 2004 ini

juga menghapus treble damages dalam gugatan ganti rugi

perdata untuk pelaku usaha yang terlibat dalam

konspirasi penetapan harga yang pertama kali mengaku

dan mendapatkan amnesti dari Antitrust Division.

Sejak tahun 1993, program amnesti Antitrust Division

telah mencapai beberapa keberhasilan. Pertama, kenaikan

jumlah permohonan amnesti dari korporasi yang diajukan

kepada Antitrust Division. Selain itu, jumlah sanksi denda

terhadap kartel terlapor meningkat pesat.139 Investigasi

kartel sejak tahun 1997 melibatkan berbagai produk dan

industri dengan kegiatan persaingan usaha ilegal yang

merugikan lebih dari USD 10 milyar perdagangan Amerika

Serikat.140 Sebelum tahun 1997, Antitrust Division136 15 U.S.C. § 1 (2000).

137 Ibid.

138 Lihat § 215, 118 Stat. at 668.

139 Gary R. Spratling, Asisten Deputi Attorney GeneralAntitrust Division, Deparment of Justice Amerika Serikat, MakingCompanies An Offer They Shouldn't Refuse: The Antitrust Division's Corporate LeniencyPolicy-An Update, dipresentasikan pada the Bar Association of the District ofColumbia's 35th Annual Symposium on Associations and Antitrust 3 (Feb. 16,1999)/ Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/2247.pdf. (kunjungan terakhir 30Mei 2010).

140 Scott D. Hammond (1), Direktur Criminal EnforcementAntitrust Division, Department of Justice Amerika Serikat, A

Universitas Indonesia

122

mendapatkan lebih kurang USD 29 juta per tahun melalui

sanksi denda.141 Pada tahun 1997 dan 1998, Antitrust Division

mendapatkan lebih dari USD 200 juta per tahun melalui

sanksi denda.142 Pada tahun 1999, Antitrust Division

mendapatkan jumlah mengagumkan sebesar USD 1,1 milyar

melalui sanksi denda, termasuk sanksi denda terbesar di

dalam sejarah Amerika Serikat sebesar USD 500 juta atas

kartel penetapan harga vitamin yang dilakukan oleh F.

Hoffman-La Roche.143 Oleh karena alasan di atas, program

amnesti Antitrust Division disebut sebagai metode paling

efektif untuk menghancurkan kartel.

Dalam selang waktu antara tahun 1991 sampai 2004,

ada tiga perkembangan penting dalam hukum persaingan

usaha Amerika Serikat terkait sanksi yang termaktub

dalam Peningkatan Sanksi Pidana Antitrust atau Antitrust

Criminal Penalties Enhancement and Reform Act 2004.144 Pertama,

Antitrust Division mulai menegosiasikan sanksi terhadap

Summary Overview of the Antitrust Division's Criminal Enforcement Program,dipresentasikan pada the New York State Bar Association 1 (Jan. 23, 2003).Lihat di http://www.justice.gov/atr/public/speeches/200686.htm(kunjungan terakhir 30 Mei 2010).

141 Ibid.

142 Ibid.

143 Scott D. Hammond (2), Direktur Criminal EnforcementAntitrust Division, Department of Justice Amerika Serikat, Detectingand Deterring Cartel Activity Through An Effective Leniency Program,dipresentasikan pada the International Workshop on Cartels 10 (Nov. 21-22,2000). Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/9928.pdf(kunjungan terakhir 30 Mei 2010).

144 Glenn Harrision dan Matthew Bell, op.cit.

Universitas Indonesia

123

korporasi di atas sanksi maksimum yang ditentukan

Undang-Undang, yaitu Sherman Act, dengan menggunakan

ketentuan sanksi alternatif dalam 18 U.S.C. §

3571(d).145 Kedua, versi perubahan yang dibuat oleh

Antitrust Division yaitu Kebijakan Pengurangan Sanksi

terhadap Korporasi atau Corporate Leniency Policy

diperkenalkan pada tahun 1993. Ketiga, sebagai bagian

dari inisiatif kebijakan, Antitrust Division mulai membahas

tentang perlunya peningkatan sanksi pidana.146

4.1.2 Strategi Prisoner’s Dilemma dan tarik-menarik

antara sanksi pidana penjara, pidana denda

dan/atau ganti rugi perdata dalam skema

strategi prisoner’s dilemma

145 Berdasarkan ketentuan 18 U.S.C. § 3571 (d), pengadilantidak dipersyaratkan untuk menghitung keuntungan atau kerugianuang jika penghitungan tersebut akan mempersulit ataumemperpanjang proses penghukuman. Namun, pihak yang menegosiasikanhukuman harus menghitung secara rinci kerugian agar bisamenentukan potensi sanksi denda maksimum berdasarkan 3571 (d).

146 Gary R. Spratling, Asisten Deputi Attorney General, U.S.Department of Justice, The Trend Towards Higher Corporate Fines: It's a WholeNew Ball Game, dipresentasikan pada the American Bar Association's CriminalJustice Section's Eleventh Annual National Institute tentang White Collar Crime (Mar.7, 1997). Lihat dihttp://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/4011.pdf (kunjunganterakhir 29 Mei 2010); Gary R. Spratling Asisten Deputi AttorneyGeneral, U.S. Department of Justice, Are the Recent Titanic Fines in AntitrustCases Just the Tip of the Iceberg?, dipresentasikan pada the American BarAssociation's Criminal Justice Section's Twelfth Annual National Institute tentang WhiteCollar Crime (Mar. 6, 1998). Lihat dihttp://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/212581.pdf (kunjunganterakhir 29 Mei 2010).

Universitas Indonesia

124

Prisoner’s dilemma terjadi ketika polisi memisahkan 2

pihak ke ruang yang berbeda dan masing-masing diberikan

tawaran yang sama. Strategi ini efektif ketika 2 (dua)

pihak berkehendak untuk mengejar kepentingan masing-

masing dan bertindak secara rasional-egois (rationally

selfish manner).147 Tindakan rasional-egois ini

mengakibatkan kedua pihak tersebut berada pada situasi

yang lebih buruk dibandingkan dengan situasi dimana

mereka bekerjasama untuk mengejar kepentingan bersama

(daripada kepentingan masing-masing).148 Gambaran

prisoner’s dilemma klasik adalah sebagai berikut. Dua

orang tersangka melakukan kejahatan dan pelanggaran.

Polisi mempunyai bukti yang cukup untuk memenjarakan

kedua tersangka atas pelanggaran, namun polisi tidak

mempunyai cukup bukti untuk memenjarakan keduanya atas

kejahatan. Polisi menginterogasi kedua tersangka

tentang peran mereka atas kejahatan. Tidak ada satupun

tersangka yang mengaku, namun pengakuan dari salah

satunya cukup untuk memenjarakan kedua tersangka atas

kejahatan. Polisi berkeinginan untuk memenjarakan

setidaknya salah satu tersangka atas kejahatan. Oleh

karena itu, kedua tersangka diberikan tawaran yang

sama: ”Jika kamu mengaku dan membantu mencari bukti

untuk memenjarakan rekanmu, kamu dibebaskan dari

147 Christopher R. Leslie (1), Symposium The AntitrustEnterprise: Principle and Execution, Antitrust Amnesty, Game Theory, andCartel Stability, Journal of Corporation Law, 31 J. Corp. L. 453, 2006.

148 Ibid.

Universitas Indonesia

125

tuntutan penjara atas pelanggaran maupun kejahatan dan

tersangka lain akan dihukum penjara 3 tahun. Namun,

jika dia mengaku dan kamu tidak, maka kamu akan dihukum

penjara 3 tahun dan dia dibebaskan. Jika kalian berdua

mengaku, kami tidak memerlukan kesaksian dari kalian

berdua dan kalian akan dihukum penjara 2 tahun. Jika

tidak ada yang mengaku, maka kalian akan dihukum

penjara 1 tahun atas pelanggaran. Rekanmu juga

diberikan tawaran yang sama.

Bagan I. Bagan Prisoner’s Dilemma dengan bukti pelanggaran

A

B

Tidak mengaku Mengaku

Tidak mengaku (A) 1 tahun - (B)

1 tahun

(A) 3 tahun – (B)

0 tahunMengaku (A) 0 tahun – (B)

3 tahun

(A) 2 tahun – (B)

2 tahun

Berdasarkan bagan ini, setiap tersangka (prisoner)

yang mementingkan diri sendiri akan mengaku. Dari

perspektif prisoner A, jika prisoner B mengaku, maka

prisoner A bisa mengaku (dan dihukum penjara 2 tahun)

atau tidak mengaku (dan dihukum penjara 3 tahun). Dalam

kondisi demikian, prisoner A harus mengaku supaya ia

dihukum penjara dengan jangka waktu lebih pendek.

Sebaliknya, jika prisoner B tidak mengaku, maka

prisoner A bisa tidak mengaku (dan dihukum penjara 1

Universitas Indonesia

126

tahun untuk pelanggaran) atau mengaku dan tidak dihukum

penjara sama sekali. Dalam situasi ini, prisoner A

lebih baik mengaku karena ia tidak akan dihukum penjara

dibandingkan dengan jika A tidak mengaku karena ia akan

dihukum penjara 1 tahun. Oleh karena itu, jika prisoner

B mengaku, prisoner A lebih baik mengaku, dan jika

prisoner B tidak mengaku, lebih baik untuk prisoner A

jika ia mengaku. Skema ini membuat pengakuan menjadi

strategi dominan (dominant strategy) karena prisoner A

akan tetap berada dalam situasi yang lebih terlepas

dari apakah B mengaku atau tidak.149

Kelemahan skema di atas adalah keuntungan untuk

mengaku akan diambil oleh kedua tersangka karena lebih

baik bagi keduanya untuk mengaku daripada tidak

(terlepas dari apakah rekannya mengaku). B juga

diberikan tawaran yang sama dan oleh karenanya

pengakuan merupakan strategi dominannya. Jika setiap

tersangka mengejar keuntungan dominannya dan mengaku,

maka keduanya akan berada dalam posisi yang lebih

buruk daripada yang seharusnya. Ketika kedua tersangka

mengaku, masing-masing akan dihukum penjara 2 tahun.

149 Strategi dominan terwujud jika seorang pemain akan beradadalam kondisi yang lebih baik jika ia memilih opsi tertentuterlepas dari apa yang akan dilakukan oleh rekannya. Sebaliknya,jika seorang pemain bisa berada dalam kondisi yang lebih baik jikaia mengubah pilihannya setelah ia mengetahui pilihan rekannya,maka tidak ada suatu pilihan yang mendominasi pilihan lainnyadalam situasi apapun (apakah rekannya mengaku atau tidak), dantidak ada strategi dominan. Oleh karena itu, tidak terwujudstrategi prisoner’s dilemma.

Universitas Indonesia

127

Namun, jika kedua tersangka saling bekerjasama dan

tidak ada yang mengaku, maka masing-masing tersangka

akan dihukum penjara 1 tahun untuk pelanggaran. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan strategi dominan oleh

kedua tersangka menghasilkan “hasil Pareto Inferior”150

karena kedua tersangka masih bisa meningkatkan kondisi

mereka jika keduanya berpindah dari skema Mengaku-

Mengaku (dihukum penjara 2 tahun) ke skema Tidak

Mengaku-Tidak Mengaku (dihukum penjara 1 tahun).

Dalam situasi dimana terdapat kekurangan bukti

untuk penuntutan, prisoner’s dilemma adalah senjata

terbaik jaksa penuntut umum. Akan jauh lebih mudah

untuk memenangkan tuntutan jika satu atau lebih anggota

konspirasi (misalnya kartel) telah mengaku, terutama

untuk konspirasi penetapan harga,151 yang sulit untuk

dibuktikan jika tidak ada kesaksian dari salah satu

kartelis. Selain menyediakan/mendapatkan bukti

150 Pareto atau efisiensi pareto atau optimalisasi paretoadalah konsep dalam disiplin ilmu ekonomi yang menyatakan bahwatidak mungkin ada kondisi dimana 1 orang bisa berada dalam kondisiyang lebih baik tanpa membuat kondisi orang lain menjadi lebihburuk. Pareto improvement atau pareto-optimal move atau pareto superiorterjadi jika sejumlah individu diberikan pilihan alokasi barang-barang atau hasil, perubahan dari alokasi (tempat) yang satu kealokasi (tempat) yang lain membuat setidaknya satu individu beradadalam kondisi yang lebih baik tanpa membuat individu lain beradadalam kondisi yang lebih buruk. Dengan kata lain pareto superiorterjadi ketika tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagi setiapindividu atau jika tidak ada kemungkinan yang lebih baik bagiindividu manapun. Pareto-inferior terjadi ketika masih ada pilihanlain yang mungkin memosisikan setiap individu dalam kondisi yanglebih baik.

151 Christopher R. Leslie (1), op.cit.

Universitas Indonesia

128

permulaan terjadinya kartel, pihak yang mengaku juga

bisa membantu jaksa penuntut umum untuk menemukan bukti

lain/tambahan untuk membuktikan terjadinya kartel.

Prisoner’s dilemma umumnya adalah model teoritis

permainan yang digunakan untuk menjelaskan sifat/sikap

yang tidak berkaitan dengan jaksa penuntut umum atau

tersangka. Namun, terkait investigasi kartel, bahasa

dari bagan prisoner’s dilemma memetakan kenyataan dari

pertanyaan terkait kartel.152 Jaksa penuntut umum selalu

berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka

penetapan harga karena pembuktian sangat sulit

dilakukan tanpa pengakuan dan bantuan dari pelaku

pembantu (co-conpirator).

Sayangnya, jaksa penuntut umum, pada kenyataannya,

sering tidak memiliki bukti permulaan (leverage) yang

dimiliki oleh jaksa penuntut umum dalam kerangka model

teoritis di atas. Dalam model prisoner’s dilemma di atas,

jaksa penuntut umum memiliki bukti permulaan yang cukup

untuk memenjarakan kedua tersangka atas pelanggaran.

Fakta ini merupakan faktor yang penting karena kedua

tersangka akan dihukum penjara atas pelanggaranwalaupun

keduanya tidak mengaku melakukan kejahatan. Ketiadaan

bukti atas terjadinya pelanggaran akan menghilangkan

efek prisoner’s dilemma.153

152 Ibid.

153 Ibid.

Universitas Indonesia

129

Bukti untuk pelanggaran sebagai leverage umumnya

merupakan bukti yang terkait dengan penetapan harga.

Misalnya, pelanggaran atas pemalsuan dokumen dengan

sengaja. Dalam kasus penetapan harga lelang rumah di

Amerika Serikat, CEO Sotheby menandatangani surat

kepada editor Sotheby, Deloitte & Touche, yang

menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran hukum oleh

direktur Sotheby.154 Dengan menandatangani surat

tersebut, direktur Sotheby melanggar hukum federal.155

Namun, jaksa penuntut umum tidak bisa menggunakan bukti

ini sebagai leverage atas direktur Sotheby karena bukti

tersebut merupakan bukti turunan (derivative) dari

kejahatan hukum persaingan usaha. Tanda tangan Direktur

Sotheby merupakan kejahatan hanya karena adanya

konspirasi penetapan harga. Dengan kata lain, jaksa

penuntut umum masih harus membuktikan kejahatan hukum

persaingan usaha untuk membuktikan pelanggaran (minor

crime) atas pemalsuan dokumen oleh Direktur Sotheby.

Dalam konteks konspirasi penetapan harga, ketiadaan

bukti pelanggaran berarti korporasi secara rasional

akan menentukan bahwa lebih menguntungkan untuk

melanjutkan kartel daripada membongkarnya. Melanjutkan

kartel merupakan sumber pundi uang yang berlimpah ruah

dan ini adalah alasan mengapa korporasi tersebut

menjadi anggota kartel awalnya. Mengakui pertama154 Christopher Mason, The Art of the Steal, 199 (2004) seperti

dikutip dalam ibid.

155 Ibid.

Universitas Indonesia

130

berarti tidak ada hukuman penjara untuk para eksekutif

yang terlibat dalam penetapan harga. Namun, selama

kartel itu stabil dan tidak terdeteksi, tidak ada orang

yang masuk penjara. Tidak hukuman penjara ditambah

keuntungan kartel adalah jauh lebih menguntungkan

daripada tidak ada hukuman penjara tanpa keuntungan

kartel. Jika tidak ada anggota kartel yang mengaku dan

kartel kelihatan stabil, maka prinsip rationally self-interest

tidak akan menyebabkan pengkhianatan (defection) anggota

kartel.

Bagan II. Bagan Prisoner’s Dilemma tanpa leverage (bukti permulaan atas

pelanggaran)

A

B

Tidak mengaku Mengaku

Tidak mengaku (A) 0 tahun - (B)

0 tahun

(A) 3 tahun – (B)

0 tahunMengaku (A) 0 tahun – (B)

3 tahun

(A) 2 tahun – (B)

2 tahun

Bagan di atas menunjukkan ketiadaan strategi dominan.

Hasil terburuk yaitu 3 tahun penjara, muncul jika

seorang tersangka menolak untuk bekerjasama dengan

jaksa penuntut umum ketika rekan kerjanya telah

mengaku. Oleh karena itu, setiap tersangka tersebut

lebih baik mengaku jika rekan kerjanya telah mengaku.

Namun, jika rekan kerjanya tidak mengaku, maka

Universitas Indonesia

131

tersangka tersebut tidak dihukum penjara sama sekali.

Hal ini merupakan kelemahan dari Corporate Leniency Program

1993 Amerika Serikat. Bagan di atas tidak menentukan

apakah seorang tersangka lebih diuntungkan dengan

mengaku atau tidak mengaku ketika rekan kerjanya diam

(tidak mengaku).156 Dalam kondisi ini, tersangka

tersebut hanya akan mendapatkan insentif yang kecil

dari pengakuannya. Dengan kata lain, karena pihak A

mengetahui bahwa B tidak eligible untuk program amnesti

(karena B adalah ring leader),157 maka A akan cenderung

untuk tidak mengaku karena ia lebih yakin bahwa B tidak

akan mengakui adanya kartel.

Namun, bagan ini mengeyampingkan tingkat

kompleksitas yang sebenarnya dari dilema kartelis untuk

mengaku atau tidak. Dalam kenyataannya, pembuat

keputusan bisnis tidak hanya mempertimbangkan sanksi

pidana penjara dalam memutuskan akan bergabung dengan

kartel atau tidak.158 Pelaku usaha menghendaki

keuntungan maksimal dengan meminimalisasi resiko

dihukum penjara. Oleh karena itu, matriks prisoner’s

156 Dalam kenyataannya, suatu pengakuan akan menjadi strategidominan yang lemah karena jika ada resiko salah seorang rekankerjanya mengaku, maka ia juga harus mengaku.

157 Syarat untuk mendapatkan amnesti berdasarkan CorporateLeniency Program tahun 1993 adalah, salah satunya, pelaku usahatersebut merupakan pemimpin atau inisiator kartel.

158 Jika korporasi hanya mempertimbangkan faktor resiko sanksipidana penjara, maka tidak akan ada pembuangan limbah sembarangandan penipuan.

Universitas Indonesia

132

dilemma harus menyertakan dua variabel yang berbeda,

lama hukuman penjara dan jumlah uang. Jika uang

diikutsertakan dalam faktor pertimbangan para pelaku

usaha untuk melakukan kartel, maka pengakuan bersalah

kelihatan jauh lebih merugikan (menarik).

Terdapat beberapa kerugian bagi pelaku usaha untuk

menguak partisipasinya dalam kartel penetapan harga.159

Pertama, pelaku usaha pada umumnya bergabung dengan

kartel untuk memaksimalkan keuntungan. Penetapan harga

bisa memberikan keuntungan ratusan juga dolar bagi

pelaku usaha, tergantung pada produk pasar yang

dimaksud.160 Pengakuan juga menghancurkan kartel yang

sudah ada dan menghilangkan kesempatan bagi pelaku

usaha tersebut untuk bergabung dengan kartel lainnya di

masa yang akan datang karena pelaku usaha yang menguak

suatu kartel tidak akan pernah dipercayai lagi oleh

pelaku usaha lain untuk mengadakan kartel di masa yang

akan datang, bahkan untuk produk pasar yang berbeda.161

Oleh karena itu, keputusan untuk mengaku bisa

mengakibatkan kerugian jutaan dolar bagi kartel yang

sudah ada. Hilangnya potensi keuntungan dari kartel

yang sudah ada maupun kartel di masa yang akan datang

ini dinamakan opportunity cost.159 Christopher R. Leslie (1), op.cit.

160 Robert H. Lande, Why Antitrust Damage Levels Should Be Raised, 16Loy. Consumer L. Rev. 329 (2004) seperti dikutip oleh ChristopherR. Leslie, Ibid.

161 Christopher R. Leslie (2), Trust, Distrust, and Antitrust, 82 TexasLaw Review, 643-45 (2004).

Universitas Indonesia

133

Kedua, selain opportunity cost, pengakuan juga akan

menguak keikutsertaan anggota kartel lainnya terhadap

gugatan perdata antitrust. Untuk lebih dari satu abad,

semua penggugat yang berhasil dalam gugatan perdata

berdasarkan Sherman Act berhak atas ganti rugi tiga kali

lipat (atau treble damages). Treble damages ini merupakan

insentif yang sangat besar bagi pelaku usaha untuk

tidak melanggar hukum persaingan usaha, atau setidaknya

untuk tidak tertangkap. Treble damages juga menjadi

alasan bagi pelaku usaha untuk tidak mengaku sama

sekali atau tidak mendekati penyidik kasus persaingan

usaha sebelum investigasi dilakukan atau sebelum ada

tekanan luar untuk mengaku. The Antitrust Criminal Penalty

Enhancement and Reform Act 2004 menghapus/membatalkan

aturan tentang treble damages bagi pelaku usaha yang

mengaku pertama atas keikutsertaannya dalam konspirasi

kartel penetapan harga tertentu. Walaupun hal ini

mengurangi disincentive marginal untuk mendapatkan amnesti,

pengakuan masih merupakan pengakuan kesalahan dan

akibatnya pertanggungjawaban. Dengan adanya pengakuan

kesalahan, maka individu yang merasa dirugikan oleh

kartel tersebut tidak perlu lagi membuktikan adanya

kartel, melainkan hanya membuktikan jumlah kerugian

yang mereka derita. Ganti rugi tunggal (single damage)

bisa saja mencapai ratusan juta dolar.

Ketiga, pengakuan keterlibatan dalam kartel

penetapan harga mempunyai implikasi yang lebih jauh

Universitas Indonesia

134

daripada hanya sekedar hukum persaingan usaha. Ketika

pelaku usaha mengaku telah melanggar hukum persaingan

usaha, pada saat bersamaan pelaku usaha tersebut juga

bisa dijerat dengan pelanggaran hukum lainnya (selain

hukum persaingan usaha) karena semua dokumen yang

bersifat rahasia (confidential) akan terkuak. Misalnya,

penggelapan dan pemalsuan surat.

Keempat, pengakuan keterlibatan dalam kartel

penetapan harga juga mengekpos pelaku usaha tersebut

kepada gugatan ganti rugi atau investigasi otoritas

persaingan usaha di negara lain. Misalnya, Uni Eropa

menjatuhkan hukum ganti rugi sebesar USD 150.4 juta

kepada pelaku usaha yang terlibat dalam kartel lysine,

USD 132 juta kepada pelaku usaha yang terlibat dalam

kartel kotak karton, dan USD 248 juta kepada anggota

kartel penetapan harga semen.162

Kelima, kerugian (disinsentif) lain yang dialami

anggota kartel yang mengaku adalah (i) kehilangan

waktu, sumber daya, dan energi yang harus dialihkan

untuk membantu otoritas persaingan usaha dan untuk

mengajukan pembelaan atas gugatan perdata, (ii) resiko

kehilangan pekerja, pejabat perusahaan, atau ahli-ahli

perusahaan yang tidak ingin lagi bekerja di perusahaan

yang tersandung kasus persaingan usaha, dan (iii)

hancurnya reputasi mereka.

162 Donald I. Baker, The Use of Criminal Law Remedies to Deter and PunishCartels and Bid-Rigging, 69 Georgetown Washington Law Review. 693, 701(2001) seperti dikutip Christopher R. Leslie (1), op.cit.

Universitas Indonesia

135

Tidak seperti halnya bos mafia yang anggota

keluarga dan kroninya mungkin sudah diketahui atau

diduga oleh banyak orang terlibat dalam bisnis kotor,

kebanyakan pelanggar hukum persaingan usaha adalah

anggota masyarakat yang dianggap (kelihatannya)

mematuhi hukum. Mengakui kesalahan (kejahatan)

mengundang caci-maki dari masyarakat umum dan

menyebabkan rasa malu.

Ketika faktor-faktor yang dijelaskan di atas

diikutsertakan (dimasukkan sebagai variabel baru) yang

mana tidak terkait dengan hukuman langsung atas

pelanggaran hukum persaingan usaha, maka kelihatan

jelas bahwa pengakuan bukan merupakan strategi dominan.

Bagan III di bawah menunjukkan preferensi bagi anggota

kartel dalam situasi dimana setiap pelaku usaha

mempertimbangkan biaya total untuk mengaku. Bagan

tingkat preferensi mencerminkan fakta bahwa setiap

anggota kartel tidak hanya ingin menghindari hukuman

penjara; mereka ingin menghindari hukuman penjara dan

pada saat yang sama memaksimalkan keuntungannya.

Keuntungan dimaksimalkan dengan mendapatkan keuntungan

kartel dan pada waktu yang sama menghindari hukum

penjara dan gugatan ganti rugi tiga kali lipat (treble

damages).

Bagan III. Tabel Preferensi jika Penuntut Umum tidak mempunyai

bukti pelanggaran (tidak ada leverage)

Universitas Indonesia

136

A

B

Tidak mengaku Mengaku

Tidak mengaku (A) 1 tahun - (B)

1 tahun

(A) 4 tahun – (B)

2 tahunMengaku (A) 2 tahun – (B)

4 tahun

(A) 3 tahun – (B)

3 tahun

Bagan di atas menggambarkan dengan lebih jelas

ketiadaan strategi dominan. Hasil akhir terburuk akan

dialami pelaku usaha jika ia tidak mengaku padahal

rekan kerjanya mengaku. Strategi ini akan menghasilkan

hukuman penjara maksimal, menghancurkan kartel,

menghentikan pengalihan surplus konsumen kepada

produsen, menguak kartel dan mengekpsos pelaku usaha

kepada gugatan ganti rugi perdata, tanggung jawab atas

pelanggaran hukum persaingan usaha di negara lain,

menguak potensi pelanggaran hukum lain, dan

menghancurkan reputasi pelaku usaha tersebut. Namun,

hasil terbaik bagi pelaku usaha adalah sama-sama tidak

mengaku. Jika rekan usahanya belum mengaku, maka lebih

baik untuk pelaku usaha tersebut untuk tidak mengaku.

Walaupun pelaku usaha yang mengaku mendapatkan amnesti,

pengakuan tersebut akan menghancurkan kartel dan

mengekspos pengaku terhadap berbagai gugatan ganti rugi

perdata dan kerugian lain. Dengan kata lain, selama

rekan usahanya belum mengaku, maka pelaku usaha

tersebut akan merasa yakin bahwa ia tidak akan

Universitas Indonesia

137

tertangkap dan dihukum penjara. Lebih baik tidak

dihukum penjara dan pada saat yang sama mendapatkan

keuntungan kartel (yaitu dengan tidak mengaku) daripada

menghindari hukuman penjara namun pada saat yang sama

menderita kerugian akibat gugatan ganti rugi perdata

(yaitu dengan mengaku). Dalam kondisi ini, setiap

pelaku usaha lebih baik menunggu gerak-gerik rekan

kerjanya dan meniru respons rekan kerjanya terhadap

tawaran dari otoritas persaingan usaha. Hal ini

dinamakan coordination game.163 Hal ini juga berarti tidak

ada pelaku usaha yang mempunyai strategi dominan. Oleh

karena itu, pengakuan bukan merupakan strategi dominan.

Otoritas persaingan usaha harus mencari cara untuk

memanipulasi insentif pelaku usaha untuk menciptakan

prisoner’s dilemma dimana pengakuan merupakan strategi

dominan.

4.2. Cara Merumuskan Kebijakan Sanksi Terhadap Kartel

Untuk Meningkatkan Efek Jera di Amerika Serikat

Pada bagian ini, Penulis akan memaparkan secara

rinci pertimbangan dan dilema yang dihadapi Amerika

Serikat dalam menentukan sanksi pidana penjara, sanksi

pidana denda, dan gugatan ganti rugi perdata.

Pertimbangan semacam ini bisa menjadi masukan (atau

163 Tom Ginsburg & Richard H. McAdams, Adjudicating in Anarchy: AnExpressive Theory of International Dispute Resolution, 45 Wm. & Mary LawReview. 1229, 1245-49 (2004) seperti dikutip Christopher R. Leslie(1), op.cit.

Universitas Indonesia

138

kritik konstruktif) bagi legislator Indonesia dalam

menyempurnakan kajian tentang dasar kriminalisasi

kartel dan penentuan sanksi kartel.

4.2.1 Gambaran umum tentang Teori Efek Jera Kartel

(Cartel Deterrence)

Cara yang efektif untuk menganalisis apakah suatu

sistem berhasil mencapai tujuannya adalah dengan

melihat apa keputusan yang akan diambil oleh suatu

pelaku usaha yang dihadapkan dengan pilihan tertentu.164

Daniel Fletcher menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga)

faktor utama yang mempengaruhi keputusan pelaku usaha

untuk bergabung dengan suatu kartel, yaitu: (1) tingkat

kemungkinan (baca: probabilitas) untuk mendeteksi dan

menghukum pelaku kartel (p), (2) hukuman, termasuk

sanksi pidana denda dan sanksi pidana penjara (F), dan

(3) keuntungan tambahan yang diharapkan oleh pelaku

usaha jika pelaku usaha tersebut bergabung dengan

kartel (Ep).165 Jika jumlah/tingkat hukuman (pF) adalah

164 Daniel J. Fletcher, The Lure of Leniency: Maximizing Cartel Deterrencein Light of La Roche V. Empagran and the Antitrust Criminal Penalty Enhancement andReform Act of 2004, Transnational Law and Contemporary Problems,University of Iowa College of Law, 2005, 15 Transnat'l L. &Contemp. Probs. 341.

165 Lihat Brief for Economists Joseph E. Stiglitz dan Peter R. Orszag sebagai

Amicus Curiae Supporting Respondents dalam kasus F. Hoffman-Laroche, Ltd.v. Empagran, 124 S.Ct. 2349 (2004) (No. 03-724) seperti yangdikutip Daniel J. Fletcher, Id. Falsafah konstitusional HukumAntitrust Amerika Serikat adalah bahwa kartel merupakan kejahatan(evil) ekonomi yang fundamental yang harus dihentikan atau dicegaholeh pemerintah federal Amerika Serikat.

Universitas Indonesia

139

lebih besar dari keuntungan tambahan yang diharapkan

oleh pelaku usaha untuk bergabung dengan kartel (Ep),

maka pelaku usaha yang rasional tidak akan bergabung

dengan kartel.166 Ide ini bisa disimpulkan dengan

operasi matematika yang sederhana, yaitu:167

Otoritas persaingan usaha berupaya meningkatkan

level p dan F untuk memaksimalisasi efek jera dari

kartel. Karena dengan kombinasi p dan F, maka

kemungkinan pF akan lebih besar daripada Ep akan

meningkat (20)168

4.2.2 Teori Efek Jera Kartel Awal di Amerika

Serikat (Sebelum Program Corporate Leniency 1993)

Pada umumnya, diasumsikan bahwa peningkatan p atau

F akan meningkatkan efek jera.169 Lebih lanjut, Antitrust

Division seharusnya berupaya meningkatkan p atau F. Tiga

hukuman yang berbeda berikut dikombinasikan untuk

membentuk F, yaitu: (1) sanksi pidana penjara, (2)166 Christopher R. Leslie (2), op.cit.

167 Brief for Economists Joseph E. Stiglizts dan Peter R. Orszag, op.cit.

168 Scott D. Hammond (2) op.cit. Jika pelaku usaha mengetahuibahwa resiko “ditangkap” atau “ketahuan” oleh otoritas persainganusaha sangat kecil, maka sanksi pidana denda maksimum yang kakutidak akan cukup untuk menciptakan efek jera terhadap aktivitaskartel.

169 Pfizer, Inc. v. Gov't of India, 434 U.S. 308 (1978),seperti dikutip oleh Daniel J. Fletcher, op.cit.

Universitas Indonesia

jika pF>Ep, maka tidak ada kartel

140

ganti rugi perdata, dan (3) sanksi pidana penjara.170

Sebelum disahkannya Corporate Leniency Policy, p

ditentukan/dipengaruhi oleh kemampuan Antitrust Division

untuk mendeteksi kartel melalui teknik memata-matai

(spying) seperti surat perintah penggeledahan (search

warrants), rekaman suara atau gambar rahasia (secret audio

or videotapes), dan interogasi Federal Bureau Investigation

(FBI).171 Alasan peningkatan baik p maupun F akan

meningkatkan efek jera adalah karena p dan F adalah dua

variabel yang independen satu sama lain. Peningkatan

atau pengurangan F tidak mempunyai pengaruh pada

peningkatan/pengurangan p. Contohnya, bahkan dalam

peningkatan sanksi denda perdata, jumlah kartel yang

dideteksi tidak berubah (tetap sama jumlahnya).

Alasan (rationale) ini dijelaskan oleh Mahkamah Agung

Amerika Serikat melalui pertimbangannya dalam kasus

Pfizer, Inc v. Government of India.172 Dalam kasus tersebut,

Mahkamah Agung memutuskan bahwa negara asing (baik

individu, korporasi maupun entitas lainnya) bisa

menggugat (perdata) kerugian akibat pelanggaran hukum

persaingan usaha dengan treble damages terhadap korporasi

Amerika Serikat di pengadilan Amerika Serikat.173

170 Kartel merupakan pelanggaran per se berdasarkan Section 1Sherman Act.

171 Scott Hammond (2), op.cit.

172 Ibid.

173 Pfizer, Inc. v. Gov't of India, 434 U.S. 308 (1978),seperti dikutip oleh Daniel J. Fletcher, op.cit.

Universitas Indonesia

141

Mahkamah Agung Amerika Serikat berargumen bahwa jika

negara asing tidak diizinkan untuk menggugat ganti rugi

(perdata) di pengadilan Amerika Serikat,174 maka efek

jera kartel akan terhambat/berkurang, karena jika

gugatan ganti rugi (perdata) diizinkan,175 maka F akan

meningkat pesat dan oleh karena itu akan meningkatkan

efek jera kartel.

Secara umum, alasan (reasoning) di atas merupakan

pandangan umum sebelum munculnya dampak dari Corporate

Leniency Program.176 Namun, sejak Department of Justice Amerika

Serikat memperkenalkan Corporate Leniency Program, reasoning

ini mulai dipertanyakan.

4.2.3 Dampak Corporate Leniency Program 1993 Amerika

Serikat dalam mengurangi kartel (Efek Jera

Kartel).

Untuk mengatasi kesulitan mendeteksi kartel,177

pemerintah Amerika Serikat mengimplementasikan Corporate

174 Ibid.

175 Ibid

176 Perlu dicatat bahwa corporate leniency program awalnyadiperkenalkan pada tahun 1978 yaitu pada tahun yang samaPengadilan menghukum Pfizer, Namun, corporate leniency program belumbegitu efektif sebelum tahun 1993 ketika Kongres Amerika Serikatmemasukkan elemen kunci dalam corporate leniency program yang baru.

177 Brief for Economists Joseph E. Stiglizts dan Peter R. Orszag, op.cit.menyatakan “konspirasi penetapan harga termasuk pelaku usaha yangberoperasi secara global, dan secara alami merupakan kejahatanyang sangat sulit dideteksi dan dihukum.”

Universitas Indonesia

142

Leniency Program pada tahun 1993. Program ini mempunyai

tujuan untuk mengurangi pembentukkan kartel dengan

mendeteksi dan menghukum kartel yang sudah ada. Dalam

operasi matematika seperti yang digambarkan di atas,

Corporate Leniency Program berupaya meningkatkan p dengan

mendeteksi lebih banyak kartel, dan oleh karenanya

meningkatkan efek jera.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, kunci utama

Corporate Leniency Program 1993 yang juga ditegaskan dalam

kasus LaRoche v. Empagran,178 adalah bahwa pelaku usaha

yang masuk dalam program tersebut tidak diberikan

amnesti (dibebaskan) dari gugatan ganti rugi perdata.179

Oleh karena itu, jika anggota kartel mengaku bersalah

sebagai syarat untuk mendapatkan amnesti, pelaku usaha

tersebut tetap harus membayar ganti rugi treble damages.

Seperti yang telah dijelaskan di atas (pF>Ep),

kemungkinan untuk mendeteksi kartel adalah faktor utama

(kunci) untuk meningkatkan efek jera. Corporate Leniency

Program 1993 berupaya untuk meningkatkan probabilitas

(kemungkinan) mendeteksi kartel dengan mendorong

anggota kartel untuk melaporkan (mengaku bersalah).

Oleh karena itu, dampak Corporate Leniency Program 1993

terhadap efek jera adalah fungsi langsung/utama dari178 Hoffman-Laroche, Ltd. v. Empagran, 124 Supreme Court 2359, 2363

(2004).

179 Kongres mengesahkan amandemen penting pada tahun 2004 yangmemberikan keringanan bagi pelaku usaha yang mengaku bersalahdengan memberikan amnesti (memaafkan) gugatan ganti rugi perdatatreble damages.

Universitas Indonesia

143

kemampuan Corporate Leniency Program 1993 untuk mendorong

pelaku usaha untuk mengaku bersalah.

Setiap anggota kartel mempunyai pilihan untuk

bergabung atau tidak bergabung dengan kartel. Asumsikan

jika pelaku usaha hanya berupaya untuk memaksimalisasi

keuntungan, maka pelaku usaha tersebut akan tetap

bergabung dengan kartel jika tindakan tersebut akan

memaksimalisasi keuntungan. Keputusan ini terlihat

jelas dalam operasi matematika yang baru.180

Pertama, variabel dalam operasi matematikanya

adalah sebagai berikut:

EpLeniency   =   keuntungan yangdiharapkan pelaku usaha jika iamengaku bersalah (mendapatkan amnesti)

NCEstimated Profits =  Jumlah keuntungan yangdiharapkan jika pelaku usaha tidakbergabung dalam kartel

CiF  =  Ganti rugi perdata

EpNo Leniency =  Keuntungan yang diharapkan jikapelaku usaha tidakmengaku bersalah (mendapatkankeringanan/amnesti)

CEstimated Profits =  Keuntungan yang diharapkanjika pelaku usaha bergabungdengan kartel

180 Pernyataan ini mirip dengan pendapat Bruce H. Kobayashi,Antitrust, Agency, and Amnesty: An Economic Analysis of the Criminal Enforcement of theAntirust Laws Against Corporations, 69 George Washington Law Review. 715(2001), seperti yang dikutip dalam Daniel J. Fletcher, op.cit.

Universitas Indonesia

144

P  =  Kemungkinan (probabilitas) mendeteksi

kartel

CrF   =  Sanksi pidana denda

CrS   =  Sanksi pidana penjara

Bagan operasi matematika kartel 181

Operasi matematika Corporate Leniency Program adalah:

Maka pelaku usaha yang rasional akan mengaku bersalah

(menerima amnesti). Jika jumlah pelaku usaha yang

mengaku bersalah, p dalam pF>Ep182 meningkat dan oleh

karenanya adanya peningkatan efek jera.

4.2.3.1 Kunci observasi pertama: dua ciri utama dari

Corporate Leniency Program 1993181 Daniel J. Fletcher, op.cit.

182 Gary R. Spratling, Making Companies an Offer They Shouldn't Refuse:The Antitrust Division's Corporate Leniency Policy--An Update, disampaikan padaat The Bar Association of the District of Columbia's 35th Annual Symposium onAssociations and Antitrust (Feb. 16, 1999). Kunjungi at http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/2247.htm (kunjungan terakhir 6Mei 2010).

Universitas Indonesia

Bagan 1: EpLeniency =  NCEstimated Profits - CiF

       

Bagan 2: EpNoLeniency = CEstimated Profits

Jika NCEstimated Profits - CiF > CEstimated Profits(1- p) -

p(CiF + CrF + CrS)

145

Operasi matematika di atas menciptakan dua ciri

utama.183 Pertama, operasi matematika tersebut

menciptakan insentif langsung bagi pelaku usaha untuk

mengaku bersalah karena terdapatnya janji amnesti

sanksi pidana penjara. Kedua, operasi matematika

tersebut menciptakan perasaan saling tidak percaya

diantara pelaku usaha karena setiap pelaku usaha

mengetahui bahwa pelaku usaha lain dalam suatu kartel

mempunyai insentif langsung yang sama untuk menghindari

sanksi pidana penjara.184 Ciri kedua ini menciptakan

insentif yang lebih besar bagi pelaku usaha untuk

mengaku bersalah. Kedua ciri operasi matematika di atas

yang saling terkait menciptakan situasi dimana akan

jauh lebih baik bagi pelaku usaha yang terlibat kartel

untuk mengaku bersalah.

Ide ini dikembangkan dan dijelaskan dengan sangat

rinci oleh Christopher R. Leslie melalui skema strategi

prisoner’s dilemma185 yang menyatakan bahwa tanpa adanya

ketidakpercayaan dari awal (yaitu mengetahui bahwa

anggota kartel lainnya juga ingin menghindari sanksi

183 Daniel J. Fletcher, op.cit.

184 Christopher R. Leslie (2), op.cit., seperti dikutip dalamDaniel J. Fletcher, op.cit. “Secara singkat, Corporate Leniency Programmempunyai dua efek: menyediakan insentif langsung untuk mengakubersalah dan menciptakan ketidakpercayaan diantara sesama anggotakartel yang malah menjadi insentif tambahan untuk mengaku.”

185 Christopher R. Leslie (2), op.cit.

Universitas Indonesia

146

pidana penjara), pelaku usaha tidak mendapatkan

insentif yang cukup untuk mengaku bersalah.

Ide Christopher R. Leslie menjadi lebih jelas jika

disandingkan dengan operasi matematika di atas.186

Asumsikan 100% dari seluruh kartel yang terdeteksi

melalui corporate leniency program, jika pelaku usaha

mempercayai satu sama lain, maka tidak ada pelaku usaha

yang mengaku bersalah dan p = 0.187 Bagian kanan dari

operasi matematika akan secara substansial menjadi

lebih besar daripada bagian kiri. Hal ini menunjukkan

bahwa setiap pelaku usaha akan lebih memilih bergabung

dengan kartel karena keuntungannya lebih besar. Namun,

menurut Christopher R. Leslie dengan teori strategi

prisoner’s dilemma, hal di atas tidak akan terjadi karena

pelaku usaha akan lebih memilih untuk mengaku bersalah.

Seperti yang telah dijelaskan di atas (Lihat Bagian

4.1 B Skripsi ini), model prisoner’s dilemma menunjukkan

mengapa corporate leniency program 1993 menciptakan, pada

mulanya, rasa saling tidak percaya diantara anggota

kartel. Singkatnya, setiap anggota kartel akan

bertindak secara rasional demi kepentingan diri sendiri

karena jika anggota kartel tersebut tidak mengaku dan

rekan kerjanya (anggota kartel lain) maka hukuman yang

dijatuhkan kepada anggota kartel tersebut adalah yang

186 Daniel J. Fletcher, op.cit.

187 Dengan asumsi tidak ada faktor lain yang mungkinmenghancurkan kartel.

Universitas Indonesia

147

paling tinggi sehingga pilihan terbaik adalah mengaku

bersalah. Fenomena ini disebut juga “race to the

courthouse”.188 Jurnalis Janet Novack menyatakan urgensi

pelaku usaha untuk mengaku bersalah duluan daripada

pelaku usaha lain untuk mendapatkan amnesti sebagai

berikut.189

"If someone in your company has been conspiring with competitors

to fix prices here's some sound advice. Get to the Justice Department

before your co-conspirators do. Confess and the United States Department

of Justice will let you off the hook. But hurry! Only one conspirator per

cartel."

Terjemahan bebasnya:

“Jika seseorang di perusahaan anda terlibat dalam

konspirasi dengan pelaku usaha pesaing anda untuk

menetapkan harga, ada saran untuk anda. Segeralah pergi

ke Justice Departement sebelum pelaku usaha pesaing/lain

melakukannya. Mengakulah dan Justice Department akan

melepaskan anda dari tuntutan. Namun bergegaslah! Hanya

tersedia satu amnesti untuk satu kartel.”

Singkatnya, Corporate Leniency Program 1993

meningkatkan jumlah kartel yang terdeteksi karena rasa

takut bahwa anggota kartel lainnya akan mengaku duluan,

sehingga menciptakan insentif untuk mengaku duluan.

Kondisi ini membuat kartel lebih labil sehingga pelaku188 Scott D. Hammond (2), op.cit. “Sistem pendekatan “winner-take-

all” mendorong terjadinya persaingan diantara anggota kartelsehingga terjadi ketegangan dan ketidakpercayaan diantara anggotakartel.”

189 Gary R. Spratling, op.cit.

Universitas Indonesia

148

usaha independen (yang bukan anggota kartel) lebih

terdorong untuk tidak bergabung dengan kartel. Oleh

karena itu, dengan meningkatkan kemampuan mendeteksi

kartel, Corporate Leniency Program 1993 meningkatkan efek

jera kartel.

4.2.3.2 Kunci observasi kedua: Interdependensi p dan

F

Corporate Leniency Program 1993 telah mengubah teori

efek jera kartel karena peningkatan dalam satu variabel

(p atau F) bisa menyebabkan penurunan dalam variabel

lain. Dengan kata lain, jika hukuman (F) ditingkatkan

secara signifikan, maka hukuman tersebut mengurangi

probabilitas Antitrust Division untuk mendeteksi kartel

(p). Alasannya adalah karena Corporate Leniency Program

1993 tidak memberikan amnesti kepada anggota kartel

untuk gugatan ganti rugi perdata. Jika pelaku usaha

menghadapi gugatan ganti rugi perdata yang besar, ia

otomatis harus membayar ganti rugi tersebut jika ia

mengaku. Namun kemungkinan dihukumnya pelaku usaha

tersebut untuk membayar ganti rugi sangat kecil jika ia

tidak mengaku. Prinsipnya adalah hidup dengan

‘kemungkinan’ dihukum penjara mungkin merupakan pilihan

yang lebih baik daripada ‘dipastikan’ harus membayar

ganti rugi perdata yang besar. Oleh karena itu, F yang

besar mungkin akan menurunkan pelaku usaha yang mengaku

bersalah dan pada gilirannya menurunkan p.

Universitas Indonesia

149

Hal di atas menjadi lebih jelas dengan

memperhatikan operasi matematika: jika NCEstimated Profits -

CiF > CEstimated Profits(1- p) - p(CiF + CrF + CrS), maka

pelaku usaha akan memilih untuk mengaku bersalah. CiF

(ganti rugi perdata) adalah sama di dua sisi pada

operasi matematika di atas, tetapi pada bagian kanan

operasi matematika tersebut (tidak ada

leniency/keringanan) CiF dikurangi oleh p. Oleh karena

itu, jika CiF besar, maka mungkin bagian kanan

(keuntungan yang didapatkan jika tidak ada

leniency/keringanan) lebih besar daripada bagian kiri

(keuntungan yang diharapkan jika ada leniency/keringanan)

operasi matematika tersebut. Kondisi ini mengurangi p

dan oleh karenanya mengurangi efek jera.

Kesimpulan di atas bertentangan dengan reasoning

yang dipakai dalam kasus Pfizer. Dalam kasus Pfizer,

Pengadilan mengizinkan negara asing (orang-

perseorangan, badan hukum, atau entitas lainnya) untuk

menggugat korporasi Amerika Serikat atas ganti rugi

perdata, karena menurut Pengadilan peningkatan ganti

rugi perdata akan meningkatkan F dan oleh karenanya

meningkatkan efek jera. Dengan kebijakan baru Corporate

Leniency Program 1993, maka peningkatan ganti rugi

perdata yang besar juga menyebabkan F meningkat, tetapi

akan menurunkan p secara dramatis. Peningkatan salah

satu diantara p atau F tidak lagi meningkatkan efek

Universitas Indonesia

150

jera karena kedua variabel tersebut (p dan F) tidak

lagi interdependen/terkait satu sama lain.

4.3. Kemungkinan penerapan strategi prisoner’s dilemma di

Indonesia untuk menghancurkan kartel dan

meningkatkan efek jera sanksi atas kartel

Pada dasarnya, UU No.5/1999 menetapkan 3 (tiga)

jenis sanksi atas kartel, yaitu sanksi denda

administrasi (Pasal 47 ayat (2) f), ganti rugi perdata

(Pasal 47 ayat (2) g), dan sanksi pidana denda (Pasal

11 juncto 48 ayat (1). Manfaat dari penerapan strategi

prisoner’s dilemma dalam kasus kartel adalah untuk

menentukan jenis sanksi dan meningkatkan efek jera dari

sanksi atas kartel. Seperti yang dijelaskan di bagian

sebelumnya, penentuan sanksi atas kartel baik menurut

UU No.5/1999 maupun KPPU belum jelas.

Menurut Penulis, untuk menerapkan strategi prisoner’s

dilemma, harus dilakukan amandemen terhadap UU No.5/1999

terkait perumusan cara penanganan kejahatan kartel.

Secara konseptual, hal penting yang harus dimasukkan

dalam UU No.5/1999, diantaranya adalah: (i) ketentuan

tentang amnesti bagi pelaku usaha pertama yang mengaku

terlibat dalam kartel dan membantu KPPU dalam proses

investigasi kartel yaitu dengan tidak dituntutnya

pelaku kartel atas pertanggungjawaban pidana, (ii)

ketentuan yang menyatakan bahwa pengakuan keterlibatan

kartel secara otomatis membuktikan kesalahan pelaku

Universitas Indonesia

151

kartel sehingga pihak yang merasa dirugikan secara

perdata (misalnya konsumen) tidak perlu unsur

kesalahan/melawan hukum di pengadilan perdata, (iii)

ketentuan tentang fleksibilitas penjatuhan hukuman oleh

KPPU baik sanksi denda pidana, ganti rugi perdata,

maupun sanksi pidana penjara, (iv) pencabutan sanksi

denda administrasi, dan (v) ketentuan tentang besaran

denda pidana, ganti rugi perdata, maupun sanksi pidana

penjara yang mempertimbangkan faktor tingkat efek jera

dari masing-masing sanksi.

Terkait poin (i), UU No.5/1999 harus mengizinkan

adanya plea bargain dimana pelaku usaha yang mengaku

terlibat dalam kartel serta membantu KPPU dalam proses

investigasi kartel akan diberikan amnesti. Amnesti ini

menciptakan insentif bagi pelaku kartel untuk mengaku

bersalah dan membantu KPPU dalam menginvestigasi dan

membuktikan kejahatan kartel. Berhubung kesuksesan

kartel sangat bergantung pada kepercayaan diantara para

anggotanya, maka insentif amnesti mampu menciptakan

ketidakpercayaan (distrust) dalam suatu kartel, sehingga

kartel tersebut akan hancur. Pelaku kartel pada

dasarnya merupakan makhluk ekonomi yang mengejar

keuntungan. Jika ketentuan persaingan usaha mampu

menciptakan insentif melalui amnesti bagi pelaku usaha

untuk mengaku bersalah dan membantu KPPU dalam proses

investigasi kartel, maka pelaku kartel yang merupakan

Universitas Indonesia

152

mahkluk ekonomi akan mengejar keuntungan dari amnesti

tersebut.

Terkait poin (ii), agar hak “korban” kartel (yaitu

konsumen dan pelaku usaha pesaing aktual dan potensial

dalam pasar yang dikuasai kartel) tetap terlindungi,

maka amnesti yang diberikan kepada pelaku kartel yang

mengaku tidak boleh meliputi amnesti atas ganti rugi.

Alasannya adalah karena hak atas ganti rugi ini

merupakan hak perdata “korban” kartel. Namun, pada saat

yang sama harus dipertimbangkan apakah penentuan ganti

rugi perdata tersebut disesuaikan dengan prinsip KUHPer

yaitu kerugian aktual (biaya, bunga, dan rugi) atau

ditetapkan dengan faktor perkalian tertentu (misalnya

dua kali lipat dari kerugian aktual). Di Amerika

Serikat, perhitungan ini bergantung pada reaksi pelaku

kartel atas ganti rugi yang harus dibayarkannya (lihat

penjelasan butir 4.2.3 Skripsi ini). Jika perhitungan

tersebut menyimpulkan bahwa insentif maksimum tercipta

ketika ganti rugi dihitung berdasarkan kerugian aktual,

maka perhitungan ganti rugi sebaiknya hanya berdasarkan

kerugian faktual.

Terkait poin (iii), seperti yang telah dijabarkan

dalam bagian sebelumnya, kewenangan otoritas persaingan

usaha yang fleksibel (adaptif) dalam menentukan sanksi

yang dijatuhkan penting untuk meningkatkan efek jera

dari sanksi atas kartel. Alasannya adalah karena kartel

mempunyai bentuk yang berbeda-beda dan pelaku kartel

Universitas Indonesia

153

mempunyai tingkat respons yang berbeda terhadap sanksi

tertentu. Jika KPPU diberikan kewenangan untuk

menentukan sanksi yang tepat dalam kasus tertentu (baik

sanksi pidana penjara, pidana denda, maupun ganti

rugi), maka KPPU bisa meningkatkan efek jera dari

sanksi yang dijatuhkan.

Terkait poin (v), terkait rumus kartel pF>Ep, maka

ketentuan UU No.5/1999 harus mampu meningkatkan

kemungkinan (a) mendeteksi adanya kartel dan

membuktikan kejahatan kartel (p atau probability) dan (b)

sanksi atas kartel (F atau Fines). Jika keuntungan yang

diharapkan dari kejahatan (Ep atau Estimated Profits) lebih

kecil daripada pF maka pelaku kartel akan lebih memilih

untuk mengaku bersalah daripada menjalankan kartel.

Keseluruhan poin (i) sampai dengan (v) dimaksudkan

untuk menciptakan kondisi prisoner’s dilemma dimana

terhadap setiap pelaku kartel diberikan penawaran

amnesti dan jika mereka tidak mengaku sementara pelaku

kartel lainnya mengaku maka kemungkinan tertangkapnya

pelaku kartel dan hukuman yang dijatuhkan terhadap

pelaku kartel tersebut akan lebih besar. Prinsip

fundamental prisoner’s dilemma yang harus diperhatikan

adalah bahwa dalam kondisi apapun (baik pelaku kartel

lain mengaku ataupun tidak), pelaku kartel tersebut

akan selalu berada dalam kondisi yang lebih baik

(hukumannya paling ringan) jika ia mengaku (Lihat bagan

Universitas Indonesia

154

I, bagan II dan bagan III dalam butir 4.1.2. Skripsi

ini).

Selanjutnya, strategi prisoner’s dilemma akan membantu

dalam menentukan ukuran sanksi atas kartel. Secara

konseptual, dalam kerangka prisoner’s dilemma, sanksi yang

dijatuhkan terhadap kartel harus memperhatikan

keterkaitan antara sanksi yang satu dengan yang lain.

Contohnya, asumsi bahwa pelaku usaha lebih takut

dipenjara daripada dikenakan denda merupakan asumsi

yang tidak sepenuhnya tepat. Pada umumnya, asumsi ini

yang digunakan dalam merumuskan sanksi pidana penjara.

Dengan kata lain, strategi prisoner’s dilemma memungkinkan

otoritas persaingan usaha untuk mengukur lamanya waktu

penjara, besaran sanksi pidana denda, dan besaran ganti

rugi perdata. Ukuran penentuan sanksi menjadi lebih

jelas ketika ada pembandingnya, yaitu sanksi lain.

Tarik-menarik ketiga sanksi di atas akan membantu KPPU

untuk menemukan titik keseimbangan (ekuilibrium) sanksi

dengan besaran sanksi yang proporsional untuk setiap

jenis sanksi.

4.4. Kerancuan dan/atau Absurditas Penentuan Sanksi

Terhadap Kartel Berdasarkan UU No. 5/1999

Berbeda dengan kajian mendalam dan pertimbangan

matang yang dilakukan oleh legislator di Amerika

Serikat, legislator di Indonesia terkesan tidak

melakukan kajian hukum dan ekonomi yang cukup dalam

Universitas Indonesia

155

menentukan sanksi pidana penjara maupun denda terhadap

kartel. Bahkan klasifikasi kartel sebagai kejahatan

atau pelanggaran saja tidak jelas. Hal ini menunjukkan

betapa semrawutnya penentuan suatu perbuatan sebagai

tindak pidana dalam UU. No.5/1999. Berikut akan

dijabarkan beberapa masalah terkait pasal 47 dan 48 UU

No. 5 tahun 1999.

Pasal 47 tentang Tindakan Administratif

(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa

tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dapat berupa:

a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13,

Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau

b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan

integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14; dan atau

c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan

kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek

monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha

tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan

atau

d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan

penyalahgunaan posisi dominan; dan atau

Universitas Indonesia

156

e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau

peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau

f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau

g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan

setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar

Pasal 48 tentang Pidana Pokok

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal

9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan

Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam

pidana denda serendah-rendahnya Rp

25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)

dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00

(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan

pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai

dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan

Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam

pidana denda serendah-rendahnya Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan

setinggi-tingginyaRp 25.000.000.000,00 (dua puluh

lima miliar rupiah), atau pidana kurungan

pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Universitas Indonesia

157

4.4.1 Pasal 47 dan 48 tidak merumuskan secara jelas

subyek sanksi.

Kata “pelaku usaha” dalam semua ketentuan UU No.

5/1999 merujuk pada orang-perseorangan atau

perusahaan.190 Permasalahan utama adalah apakah ketika

suatu perusahaan melakukan kartel maka yang menjadi

subyek sanksinya adalah perusahaan tersebut atau

individunya, misalnya direksi. Implikasinya dari tidak

jelasnya subyek tersebut sangat luas.

1. Apakah sanksi dijatuhkan kepada individu tersebut

atau perusahaannya? Jika dijatuhkan kepada

individu tersebut (dalam bentuk sanksi pidana

denda) maka termasuk semua harga pribadi individu

tersebut. Hal ini tidak masuk akal mengingat dalam

struktur perusahaan individu, misalnya direksi,

melakukan sesuatu berdasarkan anggaran dasar dan

demi kepentingan perusahaan.

2. Jika sanksi pidana tersebut dijatuhkan kepada

perusahaannya dan perusahaan tersebut gagal

membayar denda, apakah mungkin suatu perusahaan

bisa dikerangkeng (dikarenakan kurungan

pengganti)?

190 Pasal 1 butir 5 UU No. 5/1999 menyatakan:

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yangdidirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayahhukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-samamelalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalambidang ekonomi.

Universitas Indonesia

158

3. Jika ada dikhotomi sanksi terhadap orang-

perseorangan dan perusahaan, dimana batas tanggung

jawab masing-masing subyek? Pasal 47 dan 48 tidak

menjelaskan sama sekali tentang dikhotomi ini.

4. Apakah terdapat satu feit bisa dikenakan sanksi

(hukuman) terhadap 2 (dua) subyek sekaligus, yaitu

orang-perseorangan, misalnya direksi, dan

perusahaannya?

Poin mengenai subyek sanksi sangat penting untuk

diperhatikan karena sanksi tersebut harus dijatuhkan

kepada subyek yang tepat.

4.4.2 Sanksi pidana penjara untuk orang-

perseorangan dihilangkan

Pasal 48 merumuskan ketentuan sanksi dengan sanksi

pidana denda, bukan sanksi pidana penjara. Pasal 10

KUHP mengatur tentang pidana pokok dan pidana

tambahan.191 Dalam rumusan suatu ketentuan pidana,

terdapat perbedaan antara ancaman pidana penjara dengan

kurungan pengganti. Pidana penjara merupakan hukuman

pokok yang dijatuhkan ketika delik (unsur) pasal

tertentu terpenuhi dengan pidana penjara maksimum 15

(lima belas) tahun. Sementara itu, kurungan pengganti

adalah kurungan yang dijatuhkan ketika seseorang tidak191 Pidana pokok meliputi pidana mati, penjara, kurungan,

denda, dan tutupan. Pidana tambahan meliputi pencabutan hak-haktertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumumanputusan hakim.

Universitas Indonesia

159

membayar pidana denda dengan kurungan maksimum 6 (enam)

bulan kecuali jika terdapat perbarengan atau berlakunya

pasal 52 KUHP.192 Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2)

KUHP yang menentukan “Jika pidana denda tidak dibayar,

ia diganti dengan pidana kurungan.”

Contoh pasal yang hanya menentukan pidana penjara

adalah pasal 338 KUHP, yang menyatakan “Barang siapa

dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama

lima belas tahun.” Contoh pasal yang menentukan

alternatif antara pidana penjara dan pidana denda

adalah pasal 219 KUHP yang menyatakan “Barang siapa

secara melawan hukum merobek, membikin tak dapat dihaca

atau merusak maklumat yang diumumkan atas nama penguasa

yang berwenang atau menurut, ketentuan undang-undang,

dengan maksud untuk mencegah atau menyukarkan orang

mengetahui isi maklumat itu, diancam dengan pidana

penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Contoh pasal yang hanya menentukan pidana denda adalah

pasal 48 UU No. 5/1999.

Logika yang sama dengan poin pertama di atas

berlaku di sini. Apakah alasan pasal 48 tidak

menentukan pidana penjara karena subyek UU No. 5/1999

adalah perusahaan sehingga suatu perusahaan tidak

mungkin dikerangkeng (dikurung)? Jika ini adalah

192 Pasal 30 ayat (5) KUHP.

Universitas Indonesia

160

alasannya, alasan tersebut masih tidak masuk akal

karena hukuman pengganti atas pidana denda adalah

kurungan pengganti. Pertanyaan yang sama, jika

perusaahan tersebut tidak membayar pidana denda apakah

suatu perusahaan mungkin dikurung (dikerangkeng)?

4.4.3 Absurditas penentuan “denda” administrasi dan

“denda” pidana

Apa perbedaan istilah “denda” pada pasal 47 ayat

(2) butir g dengan istilah “pidana denda” pada pasal 48

ayat (1) dan (2)? Memang benar konsep sanksi

administrasi dengan pidana terkait dengan denda

mempunyai tujuan yang berbeda, namun perbedaan tersebut

tidak tercermin dalam perumusan pasal 47 dan 48. Nilai

denda administrasi adalah minimal Rp 1 (satu) milyar

dan maksimal Rp 25 (dua puluh lima) milyar. Nilai denda

pidana adalah (i) berdasarkan Pasal 48 ayat (1) minimal

Rp 25 (dua puluh lima) milyar dan maksimal Rp 100

(seratus) milyar, dan (ii) berdasarkan Pasal 48 ayat

(2) minimal Rp 5 (lima) milyar dan maksimal Rp 25 (dua

puluh lima) milyar. Apakah hukuman denda administrasi

dan pidana denda bisa dijatuhkan sekaligus yang

menyebabkan nilai maksimum denda (denda administrasi

dan pidana) menjadi Rp 50 (lima puluh) milyar atau Rp

125 (seratus dua puluh lima) milyar? Jika sanksi pidana

dikehendaki sebagai ultimum remedium, seharusnya

diantara pasal 47 dan 48 bisa diselipkan kalimat

Universitas Indonesia

161

“Sanksi pidana dijatuhkan jika dan hanya jika sanksi

administrasi telah dijatuhkan dan terbukti tidak

efektif dan/atau efisien mengoreksi sikap-tindak pelaku

usaha.”

Prinsip ultimum remedium memang menyatakan bahwa

pidana harus merupakan alternatif terakhir setelah

penyelesaian lainnya gagal atau tidak efektif. Namun,

prinsip ultimum remedium dalam konteks tersebut adalah

terkait dengan pengertian bahwa (i) sanksi administrasi

berbeda dengan sanksi pidana, dan (ii) sanksi pidana

lebih berat dibandingkan sanksi administratif. Sanksi

pidana dalam konteks ultimum remedium terkait erat

dengan sanksi pidana penjara yang dianggap sebagai

sanksi yang sangat berat karena merenggut hak asasi

manusia atas kebebasan dirinya. Selain itu, prosedur

pemeriksaan tindak pidana juga lebih merenggut lebih

banyak hak-hak asasi si tersangka maupun terdakwa,

yaitu dengan adanya prosedur penahanan,193

193 Berdasarkan Pasal 1 ayat (21) Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana, “penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwadi tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakimdengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diaturdalam undang-undang ini.”

Universitas Indonesia

162

penangkapan,194 penyitaan,195 penggeledahan badan,196

penggeledahan rumah,197 dan pada akhirnya penghukuman.

Pertanyaannya adalah apakah prinsip ultimum remedium

dalam arti dan konteks di atas berlaku terhadap

ketentuan pidana UU No. 5/1999 yang tidak merumuskan

pidana penjara? Sanksi pidana dalam Pasal 48 dan 49

hanya hampir sama sifat dan beratnya dengan sanksi

administrasi dalam Pasal 47,

4.4.4 Metode penghitungan lama kurungan akibat

tidak dibayarnya pidana denda dalam Pasal 48 UU

No. 5/1999 tidak sesuai dengan metode

194 Berdasarkan Pasal 1 ayat (20) Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana, “penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupapengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwaapabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan ataupenuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yangdiatur dalam undang-undang ini.”

195 Berdasarkan Pasal 1 ayat (16) Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana, “penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidikuntuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannyabenda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujuduntuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan danperadilan.”

196 Berdasarkan Pasal 1 ayat (18) Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana, “penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untukmengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untukmencari benda yang didup keras ada pada badannya atau dibawanyaserta, untuk disita.”

197 Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana, “penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untukmemasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untukmelakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan ataupenangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Universitas Indonesia

163

penghitungan yang ditentukan pasal 30 ayat (4)

KUHP.

Penjelasan pada bagian ini akan dibagi ke dalam 2

(dua) bagian, yaitu (i) tentang absurditas metode

penghitungan yang ditetapkan legislator, dan (ii)

absurditas metode penghitungan yang diterapkan oleh

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”).

Terkait dengan poin (i), kekurangan lain UU

No.5/1999 adalah terkait dengan ketidaksesuaian metode

penghitungan lama kurungan akibat tidak dibayarnya

pidana denda dalam Pasal 48 UU No. 5/1999 dengan metode

penghitungan yang ditentukan pasal 30 ayat (4). Pasal

30 ayat (4) KUHP menyatakan:

“Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan

pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya

tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di

hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima

puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di

hitung paling banyak satu hari demikian pula

sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh

sen.”

Untuk mengatasi disparitas nilai nominal uang

antara waktu dibuatnya KUHP dengan masa sekarang bisa

digunakan metode penghitungan emas, yaitu dengan

menghitung berapa gram emas yang bisa didapatkan dengan

Universitas Indonesia

164

nilai nominal KUHP (misalnya Rp 7 dan 25 sen), dan

kuantitas gram emas tersebut dikalikan dengan harga

emas yang berlaku sekarang. Pertanyaannya adalah apakah

cara penghitungan ini diterapkan oleh legislator dalam

menghitung batas minimum dan maksimum pidana denda

berdasarkan Pasal 48 UU No. 5/1999?

Ironisnya adalah pidana denda Rp. 25 milyar itu

hanya sepadan dengan hukuman kurungan pengganti 6

(enam) bulan penjara, sementara dalam kasus Nenek Minah

yang mencuri kakao yang nilainya jauh di bawah Rp. 25

milyar, namun dihukum penjara 1 tahun 15 hari dengan

masa percobaan selama 3 bulan.198

Yang paling tidak masuk akal adalah, berdasarkan

Pasal 47 ayat (2) f , KPPU pernah memutuskan untuk

menghukum Para Terlapor membayar ganti rugi perdata

(damage) yang mirip dengan konsep ganti rugi pada Pasal

1365 KUHPerdata. Hukuman pembayaran ganti rugi tersebut

diputuskan KPPU dalam kasus kartel fuel surcharge Industri

Jasa Penerbangan Domestik.199

Dalam pembacaan putusan tersebut, KPPU menyatakan:

“...

198 Bisa dilihat dihttp://www.detiknews.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari. Kunjunganterakhir 7 Juni 2010.

199 Pembacaan Putusan Perkara Penetapan Harga Fuel Surchargedalam Industri Jasa Penerbangan Domestik. Bisa dilihat dihttp://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=1139&encodurl=06%2F07%2F10%2C12%3A06%3A32. Kunjunganterakhir tanggal 7 Juni 2010.

Universitas Indonesia

165

15. Menghukum Terlapor I, PT Garuda Indonesia

(Persero) membayar ganti rugi sebesar Rp.

162.000.000.000,- (seratus enam puluh dua milyar

rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai

setoran pendapatan ganti rugi pelanggaran di

bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi

Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

dengan kode penerimaan 423755;

16. Menghukum Terlapor II, PT Sriwijaya Air

membayar ganti rugi sebesar Rp. 60.000.000.000,-

(enam puluh milyar rupiah) yang harus disetor ke

Kas Negara sebagai setoran pendapatan ganti rugi

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan

Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui

bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755;

17. Menghukum Terlapor III, PT Merpati Nusantara

Airlines (Persero) membayar ganti rugi sebesar Rp.

53.000.000.000,- (lima puluh tiga milyar rupiah)

yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan ganti rugi pelanggaran di bidang

persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan

kode penerimaan 423755

...”

Permasalahan utama adalah apakah ada dasar hukum

bagi KPPU untuk menentukan hukuman ganti rugi perdata?

Ganti rugi perdata merupakan hak orang-perseorangan

Universitas Indonesia

166

atau badan hukum dalam hubungan perdata yaitu antara

orang-perseorangan atau badan hukum dengan orang

perseorangan atau badan hukum. KPPU mewakili negara

Indonesia dalam mengawasi persaingan usaha di

Indonesia. Oleh karena itu, KPPU hanya berwenang

memutuskan sanksi denda administrasi, yaitu maksimal

Rp. 25 milyar, berdasarkan pasal 47 ayat (2) g UU

No.5/1999.

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

menggantikan kerugian tersebut.”

Unsur paling penting yang harus diperhatikan adalah

“membawa kerugian bagi orang tersebut” yang artinya

orang yang berhak atas ganti rugi adalah orang yang

dirugikan. Apakah KPPU dirugikan (dalam arti Pasal 1365

KUHPerdata) dalam kasus fuel surcharge maskapai

penerbangan? Jika argumen KPPU adalah bahwa KPPU

mewakili para konsumen melakukan class action untuk

menggugat industri jasa penerbangan atas sejumlah ganti

rugi, apa dasar hukumnya dan apakah ada prosedur dimana

uang ganti rugi tersebut akan didistribusikan kepada

para konsumen yang telah dirugikan menurut KPPU?

Bagaimana cara membagi uang tersebut kepada konsumen

dan cara menghitung porsi masing-masing individu?

Universitas Indonesia

167

4.5. Kaitan Antara Penentuan Sanksi Pidana Penjara,

Pidana Denda, dan/atau Ganti Rugi Perdata Dalam

Strategi Prisoner’s Dilemma Dengan Prinsip Ultimum

Remedium

Tarik-menarik sanksi pidana penjara, pidana denda,

dan/atau ganti rugi perdata dalam strategi prisoner’s

dilemma mempengaruhi cara kita memandang prinsip

ultimum remedium. Pada dasarnya, prinsip ultimum

remedium menyatakan bahwa jika suatu masalah (konflik)

bisa diselesaikan dengan penyelesaian di luar

penyelesaian pidana, maka cara itu harus ditempuh lebih

dahulu sebelum pendekatan sanksi pidana digunakan.

Dengan kata lain, jika penyelesaian lain (misalnya

perdata) lebih efektif dan/atau efisien daripada

penyelesaian/sanksi pidana, maka penyelesaian lain

(misalnya perdata) harus ditempuh dulu sebelum

penyelesaian/sanksi pidana diterapkan. Strategi

prisoner’s dilemma (seperti yang dijelaskan dalam butir

4.1 dan 4.2) digunakan untuk mengukur apakah

penyelesaian perdata, dalam konteks kartel, lebih

efektif dan/atau efisien daripada penyelesaian/sanksi

pidana penjara.

Nilai filsafat yang terkandung dalam prinsip

ultimum remedium adalah bahwa sanksi pidana

berorientasi pada filsafat utilitarianisme, yaitu

filsafat yang menekankan pada manfaat dari suatu

Universitas Indonesia

168

tindakan, sehingga suatu sanksi pidana harus membawa

manfaat yang lebih daripada sanksi lainnya jika sanksi

pidana tersebut diterapkan.

Alasan mengapa sanksi pidana dipandang efektif

dalam hal fungsi hukum pidana untuk menimbulkan efek

jera (deterrent) dan kelumpuhan (incapacitation) adalah

karena sanksi pidana merupakan sanksi yang paling berat

karena merenggut hak asasi manusia atas kemerdekaan

dirinya (tubuhnya). Oleh karena itu, sanksi pidana

dianggap lebih menakutkan daripada sanksi lain,

misalnya pidana denda, sanksi perdata atau

administrasi.

Asumsi di atas tidak lagi tepat (kontekstual) jika

dikaitkan dengan kartel. Pertama, penyelesaian di luar

pidana belum tentu merupakan bentuk sanksi yang paling

efektif karena bagi sebagian makhluk ekonomi dan

rationally self-interest, sanksi perdata atau denda lebih

memberatkan daripada sanksi pidana penjara. Dengan kata

lain, ada orang yang lebih memilih untuk dimasukkan ke

penjara daripada harus kehilangan sejumlah uang

tertentu. Raison d’être dari hukuman pidana denda atau

ganti rugi adalah karena korporasi merupakan makhluk

(spesies) ekonomi dengan tujuan utama dan satu-satunya:

keuntungan, maka yang mendera (menyakiti), melumpuhkan

(incapacitate), dan membuat jera korporasi adalah

kehilangan uang. Terkait alasan melumpuhkan, korporasi

beroperasi dengan menggunakan uang (atau modal atau

Universitas Indonesia

169

kapital) sebagai alat untuk melakukan kejahatan atau

pelanggaran. (incapacitate), alasan kejahatan korporasi

seperti kartel disebut sebagai white collar crime adalah

karena kemampuan keuangannya yang besar sehingga

korporasi mampu menciptakan trik dan strategi yang

sangat kompleks untuk menghindari jeratan hukum

sehingga otoritas (pihak berwajib) sangat kewalahan

dalam mendeteksi maupun menginvestigasi kejahatan

korporasi tersebut. Oleh karena itu, kehilangan uang

akan melumpuhkan korporasi dalam melakukan kejahatan.

Kedua, prinsip utiliritanisme tidak tercermin dalam

sanksi penjara atau denda semata tanpa mempertimbangkan

fakta, situasi, dan kondisi yang ada dalam kasus

tertentu. Dikarenakan setiap orang mempunyai tingkat

ketakutan yang berbeda atas sanksi pidana penjara dan

perdata/denda, maka sanksi yang dikenakan atas

kejahatan kartel juga harus fleksibel mengikuti rasa

takut yang subyektif tersebut.

Kekeliruan hukum persaingan Indonesia adalah dengan

kaku menerapkan sanksi denda sebagai metode sanksi

paling efektif berdasarkan pasal 47 dan 48 UU No.5/1999

karena mengasumsikan bahwa pelaku usaha lebih takut

akan sanksi pidana denda daripada penjara (dijelaskan

dengan lebih rinci di poin 4.4).

Universitas Indonesia

170

BAB VPENUTUP

5.1 Simpulan

Beberapa simpulan dari penjelasan Skripsi ini

adalah sebagai berikut.

1. Dasar kriminalisasi/pemidanaan kartel yang diatur

oleh Pasal 11 juncto Pasal 48 UU No. 5/1999 masih

tidak jelas, tidak konsisten dengan asas-asas hukum

pidana yang diatur dalam KUHP, serta tidak pernah

dikaji dengan baik sehingga baik secara normatif

maupun praktik terjadi kesemrawutan.

2. Suatu perbuatan dikriminalisasi karena dampak buruk

(harm dan damage) yang ditimbulkan. Harm meliputi

nilai moral dan/atau sosial yang tidak bisa diukur

dengan kerugian finansial semata. Sementara damage

meliputi kerugian yang bersifat finansial (monetary

compensation). Selain itu, suatu perbuatan

dikriminalisasi karena menyebabkan rasa tidak

tenteram dan tidak aman dalam masyarakat. Secara

umum, kartel merupakan kegiatan anti persaingan

usaha yang dilarang paling keras oleh OECD. RIA

Selandia Baru 2010 tentang kartel menjelaskan bahwa

kartel dikrimnalisasi karena (i) harm dan damage

besar yang ditimbulkannya terutama terhadap ekonomi

dan konsumen, hilangnya efisiensi ekonomi akibat

kartel, dan kemiripan analogis dan asosiatif dengan

Universitas Indonesia

171

pencurian yang merupakan hard-core of criminality. Lebih

buruk lagi, kartel merupakan white collar-crime yang

sangat sulit dideteksi apalagi ditangkap serta

menimbulkan kerugian uang yang besar bukan hanya

terhadap konsumen sebagai orang-perseorangan, namun

juga merenggut kebebasan ekonomi konsumen, hak

penghidupan yang layak dari pelaku usaha lain,

serta kesejahteraan umum. Anne K. Bingman (otoritas

persaingan usaha Amerika Serikat) menyatakan bahwa

“pelaku yang melakukan tender kolusif (salah satu

bentuk kartel), membagi pasar atau menetapkan harga

mengambil uang dari kantong konsumen Amerika

Serikat dan mencuri uang dari ‘mesin kasir’ bisnis

Amerika, dan ini sama saja dengan merampok sebuah

rumah di malam hari dengan masuk secara diam-diam

dalam kegelapan.”

3. Strategi prisoner’s dilemma menggambarkan tarik-menarik

antara penentuan sanksi pidana penjara, denda, dan

ganti rugi perdata atas kartel. Strategi ini sangat

berguna dalam menerapkan asas ultimum remedium

karena mampu mengukur tingkat efektifitas dan

efisiensi sanksi sehingga otoritas persaingan usaha

maupun legislator mampu menentukan dengan timbangan

yang lebih akurat sanksi mana yang dipakai untuk

menangani kartel. Otoritas Amerika Serikat mengukur

tingkat efektifitas dan efisiensi sanksi dengan

menerapkan strategi prisoner’s dilemma. Strategi ini

Universitas Indonesia

172

mampu mengukur rasa takut dan insentif pelaku

kartel sehingga bisa ditentukan secara lebih akurat

sanksi mana yang lebih efektik dan efisien untuk

menangani kartel.

5.2 Saran

1. Hendaknya legislator melakukan kajian yang mendalam

dan ekstensif tentang dampak buruk (harm dan

damage) kartel sebelum mengkriminalisasikan

perbuatan tersebut. Kajian tentang dasar normatif

dan positivistik (aktual dan diukur berdasarkan

reaksi sosial) menciptakan hukum yang berwibawa dan

dipatuhi masyarakat. Selain itu, perbedaan denda

pidana (pasal 48) dan denda administrasi (pasal 47)

harus dinyatakan dengan tegas dalam UU No.5/1999.

Dalam menjatuhkan hukuman, KPPU harus menjelaskan

secara rinci dan tegas apakah denda pidana atau

administrasi yang dijatuhkan dalam perkara

persaingan usaha. Sebagai otoritas persaingan

usaha, KPPU mempunyai peran yang penting dalam

menegakkan hukum persaingan usaha. Oleh karena itu,

KPPU harus memberikan pertimbangan hukum yang jelas

tentang perhitungan jumlah sanksi denda.

2. Strategi prisoner’s dilemma bisa diterapkan KPPU untuk

menangani perkara kartel secara lebih efektif dan

efisien. Selain itu, strategi tersebut juga bisa

membantu KPPU dalam mengukur efektifitas dan

Universitas Indonesia

173

efisiensi sanksi pidana penjara, pidana, dan ganti

rugi perdata sehingga KPPU mampu menentukan kapan

sanksi pidana penjara harus diterapkan dan berapa

lama durasi hukuman penjaranya.

3. Legislator harus memasukkan ketentuan sebagai

berikut dalam UU No.5/1999 untuk menerapkan

strategi prisoner’s dilemma. Pertama, ketentuan tentang

amnesti bagi pelaku usaha pertama yang mengaku

terlibat dalam kartel dan membantu KPPU dalam

proses investigasi kartel yaitu dengan tidak

dituntutnya pelaku kartel atas pertanggungjawaban

pidana. Kedua, ketentuan yang menyatakan bahwa

pengakuan keterlibatan kartel secara otomatis

membuktikan kesalahan pelaku kartel sehingga pihak

yang merasa dirugikan secara perdata (misalnya

konsumen) tidak perlu unsur kesalahan/melawan hukum

di pengadilan perdata. Ketiga, ketentuan tentang

fleksibilitas penjatuhan hukuman oleh KPPU baik

sanksi denda pidana, ganti rugi perdata, maupun

sanksi pidana penjara. Keempat, ketentuan tentang

besaran denda administrasi, ganti rugi perdata,

sanksi pidana denda maupun sanksi pidana penjara

dengan mempertimbangkan faktor tingkat efek jera

dari masing-masing sanksi.

4.

Universitas Indonesia

174

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku dan Jurnal

Allen, Michael J. Textbook on Criminal Law. Edisi ke-9. (Newyork: Oxford University Press,2007).

Ancel, Marc. Social Defence. 1965 dalam Arief, BardaNawawi. Bunga Rampai Kebijakan HukumPidana.Cetakan ke-II. (Jakarta: Citra AdityaBakti, 2002).

Andersen, William R. and C. Paul Rogers III.Antitrust Law: Policy and Practice. Edisi ke-3.(1999).

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan HukumPidana.Cetakan ke-II. (Jakarta: Citra AdityaBakti, 2002).

Ashworth, A. Principles of Criminal Law. Edisi ke-2.(Oxford: Clarendon, 1995).

Baker, Donald I. The Use of Criminal Law Remedies to Deterand Punish Cartels and Bid-Rigging. 69 GeorgetownWashington Law Review. 693, 701 (2001).seperti dikutip Christopher R. Leslie.Symposium The Antitrust Enterprise:Principle and Execution. Antitrust Amnesty,Game Theory, and Cartel Stability, Journal of CorporationLaw. 31 J. Corp. L. 453. 2006.

Bemmelen, J M. Van. Criminoligie, leerboek dermisdaadkunde. Cetakan ke-4. (Zwolle, 1958)

Universitas Indonesia

175

dalam Roeslan Saleh Dari Lembaran KepustakaanHukum Pidana. (Sinar Grafika: 1988).

Bianchi, H. Stigmatisering. Deventer. 1971 dalamRoeslan Saleh Dari Lembaran Kepustakaan HukumPidana. (Sinar Grafika: 1988).

Brodeur, Jean-Paul dan Geneviève Ouellet. What Isa Crime? A Secular Answer. (Canada: UBC Press,2004).

Cross, H. A Theory of Criminal Justice. (1979).

Devlin, P. The Enforcement of Morals. (Oxford: OUP,1965).

Durkheim, Émile. Deux lois de l’évolution pénale L’annéesociologique. (1899-1900). Dalam Jean-PaulBrodeur dan Geneviève Ouellet. What Is aCrime? A Secular Answer. (Canada: UBC Press,2004).

Fletcher, Daniel J. The Lure of Leniency: MaximizingCartel Deterrence in Light of La Roche V. Empagran andthe Antitrust Criminal Penalty Enhancement and ReformAct of 2004. Transnational Law andContemporary Problems, University of IowaCollege of Law. 2005. 15 Transnat'l L. &Contemp. Probs. 341.

Garofalo, Barone Raffaele. Criminology (1885).Disadurkan Montclair (New Jersey: PattersonSmith Reprints, 1968).

Ginsburg, Tom & Richard H. McAdams. Adjudicating inAnarchy: An Expressive Theory of International DisputeResolution. 45 Wm. & Mary Law Review. 1229,1245-49 (2004) seperti dikutip dalamChristopher R. Leslie. Symposium TheAntitrust Enterprise: Principle andExecution. Antitrust Amnesty, Game Theory, and

Universitas Indonesia

176

Cartel Stability, Journal of Corporation Law. 31 J.Corp. L. 453. 2006.

Hafild, Emmy, Daris Furqon, et.al. Addicted to Loan:The World Bank Foot Prints in Indonesia. WALHI(Indonesian Forum for Environment). Lihathttp://www.asienhaus.de/public/archiv/WB-and_Indonesia_Walhi_paper.pdf. Kunjunganterakhir 22 Juni 2010.

Hamzah, A. Hukum Pidana Ekonomi. Edisi Revisi.(Jakarta: Erlangga,1996).

Hansen, Knud, Peter W. Heermann, et.al. KomentarHukum Undang-Undang tentang Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Edisikedua (Jakarta: Deutsche Gesellschaft fürTechnische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH danPenerbit Katalis, 2002)

Harrision, Glenn dan Matthew Bell. RecentEnchancements in Antitrust Criminal Enforcement: BiggerSticks and Sweeter Carrots. Houston Business andTax Law Journal. 2006. 6 Hous. Bus. & Tax.L.J. 207.

Hart HLA. Law, Liberty and Morality. (Oxford: OUP,1963).

Hoefnagels, G. Peter. The Other Side of Criminology.1969 Arief, Barda Nawawi. Bunga RampaiKebijakan Hukum Pidana.Cetakan ke-II. (Jakarta:Citra Aditya Bakti, 2002).

Kobayashi, Bruce H. Antitrust, Agency, and Amnesty: AnEconomic Analysis of the Criminal Enforcement of theAntirust Laws Against Corporations. 69 GeorgeWashington Law Review. 715 (2001) sepertiyang dikutip dalam Daniel J. Fletcher. TheLure of Leniency: Maximizing Cartel Deterrence in Light ofLa Roche V. Empagran and the Antitrust Criminal Penalty

Universitas Indonesia

177

Enhancement and Reform Act of 2004. TransnationalLaw and Contemporary Problems, Universityof Iowa College of Law. 2005. 15 Transnat'lL. & Contemp. Probs. 341.

Lande, Robert H. Why Antitrust Damage Levels Should BeRaised. 16 Loy. Consumer Law Review. 329(2004) seperti dikutip dalam Christopher R.Leslie. Symposium The Antitrust Enterprise:Principle and Execution. Antitrust Amnesty,Game Theory, and Cartel Stability, Journal of CorporationLaw. 31 J. Corp. L. 453. 2006.

Langmeyer. Inleiding tot de studie van de wijsbegeerte desrechts. 2 edruk dalam Roeslan Saleh DariLembaran Kepustakaan Hukum Pidana. SinarGrafika (1988).

Leslie, Christopher R. Symposium The AntitrustEnterprise: Principle and Execution.Antitrust Amnesty, Game Theory, and Cartel Stability,Journal of Corporation Law. 31 J. Corp. L. 453.2006.

Leslie, Christopher R. Trust, Distrust, and Antitrust. 82Texas Law Review. 643-45 (2004).

Lubis, Andi Fahmi, Anna Maria Tri Anggraini,et.al. Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks danKonteks. (Indonesia: Deutsche Gesellschaftfür Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH,2009).

Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan PenulisanHukum. (Jakarta: Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia, 2005).

Mason, Christopher. The Art of the Steal. 199 (2004)seperti dikutip dalam, Christopher R.Leslie. Symposium The Antitrust Enterprise:Principle and Execution. Antitrust Amnesty,

Universitas Indonesia

178

Game Theory, and Cartel Stability, Journal of CorporationLaw. 31 J. Corp. L. 453. 2006.

Molan, Mike, Denis Lanser, dan Duncan Bloy.Principles of Criminal Law. Edisi ke-4. (BritaniaRaya: Cavendish Publishing, 2000).

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. Mengkritisi RUUKUHPidana dalam perspektif HAM, Konsultasi Publik “.Perlindungan HAM Melalui Reformasi KUHP. ”Hotel Santika Slipi Jakarta, 3 - 4 Juli2007. Kerjasama KOMNAS HAM dan AliansiNasional Reformasi Indonesia.

Ohanga, Manatu. Cartel Criminalisation. Ministry of EconomicDevelopment, Discussion Document for Regulatory ImpactAssessment. (Ministry of EconomicDevelopment: New Zealand, January 2010).

Packer, Herbert. The Limits of the Criminal Sanction. (CA:Stanford UP, 1968).

Saleh, Roeslan. Dari Lembaran Kepustakaan HukumPidana. Sinar Grafika (1988).

Rizer, George. Sosiologi: Ilmu PengetahuanBerparadigma Ganda. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) seperti dikutipdalam Eva Achjani Zulfa Keadilan Restoratif diIndonesia (Studi tentang Kemungkinan PenerapanPendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek PenegakanHukum Pidana). Ringkasan Disertasi.(Jakarta: Universitas Indonesia, 2009).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum.(Jakarta: UI Press, 2005).

Stephen. A History of Criminal Law of England. (1883).

Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat(Bandung: Sinar Baru, 1983) dalam Arief,

Universitas Indonesia

179

Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan HukumPidana.Cetakan ke-II. (Jakarta: Citra AdityaBakti, 2002).

Tappan, Paul W. Crime, Justice and Correction. (NewYork: McGraw-Hill Series in Sociology,1960).

Williams ,Glanville. The Definition of Crime. DalamCurrent Legal Problems oleh George W. Keeton danGeorge Schwarzenberger. University College.vol. 8, (London: Stevens and Sons, 1955).

Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif di Indonesia (Studitentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan KeadilanRestoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana).Ringkasan Disertasi. (Jakarta: UniversitasIndonesia, 2009).

II. Hasil Kajian atau Laporan

OECD 2006. Hard Core Cartels – Third Report on theImplementation of the 1998 OECD Recommendationdalam OECD Journal of Competition Law and Policy.Vol 8.

OECD Recommendation of the Council Concerning Effective ActionAgainst Hard Core Cartels (diadopsi oleh Dewanpada rapat sesi 921 pada tanggal 25 Maret1998 [C/M (98) 7/PROV]).

Summart Report. Resource Material Series No. 7.UNAGERI. 1974

The Wolfenden Committee. Report of the Committee ofHomosexual Offences and Prostitution (1957).

III. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Universitas Indonesia

180

KPPU, Keputusan KPPU No. 3 tahun 2009 tentangPedoman Pelaksana Pasal 1 ayat 10 UU No. 5Tahun 1999 tentang Pasar Bersangkutan.

IV. Kamus

Garner, Bryan A. Blacks Law Dictionary. Edisi ke-8.(Thompson: United States, 1999).

V. Seminar atau Workshop

Bingman, Anne K. dan Gary R. Spratling. CriminalAntitrust Enforcement dalam Criminal Antitrust Law andProcedure WorkshopABA Section of Antitrust. HyattRegency Hotel Dallas. Texas. February 23,1995. Lihat dihttp://www.justice.gov/atr/public/speeches/0103.pdf (kunjungan terakhir 25 Mei 2010).

Blochm Robert E., Program Amnesti The Antitrust Division.Dipresentasikan pada the American BarAssociation's Section of Antitrust Law's Criminal AntitrustLaw and Procedure Workshop (Feb. 23-24, 1995).Lihat di http://www.mayerbrownrowe.com/publications/article.asp?id=841&nid=6 (kunjungan terakhir 29Mei 2010).

Hammond, Scott D. Direktur Criminal EnforcementAntitrust Division, Department of JusticeAmerika Serikat, A Summary Overview of theAntitrust Division's Criminal Enforcement Program.Dipresentasikan pada the New York State BarAssociation 1 (Jan. 23, 2003). Lihat dihttp://www.justice.gov/atr/public/speeches/200686.htm (kunjungan terakhir 30 Mei2010).

Universitas Indonesia

181

Hammond, Scott D. Direktur Criminal EnforcementAntitrust Division, Department of JusticeAmerika Serikat. Detecting and Deterring CartelActivity Through An Effective Leniency Program.Dipresentasikan pada the International Workshopon Cartels 10 (Nov. 21-22, 2000). Lihat dihttp://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/9928.pdf (kunjungan terakhir 30 Mei 2010).

Pate, R. Hewitt. Anti-cartel Enforcement: The Core AntitrustMission. Disampaikan kepada the British Institute ofInternational and Comparative Law pada Third AnnualConference on International and ComparativeCompetition Law (May 16, 2003). Lihat:http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/201199.htm (kunjungan terakhir tanggal 20 Mei2010).

Spratling, Gary R, Asisten Deputi AttorneyGeneral, U.S. Department of Justice, Are theRecent Titanic Fines in Antitrust Cases Just the Tip of theIceberg? Dipresentasikan pada the American BarAssociation's Criminal Justice Section's Twelfth AnnualNational Institute tentang White Collar Crime (Mar.6, 1998). Lihat dihttp://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/212581.pdf (kunjungan terakhir 29 Mei 2010).

Spratling, Gary R. Asisten Deputi AttorneyGeneral Antitrust Division, Deparment ofJustice Amerika Serikat. Making Companies AnOffer They Shouldn't Refuse: The Antitrust Division'sCorporate Leniency Policy-An Update.Dipresentasikan pada the Bar Association of theDistrict of Columbia's 35th Annual Symposium onAssociations and Antitrust 3. (Feb. 16, 1999).Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/2247.pdf.(kunjungan terakhir 30 Mei 2010).

Universitas Indonesia

182

Spratling, Gary R. Asisten Deputi AttorneyGeneral, U.S. Department of Justice. TheTrend Towards Higher Corporate Fines: It's a Whole NewBall Game. Ddipresentasikan pada the AmericanBar Association's Criminal Justice Section's EleventhAnnual National Institute tentang White Collar Crime(Mar. 7, 1997). Lihat dihttp://www.usdoj.gov/atr/public/speeches/4011.pdf (kunjungan terakhir 29 Mei 2010).

VI. Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan

Brief for Economists Joseph E. Stiglitz dan Peter R. Orszag sebagaiAmicus Curiae Supporting Respondents dalam kasusF. Hoffman-Laroche, Ltd. v. Empagran, 124S.Ct. 2349 (2004) (No. 03-724) seperti yangdikutip Daniel J. Fletcher. The Lure ofLeniency: Maximizing Cartel Deterrence in Light of LaRoche V. Empagran and the Antitrust Criminal PenaltyEnhancement and Reform Act of 2004. TransnationalLaw and Contemporary Problems, Universityof Iowa College of Law. 2005. 15 Transnat'lL. & Contemp. Probs. 341.

Corporate Leniency Policy (1993). Lihat di http://www.usdoj.gov/atr/public/guidelines/0091.htm (kunjungan terakhir 30 Mei 2010).

Director of Public Prosecutions v. Nock and Another. House ofLords AC 979 (1978).

Hoffman-Laroche, Ltd. v. Empagran. 124 Supreme Court2359, 2363 (2004).

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Universitas Indonesia

183

Indonesia. Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1999 tentangLarangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat.

Pfizer, Inc. v. Gov't of India, 434 U.S. 308 (1978).

Title 15 United States Code § 1 (2000).

Trade Practices Amendment (Cartel Conduct and other Measures)Bill 2008.

U.S. Sentencing Guidelines Manual § 2B (2004).

VII. Berita online

http://www.detiknews.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-buah-kakao-nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari. Kunjungan terakhir 7 Juni 2010.

Pembacaan Putusan Perkara Industri Minyak GorengSawit di Indonesia. Bisa dilihat dihttp://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=1140&encodurl=06%2F07%2F10%2C12%3A06%3A32. Kunjungan terakhir tanggal 7Juni 2010.

Pembacaan Putusan Perkara Penetapan Harga FuelSurcharge dalam Industri Jasa PenerbanganDomestik. Bisa dilihat dihttp://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid=1139&encodurl=06%2F07%2F10%2C12%3A06%3A32. Kunjungan terakhir tanggal 7Juni 2010.

Universitas Indonesia