Enteric pathogens associated with diarrhea in children in Fayoum, Egypt

22
BAB I PENDAHULUAN Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang sempurna. Selain di ciptakan sebagai hablumminallah juga sebagai hablumminannas yaitu sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap aktivitas yang dilakukan tentu melibatkan orang lain, dalam hal ini Allah swt membuat peraturan-peraturan yang harus di ikuti dan di taati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia, Allah mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik. Agama menganjurkan kepada umat muslim untuk saling menolong saudaranya, misalnya dalam hal bermuamalah yaitu dengan memberikan pinjaman kepada saudaranya yang membutuhkan, yang mana pinjam meminjam tersebut adalah objek pembahasan makalah ini, sehingga dapat dipahami hakikat disyariatkannya ariyah dan qordh. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial. 1

Transcript of Enteric pathogens associated with diarrhea in children in Fayoum, Egypt

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang sempurna.

Selain di ciptakan sebagai hablumminallah juga sebagai

hablumminannas yaitu sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat

hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

Setiap aktivitas yang dilakukan tentu melibatkan orang

lain, dalam hal ini Allah swt membuat peraturan-peraturan yang

harus di ikuti dan di taati dalam hidup bermasyarakat untuk

menjaga kepentingan manusia, Allah mengatur hubungan manusia

dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat

keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.

Agama menganjurkan kepada umat muslim untuk saling menolong

saudaranya, misalnya dalam hal bermuamalah yaitu dengan

memberikan pinjaman kepada saudaranya yang membutuhkan, yang mana

pinjam meminjam tersebut adalah objek pembahasan makalah ini,

sehingga dapat dipahami hakikat disyariatkannya ariyah dan

qordh.

Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat

ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau

dengan kata lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa

syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur

fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad

tolong menolong dan bukan transaksi komersial.

1

BAB II

PEMBAHASAN

I. ARIYAH

A. Pengertian ‘Ariyah

Menurut etimologi, ‘ariyah atau pinjam meminjam ialah memberi

manfaat tanpa imbalan, sedangkan menurut terminology para ulama’

berbeda pendapat:1

1)Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “memiliki manfaat secara

Cuma-Cuma.”

2)Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu

tertentu dengan tanpa imbalan.”

3)Menurut Syafiiyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat

dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk

1 Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Iman), hal 654

2

dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat

dikembalikan kepada pemiliknya.”

4)Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah: “kebolehan memanfaatkan

suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang

lainnya.”

5)Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang

diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di

ganti

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang

kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan

sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.

B. Dasar Hukum ‘Ariyah

Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah sunnah. Sedangkan

menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa

ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya

dari Nash Al Quran ialah:

(#qqqqqqqqq?qq…….. ’q?qq qqŽq9q9q# 3“qqq)q9q#qq ( Ÿqqq (#qqqqqqqqq? ’q?qq qqqqq}q#

qqqqqq‰qqq9q#qq 4 (#qq)¨?q#qq ©!q# ( ¨qq) ©!q# q‰ƒq‰q© q>qq)qqq9q#qArtinya: “…..tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat

dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,

Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya” (Al Maidah: 2)

* ¨qq) ©!q# qqq.qqqqqqqƒ qq& (#q–Šqqq? qq»qq»qqq{q# #’q<q) qqqq=÷qq& #qŒq)qq

qqqqqq3qq qq÷qq/ q¨q¨q9q# qq& (#qqqq3qqqq qqq‰qqq9qqq/ 4 ¨qq) ©!q# qqqqqq /q3qqqqqƒ qqqqq/

3 ¨qq) ©!q# qq%q. qqq‹qqqœ #qŽqqqq/ qqqq   3

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan

amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)

apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan

dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-

baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi

Maha melihat.”

Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-

Hadis, ialah:

“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (Riwayat

Abu Daud)

“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar

utang adalah zalim (berbuat aniaya)” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

C. Rukun Dan Syarat ‘Ariyah

Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijab qabul,

ijab qabul ini tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan

menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan

boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan.

Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:2

1) Kalimat meminjamkan (lafazh), seperti seseorang berkata,

“saya pinjamkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima

berkata “saya mengaku meminjam benda anu kepada kamu.”

Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda

dalam jual beli.

2) Mu’ir yaitu orang yang meminjamkan (berpiutang) dan

Mus’tair yaitu orang yang menerima utang.

2 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997),cet II, hlm 38

4

Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak

menyerahkannya,

syarat-syarat bagi mus’tair adalah:

- baligh

- berakal

- orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau

orang yang berada dibawah perlindungan, seperti

pemboros.

3) Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan

dua hal, yaitu:

Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak

syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti

meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat

digunakan untuk menyimpan padi.

Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang

pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara,

seperti meminjam benda-benda najis.

D. Hukum Meminjam Pinjaman Dan Menyewakannya

Abu Hanifah dan Maliki berpendapat bahwa peminjam boleh

meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun

pemiliknya belum mengizinkan jika penggunaanya untuk hal-hal yang

tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab

Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa

saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung,

kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut

5

Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik

barang.3

Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman

tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka

pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara

keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik  meminta jaminan

kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu

rusak.

E. Tanggung Jawab Seorang Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman,

kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik

karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.

Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan

Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw.

Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga

ia mengambilkannya”.

Sementara para pengikut hanafiyah dan Malikiyah berpendapat

bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya,

kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw.

Bersabda: “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban

mengganti kerusakan” (Dikeluarkan sunan Daruquthni).  

II. QORDH

A. Pengertian Qardh

Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong).

Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong

3 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalampandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif, 2009), hlm 348-349

6

sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang. Adapun

definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang

yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan

gantinya.

Pengertian Qardh menurut istilah, diantara lain dikemukakan oleh

ulama Hanafiyah:

“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang

memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. ”

Utang piutang mempunyai kemiripan dengan pinjam-meminjam

dari segi bahwa yang dimiliki hanya manfaatnya dan pada waktunya

dikembalikan kepada pemilik dan juga mempunyai kemiripan dengan

pembayaan harga pembelian pada waktu yang ditangguhkan dan punya

hubungan pula dengan muamalah riba. Oleh karena itu, perlu

dijelaskan definisi atau batasan dari utang-piutang tersebut.

Definisi utang-piutang tersebut yang lebih mendekat pada

pengertian yang mudah dipahami adalah : “penyerahan harta

berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang

sama”. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan

pemilikan dari yang punya.4

B. Landasan Hukum Qardh

Untuk maksud utang-piutang dalam terminologi fiqh digunakan

dua istilah yaitu Qardhu dan Dayn kedua lafaz ini terdapat

dalam Al-Quran dan hadits Nabi dengan maksud yang sama yaitu

utang-piutang .Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang

4 Antonio, Muhammad Syafi’i. “Bank Syariah dari Teori kePraktik”. (Depok: GemaInsani, 2001).hal. 131.

7

telah disyari’atkan dalam islam. Hukumnya adalah mubah atau

boleh.

Al-Qardhu (memberikan utang) merupakan kebajikan yang

membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan

membantunya dalam memenuhi kebutuhan. Sedangkan, mengutang

tidaklah terhitung sebagai meminta-minta yang makruh, karena

Rasulullah sendiri pernah berutang kepada orang lain.

Memberi Utang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib,

misalnya mengutangi orang yang terlantar atau orang yang sangat

membutuhkannya. Memang tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu

pekerjaan yang amat sangat besar faidahnya terhadap masyarakat,

karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan

pertolongan orang lain.

Qardh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada al-Qur’an, as-

Sunah dan Ijma’.5

1. Al-Qur’an

Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang

tersebut dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya pada surat al-

Muzammil ayat 20 :

Artinya:

“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat serta beri utanglah

Allah dengan utang yang baik.”

5 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 276.8

Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-

Baqarah ayat 282 :

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka

tuliskanlah.”

Firman Allah Swt:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. ”(Qs. Al-Maidah: 2)

2. Al-Sunnah

Memberi utang adalah disunahkan, dan orang yang melakukannya

mendapat pahala yang besar. Rasulullah bersabda:

“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang

muslimin dua kali, kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu

kali”(HR. Ibnu Majah)

Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada

bersedekah, karena seseorang tidak memberikan utang kecuali

kepada orang yang membutuhkannya.

Dasar dalam hadits Nabi diantaranya adalah yang disampaikan

oleh abu hurairah menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang

berbunyi :

“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia

bermaksud untuk membayarnya, Allah akan membayarkannya. Barang

9

siapa yang bermaksud mengambilnya dam melenyapkannya, Allah akan

melenyapkannya.”

Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-

Hakim ucapan Nabi yang bunyinya :

“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia

membayar hutangnya.”

Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim

di dunia ini, mnaka Allah akan meringankan salah satu dari

kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.”

“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong

saudaranya.” (Riwayat Muslim).

3. Ijma’

Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam.

Hukum Qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah

bagi muqtarid, berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu

Majah di atas. Juga ada hadits lainnya:

“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda,

barang siapa melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan

dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari

kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran

kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi

kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan barang siapa

menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi (aib) nya didunia

dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-NYA, selama

hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).

10

C. Rukun dan Syarat Qardh

Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan

syaratnya. Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang

bermaksud melepaskan uang untuk sementara dengan cara yang

menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang:6

1.Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini

kepada engkau.” Jawab yang berutang,”saya mengaku berutang

kepada engkau.”

2.Yang berpiutang dan yang berutang.

3.Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung,

boleh diutangkan, begitu pula mengutangkan hewan, maka

dibayar dengan jenis hewan yang sama.

Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut

adalah orang yang berutang, orang yang memberi utang dan objek

utang-piutang yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan

tenggang waktu pembayaran.

Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah

orang yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat

kebajikan, yaitu telah dewasa, berakal sehat dan berbuat dengan

sendirinya tanpa paksaan. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan

objek yaitu uang adalah jenis nilainya, milik sempurna dari yang

memberi utang dan dapat diserahkan pada waktu akad. Sedangkan

yang menyangkut dengan tenggang waktu harus jelas dan dalam masa

itu uang yang diserahkan telah dapat dimanfaatkan.

6 Ibid., hal. 278.11

Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi

utang adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang

wali (pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari

harta anak yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga

diketahuinya jumlah dan cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar

dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan

orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu

dan tanpa menunda-nundanya. Qardh dipandang sah apabila dilakukan

terhadap barang-barang yang dibolehkan syara’.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang Qardh terhadap

sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan Qardh

agar mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak sebab

qarad dimaksudkan sebagai akad kasih sayang, kemanfaatan, atau

mendekatkan hubungan kekeluargaan. Selain itu, Rosulullah Saw.

pun melarang. Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau lebih

dimaksudkan untuk mengambil yang lebih baik, Qardh dibolehkan.

Tidak dimakruhkan oleh muqrid atau mengambilnya, sebab Rasulullah

Saw. pernah memberikan anak onta yang lebih baik kepada seorang

laki-laki dari pada unta yang diambil beliau Saw.

Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa

Qardh dibolehkan dengan dua syarat:

a.Tidak menjurus pada suatu manfaat

b.Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli

D. Pelaksanaan Qardh

1. Adanya Tambahan

12

Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan

dari utang yang ia berikan ketika mengembalikannya. Para

ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan kepada

pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya

tambahan, kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah

riba.7

Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan

yang diterima dari pemiliknya; tidak boleh berlebih karena

kelebihan pembayaran itu menjadikan transaksi ini menjadi

riba yang diharamkan.

Adapun jika peminjam memberikan tambahan dari dirinya

sendiri dan berangkat dari keikhlasannya, bukan karena

syarat yang ditetapkan oleh pemberi utang, maka pemberi

utang boleh menerimanya. Karena ini terhitung sebagai husnul

qadha (membayar utang dengan baik). Disamping itu,

Rasulullah pernah meminjam sesuatu kepada (abu) Bakar, lalu

beliau melunasinya dengan lebih baik. Dan beliau bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam

mengembalikan pinjaman.”

2.Hukum (Ketetapan) Qardh

Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi

tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian,

jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram gandum

misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus

memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta

7 Ghazaly, Abdul Rahman. “Fiqh Muamalah”. (Jakarta: Kencana Pernada MediaGroup), 2010. hal. 52

13

zatnya. Jika muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga

benda sejenisnya, walaupun Qardh (barang yang ditukarkan)

masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak

memiliki Qardh selama Qardh masih ada. Ulama Malikiyah

berpendapat bahwa ketetapan Qardh, sebagaimana terjadi pada

akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum

ada penyerahan dan pemegangan: Muqtarid dibolehkan

mengembangkan barang sejenis dengan Qardh muqrid meminta

zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika Qardh

telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda

sejenis.8

Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan

pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah

penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus menyerahkan benda

sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil

sebab lebih mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada

harta qimi (bernilai) didasarkan pada gambarannya. Ulama

Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian Qardh pada harta

yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya.

Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan

ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat., Pertama

sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya

pada hari akad Qardh. Kedua mengembalikan benda sejenis yang

mendekati Qardh pada sifatnya.

3.Tempat Membayar Qardh

8 Ibid., hal. 5614

Ulama fiqih sepakat bahwa Qardh harus dibayar ditempat

terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh

membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk

membawanya atau memindahkannya, juga tidak halangan dijalan.

Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar ditempat

lain, muqrid tidak perlu menyerahkannya.

4.Jatuh Tempo Qardh

Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila

yang berutang memang telah mampu membayarnya. Bila dia mampu

membayar tetapi menangguhkkan pembayarannya, dia dinyatakan

sebagai orang yang zhalim sebagaimana dikatakan Nabi dalam

hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan

lainnya sabda Nabi dari Abu Huraira menurut riwayat al-

Bukhari :

“Tindakan orang kaya yang menangguh-nangguhkan hutangnya

adalah zhalim.”

Namun bila yang berutang tidak mampu membayar utangnya

pada waktu jatuh tempo, orang yang mengutangi diharapkan

bersabar sampai yang berutang mempunyai kemampuan.

Kemudian pengutang(muqtaridh) wajib berusaha dengan

sungguh-sungguh dalam melunasi utangnya, tanpa mengulur-

ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah berfirman:

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Qs.ar-

Rahmaan: 60)

Sebagian orang menyepelekan kewajiban mereka, khususnya

dalam masalah utang. Dan ini adalah perilaku yang tercela,

15

yang membuat banyak orang enggan memberikan utang dan member

kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini

merupakan salah satu faktor beralihnya orang-orang ke benk-

bank yang menerapkan system riba dan melakukan hal yang

diharamkan oleh Allah. Karena ketika membutuhkan, mereka

tidak menemukan orang yang memberi mereka pinjaman denagn

baik. Sedangkan, orang yang mau memberikan utang tidak

menemukan orang yang mau melunasi utangnya dengan baik,

sehingga hilanglah kebaikan dari orang-orang.

5.Jaminan (Rungguhan)

Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang yang

dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang

piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat

dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan

(dengan harga yang berlaku dibawah itu).

Firman Allah Swt.:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak

secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,

Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh

yang berpiutang)”(Qs.Al-Baqarah:283)

Rukun Rungguhan:9

a. Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya rungguhkan

ini kepada engkau untuk utangku yang sekian terhadap

9 Op cit., hal. 8316

engkau.” Jawab yang berpiutang, “saya terima rungguhan

ini.”

b. Ada yang merungguhkan dan yang menerima rungguh (yang

utang dan yang berpiutang). Keduanya hendaklah ahli

tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).

c. Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang bisa

dijual dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak

rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.

d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Apabila barang yang telah dirungguhkan diterima oleh

yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila rungguhan

telah tetap yang punya barang tidak boleh menghilangkan

miliknya dari barang itu, baik dengan jalau ataupun

diberikan dan sebagainya, kecuali dengan izin yang

berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan rusak atau

hilang ditangan orang yang memegangnya, ia tidak wajib

mengganti karena barang rungguhan itu adalah barang amanat

(percaya-mempercayai), kecuali rusak atau hilangnya itu

disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang dirungguhkan

yakni: Orang yang punya barang tetap berhak mengambil

manfaat dari barang yang dirungguhkan, bahkan semua

manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun atas

tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang

dirungguhkan itu walaupun tidak seizin orang yang menerima

rungguhan. Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari

barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak

17

diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima

rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang merungguhkan

menjual barang yang sedang dirungguhakan itu, begitu juga

menyewakannya apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa

rungguhan.

Sabda Rasulullah SAW:

“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat

barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar

dendanya.” (Riwayat Syafii dan Daruqutni)

Orang yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat

barang yang dirungguhakan dengan sekadar ganti kerugiannya,

untuk menjaga barang itu.

Sabda Rasulullah SAW:

“Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang

memegang rungguhan itu boleh meminum susunya sekadar

sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka

jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi

riba” (Riwayat Hammad bin Salmah).

Bertambahnya barang yang dirungguhkan:

a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau

anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan tidak

termasuk barang rungguhan, tetapi tetap kepunyaan orang

yang merungguhkan. Maka jika barang rungguhan itu dijual

oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh

ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dijual, sebab

tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.

18

b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan

gemuk, tambahan besarnya, dan anak yang masih dalam

kandungan, semuanya itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu

juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah watu

memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda

bahwa bulu itu termasuk dirungguhkan. Tetapi jika di waktu

merungguhkan belum waktunya dipotong, maka ia seperti

tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan; yang

punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu

apabila sampai waktu memotongnya.

Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini

(seorang merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua

penghasilannya diambil oleh yang memegang), hal itu tidak

sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna utnuk

menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang,

bukan untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang.

6.Khiyar Dan Penangguhannya

Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam

Qardh tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adalah

membatalkan akad, sedangkan dalam Qardh masing-masing berhak

boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur ulama

melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu tertentu

sebab dikawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan

demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa Qardh adalah derma,

muqrid berhak meminta penggantinya waktu itu. Selain itu,

qaradpun termasuk akad yang wajib diganti dengan harta

19

mitsil, sehingga wajib membayarnya pada waktu itu, seperti

harta yang rusak.

BAB III

KESIMPULAN

20

Menurut etimologi, ‘ariyah atau pinjam meminjam ialah memberi

manfaat tanpa imbalan, sedangkan menurut terminology para ulama’

berbeda pendapat:

1. Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “memiliki manfaat secara

Cuma-Cuma.”

2. Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu

tertentu dengan tanpa imbalan.”

3. Menurut Syafiiyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat

dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk

dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat

dikembalikan kepada pemiliknya.”

4. Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah: “kebolehan memanfaatkan

suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang

lainnya.”

Pengertian secara bahasa: memotong, secara syara’ adalah

memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu

orang tersebut mengembalikan gantinya.

Landasan Hukum: al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, al-Sunnah

HR. Ibnu Majah, Ijma’ yang didasarkan pada HR. Ibnu Majah.

Rukun:lafadz (Ijab Qabul), yang berpiutang dan yang

berutang, barang yang diutangkan. Sedang syaratnya disebutkan di

muka.

Pelaksanaannya:adanya tambahan itu haram bila disyaratkan,

hukum ketetapannya setelah terjadi penyerahan, tembat membayar

ialah ketika terjadinya akad tersebut, ketika jatuh tempo

diwajibkan untuk segera dibayar jika mampu dan sebaliknya,

21

jaminan diperlukan guna kepercayaan yang berpiutang dan yang

berutang, tidak adanya khiyar dan dilarang untuk ditangguhkan

pembayarannya untuk waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina

Iman)t.t

Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,

1997), cet II

Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah

dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif,

2009)

Antonio, Muhammad Syafi’i. “Bank Syariah dari Teori kePraktik”. (Depok:

Gema Insani, 2001)

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010)

Ghazaly, Abdul Rahman. “Fiqh Muamalah”. (Jakarta: Kencana Pernada

Media Group, 2010).

22