Enteric pathogens associated with diarrhea in children in Fayoum, Egypt
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Enteric pathogens associated with diarrhea in children in Fayoum, Egypt
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang sempurna.
Selain di ciptakan sebagai hablumminallah juga sebagai
hablumminannas yaitu sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat
hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Setiap aktivitas yang dilakukan tentu melibatkan orang
lain, dalam hal ini Allah swt membuat peraturan-peraturan yang
harus di ikuti dan di taati dalam hidup bermasyarakat untuk
menjaga kepentingan manusia, Allah mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
Agama menganjurkan kepada umat muslim untuk saling menolong
saudaranya, misalnya dalam hal bermuamalah yaitu dengan
memberikan pinjaman kepada saudaranya yang membutuhkan, yang mana
pinjam meminjam tersebut adalah objek pembahasan makalah ini,
sehingga dapat dipahami hakikat disyariatkannya ariyah dan
qordh.
Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau
dengan kata lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa
syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur
fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad
tolong menolong dan bukan transaksi komersial.
1
BAB II
PEMBAHASAN
I. ARIYAH
A. Pengertian ‘Ariyah
Menurut etimologi, ‘ariyah atau pinjam meminjam ialah memberi
manfaat tanpa imbalan, sedangkan menurut terminology para ulama’
berbeda pendapat:1
1)Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “memiliki manfaat secara
Cuma-Cuma.”
2)Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu
tertentu dengan tanpa imbalan.”
3)Menurut Syafiiyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat
dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk
1 Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Iman), hal 654
2
dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat
dikembalikan kepada pemiliknya.”
4)Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah: “kebolehan memanfaatkan
suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang
lainnya.”
5)Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang
diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di
ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang
kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan
sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah sunnah. Sedangkan
menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa
ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya
dari Nash Al Quran ialah:
(#qqqqqqqqq?qq…….. ’q?qq qqŽq9q9q# 3“qqq)q9q#qq ( Ÿqqq (#qqqqqqqqq? ’q?qq qqqqq}q#
qqqqqq‰qqq9q#qq 4 (#qq)¨?q#qq ©!q# ( ¨qq) ©!q# q‰ƒq‰q© q>qq)qqq9q#qArtinya: “…..tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya” (Al Maidah: 2)
* ¨qq) ©!q# qqq.qqqqqqqƒ qq& (#q–Šqqq? qq»qq»qqq{q# #’q<q) qqqq=÷qq& #qŒq)qq
qqqqqq3qq qq÷qq/ q¨q¨q9q# qq& (#qqqq3qqqq qqq‰qqq9qqq/ 4 ¨qq) ©!q# qqqqqq /q3qqqqqƒ qqqqq/
3 ¨qq) ©!q# qq%q. qqq‹qqqœ #qŽqqqq/ qqqq 3
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.”
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-
Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (Riwayat
Abu Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar
utang adalah zalim (berbuat aniaya)” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun Dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijab qabul,
ijab qabul ini tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan
boleh hukum ijab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:2
1) Kalimat meminjamkan (lafazh), seperti seseorang berkata,
“saya pinjamkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima
berkata “saya mengaku meminjam benda anu kepada kamu.”
Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda
dalam jual beli.
2) Mu’ir yaitu orang yang meminjamkan (berpiutang) dan
Mus’tair yaitu orang yang menerima utang.
2 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997),cet II, hlm 38
4
Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya,
syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
- baligh
- berakal
- orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau
orang yang berada dibawah perlindungan, seperti
pemboros.
3) Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan
dua hal, yaitu:
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak
syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti
meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyimpan padi.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang
pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara,
seperti meminjam benda-benda najis.
D. Hukum Meminjam Pinjaman Dan Menyewakannya
Abu Hanifah dan Maliki berpendapat bahwa peminjam boleh
meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun
pemiliknya belum mengizinkan jika penggunaanya untuk hal-hal yang
tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab
Hambali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa
saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung,
kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut
5
Hambaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik
barang.3
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman
tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka
pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara
keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik meminta jaminan
kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu
rusak.
E. Tanggung Jawab Seorang Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman,
kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik
karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan
Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw.
Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga
ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malikiyah berpendapat
bahwa, peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya,
kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw.
Bersabda: “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban
mengganti kerusakan” (Dikeluarkan sunan Daruquthni).
II. QORDH
A. Pengertian Qardh
Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong).
Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong
3 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalampandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif, 2009), hlm 348-349
6
sebagian hartanya dan memberikannya kepada pengutang. Adapun
definisinya secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang
yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan
gantinya.
Pengertian Qardh menurut istilah, diantara lain dikemukakan oleh
ulama Hanafiyah:
“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya. ”
Utang piutang mempunyai kemiripan dengan pinjam-meminjam
dari segi bahwa yang dimiliki hanya manfaatnya dan pada waktunya
dikembalikan kepada pemilik dan juga mempunyai kemiripan dengan
pembayaan harga pembelian pada waktu yang ditangguhkan dan punya
hubungan pula dengan muamalah riba. Oleh karena itu, perlu
dijelaskan definisi atau batasan dari utang-piutang tersebut.
Definisi utang-piutang tersebut yang lebih mendekat pada
pengertian yang mudah dipahami adalah : “penyerahan harta
berbentuk uang untuk dikembalikan pada waktunya dengan nilai yang
sama”. Kata “penyerahan harta” disini mengandung arti pelepasan
pemilikan dari yang punya.4
B. Landasan Hukum Qardh
Untuk maksud utang-piutang dalam terminologi fiqh digunakan
dua istilah yaitu Qardhu dan Dayn kedua lafaz ini terdapat
dalam Al-Quran dan hadits Nabi dengan maksud yang sama yaitu
utang-piutang .Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang
4 Antonio, Muhammad Syafi’i. “Bank Syariah dari Teori kePraktik”. (Depok: GemaInsani, 2001).hal. 131.
7
telah disyari’atkan dalam islam. Hukumnya adalah mubah atau
boleh.
Al-Qardhu (memberikan utang) merupakan kebajikan yang
membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan
membantunya dalam memenuhi kebutuhan. Sedangkan, mengutang
tidaklah terhitung sebagai meminta-minta yang makruh, karena
Rasulullah sendiri pernah berutang kepada orang lain.
Memberi Utang hukumnya sunnah, bahkan dapat menjadi wajib,
misalnya mengutangi orang yang terlantar atau orang yang sangat
membutuhkannya. Memang tidak syak lagi bahwa hal ini adalah suatu
pekerjaan yang amat sangat besar faidahnya terhadap masyarakat,
karena tiap-tiap orang dalam masyarakat biasanya memerlukan
pertolongan orang lain.
Qardh dibolehkan dalam Islam yang didasarkan pada al-Qur’an, as-
Sunah dan Ijma’.5
1. Al-Qur’an
Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang
tersebut dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya pada surat al-
Muzammil ayat 20 :
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan berikanlah zakat serta beri utanglah
Allah dengan utang yang baik.”
5 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 276.8
Dalam ayat lain dengan istilah yang berbeda adalah pada surat al-
Baqarah ayat 282 :
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu utang-piutang maka
tuliskanlah.”
Firman Allah Swt:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. ”(Qs. Al-Maidah: 2)
2. Al-Sunnah
Memberi utang adalah disunahkan, dan orang yang melakukannya
mendapat pahala yang besar. Rasulullah bersabda:
“Tiada orang muslim yang memberikan utang kepada seorang
muslimin dua kali, kecuali piutangnya bagaikan sedekah satu
kali”(HR. Ibnu Majah)
Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada
bersedekah, karena seseorang tidak memberikan utang kecuali
kepada orang yang membutuhkannya.
Dasar dalam hadits Nabi diantaranya adalah yang disampaikan
oleh abu hurairah menurut riwayat al-Bukhari sabda Nabi yang
berbunyi :
“Barang siapa yang mengambil harta seseorang dan ia
bermaksud untuk membayarnya, Allah akan membayarkannya. Barang
9
siapa yang bermaksud mengambilnya dam melenyapkannya, Allah akan
melenyapkannya.”
Juga hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-
Hakim ucapan Nabi yang bunyinya :
“Sesungguhnya Allah bersama orang yang berutang hingga ia
membayar hutangnya.”
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim
di dunia ini, mnaka Allah akan meringankan salah satu dari
kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya.”
“Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong
saudaranya.” (Riwayat Muslim).
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam.
Hukum Qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah
bagi muqtarid, berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu
Majah di atas. Juga ada hadits lainnya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda,
barang siapa melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan
dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran
kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi
kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan barang siapa
menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi (aib) nya didunia
dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-NYA, selama
hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).
10
C. Rukun dan Syarat Qardh
Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang
bermaksud melepaskan uang untuk sementara dengan cara yang
menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang:6
1.Lafadz (kalimat mengutang), seperti :” saya utangkan ini
kepada engkau.” Jawab yang berutang,”saya mengaku berutang
kepada engkau.”
2.Yang berpiutang dan yang berutang.
3.Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang bisa dihitung,
boleh diutangkan, begitu pula mengutangkan hewan, maka
dibayar dengan jenis hewan yang sama.
Unsur yang terlibat dalam transaksi utang-piutang tersebut
adalah orang yang berutang, orang yang memberi utang dan objek
utang-piutang yaitu uang atau barang yang dinilai dengan uang dan
tenggang waktu pembayaran.
Pihak yang terlibat transaksi yaitu dain dan muddain adalah
orang yang telah cakap dalam bertindak terhadap harta dan berbuat
kebajikan, yaitu telah dewasa, berakal sehat dan berbuat dengan
sendirinya tanpa paksaan. Sedangkan syarat yang berkenaan dengan
objek yaitu uang adalah jenis nilainya, milik sempurna dari yang
memberi utang dan dapat diserahkan pada waktu akad. Sedangkan
yang menyangkut dengan tenggang waktu harus jelas dan dalam masa
itu uang yang diserahkan telah dapat dimanfaatkan.
6 Ibid., hal. 278.11
Disyaratkan untuk syahnya pemberian utang ini bahwa pemberi
utang adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang
wali (pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari
harta anak yatim yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga
diketahuinya jumlah dan cirri-ciri harta yang dipinjamkan, agar
dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan
orang yang meminjam , dan ia wajib mengembalikannya ketika mampu
dan tanpa menunda-nundanya. Qardh dipandang sah apabila dilakukan
terhadap barang-barang yang dibolehkan syara’.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah melarang Qardh terhadap
sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan, seperti memberikan Qardh
agar mendapat sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak sebab
qarad dimaksudkan sebagai akad kasih sayang, kemanfaatan, atau
mendekatkan hubungan kekeluargaan. Selain itu, Rosulullah Saw.
pun melarang. Namun demikian, jika tidak disyaratkan atau lebih
dimaksudkan untuk mengambil yang lebih baik, Qardh dibolehkan.
Tidak dimakruhkan oleh muqrid atau mengambilnya, sebab Rasulullah
Saw. pernah memberikan anak onta yang lebih baik kepada seorang
laki-laki dari pada unta yang diambil beliau Saw.
Pendapat Ulama’ Fiqih tentang Qardh dapat disimpulkan bahwa
Qardh dibolehkan dengan dua syarat:
a.Tidak menjurus pada suatu manfaat
b.Tidak bercampur dengan akad lain, seperti jual-beli
D. Pelaksanaan Qardh
1. Adanya Tambahan
12
Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan
dari utang yang ia berikan ketika mengembalikannya. Para
ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan kepada
pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya
tambahan, kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah
riba.7
Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan
yang diterima dari pemiliknya; tidak boleh berlebih karena
kelebihan pembayaran itu menjadikan transaksi ini menjadi
riba yang diharamkan.
Adapun jika peminjam memberikan tambahan dari dirinya
sendiri dan berangkat dari keikhlasannya, bukan karena
syarat yang ditetapkan oleh pemberi utang, maka pemberi
utang boleh menerimanya. Karena ini terhitung sebagai husnul
qadha (membayar utang dengan baik). Disamping itu,
Rasulullah pernah meminjam sesuatu kepada (abu) Bakar, lalu
beliau melunasinya dengan lebih baik. Dan beliau bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
mengembalikan pinjaman.”
2.Hukum (Ketetapan) Qardh
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi
tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian,
jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram gandum
misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus
memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta
7 Ghazaly, Abdul Rahman. “Fiqh Muamalah”. (Jakarta: Kencana Pernada MediaGroup), 2010. hal. 52
13
zatnya. Jika muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga
benda sejenisnya, walaupun Qardh (barang yang ditukarkan)
masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak
memiliki Qardh selama Qardh masih ada. Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa ketetapan Qardh, sebagaimana terjadi pada
akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum
ada penyerahan dan pemegangan: Muqtarid dibolehkan
mengembangkan barang sejenis dengan Qardh muqrid meminta
zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika Qardh
telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda
sejenis.8
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan
pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah
penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus menyerahkan benda
sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil
sebab lebih mendekati hak muqrid. Adapun pertukaran pada
harta qimi (bernilai) didasarkan pada gambarannya. Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian Qardh pada harta
yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya.
Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan
ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat., Pertama
sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya
pada hari akad Qardh. Kedua mengembalikan benda sejenis yang
mendekati Qardh pada sifatnya.
3.Tempat Membayar Qardh
8 Ibid., hal. 5614
Ulama fiqih sepakat bahwa Qardh harus dibayar ditempat
terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh
membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk
membawanya atau memindahkannya, juga tidak halangan dijalan.
Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar ditempat
lain, muqrid tidak perlu menyerahkannya.
4.Jatuh Tempo Qardh
Utang wajib dibayar pada waktu yang ditentukan bila
yang berutang memang telah mampu membayarnya. Bila dia mampu
membayar tetapi menangguhkkan pembayarannya, dia dinyatakan
sebagai orang yang zhalim sebagaimana dikatakan Nabi dalam
hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
lainnya sabda Nabi dari Abu Huraira menurut riwayat al-
Bukhari :
“Tindakan orang kaya yang menangguh-nangguhkan hutangnya
adalah zhalim.”
Namun bila yang berutang tidak mampu membayar utangnya
pada waktu jatuh tempo, orang yang mengutangi diharapkan
bersabar sampai yang berutang mempunyai kemampuan.
Kemudian pengutang(muqtaridh) wajib berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam melunasi utangnya, tanpa mengulur-
ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah berfirman:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Qs.ar-
Rahmaan: 60)
Sebagian orang menyepelekan kewajiban mereka, khususnya
dalam masalah utang. Dan ini adalah perilaku yang tercela,
15
yang membuat banyak orang enggan memberikan utang dan member
kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini
merupakan salah satu faktor beralihnya orang-orang ke benk-
bank yang menerapkan system riba dan melakukan hal yang
diharamkan oleh Allah. Karena ketika membutuhkan, mereka
tidak menemukan orang yang memberi mereka pinjaman denagn
baik. Sedangkan, orang yang mau memberikan utang tidak
menemukan orang yang mau melunasi utangnya dengan baik,
sehingga hilanglah kebaikan dari orang-orang.
5.Jaminan (Rungguhan)
Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang yang
dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang
piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat
dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan
(dengan harga yang berlaku dibawah itu).
Firman Allah Swt.:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang)”(Qs.Al-Baqarah:283)
Rukun Rungguhan:9
a. Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya rungguhkan
ini kepada engkau untuk utangku yang sekian terhadap
9 Op cit., hal. 8316
engkau.” Jawab yang berpiutang, “saya terima rungguhan
ini.”
b. Ada yang merungguhkan dan yang menerima rungguh (yang
utang dan yang berpiutang). Keduanya hendaklah ahli
tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
c. Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang bisa
dijual dirungguhkan dengan syarat keadaan barang itu tidak
rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
d. Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Apabila barang yang telah dirungguhkan diterima oleh
yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila rungguhan
telah tetap yang punya barang tidak boleh menghilangkan
miliknya dari barang itu, baik dengan jalau ataupun
diberikan dan sebagainya, kecuali dengan izin yang
berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan rusak atau
hilang ditangan orang yang memegangnya, ia tidak wajib
mengganti karena barang rungguhan itu adalah barang amanat
(percaya-mempercayai), kecuali rusak atau hilangnya itu
disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang dirungguhkan
yakni: Orang yang punya barang tetap berhak mengambil
manfaat dari barang yang dirungguhkan, bahkan semua
manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun atas
tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang
dirungguhkan itu walaupun tidak seizin orang yang menerima
rungguhan. Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari
barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak
17
diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima
rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang merungguhkan
menjual barang yang sedang dirungguhakan itu, begitu juga
menyewakannya apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa
rungguhan.
Sabda Rasulullah SAW:
“Rungguhan tidak menutup pemiliknya dari manfaat
barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib membayar
dendanya.” (Riwayat Syafii dan Daruqutni)
Orang yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat
barang yang dirungguhakan dengan sekadar ganti kerugiannya,
untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah SAW:
“Apabila seekor kambing dirungguhkan, maka yang
memegang rungguhan itu boleh meminum susunya sekadar
sebanyak makanan yang diberikannya pada kambing itu. Maka
jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi
riba” (Riwayat Hammad bin Salmah).
Bertambahnya barang yang dirungguhkan:
a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau
anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan tidak
termasuk barang rungguhan, tetapi tetap kepunyaan orang
yang merungguhkan. Maka jika barang rungguhan itu dijual
oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh
ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut dijual, sebab
tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.
18
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan
gemuk, tambahan besarnya, dan anak yang masih dalam
kandungan, semuanya itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu
juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah watu
memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda
bahwa bulu itu termasuk dirungguhkan. Tetapi jika di waktu
merungguhkan belum waktunya dipotong, maka ia seperti
tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan; yang
punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu
apabila sampai waktu memotongnya.
Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini
(seorang merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua
penghasilannya diambil oleh yang memegang), hal itu tidak
sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna utnuk
menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang,
bukan untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang.
6.Khiyar Dan Penangguhannya
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam
Qardh tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adalah
membatalkan akad, sedangkan dalam Qardh masing-masing berhak
boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur ulama
melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu tertentu
sebab dikawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan
demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa Qardh adalah derma,
muqrid berhak meminta penggantinya waktu itu. Selain itu,
qaradpun termasuk akad yang wajib diganti dengan harta
19
Menurut etimologi, ‘ariyah atau pinjam meminjam ialah memberi
manfaat tanpa imbalan, sedangkan menurut terminology para ulama’
berbeda pendapat:
1. Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “memiliki manfaat secara
Cuma-Cuma.”
2. Menurut Malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu
tertentu dengan tanpa imbalan.”
3. Menurut Syafiiyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat
dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk
dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat
dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah: “kebolehan memanfaatkan
suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang
lainnya.”
Pengertian secara bahasa: memotong, secara syara’ adalah
memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu
orang tersebut mengembalikan gantinya.
Landasan Hukum: al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, al-Sunnah
HR. Ibnu Majah, Ijma’ yang didasarkan pada HR. Ibnu Majah.
Rukun:lafadz (Ijab Qabul), yang berpiutang dan yang
berutang, barang yang diutangkan. Sedang syaratnya disebutkan di
muka.
Pelaksanaannya:adanya tambahan itu haram bila disyaratkan,
hukum ketetapannya setelah terjadi penyerahan, tembat membayar
ialah ketika terjadinya akad tersebut, ketika jatuh tempo
diwajibkan untuk segera dibayar jika mampu dan sebaliknya,
21
jaminan diperlukan guna kepercayaan yang berpiutang dan yang
berutang, tidak adanya khiyar dan dilarang untuk ditangguhkan
pembayarannya untuk waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina
Iman)t.t
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
1997), cet II
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif,
2009)
Antonio, Muhammad Syafi’i. “Bank Syariah dari Teori kePraktik”. (Depok:
Gema Insani, 2001)
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010)
Ghazaly, Abdul Rahman. “Fiqh Muamalah”. (Jakarta: Kencana Pernada
Media Group, 2010).
22