Daun Bungkus dan Hegemoni_rev180421 (1)

16
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020 48 Daun Bungkus dan Hegemoni Kaum Laki-laki: Riset Etnografi di Masyarakat Irarutu, Papua Barat Setia Pranata, Tri Juni Angkasawati dan Rachmalina Prasodjo Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI [email protected] Abstract Sexual behavior among Papuans known as unique. One of the unique sexual behavior that can be found is a bungkus “wrap”. Bungkus is the traditional technology to enlarge the male genitals using leaves which Papuans known as daun tiga jari. Hegemony and the value of masculinity that characterize sexual activity, expressed in order to wrap up behavior. These activities is to make as strong men to do sexual activity. That is not a myth. As the embodiment of the values of masculinity, wrap done by male and adolescent. As a behavior, action to wrap up not free from health risks. Packaging is not really going to result in damage to the genitals. Unsafe sexual behavior people who are wrapped, at risk for sexually transmitted diseases and HIV / AIDS. Recognition of female sex workers due to the use of wrappers is an indication of this risk. Socially, the phenomenon wrap also are at risk of Domestic Violence. Meanwhile, the Government is not doing more related to the bungkus phenomenon a lot done Papuans. All that will make Papuans in Kaimana expressive sexual behavior as vulnerable people. Keyword : Sex Behavior, Ethnography, Bungkus Daun Tiga Jari, Irarutu, West Papua Pendahuluan Menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Melalatoa, 1995), Indonesia memiliki lebih dari 500 lema 1 . Agar bisa survive, setiap lema telah mengembangkan pola adaptasi untuk mengatasi berbagai masalah, termasuk kesehatan. Adaptasi terhadap kondisi sakit melahirkan apa yang disebut Foster sebagai sistem medis (Foster dan Anderson, 1986). Suatu sistem yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, keterampilan dan praktek-praktek sebagai respon terhadap kondisi kesehatan yang diidamkan. Sesuai lingkungan alam dan 1 Para ahli telah merumuskan konsep suku bangsa sebagai kesatuan sosial atau kolektifa yang mempunyai kesadaran sebagai satu kebudayaan, yang antara lain ditandai oleh kesamaan bahasa. Pemilihan konsep lema dalam Ensiklopedia tersebut tidak mengikatkan diri pada pengertian konsep suku bangsa sehingga pengertian lema bisa menjadi lebih sempit dan bisa pula menjadi lebih luas. kebudayaannya, setiap kolektifa akan mengembangkan sistem yang berbeda. Hal inilah memunculkan pemikiran Badan Litbang Kesehatan untuk melakukan studi etnografi kesehatan dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Pada tahun 2013 Badan Litbang Kesehatan mengembangkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) (Badan Litbangkes, 2014). IPKM ini digunakan sebagai indicator untuk mengkatagorikan apakah suatu daerah bermasalah kesehatan atau tidak. IPKM pada wilayah Papua dan Papua Barat menunjukkan bahwa hampir semua

Transcript of Daun Bungkus dan Hegemoni_rev180421 (1)

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

48

Daun Bungkus dan Hegemoni Kaum Laki-laki: Riset Etnografi di Masyarakat Irarutu, Papua Barat

Setia Pranata, Tri Juni Angkasawati dan Rachmalina Prasodjo

Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

[email protected]

Abstract

Sexual behavior among Papuans known as unique. One of the unique sexual behavior that can be found is a bungkus “wrap”. Bungkus is the traditional technology to enlarge the male genitals using leaves which Papuans known as daun tiga jari. Hegemony and the value of masculinity that characterize sexual activity, expressed in order to wrap up behavior. These activities is to make as strong men to do sexual activity. That is not a myth. As the embodiment of the values of masculinity, wrap done by male and adolescent. As a behavior, action to wrap up not free from health risks. Packaging is not really going to result in damage to the genitals. Unsafe sexual behavior people who are wrapped, at risk for sexually transmitted diseases and HIV / AIDS. Recognition of female sex workers due to the use of wrappers is an indication of this risk. Socially, the phenomenon wrap also are at risk of Domestic Violence. Meanwhile, the Government is not doing more related to the bungkus phenomenon a lot done Papuans. All that will make Papuans in Kaimana expressive sexual behavior as vulnerable people.

Keyword : Sex Behavior, Ethnography, Bungkus Daun Tiga Jari, Irarutu, West Papua

Pendahuluan

Menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Melalatoa, 1995), Indonesia memiliki lebih dari 500 lema1. Agar bisa survive, setiap lema telah mengembangkan pola adaptasi untuk mengatasi berbagai masalah, termasuk kesehatan. Adaptasi terhadap kondisi sakit melahirkan apa yang disebut Foster sebagai sistem medis (Foster dan Anderson, 1986). Suatu sistem yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, keterampilan dan praktek-praktek sebagai respon terhadap kondisi kesehatan yang diidamkan. Sesuai lingkungan alam dan

1 Para ahli telah merumuskan konsep suku bangsa sebagai kesatuan sosial atau kolektifa yang mempunyai kesadaran sebagai satu kebudayaan, yang antara lain ditandai oleh kesamaan bahasa. Pemilihan konsep lema dalam Ensiklopedia tersebut tidak mengikatkan diri pada pengertian konsep suku bangsa sehingga pengertian lema bisa menjadi lebih sempit dan bisa pula menjadi lebih luas.

kebudayaannya, setiap kolektifa akan mengembangkan sistem yang berbeda. Hal inilah memunculkan pemikiran Badan Litbang Kesehatan untuk melakukan studi etnografi kesehatan dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

Pada tahun 2013 Badan Litbang Kesehatan mengembangkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) (Badan Litbangkes, 2014). IPKM ini digunakan sebagai indicator untuk mengkatagorikan apakah suatu daerah bermasalah kesehatan atau tidak. IPKM pada wilayah Papua dan Papua Barat menunjukkan bahwa hampir semua

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

49

Kabupaten merupakan daerah dengan kategori bermasalah Kesehatan, termasuk Kabupaten Kaimana. Sementara itu riset etnografi Kesehatan ditugaskan Badan Litbang Kesehatan untuk mengungkap dan mendeskripsikan factor social budaya yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah Kesehatan tersebut. Hal inilah yang mendasari dipilihnya Kabupaten Kaimana sebagai daerah studi riset etnografi kesehatan.

Di Kabupaten Kaimana, terdapat beberapa etnis yang menghuni wilayahnya. Salah satu etnis yang cukup besar adalah Irarutu yang menempati hamper semua distrik di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Tidak banyak informasi terkait etnis Irarutu. Pencarian informasi melalui internet sebagai data awal diperoleh keterangan bahwa Irarutu adalah salah satu dari delapan etnis besar yang berada di wilayah Kabupaten Kaimana dan 271 etnis di tanah Papua.

Ketika melakukan pengumpulan data etnografi di komunitas Irarutu, peneliti menemukan fenomena bungkus. Kaum lelaki mengenal bungkus sebagai teknologi untuk memperbesar alat kelamin laki-laki. Tindakan pembungkusan ini bukannya tanpa risiko. Kejadian infeksi dan rusaknya permukaan alat kelamin merupakan cerita biasa dikalangan pelaku bungkus. Berangkat dari temuan bahwa fenomena bungkus merupakan bentuk cultural behavior, cultural knowledge dan cultural artifacts, tentunya orang Irarutu di Kaimana mempunyai penjelasan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, beberapa pertanyaaan yang akan dijawab dalam studi ini antara lain : apa yang dimaksud dengan bungkus? apa yang melatar belakangi orang melakukan

bungkus? Resiko apa yang dihadapi orang ketika melakukan kegiatan bungkus?

Studi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan riset etnografi kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Adapun tujuan dari artikel ini adalah memberikan gambaran perilaku “bungkus’ daun tiga jari yang merupakan salah satu tradisi komunitas Irarutu di Papua. Penelitian etnografi kesehatan ini di desain menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan etnografi. Pemilihan etnografi dilakukan dengan pertimbangan bahwa metode ini mempunyai kekhususan untuk menggambarkan suatu fenomena social budaya (Atkinson P. and Hammersley M, 1994). Dengan memperhatikan latar alamiah, naturalistik dan konteks keutuhan, riset ini dilakukan di wilayah Distrik Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana.

Data pada studi ini bersumber pada catatan lapangan hasil observasi dan wawancara mendalam kepada informan. Dengan tehnik snow-ball, peneliti berhasil melakukan wawancara langsung kepada informan seperti pemberi jasa layanan, pelaku, orang-orang dan petugas kesehatan yang tahu tentang bungkus serta pekerja seks yang berkenan memberikan informasi tentang pemanfaatan mereka oleh pengguna yang sudah melakukan kegiatan pembungkusan. Analisis data dilakukan dengan cara menarasikan, mengkomparasikan dan melakukan interpretasi (pemaknaan) sesuai konteksnya untuk kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

50

Daun tiga jari dan persepsinya dalam perilaku seksual orang Iratutu, Kaimana.

Disaat melakukan pengumpulan data, dikemukakan oleh Bryman bahwa tahapan yang sulit adalah saat masuk pada setting sosial (Bryman, 2004) dan menemukan ordinary people yang tahu tentang substansi penelitian (Nugent, 2002). Ketika sedang berbicara tentang kehidupan seksual kaum lelaki, seorang pemuda dari Jawa dengan berbisik mengatakan bahwa masyarakat di sini mempunyai kebiasaan mem“bungkus”. Cukup sulit bagi peneliti memperoleh informasi tentang fenomena “bungkus” yang oleh masyarakat setempat dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Melalui rapport2 yang dibangun, akhirnya beberapa subjek mulai berbagi informasi.

Tidak ada yang bisa memberikan informasi kapan teknologi ini mulai digunakan oleh masyarakat. Seorang dokter yang bertugas di Kaimana mengemukakan bahwa sejak kedatangannya di tanah Papua sekitar tahun 90-an beliau sudah mendengar tentang penggunaan daun bungkus.

“...Bungkus itu sudah saya dengar waktu saya datang ke fak-fak tahun 90-an.. saya tahu bungkus itu dari rumah sakit.. dengar-dengar ada pasien juga yang datang dengan keluhan kelaminnya membesar. Terus ternyata di bungkus dengan daun tiga jari...”

“...dari situ saya baru tahu daun tiga jari bisa membesarkan alat kelamin pria... malah pada waktu itu ada teman dokter juga dengan staff rumah sakit ikut bungkus juga..”

2 Istilah untuk menjelaskan proses pendekatan kepada subjek sehingga bisa menerima kehadiran peneliti. Suatu perumpamaan yang perlu dilakukan peneliti agar terbangun rapport adalah dengan cara “makan, minum, menangis dan tertawa bersama” dengan subjek penelitian.

“...ketika saya datang ke Kaimana, lebih banyak lagi...malah anak-anak SMA ikut bungkus... kalau orang dewasa itu su biasa dan banyak..”

Ternyata bungkus tidak hanya menarik perhatian masyarakat awam, orang yang berprofesi sebagai dokterpun ada yang melakukan tindakan pembungkusan. Berdasarkan usia pengguna, bungkus ini dilakukan tidak hanya oleh mereka yang sudah dewasa tetapi juga dilakukan oleh kelompok remaja. Kalau yang melakukan pembungkusan adalah mereka yang sudah dewasa, kita bisa membayangkan penggunaannya. Tapi kalau yang dibungkus adalah mereka yang masih usia sekolah, apakah mereka hanya akan membungkus saja? Apakah mereka nantinya tidak akan menggunakan hasil karya pembungkusan? Kami tidak bisa menjawab dengan pasti karena tidak ada informan remaja yang berkenan untuk berbagi informasi tentang hal tersebut. Berdasarkan logika sederhana bisa diduga bahwa mereka tidak hanya membungkus saja tapi tentunya akan membuktikan kemanjuran hasil pembungkusannya.

“... mari kita simak dan artikan sebuah tulisan yang saya dapat dari internet "Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Pol Bekto Soeprapto mengatakan, kegagalan putera Papua untuk lulus sebagai anggota Polri dikarenakan peserta tes memiliki alat kelamin yang sengaja diperbesar dengan menggunakan ramuan tradisional” Sumber: .http://www.pondokobatpapua.com/2013/07/“

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

51

Penelusuran di media maya tentang penggunaan bungkus diperoleh tulisan sebagaimana tertera pada box dibawah. Walau perlu dipertanyakan, tetapi informasi ini bisa digunakan sebagai petunjuk awal tentang fenomena penggunaan ramuan tradisional untuk memperbesar alat kelamin di kalangan remaja. Kalau sampai demikian adanya, agak sulit kiranya untuk menerima bahwa itu adalah mitos belaka.

Mengapa orang mengenal teknologi ini dengan sebutan bungkus? Hal ini berkaitan dengan cara yang dilakukan pada teknologi ini yakni dengan membungkus alat kelamin. Adapun bahan yang digunakan untuk membungkus adalah ramuan daun dari tanaman yang dikenal dengan nama daun tiga jari. Daun tiga jari adalah sebutan masyarakat lokal terhadap tanaman merambat yang mempunyai 3 helai daun pada satu tangkainya, seperti tampak pada gambar. Panjang dan lebar daun bervariasi. Panjangnya ada yang mencapai 15 cm dengan lebar 8 cm, ada pula yang ukuran panjangnya hanya 7 cm dengan lebar 4 cm. Untuk ukuran daun, daun ini cukup tebal dan kaku.

Gambar 1. Daun Tiga Jari Dokumentasi: peneliti

Penelusuran kepustakaan sudah dilakukan untuk mengetahui tanaman daun tiga jari seperti, nama latinnya, kandungan kimianya dan daerah tempat tumbuhnya. Kami belum beruntung mendapatkan informasi tanaman ini. Dari mereka yang berkecimpung dalam usaha pembungkusan, diceritakan bahwa tanaman daun tiga jari ini hanya tumbuh di tanah Papua. Karena manfaat yang dihasilkan maka banyak orang mencarinya. Orang yang tahu akan merahasiakan keberadaan dan lokasi tumbuhnya karena itu merupakan aset dan komoditas ekonomi. Banyak tanaman dengan bentuk serupa, namun belum tentu tanaman daun tiga jari yang dimaksud. Untuk membedakan daun tiga jari dengan yang lain berikut saran Pace Uf, orang yang memberi jasa layanan bungkus.

“...untuk tahu daun yang asli.. harus dirasa..ambil daun yang sudah tua.. yang warnanya hijau tua.. sobek daun itu dan remat-remat.. setelah itu tempel di kulit.. kalau terasa panas.. itu sudah.. atau cara lain.. dengan menggigit daun dan merasakan dengan lidah.. kalau terasa pedas maka itulah daun tiga jari.

Setelah mendapat daunnya, lalu bagaimana cara pengolahan dan penggunaannya? Cara yang dilakukan bermacam-macam. Ada dilakukan dengan cara mengerok daun sampai lapisan kulit daun sampai terkelupas dan kemudian dibungkuskan pada alat kelamin. Ada yang menumbuk daun sampai lembut, di”bobok”kan pada alat kelamin dan dibungkus dengan kain. Cara lain adalah dengan menumbuk lembut daun dan ditempel di bagian alat kelamin, tanpa melakukan pembungkusan. Ada bahan lain yang harus disertakan sebagai campuran. Satu diantaranya adalah minyak kelapa yang menurut Pace Uf berfungsi

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

52

mengurangi efek panas dari ramuan. Kegiatan pembungkusan dimulai dengan penyiapan dan pengolahan ramuan. Sang tukang “bungkus” mengambil satu helai “daun tiga jari” ditumbuk perlahan, tidak sampai halus. Hasil tumbukan daun dicampur dengan tumbukan batang tanaman beras tumpah (dieffenbachia) dan minyak kelapa asli. Campuran ketiga bahan tersebut diaduk sampai merata dan kemudian di “bungkus”kan di alat kelamin.

Mengenai hasil pembungkusan, peneliti sempat mengamati pelaksanaan pembungkusan dan melihat reaksi pembungkusan. Bagi kami sebagai orang awam, perubahan yang teramati tersebut menunjukkan bahwa khasiat ramuan daun tiga jari untuk memperbesar alat kelamin laki-laki bukan suatu mitos. Tetapi apakah yang menjadi besar termasuk otot dan jaringan di dalamnya atau hanya terjadi pada permukaan kulit alat kelamin saja? Pendapat dokter JM terkait pembesaran alat kelamin tersebut adalah..

“... bagian yang membesar itu hanya luarnya saja.. odema.. membengkak.. jadi yang membengkak cuma ototnya yang paling luar.. bagian kulitnya yang bengkak.. bagian otot dalamnya tidak..”

Pace Uf, sang pembungkus, mengakui kalau setiap bulan dia bisa mendapat klien sebanyak 6 – 10 orang. Dia tidak mengaku berapa besar biaya yang diterima atas jasa yang diberikan. Menurutnya, uang hasil usaha “bungkus” bisa untuk memenuhi kebutuhan makan setiap bulannya. Belum lagi kalau dipanggil klien diluar kota, ada tambahan uang transportasi dan akomodasi yang akan dia terima. Orang-orang di kota Manokwari, Sorong, Fakfak dan Jayapura sering

memanggil Pace Uf untuk memberikan pelayanan bungkus.

Mengapa melakukan bungkus? Nampaknya perilaku ini berkaitan dengan konsep kekuasaan dan keperkasaan kaum lelaki. Walau tidak terucap secara langsung, orang akan mengekspresikan bahwa dia perkasa ketika melakukan aktivitas seksual. Mitos yang beredar, ada beberapa tindakan yang dilakukan untuk menjadi “hebat”. Ada melakukan dengan cara menggigit “kayu mulia” yang dipercaya berkhasiat membuat alat kelamin laki-laki selalu dalam keadaan ereksi. Ada yang melakukan dengan cara mengurut alat kelamin dengan cairan minyak lintah. Pengurutan secara berkala diyakini akan mengakibatkan alat kemaluan menjadi panjang. Cara lainnya adalah dengan cara melakukan bungkus. Cara terakhir ini adalah cara yang biasa dilakukan oleh orang di wilayah Teluk Arguni.

Risiko Dibalik Fenomena Bungkus

Reaksi yang terjadi setelah sekitar 15 menit pembungkusan adalah timbulnya rasa panas pada alat kelamin. Ketika alat kelamin yang dibungkus terasa lebih panas lagi, maka bungkus harus segera dilepas. Bila tidak maka akan berisiko pada pemakai.

“...kalau sudah dibungkus.. tra boleh pake celana dalam dan celana yang ketat.. boleh pake celana yang longgar.. yang bagus tidak pake celana.. orang itu juga tra boleh mandi semala 3 hari.. biar barangnya tidak kena air..”

“...kalau barangnya kena celana.. bisa lecet.. bisa melepuh.. juga kalau barangnya ke air.. bisa melepuh.. kalau su lewat 3 hari boleh.”

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

53

“... kulit itu kemaluan kan tipis.. itu daun bungkus kan panas... jadi kalau dibungkus, reaksinya.. kulit kemaluan yang tipis mudah lecet..”

Apa yang dikemukakan Pace Uf, si tukang bungkus, bukan isapan jempol belaka. JM, seorang dokter yang pernah bertugas di Rumah Sakit mengemukakan adanya kasus tersebut. Demikian juga dengan bapak M, Kepala Puskesmas yang sebelumnya bertugas di Rumah Sakit sebagai perawat.

“...kalau orang dewasa banyak, kadang mereka minum obat sendiri sembuh sendiri. Tapi yang anak-anak.. orang tua bawa antar anak ke puskesmas dengan keluhan membesar. Memang ternyata membesar dan meradang. Jadi.. datang karena sudah meradang..”

“... risikonya.. karena mungkin panas.. cuman ada komplikasinya infeksi.. kebanyakan yang datang berobat infeksi.. melepuh.”

Bungkus biasanya dilakukan secara diam-diam. Seringkali orang kalau mengalami risiko tidak mau segera berobat kepada tenaga kesehatan, seperti kata dokter JM.

“...Iya, dia biasanya malu . karena modelnya sudah tidak betul.. yang datang berobat justru ketika itu sudah bernanah.. bukan bernanah dari itunya.. tapi karena infeksi... ada yang mungkin sudah tahu.. pas bungkus.. minum obat, jadi tidak seberapa parah.

Kalau sampai demikian maka akan ada risiko infeksi sampai bernanah. Keterlambatan ditangani tenaga kesehatan, nantinya bahkan dapat merusak alat kelamin dan mengganggu fungsinya.

Risiko lain berkaitan dengan pembangunan daerah. Upaya pemerintah Kabupaten Kaimana mengembangkan

kawasan ekonomi, merintis terbukanya konektivitas antar daerah di pedalaman dan konektivitas dengan kabupaten dan kota lain telah menimbulkan fenomena urbanisasi dengan semua konsekwensinya. Nilai dan perilaku seperti masuknya ekonomi berbasis uang, nilai-nilai baru yang dibawa oleh pendatang dan migrasi antar daerah telah berubah orang Papua sekarang tidak lagi berpikir dan bertindak hanya sejalan dengan norma-norma budaya tradisionalnya.

Sebutan Kabupaten Kaimana sebagai “Bidadari Cantik” untuk menggambarkan menariknya potensi Kaimana untuk investasi (Pemerintah Kabupaten Kaimana, 2013). Konsekwensi perkembangan daerah adalah munculnya fasilitas penunjang seperti hotel, tempat hiburan dan rekreasi, termasuk fasilitas penyedia layanan seksual. Saat ini di kota Kaimana terdapat 22 lokasi tempat hiburan. Ada yang berupa bar, cafe, tempat karaoke, rumah makan atau tempat prostitusi. Pastinya, di semua tempat itu menyediakan jasa layanan seksual. Pekerjanya adalah perempuan-perempuan yang berasal dari tanah Jawa, Sulawesi, Maluku seperti kata JM, ibu dari Dinas Kesehatan.

“...yang menjadi PSK disini.. Manado, jawa, ujung pandang... kalau dari jawa 80%.. manado kebetulan sedikit.. dulu waktu baru.. 90% orang manado.. sekarang orang mando 10% kira-kira.. sekarang yang banyak orang jawa.. bugis...paling banyak org jawa 80%...”.

Ada “joke” dikalangan pendatang tentang laki-laki papua setelah menjual hasil panen palanya. Setelah pulang dari menjual pala di kota, mereka hanya membawa sekarung beras dan sekotak mie

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

54

instan3. Bisa jadi inilah yang disebut sebagai property inequalities (Verdery, 2001). Laki-laki punya kekuasaan untuk menggunakan uang hasil buminya. Tanpa harus ijin dari perempuan, uang hasil penjualan pala akan dipakai untuk membeli minuman beralkohol dan pergi ke tempat-tempat prostitusi. Kondisi ini dikatakan oleh DK, 28 tahun, nelayan dari Jawa yang sudah 5 tahun tinggal bersama orang Irarutu di Teluk Arguni.

“.... kalau sudah panen dan menjual pala di kota.. orang sini biasanya lupa pulang.. menikmati uang hasil jual pala dengan membeli sopi.. dan biasa laki-laki pergi ke situ..”

Untuk sekedar mengetahui sejauh mana “rahasia umum” tersebut mendekati kebenaran, peneliti mencoba mendatangi dua tempat penyedia layanan prostitusi. Tempat pertama didesain sebagai tempat karaoke yang dipandu perempuan-perempuan dari Manado dan Jawa dengan pangsa pasar golongan menengah atas. Tempat kedua, murni sebagai tempat prostitusi dengan pekerja dari Jawa, Makasar, Tanimbar, Maluku dan orang Papua. Tempat ini terbuka untuk semua golongan yang mau. Dari mbak End, 44 tahun, manajer tempat karaoke yang mengaku berasal dari daerah Jawa Timur diperoleh informasi.

“... saya sudah lama bergerak di bidang beginian.. lebih dari 20 tahun saya ada di Papua... kalau di Kaimana.. sudah 10 tahunan... hampir semua tempat pernah saya datangi.. jadi saya tahu benar bagaimana karakter orang Papua..”

3 Bila dirupiahkan, kedua barang tersebut tidak lebih dari Rp. 300.000,-. Kalau hanya membawa 10 kg biji pala dan 1 kg bunga pala mereka akan membawa uang 10 x Rp. 50.000,- ditambah 1 x 100.000,- atau uang sebanyak Rp. 600.000,-. Padahal ketika musim panen tiba, mereka paling tidak akan menjual 100 kg biji pala, bahkan ada yang sampai 1000 kg. Itu belum termasuk penjualan bunga pala yang harganya lebih mahal.

“... mungkin karena hasil alamnya melimpah... orang sini tidak mau mikir susah-susah.. mereka maunya enak-enakan saja.. tidak capek bekerja tapi makan enak.. dan “mabuk” mereka jagonya.. mereka kuat kalau disuruh ‘minum’ ... kalau kesini mereka biasanya minum dulu.. terus ngamar.. apalagi kalau sudah musim panen... mereka gak mikir mau habis berapa uang...”

Dari tempat kedua, ketika berbicara

dengan seorang perempuan pekerja seks diperoleh informasi yang tidak jauh berbeda. Mbak Ty, 42 tahun, pekerja seks yang berencana pulang ke daerah asalnya di Jawa Timur bercerita kondisi ekonomi dan pelanggannya

“...setiap hari, nggak mesti ada tamu yang datang.. syukur-syukur ada yang bisa dibuat makan.. .dulu tempat ini ramai.. dalam sehari, saya dan juga teman-teman pernah melayani 5 sampai 10 orang..”

“... tamunya macem-macem.. ada orang sini.. ada pendatang.. ada pegawai.. ada orang kampung.. ada anak sekolah..”

Mengenai perilaku seksualnya ketika orang Papua memanfaatkan jasa pekerja seks dikemukakan oleh mbak Nr, 36 tahun, teman seprofesi mbak Ty yang juga berasal dari Jawa Timur, yang turut menemani kami berbincang-bincang tentang kebiasaan orang asli papua ketika ke lokalisasi.

“...orang sini kalau datang kesini, sukanya ganti-ganti pasangan.. kalau sekarang dengan saya.. besok dengan teman saya.. besoknya lagi dengan teman lainnya..”

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

55

“...mereka kasar saat berhubungan.. bahkan beberapa tamu saya ada yang alatnya besar..nggak ukuran.. katanya.. ada yang disuntik.. ada yang dibungkus.. orang sini kan suka begitu..”

Tersedianya tempat-tempat prostitusi telah menjadikan orang Papua di Kaimana yang ekspresif perilaku seksualnya sebagai vulnerable people seperti yang digambarkan oleh ibu dari Dinas Kesehatan ini.

“...kalau disini istilahnya begini “orang papua mau yang kulit papua.. tapi.. ohh.. mau rasa paha putih dulu… iya rata-rata begitu.. biasanya yang dari kampung..”

“...pernah kita dapat di rumah makan.. itu memang tempat ada transaksi seks disitu.. terus saya dapat anak-anak SMP... orang kampung masih SMP sdh buat transaksi di situ..”

Suatu penelitian tentang The Papuan Sexuality Program mengahasilkan suatu gambaran bahwa modernisasi berdampak besar pada terjadinya erosi praktek budaya. Perubahan sosial dan ekonomi telah berdampak negatif pada kesehatan seksual karena selain menurukan umur dimana seseorang mendapat pengalaman seksual pertama kali, juga menambah keseringan hubungan seks diluar nikah. Beberapa temuan dari studi tersebut menunjukkan bahwa sejumlah responden sudah berhubungan seks sebelum nikah; rata-rata responden mempunyai empat patner seksual seumur hidupnya walau ada lebih dari 30% pernah berhubungan seksual dengan lebih dari 10 patner; 29% pernah berhubungan seksual pada umur 15 tahun; 17% pernah malakukan seks dengan lebih dari satu patner dan 16% pernah menderita penyakit

menular seksual (Leslie, 2002). Melalui perbincangan dengan para pekerja seks dan petugas kesehatan yang ada di kota Kaimana, tampak fenomena adanya kebiasaan minum minuman mengandung alkohol dan memanfaatkan jasa pekerja seks sebagai tempat menyalurkan hasrat seksualnya. Yang lebih spesifik lagi, dalam berhubungan seksual, mereka suka berganti pasangan dan melakukan tindakan untuk memperbesar alat kemaluannya. Merupakan suatu kekhawatiran bagi kami ketika mencoba mengaitkan keberadaan fasilitas penyedia layanan seksual dengan semua risikonya dan perilaku seks masyarakat Papua. Kekhawatiran pertama tentang upaya pembesaran alat kelamin akan berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ada cerita tentang perempuan yang kemudian membiarkan suaminya untuk mencari kepuasan seksual pada perempuan lain. Ada juga perempuan yang melarikan diri dari rumah karena tidak mampu melayani suami.

Studi yang menggambarkan situasi perilaku berisiko di papua (BPS dan Departemen Kesehatan, 2006) mengemukakan bahwa dari penduduk yang melakukan hubungan seksual dalam satu tahun terakhir, 9,2% diantaranya melakukan hubungan dengan unseur pemaksaan. Sebanyak 6,2% laki-laki mengaku melakukan pemaksaan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pengakuan perempuan. Sebanyak 12,4% perempuan yang menyatakan mengalami tindakan pemaksaan saat melakukan hubungan seksual.

Sebagai perwujudan nilai keperkasaan laki-laki, bisa jadi pembesaran alat kelamin yang dilakukan sejak usia remaja pemanfaatannya akan meluas pada

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

56

perempuan-perempuan penjual jasa seks, sebagaimana kekhawatiran ibu dari Dinas Kesehatan.

“... sebenarnya tidak usahlah ada bungkus-bungkus... karena ini nanti menyangkut pada seks bebas.. karena merasa.. mungkin kalaminnya sudah besar.. yah sudah sembarang-sembarang.. ketempat –tempat prostitusi.

“...kemaren ketemu di KPA, ibu mucikari bisikin saya…” PS : Ibu… kelamin saya sakit. Ibu :Kenapa? PS : Habis ini… pelanggan yang kemaren bungkus. Ibu : Baru saya tanya kau tra pakai kondom?? PS : Tidak pakai.. bagai mana.. terlalu besar. Ibu : Haduuh bahaya itu… PS : Ya... Itulah ibu... mau bikin bagaimana. Ibu : Jadi kau layani? PS : Iya..

Kekhawatiran ibu dari Dinas Kesehatan, bukannya tidak beralasan. Beberapa waktu yang lalu diakui bahwa dia bertemu dengan seorang wanita pekerja seksual merangkap mucikari yang mengeluhkan akibat penggunaan “bungkus”.

Pembesaran alat kelamin boleh saja dilakukan, asal dengan perlakuan dan penggunaan yang benar. Masalahnya, kalau penggunaannya tidak benar, seperti untuk berhubungan dengan wanita pekerja seksual, ini akan berisiko. Risiko tersebut dapat berupa tertular penyakit menular seksual (PMS) dan terinfeksi HIV/AIDS. Data profil kesehatan tahun 2013 yang ada menyebutkan bahwa di Kabupaten Kaimana terdapat 124 kasus PMS, 17 kasus HIV dan 7 kasus AIDS (Pemerintah Kabupaten Kaimana, 2013). Padahal

informasi lisan yang diperoleh dari KPAD sudah terdapat 30 kasus HIV/AIDS di kabupaten Kaimana. Yang menjadi kekhawatiran adalah orang kampung ditemukan lebih mempunyai perilaku berisiko dibandingkan orang yang tinggal di kota seperti kata dokter JM berikut.

“... saya kan suka keliling-keliling untuk program HIV/AIDS.. saya tahu.. yang berisiko justru malah masyarakat dari kampung..”

“... kalau yang di kota-kota sini tidak seberapa.. yang kita ketemu justru dari kampung.. sekarang kan banyak HIV dari kampung..”

Pemerintah daerah sudah menyadari sepenuhnya risiko HIV/AIDS pada masyarakatnya. Karena itu, Pemerintah daerah sudah berupaya untuk mencegah PMS dan HIV/AIDS dengan menyebarkan poster dan baliho tentang bahaya HIV/AIDS. Di jalan-jalan protokol dan pintu Rumah Sakit dapat kita lihat baliho tentang HIV/AIDS. Untuk posternya, di setiap instansi pemerintah di kota, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu dapat kita lihat poster-poster yang ditempel di kaca atau papan informasi. Upaya untuk mencegah HIV/AIDS juga dilakukan dengan memberikan kondom secara gratis kepada para PSK yang tersebar di 22 tempat. Dibentuk kelompok dukungan sesama untuk membantu KPAD dalam melakukan kegiatan penyuluhan dan pendampingan kepada kelompok berisiko HIV/AIDS.

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

57

Perilaku Seksual dan Hegemoni Kaum Laki-laki Irarutu di Kaimana

Secara umum perilaku seksual diartikan sebagai segala perilaku yang timbul akibat dorongan hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan yang sejenis. Bentuk perilaku seksual ini bermacam-macam, mulai dari bagaimana seseorang mengungkapkan perasaan tertariknya kepada orang lain, bercumbu sampai dengan kegiatan persetubuhan.

Studi Antropologi mengemukakan bahwa pada hampir semua wilayah kebudayaan Papua, termasuk New Guinea mempunyai perilaku permisif terhadap aktivitas seksual. Orang Purari, Kiwai dan Marind di wilayah New Guinea, orang Kimam, Asmat, Dani dan Arfak di Papua adalah komunitas yang permisif pada perilaku “hubungan tidak sah dalam bentuk persetubuhan secara heteroseksual” (Holmes, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa dilingkungan orang Purari, persetubuhan pranikah merupakan kegiatan yang dibolehkan melalui upacara. Bagi orang Kiwai, persetubuhan boleh dilakukan dengan siapa saja karena bertujuan untuk meningkatkan kesuburan. Pada orang Marind, terjadinya seks pranikah juga merupakan bagian dari upacara yang selalu dikaitkan dengan konsep kesuburan. Untuk bisa hidup, tumbuh dan berkembang seperti dalam perkawinan dan membuka kebun, maka sebuah pesta yang berkaitan dengan hubungan seksual selalu dilakukan. Dalam perkawinan, calon penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa “cairan sperma” akan membuat calon penganten perempuan menjadi subur.

Pada orang Asmat hubungan seks bebas terjadi dalam bentuk pertukaran istri, antara laki-laki dengan perempuan pilihannya (Dumatubun A.E., 2003). Dalam struktur sosial orang Asmat, seks berkaitan dengan status kepemimpinan. Pemimpin yang dinilai hebat, dapat berhubungan seks secara bebas atau dengan menukarkan istri dengan istri orang yang disenangi. Sedangkan studi pada suku Arfak, pemahaman tentang perilaku seksual lebih berkaitan dengan sistem nilai, adat istiadat, ritual dan totem (Wambrauw David, 2001).

Banyak informasi tentang perilaku seks orang Papua masih dibasiskan pada stereotip gaya kehidupan seksual yang unik. Praktek seperti upacara pertukaran air mani, dan pertukaran istri menunjukan bahwa kepercayaan adat mengenai hawa nafsu, perkawinan, dan reproduksi merupakan satu sumber stereotip yang melukiskan praktek seksual unik suku-suku Papua yang sangat berperan dalam membentuk perilaku seksualnya. Karena keunikan perilaku seksualnya, salah satu perilaku yang tampak adalah lebih terbukanya mereka dalam mengekspresikan hasrat seksualnya. Keunikan perilaku seksual orang Papua telah menjadikan mereka berisiko terinfeksi penyakit menular seksual serta HIV/AIDS. Studi yang dilakukan oleh (Ingkokusuma Gunawan, 2000), (Pona La, 2000), (Djoht Djekky R, 2000), dan (Rahail John, 2001) telah melihat bagaimana konteks kebudayaan dapat mendukung perilaku seksual di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat merupakan faktor pendukung untuk timbulnya penyakit menular seksual, HIV/AIDS dengan mudah. Tidak seperti apa yang ditemukan oleh para Antropolog ketika melakukan penelitian

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

58

dikomunitas Orang Purari, Kiwai, Marind, Kimam, Asmat, Dani dan Arfak, di komunitas orang Irarutu peneliti tidak menemukan atau mungkin lebih tepat kalau dikatakan belum menemukan adanya pola perilaku seks sebagai bagian dari suatu sistem nilai dan budaya. Sebagai hal yang bersifat sangat privasi, perilaku seks bagi orang Irarutu bukan bahan pembicaraan yang bisa dilakukan secara terbuka dan disembarang tempat. Hal ini serupa dengan kerahasiaan legenda nenek moyang yang menceritakan tentang perselingkuhan, perselisihan dan dendam. Legenda ini tidak diceritakan kepada semua orang, walaupun orang tersebut adalah orang Irarutu. Ketua adat akan benar-benar memilih siapa yang boleh mendengar legenda tersebut, karena didalamnya mengandung perilaku seks yang harus disembunyikan. Secara normatif, kegiatan persetubuhan di komunitas orang Irarutu hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah, baik secara negara, agama dan adat. Hubungan seksual diluar nikah merupakan tindakan terlarang. Pelakunya dinilai melakukan pelanggaran dan akan mendapat hukuman dari adat. Bentuk hukumannya adalah dengan diumumkan di depan masyarakat dan membayar denda sesuai ketentuan adat. Tujuannya agar pelaku merasa malu sehingga tidak mengulangi perbuatannya. Hal ini juga menjadi pembelajaran buat masyarakat agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar.

Banyak hal bisa menjadi penyebab terjadinya hubungan seksual terlarang ini. Studi yang dilakukan di masyarakat perkotaan menemukan bahwa sikap positif terhadap perilaku seks pranikah dan komitmen terhadap hubungan pasangan merupakan factor pendorong dilakukannya

seks pranikah (Rahardjo, 2017). Di masyarakat Irarutu, hal ini berkaitan dengan nilai keberanian. Laki-laki harus berani melakukan hal-hal yang “berisiko”, termasuk untuk memulai godaan terhadap perempuan. Pada kejadian yang teramati, laki-laki seringkali merupakan pemicu terjadinya hubungan terlarang ini. Didorong rasa keingintahuannya remaja cenderung ingin berpetualang dan mencoba sesuatu yang belum pernah dialaminya. Akibat pubertas, remaja mulai mengeksplorasi bagaimana menjadi orang dewasa, terutama keinginan mencoba melakukan apa yang sering dilakukan orang dewasa termasuk yang berkaitan dengan masalah seksualitas. Agak sulit bagi kita untuk bicara tentang ketersediaan informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi. Semua itu karena kondisi geografis yang sulit dijangkau dan jaringan informasi yang terbatas di wilayah Teluk Arguni. Wajar bila kemudian, remaja mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri.

Selain pada kelompok remaja, hubungan seksual terlarang juga tidak jarang dilakukan oleh sudah berkeluarga. Ada beragam alasan. Ketertarikan secara fisik memang merupakan alasan utama. Alasan klasik bahwa perempuan papua tidak bisa menjaga badan dan tidak bisa mengatur rumah merupakan pembenaran laki-laki bila harus berpaling kepada perempuan dari suku lain yang dianggap lebih bersih. Wawancara oleh tim yang berjenis kelamin perempuan mengungkap bahwa secara umum perempuan Irarutu di daerah studi kurang memperhatikan kebersihan. Keterbatasan ketersediaan air, membuat para perempuan terbatas juga dalam membersihkan tubuhnya. Aroma badan yang tercium “khas” dan penyakit

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

59

kulit seperti panu, masih menjadi hiasan tubuh para perempuan. Terkait dengan organ reproduksi, banyak ditemukan keluhan ibu yang menderita keputihan dan tidak ada upaya untuk merawat organ reproduksinya. Seorang CW, 40 tahun senantiasa melihat perempuan yang suka berdandan, rapi dan wangi sebagai perempuan seksi yang bisa membangkitkan hasrat seksualnya. Demikian dengan JM, 36 tahun, yang yang karena aktivitasnya, membuat dia lebih banyak bermukim di wilayah kota, jauh dari keluarga dan mempunyai “perempuan” lain.

Dari stereotip perilaku seksual yang digambarkan oleh para Antropolog di awal abad 20 tentang permisifitas terhadap perilaku seksual bebas orang Papua mempunyai kaitan erat dengan konsep kekuasaan dan keperkasaan. Dan nampaknya nilai yang melandasi perilaku seksual orang Papua ini tidak banyak berubah di akhir abad 20, walau bentuknya berubah. Budaya yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki, telah menjadikan laki-laki Papua terbuka dalam mengekspresikan hasrat seksualnya (Holmes, 1993), (Dumatubun A.E., 2003), (Wambrauw David, 2001). Di komunitas orang Irarutu, kondisinya tidak jauh berbeda. Budaya yang diciptakan kaum laki-laki dan pengasumsian laki-laki sebagai subjek, menjadikan laki-laki sebagai pemicu terjadinya perilaku seks bebas yang dikemas sebagai hubungan terlarang. Budaya tersebut juga menjadikan laki-laki tidak harus terikat kepada keluarga saat melakukan mobilitas dan melakukan aktivitas seksual di kota.

Sebagai subjek yang melihat dunia sebagai milik laki-laki, membuat laki-laki dituntut menampilkan unsur kelaki-lakiannya saat melakukan berbagai hal. Pengakuan umum

bahwa seseorang tersebut “laki-laki” adalah dengan melihat jumlah anaknya. Makin banyak anak, makin layak seseorang disebut sebagai laki-laki hebat. Sebutan ini akan sempurna bila laki-laki tersebut mampu memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya. Selain itu, merokok dan minum minuman yang mengandung alkohol adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sebagai laki-laki. Menjadi laki-laki tidak harus ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari yang teramati. Dalam menjalani kehidupan yang khusus seperti saat beraktivitas seksual, laki-laki juga harus mampu menunjukkan keperkasaannya, seperti melakukan “bungkus”.

Merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Puspitawati (Puspitawati, 2013) bahwa budaya patriarki yang merupakan penyebab adanya ketimpangan gender. Di komunitas Irarutu, laki-laki diberi hak istimewa oleh budaya menjadi penguasa keluarga. Hal inilah yang menjadikan ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam kepemilikian properti, akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pada akhirnya, perempuan hanya menempati posisi sebagai pelengkap dari laki-laki.

Inilah salah satu bentuk hegemoni, bentuk supremasi dan bentuk dominasi dari laki-laki sebagai penguasa kepada perempuan. Mengacu pada konsep hegemoni dari Gramsci (Parkash, 2016) nampaknya kekuasaan laki-laki Irarutu tidak lepas dari bekerjanya struktur masyarakat adat dan pranata social yang ada untuk melakukan dan membangun cara pandang bahwa laki-laki adalah “sang penguasa”. Hegemoni ini tidak terjadi dengan jalan pemaksaan melainkan dibangun melalui upaya kultural untuk

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

60

menciptakan pandangan yang dianggap sebagai kebenaran di lingkungan masyarakat Irarutu. Ideologi inilah yang kemudian menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan legitimasi pada kaum laki-laki untuk berkuasa. Dilevel yang lebih luas ada peran Dewan Adat Kaimana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan hubungan antar masyarakat adat di Kaimana dengan selalu berpedoman kepada aturan adat sebagai pedoman (Werfete, 2011). Aktivitas dalam masyarakat sangat terstruktur berdasarkan silsilah kepemimpinan tradisional dalam struktur masyarakat adat yang hanya beranggotakan kaum laki-laki. Nampak jelas bahwa dalam kehidupan masyarakat adat, kaum laki-laki melalui semua pranata social yang ada senantiasa menciptakan, menggunakan dan kemudian mempertahankan nilai adat sebagai norma dalam mengatur aktivitas sosial masyarakatnya. Dengan konsep “satu tungku tiga batu” tiga unsur yang ada didalamnya, pihak pemerintahan, tokoh adat dan tokoh agama diharapkan menjadi satu kesatuan dalam menyelesaikan kehidupan bermasyarakat.

Kesimpulan Tidak sama dengan stereotip orang Papua tentang perilaku seksual, di komunitas orang Irarutu tidak ditemukan perilaku seks sebagai bagian dari suatu sistem nilai dan budaya. Bagi orang Irarutu perilaku seksual bersifat sangat privasi dan harus sesuai dengan adat dan agama. Seseorang yang melakukan hubungan seksual terlarang akan dikenai denda adat.

Hubungan yang terjadi dalam perilaku seksual antara laki-laki dan perempuan lebih diwarnai oleh nilai budaya

patriarki yang masih dianut. Untuk menunjukkan hegemoninya, laki-laki mengekspresikan dalam bentuk perilaku bungkus. Pengekspresian perilaku ini sudah dilakukan sejak usia remaja. Tindakan pembungkusan yang tidak benar dan perilaku seksual yang tidak safe akan berisiko terhadap kesehatan. Sementara itu, Pemerintah Kaimana tidak banyak melakukan tindakan terkait fenomena “bungkus” yang banyak dilakukan penduduknya.

Fenomena bungkus adalah praktik perilaku seks yang tidak sehat. Pemanfaatan bungkus dalam perilaku seks merupakan bentuk kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar persepsi tentang keperkasaan laki-laki tidak ditunjukkan dengan penguasaan secara fisik kepada perempuan.

Saran

Berkaitan dengan perilaku seksual dan fenomena bungkus pada masyarakat Irarutu di Kaimana, ada beberapa saran yang dapat kami berikan.

1. Pemerintah Kabupaten sampai Pemerintah Kampung bersama tokoh adat dan agama sebagai “satu tungku tiga batu” perlu melakukan intervensi kepada masyarakat agar berperilaku reproduksi yang sehat, termasuk agar terhindar dari risiko kebiasaan “bungkus”. Kaum laki-laki sebagai pihak yang berkepentingan harus terlibat mulai dari perencanaan intervensi sampai kegiatan pelaksanaan.

2. Cara intervensi adalah dengan melakukan rekayasa sosial, masyarakat mengorganisir diri dalam merumuskan masalah dan kebutuhannya,

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

61

merencanakan yang akan dikerjakan dan melaksanakan kegiatan dengan melibatkan semua potensi masyarakat.

3. Tentang daun tiga jari, menarik untuk dilakukan studi lebih lanjut. Menurut kami, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan melalui Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional atau lembaga lain terkait, bisa mengkaji lebih dalam dan menjadikan sebagai komoditas yang potensial.

Sehubungan dengan risiko tersebut, tidak sedikit rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi masalah yang timbul dan mengancam kehidupan masyarakat Kaimana dan Papua pada umumnya. Selain memang merupakan tugas lembaga Pemerintah, para praktisi, akademisi dan organisasi sosial kemasyarakatan, dengan dukungan Pemerintah, Lembaga Donor Asing atau secara mandiri sudah banyak

melakukan hal tersebut. Sekarang adalah tinggal bagaimana melakukan aksi nyata sebagai tindak lanjut dari rekomendasi yang diberikan. Semoga kegiatan ini berhasil sehingga bisa menghindarkan orang-orang papua dari risiko akibat perilaku seksualnya.

Ucapan Terimakasih

Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kaimana, Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana dan Masyarakat di Distrik Teluk Arguni yang telah mengijinkan dan mendukung selama proses pengambilan data. Secara khusus, terima kasih disampaikan kepada Erna Tanggarofa, Antropolog yang berasal dan tinggal di Kaimana dan kepada Nila Krisnawati, Sarjana Kesehatan Masyarakat, yang telah bersama-sama melakukan pengumpulan data di lapangan.

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

62

Referensi

Atkinson P. and Hammersley M. (1994). Ethnography and Partisipant Observations. In Handbook of Qualitative Research. Sage Publication.

Badan Litbangkes. (2014). IPKM 2013. Badan Litbangkes.

Bryman, A. (2004). Social Research Methods (second edi). Oxford University Press.

Djoht Djekky R. (2000). Perilaku Seksual, PMS dan HIV/AIDS di Kecamatan Sarmi dan Pantai Timur Tanah Papua. Buletin Populasi Papua, Edisi 2/De.

Dumatubun A.E. (2003). Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim. Antropologi Papua, Volume 1.

Foster dan Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan. Penerbit universitas Indonesia.

Holmes, J. H. (1993). In Primitive New Guinea: An Account of a Quarter of a Century Spent Among the Primitive Ipi and Namau Groups of Tribes of the Gulf of Papua, with an Interesting Description of their Manner of Living, their Customs and Habits, Feasts and Festivals, Totems. In Bruce M. Knauft (Ed.), South Coast New Guinea Cultures: History, comparison, dialectic. Cambridge University Press.

Ingkokusuma Gunawan. (2000). Peranan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam Penanggulangan Epidemi HIV. Buletin Populasi Papua, Edisi 2/De.

Leslie, B. (2002). The Papuan Sexuality Program.

Melalatoa, M. J. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Nugent, S. (2002). Critique of Anthropology: Editorial. Critique of Anthropology, 22(1), 5–6. https://doi.org/10.1177/0308275x020220010201

Parkash, V. (2016). Antonio Gramsci’s Concept of Hegemony: A Study of the Psyche of the Intellectuals of the State. V, 1–10.

Pemerintah Kabupaten Kaimana. (2013). Profil Daerah Kabupaten Kaimana. Badan perencanaaan Pembangunan Daerah dan Lingkungan Hidup.

Pona La. (2000). Determinan Penanggulangan Penularan HIV/AIDS dalam Masyarakat Majemuk di Papua. Buletin Populasi Papua, Edisi 2/De.

Puspitawati, H. (2013). Konsep, Teori dan Analisi Gender. Gender Dan Keluarga: Konsep Dan Realita Di Indonesia., 4(Zeitlin 1995), 1–16. https://doi.org/10.1017/S0033583501003705

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 41 NO. 2 2020

63

Rahail John. (2001). Desentralisasi dan Penanggulangan AIDS di Papua. Buletin Populasi Papua, Vol.1, No.

Rahardjo, W. (2017). Perilaku Seks Pranikah pada Mahasiswa: Menilik Peran Harga Diri, Komitmen Hubungan, dan Sikap terhadap Perilaku Seks Pranikah. Jurnal Psikologi, 44(2), 139. https://doi.org/10.22146/jpsi.23659

Verdery, K. (2001). Inequality as temporal process: Property and time in Transylvania’s land restitution. Anthropological Theory, 1(3), 373–392. https://doi.org/10.1177/14634990122228782

Wambrauw David. (2001). Perilaku Seksual Suku Arfak. Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih.

Werfete, M. D. (2011). Politisasi Birokrasi; studi tentang politik dewan adat dalam melakukan bentuk-bentuk intervensi politik guna posting birokrat pada jabatan struktural di pemerintah kabupaten Kaimana. Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada.