BULAN KATEKESE LITURGI - USD Repository
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of BULAN KATEKESE LITURGI - USD Repository
i
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM MAGISTER TEOLOGI
BULAN KATEKESE LITURGI: SARANA PENGEMBANGAN BIDANG LITURGI
UMAT PAROKI SANTO YOHANES RASUL PRINGWULUNG
Tesis diajukan oleh: Yudana Suwondo
NPM : 07612049/ PPs/ M.Th Untuk memperoleh
GELAR MAGISTER TEOLOGI 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
KATA PENGANTAR
Konsili Ekumenis Vatikan II menekankan partisipasi sadar dan aktif umat
beriman dalam perayaan Liturgi, terutama Ekaristi (SC 14) sebagai puncak dan
sumber kehidupan Kristiani (SC 10). Partisipasi sadar dan aktif ini tidak hanya
merujuk pada aktivitas lahiriah selama perayaan liturgi Lebih dari itu, partisipasi
itu terkait dengan kesadaran yang lebih besar akan misteri yang sedang dirayakan
dalam hubungan dengan hidup sehari-hari (SCar. 52). Kutipan ini hendak
menekankan bahwa umat perlu terlibat secara sadar dan aktif dalam perayaan
liturgi bukan pertama-tama demi kepentingan liturgi itu sendiri melainkan justru
demi kepentingannya. Dengan terlibat secara sadar dan aktif, umat beriman akan
memperoleh kekuatan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di tengah situasi
zaman yang terus-menerus berubah. Untuk itu perlulah mereka mengerti dan
memahami apa yang mereka rayakan. Memahami dan mengerti apa yang
dirayakan dalam liturgi bukanlah perkara yang mudah mengingat liturgi kaya
akan bahasa simbol. Diperlukan suatu upaya untuk membantu umat beriman
mengerti dan memahami apa yang mereka rayakan dalam liturgi. Itulah tugas
Gereja, yakni mengajar umat beriman memahami tanda kasih Allah yang
seringkali disampaikan dalam bentuk kiasan dan simbol.
Sebagai bagian dari Gereja Universal, Gereja Keuskupan Agung
Semarang mengadakan Bulan Katekese Liturgi untuk mengajar umat beriman
lebih memahami dan mengerti liturgi. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 1999
sebagai salah satu bentuk usaha untuk menjawab keprihatinan akan kurangnya
pemahaman liturgi umat. Aneka kemajuan telah dicapai melalui kegiatan ini.
Namun demikian bukan berarti dalam pelaksanaananya tidak tanpa kekurangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
Ada banyak hal yang perlu terus-menerus dikembangkan dalam kegiatan ini di
waktu yang akan datang.
Tulisan ini pertama-tama hendak mendalami kegiatan katekese liturgi
dalam bentuk Bulan Katekese Liturgi yang telah berlangsung tersebut. penulis
menggali data lapangan di Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung untuk
memastikan seberapa jauh kegiatan katekese liturgi ini dilaksanakan. Hasil dari
penelitian ini penulis pergunakan untuk melihat seberapa pentingnya Bulan
katekese liturgi bagi umat beriman, setidak-tidaknya sebagai contoh, di Paroki
Santo Yohanes Rasul Pringwulung.
Penulis merasa bahwa tulisan ini bisa tersaji seperti bentuknya yang
sekarang ini tidak lepas dari bantuan dan budi baik para saudara yang terkasih.
Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. EPD. Martasudjita, Pr selaku pembimbing utama yang
menuntun penulis pada pembentukan tulisan ini.
2. Dr. F.A. Purwanto, SCJ selaku pembimbing kedua yang dengan
cermat dan teliti membimbing penulis mendalami data-data
penelitian yang ada sambil terus menerus bersikap kritis.
3. Rm. Ign. Sukawalyana, Pr dan Seluruh Umat Paroki Santo
Yohanes Rasul Pringwulung yanh telah membantu proyek
penelitian yang kami lakukan.
4. Keuskupan Agung Semarang yang menjadi medan pelayanan
penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
5. Saudara-saudara seangkatan yang turut merasakan keprihatinan
dan memberikan dorongan terus menerus demi terwujudnya karya
tulis ini.
6. Komunitas Seminari Tinggi yang meyediakan banyak sarana dan
keramah-tamahan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis
ini.
7. Orang tua yang sudah berpulang dan seluruh keluarga yang dengan
setia selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang dipercayakan.
8. Komunitas Pastoran Bintaran beserta seluruh umat Paroki Santo
Yusup Bintaran dan Stasi Santo Paulus Pringgolayan yang
mendukung dengan segala cara, terutama doa-doa dalam Perayaan
Ekaristi.
9. Komunitas Pastoran Vianney yang memberi suasana kondusif
untuk menyelesaikan tugas ini.
10. Serta sanak saudara dan handai taulan yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu yang membantu terselesaikannya karya tulis
ini.
Segala masukan dan kritik sangat kami harapkan demi perbaikan-perbaikan untuk
masa yang akan datang.
Bintaran, 25 Januari 2010 Pada Pesta Bertobatnya Santo Paulus
Yudana Suwondo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
DAFTAR SINGKATAN
1. Kitab Suci Mat Matius Mrk Markus Luk Lukas Yoh Yohanes Kis Kisah Para Rasul Rom Roma 1Kor 1 Korintus 2 Kor 2 Korintus Gal Galatia Flp Filipi Ibr Ibrani
2. Dokumen Gereja LG Lumen Gentium SC Sacrosanctum Concilium DV Dei Verbum GE Gravissimum Educationis DCG Directorium Catechisticum Generale CT Catechese Tradendae SCar Sacramentum Caritatis
3. Istilah Teknis FABC Federation of Asian Bishops’ Conference MAWI Majelis Agung Waligereja Indonesia KWI Konferensi Waligereja Indonesia KAS Keuskupan Agung Semarang PML Pusat Musik Liturgi Ardas Arah Dasar SAGKI Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia DKP Dewan Karya Pastoral APP Aksi Puasa Pembangunan PGPM Pengurus Gereja dan Papa Miskin FGD Focus Group discussion BKL Bulan Katekese Liturgi Lih. Lihat Bdk. Bandingkan Ibid. ibidem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Tulisan ini dipersembahkan kepada Gereja Katolik yang Kudus, Tubuh Mistik Kristus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Liturgi merupakan puncak dan sekaligus sumber segala kegiatan Gereja (SC 10). Dalam kegiatan liturgi, Kristus sendiri hadir dalam Gereja dan bersama-sama melaksanakan liturgi (SC 7). Karenanya, perlu diupayakan agar umat dapat menimba daya kekuatan dari kegiatan liturgi dengan terlibat secara sadar dan aktif di dalamnya. Keterlibatan secara sadar dan aktif hanya mungkin kalau orang mengerti apa yang mereka rayakan. Untuk dapat mengerti dan memahami liturgi, perlu katekese liturgi. Sejak tahun 1999, Gereja Keuskupan Agung Semarang mengadakan Bulan Katekese Liturgi. Banyak kemajuan diperoleh umat beriman melalui kegiatan ini. Meski demikian, mutu dan kualitas kegiatan ini perlu terus menerus ditingkatkan sebagaimana harapan yang muncul di kalangan umat.
Tesis ini bertujuan untuk melihat sejauh mana Bulan Katekese Liturgi membantu umat beriman memahami dan mengerti liturgi. Penulis yang tergabung dalam tim penelitian mahasiswa Program Magister Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma tahun 2008 mengambil sampel penelitian secara acak dengan menggunakan metode angket di Paroki Santo Yohanes Pringwulung. Data penelitian kuantitatif tersebut diperdalam dengan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (Indepth Interview). Data tersebut kemudian dianalisa dengan menatapkannya pada pandangan magisterium Gereja mengenai katekese liturgi dan pandangan para ahli dan diperoleh kesimpulan yang menjadi pijakan untuk mengusulkan langkah-langkah pastoral.
Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian terbesar umat merasakan Bulan Katekese Liturgi membantu mereka untuk memahami dan mengerti liturgi yang mereka rayakan. Mereka menginginkan agar kegiatan Bulan Katekese Liturgi tetap dilanjutkan dan dikemas dalam bahasa yang lebih mengena. Mereka juga mengusulkan adanya program yang tegas dan jelas di berbagai tingkat kelompok umat serta pelatihan bagi para pemandu kelompok basis yang intensif.
Penulis menyampaikan usulan-usulan pastoral Dalam katekese liturgi berbasis komunitas, sinergi dan kerjasama dengan banyak unsur dalam komunitas Gereja diperlukan. Dalam komunitas Paroki Pringwulung dan Gereja Keuskupan Agung Semarang pada umumnya, hasil penelitian tersebut bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk melaksanakan Bulan Katekese Liturgi di masa-masa yang akan datang. Dari situ diharapkan umat semakin memahami liturgi yang mereka rayakan yang membantu mereka untuk telibat secara sadar dan aktif dalam liturgi. Partisipasi sadar dan aktif dalam liturgi diharapkan memberi dampak positif dalam kehidupan umat sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Liturgy is the top as well as the source of all the Church activities (SC 10). In liturgy, Jesus Christ comes in the Church and together with the people conduct the liturgy (SC 7). Therefore, an effort is needed, so that the people can get the benefit from liturgy and actively involved with full awareness in liturgy. The people will understand the liturgy, only if they participate fully and actively on it. It is the reason why we need liturgical catechesis.
Since 1999, The Church of Archdiocese of Semarang has been organizing or conducting Bulan Katekese Liturgi (The Month of Liturgical Catechesis). Through this activity, the people get many progresses and they expect that the quality of this activity will be raised or increased.
This thesis is meant to observe how Bulan Katekese Liturgi (The Month of Liturgical Catechesis) help the people understand the liturgy they do. In 2008, the writer joined a team of researchers from Magister Theology Program of Sanata Dharma University. He took a random sampling using questionaries in Parish of St Yohanes Rasul Pringwulung, Yogyakarta.
The qualitative research was completed with Focus Group Discussion and Indepth Interview. The data was analyzed and completed with the opinion from the Church Magisterium and some expert of Liturgy. Based on the data, the writer gets some conclusions which can be used as a consideration to make pastoral decision.
The result of the research shows that Bulan Katekese Liturgi (The Month of Liturgical Catechesis) help most of the people to understand the liturgy they conduct. They expect that Bulan Katekese Liturgi (The Month of Liturgical Catechesis) will be held continually and created in a simple language. They also suggest to conduct a clear and strict program in many church levels, as well as to give and intensive training for the basic group leader.
The writer conveys some pastoral suggestions, that Bulan Katekese Liturgi (The Month of Liturgical Catechesis) should be based on the community, sinergic and cooperate with many elements in the church community. The result of the research can be used as a consideration to conduct Bulan Katekese Liturgi (The Month of Liturgical Catechesis) in the future. The writer expects on liturgy and they can participate actively. Full and active participation in liturgy will give positive effect in the people’s daily life.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.. ................................................................................................ i
Halaman Pengesahan ........................................................................................... ii
Kata Pengantar ..................................................................................................... iii
Daftar Singkatan .................................................................................................. vi
Halaman Persembahan........................................................................................ vii
Abstrak. ..............................................................................................................viii
Abstract ............................................................................................................... ix
Daftar Isi ............................................................................................................... x
Bab I : PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 2
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8
1.4 Batasan Istilah ................................................................................................ 9
1.5 Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 11
1.5 Rumusan Permasalahan ............................................................................... 12
1.6 Metode Penelitian ........................................................................................ 13
1.7 Sistematisasi Penulisan ................................................................................ 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
BAB II. . PRAKTEK PELAKSANAAN BULAN KATEKESE LITURGI DI
KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG, KHUSUSNYA DI PAROKI SANTO
YOHANES RASUL PRINGWULUNG .......................................................... 15
2.1 Katekese Liturgi di Keuskupan Agung Semarang …………….……....... 15
2.1.1 Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang sebagai dasar Acuan Katekese
Liturgi ........................................................................................................ 16
2.1.2 Pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi di Keuskupan Agung Semarang ... 28
2.1.2.1 Bahan Katekese Liturgi Tahun 1999 – 2009 selayang pandang .......... 29
2.1.2.2 Bahan Katekese Liturgi Tahun 2008...................................................... 34
2.1.3 Kesimpulan ............................................................................................... 40
2.2 Profil Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung ....................................... 44
2.2.1 Sejarah Singkat Paroki Pringwulung. ....................................................... 47
2.2.2 Karakteristik Umat Paroki Pringwulung BerdasarkanSampel Penelitian. 49
2. 2. 2. 1 jenis kelamin ....................................................................................... 49
2. 2. 2. 2 Tingkat usia......................................................................................... 50
2. 2. 2. 3 Pendidikan................................................................................... ……53
2. 2. 2. 4 Pendidikan dan Pekerjaan ................................................................... 52
2. 2. 2. 5 Lama tinggal ....................................................................................... 54
2. 3 Hasil Penelitian Atas Pelayanan Adven, Aksi Puasa Pembangunan,
Bulan Katekese Liturgi dan Bulan Kitab Suci ............................................ 55
2. 3. 1 Kemasan Atas Pelayanan Adven dan Aksi PuasaPembangunan ........... 55
2. 3. 2 Kemasan Atas Pelayanan Bulan Katekese Liturgi................................. 56
2. 3. 3 Kemasan atas Pelayanan Bulan Kitab Suci............................................ 57
2. 3. 4 Kemasan Atas Pelayanan Liturgi Pada umumnya ................................. 58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2. 3. 5 Kemasan Atas Pelayanan Ekaristi.......................................................... 59
2. 3. 6 Petugas pelayanan. ................................................................................. 62
2. 4 Tanggapan Atas Kemasan Bulan Katekese Liturgi .................................... 64
2. 5 Resume........................................................................................................ 69
BAB III: KATEKESE LITURGI SEBAGAI TUGAS MENGAJAR
GEREJA…… ................................................................................................ …78
3. 1 Peristilahan….............................................................................................. 78
3. 1. 1 Istilah Katekese….. ................................................................................. 78
3. 1. 2 Istilah Liturgi…....................................................................................... 80
3. 1. 3 Katekese Liturgi ...................................................................................... 83
3. 2 Sejarah Katekese Liturgi….. ...................................................................... 87
3. 2. 1 Katekese Liturgi dalam Zaman Perjanjian Baru…. ................................ 88
3. 2. 2 Katekese Liturgi pada Abad-abad Awal Kekristenan............................. 93
3. 2. 3 Katekese Liturgi pada abad IV – VI.. ..................................................... 97
3. 2. 4 Katekese Liturgi pada Abad Pertengahan............................................. 104
3. 2. 5 Katekese Liturgi pada masa Setelah Reformasi hingga Trente ............ 110
3. 2. 6 Gerakan Pembaruan Katekese dan Liturgi............................................ 114
3. 2. 6. 1 Gerakan Pembaruan Liturgi .............................................................. 116
3. 2. 6. 2 Gerakan Pembaruan Katekese........................................................... 119
3. 3 Katekese Liturgi dalam Dokumen Gereja Sejak Konsili Vatikan II..... 121
3. 3. 1 Sacrocanctum Concilium (SC)............................................................. 121
3. 3. 2 Catechese Tradendae (CT).................................................................... 125
3. 3. 3 Direktorium Kateketik Umum (DCG) .................................................. 127
3. 3. 4 Sacramentum Caritatis (SCar.)............................................................. 128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
3. 4 Pokok-Pokok Katekese Liturgi ................................................................ 132
2. 7 Resume..................................................................................................... 134
BAB IV: KATEKESE LITURGI BERBASIS KOMUNITAS…. .............. 138
4. 1 Unsur – unsure Katekese Liturgi Berbasis Komunitas.. ........................... 139
4. 1. 1 Pelaksanaan Kegiatan Liturgi di Paroki Pringwulung…. ................... 139
4. 1. 2 Katekese Liturgi dalam Pandangan Gereja…....................................... 143
4. 1. 5 Perqan Paguyuban Umat Dalam Usaha Katekese Liturgi. ................... 145
4. 1. 6 Tim Liturgi Paroki Sebagai Ujung Tombak Katekese Liturgi.............. 150
4. 2 Bentuk-bentuk Katekese Liturgi berbasis Komunitas............................... 152
4. 3 Kesimpulan ............................................................................................... 157
BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 160
5. 1 Pengaruh Bulan Katekese Liturgi bagi Pengembangan
Bidang Liturgi umat di Paroki Santo Yohanes Rasul pringwulung.................. 160
5. 2 Usulan Pastoral bagi Pengembangan Bulan Katekese Liturgi………...... 164
5. 2. 1 Usulan Pastoral untuk Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung... .. .158
5. 2. 2 Usulan Pastoral untuk kepentingan Gereja yang lebih luas
(kevikepan, Keuskupan)…………………………………… ……...... 161
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Judul tesis ini adalah Bulan Katekese Liturgi: Sarana Pengembangan
Bidang Liturgi Umat Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung. Tesis ini
mau membahas pengaruh Bulan Katekese Liturgi bagi pengembangan bidang
liturgi umat Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung. Tesis ini diangkat dari
hasil penelitian mengenai Bulan Katekese Liturgi tahun 2008 di Paroki Santo
Yohanes Rasul Pringwulung, Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bulan
Katekese Liturgi merupakan langkah katekese dalam bidang liturgi yang
diselenggarakan oleh Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang sejak tahun
1999 sebagai upaya meningkatkan pemahaman umat di bidang liturgi. Bulan
Katekese liturgi dilaksanakan setiap bulan Mei bersamaan dengan Bulan Maria.
Dalam rangka penyusunan tesis, hasil penelitian tersebut direfleksikan
dengan memakai gagasan ideal mengenai katekese liturgi sebagaimana terdapat
dalam ajaran Gereja. Dari hasil refleksi tersebut, dicari kontribusinya demi
pengembangan pastoral bidang liturgi yang semakin baik di Paroki Santo Yohanes
Rasul Pringwulung khususnya dan di Keuskupan Agung Semarang pada
umumnya. Beberapa gagasan dari magisterium Gereja mengenai katekese menjadi
alat bantu dalam merefleksikan hasil penelitian tersebut.
1. 1. Latar Belakang Penelitian
Liturgi merupakan kegiatan Gereja yang paling banyak dilakukan umat.
Pertemuan umat di paroki dan komunitas lainnya paling banyak dilaksanakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
dalam kegiatan liturgi. Hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang mengherankan
sebab kegiatan liturgi telah menjadi bagian penting dalam komunitas Gereja.
Sejak Gereja Perdana, pertemuan liturgi sudah menjadi acara pokok dalam
komunitas umat1. Gereja pada saat itu menyadari bahwa mereka berkumpul
karena dipanggil bersama oleh Tuhan dan kini tetap hadir di tengah-tengah
mereka sesuai dengan janji kesanggupanNya (Mat 18:20; 28:20).2 Oleh karena
itu, Liturgi mendapat tempat istimewa dalam Gereja. Liturgi merupakan puncak
dan sumber kehidupan Gereja (SC 10)3.
Mengingat begitu sentralnya tempat liturgi bagi kehidupan Gereja, Gereja
berusaha agar umat dapat semaksimal mungkin menimba kekuatan dari liturgi.
Hal ini hanya bisa dilakukan kalau mereka sungguh dapat menghayati perayaan
liturgi dengan baik. Untuk dapat menghayati perayaan liturgi dengan baik mereka
perlu mendapatkan bimbingan yang memadai tentang liturgi (bdk SC 14). Maka
dari itu, katekese liturgi sebagai upaya Gereja membimbing umat merupakan
tuntutan mutlak dalam kehidupan Gereja. Dengan katekese liturgi, umat akan
memiliki pengertian dan pemahaman mengenai liturgi. Pengertian dan
pemahaman mengenai liturgi yang memadai akan membantu umat merayakan
liturgi dengan penuh kesadaran dan keterlibatan. Kalau umat memahami liturgi
yang mereka rayakan, diharapkan mereka akan merayakan liturgi dengan penuh
khidmat. Dari perayaan yang diikuti dengan khidmat itu umat diharapkan
memperoleh daya dorong dalam melaksanakan tugas perutusan dalam kehidupan
1 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, 48; Demikian pula J.A. Jungmann dalam Pastoral Liturgy, London, Challoner Publications Ltd, 1962, 381, menyatakan bahwa “There can be no doubt whatever that the liturgy, especially Sunday worship, represent an important point in the circle of parish activities”. 2 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 49. 3 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
sehari-hari. Dengan demikian perayaan liturgi diharapkan akan menghasilkan
daya guna bagi umat dalam hidup mereka sehari-hari.
Pemikiran mengenai katekese liturgi dan perlunya katekese liturgi pada
umumnya telah dibahas oleh banyak pihak. Konstitusi Liturgi (Sacrosanctum
Concilium) menegaskan bahwa “Bunda Gereja menginginkan, supaya semua
orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif
dalam perayaan-perayaan liturgi” (art. 14; lih. juga GE 4 dan SC 19). Bimbingan
bagi umat beriman ini merupakan tuntutan mutlak yang harus dilaksanakan oleh
Gereja. Katekese ini perlu karena pada masa yang akan datang, umat Kristen,
bersama dengan umat beragama lain berada dalam masyarakat teknologi dengan
ciri-cirinya seperti instrumentalistik, pluralistik dan hiperrealistik4. Dalam kodisi
alam pikir seperti itu, liturgi yang kaya akan bahasa simbol tentu tak mudah
dipahami bila orang tidak diberi pengertian yang memadai. Implikasinya adalah
bahwa katekese liturgi mesti juga memperhitungkan medan yang melingkupi
keberadaan umat beriman5.
Katekese liturgi diperlukan justru karena sifat sakramental dan simbolik
dari liturgi itu sendiri. 6 Karena simbol-simbol itu memiliki makna keselamatan
yang ingin diungkapkan, sebuah katekese yang membantu umat beriman
memahami makna dan simbol-simbol dalam liturgi mutlak diperlukan. Sebab
kalau tidak, perayaan liturgi hanya akan dirayakan secara ritual belaka.
Direktorium Kateketik Umum memaparkan bahwa katekese diperlukan selain
untuk memberi keterangan mengenai simbol-simbol liturgi, juga untuk
4 Richard R. Gaillardetz, “Doing Liturgy in a Technological Age”, dalam Worship, 71, (1997: 5), 429-450. 5 Richard R. Gaillardetz, “Doing Liturgy in a Technological Age”, ibid, 429-450. 6 FX Adisusanto,” Katekese dan Liturgi”, dalam Umat Baru no.165,1995, 3-7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
mendorong umat beriman untuk dengan senang hati berbuat olah tobat, senang
mengajukan doa permohonan dengan penuh kepercayaan, senang bersemangat
menjemaat dan memahami bahasa simbolik secara betul (DCG art. 25).
Dalam pandangan Gilbert Ostdiek, katekese dan liturgi merupakan dua
bidang yang perlu dilaksanakan secara integral.7 Ada dua dasar biblis yang
mendasari pandangannya. Dasar biblis pertama adalah Kisah Emmaus (Luk 24:
13-35) yang merupakan kisah mengenai “Perayaan Ekaristi awali” dalam
komunitas Kristen. “Perayaan Ekaristi awali” tersebut begitu menyentuh hati dan
memberi daya ubah bagi kedua murid karena adanya “katekese” sebelumnya yang
diberikan oleh Yesus yang bangkit. Dalam kisah tersebut amat jelas bahwa
“katekese” menjadi hal penting sebelum orang merayakan liturgi dengan penuh
makna. Dasar biblis kedua adalah peristiwa Pentekosta (Kis 2). Dalam peristiwa
ini, Petrus melakukan katekisasi yang kemudian diikuti dengan tindakan orang-
orang dengan memberi diri mereka untuk dibabtis dan merayakan Ekaristi (Kis 2:
41-47).8
Dua dasar biblis ini memberi gambaran bahwa katekese dan liturgi
merupakan dua hal berbeda namun saling menopang satu sama lain.9 Katekese
tanpa liturgi hanya merupakan suatu transfer intelektual.10 Sebaliknya, liturgi
tanpa katekese hanya akan menjadikan perayaan liturgi bergerak ke arah
ritualisme yang membosankan.11 Katekese pada tataran pastoral liturgi bertugas
7 Gilbert Osdiek, “Liturgical Catechesis”, dalam Peter E. Fink (ed.), The New Dictionary of Sacramental Worship, Collegeville, The Liturgical Press, 1990, 167-168. 8 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 167-168. Catatan serupa bisa dilihat pada paparan V. Indra Sanjaya, “Semangat Berbagi dalam Gereja Perdana: Sebuah Tinjauan Alkitabiah”, dalam buku kenangan Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang: Berbagi 5 Roti dan 2 Ikan, Gua Maria Kerep Ambarawa 27-29 Juni 2008, 18. 9 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 169. 10 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 169. 11 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 169.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
untuk mempersiapkan umat untuk berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif
dalam liturgi.12 Sebagai akibatnya, partisipasi tersebut mendorong umat untuk
merefleksikan hidupnya sehari-hari berdasarkan inspirasi yang mereka dapat
dalam liturgi yang dirayakan.
Kajian di atas memperlihatkan pandangan bahwa katekese liturgi
merupakan hal yang amat mendesak untuk segera dilakukan. Katekese liturgi
tidak bisa dilaksanakan sambil lalu begitu saja. Kemendesakan katekese liturgi ini
berkaitan dengan peran sentral liturgi dalam kehidupan Gereja. Katekese liturgi
tidak hanya menyangkut pada aspek bagaimana liturgi dapat dirayakan dengan
baik saja, melainkan juga menyangkut peri hidup umat beriman secara lebih luas
dalam kaitannya dengan kehidupan hariannya di tengah masyarakat. Oleh karena
itu aspek-aspek yang perlu diperhatikan menurut hemat kami adalah bagaimana
mengajak umat untuk tidak melulu memikirkan liturgi terpisah dari kehidupan,
melainkan memikirkan liturgi dalam kaitannya dengan kehidupan mereka. Kalau
demikian, studi mengenai katekese liturgi menyangkut juga studi terhadap kondisi
komunitas umat dan komunitas masyarakat di mana umat berada di dalamnya.
Dalam beberapa kasus, ditengarai bahwa keterlibatan umat dalam
merayakan liturgi belum memuaskan. Dalam beberapa paroki dan kelompok-
kelompok umat masih sering dijumpai bahwa umat kurang (bisa) terlibat aktif
dalam perayaan liturgi. Pada umumnya mereka merasakan bahwa perayaan liturgi
dirasa tidak memenuhi kebutuhan mereka. Dalam Catatan mengenai Ragam Jejak
dan Tindak Lanjut Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang I
pada tanggal 27 – 29 Juni 2008 yang lalu terungkap kesan umum bahwa
12 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 169.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
penghayatan Ekaristi semakin hari semakin luntur.13 Umat semakin mencari yang
serba praktis. Akibatnya pemaknaan dan penghayatan Ekaristi menjadi hambar.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila berbagai usulan dimunculkan untuk
menanggapi kesan umum tersebut seperti misalnya: boleh diijinkan menggunakan
lagu pop, misa kreatif, modifikasi misa, membuat menarik kemasan Ekaristi,
dll.14
Untuk mengusahakan agar umat mendapatkan katekese liturgi yang
memadai Gereja Keuskupan Agung Semarang mengadakan Bulan Katekese
Liturgi yang dimulai pada tahun 1999. Dengan katekese liturgi yang memadai dan
tertata, diharapkan bahwa umat dapat merayakan liturgi secara sadar dan aktif
sesuai harapan Konsili Vatikan II (bdk. SC 14)15. Bulan Katekese Liturgi ini
dilaksanakan pada Bulan Mei dengan maksud agar Bulan Maria ini bisa
ditingkatkan dari segi kualitasnya, sehingga devosi yang sudah merakyat di hati
umat mendapat kaitan eratnya dengan liturgi sebagai sumber dan puncak
kehidupan kristiani (SC 10).16 Bulan Katekese Liturgi ini dilaksanakan secara
serentak di paroki-paroki di seluruh keuskupan, termasuk di dalamnya adalah
Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung yang dipilih sebagai objek penelitian
ini. Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung dipilih sebagai objek penelitian
13 Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Berbagi 5 Roti & 2 Ikan: Ragam Jejak dan Tindak Lanjut Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Komlit KAS, 2008, 83-84. 14 Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Berbagi 5 Roti & 2 Ikan, 133- 134. 15Lihat E. Martasudjita (dkk.), Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Berliturgi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, 5. 16 Lihat E. Martasudjita (dkk.), Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Berliturgi, 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
karena alasan praktis yakni telah tersedianya data kuantitatif mengenai
pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi.17
1. 2 Rumusan Permasalahan (Hipotesa Kerja)
Dengan pandangan sebagaimana dipaparkan dalam bagian latar belakang
di atas, penulis sampai pada hipotesa bahwa Bulan Katekese Liturgi berpengaruh
dalam pengembangan bidang liturgi umat Paroki Santo Yohanes Rasul
Pringwulung. Hipotesa ini akan diuji dalam tesis ini dengan menggunakan
panduan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Katekese Liturgi? Mengapa diperlukan suatu
Katekese Liturgi?
Pertanyaan ini akan menjadi pintu masuk dari berbagai penjelasan dan
argumentasi mengenai katekese, liturgi, katekese liturgi. Melalui
pertanyaan ini akan dipaparkan mengenai pentingnya katekese liturgi
bagi kehidupan umat beriman dalam bidang liturgi.
2. Bagaimana pelaksanaan dan pengaruh Bulan Katekese Liturgi bagi
partisipasi umat dalam pelaksanaan kegiatan liturgi di Paroki
Pringwulung?
Dalam bagian ini penulis akan memaparkan data hasil observasi lapangan
mengenai pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi di Paroki Pringwulung.
Dari data ini, penulis akan mengambil sebuah kesimpulan.
17 Data kuantitatif yang dimaksud adalah data yang diambil dari penelitian pastoral FTW 2008.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
3. Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi?
Pertanyaan ini mau dijawab dengan melihat korelasi antara data-data yang
ada dan kajian teoritis serta berbagai usulan pastoral.
1. 3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Di bidang perencanaan dan program katekese liturgi: memaparkan
gagasan yang kreatif dan inovatif dalam katekese liturgi, sehingga
katekese liturgi tidak hanya terpaku pada kegiatan yang sudah ada.
2. Di bidang pelaksanaan karya pastoral liturgi: mengetahui pengaruh Bulan
Katekese Liturgi tahun 2008 bagi pemahaman dan partisipasi umat dalam
pelaksanaan kegiatan liturgi di Paroki Pringwulung. Tingkat pemahaman
dan partisipasi umat di Paroki Pringwulung ini digunakan sebagai titik
pijak untuk melihat pengaruh Bulan Katekese Liturgi sebagaimana
dimaksudkan pada awal mulanya.
3. Di bidang metode pastoral: membantu memetakan masalah pastoral liturgi
dengan melihat data dan fakta.
4. Di Bidang akademik: mengetahui dan memahami hakekat katekese liturgi
dalam kehidupan Gereja. Hakekat katekese liturgi dalam kehidupan Gereja
sebagaimana disampaikan dalam Ajaran Gereja dan pandangan para ahli
menjadi arah ideal yang hendak dituju dalam penulisan tesis ini.
5. Di bidang Administrasi Fakultas: memenuhi persyaratan untuk
menyelesaikan program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
1. 4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu :
1. Memberi masukan ilmiah pada penentuan kebijakan pastoral dalam hal
liturgi agar semakin efektif dengan data-data yang semakin tersedia.
2. Memetakan masalah katekese liturgi yang berbasis data. Hal ini diperlukan
untuk memberi dasar pijakan bagi perencanaan program katekese liturgi
sehingga menghasilkan inovasi dan kreasi dalam hal katekese liturgi yang
semakin berdampak bagi banyak kalangan.
3. Memberi sumbangan pada Penanggungjawab reksa pastoral Paroki Santo
Yohanes Rasul Pringwulung khususnya dan Keuskupan Agung Semarang
pada umumnya sebagai alat bantu untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi program katekese liturgi.
1. 5 Batasan istilah
Untuk memahami secara lebih terfokus, penulis memaparkan suatu
batasan istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Adapun istilah-
istilah yang dipakai dalam tesis ini kami batasi dengan pengertian sebagai berikut:
a. Katekese liturgi
Katekese liturgi terdiri dari dua kata yakni katekese dan liturgi. Katekese
secara harafiah berarti “menyerukan ke bawah”, “menggemakan kembali
seruan kepada yang lain”. Kata ini berasal dari kata Yunani katechein:
kata = ke bawah, dan echein = menyuarakan. Jemaat Kristen purba
mengadopsi kata ini dalam tugas mereka mengajarkan atau mewartakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Injil dan menggunakannya dengan maksud sebagai “sebuah instruksi yang
diberikan melalui kata-kata yang keluar dari mulut” (mis. Luk 1:4; Kis
18:25; 1Kor 14:19; Gal 6:6).18 Sementara kata liturgi secara harafiah
berarti karya dari/untuk masyarakat. Kata ini berasal dari kata Yunani
leitourgia, laitos/leitos : dari masyarakat, laos, dan ergon: karya. Jemaat
Kristen purba mengadopsinya untuk menyebut tindakan dan pelayanan
kepada yang lain, memberi bantuan dan sebagainya untuk kepentingan
Injil (Flp 2:30; Rom 15:27; 2Kor 9:12); tindakan ibadat umum (Kis 13:2;
Ibr 8:2,6).19 Dari kedua kata itu didapat kata katekese liturgi yang berarti
pengajaran kepada umat mengenai liturgi.
b. Dokumen Gereja tentang Katekese Liturgi
Yang dimaksud dengan dokumen Gereja tentang Katekese liturgi adalah
dokumen-dokumen yang dikeluarkan Gereja secara resmi dan menyeluruh
mengenai katekese liturgi. Dokumen tersebut dapat berupa dokumen
konsili, deklarasi, dekrit, ensiklik Paus maupun anjuran-anjuran dari kuasa
mengajar Gereja. Terutama dalam tulisan ini dokumen-dokumen yang
diacu adalah dokumen-dokumen yang dikeluarkan Gereja sejak Konsili
Vatikan II.
c. Bulan Katekese Liturgi
Bulan Katekese Liturgi adalah sebuah program katekese liturgi yang
dilaksanakan dalam kurun waktu satu bulan setiap tahunnya. Keuskupan
Agung Semarang mengawali bulan katekese liturgi ini pada tahun 1999
18 Gilbert Osdiek, “Liturgical Catechesis”, 163. 19 Gilbert Osdiek, “Liturgical Catechesis”, 169.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
dan masih berlangsung terus tiap tahun hingga sekarang. Bulan Katekese
Liturgi ini dilaksanakan setiap bulan Mei bersamaan dengan bulan Maria.
d. Data lapangan20
Yang dimaksud dengan data lapangan adalah data yang diperoleh melalui
penelitian dan pengamatan lapangan, dalam hal ini komunitas umat paroki
Pringwulung.
e. Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung
Komunitas Gereja yang menjadi subjek penelitian. Paroki Santo Yohanes
Rasul Pringwulung salah satu Paroki perkotaan yang berada dalam lingkup
Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang.
Paroki Pringwulung dipilih sebagai subjek penelitian karena berbagai
pertimbangan antara lain, telah tersedianya data yang memadai mengenai
Bulan Katekese Liturgi tahun 2008, terjangkau dalam segi waktu dan
biaya.
1. 6 Metode Penelitian
20 Damianus Tukiran, Handout Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, FTW, 2008.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Penelitian dilakukan di Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung.21
Responden diambil secara purposive random sampling dengan
mempertimbangkan komposisi umat pada masing-masing lingkungan.
Selanjutnya, data-data kuantitatif tersebut diperdalam dalam Diskusi Kelompok
terfokus (Focus Group Discussion) dan wawancara mendalam (Indepth Interview)
dengan ketua Tim Liturgi Paroki. Data-data tersebut di coding untuk kemudian
diolah untuk tugas kami. Setelah data-data terkumpul dan disimpulkan, penulis
akan melihat ajaran dan kajian pustaka mengenai katekese liturgi. Langkah
berikutnya adalah membuat analisa atas data dengan komparasi antara lingkungan
dan pendidikan. Soal-soal yang muncul kemudian diperdalam melalui FGD
(Focus Group Discussion). Dari situ penulis akan menarik kesimpulan dan
pemaparan usulan dan langkah-langkah pastoral.
21 Penelitian ini dilakukan oleh sekelompok mahasiswa semester II, Program Magister Teologi, Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, di mana penulis juga terlibat di dalamnya. Penelitian dilaksanakan dengan mengambil tema: “Relevansi Pelayanan Gereja Keuskupan Agung Semarang di Zaman Sekularistik”. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui relevansi pelayanan Gereja KAS selama ini. Penelitian dilaksanakan di 4 Kota besar di wilayah Keuskupan Agung Semarang yakni Magelang, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta. Di Kota Magelang, penelitian dilaksanakan di Paroki Santo Ignatius. Di Kota Semarang, Penelitian dilaksanakan di 3 paroki yakni Paroki Santo Fransiskus Xaverius Kebondalem, Paroki Ratu Rosario Katedral, dan Paroki Santa Theresia Bongsari. Di kota Surakarta, penelitian dilaksanakan di paroki Santa Maria Regina Purbawardayan, paroki Santo Antonius Purbayan dan Paroki St. Petrus Purwosari. Sedangkan di kota Yogyakarta, penelitian dilaksanakan di paroki Santo Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Paroki Santo Antonius Kotabaru dan Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung. Untuk keperluan penulisan tesis ini, penulis hanya akan mengambil data yang diperoleh dalam penelitian di Paroki Pringwulung. Untuk memperdalam data penelitian ini, penulis melaksanakan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode kualitatif. Pengambilan data kualitatif dilaksanakan dengan Focus Group Discussion yang kemudian disingkat dengan FGD(diskusi kelompok terfokus). Kelompok diskusi terdiri dari 5 orang warga Lingkungan Santo Kristoforus Samirono, Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung. FGD tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Maret 2009, pkl 20.30 – 21.30 wib. Hasil dari FGD tersebut kemudian ditranskrip dan dijadikan bahan analisis. Untuk memperkaya bahan analisis ini, penulis juga mengumpulkan data-data yang terdapat dalam arsip Paroki Pringwulung. Selain itu data-data mengenai karakter penduduk yang melingkupi Paroki Pringwulung, dalam hal ini Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman juga dikumpulkan melalui proses downloading dari internet khususnya dari Situs Pemerintah Kabupaten Sleman, Pemerintah Provinsi DIY dan Biro Pusat Statistik Propinsi DIY.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
1. 7 Variabel Penelitian
Penelitian Pengaruh Bulan Katekese Liturgi Bagi Pengembangan Bidang
Liturgi Umat Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung ini didasarkan pada dua
aspek yakni:
A. Identitas responden yang menyangkut soal umur, pendidikan, pekerjaan
dan lama tinggal.
B. Liturgi dan peribadatan yang terdiri dari sebelas pertanyaan, yaitu:
tentang kemasan pelayanan, kesesuaian kebutuhan, inspirasi sehari-hari,
doa-doa mingguan, pelayan awam, pelayan tertahbis, kehadiran umat
dan devosi lingkungan.
1. 8 Sistematisasi Penulisan
Sistematisasi penulisan disusun sebagai berikut: diawali bab I yang akan
menguraikan latar belakang pemasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
batasan istilah, rumusan masalah, metodologi dan sistemasisasi penulisan. Bab II
membahas data dan pengolahan data. Data-data yang diperlukan diolah dan
dibahasakan dengan memperhatikan unsur-unsur sebagaimana terdapat dalam
pokok permasalahan karya tulis ini. Bab III merupakan kajian teoritis untuk
menguji data yang ada. Kajian-kajian tersebut dapat ditemukan dalam pernyataan
dokumen-dokumen Gereja, browsing internet maupun dalam literatur-literatur
yang tersedia.
Bab IV merupakan tinjauan teoritis atas data. Data yang tersedia dianalisa
dengan menatapkannya dengan ajaran Gereja dan literatur-literatur mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
liturgi. Terakhir, bab V menjadi kesimpulan dari seluruh karya tulis ini. Dalam
bagian ini, penulis akan menyampaikan kesimpulan dan beberapa pertimbangan
konkret yang bisa dijadikan usulan untuk pelaksanaan program yang sama di
tahun-tahun mendatang. Harapan umum dari tesis ini adalah bahwa semoga karya
pastoral liturgi dapat meningkat terus-menerus dari tahun ke tahun.
BAB II
PRAKTEK PELAKSANAAN BULAN KATEKESE LITURGI DI
KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG, KHUSUSNYA DI PAROKI SANTO
YOHANES RASUL PRINGWULUNG
2. 1 Katekese Liturgi di Keuskupan Agung Semarang22
Katekese liturgi merupakan bagian karya pastoral di Keuskupan Agung
Semarang. Keuskupan Agung Semarang memiliki sejarah panjang dari awal
mula berdirinya. Penelusuran mengenai sejarah berdirinya Keuskupan ini tentu
tidak akan disampaikan di sini secara lengkap. Perlu studi khusus untuk
melakukannya. Beberapa penulis sudah melaksanakannya dan menghasilkan
karya-karya yang baik.23 Sejarah pelayanan liturgi Keuskupan Agung Semarang
22 Uraian mengenai hal ini banyak diambil dari Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, terutama bagian sekilas perjalanan. 23 Keterangan mengenai sejarah Keuskupan Agung Semarang dapat dilihat misalnya dalam G. Budi Subanar, Soegija, Si Anak Betlehem van Java: Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, Yogyakarta, Kanisius, 2003. Selain itu juga bisa dilihat dalam Tim KAS., Garis-garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, hlm. 67. Teks mengenai sejarah KAS dimulai pada masa Vikariat: “Vikariat Apostolik Semarang didirikan oleh Paus Pius XII pada tanggal 25 Juni 1940 dengan Constituto Apostolica
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
dalam tulisan ini akan disampaikan sejauh menjadi panorama dalam melihat
perkembangan katekese liturgi.
Perkembangan katekese liturgi tidak bisa dilepaskan dari peranan banyak
pihak. Para katekis dan guru-guru agama, entah yang purna-waktu maupun paruh-
waktu, entah yang otodidak maupun yang secara khusus dididik pada pusat
pendidikan Kateketik24 berperan besar dalam membuat liturgi semakin dikenal
dan dimengerti oleh sebanyak mungkin umat beriman. Selain itu, pusat-pusat
pendidikan Katolik, Seminari dan asrama-asrama mahasiswa juga memiliki peran
amat menentukan dalam pengembangan bidang liturgi umat, sebab di antara para
lulusannya, banyak yang kemudian terlibat aktif dalam kehidupan menggereja
dengan membawa pengalaman berliturgi di komunitas mereka sebelumnya.
Vetus de Batavia.23 Vikaris Apostolik Semarang yang pertama adalah Mgr. Albertus Soegijopranata, SJ. Usulan pendirian Vikariat ini tak lepas dari kunjungan ad limina apostolorum Mgr. P. Willekens, SJ sebagai Vikaris Apostolik Batavia pada waktu itu. Ada beberapa alasan yang disampaikan Mgr Willekens mengenai perlunya pembentukan Vikariat Apostolik tersebut yakni: Pertama, Vikariat Apostolik Batavia terlalu luas karena mencakup wilayah Batavia, Bogor (Buitenzorg) dan seluruh wilayah Jawa Tengah; Kedua, wilayah Batavia dan Jawa Tengah memiliki kultur yang berbeda; ketiga, wilayah Jawa Tengah telah memiliki fasilitas bangunan dan personel misionaris yang memadai. 23Dalam pertemuannya dengan Kardinal Agagianian, Prefek Kongregasi Propaganda Fide, Mgr. Willekens menambahkan satu alasan lagi yakni perkembangan politis di Hindia Belanda dengan meningkatnya aktivitas Gerakan Komunis. Vikariat Apostolik Semarang menjadi Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 3 Januari 1961 dengan Mgr. A. Soegijapranata, SJ sebagai Uskup Agung yang pertama. Perubahan ini berdasarkan Keputusan Bapa Suci Yohannes XXIII dalam Konstitusi Apostolik “Quod Christus. Perubahan ini juga dilaporkan kepada Menteri Agama RI yang kemudian mengukuhkannya dengan Surat Keputusan No. 89 tahun 1965”. 24 Kalau membicarakan Pusat Kateketik, tidak bisa diabaikan keberadaan Pusat Musik Liturgi (PML yang didirikan pada tahun 1971. Sejak tahun 1987, PML menjadi bagian dari Pusat Kateketik. PML didirikan dengan tujuan mengabdi pada perkembangan usik di Indonesia pada umumnya, dan music liturgy pada khususnya, terutama dalam rangka inkulturasi. Hasil yang tampak dan hingga sekarang menjadi bagian penting ibadat Gereja adalah Buku Madah Bakti dengan aneka turunannya. Buku ini diterbitkan pada tahun 1983 setelah diadakan usaha pengumpulan dalam Kongres Musik Liturgi Indonesia. Keterangan selengkapnya lihat pada Tim KAS, Garis-garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Keuskupan Agung Semarang, 1991, 120.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2. 1. 1. Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang Sebagai Dasar Acuan
Katekese Liturgi25
Pembaruan dan pembenahan fungsi Dewan Karya Pastoral Keuskupan
Agung Semarang sejak dekade 1980-an hingga 1990-an memberi pengaruh pada
tata penggembalaan komisi-komisi keuskupan. Komisi-komisi dikoordinasikan
dalam Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Mulai tahun 1984
umat Allah Keuskupan Agung Semarang memiliki Arah Dasar yang menjadi arah
panduan bersama gerak hidup umat Allah di Keuskupan Agung Semarang.
Selanjutnya setiap lima tahun arah dasar tersebut direfleksikan kembali sesuai
dengan konteks dan kebutuhan pastoral yang menyertainya. Arah dasar
Keuskupan Agung Semarang tahun 1984-1990 meliputi Cita-cita Keuskupan
Agung Semarang, Tekanan khusus, kepemimpinan hirarki, dan ikhtiar untuk
melanjutkan perkembangan yang sudah ada. Berikut secara lengkap kutipan Arah
Dasar Keuskupan Agung Semarang tahun 1984-199026:
ARAH DASAR KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Jangka Kerja 1984-1990
CITA-CITA Keuskupan Agung Semarang ingin mewujudkan diri sebagai UMAT ALLAH yang beriman mendalam, sesuai dengan kebudayaan setempat; beriman dewasa, semua turut bertangungjawab dan terlibat, mandiri; beriman missioner, kepada yang terbuka, siap mewartakan Yesus/Injil; kepada yang tertutup, siap mewartakan yang benar, baik dan suci; kepada yang keyakinan agamanya kuat, mencoba meningkatkan menjadi orang yang betul-betul baik, beriman memasyarakat, meresapi segala tata kehidupan bermasyarakat dengan semangat/nilai Kristen. TEKANAN KHUSUS Tanpa mengurangi pentingnya nilai unsur-unsur lainnya, tanpa mengabaikan perkembangan dalam segi-segi lainnya, Keuskupan perlu memilih tekanan khusus terhadap unsur dan bidang mana yang akan mendapat perhatian khusus pada tahun ini. Dalam Rapat Dewan Karya Pastoral tanggal 28 Nopember 1984, telah ditetapkan bahwa tekanan khusus akan dijatuhkan pada terwujudnya Umat yang imannya merasuki seluruh dimensi hidup di dalam masyarakat (cfr. BPH KAS)
25 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang Tahun 2007. 26 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta, Kanisius, 2009, 9-11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
KEPEMIMPINAN HIRARKI/DEWAN PAROKI, PAMONG DAN LAIN-LAIN PANITIA Dari cita-cita tersebut di atas, yang ingin kita utamakan adalah membangun Umat Allah, menjadi umat beriman, yang imannya penuh dan lengkap, yang imannya mendalam, dewasa, misioner dan memasyarakat. Fungsi Hirarki, Dewan Paroki, Panitia, Pamong dan lain-lain: melayani, mengabdikan diri dengan segala usaha, agar terwujudlah dan berkembanglah di Keuskupan kita ini UMAT ALLAH yang imannya penuh dan lengkap: yang mendalam, dewasa, misioner, dan memasyarakat tersebut. Maka kalau ingin menilai maju atau perkembangan Keuskupan atau paroki-paroki, hendaklah menilai dalam bidang itu tadi, bukan karena organisasinya rapi dan lain-lain. Kalau ingin menilai apakah Hirarki, Dewan Paroki, Pamong, Panitia, dan lain-lain berhasil atau tidak, yang menjadi ukuran ialah: Apakah usaha-usahanya sungguh mengembangkan kita menjadi Umat Allah yang imannya dalam, dewasa, misioner dan memasyarakat tersebut. Untuk tahun ini, paling tidak diharapkan lebih mengutamakan terwujudnya umat yang imannya makin merasuki kehidupannya dalam masyarakat. MELANJUTKAN PERKEMBANGAN YANG SUDAH ADA Seperti telah disebutkan di atas, dengan mengutamakan salah satu aspek kita tidak mau mengabaikan apa-apa yang penting yang telah berkembang dalam Keuskupan kita, hal itu harus kita lanjutkan juga. Maka kita teruskan apa yang telah dilukiskan dalam buku: Perjalanan Umat Allah maupun dalam buku Gereja Kita. Banyak hal dasar dan tradisi baik sudah ditanamkan dalam umat. Untuk perkembangan lebih lanjut, kita akan bercermin pada cita-cita dan mengembangkan dengan kenyataan riil yang ada sampai sekarang. Kemudian dari situ kita merumuskan tekanan khusus yang ingin diusahakan untuk dikembangkan pada tahun-tahun mendatang, karena di bidang itu kita masih perlu berkembang.
(Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ)
Arah Dasar KAS 1984-1990 menyebut Umat Allah27 sebagai tujuan
perwujudan diri Keuskupan Agung Semarang. Umat Allah yang dimaksudkan
adalah umat Allah yang beriman mendalam, dewasa, misioner dan memasyarakat.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, tekanan khusus pada periode ini adalah peranan
iman umat Katolik yang merasuki kehidupan masyarakat.28 Tentu saja iman yang
memasyarakat tidak bisa diandaikan muncul begitu saja. Untuk dapat beriman
secara mendalam sehingga bisa mewarnai hidup masyarakat, perlu ada suatu
usaha yang harus dilakukan. Dalam rangka ini komisi-komisi memainkan peranan
27Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 40-41. Istilah Umat Allah ini selalu muncul dalam setiap Ardas pada periode-periode selanjutnya. Istilah Umat Allah dipakai untuk menggambarkan Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus , dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (GS 1). Gereja sebagai Umat Allah menjadi gambaran Gereja yang paling menonjol yang hendak dibangun. 28 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
penting dalam mengusahakan pendalaman umat, termasuk juga komisi liturgi.
Komisi Liturgi mengadakan aneka pembaruan, khususnya menyangkut partisipasi
awam dalam liturgi, termasuk pembakuan istilah prodiakon paroki.29
Berpijak dari Arah Dasar tersebut, iman yang mendalam hanya dapat
dicapai kalau umat senantiasa berkontak dengan sumber yang menjadi pokok
iman tersebut. Pokok iman Kristiani adalah Yesus Kristus sendiri. Oleh karena itu,
kontak dengan Yesus mesti dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Liturgi adalah
salah satu jalan bagi orang Katolik untuk semakin mengenal Yesus secara lebih
mendalam. Logikanya, agar kontak secara mendalam dengan Kristus ini dapat
dicapai, umat perlu dibantu untuk mengerti dan memahami liturgi yang menjadi
medan perjumpaan antara umat dan Kristus sendiri.30
Selanjutnya, Arah dasar Keuskupan Agung Semarang tahun 1984-1990
dilanjutkan dengan Arah Dasar 1990-1995. Ardas ini merupakan proses
berkelanjutan dalam menghayati dan menjalani kehidupan imannya. Kutipan dari
Ardas 1990-1995 adalah sebagai berikut31 :
ARAH DASAR KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG Jangka Kerja 1990-1995
Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dalam perkembangan situasi hidup dalam budaya setempat, bercita-cita untuk semakin mengikuti Yesus Kristus secara penuh dalam menjawab dan memaklumkan kabar gembira penyelamatan-Nya. Bersama semua saudara yang berkehendak baik cita-cita tersebut dilaksanakan dengan: memupuk semangat persaudaraan sejati di antara umat dan saudara-saudara berkeyakinan lain,melibatkan diri dalam kegembiraan dan kecemasan masyarakat,mengusahakan terciptanya tatanan hidup demi kesejahteraan semua orang dengan mengutamakan saudara-saudara yang terlupakan dan menderita.
29 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 4. 30 Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi Keuskupan Malang, Pesan MAWI mengenai Pastoral Liturgi, Seri KKA no. 25, 1985, 9-10. 31 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 11-12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Penghayatan akan rahasia penyelamatan itu semakin disadari, dirasakan dan diperteguh dalam pewartaaan dan doa: “Semoga Ia yang memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya “(Flp. 1:6). Rumusan Arah Dasar 1990-1995 di atas merupakan kelanjutan Arah Dasar 1984-1990 dengan menjelaskan arti beriman (1) dan arti iman yang memasyarakat dalam perkembangan sitausi hidup dan budaya setempat dewasa ini (2,3) yang tetap mempunyai dimensi eskatologis (4). Maka Arah Dasar 1990-1995 tetap mempertahankan tekanan khusus Arah Dasar 1984-1990, yaitu “IMAN YANG MEMASYARAKAT’. Arah Dasar 1990 -1995 melibatkan seluruh fungsi dalam kehidupan Umat Allah, yang bertekad untuk mengolah penghayatan iman yang memasyarakat itu. Kalau ingin menilai maju atau berkembangnya Keuskupan atau paroki-paroki di Keuskupan Agung Semarang yang harus dijadikan ukuran adalah sejauh mana seluruh fungsi dalam kehidupan Umat Allah berhasil mewujudkan iman yang memasyarakat tersebut. Demikian juga yang harus digunakan sebagai ukuran untuk menilai berhasil atau tidaknya Hirarki, Dewan Paroki, Pamong, Panitia dan lain-lain, bukan kerapian organisasi, melainkan keberhasilan usaha-usaha tersebut melibatkan seluruh fungsi dalam kehidupan Umat Allah bersama-sama mewujudkan iman yang memasyarakat.
(Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ)
Ardas 1990-1995 menekankan secara khusus tentang perlunya memupuk
semangat persaudaraan sejati dengan mereka yang berkeyakinan lain. Tekanan ini
dirumuskan sebagai berikut: “Bersama-sama saudara yang berkehendak baik, cita-
cita umat Allah dilaksanakan dengan: memupuk semangat persaudaraan sejati di
antara umat dan saudara-saudara berkeyakinan lain; melibatkan diri dalam
kegembiraan dan kecemasan masyarakat; mengusahakan terciptanya tatanan
hidup demi kesejahteraan semua orang dengan mengutamakan saudara-saudara
yang telupakan dan menderita.” Ardas 1990-1995 ini juga menegaskan dan
menjelaskan dua hal yaitu arti beriman dan arti iman yang memasyarakat dalam
perkembangan situasi hidup dan budaya setempat dewasa ini yang tetap memiliki
dimensi eskatologis.32Berdasarkan semangat Ardas 1990-1995, dilaksanakan
paket-paket kaderisasi dan pembinaan pelbagai bidang seperti: katekese, liturgi,
32 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
kitab suci dan terbentuknya kelompok-kelompok bina.33 Paket kaderisasi dan
pembinaan ini dilaksanakan untuk memberi dukungan bagi karya yang sudah baik
dan berjalan serta untuk menemukan terobosan baru bagi karya pastoral.
Dalam bidang liturgi penekanan dilaksanakan dengan menggalang
kerjasama dengan komisi liturgi keuskupan lain dalam lingkup komisi liturgi
KWI. Pokok perhatian Komisi pada awal tahun 1990-an adalah bidang musik
liturgi dan penerbitan beberapa buku liturgi dan peribadatan dalam bahasa Jawa.34
Perhatian pada bidang musik liturgi mengacu pada Sacrosanctum Concilium art.
115 sebagaimana dikutip oleh Para Uskup MAWI (sekarang KWI) dalam
pesannya mengenai pastoral liturgi 1985: “Dalam hubungan inilah maka makin
mendesak mengusahakan agar “teks-teks yang diperuntukkan bagi nyanyian suci
ditimba dari Kitab Suci dan sumber-sumber liturgi”. 35
Setelah dua Arah Dasar sebelumnya, pada tahun 1996-2000 diterbitkan
Arah Dasar yang baru. Selain merupakan evaluasi dari Ardas sebelumnya yaitu
Ardas 1984-1990 dan Ardas 1990-1995, Ardas ini menjadi pedoman umum
pelaksanaan karya pastoral Keuskupan Agung Semarang untuk periode
berikutnya. Dalam Ardas 1996-2000 ini ditegaskan lagi mengenai kata “beriman”
yakni “membuka diri untuk menerima Allah, mengalami kehadiran-Nya baik
dalam doa, karya maupun peristiwa”.36 Iman tidak lain adalah pengalaman akan
Allah yang mendorong orang untuk mengungkapkan dan mengamalkannya dalam
33 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 46-47. 34 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 35 Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi Keuskupan Malang, Pesan MAWI mengenai Pastoral Liturgi, Seri KKA no. 25, 1985, 5-6. 36 Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 49-50.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
kehidupan sehari-hari dalam pergumulan masyarakat.37 Tekanan khusus Ardas ini
adalah “membela kehidupan dan menjunjung tinggi marabat manusia”.38 Hal ini
dipengaruhi oleh Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI 1995). Dalam
salah satu pokok bidang pengembangan Umat Allah, SAGKI 1995 merumuskan
perlunya “membela kehidupan”.39 “Membela kehidupan” ditekankan dengan
argumentasi bahwa tindakan membela kehidupan akan berimbas, baik secara
langsung maupun tidak langsung ke arah dimensi kehidupan lainnya.40Setelah
melewati berbagai tahap pembicaraan akhirnya didapatkan rumusan sebagai
berikut41:
ARAH DASAR UMAT ALLAH KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG
1996-2000
Umat Allah Keuskupan Agung Semarang, dalam perkembangan situasi hidup dan budaya setempat, bercita-cita untuk semakin setia mengikuti Yesus Kristus yang memaklumkan Kerajaan Allah, dengan beriman dewasa, mendalam, missioner dan memasyarakat.
Dalam hal ini beriman berarti membuka diri untuk menerima Allah, mengalami kehadiran-Nya baik dalam doa, karya maupun peristiwa. Iman sebagai pengalaman akan Allah mendorong orang untuk mengungkapkan dan mengamalkannya
Terutama untuk masa kini, cita-cita tersebut diwujudkan dengan membela kehidupan dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Terwujudnya cita-cita tersebut diperlancar dengan tata penggembalaan yang mengikut-sertakan dan mengembangkan seluruh warga Gereja.
“Ia yang memulai pekerjaan baik di antara kita, akan menyelesaikannhya” (Flp 1:6)
Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ Uskup Agung Semarang
37 Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 50. 38 Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 50. 39 Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 50. 40 Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 50. 41 Lih. M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 25.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Ardas periode ini ditandai dengan pergantian pimpinan Keuskupan yakni
dari Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ ke Mgr. Ignatius Suharyo. Perubahan ini
berpengaruh pada gerak pelayanan pastoral pada umumnya tak terkecuali dalam
bidang liturgi. Pelayanan Liturgi yang ditangani oleh Komisi Liturgi dilaksanakan
dengan membangun mekanisme kerja model Tim Kerja.42 Langkah pertama yang
dilakukan adalah dengan membentuk Tim Komisi Liturgi Kevikepan.43 Kemudian
paroki-paroki juga didorong untuk membentuk Tim Liturgi paroki-paroki se
Keuskupan Agung Semarang.44 Selain itu, sejak tahun 1999 di Keuskupan Agung
Semarang, Bulan Mei, selain sebagai Bulan Maria juga ditetapkan sebagai Bulan
Katekese Liturgi. Untuk keperluan Bulan Katekese Liturgi ini, Komisi Liturgi
KAS menyediaan bahan-bahan untuk umat berpijak dari fokus pastoral yang
ditentukan bersama dalam Dewan Karya Pastoral. 45
Setelah periode Ardas 1995-2000 berakhir, diterbitkanlah Ardas baru
untuk periode 2001-2005. Dalam Ardas 2001-2005 ini terdapat unsur baru yakni
“dengan bimbingan Roh Kudus semakin setia mengikuti Yesus Kristus yang
memaklumkan Kerajaan Allah yang memerdekakan”. Ardas 2001-2005
meneguhkan dan melanjutkan segala yang baik dan yang benar, yang telah
berkembang dalam kehidupan umat berdasarkan Ardas sebelumnya.46 Dalam
Ardas ini dikembangkan istilah tata penggembalaan yang melibatkan,
mengembangkan, dan memberdayakan seluruh umat. Istilah ini penting dan
menjadi model kepemimpinan di Keuskupan ini. Istilah ini amat mempengaruhi
42 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 43 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 44 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 45 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 46 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
pola kerja institusi-institusi Gerejawi di Keuskupan Agung Semarang seperti
paroki-paroki dan komisi-komisi. Rumusan lengkap Ardas 2000-2006 adalah
sebagai berikut:
ARAH DASAR UMAT ALLAH KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG 2001-2005
Umat Allah Keuskupan Agung Semarang bercita-cita dengan bimbingan Roh Kudus semakin setia mengikuti Yesus Kristus yang memaklumkan Kerajaan Allah yang memerdekakan (bdk. Luk 4:18-19). Mengikuti Yesus Kristus berarti membuka diri dan mengalami kehadiran Allah baik dalam doa maupun peristiwa sehari-hari serta melibatkan diri dalam perutusan-Nya.
Dalam masyarakat Indonesia yang sedang mengalami krisis dan berjuang untuk memperbarui diri, cita-cita tersebut diwujudkan dalam pengembangan persekutuan paguyuban-paguyuban (bdk. FABC V, 1990) yang terbuka, bersahabat, saling mengasihi secara tulus, dan mengutamakan yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir.
Untuk mencapai cita-cita tersebut diperlukan tata penggembalaan yang mengikutsertakan, mengembangkan dan memberdayakan seluruh umat, dan kerjasama dengan siapa pun yang berkehendak baik.
Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya (bdk. Flp 1:6).
I. Suharyo Uskup Agung Semarang
Istilah “persekutuan paguyuban-paguyuban” dimasukkan berdasarkan
pada Rumusan Konferensi Federasi para Uskup Asia (FABC) V, 1990. Roh
Kudus menjadi daya kekuatan yang memampukan setiap umat beriman untuk
melaksanakan kehendak Allah dan memampukan untuk mengikuti Yesus Kristus
yang memaklumkan Kerajaan Allah yang memerdekakan. Dimensi komunitas
menjadi pokok perhatian untuk menyebut identitas Gereja Keuskupan Agung
Semarang. Ditegaskan dalam Ardas tersebut bahwa Gereja bercita-cita menjadi
persekutuan paguyuban-paguyuban yang terbuka, bersahabat dan solider dengan
mereka yang menderita dan dipinggirkan. Cita-cita ini diupayakan dengan reksa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
pelayanan partisipatif, transformatif dan empowering. Dengan demikian, setiap
umat beriman diajak secara aktif terlibat dalam karya pastoral penyelamatan
Yesus Kristus sebagai imam, nabi dan gembala.47
Dalam rangka tata penggembalaan yang partisipatif, transformatif dan
empowering tersebut48, Komisi Liturgi merancang pedoman pelayanan Komisi
Liturgi yang kemudian diberlakukan di seluruh Keuskupan pada tangal 8
September 2006. Usaha-usaha katekese liturgi dilaksanakan dengan lebih
sistematis dan melibatkan banyak pihak terutama tim-tim kevikepan dan paroki.
Meski demikian, usaha penerbitan buku-buku liturgi dan peribadatan tetap terus
dilaksanakan.
Sampai saat ini Keuskupan Agung Semarang telah mengeluarkan 5 Arah
Dasar setiap lima tahun sekali yakni Ardas 1984-1990, Ardas 1990-1995, Ardas
1996-2000, Ardas 2001-2005 dan Ardas 2006-2010. Ardas yang paling mutakhir
adalah Ardas 2006-2010 dengan rumusan sebagai berikut49:
Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dalam bimbingan Roh Kudus berupaya semakin menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus yang mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan (bdk. Lukas 4: 18-19). Mewujudkan Kerajaan Allah berarti bersahabat dengan Allah, mengangkat martabat pribadi manusia, dan melestarikan keutuhan ciptaan.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang berjuang mengatasi korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup, umat Allah Keuskupan Agung Semarang terlibat secara aktif membangun habitus baru berdasarkan semangat Injil (bdk. Mat 5-7). Habitus baru dibangun bersama-sama: dalam keluarga dengan menjadikannya basis hidup beriman; dalam diri anak, remaja, dan kaum muda dengan melibatkan mereka untuk pengembangan umat; dalam diri yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir dengan memberdayakannya.
47Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2001-2005, Jl. Pepe RT 04 RW 06 Jagalan, Muntilan 56411. 48 Hal ini juga menyangkut soal diberlakukannya PDDP 2004, pemberlakukan TPE 2005, Ardas 2006-2010. 49 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 13-14.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Untuk mendukung upaya tersebut, umat Allah Keuskupan Agung Semarang mengembangkan pola penggembalaan yang mencerdaskan umat beriman, melibatkan perempuan dan laki-laki, memberdayakan paguyuban-paguyuban pengharapan, memajukan kerjasama dengan semua yang berkehendak baik, serta melestarikan keutuhan ciptaan.
Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dengan tulus hati bertekad bulat melaksanakan upaya tersebut, dan mempercayakan diri pada penyelenggaraan ilahi dengan setia dan rendah hati seturut teladan Maria, hamba Allah dan bunda Gereja.
Allah yang memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya (bdk. Flp 1:6).
I. Suharyo
Uskup Agung Semarang Arah dasar ini ditindaklanjuti dengan memberi tekanan-tekanan dan fokus
perhatian untuk setiap tahunnya. Tekanan pertama (tahun 2006) pada Ardas ini
adalah sosialisasi yang meyeluruh dan mencerdaskan: Umat Allah Keuskupan
Agung Semarang terlibat secara aktif dalam membangun habitus baru berdasarkan
semangat Injil (bdk. Mat 5-7). Habitus Baru tersebut dibangun dalam keluarga
dengan menjadikannya sebagai basis hidup beriman, dalam diri anak dan remaja
serta dengan melibatkan mereka dalam pengembangan umat. Arah Dasar ini
menjadi acuan setiap unsur di Keuskupan Agung Semarang untuk menentukan
karya pelayanan yang dilaksanakan dalam program-programnya, tidak terkecuali
untuk program pelayanan liturgi.
Kalau memperhatikan seluruh Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang
sejak tahun 1984 hingga 2010, ada empat hal yang sama yang menjadi benang
merah seluruh Ardas. Keempat hal tersebut adalah: (1) struktur rumusan,
gambaran Gereja yang hendak dibangun, (3) cita-cita untuk beriman di tengah-
tengah masyarakat, dan (4) inspirasi sabda yang menjadi landasan biblis.50 Secara
struktural Ardas terdiri atas rumusan cita-cita, konteks dan tekanan khusus,
50 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 40.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
strategi pelaksanaan dan rumusan penutup. Kesamaan umum yang kedua adalah
gambaran Gereja yang hendak dibangun yakni Gereja sebagai umat Allah. Kata
umat Allah menggambarkan Gereja sebagai “persekutuan orang-orang yang
dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka
menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan
kepada semua orang.51
Kesamaan umum ketiga adalah cita-cita untuk beriman di tengah-tengah
kehidupan harian. Cita-cita ini mensyaratkan suatu sikap iman yang mendalam,
dewasa, misioner dan memasyarakat. Dengan cita-cita ini Gereja Keuskupan
Agung Semarang berkehendak untuk menjadi ragi dan garam bagi masyarakat.52
Selain itu seluruh Ardas ditutup dengan kutipan dari Surat Rasul kepada Umat di
Filipi (Flp 1:6) yakni “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai
pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya
pada hari Kristus Yesus”.53 Kutipan ini menampilkan keyakinan yang terus-
menerus ingin dikembangkan yakni bahwa semua pekerjaan, usaha, program dan
cita-cita yang baik berasal dari Allah sendiri. Tampak dalam rumusan ini suatu
spiritualitas yang amat kuat yakni sehati dan seperasaan serta satu gerak dengan
Allah sendiri. Sekaligus pula, rumusan ini menyiratkan keyakinan bahwa Allah
senantiasa ikut campur tangan dan memberikan bantuan, terutama ketika
segalanya tampak sulit dan seolah-olah tanpa kemajuan. Masalahnya tinggal
bagaimana setiap unsur di keuskupan ini membahasakannya dalam pola kerja
51 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 40-41. 52 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 43. 53 M. Nurwidi, Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
masing-masing. Dengan demikian akan tercipta kesatuan gerak di seluruh
Keuskupan sebagai Umat Allah yang bersama-sama berziarah menuju Bapa.
2. 1. 2. Pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi di Keuskupan Agung
Semarang
Sebagaimana diuraikan di atas, Bulan Katekese Liturgi dimulai sejak
tahun 1999.54 Alasan diadakannya Bulan Katekese Liturgi adalah adanya
keprihatinan mengenai minimnya pemahaman umat mengenai liturgi, yang
ditengarai membawa pengaruh kepada rendahnya tingkat partisipasi umat dalam
liturgi Gereja. Terhadap keprihatinan ini, diusahakan pembinaan dan pendalaman
liturgi bagi seluruh umat beriman.55 Bulan Mei dipilih sebagai Bulan Katekese
Liturgi agar devosi Maria yang sudah merakyat di hati umat mendapat kaitan
eratnya dengan liturgi sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani (SC 10). 56
Dalam bagian tulisan ini, penulis akan memaparkan secara lebih terinci mengenai
pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi untuk memberi gambaran secara lengkap
mengenai pelayanan katekese liturgi yang dijalankan di Keuskupan Agung
Semarang.
54 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 55 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang tahun 2007, 5. 56 Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
2. 1. 2. 1. Bahan Bulan Katekese Liturgi Tahun 1999 - 2008 selayang
pandang
Tema Bulan Katekese Liturgi pertama (1999) adalah Keterlibatan Umat
dalam Liturgi.57 Tema ini didalami dalam renungan singkat (berlangsung sekitar
5-6 menit), berisi kutipan teks Kitab Suci, pengalaman hidup sehari-hari,
pendalaman liturgi dan Sabda Allah dan ditutup dengan doa.58 Dalam seluruh
rangkaian doa rosario, renungan ini bisa dibacakan pada awal doa, di antara
persiapan atau pada akhir doa rosario tergantung situasi. Pemimpin doa diberi
kebebasan dalam menentukan kapan renungan ini akan disampaikan.59 Renungan
ini disediakan untuk setiap hari, dari hari pertama hingga hari terakhir Bulan Mei
dengan bahasa sederhana dan mudah dicerna.
Tema keterlibatan umat dalam liturgi tersebut diuraikan dalam renungan
harian. Pada hari pertama, umat diajak utuk merenungkan Liturgi sebagai
undangan. Model penyampaian renungannya sebagai berikut60:
Hari ke 1 Merenungkan
Liturgi Sebagai Sebuah Undangan “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya (Ef 1:5)
Sekarang ini kita memasuki bulan Mei, bulan Maria. Banyak orang pergi berziarah ke Sendang Sono, Sriningsih, Ratu Kenya, Gua Kerep, dan lain-lainnya untuk sowan Kanjeng Ibu Mariaa. Banyak orang melakukan doa Rosario baik bersama maupun pribadi. Akan tetapi, mulai tahun ini Keuskupan Agung Semarang juga
57 Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Liturgi, . 58Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Liturgi , 5-6. 59 Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Liturg, 5-6. 60 Model ini merupakan contoh. Untuk hari-hari selanjutnya, penulis hanya akan menyampaikan judul renungan hariannya saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
“mendeklarasikan” (menyatakan) bulan Mei sebagai Bulan Katekese Liturgi. Apa maksudnya? Agar kita umat beriman memperhatikan dan mendalami secara khusus kehidupan liturgi kita; agar kita mengerti apa liturgi itu sehingga selanjutnya bisa merayakan liturgi dengan lebih baik dan benar.
Kalau orang berkumpul atau berkerumun, mesti ada alasannya: mengapa? Tentu ada hal yang membuat orang-orang itu mau datang. Entah ada acara sembahyangan, acara rapat, acara pesta, latihan kor, dan sebagainya. Untuk bisa berkumpul, tentu harus ada yang mengundang dan yang diundang. Nah, begitulah berliturgi ebenarnya tindakan orang berkumpul itu. Allahlah yang mengundang kita dan kitalah sebagai orang-orang yang diundang. Kutipan Ef 1:5 di atas mengungkapkan, betapa kita ini sudah dipanggil sejak semula untuk menjadi anak-anak Allah. Dalam liturgi, kita diundang oleh Allah untuk berkumpul sebagai anak-anak-Nya. Bukankah suatu hal yang biasa, kalau seorang Bapa memanggil dan mengumpulkan anak-anak-Nya? Bukanka biasa pula, kalau kita sebagai anak-anak Allah datang kepada-Nya dan berkumpul bersama? Itulah liturgi. Liturgi adalah pertemuan orang-orang yang diundang dan dipanggil oleh Allah untuk hadir bersama hadirat-Nya. Doa: Ya Allah, kami bersyukur karena Engkau rela memanggil dan mengundang kami untuk hadir bersama di hadirat-Mu. Walau kami tak pantas, Engkau berkenan mengangkat kami menjadi anak-anak-Mu karena Kristus. Semangatilah kami, agar kami rajin berdoa dan pergi menghadap-Mu dalam perayaan liturgi. Demi Kristus, Tuhan dan pengantara kami. Amin.
Renungan ini amat singkat, jelas, padat dan sistematis. Contoh-contoh
yang ditampilkan adalah juga contoh-contoh yang mudah dikenal dan ditangkap
umat. Gambaran yang ditampilkan adalah gambaran yang sehari-hari dialami
umat. Selain itu gambar dan illustrasi yang mengikuti teks tersebut cukup menarik
dan amat menantang rasa ingin tahu mereka yang melihatnya. Cara serupa dipakai
untuk renungan-renungan hari selanjutnya, bahkan sampai sepuluh tahun
kemudian. Pada hari-hari kemudian, sub-sub tema yang menjadi bahan renungan
berkisar pada fungsi doa dan liturgi dalam hidup beriman.61 Dikatakan dalam
renungan tersebut bahwa berdoa dan berliturgi merupakan keikutsertaan manusia
dalam hidup Allah. Oleh sebab itu, motivasi utama dalam berliturgi mesti dalam
rangka perjumpaan dengan Allah. Selain itu direnungkan juga makna liturgi
sebagai perayaan bersama. Karena itu dalam liturgi dituntut kepada seluruh kaum
beriman untuk terlibat secara aktif. Maka, selain liturgi memerlukan persiapan 61 Untuk melihat secara umum tema-tema renungan dan judul-judulnya, silakan lihat lampiran 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
pribadi juga menyangkut persiapan bersama. Persiapan bersama itu melibatkan
banyak pihak yang terkait dengan liturgi itu sendiri yakni para petugas dan
terutama umat sendiri pada umumnya.
Ciri simbolis dalam liturgi mengandaikan mereka yang terlibat dalam
liturgi memahami simbol-simbol yang digunakan dalam liturgi. Namun demikian
tidak bisa serta-merta diandaikan begitu saja. Umat perlu dibimbing secara
sungguh-sungguh untuk memahami simbol-simbol tersebut (SC 19). Karenanya,
dalam renungan-renungan kateketis ini, disampaikan aneka pemahaman mengenai
simbol-simbol yang digunakan dalam liturgi.62 Simbol-simbol tadi menyangkut
baik simbol yang diambil dari diri manusia, alat liturgi alami, alat liturgi buatan,
warna-warna, ruang dan waktu, serta musik.63 Salah satu alasan penggunaan
simbol adalah bahwa kehidupan ilahi yang dialami manusia di dunia ini masih
dalam gambaran atau “cermin” (1Kor 13:12).64 Kemudian pendalaman mengenai
tema keterlibatan umat dalam liturgi ditutup dengan sebuah kesimpulan umum
dengan merenungkan liturgi sebagai sumber dan puncak kehidupan Kristiani.
Tema-tema yang disajikan dalam renungan pada Bulan Katekese Liturgi
1999 merupakan pokok-pokok dasar yang amat penting diketahui umat dan siapa
saja yang terkait dengan liturgi. Dengan pemahami hal-hal tersebut, umat tentu
akan lebih memiliki disposisi yang tepat untuk berpartisipasi secara aktif dalam
liturgi menurut posisi masing-masing. Kalau hal mendasar ini sudah dimengerti
umat, pengandaiannya adalah bahwa umat akan lebih mudah diajak utuk masuk
62 Komisi Liturgi KAS, Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat Dalam Liturgi, 48dst. Lihat juga, E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta, Kanisius 1999, 101. 63 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi , 103dst. 64 Komisi Liturgi KAS, Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat Dalam Liturgi, 49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
ke dalam pemahaman liturgi yang lebih mendalam. Tentu inilah yang
dimaksudkan dengan memberikan katekese yang amat mendasar sehubungan
dengan liturgi.
Tema Bulan Katekese Liturgi berikutnya secara berturut-turut adalah
Sadar dan Aktif dalam Ekaristi (2000), Mengalami Kehadiran Allah dan
Mewartakan-Nya (2001), Inisiasi Kristiani dan Komunikasi Iman (2002), Liturgi
dan sekularisasi (2003), Liturgi dan Semangat Perutusan (2004), Ekaristi: sumber
dan Puncak Persekutuan Paguyuban-paguyuban Pengharapan (2005), Habitus
Baru dalam Liturgi (2006), Liturgi dalam Keluarga (2007) dan Bersama Anak dan
Remaja Berliturgi (2008), dan Bersama Kaum Muda Berdevosi Ekaristi dan
Berbagi (2009). Masing-masing tema didalami dalam renungan-renungan harian
dengan model yang sama dengan BKL Tahun 1999. Sebagai contoh, tema BKL
2000 adalah Sadar dan Aktif dalam Ekaristi. Dalam tema ini direnungkan hal-
ihkwal mengenai Ekaristi. Renungan tersebut menyangkut makna Ekaristi
keseluruhan dan makna bagian-bagian dalam Ekaristi.
Tema BKL tahun 2001 dan 2002 digabung dengan Pekan Komunikasi
Sosial. Namun karena kesulitan praktis terutama dalam persiapan naskah, pada
tahun 2003, Bulan Katekese Liturgi diadakan secara tersendiri, terpisah dengan
Pekan Komunikasi Sosial.65 Dalam BKL 2003, tema yang diambil merupakan
penjabaran dari Fokus Pastoral Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung
Semarang (DKP KAS). Tema tersebut adalah Liturgi dan Sekularisasi.66 Gaya ini
selanjutnya akan dipakai pada penentuan Tema BKL berikutnya. Perubahan yang
65 Komisi Liturgi KAS, Liturgi dan Sekularisasi, 3dst. 66 Sedangkan Nota Pastoral DKP KAS untuk tahun 2003 ini adalah Menghayati Iman dalam Arus-Arus Besar Zaman Ini, Yogyakarta, Kanisius, 2003.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
cukup signifikan terjadi pada tahun 2004 di mana doa-doa setelah renungan
singkat ditiadakan.Dengan demikian, semakin lama, BKL menjadi kesempatan
bagi seluruh umat beriman Keuskupan Agung Semarang untuk mengenal dan
mendalami keprihatinan bersama seluruh Keuskupan yang disampaikan dalam
Nota Pastoral yang mulai setiap tahun diterbitkan. Hal ini menandakan adanya
penataan pelayanan Pastoral yang bervisi dengan instrumentasi yang mulai lebih
jelas. Sebagai contoh bisa dilihat misalnya pada tahun 2005. Tema Nota Pastoral
tahun 2005 adalah Gereja: Persekutuan Paguyuban-Paguyuban Pengharapan.
Terkait dengan itu, Bulan Katekese Liturgi mengambil tema Ekaristi sebagai
sumber dan Puncak Persekutuan Paguyuban-Paguyuban Pengharapan. Dengan
demikian dapat pula dikatakan bahwa Ekaristi adalah Puncak dan Sumber Hidup
Gereja (LG. 11). Contoh lain bisa dilihat pula pada tahun 2006, 2007 dan 2008.
Secara khusus untuk BKL tahun 2008 dan Nota Pastoral 2008 akan dilihat secara
khusus dalam bagian lain tulisan ini.
Kalau dirangkum dengan beberapa kalimat, bahan Bulan Katekese
Liturgi sejak tahun 1999 mengalami perkembangan yang dinamis dan cukup
pesat. Pada dua tahun pertama, tema-tema yang ada berkisar pada pemahaman
mengenai dasar-dasar dan pokok-pokok mengenai liturgi. Kemudian pada dua
tahun berikutnya ada usaha untuk menggabungkan dengan pekan komunikasi
sosial meski kemudian menimbulkan beberapa kesulitan. Belajar dari tahun-tahun
sebelumnya Bulan Katekese Liturgi diteruskan dengan tema-tema yang semakin
selaras dengan fokus pastoral Keuskupan sebagaimana dituangkan dalam Nota
Pastoral. Dengan usaha ini, umat semakin memperoleh bahan yang memadai
untuk bisa semakin terlibat dalam gerak bersama seluruh Keuskupan. Langkah ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
merupakan suatu kemajuan yang amat besar, yakni bahwa Keuskupan mempunyai
langkah-langkah yang cukup sistematis dan diikuti dengan “gerbong-
gerbong”nya. Dengan metode ini bisa dikatakan bahwa pelayanan pastoral bukan
lagi merupakan minat pribadi para petugas pastoral melainkan berdasarkan
penegasan bersama (communal discerment) dalam bimbingan Roh Kudus.
2. 1. 2. 2. Bahan Bulan Katekese Liturgi tahun 2008
Tema Nota Pastoral tahun 2008 adalah “Melibatkan Anak dan Remaja
untuk Pengembangan Umat”.67 Tema ini merupakan penjabaran atas tekanan
pastoral tahunan dari Arah Dasar Keuskupan 2006-2010. Dengan diantar Surat
Gembala Uskup Agung Semarang, Nota Pastoral ini melanjutkan perhatian pokok
pada tahun sebelumnya yakni keluarga. Pada tahun ini perhatian diarahkan pada
Anak dan remaja dengan upaya menanamkan nilai dalam hati anak untuk terlibat
dalam pengembangan jemaat. Hal sama akan dilakukan pula pada tahun 2009
mengenai kaum muda serta tahun syukur atas habitus baru pada tahun 2010.68
Nota Pastoral tahun 2008 ini membicarakan tiga bagian pokok terkait
dengan upaya melibatkan anak dan remaja untuk pengembangan umat. Bagian
pokok pertama adalah pembahasan mengenai Anak dan remaja di tengah
tantangan zaman. Tantangan zaman yang dimaksud adalah terkait dengan
kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi, selain membuahkan hasil positif juga
67 Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk pengembangan Umat, Muntilan, DKP KAS, 2008. 68 Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk pengembangan Umat, 2008.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
memunculkan ekses-ekses negatif. Dalam rumusan Nota Pastoral 2008 hal
mengenai dampak negatif ini dirumuskan sebagai berikut:
Kemajuan teknologi yang dimotori oleh media komunikasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Di satu pihak berkembangnya media komunikasi memberikan peluang untuk pengembangan anak dan remaja, seperti kemudahan untuk mengakses data yang diperlukan untuk belajar. Di lain pihak media komunikasi menghadirkan arus-arus baru pada anak dan remaja, seperti konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Hadirnya media komunikasi seringkali juga berakibat pada kurang personalnya relasi anak dan orang tua, ataupun anak dan remaja menjadi terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Pada saat seperti ini komunikasi personal yang ditandai dengan perjumpaa digantikan dengan komunikasi melalui media yang lebih mementingkan efektivitas daripada sisi personal.69
Perkembangan dunia modern mesti disikapi dengan sikap arif bijaksana.
Orang tua diharapkan untuk tidak sekedar memberi contoh namun juga menjadi
contoh. Anak akan melihat figur orang tua pertama-tama bukan dari apa yang
diajarkan melainkan dari apa yang dilakukan. Hal ini amat berpengaruh dalam diri
anak dan remaja. Pengaruh lain dari kemajuan teknologi bagi anak dan remaja
adalah pergeseran fungsi sekolah.70 Sekolah tidak lagi menekankan aspek
pendidikan sebagai yang utama melainkan lebih menekankan aspek pengajaran
dengan tujuan memenuhi permintaan pasar. Aspek pengajaran dalam sisi kognitif
diberi porsi yang cukup besar daripada sisi lain seperti kepribadian, kerjasama dan
belarasa.71 Selain itu situasi kemiskinan, ketidakmerataan dalam pembagian kue
pembangunan, dan jaringan narkotika dan obat-obat terlarang menjadi hal yang
amat perlu diwaspadai berkaitan dengan pertumbuhan anak dan remaja secara
utuh. Dalam situasi yang demikian, anak dan remaja perlu mendapat dukungan
69 Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk pengembangan Umat, 17-18. 70 Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk pengembangan Umat, 20. 71 Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk pengembangan Umat, 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
yang memadai dari seluruh umat beriman di keuskupan ini melalui aneka cara.
Kesadaran ini perlu terus menerus ditumbuhkembangkan di kalangan umat
beriman.
Bagian pokok kedua adalah perkembangan iman anak dan remaja. Unsur-
unsur yang diperlukan bagi perkembangan anak mencakup aspek pengetahuan,
doa dan liturgi, moral dan keterlibatan dalam hidup umat. Namun demikian perlu
disadari bahwa anak dan remaja tidak bisa dituntut sebagaimana lazimnya orang
dewasa. Tolok ukur perkembangan mesti disesuaikan dengan perkembangan iman
mereka.72 Oleh karena itu perlu dipikirkan mengenai suatu gerak bersama dalam
pembinaan anak dan remaja. Banyak pihak mesti terlibat dalam pembinaan anak
dan remaja. Tidak mungkin pembinaan untuk mereka hanya dibebankan pada
mereka yang berkecimpung dalam dunia anak dan remaja. Selain itu, pembinaan
untuk mereka mesti integral dalam aspek metode dan pelaku pembinaan. Jangan
pula dilupakan mengenai keterlibatan anak dan remaja sendiri dengan membentuk
sebuah komunitas antar mereka yang sering disebut dengan istilah peer group.
Soal keterlibatan mereka dalam komunitas menjadi pokok ketiga dalam
Nota Pastoral 2008 ini. Anak dan remaja perlu mulai diperkenalkan dalam
komunitas keluarga, bukan saja keluarga inti namun juga keluarga besar. Keluarga
merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan iman anak dan
remaja. Dalam keluarga, anak dan remaja mendapatkan pewartaan iman awal.73
72 Mengenai tahap-tahap perkembangan iman, lihat pada James Fowler, Stages of Faith; the Psychology of Human Development and the Quest for Meaning, Cambridge, Harper &Row, 1981. Dalam buku ini Fowler menekankan bahwa perkembangan iman memerlukan pendidikan rohani yang lebih bersifat membimbing daripada mengajar, mendidik kearah perkembangan rohani, bukan hanya mengajar, membantu peserta didik peka terhadap rahmat Allah. 73 Dewan Karya Pastoral KAS, Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk pengembangan Umat, 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Demikian pula dalam paguyuban anak dan remaja, paguyuban umat di
lingkungan, serta latihan berkontak dengan sesama terutama mereka yang kecil,
lemah dan tersingkir serta dengan lingkungan alam. Latihan-latihan dalam bidang
ini mesti dilakukan sejak awal.
Dengan pemikiran dasar ini, Nota Pastoral mengajak seluruh unsur yang
terkait dalam pembinaan iman anak dan remaja untuk bersinergi dalam suatu
gerak langkah bersama. Pertama-tama, ajakan diajukan kepada anak dan remaja
sendiri, keluarga-keluarga (Katolik), sekolah-sekolah Katolik, kaum muda, para
pembina, paroki. Dengan Nota Pastoral ini, diharapkan muncul program-program
pastoral yang dirancang bersama untuk mengembangkan iman anak dan remaja.
Komisi Liturgi yang bergerak dalam pelayanan liturgi mengembangkan gagasan
dasar ini untuk merancang Bulan Katekese Liturgi tahun 2008. Selain itu tema ini
dibuat bertepatan dengan rencana pelaksanaan Kongres Ekaristi Keuskupan I pada
bulan Juni 2008. Maka dari itu, menindaklanjuti tema pokok yang disampaikan
dalam Nota Pastoral 2008, Komisi Liturgi mengusung tema “Bersama Anak dan
Remaja Berliturgi” dalam Bulan Katekese Liturgi. Tema ini diangkat dengan
maksud agar seluruh umat mengupayakan gerakan yang melibatkan anak dan
remaja dalam berliturgi sejak dini.
Bahan-bahan Bulan Katekese Liturgi 2008 ini berkisar pada tema anak
dan remaja dalam kaitan dengan katekese liturgi.74 Pengantar umum untuk
renungan sepanjang bulan diletakkan pada hari pertama sampai hari ketiga.
Renungan pada hari pertama berisi ajakan kepada anak-anak dan remaja untuk
74 Selengkapnya lihat pada Komisi Liturgi KAS, Bersama Anak dan Remaja Berliturgi: Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 2008. Uraian lebih lanjut mengenai bagian ini berpijak pada buku tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
berkatekese liturgi. Ajakan berdasar pada hakekat dan dunia dari anak dan remaja
sendiri yang memang berciri fantasi, kekaguman, gairah dan keingintahuan. Hal
mendasar ini dijadikan pijakan untuk berkatekese liturgi dalam diri anak dan
remaja.75 Pada hari kedua tema mengenai Kongres Ekaristi Keuskupan I
Keuskupan Agung Semarang dimasukkan dalam pengantar bagian kedua. Tema
ini dirasa amat penting agar hajatan besar di atas tersosialisasi dengan baik.76
Kongres Ekaristi Keuskupan I dimaksudkan agar umat Keuskupan Agung
Semarang semakin memahami dan menghayati misteri hidup Allah yang
dibagikan melalui Ekaristi.77 Selanjutnya, pada hari ketiga, bagian pengantar ini
mengajak umat untuk merenungkan fokus pastoral Keuskupan pada tahun 2008
yakni melibatkan anak dan remaja dalam pengembangan jemaat.78 Istilah
“melibatkan” dalam renungan ini tidak dimaksudkan untuk sekedar memberi
perhatian akan bentuk pelayanan yang bagaimana yang mesti disampaikan pada
anak dan remaja, melainkan melibatkan anak dan remaja dalam melaksanakan
kegiatan. Tema-tema berikutnya merupakan pendalaman lebih lanjut mengenai
dunia anak-anak dan kehidupan iman. Sebagai contoh misalnya dapat disebut
antara lain pendidikan iman anak, figur penting yang dialami anak-anak, anak-
75 Komisi Liturgi KAS, Bersama Anak dan Remaja Berliturgi: Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi, 8 76 Meski demikian data penelitian dengan model Focus Group Discussion di lingkungan St. Kristoforus Samirono, Paroki Pringwulung menyiratkan adanya keprihatinan bahwa hasil konggres Ekaristi kurang tersosialisasikan seperti ketika sebelum konggres dilaksanakan. Lebih lanjut silakan lihat pada lampiran 4 mengenai transkrip wawancara pada tanggal 19 Maret 2009 77 Kongres Ekaristi sebenarnya bukan hal baru meskipun untuk Keuskupan Agung Semarang merupakan Kongres Ekaristi yang pertama. Kongres Ekaristi sudah diadakan sejak tahun 1881. Hingga saat ini, Kongres Ekaristi Internasional sudah diadakan 49 kali dan yang terkini diadakan di Quebec, Kanada. Keterangan lebih lanjut lihat misalnya Buku Kenangan Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang yang bertemakan Berbagi lima roti dan dua ikan, Gua Maria Kerep Ambarawa, 27-29 Juni 2008. 78 Komisi Liturgi KAS, Bersama Anak dan Remaja Berliturgi: Renungan Bulan Maria dan Bulan Katekese Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 2008, 12-13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
anak dan hidup doa, anak-anak dan sakramen-sakramen Gereja yang berkaitan
dengan mereka.
Pada minggu kedua, pembahasan difokuskan pada tema-tema mengenai
dunia anak-anak, lengkap dengan sisi positif dan negatifnya. Hal ini dapat dilihat
misalnya dalam renungan mengenai anak-remaja dan harga diri, ciri-ciri perilaku
anak-remaja dan perkembangan psikologis anak dan remaja. Selain itu juga
ditambahkan renungan mengenai inkulturasi, lingkungan hidup dan perlunya
liturgi bagi pendidikan anak-anak. Renungan minggu kedua ini dilanjutkan
dengan mendalami tema-tema devosi pada minggu ketiga. Secara khusus,
didalami, sekaligus sebagai persiapan, hal-ihkwal mengenai Konggres Ekaristi
Keuskupan sebagai bentuk devosi Ekaristi, lengkap dengan tema pokok Kongres
Ekaristi tersebut yakni Berbagi Lima Roti Dan Dua Ikan. Bagian terakhir dari
renungan-renungan Bulan Katekese Liturgi 2008 ini adalah visi jemaat yang
melibatkan anak dan remaja. Di dalam tema visi jemaat yang melibatkan anak dan
remaja tersebut didalami juga tema mengenai keterlibatan anak dalam kehidupan
menggereja, khususnya dalam tim liturgi. Untuk itu mereka perlu dilatih untuk
terlibat dalam tugas-tugas liturgi yang sesuai dengan perkembangan mereka.
Ditawarkan pula kemungkinan perayaan Ekaristi yang bisa mengakomadasi anak-
anak dan orang tua. Muara dari semuanya itu adalah terbentuknya sikap dan
perilaku yang pantas menjadi contoh dan teladan bagi teman-teman mereka.
Dalam Bulan Katekese Liturgi tahun 2008 juga disediakan bahan untuk
saresehan setiap minggunya. Keprihatinan pokok dari saresehan minggu pertama
adalah sedikitnya keterlibatan anak-anak dan remaja dalam kegiatan-kegiatan
lingkungan seperti doa rosario, pendalaman APP, BKS, Adven dan kegiatan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
kegiatan lain. Pada minggu kedua, tema mengenai ketelibatan anak-remaja dalam
doa ditampilkan. Dengan tema ini diharapkan anak-remaja tumbuh menjadi
manusia pendoa, suka beribadah dan akhirnya semuanya itu mewujud dalam
kehidupan sosial mereka. Namun demikian, tidak berarti dapat disimpulkan
bahwa Gereja mau mendidik anak-anak menjadi alim dan saleh saja. Fokus
perhatian terletak pada perkembangan pribadi anak dan remaja secara utuh,
menyangkut soal kognitif, afektif, psikomotorik, solidaritas dan spiritual. Gagasan
ini melatarbelakangi renungan pada minggu ketiga. Sedangkan pada minggu
keempat, saresehan difokuskan pada persiapan (dan upaya mempersiapkan)
Kongres Ekaristi Keuskupan I 2008.
2. 1. 3. Resume
Dari uraian panjang lebar mengenai katekese liturgi Keuskupan Angung
Semarang, dapat dirangkum suatu kesimpulan yakni bahwa katekese liturgi
Keuskupan Agung Semarang hingga mencapai bentuknya yang sekarang ini telah
melewati rentang waktu perjalanan panjang yang tidak diprediksikan sebelumnya.
Dalam rentang waktu yang panjang itu, setiap kali membuat keputusan selalu
diwarnai dengan penegasan bersama. Hal ini tampak jelas dalam berbagai proses
penerbitan Arah dasar dan nota Pastoral. Selalu saja ada yang baru yang
ditambahkan untuk setiap arah dasar. Demikian juga dalam Bulan Katekese
Liturgi, selalu ada hal baru. Meskipun demikian, kebaruan itu tidak lalu
mengabaikan yang lama yang sudah ada dan baik. Inilah yang menjadi bukti dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
harapan dan keyakinan tiap Arah Dasar Keuskupan yakni bahwa “ Allah yang
memulai pekerjaan baik, akan menyelesaikannya (Fil 1:6)”
Bulan Katekese Liturgi di Keuskupan Agung Semarang telah berlangsung
sejak tahun 1999. Dengan memahami apa yang dirayakan, umat diharapkan akan
terlibat secara sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. Latar belakang dari
pernyataan ini adalah keyakinan bahwa keterlibatan secara sadar dan aktif hanya
akan terjadi apabila orang mengerti dan memahami apa yang dilakukan. Selain
itu, Bulan Katekese Liturgi diadakan pada bulan Mei bersamaan dengan Bulan
Mei sebagai Bulan Maria. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kaitan antara
devosi pada Bunda Maria yang sudah merakyat di hati umat dengan liturgi sebagi
sumber dan puncak kehidupan Kristiani (SC 10).
Bulan Katekese Liturgi selama hampir satu dekade sejak 1999 tersebut
sudah membahas aneka macam topik pembicaraan mengenai liturgi. Kalau mau
dibagi dalam tahap-tahap, ada 4 tahap yang sampai sekarang saat ini sudah
dilaksanakan. Tahap pertama adalah dua tahun pertama. Pada dua tahun pertama,
topik pembahasan diarahkan pada bahan-bahan mengenai hal-hal mendasar yang
perlu diketahui umat dalam berliturgi. Perhatian terutama diarahkan pada makna
unsur-unsur yang biasa dilakukan umat dalam kegiatan liturgi yang mereka
lakukan. Dengan penjelasan mengenai bahan-bahan ini, umat diharapkan semakin
memahami tindakan dan gerak-gerik mereka dalam berliturgi.
Tahap kedua adalah tahun 2001 dan tahun 2002. Pada tahap ini, Bulan
Katekese Liturgi digabung dengan Pekan Komunikasi Sosial. Bahan-bahan pun
dengan demikian dipersiapkan oleh dua komisi yakni Komisi Liturgi dan Komisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Semarang. Ada dua alasan mengapa terjadi
penggabungan ini yakni: pertama, alasan praktis bahwa Hari Minggu
Komunikasi Sedunia selalu dijatuhkan pada Minggu Paskah VII yang hampir
selalu jatuh pada bulan Mei. Agar keduanya tidak saling bertabrakan, maka
keduanya digabungkan. Alasan Kedua, dengan penggabungan ini umat mau
diingatkan bahwa bidang liturgi dan bidang hidup lainnya yang non-liturgis seperi
bidang komunikasi sosial tidak pernah boleh dilepaskan. Keduanya terkait dengan
iman yakni sisi pengungkapan dan perwujudannya.
Tahap ketiga adalah tahap pemisahan kembali antara Bulan Katekese
Liturgi dan Pekan Komunikasi Sosial. Alasannya sederhana, penggabungan Bulan
Katekese Liturgi dan Pekan Komunikasi Sosial menyulitkan dalam penyiapan
naskah-naskahnya. Pada tahap ketiga ini, sekaligus dirintis pula usaha untuk ikut
mensosialisasikan tema yang diangkat dalam Nota Pastoral Dewan Karya Pastoral
Keuskupan Agung Semarang. Dengan kata lain, Bulan Katekese Liturgi mulai
membahas spiritualitas liturgi yang berkaitan dengan penghayata liturgi dalam
konteks kehidupan sehari-hari.
Tahap keempat merupakan kelanjutan dari tahap ketiga. tema-tema yang
diangkat dalam Bulan Katekese Liturgi merupakan penjabaran dari tema-tema
Nota Pastoral. Secara Khusus, Bulan Katekese Liturgi sejak tahun 2006
menggumuli masalah-masalah yang diangkat dalam Arah Dasar Keuskupan
Agung Semarang 2006-2010 dengan tekanan pada masing-masing tahun.
Kalau merunut kembali jejak perjalanan Bulan Katekese Liturgi, semakin
lama semakin terlihat gerak sinergis dari seluruh unsur di Keuskupan Agung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Semarang. Fokus Pastoral sebagaimana dirumuskan oleh Dewan Karya Pastoral
telah menjadi gerakan bersama untuk karya pelayanan di seluruh keuskupan.
Dengan usaha ini, keprihatinan dan fokus-fokus pastoral diharapkan tidak hanya
diketahui para petugas pastoral saja melainkan juga menjadi pengetahuan seluruh
umat.
2. 2. Profil Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung
Wilayah Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung berada dalam cakupan
wilayah Kecamatan Depok, Sleman Yogyakarta. Dalam administrasi
pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, wilayah tersebut berada
dalam wilayah kecamatan Depok Kabupaten Sleman dan sebagian wilayah
Kotamadya Yogyakarta.79 Data dari pemerintah Kabupaten Sleman tahun 2004
menyebutkan bahwa Kecamatan Depok terdiri dari 3 desa yang meliputi 58 dusun
dengan jumlah penduduk mencapai 109.092. Luas wilayah mencapai 3.555 ha
dengan kepadatan penduduk mencapai 3.069 jiwa per kilometer persegi.80
Ketinggian wilayah Depok berkisar antara 100-499 meter di atas permukaan laut
dan beriklim tropis basah.
Paroki Pringwulung adalah sebuah paroki di Kevikepan Daerah Istimewa
Yogyakarta, Keuskupan Agung Semarang. Pusat Paroki terletak di Jln. Panuluh
79 Arsip Paroki St. Yohanes Rasul Pringwulung pada lampiran 6. 80Diakses dari : http:/www. slemankab.go.id pada tanggal 20 Mei 2009.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
377A, Pringwulung, Condongcatur, Depok Sleman, Yogyakarta.81 Paroki ini
merupakan paroki kota dengan luas wilayah sekitar 22,6 km2.82 Keberadaanya
sebagai paroki perkotaan, apalagi dengan keberadaan dua universitas Katolik
besar di wilayahnya, memberi ciri dan karakteristik khusus pada paroki
Pringwulung ini. Kondisi ini tentu saja mempengaruhi pola pelayanan yang ada.
Ciri khusus tersebut terutama terletak pada besarnya jumlah mahasiswa
Katolik yang tinggal untuk sementara waktu di wilayah paroki ini. Status sebagai
orang yang tinggal di tempat pemondokan ini tentu akan mempengaruhi sikap
mereka terhadap kehidupan menjemaat di wilayah di mana mereka tinggal.
Aktivitas mereka dalam pertemuan-pertemuan lingkungan tentu berbeda
dibandingkan dengan mereka yang tinggal secara tetap di lingkungan tersebut.
Namun tidak dapat diabaikan bahwa sebagian dari mereka juga terlibat dalam
kehidupan jemaat setempat.
Dalam konteks wilayah Gerejani, Paroki Pringwulung bertetangga dengan
Paroki Banteng di bagian utara, Stasi (Quasi Paroki) Babarsari di sebelah timur,
paroki Baciro di sebelah selatan. Jumlah responden per Desember 2008 mencapai
2.626 orang (Duaribu enamratus duapuluh enam) dan tersebar di tigabelas (13)
lingkungan yakni Lingkungan Santo Albertus Magnus Deresan, Lingkungan
Santo Stephanus Kepuh, Lingkungan Philipus Kuningan, Lingkungan Santo
Stanislaus Karangasem, Lingkungan Brayat Minulya Nologaten, Lingkungan
Maria Karmel Kolombo, Lingkungan Santo Yusuf Mrican, Lingkungan Santa
Perawan Maria Ngropoh, Lingkungan Emmanuel Pringgondani, Lingkungan St.
81 Arsip Paroki St. Yohanes Rasul Pringwulung pada lampiran 6. 82 Lihat Peta Paroki dan Peta Kecamatan Depok pada lampiran 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Patricius Pringwulung I, Lingkungan Angela Merici Pringwulung II, Lingkungan
Santa Maria Margareta Alacoque Pringwulung III dan Lingkungan St. Kristoforus
Samirono. 83 Jumlah warga setiap lingkungan rata-rata adalah 200 orang. Jumlah
ini relatif besar mengingat umat lingkungan berkumpul di rumah-rumah secara
bergiliran. Rumah-rumah yang dimiliki umat Pringwulung saat ini merupakan
rumah moderen dengan kapasitas ruang tamu hanya untuk sekitar 15-20 orang.84
Bisa dibayangkan betapa banyak responden yang tidak bisa tertampung dalam
pertemuan rutin responden di lingkungan-lingkungan.
2. 2. 1. Sejarah singkat Paroki Pringwulung85
Paroki Pringwulung adalah sebuah paroki yang berusia relatif cukup
muda. Paroki ini secara resmi didirikan pada tanggal 27 Desember 1997. Namun
kalau ditilik dari latar belakangnya, paroki ini memiliki sejarah yang cukup
panjang. Sebelum menjadi paroki, wilayah ini menjadi bagian reksa pastoral
Paroki Kristus Raja Baciro. Sejarah dimulai ketika tahun 1964, Romo J.
Stormmesand, SJ, Pastor Paroki Kristus Raja Baciro, mengatakan bahwa umat
83 Data Statistik Paroki tahun 2008, dilaporkan ke Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 26 Pebruari 2009. Data mengenai lingkungan-lingkungan bisa dilihat pada Buku 10 tahun Gereja Santo Yohanes Rasul Pringwulung, Yogyakarta, tahun 2007. 84 Data ini diperoleh dari pengamatan langsung penulis di lingkungan St. Kristoforus Samirono. Sebagian besar rumah responden berada di antara penduduk yang lain dengan jarak gang-gang yang cukup sempit. Hal ini dipengaruhi oleh cepatnya pertumbuhan perumahan penduduk yang sebagian besar dimanfaatkan untuk kos-kosan mahasiswa. Selain itu menurut Kompas, Selasa, 2 Juni 2009, C, bangunan perumahan di sebagian besar wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami pergeseran bentuk, dari yang semula bernuansa sosial ke arah indivudualistik. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran masyarakat yang memandang rumah lebih sebagai fungsi ekonomis dari pada fungsi sosial sebagaimana terjadi pada masyarakat Jawa tempo dulu. Perlu diketahui, lokasi geografis lingkungan St. Kristoforus Samirono berada di sebelah selatan Universitas Negeri Yogyakarta. Wawancara dengan P. Budi Santosa, mantan, Ketua Lingkungan yang kini menjadi Ketua RT Samirono. 85 Segala informasi dan data-data mengenai Paroki ini diambil dari Buku Kenangan 10 tahun Gereja Santo Yohanes Rasul Pringwulung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
daerah Mrican tidak perlu jauh-jauh pergi ke Paroki untuk merayakan Ekaristi.
Mereka diijinkan memanfaatkan Kapel Sanata Dharma sebagai tempat merayakan
Ekaristi harian maupun hari Minggu yang dipimpin oleh para Romo yang tinggal
di Pastoran Sanata Dharma. Untuk menjaga kontak dengan pusat paroki, sebulan
sekali perayaan Ekaristi dipimpin oleh Pastor Paroki Baciro.
Sejalan dengan hal itu, Romo J. Strommesand, SJ mulai membina umat
wilayah paroki Baciro ini agar menjadi stasi sendiri, dengan harapan kelak
menjadi paroki. Hal tersebut diusahakan dengan diberkatinya salah satu ruangan
dari rumah Bapak A.M. Djayus (Mrican) sebagai tempat peribadatan dan
pendidikan agama. Ketika terjadi pergantian gembala, Romo A. Pradjasuta, SJ
yang menggantikan Romo Strommesand, SJ pada tahun 1967 menghendaki agar
seluruh kegiatan umat di wilayah Baciro dipusatkan di gereja Paroki. Kebijakan
pastor paroki, Romo FX. Tan Soe Ie, SJ (diteruskan oleh Romo Al. Utoyo, Pr
pada tahun 1977) sebagai gembala berikutnya memberikan tekanan agar kegiatan-
kegiatan umat berkembang di lingkungan-lingkungan yang saat itu baru ada dua
lingkungan yakni lingkungan Mrican dan Lingkungan Kolombo. Namun ketika
umat semakin berkembang, pada tahun 1978, lingkungan Mrican dimekarkan
menjadi empat yakni Lingkungan Mrican, Pringgondani, Karangasem dan
Deresan. Sedangkan lingkungan Kolombo dimekarkan menjadi lima yakni
lingkungan Kolombo sendiri, lingkungan Demangan, lingkungan Kepuh,
Lingkungan Ambarukmo dan Lingkungan Janti. Perkembangan tersebut juga
berpengaruh terhadap fungsi kapel Sanata Dharma. Kapel ini tidak lagi sekedar
dipakai untuk perayaan Ekaristi saja melainkan juga dimanfaatkan untuk
penerimaan Sakramen Tobat, Komuni Pertama, Pembaptisan dan Sakramen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Perkawinan. Pada tahun 1979 frekuensi Perayaan Ekaristi ditambah menjadi hari
Sabtu dan Minggu. Selain itu mudika di wilayah paroki Baciro di bagian utara ini
dibentuk terpisah dari kepengurusan mudika pusat paroki. Setahun kemudian,
oleh Romo FA. Susilo, SJ, dibentuk kepengurusan dewan stasi yang diketuai oleh
Bapak G.A. Karyono. Kebijakan ini diteruskan dengan pemisahan keuangan stasi
dengan keuangan pastoran Sanata Dharma. Setelah dibentuk oleh Romo A.
Djajasiswaja, Pr, Vikaris Capitularis Keuskupan Agung Semarang, satu tahun
kemudian, PGPM membentuk panitia persiapan Pendirian Paroki Mrican. Panitia
ini bertugas membangun pastoran dan panti paroki.
Lingkungan Pringwulung yang sebelumnya menjadi bagian dari Paroki
Keluarga Kudus Banteng bergabung menjadi bagian dari Stasi Mrican. Kebijakan
baru dari Yayasan Sanata Dharma adalah bahwa kapel Sanata Dharma, setelah
tangga 31 Desember 1994 hanya akan digunakan khusus untuk kampus dan
mahasiswa Sanata Dharma. Pastor Paroki Baciro saat itu, Romo J.M. Harjoyo, Pr,
melantik panitia Pembangunan Gereja dengan tanah yang tersedia di daerah
Pandean, Gandok, Condongcatur seluas 3165m2 . Tanah di Pandean tersebut
ditukar dengan tanah kas desa Condongcatur. Setelah semuanya disiapkan,
pembangunan gereja berikut bangunan pendukung dimulai. Dua tahun kemudian,
gedung gereja ini selesai dibangun. Pemberkatan dan peresmian dilakukan pada
tanggal 27 Desember 1997 dan waktu tersebut sekaligus menjadi saat penetapan
menjadi Paroki Pringwulung.
2. 2. 2. Karakteristik Umat Paroki Pringwulung Berdasarkan Sampel Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
2. 2. 2. 1. Karakteristik Umat Paroki Pringwulung
a. Tingkat usia Tabel 1 memperlihatkan distribusi usia responden pada masing-masing
lingkungan. Lebih dari separo (55,%) responden adalah mereka yang sudah
berusia lansia. Sementara mereka yang berusia remaja hampir seperlima (17,1%)
dan hampir sepertiga (27,6%) adalah dewasa. Di lingkungan Stanislaus
Karangasem responden didominasi oleh lansia (72,7%). Sementara di lingkungan
Albertus Magnus adalah awal lansia (33, 3%) dan lansia saja (66,7%). Dari data
ini bisa dibayangkan minimnya sumber daya manusia yang memiliki mobilitas
tinggi untuk pengembangan umat dalam bidang katekese.
Tabel (1) : Kelompok umur Umur Total
remaja awal dewasa dewasa awal lansia lansia Ling A. Magnus 0,0 0,0 0,0 33,3 66,7 12 (100) Stanislaus 9,1 18,2 0,0 0,0 72,7 11 (100) Maria Karmel 38,5 0,0 15,4 7,7 38,5 13 (100) Emanuel 27,3 9,1 27,3 27,3 9,1 11(100) Patricius 16,7 16,7 33,3 16,7 16,7 18 (100) Kristoforus 9,1 18,2 18,2 9,1 45,5 11 (100)Total 17,1 10,5 17,1 15,8 39,5 76 (100)
Selain itu, data mengenai kelompok umur memperlihatkan tataran usia
responden yang terlibat dalam kegiatan lingkungan sebagai medan katekese
liturgi. Ternyata terlihat pada data bahwa persentase terbesar responden yang
mengikuti kegiatan lingkungan adalah mereka yang berusia awal lansia hingga
lansia, dan kategori anak dan remaja. Dengan kata lain, keterlibatan mereka yang
berusia produktif pada kegiatan lingkungan secara rata-rata hanya berkisar lebih
dari seperempat total responden (27%).
b. Pendidikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Dari aspek tingkat pendidikan, responden di Paroki Pringwulung
memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Lebih dari tiga perlima (67,1%)
responden berpendidikan diploma ke atas. Lebih dari seperlima (23%)
berpendidikan SLA dan sisanya, kurang dari sepersepuluh responden (9%)
berpendidikan SD hingga SMP. Hal ini tentu mempengaruhi tingkat kemampuan
berpikir dan kemampuan memahami sesuatu yang disampaikan. Dengan
demikian tabel mengenai tingkat pendidikan ini bisa dimanfaatkan untuk
menentukan model, cara dan bahan dalam menyampaikan suatu katekese dan
uraian-uraian yang membutuhkan pemahaman. Pada umumnya, semakin tinggi
tingkat pendidikan, tentunya akan semakin baik pula cara mereka memahami
suatu permasalahan. Namun kalau dicermati, responden di paroki Pringwulung
yang berpendidikan Diploma namun berusia lansia hingga awal lansia cukup
besar, yakni rata-rata kurang lebih 45 persen.
Selanjutnya, data mengenai komposisi tingkat pendidikan responden
menjadi semakin jelas bila dikaitkan dengan tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan dan
memperjelas tabel 1, bahwa responden yang berpendidikan diploma lebih dari
setengah keseluruhan jumlah responden pada tiap-tiap lingkungan. Menjadi
semakin pasti bahwa kegiatan-kegiatan lingkungan termasuk katekese liturgi
diikuti oleh mereka yang memiliki pendidikan relatif tinggi. Hal ini tentu akan
memberi pengaruh yang signifikan bagi jawaban-jawaban atas pertanyaan
penelitian. Dengan kata lain, faktor pendidikan memiliki pengaruh yang amat
signifikan pada kualitas jawaban yang diberikan. Hal ini tentu menjadi
keuntungan yang bisa dimanfaatkan untuk memberi masukan-masukan yang
berharga bagi rancangan program-program paroki maupun keuskupan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Tabel (2) : Pendidikan per Lingkungan Pendidikan Total
SD SLP SLA D1-D3 Dipl 4+ Ling A. Magnus 0,0 25,0 16,7 33,3 25,0 12 (100) Stanislaus 0,0 0,0 27,3 0,0 72,7 11 (100) Maria Karm 0,0 7,7 46,2 7,7 38,5 13 (100) Emanuel 9,1 9,1 9,1 9,1 63,6 11(100) Patricius 0,0 5,6 27,8 22,2 44,4 18 (100) Kristoforus 0,0 0,0 9,1 27,3 63,6 11 (100)Total 1,3 7,9 23,7 17,3 50,0 76 (100)
c. Pendidikan dan Pekerjaan Faktor pendidikan menentukan jenis tanggapan yang diberikan umat
berkenaan dengan bahan-bahan dan kemasan yang disampaikan dalam Bulan
Katekese Liturgi. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin kritis umat
menanggapi bahan dan kemasan pelayanan Bulan Katekese Liturgi. Selain itu,
pada tarap pendidikan tertentu yang terkait dengan usia responden, cara pandang
terhadap pelayanan Gereja juga berbeda. Responden usia muda lebih cenderung
menyukai program-program dan kemasan pelayanan yang tidak monoton dan
kaku. Sementara responden usia remaja belum banyak berpendapat dan rsponden
lansia lebih menyukai model yang tenang-meditatif.
Jika kita bandingkan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan, maka kita
akan memperoleh beberapa masukan. Sejumlah kecil (1,3%) responden yang
berpendidikan SD adalah tidak bekerja. Bisa jadi mereka adalah orang-orang
yang benar-benar lanjut usia. Sedangkan mereka yang berpendidikan SLTP
sepertiganya (33,4%) bekerja pada sektor tata usaha dan pertanian. Dua pertiga
lainnya (66,6%) adalah mereka yang sudah pensiun dan tidak bekerja. Lebih dari
seperlima (22%) dari mereka yang berpendidikan SLTA bekerja sebagai
profesional dan tata usaha. Sepertiga (33,3%) lainnya bekerja sebagai pelajar dan
mahasiswa dan sisanya, hampir separo (42%) adalah mereka yang sudah pensiun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
atau tidak bekerja. Selanjutnya, total responden yang berpendidikan Diploma ke
atas dibagi dengan komposisi sebagai berikut: hampir seperlima (17,1%) adalah
mereka yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa, Lebih dari seperempat
(27,6%) adalah mereka yang sudah pensiun dan lebih dari sepersepuluh (13,2%)
tidak bekerja. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa angka paling tinggi ada pada
mereka yang berpendidikan diploma namun sudah memasuki masa pensiun.
Mereka adalah orang-orang kelas menengah yang sudah mapan hidupnya.
Kemapanan hidup ini memberi pengaruh besar pada partisipasi aktif mereka
dalam kegiatan-kegiatan lingkungan. Terbukti dalam angka-angka tabel di atas,
mereka yang masuk dalam kategori ini cukup banyak.
Tabel (3) : Pekerjaan Pekerjaan Total
profesional
tata usaha pertanian
pelajar dan mhs pensiun
tidak bekerja
SD 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 (1)100,0 SLP 0,0 16,7 16,7 0,0 33,3 33,3 (6)100,0 SLA 11,1 11,1 0,0 33,3 27,8 16,7 (18)100,0 D1-D3 15,4 7,7 0,0 38,5 15,4 23,1 (13)100,0 Dipl 4+ 34,2 26,3 0,0 5,3 31,6 2,6 (38)100,0 Total 22,4 18,4 1,3 17,1 27,6 13,2 (76)100,0
d. Lama tinggal Durasi waktu juga menjadi faktor memiliki pengaruh penting dalam diri
responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Semakin lama
responden tinggal di paroki ini, semakin bervariasi pula referensi jawaban
responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Secara positif hal ini akan
berguna karena responden lalu akan membandingkan setiap kegiatan dengan
kegiatan lain yang pernah dilaksanakan. Dengan demikian semakin lama tinggal,
mereka akan semakin memilki banyak referensi untuk mengomentari kegiatan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
kegiatan yang dilaksanakan. Namun sisi negatifnya adalah bahwa mereka akan
dengan mudah mencampurkan data yang satu dengan data yang lain.
Dalam tabel mengenai lama tinggal, didapat data sebagai berikut: lebih
dari sepersepuluh (11,8%) reponden tinggal di paroki ini kurang dari 6 tahun,
seperempat (25,0%) dari jumlah responden tinggal di paroki ini antara 6-10 tahun,
hampir separo (43,4%) responden tinggal di paroki ini antara 11-25 tahun dan
seperlima (19,7%) dari jmlah responden tinggal di paroki ini lebih dari 26 tahun.
Tabel (4) : Lama Tinggal Lama Tinggal Total
<6 th 6-10 th 11-25 th 26+ th Pendidikan SD 0,0 0,0 100 0,0 (1)100,0 SLP 0,0 16,7 83,3 0,0 (6)100,0 SLA 11,1 16,7 55,6 16,7 (18)100,0 D1-D3 38,5 23,1 23,1 15,4 (13)100,0 Diploma 4+ 5,3 31,6 36,8 26,3 (38)100,0Total 11,8 25,0 43,4 19,7 (76)100,0
Mengingat paroki ini baru berumur kurang dari dua belas tahun, jumlah
responden yang menjawab pertanyaan yang diajukan perihal pelayanan liturgi ini
adalah mereka yang memang menjadi warga tetap komunitas paroki. Jumlahnya
hampir mencapai sembilan persepuluh dari jumlah responden (89%). Sisanya,
sekitar sepersepuluh (12%), diperkirakan tinggal untuk sementara waktu entah
sebagai mahasiswa, pelajar atau mereka yang tinggal dalam rumah-rumah
pemondokan di wilayah paroki ini. Analisis ini masuk akal kalau memperhatikan
komposisi jumlah pelajar dan mahasiswa yang menjadi responden dan segi usia.
Mereka yang berada dalam interval usia remaja (10-24th).
2. 2. 2. 2. Hasil Penelitian Atas Kemasan Pelayanan Aksi Puasa
Pembangunan, Bulan Katekese Liturgi dan Bulan Kitab Suci.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
a. Kemasan Atas Pelayanan Adven Dan Aksi Puasa Pembangunan
Kemasan pelayanan Adven yang dimaksud adalah pelayanan dalam hal
pertemuan-pertemuan Adven mingguan. Penelitian yang dilakukan oleh para
mahasiswa FTW tahun 2008 mengenai kemasan pelayanan Adven di Paroki
Pringwulung diperoleh informasi sebagai berikut: hampir sepertiga (30,3%)
responden memberikan jawaban kurang memuaskan pada pelayanan Adven.
Sedangkan lebih dari dua pertiga (68,4%) responden lainnya menjawab
memuaskan. Kebanyakan mereka yang menjawab kemasan pelayanan Adven
kurang memuaskan adalah responden dari kalangan siswa SLA (38,9%). Tentu
saja hal ini sudah sedikit banyak diketahui umum dan bahkan sudah dilakukan
kemasan-kemasan pelayanan Adven yang sesuai dengan karakteristik kaum muda.
Hanya saja untuk mengoptimalkan semuanya itu diperlukan usaha yang terus-
menerus dan tak kenal lelah.
Tabel (5) : Kemasan pelayanan Adven Kemasan pelayanan Adven Total
kurang memuaskan memuaskan
sangat memuaskan
Pendidikan SD 0,0 100 0,0 (1)100,0 SLP 16,7 66,7 16,7 (6)100,0 SLA 38,9 55,6 5,6 (18)100,0 D1-D3 23,1 61,5 15,4 (13)100,0 Diploma 4+ 31,6 65,8 2,6 (38)100,0Total 30,3 63,2 6,6 (76)100,0
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada kemasan pelayanan Aksi
Puasa Pembangunan. Jawaban ini bisa dimengerti karena selama ini kemasan
pelayanan Adven dan Aksi Puasa Pembangunan tidak jauh berbeda.
Tabel (6) : Kemasan pelayanan Aksi puasa pembangunan Kemasan pelayanan Aksi puasa pembangunan Total
kurang memuaskan memuaskan sangat memuaskan Pend SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0 SLP 16,7 83,3 0,0 (6)100,0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
SLA 33,3 61,1 5,6 (18)100,0 D1-D3 30,8 53,8 15,4 (13)100,0 Dipl4+ 31,6 65,8 2,6 (38)100,0Total 30,3 64,5 5,3 (76)100,0
b. Kemasan Atas Pelayanan Bulan Katekese Liturgi
Sementara untuk kemasan pelayanan Bulan Katekese Liturgi, hampir
dua pertiga (61,8%) responden menjawab puas dengan kemasan pelayanan Bulan
Katekese Liturgi. Sementara lebih dari seperempat jumlah responden (27,6%)
merasa tidak puas dengan kemasan pelayanan Bulan Katekese Liturgi. Sedangkan
sepersepuluh responden lainnya (10,5%) menjawab tidak tahu mengenai Bulan
Katekese Liturgi. Hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh, mengapa mereka
menjawab tidak tahu. Kemungkinan terbesar adalah bahwa mereka memang tidak
mengenal Bulan Katekese Liturgi. Meskipun sudah berlangsung selama lebih dari
sepuluh tahun, bukan tidak mungkin beberapa kalangan umat memang tidak
mengenal Bulan Katekese Liturgi. Kemungkinan lainya, mereka ikut pertemuan
Rosario namun tidak memahami, atau memang Bahan Katekese Liturgi tidak
pernah disampaikan pada mereka.Kalau dikalkulasi antara mereka yang tidak puas
dan mereka yang tidak menjawab, akan didapat angka 38,1% yang berarti lebih
dari sepertiga jumlah responden. Angka ini amat besar sekali. Kalau demikian,
usaha untuk memberikan katekese liturgi perlu terus-menerus digalakkan.
Tabel (7) : Kemasan pelayanan Bulan Katekese Liturgi
Kemasan pelayanan Bulan Katekese Liturgi Total
kurang memuaskan memuaskan
sangat memuaskan
Tidak tahu
Pendidikan SD 0,0 100 0,0 0,0 (1) 100,0
SLP 16,7 83,3 0,0 0,0 (6)100,0
SLA 22,2 66,7 5,6 5,6 (18)100,0 D1-D3 15,4 38,5 15,4 30,8 (13)100,0
D 4+ 36,8 55,3 0,0 7,9 (38)100,0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Total 27,6 57,9 3,9 10,5 (76)100,0
c. Kemasan Atas Pelayanan kemasan Bulan Kitab Suci
Kemasan Pelayanan Bulan Kitab Suci dalam pandangan responden adalah
sebagai berikut: Lebih dari sepertiga (38,2%) jumlah responden menjawab kurang
puas dengan pelayanan yang ada, hampir dua pertiga (61,9%) mengatakan puas
dengan kemasan Bulan Kitab Suci. Kekurangpuasan paling banyak ada pada
responden yang berpendidikan D4 ke atas. Namun alasan apa yang mendasari
kiranya perlu menjadi fokus penelitian tersendiri.
Tabel (8): Kemasan pelayanan Bulan Kitab Suci Kemasan pelayanan Bulan Kitab Suci Total
kurang memuaskan memuaskan
sangat memuaskan
Pendidikan SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0 SLP 16,7 83,3 0,0 (6)100,0 SLA 27,8 66,7 5,6 (18)100,0 D1-D3 30,8 61,5 7,7 (13)100,0 Dipl 4+ 50,0 44,7 5,3 (38)100,0
Total 38,2 56,6 5,3 (76)100,0
d. Kemasan Atas Pelayanan Liturgi Pada Umumnya
Dalam hal pelayanan liturgi lebih dari dua pertiga (73,3%) responden
berpendapat bahwa pelayanan liturgi yang ada sudah sesuai dengan kebutuhan.
Sementara lebih dari seperempat (26,3%) dari jumlah responden mengatakan
bahwa pelayanan liturgi kurang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kelompok
terbesar dari mereka yang menjawab kurang sesuai ada pada kelompok responden
yang berpendidikan D1-D3. Rata-rata mereka adalah para mahasiswa. Lebih dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
sepertiga (38) dari responden berpendidikan D1-D3 mengatakan bahwa kegiatan
liturgi adalah sarana untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai orang Katolik.
Tabel (9): Relevansi Liturgi dengan kebutuhan hidup umat di bidang liturgi Pelayanan liturgi sesuai dengan kebutuhan Total
kurang sesuai sesuai sangat sesuai Pendidikan SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0
SLP 16,7 83,3 0,0 (6)100,0
SLA 22,2 72,2 5,6 (18)100,0
D1-D3 38,5 53,8 7,7 (13)100,0
Dipl 4+ 26,3 65,8 7,9 (38)100,0
Total 26,3 67,1 6,6 (76)100,0
Alasan terbesar disampaikan oleh lebih dari dua pertiga (68,4%) jumlah
responden yang mengatakan bahwa pelayanan liturgi sudah sesuai dengan
kebutuhan. Bagi mereka, pelayanan liturgi memberi inspirasi kognitif pada
kehidupan mereka. Banyak hal yang dirayakan dalam liturgi menambah
pengetahuan mereka. Liturgi dipandang sebagai sarana untuk memperoleh
pengetahuan iman. Hal ini berarti liturgi menjadi hal yang sangat membantu
kehidupan mereka. Akibatnya, mereka akan dengan antusias mengikuti kegiatan
liturgi. Selain itu, jawaban yang juga cukup signifikan yakni seperempat (25,0%)
dari jumlah responden, adalah bahwa liturgi dipandang sebagai sarana untuk
memenuhi kewajiban beragama. Alasan inipun mendorong mereka untuk
mengikuti kegiatan liturgi. Akibat dari dua jawaban itu jelas, yakni bahwa mereka
yang menganggap liturgi sebagai sumber inspirasi untuk hidup rohani sangat
sedikit(3,9%).
Tabel (10) : Alasan utama liturgi sesuai dengan kebutuhan dalam bidang Liturgi Alasan utama Total
Inspirasi kognitif
Inspirasi praktis
Insp. hidup rohani
Insp. hidup pribadi
Sekedar kewajiban
Pend SD 100 0,0 0,0 0,0 0,0 (1) 100,0 SLP 83,3 0,0 0,0 0,0 16,7 (6)100,0 SLA 66,7 5,6 5,6 0,0 22,2 (18)100,0 D1-D3 53,8 0,0 0,0 7,7 38,5 (13)100,0 Dipl 4+ 71,1 0,0 5,3 0,0 23,7 (38)100,0Total 68,4 1,3 3,9 1,3 25,0 (76)100,0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
e. Kemasan Atas Pelayanan Ekaristi
Khusus mengenai Ekaristi, hampir semua responden (90%) menganggap
bahwa Ekaristi sudah dapat memberikan insipirasi dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Memang masih ada pendapat yang mengatakan bahwa sebagian kecil
responden (9,2%) belum dapat menimba inspirasi dari perayaan Ekaristi. Hal itu
berarti bahwa dari keseluruhan jumlah reponden, sepersepuluhnya belum dapat
menimba inspirasi dari Ekaristi. Hal ini perlu untuk dikaji lebih lanjut untuk
memperoleh data tentang alasan dan pendapat-pendapat yang melatar
belakanginya.
Tabel (11) : Relevansi Ekaristi bagi kehidupan sehari-hari Ekaristi memberikan inspirasi utk kehidupan sehari-
hari Total belum dapat dapat Pendidikan SD 0,0 100 (1) 100,0 SLP 0,0 100 (6)100,0 SLA 5,6 94,4 (18)100,0 D1-D3 15,4 84,6 (13)100,0 Dipl 4+ 10,5 89,5 (38)100,0Total 9,2 90,8 (76)100,0
Adapun alasan-alasan bahwa Ekaristi menjadi inspirasi hidup yang dapat
ditampilkan di sini adalah bahwa Ekaristi memberi inspirasi dalam melaksanakan
praksis hidup sehari-hari. Jawaban ini diberikan oleh lebih dari seperempat
(28,9%) jumlah responden. Kebanyakan dari mereka yang mengatakan ini adalah
responden dalam tataran pendidikan SLP-SLA. Fakta ini amat menarik dan
bahkan melegakan. Artinya, anak-anak muda kita ternyata masih banyak yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
mengandalkan hal-hal rohani untuk menuntun hidup mereka. Ini merupakan
peluang yang cukup baik untuk mengoptimalkan katekese liturgi untuk mereka.
Hal lain yang bisa dikatakan adalah bahwa Perayaan Ekaristi
memberikan kepada umat inspirasi dalam hidup rohani mereka. Persentase
jawaban ini cukup besar yakni lebih dari separo (57,9%) jumlah responden.
Artinya, sebagian besar responden mengalami peneguhan dalam hidup iman
mereka dengan mengikuti Ekaristi. Maknanya, Perayaan Ekaristi menjadi
kegiatan liturgi yang amat efektif untuk mengumpulkan umat. Meski demikian
perlu dicermati bahwa hampir sepersepuluh (7,9%) responden merasa bahwa
materi yang ada kurang mengena dalam hidup mereka. Bisa jadi mereka malas
datang ke Gereja atau pertemuan Ekaristi lingkungan karena merasa tidak
memperoleh apa-apa dalam perayaan Ekaristi. Untuk ini diperlukan katekese
yang memadai mengenai Ekaristi itu sendiri agar supaya umat semakin
mengetahui Ekaristi dengan segala hal-ihkwalnya.
Tabel (12) : Alasan utama Ekaristi memberi inspirasi kehidupan sehari-hari Alasan utama Total
Inspirasi praktis
Insp. hidup rohani
Insp. hidup pribadi
Sekedar kewajiban
Materi tidak
mengena Lain-lain
Pend SD 100 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1) 100,0 SLP 33,3 66,7 0,0 0,0 0,0 0,0 (6)100,0 SLA 33,3 61,1 0,0 0,0 5,6 0,0 (18)100,0 D1-D3 15,4 61,5 0,0 7,7 7,7 7,7 (13)100,0 D 4+ 28,9 55,3 2,6 0,0 10,5 2,6 (38)100,0
Total 28,9 57,9 1,3 1,3 7,9 2,6 (76)100,0
Terhadap pertanyaan apakah doa-doa mingguan memberi inspirasi untuk
kehidupan sehari-hari, lebih dari dua pertiga (80,3%) responden menjawab bahwa
doa-doa mingguan memberikan inspirasi untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Namun ada lebih dari seperlima atau hampir seperempat (23,7%) dari jumlah
responden responden yang berpendidikan Diploma 4 ke atas tidak menjawab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
pertanyaan tersebut. Bisa jadi alasannya karena mereka memang tidak mendapat
inspirasi, atau justru tidak pernah datang pada pertemuan doa-doa mingguan
tersebut. Angka yang cukup signifikan juga terjadi pada responden yang
berpendidikan D1-D3. Jumlahnya lebih dari sepersepuluh ( 15%).
Tabel (13) : Doa-doa mingguan memberikan inspirasi utk kehidupan sehari-hari Doa-doa mingguan mberikan insp. utk kehidupan
sehari Total
Tidak menjawab tidak dapat dapat
Pend SD 0,0 0,0 100 (1) 100,0 SLP 0,0 0,0 100 (6)100,0 SLA 5,6 5,6 88,9 (18)100,0 D1-D3 15,4 7,7 76,9 (13)100,0 Dipl4+ 23,7 2,6 73,7 (38)100,0Total 15,8 3,9 80,3 (76)100,0
Alasan yang paling mencolok atas jawaban ini adalah bahwa doa-doa
mingguan memberi inspirasi bagi kehidupan rohani mereka. Rupanya banyak
orang masih mengandalkan komunitas dalam mengembangkan hidup rohani
mereka. Alasan pengembangan hidup rohani, doa-doa mingguan juga memberi
inspirasi bagi hidup pribadi umat dan sarana membangun komunikasi.
Tabel (14) : Alasan doa mingguan sbg inspirasi utk kehidupan sehari-hari Alasan doa mingguan memberikan inspirasi utk
kehidupan sehari Total
Insp praktis
Insp. hidup rohani
Insp. hidup
pribadi Bangun hidup berkomunikasi
Kemasan pelayanan
Lain-lain
Pend SD 100 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 (1) 100,0
SLP 66,7 33,3 0,0 0,0 0,0 0,0 (6)100,0
SLA 11,1 44,4 5,6 33,3 5,6 0,0 (18)100,0
D1-D3 7,7 46,2 23,1 7,7 0,0 15,4 (13)100,0
D 4+ 21,1 36,8 23,7 13,2 2,6 2,6 (38)100,0
Total 21,1 39,5 17,1 15,8 2,6 3,9 (76)100,0
f. Para petugas pelayanan Berkenaan dengan para petugas, sebagian besar responden memberi
apreasiasi positif kepada para petugas awam dalam melayanani doa-doa maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
kegiatan liturgi lingkungan. Dalam hal Perayaan Ekaristi lingkungan misalnya.
Hampir seluruh responden (90%) responden melihat bahwa para petugas awam
memiliki paham dan dedikasi yang memadai dalam membantu melayani Perayaan
Ekaristi di lingkungan. Demikian pula untuk ibadat Lingkungan. Dari kedua data
ini dapat disimpulkan bahwa umat tidak lagi terpengaruh oleh siapa yang
melayani melainkan isi dari tindakan pelayanan itu.
Tabel (15) : Kualifikasi Petugas awam dalam Ekaristi Lingkungan Ekaristi Lingkungan didukung petugas awam yang mumpuni Total
kurang mumpuni mumpuni sangat mumpuni Pend SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0 SLP 16,7 83,3 0,0 (6)100,0 SLA 11,1 50,0 38,9 (18)100,0 D1-D3 7,7 76,9 15,4 (13)100,0 Dipl 4+ 10,5 78,9 10,5 (38)100,0Total 10,5 72,4 17,1 (76)100,0
Meskipun demikian, responden tidak lantas menganggap semuanya beres-
beres saja. Ada sebagian kecil yang masih dianggap responden perlu diperbaiki,
terutama dalam ibadat lingkungan tanpa imam. Masih menurut tabel 18 dan 19,
kekurangmampuan petugas awam dalam ibadat lingkungan tanpa imam sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan ibadat (Ekaristi) yang dipimpin oleh imam. Hal
ini tentu merupakan hal yang wajar mengingat mereka tidak dididik secara khusus
dalam hal tersebut. namun bahwa mereka berusaha menjalankan tugasnya dengan
baik, hal itu merupakan usaha yang harus dihargai.
Tabel (16) : Kualifikasi Petugas Awam dalam Ibadat Lingkungan
Kulaifikasi Petugas Awam dalam Ibadat Lingkungan Total
tidak mumpuni
kurang mumpuni mumpuni
sangat mumpuni
Pend. SD 0,0 0,0 10 0,0 (1) 100,0 SLP 0,0 16,7 83,3 0,0 (6)100,0 SLA 5,6 11,1 66,7 16,7 (18)100,0 D1-D3 0,0 7,7 76,9 15,4 (13)100,0 Dipl 4+ 0,0 15,8 76,3 7,9 (38)100,0Total 1,3 13,2 75,0 10,5 (76)100,0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Sedangkan penilaian responden terhadap pelayan-pelayan tertahbis,
hampir semua responden (90%) berpendapat bahwa para pelayan tertahbis
memiliki kompetensi dalam bidangnya. Namun toh perlu mendapat perhatian
bahwa lebih dari sepersepuluh (16,7%) responden juga melihat ada yang kurang
dari pelayanan mereka, terutama mereka yang berada pada tataran pendidikan
SLP. Bisa jadi mereka tidak bisa menanggkap materi yang dengan mudah dapat
ditangkap oleh mereka yang berada dalam tataran pendidikan SLA ke atas.
Tabel (17): Kualifikasi Pelayan Tertahbis dalam Ekaristi Kualifikasi Pelayan tertahbis dalam Ekaristi Total
kurang mumpuni mumpuni sangat mumpuni Pend. SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0 SLP 16,7 83,3 0,0 (6)100,0 SLA 0,0 72,2 27,8 (18)100,0 D1-D3 7,7 61,5 30,8 (13)100,0 Dipl 4+ 10,5 78,9 10,5 (38)100,0Total 7,9 75,0 17,1 (76)100,0
Kalau di cek silang dengan hasil Focus Disscusion Group, persentase
jawaban yang ada tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan dalam
wawancara. Dalam pandangan kelompok tataran pendidikan ini, materi yang ada
sangat berat untuk dimengerti. Mereka berpendapat bahwa setiap kali ada
panduan, termasuk Bulan Katekese Liturgi, bahasanya berat seperti GBHN
(Garis-garis Besar Haluan Negara pada zaman Orde Baru).
Dilihat dari kehadiran umat dalam Perayaan Ekaristi lingkungan, nyata
bahwa perayaan Ekaristi lingkungan masih menjadi primadona bagi umat.
Kehadiran mereka sebagaimana diungkapkan oleh responden bisa mencapai 92%
atau hampir seluruh umat. Tentu saja hal baik ini perlu menjadi perhatian paroki
dan dapat dijadikan sarana yang baik untuk mengadakan katekese liturgi yang
memadai. Peluang terbesar dalam pembinaan umat ada di sini. Beberapa pedoman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
yang ada perlu terus-menerus disegarkan dengan memperhatikan aspek
berkumpulnya umat semacam ini. Tidak bisa diandaikan bahwa umat akan dengan
sendirinya membaca bahan-bahan yang melimpah yang disediakan. Perlu adanya
suatu forum dalam umat lingkungan yang memberi kesempatan mereka untuk
mendalami bahan-bahan yang ada. Kalau melihat fakta yang ada, pengaruh
kehadiran pastor/pelayan tertahbis masih terasa besar sekali di kalangan umat.
Tabel (18) : Kehadiran umat dalam Ekaristi di lingkungan Kehadiran umat dalam Ekaristi di lingkungan Total
sebagian kecil sebagian besar hampir semua Pend. SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0 SLP 16,7 50,0 33,3 (6)100,0 SLA 11,1 61,1 27,8 (18)100,0 D1-D3 15,4 53,8 30,8 (13)100,0 Dipl4+ 2,6 52,6 44,7 (38)100,0Total 7,9 55,3 36,8 (76)100,0
2. 4. Tanggapan Atas Kemasan Pelayanan Liturgi
Bulan katekese liturgi juga menjadi bagian dari kegiatan umat di paroki
Pringwulung. Kegiatan ini dilaksanakan tiap bulan Mei. Bahan yang dipakai
adalah bahan dari Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa bukan katekese liturgi diperlukan umat untuk menambah
pemahaman mereka akan kegiatan liturgi yang mereka jalani. Lebih dari dua
pertiga (82%) dari jumlah responden yang ada di Paroki Pringwulung mengatakan
bahwa Bulan Katekese Liturgi layak untuk diteruskan. Hampir seperlima lainnya
(17,1%) mengatakan kurang layak diteruskan. Responden yang mengatakan Bulan
Katekese Liturgi kurang layak diteruskan adalah mereka yang berada pada tingkat
pendidikan D1 ke atas.
Tabel (19) : Kelayakan Bulan Katekese Liturgi di masa mendatang Bulan Katekese Liturgi layak diteruskan Total
kurang layak masih layak tidak tahu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Pend SD 0,0 100 0,0 (1) 100,0 SLP 0,0 100 0,0 (6)100,0 SLA 0,0 100 0,0 (18)100,0 D1-D3 7,7 61,5 30,8 (13)100,0 Dipl4+ 7,9 78,9 13,2 (38)100,0Total 5,3 82,9 11,8 (76)100,0
Pendapat bahwa Bulan Katekese Liturgi kurang layak diteruskan
didasar oleh alasan-alasan yang berkisar pada materi yang sudah out of date,
kemasan yang kurang menarik dan penyampaian yang kurang kompeten.
Pendapat ini dikemukakan oleh 1,3 persen dari jumlah responden yang ada.
Dalam hitungan biasa 1,3 persen dari 76 responden adalah 1 orang. Baik bila hal
itu menjadi catatan, namun bisa jadi pendapat ini belum bisa dikatakan mewakili
kebanyakan orang.
Tabel (20) : Alasan Bulan Ketekese Liturgi kurang layak/tdk layak diteruskan
Alasan Bulan Ketekese Liturgi kurang layak/tdk layak diteruskan Total
Materi out of date
Kemasan kurang menarik
Penyampaian kurang
kompeten Tidak berlaku
Pend SD 0,0 0,0 0,0 100 (1) 100,0 SLP 0,0 0,0 0,0 100 (6)100,0 SLA 0,0 0,0 0,0 100 (18)100,0 D1-D3 0,0 7,7 0,0 92,3 (13)100,0 Dipl 4+ 2,6 0,0 2,6 94,7 (38)100,0Total 1,3 1,3 1,3 96,1 (76)100,0
Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa Bulan Katekese Liturgi
layak diteruskan memberi alasan bahwa Bulan Katekese Liturgi meningkatkan
pemahaman umat. Pendapat ini disampaikan oleh lebih dari dua pertiga (71,1%)
dari keseluruhan jumlah responden. Alasan lainnya adalah bahwa Bulan Katekese
Liturgi memajukan kebersamaan dan mendorong keterlibatan umat dalam liturgi.
Rupa-rupanya, informasi dan katekese liturgi merupakan kebutuhan mendesak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
yang dirasakan umat. Pendalaman informasi mengenai tanggapan umat dalam
Focus Discussion Group (FGD) pada tanggal 18 dan 19 Maret 2009 di paroki
Pringwulung semakin mempertegas keyakinan ini. Penjelasan dan katekese
mengenai liturgi yang dikemas secara baik sangat ditunggu-tunggu oleh umat.
Mereka mengharapkan adanya semacam kursus-kursus singkat dan tematis
mengenai liturgi.
Usulan mengenai mekanisme kursus ini diungkapkan salah seorang
informan dalam FGD dengan merujuk pada gerakan pendalaman Kitab Suci
seperti yang dilakukan oleh paroki Kumetiran, Yogyakarta. Mereka
mengharapkan bahwa setiap paroki membuka semacam program pelatihan
mengenai liturgi sepanjang tahun dengan melibatkan semakin banyak umat
lingkungan, agar semakin banyak umat tahu dan memahami liturgi Gereja Katolik
yang setiap kali mereka rayakan.
Meski demikian ada juga pendapat yang mengkritik pelaksanaan Bulan
Katekese Liturgi tidak layak untuk diteruskan. Mereka yang berpendapat
demikian mengatakan bahwa materi Bulan Katekese Liturgi sudah out of date.
Selain itu, cara penyampaiannya kurang menarik dan bahasa yang disampaikan
dalam bahan-bahan katekese terlalu berat bagi mereka.
Tabel (21) : Alasan Bulan Ketekese Liturgi masih layak diteruskan
Alasan Bulan Ketekese Liturgi masih layak diteruskan Total
Meningkatkan pemahaman
umat Memajukan kebersamaan
Mendorong ketelibatan dlm Liturgi
Tidak berlaku
Pend SD 100 0,0 0,0 0,0 (1) 100,0 SLP 100 0,0 0,0 0,0 (6)100,0 SLA 83,3 11,1 5,6 0,0 (18)100,0 D1-D3 53,8 7,7 0,0 38,5 (13)100,0 Dip4+ 65,8 13,2 2,6 18,4 (38)100,0
Total 71,1 10,5 2,6 15,8 (76)100,0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Liturgi memang menjadi kebutuhan umat dalam mengungkapkan
imannya. Kebutuhan ini terungkap dengan aneka bentuk pandangan dan
kerinduan mereka yang tercakup dalam jawaban-jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh tim peneliti. Pada umumnya jawaban-jawaban
yang ada menunjukkan adanya keinginan agar mereka memperoleh pelayanan
dalam bindang liturgi secara lebih baik. Sebagai rekomendasi akhir, umat masih
menginginkan agar pelayanan Bulan Katekese Liturgi masih tetap diteruskan
dengan pengolahan terus menerus terutama dalam hal kemasan pelayanan.
Dengan demikian, kerinduan atas pengetahuan dan pemahaman mengenai liturgi
akan semakin meningkat. Pemahaman dan pengetahuan ini akan meningkatkan
partisipasi dan penghayatan mereka dalam bidang kehidupan liturgi.
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa Bulan Katekese Liturgi
meningkatkan pemahaman responden mengenai liturgi. Oleh karena itu pelayanan
Bulan Katekese Liturgi layak diteruskan. Hanya saja diperlukan beberapa catatan
untuk meneruskan pelayanan Bulan Katekese Liturgi ini yakni materi bahan perlu
semakin diaktualkan dengan kondisi nyata umat setempat. Untuk itu pelayanan
Bulan Katekese Liturgi perlu dikemas secara lebih menarik dan disampaikan
secara baik oleh pelayanan yang memiliki kompetensi.
Ketika dilakukan penelitian secara lebih mendalam dengan menggunakan
metode Focus Group Disscusion (FGD)86, ditemukan beberapa data yang cukup
menarik. Para informan mengatakan bahwa pelayanan Bulan Katekese Liturgi ini
rupanya tidak dilaksanakan dengan baik di lingkungan. Bahkan sebagian
lingkungan mereka tidak melaksanakan kegiatan Bulan Katekese Liturgi ini
86 Lihat lampiran hasil transkrip FGD pada tanggal 19 Maret 2009.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
secara bersama-sama pada tahun 2008. Pelaksanaannya diserahkan secara pribadi
warga lingkungan yang bersangkutan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa
mereka tidak mendapatkan panduannya dan tidak ada instruksi dari paroki.
Padahal pada tahun-tahun sebelumnya mereka melaksanakan kegiatan ini. Bahkan
beberapa informan masih ingat akan materi yang pernah disampaikan dalam BKL
tahun-tahun tersebut. Hal ini terbukti dengan kemampuan mereka menjelaskan
soal kriteria pemilihan lagu yang baik dalam liturgi, sikap dalam berdoa Bapa
Kami, frekuensi membuat tanda salib dalam Perayaan Ekaristi dll.
Dalam pembicaraan lebih lanjut, ketika peneliti menunjukkan salah satu
bahan BKL tahun-tahun sebelumnya, secara spontan para informan langsung
mengatakan bahwa mereka sudah pernah melaksanakan kegiatan tersebut. Kesan
yang muncul dalam diri para informan adalah kegiatan BKL itu baik dan perlu
diteruskan. Mereka menyadari bahwa mereka kurang memahami liturgi dan
membutuhkan penjelasan yang memadai akan hal tersebut. Dalam sebuah
kesempatan khusus, menurut cerita mereka, Romo Paroki pernah memberikan
suatu penjelasan mengenai liturgi. Penjelasan tersebut disambut dengan sangat
antusias oleh mereka yang hadir dan mereka merindukan kegiatan semacam itu
dilakukan lagi secara kontinyu. Salah satu hal yang membangkitkan antusiasme
dalam diri mereka adalah penjelasan mengenai tata cara berdoa, makna dan
maksud dari simbol-simbol, gerak-gerik dan doa-doa dalam liturgi, pemilikan
lagu-lagu dalam liturgi dan sebagainya. Mengenai hal ini mereka sangat merasa
kurang memahami. Oleh karena itu mereka menyambut baik bila diadakan
penjelasan tentang soal-soal liturgi secara teratur. Beberapa bahan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
ditunjukkan oleh peneliti dengan cara membacakan judul-judul renungan harian
juga menarik perhatian mereka.
Para informan berharap bahwa kegiatan Bulan Katekese Liturgi
digalakkan kembali. Mengenai bahasa yang dipakai dalam BKL, para informan
memberikan kesan bahwa bahasanya sudah enak dan mengena. Harapan mereka,
bahasan yang enak dan sederhana itu juga dipakai untuk panduan-panduan
kegiatan lingkungan yang lain seperti BKS, Adven, APP. Selain itu, para
informan juga berharap bahwa paroki mengadakan semacam kegiatan seperti
kursus-kursus mengenai liturgi, pelatihan bagi para pemandu tingkat lingkungan,
dan menyediakan bahan Katekese Liturgi dalam bentuk Cassette, Compact Disk,
VCD, dll agar semakin banyak umat yang mampu mengakses pengetahuan
mengenai liturgi.
2. 3. Resume
Hasil penelitian sebagaimana dipaparkan di atas memberi petunjuk
yang jelas mengenai pelaksanaan pelayanan liturgi di Paroki Pringwulung.
Data-data tersebut secara umum memperlihatkan adanya kenyataan bahwa rata-
rata pertemuan-pertemuan lingkungan diikuti oleh mereka yang berada pada
tataran usia lansia dan berpendidikan tinggi yakni setingkat diploma. Namun
mereka sudah tidak aktif lagi bekerja atau menjalankan kegiatan-kegiatan yang
menyita waktu mereka. Namun di sisi lain, tidak banyak ditemukan orang-orang
yang mau menjadi salah satu pemandu di lingkungan. Dalam situasi ini peran
Penanggungjawab reksa pastoral amatlah penting.
Lebih lanjut, data mengenai tanggapan responden atas kemasan pelayanan
liturgi menunjukkan rata-rata hampir dua pertiga responden penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
mengatakan bahwa kemasan pelayanan liturgi sudah sesuai dengan kebutuhan
mereka. Sementara sekitar sepertiga lainnya mengatakan kurang puas terhadap
kemasan pelayanan dalam bidang liturgi yang menyangkut kemasan pelayanan
Adven, Prapaskah, Bulan Katekese Liturgi dan Bulan Kitab Suci. Tingkat
kekurangpuasan paling tinggi ada pada kemasan Pelayanan Bulan Katekese
Liturgi. Alasannya adalah karena bahannya terlalu berat, kurang sesuai dengan
konteks kehidupan mereka, instruksi dari paroki kurang begitu jelas dan tidak
adanya orang yang dianggap mumpuni untuk melaksanakan tugas memimpin
pertemuan dalam rangka pelayanan tersebut. Faktor lain yang membuat kemasan
pelayanan liturgi kurang maksimal adalah sikap responden sendiri yang
menganggap bahwa keikutsertaan mereka dalam kegiatan liturgi semata-mata
karena kewajiban mereka sebagai orang Katolik.
Sedangkan alasan terbesar disampaikan oleh lebih dari dua pertiga jumlah
responden yang mengatakan pelayanan liturgi sudah sesuai dengan kebutuhan
adalah bahwa pelayanan liturgi memberi inspirasi kognitif. Liturgi dipandang
sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan iman. Khusus mengenai Perayaan
Ekaristi, hampir semua responden menganggap bahwa Ekaristi sudah dapat
memberikan insipirasi dalam kehidupan sehari-hari mereka, terbukti dengan
tingkat kehadiran umat yang mencapai sembilan persepuluh dari jumlah
responden. Data menarik lain adalah bahwa hampir dua pertiga kaum muda yang
berpendapat bahwa Perayaan Ekaristi memberi inspirasi dalam kehidupan mereka.
Doa-doa mingguan juga memberi inspirasi bagi kehidupan rohani mereka.
Khusus untuk tanggapan responden atas kemasan Bulan katekese liturgi,
hasil pengamatan menunjukkan bahwa bukan katekese liturgi diperlukan umat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
untuk menambah pemahaman mereka akan kegiatan liturgi yang mereka jalani.
Lebih dari dua pertiga jumlah responden yang ada di Paroki Pringwulung
mengatakan bahwa Bulan Katekese Liturgi layak untuk diteruskan. Mereka
memberi alasan bahwa Bulan Katekese Liturgi meningkatkan pemahaman umat,
memajukan kebersamaan dan mendorong keterlibatan umat dalam liturgi. Umat
menginginkan agar mereka memperoleh pelayanan dalam bidang liturgi secara
lebih baik.
Sementara itu hampir seperlima jumlah responden mengatakan bahwa
Bulan Katekese Liturgi kurang layak diteruskan. Responden yang mengatakan
Bulan Katekese Liturgi kurang layak diteruskan adalah mereka yang berada pada
tingkat pendidikan D1 ke atas. Pendapat bahwa Bulan Katekese Liturgi kurang
layak diteruskan didasar oleh alasan-alasan yang berkisar pada materi yang sudah
out of date, kemasan yang kurang menarik dan penyampaian yang kurang
kompeten. Pendapat ini dikemukakan oleh 1,3 persen dari jumlah responden yang
ada.
Ketika dilakukan penelitian secara lebih mendalam dengan menggunakan
metode Focus Group Disscusion (FGD) dan wawancara mendalam (Indepth
Interview) para informan mengatakan bahwa pelayanan Bulan Katekese Liturgi
ini rupanya tidak dilaksanakan dengan baik di lingkungan. Bahkan sebagian
lingkungan tidak melaksanakan kegiatan Bulan Katekese Liturgi ini secara
bersama-sama pada tahun 2008. Pelaksanaannya diserahkan secara pribadi warga
lingkungan yang bersangkutan. Salah satu alasan yang mengemuka adalah bahwa
mereka tidak mendapatkan panduannya dan tidak ada instruksi dari paroki. Rupa-
rupanya inilah yang menyebabkan Bulan Katekese Liturgi kurang cepat dikenal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
umat sebagaimana laporan dari banyak kalangan. Padahal pada umumnya mereka
menyadari bahwa mereka kurang memahami liturgi dan membutuhkan penjelasan
yang memadai akan hal tersebut terutama menyangkut tata cara dan tata gerak
dalam liturgi, makna simbol dan ungkapan yang digunakan. Mengenai hal ini
mereka sangat merasa kurang memahami.
Kalau demikian akhirnya bisa dikatakan bahwa Bulan Katekese Liturgi
masih layak untuk diteruskan dengan beberapa catatan yakni bahan yang mudah
diterima oleh berbagai kalangan, pengawalan kegiatan katekese liturgi hingga
tingkat lingkungan, serta pelatihan pemandu yang memadai. Selain itu juga perlu
diperhatikan soal publikasi yang lebih meluas agar kegiatan ini semakin
dimengerti oleh semakin banyak umat mengingat kepentingannya bagi kehidupan
iman umat.
BAB III
KATEKESE LITURGI SEBAGAI TUGAS MENGAJAR GEREJA
3. 1. Peristilahan
3. 1. 1. Istilah Katekese
Kata katekese secara harafiah berarti “ menyuarakan/menggemakan
kembali suatu bunyi kepada sekeliling”.87 Kata ini berasal dari kata kerja Yunani
katechein yang terdiri dari dua suku kata yakni kata = sekeliling; echein=
menyuarakan.88 Jemaat Kristen purba mengadopsi kata ini dalam karya
pengajaran Injil yang telah lebih dahulu mereka terima dari para rasul. Mereka
menggunakannya dengan memberi arti katachein sebagai instruksi yang diberikan 87 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis” dalam Peter E. Fink, (ed.), The New Dictionary of Sacramental Worship, Minnesota, The Liturgical Press, 1990, 163-172. 88 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 163-172.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
lewat kata-kata kepada orang dewasa dan anak-anak sebelum pembaptisan. 89
Dengan kata lain katachein berarti menyampaikan pengajaran. Lukas
menggunakan kata ini untuk meyakinkan Teofilus yang mulia sebagaimana dapat
ditemukan dalam Luk 1:4 dan Kis 18:25. Demikian pula kata yang sama dipakai
Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Korintus (1Kor 14:19) dan
Galatia (6:6).90
Istilah katekese terkait erat dengan istilah-istilah padanan lain seperti
katekis, katekismus, katekese umat, katekumen, katekumenat, Kateketik. Istilah
katekis digunakan untuk menunjuk orang yang (dididik untuk) memberi pelajaran
dan pendidikan agama atas nama Gereja, baik di antara umat maupun di lembaga-
lembaga pendidikan.91 Katekismus adalah sebuah buku pedoman (manual)
mengenai pengajaran agama yang menggunakan bahasa sederhana dan dalam
bentuk tanya–jawab.92 Dalam perkembangan selanjutnya, katekismus tidak lagi
menggunakan pola tanya jawab melainkan dengan uraian deskriptif mengenai
suatu pokok bahasan. Katekese umat adalah usaha bersama suatu umat (paroki
wilayah, kelompok-kelompok kategorial) untuk menafsirkan, merayakan dan
menangani situasi nyata umat itu dalam terang Injil.93 Katekumen adalah mereka
yang sedang berada dalam tahap persiapan untuk menerima sakramen inisiasi.94
Katekumenat adalah masa kedua dalam proses seseorang menjalani proses
inisiasi.95 Setelah proses penyelidikan awal mengenai iman, mereka yang tertarik
89 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 163-172.; lih. juga , Richard P. McBrien (ed.), The Harpercollins Encyclopedia of Catholicism, San Francisco, Harpercollins, 1989 , 235. 90 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 163-172; lih. juga Richard P. McBrien (ed.), The Harpercollins Encyclopedia of Catholicism, 235. 91 A Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004, 46-48. 92 Richard P. McBrien (ed.),The Harpercollins Encyclopedia of Catholicism, 235. 93A Heuken, Ensiklopedi Gereja, 46-48. 94A Heuken, Ensiklopedi Gereja, 46-48. 95 Richard P. McBrien (ed.), The Harpercollins Encyclopedia of Catholicism , 46-48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
kemudian masuk menjadi seorang katekumen. Kateketik adalah studi sistematik
mengenai katekese (Ilmu Katekese).96
Katekese dipandang Gereja sebagai tugas yang sangat penting. Paus
Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik tentang Penyelenggaraan Katekese
mengatakan:
“Penyelenggaraan katekese oleh Gereja selalu dipandang sebagai salah satu tugasnya yang amat penting. Sebab sebelum Kristus naik menghadap Bapa-Nya sesudah kebangkitanNya, Ia menyampaikan kepada para Rasul perintah-Nya yang terakhir, yakni menjadikan semua bangsa murid-murid-Nya dan mengajar mereka mematuhi segala sesuatu yang telah diperintahkan-Nya”97
Tugas yang sangat penting ini dijalankan oleh Gereja dengan setia hingga hari ini.
Katekese dapat digambarkan sebagai kegiatan yang membuat orang memahami
sabda Allah, merayakan ibadat dan mengamalkan iman dalam kehidupan sehari-
hari. Perkembangan teknologi terutama akhir-akhir ini menantang katekese untuk
menyesuaikan dirinya dengan cermat. Beberapa alat moderen bisa dipergunakan
sejauh membantu program katekese seperti radio, televisi, surat kabar, majalah,
pamflet, video, internet, Handphone, Facebook, dll.
Dari berbagai uraian di atas istilah katekese dapat didefinisikan sebagai
usaha untuk menyampaikan warta mengenai iman kristiani baik kepada individu-
individu maupun paguyuban-paguyuban. Tujuan penyampaian warta ini adalah
untuk membantu individu dan paguyuban-paguyuban tersebut memiliki
pengertian, pemahaman yang lebih mendalam mengenai iman kristiani.
Pemahaman ini akan mendorong individu dan paguyuban-paguyuban ke arah
96 Richard P. McBrien,(ed.), The Harpercollins Encyclopedia of Catholicism, 46-48. 97 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese), Jakarta, DokPen KWI 1992.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
penghayatan iman Kristiani dan dengan demikian pesan utama mengenai warta
gembira Yesus Kristus akan semakin memiliki jangkauan yang lebih luas.
3. 1. 2. Istilah Liturgi
Istilah liturgi berasal dari bahasa Yunani leitourgia (dari kata kerja
leitourgein) dan memiliki arti sebagai “karya untuk kepentingan bangsa”. Kata
ini terbentuk dari dua kata yakni kata kerja ergon yang berarti karya dan
laitos/leitos yang berarti masyarakat. Dalam prakteknya, kata itu dipahami
sebagai pelayanan yang dilakukan untuk kebaikan masyarakat, entah itu dilakukan
oleh warga negara yang kaya atau oleh seluruh warga. Selanjutnya istilah
leitourgia mencakup segala pelayanan umum dalam arti profan dan politis.98
Baru sejak abad II, tindakan pelayanan itu mencakup juga pelayanan
dalam arti kultis. Kelompok Septuaginta (LXX) menggunakan kata leitourgia
untuk menyebut pelayanan yang dilakukan imam dan kaum Lewi di bait Allah.
Sedangkan tindakan kultis umat biasanya disebut dengan latreia
(penyembahan).99 Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, kata leitourgia mengalami
perkembangan menarik. Sebelumnya makna leitourgia diartikan sebagai
pelayanan para imam dan kaum Lewi. Kata ini masih dipakai dalam Kitab Suci
Perjanjian Baru. Kata ini muncul beberapa kali, misalnya dalam Luk 1:23; Ibr
9:21; Ibr 10:11. Di situ, terutama dalam Ibr 8:6; 9:21; 10:11, kata leitourgia dan
leitourgein memperoleh makna baru. Penulis surat Ibrani menggunakan kata
leitourgia untuk menjelaskan makna imamat Yesus Kristus sebagai satu-satunya
98E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 21. 99E. Martasudjita,Pengantar Liturgi,20. Kelompok Septuaginta adalah kelompok penulis yang menterjemahkan kitab suci Ibrani ke dalam bahasa Yunani antara tahun 250 sM -150 sM.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
imamat Perjanjian Baru. Imamat Perjanjian Baru merupakan pelayanan yang jauh
lebih agung dan berdaya guna dibanding dengan imamat Perjanjian Lama yang
sudah tidak berlaku lagi. Kristus adalah satu-satunya pelayan (leiturgos), tempat
kudus dan kemah sejati (Ibr 8:2). “Yang pertama Ia hapuskan, supaya menyatakan
yang kedua. Dan karena kehendak-Nya inilah, kita telah dikuduskan satu kali
untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” (Ibr 10:9-10).100
Selain sebagai makna pelayanan imamat, kata leitourgia juga dipakai dalam arti
pelayanan karya kasih (2Kor 9:12). Demikian pula kata itu dipergunakan dalam
arti pelayanan yang dilakukan malaikat kepada jemaat (Ibr 1:7; 14) dan pujian
kepada Allah (1Kor 13:2).
Tulisan-tulisan pada periode pasca-para rasul menggunakan kata
leitourgia untuk mengartikan baik pelayanan kepada Allah maupun pelayanan
kepada sesama (komunitas). Secara berangsur-angsur, Gereja Timur
menggunakan kata leitourgia untuk menyebut Perayaan Ekaristi. Hingga saat ini
Gereja Timur masih mempertahankan penyebutan ini sedangkan untuk perayaan
ibadat yang lain disebut tata perayaan.101 Sementara dalam terminologi Gereja
Barat kata leitourgia sempat menghilang dari peredaran. Hal ini erat kaitannya
dengan dengan adanya penerjemahan Kitab Suci bahasa Yunani (Septuaginta) ke
dalam bahasa Latin (Vulgata) yang dikerjakan oleh Santo Hieronimus (347-420).
Dalam Vulgata, kata “liturgi” diterjemahkan dengan kata minister dan juga kata
officium (Luk 1:23; 2Kor 4:12), obsequium, caeremoniae, munus, opus, sevitus.102
100E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 20. 101 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 18. 102 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Istilah liturgi kembali dikenal dalam Gereja Barat pada abad XVI melalui
pengaruh kaum humanis dan diadopsi oleh Gereja-gereja Reformasi pada abad
XVII dan XVIII dengan arti ibadat Gereja. Gereja Katolik Roma mulai
menggunakan kata sifat liturgicus untuk menunjuk hal-hal yang berkaitan dengan
ibadat. Kitab Hukum Kanonik 1917, kan. 1257 memakai istilah liturgi demikian:
“Hanya Tahta Suci yang mengatur Liturgi Suci dan mengesahkan buku-buku
liturgi”.103 Selanjutnya, pada tahun 1947 Paus Pius XII menggunakan kata
“liturgi” dalam ensiklik Mediator Dei. Istilah liturgi akhirnya dibakukan dalam
sidang Konsili Vatikan II dan termuat pertama kali dalam dokumen Sacrosanctum
Concilium (SC).104
Dalam dokumen Konsili Vatikan II Sacrosanctum Concilium, suatu
definisi khusus mengenai liturgi tidak dirumuskan dengan jelas. Definisi liturgi
mengenai liturgi dapat digali dari beberapa rumusan. Dalam SC 7, makna liturgi
dapat dimengerti sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus oleh Tubuh
Mistik Kristus, yaitu kepala dan para anggota-Nya.105 Tugas imamat Yesus
Kristus yang dimaksud adalah karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh
Kristus (SC 5).106 Karya keselamatan Allah ini dikenang dalam liturgi (SC 2).
Dalam liturgi, dari pihak Allah, manusia ditebus dan dikuduskan, sementara dari
pihak manusia, Allah dimuliakan.107 Maka dalam liturgi, Kristus bersama-sama
Gereja-Nya sekaligus melaksanakan liturgi. Oleh karena itu pengertian liturgi 103 Adolf Adam, Foundation of Liturgy,3. 104E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 23. 105E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 25. Pernyataan SC 7 secara lengkap adalah sebagai berikut: “ Maka memang wajar juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara khas masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya”. 106 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 26. 107 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 26.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang
dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama dengan Gereja-Nya
di dalam ikatan Roh Kudus.108
3. 1. 3. Katekese Liturgi
Dari dua definisi di atas penelusuran mengenai makna katekese liturgi
akan dirunut dalam tulisan ini. Katekese adalah usaha untuk mewartakan iman
kristiani baik kepada individu maupun kelompok. Sementara istilah “liturgi”
mengandung pengertian sebagai perayaan misteri keselamatan Allah dalam
Kristus, yang dilaksanakan oleh Kristus bersama Gereja-Nya dalam ikatan Roh
Kudus. Secara sederhana katekese liturgi menjadi penggabungan dari kedua
istilah di atas. Kalau demikian definisi katekese liturgi menjadi “usaha untuk
mewartakan pengertian mengenai perayaan misteri keselamatan Allah dalam
Kristus, yang dilaksanakan oleh Kristus bersama Gereja-Nya dalam ikatan Roh
Kudus”.
Kesimpulan mengenai hal di atas tidak bisa secepat itu diambil dan
dijadikan definisi pokok karena istilah katekese dan liturgi merupakan dua hal
yang terpisah satu sama lain. Oleh karena itu perlu penelusuran lebih lanjut
mengenai hal ini. Gilbert Ostdiek menampilkan sebuah penelitian menarik109.
Menurut Ostdiek, pada Gereja Perdana, ada kontinuitas yang mengalir dari warta
Injil ke arah katekese, dari katekese ke arah liturgi, dari liturgi ke arah katekese
lanjutan dan pelayanan Injil. Tujuan utama dari tindakan pastoral ini adalah
108 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 27. 109 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 163-172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
pembinaan para murid dalam perjalanan pertobatan, iman, hidup kristen dan
kesaksian. Katekese adalah tindakan Gereja yang memiliki bidang yang amat
luas. “Katekese adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan tindakan Gereja
yang mengajar umat beriman, baik individu maupun komunitas supaya mereka
mencapai kedewasaan iman”.110 Dalam arti ini, tugas katekese adalah “membantu
ke arah kedewasaan iman” dan menempatkan umat beriman ke dalam persatuan
intim dengan Yesus Kristus. 111 Dari sini kemudian bisa ditarik sebuah
kesimpulan bahwa fungsi katekese liturgi adalah tindakan yang memungkinkan
umat beriman berpartisipasi secara aktif, baik secara internal dan eksternal dalam
liturgi yang adalah perayaan iman (lih. SC 19).
Masih menurut Ostdiek112, setidaknya ada tiga cara untuk memahami
katekese liturgi. Pertama, katekese liturgi, dari namanya sendiri, merupakan salah
satu bagian dari katekese pada umumnya. Dalam katekese liturgi, liturgi menjadi
isi dari katekese. Hal ini mengandung kelemahan bahwa tindakan katekese liturgi
hanya merupakan usaha penjelasan simbol-simbol dalam liturgi saja dan hanya
mengantar umat pada kesadaran diri sebagai orang yang beribadah. Kedua,
katekese liturgi merupakan proses katekese yang dibingkai dengan liturgi dan
berorientasi pada liturgi. Dalam pengertian ini, beraneka macam bentuk doa dan
perayaan dalam liturgi disatukan dengan proses katekese, sehingga umat yang
sedang berliturgi dan diberi katekese tersebut mengalami sebuah perubahan dari
doa ke arah refleksi dan perayaan. Sebagai contoh, para katekumen tidak hanya
berkumpul untuk mendengar atau diberi instruksi, tetapi juga berkumpul di sekitar
sabda, menerima berkat katekumen, perminyakan dan menjalani masa scrutinia ( 110 Direktorium Kateketik Umum, no. 17. 111 Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese) ,no. 5. 112 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 163-172.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
upacara-upacara penyucian).113 Ketiga, katekese liturgi menggunakan pengalaman
dalam liturgi sebagai sumber refleksi katekese. Katekese liturgi tidak melulu
dikaitkan dengan liturgi itu sendiri melainkan juga dikaitkan relasi umat dengan
Allah dan sesama umat yang merayakan liturgi. Inilah yang disebut dengan
pendekatan komunitas sebagaimana ditawarkan oleh Kenan B. Osborne.114
Dilihat dari model yang disusun untuk proses inisiasi, katekese liturgi
dibedakan menjadi dua yakni katekese sebelum penerimaan sakramen dan
sesudah penerimaan sakramen.115 Pertama, katekese sebelum penerimaan
sakramen merupakan tindakan mempersiapkan penerima yang memerlukan suatu
periode waktu tertentu.116 Katekese sebelum penerimaan sakramen pertama-tama
dilakukan dengan memberikan pemahaman sakramen pada umumnya.117 Kedua,
katekese dilakukan dengan membimbing umat untuk merefleksikan pengalaman
sakramental mereka dalam kaitannya dengan hidup.118
Dalam katekese sebelum penerimaan sakramen, yang ditekankan adalah
pengalaman rohani mereka akan Allah.119 Latihan ritus-ritus dan pemahaman akan
makna ritus-ritus dalam liturgi secara mendetil menempati posisi kedua dalam
pembinaan katekumen.120 Pada saatnya, ritus-ritus dan maknanya mesti dikaitkan
dengan kehidupan rohani. Tetapi, prioritas utama mesti terletak pada pengalaman
rohani katekumen akan Allah. Sementara dalam katekese pasca penerimaan
113Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 163-172 . Lihat juga E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja. Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, Yogyakarta, Kanisius, 2003, 241. 114 Kenan B. Osborne, Community, Eucharist and Spirituality, Missiouri, Liguori, 2007, 3. Osborne memberi argumentasi mengenai usaha pembaruan liturgi di paroki-paroki dan keuskupan di Amerika, yakni bahwa “ Eucharistic devotion, though good in themselves, will have no lasting effect unless the community itself struggles to become a more gospel-oriented community”. 115 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170. 116 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170. 117 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170. 118 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170. 119 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170. 120 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
sakramen, pengalaman liturgis umat akan Allah menjadi pusat refleksi katekese
yang dimulai dari pengenalan akan simbol-simbol liturgi itu sendiri.121
Yang menjadi pokok dalam katekese liturgi pertama-tama adalah
pengalaman personal umat dengan Allah. Inilah medan katekese liturgi. Umat
mengikuti katekese liturgi bukan sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh
mereka yang memberikan katekese. Oleh karena itu, katekese liturgi pertama-
tama perlu mengangkat pengalaman personal umat yang akan menerima katekese
perihal pengalaman personal mereka dengan Allah. Pemahaman dan pengetahuan
mengenai liturgi dapat membantu umat dalam membahasakan pengalaman
mereka dan memberi nama atas pengalaman mereka akan Allah secara personal.
3. 2. Sejarah Katekese Liturgi122
Katekese liturgi berkembang bersamaan dengan liturgi. Katekese liturgi
seumur dan setua liturgi Gereja.123 Sejarah katekese liturgi identik dengan
perkembangan liturgi itu sendiri sebab tindakan liturgi selalu terkait dengan
tindakan katekese. Meskipun katekese liturgi bisa berbentuk macam-macam 121 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170. 122 Mengenai pembagian periodisasi waktu, kami mengikuti model yang dipakai oleh James F. White, A Brief History of Christian Worship, Nashville, Abingdon Press, 1993. Meskipun buku ini tidak langsung berbicara mengenai tema Katekese Liturgi, data-data mengenai katekese liturgi dapat ditelusuri dari kegiatan liturgi mereka sebagaimana dilaporkan dalam tulisan-tulisan awal. Untuk ini White menulis, “The primary liturgical document in any period is the worshiping community itself”. Padahal tulisan-tulisan awali tersebut melaporkan perihal kegiatan liturgi yang dilakukan oleh komunitas awali. Uraian-uraian selanjutnya dalam tulisan ini mencoba mendeskripsikan kehidupan liturgi di setiap zaman. 123 Dalam bab II anjuran apostolik tentang penyelenggaraan katekese (Catechese Tradendae), Yohanes Paulus II menyebut katekese sebagai suatu pengalaman seusia Gereja. Hal ini dapat ditemukan dalam misi para rasul (CT. 10) yang dapat ditemukan dalam Mat 28: 19 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." ;Yoh 15:16: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu”;Kis 4:2: “ Orang-orang itu sangat marah karena mereka mengajar orang banyak dan memberitakan, bahwa dalam Yesus ada kebangkitan dari antara orang mati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
seperti pengajaran, hukum, ketentuan dan sebagainya, namun hakekatnya tetap
sama, yakni umat senantiasa diantar ke arah pemahaman akan liturgi yang mereka
rayakan. Berikut ini akan dirunut perkembangan sejarah katekese liturgi. Usaha
ini tentu saja tidak dapat menghindarkan diri dari penelusuran perkembangan
sejarah liturgi. Penelusuran ini akan dimulai dengan Gereja Perdana hingga saat
ini.
3. 2. 1. Katekese Liturgi dalam Zaman Perjanjian Baru (sekitar abad I)
Ada dua hal pokok yang menjadi dasar penelusuran katekese liturgi pada
masa Perjanjian Baru.124 Dua hal pokok tersebut adalah Kisah Emmaus (Luk 24:
13-35) dan kisah Pentekosta (Kis 2: 14-40). Kisah Emmaus melukiskan
perjalanan Yesus bersama kedua murid yang kecewa. Kisah sepanjang dua
puluh ayat ini menggambarkan dengan baik bagaimana Yesus memberikan
katekese secara komprehensif kepada dua murid dalam perjalanan ke Emmaus
sebelum mereka merayakan liturgi (Ekaristi) yang diandaikan terjadi dalam
adegan pemecahan roti (ay. 30). Pertama-tama mereka kehabisan pengharapan
akan pembebasan bangsa Israel. Yesus yang mereka harapkan justru dibunuh
orang Israel dengan cara disalibkan. Lebih mengejutkan mereka lagi bahwa
Yesus yang disalibkan, wafat dan dimakamkan itu hilang dari makam (ay. 20).
Setelah dengan penuh perhatian mendengarkan “kebutuhan para murid”,
Yesus memberikan keterangan panjang lebar mengenai misteri kematian-Nya (ay.
25-26). Pada akhir cerita-Nya, Yesus mengungkapkan kebenaran yang ada: “
124 Dalam periodeisasi James F. White, periode perjanjian baru berada pada masa antara Gereja perdana hingga sekitar tahun 130 M.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam
kemuliaan-Nya?"( ay. 27). Penjelasan Yesus ini membuat hati mereka berkobar-
kobar (ay. 32) dan akhirnya terbukalah mata mereka akan kenyataan bahwa
mereka sedang bercakap-cakap dengan Yesus yang bangkit (ay. 31). Mereka
disegarkan kembali imannya kepada Yesus dan kemudian melaksanakan tugas
misi mereka memberitakan hal tersebut pada para murid yang lain di Yerusalem
padahal hari sudah malam (ay. 33). Kisah ini dengan jelas menunjukkan
bagaimana pengalaman personal mereka dengan Yesus menjadi medan pokok
bagi penjelasan dan katekese. Mereka merayakan liturgi dengan penuh makna
karena mereka mengenal Yesus secara pribadi. Pengenalan para murid Emmaus
akan Yesus ini digunakan Yesus untuk melaksanakan tindakan kateketis yang
membawa para murid sampai pada pemahaman dan penghayatan liturgi.
Kisah Pentakosta juga menggambarkan suasana katekese sebagaimana
disampaikan Petrus dalam pidatonya sebelum orang-orang memberikan diri dalam
baptisan (Kis 2: 14-40). Kisah pidato Petrus ini kemudian diikuti dengan kisah
mengenai Jemaat Perdana yang bertekun merayakan liturgi (Kis 2:41-47). Dalam
peristiwa Pentekosta, Petrus melaksanakan katekese kerigmatik dengan mengutip
para nabi dan mazmur untuk memberi panorama baru akan apa yang dialami
orang-orang saat peristiwa itu terjadi. Katekese kerigmatik Petrus tersebut
kemudian menggerakkan hati orang-orang. Mereka kemudian bertanya, “ Apa
yang harus kami lakukan, saudaraku?”(ay. 37). Pertanyaan ini menandakan adanya
keterbukaan hati orang-orang untuk bertobat dan beriman. Berdasarkan pertanyaan
ini, Petrus menginstruksikan pada orang-orang dan mendesak mereka untuk
“menyelamatkan dirimu dari angkatan ini” (Kis 2: 40). Kemudian mereka dibaptis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dan “menambah jumlah dalam komunitas pada saat itu” (Kis 2:41) dan hidup
secara baru dalam komunitas orang-orang yang percaya (Kis 2: 42-47).
Kisah ini mengungkapkan sebuah nuansa hubungan antara pewartaan Injil
dan program katekese yang mengarah pada pertobatan. Sebagaimana dalam cerita
Emmaus, pengalaman manusiawi mereka menyediakan titik pijak, dan pertanyaan
mereka menjadi pemicu akan adanya suatu pemahaman baru mengenai kehidupan
yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Sebagaimana dalam cerita Emmaus pula,
katekese Petrus tersebut mengarahkan orang pada sikap memberikan diri untuk
dibaptis yang kemudian dilanjutkan dengan mistagogi, perayaan liturgi dan
tindakan saling melayani.
Katekese dan liturgi sebagaimana dikisahkan dalam dua perikop di atas
menunjukkan dengan jelas bagaimana Kristus menjadi pusat dari seluruh kegiatan
katekese dan liturgi. Dengan kata lain, katekese dan liturgi mendapatkan titik
temunya terutama pada Kristus. Dalam kisah Emmaus, Kristus memberi katekese
pada dua murid, sementara dalam peristiwa Pentekosta, Petrus menjelaskan hal
ihwal mengenai Kristus. Keduanya berdampak sama, yakni membuka hati para
pendengarnya dan kemudian menggerakkan mereka untuk mengambil sikap
berbeda dari sebelumnya. Para murid menjadi berkobar-kobar dan segera
berangkat untuk memberi kesaksian pada yang lain. Sementara itu, mereka yang
mendengar pewartaan Petrus lantas memberi diri dibaptis. Di sini kita melihat
bagaimana katekese dan liturgi saling berhubungan satu sama lain.
Lebih lanjut data-data dari tulisan perjanjian baru memaparkan dengan
jelas bagaimana para rasul amat gigih mewartakan Injil sebagai tindakan mereka
dalam berkatekese. Catechese Tradendae (art. 11) memaparkan secara padat dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
jelas bagaimana para rasul bergiat dalam pelayanan pewartaan. Mereka juga
meneruskan kepada para penggantinya suatu tugas mengajar. Bahkan dalam
situasi penganiayaan, jemaat Kristen perdana “menjelajah seluruh negeri sambil
memberitakan Injil”.125 Demikian pula Santo Paulus berbalik menjadi pewarta
Injil, dari Anthiokia sampai Roma. Dia disebut sebagai pribadi yang dengan terus
terang mengajarkan tentang Tuhan Yesus Kristus.126 Surat-surat Paulus dan juga
ditambah dengan surat para rasul lainnya memberi bukti berlangsungnya kegiatan
katekese pada masa itu. Injil juga ditulis antara lain untuk keperluan katekese
sebagaimana disampaikan dalam CT 11 berikut ini, “Sebelum ditulis, Injil
mengungkapkan ajaran lisan yang disalurkan kepada jemaat-jemaat Kristen, dan
dengan berbagai tingkat kejelasan memaparkan struktur kateketis. Uraian Santo
Matius memang disebut-sebut sebagai Injil katekis, dan uraian Santo Markus
sebagai Injil bagi katekumen”
Periode Perjanjian Baru ini juga ditandai dengan beberapa tulisan berbobot
antara lain Didache, Surat Klemens dari Roma, surat-surat Ignatius dari
Anthiokia. Dalam Didache (yang berarti pengajaran127) terdapat pengajaran
125Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese) , no. 11. 126Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese) , no. 11. 127 Kenan B. Osborne, Community, Eucharist, and Spirituality, 69. Menjelaskan istilah Didache dengan arti “ The Teaching of the Lord to the Gentiles through the Twelve Apostles”; Lihat Juga Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians,1. Dia menjelaskan Didache sebagai “The Teaching of the Lord, given to the nations through the Apostles”. Dalam A. Eddy Kristiyanto, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, Yogyakarta, Kanisius, 2002, 23-24, kalimat ini diterjemahkan dengan: “Ajaran Tuhan kepada Orang-orang Belum Beriman melalui ke-12 Rasul”. Sementara ahli seperti Audet, Knopf, Adam berpendapat bahwa Didache ini ditulis di Mesir. Yang lain mengatakan bahwa Didache ditulis di Palestina dan Syria. Penulis mengikuti pendapat Rordrorf yang mengatakan bahwa Didache ditulis di Syria pada akhir abad pertama. Keputusan ini penulis ambil sebab mengenai di mana Didache ini ditulis tidaklah terlalu terkait secara signifikan dengan tafsir atas beberapa tulisan yang menyangkut soal katekese liturgi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
mengenai doa yang mesti disampaikan dalam perjamuan komunitas.128 Didache
melaporkan bahwa kehidupan liturgi Gereja antara tahun 80 M hingga 130 M
sudah diwarnai dengan berbagai macam bidang liturgi, seperti baptisan, puasa, doa
dan perayaan agape. Pengajaran mengenai bermacam bidang ini terdapat dalam
bab VII-X.129 Bab XIV dari Didache ditambahkan dengan beberapa catatan
mengenai Liturgi Hari Minggu sebagaimana dirayakan oleh komunitas Kristen.130
Dari bentuknya sendiri, tulisan ini merupakan suatu katekese yang diperuntukkan
bagi jemaat Kristen. Tentunya tulisan ini dimaksudkan untuk membimbing umat
ke arah keterlibatan jemaat dalam kegiatan liturgi komunitas waktu itu.
Surat Klemens dari Roma juga memaparkan sebuah bentuk pengajaran dan
katekese. Klemens menulis surat kepada jemaat di Korintus pada tahun 95 atau 96
pada akhir masa pemerintahan Kaisar Domitianus. Klemens menulis surat jemaat
di Korintus”.131 Tulisan ini sedemikian berwibawa sampai-sampai masih
dibacakan dalam liturgi jauh sesudahnya.132 Surat Klemens ini memaparkan
kehidupan kristiani dan ajaran-ajaran mengenai doa-doa, terutama Ekaristi.133 Bisa
dikatakan bahwa Surat Klemens ini merupakan bentuk katekese.
Surat-surat Santo Ignatius dari Anthiokia adalah surat yang amat penting
dalam kehidupan Gereja, bahkan sampai hari ini. Dia memberikan kesaksian
sejarah yang didedikasikan untuk mengoranisasi komunitas, pengembangan
128Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, 1. 129E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 51. 130 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 51. 131 Georges Blond dalam Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, 24. 132 Georges Blond memaparkan bahwa Dionysius, Uskup Korintus pada masa Paus Soter (166-175) menulis sebuah surat yang melaporkan bahwa Surat Klemens sampai pada masa itu masih dibacakan dalam liturgi. 133 Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, 37.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
kehidupan liturgi dan pengembangan pemikiran Kristen.134 Uskup Ignatius dari
Anthiokia menulis tujuh surat pastoral. Tujuh surat itu dialamatkan kepada jemaat
Kristen seperti di Efesus, Magnesia (dekat ujung sungai Meander), Roma, Tralles,
Philadelphia, Smyrna dan secara pribadi kepada Uskup Polycarpus.135 Dalam
surat-surat itu, ia mengingatkan umat untuk terus menjaga kemurnian liturgi
Kristiani dalam menghadapi dan menangkal pengaruh ajaran sesat.136 Ignatius
menganjurkan agar liturgi baptisan, Ekaristi dan pemberkatan perkawinan
dilaksanakan dengan persetujuan uskup. Selain itu ia juga mendesak umat agar
mereka rajin datang ke perayaan Ekaristi dan doa pujian. Menilik isi dari surat-
surat tersebut137 jelas sekali bahwa nadanya amat kateketis.
3. 2. 2. Katekese Liturgi pada Abad-Abad Awal Kekristenan (abad II –III)
Perkembangan katekese liturgi juga dapat dirunut dari tulisan-tulisan abad-
abad pertama kekristenan sejak tahun 133 M sampai dengan tahun 604 M 138.
Beberapa disebutkan di sini yakni tulisan-tulisan Yustinus Martir, Irenius dari
Lyon, Klemens dari Aleksandria, Tertullianus, Siprianus dari Karthago, Origenes,
Didascalia Apostolorum, Constitutiones Apostolorum, Gembala Hermas, Traditio
Apostolica , Polikarpus dari Smyrna.139 Masa ini menjadi masa formatif dan
134 Raymond Johanny dalam Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, New, 48. 135 Raymond Johanny dalam Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, 46. Lihat juga E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 52. 136 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 52 137 Lih. Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, 46. 138 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 40. 139Yohanes Paulus II, anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese), no. 12, khususnya dalam catatan kaki nomor 4. Catatan kaki tersebut memuat judul-judul tulisan berbobot tersebut yakni Didache, Epistola Apostolorum (surat Para Rasul), Karya Tulis Ireneaus dari Lyon: Demontratio Apostolicae Praedicationis (Uraian tentang pewartaan para Rasul), Adversus Haereses (melawan bidaah-bidaah), karya tulis Tertullianus: De Baptismo (tentang Babtis), Klemens dari Aleksandria: Paedogogus (Pembina), Siprianus:Testimonia ad Quirinum (Kesaksian bagi Kuirinus), Origenes (Contra Celsum (melawan Selsus); Kenan B. Osborne,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
menentukan dalam komunitas Kristiani.140 Masa ini menjadi masa para Bapa
Gereja yang amat dihargai. Sebutan untuk para Bapa Gereja tidak pernah lagi
dipakai untuk tokoh-tokoh Gereja lain sesudah masa ini. Selain itu periode waktu
ini diwarnai juga dengan konsili-konsili ekumenis yang cukup penting dalam
sejarah kekristenan yakni Konsili Nikea I (tahun 325), Konsili Konstantinopel I
(tahun 381), Konsili Efesus (tahun 431) dan Konsili Kalsedon (tahun 451).
Konsili-konsili tersebut memberi pengaruh cukup besar bagi praktek-praktek
kehidupan jemaat pada waktu itu, termasuk juga dalam hal liturgi.
Pentingnya testimoni Yustinus Martir (sekitar tahun 150) sudah dikenal
umum.141 Dia mengajarkan kebijaksanaan Kristen sebagai suatu filsafat. Dia
mengajar atas namanya sendiri, tanpa mandat dari Gereja, bahkan sempat
memisahkan diri dari Gereja. Namun ajarannya itu kemudian dimahkotai dengan
kemartirannya. Dia adalah salah seorang saksi iman karena kematiannya sebagai
martir menjadi tanda bagaimana kualitas hidupnya. Salah satu tulisan Yustinus
Martir berisi dua paparan mengenai Ekaristi yang dialamatkan pada jemaat yang
tidak sehati sepenanggungan dalam menghayati iman Kristen. Paparan kedua
dialamatkan kepada kaisar. Tulisan lain menjelaskan dan membela Ekaristi,
terutama pada para pembaca Yahudi.
Community, Eucharist, and Spirituality, Missouri, Liguori, 2007, 69; Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, New York, Pueblo Publishing Company, 1978. 140 Kenan B Osborne, Community, Eucharist, and Spirituality, 67. 141 Keterangan mengenai Yustinus Martir ini dipaparkan secara jelas oleh Maurice Jourjon dalam Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, New York,71. Dua karya terkenal Yustinus Martir adalah Apologia dan Dialog dengan Trypho. Apologi adalah semacam surat terbuka kepada kaisar. Surat ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa orang-orang Kristen dianiaya secara tidak adil karena bukan kafir dan tidak melawan Negara (criminal). Dialog dengan Trypho adalah sebuah upaya mempertahankan Kristianitas ,melawan Yudaisme. Karya ini memunculkan pertanyaan tertentu (mencakup pertanyaan mengenai otoritas Yustinus). Namun yang paling menonjol adalah diskusinya mengenai Ekaristi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Irenius, uskup Lyon142 juga merupakan tokoh yang gigih dalam
memberikan katekese pada umat. Dia memiliki perhatian amat besar pada warta
Injil di daerah Gallia. Dia amat memperhatikan umatnya dan menguatkan mereka
dalam iman dan kepercayaan. Hal ini dirasa perlu karena pada waktu itu, jemaat di
Lyon memperoleh tantangan dari ajaran Gnostik yang dibawa oleh Markos dari
Asia Kecil. Menurut Irenius, iman dan kesatuan adalah dasar dari seluruh
ajarannya yakni mengenai kesatuan iman, kesatuan dalam rencana keselamatan
yang terangkum dalam keseluruhan sejarah. Dalam menjelaskan Ekaristi, Irenius
tidak memulai dari penjelasan teknis, tetapi memulainya dengan mengaitkan
Ekaristi dalam keseluruhan sejarah teologi. Dalam pandangannya, Ekaristi adalah
sakramen ekonomi keselamatan dan di dalamnya Gereja menemukan bahwa
imannya diteguhkan terus menerus. Ajarannya itu didokumentasikan dalam
Against the Heresies (Adversus Haereses).
Dalam buku “Tradisi Rasuli” (Traditio Apostolica, sekitar tahun 217),
Hipolitus ingin menjaga tradisi para Rasul dari bahaya penyimpangan dan
pemalsuan.143 Di situ ia menuliskan praktek dan doa liturgi yang dipakai di Gereja
Roma, yaitu liturgi baptisan, Ekaristi, tiga tingkatan imamat jabatan, berbagai
berkat, doa, dan agape.144 Doa Syukur Agung II yang dimiliki Gereja saat ini
merupakan gubahan dari Doa Syukur Agung yang dicatat oleh Hipolitus dalam
“Tradisi Rasuli” ini.145 Buku “Tradisi Rasuli” juga memaparkan secara terinci
seluruh proses inisiasi sebagaimana dipraktekkan Gereja pada sekitar abad
142 Lih. uraian Adalbert Hamman “Irenaeus of Lyons” dalam Willy Rordorf and Others, The Eucharist of The Early Chistians, 86. 143 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi ,53. Lihat juga keterangan Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, Yogyakarta, Kanisius, 1991, 21. 144 James F White, A Brief History of Christian Worship, 43. 145 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 53. lih. Juga A. Eddy Kristiyanto, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa, 114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
keempat di Roma.146 Proses inisiasi diawali dengan masa sebagai pendengar sabda
selama tiga tahun. Kalau pada masa ini mereka toh akhirnya mati sebagai martir,
mereka disebut telah melaksanakan baptisan darah.147 Setelah masa sebagai
pendengar sabda berakhir, mereka masuk pada masa katekumenat yang biasanya
berlangsung cukup lama. Pada masa ini disampaikan pengajaran mengenai doa-
doa.148 Meski demikian, tindakan katekese untuk para katekumen ini berbeda dan
terpisah dengan tindakan katekese untuk mereka yang sudah dibaptis.149 Sebelum
dibaptis, para katekumen tidak diijinkan mengucapkan doa-doa, memberi ciuman
perdamaian, dan menerima komuni.150 Mereka berada dalam keadaan menunggu
sampai pada suatu ketika mereka dianggap layak dan kemudian menerima
baptisan. Penerimaan baptisan dilaksanakan dengan aneka persiapan seperti ujian-
ujian mengenai cara hidup, penolakan setan setiap hari. Pada saat akhir menjelang
Paskah, mereka bersiap-siap selama tiga hari (triduum) dengan berpuasa, berdoa
dan eksorsisme.151 Pada Paskah pagi, para calon berkumpul di dekat bejana,
mengadakan penolakan setan yang ditandai dengan minyak eksorsisme, melepas
pakaian, naik dalam kolam air dan diuji sebagai orang beriman
(membuat/mengucapkan pengakuan iman rasuli).152 Setelah itu mereka diberi
minyak baptis, pakaian dan masuk dalam Gereja. Uskup memberi berkat pada
mereka dan mengoleskan minyak pada kepala mereka. Setelah itu, para baptisan
baru bergabung bersama umat beriman lain dan untuk pertama kalinya
diperbolehkan memberikan cium perdamaian dan berdoa bersama dan merayakan
146 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 46. 147 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 46. 148 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 46. 149 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 46. 150 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 46. 151 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 47. 152 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 47.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Ekaristi.153 Sementara itu, Didascalia Apostolorum, menunjuk perlunya diakon
wanita untuk membaptis dan meminyaki calon perempuan (karena mereka
diharuskan melepas pakaiannya) dan mengajar para calon tersebut setelah mereka
menerima baptisan.154 Ini masuk akal karena menjadi cara efektif untuk
menghindari batu sandungan dalam kalangan masyarakat waktu itu.
Tentu saja semua uraian mengenai tulisan-tulisan awal tidak mungkin
ditampilkan semua. Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan hal ini dengan tegas
dalam Catechese Tradendae no 12:
“Kiranya mustahil di sini mengenangkan, bahkan selayang pandang pun katekese , yang menunjang penyebaran dan perkembangan Gereja dalam berbagai periode sejarah, di setiap benua, dan di tengah kemacam-ragaman situasi sosial-budaya. Benar juga bahwa kesulitan-kesulitan selalu ada. Tetapi sabda Tuhan menempuh perjalanannya dari abad ke abad dan untuk memakai kata-kata Rasul Paulus – ‘beroleh kemajuan dan dimuliakan ‘“.
Uraian di atas rasanya cukup untuk memberikan bukti adanya katekese liturgi
pada masa Bapa-bapa Apostolik. Karya-karya para Bapa Apostolik tersebut
merupakan bentuk pengajaran yang memberikan penjelasan mengenai banyak hal,
termasuk juga mengenai liturgi. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa katekese liturgi sudah ada sejak awal mula Gereja.
3. 2. 3. Katekese Liturgi pada abad IV-VI
Tahun 313 merupakan saat yang bisa disebut sebagai titik balik kehidupan
kekristenan dengan permakluman kebebasan beragama oleh kaisar
Konstantinus.155 Peristiwa ini dikenal dengan Edik Milan.156 Dengan peristiwa itu,
153 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 47. 154 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 47. 155 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 48. 156 Latar belakang peristiwa Edik Milan diawali ketika Kaisar Konstantinus Agung naik tahta kekaisaran. Konstantinus Agung naik tahta setelah mengalahkan Maxentius. Kemenangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Gereja tidak lagi berada dalam tekanan politis karena dikejar-kejar dan dianiaya.
Perkembangan kondisi Gereja karena adanya kebebasan berekspresi secara publik
tersebut berpengaruh pada katekese liturgi. Bahkan lebih dari itu, pada
perkembangan waktu selanjutnya, Gereja banyak menerima “bantuan” dari pihak
kekaisaran dalam melaksanakan kegiatannya. Bantuan dari pihak kekaisaran
tersebut juga menyangkut soal-soal katekese liturgi. Implikasinya, kegiatan
katekese liturgi tidak lagi melulu menjadi urusan internal Gereja, melainkan juga
menjadi urusan kenegaraan157. Pada masa ini beberapa tulisan dapat dijadikan
petunjuk mengenai pelaksanaan katekese liturgi seperti tulisan Sirilus dari
Yerusalem (350 M), Ambrosius dari Milan, Johanes Krisostomus dari Anthiokia,
Theodorus dari Mopsuestia di Asia Kecil Eusebius dari Kaesarea, Epiphanius dari
Salamis, Agustinus dan Paus Gregorius Agung (590-604 M).
Dalam tulisan Sirilus dari Yerusalem sekitar tahun 350 M, ditemukan
suatu penyataan mengenai katekese, yakni katekese pasca baptisan. Sirilus
menyatakan bahwa dia mengajar para baptisan baru mengenai hal-hal yang perlu
dikerjakan agar iman mereka semakin mendalam158. Sirilus mengaitkan kehidupan
baru yang dialami oleh para baptisan dengan tindakan penolakan setan. Dengan
Konstantinus diklaim sebagai kemenangan berkat bantuan Allahnya orang Kristen. Dalam pertempurannya dengan Maxentius, Kontantinus mendapat penglihatan ilahi di langit. Ia menerima pesan agar seluruh balatentaranya menggunakan monogram salib Kristus sewaktu berperang. Konstantinus taat dan akhirnya memang memperoleh kemenangan yang dijanjikan. Meski demikian ia tidak langsung bertobat menjadi Kristen. Ia baru bertobat beberapa saat menjelang ajalnya. Hanya saja setelah kemenangan itu, ia mendedikasikan seluruh hidupnya kepada kekristenan. Pada awal tahun 313, ia menemui rekannya, kaisar Romawi Timur dan menyepakati suatu kebijakan untuk memberi kebebasan beragama kepada masyarakat secara penuh. Peristiwa itu kemudian terkenal dengan Edik Milan. Kesepakatan itu memungkinkan orang Kristen memperoleh kembali harta milik mereka yang dirampas-paksa pada masa penganiayaan. Catatan lengkap mengenai hal ini dapat ditemukan dalam F. Hasto Rosariyanto, Perkembangan Sejarah Gereja Katolik, 20. 157 Untuk mendalami hal ini, silakan mencermati apa yang ditulis oleh A. Eddy Kristiyanto, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa, 46. 158 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
baptis mereka ikut serta dalam kematian dan kebangkitan Kristus159. Bentuk
ungkapan nyata keikutsertaan mereka dalam hidup Kristus adalah keterlibatan
mereka dalam Perayaan Ekaristi. Dalam pengajarannya Sirilus menekankan tiga
hal, yakni baptis, Ekaristi dan Kristus.
Patrick J. Hamell160 melaporkan penyelidikannya mengenai metode
katekese St. Sirilus dari Yerusalem sebagai berikut: Katekese St. Sirilus
Yerusalem terdiri dari 23 bab (24 dihitung dari bagian pengantar). Sembilan belas
bab pertama merupakan katekese untuk calon baptis dan pengajaran selama masa
prapaskah di Basilika besar Constantinus yang dibangun di samping bukit
Kalvari. Bab 1-5 secara spesifik menguraikan masalah rahmat, doa,
pengampunan, baptis, kerangka iman kristiani dan dasar-dasar keutamaan iman.
Bab 6-18 secara khusus menguraikan paparan dan pengucapan setiap kata dalam
syahadat iman sebagaimana biasa diungkapkan jemaat di Yerusalem. Pada hari
raya Paskah para katekumen dibaptis dan menerima perngurapan minyak dan
Ekaristi. Kepada orang-orang Kristen baru tersebut diberikan pengajaran lanjutan
di kapel Kebangkitan. Pengajaran ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
mengenai iman kristen. Pemahaman mengenai iman kristen mencakup
pemahaman mengenai baptis, pengurapan dan Ekaristi. Katekese ini disampaikan
secara jelas dan sederhana seperti dikomentari Bardenhewer161 berikut ini:
“Their diction is simple and clear, and the entire exposition is mildly grave, tranquil, and cordial. Their subject-matter causes them to be looked on as one the most precious treasure of Christian antiquity; the five mistagogical catecheses, in particular, are of incalculable value for the history of doctrine and the liturgy”.
159 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 48. 160 P.J. Hamell, Introduction to Patrology, 100. 161 P.J. Hamell, Introduction to Patrology, 100.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Santo Sirilus juga mengajarkan secara meyakinkan tentang kehadiran nyata
Kristus dalam Ekaristi, kekudusan Ekaristi, kisah monogram salib di langit yang
mempengaruhi kemenangan Konstantinus.
Santo Ambrosius dari Milan ( 339-397), Uskup dan Pujangga Gereja,
lahir dari keluarga Kristen di Trier. Ketika ayahnya yang menjadi prefek Pretorian
untuk seluruh Galia meninggal di Trier, Ambrosius bersama kedua kakaknya
dibawa oleh ibunya pindah ke Roma. Oleh ibunya, dia diarahkan untuk meniti
karier di bidang politik dan ia sangat berbakat di bidangnya tersebut. Suatu saat
dia terpilih menjadi gubernur di Italia Utara dengan Milan sebagai residensinya.
Waktu itu dia masih seorang katekumen. Ketika Uskup Milan meninggal,
Ambrosius ditunjuk sebagai pengantinya. Semula ia menolak sebelum akhirnya
menerimanya. Selama menjadi uskup ia banyak menulis mengenai tema-tema
penting seperti moral, asketisme dan dogma. Dalam bidang liturgi ia
memprakarsai inovasi liturgi Ambrosian yang merupakan gabungan dari ritus
Galikan dan ritus Mozarabic.162 Salah satu bentuk ritus ini adalah pembasuhan
kaki sebelum mengikuti ibadat untuk menunjukkan dan mengingatkan pada umat
mengenai makna sakramen dan penyucian diri163. Selain itu Ambrosius juga
mengatakan bahwa bukan kata-kata imam yang menyucikan melainkan kata-kata
Kristus sendirilah yang menyucikan dan membuat sakramen sebagaimana sabda-
Nya menciptakan sesuatu.
Yohanes Krisostomus dari Anthiokia memberikan katekese mengenai
baptisan sebagai tindakan melepaskan diri dari kelekatan pada setan untuk
kemudian mengikatkan diri pada pelayanan Kristus. Hal itu dirumuskan dengan
162 P.J., Hamell, Introduction to Patrology, 136. 163James F. White, A Brief History of Christian Worship, 48.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
kata-kata: “Dan saya masuk dalam pelayananMu, ya Kristus”.164 Dalam ritus
pembaptisan menurut Yohanes Krisostomus, orang yang akan dibaptis masuk ke
dalam air dan dibenamkan kepalanya oleh imam di bawah permukaan air diikuti
dengan forma sacramenti “dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus”165.
Sentuhan tangan imam dalam pembaptisan itu tidak hanya dimengerti sebagai
sentuhan tangan imam saja, melainkan sentuhan tangan Kristus dan ini amat jelas
ditunjukkan dalam setiap rumusan kata baptisan.166 Selain menunjukkan adanya
aktivitas katekese pada tulisan Yohanes Krisostomus, kita dapat juga menemukan
adanya kecenderungan yang lebih kuat pada unsur pneumatis pada Gereja Timur,
dibandingkan dengan Gereja Barat.
Pengajaran katekese juga disampaikan oleh Theodorus dari Mopsuestia di
Asia Kecil sekitar tahun 390. Dia mengajarkan tentang seorang pengusir setan
yang secara dramatis menang atas setan. Setelah membuka pakaiannya, calon
diminyaki seluruh tubuhnya dengan minyak krisma, sebagai tanda bahwa si calon
diterima atau dilindungi untuk masuk ke dalam kehidupan kekal yang diperoleh
melalui baptisan. Imam pembaptis mengucapkan doa untuk memohon kehadiran
Roh Kudus. Roh Kudus inilah yang memberi kekuatan pada air yang akan
menjadi rahim dari kelahiran sakramental. Setelah upacara pembaptisan, orang
yang telah menerima baptis tersebut diberi pakaian putih sebagai tanda kehidupan
baru yang bersih. Hal ini dikaitkan dengan baptisan dan pengurapan Yesus dalam
Luk 4:18).
Agustinus dari Hippo memberikan katekese mengenai hubungan antara
dosa dan pembaptisan. Melalui baptisan, menurut Agustinus, anak-anak 164 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 49. 165 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 49. 166 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
dibebaskan dari dosa asal. Sementara orang dewasa dibebaskan dari dosa asal dan
dosa-dosa yang dia peroleh selama hidupnya. Dengan demikian, baik anak-anak
maupun orang dewasa memerlukan baptisan untuk membersihkan dosa mereka,
baik dosa asal maupun dosa aktual167. Pandangan Agustinus mengenai teologi
baptisan tersebut berpengaruh pada pandangannya terhadap hal lain seperti
validitas sakramen. Menurut Agustinus, sumber dan penyebab sakramen adalah
Tuhan sendiri, bukannya pelayan. Daya guna sakramen tidak tergantung pada
moralitas pelayan melainkan tergantung pada Tuhan sendiri. Oleh karena itu,
orang yang telah menerima baptis, meskipun tidak dari pelayan yang sah, tetaplah
sah baptisannya, karena Allah sendirilah yang membaptis.168
Dari beberapa pandangan para Bapa Gereja di atas, ada beberapa
kesamaan mendasar mengenai liturgi baptisan seperti katekese, baptisan itu
sendiri, beberapa tanda dari Roh Kudus dan untuk pertama kali masuk dalam
komunio (komuni pertama). Beberapa perbedaan bentuk upacara seperti
perminyakan seluruh tubuh, perminyakan kepala, pembasuhan kaki, pengikatan
diri pada pelayanan Kristus dilaksanakan menurut adat dan kebiasan setempat.
Namun dapat disimpulkan bahwa bentuk katekese mengenai baptisan pada
dasarnya sama pada setiap Gereja lokal.
Pujangga Gereja terakhir pada periode ini adalah Paus Gregorius Agung.
Gregorius tadinya adalah seorang pejabat pemerintah yang sangat dermawan. Ia
membagikan kekayaannya untuk mendirikan beberapa biara, sebelum akhirnya ia
sendiri masuk biara pada usia 35 tahun. Selama enam tahun, ia menjadi diplomat
167 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 51. 168 Hal ini berkaitan dengan pandangan kaum Donatis yang menyatakan bahwa sakramen haruslah dilayani oleh orang yang betul-betul suci dan mempunyai kapabilitas moral. lih. James F. White, A Brief History of Christian Worship, 51. Hal senada juga bisa dilihat pada A. Edy Kristiyanto, Gagasan Yang menjadi Peristiwa, 113.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
kepausan untuk kota Konstantinopel. Sekembalinya ke biara, ia diangkat menjadi
paus pada tanggal 3 September 590. Dia berperan besar dalam mendamaikan
pertikaian-pertikaian yang ada dalam Gereja, ataupun antara Gereja dengan
bangsa Lombardia. Dia juga menertibkan administrasi Gereja, memperkuat
kedudukan Gereja pada kekuasaan sipil.169 Dalam bidang pastoral, dia berusaha
keras memantapkan kehidupan iman Kristen dan mengembangkan pembinaan
para imam. Dalam bidang liturgi, Gregorius Agung menetapkan lagu-lagu
Gregorian, memperbaiki antifon-antifon, dan menetapkan kanon Misa.170
Mengenai hal ini, Klauser mencatat:
“Pada masa kepausannya, liturgi Romawi mendapatkan bentuknya yang final, yang wujud konkretnya ditemukan dalam Sacramentarium Gregorianum, Antiphonarium Gregorianum, Capitulare Evangeliorum. Antiphoniarium menyajikan antifon-antifon bagi paduan suara agar mereka dapat ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi. Capitulare Evangeliorum memberikan petujuk kepada diakon, bagian mana dari keempat Injil yang harus dibacakan dalam liturgi setiap hari (daftar kutipan senada untuk kitab-kitab yang bukan Injil untuk subdiakon rupanya tidak ada, barangkali karena pilihan bacaan tersebut pada waktu itu belum dibacakan). Dan akhirnya Ordines memberikan pengarahan kepada para klerus mengenai tatawaktu yang harus diikuti pada setiap tugas liturgis” 171
Mengenai alasan Gregorius Agung menempatkan Bapa Kami sebelum upacara
komuni disampaikan Klauser demikian172:
Gregorius Agung menempatkan Bapa Kami itu langsung sesudah kanon (Ep.9.6), sebab doa ini cocok sekali sebagai persiapan komuni, dan karenanya didoakan tepat sebelum komuni, lengkap dengan pengantar dan doa susulannya, yaitu embolisme. Gregorius pasti ingin agar Doa Tuhan itu mempertahankan ciri khasnya sebagai hormat atas komuni. Lebih lanjut, alasan Gregorius Agung mengatur warisan liturgis ini adalah untuk memperpendek bagian-bagian liturgi yang terlalu panjang dan dengan demikian meringankan beban berlebihan baik pihak pemimpin ibadat maupun pihak umat, apalagi beban itu nyaris tidak mampu memupuk devosi mereka.
169 Apa yang dilakukan Gregorius ini kemudian menjadi asal-usul kekuasaan duniawi paus. Lih. A. Eddy Kristiyanto, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa, 120. 170 P.J. Hamell, Introduction to Patrology, 163. 171 Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, 55. 172 Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, 57.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Demikianlah gambaran sekilas perkembangan liturgi, dengan usaha
katekese yang berlangsung pada masa abad IV-VI. Apa yang dipaparkan memang
tidaklah sangat lengkap, namun rasanya cukup untuk dijadikan bantuan untuk
melihat – sekurang-kurangmya – bahwa sejak semula katekese liturgi sudah
menjadi pemikiran penting Gereja pada masa itu. Bahkan bisa dikatakan bahwa
hal-ihkwal mengenai liturgi dan bagaimana caranya agar umat memahaminya,
menjadi pokok dari kehidupan
3. 2. 4. Katekese Liturgi pada Abad Pertengahan173
Menurut James F. White, Abad Pertengahan memiliki rentang waktu
antara tahun 600 (setelah kematian Paus Gregorius Agung) hingga tahun 1500.174
Akhir Abad Pertengahan ditandai dengan beralihnya kekuasaan atas wilayah
Turki dan Yunani oleh kalifah Islam. Selain itu peristiwa menonjol lain adalah
jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453.175 Rentang waktu selama sembilan
abad ini bisa dibagi menjadi dua bagian yakni sejak kematian Gregorius Agung
(tahun 604) hingga kematian Gregorius VII (tahun 1085) dan tahun 1085 hingga
tahun 1517, ketika Luther menyampaikan 95 tesis dan menempelkannya di
Katedral Augsburg.176 Dalam rentang waktu tersebut, terjadi krisis pada
kekaisaran Romawi. Karenanya, kedudukan Paus dan kekristenan menjadi
semakin kuat secara politis, bahkan Gereja menjadi penopang utama kehidupan
masyarakat Eropa pada waktu itu. Keadaan ini sebenarnya sudah sejak abad V,
173 Bagian ini pernah kami singgung dalam bab III skripsi kami Yudana Suwondo, Makna Partisipasi Umat Dalam Liturgi dan Implikasi Pastoralnya untuk Zaman Ini, Yogyakarta, FTW, 2006. 174 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 75. 175 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 105. 176 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
ketika para uskup muncul sebagai pemimpin yang memiliki kewibawaan dalam
menopang hidup moralitas masyarakat. Jauh di luar hiruk-pikuk kehidupan sosial
perkotaan, sebagian terbesar umat hidup di desa-desa yang amat sederhana.
Kehidupan umat jauh dari gemerlap pusat-pusat kekuasaan baik sipil maupun
Gereja. Kehidupan liturgi mereka terpusat di paroki-paroki177 yang dilayani oleh
satu atau dua orang imam. Uskup tidak lagi menjadi figur yang mudah ditemui.
Aturan-aturan dan hukum memang dapat meredakan kerusuhan, tetapi tidak
jarang juga hal itu justru memicu konflik.
Dalam bidang politik pemerintahan, para pemimpin menggalang
masyarakat untuk memperkuat armada perang salib pada abad XII dan XIII.178
Orang-orang Kristen mempertahankan Yerusalem selama lebih dari seratus tahun.
Pada tahap berikutnya ketentraman masyarakat juga terganggu oleh berbagai
macam kerusuhan di dalam negeri dan oleh wabah penyakit yang membinasakan
penduduk.179 Dalam keadaan seperti itu, kehidupan monastik berkembang dan
menjadi kekuatan spiritual dan sosial. Biara-biara bermunculan, terutama di
daerah-daerah yang tak tersentuh oleh kehidupan kota. Mereka memberi warna
yang begitu kuat dalam sejarah peradaban Eropa. Biara (para rahib) menjadi
tempat perlindungan, baik secara ekonomi maupun spiritual, bagi masyarakat
petani di pedesaan. Biara juga menjadi pusat hidup menggereja, pusat hidup
akademis dengan penelitian-penelitian yang dihasilkannya. Munculnya sekolah-
sekolah dan universitas-universitas juga tak lepas dari tangan para rahib. Pada
177 Paroki muncul sekitar abad IV, ketika Basilika tidak lagi mampu menampung jumlah umat yang harus berkumpul di sekitar uskup untuk berdoa. Keterangan selengkapnya silakan lihat St.Gitowiratmo, Seputar Dewan Paroki, Yogyakarta, Kanisius, 2003, 21dst. 178 Lebih lanjut mengenai Perang Salib dapat ditemukan dalam A. Eddy Kristiyanto, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa, 173-193. 179 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 77.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
abad XIII, para teolog skolastik membantu Gereja mengembangkan refleksi atas
pengalaman-pengalaman doa Gereja. Definisi-definisi mengenai sakramen-
sakramen diuraikan, meskipun kemudian menjadi sangat rumit dan sulit karena
diterangkan melalui cara-cara intelektual lebih daripada aspek mistiknya. Di
tangan para rahib, kebudayaan dan semangat keagamaan mendapat kebaruan.
Salah satu biara dan kelompok para rahib yang amat terkenal adalan biara
Benediktin.180 Para rahib tersebut banyak mempengaruhi kehidupan liturgi.
Mereka menerangi zaman itu dengan aneka terbitan buku-buku dalam tulisan
tangan karena mesin cetak belum ditemukan. Munculnya ordo-ordo mendicantes
seperti Fransiskan, Dominikan, Karmelit dll, menambah kuatnya pengaruh para
rahib dalam kehidupan iman pada Abad Pertengahan tersebut.
Pada abad VII terjadi proses peleburan liturgi Romawi dan Perancis.181
Sentralitas liturgi Romawi menguat. Proses sentralisasi ini terus berkembang
hingga abad ke XII. Liturgi Romawi dihormati karena asal-usulnya, yakni dari
kota St. Petrus.182 Alasan adanya sentralitas tersebut pertama-tama untuk
mengatasi maraknya eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para uskup dan
abas biara-biara yang seringkali membingungkan.183 Paus Gregorius VII (1073 –
1085) bahkan menuntut supaya para uskup hanya memakai liturgi Romawi.
Penambahan atau pengurangan sedikitpun tidak diijinkan. Gagasan yang
digulirkan Paus Gregorius VII ini nanti akan berhasil di kemudian hari salah
180 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 78. 181 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 63. Lebih lanjut, Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, 88 memberi komentar: “ kita layak berterima kasih pada Gereja Prancis-Jerman bukan hanya karena telah menyelamatkan Liturgi Romawi, tetapi juga telah memperkaya liturgi itu. Selain itu gagasan mengenai Misa keliling untuk menjaga kesatuan Gereja berkembang pengaruhnya bahkan sampai ke Prancis”. 182 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 63. 183 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 63.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
satunya karena peran besar dari para biarawan Saudara Dina Fransiskan yang
berdiri pada tahun 1223.184 Kalau dihitung, gagasan Greogorius VII berkembang
dalam waktu yang cukup lama yakni sekitar 200 tahun. Pada akhir abad VIII
kebiasaan mendoakan Doa Syukur Agung secara lirih masih dipelihara.
Alasannya adalah adanya pandangan bahwa pada saat itu imam sedang memasuki
saat-saat kudus. Akibatnya kata-kata itu harus dijaga dari ketidakhormatan dan
ketidakpantasan. Manusia pada zaman itu juga diwarnai dengan perasaan
kedosaan dan ketidakpantasan yang kuat. Oleh karena itu dalam liturgi disisipkan
juga ritus-ritus mengenai pengakuan dosa. Pada abad IX, kebiasaan pengakuan
dosa pribadi berkembang di Eropa melalui para pengembara dari Skotlandia dan
Irlandia. Pada tahun 800, di seluruh Perancis, model pengakuan dosa pribadi
tumbuh subur. Akibatnya pengakuan dosa publik menjadi berkurang bahkan
secara berangsur-angsur hilang dari kebiasaan liturgi Gereja.
Abad XII – XIV adalah zaman Gothik. Penghayatan liturgi zaman ini
menekankan aspek individual, subjektif dan etis. Individualisme ini berakibat pula
pada maraknya misa pribadi. Misa pribadi ini berkaitan dengan banyaknya ujub-
ujub yang harus didoakan (dibacakan !?) karena permintaan umat. Juga pada masa
ini liturgi berkembang sebagai liturgi klerus. Umat terasing dari liturgi. Umat
tidak boleh tahu apa yang didoakan imam. Dengan demikian umat berdoa sendiri-
sendiri dengan devosi-devosi. Devosi yang paling sering didoakan pada waktu itu
adalah rosario, litani-litani, penghormatan relikui orang kudus, ziarah dan
sebagainya. Kebiasaan devosi-devisi ini ditampung oleh para penyusun teks
184 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 65.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
liturgi dengan memasukkan pesta para kudus dan Hari Raya Maria dalam
kalendarium liturgi.
Situasi umum yang terjadi pada Abad Pertengahan, berikut cara
berpikirnya, mempengaruhi bentuk-bentuk pembangunan gedung gereja.
Menguatnya kuasa Paus dalam ranah politis-duniawi berakibat langsung para
model-model pembangunan gedung gereja. Bangunan gedung gereja tampak
megah dengan ornamen-ornamen mahakarya seniman-seniman besar. Sakralitas
liturgi, terutama bagian Doa Syukur Agung mempengaruhi bentuk arsitektur
interior gereja. Altar dijauhkan dari umat. Selain itu paham individualisme
mempengaruhi munculnya beberapa altar kecil untuk misa pribadi yang harus
didoakan imam karena permintaan-permintaan umat. Maka bisa dibayangkan
bahwa dalam satu gereja terdapat beberapa misa pada waktu yang sama.185
Spiritualitas pada zaman itu juga diwarnai oleh kerinduan untuk melihat yang
ilahi. Otomatis bangunan gereja terpengaruh olehnya. Bangunan gereja dipenuhi
dengan berbagai hiasan yang menggambarkan kehidupan surgawi. Atap tinggi
menjulang dan meruncing ke atas yang menunjuk pada keterarahan akan dunia
atas. Hal ini selaras dengan mentalitas Gothik yang individualis, subjektif.186
Waktu liturgi yang terjadi pada abad sebelumnya tidak banyak mengalami
perubahan. Hari Raya orang kudus yang semula dirayakan pada masa Paskah di
ganti pada tanggal 1 November. Tradisi ini terjadi atas pengaruh dari kebiasaan
Gereja Inggris. Pesta-pesta Maria, terutama setelah Konsili Efesus (431),
dirayakan secara lebih sering, antara lain Pesta kelahiran Maria (8 September),
185James F. White, A Brief History of Christian Worship, 102. Lihat juga pada E. Martasudjita, Pengantar Liturgi 65. 186E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 65.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Kenaikan Bunda Maria (15 Agustus). Selain itu juga hari raya Maria mengunjungi
Elizabeth (2 Juli) di Gereja Timur dan 31 Mei di Gereja Barat), Maria dikandung
tanpa noda Dosa (8 Desember). Hari raya Tritunggal Maha Kudus dirayakan pada
hari Minggu sesudah Pentakosta.187 Selain itu banyak sekali pesta orang kudus
diperingati. Pada abad VIII, Beda Venerabilis menyusun secara sistematis daftar
kemartiran orang-orang kudus dan hari-hari pestanya.188 Sementara di lain pihak,
Gereja-gereja lokal merayakan sendiri orang-orang kudus dari daerah asalnya.189
Dari situ dapat kita katakan bahwa situasi zaman juga mempengaruhi cara mereka
mengembangkan tradisi. Kebiasaan misa pribadi akibat pengaruh cara pikir
Gothik menyuburkan devosi umat pada Maria dan orang Kudus. Hal itu masih
terasa sampai sekarang.
Menilik perkembangan liturgi pada Abad Pertengahan tersebut, dapat
dikatakan bahwa katekese liturgi pada masa itu, bercorak instruktif. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan liturgi ditentukan oleh para pemimpin Gereja.
Demikian pula penjelasan dan usaha untuk membuat umat memahami liturgi yang
dirayakan dilaksanakan secara ketat dan bernada instruksi. Tidak banyak
ditemukan suatu usaha yang lebih menyeluruh untuk membantu umat memahami
liturgi dengan maksud supaya umat dapat berperanserta secara aktif. Bahkan
secara ekstrem, Abad Pertengahan mengesankan orang akan adanya keengganan
dari pihak para pemimpin Gereja akan pentingnya membantu umat memahami
liturgi. Umat diminta (bahkan secara ketat) untuk begitu saja menerima
perubahan-perubahan pelaksanaan liturgi yang dipikirkan oleh mereka. liturgi
187James F. White, A Brief History of Christian Worship, 92-93. 188 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 92-93. 189 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 92-93.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
bergerak sedemikian cepat menjadi liturgi klerikal yang cenderung rubrikistik.
Meski begitu, kita juga dapat menyaksikan adanya aneka usaha untuk membuat
liturgi semakin sempurna menurut pola pikir dan pola merasa pada zaman itu.
Oleh karena itu tidak serta merta dapat dikatakan bahwa perkembangan liturgi
Abad Pertengahan melulu negatif. Bagaimanapun juga, perkembangan itu
dihasilkan dengan kerja keras dan mempertimbangan banyak hal yang terjadi pada
waktu itu. Selain itu, situasi pada Abad Pertengahan ini menjadi titik pijak yang
penting untuk zaman selanjutnya, yang akan kami bicarakan segera setelah bagian
ini.
3. 2. 5. Katekese Liturgi pada masa setelah Reformasi – Trente
Masa Reformasi hingga Trente menjadi masa dalam Gereja di mana terjadi
perpecahan, pengolahan, penafsiran kembali dan salah tafsir mengenai praktek
pelaksanaan liturgi berdasarkan pada rumusan-rumusan yang telah dihasilkan
pada masa sebelumnya.190 Yang paling menonjol untuk dicatat dalam
perkembangan liturgi periode ini adalah adanya perubahan dalam pendarasan Doa
Syukur Agung, dari yang tadinya didaraskan dengan suara lantang menjadi lirih
dan nyaris tak terdengar.191 Hal ini serta merta menimbulkan hubungan antara
imam dan umat pada bagian paling penting dari liturgi diputuskan. Bagian ini
menjadi urusan pemimpin liturgi sementara umat hanya bersikap pasif dan
menonton dari kejauhan.192 Bahkan, untuk umat yang berada di luar kota Roma,
mereka semakin terkucil dari Doa Syukur Agung dan kehilangan kesempatan
190 Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, 107. 191 Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, 107. 192 Theodor Klauser, Sejarah Singkat Liturgi Barat, 107.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
untuk sekedar melihat altar. Padahal, altar yang ada di basilik Romawi Kuno
(seperti Lateran dan San Pietro) dibangun untuk memungkinkan umat berada di
sekitarnya dan berhadapan muka dengan muka dengan pemimpin karena pada
masa ini imam membelakangi umat. Hal ini, entah menjadi akibat atau
diakibatkan, dari pemahaman mengenai Ekaristi yang sangat sakral sehingga
harus dijauhkan dari ketidakpantasan. Dalam situasi ini, umat menghidupkan rasa
kerohaniannya dengan mengadakan sendiri kegiatan devosi dan olah kesalehan,
juga ketika mereka sedang menghadiri (menonton) Perayaan Ekaristi. Inilah yang
disebut dengan gerakan devotio moderna yang berkembang mulai dari
Netherland hingga ke Eropa Barat pada umumnya.193
Catatan kedua yang kiranya amat menonjol juga adalah munculnya
gerakan Reformasi yang dimulai oleh Martin Luther (1483-1546).194 Gerakan ini
menjadi salah satu indikasi besar mengenai keinginan akan adanya pembaharuan
dalam Gereja, terutama dalam hal liturgi. Sebenarnya Luther tidak ingin
mengganggu ketenangan umat dengan inovasi radikal yang dia buat. Dia masih
menaruh hormat pada warisan Abad Pertengahan. Oleh karena itu, dia
menerbitkan misa reformasi pada tahun 1523 dalam bahasa Latin dan 1526 dalam
bahasa Jerman.195 Namun demikian, gagasan dan keberaniannya itu disambut oleh
Ulrich Zwingli (1481-1531) dengan mengembangkan lebih lanjut dengan
mengubah bentuk liturgi dan teologi sakramen.196 Martin Bucer (1491-1551) dari
Strasbourg memberi sumbangan lebih lanjut terhadap Tradisi Reformasi dan
193 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 67. 194 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 107. 195 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 107. 196 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 107.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
kemudian disempurnakan bentuknya oleh Johannes Calvin.197 Ibadat dirayakan
dengan lebih menekankan aspek moral. Hal serupa dilakukan juga oleh Johannes
Knox di Skotlandia. Sementara Tradisi Anabaptis yang berkembang di Austria
dan Netherland lebih radikal lagi.198 Mereka menolak baptisan bayi dan
menyatakan sikap untuk tidak berkompromi dengan pemerintah sipil. Pandangan
ini menghasilkan kebebasan dalam berliturgi dan dengan demikian, terkait dengan
situasi zaman itu, “menghasilkan” banyak martir. Kemudian Tradisi Anglikan
mengambil jalan tengah dan mendasarkan pembaruannya dalam hal interpretasi
teologis saja.199 Tradisi Quaker yang dipelopori oleh George Fox memunculkan
hal baru dengan mengkaitkan liturgi dengan keadilan.200 Hal ini ditunjukkan
dengan mengabaikan perbedaan jenis kelamin, suku, dan status sosial.
Dari Gereja Roma Katolik sendiri, gagasan perubahan (lebih sebagai
reaksi atas adanya gerakan-gerakan reformasi) menggelinding kuat.201 Gagasan
perubahan ini berpuncak dengan diselenggarakannya Konsili Trente yang
diprakarsai oleh Paus Paulus III.202 Konsili ini memberi tugas pada Paus untuk
197 James F.White, A Brief History of Christian Worship, 107. 198 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 107. 199 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 108. 200 James F. White, A Brief History of Christian Worship, 108. 201 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 67. 202 Keterangan ini dikutip dari O’Collins, SJ dan Gerard G. Farrugia, SJ., Kamus Teologi, Yogyakarta, Kanisius, 1996 pada entri Konsili Trente hlm. 161. Secara lengkap kutipan tersebut adalah : “Konsili ini diadakan di kota Trente, Italia Utara, dan dianggap Gereja Katolik sebagai konsili ekumenis kesembilanbelas. Konsili ini merupakan konsili kontra-reformasi dan menjelaskan ajaran Gereja dan membaruai disiplin hidupnya. Ada tiga periode pertemuan. Delapan pertemuan pertama (1545-1547) membicarakan masalah-masalah besar yan diajukan para reformator seperti hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi, dosa asal, pembenaran, dan sakramen (lih. DS 1500-1630). Konsili ini berhenti karena ketegangan antara Raja Karolus V dan Paus Paulus III dan baru dibuka lagi oleh Paus Yulius (1551-1552). Yang dihasilkan pada periode kedua yang meliputi pertemuan kesembilan sampai keempatbelas adalah dekrit mengenai ekaristi, sakramen tobat, dan pengurapan orang sakit (Lih DS 1635-1719). Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa pangeran melawan Raja Karolus V, konsili dihentikan lagi dan akhirnya bersidang lagi di bawah Paus Pius IV pada tahun 1562-1563. Pertemuan kelimabelas sampai keduapuluh lima merumuskan ajaran mengenai Ekaristi, sakramen tahbisan, perkawinan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
membentuk komisi bagi suatu penyusunan katekismus dan buku-buku liturgi baru
seperti Catechismus Romanus (1566), Brevir Romawi (1568) dan Missale
Romanum Pius V (1570).203 Paus juga menetapkan suatu tata aturan ketat (tanpa
penambahan dan pengurangan) dalam penggunaan buku-buku liturgi. Hal ini
diberlakukan bagi seluruh Gereja Roma Katolik dan berujung pada adanya
penyeragaman ketat dalam hal bahasa dan rumusan doa-doa.204 Dengan peraturan
ini, liturgi semakin asing di kalangan umat. Para imam merayakan Ekaristi di
panti imam yang terpisahkan dari bagian gereja lainnya oleh bagian altar. Selama
misa tidak ada komunikasi antara imam dan umat. Bahkan mam berdoa dan
memimpin Ekaristi dengan membelakangi umat.205 Oleh karena itu gagasan untuk
menciptakan liturgi yang menyentuh dan dimengerti umat beriman yang
(mestinya) merayakannya terus-menerus muncul dalam pikiran banyak kalangan
pada waktu itu. Selain itu gagasan untuk menciptakan liturgi yang mengena juga
terkait dengan pemahaman umat yang saat itu berada pada arus pemikiran Barok
yang penuh kemegahan dan Pencerahan yang mengutamakan dimensi
kemanusiaan manusia.206
Dalam situasi demikian, orang bisa dengan mudah memperkirakan seperti
apa keadaan katekese liturgi. Bisa dikatakan bahwa nuansa katekese liturgi tidak
terlalu jauh berbeda dengan Abad Pertengahan, di mana otoritas Gereja memiliki
dan api penyucian. Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin meliputi “forma” perkawinan, indulgensi, perlunya daftar buku-buku yang harus dilarang, dan sejumlah pembaruna bagi Gereja (lih DS. 1725-1861). Keputusan-keputusan konsili Trente yang disetujui Paus Pius IV pada tahun 1564 (lih DS 1862-1870) memberikan landasan kuat dan jelas bagi ajaran, teologi, pembaruan kelembagaan dan rohani dalam Gereja Katolik selanjutnya.” 203E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 68. 204E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 68. Penetapan dalam hal penyeragaman ibadat dan doa-doa ini juga dikitu dengan hukuman kutukan dari pihak otoritas Gereja di Roma. 205 Kenan B. Osborne, Community, Eucharist, and Spirituality, 90. 206 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi, 68.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
kuasa yang begitu luas. Katekese iturgi pada keadaan seperti ini bisa dipastikan
tidak berkembang karena memang tidak ada kemungkinan. Umat cukup menerima
apa yang sudah ditentukan atau kalau tidak menerima kutukan dari penguasa
Gereja. Dengan kata lain, katekese liturgi sebatas hanya pada penjelasan (yang
tentu saja amat terbatas) pengenai bagaimana umat harus mengikuti ibadat dan
perayaan liturgi. Namun, benarlah kata pepatah Blessing in Disguise. Keadaan ini
justru memicu kekuatan untuk mengadakan gerakan pembaruan liturgi yang
hasilnya akan kita ikuti dalam penjelasan berikut.
3. 2. 6. Gerakan pembaruan Katekese dan liturgi
Istilah Gerakan Pembaruan Katekese dan Liturgi dalam judul di atas
dimaksudkan untuk menampung dua gagasan penting mengenai kata “gerakan”
dan “pembaruan”. Dalam studi André Haquin207, kedua kata tersebut, apalagi bila
dipakai bersamaan dengan kata liturgi, akan memiliki perbedaan elementer yang
perlu dicermati secara serius kalau orang mau membicarakan sejarah
perkembangan liturgi yang dimulai pada pertengahan abad XIX. 208Untuk itu
pertama-tama perlu dibedakan dengan tegas perihal “gerakan liturgi” dan
“pembaruan liturgi”.209 Gerakan Liturgi (Liturgical Movement) menunjuk pada
inisiatif dan usaha pastoral yang dilakukan oleh kelompok maupun pribadi-pribadi
207André Haquin adalah seorang imam yang menjadi profesor pada Catholic University of Louvain-la-Nouve. Dia mengkhususkan diri pada studi tentang seorang tokoh Gerakan Pembaruan Liturgi, Dom Lamber Beauduin. 208 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision”, dalam Geoffrey Wainwright, dan Karen B. Tucker Westerfield, The Oxford History of Christian Worship, Oxford, University Press, 2006, 696-719. 209 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision” 696.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
untuk menemukan kembali makna Gereja dan liturgi, serta tempat liturgi bagi
kehidupan umat Kristiani.210 Usaha ini dilakukan agar dapat mendorong umat
untuk “berpartisipasi secara aktif” dalam merayaan liturgi secara lebih
berkualitas.211 Sebab liturgi bukanlah monopoli klerus dan bukan pula merupakan
tindakan individu mereka. Liturgi adalah perayaan seluruh Gereja.212 Dengan
demikian gerakan liturgi berada pada tataran tindakan pastoral dan berasal dari
tataran “akar rumput” (grassroot). Maksudnya, gerakan liturgi pertama-tama
muncul dari kerinduan umat pada umumnya akan suatu liturgi yang terkait dengan
kehidupan konkret mereka. Jadi gerakan liturgi adalah gerakan yang muncul
dalam usaha menjawab situasi umum pada masa tersebut.
Sementara itu, “pembaruan liturgi” (Liturgical Reform) berasal dari
mereka yang memiliki otoritas dan kompetensi dalam bidang liturgi, secara
konkret sejak Trente hingga Vatikan II, Tahta Suci: Paus sendiri dan Konggregasi
Ibadat dan Tata Tertib Sakramen yang dibentuk pada tahun 1588.213 Inilah yang
secara elementer membedakannya dengan “gerakan liturgi”. Hasil dari pembaruan
liturgi ini adalah tersusunnya kembali ritus-ritus dan tatacara baru yang
mempunyai kekuatan hukum dalam Gereja Katolik. Kedua hal tersebut, yakni
“gerakan liturgi” dan “pembaruan liturgi” merupakan sesuatu yang baru dan
saling melengkapi satu sama lain. Tanpa gerakan dari bawah, otoritas yang
dipakai tidak akan menimbulkan efek yang mendalam. Sebaliknya, tanpa otoritas,
gerakan-gerakan masyarakat bawah hanya akan menjadi “gerundelan”(kasak-
210 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision” 696. 211 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision” 696. 212 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision” 696. 213 André Haquin, “The Liturgical Movement and Catholic Ritual Revision”, 696.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
kusuk) yang menyesakkan dada dan kemudian akan “mati tanpa aran” (mati
tanpa nama).
Sebagaimana kami singgung di atas, gerakan pembaruan liturgi dan
katekese pada umumnya berasal dari pertengahan abad XIX. Pada waktu itu
muncul kecenderungan umum pada masyarakat, termasuk juga dalam Gereja,
akan adanya keinginan untuk “kembali ke akar”, “kembali kepada hal-hal yang
asli”. Hal-hal yang ada pada masa lalu digali kembali, bukan dalam pengertian
statis, melainkan dalam pengertian proses yang organis. Karakteristik yang
terbentang dalam sejarah umat manusia mulai dipelajari dan diterima sebagai
bahan refleksi. Tekanan pada studi mengenai sejarah manusia tersebut terutama
terpusat pada pertumbuhan dan perkembangannya. Selama periode waktu ini,
penelusuran sejarah tentang karya-karya Bapa Gereja dan Kitab Suci
menghasilkan gerakan kembali ke masa patristik dan biblis. Suatu wacana
eklesiologi ditekuni secara lebih aktif dengan memperhatikan aspek komunitas.
Secara singkat, Gereja dipahami bukan sebagai sebuah lembaga yang memiliki
aturan main kaku yang harus diikuti secara ketat dan organisatoris melainkan
dipahami sebagai kumpulan organis dan bernuansa komunitas (paguyuban).
Dalam suasana seperti inilah gerakan pembaruan liturgi dan katekese
mendapatkan medan dan sekaligus berasal
3. 2. 6. 1. Gerakan Pembaruan Liturgi
Gerakan pembaruan liturgi terbentang dalam rangkaian empat tahap.214
Tahap pertama, pada bagian akhir abad XIX dan melalui peralihan abad XX,
214 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 164.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
disebut dengan tahap monastik. Di Biara Solemnes di Prancis, pada tahun 1833,
Dom Prosper Gueranger (1805-1875) mempelopori suatu telaah mengenai liturgi
dan khususnya menghidupkan kembali nyanyian Gregorian.215 Pada tahap ini,
gerakan pembaruan liturgi lebih sungguh-sungguh pada pemugaran suatu liturgi
yang dirayakan dalam latar monastik dari pada penerapannya pada keperluan
pastoral Gereja pada arti yang lebih luas.216
Tahap kedua, tahap pastoral, yang dibuka oleh Paus Pius X dengan motu
proprio tentang musik gereja, Tra le Sollecitudini (1903)217, dan oleh Dom
Lambert Beauduin, dalam suatu konferensi di Malines, Belgia, dalam tahun 1909
disebut sebagai suatu perluasan dan berorientasi lebih pastoral pada gerakan
pembaruan liturgi.218 Pada periode ini, liturgi dilihat sebagai pusat kehidupan dan
spiritualitas Kristiani, dan prioritas diberikan pada partisipasi aktif umat
(participatio actuosa), kata-kata yang pertama kali digunakan secara resmi oleh
Paus Pius X. Awal-awalnya gagasan paguyuban sering dipromosikan, nyanyian
komunitas dipugar, Misa Romawi diterjemahkan untuk ditetapkan sebagai devosi
pribadi umat, dan kekuatan liturgi untuk mengajar umat dalam iman Kristiani dan
kehidupan diketemukan kembali. Keprihatinan pastoral tersebut, berkembang
untuk pertama kalinya di Belgia dan Austria (misalnya oleh Josef Jungmann dan
Pius Parsch)219 dan kemudian ke Amerika (misalnya oleh Dom Virgil Michel
yang secara bersamaan juga mengangkat isu keadilan)220, menemukan dukungan
dalam suatu pembaruan liturgi dan teologi sakramen. Di Jerman, Dom Odo Casel
215 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision”, 699. 216 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 164. 217 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision”, 699. 218 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision”, 700. Haquin menyebut tahun ini sebagai tahun kelahiran Pembaruan Liturgi, tepatnya pada bulan September. 219 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 164. 220 André Haquin, “The Liturgical Movement and Chatolic Ritual Revision”, 702.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
memberi inspirasi pada diskusi teologi pada kehadiran aktif dalam Kristus dalam
pertemuan liturgi yang kemudian memberi pengaruh pada pengajaran baik Pius
XII dan Konsili Vatikan II dan memberi sumbangan kepada “model pertemuan:
dari sakramen yang kemudian dikembangkan oleh Schillebeeckx dan lain-lain.221
Tahap ketiga dimulai ketika ensiklik Pius XII tentang liturgi, Mediator Dei
(1947) dan diteruskan dalam Konstitusi Liturgi (SC) yang dipromulgasikan tahun
1963 oleh para Bapa Konsili Vatikan II. Selama periode ini, agenda pokok dari
tahap pastoral gerakan pembaruan liturgi diterima dan disetujui secara penuh oleh
seluruh Gereja. Dalam ensikliknya, Pius XII secara resmi merumuskan
pemahaman yang murni mengenai upacara liturgi sebagai karya Tubuh Mistik
Kristus, lengkap dengan kepala dan anggotanya.222 Vigili Paskah diperbarui
(1951) dan Pekan Suci ditata ulang (1955), dan misteri paskah dikembalikan
sebagai pusat dari seluruh liturgi. Pedoman-pedoman diberikan untuk
meningkatkan keterlibatan umat (De Musica Sacra, 1955), dan upacara liturgi
disederhanakan (1955). Selama tahun 1950-an, diselenggarakan juga serangkaian
konferensi nasional dan internasional yang membahas baik keprihatinan pastoral
dan teologis dan mempersiapkan jalan untuk dibahsa pada konsili Vatikan II.
Sacrosantum Concilium (SC) 7, merupakan inti dari ajaran konsili mengenai
liturgi , bahwa Kristus hadir dalam liturgi dalam banyak cara dan bahwa liturgi
adalah tindakan tidak hanya imam, melainkan juga tindakan Kristus dan tubuh-
Nya, yakni Gereja. Partisipasi penuh, sadar, dan aktif adalah hak dan kewajiban
baptismal setiap orang Kristen (SC. 14). Instruksi mengenai liturgi yang tepat
disediakan bagi umat beriman sedemikian rupa sehingga mereka dapat 221 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 164. Lihat juga data yang ditampilkan oleh James F. White, Roman Catholik Worship: Trent to Today, Collegeville, The Liturgical Press, 2003, 87. 222 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 165.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
berpartisipasi baik secara internal maupun eksternal (SC 14, 19), dan ritus-ritus
dirayakan dengan kehadiran umat dan partisipasi aktif (SC 27).
Tahap keempat, yakni periode pasca-konsili, adalah masa di mana
diadakan penerapan dan pembaruan. Ritus Romawi direvisi di bawah pengawasan
Komisi yang dibentuk oleh konsili, dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris
oleh Komisi Internasional dalam Bahasa Inggris dalam bidnag Liturgi. Program-
program lebih lanjut mengenai instruksi dan katekese menjadi bagian integral dari
proyek pembaruan liturgi. Seluruh karya pasca-konsili dari perbaikan dan
pembaruan, partisipasi penuh, sadar dan aktif dari umat beriman menjadi tujuan
dan prinsip pastoral yang mendasar.
3. 2. 6. 2. Gerakan pembaruan Katekese
Tema-tema yang diusung oleh abad XIX seperti kembali ke semangat
dasar/asli, pemahaman dan penghargaan pada sejarah dan proses, pentingnya
pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam kehidupan liturgi katolik
memberi bentuk pada gerakan pembaruan katekese.223 Berangkat dari
ketidakpuasan pada pendekatan katekismus yang dibuat dalam pengaruh polemik
Reformasi dan teologi spekulatif, para pemikir pendidikan katolik mulai melihat
aspek psikologis manusia, secara khusus pada teori pembelajaran, dan
perkembangan psikologi untuk membantu merumuskan bentuk katekese yang
baru.224 Hal ini mengantar pada metode katekese yang efektif yang dapat
digolongkan sebagai tahap pertama pendekatan katekese abad ini. “Metode
Munich” ditemukan di Jerman pada awal 1900-an, yang kemudian memberi
223 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 165. 224 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 165.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
inspirasi pada usaha serupa di Italia, Prancis, dan Spanyol. 225 Perhatian pada
bagaimana manusia belajar dan menilai tindakan dan belajar melalui tingkah laku
adalah tema pada umumnya dari “metode” yang menjadi tahap katekese ini.
Pada tahun 1930-an, gerakan katekese memasuki tahap kedua, biasanya
menunjuk pada tahap “kerigmatik”. Buku The Good News and Our Own
Preaching of the Faith karangan Josef Jungmann yang dipublikasikan pada tahun
1936, memicu pergeseran perhatian dari metode ke isi.226 Pesan yang disampaikan
dalam katekese adalah “kerigma”, yakni sejarah keselamatan yang berpusat pada
Yesus dari Nazaret. Tujuan dari katekese ini adalah iman yang hidup sebagai
jawaban atas panggilan Allah dalam Yesus Kristus. Teori dan dokumen mengenai
kateketik selanjutnya tetap mempertahankan keterpusatan pada Kristus dan
Sabda-Nya. Teori ini memperkuat tahap “kerigmatik” ini. Pemimpin lain dalam
tahap ini, Johanes Hofinger, menekankan bahwa katekese adalah sebuah model
pelayanan pastoral, khususnya sebuah model dari pelayanan sabda. Tema ini
menjadi bahan pokok dari gerakan pembaruan katekese dan menjadi tema yang
dimasukkan dalam dekrit Konsili Vatikan II mengenai Kegiatan misioner (Ad
Gentes) dan Tugas Pastoral Para Uskup (Christus Dominus). Demikianlah
kegiatan katekese dipusatkan kembali pada empat “bahasa” yakni biblis, liturgis,
eksistensial, dan doktrinal.
Tahap ketiga dari gerakan pembaruan katekese, yang sekarang ini masih
berlangsung, adalah apa yang sering disebut sebagai tahap “misioner” atau
“politis”.227 Pada mulanya, tahap ini menekankan pendekatan historis pada bagian
kerygma dan kemudian dilanjutkan dengan penekanan pendekatan pada 225 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 165. 226 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 166. 227 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 166.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
pengalaman manusiawi. Sebuah rangkaian pekan studi khususnya dari Eickstatt
(1960) melalui Medellin (1968) menyediakan sebuah perubahan alami dari
perhatian yang mengemuka kepada perhatian misioner dan politis. Pekan studi ini,
kesemuanya dilangsungkan pada dunia ketiga kecuali dari Eickstatt, menetapkan
tema katekese dalam konteks misi. Pemahaman bahwa katekese adalah sebuah
bentuk pelayanan sabda, yang didalami dalam tahap kedua didukung oleh Konsili
Vatikan II, diperluas dan diwacanakan dalam pekan studi tersebut. Katekese
dipandang sebagai kelanjutan dari pewartaan dari “kerigma” yang unggul dari
penginjilan, seperti halnya penginjilan merupakan kelanjutan dari pra-penginjilan.
Supaya seluruh pelayanan sabda ini menjadi efektif, haruslah hal tersebut
dialamatkan kepada orang-orang dalam konteks mereka sendiri. Sebagaimana
pengalaman dunia ketiga yang digambarkan tersebut, bahwa konteks adalah
sebuah jaringan yang kompleks dalam hal politik, kebudayaan, sosial-ekonomi,
dan lingkungan hidup. Tema keadilan dan pembebasan menjadi bagian dari paket
pesan katekese. Dan katekese ekperensial yang telah lama menjadi bagian
gerakan pembaruan katekese dan wilayah penting yang memberi kontribusi tidak
dapat dalam waktu lama menjadi fokus pada pengalaman diri pribadi. Hal ini
mesti memberi perhatian kepada isu yang lebih besar yang dirangkai kedalam
kesalingtergantungan pada skala lokal, nasional dan global.
3. 3. Katekese Liturgi dalam Dokumen Gereja Sejak Konsili Vatikan II
3. 3. 1. Sacrosanctum Concilium (SC)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Dokumen Sacrosanctum Concilium disahkan oleh Paus Paulus VI bersama
para Bapa Konsili pada tanggal 4 Desember 1963.228 Sacrosanctum Concilium
merupakan dokumen pertama Konsili Vatikan II yang menjadi “mahkota” dari
usaha pembaruan liturgi yang mendorong umat untuk sadar dan aktif dalam
merayakan liturgi. Dokumen ini menjadi ukuran bagi dokumen-dokumen berikut
tekait dengan refleksi konsili atas tema-tema mengenai Gereja dan tatanannya.
Selain itu, dokumen ini juga memberi warna bagi pemahaman mengenai peranan
awam, otoritas konferensi uskup, hubungan dan tegangan antara kesatuan dan
katolisitas dalam Gereja-gereja dari berbagai macam budaya.229 Pada saat yang
sama, perkembangan SC mengalami pergeseran dari tujuan semula.230 Pengertian
semula belum memperoleh bentuk yang jelas karena muncul berbagai macam
pendapat yang saling bertentangan, yakni antara yang menghendaki perubahan
dan yang konservatif.231 Yang terjadi kemudian adalah sebuah kompromi dari dua
arus pendapat yang saling bertentangan tersebut, sehingga beberapa bagian
tampak anakronistis.232 Oleh karena masih terbuka kesempatan untuk mendalami
tema-tema dalam SC sehingga semakin hari liturgi semakin dapat meresap dalam
kehidupan umat beriman.
Sacrosanctum Concilium memiliki beberapa prinsip teologis dan
pastoral233 yakni:
228 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy” ,dalam Elizabeth Hoffman (ed.), The Liturgy Document, A Parish Resource, Chicago, Liturgy Training Publication, 1991, 2. 229 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 2. 230 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 2. 231 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 2. 232 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 2. 233 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 2-3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Pertama, Inti dari seluruh liturgi adalah Misteri Paskah Yesus Kristus yang
hidup, wafat, dan bangkit untuk menebus umat manusia sekali untuk selamanya.
Melalui Paskah ini, lahirlah Gereja (art. 5; 61).
Kedua, setiap liturgi adalah pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus, kepala dan
anggota-anggota, bagi kemuliaan Tuhan dan pengudusan manusia (art. 7). Seluruh
anggota komunitas yang mendapatkan martabat imamat umum melalui baptisan,
dipersatukan dengan Kristus, satu-satunya imam agung dan pemimpin doa.
Ketiga, dalam liturgi Kristus hadir dalam banyak cara (art. 7). Terhadap
pandangan bahwa Kristus hadir dalam rupa roti dan anggur, yang merupakan
pernyataan tradisi mengenai “realis praesentia”, SC menambahkan bahwa
Kristus juga hadir dalam sakramen-sakramen lain, dalam pewartaan Sabda Allah,
dalam diri pelayan liturgi dan dalam komunitas yang berkumpul untuk berdoa dan
memuji Allah.
Keempat, liturgi adalah pengungkapan yang paling sempurna dari Gereja. Misteri
Kristus dinyatakan ketika Umat Allah yang Kudus secara aktif berpartisipasi
dalam Ekaristi yang sama, dalam altar yang sama, masing-masing menurut
perannya (art. 2; 26; 28; 41). “Gereja” bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi
sungguh nyata ketika komunitas yang berkumpul menjadi tanda kehadiran Kristus
terhadap satu dengan yang lainnya.
Kelima, Liturgi adalah sumber dan puncak hidup Kristiani (art. 10). Pewartaan
Injil, pertobatan dan iman menemukan ekspresi puncaknya dalam liturgi yang
pada gilirannya menjadi sumber dari segala kesucian. Pada saat yang sama,
partisipasi liturgi membawa sesorang kepada hidup kemuridan yang penuh iman.
Spiritualitas liturgi berakar pada penerapan semangat liturgi dalam kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
nyata. Latihan rohani yan lain, seperti kontemplasi dan devosi populer, terarah
pada liturgi dan besumber dari semangat liturgi yang sejati (art. 12-13).
Keenam, partisipasi aktif dalam liturgi adalah sesuatu yang elementer sedemikian
rupa sehingga menjadi sumber utama dan tak tergantikan dari segala kekudusan
yang dapat dicapai sampai pada kesudahannya (art. 14). Partisipasi aktif, hak dan
kewajiban seluruh umat beriman dalam persekutuan atas dasar baptisan.
Partisipasi ini mencakup partisipasi verbal, tindakan, gerak-gerik, sikap tubuh dan
keheningan (art. 19; 30; 48-50; 113). Sementara partisipasi aktif sering
diekspresikan secara lahiriah, nmaun pertama-tama sebenarnya hal itu lebih
menyangkut soal kehadiran batin dan sikap pasrah sebagai tanda kesetujuan.
Ketujuh, tindakan katekese adalah sesuatu yang fundamental apabila
menginginkan komunitas sadar terhadap apa yang dilakukan, dan secara aktif
berkaitan dengan ritus dan diperkaya oleh dampaknya (art. 11). Para imam, di atas
semuanya, mesti secara tepat dididik dalam hal liturgi sehingga mereka dapat
menghidupi liturgi untuk diri mereka sendiri dan mengajarkannya pada komunitas
mereka mengenai spiritualitas liturgi dan daya dampaknya bagi kehidupan umat
(art 14; 19).
Sacrosanctum Concilium juga merekomendasikan beberapa langkah yang
diperlukan untuk pengembangan liturgi yang semakin berdaya dampak bagi
kehidupan umat pada zaman ini. Langkah-langkah tersebut mencakup: telaah atas
sejarah, teologi dan pastoral liturgi, usaha kontekstualisasi, konsultasi yang luas
dan mendalam antara para ahli dengan otoritas Gereja, pendirian pusat-pusat studi
liturgi, baik tingkat lokal, regional, nasional dan internasional.234 Langkah-
234 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
langkah tersebut kemudian mesti ditindaklanjuti dengan bermacam usaha katekese
liturgi. Katekese yang dimaksud tidak saja menyangkut soal bagaimana setiap
kata dalam upacara liturgi dimengerti umat, melainkan juga perlu diadakan telaah
mendalam atas prinsip teologis dan pastoral yang menjadi latar belakang setiap
tata upacara liturgi.235 Hal ini perlu dilakukan agar doa – doa dan pujian yang
dilakukan umat sungguh-sungguh terkait dengan pengalaman mereka sebagai
individu dan sekaligus sebagai bagian dari Gereja semesta.236 Sebab,
bagaimanapun juga setiap orang yang sudah dibaptis adalah bagian dari Gereja
seluas dunia dan sepanjang zaman. Oleh karena itu, katekese liturgi merupakan
sebuah kemestian yang tidak ditawar dalam rangka membantu umat untuk
semakin aktif berpartisipasi dalam liturgi sesuai dengan peran dan fungsi mereka
dalam Tubuh Mistik Kristus.237 Partispasi aktif kaum beriman ini bila diusahakan
dengan maksimal, akan berdampak pada sektor kehidupan manusiawi lainnya,
seperti komitmen pada keadilan, keterlibatan dalam pengembangan dunia
sebagaimana dimaksudkan oleh Sang Pencipta.
3. 3. 4. Catechese Tradendae (CT)
Dalam Anjuran Apostolik tentang Penyelenggaraan Katekese (Catechesi
Tradendae), Sri Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa katekese adalah salah
satu tugas Gereja yang amat penting karena terkait dengan perintah Yesus sendiri
235 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 3. 236 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 3. 237 Kathleen Hughes, “Overview of The Constitution on The Sacred Liturgy”, 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
agar supaya para murid-Nya melaksanakan misi dan pewartaan untuk mengajar
bangsa-bangsa.238 Dalam bagian berikut, Sri Paus juga menuliskan,
“Katekese mempunyai hubungan batin dengan seluruh kegiatan liturgis dan sakramental. Sebab dalam sakramen-sakramen, dan terutama dalam Ekaristilah Yesus Kristus berkarya sepenuhnya untuk mengubah manusia. Dalam Gereja-gereja abad-abad pertama katekumenat bertepatan dengan persiapan untuk menerima Sakramen Baptis dan Ekaristi. Meksipun di negara-negara, yang sudah lama beragama Kristen, Gereja telah mengubah praksisnya dalam hal itu, katekumenat tidak pernah dihapus. Sebaliknya, katekumenat mengalami pembaruan di negara-negara itu dan banyak sekali diselenggarakan dalam Gereja-Gereja Misi yang masih muda. Bagaimanapun juga, katekese selalu terarah pada sakramen-sakramen. Di satu pihak, katekese merupakan persiapan penerimaan sakramen-sakramen bernilai sangat tinggi, dan setiap bentuk katekese mau tak mau mengantar kepada Sakramen-sakramen iman. Di lain pihak pelaksanaan otentik sakramen-sakramen musti mempunyai aspek kateketis. Dengan kata lain,kehidupan sakramental akan menjadi miskin, dan segera menjadi ritualisme yang hampa, bila tidak didasarkan pengertian sungguh-sungguh tentang makna sakramen-sakramen. Dan katekese akan bercorak intelektual semata-mata, jikalau tidak dihidupkan dalam praksis sakramental”(CT. no. 23)
Kedua kutipan dari anjuran Sri Paus di atas menyatakan bahwa katekese
dan liturgi memiliki kaitan yang amat kuat satu sama lain. Katekese selalu terarah
pada liturgi dan sekaligus juga liturgi mesti dipersiapkan dan dirawat dengan
katekese terus-menerus dari generasi ke generasi (CT 23). Pernyataan bahwa
liturgi merupakan tujuan dan sumber katekese mengandung makna bahwa antara
liturgi dan katekese terdapat hubungan yang saling melengkapi. Oleh karena itu,
tindakan-tindakan kateketis tidak boleh mengabaikan dimensi-dimensi dalam
liturgi, terutama bahasa simbol. Justru karena itulah katekese diperlukan karena
sifat sakramental dan simbolik dari liturgi itu sendiri. Dengan usaha katekese
mengenai liturgi, Gereja hendak membantu umat beriman semakin mampu
merayakan liturgi dengan baik. Umat dapat merayakan liturgi dengan baik kalau
sekurang-kurangnya mereka memahami apa yang mereka rayakan, termasuk tata
gerak dan simbol-simbol yang dipergunakan dalam liturgi. Pemahaman 238 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese) 16 Oktober 1979 no. 1. Seri Dokumen Gerejawi no. 28 DokPen KWI Jakarta 1992.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
merupakan prasyarat awal bagi umat untuk bisa terlibat dan menghayati perayaan
liturgi yang mereka rayakan.
Dengan demikian, katekese mempunyai tugas untuk membimbing umat
beriman mengambil bagian secara sadar dan aktif dalam liturgi.239 Pada tataran
upacara yang kaya akan simbol-simbol, katekese bertugas membimbing umat
beriman ke pelbagai ritus dan bentuk ungkapan dalam liturgi.240 Selain itu, liturgi
yang merupakan kenangan akan karya keselamatan Allah memerlukan katekese
yang memadai untuk menggambarkan dan menjelaskan pengalaman-pengalaman
biblis dan eklesial dari ritus liturgi.241 Demikian pula katekese memiliki tugas
untuk membimbing umat agar memiliki tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari
dalam tugas dan pekerjaannya sesuai dengan apa yang telah mereka nyatakan
dalam tindakan liturgi.
3. 3. 3. Direktorium Kateketik Umum (Directorium Catechisticum Generale)
Direktorium Katekese Umum ingin merupakan dokumen dari Kongregasi
Suci Untuk Para Klerus yang diterbitkan dengan tujuan untuk memberikan
kaidah-kaidah dasar dalam bidang pastoral teologis. Kaidah-kaidah dasar ini
diperlukan sebagai sebuah arah dasar yang menyatukan karya pastoral dalam
pelayanan sabda. Karena sifatnya adalah kaidah-kaidah dasar, segi teoritis dalam
dokumen ini amat menonjol.242 Salah satu alasan untuk menekankan bidang teori
lebih dari pada praktis pastoral adalah sebuah gagasan bahwa hanya jika orang
berpangkal dari pemahaman yang tepat mengenai hakekat dan tujuan-tujuan
239 FX Adisusanto, “Katekese dan Liturgi” dalam Umat Baru, no. 165/1995, 2-7. 240 FX Adisusanto, “Katekese dan Liturgi” dalam Umat Baru, no. 165/1995, 2-7. 241 FX Adisusanto, “Katekese dan Liturgi” dalam Umat Baru, no. 165/1995, 2-7. 242 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese (diterjemahkan oleh J.S. Setyokarjana, SJ), Yogyakarta: Pusat Kateketik-Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya, 1993, 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
katekese, orang akan dapat lebih mudah mengarahkan tugas-tugas dan program
kerjanya. Selain itu, kaidah-kaidah ynag terdapat dalam direktorium ini
dimaksudkan untuk mewadahi seluas mungkin kepentingan Gereja semesta.
Dengan demikian, pengetrapan dalam persoalan praktis di lapangan diserahkan
kepada masing-masing Gereja partikular. Maka, direktorium ini dapat
dipergunakan sebagai bahan acuan bagi penanggungjawab reksa pastoral dalam
bidang katekese pada Gereja-gereja Partikular.
Berkaitan dengan katekese liturgi, direktorium ini menegaskan bahwa
“katekese diperlukan untuk membantu umat ikut serta secara aktif dalam liturgi
Gereja”.243 Untuk itu katekese tidak sekedar hanya memberikan keterangan
mengenai tatalaksana liturgi, melainkan juga perlu mendorong umat beriman
sehingga hati mereka sedikit demi sedikit senang berdoa, bersyukur dan dengan
penuh kepercayaan, senang bersemangat menjemaat dan memahami bahasa
simbolik secara benar.244 Lebih daripada itu, kegiatan liturgi, terutama dalam
perayaan sakramen-sakramen, perlu diterangkan sesuai dengan arti penuhnya.
Sakramen-sakramen perlu diterangkan sebagai sakramen iman karena
mengungkapkan kehendak Kristus Juruselamat.245 Katekese perlu mengusahakan
supaya orang-orang beriman berada dalam prasyarat-prasyarat yang seharusnya,
dan mendorong dengan jujur dan penuh perhatian untuk menerima sakramen
dengan pantas.246 Di dalam katekese sakramen-sakramen, orang perlu memberi
perhatian pada penguraian tanda-tanda dan melalui tanda-tanda yang tampak,
243 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese , art. 25. 244 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese . art. 25. 245 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese, art. 57. 246 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese. art. 57.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
tindakan kateketis dapat membawa umat beriman kepada pemahaman misteri-
misteri penyelamatan Allah yang tidak tampak.247
2. 3. 4. Sacramentum Caritatis (SCar.)
Sacramentum Caritatis (SCar.) adalah seruan apostolik Paus Benediktus
XVI mengenai Ekaristi. Dalam dokumen ini Paus menegaskan antara lain soal
validitas pembaruan liturgi yang diminta Konsili Vatikan II, perlunya
penghormatan penuh terhadap norma-norma liturgi, dan mendukung kembalinya
praktek-praktek devosional tradisional dan penggunaan bahasa Latin secara lebih
luas.248 Dalam pendahuluannya, Paus mengatakan bahwa Sinode Para Uskup
“mengakui dan meneguhkan kembali pengaruh yang bermanfaat dari pembaruan
liturgi terhadap kehidupan Gereja yang dimulai dengan Konsili Vatikan Kedua”
(Scar 3). Dokumen itu telah melewati pembahasan teologis dan terutama
Kristologis tentang Ekaristi dan keterkaitan intrinsik antara “seni perayaan
sepantasnya” dari Ekaristi ("ars celebrandi") dan "keterlibatan penuh, aktif, dan
membuahkan hasil dari kaum beriman” yang sangat diinginkan konsili. Seni
perayaan yang sepantasnya, katanya, merupakan “buah yang tak terpisahkan dari
norma-norma liturgi dalam semua kekayaannya,” dan di sini klerus mempunyai
tanggung jawab khusus (Scar 38). Meski demikian tanggung jawab khusus ini
tidak berarti imam dapat berbuat semaunya. Mereka adalah pelayan dan yang
utama dalam liturgi adalah Kristus sendiri.
Paus juga mengusulkan untuk menghidupkan kembali bahasa Latin. Dia
mengusulkan agar “para imam masa depan” dididik “untuk memahami dan 247 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese. art. 57. 248 Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih), Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia, 2007, 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
mempersembahkan Misa dalam bahasa Latin, menggunakan teks Latin, dan
menyanyikan lagu Gregorian.. ” Umat beriman, lanjutnya, bisa diajarkan “lebih
banyak doa bersama” dalam bahasa Latin dan dilatih untuk menyanyikan bagian-
bagian liturgi dalam lagu Gregorian. (Scar 62)
Mengulang kembali Paus Yohanes Paulus II dan Sinode 2005, Paus
Benediktus mendorong umat beriman “sering melakukan pengakuan dosa.” Paus
meminta agar para imam selalu bersedia melakukan pelayanan ini. “Tempat-
tempat pengakuan dosa di gereja-gereja kita hendaknya secara jelas menjadi
ekspresi yang kelihatan dari Sakramen Pengakuan Dosa,” katanya (SCar 20). Dia
menekankan kewajiban Misa hari Minggu, dan mendesak agar hari Minggu tetap
menjadi hari untuk beristirahat (Scar 73). Dalam hal devosi Ekaristi, Paus
mendukung penuh diadakannya devosi Ekaristi dengan adorasi ekaristi abadi,
perarakan Sakramen Mahakudus dan devosi ekaristi yang lain (SCar 66).
Dalam bab ketiga dari teks itu, paus menekankan keterkaitan antara
Ekaristi dan kehidupan sehari-hari. Sinode menerima usul-usul para uskup dari
Asia dan benua lain yang menekankan dimensi sosial Ekaristi, dan demikian juga
paus. "Hubungan antara misteri Ekaristi dan komitmen sosial harus dibuat
eksplisit,” kata paus. Mengulang lagi penekanan Sinode bahwa “pengorbanan
Kristus merupakan sebuah misteri pembebasan yang terus dan pasti menantang
kita,” paus mendesak segenap kaum beriman “untuk menjadi pendukung keadilan
dan perdamaian,” dan mendorong mereka “untuk secara bertanggung jawab
melindungi ciptaan." Paus mengatakan, “santapan kebenaran (Ekaristi) menuntut
bahwa kita mengutuk situasi yang tidak manusiawi yang membuat orang lapar
sampai mati sebagai akibat ketidakadilan dan eksploitasi. Ekaristi memberi kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
keberanian dan kekuatan baru untuk berkarya tanpa lelah dalam melayani
peradaban cinta." (SCar 70).
Paus melihat tiga unsur249 yang menjadi prasyarat penting dalam
mengajarkan dan mendidik umat beriman mengenai misteri-misteri suci dalam
liturgi. Pertama, ritus-ritus mesti dipahami dalam kerangka keselamatan dalam
kesesuaian dengan tradisi Gereja yang hidup. Banyak orang Katolik sering merasa
kagum ketika mereka mempelajari bagaimana Tuhan berinteraksi dengan umat-
Nya dalam cara yang sama sejak awal sejarah keselamatan hingga saat ini. Dalam
mempelajari Perjanjian Lama, mereka kagum dengan membayangkan Gereja
Katolik, sakramen-sakramen, Ekaristi, imamat dan seterusnya. Penting bagi orang
Katolik untuk memahami bahwa semua hal tersebut tidaklah merupakan buatan
tangan manusia. Sebagai contoh dapat diutarakan di sini: Pengorbanan alami
sebagai pujian kepada Allah terus berlangsung. Dalam Perjanjian Lama, Allah
memerintahkan kepada umat-Nya untuk memuji-Nya dengan pengorbanan,
demikian pula saat ini Gereja juga mengorbankan Kristus, sebagai kurban
sempurna dalam Ekaristi.
Kedua, perlunya menghadirkan makna-makna tradisional mengenai tanda,
simbol, dan tata gerak dalam ritus-ritus tesebut. Segala sesuatu yang ditetapkan
Gereja sebagai mengenai bahan-bahan liturgi bukanlah sesuatu yang tanpa makna.
Seluruh teks yang disahkan, tata gerak, sikap tubuh, tanda, simbol, pakaian liturgi
kaya akan makna dan maksud. Apa yang kelihatan dalam segala tanda yang
kelihatan tersebut menjadi pralambang keselamatan melalui salib. Sebagai contoh
misalnya: berlutut merupakan tanda sembah bakti kepada Allah yang setiap kali
249 Benediktus XVI, Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih), Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia, 2007, 83.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
hadir dalam Ekaristi Kudus. Pakaian merah melambangkan keberanian
memberikan diri dalam kemartiran dan sebagainya. Saat ini bahasa Katolik
tradisional yang tampak dalam pemakaian bahasa Latin, tata gerak dan tanda-tanda
semakin lama semakin menghilang. Keadaan ini bisa memiskinkan ungkapan
iman yang terus diwariskan secara turun temurun dalam sejarah Kekristenan yang
seringkali terjadi atas nama kreativitas dan penghayatan penuh makna. Namun
seringkali yang terjadi justru malah berbeda. Apa yang diusahakan dengan terlalu
banyak memasukkan unsur asing dari tradisi Gereja Katolik justru memiskinkan
makna perayaan itu sendiri.
Ketiga, ritus-ritus tersebut mesti terkait dengan kehidupan umat Kristiani
sehari-hari. Dalam penelitian lebih jauh mengenai misteri-misteri suci seseorang
haruslah memahami arti penting diri mereka sebagai orang Kristen dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai orang Kristen, mereka telah ditebus dengan
pengorbanan yang tiada taranya oleh Kristus. Maka itu, mereka haruslah hidup
sesuai dengan martabat mereka sebagai orang yang penting di mata Allah,
menjadi rekan kerja Allah dalam merawat dan mengembangkan dunia dengan
bertingkah laku sebagai orang Kristen dalam hidup harian mereka.
3. 4. Pokok-Pokok Katekese Liturgi
Katekese liturgi memuat empat hal yang mesti terus-menerus diusahakan.
Kempat hal tersebut adalah: Keterpusatan pada Kristus, Formatif-transformatif,
komunal, berpijak pada pengalaman.250
a. Keterpusatan pada Kristus.
250 Gilbert Ostdiek, “Liturgical Catechesis”, 170.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Perhatian pokok katekese liturgi adalah membantu umat mengembangkan
relasi individual maupun personal dengan Yesus yang wafat dan bangkit
dalam pengalaman inisiasi Kristen. Kristus adalah pusat hidup Kristen,
liturgi, katekese. Kebangkitan-Nya adalah titik pusat bagi semua
spiritualitas Kristiani. Pokok perhatian katekese liturgi bukanlah sejarah
liturgi, ritus-ritus, objek-simbolik, atau kebenaran ajaran yang
disampaikan oleh liturgi. Pokok perhatian utama katekese liturgi adalah
pribadi Yesus sendiri dan bagaimana persekutuan umat bertemu dengan
Allah melalui Yesus. Sumber pokok dari katekese liturgi ditemukan pada
pengajaran Yesus dalam mewartakan sabda, dalam sikap-sikap
sakramental, dan dalam kesaksian hidup para murid.
b. Formatif-transformatif.
Katekese liturgi, seperti halnya katekese pada umumnya dan liturgi itu
sendiri, adalah pengalaman formatif. Pembentukan iman dan pertobatan
menjadi tujuan yang tepat dari keduanya. Tetapi, masuk dalam hubungan
dengan Kristus dan bertumbuh dalam hubungan dengan Kristus
merupakan pokok pengalaman transformatif yang unggul dan ini hanya
bisa berjalan dalam hubungan dengan Roh Kudus. Tujuan yang tepat dari
baik liturgi maupun katekese adalah membina umat dalam sebuah cara
yang mengundang mereka ke arah transformasi, baik secara terprogram
maupun secara otomatis. Maka dari itu, katekese liturgi selalu diperlukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
oleh siapapun baik yang masih muda dalam iman maupun mereka yang
sudah dewasa dalam iman.
c. Komunal-eklesial
Dari maknanya sendiri, liturgi adalah tindakan komunal-eklesial.
Pertemuan jemaat itu sendiri adalah tanda liturgis paling penting.
Tindakan berkumpul, penggunaan kata ganti orang pertama jamak (kami,
kita) dalam ibadat, mendengarkan sabda Tuhan, dan tindakan sakramental
di mana semua bentuk partisipasi dalam pengalaman liturgis adalah
tindakan komunal di mana umat bertemu dengan Kristus secara bersama-
sama. Katekese liturgi memerlukan sebuah penataan dan bentuk yang
merefleksikan makna pengalaman liturgi yang bersifat komunal-eklesial.
Masing-masing umat memainkan peranan formatifnya dengan kesaksian
mereka pada yang lain.
d. Berpijak pada pengalaman
Katekese liturgi hanya bisa betul-betul terlaksana ketika usaha tersebut
berpijak dari pengalaman konkret. 251 Katekese liturgi tidak saja
menyangkut soal bagaimana hasil yang nanti akan dicapai, melainkan juga
menyangkut soal proses yang dialami setiap individu. Proses yang dialami
oleh setiap individu ini terkait erat dengan karakteristik yang ada pada
liturgi yang dirayakan. Karakteristik dalam liturgi tersebut meliputi 4 hal
yakni liturgi itu diulang terus-menerus dalam pola yang sama dalam
periode tertentu, liturgi adalah ekspresi simbolik (ada kenyataan yang
251 Kongregasi Untuk Klerus, Pedoman Umum Katekese . art. 74.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
disimbolkan dalam tanda-tanda), liturgi adalah tindakan ritual yang
menyangkut soal iman kepercayaan dan perjanjian antara dua pihak (Allah
dan manusia), dan liturgi dilaksanakan dalam kebersamaan seluruh jemaat,
bukan melulu memenuhi kepentingan pribadi-pribadi tertentu.
3. 5. Resume
Katekese Liturgi memiliki pengaruh yang kuat dalam pengembangan iman.
Katekese liturgi menunjuk pada usaha untuk menyampaikan warta mengenai
perayaan misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh
Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama dengan Gereja-Nya di dalam ikatan
Roh. Tujuan penyampaian warta ini adalah untuk membantu individu dan
paguyuban-paguyuban tersebut memiliki pengertian, pemahaman dan yang lebih
mendalam mengenai Kristus yang dirayakan kehadiran-Nya dalam Liturgi.
Pemahaman ini akan mendorong individu dan paguyuban-paguyuban ke arah
penghayatan iman Kristiani yang mendalam. Katekese liturgi pertama-tama perlu
mengangkat pengalaman personal umat yang akan menerima katekese perihal
pengalaman personal mereka dengan Allah. Pemahaman dan pengetahuan
mengenai liturgi berguna bagi umat untuk membahasakan pengalaman mereka dan
memberi nama atas pengalaman mereka akan Allah secara personal.
Dalam sejarahnya, katekese mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu bersamaan dengan perkembangan sejarah Gereja. Setiap situasi yang
dialami oleh Gereja menuntut suatu usaha dan strategi tertentu agar supaya pesan
Injil yang dirayakan dalam liturgi dapat dimengerti oleh umat yang
merayakannya. Katekese berkembang secara mengagumkan terutama pada masa-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
masa awal kekristenan. Bisa dikatakan periode awal kekristenan menjadi periode
formatif yang menentukan perkembangan Gereja kemudian. Dalam pada itu,
peran katekese amat penting sekali. Periode pembaruan Gereja ini adalah juga
musim berkembangnya katekese. Oleh karena itu studi yang mendalam mengenai
warisan tradisi Gereja dari masa ke masa amat penting untuk dilakukan secara
serius.
Konsili Vatikan II memberikan tekanan penting mengenai katekese liturgi
sebagaimana termuat dalam dokumen Sacrosanctum Concilium. Dalam
Sacrosanctum Concilium, liturgi merupakan puncak dan sumber hidup Kristiani
(SC. 10) sehingga umat beriman harus diajak untuk terlibat secara sadar dan aktif
dalam liturgi (SC 14). Agar keterlibatan secara sadar dan aktif itu bisa
dilaksanakan secara optimal maka diperlukan suatu katekese yang memadai
tentang liturgi. Tindakan katekese amat penting untuk membantu komunitas sadar
terhadap apa yang dilakukan, dan secara aktif berkaitan dengan ritus dan
diperkaya oleh dampaknya (art. 11). Katekese yang dimaksud tidak saja
menyangkut soal bagaimana setiap kata dalam upacara liturgi dimengerti umat,
melainkan juga perlu diadakan telaah mendalam atas prinsip teologis dan pastoral
yang menjadi latar belakang setiap tata upacara liturgi. Hal ini perlu dilakukan
agar doa – doa dan pujian yang dilakukan umat sungguh-sungguh terkait dengan
pengalaman mereka sebagai individu dan sekaligus sebagai bagian dari Gereja
semesta. Sebab, bagaimanapun juga setiap orang yang sudah dibaptis adalah
bagian dari Gereja seluas dunia dan sepanjang zaman. Oleh karena itu, katekese
liturgi merupakan sebuah kemestian yang tidak dapat ditawar dalam rangka
membantu umat untuk semakin aktif berpartisipasi dalam liturgi sesuai dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
peran dan fungsi mereka dalam Tubuh Mistik Kristus. Partisipasi aktif kaum
beriman ini bila diusahakan dengan maksimal, akan berdampak pada sektor
kehidupan manusiawi lainnya, seperti komitmen pada keadilan, keterlibatan
dalam pengembangan dunia sebagaimana dimaksudkan oleh Sang Pencipta. Oleh
karena itu, tindakan katekese liturgi mesti memuat empat unsur yakni berpusat
pada Kristus, mendidik dan mendorong umat untuk berkembang dalam iman,
berkait dengan komunitas dan berpijak dari pengalaman.
BAB IV
KATEKESE LITURGI BERBASIS KOMUNITAS
Liturgi Gereja pasca Konsili Vatikan II memiliki warna dasar keterlibatan
secara sadar aktif umat beriman. Dalam liturgi, umat diundang untuk terlibat
dengan penuh kesadaran dan aktif menurut peran dan fungsinya masing-masing.
Dengan terlibat secara sadar aktif dalam perayaan liturgi, umat beriman semakin
diteguhkan imannya dan didorong untuk mewujudkan imannya dalam kehidupan
sehari-hari. Hasil guna yang demikian bisa diharapkan kalau liturgi dimengerti
dengan baik oleh mereka yang merayakannya. Supaya umat dapat mengerti dan
memahami apa yang mereka rayakan, diperlukan suatu katekese yang memadai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
mengenai liturgi. Agar supaya dapat terlibat secara aktif, dan menyelaraskan diri
dengan misteri yang dirayakan, umat beriman perlu dibantu dengan berbagai cara
agar mereka memahami perayaan yang dirayakan berikut simbol-simbol,
lambang-lambang, kata-kata maupun tata geraknya (SCar. 64). Upaya ini
menuntut suatu usaha katekese yang terencana dan terpadu. Selain itu usaha ini
juga melibatkan banyak pihak yang terkait252. Dalam konteks parokial, usaha
untuk melaksanakan katekese liturgi tidak melulu tugas Bidang Liturgi. Hal itu
berarti bahwa tindakan katekese menuntut gerak sinergis dari seluruh jemaat
beriman.
Dalam bagian ini, penulis akan menawarkan gagasan mengenai upaya
katekese liturgi integratif berpijak pada analisa hasil penelitian atas situasi konkret
Keuskupan dan Paroki Pringwulung yang diambil sebagai sampel penelitian.
Beberapa catatan mengenai penelitian empiris tersebut akan dilihat dengan
gagasan-gagasan yang muncul pada uraian mengenai katekese liturgi. Dengan
kata lain, uraian berikut merupakan sintesa antara keduanya. Di samping itu,
penulis akan menyampaikan gagasan sederhana seputar katekese liturgi sebagai
bagian dari rekomendasi yang ditawarkan.
4. 1. Unsur-Unsur Katekese Liturgi berbasis komunitas 252 Katekese liturgi melibatkan banyak pihak, bukan hanya para pelayan dan para petugas saja, melainkan juga tanggung jawab seluruh umat beriman. Selain para gembala dan para petugas liturgy, umat beriman juga perlu terus-menerus menanyakan dalam diri mereka, apakah mereka sudah mengupayakan macam-macam hal supaya liturgi yang mereka rayakan sungguh relevan dan inspiratif dalam hidup mereka. Adapun hal paling pokok dalam perayaan liturgi sebenarnya adalah sikap hati dan bahkan sikap iman mereka yang terlibat dalam liturgi, entah imam, para petugas maupun umat beriman. Sebagus apapun penataan suatu perayaan, kalau tidak dilaksanakan dengan sikap iman yang benar, semua hal bisa dijadikan sasaran kritik dan keluhan. Karena pada dasarnya liturgi merupakan pengungkapan batin dan pengungkapan iman. lih. E. Martasudjita, Spiritualitas Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 2002, 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Dalam data penelitian kami menemukan kesimpulan akan adanya
keinginan umat untuk mendapatkan katekese yang memadai mengenai liturgi.
Ternyata terdapat titik temu antara keinginan umat tersebut dengan tugas Gereja
untuk memberi katekese mengenai liturgi sebagaimana diamanatkan oleh para
Bapa Konsili Vatikan II. Pengetahuan dan ajaran mengenai liturgi diperlukan
umat agar supaya mereka lebih memahami liturgi yang mereka rayakan setiap
kalinya. Dengan memahami liturgi yang mereka rayakan, mereka bisa terlibat
dengan penuh kesadaran dan aktif menurut tugas dan fungsinya. Selain
memahami liturgi dengan baik, umat juga perlu diajak untuk terus-menerus
menyadari dirinya sebagai umat Allah yang amat dicintai-Nya. Kesadaran ini akan
membantu mereka merayakan liturgi dengan baik.
Katekese liturgi menyangkut komunitas di mana orang terlibat di
dalamnya. Hal ini mensyaratkan sebuah komunitas paroki yang hidup di mana
anggota-anggotanya berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Interaksi dan
komunikasi dalam diri seluruh umat beriman paroki bisa berjalan dengan baik
kalau para pengurusnya berjalan dengan baik dan tertata. Maka hal pertama yang
perlu dilakukan untuk program katekese liturgi di paroki adalah pengembangan
kualitas paguyuban paroki. Paroki, pada kenyataannya, merupakan tempat di
mana umat berkumpul sebagai Gereja. Melalui dan dalam komunitas parokilah,
Gereja menjadi tampak nyata dan konkret, baik bagi umat sendiri maupun bagi
masyarakat. Pandangan dan gagasan orang mengenai Gereja biasanya terpengaruh
oleh keadaan paroki yang telah mereka saksikan. Untuk membangun paroki yang
hidup pertama-tama memang diperlukan suatu spiritualitas bersama. Spiritualitas
bersama tersebut hendaknya terarah pada kesatuan seluruh unsur paroki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Pengembangan spiritualitas paroki tersebut bisa dikerjakan antara lain dengan
penataan organisasi, program-program kunjungan, sapaan-sapaan personal dan
komunikasi yang intensif melalui berbagai cara dan sebagainya. Intinya adalah
perlunya mengusahakan paguyuban paroki yang hidup dan mampu membuat
umatnya merasa kerasan dan merasa menjadi bagian dari paroki tersebut.
Salah satu spiritualitas yang penulis tawarkan adalah spiritualitas kolektif
dalam paroki253. Spiritualitas kolektif menunjuk pada pola hubungan yang saling
terkait satu sama lain dalam paroki. Pertama-tama harus diingat bahwa paroki
bukanlah perusahaan atau kesatuan orang-orang berdasarkan kepentingan-
kepentingan tertentu. Dasar dari kesatuan paroki adalah kesadaran bahwa masing-
masing anggotanya adalah bagian dari komunitas. Komunitas ini diikat oleh
keyakinan yang sama akan Allah yang mengasihi dan memanggil mereka dalam
satu kesatuan untuk menjadi saksi atas kasih kebaikan Allah. Jadi dalam
spiritualitas ini, unsur kasih pada sesama menjadi fokus perjuangan bersama.
Manajemen dari komunitas ini diatur berdasarkan semangat kasih tersebut.
253 Fr. Adolfo Raggio (ed.), The Parish Community, A Path to Parish Communion, Valenzuela (Philiphina), New City Press, 2000. Penulis terinspirasi menawarkan spiritualitas ini setelah melihat spiritualitas ini hidup dan berkembang dalam komunitas Focolare. Penulis pernah mempunyai pengalaman langsung hidup dan tinggal selama satu bulan bersama komunitas ini. Komunitas ini diprakarsai oleh Chiara Lubich di Negara Italia pada perang Dunia II. Ketika melihat begitu banyak penderitaan sebagai akibat dari Perang Dunia II, Chiara Lubich dan teman-temannya tergerak hatinya. Ia mengumpulkan teman-temannya dan kemudian mengkonsekrasikan hidupnya untuk menolong dan memberi bantuan pada para korban perang. Kelompok ini berkembang pesat di Eropa dan kemudian ke seluruh dunia hingga hari ini. Pimpinan Gereja menghargai usaha kelompok ini dan memberikan bangunan kepausan di Castle Gandolfo, Roma untuk dimanfaatkan sebagai pusat Gerakan Focolare. Lebih lanjut, di dalam komunitas ini Ekaristi menjadi pusat dari seluruh hari. Segala karya dan pekerjaan, kreativitas dan inovasi serta kelompok-kelompok yang berkembang, berpusat dan sekaligus bersumber pada Ekaristi. Ekaristi menjadi pokok kegiatan komunitas ini. Karena Ekaristi menjadi pokok, setiap anggota baru atau tamu yang datang selalu mendapatkan inisiasi dan katekese mengenai Ekaristi. Harapannya, para pendatang baru tersebut dapat memahami dan kemudian merayakan Ekaristi secara sadar dan aktif. Karena itu tidaklah mengherankan apabila suasana Ekaristi yang sangat hening dan tenang itu sungguh-sungguh diminati oleh warga komunitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Spiritualitas kolektif ini memiliki tiga unsur pokok yakni: (1). Relasi Allah
dengan umat dan relasi umat dengan Allah; (2). Relasi antar umat; (3). Kesatuan
dalam dan oleh Ekaristi. Ketiga hal ini rasanya menjadi amat penting dalam upaya
membangun paroki yang hidup.
(1). Relasi Allah dengan umat dan relasi umat dengan Allah
Allah adalah Kasih254. Allah adalah cinta. Pertama-tama dan terutama
hidup manusia ditopang oleh cinta Allah. Sadar atau tidak karena cintanya orang
bisa hidup dan berkembang. Keyakinan akan cinta Allah ini dalam banyak hal
tampaknya kurang disadari oleh orang-orang pada zaman ini. Gereja dipanggil
untuk menjadi saksi akan cinta Allah ini. Untuk itu Gereja perlu yakin bahwa
Allah mencintainya, dan menginginkan sesuatu yang baik dalam dirinya.
Keyakinan ini akan mendorong untuk kemudian mencintai Allah juga sebagai
tanggapan.
(2). Relasi antar umat
Relasi antar umat diwujudkan dalam tindakan mengasihi dalam hidup
sehari-hari. Jika masing-masing orang Kristen berpikir bahwa saya akan
mengasihi orang lain dalam tindakan konkret sebagaimana dilakukan Yesus
sendiri, maka akan terjadi apa yang disebut dengan “tindakan saling mengasihi”.
Tindakan ini menjadi tindakan yang telah dilaksanakan oleh orang-orang Kristen
sejak berabad-abad lamanya dan bahkan di kalangan orang-orang beragama lain
dikenal sebagai identitas orang Kristen. Amat disayangkan bila dalam kalangan
Kristen sendiri hal ini kemudian menjadi luntur dan orang Kristen justru terjebak 254 Benediktus XVI, Deus Charitas Est ( Allah Adalah Kasih), Seri Dokumen Gerejawi, Jakarta, Dokpen KWI, 2006, 5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
untuk ikut-ikutan menghilangkannya dalam kazanah kehidupan Kristiani. Oleh
karena itu paroki menjadi tempat yang amat strategis untuk kembali menjadi pusat
kebudayaan kasih. Bagaimanapun perlu diciptakan kesan kuat (dan ini
diwujudkan dalam tindakan nyata) bahwa kalau mau belajar mengenai cinta kasih
yang sejati, di Gereja parokilah tempatnya.
(3). Kesatuan dalam dan oleh Ekaristi.
Ekaristi sebagaimana telah diketahui menjadi pemersatu dan motivasi
dasar paguyuban paroki. Pernyataan ini telah berlaku sejak awal mula Gereja dan
sampai kapanpun mesti tetap menjadi alasan adanya paguyuban umat beriman.
Tanpa Ekaristi sebagai pusat, orang tidak bisa mengaku bahwa dirinya adalah
paguyuban Paroki. Mengapa Ekaristi? Sebab Ekaristi adalah tindakan Kristus
sekaligus tindakan Gereja itu sendiri (SC 7). Memusatkan diri pada Ekaristi
berarti memusatkan diri pada Kristus, Sang Putra Bapa.
Iman akan Yesus menyatukan seluruh jemaat. Yesus adalah pusat jemaat-
jemaat Kristiani. Jemaat Kristen mengklaim bahwa kebangkitan Yesus Kristus
adalah titik pangkal iman mereka, bahwa “Yesus telah mati karena dosa-dosa kita,
… bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan pada hari ketiga
menurut Kitab Suci” (1Kor 15: 3-4).255 Dengan memusatkan diri pada Kristus,
segala tindakan, program dan langkah pastoral akan menemukan arah dan jalurnya
secara benar. Di sinilah letak spiritualitas kolektif tersebut. Tinggal bagaimana
masing-masing bagian menterjemahkannya dalam langkah-langkah konkret dalam
program paroki, termasuk dalam hal ini para gembala, pengurus dewan, pengurus
255 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika II , Yogyakarta, Kanisius, 2004, 224.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
lingkungan dan tentu saja termasuk didalamnya adalah tim liturgi paroki. Tim
Liturgi paroki yang terkait langsung dengan tata pengelolaan Ekaristi sebagai
pusat hidup komunitas perlu mengambil prakarsa dalam rangka membantu umat
menjadikan Ekaristi sebagai puncak dan sumber kehidupan mereka.
4. 2 Tim Liturgi Paroki sebagai ujung tombak Katekese Liturgi
Untuk menterjemahkan spiritualitas kolektif dan melaksanakan amanat SC
19 tim liturgi paroki menjadi ujung tombak dalam membantu seluruh umat
beriman memahami dan menghayati liturgi. Menurut Pedoman Pelayanan Pastoral
Liturgi Keuskupan Agung Semarang, Tim Liturgi Paroki didefinisikan sebagai
persekutuan orang-orang yang bekerjasama sebagai sebuah tim kerja dan
dikoordinasi oleh seorang koordinator yang termasuk dalam bagian Dewan
Paroki, dalam rangka mempersiapkan, menyelenggarakan dan mengevaluasi
perayaan liturgi di paroki.256 Tim liturgi ini memiliki peran dan tanggungjawab
besar dalam upaya menjadikan perayaan liturgi di paroki semakin hidup dan
bermakna. Tim liturgi ini bertugas untuk merencanakan, mempersiapkan dan
menyelenggarakan liturgi setempat. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatur
peranan-peranan dalam liturgi, membagikan tugas-tugas, menampung tanggapan
dari umat, merencanakan liturgi masa mendatang, mengadakan evaluasi tentang
liturgi yang sudah direncanakan dan memeriksa serta memastikan bahwa para
petugas sudah siap untuk melaksanakan tugas-tugasnya.257
256 Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi Keuskupan Agung Semarang, no.3, 8. 257 Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi Keuskupan Agung Semarang, no.4, 9-10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Tidak bisa terjadi bahwa tim liturgi hanya dilaksanakan oleh satu orang
koordinator yang pekerjaannya hanya membagi jadwal petugas tanpa pernah tahu
apa yang terjadi. sebab, prinsip kerja tim adalah melibatkan semua pihak.258
Paroki-paroki mesti memberi perhatian yang serius mengenai hal ini, tentu saja
tanpa bermaksud mengecilkan yang lain. Oleh karena itu pertama-tama perlu
dipikirkan adalah bagaimana tim ini memiliki jadwal tetap untuk berkumpul.
Dalam perkumpulan ini bisa diadakan pembicaraan mengenai tema liturgi yang
akan digarap. Setelah tema dimengerti, barulah diadakan pembagian tugas di
mana semuanya mesti mengacu pada tema yang akan diangkat.
Pertemuan tim liturgi bisa dilaksanakan sekali sebulan untuk pertemuan
rutin dan tiga kali setahun untuk rapat pleno.259 Selain itu dianjurkan masing-
masing tim kerja untuk menata mekanisme pertemuannya secara rutin pula. Di
samping pertemuan tim liturgi, mutlak perlu juga pertemuan para petugas yang
akan menjalankan tugas pada hari Minggu tertentu. Dalam pertemuan itu, bisa
diadakan semacam sharing, koordinasi dan latihan-latihan seperlunya. Meskipun
pertemuannya mingguan, hal ini tidak akan menjadi masalah karena orangnya
selalu berganti setiap saat. Hal ini dapat terlaksana kalau memang ada komitmen
kuat dari para petugas. Untuk mengantisipasi hal ini, peran komunitas sangat kuat
dalam memberikan motivasi, kontrol dan dorongan-dorongan. Pasti tidak
mungkin mengandaikan ada tim seperti ini dengan kondisi komunitas yang saling
bertengkar satu sama lain.
258 Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi Keuskupan Agung Semarang, no.4, 11. 259 Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi Keuskupan Agung Semarang, no.4, 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Penting pula dipikirkan mengenai kaderisasi bagi para anggota tim liturgi
yang mau dan memahami hakekat liturgi. Untuk itu, imam pemegang reksa
pastoral dalam liturgi di wilayah tersebut perlu mengembangkan kelompok
pemerhati liturgi yang bisa tergabung dalam tim berikut kaderisasinya. Tim liturgi
yang kuat akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan liturgi
di suatu wilayah paroki. Karena secara praktis dalam kenyataan sehari-hari di
paroki-paroki, pada umumnya umat akan lebih banyak mengikuti apa yang ada
dalam liturgi Gereja. Sedangkan mengenai konsep, termasuk tema maupun hal-
hal khusus lain, sudah barang tentu menjadi tanggungjawab tim liturgi paroki
bersama pastor paroki. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab pastor paroki
untuk memajukan tim liturgi dan mendorong efektifitas kerjanya.
Mengingat begitu pentingnya tugas dan peranan tim liturgi dalam
kehidupan paroki, tim liturgi paroki perlu merancang suatu program katekese
yang bisa diterapkan untuk pembinaan liturgi umat se-parokinya.260 Bersama
pastor paroki, hendaknya mereka dengan tekun mengusahakan agar sebanyak
mungkin umat semakin tahu mengenai liturgi.261 Demikian pula dalam pembinaan
anak-anak dan kaum muda perlu diagendakan secara khusus pembicaraan dan
program kegiatan yang bertujuan untuk membantu mereka memahami liturgi
Gereja Katolik. Beberapa pedoman yang disampaikan oleh keuskupan kiranya
dapat dijadikan bahan untuk karya-karya tersebut.
4. 3 Bentuk Katekese Liturgi berbasis komunitas
260 Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi Keuskupan Agung Semarang, no.4, 10. 261 Pedoman Pelayanan Pastoral Liturgi Keuskupan Agung Semarang, no.4, 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Katekese liturgi selalu harus mempertimbangkan keadaan komunitas di
mana program katekese itu mau dijalankan. Maka, katekese liturgi selalu harus
mempertimbangkan beberapa hal seperti adat istiadat setempat, kebiasaan
individu dan tingkat kemampuan rata-rata di bidang pendidikan pengetahuan dan
penghayatan iman dari masing-masing kelompok.262 Dalam prakteknya, perlu
diperhatikan tiga hal yakni (1) Katekese Liturgi adalah kegiatan komunikasi
dalam persekutuan umat. Maka itu, yang perlu diperhatikan adalah pribadi-pribadi
yang menjadi bagian dari persekutuan itu; (2) Katekese Liturgi adalah suatu “on
going formation”. Oleh karena itu tidak perlu dirisaukan manakala keadaan
menuntut bahwa bahan-bahan katekese disampaikan berulang untuk kelompok
yang sama; (3) liturgi adalah perayaan seluruh Gereja. Maka diperlukan suatu
usaha untuk mengajak seluruh peserta katekese untuk belajar merasa menjadi
bagian dari Gereja universal. Liturgi tidak hanya diperuntukkan untuk kelompok-
kelompok tertentu melainkan untuk Gereja sebagai kesatuan universal.263
Bentuk katekese liturgi berbasis komunitas memiliki bermacam variasi,
tergantung dari keadaan komunitas yang bersangkutan. Katekese liturgi semacam
ini memerlukan peran sebuah tim yang secara intensif perlu dipersiapkan secara
memadai. Sebab, tindakan katekese liturgi tidak hanya merupakan kegiatan yang
menerangkan apa itu tanda dan ritus saja. Katekese liturgi harus menjamin bahwa
terdapat komunikasi yang efektif dalam suatu persekutuan umat.264 Komunikasi
itu dapat terjadi manakala bahan-bahan katekese diterjemahkan dan dibahasakan
262 Bosco Da Cunha, Pastoral Liturgi. Bimbingan Bagi Para Pelaksana Liturgi, Malang, Dioma, 1991, 5. 263 Bosco Da Cunha, Pastoral Liturgi. Bimbingan Bagi Para Pelaksana Liturgi, 6. 264 Bosco Da Cunha, Pastoral Liturgi. Bimbingan Bagi Para Pelaksana Lituri, , 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
sesuai dengan konteks umat yang menjadi sasaran katekese. Memang simbol-
simbol dan tanda-tanda tertentu dalam liturgi memiliki kebakuan. Namun bukan
berarti hal itu harus diterapkan begitu saja. Umat yang menjadi sasaran katekese
perlu dimengerti latar belakangnya, bahasa-bahasa yang dipergunakannya dan
juga kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Maka, adanya tim yang mampu
membahasakan bahan katekese dan situasi umat mutlak diperlukan.
Berikut ini kami sampaikan satu contoh katekese berbasis komunitas
dengan memperhatikan bahan-bahan yang ada serta konteks umat yang menjadi
sasaran katekese.
Contoh Katekese Liturgi berbasis Komunitas:
I Nama Kegiatan Katekese Liturgi Berbasis Komunitas II Tujuan - Membantu umat beriman memahami liturgi
- memperkuat relasi dalam komunitas sehingga umat tergerak untuk terlibat dalam kegiatan liturgi secara benar dan sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam Gereja.
- Membantu umat beriman menerapkan imanya dalam kehidupan memasyarakat
III Metode Ibadat Rosario dengan saresehan terpimpin (dengan disediakan urutan acara secara tercetak (dengan satu lembaran saja). Masing-masing orang bisa memimpin acara tersebut, asal bisa membaca. Bila lingkungan atau komunitas itu sudah lebih maju, bisa memakai sarana-sarana elektronik seperti di bawah ini.
IV Sarana - Sarana minimal : Teks Bahan Katekese Liturgi dari Komisi Liturgi atau bahan-bahan lain sejenis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
beserta urutan acara Saresehan yang disediakan secara tercetak.
- Kalau memungkinkan disediakan bahan-bahan Katekese Liturgi berbentuk VCD/DVD dan semacamnya.
- Televisi dan DVD/VCD player. V Pelaksana - Dikoordinasi oleh Tim Liturgi Paroki
- Kelompok-kelompok umat di tingkat Basis, baik kelompok yang bersifat teritorial maupun yang bersifat kategorial. Pemimpin kelompok bisa menjadi koordinator
VI Isi Katekese - Penjelasan mengenai hal ihwal mengenai Liturgi seperti misalnya Perayaan Sakramen dan bagian-bagiannya.
- Bahan-bahan bisa mengacu pada bahan yang disediakan oleh Komisi atau lembaga-lembaga sejenis.
Contoh Kegiatan PEMBUKA i. Ucapan terima kasih dan selamat datang i. Nyanyian pembuka
ii. Tanda Salib ii. Pengantar Singkat
iii. Renungan harian Bulan Katekese Liturgi (dalam bagian ini sekurang-kurangnya dibacakan renungan harian Bulan Katekese Liturgi. Bila memungkinkan diadakan saresehan singkat mengenai pokok renungan hari tersebut. Kalau pemimpin menemui kesulitan dalam menanggapi gagasan dan pendapat umat, pemimpin bisa mencatatnya dan menanyakan pada pastor paroki untuk kemudian disampaikan pada pertemuan selanjutnya)
iv. Pembacaan Ujub (kalau ada)
DOA ROSARIO v. Tanda Salib Kecil
Membuat tanda salib kecil dengan ujung salib rosario pada dahi, mulut dan dada sambil mengucapkan doa: Melalui tanda (+ salib suci bebaskanlah kami ya Allah (+) Tuhan kami, dari segala (+) yang jahat
vi. Doa Pembuka P Ya, Allah bersegeralah menolong kami U Tuhan perhatikanlah hamba-Mu P Semoga kami boleh memujimu ya
Perawan Suci U Berikanlah kami kekuatan untuk melawan
musuh-musuh-Mu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Persembahan Doa Rosario (didoakan bersama) Tuhan Yesus Kristus, kami mempersembahkan doa rosario ini kepada-Mu. Dalam doa ini kami ingin merenungkan misteri penebusan-Mu. Berilah kami keutamaan yang kami perlukan melalui permohonan Santa Perawan Maria, Bunda Suci-Mu, agar kami mendoakan rosario ini dengan hikmat dan pantas. Anugerahkanlah pula ya Tuhan, rahmat pengampunan yang Engkau kurniakan melalui doa devosi ini.
vii. Aku Percaya… viii. Bapa Kami…
ix. Salam Puteri Allah Bapa, Salam Maria… x. Salam Bunda Allah Putra, Salam Maria …
xi. Salam Mempelai Allah Roh Kudus, Salam Maria xii. Kemuliaan Kepada Bapa…
Yesus, ampunilah dosa-dosa kami. Bebaskanlah kami dari api neraka. Hantarkanlah semua jiwa ke dalam surga, terutama mereka yang sangat membutuhkan belas kasih-Mu (didoakan bersama)
xiii. Peristiwa 1… (disesuaikan harinya) xiv. Bapa Kami… Salam Maria (10x)
Pada setiap puluhan sebelum doa Bapa Kami, dibacakan renungan kecil dan tetap yang membicarakan tema-tema katekese liturgi berbasis komunitas. Pada puluhan pertama dibahas tema Allah
adalah Kasih. Tema ini diawali dengan kutipan bacaan Kitab Suci yakni dari surat 1Yoh 4: 16 (“Allah adalah Kasih, dan barang siapa tetap berada dalam kasih, ia tetap berada dalam Allah dan Allah di dalam dia”). Kutipan ini untuk mengantar umat memahami dan membentuk gambaran Allah bahwa Allah Adalah Kasih. Gambaran mengenai Allah yang maha Kasih akan membentuk perilaku orang untuk melatih diri berbuat kasih )
Pada puluhan kedua dibahas tema Paguyuban. Tema ini diawali dengan Bacaan dari Kis 2:44(“dan semua orang yang telah percaya tetap bersatu…”). Kutipan ini mengantar dan mengajak umat untuk tetap berada dalam kesatuan.
Pada puluhan ketiga dibahas tema Ekaristi. Tema ini diawali dengan Bacaan dari Luk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
22: 19 (“lalu is mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikan…”). Umat diajak untuk semakin memiliki hidup yang Ekaristis, siap diambil, dipersembahkan, dipecah-pecah dan dibagikan.
Pada Puluhan keempat dibahas tema semangat berbagi. Tema ini diawali dengan kutipan bacaan dari Mat 14:19 (“Dan setelah diambilNya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menegadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan meberikan kepada murid-muritNya, lalu murid-muridNya membagikanya pada orang banyak”). Umat diajak untuk memiliki semangat berbagi, saling membantu satu sama lain.
Pada puluhan kelima dibahas tema karya kerasulan di tengah masyarakat. Tema ini diawali dengan kutipan bacaan dari Kis 2:47)”dan mereka disukai semua orang.”.). Tema ini mau mengajak umat untuk hidup sebagai orang yang dikasihi Allah. Orang yang merasa dikasihi Allah senantiasa hidup dengan semangat dan itu membuat orang terpengaruh juga. Kehadirannya memberi aura positip antara orang-orang di sekitarnya.
Kutipan-kutipan Bacaan bisa diganti-ganti. Tim Liturgi bisa merancang dan memilih bacaan-bacaan ini sesuai dengan tema yang mau diangkat. Oleh karena itu tim liturgi bisa mempersiapkannya, atau membentuk panitia khusus Bulan Katekese Liturgi. Peserta juga diberi kesempatan untuk mensharingkan pemahamannya dan membuat doa-doa spontan setelah bacaan-bacaan disampaikan.
LITANI SANTA PERAWAN MARIA (atau doa yang lain) DOA MALAM PENUTUP
i. Ucapan Penutup ii. Nyanyian Penutup
PENGUMUMAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Panduan sederhana tersebut dimaksudkan untuk dipakai oleh pemandu
lingkungan sehingga setiap orang bisa memimpin Doa Rosario sekaligus
memanfaatkan buku Panduan BKL yang ada. Dengan demikian umat yang
berkumpul tidak akan bosan satu pemimpin ibadat saja. Maksud lain penggiliran
memimpin ibadat adalah untuk melibatkan sebanyak mungkin umat (termasuk
juga anak-anak dan remaja serta kaum muda) dalam berkegiatan lingkungan.
Namun sebelum semuanya itu berjalan, tim liturgi paroki, kevikepan dan
bahkan keuskupan perlu terlebih dahulu memberikan penjelasan bahan Bulan
Katekese Liturgi kepada masing-masing koordinator kelompok. Dalam rangka ini,
perlu diciptakan mekanisme yang sungguh-sungguh berjalan dengan efektif pada
masing-masing tingkatan. Maka penting untuk memastikan, berikut penjadwalan
waktu dan pemberitaannya kepada masing-masing koordinator kelompok basis
berlangsung dengan baik. Selain itu, diperlukan pula kerja sama yang baik dengan
para pastor paroki agar program untuk lingkungan di masing-masing paroki dapat
berjalan. Gagasan mengenai Komunitas yang berrelasi akrab dengan Allah,
bersatu dalam paguyuban dan memusatkan diri pada Ekaristi menjadi acuan bagi
tim liturgi atau panitia Bulan Katekese Liturgi yang dibentuk untuk merancang
kegiatan selama sebulan. Kuncinya ada pada Panitia atau tim penanggungjawab
kegiatan katekese litugi ini.
4. 4. Resume
Pada satu sisi, kebutuhan akan pengetahuan liturgi bagi umat sangat
mendesak. Data-data yang ditampilkan dalam bab II memberi petunjuk yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
jelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa katekese liturgi diperlukan umat untuk
menambah pemahaman mereka akan kegiatan liturgi yang mereka jalani. Mereka
mengatakan bahwa Bulan Katekese Liturgi layak untuk diteruskan karena
meningkatkan pemahaman mereka akan liturgi. Selain itu, Bulan Katekese
Liturgi juga memajukan kebersamaan mereka sebagai komunitas.
Namun dalam penelitian terdapat juga responden yang mengatakan bahwa
Bulan Katekese Liturgi kurang layak diteruskan. Pendapat ini didasarkan pada
alasan-alasan soal materinya yang out of date, kemasan yang kurang menarik dan
penyampaian yang kurang kompeten. Itu artinya, mereka sepenuhnya tidak
menolak sama sekali. Bisa dikatakan bahwa mereka bisa menerima asalkan
materinya tidak out of date, dikemas dengan menarik dan disampaikan oleh
mereka yang memiliki kompetensi.
Pada sisi yang lain, usaha dan langkah-langkah katekese liturgi sudah
terus-menerus dilaksanakan Gereja dari waktu ke waktu. Dalam Konstitusi
Liturgi (Sacrosanctum Concilium) para Bapa Konsili merekomendasikan perlunya
suatu katekese liturgi yang dikerjakan secara serius agar umat semakin sadar dan
aktif dalam merayakan liturgi (SC 19). Gagasan yang terdapat dalam
Sacrosanctum Concilium ini kemudian menjadi acuan pokok dalam anjuran-
anjuran apostolik, surat-surat pastoral maupun dokumen-dokumen resmi lainnya.
Dengan demikian, antara kebutuhan umat dan prakarsa Bunda Gereja dalam
membimbing umatnya terdapat titik temu.
Masalahnya adalah bahwa seringkali program-program mengenai
katekekese liturgi kurang ditindaklanjuti oleh komunitas-komunitas basis dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Gereja. Alasannya bisa bermacam-macam, seperti tidak tersedianya bahan,
kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program katekese dan minimnya
tanggapan dari pemegang reksa pastoral komunitas tingkat basis itu sendiri. Kalau
demikian masalahnya, tentu penanganannya menjadi lebih sederhana yakni
bagaimana pengawalan program katekese itu diupayakan seoptimal mungkin.
Salah satunya adalah pembentukan tim-tim yang kuat, atau rekonsolidasi tim-tim
yang sudah ada menjadi tim yang kuat dan punya hati dalam pelaksanaan program
katekese ini.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya paguyuban umat
yang hidup. Paguyuban umat ini merupakan prasyarat pokok demi terlaksananya
program katekese liturgi yang membantu umat beriman dalam memahami hakekat
perayaan liturgi berikut simbol-simbolnya. Paguyuban umat ini dapat diatur dalam
kelompok-kelompok kecil menurut situasi setempat dengan maksud supaya
program katekese dan pembagian tugas-tugas liturgi dapat terlaksana secara
efektif dan efisien. Agar semuanya dapat tercapai, perlu adanya suatu komitmen
bersama untuk menjadikan liturgi sebagai medan perjumpaan komunitas, sarana
persatuan dan saluran rahmat tempat umat mengarahkan seluruh hidupnya dan
menimba kekuatan dari padanya. Sebelum katekese liturgi dilaksanakan, perlulah
diciptakan terlebih dahulu suatu komunitas yang memiliki relasi yang baik dengan
Allah dan relasi antar sesama umat. Komunitas tersebut perlu terus menerus
didorong untuk menjadikan Ekaristi sebagai medan perjumpaan komunitas. Kalau
masing-masing anggota komunitas menyadari ketiga hal tersebut, katekese liturgi
akan berlangsung dengan baik dan optimal. Semangat dasar yang perlu terus
dibangun dalam katekese liturgi berbasis komunitas ini bisa dirumuskan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
satu pertanyaan mengenai apa yang perlu aku lakukan agar aku semakin
merasakan kehadiran Kristus dalam Ekaristi yang mempersatukan seluruh anggota
komunitas sebagai satu Tubuh.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN PASTORAL
5. 1. Pengaruh Bulan Katekese Liturgi bagi pengembangan Bidang Liturgi
Umat di Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung
Liturgi merupakan kegiatan Gereja yang paling banyak dilakukan umat.
Sejak Gereja Perdana, pertemuan liturgi sudah menjadi acara pokok dalam
komunitas umat. Gereja senantiasa berusaha agar umat dapat semaksimal
mungkin menimba kekuatan dari liturgi dalam perayaan liturgi yang dihayati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
dengan baik. Untuk itu diperlukan katekese liturgi (bdk. SC 14). Katekese liturgi
membantu umat memiliki pengertian dan pemahaman mengenai liturgi.
Pengertian dan pemahaman mengenai liturgi diharapkan membantu umat
merayakan liturgi dengan sadar dan aktif sehingga mereka akan memperoleh daya
dorong dalam melaksanakan tugas perutusan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
melaksanakan katekese liturgi tersebut, Gereja Keuskupan Agung Semarang sejak
tahun 1999 melaksanakan Bulan Katekese Liturgi.
Hasil penelitian kuantitatif yang kemudian dilanjutkan dengan Focus
Group Discussion dan Indepth Interview di Paroki Pringwulung menunjukkan
bahwa Bulan Katekese Liturgi membantu umat dalam berliturgi. Mereka
mengatakan bahwa Bulan Katekese Liturgi layak untuk diteruskan di masa
mendatang. Namun data yang ada menunjukkan bahwa Bulan Katekese Liturgi
belum dilaksanakan sebagaimana diharapkan. Tidak ada instruksi khusus yang
memastikan bahwa kelompok-kelompok umat melaksanakan kegiatan Bulan
Katekese Liturgi. Dalam FGD di salah satu lingkungan disebutkan bahwa dulu
pernah ada kegiatan Bulan Katekese Liturgi (yang dimaksud adalah tahun 1999,
pen.). Umat sangat antusias menanggapi, terutama temanya menarik yakni soal
hal-hal praktis dalam liturgi yang biasa mereka rayakan sehari-hari. Sayangnya,
di tahun-tahun berikutnya hal demikian tidak terjadi lagi. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah soal publikasi. Pada kenyataannya, masih banyak umat yang
belum mengerti mengenai Bulan Katekese Liturgi. Rupanya Bulan Katekese
Liturgi kurang dikenal di kalangan umat dibandingkan dengan Bulan Kitab Suci
Nasional, Persiapan Adven dan Prapaskah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
Konstitusi Liturgi (Sacrosanctum Concilium) menegaskan bahwa
“Bunda Gereja menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah
keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi”
(art. 14; lih. juga art. 19 dan GE. 4). Bimbingan bagi umat beriman ini merupakan
tuntutan mutlak yang harus dilaksanakan oleh Gereja. Katekese liturgi diperlukan
justru karena sifat sakramental dan simbolik dari liturgi itu sendiri. Kegiatan
liturgi kaya akan bahasa simbol yang tak mudah dipahami. Karena simbol-simbol
itu memiliki makna keselamatan yang ingin diungkapkan, orang perlu dibantu
untuk memahami maknanya. Sebab kalau tidak, perayaan liturgi hanya akan
dirayakan secara ritual belaka. Katekese juga diperlukan untuk mendorong umat
beriman untuk dengan senang hati berbuat olah tobat, senang mengajukan doa
permohonan dengan penuh kepercayaan, senang bersemangat menjemaat dan
memahami bahasa simbolik secara betul. Semua itu perlu untuk sampai pada
ibadat yang benar (DCG. 25)
Katekese liturgi yang baik perlu melibatkan banyak unsur dalam
komunitas secara sinergis. Data di Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung
menunjukkan bahwa faktor komunitas memegang peranan penting dalam
pengembangan keterlibatan liturgi umat. Oleh karena itu sebelum katekese liturgi
dilaksanakan, perlulah diciptakan terlebih dahulu suatu komunitas yang guyub.
Ciri suatu komunitas yang guyub adalah adanya relasi dengan Allah, relasi antar
sesama umat dan menjadikan Ekaristi sebagai medan perjumpaan komunitas.
Kalau masing-masing anggota komunitas menyadari ketiga hal tersebut, katekese
liturgi akan berlangsung dengan baik dan optimal. Semangat dasar yang perlu
terus dibangun dalam katekese liturgi berbasis komunitas ini bisa dirumuskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
dalam satu pertanyaan mengenai apa yang perlu aku lakukan agar aku semakin
merasakan kehadiran Kristus dalam Ekaristi yang mempersatukan seluruh anggota
komunitas sebagai satu Tubuh.
5. 2. Usulan Pastoral bagi pengembangan Bulan Katekese Liturgi
Mengingat pentingnya Katekese Liturgi, kegiatan Bulan Katekese Liturgi
yang digulirkan oleh Keuskupan Agung Semarang perlu diteruskan dan
dikembangkan. Usulan ini diperkuat dengan hasil penelitian di Paroki
Pringwulung yang merekomendasikan hal yang sama. Para responden penelitian
mengakui bahwa katekese liturgi amat mereka perlukan justru di dalam kehidupan
mereka yang penuh kesibukan. Dengan adanya katekese liturgi yang baik mereka
berharap memperoleh pengetahuan dan pemahaman liturgi yang memadai agar
mereka dapat merayakan liturgi secara sadar dan aktif. Dengan itu mereka dapat
menimba kekuatan dan mengarahkan segala usaha manusiawinya kepada Tuhan.
Oleh karena itu kami mengusulkan beberapa usulan pastoral yang dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan kegiatan katekese
liturgi, dalam hal ini Bulan Katekese Liturgi, baik ditingkat paroki maupun
keuskupan.
5. 2. 1. Usulan Pastoral untuk Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung
Diskusi mengenai perlu tidaknya Bulan Katekese Liturgi di Paroki
Pringwulung telah mendapat jawaban yang jelas berdasarkan hasil penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
yakni bahwa Bulan Katekese Liturgi perlu diteruskan di masa mendatang.
Suapaya hasilnya lebih optimal, pelaksanaannya perlu mempertimbangkan
beberapa unsur berikut yakni:
1. Bahasa dari bahan-bahan katekese yang disediakan harap dibuat
sesederhana mungkin. Catatan FGD mengatakan bahwa bahasa dalam
bahan Bulan Katekese Liturgi yang selama ini terjadi sudah paling
sederhana bila dibandingkan dengan kegiatan lain serupa seperti Bulan
Kitab Suci, pertemuan Adven maupun pertemuan Prapaskah. Namun
demikian, perlu dicoba di Paroki Pringwulung misalnya bahan-bahan yang
ada ditampilkan dengan metode berbeda. Misalnya, tidak setiap
lingkungan mengadakan pertemuan BKL setiap hari mengingat kesibukan.
Bisa disiasati misalnya dengan pertemuan mingguan, entah di lingkungan
maupun di pusat paroki. Dalam pertemuan mingguan tersebut, bahan yang
ada selama seminggu tersebut dirangkum jadi satu, dibacakan dan
kemudian didiskusikan. Beberapa hal yang tidak bisa dijawab pada saat itu
kemudian bisa dicatat, dicarikan jawabnya pada mereka yang berkompeten
dan kemudian diberikan pada pertemuan berikutnya, baik dalam bentuk
lembaran maupun disampaikan secara langsung.
2. Perlunya panitia khusus Bulan Katekese Liturgi tingkat Paroki. Panitia
khusus ini bertugas memastikan bahwa Bulan Katekese Liturgi terlaksana
di tiap lingkungan berikut bahan-bahannya. Distribusi bahan bisa
ditangani langsung oleh Panitia, termasuk metode dan cara-cara
penyampaian bahan. Kalau perlu dibuatkan panduan praktis melaksanakan
pertemuan lingkungan. Bentuk dan caranya bisa diputuskan oleh panitia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Dengan adanya panitia ini pengawalan program Bulan Katekese Liturgi
akan dapat berlangsung secara lebih intensif. Panitia ini juga bertugas
merancang anggaran, mengadakan pembekalan pemandu lingkungan dan
mengadakan evaluasi. Baik bila pembekalan pemandu dilaksanakan
seminggu sekali dengan dua bagian pertemuan, yakni pertama evaluasi
pertemuan minggu lalu dan rencana pertemuan minggu depan.
3. Bahan-bahan pendalaman Katekese Liturgi juga bisa ditampilkan dalam
panduan misa, supaya umat yang tidak pernah hadir dalam pertemuan
lingkungan namun ikut misa bisa membacanya. Sekaligus, buku panduan
misa yang berisi bahan katekese ini tidak lantas langsung dibuang begitu
selesai misa. Teks Panduan Misa mingguan ini bisa dibawa pulang dan
menjadi teks yang bisa dibawa waktu pertemuan Bulan Katekese Liturgi.
Hal ini berguna untuk publikasi dengan harapan semakin banyak umat
mengenal Bulan Katekese Liturgi.
5. 2. 2. Usulan Pastoral untuk kepentingan Gereja yang lebih luas
(kevikepan, Keuskupan)
1. Bulan Katekese Liturgi telah menjadi agenda tahunan baik di tingkat
kevikepan maupun Keuskupan. Oleh karena itu, rancangan angenda untuk
periode waktu tertentu perlu dibuat jauh-jauh hari sebelumnya. Tujuannya
adalah untuk memastikan adanya satu paket pembinaan liturgi bagi umat
yang kontinyu dan sistematis. Bukan tidak mungkin tema yang sama akan
terulang kembali untuk periode waktu tertentu dan ini tidak menjadi
masalah. Bukankah katekese liturgi itu adalah sebuah on going formation?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
2. Untuk memastikan bahwa bahan dan materi yang telah disusun sampai
pada seluruh umat, diperlukan pusat-pusat pembinaan di tiap kevikepan,
rayon dan kelompok-kelompok paroki. Pusat-pusat pembinaan ini bertugas
memberikan pembekalan sebelum pelaksanaan Bulan Katekese Liturgi.
Perlu dipikirkan bahwa pusat-pusat pembinaan ini mengambil tempat
berbeda dari waktu-ke waktu. Misalnya, suatu ketika pada tahun ini
pembinaan di rayon 1 bertempat di paroki A, tahun berikutnya bisa
berganti tempat di paroki B dan seterusnya. Dengan demikian, masing-
masing paroki mendapat giliran untuk mengadakan temu rayon berkaitan
dengan katekese liturgi. Mengingat tidak setiap pastor pimpinan paroki
memiliki perhatian yang memadai dalam hal katekese liturgi, meskipun ini
tugasnya, perlu dipersiapkan oleh sekretariat keuskupan suatu surat tugas
atau surat keputusan jauh-jauh hari sebelumnya. Dengan adanya surat
tugas dari pimpinan Gereja di atasnya, pastor setempat dapat menghubungi
tim katekese liturgi untuk pelaksanaannya.
3. Tidak kalah pentingnya adalah pengarsipan yang baik dalam hal bahan
katekese liturgi dan agenda-agenda yang dipersiapkan. Pengarsipan yang
baik akan memudahkan banyak pihak untuk menentukan kebijakan pada
masa-masa yang akan datang.
4. Bahan dan materi perlu mengingat soal pentingnya pembetukan komunitas
umat yang solid. Usulan kami adalah bahwa bahan-bahan tersebut mesti
menantang umat untuk terus-menerus aktif menjalin relasi dengan Allah
dan sesama serta menjadikan Ekaristi sebagai pusat hidup mereka. Maka
baik bila penjelasan mengenai Perayaan Ekaristi dan makna gerak-gerik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
serta simbol digunakan terus menjadi baagian dari Bulan Katekese Liturgi
setiap tahunnya
Demikian usulan pastoral yang kami sampaikan berkenaan dengan hasil
penelitian mengenai Bulan Katekese Liturgi. Sekali lagi, untuk menata kembali
sebuah model katekese liturgi yang mengena bagi umat, diperlukan suatu usaha
dan penelitian terus menerus. Tulisan ini hanyalah salah satu usaha. Masih
diperlukan usaha-usaha lain untuk membantu umat agar mereka semakin
memahami liturgi, merayakannya dengan penuh kesadaran dan keterlibatan aktif,
serta memperoleh manfaat rohani yang mereka perlukan untuk mengarungi
samodera kehidupan di zaman yang semakin berubah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR PUSTAKA
A. Dokumen
Hardawiryana, R.(penerjemah),
1993 Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Dokumen dan Penerangan KWI,
OBOR.
Kongregasi Untuk Klerus (teks terjemahan oleh J.S. Setyokarjana),
1993 Direktorium Kateketik Umum ,
Yogyakarta, Pusat Kateketik-Sekolah Tinggi Kateketik Pradnyawidya.
Yohanes Paulus II,
1992 Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae, Jakarta, DokPen KWI.
Benediktus XVI,
2007 Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih),
Jakarta, Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia.
Komisi Liturgi MAWI,
1973 Pedoman Pastoral Untuk Liturgi, Yogyakarta: Kanisius,
Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang,
2000 Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2001-2005.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
------------------------------------------------,
2003 Iman dalam Arus-arus Besar Zaman Ini, Yogyakarta, Kanisius.
-------------------------------------------------,
2008 Nota Pastoral: Melibatkan Anak dan Remaja untuk Pengembangan Umat,
Muntilan, DKP KAS.
Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang,
2007 Pedoman Pelaksanaan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang.
Sekretariat Kelompok Kerja Awamisasi Keuskupan Malang,
1985 Pesan MAWI mengenai Pastoral Liturgi, Seri KKA no. 25.
B. Buku
Budi Subanar, SJ, G,
2003 Soegija, Si Anak Betlehem van Java: Biografi Mgr. Albertus
Soegijapranata, SJ, Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
Da Cunha, Bosco,
1991 Pastoral Liturgi. Bimbingan Bagi Para Pelaksana Liturgi, Malang:
Dioma.
Dister, OFM, Nico syukur,
2004 Teologi Sistematika II , Yogyakarta, Kanisius.
Eddy Kristiyanto, A,
2002 Gagasan Yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV,
Yogyakarta: Kanisius.
Fink, Peter E (ed.),
1990 The New Dictionary of Sacramental Worship, Collegeville, The Liturgical
Press.
Fowler, James,
1981 Stages of Faith; the Psychology of Human Development and the Quest for
Meaning, Harper &Row, Cambridge.
Gitowiratmo, St,
2003 Seputar Dewan Paroki, Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
Heuken, SJ, A,
2004 Ensiklopedi Gereja, Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka.
Hamell, P.J,
1968 Introduction to Patrology, The Mercier Press, Cork (Ireland),
Hoffman, Elizabeth (ed.),
1999 The Liturgy Document, A Parish Resource, Chicago: Liturgy Training
Publication.
Jungmann J.A,
1962 Pastoral Liturgy, London: Challoner Publications Ltd.
Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang.,
2008 Berbagi 5 Roti & 2 Ikan: Ragam Jejak dan Tindak Lanjut Kongres
Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang, Semarang, Komlit
KAS.
Komisi Liturgi KAS,
2003 Liturgi dan Sekularisasi, Yogyakarta, Kanisius.
Klauser, Theodor,
1991 Sejarah Singkat Liturgi Barat, Yogyakarta: Kanisius,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
Komisi Liturgi KAS,
2008 Bersama Anak dan Remaja Berliturgi: Renungan Bulan Maria dan Bulan
Katekese Liturgi, Yogyakarta: Kanisius.
Konferensi Waligereja Indonesia,
2009 Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Yogyakarta, Kanisius.
Martasudjita, E,
1999 Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi, Yogyakarta,
Kanisius.
Martasudjita, E. (dkk.),
1999 Renungan Harian Bulan Maria: Keterlibatan Umat dalam Berliturgi,
Yogyakarta: Kanisius.
McBrien, Richard P. (ed.),
1989 The Harpercollins Encyclopedia of Catholicism, San Francisco,
Harpercollins.
Nurwidi, Pr, M,
2009 Eklesiologi Ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta, Kanisius,.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
O’Collins, Gerard dan Edward G. Farrugia,
1996 Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius.
Osborne, Kenan B.,
2007 Community, Eucharist, and Spirituality, Missouri: Liguori.
Prior, John Mansford,
1997 Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris, Jakarta: Grasindo.
Panitia Ulang Tahun Gereja Santo Yohanes Rasul Pringwulung
2007 10 tahun Gereja Santo Yohanes Rasul Pringwulung, Yogyakarta.
Raggio, Adolfo (ed.),
2000 The Parish Community, A Path to Parish Communion, New City Press:
Valenzuela (Philiphina).
Singarimbun, Masri &Sofian Effendi
1989 Metode Penelitian Survai (ed.), Jakarta: LPES.
Suwondo, Yudana,
2006 Makna Partisipasi Umat Dalam Liturgi dan Implikasi Pastoralnya untuk
Zaman Ini, Yogyakarta,FTW, Skripsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
Tukiran, Damianus,
2008, Handout Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, FTW.
Tim KAS,
1991 Garis-garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang,
Semarang, Keuskupan Agung Semarang.
White, James F,
1993 A Brief History of Christian Worship, Nashville, Abingdon Press.
Wainwright, Geoffrey dan Tucker, Karen B. Westerfield,
2006 The Oxford History of Christian Worship, Oxford: University Press.
C. Artikel
Adisusanto, FX,
1995 ” Katekese dan Liturgi”, dalam Umat Baru-165
Floristan, Casiano,
1984 “The Liturgy : The Place for Education in the Faith” dalam Concillium
Vol. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI