Bank syariah

52
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana ditentukan dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur tersebut berbagai upaya dilaksanakan oleh semua pihak termasuk perbankan nasional. Sementara itu pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi dan moneter telah menimpa negara kita yang menurut para pakar diakibatkan kombinasi dari dampak penularan eksternal dengan kelemahan internal dari struktur ekonomi, sosial dan politik. Kombinasi gejolak eksternal dan kelemahan internal ini telah mendorong krisis pada sektor keuangan dan sektor riil yang kemudian menimpa perbankan nasional. Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik 1

Transcript of Bank syariah

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya tujuan pembangunan nasional adalah

untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur

sebagaimana ditentukan dalam alinea ke empat Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa

pemerintah negara Republik Indonesia melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa,serta ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan masyarakat

adil dan makmur tersebut berbagai upaya dilaksanakan

oleh semua pihak termasuk perbankan nasional.

Sementara itu pada pertengahan tahun 1997 krisis

ekonomi dan moneter telah menimpa negara kita yang

menurut para pakar diakibatkan kombinasi dari dampak

penularan eksternal dengan kelemahan internal dari

struktur ekonomi, sosial dan politik. Kombinasi

gejolak eksternal dan kelemahan internal ini telah

mendorong krisis pada sektor keuangan dan sektor riil

yang kemudian menimpa perbankan nasional.

Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas

pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara

dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik

1

pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Asas yang

didepankan dalam ekonomi syariah adalah keadilan atau

kesetaraan hak dan kewajiban, peniadaan segala bentuk

penindasan atau penggerogotan terhadap pihak lain,

serta memiliki dimensi sosiologis. Pilar utama

perekonomian syariah adalah perbankan syariah.

Menurut Siamat (2005:407), perbankan syariah pada

dasarnya adalah sistem perbankan yang dalam usahanya

didasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah

Islam dengan mengacu kepada Al Qur’an dan Al Hadist. Maksud

dari sistem yang sesuai dengan syariah Islam adalah

beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syariah

Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat

misalnya dengan menjauhi praktik-praktik yang

mengandung unsur-unsur riba

dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi

hasilpembiayaan. Sedangkan kegiatan usaha dengan

mengacu pada Al Qur’an dan Al Hadist yang dimaksudkan

beroperasi mengikuti larangan dan perintah yang

terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul Muhammad SAW.

Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan

dengan praktik-praktik bank yang mengandung dan

menimbulkan unsur riba.

Karakteristik sistem perbankan syariah yang 

beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan

alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan

bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek

2

keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika,

mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan

dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif

dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam

produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan

skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan

syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang

kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan

masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Menurut Farouk (2010)

Disamping dilibatkannya Hukum Islam danpembebasan transaksi dari mekanisme bunga(interest free), posisi unik lainnya dari BankSyariah dibandingkan dengan bank konvensionaladalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukankegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal iniberkenaan dengan sifat dasar transaksi BankSyariah yang merupakan investasi dan jual beliserta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaanyang dapat dilakukan Bank Syariah, sepertipembiayaan dengan prinsip murabahah (jualbeli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina(sewa beli) dan lain-lain.

Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro,

meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen

keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara

sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan

harmonisasi di antara kedua sektor tersebut.

3

1.2 Rumusan Masalah

2. Bagaimanakah perkembangan sistem perbankan

syariah?

3. Apakah pengertian dan pengharaman riba?

4. Bagaimana sistem perbankan syariah di Indonesia?

5. Apakah pengertian Bank Syariah?

6. Bagaimanakah bentuk hukum, permodalan dan

kepemilikan Bank Syariah?

7. Bagaimanakah dewan syariah nasional?

8. Bagaimanakah dewan pengawas syariah?

9. Bagaimanakah kepengurusan Bank Syariah?

10. Bagaimanakah unit usaha Bank Syariah?

11. Bagaimanakah sumber daya manusia Bank

Syariah?

12. Apa sajakah kegiatan usaha Bank Syariah?

13. Bagaimana penghimpunan dana Bank Syariah?

14. Bagaimanakah prinsip Al wadi’ah?

15. Bagaimanakah penyaluran dana pada Bank

Syariah?

16. Bagaimanakah prinsip sewa menyewa?

17. Bagaimanakah prinsip pinjam-meminjam

berdasarkan akad Al-Qardh?

18. Apa sajakah jasa-jasa Bank Syariah?

19. Apa saja kegiatan usaha lainnya pada Bank

Syariah?

20. Apakah perbedaan sistem bungadengan syariah?

4

Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada Buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri

Malang (UM, 2010).

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Sistem Perbankan Syariah (Siamat,

2005: 408-410)

Pada awalnya penerapan sitem, pembentukan lembaga

keuangan, serta penciptaan produk-produk syariah dalam

sistem keuangan dimaksudkan untuk menciptakan suatu

kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek

kehidupannya termasuk aspek ekonominya dengan

berlandaskan Al Qur’an dan As-Sunnah. Sistem perekonomian

Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sistem

syariah dewasa ini telah terintegrasi dan berinteraksi

dengan sistem perekonomian dunia.

Sistem syariah diyakini akan mampu menjadi sistem

alternatif untuk mengembalikan ekonomi Indonesia.

Dewasa ini selain produk perbankan syariah, produk-

5

produk keuangan syariah lainnya sudah memasuki sektor

perekonomian di berbagai negara, antara lain produk

pasar modal syariah (misalnya obligasi syariah), reksa

dana syariah, indeks syariah, dan di sektor industri

asuransi dikenal pula dengan asuransi berdasarkan

prinsip syariah Islam.

Pengembangan perbankan syariah di Indonesia

dimaksudkan antara lain untuk menyediakan alternatif

pelayanan kepada mayarakat baik dalam bentuk

penyimpanan dana atau jenis jasa, lainnya maupun berupa

pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.

Dalam upaya pengembangan Bank Syariah dijumpai

berbagai kendala, antara lain sebagai berikut :

a. Masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap jenis

operasi dan produk-produk yang ditawarkan oleh

bank-Bank Syariah.

b. Jumlah dan jaringan kantor Bank Syariah yang masih

terbatas sehingga menyulitkan masyarakat mengakses

pelayanan Bank Syariah

c. Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki

pemahaman dan pengalaman teknik perbankan syariah.

Gagasan atas adanya sitem perbankan syariah

pertama dikemukakan Majelis Ulama Indonesia di awal

tahun 1990 dalam Musyawarah Nasional ke IV.

Selanjutnya, dengan inisiatif beberapa pihak termasuk

Presiden Soeharto saat itu, pendirian bank syraiah

pertama, PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), diresmikan

6

dengan modal disetor berasal dari umat Islam sebesar Rp

106 miliar. Kantor-kantor cabang BMI saat ini telah

tersebar ke berbagai ibukota provinsi baik di Jawa dan

di luar Jawa.

Sosialisasi konsep bisnis syariah semakin gencar

dijalankan dengan dibentuknya Dewan syariah Nasional

(DSN), sebuah badan dibawah organisasi MUI yang

berwenang mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan

pelaksanaan bisnis syariah di Indonesia.

Pelaksanaan kegiatan perbankan syariah secara

teknis juga diatur oleh Bank Indonesia melalui beberapa

peraturan, antara lain:

a. PBI No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004

tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah.

b. PBI No.6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang

Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip

Syariah.

c. PBI No.5/9/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang

Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank

Syariah.

d. PBI No.5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003

Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank

Syariah.

e. PBI No.5/3/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang

Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah.

7

Sistem perbankan syariah ini bersifat universal.

Artinya, negara manapundapat melakukan dan mengadopsi

sistem perbankan syariah dalam hal:

a. Penetapan imbalan yang akan diberikan kepada

masyarakat sehubungan dengan penggunan dana

masyarakat yang dipercayakan kepadanya.

b. Penetapan imbalan yang akan diterima sehubungan

dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam

bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi

maupun modal kerja.

c. Penetapan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha

lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah.

2.2 Pengertian dan Pengharaman Riba (Siamat, 2005: 411-

412)

Beberapa sumber memberikan pengertian riba sebagai

pengenaan bunga oleh pemilik uang (lender) kepada

peminjam (borrower) dengan jumlah yang berlebihan. Riba

dapat pula diartikan sebagai tambahan atau kelebihan

yang dikenakan kepada peminjam (borrower).

Beberapa fatwa yang mendukung tentang hukum riba

dan pengharaman bunga dari semua jenis pinjaman antara

lain:

8

a. Organisasi Konferensi Islam (Keputusan No.10

Majelis Majma’ Fiqhi Islamy, Konferensi OKI 11,

tanggal 22-28 Desember 1985) menetapkan:

Setiap tambahan (bunga) atas hutang yang telah

jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu

membayarnya dan sebagai imbalan atas penundaannya

itu, demikian pula tambahan (bunga) atas pinjaman

yang ditetapkan diawal perjajian, maka kedua

bentuk ini adalah riba yang diharamkan dalam

syariat.

b. Rabithah Al-Alam Islami (keputusan No.6 Sidang ke-

9, Mekkah, 12-19 Rajab 1406 H) menetapkan:

Bunga Bank yang berlaku dalam erbankan

konvensional adalah riba yang diharamkan.

c. Majelis Ulama Indonesia, Ijtima Ulama Komisi Fatwa

Se-Indonesia, Jakarta, 16 Desember 2003

mengeluarkan fatwa mengenai bunga adalah riba.

Bunga (interest atau faidah) adalah tambahan yang

dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang

diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa

mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok

tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan

diperhitungkan secara pasti di muka. Sedangkan

riba diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan yang

terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang

diperjanjikan sebelumnya. Praktik pembungaan uang

oleh perbankan dinilai MUI memenuhi kriteria riba.

9

2.3 Sistem Perbankan Syariah Indonesia (Siamat, 2005:

412-413)

Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian

nasional yang berubah cepat, tantangan yang dinamis,

semakin kompleks, serta terintegrasi dengan

perekonomian internasional, diperlukan kebijakan

perbankan yang komprehensif, transparan, dan mengandung

kepastian hukum, antara lain berkaitan dengan

pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan,

perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank

Syariah. Dalam pendirian Bank Syariah diperlukan

dukungan permodalan yang kuat dan pemilik bank yang

layak serta kondisi keuangan yang sehat sehingga Bank

Syariah mampu bersaing dalam dunia perbankan

internasional. Selain permodalan yang kuat, bank perlu

didukung pula oleh pengurus. Dewan Pengawas Syariah,

dan pejabat yang mampu dan kompeten untuk mengelola

bank secara sehat. Sementara itu, penambahan jaringan

Bank Syariah dimungkinkan untuk memperluas jangkauan

layanan melalui perbankan unit pelayanan syariah dengan

tetap. Memperhatikan rencana kerja bank, dan kelayakan,

serta kemampuan keuangan bank. Dalam rangka mendukung

kebijakan yang transparan dan mengandung keastian

hukum, diperlukan pengaturan secara jelas tentang

kelembagaan Bank Syariah. Sementara itu dalam rangka

kepastian hukum perlu dicantumkan sangsi yang tegas dan

10

transparan terhadap Bank Syariah dan atau pihak lain

yang melanggar ketentuan.

2.4 Pengertian Bank Syariah (Siamat, 2005: 413-414)

Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dimaksud

dalam UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang saat

ini telah diubah dengan UU no.10 tahun1998 yang

melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,

termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank

asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah.

Sedangkan yang dimaksud dengan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah menurut Pasal 1 angka 13

Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang

saat ini telah diubah dengan undang-undang Nomor 10

Tahun 1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum

Islam antara lainnya yang dinyatakan sesuai dengan

syariah, antara lain:

a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

(mudharabah);

b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal

(musharakah);

c. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh

keuntungan (murabahah), atau

d. Pembiayaan barang mdoal berdasarkan sewa murni

tanpa pilihan (ijarah); atau

11

e. Dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas

barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain

(ijarah wa iqtina).

2.5 Bentuk Hukum, Permodalan dan Kepemilikan (Siamat,

2005: 414-415)

Berdasarkan UU perbankan, bentuk hukum Bank

Syariah dapat berupa:

a. Perseroan Terbatas

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan Daerah

Modal disetor untuk mendirikan Bank Syariah

ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp

3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Pendirian

Bank Syariah hanya dapat dilakukan oleh:

a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum

Indonesia; atau

b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum

Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan

hukum asing secara kemitraan.

Sedangkan kepemilikan yang berasal dari warga

negara asing dan atau badan hukum asing setinggi-

tingginya sebesar 99% dari modal disetor Bank.

Sementara kepemilikan Bank oleh badan hukum

Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar modal

bersih sendiri dari badan hukum yang bersangkutan. Dana

yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang

bersumber dari:

12

a. Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk

apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan atau

b. Sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah,

termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang

(money laundering).

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia,

yang dapat menjadi pemilik bank adalah pihak-pihak

yang:

a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang

dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus

bank, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia,

b. Menurut penilaian Bank Indonesia, yang

bersangkutan memiliki integritas yang baik yaitu

antara lain adalah pihak-pihak yang:

Memiliki akhlak dan moral yang baik;

Mematuhi peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

Memiliki komitmen yang tinggi terhadap

pengembangan operasional Bank yang sehat.

c. Pemegang Saham Pengendali wajib memenuhi

persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk

mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang

dihadapi Bank dalam menjalankan kegiata usahanya.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, bank yang telah

mendapat izin beroperasi sebagai Bank Syariah dilarang

melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional

13

dan dilarang mengubah kegiatan usaha menjadi bank

konvensional.

2.6 Dewan Syariah Nasional (Siamat, 2005: 415-416)

Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas

menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam

kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan

pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan

reksa dana. Anggota DSN terdiri dari para ulama,

praktisi, dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait

dengan perekonomian dan syariah muamalah.

2.6.1 Pembentukan dan Kewenangan

DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai

kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis

kegiatan,produk dan jasa keuangan syariah; serta

mengawasi fatwa yang dimaksud oleh lembaga-lembaga

keuangan syariah di Indonesia. Disamping itu, DSN juga

mempunyai kewenangan untuk:

a. Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama

yang akan duduk sebagai anggota Dewan Pengawas

Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syariah,

termasuk bank, asuransi, dan reksa dana.

b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-

masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar

tindakan hukum pihak terkait

14

c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi

ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang

berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM

d. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan

syariah untuk mengehentikan penyimpangan dari

fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.

e. Mengusulkan pada pihak yang berwenang untuk

mengambil tindakan apabila peringatan tidak

dipindahkan.

2.6.2 Tugas-tugas Dewan Syariah Nasional

a. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah

agar sesuai dengan syariah Islam

b. Menyusun guidelines atau panduan produk syariah yang

bersumber dari hukum Islam yang dijadikan dasar

pengawasan bagi dewan pengawas syariah lembaga-

lembaga keuangan syariah.

c. Memebrei rekomendasi para ulama yang akan

ditugaskan menjadi dewan pengawas syariah pada

suatu lembaga keuangan syariah

d. Meneliti dan memeberi fatwa terhadap produk-produk

yang dikembangkan lembaga keuangan syariah.

2.7 Dewan Pengawas Syariah (DPS) (Siamat, 2005: 416-

417)

Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan

pengawasan terhadap prinsip syariah, alam kegiatan

usaha Bank Syariah.

2.7.1 Keanggotaan

15

Jumlah anggota pengawas syariah sekurang-kurangnya

2 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang. Anggota DPS

hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS

sebanyak-banyaknya pada dua bank lain dan dua lembaga

bank keuangan syariah bukan bank dan merangkap jabatan

sebagai anggota dewan syariah nasional. Anggota DPS

berdasarkan peraturan Bank Indonesia digolongkan

sebagai pihak terafiliasi.

2.7.2 Persyaratan keanggotaan

a. Syarat latregitas

Anggota dewan pengawas Bank Syariah yang memenuhi

persyaratan intregitas adalah:

Memiliki akhlak moral yang baik

Memiliki komitmen untuk memenuhi peraturan

perundang-undangan yang berlaku

Memiliki komitmen yang tinggi terhadap

pengembangan operasional Bank Syariah yang

sehat

Tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai

dengan ketentuan yang ditetakan oleh Bank

Indonesia.

b. Syarat kompetensi: adalah yang memiliki

pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah

muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan atau

keuangan secara umum

c. Syarat reputasi :

16

Tidak termasuk dalam kredit atau pembiayaan

macet

Tidak ernah dikatakan pailit atau menjadi

direksi atau komisaris

Tidak dinyatakan bersalah menyebabkan suatu

perseroan dinyatakan ailit dalam waktu 5 tahun

Sebelum dicalonkan

2.7.3 Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas

Syariah

a. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegoatan

oerasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan

oleh dewan syariah nasional

b. Menilai aspek syariah terhadap pedoman oerasional

dan roduk yang dikeluarkan bank

c. Memberikan opini dari asek syariah terhadap

pelaksanaan oerasional bank secara keseluruhan

dalam laoran publikasi Bank Syariah

d. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa

untuk dimintakan fatwa terhadap DSM

e. Menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah

sekurang-kurangnya setiap 6 bulan terhadap

direksi, komisaris, dewan syarian nasional dan

Bank Syariah

2.8 Pengurus Bank Syariah (Siamat, 2005: 417-418)

Kepengurusan Bank Syariah terdiri dari direksi dan

dewan komisaris dan atau bentuk lain yang dipersamakan

17

dengan itu. Keduanya wajib memenuhi persyaratan sebagai

berikut :

a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang

dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia

b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan

memiliki kopetensi dan intregitas yang baik

c. Anggota direksi dan dewan komisaris Bank Syariah

yang memiliki kompetensi dan intregitas yang baik

adalah pihak-pihak yang :

Memiliki akhlak dan moral yang baik

Mematuhi peraturan perundang-undangan yang

berlaku

Memiliki komitmen yang tinggi dalam mengikuti

fatwa dewan syariah nasional

Memiliki kemampuan dalam menajalankan tugas dan

mengawasi kegiatan usaha Bank Syariah agra

sesuai dengan prinsip syariah

2.8.1 Dewan Direksi Dan Dewan Pengawas

Calon anggota direksi atau komisaris wajib

memeperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum

diangkat dan menduduki jabatannya oleh rapat umum

pemegang saham atau rapat anggota.

Bank Syariah wajib mengajukan calon anggota dewan

pengawas syariah untuk memeroleh :

a. Persetujuan Bank Indonesia

18

b. Penetapan dewan syariah nasional sebelum diangkat

dan menduduki jabatannya

Pejabat eksekutif

Pengangkatan atau penggantian pejabat eksekutif

atau pemimpin kantor cabang syariah wajib dilaporkan

oleh Bank Syariah kepada Bank Indonesia selambat-

lambatnya 10 hari setelah tanggal pengangkatan efektif,

disertai dengan:

a. Surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai

pejabat eksekutif atau pemimpin kantor cabang dari

direksi Bank Syariah

b. Dokumen mengenai identitas pejabat eksekutif atau

pemimpin kantor cabang Bank Syariah

2.9 Unit usaha syariah

Menurut Soemitra (2009:72) “Bank Syariah pada

dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank

konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dan

penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa

keuangan lainnya. Perbedaannya adalah seluruh kegiatan

usaha Bank Syariah didasarkan pada prinsip syariah”.

Kantor-kantor cabang-cabang syariah dari bank umum

konvensional pada dasarnya merupakan unit yang

mempunyai karakteristik kegiatan usaha yang berbeda,

serta mempunyai pencatatan dan pembukuan yang terpisah

dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh karena itu

dibutuhkan suatu unit kerja khusus yang disebut dengan

unit usaha syariah (UUS) yang berfungsi sebagai kantor

19

induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut

berada di kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang

anggota direksi atau pejabat satu tingkat dibawah

direksi. Secara umum tugas UUS mencakup :

a. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor

cabang syariah.

b. Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka

pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber

dari kantor-kantor cabang syariah.

c. Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh

kantor-kantor cabang syariah.

d. Melaksanakan tugas penatausahaan laporan keuangan

kantor-kantor cabang syariah.

2.10 Sumber Daya Manusia (Siamat, 2005: 419)

Kegiatan usaha bank secara umum menuntut adanya

profesionalisme yang tinggi guna mendukung proses

pengambilan keputusan dan pengendalian resiko usaha

sekecil mungkin. Sesuai dengan karakteristik kegiatan

usahanya, sumber daya manusia perbankan syariah selain

harus mempunyai kemampuan teknis di bidang perbankan

juga dituntut untuk memiliki pengetahuan mengenai

ketentuan dan prinsip syariah secara baik, serta

memiliki akhlak dan moral yang Islami. Akhlak dan moral

yang Islami dalam bekerja mempunyai empat ciri pokok

yaitu : shiddiq (benar dan jujur), tabligh (mengembangkan

lingkungan/bawahan menuju kebaikan), amanah (dapat

dipercaya), dan fathonah (komperten dan profesional)

20

keempat ciri pokok tersebut hendaknya dapat menjadi

ketentuan umum yang bersifat normatif dalam penetapan

kualitas sumber daya manusia baik pimpinan maupun

pelaksana pada bank syariah.

Secara khusus Bank Indonesia mengatur bahwa

pimpinan bank syariah dan pimpinan kantor cabang bank

syariah diharuskan memenuhi persyaratan sebagai berikut

:

a. Memiliki komitmen dalam menjalankan operasional

bank berdasarkan prinsip syariah secara konsisten.

b. Memiliki integritas dan moral yang baik.

c. Mempunyai pengalaman operasional perbankan syariah

atau telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan

perbankan syariah baik di dalam maupun di luar

negeri.

Oleh karena itu, bank syariah memerlukan

kepercayaan masyarakat bahwa dalam pelaksanaan kegiatan

usahanya tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip

syariah serta mempertimbangkan aspek sosio-kultural

masyarakat muslim Indonesia, maka sebaiknya dalam tahap

awal pengangkatan pimpinan unit usaha syariah dan

pimpinan kantor cabang syariah beragama Islam.

2.11 Kegiatan Usaha Bank Syariah (Siamat, 2005: 419)

Berdasarkan peraturan Bank Indonesia

Nomor:62/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang

Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

21

prinsip syariah, kegiatan usaha bank syariah dapat

dibedakan sebagai berikut :

a. Penghimpun dana (funding)

b. Penyaluran dana atau pembiayaan (financing)

c. Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan (bank

services)

2.12 Penghimpun Dana (Siamat, 2005: 420)

Penghimpun dana atau disebut juga funding adalah

kegiatan penarikan dana atau penghimpunan dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi

berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan kegiatan

penghimpunan dana dalam prinsip syariah dibedakan

antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan

simpanan yang mendapatkan imbalan. Dana simpanan atau

tabungan yang tidak memberikan imbalan bagi nasabah

dimaksudkan semata-mata hanya sebagai cara untuk

menyimpan atau menitipkan uang. Sementara simpanan

untuk tujuan investasi akan mendapatkan imbalan dari

bank. Bentuk simpanan manapun yang dipilih sangat

dipengaruhi oleh niat atau motif dari nasabah. Prinsip

operasional syariah yang diterapkan secara luas dalam

penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Al-Wadi’ah

dan Al-Mudharabah. Dengan demikian penghimpunan dana

bank syariah disesuaikan dengan prinsip yang

melandasinya.

Bentuk-bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah

dapat disebutkan sebagai berikut :

22

a. Giro berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah

b. Tabungan berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah dan atau Al-

Mudharabah

c. Deposito berjangka berdasarkan Prinsip Al-

Mudharabah

2.13 Prinsip Al-Wadi’ah (Siamat, 2005: 420-421)

Produk pendanaan pada bank syariah pada prinsipnya

tidak berbeda dengan produk pendanaan bank

konvensional. Namun yang membedakan adalah penggunaan

prinsip syariah yang menyertai masing-masing produk

pendanaan, misalnya bahwa giro dan tabungan pada

dasarnya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip Al-

Wadi’ah. Giro Al-Wadi’ah dan Tabungan Al-Wadi’ah adalah

simpanan atau titipan yang kedua-keduanya dapat ditarik

sewaktu-waktu. Prinsip titipan atau simpanan dalam

fiqih dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah. Al-Wadi’ah berarti

titipan murni dari nasabah kepada bank atau pihak lain

yang harus dijaga dan dikembalikan kepada penitip

(penabung) kapan saja ia inginkan.

Prinsip Al-Wadi’ah yang berlaku baik untuk simpanan

dalam bentuk giro maupun tabungan dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a. Berdasarkan karakteristik giro dan tabungan

menggunakan syariah Al-Wadi’ah yad dhamanah.

Artinya, bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan

kedua jenis sumber dana tersebut serta menjamin

23

simpanan dapat ditarik setiap saat oleh pemilik

dana (penabung).

b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dan

menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedangkan

pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau

menanggung kerugian.

c. Manfaat yang diperoleh pemilik dana (penabung)

adalah jaminan keamanan terhadap dana titipannya

serta fasilitas-fasilitas pelayanan giro dan

tabungan lainnya. Misalnya buku cek, biliyet giro

atau buku tabungan, serta kartu ATM.

d. Pada dasarnya bank dapat memberikan bonus kepada

pemilik dana namun tidak ada perjanjian di muka.

e. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang

isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan

dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak

bertentangan dengan prinsip syariah.

f. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat

mengenakan biaya administrasi. Untuk menghindari

riba, maka biaya administrasi harus dinyatakan

dengan nominal, bukan persentase.

2.13.1 Prinsip Al-Mudharabah

Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana

dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha

tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua

belah pihak berdasrkan nisbah yang telah disepakati

sebelumnya. Sementara Antonio (2001: ) mendefinisikan

24

Al-Mudharabah sebagai “akad kerja sama usaha antara dua

pihak dimana pihak pertama (shhibul maal) menyediakan

seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi

pengelola”. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi

menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Apabila terjadi kerugian, hal tersebut ditanggung oleh

pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat

kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu

diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola,

maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian

tersebut.

Produk pendanaan yang dapat menggunakan prinsip Al-

Mudharabah adalah tabungan dan deposito berjangka.

Selanjutnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh

pihak pemilik dana (penabung), prinsip Al-Mudharabah

dapat dibedakan dalam dua jenis sebagai berikut :

a. Mudharabah Mutlaqah

Mudharabah mutlaqah adalah kerjasama antara

pemilik dana (shahibul maal) dan mudharib (bank) yang

cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh

spesifikasi jenis usaha, waktu dan wilayah bisnis.

Artinya, pemilik dana memberikan bank kekuasaan yang

sangat besar dalam penggunaan dana simpananya kepada

mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip

mudharabah mutlaqah daoat diterapkan untuk pembukaan

rekening tabungan dan deposito berjangka. Ini

menyebabkan kemungkinan 2 (dua) jenis penghimpunan

25

dana berdasrkan prinsip syariah yaitu : Tabungan Al-

Mudhrabah dan Deposito Berjangka Al-Mudharabah.

Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi

bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.

Prinsip Al-Mudharabah yang berlaku baik untuk

tabungan maupun deposito berjangka adalah sebagai

berikut :

a.Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana

mengenai nisbah dan tatacara pemberian

keuntungan dana/atau perhitungan pembagian

keuntungan serta resiko yang dapat timbul

dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai

kesepakatan, maka hal tersebut harus

dicantumkan dalam akad.

b.Untuk tabungan mudharabah, bank dapat

memberikan buku tabungan sebagai bukti

penyimpanan, serta kartu ATM dan/atau alat

penarikan lainnya kepada penabung.

c.Bank wajib memberikan sertifikat atau bukti

simpanan kepada deposan bagi depositi

berjangka mudharabah.

d.Deposito berjangka mudharabah hanya dapat

dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang

disepakati.

e.Deposito yang diperpanjang setelah jatuh

tempo akan diperlakukan sama seperti deposito

baru, tetapi bila akad sudah dicantumkan

26

perpanjangan maka secara otomatis tidak perlu

dibuat akad baru.

f.Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan

dengan tabungan dan deposito tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip

syariah.

b. Mudharabah Muqayyadah

Jenis Mudharabah Al-Muqayyadah merupakan

simpanan dana khusus (restricted invesment) dimana

pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang

harus diikuti oleh bank. Mudharabah Al-Muqayyadah

merupakn kebalikan dari Mudharabah Mutlaqah dimana

mudharib (bank) dibatasi jenis usaha, waktu dan

tempat usaha.

Karakteristik jenis simpanan Mudharabah

Muqayyah ini adalah sebagai berikut :

a.Pemilik dana menetapkan syarat penyaluran

dana. Untuk itu bank wajib membuat akad yang

mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan

khusus.

b.Sebagai tanda bukti simpanan, bank

menerbitkan bukti simpanan khusus.

c.Bank wajib memisahkan dana dari rekening

simpanan khusus dengan dana dari rekening

lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos

tersendiri dalam rekening administratif.

27

d.Dana simpanan khusus harus disalurkan secara

langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh

pemilik dana.

2.14 Penyaluran Dana (Siamat, 2005: 423-430)

Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank

Syariah harus berpedoman pada prinsip hati-hati yang

diatur Bank Indonesia. Bank Syariah wajib untuk

meneliti secara seksama calon nasabah yang menerima

dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan

lain yang berkaitan dengan penyaluran dana perbankan

berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip

Bank Syariah.

Bank Syariah melaksanakan operasinya secara garis besar

dikelomokkan menjadi 4 yaitu :

a. Prinsip jual beli ( Bai’ )

b. Prinsip bagi hasil

c. Prinsip sewa menyewa ( ijarah )

d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh

Prinsip jual beli ( Bai’ )

Dalam penerapan prinsip Syariah terdapat 3 prinsip

jual beli bai’ yaitu :

a. Bai’ al Murabahah adalah transaksi jual beli barang

dengan keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi

kebutuhan barang oleh nasabahnya, bank membeli

barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi

barang yang dipesan, kemudian bank akan menjual

28

kembali barang kepada nasabah dengan diperoleh

marjin keuntungan yang disepakati.

Prinsip murabahah diterapkan dalam pembiayaan

pengadaan barang investasi. Skema paling banyak

digunakan karena sederhana dan menyerupai kredit

investasi pada bank konvensional. Skema murabahah

berguna bagi seorang yang membutuhkan barang

secara mendadak tapi kekuragan dana. Ia meminta

bank agar membiayai pembelian barang dsan membayar

sesuai kemampuan keuangannya.

Transaksi dengan prinsip Bai’ Al Murabahah dijelaskan

sebagai berikut :

PT anda Tbk membutuhkan mesin baru untuk

mengganti mesin lama yang sering rusak sehingga

menghambat produksi. Rencana pembelian mesin

tersebut terhalang jumlah cadangan pembelian mesin

baru hanya 300 juta rupiah. PT andaakn mengajukan

permohonan pembiayaan untuk jangka waktu 3 tahun

kepada PT Bank Syariah dengan menyampaikan

proposal dan spesifikasi serta proyeksi harga

mesin yang diinginkan. Bank Syariah akan membiayai

pengadaan mesin baru dengan harga 1 milyar rupiah,

sudah termasuk harga instalasi. Apabila asumsi

marjin keuntungan bank disepakati 15 % p.a dan PT

anda Tbk akan membiayai sebagian pembelian mesin

dengan menyetor 300 juta rupiah.

Perhitungan sebagai berikut :

29

Jumlah bembiayaan yang diberikan kepada

bank :

Rp 1.000.000.000 – Rp 300.000.000 = Rp

700.000.000

Margin keuntungan :

Rp 700.000.000 x 15% x 3 Tahun = Rp

315.000.000

Harga jual bank akan dihitung sebagai berikut

:

Harga beli mesin = Rp

1.000.000.000

Margin keuntungan = Rp

315.000.000

Harga jual bank = Rp

1.315.000.000

Uang muka = Rp 300.000.000

Sisa angsuran = Rp

1.015.000.000

Cicilan perbulan selama 36 bulan:

Rp 1.015.000.000 = Rp 28.194.445

36

30

NASABAHBANK

2. Akad JualBeli

1. Negosiasi &Persyaratan

Gambar 2.1 Proses Pembiayaan Al Murabahah(Sumber: Siamat 2005:424)

Syarat-syarat Ba’i al-Mudharabah :

Penjual member tahu biaya modal kepada

nasabah

Kontrak pertama harus sah sesuaidengan rukun

yang ditetapkan

Kontrak harus bebas dari riba

Penjual harus menyampaikan semua hal yang

berkaitan dengan pembelian, misalnya jika

pembelian dilakukan secara utang.

Manfaat Ba’i al-Mudharabah

Ba’i al-Mudharabah memberikan banyak manfaat

kepada bank syariah. Salah satu adalah adanya

keuntungan yang muncul dari selisih harga beli

dari penjual dengan harga jual kepada nasabah

(Antonio, 2001: 106)

b. Bai’ As-salam adalah pembelian suatu barang yang

penyerahan (delivery) dialakukan sedangkan hari

31

6. Bayar

3. Beli

SUPPLIERPENJUAL

4. Kirim

5. TerimaBarang &Dokumen

pembayarannya dilaksanakan di muka secara tunai.

Bai’ as-salam dalam perbankan biasanya

diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek

untuk produksi agribisnis atau hasil pertanian dan

industri. Barang dibeli harus diketahui secara

jelas jenis, macsm, ukuran, mutu, dan jumlahnya.

Harga jual disepakati dicantumkan dalam akad dan

tidak boleh berubah selama berlakunya akad.

Apabila barang yang diterima cacat atau tidak

sesuai dengan akad, maka penjual bertanggung jawab

dengan cara mengembalikan dana yang telah

diterima. Bank tidak memproduksi atau memiliki

persediaan atas barang yang dibeli atau pesanan

nasabah, kemungkinan bagi bank untuk melakukan

akad as-salam dengan pemasok, misalnya bulog,

pedagang pasar induk, atau rekanan lain. Mekanisme

transaksi as-salam disebut Pararel As-Salam.

Kita dapat perhatikan transaksi sebenarnya

sangat jelas perbadaannya. Dalam praktek ijon,

barang yang dibeli (diijon) tidak diukur secara

spesifik. Harga tidak ditentukan secara

transparan, cenderung sepihak,dan sangat

memberatkan pihak penjual sebagai pihak lemah.

Hasil panen ditentukan setelah panen. Sebaliknya,

dalam bai’ as-salam kesepakatan antara pembeli dan

penjual meliputi harga, ukuiran kuantitas,

kualitas, dan yang paling penting adalah harga

32

yang dibeli secara tunai. Sifat transaksi adalah

cenderung suka sama suka. Proses pembiayaan as-

salam dapat diuraikan sebagai berikut :

Gambar 2.2Proses Pembiayaan As-salam(Sumber: Siamat 2005:425)

c. Bai’ Al- Istishna merupakan kontrak penjualan antara

pembeli dan pembuat barang dengan cara tunai,

cicil atau ditangguhkan. Untuk melakukan hal ini

kita perlu membuat barang menerima pesanan dan

pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang

yang menerima pesanan dari pembeli. Sementara

dalam skim bai’ as-salam dilakukan secar tunai.

Skim istishna dalam Bank Syariah umumnya

33

NASABAHPENJUAL

PEMBELI4. Kirim

BANKSYARIAH

3. kirim 5. Bayar

1. Pemesananbarang nasabah& Bayar Tunai

2. Negosiasipesanandengan

Kriteria

diaplikasikan dalam perusahaan manufaktur industry

kecil menengah, dan kontruksi. Istishna

kriteriabarang pesanan harus jelas jenis, macam,

ukuran, mutu, dan jumlah.

Dalam pelaksanaan istishna dapat dilakukan

dalam 2 cara :

a. Pihak produsen ditentukan oleh bank dan pihak

produsen ditentukan oleh nasabah.

b. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut

harus ditentukan dimuka dalam akad, berdasarkan

kesepakatan ke dua belah pihak.

Proses pembiayaan Istishna’ dapat diuraikan sebagaimana

pada Gambar 2.3 gambar 2.4

Gambar 2.3 Proses Pembiayaan Istihna’ Produsen Pilihan Bank

(Sumber: Siamat 2005:426)

34

Nasabahkonsumen(pembeli)

Produsenpembuat

1. pesan

3. jual

Bankpenjual

2. beli

Gambar 2.4 Proses Pembiayaan Isthisna’ Produsen Pilihan Nasabah

(Sumber: Siamat 2005:427)

Prinsip bagi hasil

Dalam prinsip bagi hasil dibedakan menjadi jenis

akad :

a. Al – Musyarakah

Antonio (2003) mendefinisikan al- Musyawrakah

secara singkat namun jelas yaitu “akad kerja sama

antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha

tertentu di mana masing-masing pihak memeberikan

35

NASABAHKONSUMEN(PEMBELI)

PRODUSENWakil &

1. Pesan Beli

2. pesan &Beli

BANKPENJUAL3. jual

beli

kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan

bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung

bersama sesuai dengan kesepakatan”.

Bank Indonesia mendefinisikan Al-Musyarakah

sebagai suatu perjanjian pada pemilik modal atau

dana untuk mencapur dana atau modal pada usaha

tertentu. Musyawarah dalam perbankan diaplikasikan

untuk biaya proyek di mana nasabah bank sma-sama

menyediakan dana membiayai proyek. Modal disetor

berupa uang, barang perdagangan (trading asset),

property, equipment, atau intangible, dan barang-barang

lain dapat dinilaidengan uang. Setiap pemilik

modal berhak turut serta menentukan kebijakan

usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.

36

Nasabah ParsialAsset Value

Bank SyariahParsial

Pembayaran

PROYEK / USAHA

KEUNTUNGAN

Gambar 2.5 Skema Pembiayaan Al Musyarakah

(Sumber: Siamat 2005:428)

Gambar 2.5Skema Pembiayaan Al Musyarakah(Sumber: Siamat 2005:428)

Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan

proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan

seperti:

a. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi

b. Menjalankan proyek musyawarah dengan pihak lain

tanpa izin dari pemilik modal lainnya.

c. Memberi pinjaman kepada pihak lain.

Setiap pemilik modal dapat mengalihkan

penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. Setiap

pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama

apabila:

a. Menarik diri dari perserikatan

b. Meninggal dunia

c. Menjadi tidak cakap hukum

Jenis-jenis al- Musyarakah

1. Syirkah al’Inan adalah kerjasama antara dua pihak

atau lebih dimana masing-masingpihak menyerahkan

suatu bagian porsi/modal dan ikut aktif kerja.

2. Syirkah Mufawadhah adalah perjanjian kerjasama

antara dua pihak atau lebih dimana masing-

masing pihak meyerahkan bagian modal yang

37

Bagi Hasil KeuntunganSesuai porsi kontribusi

modal (nisbah)

jumlahnya sama besar dan ikut berpartisipasi

dalam pekerjaan.

3. Syirkah A’maal (Syirkah Abdan atau Sanaa’i) adalah

perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih

yang ememiliki keahlian atau profesi yang sama

untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dimana

keuntungan dibagi bersama.

4. Syirkah Wujuh adalah perjanjian kerjasama antara

dua pihak atau lebih, masing-masing memiliki

reputasi dan kepercayaan dalam melakukan suatu

usaha.

5. Syirkah Al-Mudharabah adalah perjanjian kerjasama

antara dua pihak atau lebih, pada pihak pertama

menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan

tenaga atau keahlian.

b. Al-Mudarabah adalah perjanjian kerjasama antara dua

pihak atau lebih, dimana salah satu pihak

menyediakan dana dan pihak lain menyediakan tenaga

dan keahlian.

Antonio Syafi’i mendefinisikan Al-Mudharabah

sebagai perjanjian kerjasama antara dua pihak,

dimana pihak pertama menyediakan kebutuhan modal,

sedangkan pihak lain menjadi pengelola.

Jenis-jenis Al-Mudharabah dibagi menjadi 2

yaitu :

Al-Mudharabah Muthlaqah

38

merupakan bentuk Mudharabah antara Shahibul Mal

(pemilik modal) dan Mudharib (bank). Shahibul

Mal memberikan hak yang sangat besar kapada

Mudharib untuk melakukan bisnis.

Implementasi konsep Al-Mudharabah Mutlaqah dalam

perbankan syariah sebagai berikut :

1. Jumlah modal diserahkan kepada nasabah untuk

mengelola modal berupa uang tunai.

2. Pengelolaan modal pembiayaan diperhitungkan

secara pendapatan proyek (revenue sharing),

keuntungan proyek (provit sharing).

3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan

dalam akad. Bank selaku pemilik modal

menanggung seluruh kerugian kecuali akibat

kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah.

4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap

pekerjaan tetapi tidak berhak mencampuri

urusan pekerjaan atau usaha nasabah.

Al-Mudharabah Muqayyadah

adalah kerjasama antara Shahibul Mal dan

Mudharib memberikan pembatasan kepada

Mudharib dalam melaksanakan bisnisnya.

Karakteristik Mudharabah Muqayyadah menerapkan

dalam perbankan syriah sama dengan

persyaratan mudharabah mutlaqah, perbedaannya

penyediaan modal hanya untuk kegiatan

39

tertentu dan syarat yang sepenuhnya

ditetapkan oleh bank.

Gambar 2.6 Proses Pembiayaan Al- Mudharabah

(Sumber: Siamat 2005:431)

Gambar 2.6 Proses Pembiayaan Al- Mudharabah(Sumber: Siamat 2005:431)

2.15 Prinsip Sewa Menyewa (Siamat, 2005: 431-432)

Dalam syariah Islam sewa menyewa dibedakan

berdasarkan akad yaitu :

a. Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau

menfaat atas suatu barang atau jasa dengan membayar

40

PERJANJIAN BAGIHASIL

MODAL

PEMBAGIANKEUNTUNGAN

PROYEK/USAHA

MUDHARIB BANK

Modal100%

NisbahY%

Pengembalian Modal

KEAHLIANKETERAMPI

NisbahX%

sewa dalam jangka waktu tertentutanpa diikuti

pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut.

b. Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit-Tamlik adalah perjanjian yang

merupakan kombinasi jual beli dan sewa menyewa suatu

barang antara bank dengan nasabah dimana nasabah

diberikan hak untuk membeli atau memiliki objek sewa

pada akhir akad.

Gambar 2.7 Proses Pembiayaan Al- Ijarah Al MuntahiyaBit-tamlik

(Sumber: Siamat 2005:432)

2.16 Prinsip Pinjam Meminjam Berdasarkan Akad Al-Qardh

(Siamat, 2005: 432-433)

41

PENJUALSUPPLIER

NASABAHOBJEKSEWA

BANK SYARIAH

B. Milik

3.Sewa

1. Butuh

Obje

A. Milik

2. BeliObjekSewa

Definisi Al-Qardh adalah penyediaan dana atau

tagihan antara bank syariah dengan pihak peminjam yang

mewajibkan wajib pihak peminjam melakukan pembayaran

atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu.

Penerapan prinsip Al-Qardh dalam perbankan syariah

dilakukan kepada orang yang sangat memerlukan dana.

Karena sifat sumber dana ini maka biasanya dana

tersebut digunakan untuk membantu golongan yang kurang

mampu. Jadi prinsip ini pada dasarnya dititik beratkan

pada fungsi sosial.

2.17 Jenis - Jenis Bank Syariah (Siamat, 2005: 433-

434)

1. Al-Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau

pemberian mandat. Dalam Al-Wakalah terjadi apabila

nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk

mewakili dirinya melakukan pekerjaan tertentu.

2. Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang

berutang kepada orang lain yang wajib

menanggungnya.

3. Al-Kafalah adalah garansi yang diberikan oleh

penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung

kawajiban pihak kedua apabila tertanggung tidak

dapat memenuhi kewajiban.

4. Al-Rahn adalah harta yang harus diserahkan oleh

peminjam senagai jaminan atas pinjaman yang

duterimanya dari bank.

42

Tujuan al-rahn adalah untuk membantu nasabah dalam

pembiayaan usaha.

Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :

a. Milik nasabah sendiri.

b. Jelas ukuran, sifat, jumlah, dan nilainya

ditentikan nilai riil pasar.

c. Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan

oleh bank.

2.18 Kegiatan Usaha Lainnya (Siamat, 2005: 435-436)

Bank Syariah dapat melakukan kegiatan usaha lain

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain :

a. Membeli, menjual, atas resiko sendiri dari surat

berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas desa.

b. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip

syariah.

c. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip

syariah.

d. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan

prinsip syariah.

e. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad

wakalah.

f. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan

akad sharf.

2.19 Perbedaan Sistem Bunga Dengan Syariah (Siamat,

2005: 436)

43

Pokok perbedaan Systembunga/konvensional

Prinsip syariahIslam

Dasarperjanjianpenentuan bungaatau imbalan

Tidak berdasarkankeuntunga ataukerugian

Berdasarkankeuntungan ataukerugian

Dasarperhitunganbunga atauimbalan

Presentasetertentu daripinjaman

Nisbah bagi hasilberdasarkankeuntungan yangdiperoleh

Kewajibanmembayarbungaatau imbalan

a. Tetap harusdibayarmeskipunusahanasabah rugi

b. Besarnyapembayaranbunga tetap

a. Imbalandibayar bilausahanasabahuntung. Bilamerugikerugianditanggungkedua pihak

b. Besarnyaimbalansesuaikeuntungan

PersyaratanjaminanObyek usahayang dibiayai

Mutlak diperlukanTidak adapembatasan jenisusaha sepanjangbankable

Tidak mutlakJenis usaha harussesuai syariah

Kedudukansystem bungaberdasarkansystem syariah

Pengenaan bungasifatnya haram

Pembayaranimbalan berdasarbagi hasil adalahhalal

Tabel 2.1 Perbedaan sistem bunga dengan prinsip syariah(Sumber: Siamat 2005:436)

44

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab II, penyusun

dapat mengambil kesimpulan:

1. Pengembangan perbankan syariah di Indonesia

dimaksudkan untuk menyediakan alternatif pelayanan

kepada mayarakat baik dalam bentuk penyimpanan

dana atau jenis jasa, lainnya maupun berupa

pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip

syariah.

2. Riba diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan yang

terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang

diperjanjikan sebelumnya. Praktik pembungaan uang

oleh perbankan dinilai MUI memenuhi kriteria riba.

3. Diperlukan kebijakan perbankan yang komprehensif,

transparan, dan mengandung kepastian hukum, antara

lain berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan

permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan,

serta perubahan kegiatan usaha Bank Syariah untuk

menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang

berubah cepat, tantangan yang dinamis, semakin

kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian

internasional,

4. Bank Syariah adalah bank umum yang melakukan

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,

termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank

45

asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah.

5. Berdasarkan UU perbankan, bentuk hukum Bank

Syariah dapat berupa:

a. Perseroan Terbatas

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan Daerah

Modal disetor untuk mendirikan Bank Syariah

ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp

3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah)

berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang dapat

menjadi pemilik bank adalah pihak-pihak yang:

a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang

dilarang menjadi pemegang saham dan atau

pengurus bank, sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia,

b. Menurut penilaian Bank Indonesia, yang

bersangkutan memiliki integritas yang baik

yaitu antara lain adalah pihak-pihak yang:

Memiliki akhlak dan moral yang baik;

Mematuhi peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

Memiliki komitmen yang tinggi terhadap

pengembangan operasional Bank yang sehat.

c. Pemegang Saham Pengendali wajib memenuhi

persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia

untuk mengatasi kesulitan permodalan dan

46

likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan

kegiata usahanya.

6. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas

menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah

dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan

sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha

bank, asuransi, dan reksa dana.

7. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan

pengawasan terhadap prinsip syariah, alam kegiatan

usaha Bank Syariah.

Jumlah anggota pengawas syariah sekurang-kurangnya

2 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang. Anggota

DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota

DPS sebanyak-banyaknya pada dua bank lain dan dua

lembaga bank keuangan syariah bukan bank dan

merangkap jabatan sebagai anggota dewan syariah

nasional.

8. Kepengurusan Bank Syariah terdiri dari direksi dan

dewan komisaris dan atau bentuk lain yang

dipersamakan dengan itu. Keduanya wajib memenuhi

persyaratan sebagai berikut :

a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang

dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus

bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia

47

b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang

bersangkutan memiliki kopetensi dan intregitas

yang baik

c. Anggota direksi dan dewan komisaris Bank

Syariah yang memiliki kompetensi dan intregitas

yang baik

9. Secara umum tugas UUS adalah:

a. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor

cabang syariah.

b. Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka

pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber

dari kantor-kantor cabang syariah.

c. Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari

seluruh kantor-kantor cabang syariah.

d. Melaksanakan tugas penatausahaan laporan

keuangan kantor-kantor cabang syariah.

10. Sesuai dengan karakteristik kegiatan

usahanya, sumber daya manusia perbankan syariah

selain harus mempunyai kemampuan teknis di bidang

perbankan juga dituntut untuk memiliki pengetahuan

mengenai ketentuan dan prinsip syariah secara

baik, serta memiliki akhlak dan moral yang Islami.

11. kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan

sebagai berikut :

a. Penghimpun dana (funding)

b. Penyaluran dana atau pembiayaan (financing)

48

c. Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan (bank

services)

12. Prinsip titipan atau simpanan dalam fiqhi

dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah. Al-Wadi’ah berarti

titipan murni dari nasabah kepada bank atau pihka

lain yang harus dijaga dan dikembalikan kepada

penitip (penabung) kapan saja ia inginkan

13. Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam

dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan

usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara

kedua belah pihak berdasrkan nisbah yang telah

disepakati sebelumnya.

14. Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank

Syariah harus berpedoman pada prinsip hati-hati

yang diatur Bank Indonesia. Bank Syariah wajib

untuk meneliti secara seksama calon nasabah yang

menerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang

sehat.

15. Dalam syariah Islam sewa menyewa dibedakan

berdasarkan akad yaitu :

a. Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna

atau menfaat atas suatu barang atau jasa dengan

membayar sewa dalam jangka waktu tertentu tanpa

diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang

tersebut.

b. Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit-Tamlik adalah

perjanjian yang merupakan kombinasi jual beli

49

dan sewa menyewa suatu barang antara bank

dengan nasabah dimana nasabah diberikan hak

untuk membeli atau memiliki objek sewa pada

akhir akad

16. Penerapan prinsip Al-Qardh dalam perbankan

syariah dilakukan kepada orang yang sangat

memerlukan dana. Karena sifat sumber dana ini maka

biasanya dana tersebut digunakan untuk membantu

golongan yang kurang mampu. Jadi prinsip ini pada

dasarnya dititik beratkan pada fungsi sosial.

17. Jenis-jenis Bank Syariah adalah sebagai

berikut:

a. Al-Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian,

atau pemberian mandat. Dalam Al-Wakalah terjadi

apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank

untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan

tertentu.

b. Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang

yang berutang kepada orang lain yang wajib

menanggungnya.

c. Al-Kafalah adalah garansi yang diberikan oleh

penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung

kawajiban pihak kedua apabila tertanggung tidak

dapat memenuhi kewajiban.

d. Al-Rahn adalah harta yang harus diserahkan oleh

peminjam senagai jaminan atas pinjaman yang

duterimanya dari bank.

50

18. Bank Syariah dapat melakukan kegiatan usaha

lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara

lain :

a. Membeli, menjual, atas resiko sendiri dari

surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan

atas desa.

b. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip

syariah.

c. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip

syariah.

d. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan

prinsip syariah.

e. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad

wakalah.

f. Melakukan kegiatan dalam valuta asing

berdasarkan akad sharf.

19. Beberapa perbedaan antara sistem bunga dengan

syariah antara lain:

a. Dasar perjanjian penentuan bunga atau imbalan

pada sistem bunga tidak berdasarkan keuntungan

atau kerugian, sedangkan syariah berdasarkan

keuntungan atau kerugian

b. Dasar perhitungan bunga atau imbalan pada

sistem bunga Presentase tertentu dari pinjaman,

sedangkan syariah nisbah bagi hasil berdasarkan

keuntungan yang diperoleh.

51

DAFTAR RUJUKAN

Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Edisi Pertama. Jakarta: Gema Insani

Farouk. P.U. 2010. Sejarah Perkembangan Hukum PerbankanSyariah Di Indonesia, (Online),(http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia), diakses 28februari 2012.

Siamat, D. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan KebijakanMoneter dan Perbankan. Edisi Kelima. Jakarta: LPFEUI

Soemitra, A. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. EdisiPertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya TulisIlmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir,Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: UniversitasNegeri Malang.

52