BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya tujuan pembangunan nasional adalah
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana ditentukan dalam alinea ke empat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
pemerintah negara Republik Indonesia melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa,serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan masyarakat
adil dan makmur tersebut berbagai upaya dilaksanakan
oleh semua pihak termasuk perbankan nasional.
Sementara itu pada pertengahan tahun 1997 krisis
ekonomi dan moneter telah menimpa negara kita yang
menurut para pakar diakibatkan kombinasi dari dampak
penularan eksternal dengan kelemahan internal dari
struktur ekonomi, sosial dan politik. Kombinasi
gejolak eksternal dan kelemahan internal ini telah
mendorong krisis pada sektor keuangan dan sektor riil
yang kemudian menimpa perbankan nasional.
Kemunduran ekonomi kapitalis yang menerapkan asas
pasar bebas dan ekonomi sosialis dengan kontrol negara
dalam perekonomian secara terpusat, merupakan titik
1
pijak bagi perkembangan ekonomi syariah. Asas yang
didepankan dalam ekonomi syariah adalah keadilan atau
kesetaraan hak dan kewajiban, peniadaan segala bentuk
penindasan atau penggerogotan terhadap pihak lain,
serta memiliki dimensi sosiologis. Pilar utama
perekonomian syariah adalah perbankan syariah.
Menurut Siamat (2005:407), perbankan syariah pada
dasarnya adalah sistem perbankan yang dalam usahanya
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah
Islam dengan mengacu kepada Al Qur’an dan Al Hadist. Maksud
dari sistem yang sesuai dengan syariah Islam adalah
beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syariah
Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat
misalnya dengan menjauhi praktik-praktik yang
mengandung unsur-unsur riba
dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi
hasilpembiayaan. Sedangkan kegiatan usaha dengan
mengacu pada Al Qur’an dan Al Hadist yang dimaksudkan
beroperasi mengikuti larangan dan perintah yang
terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul Muhammad SAW.
Penekanan dalam pelarangan tersebut terutama berkaitan
dengan praktik-praktik bank yang mengandung dan
menimbulkan unsur riba.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang
beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan
alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan
bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek
2
keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan
dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif
dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam
produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan
skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan
syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang
kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan
masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Menurut Farouk (2010)
Disamping dilibatkannya Hukum Islam danpembebasan transaksi dari mekanisme bunga(interest free), posisi unik lainnya dari BankSyariah dibandingkan dengan bank konvensionaladalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukankegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal iniberkenaan dengan sifat dasar transaksi BankSyariah yang merupakan investasi dan jual beliserta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaanyang dapat dilakukan Bank Syariah, sepertipembiayaan dengan prinsip murabahah (jualbeli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina(sewa beli) dan lain-lain.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro,
meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen
keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara
sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan
harmonisasi di antara kedua sektor tersebut.
3
1.2 Rumusan Masalah
2. Bagaimanakah perkembangan sistem perbankan
syariah?
3. Apakah pengertian dan pengharaman riba?
4. Bagaimana sistem perbankan syariah di Indonesia?
5. Apakah pengertian Bank Syariah?
6. Bagaimanakah bentuk hukum, permodalan dan
kepemilikan Bank Syariah?
7. Bagaimanakah dewan syariah nasional?
8. Bagaimanakah dewan pengawas syariah?
9. Bagaimanakah kepengurusan Bank Syariah?
10. Bagaimanakah unit usaha Bank Syariah?
11. Bagaimanakah sumber daya manusia Bank
Syariah?
12. Apa sajakah kegiatan usaha Bank Syariah?
13. Bagaimana penghimpunan dana Bank Syariah?
14. Bagaimanakah prinsip Al wadi’ah?
15. Bagaimanakah penyaluran dana pada Bank
Syariah?
16. Bagaimanakah prinsip sewa menyewa?
17. Bagaimanakah prinsip pinjam-meminjam
berdasarkan akad Al-Qardh?
18. Apa sajakah jasa-jasa Bank Syariah?
19. Apa saja kegiatan usaha lainnya pada Bank
Syariah?
20. Apakah perbedaan sistem bungadengan syariah?
4
Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada Buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri
Malang (UM, 2010).
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Sistem Perbankan Syariah (Siamat,
2005: 408-410)
Pada awalnya penerapan sitem, pembentukan lembaga
keuangan, serta penciptaan produk-produk syariah dalam
sistem keuangan dimaksudkan untuk menciptakan suatu
kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan semua aspek
kehidupannya termasuk aspek ekonominya dengan
berlandaskan Al Qur’an dan As-Sunnah. Sistem perekonomian
Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sistem
syariah dewasa ini telah terintegrasi dan berinteraksi
dengan sistem perekonomian dunia.
Sistem syariah diyakini akan mampu menjadi sistem
alternatif untuk mengembalikan ekonomi Indonesia.
Dewasa ini selain produk perbankan syariah, produk-
5
produk keuangan syariah lainnya sudah memasuki sektor
perekonomian di berbagai negara, antara lain produk
pasar modal syariah (misalnya obligasi syariah), reksa
dana syariah, indeks syariah, dan di sektor industri
asuransi dikenal pula dengan asuransi berdasarkan
prinsip syariah Islam.
Pengembangan perbankan syariah di Indonesia
dimaksudkan antara lain untuk menyediakan alternatif
pelayanan kepada mayarakat baik dalam bentuk
penyimpanan dana atau jenis jasa, lainnya maupun berupa
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
Dalam upaya pengembangan Bank Syariah dijumpai
berbagai kendala, antara lain sebagai berikut :
a. Masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap jenis
operasi dan produk-produk yang ditawarkan oleh
bank-Bank Syariah.
b. Jumlah dan jaringan kantor Bank Syariah yang masih
terbatas sehingga menyulitkan masyarakat mengakses
pelayanan Bank Syariah
c. Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki
pemahaman dan pengalaman teknik perbankan syariah.
Gagasan atas adanya sitem perbankan syariah
pertama dikemukakan Majelis Ulama Indonesia di awal
tahun 1990 dalam Musyawarah Nasional ke IV.
Selanjutnya, dengan inisiatif beberapa pihak termasuk
Presiden Soeharto saat itu, pendirian bank syraiah
pertama, PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), diresmikan
6
dengan modal disetor berasal dari umat Islam sebesar Rp
106 miliar. Kantor-kantor cabang BMI saat ini telah
tersebar ke berbagai ibukota provinsi baik di Jawa dan
di luar Jawa.
Sosialisasi konsep bisnis syariah semakin gencar
dijalankan dengan dibentuknya Dewan syariah Nasional
(DSN), sebuah badan dibawah organisasi MUI yang
berwenang mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan
pelaksanaan bisnis syariah di Indonesia.
Pelaksanaan kegiatan perbankan syariah secara
teknis juga diatur oleh Bank Indonesia melalui beberapa
peraturan, antara lain:
a. PBI No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004
tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
b. PBI No.6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah.
c. PBI No.5/9/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bagi Bank
Syariah.
d. PBI No.5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank
Syariah.
e. PBI No.5/3/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Kualitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah.
7
Sistem perbankan syariah ini bersifat universal.
Artinya, negara manapundapat melakukan dan mengadopsi
sistem perbankan syariah dalam hal:
a. Penetapan imbalan yang akan diberikan kepada
masyarakat sehubungan dengan penggunan dana
masyarakat yang dipercayakan kepadanya.
b. Penetapan imbalan yang akan diterima sehubungan
dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam
bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi
maupun modal kerja.
c. Penetapan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha
lainnya yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah.
2.2 Pengertian dan Pengharaman Riba (Siamat, 2005: 411-
412)
Beberapa sumber memberikan pengertian riba sebagai
pengenaan bunga oleh pemilik uang (lender) kepada
peminjam (borrower) dengan jumlah yang berlebihan. Riba
dapat pula diartikan sebagai tambahan atau kelebihan
yang dikenakan kepada peminjam (borrower).
Beberapa fatwa yang mendukung tentang hukum riba
dan pengharaman bunga dari semua jenis pinjaman antara
lain:
8
a. Organisasi Konferensi Islam (Keputusan No.10
Majelis Majma’ Fiqhi Islamy, Konferensi OKI 11,
tanggal 22-28 Desember 1985) menetapkan:
Setiap tambahan (bunga) atas hutang yang telah
jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu
membayarnya dan sebagai imbalan atas penundaannya
itu, demikian pula tambahan (bunga) atas pinjaman
yang ditetapkan diawal perjajian, maka kedua
bentuk ini adalah riba yang diharamkan dalam
syariat.
b. Rabithah Al-Alam Islami (keputusan No.6 Sidang ke-
9, Mekkah, 12-19 Rajab 1406 H) menetapkan:
Bunga Bank yang berlaku dalam erbankan
konvensional adalah riba yang diharamkan.
c. Majelis Ulama Indonesia, Ijtima Ulama Komisi Fatwa
Se-Indonesia, Jakarta, 16 Desember 2003
mengeluarkan fatwa mengenai bunga adalah riba.
Bunga (interest atau faidah) adalah tambahan yang
dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok
tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan
diperhitungkan secara pasti di muka. Sedangkan
riba diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan yang
terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang
diperjanjikan sebelumnya. Praktik pembungaan uang
oleh perbankan dinilai MUI memenuhi kriteria riba.
9
2.3 Sistem Perbankan Syariah Indonesia (Siamat, 2005:
412-413)
Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian
nasional yang berubah cepat, tantangan yang dinamis,
semakin kompleks, serta terintegrasi dengan
perekonomian internasional, diperlukan kebijakan
perbankan yang komprehensif, transparan, dan mengandung
kepastian hukum, antara lain berkaitan dengan
pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan,
perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank
Syariah. Dalam pendirian Bank Syariah diperlukan
dukungan permodalan yang kuat dan pemilik bank yang
layak serta kondisi keuangan yang sehat sehingga Bank
Syariah mampu bersaing dalam dunia perbankan
internasional. Selain permodalan yang kuat, bank perlu
didukung pula oleh pengurus. Dewan Pengawas Syariah,
dan pejabat yang mampu dan kompeten untuk mengelola
bank secara sehat. Sementara itu, penambahan jaringan
Bank Syariah dimungkinkan untuk memperluas jangkauan
layanan melalui perbankan unit pelayanan syariah dengan
tetap. Memperhatikan rencana kerja bank, dan kelayakan,
serta kemampuan keuangan bank. Dalam rangka mendukung
kebijakan yang transparan dan mengandung keastian
hukum, diperlukan pengaturan secara jelas tentang
kelembagaan Bank Syariah. Sementara itu dalam rangka
kepastian hukum perlu dicantumkan sangsi yang tegas dan
10
transparan terhadap Bank Syariah dan atau pihak lain
yang melanggar ketentuan.
2.4 Pengertian Bank Syariah (Siamat, 2005: 413-414)
Bank Syariah adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang saat
ini telah diubah dengan UU no.10 tahun1998 yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank
asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
Sedangkan yang dimaksud dengan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah menurut Pasal 1 angka 13
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang
saat ini telah diubah dengan undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syariah, antara lain:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah);
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah);
c. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau
d. Pembiayaan barang mdoal berdasarkan sewa murni
tanpa pilihan (ijarah); atau
11
e. Dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
2.5 Bentuk Hukum, Permodalan dan Kepemilikan (Siamat,
2005: 414-415)
Berdasarkan UU perbankan, bentuk hukum Bank
Syariah dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah
Modal disetor untuk mendirikan Bank Syariah
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp
3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah). Pendirian
Bank Syariah hanya dapat dilakukan oleh:
a. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia; atau
b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan
hukum asing secara kemitraan.
Sedangkan kepemilikan yang berasal dari warga
negara asing dan atau badan hukum asing setinggi-
tingginya sebesar 99% dari modal disetor Bank.
Sementara kepemilikan Bank oleh badan hukum
Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar modal
bersih sendiri dari badan hukum yang bersangkutan. Dana
yang digunakan dalam rangka kepemilikan Bank dilarang
bersumber dari:
12
a. Pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan/atau pihak lain; dan atau
b. Sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah,
termasuk dari dan untuk tujuan pencucian uang
(money laundering).
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Bank Indonesia,
yang dapat menjadi pemilik bank adalah pihak-pihak
yang:
a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemegang saham dan atau pengurus
bank, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia,
b. Menurut penilaian Bank Indonesia, yang
bersangkutan memiliki integritas yang baik yaitu
antara lain adalah pihak-pihak yang:
Memiliki akhlak dan moral yang baik;
Mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional Bank yang sehat.
c. Pemegang Saham Pengendali wajib memenuhi
persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk
mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang
dihadapi Bank dalam menjalankan kegiata usahanya.
Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, bank yang telah
mendapat izin beroperasi sebagai Bank Syariah dilarang
melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional
13
dan dilarang mengubah kegiatan usaha menjadi bank
konvensional.
2.6 Dewan Syariah Nasional (Siamat, 2005: 415-416)
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan
pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi, dan
reksa dana. Anggota DSN terdiri dari para ulama,
praktisi, dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait
dengan perekonomian dan syariah muamalah.
2.6.1 Pembentukan dan Kewenangan
DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai
kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis
kegiatan,produk dan jasa keuangan syariah; serta
mengawasi fatwa yang dimaksud oleh lembaga-lembaga
keuangan syariah di Indonesia. Disamping itu, DSN juga
mempunyai kewenangan untuk:
a. Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama
yang akan duduk sebagai anggota Dewan Pengawas
Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syariah,
termasuk bank, asuransi, dan reksa dana.
b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-
masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak terkait
14
c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM
d. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan
syariah untuk mengehentikan penyimpangan dari
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
e. Mengusulkan pada pihak yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan tidak
dipindahkan.
2.6.2 Tugas-tugas Dewan Syariah Nasional
a. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah
agar sesuai dengan syariah Islam
b. Menyusun guidelines atau panduan produk syariah yang
bersumber dari hukum Islam yang dijadikan dasar
pengawasan bagi dewan pengawas syariah lembaga-
lembaga keuangan syariah.
c. Memebrei rekomendasi para ulama yang akan
ditugaskan menjadi dewan pengawas syariah pada
suatu lembaga keuangan syariah
d. Meneliti dan memeberi fatwa terhadap produk-produk
yang dikembangkan lembaga keuangan syariah.
2.7 Dewan Pengawas Syariah (DPS) (Siamat, 2005: 416-
417)
Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan
pengawasan terhadap prinsip syariah, alam kegiatan
usaha Bank Syariah.
2.7.1 Keanggotaan
15
Jumlah anggota pengawas syariah sekurang-kurangnya
2 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang. Anggota DPS
hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS
sebanyak-banyaknya pada dua bank lain dan dua lembaga
bank keuangan syariah bukan bank dan merangkap jabatan
sebagai anggota dewan syariah nasional. Anggota DPS
berdasarkan peraturan Bank Indonesia digolongkan
sebagai pihak terafiliasi.
2.7.2 Persyaratan keanggotaan
a. Syarat latregitas
Anggota dewan pengawas Bank Syariah yang memenuhi
persyaratan intregitas adalah:
Memiliki akhlak moral yang baik
Memiliki komitmen untuk memenuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional Bank Syariah yang
sehat
Tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai
dengan ketentuan yang ditetakan oleh Bank
Indonesia.
b. Syarat kompetensi: adalah yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah
muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan atau
keuangan secara umum
c. Syarat reputasi :
16
Tidak termasuk dalam kredit atau pembiayaan
macet
Tidak ernah dikatakan pailit atau menjadi
direksi atau komisaris
Tidak dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan dinyatakan ailit dalam waktu 5 tahun
Sebelum dicalonkan
2.7.3 Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah
a. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegoatan
oerasional bank terhadap fatwa yang dikeluarkan
oleh dewan syariah nasional
b. Menilai aspek syariah terhadap pedoman oerasional
dan roduk yang dikeluarkan bank
c. Memberikan opini dari asek syariah terhadap
pelaksanaan oerasional bank secara keseluruhan
dalam laoran publikasi Bank Syariah
d. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa
untuk dimintakan fatwa terhadap DSM
e. Menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah
sekurang-kurangnya setiap 6 bulan terhadap
direksi, komisaris, dewan syarian nasional dan
Bank Syariah
2.8 Pengurus Bank Syariah (Siamat, 2005: 417-418)
Kepengurusan Bank Syariah terdiri dari direksi dan
dewan komisaris dan atau bentuk lain yang dipersamakan
17
dengan itu. Keduanya wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia
b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan
memiliki kopetensi dan intregitas yang baik
c. Anggota direksi dan dewan komisaris Bank Syariah
yang memiliki kompetensi dan intregitas yang baik
adalah pihak-pihak yang :
Memiliki akhlak dan moral yang baik
Mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Memiliki komitmen yang tinggi dalam mengikuti
fatwa dewan syariah nasional
Memiliki kemampuan dalam menajalankan tugas dan
mengawasi kegiatan usaha Bank Syariah agra
sesuai dengan prinsip syariah
2.8.1 Dewan Direksi Dan Dewan Pengawas
Calon anggota direksi atau komisaris wajib
memeperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum
diangkat dan menduduki jabatannya oleh rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota.
Bank Syariah wajib mengajukan calon anggota dewan
pengawas syariah untuk memeroleh :
a. Persetujuan Bank Indonesia
18
b. Penetapan dewan syariah nasional sebelum diangkat
dan menduduki jabatannya
Pejabat eksekutif
Pengangkatan atau penggantian pejabat eksekutif
atau pemimpin kantor cabang syariah wajib dilaporkan
oleh Bank Syariah kepada Bank Indonesia selambat-
lambatnya 10 hari setelah tanggal pengangkatan efektif,
disertai dengan:
a. Surat pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai
pejabat eksekutif atau pemimpin kantor cabang dari
direksi Bank Syariah
b. Dokumen mengenai identitas pejabat eksekutif atau
pemimpin kantor cabang Bank Syariah
2.9 Unit usaha syariah
Menurut Soemitra (2009:72) “Bank Syariah pada
dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank
konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dan
penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa
keuangan lainnya. Perbedaannya adalah seluruh kegiatan
usaha Bank Syariah didasarkan pada prinsip syariah”.
Kantor-kantor cabang-cabang syariah dari bank umum
konvensional pada dasarnya merupakan unit yang
mempunyai karakteristik kegiatan usaha yang berbeda,
serta mempunyai pencatatan dan pembukuan yang terpisah
dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu unit kerja khusus yang disebut dengan
unit usaha syariah (UUS) yang berfungsi sebagai kantor
19
induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut
berada di kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang
anggota direksi atau pejabat satu tingkat dibawah
direksi. Secara umum tugas UUS mencakup :
a. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor
cabang syariah.
b. Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka
pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber
dari kantor-kantor cabang syariah.
c. Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh
kantor-kantor cabang syariah.
d. Melaksanakan tugas penatausahaan laporan keuangan
kantor-kantor cabang syariah.
2.10 Sumber Daya Manusia (Siamat, 2005: 419)
Kegiatan usaha bank secara umum menuntut adanya
profesionalisme yang tinggi guna mendukung proses
pengambilan keputusan dan pengendalian resiko usaha
sekecil mungkin. Sesuai dengan karakteristik kegiatan
usahanya, sumber daya manusia perbankan syariah selain
harus mempunyai kemampuan teknis di bidang perbankan
juga dituntut untuk memiliki pengetahuan mengenai
ketentuan dan prinsip syariah secara baik, serta
memiliki akhlak dan moral yang Islami. Akhlak dan moral
yang Islami dalam bekerja mempunyai empat ciri pokok
yaitu : shiddiq (benar dan jujur), tabligh (mengembangkan
lingkungan/bawahan menuju kebaikan), amanah (dapat
dipercaya), dan fathonah (komperten dan profesional)
20
keempat ciri pokok tersebut hendaknya dapat menjadi
ketentuan umum yang bersifat normatif dalam penetapan
kualitas sumber daya manusia baik pimpinan maupun
pelaksana pada bank syariah.
Secara khusus Bank Indonesia mengatur bahwa
pimpinan bank syariah dan pimpinan kantor cabang bank
syariah diharuskan memenuhi persyaratan sebagai berikut
:
a. Memiliki komitmen dalam menjalankan operasional
bank berdasarkan prinsip syariah secara konsisten.
b. Memiliki integritas dan moral yang baik.
c. Mempunyai pengalaman operasional perbankan syariah
atau telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan
perbankan syariah baik di dalam maupun di luar
negeri.
Oleh karena itu, bank syariah memerlukan
kepercayaan masyarakat bahwa dalam pelaksanaan kegiatan
usahanya tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip
syariah serta mempertimbangkan aspek sosio-kultural
masyarakat muslim Indonesia, maka sebaiknya dalam tahap
awal pengangkatan pimpinan unit usaha syariah dan
pimpinan kantor cabang syariah beragama Islam.
2.11 Kegiatan Usaha Bank Syariah (Siamat, 2005: 419)
Berdasarkan peraturan Bank Indonesia
Nomor:62/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang
Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
21
prinsip syariah, kegiatan usaha bank syariah dapat
dibedakan sebagai berikut :
a. Penghimpun dana (funding)
b. Penyaluran dana atau pembiayaan (financing)
c. Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan (bank
services)
2.12 Penghimpun Dana (Siamat, 2005: 420)
Penghimpun dana atau disebut juga funding adalah
kegiatan penarikan dana atau penghimpunan dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi
berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan kegiatan
penghimpunan dana dalam prinsip syariah dibedakan
antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan
simpanan yang mendapatkan imbalan. Dana simpanan atau
tabungan yang tidak memberikan imbalan bagi nasabah
dimaksudkan semata-mata hanya sebagai cara untuk
menyimpan atau menitipkan uang. Sementara simpanan
untuk tujuan investasi akan mendapatkan imbalan dari
bank. Bentuk simpanan manapun yang dipilih sangat
dipengaruhi oleh niat atau motif dari nasabah. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan secara luas dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Al-Wadi’ah
dan Al-Mudharabah. Dengan demikian penghimpunan dana
bank syariah disesuaikan dengan prinsip yang
melandasinya.
Bentuk-bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah
dapat disebutkan sebagai berikut :
22
a. Giro berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah
b. Tabungan berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah dan atau Al-
Mudharabah
c. Deposito berjangka berdasarkan Prinsip Al-
Mudharabah
2.13 Prinsip Al-Wadi’ah (Siamat, 2005: 420-421)
Produk pendanaan pada bank syariah pada prinsipnya
tidak berbeda dengan produk pendanaan bank
konvensional. Namun yang membedakan adalah penggunaan
prinsip syariah yang menyertai masing-masing produk
pendanaan, misalnya bahwa giro dan tabungan pada
dasarnya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip Al-
Wadi’ah. Giro Al-Wadi’ah dan Tabungan Al-Wadi’ah adalah
simpanan atau titipan yang kedua-keduanya dapat ditarik
sewaktu-waktu. Prinsip titipan atau simpanan dalam
fiqih dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah. Al-Wadi’ah berarti
titipan murni dari nasabah kepada bank atau pihak lain
yang harus dijaga dan dikembalikan kepada penitip
(penabung) kapan saja ia inginkan.
Prinsip Al-Wadi’ah yang berlaku baik untuk simpanan
dalam bentuk giro maupun tabungan dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Berdasarkan karakteristik giro dan tabungan
menggunakan syariah Al-Wadi’ah yad dhamanah.
Artinya, bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan
kedua jenis sumber dana tersebut serta menjamin
23
simpanan dapat ditarik setiap saat oleh pemilik
dana (penabung).
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dan
menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedangkan
pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau
menanggung kerugian.
c. Manfaat yang diperoleh pemilik dana (penabung)
adalah jaminan keamanan terhadap dana titipannya
serta fasilitas-fasilitas pelayanan giro dan
tabungan lainnya. Misalnya buku cek, biliyet giro
atau buku tabungan, serta kartu ATM.
d. Pada dasarnya bank dapat memberikan bonus kepada
pemilik dana namun tidak ada perjanjian di muka.
e. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang
isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan
dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
f. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat
mengenakan biaya administrasi. Untuk menghindari
riba, maka biaya administrasi harus dinyatakan
dengan nominal, bukan persentase.
2.13.1 Prinsip Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana
dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua
belah pihak berdasrkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. Sementara Antonio (2001: ) mendefinisikan
24
Al-Mudharabah sebagai “akad kerja sama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (shhibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola”. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Apabila terjadi kerugian, hal tersebut ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola,
maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Produk pendanaan yang dapat menggunakan prinsip Al-
Mudharabah adalah tabungan dan deposito berjangka.
Selanjutnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
pihak pemilik dana (penabung), prinsip Al-Mudharabah
dapat dibedakan dalam dua jenis sebagai berikut :
a. Mudharabah Mutlaqah
Mudharabah mutlaqah adalah kerjasama antara
pemilik dana (shahibul maal) dan mudharib (bank) yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan wilayah bisnis.
Artinya, pemilik dana memberikan bank kekuasaan yang
sangat besar dalam penggunaan dana simpananya kepada
mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip
mudharabah mutlaqah daoat diterapkan untuk pembukaan
rekening tabungan dan deposito berjangka. Ini
menyebabkan kemungkinan 2 (dua) jenis penghimpunan
25
dana berdasrkan prinsip syariah yaitu : Tabungan Al-
Mudhrabah dan Deposito Berjangka Al-Mudharabah.
Berdasrkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi
bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Prinsip Al-Mudharabah yang berlaku baik untuk
tabungan maupun deposito berjangka adalah sebagai
berikut :
a.Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana
mengenai nisbah dan tatacara pemberian
keuntungan dana/atau perhitungan pembagian
keuntungan serta resiko yang dapat timbul
dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai
kesepakatan, maka hal tersebut harus
dicantumkan dalam akad.
b.Untuk tabungan mudharabah, bank dapat
memberikan buku tabungan sebagai bukti
penyimpanan, serta kartu ATM dan/atau alat
penarikan lainnya kepada penabung.
c.Bank wajib memberikan sertifikat atau bukti
simpanan kepada deposan bagi depositi
berjangka mudharabah.
d.Deposito berjangka mudharabah hanya dapat
dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang
disepakati.
e.Deposito yang diperpanjang setelah jatuh
tempo akan diperlakukan sama seperti deposito
baru, tetapi bila akad sudah dicantumkan
26
perpanjangan maka secara otomatis tidak perlu
dibuat akad baru.
f.Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan tabungan dan deposito tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
b. Mudharabah Muqayyadah
Jenis Mudharabah Al-Muqayyadah merupakan
simpanan dana khusus (restricted invesment) dimana
pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus diikuti oleh bank. Mudharabah Al-Muqayyadah
merupakn kebalikan dari Mudharabah Mutlaqah dimana
mudharib (bank) dibatasi jenis usaha, waktu dan
tempat usaha.
Karakteristik jenis simpanan Mudharabah
Muqayyah ini adalah sebagai berikut :
a.Pemilik dana menetapkan syarat penyaluran
dana. Untuk itu bank wajib membuat akad yang
mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan
khusus.
b.Sebagai tanda bukti simpanan, bank
menerbitkan bukti simpanan khusus.
c.Bank wajib memisahkan dana dari rekening
simpanan khusus dengan dana dari rekening
lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos
tersendiri dalam rekening administratif.
27
d.Dana simpanan khusus harus disalurkan secara
langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh
pemilik dana.
2.14 Penyaluran Dana (Siamat, 2005: 423-430)
Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank
Syariah harus berpedoman pada prinsip hati-hati yang
diatur Bank Indonesia. Bank Syariah wajib untuk
meneliti secara seksama calon nasabah yang menerima
dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan
lain yang berkaitan dengan penyaluran dana perbankan
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
Bank Syariah.
Bank Syariah melaksanakan operasinya secara garis besar
dikelomokkan menjadi 4 yaitu :
a. Prinsip jual beli ( Bai’ )
b. Prinsip bagi hasil
c. Prinsip sewa menyewa ( ijarah )
d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh
Prinsip jual beli ( Bai’ )
Dalam penerapan prinsip Syariah terdapat 3 prinsip
jual beli bai’ yaitu :
a. Bai’ al Murabahah adalah transaksi jual beli barang
dengan keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi
kebutuhan barang oleh nasabahnya, bank membeli
barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi
barang yang dipesan, kemudian bank akan menjual
28
kembali barang kepada nasabah dengan diperoleh
marjin keuntungan yang disepakati.
Prinsip murabahah diterapkan dalam pembiayaan
pengadaan barang investasi. Skema paling banyak
digunakan karena sederhana dan menyerupai kredit
investasi pada bank konvensional. Skema murabahah
berguna bagi seorang yang membutuhkan barang
secara mendadak tapi kekuragan dana. Ia meminta
bank agar membiayai pembelian barang dsan membayar
sesuai kemampuan keuangannya.
Transaksi dengan prinsip Bai’ Al Murabahah dijelaskan
sebagai berikut :
PT anda Tbk membutuhkan mesin baru untuk
mengganti mesin lama yang sering rusak sehingga
menghambat produksi. Rencana pembelian mesin
tersebut terhalang jumlah cadangan pembelian mesin
baru hanya 300 juta rupiah. PT andaakn mengajukan
permohonan pembiayaan untuk jangka waktu 3 tahun
kepada PT Bank Syariah dengan menyampaikan
proposal dan spesifikasi serta proyeksi harga
mesin yang diinginkan. Bank Syariah akan membiayai
pengadaan mesin baru dengan harga 1 milyar rupiah,
sudah termasuk harga instalasi. Apabila asumsi
marjin keuntungan bank disepakati 15 % p.a dan PT
anda Tbk akan membiayai sebagian pembelian mesin
dengan menyetor 300 juta rupiah.
Perhitungan sebagai berikut :
29
Jumlah bembiayaan yang diberikan kepada
bank :
Rp 1.000.000.000 – Rp 300.000.000 = Rp
700.000.000
Margin keuntungan :
Rp 700.000.000 x 15% x 3 Tahun = Rp
315.000.000
Harga jual bank akan dihitung sebagai berikut
:
Harga beli mesin = Rp
1.000.000.000
Margin keuntungan = Rp
315.000.000
Harga jual bank = Rp
1.315.000.000
Uang muka = Rp 300.000.000
Sisa angsuran = Rp
1.015.000.000
Cicilan perbulan selama 36 bulan:
Rp 1.015.000.000 = Rp 28.194.445
36
30
NASABAHBANK
2. Akad JualBeli
1. Negosiasi &Persyaratan
Gambar 2.1 Proses Pembiayaan Al Murabahah(Sumber: Siamat 2005:424)
Syarat-syarat Ba’i al-Mudharabah :
Penjual member tahu biaya modal kepada
nasabah
Kontrak pertama harus sah sesuaidengan rukun
yang ditetapkan
Kontrak harus bebas dari riba
Penjual harus menyampaikan semua hal yang
berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
Manfaat Ba’i al-Mudharabah
Ba’i al-Mudharabah memberikan banyak manfaat
kepada bank syariah. Salah satu adalah adanya
keuntungan yang muncul dari selisih harga beli
dari penjual dengan harga jual kepada nasabah
(Antonio, 2001: 106)
b. Bai’ As-salam adalah pembelian suatu barang yang
penyerahan (delivery) dialakukan sedangkan hari
31
6. Bayar
3. Beli
SUPPLIERPENJUAL
4. Kirim
5. TerimaBarang &Dokumen
pembayarannya dilaksanakan di muka secara tunai.
Bai’ as-salam dalam perbankan biasanya
diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek
untuk produksi agribisnis atau hasil pertanian dan
industri. Barang dibeli harus diketahui secara
jelas jenis, macsm, ukuran, mutu, dan jumlahnya.
Harga jual disepakati dicantumkan dalam akad dan
tidak boleh berubah selama berlakunya akad.
Apabila barang yang diterima cacat atau tidak
sesuai dengan akad, maka penjual bertanggung jawab
dengan cara mengembalikan dana yang telah
diterima. Bank tidak memproduksi atau memiliki
persediaan atas barang yang dibeli atau pesanan
nasabah, kemungkinan bagi bank untuk melakukan
akad as-salam dengan pemasok, misalnya bulog,
pedagang pasar induk, atau rekanan lain. Mekanisme
transaksi as-salam disebut Pararel As-Salam.
Kita dapat perhatikan transaksi sebenarnya
sangat jelas perbadaannya. Dalam praktek ijon,
barang yang dibeli (diijon) tidak diukur secara
spesifik. Harga tidak ditentukan secara
transparan, cenderung sepihak,dan sangat
memberatkan pihak penjual sebagai pihak lemah.
Hasil panen ditentukan setelah panen. Sebaliknya,
dalam bai’ as-salam kesepakatan antara pembeli dan
penjual meliputi harga, ukuiran kuantitas,
kualitas, dan yang paling penting adalah harga
32
yang dibeli secara tunai. Sifat transaksi adalah
cenderung suka sama suka. Proses pembiayaan as-
salam dapat diuraikan sebagai berikut :
Gambar 2.2Proses Pembiayaan As-salam(Sumber: Siamat 2005:425)
c. Bai’ Al- Istishna merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dan pembuat barang dengan cara tunai,
cicil atau ditangguhkan. Untuk melakukan hal ini
kita perlu membuat barang menerima pesanan dan
pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang
yang menerima pesanan dari pembeli. Sementara
dalam skim bai’ as-salam dilakukan secar tunai.
Skim istishna dalam Bank Syariah umumnya
33
NASABAHPENJUAL
PEMBELI4. Kirim
BANKSYARIAH
3. kirim 5. Bayar
1. Pemesananbarang nasabah& Bayar Tunai
2. Negosiasipesanandengan
Kriteria
diaplikasikan dalam perusahaan manufaktur industry
kecil menengah, dan kontruksi. Istishna
kriteriabarang pesanan harus jelas jenis, macam,
ukuran, mutu, dan jumlah.
Dalam pelaksanaan istishna dapat dilakukan
dalam 2 cara :
a. Pihak produsen ditentukan oleh bank dan pihak
produsen ditentukan oleh nasabah.
b. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut
harus ditentukan dimuka dalam akad, berdasarkan
kesepakatan ke dua belah pihak.
Proses pembiayaan Istishna’ dapat diuraikan sebagaimana
pada Gambar 2.3 gambar 2.4
Gambar 2.3 Proses Pembiayaan Istihna’ Produsen Pilihan Bank
(Sumber: Siamat 2005:426)
34
Nasabahkonsumen(pembeli)
Produsenpembuat
1. pesan
3. jual
Bankpenjual
2. beli
Gambar 2.4 Proses Pembiayaan Isthisna’ Produsen Pilihan Nasabah
(Sumber: Siamat 2005:427)
Prinsip bagi hasil
Dalam prinsip bagi hasil dibedakan menjadi jenis
akad :
a. Al – Musyarakah
Antonio (2003) mendefinisikan al- Musyawrakah
secara singkat namun jelas yaitu “akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu di mana masing-masing pihak memeberikan
35
NASABAHKONSUMEN(PEMBELI)
PRODUSENWakil &
1. Pesan Beli
2. pesan &Beli
BANKPENJUAL3. jual
beli
kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan”.
Bank Indonesia mendefinisikan Al-Musyarakah
sebagai suatu perjanjian pada pemilik modal atau
dana untuk mencapur dana atau modal pada usaha
tertentu. Musyawarah dalam perbankan diaplikasikan
untuk biaya proyek di mana nasabah bank sma-sama
menyediakan dana membiayai proyek. Modal disetor
berupa uang, barang perdagangan (trading asset),
property, equipment, atau intangible, dan barang-barang
lain dapat dinilaidengan uang. Setiap pemilik
modal berhak turut serta menentukan kebijakan
usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
36
Nasabah ParsialAsset Value
Bank SyariahParsial
Pembayaran
PROYEK / USAHA
KEUNTUNGAN
Gambar 2.5 Skema Pembiayaan Al Musyarakah
(Sumber: Siamat 2005:428)
Gambar 2.5Skema Pembiayaan Al Musyarakah(Sumber: Siamat 2005:428)
Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan
proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan
seperti:
a. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi
b. Menjalankan proyek musyawarah dengan pihak lain
tanpa izin dari pemilik modal lainnya.
c. Memberi pinjaman kepada pihak lain.
Setiap pemilik modal dapat mengalihkan
penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. Setiap
pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama
apabila:
a. Menarik diri dari perserikatan
b. Meninggal dunia
c. Menjadi tidak cakap hukum
Jenis-jenis al- Musyarakah
1. Syirkah al’Inan adalah kerjasama antara dua pihak
atau lebih dimana masing-masingpihak menyerahkan
suatu bagian porsi/modal dan ikut aktif kerja.
2. Syirkah Mufawadhah adalah perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau lebih dimana masing-
masing pihak meyerahkan bagian modal yang
37
Bagi Hasil KeuntunganSesuai porsi kontribusi
modal (nisbah)
jumlahnya sama besar dan ikut berpartisipasi
dalam pekerjaan.
3. Syirkah A’maal (Syirkah Abdan atau Sanaa’i) adalah
perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih
yang ememiliki keahlian atau profesi yang sama
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dimana
keuntungan dibagi bersama.
4. Syirkah Wujuh adalah perjanjian kerjasama antara
dua pihak atau lebih, masing-masing memiliki
reputasi dan kepercayaan dalam melakukan suatu
usaha.
5. Syirkah Al-Mudharabah adalah perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau lebih, pada pihak pertama
menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan
tenaga atau keahlian.
b. Al-Mudarabah adalah perjanjian kerjasama antara dua
pihak atau lebih, dimana salah satu pihak
menyediakan dana dan pihak lain menyediakan tenaga
dan keahlian.
Antonio Syafi’i mendefinisikan Al-Mudharabah
sebagai perjanjian kerjasama antara dua pihak,
dimana pihak pertama menyediakan kebutuhan modal,
sedangkan pihak lain menjadi pengelola.
Jenis-jenis Al-Mudharabah dibagi menjadi 2
yaitu :
Al-Mudharabah Muthlaqah
38
merupakan bentuk Mudharabah antara Shahibul Mal
(pemilik modal) dan Mudharib (bank). Shahibul
Mal memberikan hak yang sangat besar kapada
Mudharib untuk melakukan bisnis.
Implementasi konsep Al-Mudharabah Mutlaqah dalam
perbankan syariah sebagai berikut :
1. Jumlah modal diserahkan kepada nasabah untuk
mengelola modal berupa uang tunai.
2. Pengelolaan modal pembiayaan diperhitungkan
secara pendapatan proyek (revenue sharing),
keuntungan proyek (provit sharing).
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan
dalam akad. Bank selaku pemilik modal
menanggung seluruh kerugian kecuali akibat
kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah.
4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap
pekerjaan tetapi tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan atau usaha nasabah.
Al-Mudharabah Muqayyadah
adalah kerjasama antara Shahibul Mal dan
Mudharib memberikan pembatasan kepada
Mudharib dalam melaksanakan bisnisnya.
Karakteristik Mudharabah Muqayyadah menerapkan
dalam perbankan syriah sama dengan
persyaratan mudharabah mutlaqah, perbedaannya
penyediaan modal hanya untuk kegiatan
39
tertentu dan syarat yang sepenuhnya
ditetapkan oleh bank.
Gambar 2.6 Proses Pembiayaan Al- Mudharabah
(Sumber: Siamat 2005:431)
Gambar 2.6 Proses Pembiayaan Al- Mudharabah(Sumber: Siamat 2005:431)
2.15 Prinsip Sewa Menyewa (Siamat, 2005: 431-432)
Dalam syariah Islam sewa menyewa dibedakan
berdasarkan akad yaitu :
a. Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau
menfaat atas suatu barang atau jasa dengan membayar
40
PERJANJIAN BAGIHASIL
MODAL
PEMBAGIANKEUNTUNGAN
PROYEK/USAHA
MUDHARIB BANK
Modal100%
NisbahY%
Pengembalian Modal
KEAHLIANKETERAMPI
NisbahX%
sewa dalam jangka waktu tertentutanpa diikuti
pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut.
b. Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit-Tamlik adalah perjanjian yang
merupakan kombinasi jual beli dan sewa menyewa suatu
barang antara bank dengan nasabah dimana nasabah
diberikan hak untuk membeli atau memiliki objek sewa
pada akhir akad.
Gambar 2.7 Proses Pembiayaan Al- Ijarah Al MuntahiyaBit-tamlik
(Sumber: Siamat 2005:432)
2.16 Prinsip Pinjam Meminjam Berdasarkan Akad Al-Qardh
(Siamat, 2005: 432-433)
41
PENJUALSUPPLIER
NASABAHOBJEKSEWA
BANK SYARIAH
B. Milik
3.Sewa
1. Butuh
Obje
A. Milik
2. BeliObjekSewa
Definisi Al-Qardh adalah penyediaan dana atau
tagihan antara bank syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan wajib pihak peminjam melakukan pembayaran
atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Penerapan prinsip Al-Qardh dalam perbankan syariah
dilakukan kepada orang yang sangat memerlukan dana.
Karena sifat sumber dana ini maka biasanya dana
tersebut digunakan untuk membantu golongan yang kurang
mampu. Jadi prinsip ini pada dasarnya dititik beratkan
pada fungsi sosial.
2.17 Jenis - Jenis Bank Syariah (Siamat, 2005: 433-
434)
1. Al-Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat. Dalam Al-Wakalah terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk
mewakili dirinya melakukan pekerjaan tertentu.
2. Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya.
3. Al-Kafalah adalah garansi yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung
kawajiban pihak kedua apabila tertanggung tidak
dapat memenuhi kewajiban.
4. Al-Rahn adalah harta yang harus diserahkan oleh
peminjam senagai jaminan atas pinjaman yang
duterimanya dari bank.
42
Tujuan al-rahn adalah untuk membantu nasabah dalam
pembiayaan usaha.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
a. Milik nasabah sendiri.
b. Jelas ukuran, sifat, jumlah, dan nilainya
ditentikan nilai riil pasar.
c. Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan
oleh bank.
2.18 Kegiatan Usaha Lainnya (Siamat, 2005: 435-436)
Bank Syariah dapat melakukan kegiatan usaha lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain :
a. Membeli, menjual, atas resiko sendiri dari surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas desa.
b. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip
syariah.
c. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip
syariah.
d. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan
prinsip syariah.
e. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad
wakalah.
f. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan
akad sharf.
2.19 Perbedaan Sistem Bunga Dengan Syariah (Siamat,
2005: 436)
43
Pokok perbedaan Systembunga/konvensional
Prinsip syariahIslam
Dasarperjanjianpenentuan bungaatau imbalan
Tidak berdasarkankeuntunga ataukerugian
Berdasarkankeuntungan ataukerugian
Dasarperhitunganbunga atauimbalan
Presentasetertentu daripinjaman
Nisbah bagi hasilberdasarkankeuntungan yangdiperoleh
Kewajibanmembayarbungaatau imbalan
a. Tetap harusdibayarmeskipunusahanasabah rugi
b. Besarnyapembayaranbunga tetap
a. Imbalandibayar bilausahanasabahuntung. Bilamerugikerugianditanggungkedua pihak
b. Besarnyaimbalansesuaikeuntungan
PersyaratanjaminanObyek usahayang dibiayai
Mutlak diperlukanTidak adapembatasan jenisusaha sepanjangbankable
Tidak mutlakJenis usaha harussesuai syariah
Kedudukansystem bungaberdasarkansystem syariah
Pengenaan bungasifatnya haram
Pembayaranimbalan berdasarbagi hasil adalahhalal
Tabel 2.1 Perbedaan sistem bunga dengan prinsip syariah(Sumber: Siamat 2005:436)
44
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab II, penyusun
dapat mengambil kesimpulan:
1. Pengembangan perbankan syariah di Indonesia
dimaksudkan untuk menyediakan alternatif pelayanan
kepada mayarakat baik dalam bentuk penyimpanan
dana atau jenis jasa, lainnya maupun berupa
pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip
syariah.
2. Riba diartikan sebagai tambahan tanpa imbalan yang
terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang
diperjanjikan sebelumnya. Praktik pembungaan uang
oleh perbankan dinilai MUI memenuhi kriteria riba.
3. Diperlukan kebijakan perbankan yang komprehensif,
transparan, dan mengandung kepastian hukum, antara
lain berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan
permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan,
serta perubahan kegiatan usaha Bank Syariah untuk
menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
berubah cepat, tantangan yang dinamis, semakin
kompleks, serta terintegrasi dengan perekonomian
internasional,
4. Bank Syariah adalah bank umum yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,
termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank
45
asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
5. Berdasarkan UU perbankan, bentuk hukum Bank
Syariah dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah
Modal disetor untuk mendirikan Bank Syariah
ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp
3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah)
berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, yang dapat
menjadi pemilik bank adalah pihak-pihak yang:
a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemegang saham dan atau
pengurus bank, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia,
b. Menurut penilaian Bank Indonesia, yang
bersangkutan memiliki integritas yang baik
yaitu antara lain adalah pihak-pihak yang:
Memiliki akhlak dan moral yang baik;
Mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan operasional Bank yang sehat.
c. Pemegang Saham Pengendali wajib memenuhi
persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan
46
likuiditas yang dihadapi Bank dalam menjalankan
kegiata usahanya.
6. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah
dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha
bank, asuransi, dan reksa dana.
7. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan
pengawasan terhadap prinsip syariah, alam kegiatan
usaha Bank Syariah.
Jumlah anggota pengawas syariah sekurang-kurangnya
2 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang. Anggota
DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota
DPS sebanyak-banyaknya pada dua bank lain dan dua
lembaga bank keuangan syariah bukan bank dan
merangkap jabatan sebagai anggota dewan syariah
nasional.
8. Kepengurusan Bank Syariah terdiri dari direksi dan
dewan komisaris dan atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu. Keduanya wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang
dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus
bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia
47
b. Menurut penilaian Bank Indonesia yang
bersangkutan memiliki kopetensi dan intregitas
yang baik
c. Anggota direksi dan dewan komisaris Bank
Syariah yang memiliki kompetensi dan intregitas
yang baik
9. Secara umum tugas UUS adalah:
a. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor
cabang syariah.
b. Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka
pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber
dari kantor-kantor cabang syariah.
c. Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari
seluruh kantor-kantor cabang syariah.
d. Melaksanakan tugas penatausahaan laporan
keuangan kantor-kantor cabang syariah.
10. Sesuai dengan karakteristik kegiatan
usahanya, sumber daya manusia perbankan syariah
selain harus mempunyai kemampuan teknis di bidang
perbankan juga dituntut untuk memiliki pengetahuan
mengenai ketentuan dan prinsip syariah secara
baik, serta memiliki akhlak dan moral yang Islami.
11. kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan
sebagai berikut :
a. Penghimpun dana (funding)
b. Penyaluran dana atau pembiayaan (financing)
48
c. Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan (bank
services)
12. Prinsip titipan atau simpanan dalam fiqhi
dikenal dengan prinsip Al-Wadi’ah. Al-Wadi’ah berarti
titipan murni dari nasabah kepada bank atau pihka
lain yang harus dijaga dan dikembalikan kepada
penitip (penabung) kapan saja ia inginkan
13. Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam
dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan
usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara
kedua belah pihak berdasrkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya.
14. Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank
Syariah harus berpedoman pada prinsip hati-hati
yang diatur Bank Indonesia. Bank Syariah wajib
untuk meneliti secara seksama calon nasabah yang
menerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang
sehat.
15. Dalam syariah Islam sewa menyewa dibedakan
berdasarkan akad yaitu :
a. Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna
atau menfaat atas suatu barang atau jasa dengan
membayar sewa dalam jangka waktu tertentu tanpa
diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang
tersebut.
b. Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bit-Tamlik adalah
perjanjian yang merupakan kombinasi jual beli
49
dan sewa menyewa suatu barang antara bank
dengan nasabah dimana nasabah diberikan hak
untuk membeli atau memiliki objek sewa pada
akhir akad
16. Penerapan prinsip Al-Qardh dalam perbankan
syariah dilakukan kepada orang yang sangat
memerlukan dana. Karena sifat sumber dana ini maka
biasanya dana tersebut digunakan untuk membantu
golongan yang kurang mampu. Jadi prinsip ini pada
dasarnya dititik beratkan pada fungsi sosial.
17. Jenis-jenis Bank Syariah adalah sebagai
berikut:
a. Al-Wakalah adalah penyerahan, pendelegasian,
atau pemberian mandat. Dalam Al-Wakalah terjadi
apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
tertentu.
b. Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya.
c. Al-Kafalah adalah garansi yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung
kawajiban pihak kedua apabila tertanggung tidak
dapat memenuhi kewajiban.
d. Al-Rahn adalah harta yang harus diserahkan oleh
peminjam senagai jaminan atas pinjaman yang
duterimanya dari bank.
50
18. Bank Syariah dapat melakukan kegiatan usaha
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara
lain :
a. Membeli, menjual, atas resiko sendiri dari
surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan
atas desa.
b. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip
syariah.
c. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip
syariah.
d. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan
prinsip syariah.
e. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad
wakalah.
f. Melakukan kegiatan dalam valuta asing
berdasarkan akad sharf.
19. Beberapa perbedaan antara sistem bunga dengan
syariah antara lain:
a. Dasar perjanjian penentuan bunga atau imbalan
pada sistem bunga tidak berdasarkan keuntungan
atau kerugian, sedangkan syariah berdasarkan
keuntungan atau kerugian
b. Dasar perhitungan bunga atau imbalan pada
sistem bunga Presentase tertentu dari pinjaman,
sedangkan syariah nisbah bagi hasil berdasarkan
keuntungan yang diperoleh.
51
DAFTAR RUJUKAN
Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Edisi Pertama. Jakarta: Gema Insani
Farouk. P.U. 2010. Sejarah Perkembangan Hukum PerbankanSyariah Di Indonesia, (Online),(http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia), diakses 28februari 2012.
Siamat, D. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan KebijakanMoneter dan Perbankan. Edisi Kelima. Jakarta: LPFEUI
Soemitra, A. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. EdisiPertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya TulisIlmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir,Laporan Penelitian. Edisi Kelima. Malang: UniversitasNegeri Malang.
52
Top Related