BAB III METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY A. Biografi ...

32
1 BAB III METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY A. Biografi Amin Al-Khully Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi‟ Ibn Ismail Ibn Yusuf Al -Khully yang biasa dikenal dengan sebutan Amin Al-Khully. Ia adalah seorang pembaharu Islam yang lahir pada tanggal 1 Mei 1895 M di Munfiyya, sebuah kota kecil di daerah Mesir. ia berasal dari keluarga petani yang dikenal dengan pendekar Arab yang gagah berani dan kental akan nuansa keagamaannya. 1 Amin Al-Khully mendapat pendidikan di Kuttab dan disekolahkan di sekolah pemerintahan Cairo. 2 Ia tinggal bersama Syekh Ali Amir Al-Khully salah satu kakek dari pihak ibunya. ia adalah alumni al-Azhar dengan spealisasi ilmu Qira‟at yang terkenal dengan sebutan al-Shibi. 3 Pada usia tujuh tahun Amin Al-Khully tinggal bersama pamanya dan mendapat pendidikan agama yang sangat ketat. Di antara pendidikan itu adalah menghafal al- Qur‟an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-Jazariyah, Fiqih, dan nahwu. Al- syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Fiyah adalah kitab-kitab yang wajib dihafal oleh Amin Al-Khully, ia berhasil menghatamkan hafalan al-Qur‟annya khususnya dengan Qira‟ah Hafs dalam waktu yang singkat yaitu 18 bulan di usia sepuluh tahun. 4 Amin al-Khully masuk Madrasah al-Qissuni pada tahun 1907 dan melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Ustman Pasa selama tiga tahun. Syaikh „Abdul Rahmān Khalīfah salah seorang guru di Madrasah al-Qissuni menyarankannya untuk 1 Arthur Goldschmidt JR, Biographical Dictionary Of Modern Egypt, (London: Lynne Rienner Publishers, 2000) h.105 2 Ibid 3 Rizki Dimas, http://akuanaktafsir.blogspot.co.id/2013/10/tafsir-sastra-amin-al-khuli.html di unduh pada haru rabu 24 Agustus 2016 jam 05:58 4 Ibid

Transcript of BAB III METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY A. Biografi ...

1

BAB III

METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY

A. Biografi Amin Al-Khully

Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi‟ Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khully yang biasa

dikenal dengan sebutan Amin Al-Khully. Ia adalah seorang pembaharu Islam yang

lahir pada tanggal 1 Mei 1895 M di Munfiyya, sebuah kota kecil di daerah Mesir. ia

berasal dari keluarga petani yang dikenal dengan pendekar Arab yang gagah berani

dan kental akan nuansa keagamaannya.1

Amin Al-Khully mendapat pendidikan di Kuttab dan disekolahkan di sekolah

pemerintahan Cairo.2 Ia tinggal bersama Syekh Ali Amir Al-Khully salah satu

kakek dari pihak ibunya. ia adalah alumni al-Azhar dengan spealisasi ilmu Qira‟at

yang terkenal dengan sebutan al-Shibi.3

Pada usia tujuh tahun Amin Al-Khully tinggal bersama pamanya dan mendapat

pendidikan agama yang sangat ketat. Di antara pendidikan itu adalah menghafal al-

Qur‟an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-Jazariyah, Fiqih, dan nahwu. Al-

syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Fiyah adalah kitab-kitab yang wajib

dihafal oleh Amin Al-Khully, ia berhasil menghatamkan hafalan al-Qur‟annya

khususnya dengan Qira‟ah Hafs dalam waktu yang singkat yaitu 18 bulan di usia

sepuluh tahun.4

Amin al-Khully masuk Madrasah al-Qissuni pada tahun 1907 dan melanjutkan

sekolahnya ke Madrasah Ustman Pasa selama tiga tahun. Syaikh „Abdul Rahmān

Khalīfah salah seorang guru di Madrasah al-Qissuni menyarankannya untuk

1 Arthur Goldschmidt JR, Biographical Dictionary Of Modern Egypt, (London: Lynne

Rienner Publishers, 2000) h.105 2 Ibid

3 Rizki Dimas, http://akuanaktafsir.blogspot.co.id/2013/10/tafsir-sastra-amin-al-khuli.html di

unduh pada haru rabu 24 Agustus 2016 jam 05:58 4 Ibid

2

melanjutkan studinya ke Madrasah al-Qadha‟ Asy-Syar‟i (Akademi Hukum) karena

kecerdasannya yang luar biasa.5

Amin Al-Khully berhasil masuk akademi hukum di madrasah al-Qadha‟ al-

Syar‟i dengan ujian hafalan al-Qur‟an lengkap, membaca kitab dan mengarang

dalam bidang fikih dan nahwu al-Jabar, matematika teoritis, astronomi, fisika,

kimia, sejarah dan geografi juga tidak ia tinggalkan untuk dikaji.6

Ikhwan al-Shafa7 adalah satu organisasi yang dipilih Amin Al-Khully untuk

mempertajam intelektualitasnya sekaligus menyalurkan hobinya dalam bidang seni

dan satra. Ditengah kesibukannya sebagai pelajar ia juga turut mengambil bagian

dalam resolusi 1919 yaitu melawan kekuatan kolonialis Inggris melalui kampanye

penyatuan kekuatan militer dan intelektual masyarakat sipil.8 Walaupun aktif dalam

organisasi Amin al-Khully tidak pernah bergabung dalam partai politik manapun.9

Amin Al-Khully berhasil menamatkan pendidikannya pada jenjang Ibtidaiyah

dan Aliyah dengan hasil yang memuaskan. Sebagaimana madrasah Darul Ulum,

madrasah tempat Amin al-Khully belajar merupakan benteng pertahanan bahasa

Arab dan pengetahuan Islam, pada saat itu pengawas dan para dewan gurunya

5 Muhammad Aminulah hermeneutic dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin al-

Khully (Bima: Institut Agama Islam Muhamadiyah Ranggo, 2016 )Vol IX h. 328 6 FajarD. K http://hambawang.blogspot.co.id/2009/05/tafsir-pendekatan-sastra-metode-amin-

al.html Di unduh pada hari Rabu 24 Agustus 2016 jam 04:01 h. 7 Ikhwan al-Shofa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih

banyak memperhatikan bidang pendidikan, kelompok ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah

di kota Bashrah, Irak. Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang

memperkokoh Ukhuwah Islamiyah, dengan pandangan bahwa iman seorang muslim tidak sempurna

sampai ia mencintai saudaranya sendiri seperti mencintai dirinya sendiri. Semua anggota Organisasi ini

wajib menjadi pengajar atau Mubaligh dalam masyarakat. Secara umum kemunculan ikhwan al-Shofa

dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran

dari luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat

Islam. Kelompok ini sangat merahasiakan nama-nama Anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak

secara rahasia disebabkan kekhawatiran akan tindakan penguasa pada waktu itu yang cenderung

menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisi ini antara lain yang menyebabkan Ikhwan

al-Shafa memiliki anggota yang terbatas. Mereka sangat selektif dalam menerima anggota baru

dengan melihat berbagai aspek. Di antara syarat yang mereka tetapkan adalah : memiliki ilmu

pengetahuan yang luas, loyalitas tinggi, memiliki kesungguhan, dan berakhlak mulia. (Furqon Syarief

Hidayatulloh, Relevansi Ikhwan al-Shafa Bagi Pengembangan Dunia Pendidikan, (Bogor: Institut

Pertanian Bogor, 2013) vol XVIII h.44-45) 8 Muhammad Aminullah, Hermeneutik dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin-Al-

Khully, (Bima: institute Agama Islam Muhamadiyah, 2016) vol IX, h. 329 9 Arthur Goldschmidt JR, Op. Cit.

3

merupakan generasi-generasi brilian dari kalangan cendekiwan, ulama dan ahli fikih

kontemporer.10

Amin Al-Khully menulis tesisnya dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa

Nazdmuha pada tahun 1917 yang kemudian diterbitkan pada tahun 1960 dengan

judul al-Jundiyah wa Silmu Waqi‟ wa Nissal dan artikel yang ditulis Al-Madinah

Al-Jundiyah Fī Siqhiyah, Al-Ashlihah Al-Nariyah Fī al-Juyusy Al-Islamiyah dan

Jundiyah Fī al-Islam. Awalnya Amin al-Khully mengkaji bahasa sastra Arab

sebagai upaya untuk membongkar kebutuhan persepsi tentang kesakralan al-

Qur‟an. Fī Adabi al-Misyri dan Fanu al-Qaul Adalah dua karya penting dalam

bidang pendekatan sastrawi atas al-Qur‟an.11

Pada tahun 1920 Amin Al-Khully berhasil menamatkan sekolahnya, kemudian

diberikan tugas mengajar di sekolah tersebut pada tanggal 10 Mei di tahun yang

sama. Pada tangga 7 Nopember 1923 dekrit kerajaan menetapkan beberapa orang

imam bagi kedutaan Mesir di London, Paris, Washington dan Roma. Pada saat itu

Amin al-Khully mendapat mandat untuk menjadi imam di kedutaan Mesir di Roma.

Amin Al-Khully berangkat dari Alexandria menggunakan kapal dan sampai di Italia

setelah tiga hari perjalanan.12

Selama dua tahun di Italia, Amin al-Khully belajar bahasa Italia sampai benar-

benar menguasainya, melalui itulah Amin al-Khully kemudian mengamati

kehidupan keaagamaan, kebudayaan dan karya-karya para orentalis Eropa. Setelah

itu Amin al-Khully melanjutkan karirnya menjadi delegasi Mesir di Berlin pada

awal Januari 1926, dari sinilah kemudian amin al-Khully belajar bahasa Jerman,

dengan modal bahasa Jerman dan Italia Amin Al-Khully bisa memperoleh

pengetuhan tentang Eropa.13

Amin Al-Khully kembali ke Mesir setelah karir imam dan negosiator

ditiadakan dari kedutaan Mesir sejak tahun 1927. Pada tanggal 9 Maret 1927 Amin

10

Gamal al-Banna, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm Baina al-Qudama wa al-Muhadditsīn, trjm:

Navriantoni kahar, (Jakarta: Qitshi press, 2004) cet 1, h. 196. 11

FajarD. K, Op Cit. 12

Gamal al-Banan, Op Cit. h. 196 13

Ibid h. 197

4

al-Khully mulai berkarya di madrasah peradilan agama, namun pada saat itu juga

peradilan agama menutup pintunya rapat-rapat bagi dirinya. Kemudian Amin al-

Khully pindah kebagian bahasa Arab Fakultas Adab di Universitas Mesir

(Universitas Kairo saat ini), pada tahun yang sama tanggal 3 November Amin al-

Khully menjadi tenaga pengajar, lalu diangkat sebagai dosen pembantu dan

beranjak menjadi dosen pada jurusan sastra Arab sejak februari 1942. Kemudian

pada tahun 1946 tanggal 19 Oktober Amin al-Khully di pindah ke jabatan

penanggung jawab sastra Mesir dalam Fase Islam. Karirnya terus menanjak sampai

menjadi ketua jurusan bahasa Arab, sampai wakil dekan dan menjadi guru besar

Studi al-Qur‟an pada tahun 13 Mei 1946 di Universitas Kairo, Giza.14

Pada 1953 terjadi konflik yang tajam di Fakultas, sehingga memecah belah

dosen-dosen pengajar. konflik ini berawal saat Amin al-Khully ditunjuk sebagai

promotor disertasi doktoral Muhammad Ahmad Khalafallah pada tahun 1947. Para

intelektual al-Azhar menuding Ahmad Khalafallah dan Amin al-Khully sebagai

orang yang inkar dan kafir terkait pandangan Ahmad Khalafallah yang kontroversial

mengenai ketidakbenaran kisah-kisah yang disampaikan al-Qur‟an secara historis

tentang para nabi sebelum nabi Muhammad saw, yang dikuatkan oleh Amin al-

Khully. Perdebatan ini berakhir dengan dicopotnya gelar guru besar yang disandang

Amin al-Khully.15

Amin Al-Khully menjadi penasihat seni untuk Darul Kutub sejak 12 Juni 1953

dan terus beranjak menjadi direktur umum kebudayaan di Mesir. pada tahun 1955

Amin al-Khully memilih untuk mengakhiri karirnya di pemerintahan.16

Selain mengajar di Fakultas Sastra, Amin Al-Khully juga mengajar di Fakultas

Hukum Universitas Mesir, Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Fakultas Sastra

Universitas Alexandria, akademi seni peran Arab dan musik pentas, dan program

pasca sarjana. Amin Al-Khuly juga ditunjuk menjadi anggota majlis Fakultas

14

Gamal al-Banna, Op Cit h. 197 15

Muhammad Aminullah, Hermeneutik dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin-

Al-Khully, (Bima: institute Agama Islam Muhamadiyah, 2016) vol IX, h. 330 16

Gamal al-Banna, Op Cit

5

Ushuluddin dan majlis tinggi Darul Kutub. Amin Al-Khully wafat pada tanggal 9

Mei 1966 hari rabu jam 3 siang pada usia 71 tahun.17

Berbeda dengan Muhammad Syaltut dan Abbas Muhamad al-Aqqad, Amin al-

Khully bukanlah penulis yang produktif. ia juga tidak melahirkan karya tafsir secara

utuh, Namun Amin Al-Khully mempunyai beberapa karya yang berhubungan

dengan teori penafsiran al-Qur‟an yang sering dijadikan sebagai rujukan karena

dipandang sebagai rancangan metodologi baru. Salah satu murid yang menerapkan

metodenya secara produktif adalah Aisyah Abdurrahman Bint Syati Istri Amin Al-

Khully sendiri.18

Hal tersebut terlihat pada kata pengantar karya tafsirnya yang

berjudul at-tafsīr al-bayāni li al-Qur‟ān al-Karīm . bintu Syathi mengatakan :

“mengenai metodologi, al-ustadz al-imam Amin Al-Khully telah

menjelaskan dalam bukunya Manāhij At-Tajdīd. Tetapi tidak mengapa

jika saya menyimpulkan pokoknya di sini :

1. Pada prinsipnya metodologi adalah penanganan yang objektif terhadap

a-Qur‟an, dimulai dengan mengumpulkan semua surat dan ayat-ayat

yang ada di dalam al-kitab al-muhkam (al-Qur‟an) ke dalam tema yang

dikaji.

2. Dalam memahami nash, yang penting adalah penyusunan ayat-ayat

menurut nuzulnya untuk mengetahui situasi waktu dan tempat, seperti

yang diungkap oleh riwayat-riwayat tentang asbabun Nuzul sebagai

kontek yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada

keumuman lafal,bukan pada sebab khusus turunnya ayat. Asbabun

Nuzul hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang

tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Peselisihan asbabun nuzul pada

prinsipnya kembali ada orang-orang yang semasa dengan turunnya ayat

atau surat, yang masing-masig menghubungkannya dengan peristiwa

yang dipahami atau diduganya sebagai sebab turunnya ayat al-Qur‟an.

3. Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa bahasa Arab

adalah bahasa al-Qur‟an. Karena itu, hendaknya kita mencari petunjuk

pada bahasa aslinya, yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan

bagi lafal-lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki

maupun yang majazi, kemudian kita simpulkan muatan petunjuknya

dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada didalamnya, lalu mencari

konteksnya yang khusus dan umum di dalam sura al-Qur‟an secara

keseluruhan.

4. Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita mengikuti konteks

nash maupun semangatnya. Kemudian makna tersebut kita

17

ibid 18

Rizki Dimas, Op Cit.

6

konfirmasikan dengan pendapat mufassir. Melalui cara ini kita terima

apa yang ditetapkan nash, dan kita jauhi kisah-kisah israiliyat, noda-

noda nafsu, dan berbau bid‟ah.19

Sedangkan di antara karya-karya Amin al-Khully adalah sebagai berikut:

1. Fī Adabi Mishri: Fikr wa Manhaj

2. Al-Mujaddidu Fī Islam „Ala Asasi Kitaby: Al-Tanbi‟ah Biman Yab‟atsuhu

Allah „Ala Kulli Mi‟at Li Al-Suyuti Wa Bugyat Al-Muqtadin Wa Minhat Al-

Mujiddīn „Ala Tuhfati Al-Muhtadīn Li Al-Maraghi Al-Jurjaw

3. Silat al-Islam bi Islah al-Masihiyyah

4. Al-manāhij Tajdīd Fī al-Nahwi wa al-Balaghti wa al-Tafsīri wa al-Adabi

5. Min Huda al-Qur‟an: Fī Amwālihim Misaliyyah

6. Min Huda al-Qur‟an: Fī Ramadhan

7. Mu‟jam Alfaz al-Qur‟an al-Karim

8. Min Huda al-Qur‟an: al-Qadat al-Rasul

9. Min Huda al-Qur‟an: al-Qard al-Hasan

10. Al-Jundiyah wa al-Salam

11. Min Huda al-Qur‟an: Musykilat Hayatina al-Lughawiyyah

12. Fann al-Qawl

B. Konsep dan metodologi semantik Amin Al-Khully

1. Al-Qur‟an adalah Karya Sastra Terbesar

Bagi umat Islam Al-Qur‟an merupakan wahyu Tuhan (Kalamullah) yang

diturunkan kepada nabi Muhammah SAW. Wahyu dalam konsep Islam berarti

pembicaraan Allah. Itu artinya sang penguasa berkomunikasi dengan utusan-Nya

dengan menggunakan sarana interaksi, meski cara yang digunakan berbeda

dengan hubungan yang digunakan oleh manusia dengan sesamanya. namun al-

Qur‟an yang kita terima dari generasi dahulu sampai sekarang berupa bahasa Arab,

hal ini juga di kuatkan denganan Allah SWT

19

Aisyah Abdurrahman, At-tafsīr al-bayāni li al-Qur‟ān al-karīm, (TT: dar al-Ma‟arif) juz 1

h. 10

7

(٣)إنا جعلناه ق رآنا عربيا لعلكم ت عقلون

“Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab agar

kamu mengerti20

.( Q.S. az-Zukruf: 3)

Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa komunikasi tuhan dengan

utusan-Nya tidak bisa diteliti dan dikaji sama sekali. Sebaliknya, ia merupakan

bahan kajian dalam keilmuan keislaman yang tak pernah kering. Salah satu

tujuan diturunkan al-Qur‟an adalah untuk merespon permasalahan yang terjadi

di zaman Nabi. itu artinya al-Qur‟an diturunkan untuk kepentingan manusia.

Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang tepat atas ajaran-ajaran yang

dikandungnya agar sesuai dengan maksud Allah SWT sebagai pengarang al-

Qur‟an.

Al Qur‟an juga merupakan sekumpulan teks yang perlu dipahami dan

ditafsirkan secara mendalam. Tanpa adanya penafsiran, al-Qur‟an tetap menjadi

sebuah teks yang tidak bisa berbicara. Oleh sebab itu penafsiran terus

berkembang dan tak kenal henti sejak zaman Rasulullah SAW sampai saat ini.

Hal tersebut merupakan sebuah upaya untuk memahami pesan-pesan ilahi, oleh

karenanya banyak ulama memahami al-Qur‟an dari berbagai pendekatan, salah

satunya adalah pendekatan sastra.

Sastra dalam kamus bahasa Indonesia adalah bahasa yang dipakai dalam

kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).21

Sedangkan dalam ensiklopedia bahasa

sebagaimana yang dikutip oleh Istianah :

“sastra adalah bentuk seni yang melahirkan dalam dan

dengan bahasa. Masih dalam artikel yang sama, sastra adalah hasil

karya cipta manusia dengan medium bahasa maupun lisan, bersifat

imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan secara

relatif. Sastra yang sebenarnya meliputi segala macam pengetahuan

20

Al-Qur‟an dan terjemahnya (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006) h. 702 21

Tim redaksi kamus bahsa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Iandonesia (Jakarta : Pusat

Bahasa, 2008) h. 1272

8

yang tertulis, namun dalam perkembangannya, berarti karya-karya

yang bersifat seni saja”.22

Sedangkan dalam bahasa Arab sastra disebut dengan al-Adab yang berarti

dengan kehalusan budi dan adab sopan santun. Kemudian dalam perkembangan

selanjutnya mempunyai arti peninggalan perkataan dalam bentuk puisi dan prosa.

Oleh karena itu sastra adalah pengungkapan pengalaman seorang sastrawan

dengan kata-kata yang inspiratif.23

Tafsir susatra atau lebih tepatnya menangkap pesan abadi ketuhanan yang

tertuang dalam kitab suci dengan memperhatikan tanda-tanda kebahasaan

merupakan salah satu usaha untuk mengaktualkan pesan Tuhan yang disampaikan

kepada manusia.

Amin al-Khully merupakan salah satu ulama tafsir yang menggunakan

pendekatan tafsir susatra untuk mengungkap isi kandungan al-Qur‟an. Menurut

Amin Al-Khully al-Qur‟an merupakan buku agung berbahasa Arab dan sebagai

karya sastra yang paling tinggi. al-Qur‟an membuat bahasa Arab tidak pernah

mati, dan bersamaan dengan statusnya sebagai bahasa yang dipilih oleh Tuhan

untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiah-Nya, menjadikan al-Qur‟an sendiri

sebagai sesuatu yang tak kenal kering.24

Keseriusan Amin Al-Khully dalam mengkaji al-Qur‟an tidak bisa di lepaskan

dari kajian-kajian bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari pernyataan ini adalah

banyakya tulisan Amin Al-Khully yang berbicara tentang bahasa dan sastra. Fī

Adabi Mishri dan Fanu al-Qawl merupakan salah satu karya pentinya yang

berbicara mengenai sastra dan kritik sastra, Keduanya menunjukan keseriusan

Amin Al-Khully dalam memberikan cara baca dan cara baca baru terhadap dunia

sastra Arab.25

22

Istianah, stilistika al-Qur‟an: pendekatan sastra sebagai analisis dalam

menginterpretasikan al-qur‟an (kudus: stain kudus, 2014) h. 372 23

Ibid. h. 373 24

Amin Al-Khully, Manāhiju al-Tajdīd ( ,1995) h. 229 25

M.Nur kholis setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra terbesar, ( Yogyakarta: alsaq prees 2006)

h. 8-9

9

Mengingat studi al-Qur‟an disejajarkan dengan studi karya sastra, Amin Al-

Khully mengedepankan dua prinsip metodologis, yakni studi sekitar al-Qur‟an dan

studi tentang teks itu sendiri. Metode yang ditawarkan oleh Amin Al-Khully lebih

dikenal dengan tafsir sastra terhadap al-Qur‟an. sasaran metode ini adalah untuk

mendapat pesan al-Qur‟an secara menyeluruh dan diharapkan bisa terhindar dari

tarikan-tarikan individual-idiologis dan politik kekuasaan. Al-Qur‟an harus

dianggap sebagai teks sastra suci. Oleh karenanya, agar bisa memahami ayat al-

Qur‟an secara proporsional, seseorang harus menempuh metode sastra (Al-Manhaj

al-Adabi) yaitu corak tafsir yang berusaha menjelasakan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan menguraikan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok ayat yang

ditafsirkan.26

Muhammad Abduh berpendapata sebagaimana yang dikutip oleh Amin Al-

Khully bahwa ada dua macam tafsir, yang pertama adalah Tafsir yang kering dan

jauh dari Allah dan kitab-Nya tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang hanya

menguraikan kata-kata dan mempersoalkan cara baca dalam kalimat. dan

menjelaskan poin-poin artistik dari ungkapan-ungkapan dan isyarat-isyarat

kalimat. Jenis tafsir ini tidak pantas disebut tafsir, ia hanya merupakan bentuk

latihan penerapkan ilmu-ilmu aplikatif seperti nahwu dan ma‟ani.27

Kedua adalah tafsir yang dapat membawa mufassir dapat memahami maksud

dari yang mengatakan, baik berupa ujaran, tujuan dari diundangkanya akidah,

moral dan hukum dengan cara yang menarik jiwa. Mendorong jiwa untuk berusaha

mengungkap hidayah yang terkandung dalam ujaran tersebut agar makna firman-

Nya dapat terwujud sebagai petunjuk dan rahmat dan sifat-sifat semacamnya.

Inilah yang disebut tafsir terbaik menurut Muhammad Abduh.28

Pembagian tafsir di atas menurut Muhammad Abduh seperti yang dikutip

Amin al-Khully bahwa tujuan utama dan terpenting dari tafsir adalah menjadikan

26

Istianah,Op Cit h. 383 27

Amin al-Khully dan Nashr Hamid Abu Zaid Metode Tafsir Sastra, terj Khairun Nahdiyyin

(Yogyakarta: Adab Press, 2004) cet 1. h. 50 28

Ibid h. 51

10

al-Qur‟an sebagai petunjuk, ini merupakan tujuan agung yang harus diwujudkan

oleh umat Islam.29

Berangkat dari keyakinan Muhammad Abduh seperti yang ditulis Nur Kholis

Setiawan bahwa kajian terhadap al-Qur‟an dimaksudkan hanya untuk mengungkap

dan menangkap hidayah al-Qur‟an. ia tidak menghendaki metode penafsiranya

dipenuhi metode linguistik kebahasaan yang berlebihan. Analisis semantik Abduh

tidak melebihi batas-batas kajian kebahasaan yang telah dilakukan oleh al-Mahalli

dan al-Suyuthi dalam tafsir Jalalainnya. Meskipun Abduh bersikap ekstra hati-hati

terhadap analisis kebahasaan, kerangka penafsirannya tidak keluar dari bingkai

metode analisis linguistik dan sastra (al-manhaju al-lughawi al-fanni). Hal ini

terlihat ketika ia selalu menekankan kontiunuitas makna kata al-Qur‟an semenjak

diwahyukan sampai sekarang pada saat ia memberikan pemaknaan terhadap kata-

kata individual al-Qur‟an.30

Amin al-Khully berpendapat, bahwa sebelum menjadikan al-Qur‟an sebagai

petunjuk, masih ada tujuan yang paling utama dan paling jauh, dimana dari tujuan

tersebut muncul tujuan-tujuan lain dan mendasarai berbagai tujuan lainnya. Tujuan

ini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum berupaya mewujudkan tujuan

manapun, baik itu tujuan yang bersifat ilmiah atau praksis, keagamaan atau

duniawi. Tujuan yang paling utama dan paling jauh tersebut adalah memandang

al-Qur‟an sebagai buku agung berbahasa Arab, dan sebagai karya sastra yang

tinggi.31

Menurutnya, buku inilah yang menyebabkan bahasa Arab abadi, melindungi

eksistensinya dan abadi bersamanya sehingga buku ini menjadi kebanggaan dan

mahkota tradisinya. Itu semua merupakan ciri khas bagi al-Qur‟an, dan ciri khas

itulah yang yang dikenali oleh orang-orang Arab sekalipun berbeda agama dan

kepentingan, selama orang tersebut menyadari kearaban buku tersebut.

Penjelasan di atas terlihat bahwa letak ketidaksetujuan Amin Al-Khully

terhadap pendapat Abduh terletak pada penempatan skala prioritas yang dilakukan

29

Amin Al-Khully, Op Cit h. 228 30

M.Nur kholis setiawan Op Cit h. 27 31

Amin Al-Khully, Ibid,h. 229

11

Abduh, yaitu, bahwa inti kajian al-Qur‟an adalah menangkap hidayah kitab suci

tersebut. Amin Al-Khully sepakat bahwa al-Qur‟an merupakan sumber hidayah,

namun, menempatkan hidayah sebagai prioritas utama tanpa memperhatikan

perangkat yang tepat untuk mendapatkan hidayah tersebut merupakan suatu

kenaifan. Oleh karena itu Amin Al-Khully menempatkan medan semantik dan

linguistik terhadap teks tersebut agar hidayah dapat diungkap.

Gagasan Amin Al-Khully mengenai karya sastra terbesar sama dengan

pemikiran Taha Husain (1889-1973 M) tentang kajian sekitar sastra Arab dan

hubungannya tentang teks al-Qur‟an. dalam salah satu karyanya yang berjudul Fī

al-Syai‟ir al-Jāhili Taha Husain memperlakukan teks al-Qur‟an sebagai dokumen

sastra suci. Hal ini dilakukan ketika berhadapan dengan beberapa kisah yang

tertuang dalam teks al-Qur‟an. Ia melihat beberapa narasi yang ada dalam teks al-

Qur‟an tidak harus dipahami dan dipegangi faktualitas historisnya, akan tetapi

lebih dilihat sebagai simbol religius yang harus ditangkap pesan moralnya. Sikap

Husain yang sedemikian rupa menjadi indikator pemberlakuan teks al-Qur‟an

sebagai kitab sastra terbesar. Bagi Husain teks al-Qur‟an merupakan sesuatu yang

memiliki daya tarik psikologi yang luar biasa. Penegasan teks yang demikian,

memiliki kedekatan dengan penegasan Amin Al-Khully bahwa al-Qur‟an adalah

teks sastra terbesar.32

Uraian di atas, dapat dilihat bahwa tafsir sastra yang dikedepankan oleh Amin

Al-Khully merupakan perkembangan dari sebagian tawaran Muhammad Abduh

yaitu al-manhaj al-lughawi al-fanni yang terwujud dalam tafsir Al-Manār, serta

pemaparan Taha Husain terhadapa gagasan Muhammad Abduh dalam Fī al-Syi‟ir

al-Jahiliy. Dengan begitu pemikiran Amin Al-Khully masih berhubungan dengan

Muhammad Abduh dan Taha Husain. Ketiga sarjana tersebut, dimulai dari

Muhammad Abduh, Amin Al-Khully dan Taha Husain dapat dikatakan memiliki

mata rantai intelektual yang menyatukan mereka, meskipun dalam beberapa hal

terdapat perbedaan prioritas.

32

M.Nur kholis setiawan, Op Cit h. 29

12

Pernyataan Amin Al-Khully mengenai status al-Qur‟an sebagai kitab karya

sastra Arab terbesar berpijak pada pertimbangan bahwa secara historis al-Qur‟an

diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini, bahasa Arab merupakan

kode yang dipakai tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya, oleh sebab itu,

Amin Al-Khully menekankan bahwa kearaban al-Qur‟an hendaknya lebih

diperhatikan terlebih dahulu sebelum hal-hal lain baik yang memiliki unsur

religius ataupun tidak. Dari sini Amin Al-Khully mendifinisikan tafsir sebagai

kajian sastra yang kritis dengan metode yang valid dan bisa diterima.33

Pernyataan Amin Al-Khully di atas memiliki implikasi keterlibatan budaya

dan peradaban Arab sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wahyu. Dengan

kata lain unsur kearaban yang dimaksud Amin Al-Khull dalam teks tersebut

adalah meliputi akal, intelektual, bahasa, budaya, dan peradaban.

2. Dirāsah Mā Hawla al-Qur‟ān

Dirasah Mā hawla al-Qur‟an bisa di sebut dengan kritik ekstrinsik ( an-

Naqdu al-Khārij) yaitu kajian terhadap hal-hal di seputar al-Qur‟an. Kajian ini

diarahkan pada kritik sumber yaitu kajian analis terhadap faktor-faktor eksternal

munculnya sebuah karya, baik social-geografis, religio-kultural maupun politis.34

Secara kontekstual kajian terhadap hal-hal disekitar al-Qur‟an terbagi menjadi

dua bagian yaitu ada yang khusus dan dekat dengan al-Qur‟an, ada juga kajian

umum yang dan jauh dari al-Qur‟an. Namun dalam penelitian metode sastra kajian

ini merupakan suatu keharusan dalam memahami al-Qur‟an.35

Al-Qur‟an diturunkan kurang lebih selama 23 tahun, diturunkan secara

terpisah dalam beberapa tahun sehingga dikumpulkan dalam beberapa periode dan

kondisi. Proses kodifikasi dan penulisannya pun melalui upaya yang panjang,

sehingga dalam perjalanannya al-Qur‟an mengalami perkembangan. Dari sana

muncul beberapa bacaan, serta keterkaitan perubahan bacaan tersebut dengan

perkembangan bahasa Arab yang diakibatkan oleh kebangkitan baru yang

33

M.Nur kholis setiawan, Ibid h. 12 34

Muhammad Aminulah hermeneutic dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin al-

Khully (Bima: Institut Agama Islam Muhamadiyah Ranggo, 2016 )Vol IX h. 332 35

Amin Al-Khully, Op Cit h. 234

13

ditimbulkan oleh dakwah Islam dan daulah Islam. Perubahan bahasa ini jelas

memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan pemahaman kitab ini. Karena hal

inilah, kajian khusus merupakan sesuatu yang harus diketahui.36

Kajian umum, berkaitan dengan latar belakang materil dan spiritual di mana

al-Qur‟an itu muncul dan berkembang, termasuk di dalamnya adalah kodifikasi,

penulisan, bacaan, hafalan dan berbicara kepada masyarakat di lingkungan

tersebut untuk pertama kalinya. Kepada masyarakat itulah al-Qur‟an

menyampaikan misinya agar mereka bangkit untuk menunaikan dan

menyampaikannya kepada bangsa-bangsa lain di dunia.37

Mengetahui latar belakang materil adalah mengetahui kondisi alam pada saat

al-Qur‟an diturunkan yaitu mengetahui buminya, termasuk gunung-gunungnya,

panasnnya, padang saharanya, datarannya, langit dengan awan-awannya, bintang-

bintangnya, udaranya, lautnya, dinginya, angin kencangnya, angin spoinya,

alamnya dengan segala kekeringannya, suhunya, pacekliknya, atau pertumbuhan

tumbuhannya dan lain sebagainya.38

Mengetahui latar belakang spiritual adalah mengetahui masa lalu jaman

dahulu kala, sejarah masyarakat bangsa Arab, sistem keluarga, kabilah mereka,

sistem pemerintahannya, sejauh mana pemerintahanya, akidah seperti apakah yang

berlaku pada masyarakat tersebut, berbagai seni walaupun banyak coraknya, dan

pekerjaan mereka walaupun berbeda-beda.39

Semua yang berkaitan dengan kehidupan bangsa Arab, baik materil ataupun

sepiritual merupakan materi atau sarana yang harus dipahami dan dikuasai untuk

memahami al-Qur‟an yang jelas-jelas Arab itu.

3. Dirāsah fī al-Qur‟ān

Dirāsah fī al-Qur‟ān atau disebut dengan kritik intrinsik (an-Naqdu al-

Dākhil) diarahkan pada teks satra itu sendiri dengan analisis lunguistik yang hati-

36

Amin Al-Khully, Ibid. h. 234 37

Amin Al-Khully, Ibid. h. 235 38

Amin Al-Khully, Ibid. 39

Amin Al-Khully, Ibid.

14

hati, sehingga mampu menangkap makna yang ada. Dalam metode ini diperlukan

perangkat analisis ilmu balaghah yaitu ma‟ānī40

bayān41

dan badī‟42

.

Amin Al-Khully mengawali kajian ini dengan meneliti kosa kata. Menurutnya

dalam meneliti kosa kata seseorang yang bergelut dalam bidang sastra harus

mempertimbangkan aspek perkembangan makna kata, dan pengaruhnya terhadap

kata tersebut.

Amin Al-Khully (dalam bukunya Manāhiju At-Tajdīd) memberikan langkah-

langkah dalam menafsirkan sebuah kata dalam al-Qur‟an. Menurutnya yang

pertama harus dilakukan seorang mufassir adalah meneliti materi bahasa dari kata

yang hendak ditafsirkan agar dapat mengesampingkan makna-makna bahasa dari

makna lain. melihat perkembangan makna bahasa dari materi tersebut secara

berurutan. Makna yang lebih dahulu didahulukan daripada makna yang datang

kemudian, sampai ia merasa yakin dengan apa yang telah ia pertimbangkan, dan

menetapkan kesimpulan makna kata dari bahasa tersebut.43

Usaha seorang mufassir dalam membedakan dan melakukan pengamatan

sebuah kata adalah harus mengetahui kajian-kajian baru mengenai rumpun bahasa,

kaitan antar bahasa agar ia dapat menetapkan bahwa kata tersebut adalah bahasa

Arab asli atau kata serapan, jika kata tersebut berupa serapan maka ia harus

mengetahui dari bahasa mana dan apa makna pertamanya. Setelah melakukan

penelitian makna secara bahasa, kemudian dilanjutkan dengan penelitian makna

berdasarkan pemakaian dalam al-Qur‟an. Seluruh kata yang muncul di dalam al-

Qur‟an diteliti untuk dipertimbangkan, dari penelitian ini akan terlihat pendapat

mengenai pemakaian bahasa yang bersifat menyeluruh dan berlaku diberbagai

40

Ilmu ma‟ānī adalah ilmu yang mempelajari tentang beberapa pokok dan kaidah-kaidah

yang dengannya diketahui ikhwal kalimat Arab yang sejalan dengan keadaan yang relevan dengan

tujuan. 41

Ilmu bayān ialah ilmu yang mempelajari beberapa pokok bahasan dan kaidah-kaidah yang

dengannya dapat . diketahui penyampaian satu makna dengan berbagai ungkapan, secara garis besar

ilmu ini mempelajari tentang ekspresi bentuk-bentuk kalimat. 42

Ilmu badī‟ adalah ilmu yang dengannya dapat dikethui cara-cara dan keistimewaan

memperindah kalimat dan menambah kecantikannya, sehingga kalimat itu penuh dengan keindahan

setekah ia sesuai dengan keadaan. (Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an,(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h.

373-374. lihat juga Muhammad Aminulah hermeneutic dan linguistic perspektif metode tafsir sastra

Amin al-Khully (Bima: Institut Agama Islam Muhamadiyah Ranggo, 2016 )Vol IX h. 332) 43

Amin Al-Khully, Ibid. h. 238

15

masa turunnya al-Qur‟an. jika ternyata tidak menyeluruh, maka seperti apa makna

yang berbeda tersebut digunakan dalam al-Qur‟an? Dengan cara tersebut maka

mufassir dapat menemukan makna yang sesuai sebagaimana yang di gunakan

dalam al-Qur‟an. Dengan hasil tersebut seorang mufassir dapat menafsirkan

sebuah ayat dengan baik sesuai dengan posisinya dalam ayat di mana kata tersebut

berada.44

Berikut ini merupakan salah satu contoh penafsiran Amin Al-Khully

sebagaimana yang dikutip oleh Nur Kholis Setiawan dari Min Hudā al-Qur‟ān fī

Ramadhān45

. Dalam menafsirkan ayat puasa, langkah pertama yang Amin Al-

Khully lakukan adalah mengumpulkan dan mengurutkan sesuai dengan topik yang

dikaji sebagai berikut: QS al-Baqarah: 155, 172, 183, QS. Hūd: 52, dan an-Nahl:

122.

Penafsiran Amin al-Khully mengenai ayat puasa berbeda dari mufassir

terdahulu khususnya penafsiran yang diwakili oleh fuqaha dan filosof. Menurut

Amin Al-Khully dalam menafsirkan ayat-ayat puasa penafsiran keduanya

berlebihan. Ulama fikih menyatakan bahwa elemen terpenting puasa adalah lapar

dan haus, karena dengan kedua rasa ini akan membuat orang yang berpuasa

merasakan penderitaan orang miskin. Menurut Amin Al-Khully pendapat tersebut

terkesan formalistik dan menghilangkan aspek yang lebih penting dari puasa.

Sedangkan kelompok filosofi menekankan bahwa lapar dan haus merupakan awal

dari segala kebaikan, namun hal ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang

lain yang menekankan pentingnya kesehatan dan kekuatan manusia secara fisik

maupun mental.46

Langkah awal yang ditempuh Amin al-Khully adalah mengurutkan ayat

sesuai topik yang dimaksud. Dalam menafsirkan ayat puasa Amin al-Khully

membahas tentang, ketakutan, rasa lapar dan kekurangan harta benda yang dialami

manusia sebagai cobaan, hal ini terdapat pada ayat 155 QS. Al-Baqarah.

44

Amin Al-Khully, Ibid. 45

Salah satu karya tafsir Amin Al-Khully 46

M.Nur kholis setiawan, Ibid.h 17

16

لونكم بشيء من الوف والوع ون قص من الموال والن فس والثمرات ولنب وبششر اللابر ن

Artinya :

“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan

berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Kemudian mengemukakan ayat 172 yaitu perintah untuk memakan sesuatu

yang baik dan larangan untuk berlebihan.

ا أ ها الذ ن آمنوا كلوا من طيشبات ما رزق ناكم واشكروا للو إن كنتم إ اه ت عبدون

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-

baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika

benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”

Setelah itu menerangkan ayat tentang kewajiban seorang muslim

sebagaimana Allah swt mewajibkan puasa kepada umat sebelumnya.

ا أ ها الذ ن آمنوا كتب عليكم اللشيام كما كتب على الذ ن من ق بلكم لعلكم ت ت قون

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu

bertakwa”

Dalam runtutan ayat di atas Amin al-Khully mengaitkan rasa lapar dan makan

dengan puasa sebagaimana pengertian puasa yang dikemukakan oleh ulama fikih.

Namun Amin al-Khully tidak berhenti sampai ayat tentang kewajiban puasa, ia

masih mencari keterpautan ayat dengan ayat lain Berdasarkan Munasabah teks

dengan teks lainnya serta melihat makna lain dari puasa yaitu QS Maryam ayat 26

17

نا فإما ت ر ن من البشر أحدا ف قول إنش نذرت للرحن صوما فكلي واشرب وق رشي عي ف لن أكلشم الي وم إنسيا

Artinya:

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu

melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah

bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak

akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".(Q.S Maryam:

26)

Amin Al-Khully menyimpulkan bahwa puasa dimaksudkan sebagai sarana

latihan mental psikologi melawan hawa nafsu daripada aspek-aspek fisik-

biologis.47

Penjelasan tersebut menunjukan bahwa puasa merupakan sebuah

kewajiban bagi umat Islam dan pengertian puasa bukan hanya menahan lapar dan

dahaga namun juga menahan bicara kepada orang lain (menahan bicara yang

menyakitkan) seperti yang dilakukan oleh Maryam Ibunda nabi Isa. Aspek

terpenting dari puasa adalah sebagai sarana untuk melatih mental psikologi dalam

melawan hawa nafsu.

C. Tinjauan Umum Semantik

1. Pengertian Semantik

Semantik adalah kajian kebahasaan yang membahas tentang makna dari

tanda-tanda bahasa, semantik sebagai istilah dalam ilmu kebahasaan mempunyai

pengertian tertentu.

Istilah semantik „Ilm Al-Dilalah dalam bahasa Arab (semantic dalam bahasa

Inggris) berasal dari bahasa Yunani Sema yang berarti tanda atau lambang, atau

semaino yang berarti menandai, berarti, melambangkan.48

Selain itu juga

47

M.Nur Kholis Setiawan, Ibid. h 18 48

Moh.Matsna, Orentasi Semantic al-Zamakhsyari,(Jakarta: Anglo Media, 2006 ) h. 2

18

mengandung makna to signify yang berarti memaknai, secara istilah teknis

semantik mengandung pengertian studi tentang makna.49

Sumber lain memuat bahwa semantik berasal dari bahasa Yunani

semantickos yang mempunyai arti penting dan berarti. Kata tersebut diturunkan

dari semainein yang berarti memperlihatkan, menyatakan. Kata tersebut juga

berasal dari sema yang berarti tanda seperti yang terdapat pada kata semaphore

yang berarti tiang sinyal yang dipergunakan sebagai tanda oleh kereta api.50

Semantik dalam bahasa Arab disebut dengan „Ilm al-Dilalah terdiri atas dua

kata: „Ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-Dilalah atau al-Dalalah yang

berarti penunjukan atau makna. Jadi, „Ilm al-Dilalah menurut bahasa adalah ilmu

pengetahuan tetang makna.51

Sebagai salah satu cabang linguistik („Ilm al-lughoh) „Ilm al-Dilalah

didefinisikan oleh Ahmad Mukhtar „Umar seperti yang dikutip matsna sebagai

berikut:

دراسة المعنى أو العلم الذي يدرس المعنى أو ذلك الفرع من علم اللغة ذلك الفرع الذي يد رس الشروط الواجب توافرها نظرية المعنى أو يتناول الذي

فى الرمز حتى يكون قادرا على حمل المعنى

Artinya :

“kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas

tentang makna,atau cabang linguistik yang mengkaji teori

makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat

yangharus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang

bunyi sehingga mempunyai makna”52

Semantik diperkenalkan oleh seorang filolog Prancis Michal Breal dalam

bahasa Prancis La Semantique yang diserap dari bahasa Yunani, ilmu ini

49

Aminuddin, Semantik : Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,

2011) cet. 4, h. 15. 50

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Ankasa, 2009) h. 7 51

Moh.Matsna, Op.Cit. h. 3 52

Moh.Matsna, Op.Cit. h. 4

19

merupakan suatu cabang studi linguistik general. Oleh karena itu, semantik di sini

adalah satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik.53

Selain pengertian semantik menurut bahasa, ada beberapa pengertian semantik

menurut istilah, di antaranya:

Semantik adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa

secara sistematik, apa itu makna, bagaimana makna itu tersusun perubahan makna

bentuk perubahan makna, latarbelakang perubahan makna, hubungan perubahan

makna dengan struktur bahasa, dan bagaimana cara itu diujarkan dalam bahasa.54

Yendra menyatakan sebagaimana yang dikutip Poespoprodjo dalam bukunya

logika Scientifika, bahwa semantik adalah salah satu cabang linguistik yang

bertugas menyelidiki makna kata, bagaimana asal mulanya, bagaimana

perkembangannya, dan apa sebab-sebabnya hingga terjadi perubahan makna.55

Menurut Toshihiko Izutsu semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-

istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada

pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang

menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang

lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.56

Moh. Matsna mengatakan bahwa semantik adalah makna, membicarakan

makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana perkembangannya,

dan mengapa terjadi perubahan makna dalam bahasa.57

Menurut Henry Guntur Tarigan semantik adalah telaah makna, telaah tentang

lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna

yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.58

53

J.D Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004) edisi ke 2, h. 42 54

Yendra.s.s Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), ( Yogyakarta: Deepublish, 2016) h. 155 .

lihat juga M.Fatih Surya dilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005) cet 1 h. 79 55

W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika Dan Ilmu, (Bandung: Pustaka

Grafika, 1999) cet 1, h. 93 56

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur‟an,

terj. Amiruddin,dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003). h. 3. Lihat juga M.Nur Kholis Setiawan, Al-

Qur‟an Kitab Sastra terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006) h. 166. 57

Moh.Matsna, Op.Cit h. 3 58

Henry Guntur Op.Cit. h. 7

20

Dalam bukunya pengajaran semantik, Tarigan membagi pengertian semantik

menjadi dua, yaitu:

a. Semantik Dalam Arti Luas

Dalam pengertian yang luas, semantik terbagi atas tiga pokok pembahasan,

yaitu :

1) Sintaksis

2) Semantik

3) Pragmatik

Sintaksis menelaah hubungan formal antara tanda-tanda satu sama lain,

Semantik menelaah hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang

merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut. Sedangkan pragmatik

menelaah tanda-tanda dengan para penafsir interpretator. Tiga pembagian ini

pada mulanya dibuat oleh Charles Morris dan kemudian dilanjutkan oleh

Rudolf Carnap sesuai dengan formulasi Morris.59

R.C Stalnaker membuat formulasi yang lebih sederhana agar lebih mudah

lagi untuk dipahami, yaitu : Sintaksis adalah telaah mengenai kalimat-kalimat,

semantik telaah mengenai proposisi-proposisi, sedangkan pragmatik adalah

telaah mengenai perbuatan linguistik beserta konteks-konteks tempatnya.60

b. Semantik Dalam Arti Sempit

Pengertian yang lebih sempit, bidang semantik dibagi atas dua pokok

bahasan, yaitu :

1) Teori Referensi (denotasi, ekstensi)

2) Teori makna ( konotasi, intensi)

Semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna dengan berpangkal

dari acuan dan simbol. Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran

yang meliputi fonologi, tata bahasa (Morfologi-Sintaksis), dan semantik.61

59

Ibid. h. 2-3 60

Ibid. 4 61

Ibid. h. 3

21

Semantik hanya mengeksplorasi makna terkait dengan signifikasi linguistik dari

kata-kata.62

Walaupun ilmu ini termasuk kedalam bagian dari linguistik namun tidak

hanya menjadi fokus kajian para linguis saja, melainkan juga menjadi obyek

penelitian para filosofis, sastrawan, psikologi, ahli fikih dan ushul fiqh,

antropolog dan lain sebagainya.63

2. Sejarah Perkembangan Semantik

Embrio ilmu semantik sudah ada sejak masa Yunani kuno, yaitu pada masa

Aristoteles (384-322 SM), ia adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah

makna lewat batasan pengertian kata yang menurutnya adalah satuan terkecil

yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkap

bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu

sendiri secara otonom, serta makna yang hadir akibat terjadinya hubungan

gramatikal. Plato dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu

secara implisit mengandung makna-makna tertentu.64

Perkembangan semantik dimulai pada tahun 1825 M yaitu pada masa C.

Reisig seorang berkebangsaan Jerman yang mengemukakan konsep baru tentang

Grammar. Menurutnya Grammar meliputi tiga unsur utama, yaitu : (1)

semasiologi ilmu tentang tanda (2) Sintaksis, Studi tentang kalimat dan (3)

Etimologi, Studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk

maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik belum digunakan walaupun studi

tentangnya sudah dilaksanakan. Menurut Ullman masa ini disebut dengan

Underground period yaitu pertumbuan pertama ilmu semantik.65

Pada perkembangan selanjutnya, Michel Breal seorang sarjana Prancis mulai

mempopulerkan istilah semantik melalui artikelnya yang berjudul les lois

intellectuelles du Langage dan Essai de semantique pada tahun 1883 M. Pada

62

Roland Barther,Elemen-Elemen Semiologi, tejh. M. Ardiansyah ( Yogyakarta: ircisod,

2012) cet 1, h. 7 63

Moh.Matsna,Op.Cit. h. 4 64

Aminuddin, Op.Cit. h. 15. 65

Ibid. h. 15.

22

masa ini, meskipun Brael dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai

bidang baru dalam keilmuan, namun ia masih menyebut sebagai ilmu yang

murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa ini lebih berkaitan

dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri. misalnya bentuk perubahan makna,

latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makan dengan logika,

psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya.66

Masa perkembangan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai

dengan pemunculan karya filolog Swedia Gustaf Stren yang berjudul Meaning

and change of meaning, whit special reference to the englis language. Dalam

kajiannya, Stren sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak

dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris.67

Namun sebelum karya Stren muncul, di

Janewa Ferdinand De Saussure telah menerbitkan buku Cours de linguistique

general, buku ini merupakan kumpulan bahan kuliah. Kehadiran Ferdinand

menjadikan perkembangan linguistik berikutnya lebih terarah. oleh sebab itu, ia

dijuluki sebagai bapak linguistik modern.68

Pada masa Ferdinand diperkenalkan dua pendekatan dalam studi bahasa,

yaitu pendekatan sinkronis yang bersifat deskriptif dan pendekatan diakronis

yang bersifat historis. Menurutnya, bahasa merupakan satu kesatuan dan ia

merupakan satu system yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan atau

berhubungan. Pandangan inilah yang kemudian mempengaruhi berbagai bidang

penelitian, terutama di Eropa.69

Selain dua pendekatan, Ferdinand juga mengemukakan tentang dua konsep

kebahasaan yang kemudian menjadi revolusi dalam bidang teori dan penerapan

studi kebahasaan, yaitu : (1) linguistik pada dasarnya merupakan studi

kebahasaan yang berfokus kepada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu.

Konsep inilah yg kemudian menggunakan pendekatan singkronis. Sedangkan

66

Naili Vidya Yulistyana, Sejarah semantik,

http://www.academia.edu/12998031/sejarah_semantik diunduh pada 06 Agustus 2016 pukul 20:14

wib 67

Aminuddin, Op.Cit. h. 16. 68

Ibid, h. 16. 69

Moh.Matsna, Op.Cit. h. 9

23

studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan

yang menggunakan pendekatan Diakronis (2) bahasa merupakan suatu gestalt

atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, dimana antara elemen

satu dengan elemen lainnya mengalami saling kebergantungan dalam rangka

membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi

akar paham linguistic stuktural.70

Leonard Bloomfield ilmuan yang muncul setelah De Sausure yang dianggap

cukup memberikan corak, warna, dan arah baru dalam kajian bahasa . Dalam

bukunya Language, Leonard banyak dipengaruhi oleh aliran Behaviorisme yang

terdapat dalam spikologi, karena ia menganggap bahwa bahasa merupakan

tingkah laku, dan makna tidak lain daripada suatu kondisi yang didalamnya

orang mengungkapkan sebuah kata atau kalimat dan direspon oleh pendengar.

Sehingga makna menurutnya adalah kondisi dan respon. Ia juga mengatakan

bahwa kita dapat mendefinisikan arti secara tepat apabila arti tersebut

berhubungan dengan hal-hal yang kita ketahui secara ilmiah.71

Adapun di dunia Arab, kajian semantik atau „ilm al-Dilalah sebenarnya

sudah dimulai sejak masa nabi. Pemikiran ini berdasarkan atas beberapa data

yang menunjukan bahwa Nabi Muhammad Saw telah memberikan beberapa

interpretasi yang erat kaitannya dengan terminologi disiplin sastra Arab yang

berkembang belakangan, meski penafsiran nabi tidak terlalu banyak dijadikan

para pengamat tafsir sebagai periode awal dalam sejarah penafsiran al-Qur‟an.72

Generasi selanjutnya adalah pada masa sahabat dengan Ibnu Abbas sebagai

tokohnya, apabila ditemukan kata-kata yang sukar dipahami dalam al-Qur‟an,

para sahabat termasuk Umar bertanya kepada Ibn „Abbas, bukan kepada yang

lainnya. Karena Ibnu Abbas dipandang otoritatif dibidang tersebut. 73

Kemudian

ada Mujahid salah seorang murid Ibnu Abbas yang mengikuti penafsirannya.74

70

Aminuddin,Op.Cit. h. 17 71

Moh.Matsna, Op.Cit. h. 9 72

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Pres, 2006)

cet 2 h. 129 73

ibid. h. 133 74

Ibid.h. 136

24

Generasi selanjutnya yang mengambil bagian dalam stadium embrional

tafsir susastra al-Qur‟an adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728M), atau Ibn Abi

Rabah (w.114 H/732 M), Qatadah (w. 128 H/745 M), al-Suddi al-Kabir (w.128

H/745 M). Kemudian generasi setelah Mujahid adalah Ibn Juraij (w.150 H/767

M), Muqatil Ibn Sulaiman (w.150 H/767 M), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/777M),

Abu „Ubayda al-Mutsanna (w. 210 H/825M ) dan yahya ibn Ziyad al-farra‟ (w.

207H/822M).75

Namun kesadaran semantik (semantisches Bewusststein) dalam dunia

penafsiran al-Qur‟an dimulai pada masa Muqatil Ibn Sulaiman (w.150 H/767 M).

karya ibnu Sulaiman yang menjadi fokus ulasan babak awal dari kesadaran

semantik adalah al-Aybah wa al-nazha‟ir fī al-Qur‟an al-Karīm dan Tafsir ibn

Sulaiman.76

Muqatil Ibn Sulaiman menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur‟an, di

samping memiliki arti yang definitif, juga memiliki beberapa alternatif makna

lain. Salah satu contohnya adalah kata Mawt, yang memiliki arti dasar mati.

Menurut Muqatil, dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki

empat arti alternatif yaitu : pertama, tetes yang belum dihidupkan. Kedua,

manusia yang salah beriman, ketiga, tanah gersang yang tandus. Keempat, ruh

yang hilang.77

Menurut sumber lain, sebenarnya kajian yang menggunakan metode

kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa mufassir klasik, di antaranya adalah

Al-Farrā‟ dengan karya tafsirnya Ma‟āni al-Qur‟ān, Abu Ubaidah, Al-Sijistani

dan Al-Zamakhasyari. Lalu dikembangkan oleh Amin Al-Khully yang kemudian

teori-teorinya diaplikasikan oleh „Aisyah bint Al-Syati‟ dalam tafsirnya Al-Bayān

Li al-Qurān Al Karīm. Gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi

oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik al-Qur‟an.78

75

Ibid. h. 138 76

Ibid.h. 170 77

Ibid.h. 170 78

Ismatillah, Skripsi Makna Wali Dan Auliyā‟ Dalam Al-Qur‟a (Suatu Kajian dengan

Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu) (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2016) h. 18

25

Kajian ini tidak hanya menarik perhatian kalangan lughawiyyin, namun juga

Ushuliyyin, Falsifah, dan balaghiyyin. Adanya perhatian terhadap kajian ini

muncul seiring dengan adanya kesadaran para linguis dalam memahami ayat-ayat

al-Qur‟an dan menjaga kemurnian bahasa Arab.

Usaha para lunguistik Arab untuk memahami dan menggali rahasia-rahasia

al-Qur‟an pada abad permulaan Islam di antaranya adalah penghimpunan kata-

kata dan ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung dalam kata atau

ungkapan itu, untuk membantu orang-orang untuk mencari makna kata atau

ungkapan yang tidak bisa dipahami, dalam upanya menganalisis isi al-Qur‟an,

hadis Nabi, dan buku-buku agama lainnya yang berbahasa Arab.

Upaya penyusunan kamus merupakan salah satu bukti konkrit dari perhatian

ulama Arab terhadap semantik. Penyususunan kamus ini berlangsung melalui

beberapa tahap pertama, tahap penyusunan kata-kata atau lafadz-lafadz dengan

penjelasanya yang belum disusun secara teratur. Pengumpulan ini terjadi baru

pada abad pertama hijriyah, dengan sumber pokok al-Qur‟an, hadis dan syair

Arab Jahili, seperti karya Abu Zaid Al-Anshāri Nawādiru fī lughati. Kedua tahap

pembukuan lafadz-lafadz secara teratur, akan tetapi berbentuk risalah-risalah

yang terpisah dengan materi yang terbatas seperti kitab Al-ibil karya al-Asmu‟i.

Ketiga tahap penyusunan kamus secara konprehensip dan sistematis yang

dipelopori oleh Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi dengan karyanya kamus al-„Ain.

Tahap ini terjadi sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, pada masa inilah

kajian semantik mulai dikaji secara sistematik.79

79

Moh.matsna, Op.Cit. h. 12

26

Bagan Sejarah Perkembangan Semantik Arab

Rasulullah saw w 11 H

Ibnu Abbas w 68 H

Mujahid w

Hasan Al-Basri w.110 H/728 M

Generasi Pertama

(Embrio Smantik) Abu Abi Rabah w.114 H/732 M

Qatadah w.128 H/754 M

Al-Suddi al-Kabir w.128 H/754 M

Ibnu Juraij w.150 H/767 M

Kesadaran Semantik Muqatil Ibnu Sulaim w.150 H/767 M

Sufyan Al-Tsauri w.161 H/777 M

Al-Farra‟ w. 207 H/822 M

Abu Ubaidah w. 210 H/825 M

Al-Sijistani w. 862 M

Toshihiko Izutsu w. 1993 M Al-Zamakhsyari w. 538H/1144 M

Bintu Syathi w. 1998 M Muhammad Abduh w 1905 M

Amin Al-Khully w. 1966 M Thaha Husen w 1973 M

27

3. Semantik Dalam Wilayah Kajian Ulumul Qur‟an Dan Sastra

1. Semantik Dalam Kajian Ulumul Qur‟an

Kajian semantik yang mengambil al-Qur‟an sebagai objek kajian telah

banyak ditempuh para ahli dan melahirkan sejumlah karya. Mengenai hal

tersebut, seperti Amin al-Khulli dalam kitabnya Manāhij tajdīd fī al-nahwi wa

al-balaghoti wa tafsīri wa al-adabi dan istrinya Aisyah Abdurrahman yang

biasa dikenal dengan sebutan Binti Syathi‟ dalam Tafsīr Al-Bayāni Li Al-

Qur‟an Al-Karīm, yang disebut oleh J.J.G Jansen sebagai tokoh mufasir

muslim terkemuka yang menggunakan semantik sebagai basis tafsir Al-

Qur‟an. Keduanya menerapkan pripsip kajian linguistik dalam melacak

berbagai makna al-Qur‟an yang telah menempuh prosedur filologi.80

Dalam dunia Islam, Al-Qur‟an dianggap sebagai karya sastra yang

paling agung. Banyak ilmuan dan peneliti baik dari kalangan muslim atau non

muslim yang tidak henti-hentinya meneliti dan menggali isi kandungan al-

Qur‟an melalui berbagai cara dan pendekatan. Salah satunya adalah

pendekatan makna atau biasa disebut ilmu semantik.

Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan dalam tiga tahap81

,

yaitu: pertama At-Tanazzulu al-Awwalu (tahap pertama) yakni al-Qur‟an

diturunkan ke Lauh Mahfud. Yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa

mengetahuinya secara definite atau pasti.

Kedua At-Tanazzulu Ats-Tsāni (Tahap kedua). Pada tahap ini al-Qur‟an

turun dari Lauh Mahfud ke Baitul „Izzah yaitu ke langit yang dekat dengan

dunia.

Ketiga At-Tanazzulu Ats-Tsālitsatu (Tahap ketiga) yaitu turunnya al-

Qur‟an dari Baitul „Izzah langsung kepada Nabi Muhammad saw melalui

Malaikat Jibril. Ada beberapa cara Jibril menyampaikan al-Qur‟an kepada

Nabi Muhammad, salah satunya dengan menuntun bacaan al-Qur‟an kepada

Nabi seperti saat mewahyukan QS. Al-„Alaq. Al-Qur‟an tersebar pada para

80

Yayan Ibid h. 239 81

Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000)h.51

28

sahabat langsung dari Rasulullah melalui bahasa lisan yang kemudian dijaga

dengan hafalan dan tulisan.

Hakikat kalam Allah tidak kita ketahui karena kalam-Nya bersifat zat-

Nya yang mustahil dijangkau oleh makhluk, termasuk manusia. Namun

demikian, dalam konteks penafsiran al-Qur‟an kita dapat menjangkau

sekelumit dari kalam-Nya karena ketika Allah menyampaikan pesan-pesannya

kepada Nabi menggunakan bahasa manusia yang dalam hal ini adalah bahasa

Arab.

Allah berfirman :

إنا جعلناه ق رآنا عربيا لعلكم ت عقلون

Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya

kamu memahami(pesan-pesannya).(QS. Az-Zukhruf [43]:3).

Ini artinya bahwa al-Qur‟an yang merupakan kalam Allah itu

menggunakan bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat pada masa

turunnya. Ini berarti juga bahwa kita mempunyai potensi untuk memahami

kalam Allah yang berbahasa Arab itu dengan perangkat yang digunakan oleh

bahasa Arab.82

Ketika ingin memahami Al-Qur‟an, seseorang harus memahami

bahasa yang dipakai oleh Al-Qur‟an dalam hal ini adalah bahasa Arab,

mengetahui dengan jelas makna-makna yang terkandung di dalamnya

sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari.

Penafsiran akan dianggap valid apabila memegang prinsip e mente

auctoris, prinsip bahwa penafsiran dianggap sah apabila mampu

mengungkapkan maksud pengarang, karena al-Qur‟an bukanlah karangan

82

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) h. 45

29

manusia, melainkan karya Tuhan maka penerapan dari prinsip ini adalah

penekanan bahwa al-Qur‟an harus dipahami secara komprehensip.83

Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk memahami atau menggali

isi kandungan Al-Qur‟an, salah satunya dengan semantik atau ilmu tentang

makna. Dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balagah

yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut di

antaranya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna

yang berkaitan. Selain itu, medan perbandingan makna antara satu kata

dengan kata yang lain dalam semantik mirip dengan munasabah ayat dengan

ayat. Hal ini menjadikan semantik identik dengan Ulumul Qur‟an, walaupun

terdapat perbedaan dalam analisisnya di mana semantik lebih banyak

berbicara dari segi historisitas kata untuk mendapatkan makna yang sesuai

pada kata tersebut.84

Menurut Toshihiko izutsu semantik dapat ditempatkan pada dua ranah,

yaitu sebagai paradigma dan semantik sebagai instrument analisis. Sebagai

paradigma, semantik berusaha untuk memberikan dasar epistimologi bagi

analisis semantik. Adapun alat analisis berusaha untuk menyediakan prosedur

dan piranti analisis agar rekomendasi makna dapat komprehensif, mendalam

dan tidak reduktif.85

2. Semantik Dalam Kajian Ilmu Sastra

Semantik memiliki bidang yang sangat luas, baik dari struktur, fungsi

bahasa maupun multidisipliner bidang ilmu. Begitu luasnya sehingga hampir

semua yang mengandung makna menjadi objek kajian semantik.86

Menurut Fatimah ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu

makna dalam bidang linguistik. Objek kajian semantik adalah makna yang

diperoleh dari Sproses analisis terhadap struktural dalam seluruh level bahasa

83

Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusman, Op Cit. h. 245. 84

Ismatillah, Op.Cit. h.20 85

Yayan Ibid. h.249 86

Yayan rahtikawati dan Dadan Rusman, Metode Tafsir Al-Qur‟an: Strukturalisme,

Semantic, Semiotic dan Hermeneutik (Bandung: Pustaka setia,2013) cet 1, h.212

30

(fonologi, morfologi, dan sintaksis), makna juga diteliti melalui fungsi yang

berujung pada pengenalan leksikal, gramatikal, serta pemahaman makna kata,

frase, klausa, kalimat dan wacana.87

Yayan Rahtikawati dalam bukunya mengutip pendapat Tarigan

menyebutkan bahwa ruang lingkup semantik dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu ruang lingkup semantik yang luas dan ruang lingkup semantik yang

sempit. Dalam arti luas semantik mengkaji seluruh fenomena bahasa, adapun

dalam arti sempit ruang lingkup semantik terdiri atas dua bagian, yaitu teori

referensi (denotasi dan ektensi) dan teori makna (konotasi dan intensi).

Semantik mencakup wilayah jenis makna, relasi makna, perubahan makna,

serta medan komponen makna.88

Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa

sebagai media pemaparnya. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa yang

digunakan sehari-hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasan

tersendiri. Disebut demikian karena bahasa dalam sastra merupakan salah satu

bentuk idiosyncratic di mana tebaran kata yang digunakan merupakan hasil

pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya. Selain itu sebagai

komunikasi tulis, karya sastra juga telah kehilangan identitas sumber tuturan,

kepastian referen yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menunjang

pesan yang ingin direpresentasikan, serta keterbatasan tulisan itu sendiri

dalam mewakili bunyi ujaran.89

Berhadapan dengan kompleksitas makna dalam karya sastra, pembaca

yang ingin memahami karya sastra dengan sunguh-sungguh dan benar

tentunya harus memahami ilmu tentang makna sebagai bekal awal dalam

upaya memahami teks sastra.

Peran semantik yang sangat penting dalam kajian satra terutama dalam

telaah makna dalam gaya bahasa maupun latar proses kehadirannya. kajian

87

Fatimah Djajasudarma, Semantik 1 Makna Leksikal dan Gramatikal, (Bandung: Refika

Aditima, 2012),cet 5, h. 5 88

Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusman, Op Cit. h.212 89

Aminudin, Ibid.h. 25

31

semantik yang dimanfaatkan untuk menafsirkan makna maupun analisis

makna dalam ragam bahasa tertentu, biasa di sebut dengan semantik

interpretatif maupun semantik pragmatik.90

Toshihiko Izutsu menyebutkan bahwa penelitian semantik mencoba

menguraikan katagori semantik dari sebuah kata menurut kondisi

pemakaiannya, sedangkan Jos Daniel Parera mengatakan bahwa ruang

lingkup kajian semantik adalah pencarian hakikat makna dan hubungannya.91

4. Hubungan Semantik dengan Metode Penelitian dan Metode Penafsiran

Para pengkaji al-Qur‟an berpeda pandangan dalam memposisikan

semantik. Posisi semantik dapat diklasifikasikann sebagai berikut92

:

1. Semantik sebagai bagian dari tafsir al-lughowi (tafsir yang bercorak

kebahasaan). Kategori yang pertama ini menegaskan bahwa semantik

hanya sebuah orientasi, sudut pandang, pendekatan atau corak tafsir yang

menekankan analisisnya pada aspek kebahasaan, sebagian pengkaji al-

Qur‟an menyebutkan bahwa penelitian tafsir semantic adalah tafsir yang

tergolong corak kebahasaan.

2. Semantik sebagai bagian dari tafsir tematik (tafsir Maudhu‟i) apabila

dalam tafsir maudhui terdapat tahapan analisis kata (mufradat), analisis

radiksional (jumlah), dan analisis korelasional (munasabah), hal ini dapat

disejajarkan dengan analisis leksikal, analisis gramatikal, analisis

komponensial, dan analisis kombinatorial.

3. Semantik sebagai metode Independent yang dapat digunakan sebagai

pisau analisis. Dalam hal ini, semantik ditempatkan sebagai perangkat

metodologi utuh dan al-Qur‟an dijadikan sebagai objek penelitian yang

akan dibedah oleh semantik. Pendekatan semantik memang mempunyai

kemiripan dengan metode Maudhu‟. Bedanya, semantik lebih

menekankan analisisnya pada kosa kata, sedangkan Maudhu‟i bertolak

90

Ibid. h. 26 91

Ibid h. 214 92

Yayan h. 264

32

dari konsep-konsep social, terma-terma al-Q ur‟an, atau terma-terma dari

ilmu-ilmu Islam tradisional. 93

Kajian semantik yang menjadikan Al-Qur‟an sebagai Objek Kajian telah

banyak ditempuh para ahli dan melahirkan sejumlah karya mengenai hal tersebut.

Yayan Rahtikawati dan dadan Rusman mengutip pendapat J.J.G Jensen yang

menyatakan bahwa Amin Al-Khully dan Binthu Syathi merupakan salah satu tokoh

mufasir muslim terkemuka yang menggunakan semantik sebagai basis tafsir al-

Qur‟an.94

93

Yang dimaksud dengan ilmu Islam tradisional adalah fiqih, tasawuf, falsafah dan kalam 94 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusman, Op Cit. h.239