BAB III METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY A. Biografi ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of BAB III METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY A. Biografi ...
1
BAB III
METODE PENAFSIRAN AMIN AL-KHULLY
A. Biografi Amin Al-Khully
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi‟ Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khully yang biasa
dikenal dengan sebutan Amin Al-Khully. Ia adalah seorang pembaharu Islam yang
lahir pada tanggal 1 Mei 1895 M di Munfiyya, sebuah kota kecil di daerah Mesir. ia
berasal dari keluarga petani yang dikenal dengan pendekar Arab yang gagah berani
dan kental akan nuansa keagamaannya.1
Amin Al-Khully mendapat pendidikan di Kuttab dan disekolahkan di sekolah
pemerintahan Cairo.2 Ia tinggal bersama Syekh Ali Amir Al-Khully salah satu
kakek dari pihak ibunya. ia adalah alumni al-Azhar dengan spealisasi ilmu Qira‟at
yang terkenal dengan sebutan al-Shibi.3
Pada usia tujuh tahun Amin Al-Khully tinggal bersama pamanya dan mendapat
pendidikan agama yang sangat ketat. Di antara pendidikan itu adalah menghafal al-
Qur‟an, menghafal tajwid al-tuhfah dan al-Jazariyah, Fiqih, dan nahwu. Al-
syamsiah, al-Kanz, al-Jurumiah dan Matan al-Fiyah adalah kitab-kitab yang wajib
dihafal oleh Amin Al-Khully, ia berhasil menghatamkan hafalan al-Qur‟annya
khususnya dengan Qira‟ah Hafs dalam waktu yang singkat yaitu 18 bulan di usia
sepuluh tahun.4
Amin al-Khully masuk Madrasah al-Qissuni pada tahun 1907 dan melanjutkan
sekolahnya ke Madrasah Ustman Pasa selama tiga tahun. Syaikh „Abdul Rahmān
Khalīfah salah seorang guru di Madrasah al-Qissuni menyarankannya untuk
1 Arthur Goldschmidt JR, Biographical Dictionary Of Modern Egypt, (London: Lynne
Rienner Publishers, 2000) h.105 2 Ibid
3 Rizki Dimas, http://akuanaktafsir.blogspot.co.id/2013/10/tafsir-sastra-amin-al-khuli.html di
unduh pada haru rabu 24 Agustus 2016 jam 05:58 4 Ibid
2
melanjutkan studinya ke Madrasah al-Qadha‟ Asy-Syar‟i (Akademi Hukum) karena
kecerdasannya yang luar biasa.5
Amin Al-Khully berhasil masuk akademi hukum di madrasah al-Qadha‟ al-
Syar‟i dengan ujian hafalan al-Qur‟an lengkap, membaca kitab dan mengarang
dalam bidang fikih dan nahwu al-Jabar, matematika teoritis, astronomi, fisika,
kimia, sejarah dan geografi juga tidak ia tinggalkan untuk dikaji.6
Ikhwan al-Shafa7 adalah satu organisasi yang dipilih Amin Al-Khully untuk
mempertajam intelektualitasnya sekaligus menyalurkan hobinya dalam bidang seni
dan satra. Ditengah kesibukannya sebagai pelajar ia juga turut mengambil bagian
dalam resolusi 1919 yaitu melawan kekuatan kolonialis Inggris melalui kampanye
penyatuan kekuatan militer dan intelektual masyarakat sipil.8 Walaupun aktif dalam
organisasi Amin al-Khully tidak pernah bergabung dalam partai politik manapun.9
Amin Al-Khully berhasil menamatkan pendidikannya pada jenjang Ibtidaiyah
dan Aliyah dengan hasil yang memuaskan. Sebagaimana madrasah Darul Ulum,
madrasah tempat Amin al-Khully belajar merupakan benteng pertahanan bahasa
Arab dan pengetahuan Islam, pada saat itu pengawas dan para dewan gurunya
5 Muhammad Aminulah hermeneutic dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin al-
Khully (Bima: Institut Agama Islam Muhamadiyah Ranggo, 2016 )Vol IX h. 328 6 FajarD. K http://hambawang.blogspot.co.id/2009/05/tafsir-pendekatan-sastra-metode-amin-
al.html Di unduh pada hari Rabu 24 Agustus 2016 jam 04:01 h. 7 Ikhwan al-Shofa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih
banyak memperhatikan bidang pendidikan, kelompok ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah
di kota Bashrah, Irak. Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang
memperkokoh Ukhuwah Islamiyah, dengan pandangan bahwa iman seorang muslim tidak sempurna
sampai ia mencintai saudaranya sendiri seperti mencintai dirinya sendiri. Semua anggota Organisasi ini
wajib menjadi pengajar atau Mubaligh dalam masyarakat. Secara umum kemunculan ikhwan al-Shofa
dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran
dari luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat
Islam. Kelompok ini sangat merahasiakan nama-nama Anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak
secara rahasia disebabkan kekhawatiran akan tindakan penguasa pada waktu itu yang cenderung
menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisi ini antara lain yang menyebabkan Ikhwan
al-Shafa memiliki anggota yang terbatas. Mereka sangat selektif dalam menerima anggota baru
dengan melihat berbagai aspek. Di antara syarat yang mereka tetapkan adalah : memiliki ilmu
pengetahuan yang luas, loyalitas tinggi, memiliki kesungguhan, dan berakhlak mulia. (Furqon Syarief
Hidayatulloh, Relevansi Ikhwan al-Shafa Bagi Pengembangan Dunia Pendidikan, (Bogor: Institut
Pertanian Bogor, 2013) vol XVIII h.44-45) 8 Muhammad Aminullah, Hermeneutik dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin-Al-
Khully, (Bima: institute Agama Islam Muhamadiyah, 2016) vol IX, h. 329 9 Arthur Goldschmidt JR, Op. Cit.
3
merupakan generasi-generasi brilian dari kalangan cendekiwan, ulama dan ahli fikih
kontemporer.10
Amin Al-Khully menulis tesisnya dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa
Nazdmuha pada tahun 1917 yang kemudian diterbitkan pada tahun 1960 dengan
judul al-Jundiyah wa Silmu Waqi‟ wa Nissal dan artikel yang ditulis Al-Madinah
Al-Jundiyah Fī Siqhiyah, Al-Ashlihah Al-Nariyah Fī al-Juyusy Al-Islamiyah dan
Jundiyah Fī al-Islam. Awalnya Amin al-Khully mengkaji bahasa sastra Arab
sebagai upaya untuk membongkar kebutuhan persepsi tentang kesakralan al-
Qur‟an. Fī Adabi al-Misyri dan Fanu al-Qaul Adalah dua karya penting dalam
bidang pendekatan sastrawi atas al-Qur‟an.11
Pada tahun 1920 Amin Al-Khully berhasil menamatkan sekolahnya, kemudian
diberikan tugas mengajar di sekolah tersebut pada tanggal 10 Mei di tahun yang
sama. Pada tangga 7 Nopember 1923 dekrit kerajaan menetapkan beberapa orang
imam bagi kedutaan Mesir di London, Paris, Washington dan Roma. Pada saat itu
Amin al-Khully mendapat mandat untuk menjadi imam di kedutaan Mesir di Roma.
Amin Al-Khully berangkat dari Alexandria menggunakan kapal dan sampai di Italia
setelah tiga hari perjalanan.12
Selama dua tahun di Italia, Amin al-Khully belajar bahasa Italia sampai benar-
benar menguasainya, melalui itulah Amin al-Khully kemudian mengamati
kehidupan keaagamaan, kebudayaan dan karya-karya para orentalis Eropa. Setelah
itu Amin al-Khully melanjutkan karirnya menjadi delegasi Mesir di Berlin pada
awal Januari 1926, dari sinilah kemudian amin al-Khully belajar bahasa Jerman,
dengan modal bahasa Jerman dan Italia Amin Al-Khully bisa memperoleh
pengetuhan tentang Eropa.13
Amin Al-Khully kembali ke Mesir setelah karir imam dan negosiator
ditiadakan dari kedutaan Mesir sejak tahun 1927. Pada tanggal 9 Maret 1927 Amin
10
Gamal al-Banna, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm Baina al-Qudama wa al-Muhadditsīn, trjm:
Navriantoni kahar, (Jakarta: Qitshi press, 2004) cet 1, h. 196. 11
FajarD. K, Op Cit. 12
Gamal al-Banan, Op Cit. h. 196 13
Ibid h. 197
4
al-Khully mulai berkarya di madrasah peradilan agama, namun pada saat itu juga
peradilan agama menutup pintunya rapat-rapat bagi dirinya. Kemudian Amin al-
Khully pindah kebagian bahasa Arab Fakultas Adab di Universitas Mesir
(Universitas Kairo saat ini), pada tahun yang sama tanggal 3 November Amin al-
Khully menjadi tenaga pengajar, lalu diangkat sebagai dosen pembantu dan
beranjak menjadi dosen pada jurusan sastra Arab sejak februari 1942. Kemudian
pada tahun 1946 tanggal 19 Oktober Amin al-Khully di pindah ke jabatan
penanggung jawab sastra Mesir dalam Fase Islam. Karirnya terus menanjak sampai
menjadi ketua jurusan bahasa Arab, sampai wakil dekan dan menjadi guru besar
Studi al-Qur‟an pada tahun 13 Mei 1946 di Universitas Kairo, Giza.14
Pada 1953 terjadi konflik yang tajam di Fakultas, sehingga memecah belah
dosen-dosen pengajar. konflik ini berawal saat Amin al-Khully ditunjuk sebagai
promotor disertasi doktoral Muhammad Ahmad Khalafallah pada tahun 1947. Para
intelektual al-Azhar menuding Ahmad Khalafallah dan Amin al-Khully sebagai
orang yang inkar dan kafir terkait pandangan Ahmad Khalafallah yang kontroversial
mengenai ketidakbenaran kisah-kisah yang disampaikan al-Qur‟an secara historis
tentang para nabi sebelum nabi Muhammad saw, yang dikuatkan oleh Amin al-
Khully. Perdebatan ini berakhir dengan dicopotnya gelar guru besar yang disandang
Amin al-Khully.15
Amin Al-Khully menjadi penasihat seni untuk Darul Kutub sejak 12 Juni 1953
dan terus beranjak menjadi direktur umum kebudayaan di Mesir. pada tahun 1955
Amin al-Khully memilih untuk mengakhiri karirnya di pemerintahan.16
Selain mengajar di Fakultas Sastra, Amin Al-Khully juga mengajar di Fakultas
Hukum Universitas Mesir, Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Fakultas Sastra
Universitas Alexandria, akademi seni peran Arab dan musik pentas, dan program
pasca sarjana. Amin Al-Khuly juga ditunjuk menjadi anggota majlis Fakultas
14
Gamal al-Banna, Op Cit h. 197 15
Muhammad Aminullah, Hermeneutik dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin-
Al-Khully, (Bima: institute Agama Islam Muhamadiyah, 2016) vol IX, h. 330 16
Gamal al-Banna, Op Cit
5
Ushuluddin dan majlis tinggi Darul Kutub. Amin Al-Khully wafat pada tanggal 9
Mei 1966 hari rabu jam 3 siang pada usia 71 tahun.17
Berbeda dengan Muhammad Syaltut dan Abbas Muhamad al-Aqqad, Amin al-
Khully bukanlah penulis yang produktif. ia juga tidak melahirkan karya tafsir secara
utuh, Namun Amin Al-Khully mempunyai beberapa karya yang berhubungan
dengan teori penafsiran al-Qur‟an yang sering dijadikan sebagai rujukan karena
dipandang sebagai rancangan metodologi baru. Salah satu murid yang menerapkan
metodenya secara produktif adalah Aisyah Abdurrahman Bint Syati Istri Amin Al-
Khully sendiri.18
Hal tersebut terlihat pada kata pengantar karya tafsirnya yang
berjudul at-tafsīr al-bayāni li al-Qur‟ān al-Karīm . bintu Syathi mengatakan :
“mengenai metodologi, al-ustadz al-imam Amin Al-Khully telah
menjelaskan dalam bukunya Manāhij At-Tajdīd. Tetapi tidak mengapa
jika saya menyimpulkan pokoknya di sini :
1. Pada prinsipnya metodologi adalah penanganan yang objektif terhadap
a-Qur‟an, dimulai dengan mengumpulkan semua surat dan ayat-ayat
yang ada di dalam al-kitab al-muhkam (al-Qur‟an) ke dalam tema yang
dikaji.
2. Dalam memahami nash, yang penting adalah penyusunan ayat-ayat
menurut nuzulnya untuk mengetahui situasi waktu dan tempat, seperti
yang diungkap oleh riwayat-riwayat tentang asbabun Nuzul sebagai
kontek yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada
keumuman lafal,bukan pada sebab khusus turunnya ayat. Asbabun
Nuzul hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang
tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Peselisihan asbabun nuzul pada
prinsipnya kembali ada orang-orang yang semasa dengan turunnya ayat
atau surat, yang masing-masig menghubungkannya dengan peristiwa
yang dipahami atau diduganya sebagai sebab turunnya ayat al-Qur‟an.
3. Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa bahasa Arab
adalah bahasa al-Qur‟an. Karena itu, hendaknya kita mencari petunjuk
pada bahasa aslinya, yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan
bagi lafal-lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki
maupun yang majazi, kemudian kita simpulkan muatan petunjuknya
dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada didalamnya, lalu mencari
konteksnya yang khusus dan umum di dalam sura al-Qur‟an secara
keseluruhan.
4. Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita mengikuti konteks
nash maupun semangatnya. Kemudian makna tersebut kita
17
ibid 18
Rizki Dimas, Op Cit.
6
konfirmasikan dengan pendapat mufassir. Melalui cara ini kita terima
apa yang ditetapkan nash, dan kita jauhi kisah-kisah israiliyat, noda-
noda nafsu, dan berbau bid‟ah.19
Sedangkan di antara karya-karya Amin al-Khully adalah sebagai berikut:
1. Fī Adabi Mishri: Fikr wa Manhaj
2. Al-Mujaddidu Fī Islam „Ala Asasi Kitaby: Al-Tanbi‟ah Biman Yab‟atsuhu
Allah „Ala Kulli Mi‟at Li Al-Suyuti Wa Bugyat Al-Muqtadin Wa Minhat Al-
Mujiddīn „Ala Tuhfati Al-Muhtadīn Li Al-Maraghi Al-Jurjaw
3. Silat al-Islam bi Islah al-Masihiyyah
4. Al-manāhij Tajdīd Fī al-Nahwi wa al-Balaghti wa al-Tafsīri wa al-Adabi
5. Min Huda al-Qur‟an: Fī Amwālihim Misaliyyah
6. Min Huda al-Qur‟an: Fī Ramadhan
7. Mu‟jam Alfaz al-Qur‟an al-Karim
8. Min Huda al-Qur‟an: al-Qadat al-Rasul
9. Min Huda al-Qur‟an: al-Qard al-Hasan
10. Al-Jundiyah wa al-Salam
11. Min Huda al-Qur‟an: Musykilat Hayatina al-Lughawiyyah
12. Fann al-Qawl
B. Konsep dan metodologi semantik Amin Al-Khully
1. Al-Qur‟an adalah Karya Sastra Terbesar
Bagi umat Islam Al-Qur‟an merupakan wahyu Tuhan (Kalamullah) yang
diturunkan kepada nabi Muhammah SAW. Wahyu dalam konsep Islam berarti
pembicaraan Allah. Itu artinya sang penguasa berkomunikasi dengan utusan-Nya
dengan menggunakan sarana interaksi, meski cara yang digunakan berbeda
dengan hubungan yang digunakan oleh manusia dengan sesamanya. namun al-
Qur‟an yang kita terima dari generasi dahulu sampai sekarang berupa bahasa Arab,
hal ini juga di kuatkan denganan Allah SWT
19
Aisyah Abdurrahman, At-tafsīr al-bayāni li al-Qur‟ān al-karīm, (TT: dar al-Ma‟arif) juz 1
h. 10
7
(٣)إنا جعلناه ق رآنا عربيا لعلكم ت عقلون
“Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab agar
kamu mengerti20
.( Q.S. az-Zukruf: 3)
Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa komunikasi tuhan dengan
utusan-Nya tidak bisa diteliti dan dikaji sama sekali. Sebaliknya, ia merupakan
bahan kajian dalam keilmuan keislaman yang tak pernah kering. Salah satu
tujuan diturunkan al-Qur‟an adalah untuk merespon permasalahan yang terjadi
di zaman Nabi. itu artinya al-Qur‟an diturunkan untuk kepentingan manusia.
Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang tepat atas ajaran-ajaran yang
dikandungnya agar sesuai dengan maksud Allah SWT sebagai pengarang al-
Qur‟an.
Al Qur‟an juga merupakan sekumpulan teks yang perlu dipahami dan
ditafsirkan secara mendalam. Tanpa adanya penafsiran, al-Qur‟an tetap menjadi
sebuah teks yang tidak bisa berbicara. Oleh sebab itu penafsiran terus
berkembang dan tak kenal henti sejak zaman Rasulullah SAW sampai saat ini.
Hal tersebut merupakan sebuah upaya untuk memahami pesan-pesan ilahi, oleh
karenanya banyak ulama memahami al-Qur‟an dari berbagai pendekatan, salah
satunya adalah pendekatan sastra.
Sastra dalam kamus bahasa Indonesia adalah bahasa yang dipakai dalam
kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).21
Sedangkan dalam ensiklopedia bahasa
sebagaimana yang dikutip oleh Istianah :
“sastra adalah bentuk seni yang melahirkan dalam dan
dengan bahasa. Masih dalam artikel yang sama, sastra adalah hasil
karya cipta manusia dengan medium bahasa maupun lisan, bersifat
imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan secara
relatif. Sastra yang sebenarnya meliputi segala macam pengetahuan
20
Al-Qur‟an dan terjemahnya (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2006) h. 702 21
Tim redaksi kamus bahsa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Iandonesia (Jakarta : Pusat
Bahasa, 2008) h. 1272
8
yang tertulis, namun dalam perkembangannya, berarti karya-karya
yang bersifat seni saja”.22
Sedangkan dalam bahasa Arab sastra disebut dengan al-Adab yang berarti
dengan kehalusan budi dan adab sopan santun. Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya mempunyai arti peninggalan perkataan dalam bentuk puisi dan prosa.
Oleh karena itu sastra adalah pengungkapan pengalaman seorang sastrawan
dengan kata-kata yang inspiratif.23
Tafsir susatra atau lebih tepatnya menangkap pesan abadi ketuhanan yang
tertuang dalam kitab suci dengan memperhatikan tanda-tanda kebahasaan
merupakan salah satu usaha untuk mengaktualkan pesan Tuhan yang disampaikan
kepada manusia.
Amin al-Khully merupakan salah satu ulama tafsir yang menggunakan
pendekatan tafsir susatra untuk mengungkap isi kandungan al-Qur‟an. Menurut
Amin Al-Khully al-Qur‟an merupakan buku agung berbahasa Arab dan sebagai
karya sastra yang paling tinggi. al-Qur‟an membuat bahasa Arab tidak pernah
mati, dan bersamaan dengan statusnya sebagai bahasa yang dipilih oleh Tuhan
untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiah-Nya, menjadikan al-Qur‟an sendiri
sebagai sesuatu yang tak kenal kering.24
Keseriusan Amin Al-Khully dalam mengkaji al-Qur‟an tidak bisa di lepaskan
dari kajian-kajian bahasa dan sastra Arab. Sebagai bukti dari pernyataan ini adalah
banyakya tulisan Amin Al-Khully yang berbicara tentang bahasa dan sastra. Fī
Adabi Mishri dan Fanu al-Qawl merupakan salah satu karya pentinya yang
berbicara mengenai sastra dan kritik sastra, Keduanya menunjukan keseriusan
Amin Al-Khully dalam memberikan cara baca dan cara baca baru terhadap dunia
sastra Arab.25
22
Istianah, stilistika al-Qur‟an: pendekatan sastra sebagai analisis dalam
menginterpretasikan al-qur‟an (kudus: stain kudus, 2014) h. 372 23
Ibid. h. 373 24
Amin Al-Khully, Manāhiju al-Tajdīd ( ,1995) h. 229 25
M.Nur kholis setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra terbesar, ( Yogyakarta: alsaq prees 2006)
h. 8-9
9
Mengingat studi al-Qur‟an disejajarkan dengan studi karya sastra, Amin Al-
Khully mengedepankan dua prinsip metodologis, yakni studi sekitar al-Qur‟an dan
studi tentang teks itu sendiri. Metode yang ditawarkan oleh Amin Al-Khully lebih
dikenal dengan tafsir sastra terhadap al-Qur‟an. sasaran metode ini adalah untuk
mendapat pesan al-Qur‟an secara menyeluruh dan diharapkan bisa terhindar dari
tarikan-tarikan individual-idiologis dan politik kekuasaan. Al-Qur‟an harus
dianggap sebagai teks sastra suci. Oleh karenanya, agar bisa memahami ayat al-
Qur‟an secara proporsional, seseorang harus menempuh metode sastra (Al-Manhaj
al-Adabi) yaitu corak tafsir yang berusaha menjelasakan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan menguraikan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok ayat yang
ditafsirkan.26
Muhammad Abduh berpendapata sebagaimana yang dikutip oleh Amin Al-
Khully bahwa ada dua macam tafsir, yang pertama adalah Tafsir yang kering dan
jauh dari Allah dan kitab-Nya tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang hanya
menguraikan kata-kata dan mempersoalkan cara baca dalam kalimat. dan
menjelaskan poin-poin artistik dari ungkapan-ungkapan dan isyarat-isyarat
kalimat. Jenis tafsir ini tidak pantas disebut tafsir, ia hanya merupakan bentuk
latihan penerapkan ilmu-ilmu aplikatif seperti nahwu dan ma‟ani.27
Kedua adalah tafsir yang dapat membawa mufassir dapat memahami maksud
dari yang mengatakan, baik berupa ujaran, tujuan dari diundangkanya akidah,
moral dan hukum dengan cara yang menarik jiwa. Mendorong jiwa untuk berusaha
mengungkap hidayah yang terkandung dalam ujaran tersebut agar makna firman-
Nya dapat terwujud sebagai petunjuk dan rahmat dan sifat-sifat semacamnya.
Inilah yang disebut tafsir terbaik menurut Muhammad Abduh.28
Pembagian tafsir di atas menurut Muhammad Abduh seperti yang dikutip
Amin al-Khully bahwa tujuan utama dan terpenting dari tafsir adalah menjadikan
26
Istianah,Op Cit h. 383 27
Amin al-Khully dan Nashr Hamid Abu Zaid Metode Tafsir Sastra, terj Khairun Nahdiyyin
(Yogyakarta: Adab Press, 2004) cet 1. h. 50 28
Ibid h. 51
10
al-Qur‟an sebagai petunjuk, ini merupakan tujuan agung yang harus diwujudkan
oleh umat Islam.29
Berangkat dari keyakinan Muhammad Abduh seperti yang ditulis Nur Kholis
Setiawan bahwa kajian terhadap al-Qur‟an dimaksudkan hanya untuk mengungkap
dan menangkap hidayah al-Qur‟an. ia tidak menghendaki metode penafsiranya
dipenuhi metode linguistik kebahasaan yang berlebihan. Analisis semantik Abduh
tidak melebihi batas-batas kajian kebahasaan yang telah dilakukan oleh al-Mahalli
dan al-Suyuthi dalam tafsir Jalalainnya. Meskipun Abduh bersikap ekstra hati-hati
terhadap analisis kebahasaan, kerangka penafsirannya tidak keluar dari bingkai
metode analisis linguistik dan sastra (al-manhaju al-lughawi al-fanni). Hal ini
terlihat ketika ia selalu menekankan kontiunuitas makna kata al-Qur‟an semenjak
diwahyukan sampai sekarang pada saat ia memberikan pemaknaan terhadap kata-
kata individual al-Qur‟an.30
Amin al-Khully berpendapat, bahwa sebelum menjadikan al-Qur‟an sebagai
petunjuk, masih ada tujuan yang paling utama dan paling jauh, dimana dari tujuan
tersebut muncul tujuan-tujuan lain dan mendasarai berbagai tujuan lainnya. Tujuan
ini harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum berupaya mewujudkan tujuan
manapun, baik itu tujuan yang bersifat ilmiah atau praksis, keagamaan atau
duniawi. Tujuan yang paling utama dan paling jauh tersebut adalah memandang
al-Qur‟an sebagai buku agung berbahasa Arab, dan sebagai karya sastra yang
tinggi.31
Menurutnya, buku inilah yang menyebabkan bahasa Arab abadi, melindungi
eksistensinya dan abadi bersamanya sehingga buku ini menjadi kebanggaan dan
mahkota tradisinya. Itu semua merupakan ciri khas bagi al-Qur‟an, dan ciri khas
itulah yang yang dikenali oleh orang-orang Arab sekalipun berbeda agama dan
kepentingan, selama orang tersebut menyadari kearaban buku tersebut.
Penjelasan di atas terlihat bahwa letak ketidaksetujuan Amin Al-Khully
terhadap pendapat Abduh terletak pada penempatan skala prioritas yang dilakukan
29
Amin Al-Khully, Op Cit h. 228 30
M.Nur kholis setiawan Op Cit h. 27 31
Amin Al-Khully, Ibid,h. 229
11
Abduh, yaitu, bahwa inti kajian al-Qur‟an adalah menangkap hidayah kitab suci
tersebut. Amin Al-Khully sepakat bahwa al-Qur‟an merupakan sumber hidayah,
namun, menempatkan hidayah sebagai prioritas utama tanpa memperhatikan
perangkat yang tepat untuk mendapatkan hidayah tersebut merupakan suatu
kenaifan. Oleh karena itu Amin Al-Khully menempatkan medan semantik dan
linguistik terhadap teks tersebut agar hidayah dapat diungkap.
Gagasan Amin Al-Khully mengenai karya sastra terbesar sama dengan
pemikiran Taha Husain (1889-1973 M) tentang kajian sekitar sastra Arab dan
hubungannya tentang teks al-Qur‟an. dalam salah satu karyanya yang berjudul Fī
al-Syai‟ir al-Jāhili Taha Husain memperlakukan teks al-Qur‟an sebagai dokumen
sastra suci. Hal ini dilakukan ketika berhadapan dengan beberapa kisah yang
tertuang dalam teks al-Qur‟an. Ia melihat beberapa narasi yang ada dalam teks al-
Qur‟an tidak harus dipahami dan dipegangi faktualitas historisnya, akan tetapi
lebih dilihat sebagai simbol religius yang harus ditangkap pesan moralnya. Sikap
Husain yang sedemikian rupa menjadi indikator pemberlakuan teks al-Qur‟an
sebagai kitab sastra terbesar. Bagi Husain teks al-Qur‟an merupakan sesuatu yang
memiliki daya tarik psikologi yang luar biasa. Penegasan teks yang demikian,
memiliki kedekatan dengan penegasan Amin Al-Khully bahwa al-Qur‟an adalah
teks sastra terbesar.32
Uraian di atas, dapat dilihat bahwa tafsir sastra yang dikedepankan oleh Amin
Al-Khully merupakan perkembangan dari sebagian tawaran Muhammad Abduh
yaitu al-manhaj al-lughawi al-fanni yang terwujud dalam tafsir Al-Manār, serta
pemaparan Taha Husain terhadapa gagasan Muhammad Abduh dalam Fī al-Syi‟ir
al-Jahiliy. Dengan begitu pemikiran Amin Al-Khully masih berhubungan dengan
Muhammad Abduh dan Taha Husain. Ketiga sarjana tersebut, dimulai dari
Muhammad Abduh, Amin Al-Khully dan Taha Husain dapat dikatakan memiliki
mata rantai intelektual yang menyatukan mereka, meskipun dalam beberapa hal
terdapat perbedaan prioritas.
32
M.Nur kholis setiawan, Op Cit h. 29
12
Pernyataan Amin Al-Khully mengenai status al-Qur‟an sebagai kitab karya
sastra Arab terbesar berpijak pada pertimbangan bahwa secara historis al-Qur‟an
diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Dalam hal ini, bahasa Arab merupakan
kode yang dipakai tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya, oleh sebab itu,
Amin Al-Khully menekankan bahwa kearaban al-Qur‟an hendaknya lebih
diperhatikan terlebih dahulu sebelum hal-hal lain baik yang memiliki unsur
religius ataupun tidak. Dari sini Amin Al-Khully mendifinisikan tafsir sebagai
kajian sastra yang kritis dengan metode yang valid dan bisa diterima.33
Pernyataan Amin Al-Khully di atas memiliki implikasi keterlibatan budaya
dan peradaban Arab sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari wahyu. Dengan
kata lain unsur kearaban yang dimaksud Amin Al-Khull dalam teks tersebut
adalah meliputi akal, intelektual, bahasa, budaya, dan peradaban.
2. Dirāsah Mā Hawla al-Qur‟ān
Dirasah Mā hawla al-Qur‟an bisa di sebut dengan kritik ekstrinsik ( an-
Naqdu al-Khārij) yaitu kajian terhadap hal-hal di seputar al-Qur‟an. Kajian ini
diarahkan pada kritik sumber yaitu kajian analis terhadap faktor-faktor eksternal
munculnya sebuah karya, baik social-geografis, religio-kultural maupun politis.34
Secara kontekstual kajian terhadap hal-hal disekitar al-Qur‟an terbagi menjadi
dua bagian yaitu ada yang khusus dan dekat dengan al-Qur‟an, ada juga kajian
umum yang dan jauh dari al-Qur‟an. Namun dalam penelitian metode sastra kajian
ini merupakan suatu keharusan dalam memahami al-Qur‟an.35
Al-Qur‟an diturunkan kurang lebih selama 23 tahun, diturunkan secara
terpisah dalam beberapa tahun sehingga dikumpulkan dalam beberapa periode dan
kondisi. Proses kodifikasi dan penulisannya pun melalui upaya yang panjang,
sehingga dalam perjalanannya al-Qur‟an mengalami perkembangan. Dari sana
muncul beberapa bacaan, serta keterkaitan perubahan bacaan tersebut dengan
perkembangan bahasa Arab yang diakibatkan oleh kebangkitan baru yang
33
M.Nur kholis setiawan, Ibid h. 12 34
Muhammad Aminulah hermeneutic dan linguistic perspektif metode tafsir sastra Amin al-
Khully (Bima: Institut Agama Islam Muhamadiyah Ranggo, 2016 )Vol IX h. 332 35
Amin Al-Khully, Op Cit h. 234
13
ditimbulkan oleh dakwah Islam dan daulah Islam. Perubahan bahasa ini jelas
memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan pemahaman kitab ini. Karena hal
inilah, kajian khusus merupakan sesuatu yang harus diketahui.36
Kajian umum, berkaitan dengan latar belakang materil dan spiritual di mana
al-Qur‟an itu muncul dan berkembang, termasuk di dalamnya adalah kodifikasi,
penulisan, bacaan, hafalan dan berbicara kepada masyarakat di lingkungan
tersebut untuk pertama kalinya. Kepada masyarakat itulah al-Qur‟an
menyampaikan misinya agar mereka bangkit untuk menunaikan dan
menyampaikannya kepada bangsa-bangsa lain di dunia.37
Mengetahui latar belakang materil adalah mengetahui kondisi alam pada saat
al-Qur‟an diturunkan yaitu mengetahui buminya, termasuk gunung-gunungnya,
panasnnya, padang saharanya, datarannya, langit dengan awan-awannya, bintang-
bintangnya, udaranya, lautnya, dinginya, angin kencangnya, angin spoinya,
alamnya dengan segala kekeringannya, suhunya, pacekliknya, atau pertumbuhan
tumbuhannya dan lain sebagainya.38
Mengetahui latar belakang spiritual adalah mengetahui masa lalu jaman
dahulu kala, sejarah masyarakat bangsa Arab, sistem keluarga, kabilah mereka,
sistem pemerintahannya, sejauh mana pemerintahanya, akidah seperti apakah yang
berlaku pada masyarakat tersebut, berbagai seni walaupun banyak coraknya, dan
pekerjaan mereka walaupun berbeda-beda.39
Semua yang berkaitan dengan kehidupan bangsa Arab, baik materil ataupun
sepiritual merupakan materi atau sarana yang harus dipahami dan dikuasai untuk
memahami al-Qur‟an yang jelas-jelas Arab itu.
3. Dirāsah fī al-Qur‟ān
Dirāsah fī al-Qur‟ān atau disebut dengan kritik intrinsik (an-Naqdu al-
Dākhil) diarahkan pada teks satra itu sendiri dengan analisis lunguistik yang hati-
36
Amin Al-Khully, Ibid. h. 234 37
Amin Al-Khully, Ibid. h. 235 38
Amin Al-Khully, Ibid. 39
Amin Al-Khully, Ibid.
14
hati, sehingga mampu menangkap makna yang ada. Dalam metode ini diperlukan
perangkat analisis ilmu balaghah yaitu ma‟ānī40
bayān41
dan badī‟42
.
Amin Al-Khully mengawali kajian ini dengan meneliti kosa kata. Menurutnya
dalam meneliti kosa kata seseorang yang bergelut dalam bidang sastra harus
mempertimbangkan aspek perkembangan makna kata, dan pengaruhnya terhadap
kata tersebut.
Amin Al-Khully (dalam bukunya Manāhiju At-Tajdīd) memberikan langkah-
langkah dalam menafsirkan sebuah kata dalam al-Qur‟an. Menurutnya yang
pertama harus dilakukan seorang mufassir adalah meneliti materi bahasa dari kata
yang hendak ditafsirkan agar dapat mengesampingkan makna-makna bahasa dari
makna lain. melihat perkembangan makna bahasa dari materi tersebut secara
berurutan. Makna yang lebih dahulu didahulukan daripada makna yang datang
kemudian, sampai ia merasa yakin dengan apa yang telah ia pertimbangkan, dan
menetapkan kesimpulan makna kata dari bahasa tersebut.43
Usaha seorang mufassir dalam membedakan dan melakukan pengamatan
sebuah kata adalah harus mengetahui kajian-kajian baru mengenai rumpun bahasa,
kaitan antar bahasa agar ia dapat menetapkan bahwa kata tersebut adalah bahasa
Arab asli atau kata serapan, jika kata tersebut berupa serapan maka ia harus
mengetahui dari bahasa mana dan apa makna pertamanya. Setelah melakukan
penelitian makna secara bahasa, kemudian dilanjutkan dengan penelitian makna
berdasarkan pemakaian dalam al-Qur‟an. Seluruh kata yang muncul di dalam al-
Qur‟an diteliti untuk dipertimbangkan, dari penelitian ini akan terlihat pendapat
mengenai pemakaian bahasa yang bersifat menyeluruh dan berlaku diberbagai
40
Ilmu ma‟ānī adalah ilmu yang mempelajari tentang beberapa pokok dan kaidah-kaidah
yang dengannya diketahui ikhwal kalimat Arab yang sejalan dengan keadaan yang relevan dengan
tujuan. 41
Ilmu bayān ialah ilmu yang mempelajari beberapa pokok bahasan dan kaidah-kaidah yang
dengannya dapat . diketahui penyampaian satu makna dengan berbagai ungkapan, secara garis besar
ilmu ini mempelajari tentang ekspresi bentuk-bentuk kalimat. 42
Ilmu badī‟ adalah ilmu yang dengannya dapat dikethui cara-cara dan keistimewaan
memperindah kalimat dan menambah kecantikannya, sehingga kalimat itu penuh dengan keindahan
setekah ia sesuai dengan keadaan. (Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an,(Surabaya: Dunia Ilmu, 2000) h.
373-374. lihat juga Muhammad Aminulah hermeneutic dan linguistic perspektif metode tafsir sastra
Amin al-Khully (Bima: Institut Agama Islam Muhamadiyah Ranggo, 2016 )Vol IX h. 332) 43
Amin Al-Khully, Ibid. h. 238
15
masa turunnya al-Qur‟an. jika ternyata tidak menyeluruh, maka seperti apa makna
yang berbeda tersebut digunakan dalam al-Qur‟an? Dengan cara tersebut maka
mufassir dapat menemukan makna yang sesuai sebagaimana yang di gunakan
dalam al-Qur‟an. Dengan hasil tersebut seorang mufassir dapat menafsirkan
sebuah ayat dengan baik sesuai dengan posisinya dalam ayat di mana kata tersebut
berada.44
Berikut ini merupakan salah satu contoh penafsiran Amin Al-Khully
sebagaimana yang dikutip oleh Nur Kholis Setiawan dari Min Hudā al-Qur‟ān fī
Ramadhān45
. Dalam menafsirkan ayat puasa, langkah pertama yang Amin Al-
Khully lakukan adalah mengumpulkan dan mengurutkan sesuai dengan topik yang
dikaji sebagai berikut: QS al-Baqarah: 155, 172, 183, QS. Hūd: 52, dan an-Nahl:
122.
Penafsiran Amin al-Khully mengenai ayat puasa berbeda dari mufassir
terdahulu khususnya penafsiran yang diwakili oleh fuqaha dan filosof. Menurut
Amin Al-Khully dalam menafsirkan ayat-ayat puasa penafsiran keduanya
berlebihan. Ulama fikih menyatakan bahwa elemen terpenting puasa adalah lapar
dan haus, karena dengan kedua rasa ini akan membuat orang yang berpuasa
merasakan penderitaan orang miskin. Menurut Amin Al-Khully pendapat tersebut
terkesan formalistik dan menghilangkan aspek yang lebih penting dari puasa.
Sedangkan kelompok filosofi menekankan bahwa lapar dan haus merupakan awal
dari segala kebaikan, namun hal ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang
lain yang menekankan pentingnya kesehatan dan kekuatan manusia secara fisik
maupun mental.46
Langkah awal yang ditempuh Amin al-Khully adalah mengurutkan ayat
sesuai topik yang dimaksud. Dalam menafsirkan ayat puasa Amin al-Khully
membahas tentang, ketakutan, rasa lapar dan kekurangan harta benda yang dialami
manusia sebagai cobaan, hal ini terdapat pada ayat 155 QS. Al-Baqarah.
44
Amin Al-Khully, Ibid. 45
Salah satu karya tafsir Amin Al-Khully 46
M.Nur kholis setiawan, Ibid.h 17
16
لونكم بشيء من الوف والوع ون قص من الموال والن فس والثمرات ولنب وبششر اللابر ن
Artinya :
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Kemudian mengemukakan ayat 172 yaitu perintah untuk memakan sesuatu
yang baik dan larangan untuk berlebihan.
ا أ ها الذ ن آمنوا كلوا من طيشبات ما رزق ناكم واشكروا للو إن كنتم إ اه ت عبدون
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-
baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Setelah itu menerangkan ayat tentang kewajiban seorang muslim
sebagaimana Allah swt mewajibkan puasa kepada umat sebelumnya.
ا أ ها الذ ن آمنوا كتب عليكم اللشيام كما كتب على الذ ن من ق بلكم لعلكم ت ت قون
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”
Dalam runtutan ayat di atas Amin al-Khully mengaitkan rasa lapar dan makan
dengan puasa sebagaimana pengertian puasa yang dikemukakan oleh ulama fikih.
Namun Amin al-Khully tidak berhenti sampai ayat tentang kewajiban puasa, ia
masih mencari keterpautan ayat dengan ayat lain Berdasarkan Munasabah teks
dengan teks lainnya serta melihat makna lain dari puasa yaitu QS Maryam ayat 26
17
نا فإما ت ر ن من البشر أحدا ف قول إنش نذرت للرحن صوما فكلي واشرب وق رشي عي ف لن أكلشم الي وم إنسيا
Artinya:
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu
melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak
akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".(Q.S Maryam:
26)
Amin Al-Khully menyimpulkan bahwa puasa dimaksudkan sebagai sarana
latihan mental psikologi melawan hawa nafsu daripada aspek-aspek fisik-
biologis.47
Penjelasan tersebut menunjukan bahwa puasa merupakan sebuah
kewajiban bagi umat Islam dan pengertian puasa bukan hanya menahan lapar dan
dahaga namun juga menahan bicara kepada orang lain (menahan bicara yang
menyakitkan) seperti yang dilakukan oleh Maryam Ibunda nabi Isa. Aspek
terpenting dari puasa adalah sebagai sarana untuk melatih mental psikologi dalam
melawan hawa nafsu.
C. Tinjauan Umum Semantik
1. Pengertian Semantik
Semantik adalah kajian kebahasaan yang membahas tentang makna dari
tanda-tanda bahasa, semantik sebagai istilah dalam ilmu kebahasaan mempunyai
pengertian tertentu.
Istilah semantik „Ilm Al-Dilalah dalam bahasa Arab (semantic dalam bahasa
Inggris) berasal dari bahasa Yunani Sema yang berarti tanda atau lambang, atau
semaino yang berarti menandai, berarti, melambangkan.48
Selain itu juga
47
M.Nur Kholis Setiawan, Ibid. h 18 48
Moh.Matsna, Orentasi Semantic al-Zamakhsyari,(Jakarta: Anglo Media, 2006 ) h. 2
18
mengandung makna to signify yang berarti memaknai, secara istilah teknis
semantik mengandung pengertian studi tentang makna.49
Sumber lain memuat bahwa semantik berasal dari bahasa Yunani
semantickos yang mempunyai arti penting dan berarti. Kata tersebut diturunkan
dari semainein yang berarti memperlihatkan, menyatakan. Kata tersebut juga
berasal dari sema yang berarti tanda seperti yang terdapat pada kata semaphore
yang berarti tiang sinyal yang dipergunakan sebagai tanda oleh kereta api.50
Semantik dalam bahasa Arab disebut dengan „Ilm al-Dilalah terdiri atas dua
kata: „Ilm yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-Dilalah atau al-Dalalah yang
berarti penunjukan atau makna. Jadi, „Ilm al-Dilalah menurut bahasa adalah ilmu
pengetahuan tetang makna.51
Sebagai salah satu cabang linguistik („Ilm al-lughoh) „Ilm al-Dilalah
didefinisikan oleh Ahmad Mukhtar „Umar seperti yang dikutip matsna sebagai
berikut:
دراسة المعنى أو العلم الذي يدرس المعنى أو ذلك الفرع من علم اللغة ذلك الفرع الذي يد رس الشروط الواجب توافرها نظرية المعنى أو يتناول الذي
فى الرمز حتى يكون قادرا على حمل المعنى
Artinya :
“kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas
tentang makna,atau cabang linguistik yang mengkaji teori
makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat
yangharus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang
bunyi sehingga mempunyai makna”52
Semantik diperkenalkan oleh seorang filolog Prancis Michal Breal dalam
bahasa Prancis La Semantique yang diserap dari bahasa Yunani, ilmu ini
49
Aminuddin, Semantik : Pengantar Studi Tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2011) cet. 4, h. 15. 50
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Ankasa, 2009) h. 7 51
Moh.Matsna, Op.Cit. h. 3 52
Moh.Matsna, Op.Cit. h. 4
19
merupakan suatu cabang studi linguistik general. Oleh karena itu, semantik di sini
adalah satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik.53
Selain pengertian semantik menurut bahasa, ada beberapa pengertian semantik
menurut istilah, di antaranya:
Semantik adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa
secara sistematik, apa itu makna, bagaimana makna itu tersusun perubahan makna
bentuk perubahan makna, latarbelakang perubahan makna, hubungan perubahan
makna dengan struktur bahasa, dan bagaimana cara itu diujarkan dalam bahasa.54
Yendra menyatakan sebagaimana yang dikutip Poespoprodjo dalam bukunya
logika Scientifika, bahwa semantik adalah salah satu cabang linguistik yang
bertugas menyelidiki makna kata, bagaimana asal mulanya, bagaimana
perkembangannya, dan apa sebab-sebabnya hingga terjadi perubahan makna.55
Menurut Toshihiko Izutsu semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual Weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang
menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang
lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.56
Moh. Matsna mengatakan bahwa semantik adalah makna, membicarakan
makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana perkembangannya,
dan mengapa terjadi perubahan makna dalam bahasa.57
Menurut Henry Guntur Tarigan semantik adalah telaah makna, telaah tentang
lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna
yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.58
53
J.D Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004) edisi ke 2, h. 42 54
Yendra.s.s Mengenal Ilmu Bahasa (Linguistik), ( Yogyakarta: Deepublish, 2016) h. 155 .
lihat juga M.Fatih Surya dilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005) cet 1 h. 79 55
W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika Dan Ilmu, (Bandung: Pustaka
Grafika, 1999) cet 1, h. 93 56
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur‟an,
terj. Amiruddin,dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003). h. 3. Lihat juga M.Nur Kholis Setiawan, Al-
Qur‟an Kitab Sastra terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006) h. 166. 57
Moh.Matsna, Op.Cit h. 3 58
Henry Guntur Op.Cit. h. 7
20
Dalam bukunya pengajaran semantik, Tarigan membagi pengertian semantik
menjadi dua, yaitu:
a. Semantik Dalam Arti Luas
Dalam pengertian yang luas, semantik terbagi atas tiga pokok pembahasan,
yaitu :
1) Sintaksis
2) Semantik
3) Pragmatik
Sintaksis menelaah hubungan formal antara tanda-tanda satu sama lain,
Semantik menelaah hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang
merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut. Sedangkan pragmatik
menelaah tanda-tanda dengan para penafsir interpretator. Tiga pembagian ini
pada mulanya dibuat oleh Charles Morris dan kemudian dilanjutkan oleh
Rudolf Carnap sesuai dengan formulasi Morris.59
R.C Stalnaker membuat formulasi yang lebih sederhana agar lebih mudah
lagi untuk dipahami, yaitu : Sintaksis adalah telaah mengenai kalimat-kalimat,
semantik telaah mengenai proposisi-proposisi, sedangkan pragmatik adalah
telaah mengenai perbuatan linguistik beserta konteks-konteks tempatnya.60
b. Semantik Dalam Arti Sempit
Pengertian yang lebih sempit, bidang semantik dibagi atas dua pokok
bahasan, yaitu :
1) Teori Referensi (denotasi, ekstensi)
2) Teori makna ( konotasi, intensi)
Semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna dengan berpangkal
dari acuan dan simbol. Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran
yang meliputi fonologi, tata bahasa (Morfologi-Sintaksis), dan semantik.61
59
Ibid. h. 2-3 60
Ibid. 4 61
Ibid. h. 3
21
Semantik hanya mengeksplorasi makna terkait dengan signifikasi linguistik dari
kata-kata.62
Walaupun ilmu ini termasuk kedalam bagian dari linguistik namun tidak
hanya menjadi fokus kajian para linguis saja, melainkan juga menjadi obyek
penelitian para filosofis, sastrawan, psikologi, ahli fikih dan ushul fiqh,
antropolog dan lain sebagainya.63
2. Sejarah Perkembangan Semantik
Embrio ilmu semantik sudah ada sejak masa Yunani kuno, yaitu pada masa
Aristoteles (384-322 SM), ia adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah
makna lewat batasan pengertian kata yang menurutnya adalah satuan terkecil
yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles juga telah mengungkap
bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu
sendiri secara otonom, serta makna yang hadir akibat terjadinya hubungan
gramatikal. Plato dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu
secara implisit mengandung makna-makna tertentu.64
Perkembangan semantik dimulai pada tahun 1825 M yaitu pada masa C.
Reisig seorang berkebangsaan Jerman yang mengemukakan konsep baru tentang
Grammar. Menurutnya Grammar meliputi tiga unsur utama, yaitu : (1)
semasiologi ilmu tentang tanda (2) Sintaksis, Studi tentang kalimat dan (3)
Etimologi, Studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk
maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik belum digunakan walaupun studi
tentangnya sudah dilaksanakan. Menurut Ullman masa ini disebut dengan
Underground period yaitu pertumbuan pertama ilmu semantik.65
Pada perkembangan selanjutnya, Michel Breal seorang sarjana Prancis mulai
mempopulerkan istilah semantik melalui artikelnya yang berjudul les lois
intellectuelles du Langage dan Essai de semantique pada tahun 1883 M. Pada
62
Roland Barther,Elemen-Elemen Semiologi, tejh. M. Ardiansyah ( Yogyakarta: ircisod,
2012) cet 1, h. 7 63
Moh.Matsna,Op.Cit. h. 4 64
Aminuddin, Op.Cit. h. 15. 65
Ibid. h. 15.
22
masa ini, meskipun Brael dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai
bidang baru dalam keilmuan, namun ia masih menyebut sebagai ilmu yang
murni-historis. Dengan kata lain, studi semantik pada masa ini lebih berkaitan
dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri. misalnya bentuk perubahan makna,
latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makan dengan logika,
psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya.66
Masa perkembangan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai
dengan pemunculan karya filolog Swedia Gustaf Stren yang berjudul Meaning
and change of meaning, whit special reference to the englis language. Dalam
kajiannya, Stren sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak
dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris.67
Namun sebelum karya Stren muncul, di
Janewa Ferdinand De Saussure telah menerbitkan buku Cours de linguistique
general, buku ini merupakan kumpulan bahan kuliah. Kehadiran Ferdinand
menjadikan perkembangan linguistik berikutnya lebih terarah. oleh sebab itu, ia
dijuluki sebagai bapak linguistik modern.68
Pada masa Ferdinand diperkenalkan dua pendekatan dalam studi bahasa,
yaitu pendekatan sinkronis yang bersifat deskriptif dan pendekatan diakronis
yang bersifat historis. Menurutnya, bahasa merupakan satu kesatuan dan ia
merupakan satu system yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan atau
berhubungan. Pandangan inilah yang kemudian mempengaruhi berbagai bidang
penelitian, terutama di Eropa.69
Selain dua pendekatan, Ferdinand juga mengemukakan tentang dua konsep
kebahasaan yang kemudian menjadi revolusi dalam bidang teori dan penerapan
studi kebahasaan, yaitu : (1) linguistik pada dasarnya merupakan studi
kebahasaan yang berfokus kepada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu.
Konsep inilah yg kemudian menggunakan pendekatan singkronis. Sedangkan
66
Naili Vidya Yulistyana, Sejarah semantik,
http://www.academia.edu/12998031/sejarah_semantik diunduh pada 06 Agustus 2016 pukul 20:14
wib 67
Aminuddin, Op.Cit. h. 16. 68
Ibid, h. 16. 69
Moh.Matsna, Op.Cit. h. 9
23
studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan
yang menggunakan pendekatan Diakronis (2) bahasa merupakan suatu gestalt
atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, dimana antara elemen
satu dengan elemen lainnya mengalami saling kebergantungan dalam rangka
membangun keseluruhannya. Wawasan kedua ini, pada sisi lain juga menjadi
akar paham linguistic stuktural.70
Leonard Bloomfield ilmuan yang muncul setelah De Sausure yang dianggap
cukup memberikan corak, warna, dan arah baru dalam kajian bahasa . Dalam
bukunya Language, Leonard banyak dipengaruhi oleh aliran Behaviorisme yang
terdapat dalam spikologi, karena ia menganggap bahwa bahasa merupakan
tingkah laku, dan makna tidak lain daripada suatu kondisi yang didalamnya
orang mengungkapkan sebuah kata atau kalimat dan direspon oleh pendengar.
Sehingga makna menurutnya adalah kondisi dan respon. Ia juga mengatakan
bahwa kita dapat mendefinisikan arti secara tepat apabila arti tersebut
berhubungan dengan hal-hal yang kita ketahui secara ilmiah.71
Adapun di dunia Arab, kajian semantik atau „ilm al-Dilalah sebenarnya
sudah dimulai sejak masa nabi. Pemikiran ini berdasarkan atas beberapa data
yang menunjukan bahwa Nabi Muhammad Saw telah memberikan beberapa
interpretasi yang erat kaitannya dengan terminologi disiplin sastra Arab yang
berkembang belakangan, meski penafsiran nabi tidak terlalu banyak dijadikan
para pengamat tafsir sebagai periode awal dalam sejarah penafsiran al-Qur‟an.72
Generasi selanjutnya adalah pada masa sahabat dengan Ibnu Abbas sebagai
tokohnya, apabila ditemukan kata-kata yang sukar dipahami dalam al-Qur‟an,
para sahabat termasuk Umar bertanya kepada Ibn „Abbas, bukan kepada yang
lainnya. Karena Ibnu Abbas dipandang otoritatif dibidang tersebut. 73
Kemudian
ada Mujahid salah seorang murid Ibnu Abbas yang mengikuti penafsirannya.74
70
Aminuddin,Op.Cit. h. 17 71
Moh.Matsna, Op.Cit. h. 9 72
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Pres, 2006)
cet 2 h. 129 73
ibid. h. 133 74
Ibid.h. 136
24
Generasi selanjutnya yang mengambil bagian dalam stadium embrional
tafsir susastra al-Qur‟an adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728M), atau Ibn Abi
Rabah (w.114 H/732 M), Qatadah (w. 128 H/745 M), al-Suddi al-Kabir (w.128
H/745 M). Kemudian generasi setelah Mujahid adalah Ibn Juraij (w.150 H/767
M), Muqatil Ibn Sulaiman (w.150 H/767 M), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H/777M),
Abu „Ubayda al-Mutsanna (w. 210 H/825M ) dan yahya ibn Ziyad al-farra‟ (w.
207H/822M).75
Namun kesadaran semantik (semantisches Bewusststein) dalam dunia
penafsiran al-Qur‟an dimulai pada masa Muqatil Ibn Sulaiman (w.150 H/767 M).
karya ibnu Sulaiman yang menjadi fokus ulasan babak awal dari kesadaran
semantik adalah al-Aybah wa al-nazha‟ir fī al-Qur‟an al-Karīm dan Tafsir ibn
Sulaiman.76
Muqatil Ibn Sulaiman menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur‟an, di
samping memiliki arti yang definitif, juga memiliki beberapa alternatif makna
lain. Salah satu contohnya adalah kata Mawt, yang memiliki arti dasar mati.
Menurut Muqatil, dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki
empat arti alternatif yaitu : pertama, tetes yang belum dihidupkan. Kedua,
manusia yang salah beriman, ketiga, tanah gersang yang tandus. Keempat, ruh
yang hilang.77
Menurut sumber lain, sebenarnya kajian yang menggunakan metode
kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa mufassir klasik, di antaranya adalah
Al-Farrā‟ dengan karya tafsirnya Ma‟āni al-Qur‟ān, Abu Ubaidah, Al-Sijistani
dan Al-Zamakhasyari. Lalu dikembangkan oleh Amin Al-Khully yang kemudian
teori-teorinya diaplikasikan oleh „Aisyah bint Al-Syati‟ dalam tafsirnya Al-Bayān
Li al-Qurān Al Karīm. Gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi
oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik al-Qur‟an.78
75
Ibid. h. 138 76
Ibid.h. 170 77
Ibid.h. 170 78
Ismatillah, Skripsi Makna Wali Dan Auliyā‟ Dalam Al-Qur‟a (Suatu Kajian dengan
Pendekatan Semantik Toshihiko Izutsu) (Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2016) h. 18
25
Kajian ini tidak hanya menarik perhatian kalangan lughawiyyin, namun juga
Ushuliyyin, Falsifah, dan balaghiyyin. Adanya perhatian terhadap kajian ini
muncul seiring dengan adanya kesadaran para linguis dalam memahami ayat-ayat
al-Qur‟an dan menjaga kemurnian bahasa Arab.
Usaha para lunguistik Arab untuk memahami dan menggali rahasia-rahasia
al-Qur‟an pada abad permulaan Islam di antaranya adalah penghimpunan kata-
kata dan ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung dalam kata atau
ungkapan itu, untuk membantu orang-orang untuk mencari makna kata atau
ungkapan yang tidak bisa dipahami, dalam upanya menganalisis isi al-Qur‟an,
hadis Nabi, dan buku-buku agama lainnya yang berbahasa Arab.
Upaya penyusunan kamus merupakan salah satu bukti konkrit dari perhatian
ulama Arab terhadap semantik. Penyususunan kamus ini berlangsung melalui
beberapa tahap pertama, tahap penyusunan kata-kata atau lafadz-lafadz dengan
penjelasanya yang belum disusun secara teratur. Pengumpulan ini terjadi baru
pada abad pertama hijriyah, dengan sumber pokok al-Qur‟an, hadis dan syair
Arab Jahili, seperti karya Abu Zaid Al-Anshāri Nawādiru fī lughati. Kedua tahap
pembukuan lafadz-lafadz secara teratur, akan tetapi berbentuk risalah-risalah
yang terpisah dengan materi yang terbatas seperti kitab Al-ibil karya al-Asmu‟i.
Ketiga tahap penyusunan kamus secara konprehensip dan sistematis yang
dipelopori oleh Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi dengan karyanya kamus al-„Ain.
Tahap ini terjadi sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, pada masa inilah
kajian semantik mulai dikaji secara sistematik.79
79
Moh.matsna, Op.Cit. h. 12
26
Bagan Sejarah Perkembangan Semantik Arab
Rasulullah saw w 11 H
Ibnu Abbas w 68 H
Mujahid w
Hasan Al-Basri w.110 H/728 M
Generasi Pertama
(Embrio Smantik) Abu Abi Rabah w.114 H/732 M
Qatadah w.128 H/754 M
Al-Suddi al-Kabir w.128 H/754 M
Ibnu Juraij w.150 H/767 M
Kesadaran Semantik Muqatil Ibnu Sulaim w.150 H/767 M
Sufyan Al-Tsauri w.161 H/777 M
Al-Farra‟ w. 207 H/822 M
Abu Ubaidah w. 210 H/825 M
Al-Sijistani w. 862 M
Toshihiko Izutsu w. 1993 M Al-Zamakhsyari w. 538H/1144 M
Bintu Syathi w. 1998 M Muhammad Abduh w 1905 M
Amin Al-Khully w. 1966 M Thaha Husen w 1973 M
27
3. Semantik Dalam Wilayah Kajian Ulumul Qur‟an Dan Sastra
1. Semantik Dalam Kajian Ulumul Qur‟an
Kajian semantik yang mengambil al-Qur‟an sebagai objek kajian telah
banyak ditempuh para ahli dan melahirkan sejumlah karya. Mengenai hal
tersebut, seperti Amin al-Khulli dalam kitabnya Manāhij tajdīd fī al-nahwi wa
al-balaghoti wa tafsīri wa al-adabi dan istrinya Aisyah Abdurrahman yang
biasa dikenal dengan sebutan Binti Syathi‟ dalam Tafsīr Al-Bayāni Li Al-
Qur‟an Al-Karīm, yang disebut oleh J.J.G Jansen sebagai tokoh mufasir
muslim terkemuka yang menggunakan semantik sebagai basis tafsir Al-
Qur‟an. Keduanya menerapkan pripsip kajian linguistik dalam melacak
berbagai makna al-Qur‟an yang telah menempuh prosedur filologi.80
Dalam dunia Islam, Al-Qur‟an dianggap sebagai karya sastra yang
paling agung. Banyak ilmuan dan peneliti baik dari kalangan muslim atau non
muslim yang tidak henti-hentinya meneliti dan menggali isi kandungan al-
Qur‟an melalui berbagai cara dan pendekatan. Salah satunya adalah
pendekatan makna atau biasa disebut ilmu semantik.
Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan dalam tiga tahap81
,
yaitu: pertama At-Tanazzulu al-Awwalu (tahap pertama) yakni al-Qur‟an
diturunkan ke Lauh Mahfud. Yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa
mengetahuinya secara definite atau pasti.
Kedua At-Tanazzulu Ats-Tsāni (Tahap kedua). Pada tahap ini al-Qur‟an
turun dari Lauh Mahfud ke Baitul „Izzah yaitu ke langit yang dekat dengan
dunia.
Ketiga At-Tanazzulu Ats-Tsālitsatu (Tahap ketiga) yaitu turunnya al-
Qur‟an dari Baitul „Izzah langsung kepada Nabi Muhammad saw melalui
Malaikat Jibril. Ada beberapa cara Jibril menyampaikan al-Qur‟an kepada
Nabi Muhammad, salah satunya dengan menuntun bacaan al-Qur‟an kepada
Nabi seperti saat mewahyukan QS. Al-„Alaq. Al-Qur‟an tersebar pada para
80
Yayan Ibid h. 239 81
Abdul Djalal, Ulumul Qur‟an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000)h.51
28
sahabat langsung dari Rasulullah melalui bahasa lisan yang kemudian dijaga
dengan hafalan dan tulisan.
Hakikat kalam Allah tidak kita ketahui karena kalam-Nya bersifat zat-
Nya yang mustahil dijangkau oleh makhluk, termasuk manusia. Namun
demikian, dalam konteks penafsiran al-Qur‟an kita dapat menjangkau
sekelumit dari kalam-Nya karena ketika Allah menyampaikan pesan-pesannya
kepada Nabi menggunakan bahasa manusia yang dalam hal ini adalah bahasa
Arab.
Allah berfirman :
إنا جعلناه ق رآنا عربيا لعلكم ت عقلون
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya
kamu memahami(pesan-pesannya).(QS. Az-Zukhruf [43]:3).
Ini artinya bahwa al-Qur‟an yang merupakan kalam Allah itu
menggunakan bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat pada masa
turunnya. Ini berarti juga bahwa kita mempunyai potensi untuk memahami
kalam Allah yang berbahasa Arab itu dengan perangkat yang digunakan oleh
bahasa Arab.82
Ketika ingin memahami Al-Qur‟an, seseorang harus memahami
bahasa yang dipakai oleh Al-Qur‟an dalam hal ini adalah bahasa Arab,
mengetahui dengan jelas makna-makna yang terkandung di dalamnya
sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Penafsiran akan dianggap valid apabila memegang prinsip e mente
auctoris, prinsip bahwa penafsiran dianggap sah apabila mampu
mengungkapkan maksud pengarang, karena al-Qur‟an bukanlah karangan
82
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) h. 45
29
manusia, melainkan karya Tuhan maka penerapan dari prinsip ini adalah
penekanan bahwa al-Qur‟an harus dipahami secara komprehensip.83
Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk memahami atau menggali
isi kandungan Al-Qur‟an, salah satunya dengan semantik atau ilmu tentang
makna. Dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balagah
yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut di
antaranya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna
yang berkaitan. Selain itu, medan perbandingan makna antara satu kata
dengan kata yang lain dalam semantik mirip dengan munasabah ayat dengan
ayat. Hal ini menjadikan semantik identik dengan Ulumul Qur‟an, walaupun
terdapat perbedaan dalam analisisnya di mana semantik lebih banyak
berbicara dari segi historisitas kata untuk mendapatkan makna yang sesuai
pada kata tersebut.84
Menurut Toshihiko izutsu semantik dapat ditempatkan pada dua ranah,
yaitu sebagai paradigma dan semantik sebagai instrument analisis. Sebagai
paradigma, semantik berusaha untuk memberikan dasar epistimologi bagi
analisis semantik. Adapun alat analisis berusaha untuk menyediakan prosedur
dan piranti analisis agar rekomendasi makna dapat komprehensif, mendalam
dan tidak reduktif.85
2. Semantik Dalam Kajian Ilmu Sastra
Semantik memiliki bidang yang sangat luas, baik dari struktur, fungsi
bahasa maupun multidisipliner bidang ilmu. Begitu luasnya sehingga hampir
semua yang mengandung makna menjadi objek kajian semantik.86
Menurut Fatimah ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu
makna dalam bidang linguistik. Objek kajian semantik adalah makna yang
diperoleh dari Sproses analisis terhadap struktural dalam seluruh level bahasa
83
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusman, Op Cit. h. 245. 84
Ismatillah, Op.Cit. h.20 85
Yayan Ibid. h.249 86
Yayan rahtikawati dan Dadan Rusman, Metode Tafsir Al-Qur‟an: Strukturalisme,
Semantic, Semiotic dan Hermeneutik (Bandung: Pustaka setia,2013) cet 1, h.212
30
(fonologi, morfologi, dan sintaksis), makna juga diteliti melalui fungsi yang
berujung pada pengenalan leksikal, gramatikal, serta pemahaman makna kata,
frase, klausa, kalimat dan wacana.87
Yayan Rahtikawati dalam bukunya mengutip pendapat Tarigan
menyebutkan bahwa ruang lingkup semantik dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu ruang lingkup semantik yang luas dan ruang lingkup semantik yang
sempit. Dalam arti luas semantik mengkaji seluruh fenomena bahasa, adapun
dalam arti sempit ruang lingkup semantik terdiri atas dua bagian, yaitu teori
referensi (denotasi dan ektensi) dan teori makna (konotasi dan intensi).
Semantik mencakup wilayah jenis makna, relasi makna, perubahan makna,
serta medan komponen makna.88
Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa
sebagai media pemaparnya. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa yang
digunakan sehari-hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasan
tersendiri. Disebut demikian karena bahasa dalam sastra merupakan salah satu
bentuk idiosyncratic di mana tebaran kata yang digunakan merupakan hasil
pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya. Selain itu sebagai
komunikasi tulis, karya sastra juga telah kehilangan identitas sumber tuturan,
kepastian referen yang diacu, konteks tuturan yang secara pasti menunjang
pesan yang ingin direpresentasikan, serta keterbatasan tulisan itu sendiri
dalam mewakili bunyi ujaran.89
Berhadapan dengan kompleksitas makna dalam karya sastra, pembaca
yang ingin memahami karya sastra dengan sunguh-sungguh dan benar
tentunya harus memahami ilmu tentang makna sebagai bekal awal dalam
upaya memahami teks sastra.
Peran semantik yang sangat penting dalam kajian satra terutama dalam
telaah makna dalam gaya bahasa maupun latar proses kehadirannya. kajian
87
Fatimah Djajasudarma, Semantik 1 Makna Leksikal dan Gramatikal, (Bandung: Refika
Aditima, 2012),cet 5, h. 5 88
Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusman, Op Cit. h.212 89
Aminudin, Ibid.h. 25
31
semantik yang dimanfaatkan untuk menafsirkan makna maupun analisis
makna dalam ragam bahasa tertentu, biasa di sebut dengan semantik
interpretatif maupun semantik pragmatik.90
Toshihiko Izutsu menyebutkan bahwa penelitian semantik mencoba
menguraikan katagori semantik dari sebuah kata menurut kondisi
pemakaiannya, sedangkan Jos Daniel Parera mengatakan bahwa ruang
lingkup kajian semantik adalah pencarian hakikat makna dan hubungannya.91
4. Hubungan Semantik dengan Metode Penelitian dan Metode Penafsiran
Para pengkaji al-Qur‟an berpeda pandangan dalam memposisikan
semantik. Posisi semantik dapat diklasifikasikann sebagai berikut92
:
1. Semantik sebagai bagian dari tafsir al-lughowi (tafsir yang bercorak
kebahasaan). Kategori yang pertama ini menegaskan bahwa semantik
hanya sebuah orientasi, sudut pandang, pendekatan atau corak tafsir yang
menekankan analisisnya pada aspek kebahasaan, sebagian pengkaji al-
Qur‟an menyebutkan bahwa penelitian tafsir semantic adalah tafsir yang
tergolong corak kebahasaan.
2. Semantik sebagai bagian dari tafsir tematik (tafsir Maudhu‟i) apabila
dalam tafsir maudhui terdapat tahapan analisis kata (mufradat), analisis
radiksional (jumlah), dan analisis korelasional (munasabah), hal ini dapat
disejajarkan dengan analisis leksikal, analisis gramatikal, analisis
komponensial, dan analisis kombinatorial.
3. Semantik sebagai metode Independent yang dapat digunakan sebagai
pisau analisis. Dalam hal ini, semantik ditempatkan sebagai perangkat
metodologi utuh dan al-Qur‟an dijadikan sebagai objek penelitian yang
akan dibedah oleh semantik. Pendekatan semantik memang mempunyai
kemiripan dengan metode Maudhu‟. Bedanya, semantik lebih
menekankan analisisnya pada kosa kata, sedangkan Maudhu‟i bertolak
90
Ibid. h. 26 91
Ibid h. 214 92
Yayan h. 264
32
dari konsep-konsep social, terma-terma al-Q ur‟an, atau terma-terma dari
ilmu-ilmu Islam tradisional. 93
Kajian semantik yang menjadikan Al-Qur‟an sebagai Objek Kajian telah
banyak ditempuh para ahli dan melahirkan sejumlah karya mengenai hal tersebut.
Yayan Rahtikawati dan dadan Rusman mengutip pendapat J.J.G Jensen yang
menyatakan bahwa Amin Al-Khully dan Binthu Syathi merupakan salah satu tokoh
mufasir muslim terkemuka yang menggunakan semantik sebagai basis tafsir al-
Qur‟an.94
93
Yang dimaksud dengan ilmu Islam tradisional adalah fiqih, tasawuf, falsafah dan kalam 94 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusman, Op Cit. h.239