corak penafsiran kalam mahmud yunus dalam tafsir qur'an karim
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of corak penafsiran kalam mahmud yunus dalam tafsir qur'an karim
CORAK PENAFSIRAN KALAM MAHMUD YUNUS DALAM
TAFSIR QUR’AN KARIM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Filzah Syazwana
NIM: 11140340000208
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H./2018 M.
i
ABSTRAK
Filzah Syazwana
Corak Penafsiran Kalam Mahmud Yunus dalam Tafsir Qur’an Karim
Setiap mufassir memiliki metode dan kecenderungan masing-masing
dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga melahirkan corak dan penafsiran berbeda
pula. Penelitian ini bermaksud mencari tahu bagaimanakah corak penafsiran
kalam Mahmud Yunus dalam tafsir Qur’an Karim? Sebagaimana kita ketahui
bahwa hasil penafsiran seseorang akan bergantung sekali pada disiplin ilmu yang
dikuasai, penemuan ilmiyah, pengalaman dan kondisi sosial.
Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi sekarang yang saya ketahui
bahwasannya masyarakat sekarang mengalami kemerosotan atau kekeringan
spiritual dalam keimanan. Sehingga fenomena yang terjadi timbullah segala
bentuk kerusakan terutama ketidak adilan, penindasan dan berita-berita hoax yang
menyebar begitu cepatnya dan masyarakat terlalu mudah percaya terhadap berita-
berita tersebut. Yang menimbulkan segala macam keburukan. Semua hal terjadi
karena keimanan yang ada dalam masyarakat itu terlalu bergantung kepada hal-
hal yang sifatnya duniawiyah sehingga keimanan yang ada dalam diri masyarakat
sekarang menjadi kering seperti “tanaman yang tidak pernah disirami”.
Teknik penggalian data pada penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan menggunakan teknik library research (kepustakaan) yaitu
dengan mengumpulkan data-data melalui bacaan dan beberapa literatur yang ada
kaitannya dengan pembahsan. Adapun metode penulisan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis-deskriptif, yaitu sebuah metode pembahsan untuk
menerapkan data-data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap
data-data tersebut. Sumber penafsiran dalam penulisan skripsi ini adalah Tafsir
Qur’an Karim dan literatur lainnya yang relevan dengan pembahsan skripsi,
khususnya tentang corak dalam penafsiran.
Dalam hasil penelitian ini diketahui bahwa yang ditulis dengan model
penafsiran catatan kaki dengan menggunakan bahasa Indonesia dan disusun runtut
sesuai dengan urutan tertib ayat atau surat seperti dalam mushaf Usmani. Metode
yang digunakan mufassir adalah metode Ijmali, yaitu cara menafsirkan dengan
makna global. Temuan yang didapat oleh penulis dalam kajian ini bahwa
Mahmud Yunus adalah tokoh pelopor pola-pola pembaharu yang terpengaruh oleh
pemikiran dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.
Dan bukan klasik atau tradisional sehingga beliau masuk kepada kelompok
pemikir rasional. Para mufassir pembaharu ini berusaha mengungkapkan makna
al-Qur’an dengan cara baru yaitu dengan mengikutsertakan daya kemamuan
manusia untuk menggali makna yang terkandung dalam firman Allah Swt. Beliau
tetap menggunakan sumber-sumber melalui dalil naqli sehingga beliau dapat
dikatakan sebagai penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Kata kunci: Corak, Kalam, Mahmud Yunus, Qur’an Karim.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah Swt., Atas segala rahmat dan karunia Nya yang
tidak mampu di hitung oleh hambaNya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada sosok Rahmatan li al-‘Ālamîn, cahaya di atas cahaya,
manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw. Serta doa untuk keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata.
Alhamdulillah, berkat rahmat dan inayah Allah swt. Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini melalui upaya dan usaha yang melelahkan. Meskipun
demikian semaksimal usaha manusia tentunya tidak akan lepas dari kekurangan
dan kelemahan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah swt.
Disamping itu penulis menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa bantuan dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Program
Studi Ilmu al-Qur’an & Tafsir dan kepada Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur’an
& Tafsir.
3. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, M.A., selaku pembimbing penulis
yang selalu bersabar memberikan ilmu dan bimbingannya selama
penulis berada di bawah bimbingannya.
4. Abah Rifqi Muhammad Fatkhi., selaku penasihat akademik yang telah
membantu penulis. Dan Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah.
5. Kepala dan staff karyawan Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ).
6. Kedua orang tua penulis H. Rahmatullah dan Siti Muzayanah S.Pd.
yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan dan
iii
pengajaran serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai
kesuksesan di masa depan.
7. Teruntuk adik-adik tersayang Muhammad Jihad Sabili, Meidy
Nuruzzahra Haliza dan Ibrahim Zaky Kazhimi, orang-orang yang
menjadi tumpahan harapan penulis.
8. Keluarga besar Buya KH. Siddiq dan Ummi Hj. Husnah serta Keluarga
besar Engkong H. Resan dan Nyai Hj. Robiatul Adawiyah yang selalu
mendoakan untuk kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan
skripsi ini.
9. Kakek Faid dan keluarga Bapak H. Muslih yang telah mendoakan
penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
10. Keluarga besar INADA Ciputat, UIN El-Q dan Komfuspertum 2014
yang telah memberi kehangatan dan arti kekeluargaan.
11. Terkhusus teman hidup penulis Raja Hotlan Harahap yang setia
menemani dan membimbing hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabat Aidah, Penida, Ghina, Tata, Ilham, Firdaus, Dhea,
Iman, Muzayyan, Elgi, Nurfik, Azizah, Eiz, Wanna, Fawa, Mega dan
Silma yang telah menjadi penyemangat selama penyusunan skripsi.
13. Keluarga Tafsir Hadis 2014, Tafsir Hadis kelas F dan teman-teman
KKN Dialektika 84 yang telah berjuang bersama penulis selama ini.
14. Kakak-kakak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu ka Fifit, ka
Rahmah, ka Azizah, ka Isna, ka Venty dan ka Fikri yang selalu
memotivasi penulis agar selesai dalam mengerjakan tugas akhir ini.
15. Terakhir untuk orang-orang yang sudah bertemu saya dan bertukar
pikiran dengan saya.
Semoga Allah membalas dengan sebaik-baik balasan. Harapan penullis,
mudahmudahan karya ini bermanfaat dan mempunyai kontribusi yang signifikan
bagi penelitian selanjutnya.
Tangerang, 27 September 2018
Penulis
Filzah syazwana
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 9
E. Metodelogi Penelitian ........................................................................................... 11
F. Sistematika Pembahasan ....................................................................................... 12
BAB II KHAZANAH PEMIKIRAN KALAM
A. Sejarah Perkembangan Pemikiran Kalam ............................................................. 14
B. Aliran-Aliran Pemikiran Kalam ............................................................................ 17
C. Aliran Syi’ah ......................................................................................................... 18
D. Aliran Khawarij ..................................................................................................... 20
E. Aliran Mu’tazilah .................................................................................................. 21
F. Aliran Jabariyah .................................................................................................... 27
G. Aliran Qadariyah ................................................................................................... 29
H. Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ....................................................................... 31
BAB III BIOGRAFI MAHMUD YUNUS
A. Kondisi Sosial Keagamaan Mahmud Yunus ........................................................ 37
B. Aktivitas Keilmuan ............................................................................................... 39
C. Latar Belakang Penulis Tafsir ............................................................................... 42
v
D. Metode Penafsiran ................................................................................................. 45
E. Sumber Penafsiran ................................................................................................ 46
F. Sistematika Penafsiran .......................................................................................... 47
G. Karya-Karya .......................................................................................................... 48
BAB IV CORAK PENAFSIRAN KALAM DALAM TAFSIR
MAHMUD YUNUS
A. Penafsiran Mahmud Yunus Tentang Iman Kepada Allah ............................... 50
B. Penafsiran Iman Kepada Malaikat .................................................................. 55
C. Penafsiran Iman Kepada Rasul Dan Kitab-Kitab Yang
Diturunkan Kepada Mereka ............................................................................ 56
D. Penafsiran Iman Kepada Hari Akhir ............................................................... 60
E. Penafsiran Iman Kepada Taqdir ...................................................................... 63
F. Corak Penafsiran Kalam Tafsir Mahmud Yunus ............................................ 65
G. Pengelompokan Ayat-Ayat Kalam ................................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 75
B. Saran ............................................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 77
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja oleh
mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen, khususnya
dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam penerapan
dan konsistensinya. Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih
aksara, antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementian
Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi
Paramadina.Umumnya, kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut
meniscayakan digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi,
Times New Roman, atau Times New Arabic. Untuk memudahkan penerapan alih
aksara dalam penulisan tugas akhir, pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak
mengikuti ketentuan salah satu versi di atas, melainkan dengan
mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri hurufnya. Kendati demikian,
alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini disusun dengan logika yang
sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ث
ts te dan es ث
j Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
vii
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
ḏ de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ى
w We و
h Ha ه
Apostrof ’ ء
y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
viii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـــ
I Kasrah ـــ
__ U Dhammah
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i __ ي
__ و Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal pajang (madd) yang dalam bahsa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ىا
Î i dengan topi di atas ىي
Û u dengan topi di atas ىو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـــ (dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
ix
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak
ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/
(lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut
diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقت 1
اإلسالهيت الجاهعت 2 al-jâmî’ah al-islâmiyyah
الوجود وددة 3 waẖdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
35 permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-
lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan
cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
x
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذھة األستاذ
Tsabata al- ajru ثبج األجر
al- ẖarakah al-‘ asriyyah الذرمت العصريت
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھد أى ال إلھ إال هللا
الخ Maulânâ Malik al- Sâlih هوالنا هلل الص
Yu’ atstsirukum Allâh يؤثرمن هللا
al- maẕâhir al-‘ aqliyyah الوظاھر العقليت
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
al-Qur‟an al-Karim adalah sumber tasyri‟ pertama bagi umat Nabi
Muhammad saw. Kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman
maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang
terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan
ungkapan al-Qur‟an tidaklah sama. Padahal penjelasannya sedemikian
gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar
diantara mereka adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan
awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian
ayat-ayatnya secara global. Sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar
akan dapat menyimpulkan daripadanya makna-makna yang menarik. Dan
diantara kedua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman.
Maka tidaklah mengherankan jika al-Qur‟an mendapatkan perhatian besar dari
umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-
kata garib (aneh, ganjil) atau mentakwilkan tarkib (susunan kalimat).1
al-Qur‟an juga adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah SWT kepada
Muhammad saw untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju
yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Ilmu tauhid atau ilmu kalam yang secara sederhana sering di definisikan
sebagai ilmu yang membahas masalah ketuhanan serta hubungan-Nya dengan
alam semesta, terutama manusia, disamping menggunakan dalil-dalil „aqli
(argumen rasional) juga menggunakan dalil-dalil naqli (nash-nash agama).
Antar lain aqli di satu pihak dan naqli di pihak lain, terjalin hubungan yang erat.
1 Manna, Khalīl al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), h.
21.
2
Tidak ditemukan suatu pemikiran yang mengenyampingkan nash, sebagaimana
tidak ada pula yang hanya mempergunakan rasio. Namun demikian ditemukan
perbedaan pemahaman mana kala terjadi perbedaan dalam penggunaan akal
ketika memahami nash-nash tersebut.
Pemikiran yang memberikan wewenang besar terhadap akal dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an, memungkinkan aliran pemikiran ini tidak
hanya menangkap makna harfi ayat tetapi juga makna metaforismenya. Oleh
sebab itu dalam aliran pemikiran ini memungkinkan untuk menakwil ayat-ayat
al-Qur‟an, membuat aliran pemikiran ini seringkali terikat pada makna harfi
ayat. Itulah sebabnya kemungkinan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur‟an bagi
penganut aliran ini sangat kecil kalau kita enggan berkata tertutup sama sekali.2
Menurut Hasby al-Shiddieqy, tujuan mempelajari tafsir ialah
memahamkan makna-makna al-Qur‟an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya,
akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat.3 Menurut al-Zarkasyi tafsir ialah suatu
pengetahuan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, menjelaskan maksud-maksudnya, mengeluarkan hukum-
hukumnya dan hikmah-hikmahnya.4 Dalam ilmu al-Qur‟an banyak sekali
istilah-istilah yang dipakai untuk dapat menafsirkan ayat al-Qur‟an diantaranya
adalah thariqah, lawn, manhāj, ittijah dan lain sebagainya.
Seorang mufassir, pada saat menafsirkan ayat al-Qur‟an tidak akan
terlepas dengan adanya corak tafsir. Karena, corak tafsir itu menjadi ciri khas
seorang mufassir dalam menjelaskan al-Qur‟an sesuai dengan spesifikasi
keilmuan yang dimilikinya. Selain itu juga, corak tafsir dapat mengungkapkan
latar belakang aliran, keahlian dan bahkan motif dari ahli tafsir dalam
2 Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas,
1990. h. x. 3 Mashuri Sirojuddin Iqbal, dkk, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 1994), h. 89. 4 Manna, Khalīl al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), h.
141.
3
menafsirkan al-Qur‟an.5 Sehingga, adanya corak tafsir dapat menimbulkan
berbagai macam warna yang berkembang menjadi bermacamnya aliran dengan
metode yang berbeda-beda.6
Sebagai sumber ilmu kalam, al-Qur‟an banyak menyinggung hal yang
berkaitan dengan masalah ketuhanan diantaranya QS. Al-Ikhlas ayat 3-4:
Ayat ini menunjukan bahwa: “Tuhan tidak beranak dan tidak
diperanakan serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sejajar
dengan-Nya”. Ayat di atas berkaitan dengan zat dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja penjelasan rincinya tidak ditemukan oleh
sebab itu para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya.
Dengan demikian ilmu kalam dengan Al-Qur‟an adalah ilmu yang saling
berkaitan yang tidak bisa dipisahkan karena sumber dari ilmu kalam adal ah Al-
Qur‟an dan hadis. al-Qur‟an sendiri di dalam isinya banyak membahas tentang
hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan baik berupa zat, sifat, asma, perbuatan
dan tuntunan sedangkan ilmu kalam juga membahas keesaan Allah swt.
Howard M. Federspiel ada keunikan tersendiri dalam tafsir-tafsir al-
Qu‟an karya ulama nusantara, yaitu tampak adanya perpanjangan mata rantai
sejarah pemikiran Timur Tengah. Kajian-kajian Federspiel ini boleh dibilang
lumayan komprehensif karena literature-literatur tersebut meliputi berbagai
jenis yang berkaitan dengan upaya sosialisasi al-Qur‟an di Indonesia. Beliau
pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al-Qur‟an
di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama ditandai dengan gerakan
penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah yaitu mulai dari
permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an. Dan cenderung pada surat-
surat tertentu sebagai obyek tafsir.
5 Abdul Syakur, Mengenal Corak Tafsir Al-Qur‟ān, Jurnal, (Sekolah Tingggi Ilmu
Ushuluddin) Al-Mujtama, vol. 01, no. 1, h. 83. 6 Hujair S. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau
Corak Mufassirin), (Jurnal Al-Mawarid, 2008) edisi XXVIII , h. 265.
4
Generasi kedua, muncul pada pertengahan 1960-an, yang merupakan
penyempurnaan dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya
penambahan penafsiran berupa catatan khusus, catatan kaki, terjemahan kata
per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Ada tiga karya yang
cukup untuk mewakili tafsir-tafsir generasi kedua, yaitu Tafsir al-Furqon karya
Ahmad Hasan, Tafsir al-Qur‟an karya Hamidi dan Tafsir Qur‟an Karim karya
Mahmud Yunus. Tiga karya tersebut telah menunjukan daya tahannya yang luar
biasa, ketiganya masih digunakan sampai tiga puluh tahun dari peluncuran
pertamanya. Popularitas masing-masing telah terlihat dari percetakannya yang
berulang-ulang. Mahmud Yunus dan Hamidi sama-sama memberikan indeks
sederhana dengan dibubuhi oleh angka-angka yang merujuk pada kalimat
tertentu.7
Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang
lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai
dengan terjemahnya. Ada tiga karya dianggap mewakili generasi ketiga ini
yaitu Tafsir al-Nur atau al-Bayyan (1966) karya Hasby al-Shiddieqy, Tafsir al-
Azhar (1973) karya H. Abdul Malik Karim yang biasa dikenal dengan Hamka
dan Tafsir Qur‟anul Karim karya Halim Hasan. Tafsir generasi ketiga ini berisi
materi tentang teks dan metodelogi dalam menganalisis tafsir. Dalam beberapa
hal tafsir-tafsir tersebut merupakan suatu kombinasi dari generasi kedua dan
merampingkan hal-hal yang bersifat primer tentang ilmu tafsir. Tafsir generasi
ketiga ini menekankan ajaran-ajaran al-Qur‟an dan konteksnya dalam bidang
keislaman. Masing-masing tafsir generasi tersebut memiliki indeks, ringkasan
dan daftar istilah-istilah penting.8
Perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran,
walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda
dalam perincianya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati
7 Howard M. Federspiel, Kajian Tafsir Indonesia, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996),
129. 8 Howard M. Federspiel, Kajian Tafsir Indonesia, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996),
137.
5
bahwa sejak periode ketiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai sekarang
para mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara ayat demi ayat, sesuai
dengan susunannya dalam mushaf. Jika kita telusuri perkembangan tafsir al-
Qur‟an sejak dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besar
penafsiran al-Qur‟an dilakukan melalui empat cara, metode ijamli (global),
tahlili (analitis), muqarin (perbandingan), dan maudhu‟i (tematik).
Di Indonesia ditemukan berbagai terjemahan dan tafsir al-Qur‟an baik
dalam bahasa Indonesia atau Melayu maupun dalam bahasa daerah seperti
bahasa Jawa dan Sunda.9 Di pesantren-pesantren Jawa dipelajari, selain kitab
tafsir al-Munir Nawawi al-Bantani, juga dipelajari kitab klasik tafsir al-
Thabarī dan tafsir Ibn Katsīr, ditambah tafsir-tafsir modern seperti al-Manār
karya Muhammad „Abduh dan Rasyid Ridho dan tafsir al-Maraghi karya
Ahmad Mustafa al-Maraghi.10
Kitab tafsir lain yang ditulis ulama Indonesia
dengan berbahasa daerah adalah kitab tafsir al-Kitabu al-Mubin karya K.H
Muhammad Ramli dengan bahasa Sunda.11
Kitab tafsir Raudhah al-Irfan fi
Ma‟rifati al-Qur‟an karya Ahmad Sanusi bin Abd Rohim dari Sukabumi,
dengan bahasa Sunda, kitab Tafsir al-Ibrīz li Ma‟rifah al-Tafsir al-Qur‟an al-
„Aziz karya KH. Bisri Mustafa dari Rembang, dengan bahasa Jawa (Arab
Pegon) dan kitab tafsir al-Iklil fi Ma‟ani Tanzil karya KH. Misbah bin Zaenul
Musthafa dari Bangilan, dengan bahasa Jawa (Arab Pegon) 30 jilid, 4800
halaman, dan Kitab Tafsir Faidh al-Rahmān fī Tarjamah Tafsir Kalam Malik
ad-Dayyan karya KH. Muhammad Shaleh Ibn Umar al-Samarani dari
Semarang, dengan bahasa Jawa (Arab Pegon). Kitab tafsir lain yang ditulis
ulama Indonesia dengan berbahasa Indonesia ialah Marah Labid karya Syekh
Nawawi al-Bantani, tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus, tafsir al-
Qur‟an karya H. Zainuddin Hamidi dan Fachruddin HS, tafsir al-Nur dan tafsir
9 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 2001, h. 105. 10 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta 2005, h. 297. 11 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia, Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Solo, 2003, h. 102.
6
al-Bayan karya Prof. TM. Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir Furqon karya A. Hassan,
tafsir al-Azhar karya Prof. Dr. Hamka, sampai dengan Tafsir al-Misbah karya
M. Quraish Shihab yang fenomenal.
Beliau merupakan seorang ulama yang berasal dari tanah Minangkabau
yang telah melakukan berbagai peran dan aktifitas dalam perkembangan dan
pembaharuan.12
Agama Islam di Indonesia baik sebelum maupun setelah
kemerdekaan. Sebagaimana para intelektual lainnya, beliau juga telah
melahirkan karya-karya buah pemikirannya dalam jumlah yang cukup banyak
dan hingga saat ini masih dijadikan sebagai rujukan dan bahan kajian, baik
yang berbahasa Arab maupun Indonesia. Dalam karya tafsirnya Mahmud
Yunus menuangkan pendapat dan interpretasinya terhadap al-Qur‟an dengan
keterangan-keterangan singkat yang dianggap perlu dan cukup mewakili
maksud dari ayat yang ditafsirkannya tersebut.
Dalam hal ini, setelah membaca beberapa bagian dari karya tafsirnya,
penulis menemukan hal-hal yang menarik. Selain itu dijumpai pula di dalamnya
keunikan dan kesan tersendiri, yaitu adanya wawasan ke Indonesiaan yang
dicantumkan dalam karya tafsir Mahmud Yunus tersebut.
Sejalan dengan perkembangan lajunya masyarakat, berkembanglah pesat
pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dengan
demikian berkembanglah manhaj atsari ke mazhab ra‟y dan berkembanglah
(tariqah) metode tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.
Corak-corak penafsirannya yaitu: corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hokum,
corak tasawuf, corak sastra budaya kemasyarakatan, corak falsafi dan corak
kalam.13
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir Mahmud
Yunus dalam Tafsir Qur‟an Karim, kajian terhadap corak pemikiran kalam
12 Eficandara Masril, Mohd. Nasran Mohammad, Muhammad Adib Syamsuddin dan Anwar
Fakhri Omar, Mahmud Yunus: Tokoh Mujaddid dari Miangkabau, (Selangor: Jabatan Syariah, 2011),
h. 134. 13 M. Quraish Shihab Dalam Pengantar Bukunya M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam
Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Pena Madani,
2003), h. xxxiv
7
Mahmud Yunus dalam menafsirkan al-Qur‟an. Kitab tafsir yang
diperbincangkan di sini terdiri dari satu jilid besar. Ada beberapa alasan yang
bisa dimunculkan mengapa tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus dan
kenapa pula penulis mengangkat corak kalam dalam penafsiran Mahmud
Yunus?
pertama ialah, Tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus memakai
temuan-temuan modern sebagai bahan dan materi perbandingan bagi fenomena
dan pesan-pesan ajaran al-Qur‟an yang dicoba untuk diselaraskan dengan
kondisi kekinian.
kedua, Beliau adalah salah satu intelektual muslim Indonesia yang telah
memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan ke Islaman di Indonesia. Beliau menggunakan temuan-temuan dan
kemajuan ilmiah modern untuk memperkuat ketinggian nilai ajaran islam dan
kemukjizatan al-Qur‟an. karya-karyanya yang cukup banyak, yaitu bidang
pendidikan, bahasa Arab, fiqh dan termasuk dalam kajian tafsir al-Qur‟an.
Hanya saja, karena banyaknya karya-karya tafsir yang ada di Indonesia,
sedangkan karya tafsir yang bersifat tematis, maupun yang hanya menfokuskan
pada surat-surat tertentu akan penulis ulas secara lebih komprehensif sehingga
diharapkan kajian ini akan mencakup karya tafsir yang ada di Indonesia.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Melihat berbagai masalah pada tema bahasan penelitian ini, penulis
membagi menjadi tiga bagian. Yakni dengan membatasi masalah yang
mengitari penelitian ini dan kemudian rumusan masalah yang relevan dengan
inti pembahasan yang hendak diteliti.
1. Identifikasi Masalah
a. Setiap mufassir memiliki metode dan kecenderungan masing-masing
dalam menafsirkan al-Qur‟an, sehingga melahirkan corak dan penafsiran
berbeda pula.
8
b. Ajaran tauhid atau akidah merupakan ajaran terpenting yang dibawa oleh
al-Qur‟an yakni ajaran tentang pengakuan terhadap Allah swt secara
murni. Dalam disiplin ilmu-ilmu agama islam ajaran tauhid ini di bahas
oleh ilmu kalam.
c. Penafsiran-penafsiran dalam tafsir Qur‟an Karim bercorak rasional14
seperti corak pemikiran kalam Mu‟tazilah dan Maturidiyah ataukah
bercorak tradisional15
seperti corak pemikiran kalam Asy‟ariyah dan
Maturidiyah Bukhara ataukah campuran antara keduanya.
2. Pembatasan Masalah
Masalah yang dibatasi pada penelitian ini penulis tetapkan menjadi dua:
a. Bagaimana corak pemikiran kalam dalam tafsir Qur‟an Karim karya
Mahmud Yunus?
b. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran Mahmud Yunus
terhadap ayat-ayat kalam?
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, rumusan
masalah pada penelitian ini ditetapkan pada:
Bagaimana corak pemikiran kalam dalam tafsir Qur‟an Karim karya
Mahmud Yunus?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok masalah di atas maka hal yang ingin dicapai melalui
penelitian ini ialah
14 Rasional adalah dalil yang disandarkan pada fikiran manusia. Dalil ini tidak bisa dijadikan
sandaran mutlak. Namun dalil ini sering kali digunakan untuk memperkuat dalil-dalil naqli yang ada
(aqli). 15 Tradisional ialah dalil yang bersumber dari al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma‟ para ulama
yang diambil dari intisari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dalil ini merupakan dalil pokok yang menjadi
dasar dalam keetapan hukum islam dan aqidah.
9
1. Mendeskripsikan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang corak pemikiran
kalam.
2. Mengetahui corak pemikiran kalam dalam tafsir qur‟an karim karya mahmud
yunus dan menjelaskan sejauh mana pemahaman teori penafsiran tersebut
untuk menemukan pesan inti dan mentadabburi serta mengamalkan dalam
kehidupan.
Adapun manfaat dari penelitian ini dalam bidang studi al-Qur‟an dan
tafsir adalah:
1. Dalam konteks keilmuwan Islam, hasil penelitian ini akan memberikan
informasi penting terkait dengan dinamika keilmuwan Islam di Indonesia,
khususnya di bidang Tafsir al-Qur‟an.
2. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan rujukan di
bidang studi perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia yang kini masih
sedikit terkait di bidang ini.
D. Tinjauan Pustaka
Sesuai dengan tema penilitian ini yang berjudul “ayat-ayat kalam dalam
Tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus”, penulis membagi kajian pustaka
menjadi dua bagian. Pertama, tinjauan terhadap buku ataupun karya ilmiah
yang membahas tentang pemikiran kalam dan yang berkaitan dengannya.
Kedua, tinjauan terhadap buku atau karya ilmiah yang membahas mengenai
tafsir Qur‟an Karim.
Penelitian mengenai kitab Mahmud Yunus oleh penulis sebelumnya dapat
dibilang relative sedikit, terutama mengenai kitab tafsirnya Qur‟an Karim, hasil
penelusuran penulis hanya menemukan karya-karya yang membahas kitab ini,
yaitu:
1. Skripsi dengan judul: Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Metode
Pendidikan Islam, pada tahun 2011 oleh Asmi Yuni mahasiswi jurusan
10
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA
Riau. Di dalam skripsi ini membahas tentang deskripsi pemikian Mahmud
Yunus tentangmetode pendidikan Islam yang sekarang masih digunakan
di instansi-instansi pendidikan seperti pondok pesantren, yaitu direct
metode atau Thariqah al-Mubasyarah (metode langsung), lebih khususnya
pada pembelajaran Bahasa Arab.
2. “Metode dan corak Tafsir Qur‟an Karim karya Prof. Dr. Mahmud Yunus”
Skripsi di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau pada tahun
2014. Karya Nasrul Fatah Program Studi Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin. Skripsi ini membahas tentang metode, corak al-Adabi al-
Ijtima‟I serta tafsir dengan bentuk penafsiran ini bi al-ra‟y yang
digunakan oleh Mahmud Yunus dalam kitabnya Tafsir Qur‟an Karim.
3. M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, menulis artikel berjudul:
Mahmud Yunus: peloper pola baru penulisan tafsir al-Qur'an Indonesia, (
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 2 nomer 3, edisi Januari - Juni 2015)
mengkaji tentang peloper pola baru penulisan tafsir al-Qur'an Indonesia
dengan kesimpulan ada dua faktor yang menandai Tafsir Qur'an Karim
karya mahmud yunus yang dianggap sebagai peloper bagi pengenalan pola
dan bentuk baru penulisan tafsir karya Indonesia modern.
4. Malta Rina, menulis artikel berjudul pemikiran dan karya-karya Mahmud
Yunus tentang pendidikan Islam, (Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10
nomer 2, edisi April-Desember 2011) mengkaji tentang pemikiran dan
karya-karya Mahmud Yunus tentang pendidikan islam dengan kesimpulan
pendidikan Islam yang sekarang masih digunakan dikalangan pendidikan
seperti pondok pesantren yang berada di Indonesia, lebih khususnya pada
pembelajaran Bahasa Arab.
Melihat penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
berbeda dari penelitian sebelumnya, karena dari dua tulisan diatas tidak ada
satupun yang membahas tentang pemikiran corak kalam dalam tafsir Mahmud
Yunus.
11
E. Metodelogi Penelitian
Penelitian yang hendak penulis lakukan ini berupa kajian kepustakaan
(library research) bersifat deskriptif-analitis yang bekerja untuk menemukan
pemahaman akan fenomena yang terdapat pada objek sesuai dengan apa yang
dialami oleh pengamatan subyek penelitian.16
Bahan informasi mengenai objek
penulis telusuri dalam literatur-literatur, baik klasik maupun modern, termasuk
jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan.
1. Metode Pengumpulan Data
Adapun jenis data yang penulis kumpulkan untuk menuntaskan
kajian ini yaitu dengan menggunakan data dan berbagai literatur, yaitu
berupa data primer dan data sekunder.
a. Data Primer yaitu dengan menggunakan Tafsir Qur‟an Karim.
b. Data sekunder yaitu data yang biasanya telah tersusun dalam bentuk
dokumen17
yang berupa dari buku-buku dan sumber lainnya yang tidak
secara langsung berkaitan dengan tema. Di antaranya adalah buku
Tazkiyat al-Nafs, buku-buku theologi islam dan buku yang berkaitan
dengan jiwa dan manusia. Data sekunder lain sebagai tambahan
perbendaharaan pemahaman tentang kajian ini misalnya dengan
menelusuri di jurnal ilmiah, karya tulis, web dan sebagainya.
2. Analisa Data
Analisis data dilakukan oleh peneliti selama penelitian ini
berlangsung hingga seluruh data telah dianggap cukup. Analisis dilakukan
dengan cara memahami persoalan di sekitar objek penelitian. Peneliti
mencoba memposisikan diri pada posisi netral dengan tetap berpikir kritis.
Kajian ini bersifat deskriptif-analisis dengan meneliti penafsiran Mahmud
Yunus tentang corak pemikiran dan bagaimana aplikasi penafsirannya jika
16 Moleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-32 (Bandung: Rosdakarya,
2014), h. 6 17 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 248
12
dikontekstualisasikan pada masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
Meneliti sosok tokoh Prof. Dr. Mahmud Yunus dengan menganilisis data
tentang nilai-nilai pemikiran kalam yang ada dalam tafsir Qur‟an Karim.
Metode analisis ini, peneliti gunakan untuk melihat.
3. Pendekatan Penelitian
Untuk pendekatan pengambilan data, penulis menggunakan metode
tahlili: yaitu membahas ayat-ayat al-Qur‟an dari segala segi dan
maknanya. Sedangkan pendekatan penelitian yang lain dengan pendekatan
historis-filosofis. Historis berarti akan ditelusuri dan dipotret perjalanan
metodologis tafsir Qur‟an Karim. Pendekatan filosofis dilakukan untuk
menelaah lebih jauh pemikiran dan penafsiran Prof. Dr. Mahmud Yunus
tentang nilai-nilai pemikiran kalam dalam tafsir Qur‟an Karim.
F. Sistematika Pembahasan
Supaya dalam penulisan skripsi ini, sesuai dengan judul yang telah
diajukan agar tidak rancu dalam pembahasannya maka, penulisan skripsi ini
akan di tuangkan dalam sistematika pembahasan, yang disusun dalam lima bab,
dimana masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai
topik-topik tertentu, sistematika pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:
Bab Satu, merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, kajian teori, metode penelitian, metode
pengumpulan data, analisa data, pendekatan penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab Dua, menjelaskan mengenai khazanah pemikiran kalam, sejarah
perkembangan pemikiran kalam dan aliran-aliran pemikiran kalam, Syi‟ah,
Khawarij, Mu‟tazilah, Jabariyah, Qadariyah dan Ahlus Sunnah Wal
Jama‟ah.
13
Bab Tiga, memaparkan mengenai biografi Mahmud Yunus yang
meliputi riwayat hidup, aktivitas keilmuan, latar belakang penulis tafsir,
metode penafsiran, sumber penafsiran, sistematika penafsiran dan karya-
karya.
Bab Empat, membahas penafsiran Mahmud Yunus tentang iman
kepada Allah, penafsiran iman kepada malaikat, penafsiran iman kepada
rasul dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, penafsiran iman
kepada hari akhir, penafsiran iman kepada taqdir, corak penafsiran kalam
tafsir Mahmud Yunus dan pengelompokan ayat-ayat kalam.
Bab Lima, bab terakhir yakni bab penutup, merupakan kesimpulan dari
hasil penelitian yang mencakup atas keseluruhan dari isi karya ilmiah ini.
Kemudian disertai dengan saran-saran membangun, supaya dapat dijadikan
bahan referensi dan pelajaran pada penelitian selanjutnya.
14
BAB II
KHAZANAH PEMIKIRAN KALAM
A. Sejarah perkembangan pemikiran kalam
Secara harfiah kalam artinya perkataan atau percakapan.1 Sedangkan
secara terminologi bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan
tentang wujud Allah, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang
tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya dan
membicarakan tentang Rasul-Rasul Allah untuk menetapkan kebenaran
kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat
yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat
padanya.2
Beberapa ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda sesuai
dengan argumen mereka masing-masing tentang definisi Ilmu Kalam:
Menurut al-„Ijli Ilmu Kalam adalah Ilmu yang memberi kemampuan untuk
menetapkan aqidah agama (Islam) dengan mengajukan argument untuk
melenyapkan keraguan-keraguan. Menurut Ibn Khaldun Ilmu Kalam adalah
Ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela aqidah-
aqidah imanya dan mengandung penolakan terhadap golongan bid‟ah
(perbuatan-perbuatan baru tanpa contoh) yang didalam aqidah menyimpang
dari mazhab salah dan ahli sunnah.
Menurut Fu‟at al-Ahwani ilmu Kalam adalah memperkuat aqidah
agama dengan ajaran-ajaran yang rasional. Menurut Ibn Khaldun (1333-
1406) bahwa ilmu Kalam atau ilmu Tauhid ialah ilmu yang berisi alasan-
alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan
menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap
orang-orang yang menyeleweng dari kepercayan salaf dan ahlus Sunnah.3
Sedangkan menurut Hasbi al-Shiddieqy ilmu Tauhid ialah ilmu yang
membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan
mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli dan aqli. Ilmu
1 Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h.
25. 2 Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 3. 3 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.
3.
15
kalam dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa
khalifah al-Ma‟mun (813-833) dari Bani Abbasiyah. Sebelum itu
pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al-fiqhu fi al-din sebagai
lawan dari al-fiqhu fi al-„ilmi.
Sesudah itu kemudian ulama-ulama Mu‟tazilah mempelajari buku-
buku filsafat pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma‟mun, maka mereka
mempertemukan sistem filsafat dengan sistem ilmu kalam, dan
menjadikannya ilmu yang berdiri sendiri di antara ilmu-ilmu yang ada, serta
menamakannya dengan nama ilmu kalam. Ada kalanya masalah yang paling
penting yang mereka bicarakan dan berselisih pendapat adalah masalah al-
kalam (Firman Allah) maka ilmu ini dinamakan dengan namanya. Ada
kalanya karena persesuaian mereka dengan ahli-ahli filsafat di dalam
memberikan nama ilmu mantiq (logika) di antara ilmu-ilmu mereka. Jadi
mantiq dan kalam adalah sinonim.4
Adapun ilmu ini dinamakan ilmu kalam, disebabkan:
1. Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan hijriyah ialah apakah kalam Allah (al-Qur‟an) itu qadim atau
hadis. karena itu keseluruhan ilmu kalam dinamakan ini dinamai salah
satu bagian yang terpenting.
2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran ini
tampak jelas dalam pembicaraan para Mutakallimin. Mereka jarang
menggunakan dalil naqli (al-Qur‟an dan Hadis), kecuali sesudah
menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-
dalil pikiran.5
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah
tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga
lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika
Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga
tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu
4 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz I, (Kairo: Muassasah al-Halabiy, 1387 H atau
1968 M.), h. 22. 5 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.
3.
16
Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan
yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat
esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi
hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan
lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya
kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia
sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak
seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen.6
Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi
keilmuan kaum muslim. Terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu,
yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqa‟id (Ilmu Akidah-akidah, yakni kepercayaan,
Ilmu Tauhid yakni Ilmu tentang Kemaha-Esaan Tuhan dan Ilmu Ushul al-
Din Ilmu Pokok-pokok Agama. Di negeri kita, terutama seperti yang
terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang
Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan.
Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di
atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling
pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan,
masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu,
tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk
menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya
pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.
Sejarah munculnya ilmu kalam berawal sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW, timbullah persoalan-persoalan dikalangan umat islam
tentang siapakah pengganti Nabi (Khalifatul Rasul) kemudian persoalan itu
dapat diatasi setelah dibai‟atnya atau diangkatnya Abu Bakar As-Shiddiq
sebagai khalifah, setelah Abu Bakar wafat kekhalifahan dipimpin Umar bin
Khattab pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab umat islam tampak
tegar dan mengalami ekspansi seperti kejazirah Arabian, Palestina, Syiria,
sebagian wilayah Persia dan Romawi serta Mesir.
6 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 6.
17
Setelah kekhalifahan Umar bin Khattab berakhir maka Utsman bin
Affan menjadi Khalifah, Utsman termasuk dalam golongan Quraisy yang
kaya kaum keluarganya terdiri dari orang-orang Mekkah karena pengalaman
dagangnya mereka mempunyai pengetahuan administrasi. Pengetahuan
mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar
semenanjung Arabiah yang bertambah masuk kebawah kekuasaaan islam.7
Namun karena pada masa kekhalifahan Utsman cenderung kepada
nepotisme terjadilah ketidakstabilan dikalangan umat Islam dengan
banyaknya penentang-penentang yang tidak setuju kepada khalifah Ustman
puncaknya tewas terbunuh oleh pemberontak dari Kufah, Basroh dan Mesir.
Setelah Ustman wafat Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat terpilih
sebagai khalifah yang keempat tetapi ia segera mendapat tantangan dari
pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah seperti Thalhah, Zubair
dan Aisyah peristiwa ini dikenal dengan perang Jamal. Tantangan kedua
datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan yang juga ingin menjadi khalifah dan
menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Ustman.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut munculah Teologi asal muasal sejarah
munculnya kalam. Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum
dikenal pada masa nabi Muhammad SAW, maupun pada masa sahabat-
sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-
ilmu ke-islaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak
membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (meetafisika). Kita tidak akan
dapat memahami persoalan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita
tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya, kejadian-
kejadian politis dan historis yang menyertai pertumbuhannya.8
B. Aliran-Aliran Pemikiran Kalam
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, aliran berarti haluan, paham
politik, aliran falsafah modern.9 Menurut istilah aliran kebatinan ialah
paham yang membentuk komunitas yang terdiri dari sejumlah orang dari
berbagai agamanya dan mengikatkan diri untuk bersepakat dalam nilai-nilai
7 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 7. 8 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 6-8. 9 Depertamen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesi, h. 962.
18
kehidupan berdasarkan keyakinan batin. Aliran-aliran pemikiran kalam
dalam islam kita bisa ketahui yaitu aliran Syi‟ah, Khawarij, Mu‟tazilah,
Qadariyah, Jabariyah, Murji‟ah dan Ahlus Sunnah.10
C. Aliran Syi’ah
Kata Syi‟ah berasal dari kata Arab yang mempunyai dua pengertian
yaitu menunjukkan arti “saling menolong” dan menunjukkan arti
“menyiarkan dan menyebarkan”. Ada juga yang mengatakan bahwa Syi‟ah
berarti sahabat atau pengikut. Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa term
Syi‟ah pada masa Nabi dipergunakan untuk menamakan empat sahabat
Nabi, yaitu Salman al-Farizi, al-Ghifari, Migdad ibn Aswad al-Kindi, dan
Amar ibn Yazer.11
Kata Syi‟ah dikemukakan dengan pengikut-pengikut „Ali
dan penolongnya.12
Para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan awal munculnya
Syi‟ah. Sebagian beranggapan bahwa Syi‟ah telah ada semenjak masa Nabi,
tepatnya pada peristiwa di Sagifah Bani Sa‟idah. Ada pula yang mengatakan
bahwa munculnya Syi‟ah di masa Usman, yang lainnya lagi mengatakan
bahwa ia muncul pasca tahkim dan terbunuhnya „Ali. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa Syi‟ah baru lahir setelah peristiwa di Padang Karbala.13
Dalam perjalanan sejarah umat Islam kelompok Syi‟ah dinyatakan
sebagai mazhab politik yang pertama kali tampil dalam sejarah peradaban
Islam.14
Untuk mengetahui sebab-sebab munculnya dapat dilacak dari
serentetan peristiwa yang terjadi mulai hari-hari pertama meninggalnya
Rasulullah saw., yaitu pada peristiwa Saqifah, perang Jamal, perang Siffin,
dan tragedi Karbala. Secara historis, peristiwa Saqifah adalah peristiwa yang
tak terpisahkan dengan kemunculan Syi‟ah, sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa dengan terangkatnya Abu Bakar al-Shiddiqi, ada
10 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1996), h. 43. 11 Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi‟ah. Rasionalisme dalam Islam, Cet II,
(Semarang: Ramadhani, 1990), h. 10. 12 Ihzan Ilahi Dzaher, al-Syi‟ah wa al Tasyim Firgun wa al-Thariq, (Pakistan: Idarat
alTarjuma‟i al-Sunnah, 1404/1994), h. 13. 13 Said Aqiel Siraj, Ahlussunnah Wal Jama‟ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 45. 14Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Diterjemahkan Oleh Abdurahman Dahlan
dan Ahmad Qarib dengan Judul “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”, Cet. I, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1996), h. 34.
19
sebagian kelompok yang merasakan bahwa hak kekuasaan Ali ibn Abi
Thalib telah terampas.
Sejarah mengungkapkan bahwa pada waktu itu umat Islam terbagi
menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Anshar yang mencalonkan Saad ibn
Ubadah, golongan Muhajirin mencalonkan Abu Bakar, dan Bani Hasyim
mencalonkan Ali ibn Abi Thalib.15
Ini dapat dikatakan cikal bakal
tumbuhnya golongan Syi‟ah. Kalau dikembalikan pada penetapan istilah
Syi‟ah di atas golongan atau faksi yang menginginkan ‟Ali dan
keturunannya menjadi khalifah, maka peristiwa di Saqifah Bani Sa‟idah 632
M adalah awal dari kelahiran Syi‟ah yang sekaligus menjadi awal kekalahan
mereka. Sistem pemilihan khalifah pada saat itu dan kondisi sosiologis yang
benar-benar tidak menguntungkan pihak „Ali, di mana pemilihan itu
didasarkan pada sistem lama, yaitu mengikuti budaya patriarchal state, yang
memperhatikan masalah umur dan kelebihan-kelebihan individu yang
dimiliki.16
Di samping itu, para pendukung „Ali bin Abi Thalib yang mayoritas
berasal dari Arab Selatan banyak yang menyeberang ke pihak Abu Bakar
karena terjadi perpecahan di dalamnya.17
Versi lain mengatakan bahwa
golongan Syi‟ah muncul pada saat pemerintahan Usman ibn Affan dan
berkembang pada masa pemerintahan „Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa ini dapat disebutkan sebagai zaman pertama kalinya terjadi
perang saudara, dan sekaligus zaman ini dapat juga disebut sebagai zaman
baru dalam sejarah perkembangan Syi‟ah.18
Setelah Ali ra. wafat (41 H atau
661 M.) terjadilah pertarungan berebut kekuasaan antara pendukung Ali ibn
Abi Thalib dengan pendukung Muawwiyah ibn Abi Sofyan yang jika dilihat
dari segi lokasi pendukung merupakan pertarungan antara penduduk Irak
(Ali) dengan penduduk Syiria (Muawiyah). Orang-orang Kufah menuntut
15 Nourouzaman Siddiq, Syi‟ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta:
PLP2M, 1995), h. 9. 16 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fatimiyah, (Mesir: Multazamah, 1958), h.
3. 17 S.H.M. Jafri, Dari Saqifah sampai Imamah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1985), h. 41. 18 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Diterjemahkan Oleh Abdurahman
Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”, Cet. I, (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996), h.34.
20
agar jabatan keimanan tetap dipegang oleh keluarga Ali ibn Abi Thalib (ahl
al-Bait). Mereka merealisasikan tuntutannya dengan mengangkat Hasan
putra Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah (imam). Peristiwa pengangkatan
Hasan sebagai khalifah ini yang menjadi awal doktrin politik Syi‟ah.19
D. Aliran khawarij
Pengertian Khawarij berkaitan dengan predikat yang disandangkan
kepadanya yakni Khawarij itu sendiri, al-muhakkimah, syurah, al-mariqah
dan haruriyah. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja (خرج) yang berarti
keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu
didasarkan pada ayat 100 dari surah al-Nisa (4) yang di dalamnya
disebutkan: “keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”. Dengan
demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang
meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri
kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun teks yang dimaksud adalah:
“Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh tetap pahalanya di sisi
Allah.”
Nama lain dari Khawarij adalah al-muhakkimah yang berasal dari
semboyan mereka yang terkenal la hukma illa Allah (tiada Tuhan kecuali
hukum Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pembuat hukum kecuali
Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali. Yang
berhak memutuskan perkara hanya Allah swt. bukan arbitrase sebagaimana
19 Fazlur Rahman, Islam, (New York: Anchor Books, 1988), h. 208.
21
yang dijalankan oleh Ali.20
Namun ada juga yang mengemukakan bahwa
kaum Khawarij juga menyebut dirinya syurah berasal dari kata dasar yasyri
(menjual) yang berarti golongan yang mengorbankan (menjual) dirinya
untuk Allah.21
Khawarij dinamakan juga dengan al-mariqah karena dianggap telah
keluar dari agama, yang berasal dari kata maraqa yang berarti anak panah
keluar dari busurnya. Nama ini diberikan oleh lawan-lawan mereka. Nama
lain Khawarij adalah haruriah dari kata harura, salah satu desa yang terletak
di dekat kota Kufah Irak. Di tempat inilah mereka yang ada pada waktu itu
berjumlah dua belas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali
yang kemudian mengangkat Abdullah Ibn Wahab al-Rasyibi sebagai imam
mereka. Sebagai wujud rasa penyesalannya kepada Ali yang menerima
arbitrase tersebut.22
E. Aliran Mu’tazilah
Sejarah Munculnya Mu‟tazilah Diskursus yang banyak dan hangat
diperbincangkan pada abad pertama Hijriyah adalah masalah dosa besar dan
pembuat dosa besar. Pertanyaan tentang hal itu banyak diajukan kepada para
alim ulama. Hasan al-Bashri (692-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada
suatu kesempatan mendapat pertanyaan dari salah seorang yang turut
mendengar pengajiannya. Sebelum sempat menjawab, seorang yang
bernama Washil bin Atha‟ menyatakan: “pembuat dosa besar tidak mukmin
dan tidak pula kafir”. Kemudian ia meninggalkan majelis gurunya dan
membentuk majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya.23
Aksi
inilah yang menimbulkan lahirnya Mu‟tazilah yang pada awalnya lahir
sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dilontarkan oleh
golongan Khawarij dan Murji‟ah. Nama Mu‟tazilah yang diberikan kepada
mereka berasal dari kata i‟tazala yang berarti “mengasingkan diri”.
20 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III, Cet. III, (Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1994), h. 47. 21 Harun Nasution, Teologi Islam, Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), h.
13. 22 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 25. 23 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1996), h. 127.
22
Mu‟tazilah sendiri berasal dari akar kata i‟tazala yang berarti berlepas
diri, memisahkan diri, mengundurkan diri.24
Sedangkan Mu‟tazilah,
sebagaimana di dalam kamus al-Munjid: “suatu kelompok dari golongan
Qadariyah yang menyatakan diri menyimpang (bersikap netral) terhadap
kedua kubu yaitu Ahl al-Sunnah dan Khawarij.25
Dalam hal ini, Abu
Huzaifah Washil ibn “Atha‟ memisahkan dirinya, karena berlainan pendapat
dengan gurunya al-Hasan al-Basri, tentang orang Islam yang mengerjakan
maksiat dan dosa besar yang belum bertaubat sebelum mati.26
Para ahli berpendapat bahwa tokoh sentral alirah Mu‟tazilah adalah
Abu Huzaifah Washil ibn „Atha‟ al-Gazali, salah seorang murid al-Hasan
alBasri di Basrah. Mu‟tazilah timbul berkaitan dengan kasus Washil ibn
„Atha‟ dengan gurunya. Masalah itu muncul berawal dengan pemikiran
tentang pelaku dosa besar, yang oleh Khawarij dianggap telah kafir, dan
paham Murji‟ah berpendapat bahwa masih tetap mukmin. Wasil
berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar itu bukan
kafir dan bukan pula mukmin, tetapi mengambil posisi di antara kafir dan
mukmin.27
Aliran Mu‟tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang
dikenal dengan kerasionalannya dalam memaknai atau memberikan
pemahaman terhadap teks agama atau teks al-Qur‟an khususnya mengenai
ke-Tuhanan, kenabian dan keakhiratan dan selainnya yang masuk dalam
rukun iman dan seterusnya yang menjadi permasalahan inti dalam teologi,
seperti soal iman dan kufur, soal mukmin dan kafir. Siapa sebenarnya orang
yang dapat disebut sebagai orang mukmin dan siapa pula yang dapat disebut
sebagai orang kafir. Siapa pula sebenarnya muslim yang masih tetap dalam
Islam, dan siapa yang sudah dinyatakan keluar dari Islam. Di samping itu,
dalam teologi Islam juga dibahas tentang orang Islam yang mengerjakan
24 Abd. ibn Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab Indonesia Inggris, Cet. IV; (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya 1974) , h. 186. 25 Louis Ma‟lout, al-Munjid al-Abjadiy, Cet. IV, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1985), h. 974. 26 Taib Tahir Abdul Muin; Ilmu Kalam, Cet. VIII, (Jakarta: Widjyah; 1986) , h. 102. 27 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998), h. 63.
23
perbuatan haram (dosa besar dan dosa kecil). Bagaimana pula dengan orang
kafir yang mengerjakan kebaikan.
Mu‟tazilah sebagai salah satu aliran teologi rasional yang berangkat
dari tasdiq bi al-qalb wa ikrar bi al-lisan wa amal bi al-arkam, adalah aliran
yang pertama kali menciptakan ilmu kalam di dalam Islam. Mu‟tazilah
merupakan aliran teologi di dalam Islam yang mempersenjatai umat Islam
dengan senjata pemikiran, sehingga umat Islam memberikan suatu
pembelaan terhadap serangan-serangan secara filosofis yang datang dari
musuh-musuh mereka, yang mana dipersenjatai dengan alam pikiran filsafat
Yunani yang mengandalkan akal semata yang didasari atas nafsu dan
kepentingan ego. Mereka itu adalah kaum Yahudi, Nasrani, dan Majusi.28
Selanjutnya, pengikut dari ajaran Mu‟tazilah tidak menginginkan jika
alirannya diberi nama dengan nama Mu‟tazilah, kalau penamaan itu
dihubungkan dengan peristiwa i‟tizalnya Washil dari Hasan Basri. Mereka
lebih senang menamakan diri mereka dengan ahl al-Adl wa al-Tauhid.29
Namun demikian terlepas dari masalah penamaan aliran ini, ada tiga
tokoh besar yang menjadi pilar pendiri dan pengembangan ajaran rasional
ini, yakni al‟Allaf, al-Nazhzham dan al-Jubba‟i. Menurut al-Thabari30
kata
i‟tazala dan Mu‟tazilah sudah dipakai pada waktu pertikaian politik yang
terjadi di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Mereka yang
tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan
memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Menurut al-
Mas‟udi sebagaimana dikutip Nasution, golongan ini disebut kaum
Mu‟tazilah karena mereka mengatakan bahwa orang yang berdosa besar
bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara ke
dua posisi itu. Menurut versi ini, golongan ini disebut kaum Mu‟tazilah
28 Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Dar al-Kutub, 1975), h. 229. 29 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, Cet. V,
(Jakarta: UI Press, 1996), h. 38. 30 Lihat Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, juz IV (Bairut:
Dâr al-Fikr, 1987), h. 442.
24
karena membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak
masuk) golongan mukmin dan kafir.31
Tokoh-Tokoh Mu‟tazilah Aliran Mu‟tazilah banyak melahirkan
pemuka dan tokoh-tokoh penting. Hal ini tidak terlepas dari pusat
pengembangannya yang sangat strategis, yaitu kota Basrah dan kemudian di
Baghdad, yang merupakan pusat kekuasaan dan kiblat ilmu pengetahuan
dunia pada saat itu,32
di antara tokoh itu adalah:
Abu Huzail al-Allaf Nama lengkapnya adalah Abu Huzail Muhammad
ibn al-Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-Allaf abd al-Qais. Ia dinamakan
Al-Allaf karena tempat kelahiranya adalah Basrah (al-Allaf). Al-Allaf
dilahirkan pada tahun 135 H.33
Dan meninggal pada masa pemerintahan
khalifah al-Mutawakkil pada tahun 235 H.34
Abu Huzail al-Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran
Mu‟tazilah. Ia mengembangkan pandangan-pandangan Mu‟tazilah dan
meramunya dengan informasi-informasi baru. Atas prakarsa al-Allaf, tidak
sedikit lahir tokoh besar Mu‟tazilah. Ia lama berdomisili di kota Basrah. Ia
pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu. Ia diberi umur panjang,
hidup sekitar seratus tahun lamanya.35
Al-Allaf merupakan pemimpin Mu‟tazilah yang banyak berhubungan
dengan filsafat Yunani, pada masa mudanya sangat besar perhatiannya
kepada ilmu filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Banyaknya buku-buku Yunani pada saat itu karena pada masa Harun al-
Rasyid banyak orang yang dikirim ke Eropa untuk mencari manuskrip-
manuskrip Yunani untuk dibeli dan dikumpulkan di Baghdad dan kemudian
diterjemahkan. Kemudian pada zaman pemerintahan putranya, al-Ma‟mun
31 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, Cet. V,
(Jakarta: UI Press, 1996), h. 39. 32 Quraish Shihab (ed), Eksklopedi Islam, Juz. III, Cet. III; (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hove, 1994), h. 293. 33 Ali Mustafa al Ghurabiy, Tarikh al-Firq al-Islamiyah (Mesir: Maktabah wa Mat‟baah
Muhammad Ali Sabihiy wa Awladu, t. th), h.148. 34 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.
53. 35Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiqu, Jus. II,
diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul “Aliran dan Teologi Filsafat Islam”,
Cet. I; (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 53.
25
penerjermah diintensifkan dan dibentuk Bayt al-Hikmah dibawah pimpinan
Hunain ibn Ishaq.36
Di sisi lain semua perbuatan maksiat yang bisa saja Allah
memerintahkannya maka perbuatan itu menjadi buruk karena adanya
larangan sedangkan perbuatan maksiat yang Allah tidak mungkin
membolehkannya, maka perbuatan itu buruk karena dirinya sendiri, seperti
tidak mengetahui Tuhan dan meyakini bukan Tuhan sebagai Tuhan.
Demikian juga semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan kecuali karena
perintah Allah, maka perbuatan itu menjadi baik karena diperintahkan, dan
semua perbuatan yang semestinya diperintahkan Allah, maka perbuatan itu
adalah baik karena dirinya sendiri.37
Ajaran-ajaran Abu al-Huzail merupakan kelanjutan dari ajaran Washil
bin Atha tentang peniadaan sifat Tuhan. Dan kemampuan akal manusia
mengetahui masalah-masalah ke-agamaan.38
Pertama, Tuhan adalah Maha
Sempurna. Olehnya itu, Tuhan itu tidak bisa tidak berbuat baik. Tuhan tidak
menghendaki kecuali hal-hal yang baik bagi manusia. Asumsi ini
melahirkan paham al-Shalih wa al-Ashlah. Menurut al-Huzail, betul Tuhan
mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan mengetahui dengan
pengetahuannya. Dan pengetahuannya adalah zat-Nya.39
Kedua, menurut al-
Huzail, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap
agama yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa
akal manusia dapat:
a. Mengetahui adanya Tuhan
b. Mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan
c. Mengetahui apa yang baik dan buruk
36 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet. IV; (Bandung: Mizan,
1996), h. 131. 37Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, alih bahasa Abdurahman
Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”, Cet. I, (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996), h.155. 38 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.
131. 39 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet. IV; (Bandung: Mizan,
1996), h. 132.
26
d. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya
menjauhi perbuatan jahat.40
Ia berpendapat bahwa konotasi sifat itu selalu saja negatif. Jadi, Allah
Maha Tahu berarti mempositifisir zat-Nya tetapi menegaskan ketidak
mampuan dari-Nya. Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang lain.
Perbedaan sifat-sifat Tuhan itu disebabkan oleh perbedaan kebalikan dari
sifat itu yang menegaskan dari Allah. Perbedaan itu sama sekali tidak
mengakibatkan Allah berbilang, karena sifat.41
Abu „Ali al-Jubba‟i Namun nama lengkapnya adalah Abu „Ali
Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn Khalid ibn „Imran ibn Abban
Maula Usman ibn Affan ra. Ia dilahirkan di daerah Jubbah pada tahun 230 H
dan wafat pada tahun 303 H. pada bulan Sya‟ban.42
Al-Jubba‟i adalah tokoh
besar terakhir dari kalangan Mu‟tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di
Basrah. Ia belajar pada ayahnya sendiri.43
Abu Huzail dipadukannya dengan pengetahuannya tentang filsafat dan
setelah dirasa sudah mulai matang lalu dituliskan sebuah buku yang
berjudul Usul al-Khamzah sebagai suatu karya monumental dan merupakan
pegangan para pengikut Mu‟tazilah.44
Kelima dasar utama dimaksud adalah
sebagai berikut :
1. al-Tauhid;
2. al-„Adlu;
3. al-Wa‟du wa al-Wa‟id;
4. al-Manzilat bain al-Manzilatain;
5. al-Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahyi „an al-Munkar.45
40 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Dan Perbandingan,
Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), h. 45. 41 Ibrahim Makdour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiqu, Jus. II,
diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul “Aliran dan Teologi Filsafat Islam”,
Cet. I; (Jakarta: Bumi Aksara,1995), h. 56. 42 Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Islamiyah wa Nasyat Ila Kalam (Kairo: Muhamad Ali
Sabih Press, t.th.) h. 218. 43 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Dan Perbandingan,
Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), h. 50. 44 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 71. 45 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III; (Kairo: Matabah al-Nahdah al-Mishriyah,
1952), h. 22.
27
Sistematika ajaran dasar ini tidak disusun berdasarkan kronologis
kemunculannya, tetapi disesuaikan dengan tata aturan menurut klasifikasi
intensitasnya dan keterkaitannya antara satu sama lainnya. Secara harfiah,
al-Usul al-khamsah yang berarti lima pokok atau lima asas. Lima asas
tersebut menjadi pegangan kaum Mu‟tazilah karena orang yang diakui
menjadi pengikut atau penganut Mu‟tazilah hanyalah orang yang mengakui
dan menerima kelima asas tersebut. Kelima dasar atau ajaran Mu‟tazilah ini
adalah merupakan pengembangan yang dilakukan oleh murid-murid atau
pengikut-pengikut terhadap Wasil ibn „Atha‟ setelah melalui proses
modifikasi terhadap unsur lain maka lahirlah ajaran dasar dan baku bagi
aliran Mu‟tazilah yang dikenal dengan al-Usul al-khamsah, sedang Wasil
ibn‟Atha‟ sebagai pendiri aliran ini telah meletakkan tiga ajarannya sebagai
dasar pertama dalam bidang teologi, yaitu Nafi al-Sifat, Qadar dan al-
Manzilah bain al-Manzilatain46
F. Aliran Jabariyah
Pengertian Jabariyah menurut etimologi kata Jabariyah berasal dari
kata جبر berarti pemaksaan, atau aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar
bagi manusia.47
Sedangkan menurut istilah atau terminologis dikalangan
para ahli teologi adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa
manusia dipaksa oleh Tuhan atau tidak mempunyai kekuasaan dan pilihan
sama sekali.48
Atau manusia dalam kehidupannya serba terpaksa (majbur).
Pemimpin yang pertama adalah Jaham bin sofwan. Karen itu kadang-
kadang aliran ini disebut al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak
persamaannya dengan aliran Qurro‟ agama Yahudi dan aliran Ya‟cubiyah
ajaran Kristen. Mula-mula Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin
bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar dan bembeerontak
didaerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Orang-orang
Jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar,
46 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.
49. 47Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-
Munawwir, 1984), h. 177. 48 Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Ihktiar Baru-van Hoeve, 1982), h. 1532.
28
merupakan kebalikan dari paham Qadariyah yang mana semua gerak
manusia dipaksa adanya kehendak Allah Swt.
Dalam segi tertentu Jabariyah dan Mu‟tazilah mempunyai kesamaan
pendapat, misalnya tentang sifat Allah Swt tidak bisa dilihat diakhirat kelak,
al-Qur‟an itu makhluk dan lain sebagainya. Jaham bin sofwan mati terbunuh
oleh pasukan Bani Umayah pada 131 H.49
Pembahasan surga atau neraka itu
bukan sebagai ganjaran atau kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu
hidupnya dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka
itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah Swt dalam qadrat dan iradat-
Nya. Kalau manusia tidak diserahi qadrat dan iradat sendiri dalam
mewujudkan usahanya dan Allah Swt saja yang menanggung qadrat dan
iradat yang menentukan perbuatan manusia tersebut hal itu sulit diterima.
Ibaratnya orang yang diikat lalu dilemparkan ke dalam laut, seraya
diserukan kepadanya: “jagalah dirimu, jangan sampai tenggelam ke dalam
air.”Akan tetapi paham Jabariyah ini melampaui batas, sehingga
mengitikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat jahat, karena yang
berbuat itu pada hakikatnya Allah Swt. Kesesatannya mereka berpendapat
bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang shalat
maka Allah Swt juga yang sholat. Jadi kalau orang berbuat buruk atau jahat
maka Tuhan tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan
atau keburukan tidak satupun terlepas dari qadrat dan iradat-Nya.50
Mayoritas kaum muslimin menolak paham jabariyah ini karena dapat
menyebabkan orang menjadi malas, lalai dan menghapuskan tanggung
jawab, dengan ayat tersebut al-Qur‟an al-Karim menolak pendapat-pendapat
yang dangkal itu.51
Ayat tersebut sebagai berikut.
49 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 143. 50 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 144. 51 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 148.
29
Artinya: “Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah
sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu", Maka orang-orang
yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah Kami
akan memberi Makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki
tentulah Dia akan memberinya makan, Tiadalah kamu melainkan dalam
kesesatan yang nyata".
G. Aliran Qadariyah
Menurut bahasa kata Qadariyah berasal dari kata, يقدقدر artinya قدرا
memutuskan, menentukan.52
Jadi asal kata Qadariyah mempunyai dua
pengertian. Yang pertama berarti menentukan. Dari kata inilah diambil kata
“taqdir”, sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang kedua
berarti kekuatan dan kekuasaan. Yang kedua inilah yang identik dengan
paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki kekuatan
dan kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri. Kemudian menurut
istilah yang dipakai oleh ahli teologi ialah manusia mempunyai kebebasan
dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Atau
manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.53
Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh
ma‟bad al-Juhni al-Bisri dan Ja‟ad bin Dirham pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Latar belakang timbulnya
qadariyah sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik bani umayyah
yang dianggapnya kejam. Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka
mengatakan bahwa kalau Allah Swt itu adil maka Allah Swt akan
menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri
dengan memilih perbuatan yang baik atau buruk. Jika Allah Swt telah
52 Yunan Yusuf. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka
Panjimas, 1990. h. 57. 53 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Dan Perbandingan,
Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002) , h. 33.
30
menentukan terlebih dahulu nasib manusia maka Allah Swt itu zolim.
Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya.54
Ajaran-ajaran Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup
sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban
umum. Ma‟bad al-Juhni dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia
sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80 H/690 M). Setelah peristiwa ini
maka pengaruh paham qadariyah semakin surut akan tetapi dengan
munculnya aliran mu‟tazilah dapat diartikan sebagai menjelmaan kembali
faham-faham Qadariyah. Sebab keduanya terdapat persamaan filsafat.
sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan
manusia yang baik itu berasal dari Allah Swt sedangkan perbuatan buruk
manusia itu manusia sendiri yang melakukannya tidak ada sangkut pautnta
dengan Allah Swt.55
Oleh karena itu, jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga
di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semuanya itu adalah atas
pilihannya sendiri. Adapun alasan argumentasi golongan yang berfaham
Qadariyah dalam memperkuat pahamnya atau argumentasinya sering
dipakai dalil naqli atau QS. al-Ra‟ad: ayat 11 yaitu:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya: dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.”
54 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 139. 55 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 140.
31
Perbedaan antara Jabariyah dan Qadariyah tentang qudrat. Ada qudrat
(kekuasaan) Allah dan ada pula qudrat manusia. Kalau usaha manusia tidak
berhasil, mungkin karena dia tidak atau belum mengetahui bagaimana qadar
Allah. Dalam kekeliruannya menentukan sebab-akibat, berlakulah qadha
Tuhan. Kalau usaha tidak sesuai dengan qadar Allah, ia tak akan berhasil.
Dengan demikian qudrat manusia terbatas dalam mencari sebab dan
menjalankannya. Apabila sesuai dengan qadar Allah berhasillah dia.
Apabila tidak berlakulah qadha Tuhan.56
Tentang Qadar baik dan buruk berasal dari Allah ada 2 tafsiran :
1. Tiap perbuatan baik dan buruk berasal dari Allah (inti ajaran
Jabariyah).
2. Yang dimaksud dengan qadar adalah ukuran atau norma (kaidah atau
peraturan). Apa dan bagaimana norma-norma baik dan buruk, itu
Tuhan-lah yang menentukan (inti ajaran Qadariyah).57
H. Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah berasal dari kata-kata: Ahlun
berarti golongan atau pengikut. Al-Sunnah berarti tabi‟at, perilaku, jalan
hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan dan ketetapan rasulullah
Saw. Wa huruf „athf yang berarti dan atau serta. Al-jama‟ah berarti jama‟ah
yakni jama‟ah para sahabat Rasul Saw maksudnya ialah perilaku atau jalan
hidup para sahabat. Secara etimologis istilah “Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah”
berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw dan
jalan hidup para sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada
sunnah Rasul dan sunnah para sahabat, lebih khusus lagi shabat yang empat
yaitu, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan „Ali
bin Abi Thalib.58
Para sahabat, khususnya yang empat generasi pertama dan utama
dalam melazimi perilaku Rasulullah Saw, sehingga jalan hidup mereka
56 Sidi. GPAAI (pandangan menyeluruh tentang ajaran islam), cet. I, (Jakarta : Bulan
Bintang: 1974), h. 69. 57 Sidi. GPAAI (pandangan menyeluruh tentang ajaran islam), cet. I, (Jakarta : Bulan
Bintang: 1974), h. 71. 58 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 187.
32
praktis merupakan penjabaran nyata dari petunjuk al-Qur‟an dan Sunnah.
Setiap langkah hidupnya praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang
terkandung dan terkehendaki oleh ajaran islam, serta mendapat petunjuk dan
kontrol langsung dari baginda Rasulullah Saw. Oleh karena itu jalan hidup
mereka relatif terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran islam
sehingga jalan hidup mereka pulalah yang palin tepat menjadi rujukan
utama setelah jalan hidup Rasulullah Saw. Dalam hadis diter angkan: ر القرون ق رن الذي بعثت فيهم ث الذين ي لون هم ث الذين ي لون هم خي
)متفق عليو(
"Sebaik-baik periode adalah periode hidupku yang mana aku (Nabi)
diutus kepada mereka, kemudian disusul periode sesudah mereka (sahabat)
dan kemudian periode berikutnya lagi (tabi‟in)." Ada dua pendapat mengenai hadis ini, pertama periode seratus
pertama dari masa hidup Nabi Muhammad Saw abad I H. kemudian seratus
tahun kedua abad II H dan disusul seratus tahun berikutnya abad III H. hal
ini didasarkan pada pengertian qarnun yaitu abad atau hitungan 100 tahun.
59Kedua adanya pendapat bahwa qarnun tidak diartikan dengan perhitungan
100 tahun, tetapi yang dimaksud ialah suatu situasi yang mana ajaran-ajaran
islam secara kaffah, integral dan komperhensif diamalkan oleh pemeluk-
pemeluknya. Hal ini hanya terjadi pada masa hidup Nabi Saw, masa
khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Pasca masa tersebut
mulai timbul adanya konflik-konflik politik dan diikuti oleh perbedaan
paham keagamaan yaitu masa akhir khalifah Utsman bin „Affan dan
seterusnya.60
Maka tepatlah definisi Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah yang dikemukakan
oleh Abu Fadl bin Al-Syekh „Abd Al-Syakur al-Sanuri dalam kitabnya “al-
Kawakib al-Lamma‟ah fi tahqiq al-Musamma bi Ahlus Sunnah Wal
Jama‟ah” bahwa yang di maksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah ialah
59 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1996), h. 86. 60 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1996), h. 88.
33
golongan yang senantiasa berpegang teguh mengikuti sunah Rasul Saw dan
petunjuk para sahabatnya baik dalam lingkup akidah, ibadah maupun
akhlak.
Adapun wujud konkretnya Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah tidak lain ialah
golongan yang senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk al-Qur‟an dan
al-Sunnah. Artinya dalam segala hal selalu merujuk kepada al-Qur‟an dan
Sunnah. 61
Mengenai batasan paham Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah para ulama
merujuk kepada beberapa dalil naqli.62
Diantaranya: رسول هللا صلى الل عليو وسلم: اف ت رق الي هود على إحدى عن أب ىري رة قال: قال
ت ي وسبعي فرقة ت ي وسبعي فرقة، وت فرقت النصارى على إحدى أو ثن .أو ثن
ت )رواه األربعة( رقة على ثالث وسبعي ف وت فتق أم
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda, „Kaum Yahudi telah terpecah
menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan,
dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh
puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga (73) golongan.”(HR. abu dawud, al-tirmidzi,al-nasa‟i, ibn majah)63
Hadis ini tidak secara tegas menyatakan adanya golongan yang
disebut “Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah” akan tetapi baru diisyaratkan akan
terpecahnya umat rasulullah Saw, menjadi 73 golongan, maka golongan
Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah berarti salah satu dari ke-73 golongan tersebut.
Hadis lain yakni:
61 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 188. 62 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 190. 63 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Daud, Juz 2, (Beirut: daar
al-Kutub al-„Arabi, 1988), no. 2410, juz 2, kitab ke-14 dan bab ke-43, h. 251.
34
عليو وسلم: اف ت رقت الي هود على عن عوف بن مالك قال: قال رسول هللا صلى الل
ت ي إحدى وسبعي فرقة ف واحدة ف عون ف النار واف ت رقت النصارى على ثن النة وسب
د بيده عون ف النار وواحدة ف النة والذي ن فس مم وسبعي فرقة فإحدى وسب
ت على ثالث وسبعي ف عون ف النار، قيل: لت فتقن أم تان وسب رقة واحدة ف النة وثن
.ي رسول هللا من ىم؟ قال: الماعة)رواه الطرباىن(
Terjemahan hadis tersebut secara langsung menyebutkan kata “Ahlus
Sunnah Wal Jama‟ah” sebagai satu-satunya golongan yang dinyatakan bakal
selamat bisa masuk surga. Berdasarkan kedua hadis tersebut, jelaslah
bahwa. “Umat islam akan terpecah ke dalam banyak golongan sebagaimana
umat Yahudi dan Nasrani. Diantara 73 golongan itu terdapat satu golongan
yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa
mengikuti jejak hidup Rasulullah Saw dan jejak hidup para sahabatnya. Dan
golongan yang selamat (masuk surga) itu ialah golongan Ahlus Sunnah Wal
Jama‟ah.”64
Ada dua orang ulama Ahlus Sunnah yaitu:
1. Imam Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-
Maturidi as-Samarkhani.65
Dia hidup di Samarkand 238-333H/852-
944 M, masih bersisilah dengan sahabat besar Abu Ayyub Khalid bin
Zaid bin Kulaib al-Anshari yang rumahnya pernah disinggahi
rasulullah Saw, ketika perjalanan hijrah ke Madinah. Kealimannya
agak general, sekalipun yang menonjol tetap bidang teologi. Kitab
bakunya dalam bidang ini ialah Kitab at-Tauhid terdiri dari 400
halaman lebih. Dalam bidang fiqih dan bermazhab hanafi.
64 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
h. 192. 65 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,
1996), h. 134.
35
2. Imam Abu Hasan Ali bin Isma‟il al-„Asy‟ari, masih bersisilah dengan
sahabat besar Abu Musa Al-Asy‟ari. Dia lahir di kota Basyrah 260-
330 H/873-945 M. Memiliki karangan-karangan dalam bidang teologi:
maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musahhalin, al-luma‟ fi raddi Ahl
al-Zaighi wal bida. Dalam mazhab fiqih ia bermazhab syafi‟i. Teologi
al-Asy‟ari memperoleh kemajuan yang pesat karena dukungan
penguasa khalifahal-Mutawakkilin (237-247 H/817-861M) dari bani
Abbasiyah dan Wazir dari bani Slajuk Nizham al-Mulk, wafat 403
H/1013 M. Kemudian disebarluaskan oleh ulama-ulama terkenal
antara lain: al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi,
al-Syahratani dan al-Sanusi.66
Ketokohannya sebagai teologi sunni,
Fathullah Khalif menjelaskan:“Imam al-Zubaidi pernah berkata:
ketika dikatakan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah maka yang dimaksud
adalah para pengikut Imam Asy‟ari dan Imam Al-Maturidi”67
Al-Maturidi dipandang sebagai pendiri Kalam Sunni yang pertama.
Hal ini didasarkan bahwa Al-‟Asy‟ari (260 -330 H) mula-mula berpaham
Mu‟tazilah, baru setelah berusia 40 tahun (300 H) dia tinggalkan paham
Mu‟tazilah dan kemudian bergabung kepada Sunni. Sedangkan Al-Maturidi
(24 8-333 H) yang umurnya 12 tahun lebih tua dan meninggal lebih
kemudian tidak pernah secara resmi berpaham Mu‟tazilah.68
Kelima aliran yang telah dijelaskan diatas akan digambarkan dalam
sebuah kehidupan sehari-hari kita oleh Hartono ahmad jaiz. Dialah yang
menciptakan manusia dengan segenap ketentuan yang ada padanya dan
menganugerahi kebebasan dalam berniat, berpikir, bercakap, beraksi atau
berikhtiar sesuai kehendakNya untuk menyetir nasibnya sendiri. Kelima
aliran yang dimaksud adalah:
1. Qadariyah. Penganut faham ini berpendapat bahwa nasib dan perjalanan
hidup manusia sepenuhnya terletak pada usaha dan kekuatannya sendiri.
66 maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musahhalin, (Madinah: al-Jami‟ah al-Islamiyah,
1395 H). 67 Fathullah Khalif, dalam muqaddimah, kitab At-Tauhid, (Qatar: Daar al-Jami‟at al-
Qattariyah, tt), 51. 68 68 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), h. 278.
36
Bukan pada takdir. Dengan daya kapasitas yang dimilikinya ia akan
mampu mewujudkan segala hasrat dan kehendaknya dalam bentuk
perbuatan-perbuatan.
2. Jabariyah. Pandangan mereka berlawanan dengan Qadariyah. Yaitu
bahwa seluruh ikhtiar dan sepak terjang manusia, tuhanlah yang
menciptakan, menentukan dan “menentukan dan memaksanya‟‟ mansuia
hanyalah “robot” tang tak berdaya,tak punya alternatif dan kekuasaan
untuk mewujudkan kehendaknya. Tinggal secara terpaksa sesuai dengan
keinginan dan skenario agung sang pencipta.
3. Mu‟tazilah. Fahamnya boleh dikata sama dengan Qadariyah dalama hal
kebebasan mutlak manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Hanya saja
bahwa selain itu ada juga yang perbuatan munculnya spontan,dalam arti
tidak “tercatat” dalam rencana dan kehendak manusia.misal saja,gerak
refleks atau gerak otomatis atau yang terjadi dengan seandirinya.
4. Maturidiyah. Dalam masalah ini, serupa pendapat mereka Qadariyah dan
Mu‟tazilah atau minimal lebih condong kesana.
5. Ahlus-sunah wal-jama‟ah (aswaja). Golongan moderat dan kompromistis
ini berupaya mengambil jalan tengah antara Qadariyah dan Jabariyah.
Mereka berpendirian bahwasanya manusia wajib berikhtiar dan berusaha
sekua-kuat usaha untuk memanifestasikan segala hasrat dan kemauannya,
namun tidak akan pernah terlepas dari takdir tuhan. Ia dapat “meloncat”
dari satu takdir ke takdir lainnya, umpama dengan bantuan doa dan upaya
habis-habisan. Misalnya koruptor yang bertobat 7 turunan (taubat
nasuha) dan mengembalikan semua hasil jarahannya, kembali jadi
manusia yang soleh.69
69 Hartono ahmad jaiz, Rukun Iman Diguncang, Pertentangan Faham Harun Nasution, (
Jakarta: Pustaka An-Naba‟) h. 39.
37
BAB III
MENGENAL TOKOH MAHMUD YUNUS
A. Kondisi Sosial Keagamaan Mahmud Yunus
Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 Masehi.
Bertepatan dengan tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah di desa Sungayang
Batu Sangkar Sumatera Barat. Ia wafat pada tanggal pada hari sabtu tanggal
16 Januari 1982 M bertepatan 20 Rabi‟ul Awal 1402 H.1
Tanah kelahiran Mahmud Yunus berada kurang lebih 7 KM dari Kota
Batusangkar sebagai pusat ibu kota Kabupaten Tanah Datar dan 12 KM dari
Nagari Pagaruyung sebagai pusat Kerajaan Minangkabau dahulunya. Secara
adat dan budaya, tanah kelahiran beliau ini senantiasa memegang teguh
nilai-nilai adat dan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Mahmūd Yūnūs
dilahirkan dari keluarga terkemuka di Nagari Sungayang dan memiliki
nuansa keagamaan yang kuat. Ayahnya adalah seorang petani bernama
Yunus bin Incek dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah binti M
Thahir dari suku Chaniago. Disamping itu Yunus bin Incek juga dikenal
sebagai seorang yang jujur dan lurus. Ibu Mahmud Yunus adalah seorang
yang buta huruf karena tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah,
apalagi di desanya belum ada sekolah. Namun ia dibesarkan dalam
lingkungan yang islami. Ibu Hafsah bernama Doyan binti Muhammad Ali,
sedangkan kakek Hafsah bernama Syekh Muhammad Ali, bergelar Engku
Kolok.2
Dengan demikian secara silsilah Mahmud Yunus boleh dikatakan
adalah keturunan dari seorang ulama di Sungayang. Hafsah mempunyai
keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain tradisional
Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat.3
Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan
kecenderungannya yang kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam.
1 Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching,
2005), h. 336. 2 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 592. 3 Mahmud Yunus, Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1982), h. 5.
38
Melihat hal itu, saudara lelaki Hafsah (ibu Mahmud Yunus) bernama
Ibrahim dengan gelar Dt.Sinaro Sati seorang saudagar kaya di Batusangkar
pada masa itu sangat memperhatikan bakat serta kecerdasan Mahmud
Yunus. Ibrahim yang mendorong Mahmud Yunus untuk melanjutkan
pendidikan dan belajar ke luar negeri dengan disertai sokongan perbelanjaan
untuk keperluan itu. Hal ini memberikan gambaran tanggung jawab seorang
saudara lelaki kepada ibu (di Minangkabau disebut dengan “mamak”).4
Dukungan ekonomi dari sang mamak, juga disertai dorongan dari
orang tuanya, maka Mahmud Yunus sejak kecil hingga remaja hanya
dilibatkan dengan keharusan untuk belajar dengan baik tanpa harus ikut
memikirkan ekonomi keluarga dalam membantu orang tuanya mencari
nafkah, meskipun Mahmud Yunus adalah satu-satunya anak laki-laki dalam
keuarganya, dan bersamanya seorang adik perempuan bernama Hindun.
Sedangkan ayahnya telah meninggal dunia ketika Mahmud Yunus masih
kecil dan belum mumayyiz. Sedangkan dalam kehidupan rumah tangganya.
Mahmud Yunus tercatat pernah menikah dengan lima orang istri,
yaitu:5 Istri pertamanya bernama Hj. Darisah binti Pangeran dari
Payakumbuh dan mempunyai satu orang anak laki-laki yang bernama Prof.
Dr. H. Kamal Mahmud, S.H. Istri kedua bernama Hj. Djawahir yang juga
berasal dari Payakumbuh dan mempunyai lima orang anak yaitu: Hj.
Djawanis, Hafni, H. Fachrudin, Drs. H. Hamdi dan Elly. Istri ketiga adalah
Karminah dan mempunyai satu orang anak bernama Amlas. Ketiga istri
Mahmud Yunus tersebut dinikahinya sebelum berangkat ke Mesir, maka
pada waktu pergi belajar ke Mesir, Mahmud Yunus menceraikan istri yang
pertama yaitu Darisah binti Pangeran. Istri keempat bernama Hj. Nurjani
binti Jalil dari Padang dengan anak-anaknya bernama Fachri Mahmud, S.H,
Hj. Suraiya. Dr. Neszli Harmaini, Hj. Sufna dan Ir. Fachran. Mahmud
Yunus menikahi Hj. Nurjani setelah kembali dari Mesir. Istri yang kelima
adalah Hj. Darisah binti Ibrahim yang mempunyai enam orang anak yaitu
4 Fauzan Masyhudi, Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Konsep Pendidikan Islam, Jurnal
Tarbiyah, vo. 21, no. 1, (2014), h. 52. 5 Malta Rina, Artikel: “Pemikiran dan Karya-karya Prof. Dr. Mahmud Yunus tentang
Pendidikan Islam”, (Padang: Ilmu Sejarah Pasca Sarjana UNAND, 2011), h. 6.
39
Sufni (yang meninggal ketika masih bayi), Drs. H. Yunus Mahmud, Dr. H.
Hamdi, Hj. Elina, Mahdiarti dan Chairi. Hj. Darisah binti Ibrahim sendiri
adalah anak dari mamak Mahmūd Yūnūs sendiri yaitu Ibrahim Dt. Sinaro
Sati. Berdasarkan data diatas, dari lima orang istri, beliau memiliki anak
sebanyak 18 orang.
B. Aktivitas Keilmuan
Sejak kecil Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan
kecenderungannya yang kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Ketika berumur 7 tahun ia belajar membaca al-Qur‟an di bawah bimbingan
kakeknya, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali dengan gelar Engku
Gadang.6 Kebetulan kakek beliau itu (saudara lelaki dari Doyan binti
Muhammad Ali atau ibu Hafsah) memiliki surau, yang bernama Surau
Talang. Di surau inilah ia tahu bagaimana cara shalat, puasa dan membaca
al-Qur‟an dengan benar. Berkat ketekunannya dalam waktu kurang dari satu
tahun ia pun dapat menamatkan al-Qur‟an.
Selepas khatam al-Qur‟an, beliau pun dipercaya oleh datuknya
menjadi guru pembantu untuk mengajar anak-anak yang menjadi pelajar
pada peringkat awal atau rendah sambil beliau mempelajari dasar-dasar tata
bahasa Arab (ilmu sharaf) dengan kakeknya. Pada tahun 1908, dengan
dibukanya sekolah desa oleh masyarakat Sungayang, Mahmud Yunus pun
tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu ibunya
untuk belajar ke sekolah desa tersebut. Setelah mendapat restu dari ibunya
untuk belajar ke sekolah desa tersebut. Tahun pertama sekolah desa
diselesaikannya hanya dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh
penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya.
Di kelas tiga Mahmud Yunus menjadi siswa terbaik bahkan ia
dinaikkan ke kelas empat. Ia merasa bosan belajar di sekolah desa, Karena
pelajaran sebelumnya sering di ulang-ulang pada saat bosan itu ia
mendengar kabar bahwa H.M. Thaib umar membuka Madrasah (sekolah
6 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57.
40
agama) di surau Tanjung penuh Sungayang dengan nama Madras School
(Sekolah Surau).7
Bertepatan pula pada masa yang bersamaan, Syekh Haji Muhammad
Thaib Umar (tokoh mujaddid dari Minangkabau dan beliau termasuk
sebagai Kaum Muda atau Reformis) membuka Madras School (Sekolah
Surau) di Surau Tanjung Pauh Sungayang. Di madrasah ini Mahmud Yunus
mempelajari berbagai pelajaran, antar lain: Fath Al-Qarib, Iqna‟, Fath al-
Wahhab, Fath al-Muin, Alfiyah Ibnu Aqil, Taftazani, Umm al Barahin, al-
Jauhar al-Maknun, Talkhish, Jam‟u al-Jawami, Ihya Ulumuddin dan
Minhaj al-A‟bidin, ilmu nahwu (menggunakan Kitab Durul al-Nahwiyah),
ilmu sharaf (menggunakan papan tulis saja tanpa kitab) berhitung (menurut
sistem ahli hisab Arab atau sistem faraidh) dan bahasa Arab. Siang belajar
di Madras School hingga zuhur, selepas zuhur sampai malamnya belajar
ilmu fiqh, yaitu Kitab Fath al-Qarib. Pada tahun 1913 M, Mahmud telah
menjadi guru pembantu yang telah telah mempunyai murid 5-6 orang.
Mahmud Yunus bukan saja mengajarkan kitab-kitab yang telah
dipelajarinya, bahkan juga mengajarkan kitab-kitab yang belum pernah
dipelajarinya sama sekali. Sekalipun kitab-kitab yang cukup berat untuk
ukuran seusianya seperti: al-Mahalli, alfiah Ibnu „Aqil dan Jam‟u al-
Jawami‟.8
Oleh karena itu, setelah beliau berkesempatan menunaikan ibadah haji
ke Makkah pada tahun 1924 M, beliau berkeinginan untuk melanjutkan
pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi di Negara Timur Tengah, yaitu
Mesir. Setidaknya ada dua alasan penting mengapa Mahmud Yunus hendak
pergi belajar ke Timur Tengah, khususnya Mesir, yaitu:9
1. Hendak menambah ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan umum
yang biasa diajarkan di sekolah-sekolah menengah umum. Karena guru
beliau menganjurkan supaya para pelajar madrasah atau pesanteren
7 Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005), h. 337. 8 Sulaiman Ibrahim, Pendidikan dan Tafsir “Kiprah Mahmud “Kiprah Mahmud Yunus
dalam Pembaruan Islam,” (Jakarta: LEKAS, 2011), Cet. I, h. 7. 9 Edi Iskandar, Mengenal Sosok Mahmud Yunus, Jurnal: Kependidikan Islam, vol. 3, no.
1, (2017), h. 38 .
41
atau ma‟had selain mempelajari ilmu pengetahuan agama hendaklah
mempelajari ilmu pengetahuan umum.
2. Hendak menyelidiki keadaan ulama-ulama di Mesir. Adakah di sana
ulama kaum muda dan ulama kaum tua seperti di Indonesia? Dan
hendak mempelajari dalil-dalil mereka masing-masing, mana yang
lebih kuat. Maka pada tahun 1924 M, Mahmud Yunus mendaftar
sebagai salah seorang pelajar Indonesia yang belajar di Universitas al-
Azhar.
Di Mesir, Mahmud Yunus kembali memperlihatkan prestasi yang
istimewa. Sehingga setelah satu tahun masa belajar, Mahmud Yunus
mencoba kemampuannya dengan masuk ujian akhir untuk menamatkan
pendidikan di Universitas al-Azhar dan mendapatkan Syahadah „Alimiyah
sebagai ijazah tertinggi di Universitas al-Azhar semasa itu. Ada 12 cabang
ilmu yang diujikan dalam ujian akhir tersebut dan kesemuanya itu telah
dikuasai Mahmud Yunus pada waktu belajar di tanah air, sebagaimana
dicatatkannya: “Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji, saya sanggup
masuk ujian itu. Karena kedua belas macam ilmu itu telah saya pelajari di
Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-
1923)”.10
Berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah). „Alimiyyah pada
tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Beliau
kemudian memasuki Darul „Ulum „Ulya Mesir11
Pada tahun 1925 ia berhasil
memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah „Ulya (setingkat
perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia
memilih jurusan Tadris (Keguruan). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-
satunya mahasiswa yang pertama dari Indonesia dan mahasiswa asing yang
berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul „Ulum. Setelah
10 Mahmud Yunus, Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1982), h. 28. 11 Darul „Ulum „Ulya adalah Sekolah Tinggi pemerintah Mesir untuk menghasilkan
guru-guru agama dan bahasa Arab yang akan mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Lihat
Mahmud Yunus, Tafsir Al Qur‟an Al Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004), dalam
pendahuluan halaman III.
42
menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, ia
pun kembali ke tanah air pada tahun 1931.
C. Latar Belakang Penulis Tafsir
Pada tahun 1922, beliau mulai menterjemahkan al-Qur‟an dan
diterbitkan dengan huruf Arab-Melayu untuk memberi pemahaman bagi
mayarakat yang belum begitu paham bahasa Arab. Meskipun waktu itu
umumnya ulama Islam mengatakan haram menterjemah al-Qur‟an, tetapi
beliau sekali tidak terpengaruh bantahan tersebut dan beliaupun tetap
melanjutkan usahanya menterjemahkan Qur‟an Karim tersebut.12
Karya ini merupakan salah satu pemula bagi karya dalam kajian al-
Qur‟an di Indonesia dalam bentuk baru, yaitu dilihat dari sudut keberanian
menampilkan terjemahan al-Qur‟an di tengah-tengah masyarakat yang
masih menganggap haram menterjemahkan al-Qur‟an di luar bahasa Arab.
Karena menurut gagasan mayoritas dalam ortodoksi Islam, bahwa
terjemahan al–Qur‟an dalam pengertian yang sebenarnya dari kata tersebut
adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada karakter
i‟jaz (keunikan) al-Qur‟an yang tidak bisa diimitasi atau ditandingi manusia
dengan cara apapun. Menurut sudut pandang ini, karakteristik tersebut akan
hilang dalam terjemahan al-Qur‟an, karena terjemahan dibuat oleh
manusia.13
Namun usaha Mahmud Yunus tersebut terhenti, karena beliau pergi
melanjutkan studinya ke Mesir pada tahun 1924 M. Ketika belajar di Darul
„Ulum beliau mendapatkan pelajaran dari Syaikh di sana, bahwa
menterjemahkan al-Qur‟an itu hukumnya adalah mubah (boleh), bahkan
dianjurkan atau termasuk fardhu kifayah dengan tujuan untuk
menyampaikan dakwah Islamiyah kepada bangsa asing yang tidak
mengetahui bahasa Arab. Karena bagaimana mungkin dapat menyampaikan
12 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT Hida Karya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. III. 13 Taufik Adnan Kamal, Rekrontruksi Sejarah Al Qur‟an, (Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2011), h. 395.
43
kitabullah kepada mereka, jika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
mereka.14
Dari pengalamannya melanjutkan kuliah di Mesir selama lebih kurang
enam tahun Mahmud Yunus berhasil menindak lanjuti awal ketertarikannya
terhadap ide-ide pembaharuan pemikiran Islam dengan tidak hanya
membaca jurnalnya, tetapi berhasil mengunjungi langsung tanah Mesir guna
menimba ilmu dan wawasan pembaruan Islam dari murid-murid
Muhammad „Abduh di tanah kelahiran mereka. Dengan pengalaman
istimewa ini, Mahmud Yunus memiliki jalinan komunikasi yang lebih dekat
dengan ideologi reformatif Muḥammad „Abduh dan Rasyīd Riḍā
dibandingkan tokoh-tokoh pembaharu terkenal tanah air seperti Ahmad
Hassan, Zainuddin Hamidi, Hasbi Ash-Shiddieqy dan Hamka yang hanya
mengenal gagasan reformatif Muhammad „Abduh dan Rasyīd Riḍā dari
membaca majalah al-Manār. Keistimewaan langka yang dimiliki oleh
Mahmud Yunus ini semakin lebih mengokohkan perannya sebagai pelopor
dan pembawa pola baru penulisan tafsir al-Qur‟an Indonesia modern yang
relatif sejalan dengan gagasan pembaruan Muhammad „Abduh.15
Dengan menerima pelajaran tersebut membuat Mahmud Yunus
merasa berbesar hati, karena hal itu sesuai dengan usaha menterjemahkan
al-Qur‟an yang selama ini beliau tekuni. Setelah kembali ke Indonesia,
maka dengan berbagai ilmu yang telah diserap pada bulan Ramadhan tahun
1354 H (Desember 1935) beliau mulai kembali menterjemahkan al-Qur‟an
dan disertai tafsir ayat-ayatnya yang dianggap penting yang kemudian
beliau beri nama: Tafsir Qur‟ān Karīm.
Dengan susah payah karya tafsir tersebutpun di terbitkan 2 juz setiap
bulan. Sedang dalam menterjemahkan juz 7 sampai dengan 18 Mahmud
Yunus dibantu oleh almarhum H.M.K. Bakry. Sehingga pada bulan April
1938 dengan pertolongan Allah Ta‟ala selesailah terjemahan al-Qur‟an dan
tafsirnya lengkap 30 juz dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Setelah
14 Taufik Adnan Kamal, Rekrontruksi Sejarah Al Qur‟an, (Jakarta: Yayasan Abad
Demokrasi, 2011), h. 40. 15 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “ppbp Tafsir al-Qur‟an Indonesia : Mahmud
Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015, h. 327.
44
Indonesia merdeka, pada tahun 1950 dengan petunjuk menteri Agama pada
waktu itu Almarhum Wahid Hasyim, salah seorang penerbit Indonesia
berkeinginan untuk menerbitkan Tafsir Qur‟an Karim ini dengan
mendapatkan fasilitas kertas dari Menteri Agama dan di cetak sebanyak
200.000 eksemplar. Lalu ditunjuk percetakan bangsa Indonesia untuk
mencetaknya.16
Namun kabarnya ada bantahan dari Ulama Yogyakarta, supaya
pencetakan Tafsir Qur‟an Karim ini dihentikan. Bantahan itu dikirim kepada
Menteri Agama RI, akan tetapi beliau sendiri tidak menerima bantahan
tersebut. Boleh jadi karena bantahan itu karena sebab-sebab yang lain,
pemilik percetakan itu tidak mau melanjutkan mencetak Tafsir Qur‟ān
Karīm ini, padahal pada waktu itu sudah mulai dicetak dengan jumlah yang
cukup banyak. Akhirnya diambil alih oleh M. Baharata direktur percetakan
al-Ma‟arif Bandung, kemudian Tafsir ini dicetak dan di terbitkan sebanyak
200.000 eksemplar dan dijualnya dengan harga Rp. 21.00 per eksemplar.17
Pada tahun 1953 seorang ulama dari Jatinegara memberikan bantahan
pula, bantahan itu dikirim kepada Presiden RI dan Menteri Agama,
salinannya disampaikan oleh Menteri Agama kepada Mahmūd Yūnūs, lalu
beliau memberikan balasan terhadap surat itu dengan lebar panjang.
Tembusannya dikirimkan kepada Presiden RI dan Menteri Agama.
Akhirnya orang yang membantah itu tidak berkomentar lagi dan hanya diam
saja.18
Kemudian setelah hasil percetakan itu habis, Mahmud Yunus bersama
istrinya, Darisah binti Ibrahim meneruskan penerbitkan Tafsir Qur‟an Karim
ini beberapa kali tanpa ada perubahan yang besar. Hanya ada perubahan
sedikit demi sedikit.19
Ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa tafsir ini yang juga disertai
dengan kesimpulan isi al-Qur‟an, bukanlah merupakan tejemahan dari kitab
16 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. IV. 17 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. IV. 18 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. IV. 19 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, h. IV.
45
bahasa arab, melainkan hasil penyelidikan pengarang sejak berusia 20 tahun
sampai saat itu berumur 73 tahun. Dalam tafsir ini yang paling dipentingkan
ialah menerangakan dan menjelaskan petunujuk-petunjuk yang termaktub
dalam al-Qur‟an un tuk diamalkan kaum Muslimin khususnya dan seluruh
umat manusia pada umumnya sebagai petunjuk universal.20
Dengan alasan
bahwa petunujuk itulah tujuan utama kitab suci al-Qur‟an seperti
diterangkan Allah dalam firman Nya pada permulaan surat Al-Baqarah:
“Kitab itu (Al-Quran) tidak ada keraguan didalamnya, jadi petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa”.
Mahmud Yunus juga menegaskan bahwa jika tafsir ini dan isi
kesimpulan al-Qur‟an yang disertakan di dalamnya memilki nilai kebenaran,
maka hal itu semata-mata merupakan hidayah dan karunia Allah.
Sebaliknya, jika terdapat kekhilafan dan kesalahan maka kesalah tersebut
tidak lain merupakan kesalahan dari dirinya sendiri. Beliau di dalam
pendahuluan tafsirnya berdoa: “Ya Tuhan kami, jangan siksa kami jika kami
lupa atau salah. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah terima taubat kami, sesungguhnya
Engkau penerima taubat lagi Maha Penyayang”.21
D. Metode Penafsiran
Secara umum Tafsir Qur`an Karim Mahmud Yunus ini menunjuk
pada metode ijmâlî yakni hanya menafsirkan ayat secara global saja. Namun
pada beberapa ayat, beliau memberikan perhatian lebih hingga terlihat corak
penafsiran tahlîlî, yakni suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur`an dan seluruh aspeknya. Dalam tafsir Mahmud
Yunus, aspek kosa-kata dan penjelasan arti global tidak selalu dijelaskan.
Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu, kadang suatu ayat
atau suatu lafadz dijelaskan arti kosa-katanya, sedangakan lafadz di ayat
20 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. V. 21 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. V.
46
yang lain arti globalnya karena mengadung suatu istilah, bahkan kadang
dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan istilah itu
pada ayat-ayat yang lain.22
Dari penjelasan di atas, metode pemikiran penafsiran Mahmud Yunus
cenderung ke arah penafsiran model bi al-ra‟y.23
contoh penafsiran dapat
dilihat pada surat al-Baqarah ayat 46:
“(yaitu) mereka yang percaya dengan yakin bahwa mereka akan
menemui Tuhan mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Perkataan dalam ayat ini bukan artinya menyangka, melainkan
yakin sesuai dengan ayat 4 surah al-Baqarah. Sebab itu keimanan haruslah
dengan yakin-seyakinnya tidak boleh ragu-ragu atau prasangka saja.24
E. Sumber Penafsiran
Mahmud Yunus menjelaskan bahwa setelah beliau mempelajari
beberapa tafsir, seperti:
1. Tafsir Ath Thabari juz 1 halaman 42
2. Ibnu Katsir juz 1 halaman 3
3. Al Qasimy juz 1 halaman 7
4. Fajrul Islam juz 1 halaman 199
5. Zhurul Islam juz 2 halaman 40-43 dan juz 3 halaman 3725
Maka beliau menarik kesimpulan dengan merumuskan bahwa sumber
sumber tafsir secara umum itu ada tujuh, yaitu:
Pertama, Tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, karena ayat-ayatnya
saling menafsirkan dan jelas menjelaskan antara satu dengan yang lain.
22 Amursid, M. dan Amaruddin Asra. “Studi Tafsir Qur`an Karim Karya Mahmud
Yunus.” Jurnal Syahadah. Vol. 3, No. 2, Oktober 2015, h. 10. 23 Penafsiran yang menggunakan ijtihad yaitu berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang
benar dan kaidah-kaidah yang benar dan berlaku yang wajib dimiliki siap saja yang mau terjun
langsung , kake dalam dunia penafsiran al-Qur‟anr. Dan penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil
pemikiran seorang mufassir. 24 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Penerbit Mazhab Ciputat, Cet. Ke-2,
2013, h. 77. 25 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. VI.
47
Kedua, Tafsir dengan hadist yang shahih, seperti hadis Bukahri dan
Muslim. Sekali-kali tidak boleh dengan hadist yang dha‟if terlebih hadis
maudhu‟.
Ketiga, Tafsir dengan perkataan sahabat, tapi khusus yang berkaitan
dengan keterangan sebab-sebab turunnya ayat, bukan menurut pendapat dan
pikirannya.
Keempat, Tafsir dengan perkataan tabi‟in, bila mereka berijma‟
terhadap suatu tafsiran. Hal ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa
ijma‟ adalah hujjah.
Kelima, Tafsir dengan kaidah bahasa arab bagi Ahli Ilmu Lughah.
Keenam, Tafsir dengan ijtihad bagi Mujtahid.
Ketujuh, Tafsir dengan tafsir aqli bagi Mu‟tazilah. Selain dari pada itu
ada lagi tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir Sufi bagi ahli Tasawuf.
Sedangkan dalam karyanya Tafsir Qur‟an Karim ini Mahmud Yunus
juga merujuk pada sumber-sumber pokok seperti: al-Qur‟an, hadis nabi dan
perkataan sahabat.26
Selain itu beliau juga menjadikan beberapa pendapat
ulama lain sebagai sumber penafsirannya, seperti: Syaikh Muhammad
Abduh, Syaikh Muhammad Rasyd Ridha, Syaikh Muhmmad Syaltut,
pendapat dalam kitab Tafsir Jalalain. Selain itu, Mahmud Yunus juga
merujuk pada pendapat-pendapat para imam madzhab dalam menjelaskan
ayat-ayat yang berkenaan dengan pembahasan fiqh. Sedangkan dalam hal
yang bersifat kekinian, seperti ilmu pengetahuan modern (sains), Ia merujuk
pada pendapat ilmuan dan hasil penemuan yang berkembang pada waktu
itu.
Penilaian terhadap Tafsir Qur‟an Karim banyak ulama Indonesia yang
mengatakan bahwa kitab karya Mahmud Yunus ini sebagai pencetus Tafsir
di Indonesia yang berbahasa Indonesia.
F. Sistematika Penafsiran
Dalam upaya penerbitan karya tafsir ini, Mahmud Yunus mengakui
bahwa dirinya selalu aktif selama lebih dari dua pertiga masa hidupnya, dari
26 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. VI.
48
usia 20 tahun hingga meninggal di usia ke-73. Ia mengatakan bahwa dirinya
telah mengabdikan hidupnya bagi penyempurnaan bentuk terjemahan dan
tafsir dalam kitab ini agar sejalan dengan perkembangan bahasa Indonesia.
Secara teknis, Mahmud Yunus membagi halaman tafsirnya menjadi
dua bagian. Ia menempatkan teks ayat-ayat al-Qur‟ān dalam tulisan huruf
Arab di sisi kanan, dan menempatkan terjemahnya di sisi kiri dengan huruf
Latin. Pada kasus tertentu, ia menyertakan tafsir, atau penjelasan tambahan
bagi ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih mendetil di bagian bawah
teks menyerupai bagian catatan kaki, yang porsinya tidak melebihi dari
setengah halaman saja. Penyajian tafsir ini diawali dengan pendahuluan
dari muallif. Jika membuka kitab ini lebih lanjut pembaca akan disuguhkan
penafsiran yang dimulai dengan menyebutkan nama surat, penerjemahan
terhadap semua ayat, penyajian tafsir di bagian bawah teks dilakukan secara
singkat dengan uraian bersifat global saja.27
G. Karya-Karya
Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang
yang produktif. Aktifitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting
dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud Yunus
lebih banyak di kenal lewat karangan-karangan, karena buku-bukunya
tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia.
Buku-buku Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat
kecerdasan. Karangan-karangannya bervariasi untuk anak-anak dan
masayarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literature
pada perguruan tinggi. Pada perjalanan hidupnya, ia telah mengahasilkan
buku-buku karangannya sebanyak 82 buku. Dari jumlah itu beliau
membahas berbagai bidang ilmu, yang sebagian lain bidang-bidang ilmu
agama Islam. Berikut ini buku-buku karya Mahmud Yunus:
- Tafsir Qur‟an Karim 30 Juz. Penafsiran Mahmud Yunus tentang tafsir
Qur‟an karim 30 juz. (Hidakarya Agung, Jakarta, cetakan ke LXXIII,
2004).
27 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-
Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,
h. 328.
49
- Metodik khusus pendidikan agama. Pembelajaran tentang metode khusus
dalam pendidikan agama. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1980).
- Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Intisari pendidikan Barat.
Tentang pendidikan di Negara-negara islam. (al-Hidayah, Jakarta, 1968)
- Kamus Arab Indonesia. Kamus Arab-Indonesia yang menjelaskan kosa
kata yang digunakan untuk keseharian dalam belajar bahasa arab terutama
dalam lingkungan pondok pesantren. (Yayasan penyelenggara pentafsir
al-Qur‟an, Jakarta, 1973)
- Marilah sembahyang I, II, III, IV. Tata cara solat untuk kehidupan
sehari-hari yang di jelaskan secara rinci untuk usia dini hingga dewasa.
(Hidakarya Agung, Jakarta, 1979)
- Haji ke Mekkah. Panduan untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah
(Hidakarya Agung, Jakarta, 1979)
- Hukum waris dalam Islam. Mengkaji hokum-hukum waris bagi setiap
keluarga. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1974)
- Hukum perkawinan dalam Islam. Perkawinan yang di bolehkan dan
dianjurkan dalam Islam. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1979)
- Tafsir ayat akhlak. Ayat-ayat dalam berakhlak untuk kehidupan sehari-
hari. (Hidakarya Agung Jakarta, 1975)
- Juz „amma dan terjemahannya. Pelajaran tentang Juz „Amma untuk
dihafal dan dimengerti terjemahannya. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1978)
- Beberapa kisah Nabi dan khalifahnya. Kisah-kisah para Nabi yang wajib
diketahui dan diteladani kebikannya. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1980)
- Do'a-do'a Rasulullah. Doa-doa rasulullah dalam kehidupan. (Hidakarya
Agung Jakarta, 1979)
Dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkannya telah
menunjukan bahwa Mahmud Yunus adalah seorang cendekiawan yang
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas terhadap Islam. Maka wajar
saja jika pemikiran dan ide-idenya menembus ruang dan waktu.28
28 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Lemlit Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 59.
50
BAB IV
CORAK PEMIKIRAN KALAM DALAM TAFSIR MAHMUD YUNUS
A. Penafsiran Mahmud Yunus Tentang Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah menurut Mahmud Yunus termaksud pada apa yang
disebut sebagai keimanan kepada yang ghaib. Ghaib ialah sesuatu yang
tidak dapat ditangkap dengan salah satu panca indera. Mahmud Yunus
memberi contoh seperti, percaya bahwa diatas kekuasaan manusia ada yang
Maha Kuasa, yaitu Allah swt. Orang-orang yang beragama memang percaya
kepada yang gaib itu. Tetapi orang-orang yang tiada beragama tiada
percaya. Melainkan kepada apa-apa yang dapat disaksikan dengan
pancaindera atau dengan perkakas ilmu alam atau kimia.
Mahmud Yunus menambahkan bahwa pada abad ke XX ini sudah
banyak profesor-profesor di Eropa dan Amerika yang telah percaya kepada
yang ghaib, yaitu tatkala mereka menyelidiki „ilmu spiritualisme dan „ilmu
hypotisme (Mesmerisme). Dengan percobaan mereka telah banyak orang-
orang terpelajar di Eropa yang percaya akan adanya roh manusia, sebagai
pokok bagi mereka untuk percaya kepada Allah, Malaikat, dan sebagainya.1
Iman saja tidak cukup untuk umat islam khususnya dan umumnya
pada penganut agama lain, karena semua agama mempunyai keimanan
masing-masing. Keimanan dalam islam harus dibarengi dengan ketaqwaan,
karena taqwa dan iman tidak bisa dipisahkan. Orang yang bertaqwa itu
adalah orang yang menang dan sukses dari dunia sampai ke akhirat dalam
menjalankan perintah Allah swt, serta tiada dimurkai tiada pula sesat.
Orang-orang yang beriman akan mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah
swt. Serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat yaitu dengan menurut
petunjuk Allah swt.
Mahmud Yunus mnjelaskan dalam tafsirnya tentang taqwa. Taqwa
menurut bahasa ialah memeliharakan sesuatu dari yang membahayakan.
Taqwa menurut istilah ialah memeliharakan diri dari dosa atau mengikut
segala suruhan dan meninggalkan segala larangan. Orang-orang yang taqwa
yaitu:
1 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 3.
51
1. Orang-orang yang percaya kepada sesuatu yang ghaib.
2. Orang-orang yang mendirikan sembahyang artinya mengerjakan
sembahyang dengan jasmani dan hati yang khusuk. Adapun orang
yang sembahyang dengan jasmani saja sedang hatinya tidak
menghadap kepada Allah, maka orang itu tiada dinamai mendirikan
sembahyang.
3. Orang yang membayarkan sebagian hartanya untuk penolong fakir
miskin (zakat).
4. Mereka yang percaya kepada al-Qur‟an dan kitab-kitab yang
diturunkan kepada Nabi-nabi terdahulu.
5. Mereka percaya dan yakin akan hari kemudian.2
Menurut pandangan Mahmud Yunus sifat-sifat orang yang bertaqwa
ialah ia suka membelanjakan hartanya untuk fakir miskin dan kemaslahatan
umum, seperti menidikan masjid, rumah anak yatim, sekolah dan ia
berderma bukan diwaktu lapang saja tapi dikala sempit juga. Ia bisa bisa
menahan amarahnya kepada sesame manusia serta memaafkan
kesalahannya. Jika ia berbuat kejahatan, ia lekas mengingat Allah serta
meminta ampun.
Mahmud Yunus juga menjelaskan tentang orang-orang yang tidak taat
kepada Allah yaitu: orang-orang kafir, orang-orang munafik dan orang-
orang musyrik. Kafir berlawan dari taqwa. Orang kafir yaitu ingkar. Mereka
ini tiada menerima kebenaran, karena hati, pendengaran dan pemandangan
mereka telah tertutup. Oleh sebab itu mereka tidak memperhatikan isi alam
yang luas ini untuk mengetahui bahwa diatas segala kekuatan alam ini ada
yang Maha Kuasa yaitu Allah yang menjadikannya. Mereka itulah orang-
orang yang dimurkai Allah.
Mahmud Yunus menjelaskan pula tentang orang-orang munafik.
Orang-oramh munafik ialah orang yang pada lahirnya beriman kepada
Allah dan hari kemudian, tetapi sebenarnya mereka masih tetap dalam
kekafiran. Mereka ini hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman.
Kalau mereka diberi nasihat dan peringatan mereka tiada mau menerimanya.
2 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 3.
52
Orang-orang yang munafik itu dalam keraguan. Sebenarnya mereka itu
mendengar petunjuk al-Qur‟an sebagai suluh yang menerangi hatinya. Tapi
karena mereka dipengaruhi oleh kebiasaan mereka, maka petunjuk itu
tiadalh diturutnya. Seolah-olah mereka waktu ada dalam cahaya petunjuk al-
Qur‟an itu mereka kembali kedalam gelapan gulita. Mereka enggan
mendengar petunjuk al-Qur‟an sehingga mereka menutup telinga dengan
anak jari mereka sendiri supaya jangan kedengaran. Seolah-olah mereka
sama dengan orang-orang menutup telinganya dengan anak jarinya waktu
hari hujan lebat yang disertai oleh petir dan kilat. Mereka itulah orang-orang
yang sesat.3
Beliau juga memaprkan tentang orang musyrik. Orang musyrik ialah
orang yang mempersekutukan Allah dengan berhala dan sebagainya.
Berhala itu mereka jadikan sekutu Allah. Umumnya penduduk tanah arab
waktu turun al-Qur‟an orang-orang musyrik. Jadi mereka bukan Yahudi
bukan pula Nasrani.4 Mereka itu berdusta terhadap Allah, karena mereka
mempersekutukan Allah itu karena kehendak mereka sendiri, bukan
kehendak Allah.
Mahmud Yunus sangat mengaitkan sekali antara iman dan taqwa
sehingga beliau menuliskan didalam penafsirannya. Sesungguhnya jika
penduduk negeri itu beriman dan taqwa (meninggalkan yang haram) niscaya
Allah akan menumpahkan kepadanya hujan rahmat dari langit dan
melimpahkan berkat dari bumi yakni akan kayalah penduduk negeri itu serta
negeri menjadi aman. Dan akan mendapat balsan didunia dan diakhirat lebih
baik dan sempurna. Dan mereka masuk surga karena amalan dan usahanya
bukan semata-mata dengan iman saja.5 Dan Allah hanya menerima do‟a
orang-orang yang beriman serta beramal salih, artinya mengikut
perintahNya dan sunnah yang telah diaturNya. Jadi orang-orang yang hanya
3 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 5. 4Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 20. 5 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 383.
53
beriman saja tetapi tidak mau beramal maka memang do‟anya tidak akan
dikabulkan Allah.6
Dari awal surat penerjemahan tafsir Qur‟an Karim, Mahmud Yunus
menafsirkan tentang Allah swt. Allah itu Maha Esa ialah tiada Tuhan yang
disembah melainkan Dia. Ia hidup bukan mati, ia berdiri dengan sendirinya.
Memelihara semesta alam. Ia tidak mengantuk dan tidak pula tidur. Bagi-
Nya apa-apa yang dilangit dan apa-apa yang dibumi. Tak seorang pun juga
dapat memeberi syafa‟at, melainkan dengan izin-Nya. Ia mengetahui apa-
apa yang dihadapan (sebelum) mereka dan apa-apa yang dibelakang
(kemudian) mereka. Ia Maha Tinggi dan Maha Besar.7
Allah itu Esa, buktinya yaitu:
1. Tentang kejadian langit dan bumi. Jika kita perhatikan perjalanan
bumi mengedari matahari, bulan mengedari bumi dan bintang-bintang
beredar, semua berjalan dengan teratur, seperti kereta api yang
berjalan diatas relnya menurut akal yang waras tak dapat tak mestilah
ada yang mengaturnya da nada yang mengadakannya. Jika terlalai
yang memelihara itu satu menitpun, niscaya perjalanannya menjadi
gagal atau rusak. Sebenarnya disana ada kekuatan tarik-menarik tetapi
kekuatan itu Allah juga yang mengadakannya.
2. Berbeda malam dan siang kadang-kadang malam lebih panjang dari
siang kadang-kadang kebalikannya. Keadaan ini terang benar di
negeri-negeri yang letaknya jauh dari katulistiwa.
3. Kapal yang berlayar di lautan dengan tiada terbenam kedalam
dasarnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam „ilmu alam.
4. Air hujan yang turun dari awan, sedang asalnya dari air lautan yang
menjadi uap oleh karena panas matahari.
5. Angin yang bertiup seperti angina utara selatan.
6 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 717. 7 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 57.
54
6. Awan yang berjalan kencang dan banyak yang lainnya, semua itu
berjalan dengan aturan yang sempurna sebagai bukti atas adanya
Allah yang Mahaesa lagi Mahakuasa.8
7. Keadaan manusia itu ada dua macam, yaitu laki-laki dan perempuan
yang berkasih-kasihan antara keduanya. Maka dari tanah manakah
kejadian laki-laki dan dari bumi apakah kejadian perempuan? Sungguh
yang demekian itu amat ajaib sekali, bahkan itulah bukti atas adanyya
Allah yang Mahakuasa.
8. Bermacam-macam bahasa manusia dan berlain-lain warna kulitnya dan
bentuk mukanya, bahkan bentuk telinganya saja tidak ada yang serupa
natara tiap manusia.
9. Tidur malam hari yang tidak ingat sesuatu apa-apa, seolah-olah ia
berpindah dari alam dunia kea lam yang lain, dan ia telah bangun
kemudian berusaha mencari karunia Allah (rezekiNya).
10. Melihat cahaya kilat yang cemerlang dengan hati ketakutan, kalau-kalau
disambarnya dan mempunyai harapan supaya air hujan turun dengan
segera dan menghidupkan bumi yang telah kering.9
Pandangan Mahmud Yunus tentang apa-apa pekerjaan baik yang akan
kita kerjakan hendaklah dengan nama Allah, artinya karena Allah dan dan
mengharapka keridhaanNya. Yaitu dengan menyebut Bismillah. Semua
nikmat yang kita terima dan apapun yang indah diantara isi alam yang luas
ini, hendaklah kita puji Allah, karena pokok dan asalnya ialah dari pada
Allah. Allah itu Maha Pengasih dan penyayang lebih kepada kita, karena
Dia yang menganugerahkan fikiran yang luas dan anggota yang cukup.
Tetapi sekalipun begitu Dia berkuasa pada hari kemudian untuk menyiksa
orang-orang yang tiada menurut perintahNya. Karena Allaah telah banyak
memberi kita macam-macam nikmat, maka wajiblah kita menyembahNya.
Dan tiada yang disembah selain dari padaNya. Wajiblah kita meminta
8 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 33. 9 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 596.
55
tolong kepada Allah untuk menyampaikan cita-cita kita dan mensukseskan
amalan perbuatan kita, karena Dia yang berkuasa.10
B. Penafsiran Iman kepada Malaikat
Menurut Mahmud Yunus malaikat juga termaksud makhluk ghaib.
Malaikat juga makhluk yang taat dan patuh menurut perintah Allah. Mereka
disuruh Allah tunduk kepada Adam, lalu mereka tunduk. Beriman kepada
malaikat-malaikat yaitu mengi‟tikadkan (mempercayai) bahwa Allah
menjadikan satu alam rohani, namanya malaikat. Mereka itu mengikut apa-
apa perintah Allah. Diantaranya bernama Jibril, Mika‟il dan „Izrail.11
Mahmud Yunus menambahkan bahwa malaikat itu suci tidak
memiliki hawa nafsu dan selalu bertasbih memuji dan tunduk terhadap
Allah swt. Para malaikat ditugaskan oleh Allah untuk menjaga dan
mengawasi tiap-tiap orang. Malaikat-malaikat itu menuliskan semua
perbuatan manusia, baik atau buruk sehingga ia tidak dapat mengingkari
amal perbuatannya. Dan begitu juga Allah mengirim malaikat maut untuk
mengambil roh (jiwa) manusia. Bukan roh mukmin diserahkan kepada
malaikat rahmat dan roh kafir kepada malaikat azab. Kemudian malaikat-
malaikat membawa roh itu ketempat yang ditentukan Allah.12
Didalam penafsiran Mahmud Yunus. Beliau menarangkan tentang
kejadian bahwasannya Nabi Muhammad saw menerima wahyu dari Allah
melalui perantara malaikat Jibril. Nabi Muhammad saw itu sebenarnya
melihat malaikat jibril yang menyampaikan wahyu kepadanya. Pada satu
kali dilihatnya pada sisi Sidratul Muntaha, yaitu tempat kesudahan
pengetahuan nabi, sehingga yang diatas itu tidak diketahuinya lagi.
Pemandangan Nabi itu sebenarnya betul, bukan salah. Adapun al-lata, al-
„uzza dan manata itu ialah nama berhala yang disembah oleh orang-orang
kafir Makkah.13
10 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 1. 11Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. IV. 12 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 185. 13 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 782.
56
Malaikat itu terbuat dari cahaya dan tunduk serta diberikan tugas
masing-masing dari Allah untuk mengawasi umat manusia. Setiap malaikat
mempunyai berbagai macam tugas dari Allah swt. ada malaikat yang
bertugas menjaga pintu surga, malaikata yang bertugas menjaga pintu
neraka, malaiktan yang bertugas mencabut nyawa, malaikat yang bertugas
meniup sangkakala dan tugas-tugas lainnya. Salah satu tugas malaikat ialah
menulis buku amalan perbuatan baik manusia maupun perbuatan buruk
manusia yang terdapat dalam surat al-infithar ayat 10-12. Kita wajib percaya
bahwa semua perbuatan kita terjaga baik (kekal bekasnya) dan sedikit pun
tidak ada yang lenyap atau hilang. Dan nanti dikamp ung akhirat akan
dibalas Allah dengan balasan seadil-adilnya.
C. Iman Kepada Rasul Dan Kitab-Kitab Yang Diturunkan Kepada Mereka
Penjelasan Mahmud Yunus tentang iman kepada rasul-rasul itu adalah
percaya bahwa Allah mengutus beberapa rasul (pesuruh) kepada manusia,
guna memberi khabar suka dengan surga dan khabar takdir dengan neraka.
Rasul-rasul itu banyak sekali diantaranya: Adam, Nuh, Ibrahim, Ya‟qub,
Yusuf, Daud, Sulaiman, Harun, Musa, Isa dan Muhammad SAW.
Beliau juga memaparkan tentang siapa itu para rasul. Rasul-rasul
dahulu kala itu manusia dan laki-laki juga. Mereka bertubuh kasar dan
beranggota, makan dan minum seperti manusia biasa. Hanya mereka
menerima wahyu dari pada Allah, untuk petunjuk dan pengajaran bagi umat
manusia.14
Dalam al-Qur‟an Allah menerangkan tentang 14 para Nabi yang
terdiri dari 3 golongan:
1. Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa dan harun. Mereka itu
dikaruniai Allah kerajaan pemerintahan dan kekuasaan, disamping
pangkat menjadi dan rasul.
2. Zakaria, Yahya, „Isa dan ilyas. Mereka ini sangat zuhud dan benci
terhadap kesenagan dunia, mereka diberi sifat orang-orang salih.
14 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 466.
57
3. „Isma‟il, Ilyasa‟, Yunus dan Luth, mereka diistimewakan dari
orang-orang dalam alam pada masanya itu.15
Kisah Nuh a.s. dan Hud a.s. serta kisah-kisah Nabi yang lain, adalah
kisah yang sebenarnya kejadian bukan kisah khayalan. Dalam al-Qur‟an
diterangkan pokok-pokoknya saja untuk jadi pengajaran dan ibrah pada
kaum yang kemudian. Nabi Muhammad tidak pandai membacakitab itu
hanya anasbi mendapat kisah itu dari wahyu dari pada Allah. Wahyu itu
semua benar dan wajib dipercayai. Pokok-pokok kisah itu dapat diterima
oleh ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), bahkan ahli sejarah pun
menerimanya. Disinilah letaknya kebesaran al-Qur‟an. Yang tidak diterima
ahli sejarah ialah kisah tambahan yang ditambahkan oleh ahli kisah atau
hadis-haids yang dhaif atau Tafsir yang berasal dari Yahudi/Nasrani, seperti
ka‟bul-Ahbar dan Munabbah. Tafsir-tafsir itulah yang tidak diterima oleh
orang-orang terpelajar masa sekarang. Tetapi kisah yang diterangkan al-
Qur‟an dapat diterima sama sekali. Oleh sebab itu Mahmud Yunus
mengusulkan dalam Muktamar Majma‟ al-Buhusul Islamiyah Cairo, supaya
dibersihkan tafsir al-Qur‟an dari tafsir yang berasal dari Yahudi/Nasrani.
Muhammad „Abduh menyatakan bahwa ayat-ayat Qur‟an itu dari
awalnya sampai tamat sebagai yang termaktub sekarang ini, tidak ada yang
mansukh (dirubah atau ditukar hukumnya). Firman Allah swt dalam surat
Yunus ayat 64 yaitu:
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam
kehidupan di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat janji-janji
Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”16
15Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 190. 16 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 300.
58
Salah satu kisah Nabi yang diceritakan dalam al-Qur‟an yaitu Nabi
Luth a.s. yang diutus bersama umatnya dinegeri sedum (dekat dengan laut
mati yang dinamakan juga dengan laut Luth). Lalu katanya kepada
kaumnya: “Mengapakah kamu mengerjakan pekerjaan yang sangat keji,
yang belum pernah dikerjakan oleh orang-orang terdahulu dari padamu?
Kamu cinta ingin syahwat kepada laki-laki bukan perempuan, sungguh
kamu melampaui batas. Maka taka da jawaban dari kaumnya, selain dari
katanya: “Usirlah Luth itu serta orang-orang yang beriman kepadanya dari
negeri kamu, karena mereka orang-orang suci”. Kemudian Allah
menyelamatkan Luth dan ahli rumahnya yang beriman kepadanya kecuali
isterinya yang tidak beriman, maka ia masuk golongan orang-orang binasa.
Allah menurunkan atas mereka itu hujan batu yang menimpa kepala mereka,
sehingga mati mereka semuanya. Demikiannya siksa diatas mereka dunia
dan akhirat dimasukan kedalam neraka.17
Moh. Anwar Syarifuddin & Jauhar azizy, menyatakan bagaimana
tafsiran kemukjizatan al-Qur‟an secara ilmiah ditampilkan dalam sebuah
ulasan yang lugas dan juga rasional. Mahmud Yunus menafsirkan keajaiban
fenomena tidur panjang Nabi Azīr versi, lain menyebutnya Uzayr dapat
dilihat dalam Tafsīr Ṭabarī, sementara al-Qur‟an tidak menyebutkan
namanya, dan nama-nama itu hanya ada dalam informasi tafsir yang
disebutkan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, yang termasuk dalam
kategori Isrā‟īliyāt yang tidak bisa dibenarkan atau didustakan begitu
saja.sebagai sebuah fenomena yang sama sekali tidak mustahil. Ia
menjelaskan, “Keadaan mati seratus tahun lamanya adalah perkara luar
biasa yang jarang terjadi, tetapi tidak juga mustahil.” Hal yang seperti itu
terjadi juga baru-baru ini, seperti diceritakan dalam majalah al-Muktaṭaf
(sebuah surat kabar ilmu pengetahuan Barat yang terbit di Mesir.)18
17 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 857. 18 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-
Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,
h. 336.
59
Diterangkan bahwa pengarangnya sendiri melihat orang yang tidur
selama sebulan lamanya, bahkan ada pula yang dibacanya, orang yang lama
tidurnya empat setengah bulan. Oleh sebab itu, tentu saja Allah berkuasa
menidurkan Nabi Azīr selama seratus tahun lamanya.19
Kisah Maryam dan Zakaria itu ialah berita ghaib, yaitu suatu kejadian
dahulu kala sedang Nabi Muhammad dan kaumnya tiada pernah melihatnya.
Begitu juga Nabi Muhammad tiada pernah mempelajarinya pada guru atau
membacanya dalam buku-buku, seperti dalam Taurat atau Injil karena
memang dia seorang ummi, tiada pandai tulis baca. Oleh sebab itu Nabi
Muhammad mengetahui berita itu dengan perantaraan wahyu yang dibawa
oleh roh suci (jibril). Kejadian-kejadian itu memang telah lewat berates-
ratus tahun lamanya (tiada dihadapan Nabi Muhammad). Sekalipun begitu
ia dapat mengetahuinya dengan perantaraan wahyu. Ini adalah satu bukti
bahwa Qur‟an itu bukanlah karangan Nabi Muhammad saw.
Nabi Muhammad berbudi pekerti yang halus berhati lunak lembut dan
penyayang kepada umatnya. Oleh sebab itu berduyun-duyun manusia masuk
agama islam yang dibawanya.20
Beliau bukan hanya membacakan atau
mengajarkan al-Qur‟an dan hikmah kepada umatnya, melainkan juga
mendidik mereka supaya berakhlak mulia dan membersihkan mereka dari
akhlak yang tidak baik.
Kalau kami turunkan al-Qur‟an keatas gunung, niscaya engkau lihat
gunung itu, tunduk dan pecah karena takut kepada Allah. Ini adalah
sebagian perumpamaan untuk melukiskan bagaimana kebesaran petunjuk al-
Qur‟an, supaya manusia insaf akan kebesarannya. Sebab itu patutlah
mereka tunduk dan berhati takut mendengar petunjuk Qur‟an itu.
Mahmud Yunus juga menafsirkan tentang rezeki setiap manusia di
muka bumi ini, baik hewan ataupun manusia rezekinya atas Allah.
Hendaklah keluar rumah pagi hari untuk mencari rezeki sehingga ia
kembali petang hari dengan membawa keperluan hidupnya. Begitupn hewan
19 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-
Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,
h. 336. 20 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 94.
60
seperti burung ia pergi mencari makan dipagi hari bukan hanya diam
disarang saja. Disini teranglah bahwa bekerja dan berusahalah bukan
memangku tangan dan duduk-duduk saja dirumah. Kejadian ini pasti yang
sedang kita alami sekarang. Semua itu ada dalam kitab suci yang terang.21
Mahmud Yunus juga menambahkan bukti bahwa Allah
menyampaikan wahyu (al-Qur‟an) lewat perantara malaikat jibril dalam
surat al-Qiyamah ayat 16-19. Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk
mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan Malaikat Jibril terlebih dahulu
baru setealh malaikat jibril selesai, engkau membacanya dan menghafalnya,
sehingga tetap dalam hatinya. Beginilah aturan belajar para guru, harus
didengar pelajaran itu baik-baik baru diikuti dan dihafal.22
Dalam tafsir Qur‟an Karim beliau sering menjelaskan tentang
kepercayaan yang baik dan benar, pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
kepercayaan. Kepercayaan dan i‟tiqad tidak cukup dengan semata-mata
dugaan dan sangkaan saja. Melainkan harus dengan penuh keyakinan dan
kepercayaan dalam hati, tidak boleh syak, ragu-ragu dan bimbang. Begitulah
keimanan kita kepada Allah, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, haruslah
dengan yakin seyakin-yakinnya, sebagai firman Allah dan kepada akhirat
mereka itu yakin.23
D. Iman Kepada Hari Akhir
Menurut Mahmud Yunus beriman kepada hari yang kemudian yaitu
mengi‟tikadkan bahwa Allah bakal membangkitkan (menghidupkan) segala
manusia, sesudah mati (hari kiamat). Kemudian dibalas tiap-tiap orang
menurut amalnya masing-masing. Baik dibalas dengan baik, jahat dibalas
dengan jahat. Orang-orang mukmin masuk ke dalam surga kesenangan dan
orang-orang kafir masuk kedalam neraka kesengsaraan.24
21Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 309. 22 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 870. 23 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet. LXXIII, h. 784. 24Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. IV.
61
Mahmud Yunus berpendapat dalam surat al-Hajj ayat 1-7 tentang
adanya hari kiamat dan tanda-tanda hari kiamat tersebut. Hai sekalian
manusia, takutlah akan siksa Allah! Sesungguhnya gempa bumi pada hari
kiamat adalah sangat ngeri sekali. Pada hari itu lupa ibu yang menyusukan
anaknya, perempuan hamil menggugurkan anak dalam kandungannya.
Ketika itu engkau melihat manusia dalam mabuk minuman keras padahal
karena siksa Allah yang Maha hebat. Hai sekalian jika kamu masih
meragukan hari kiamat, maka kamu cukup insafi bagaimana asal kejadian
kamu niscaya akan hilang keraguan kamu. Kamu lihat bumi ini kurus kering
dan tumbuh-tumbuhan telah kering dan mati, kemudian Allah menurunkan
air hujan, lalu tumbuh-tumbuhan hidup dan tumbuh kembali, sehingga
menghijau dimuka bumi ini. Sesudah mati tadi. Semuanya itu menjadi bukti
bahwa Allah Kuasa menghidupkan orang yang mati sebagaimana
menghidupkan tumbuh-tumbuhan yang telah mati.25
Beliau juga menambahkan bahwasannya nanti kiamat itu sangat
dahsyat. Pada hari kiamat ditiuplah terompet lalu terkejutlah orang-orang
yang diatas langit dan dimuka bumi kecuali orang-orang yang salih-salih.
Menurut perkataan setengah ulama terompet itu ditiupnya 2 kali oleh
malaikat. Pertama, menyatakan telah tiba hari kiamat, lalu matilah segala
makhluk semuanya sehingga tiada lagi yang hidup selain Allah. Kedua,
dititupnya untuk menghidupkan dan membangkitkan semua manusia dari
kuburnya masing-masing dan hidup yang kedua kali di alam akhirat.
Disanalah Allah menghukum manusia dengan hukuman yang adil dalam
surat al-Zalzalah juz 30 dijelaskan.26
Mahmud Yunus menambahkan tentang penjelasan hari akhir bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hidup didunia ialah
untuk jalan kepada keselamatan diakhirat yang kekal dan abadi selama-
lamanya, sebab mereka tahu bahwa seberapa lama hidup didunia ini kalau
diperbandingkan dengan hidup pada hari yang kemudian adalah sesaat saja.
25 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 482. 26Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 556.
62
Intinya orang-orang yang beriman itu berusaha dan bekerja seperti orang
kafir juga, Cuma perbedaannya tentang maksud dan tujuan. Maksud orang-
orang kafir semata-mata kesenanngan didunia saja, tetapi maksud orang-
orang yang beriman untuk kesenangan didunia dan diakhirat.27
Beliau juga menjelaskan bahwa orang-orang mukmin harus tetap
insyaf dan kembali ke jalan Allah ketika melakukan perbuatan dosa. Orang-
orang mukmin yang berbuat dosa wajib insaf karena Allah mengadakan
mata-mata yang selalu melihatnya dan mengintipnya kemana ia
pergimeskipun ketempat yang tersembunyi dimalam yang gelap serta sunyi.
Mata, telinga dan kulit anggota tubuh mereka menjadi saksi atas apa yang
telah mereka kerjakan didunia. Janganlah dari kamu berbuat dosa meskipun
seorang diri ditempat yang tersembunyi karena Allah tetap melihat kamu.28
Beda halnya dengan orang-orang kafir, menurut Mahmud Yunus
mereka tiada dapat pahala dari Allah karena ia tidak percaya akan adanya
kampung akhirat. Sebab itu amalan baik mereka menjadi sia-sia diakhirat,
meskipun didunia mereka mendapat ganjaran yang baik. Berlain halnya
dengan orang-orang mukmin, mereka mendapat ganjaran dunia dan
akhirat.29
Orang-orang yang berdusta pula akan mendapatkan api neraka
yang bernyala-nyala dan sangat panas. Katkanlah: mana yang lebih baik,
neraka itu atau surge yang abadi yang disediakan untuk orang-orang yang
takut kepada Allah? “tentu surge yang lebib baik yang disediakan untuk
balasan (pahala) bagi orang-orang yang beriman dan bermal salih. Demikian
itu janji Allah yang sebenar-benarnyAa dan Allah tiada memungkiri
janjiNya.30
Mahmud Yunus menambahkan penjelasan tentang Allah telah
melukiskan bagaimana siksaan neraka dan nikmat surga. Makan dalam
neraka ialah kayu zaqum, kayu yang sangat pahit. Orang-orang berdosa itu
27Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 311. 28 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 706. 29 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 362. 30 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 526.
63
ditarik dan dihela ketengah-tengah neraka kemudian ditumpahkan air yang
sangat panas keatas kepalanya untuk menambah siksaannya. Seraya
dikatakan kepadanya: rasailah siksaan ini, yang kamu ragu-ragui tentang
kebenaran masa dulu. Adapun orang-orang taqwa mendapat derajat tinggi di
surga yang mempunyai kebun dan mata air. Mereka memakai kain sutera
yang tipis dan yang tebal duduk diatas kursi keemasan berhadap-hadapan.
Mereka mempunyai bidadari yang cantik serta mendapat bermacam-macam
buah.31
Janganlah kita terpedaya oleh kehidupan didunia ini, melainkan
hendaklah berlomba-lomba memperbuat kebaikan supaya dapat ampunan
dari Tuhan dan masuk surga yang sangat luas dengan kehidupan yang abadi.
E. Iman Kepada Taqdir
Dalam pembahasan taqdir, kita sering mendengar istilah qadha dan
qadar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama
jika disebutkan salah satunya. Taqdir merupakan bentuk kata kerja dari
qadha dan qadar yang berkaitan dengan hukum sebab akibat. Menurut
Mahmud Yunus taqdir adalah ketentuan Allah pada tiap-tiap hari dalam
urusan, yakni menjadikan, mematikan, menghidupkan, memusnakan,
memajukan dan lain sebagainya. Semuanya dijadikan Allah menurut
hikmah dan keadilan.32
Mahmud Yunus juga menambahkan mengenai ketentuan-ketentuan
mengenai taqdir yaitu, kepunyaan Allah ialah kerajaan langit dan bumi. Ia
tiada beranak dan tiada pula bersekutu dalam kerajaanNya. Ia menjadikan
tiap-tiap sesuatu lalu ditakdirkanNya dengan takdir tertentu. Sesungguhnya
Allah menjadikan alam ini dan mengatur segala sesuatu dengan ketentuan-
ketentuan yang tidak dapat diketahui orang sebelum terjadinya.
Contoh takdir dalam al-Qur‟an yang ada dalam kehidupan kita ini.
Dalam surat al-Ra‟d bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
jika mereka sendiri tidak mengubah nasib suatu kaum, jika mereka sendiri
31 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h.736. 32 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 794.
64
tidak mengubah budi pekertinya. Umpamanya kaum yang suka berpecah-
belah dan bermusuh-musuhan sesamanya, tak dapat tidak mestilah kaum itu
mundur dalam segala-galanya, baik dalam pergaulan, ekonomi atau
pemerintahannya. Hal keadaanya itu tidak akan dirubah Allah, jika mereka
sendiri tidak merubah budi pekertinya lebih dahulu. Seorang pemalas
umpanya adalah nasibnya menjadi miskin dan kehidupan dalam kesusahan.
Nasibnya itu tidak akan dirubah Allah, jika ia sendiri tidak membuang sifat
pemalas itu lebih dahulu. Sebab itu janganlah meminta kepada Allah:
Kayakanlah saya! Sedang ia tidak suka berusaha karena langit itu tidak
menghujankan emas dan perak.33
Menurut Mahmud Yunus, Firman Allah ta‟ala., tentang taqdir juga
ditafsirkan dalam surat al-Qamar ayat 49-50 yaitu sesungguhnya kami
menjadikan tiap-tiap sesuatu menurut kadar yang tertentu, kokoh, teratur
sesuai dengan hikmah yang terkandung didalamnya. Contoh anggota tubuh
saja sangat teratur. Kalau kita hendak makan sesuatu dilihat oleh mata
terlebih dahulu. Mengadakan padi dengan ditanam dulu benihnya.
Adakalnya Allah menjadikan dengan langsung seperti Mu‟jizat para Nabi-
Nabi.34
Dalam taqdir ada ajaran Qur‟an yang mewajibkan supaya manusia
berusaha sekeras-kerasnya untuk mencapai cita-citanya, baik untuk
keselamatan dunia maupun kebahagiaan akhirat. Sesekali tidak boleh
berpangku tangan karena berpegang kepada takdir yang tiada diketahui. Jika
mendapat nikmat maka bersyukurlah ucap “Alhamdulillah”. Jika terkena
musibah ucaplah “Inna lillahi wainna ilaihi raji‟un. Inilah takdir yang telah
dituliskan bagi saya. Dengan demikian tentramlah jiwanya. Keterangan ini
nyatalah bahwa orang yang meninggalkan usaha karena berpegang teguh
kepada takdir, tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an bahkan
menyalahinya.35
33 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 351. 34Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 791. 35 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 524.
65
Tidak usahlah kejahatan itu dikaitkan kepada Tuhan, melainkan
akuilah kesalahan sendiri dan taubatlah kepada Tuahnmu. Allah pengampun
dan Penyayang. Orang-orang kafir tidak percaya akan adanya takdir Allah,
mereka (orang kafir) bersumpah bahwa Allah tidak akan pernah
menghidupkan orang mati, melainkan sesudah mati, taka da siksa neraka
dan taka da nikmat surga. Firman Allah: “Ya, sebenarnya Allah akan
menghidupkan orang-orang yang mati itu”, serta dibalasi perbuatan masing-
masing, baik dibalas dengan baik, buruk dibalas dengan buruk. Jika Allah
menghendaki mengadakan sesuatu maka taka da seorang juapun yang dapat
menghalanginya, tak ubah seperti kata Allah kepada sesuatu itu: “Jadilah
engkau”, niscaya jadilah ia.36
F. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Mahmud Yunus
Al-Qur‟an adalah adalah Firman atau wahyu yang berasal dari Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat
jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia. al-Qur‟an
adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil
yang diturunkan melalui para rasul.
Istilah corak tafsir ialah secara umum adalah kekhususan suatu tafsir
yang merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam
menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur‟an. Akan tetapi,
pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak lantas menutup
kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut, hanya saja yang
menjadi acuan adalah corak dominan yang ada dalam tafsir tersebut, karena
kita tidak bisa memungkiri dalam satu tafsir memiliki beberapa
kecenderungan seperti pada tafsir-tafsir yang ada pada saat ini. Contoh
beberapa corak tafsir seperti: Corak al-„llmi,37
Corak al-Adabi al-Ijtima‟i,38
Corak al-Shufi,39
Corak al-Falāsafi,40
Corak al-Fiqhi,41
dan Corak kalam.42
36 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 385. 37 corak penafsiran al-Qur‟an dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat al-
Qur‟an yang ditafsirkan dengan corak ini terutama adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat yang
berkenaan dengan alam), dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, mufassir melengkapi dirinya
dengan teori-teori sains, karena tafsir ini dapat didefinisikan debagai ijtihad mufassir untuk
mengungkap hubungan ayat-ayat kawniyyah dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan
untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur‟an.
66
Ditinjau dari kecenderungan penafsirannya, bahwasannya Mahmud
Yunus dalam tafsirnya Qur‟an Karim cenderung kepada corak kalam yakni
salah satu corak penafsiran al-Qur‟an yang cenderung kepada yang
bersumber dari al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma‟ para ulama yang diambil
dari intisari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dalil ini merupakan dalil pokok yang
menjadi dasar dalam keetapan hukum islam dan aqidah.
Contoh penafsiraan Mahmud Yunus tentang corak kalam yaitu tentang
rukun iman. Dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 136 yang diterangkan
hanya 5 perkara rukun iman:
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada
38 Corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan ketelitian
ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan-tujuan
pokok diturunkannya al-Qur‟an, kemudian mengaplikasikannya dalam tatanan sosial, seperti
pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya yang sejalan dengan
perkembangan masyarakat. 39 Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazarī dan tafsir sufi ishārī. Tafsir Sufi Nazarī
adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan Tafsir Sufi
Ishārī adalah menafsirkan ayatayat al-Qur‟an tidak sama dengan makna lahir dari ayat-ayat
tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak pada para pelaku
ritual sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana yang
dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut. 40 corak tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima
pemikiran-pemikiran filsafat Yunani seperti Ibnu Sina dan al-Farabi maupun yang menolak
pemikiran filsafat itu. 41 sesuai dengan karakter fiqih yang di dalamya mengandung perbedaan pendapat, maka
tafsir fiqh pun di dalamnya memuat pendapat-pendapat ulama ahli fiqh yang berupaya
memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum
Islam. 42 corak tafsir yang membahas persoalan-persoalan tentang system keyakinan atau akidah
islam dengan maksud untuk mempertahankan akidah islam dari serangan sistem teologi diluar
islam yang menggunakan argumen rasional ataupun tradisional. Kerangka berfikir kalam itu dapat
dibedakan menjadi dua, rasional dan tradisional.
67
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Penjelasan Mahmud Yunus bahwa rukun yang kelima seperti yang
dicatat itu, tidak didapati tercatat di dalam surat an-Nisa: 136. Maka, lima
daripada enam rukun iman itu telah diajar oleh Allah. Dan, yang keenam,
yang terakhir, diajar oleh “hadis Nabi saw” Justru, rukun yang keenam,
Percaya kepada taqdir, adalah tambahan kepada ajaran Allah. Takdir adalah
(takdirullah) sesuatu yang ditentukan oleh Allah terlebih dahulu, penentuan
dari Allah. Dengan itu, percaya kepada takdir artinya percaya bahwa segala-
galanya sudah ditentukan oleh Allah terlebih dahulu. Dalam hadis „arba‟in
an-Nawawiyah karya Imam Nawawi rahimahumullah, malaikat jibril
mengajarkan kepada Nabi Muhammad tentang Islam, Iman dan Ihsan. Kali
ini yang dikaji adalah perihal rukun iman. Lanjutan hadis dari „Umar bin
Khatab ra: ثن أب عمر بن الطاب قو قال : حد نا لو يسألو ويصد فأخبن عن قال : صدقت ف عجب
43ه وشرهاإليان قال أن ت ؤمن بهلل ومالئكتو وكتبو ورسلو والي وم اآلخر وت ؤمن بلقدر خي
“Iman ialah percaya kepada Allah, rasul-rasulNya, kitab-kitab yang
diturunkanNya, malaikat-malaikatNya, hari akhir yang kemudian dan takdir.
Iman menurut Mahmud Yunus ialah percaya kepada Allah, percaya
kepada Malaikat, percaya kepada rasul-rasulNya, percaya kepada kitab-
kitab yang diturunkanNya, hari yang kemudian dan takdir.44
Iman itu
adanya didalam hati dan harus dibarengi dengan taqwa. Ketika kita beriman
berarti kita mempercayai adaNya Allah yang Esa. Allah menciptakan semua
yang ada di muka bumi ini.
Beriman termaksud pada apa yang disebut sebagai keimanan kepada
yang ghaib. Ghaib ialah sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan salah
satu panca indera. Mahmud Yunus memberi contoh seperti, percaya bahwa
43 Abu Husen Ibn al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Daar al-kutub
ilmiyyah-Beirut, h. 41. 44 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.
LXXIII, h. 27.
68
diatas kekuasaan manusia ada yang Maha Kuasa, yaitu Allah swt. Orang-
orang yang beragama memang percaya kepada yang gaib itu. Tetapi orang-
orang yang tiada beragama tiada percaya. Melainkan kepada apa-apa yang
dapat disaksikan dengan pancaindera atau dengan perkakas ilmu alam atau
kimia. Seseorang akan makin bertambah keimannya ketika mereka bertaqwa
yaitu dengan mendirikan sembahyang, membayar zakat, percaya kepada
kitab-kitab yang diturunkan nabi-nabi terdahulu. Dan percaya kepada kitab
suci yang masih ada dimuka bumi ini yaitu al-Qur‟an hendak kita akui
bahwa isi Qur‟an dari awal sampai keakhirnya, semuanya benar serta kita
percayai. Oleh sebab itu wajiblah orang islam mengi‟tiqadkan apa-apa yang
termaktub didalam al-Qur‟an semuanya. Orang yang beriman dan taqwa
itulah yang meang dan sukses di dunia dan akhirat.
Ayat al-Qur‟an bersifat Aqidah dan Ibadah yang harus diikuti secara
taufiqy harus ditafsirkan secara manqul. Sedangkan yang bersangkut paut
dengan peri kehidupan manusia, alam semesta dan tata kemasyarakatan harus
dikembangkan dengan Tafsir Modern. Hal ini didasarkan pada anggapan
bahwa al-Qur‟an sebagai wahyu dan akal kedua-duanya ciptaan Allah. Yang
tentunya harus bertemu pada satu titik. Kalau terjadi sebaliknya maka tentu
terjadi kerancuan yang timbulnya mungkin pada penafsiran ayatnya atau
pemikirannya. Maka pengembangan secara serentak dengan semboyan
meneruskan cara lama yang masih baik dan memilih pendapat baru yang
lebih baik dipandang selaras.45
Tafsir Mahmud Yunus ini menurut Moh. Anwar Syarifuddin & Jauhar
Azizy mempunyai dua keunggulan yaitu Mahmud Yunus sebagai pelopor
bagi pengenalan pola dan bentuk baru penulisan karya tafsir Indonesia
modern. Pertama, pemakaian huruf latin menggantikan pemakaian huruf arab
melayu yang umumnya digunakan pada tradisi penulisan karya-karya
terjemahan dan tafsir pada generasi sebelumnya. Kedua, keberadaan corak
penafsiran ilmiah yang mendapat perhatian khusus Mahmud Yunus dengan
upaya untuk menyajikan tabel ayat-ayat al-Qur‟an dan ragam disiplin ilmu
45 Abdur Rochim, Studi Perbandingan Antara Tafsir Tradisional Dan Modern,
(Yogyakarta: Perpustakaan digital, 2008), h. 125.
69
yang dikandungnya. Kedua faktor diatas lahir dari simulasi yang didapat
Mahmud Yunus dari gagasan-gagasan reformatif Muhammad „Abduh dan
murid-muridnya ketika studi di Mesir selam enam tahun.46
Jadi jelaslah dari
keterangan ini bahwa Mahmud Yunus bercorak kalam rasional lebih banyak
menggunakan akal pikiran beliau dalam menafsirkan ayat dan beliau juga
menggunakan sumber-sumber melalui dalil naqli sehingga beliau dapat
dikatan sebagai penganut paham Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.
46 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-
Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,
h. 342.
68
G. Pengelompokan Ayat-Ayat Kalam
No Tema Ayat Tafsir Qur’an Karim Karya Mahmud
Yunus
Keterangan ayat
1.
Iman
Kepada
Allah
SWT
Q.S. al-
Baqoroh: 3-4
(Yaitu) orang-orang yang beriman
(percaya) kepada yang ghaib,
mendirikan sembahyang dan
menafkahkan sebagian rezeki yang kami
berikan kepada mereka.
Dan orang-orang yang beriman kepada
(kitab) yang telah diturunkan kepada
engkau (Ya Muhammad) dan Kitab-
Kitab yang diturunkan sebelum engkau,
sedang mereka itu yakin akan adanya
(hari) kiamat.
Orang-orang yang percaya kepada sesuatu yang
ghaib (sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan
salah satu panca indera), seperti percaya, bahwa
diatas kekuasaan manusia ada yang Maha Kuasa,
yaitu Allah. Orang-orang yang beragama memang
percaya kepada yang gaib itu. Tetpi orang-orang
yang beragama memang percaya kepada yang
gaib itu. Tetapi orang-orang yang tidada beragama
tiada percaya. Melainkan kepada apa-apa yang
dapat disaksikan dengan pancaindera atau dengan
perkakas ilmu alam atau kimia.
Pada abad ke XX ini sudah banyak profesor-
profesor di Eropa dan Amerika yang telah percaya
kepada yang gaib, yaitu tatkala mereka
menyelidiki „ilmu spiritualisme dan „ilmu
hypotisme (Mesmerisme). Dengan percobaan
mereka telah banyak orang-orang terpelajar di
Eropa yang percaya akan adanya roh manusia,
sebagai pokok bagi mereka untuk percaya kepada
Allah, Malaikat, d.s.b.
Orang-orang yang mendirikan sembhayang
artinya mengerjakan sembhayang dengan jasmani
dan hati yang khusu. Adapun orang-orang
sembhayang dengan jasmani saja sedang hatinya
tidak menghadap kepada Allah, maka orang itu
69
tiada dinamai mendirikan sembhayang.
Orang yang membayar sebagian hartanya untuk
penolong fakir miskin (zakat).
Mereka percaya kepada al-Qur‟an dan kitab-kitab
yang diturunkan kepada Nabi-Nabi dahulu. Kala.
Mereka percaya dan yakin akan hari yang
kemudian. Waktu itu akan disiksa orang-orang
yang memperbuat kejahatan dan diberi nikmat
orang-orang yang memperbuat kebaikan.
Orang-orang takwa itulah yang menang dan
sukses dari Dunia sampai ke akhirat. Dan itulah
mereka yang mendapat nikmat dari pada Allah
serta tiada dimurkai dan tiada pula sesat (al-
Fatihah: 7)
2.
Iman
kepada
malaikat
Q.S. al-An‟am:
61
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan
diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat
penjaga, sehingga apabila datang
kematian kepada salah seorang di antara
kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-
malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat
Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.
Allah mengirim malaikat untuk menjaga dan
mengawasi tiap-tiap orang. Malaikat malaikat itu
menuliskan semua perbuatan manusia, baik atau
buruk sehingga ia tidak dapat mengingkari amal
perbuatannya. Dan begitu juga Allahmengirim
malaikat maut untuk mengambil roh (jiwa)
manusia. Bukan roh mukmin diserahkan kepada
malaikat rahmat dan roh kafir kepada malaikat
azab. Kemudian malaikat-malaikat membawa roh
itu ketempat yang ditentukan Allah.
70
3. Q.S. al-
Mu‟min: 7
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy
dan Malaikat yang berada di
sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya
dan mereka beriman kepada-Nya serta
memintakan ampun bagi orang-orang
yang beriman (seraya mengucapkan):
"Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu
Engkau meliputi segala sesuatu, Maka
berilah ampunan kepada orang-orang
yang bertaubat dan mengikuti jalan
Engkau dan peliharalah mereka dari
siksaan neraka yang menyala-nyala,
„Arsy artinya tempat tidur raja, kursinya atau tahta
kerajaannya. Adapun „arsy Allah itu tidak kita
ketahui hakekatnya, malahan „arsy yang
bersesuaian dengan kebesaran-Nya. Menurut
keterangan ayat ini „arsy itu dipikul oleh malaikat-
malaikat , artinya malaikat-malaikat itulah yang
memeliharanya atau untuk menjadi kiasan, bahwa
malaikat-malaikat itu tinggi derajatnya, karena
hampirnya dari „arsy Tuhan.
Malaikat-malaikat yang memikul „arsy itu dan
dikelilingnya, semua tasbih yang menyucikan
Tuhan, dari sifat-sifat kekurangan serta
memujiNya.
4.
Iman
kepada
kitab
Allah
Q.S. al-
Ma‟idah: 48
Allah menurunkan kitab al-Qur‟an kepada Nabi
Muhammad yang membenarkan kitab yang
sebelumnya serta mengawasinya, yakni
memebnarkan yang benar dalam kitab itu dan
membetulkan yang tidak benar, karena usaha
71
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al
Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya,
Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu: Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
tangan manusia. Sebab itu Allah menyuruh Nabi
Muhammad dan umatnya, supaya juga
menghukum menurut yang diturunkan Allah
dalam al-Qur‟an. Allah telah mengadakan untuk
tiap-tiap umat syari‟at yang tertentu dan jalan
(cara, sistem) untuk memberi petunjuk dan
menyucikan jiwa mereka. Memang syari‟at tiap-
tiap umat berlainan, tetapi pokok Agama hanya
satu, yaitu Tauhid, Mengesakan Allah dan
mengislamkan (menundukan) jiwa raga dengan
patuh kepada Allah serta ikhlas dan berbuat baik
sesama manusia. Janganlah kamu berbantah-
bantah karena berlainan syari‟at itu, bahkan
kehendaklah kamu berlomba-lomba memperbarui
kebaikan, karena orang yang beriman hanya
dengan banyak amalan bukan dengan banyak
omongan.
72
menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-
lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu,
5.
Iman
kepada
Rasul
Allah
Q.S. al-Ahzab
: 21
Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.
Adakah rasulullah Muhammad mwnjadi ikutan
dan tiru teladan yang baik bagi orang-orang
beriman yang mengharapkan pahal Allah dan
balasan akhirat. Nabi menyampaikan petunjukan
Allah dalam Qur‟an kepada umat manusia, bukan
semata-mata perkataan saja melainkan juga
dengan memperlihatkan tiru teladan yang baik
untuk jadi ikutan bagi mereka. Inilah salah satu
sebab maka ajaran anbi mendapat kemajuan yang
gilang-gemilang dan dapat mengubah I‟tiqad
(kepercayaan), adat istiadat, budi pekerti bangsa
arab dalam masa yang pendek sekali. Hal ini patut
menjadicontoh bagi pemimpin-pemimpin islam
dan ulama-ulama yaitu selain dari menyeru umat
manusia kepada agama islam dengan perkataan
juga dengan perkataan dan tiru tauladan yang
baik, sebagaimana di buat oleh Nabi s.a.w.
perlihatkan budi pekerti yang tinggi supaya
dicontoh oleh umat manusia.
73
6.
Iman
Kepada
Hari
Akhir
Q.S. al-
Qashas: 88
Janganlah engkau sembah Tuhan yang
lain bersama (menyembah) Allah. Tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa, kecuali zatNya. bagi-Nya hukum
putusan segala penentuan, dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Janganlah kamu sembah Tuhan yang lain bersama
Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia. Tiap-tiap
sesuatu akan rusak binasa, kecuali zat Allah,
bagiNya segala putusan dan kepadaNya kamu
akan dikembalikan.
8.
Iman
Kepada
Qadha
dan
Qadar
Q.S. Al-Qamar
: 49-50
Sesungguhnya Kami menjadikan tiap-tiap
sesuatu dengan kadar (takdir yang
ditentukan).
Pekerjaan (urusan) Kami tidak lain,
hanya satu kata, seperti sekejap mata.
Firman Allah : sesungguhnya kami menjadikan
tiap-tiap sesuatu menurut kadar yang tertentu,
kokoh teratur sesuai dengan hikmah yang
terkandung didalamnya. Misalnya letak anggota
muka manusia saja sangat teratur. Kalau kita
hendak makan sesuatu, dilihat oleh mata lebih
dahulu. Kalau baik diambil dengan tangannya,
lalu dihampirkannya ke hidungnya, kalau busuk
tidak jadi dimasukan ke mulut. Tapi kalau tidak
busuk baru di makannya.
Seteruusnya firman Allah : kalau Kami hendak
mengadakan sesuatu tidak lain, hanya dengan satu
kata Kun : adalah engkau seperti sekejap mata,
74
maka jadilah ia.
Artinya apa-apa yang dikehendaki Allah akan
mengadakan sesuatu niscaya ia mesti terjadi, tidak
dapat dihalangi oleh apapun. Ada kalnya Allah
menjadikan dengan langsung seperti ukjizat Nabi
yang di minta oleh umatnya. Atau dengan
mengadakan sebab-sebabnya lebih dahulu. Seperti
mengadakan padi dengan ditanam benihnya lebih
dahulu, dan begitulah seterusnya. Pendekanya
Allah mengadakan sesuatu menurut biasanya yaitu
dengan mengadakan sebab-sebanya lebih dahulu.
Tapi kadang-kadang tanpa kita ketahui sebab-seb
abnya seperti mukjizat Nabi-nabi.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Corak kalam dalam Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus
mengadopsi metode penafsiran Muhammad ‘Abduh yang menyajikan
takwil secara rasional. Upaya rasionalisasi ayat-ayat al-Qur’an ini sesuai
dengan cara berfikir masyarakat modern. Dimana Ia mendasarkan nilai
iman sebagai yang dinyatakan kedalam Teologi Sunni. Yaitu: iman kepada
Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada
rasul-rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada taqdir Allah.
Iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan
diamalkan dengan perbuatan. Iman kepada Allah termaksud kepercayaan
terhadap hal yang ghaib. Begitu pula Iman kepada malaikat dan hari akhir.
Iman kepada kitab ialah mempercayai dan meyakini bahwa kitab itu
Kalamullah yang disampaikan kepada para rasul Allah, untuk umat
manusia, melalui perantara malaikat jibril. Kitab tersebut ialah Taurat,
Zabur, Injil dan al-Qur’an. Akan tetapi ketiga kitab tersebut telah diangkat
oleh Allah keasliannya ke langit. Dan yang masih ada hingga saat ini ialah
al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Iman kepada
taqdir ialah mempercayai bahwa Allah menjadikan alam ini dan mengatur
segala sesuatu dengan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diketahui
orang sebelum terjadinya. Dan harus mempercayai ketetapan yang baik itu
berasal dari Allah swt, sedangkan ketentuan yang buruk itu datang dari diri
manusia sendiri.
Mahmud Yunus menggunakan metode tafsir ijmalī dalam cara
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna
yang terdapat pada suatu ayat secara global.
76
B. Saran
Semoga tulisan dapat menjadi sumbangan bagi khazanah keilmuan,
khususnya bagi kajian terhadap karya-karya tafsir di Indonesia, meskipun
disadari masih banyaknya kelemahan dalam penyajian tulisan ini.
Sehingga saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan bagi
kesempurnaan tulisan ini. Dan diharapkan akan ada kajian lanjutan
terhadap karya-karya tafsir di Indonesia lainnya. Karena tafsir di Indonesia
juga perlu mendapat sentuhan dan perhatian lebih lanjut. Selain itu karya
tafsir ulama Indonesia juga tidak kalah menarik untuk dikaji.
77
Daftar Pustaka
„Abd. ibn Nuh dan Oemar Bakry. Kamus Arab Indonesia Inggris, Cet. IV,
Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1974.
„Abduh, Muhammad. Risalah al-Tauhid, Dār al-Manar, Kairo, 1965.
„Abdullah Muhammad. Abu bin Isma‟il bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami‟ al-
Shahih, juz 4 (Shahih Bukhari), Daar al-Fikr, 1981.
„Aqiel Siraj, Said. Ahlussunnah Wal Jama‟ah, Yogyakarta: LKPSM, 1997.
Asmami, Yusran. Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo, 1993.
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dan al-
Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Bahjat, Ahmad. Mengenal Allah, Pustaka Hidayah, Bandung: 1986.
Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia, Solo: Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.
Bakar, Abu. Perbandingan Mazhab Syi‟ah. Rasionalisme dalam Islam, Cet II,
Semarang: Ramadhani, 1990.
Dahlan, „Abdurahman dan Ahmad Qarib. “Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam”, Cet. I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
Daud Sulaiman, „Abu bin al-Asy‟ats as-Sajastani. Sunan Abi Daud, Juz 2, no.
2410, juz 2, kitab ke-14 dan bab ke-43, Beirut: daar al-Kutub al-„Arabi,
1988.
Gazalba, Sidi. Pola Ajaran Dan Amal Islam (pandangan menyeluruh tentang
ajaran islam), cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
al-Gurabi, Mustofa „Ali. Tarikh al-Islamiyah wa Nasyat Ila Kalam, Kairo:
Muhamad Ali Sabih Press, t.th.
Hamka, Buya. Pengaruh Muhammad Abduh Di Indonesia, Jakarta: Tintamas,
1961.
Hanafi, Ahmad. Teologi islam (ilmu kalam), Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-13,
2010.
Hasbi, Muhammad. Ilmu Kalam, Memotret berbagai aliran Teologi dalam islam,
Yogyakarta: TrustMedia, 2015.
78
Ibrahim, Sulaiman, Pendidikan dan Tafsir “Kiprah Mahmud “Kiprah Mahmud
Yunus dalam Pembaruan Islam,” Jakarta: LEKAS, 2011, Cet. I.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, Cet. Ke-3, 2011.
Jaiz, Hartono Ahmad. Rukun Iman di Guncang, Pertentangan Faham Harun
Nasution, Cet Ke-2, Jakarta: Amir Regency, 2000.
al-Jabbar, „Abd, al-Mugni fi Abawab al-Tauhid, jilid XV, Kairo: al-Dar al-
Misriyyat, 1965.
Kementerian Agama RI. al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010,
10 Jilid.
Ma‟lout, Louis, al-Munjid al-Abjadiy, Cet. IV, Beirut: Dar al-Masyriq, 1985.
Muhaimin, Muhammad. Muhaimin, Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran-Aliran,
Semarang: Mitra Jaya, 1999.
Muthahhari, Murtadha. Mengenal Ilmu Kalam, Cet. I, Jakarta: Pustaka Zahra,
2002.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS, 2011.
Nata, Abudin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Nasir, A. Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996.
Nasution, Harun. Muhammad „Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, Jakarta:
UI Press, 1987.
-------, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Pres, 1983.
-------, Harun. Pemikiran Dan Karya-Karya Prof. Dr. Mahmud Yunus Tentang
Pendidikan Islam, Padang: Jurusan Ilmu Sejarah Pascasarjana Universitas
Andalas, 2011.
Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Tim, Ensiklopedi Islam Indonesia , Jakarta:
Djambatan, 1992.
al-Qathan, Manna, Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2011.
79
Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Pendidikan Islam Ciputat: Quantum
Teaching, 2005.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Dewan, Ensiklopedi Islam III, Cet. III, Jakarta: PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2010.
Siddiq, Nourouzaman, Syi‟ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah,
Yogyakarta: PLP2M, 1995.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al- Qur‟an, Bandung: Mizan, Cet. Ke-11,
1996.
-------, M. Quraish. Rasionalitas al-Qur‟an Studi Kritisatas Tafsir al-Manar,
Ciputat, LenteraHati, Cet. Ke-I, 2006.
al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal, Juz I, Kairo: Muassasah al-Halabiy, 1387 H
atau 1968 M.
Tahir Abdul Muin, Taib. Ilmu Kalam, Cet. VIII, Jakarta: Widjyah; 1986.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-
Munawwir, 1984.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hidup Karya
Agung, 1985.
-------, Mahmud. Tafsir Qur‟an Karim. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2011.
-------, Mahmud. Tafsir Qur‟an Karim, Cet. LXXIII, Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 2004.
Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka
Panjimas, 1990.
S.H.M. Jafri. dari Saqifah sampai Imamah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1985.
Jurnal:
Amursid, Muhammad dan Amaruddin Asra. “Studi Tafsir Qur`an Karim Karya
Mahmud Yunus”, Jurnal Syahadah, vol. 3, no. 2, (2015).
Iskandar, Edi. Mengenal Sosok Mahmud Yunus, Jurnal: Kependidikan Islam, vol.
3, no. 1, (2017).
80
Masyhudi, Fauzan. Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Konsep Pendidikan Islam,
Jurnal Tarbiyah, vo. 21, no. 1, (2014).
Syarifuddin, M. Anwar & Jauhar Azizy. “Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru
Penulisan Tafsir al-Qur‟an Indonesia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 2,
no. 3, (2015).
Artikel:
„Abduh, Abdurrahman Tuasikal. Artikel Rumaysho, ( Pesantren Daarus Sholihin:
14 Shafar 1439 H).
Rina, Malta. Artikel: Pemikiran Dan Karya-Karya Mahmud Yunus, Tentang
Pendidikan Islam. Padang: Pasca Sarjana UNAND, 2011.