corak penafsiran kalam mahmud yunus dalam tafsir qur'an karim

96
CORAK PENAFSIRAN KALAM MAHMUD YUNUS DALAM TAFSIR QUR’AN KARIM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh Filzah Syazwana NIM: 11140340000208 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H./2018 M.

Transcript of corak penafsiran kalam mahmud yunus dalam tafsir qur'an karim

CORAK PENAFSIRAN KALAM MAHMUD YUNUS DALAM

TAFSIR QUR’AN KARIM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

Filzah Syazwana

NIM: 11140340000208

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H./2018 M.

i

ABSTRAK

Filzah Syazwana

Corak Penafsiran Kalam Mahmud Yunus dalam Tafsir Qur’an Karim

Setiap mufassir memiliki metode dan kecenderungan masing-masing

dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga melahirkan corak dan penafsiran berbeda

pula. Penelitian ini bermaksud mencari tahu bagaimanakah corak penafsiran

kalam Mahmud Yunus dalam tafsir Qur’an Karim? Sebagaimana kita ketahui

bahwa hasil penafsiran seseorang akan bergantung sekali pada disiplin ilmu yang

dikuasai, penemuan ilmiyah, pengalaman dan kondisi sosial.

Jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi sekarang yang saya ketahui

bahwasannya masyarakat sekarang mengalami kemerosotan atau kekeringan

spiritual dalam keimanan. Sehingga fenomena yang terjadi timbullah segala

bentuk kerusakan terutama ketidak adilan, penindasan dan berita-berita hoax yang

menyebar begitu cepatnya dan masyarakat terlalu mudah percaya terhadap berita-

berita tersebut. Yang menimbulkan segala macam keburukan. Semua hal terjadi

karena keimanan yang ada dalam masyarakat itu terlalu bergantung kepada hal-

hal yang sifatnya duniawiyah sehingga keimanan yang ada dalam diri masyarakat

sekarang menjadi kering seperti “tanaman yang tidak pernah disirami”.

Teknik penggalian data pada penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif dengan menggunakan teknik library research (kepustakaan) yaitu

dengan mengumpulkan data-data melalui bacaan dan beberapa literatur yang ada

kaitannya dengan pembahsan. Adapun metode penulisan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis-deskriptif, yaitu sebuah metode pembahsan untuk

menerapkan data-data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap

data-data tersebut. Sumber penafsiran dalam penulisan skripsi ini adalah Tafsir

Qur’an Karim dan literatur lainnya yang relevan dengan pembahsan skripsi,

khususnya tentang corak dalam penafsiran.

Dalam hasil penelitian ini diketahui bahwa yang ditulis dengan model

penafsiran catatan kaki dengan menggunakan bahasa Indonesia dan disusun runtut

sesuai dengan urutan tertib ayat atau surat seperti dalam mushaf Usmani. Metode

yang digunakan mufassir adalah metode Ijmali, yaitu cara menafsirkan dengan

makna global. Temuan yang didapat oleh penulis dalam kajian ini bahwa

Mahmud Yunus adalah tokoh pelopor pola-pola pembaharu yang terpengaruh oleh

pemikiran dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia.

Dan bukan klasik atau tradisional sehingga beliau masuk kepada kelompok

pemikir rasional. Para mufassir pembaharu ini berusaha mengungkapkan makna

al-Qur’an dengan cara baru yaitu dengan mengikutsertakan daya kemamuan

manusia untuk menggali makna yang terkandung dalam firman Allah Swt. Beliau

tetap menggunakan sumber-sumber melalui dalil naqli sehingga beliau dapat

dikatakan sebagai penganut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Kata kunci: Corak, Kalam, Mahmud Yunus, Qur’an Karim.

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah Swt., Atas segala rahmat dan karunia Nya yang

tidak mampu di hitung oleh hambaNya. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurahkan kepada sosok Rahmatan li al-‘Ālamîn, cahaya di atas cahaya,

manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw. Serta doa untuk keluarga,

sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata.

Alhamdulillah, berkat rahmat dan inayah Allah swt. Penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini melalui upaya dan usaha yang melelahkan. Meskipun

demikian semaksimal usaha manusia tentunya tidak akan lepas dari kekurangan

dan kelemahan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah swt.

Disamping itu penulis menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan skripsi ini

tidak akan terwujud tanpa bantuan dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Program

Studi Ilmu al-Qur’an & Tafsir dan kepada Ibu Dra. Banun

Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur’an

& Tafsir.

3. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, M.A., selaku pembimbing penulis

yang selalu bersabar memberikan ilmu dan bimbingannya selama

penulis berada di bawah bimbingannya.

4. Abah Rifqi Muhammad Fatkhi., selaku penasihat akademik yang telah

membantu penulis. Dan Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah.

5. Kepala dan staff karyawan Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ).

6. Kedua orang tua penulis H. Rahmatullah dan Siti Muzayanah S.Pd.

yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan dan

iii

pengajaran serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai

kesuksesan di masa depan.

7. Teruntuk adik-adik tersayang Muhammad Jihad Sabili, Meidy

Nuruzzahra Haliza dan Ibrahim Zaky Kazhimi, orang-orang yang

menjadi tumpahan harapan penulis.

8. Keluarga besar Buya KH. Siddiq dan Ummi Hj. Husnah serta Keluarga

besar Engkong H. Resan dan Nyai Hj. Robiatul Adawiyah yang selalu

mendoakan untuk kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan

skripsi ini.

9. Kakek Faid dan keluarga Bapak H. Muslih yang telah mendoakan

penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

10. Keluarga besar INADA Ciputat, UIN El-Q dan Komfuspertum 2014

yang telah memberi kehangatan dan arti kekeluargaan.

11. Terkhusus teman hidup penulis Raja Hotlan Harahap yang setia

menemani dan membimbing hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat Aidah, Penida, Ghina, Tata, Ilham, Firdaus, Dhea,

Iman, Muzayyan, Elgi, Nurfik, Azizah, Eiz, Wanna, Fawa, Mega dan

Silma yang telah menjadi penyemangat selama penyusunan skripsi.

13. Keluarga Tafsir Hadis 2014, Tafsir Hadis kelas F dan teman-teman

KKN Dialektika 84 yang telah berjuang bersama penulis selama ini.

14. Kakak-kakak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu ka Fifit, ka

Rahmah, ka Azizah, ka Isna, ka Venty dan ka Fikri yang selalu

memotivasi penulis agar selesai dalam mengerjakan tugas akhir ini.

15. Terakhir untuk orang-orang yang sudah bertemu saya dan bertukar

pikiran dengan saya.

Semoga Allah membalas dengan sebaik-baik balasan. Harapan penullis,

mudahmudahan karya ini bermanfaat dan mempunyai kontribusi yang signifikan

bagi penelitian selanjutnya.

Tangerang, 27 September 2018

Penulis

Filzah syazwana

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK .......................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iv

PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 8

D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 9

E. Metodelogi Penelitian ........................................................................................... 11

F. Sistematika Pembahasan ....................................................................................... 12

BAB II KHAZANAH PEMIKIRAN KALAM

A. Sejarah Perkembangan Pemikiran Kalam ............................................................. 14

B. Aliran-Aliran Pemikiran Kalam ............................................................................ 17

C. Aliran Syi’ah ......................................................................................................... 18

D. Aliran Khawarij ..................................................................................................... 20

E. Aliran Mu’tazilah .................................................................................................. 21

F. Aliran Jabariyah .................................................................................................... 27

G. Aliran Qadariyah ................................................................................................... 29

H. Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ....................................................................... 31

BAB III BIOGRAFI MAHMUD YUNUS

A. Kondisi Sosial Keagamaan Mahmud Yunus ........................................................ 37

B. Aktivitas Keilmuan ............................................................................................... 39

C. Latar Belakang Penulis Tafsir ............................................................................... 42

v

D. Metode Penafsiran ................................................................................................. 45

E. Sumber Penafsiran ................................................................................................ 46

F. Sistematika Penafsiran .......................................................................................... 47

G. Karya-Karya .......................................................................................................... 48

BAB IV CORAK PENAFSIRAN KALAM DALAM TAFSIR

MAHMUD YUNUS

A. Penafsiran Mahmud Yunus Tentang Iman Kepada Allah ............................... 50

B. Penafsiran Iman Kepada Malaikat .................................................................. 55

C. Penafsiran Iman Kepada Rasul Dan Kitab-Kitab Yang

Diturunkan Kepada Mereka ............................................................................ 56

D. Penafsiran Iman Kepada Hari Akhir ............................................................... 60

E. Penafsiran Iman Kepada Taqdir ...................................................................... 63

F. Corak Penafsiran Kalam Tafsir Mahmud Yunus ............................................ 65

G. Pengelompokan Ayat-Ayat Kalam ................................................................. 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................. 75

B. Saran ............................................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 77

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih

aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga

konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.

Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja oleh

mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen, khususnya

dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam penerapan

dan konsistensinya. Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih

aksara, antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementian

Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi

Paramadina.Umumnya, kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut

meniscayakan digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi,

Times New Roman, atau Times New Arabic. Untuk memudahkan penerapan alih

aksara dalam penulisan tugas akhir, pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak

mengikuti ketentuan salah satu versi di atas, melainkan dengan

mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri hurufnya. Kendati demikian,

alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini disusun dengan logika yang

sama.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ث

ts te dan es ث

j Je ج

ẖ h dengan garis bawah ح

kh ka dan ha ر

vii

d De د

dz de dan zet ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

ḏ de dengan garis bawah ض

t te dengan garis bawah ط

z zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ى

w We و

h Ha ه

Apostrof ’ ء

y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

viii

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah ـــ

I Kasrah ـــ

__ U Dhammah

Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i __ ي

__ و Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal pajang (madd) yang dalam bahsa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di atas ىا

Î i dengan topi di atas ىي

Û u dengan topi di atas ىو

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah

maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-

dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (ـــ (dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

ix

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak

ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada

kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/

(lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut

diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah

tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi

huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقت 1

اإلسالهيت الجاهعت 2 al-jâmî’ah al-islâmiyyah

الوجود وددة 3 waẖdat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

35 permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-

lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf

kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-

Kindi bukan Al-Kindi. Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring

(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan

cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

x

berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd

al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di

atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذھة األستاذ

Tsabata al- ajru ثبج األجر

al- ẖarakah al-‘ asriyyah الذرمت العصريت

Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھد أى ال إلھ إال هللا

الخ Maulânâ Malik al- Sâlih هوالنا هلل الص

Yu’ atstsirukum Allâh يؤثرمن هللا

al- maẕâhir al-‘ aqliyyah الوظاھر العقليت

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

al-Qur‟an al-Karim adalah sumber tasyri‟ pertama bagi umat Nabi

Muhammad saw. Kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman

maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang

terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafaz dan

ungkapan al-Qur‟an tidaklah sama. Padahal penjelasannya sedemikian

gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar

diantara mereka adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan

awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian

ayat-ayatnya secara global. Sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar

akan dapat menyimpulkan daripadanya makna-makna yang menarik. Dan

diantara kedua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman.

Maka tidaklah mengherankan jika al-Qur‟an mendapatkan perhatian besar dari

umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-

kata garib (aneh, ganjil) atau mentakwilkan tarkib (susunan kalimat).1

al-Qur‟an juga adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu

diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah SWT kepada

Muhammad saw untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju

yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Ilmu tauhid atau ilmu kalam yang secara sederhana sering di definisikan

sebagai ilmu yang membahas masalah ketuhanan serta hubungan-Nya dengan

alam semesta, terutama manusia, disamping menggunakan dalil-dalil „aqli

(argumen rasional) juga menggunakan dalil-dalil naqli (nash-nash agama).

Antar lain aqli di satu pihak dan naqli di pihak lain, terjalin hubungan yang erat.

1 Manna, Khalīl al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), h.

21.

2

Tidak ditemukan suatu pemikiran yang mengenyampingkan nash, sebagaimana

tidak ada pula yang hanya mempergunakan rasio. Namun demikian ditemukan

perbedaan pemahaman mana kala terjadi perbedaan dalam penggunaan akal

ketika memahami nash-nash tersebut.

Pemikiran yang memberikan wewenang besar terhadap akal dalam

memahami ayat-ayat al-Qur‟an, memungkinkan aliran pemikiran ini tidak

hanya menangkap makna harfi ayat tetapi juga makna metaforismenya. Oleh

sebab itu dalam aliran pemikiran ini memungkinkan untuk menakwil ayat-ayat

al-Qur‟an, membuat aliran pemikiran ini seringkali terikat pada makna harfi

ayat. Itulah sebabnya kemungkinan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur‟an bagi

penganut aliran ini sangat kecil kalau kita enggan berkata tertutup sama sekali.2

Menurut Hasby al-Shiddieqy, tujuan mempelajari tafsir ialah

memahamkan makna-makna al-Qur‟an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya,

akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh

kebahagiaan dunia dan akhirat.3 Menurut al-Zarkasyi tafsir ialah suatu

pengetahuan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi

Muhammad SAW, menjelaskan maksud-maksudnya, mengeluarkan hukum-

hukumnya dan hikmah-hikmahnya.4 Dalam ilmu al-Qur‟an banyak sekali

istilah-istilah yang dipakai untuk dapat menafsirkan ayat al-Qur‟an diantaranya

adalah thariqah, lawn, manhāj, ittijah dan lain sebagainya.

Seorang mufassir, pada saat menafsirkan ayat al-Qur‟an tidak akan

terlepas dengan adanya corak tafsir. Karena, corak tafsir itu menjadi ciri khas

seorang mufassir dalam menjelaskan al-Qur‟an sesuai dengan spesifikasi

keilmuan yang dimilikinya. Selain itu juga, corak tafsir dapat mengungkapkan

latar belakang aliran, keahlian dan bahkan motif dari ahli tafsir dalam

2 Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas,

1990. h. x. 3 Mashuri Sirojuddin Iqbal, dkk, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 1994), h. 89. 4 Manna, Khalīl al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa), h.

141.

3

menafsirkan al-Qur‟an.5 Sehingga, adanya corak tafsir dapat menimbulkan

berbagai macam warna yang berkembang menjadi bermacamnya aliran dengan

metode yang berbeda-beda.6

Sebagai sumber ilmu kalam, al-Qur‟an banyak menyinggung hal yang

berkaitan dengan masalah ketuhanan diantaranya QS. Al-Ikhlas ayat 3-4:

Ayat ini menunjukan bahwa: “Tuhan tidak beranak dan tidak

diperanakan serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sejajar

dengan-Nya”. Ayat di atas berkaitan dengan zat dan hal-hal lain yang berkaitan

dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja penjelasan rincinya tidak ditemukan oleh

sebab itu para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya.

Dengan demikian ilmu kalam dengan Al-Qur‟an adalah ilmu yang saling

berkaitan yang tidak bisa dipisahkan karena sumber dari ilmu kalam adal ah Al-

Qur‟an dan hadis. al-Qur‟an sendiri di dalam isinya banyak membahas tentang

hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan baik berupa zat, sifat, asma, perbuatan

dan tuntunan sedangkan ilmu kalam juga membahas keesaan Allah swt.

Howard M. Federspiel ada keunikan tersendiri dalam tafsir-tafsir al-

Qu‟an karya ulama nusantara, yaitu tampak adanya perpanjangan mata rantai

sejarah pemikiran Timur Tengah. Kajian-kajian Federspiel ini boleh dibilang

lumayan komprehensif karena literature-literatur tersebut meliputi berbagai

jenis yang berkaitan dengan upaya sosialisasi al-Qur‟an di Indonesia. Beliau

pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al-Qur‟an

di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama ditandai dengan gerakan

penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah yaitu mulai dari

permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an. Dan cenderung pada surat-

surat tertentu sebagai obyek tafsir.

5 Abdul Syakur, Mengenal Corak Tafsir Al-Qur‟ān, Jurnal, (Sekolah Tingggi Ilmu

Ushuluddin) Al-Mujtama, vol. 01, no. 1, h. 83. 6 Hujair S. H. Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau

Corak Mufassirin), (Jurnal Al-Mawarid, 2008) edisi XXVIII , h. 265.

4

Generasi kedua, muncul pada pertengahan 1960-an, yang merupakan

penyempurnaan dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya

penambahan penafsiran berupa catatan khusus, catatan kaki, terjemahan kata

per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Ada tiga karya yang

cukup untuk mewakili tafsir-tafsir generasi kedua, yaitu Tafsir al-Furqon karya

Ahmad Hasan, Tafsir al-Qur‟an karya Hamidi dan Tafsir Qur‟an Karim karya

Mahmud Yunus. Tiga karya tersebut telah menunjukan daya tahannya yang luar

biasa, ketiganya masih digunakan sampai tiga puluh tahun dari peluncuran

pertamanya. Popularitas masing-masing telah terlihat dari percetakannya yang

berulang-ulang. Mahmud Yunus dan Hamidi sama-sama memberikan indeks

sederhana dengan dibubuhi oleh angka-angka yang merujuk pada kalimat

tertentu.7

Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang

lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai

dengan terjemahnya. Ada tiga karya dianggap mewakili generasi ketiga ini

yaitu Tafsir al-Nur atau al-Bayyan (1966) karya Hasby al-Shiddieqy, Tafsir al-

Azhar (1973) karya H. Abdul Malik Karim yang biasa dikenal dengan Hamka

dan Tafsir Qur‟anul Karim karya Halim Hasan. Tafsir generasi ketiga ini berisi

materi tentang teks dan metodelogi dalam menganalisis tafsir. Dalam beberapa

hal tafsir-tafsir tersebut merupakan suatu kombinasi dari generasi kedua dan

merampingkan hal-hal yang bersifat primer tentang ilmu tafsir. Tafsir generasi

ketiga ini menekankan ajaran-ajaran al-Qur‟an dan konteksnya dalam bidang

keislaman. Masing-masing tafsir generasi tersebut memiliki indeks, ringkasan

dan daftar istilah-istilah penting.8

Perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran,

walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda

dalam perincianya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati

7 Howard M. Federspiel, Kajian Tafsir Indonesia, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996),

129. 8 Howard M. Federspiel, Kajian Tafsir Indonesia, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996),

137.

5

bahwa sejak periode ketiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai sekarang

para mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara ayat demi ayat, sesuai

dengan susunannya dalam mushaf. Jika kita telusuri perkembangan tafsir al-

Qur‟an sejak dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besar

penafsiran al-Qur‟an dilakukan melalui empat cara, metode ijamli (global),

tahlili (analitis), muqarin (perbandingan), dan maudhu‟i (tematik).

Di Indonesia ditemukan berbagai terjemahan dan tafsir al-Qur‟an baik

dalam bahasa Indonesia atau Melayu maupun dalam bahasa daerah seperti

bahasa Jawa dan Sunda.9 Di pesantren-pesantren Jawa dipelajari, selain kitab

tafsir al-Munir Nawawi al-Bantani, juga dipelajari kitab klasik tafsir al-

Thabarī dan tafsir Ibn Katsīr, ditambah tafsir-tafsir modern seperti al-Manār

karya Muhammad „Abduh dan Rasyid Ridho dan tafsir al-Maraghi karya

Ahmad Mustafa al-Maraghi.10

Kitab tafsir lain yang ditulis ulama Indonesia

dengan berbahasa daerah adalah kitab tafsir al-Kitabu al-Mubin karya K.H

Muhammad Ramli dengan bahasa Sunda.11

Kitab tafsir Raudhah al-Irfan fi

Ma‟rifati al-Qur‟an karya Ahmad Sanusi bin Abd Rohim dari Sukabumi,

dengan bahasa Sunda, kitab Tafsir al-Ibrīz li Ma‟rifah al-Tafsir al-Qur‟an al-

„Aziz karya KH. Bisri Mustafa dari Rembang, dengan bahasa Jawa (Arab

Pegon) dan kitab tafsir al-Iklil fi Ma‟ani Tanzil karya KH. Misbah bin Zaenul

Musthafa dari Bangilan, dengan bahasa Jawa (Arab Pegon) 30 jilid, 4800

halaman, dan Kitab Tafsir Faidh al-Rahmān fī Tarjamah Tafsir Kalam Malik

ad-Dayyan karya KH. Muhammad Shaleh Ibn Umar al-Samarani dari

Semarang, dengan bahasa Jawa (Arab Pegon). Kitab tafsir lain yang ditulis

ulama Indonesia dengan berbahasa Indonesia ialah Marah Labid karya Syekh

Nawawi al-Bantani, tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus, tafsir al-

Qur‟an karya H. Zainuddin Hamidi dan Fachruddin HS, tafsir al-Nur dan tafsir

9 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990, Tiara

Wacana, Yogyakarta, 2001, h. 105. 10 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta 2005, h. 297. 11 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia, Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri, Solo, 2003, h. 102.

6

al-Bayan karya Prof. TM. Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir Furqon karya A. Hassan,

tafsir al-Azhar karya Prof. Dr. Hamka, sampai dengan Tafsir al-Misbah karya

M. Quraish Shihab yang fenomenal.

Beliau merupakan seorang ulama yang berasal dari tanah Minangkabau

yang telah melakukan berbagai peran dan aktifitas dalam perkembangan dan

pembaharuan.12

Agama Islam di Indonesia baik sebelum maupun setelah

kemerdekaan. Sebagaimana para intelektual lainnya, beliau juga telah

melahirkan karya-karya buah pemikirannya dalam jumlah yang cukup banyak

dan hingga saat ini masih dijadikan sebagai rujukan dan bahan kajian, baik

yang berbahasa Arab maupun Indonesia. Dalam karya tafsirnya Mahmud

Yunus menuangkan pendapat dan interpretasinya terhadap al-Qur‟an dengan

keterangan-keterangan singkat yang dianggap perlu dan cukup mewakili

maksud dari ayat yang ditafsirkannya tersebut.

Dalam hal ini, setelah membaca beberapa bagian dari karya tafsirnya,

penulis menemukan hal-hal yang menarik. Selain itu dijumpai pula di dalamnya

keunikan dan kesan tersendiri, yaitu adanya wawasan ke Indonesiaan yang

dicantumkan dalam karya tafsir Mahmud Yunus tersebut.

Sejalan dengan perkembangan lajunya masyarakat, berkembanglah pesat

pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dengan

demikian berkembanglah manhaj atsari ke mazhab ra‟y dan berkembanglah

(tariqah) metode tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.

Corak-corak penafsirannya yaitu: corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hokum,

corak tasawuf, corak sastra budaya kemasyarakatan, corak falsafi dan corak

kalam.13

Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir Mahmud

Yunus dalam Tafsir Qur‟an Karim, kajian terhadap corak pemikiran kalam

12 Eficandara Masril, Mohd. Nasran Mohammad, Muhammad Adib Syamsuddin dan Anwar

Fakhri Omar, Mahmud Yunus: Tokoh Mujaddid dari Miangkabau, (Selangor: Jabatan Syariah, 2011),

h. 134. 13 M. Quraish Shihab Dalam Pengantar Bukunya M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam

Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Pena Madani,

2003), h. xxxiv

7

Mahmud Yunus dalam menafsirkan al-Qur‟an. Kitab tafsir yang

diperbincangkan di sini terdiri dari satu jilid besar. Ada beberapa alasan yang

bisa dimunculkan mengapa tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus dan

kenapa pula penulis mengangkat corak kalam dalam penafsiran Mahmud

Yunus?

pertama ialah, Tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus memakai

temuan-temuan modern sebagai bahan dan materi perbandingan bagi fenomena

dan pesan-pesan ajaran al-Qur‟an yang dicoba untuk diselaraskan dengan

kondisi kekinian.

kedua, Beliau adalah salah satu intelektual muslim Indonesia yang telah

memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perkembangan ilmu

pengetahuan ke Islaman di Indonesia. Beliau menggunakan temuan-temuan dan

kemajuan ilmiah modern untuk memperkuat ketinggian nilai ajaran islam dan

kemukjizatan al-Qur‟an. karya-karyanya yang cukup banyak, yaitu bidang

pendidikan, bahasa Arab, fiqh dan termasuk dalam kajian tafsir al-Qur‟an.

Hanya saja, karena banyaknya karya-karya tafsir yang ada di Indonesia,

sedangkan karya tafsir yang bersifat tematis, maupun yang hanya menfokuskan

pada surat-surat tertentu akan penulis ulas secara lebih komprehensif sehingga

diharapkan kajian ini akan mencakup karya tafsir yang ada di Indonesia.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Melihat berbagai masalah pada tema bahasan penelitian ini, penulis

membagi menjadi tiga bagian. Yakni dengan membatasi masalah yang

mengitari penelitian ini dan kemudian rumusan masalah yang relevan dengan

inti pembahasan yang hendak diteliti.

1. Identifikasi Masalah

a. Setiap mufassir memiliki metode dan kecenderungan masing-masing

dalam menafsirkan al-Qur‟an, sehingga melahirkan corak dan penafsiran

berbeda pula.

8

b. Ajaran tauhid atau akidah merupakan ajaran terpenting yang dibawa oleh

al-Qur‟an yakni ajaran tentang pengakuan terhadap Allah swt secara

murni. Dalam disiplin ilmu-ilmu agama islam ajaran tauhid ini di bahas

oleh ilmu kalam.

c. Penafsiran-penafsiran dalam tafsir Qur‟an Karim bercorak rasional14

seperti corak pemikiran kalam Mu‟tazilah dan Maturidiyah ataukah

bercorak tradisional15

seperti corak pemikiran kalam Asy‟ariyah dan

Maturidiyah Bukhara ataukah campuran antara keduanya.

2. Pembatasan Masalah

Masalah yang dibatasi pada penelitian ini penulis tetapkan menjadi dua:

a. Bagaimana corak pemikiran kalam dalam tafsir Qur‟an Karim karya

Mahmud Yunus?

b. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran Mahmud Yunus

terhadap ayat-ayat kalam?

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, rumusan

masalah pada penelitian ini ditetapkan pada:

Bagaimana corak pemikiran kalam dalam tafsir Qur‟an Karim karya

Mahmud Yunus?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok masalah di atas maka hal yang ingin dicapai melalui

penelitian ini ialah

14 Rasional adalah dalil yang disandarkan pada fikiran manusia. Dalil ini tidak bisa dijadikan

sandaran mutlak. Namun dalil ini sering kali digunakan untuk memperkuat dalil-dalil naqli yang ada

(aqli). 15 Tradisional ialah dalil yang bersumber dari al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma‟ para ulama

yang diambil dari intisari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dalil ini merupakan dalil pokok yang menjadi

dasar dalam keetapan hukum islam dan aqidah.

9

1. Mendeskripsikan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang corak pemikiran

kalam.

2. Mengetahui corak pemikiran kalam dalam tafsir qur‟an karim karya mahmud

yunus dan menjelaskan sejauh mana pemahaman teori penafsiran tersebut

untuk menemukan pesan inti dan mentadabburi serta mengamalkan dalam

kehidupan.

Adapun manfaat dari penelitian ini dalam bidang studi al-Qur‟an dan

tafsir adalah:

1. Dalam konteks keilmuwan Islam, hasil penelitian ini akan memberikan

informasi penting terkait dengan dinamika keilmuwan Islam di Indonesia,

khususnya di bidang Tafsir al-Qur‟an.

2. Bagi dunia akademik, hasil penelitian ini bisa menjadi bahan rujukan di

bidang studi perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia yang kini masih

sedikit terkait di bidang ini.

D. Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan tema penilitian ini yang berjudul “ayat-ayat kalam dalam

Tafsir Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus”, penulis membagi kajian pustaka

menjadi dua bagian. Pertama, tinjauan terhadap buku ataupun karya ilmiah

yang membahas tentang pemikiran kalam dan yang berkaitan dengannya.

Kedua, tinjauan terhadap buku atau karya ilmiah yang membahas mengenai

tafsir Qur‟an Karim.

Penelitian mengenai kitab Mahmud Yunus oleh penulis sebelumnya dapat

dibilang relative sedikit, terutama mengenai kitab tafsirnya Qur‟an Karim, hasil

penelusuran penulis hanya menemukan karya-karya yang membahas kitab ini,

yaitu:

1. Skripsi dengan judul: Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Metode

Pendidikan Islam, pada tahun 2011 oleh Asmi Yuni mahasiswi jurusan

10

Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA

Riau. Di dalam skripsi ini membahas tentang deskripsi pemikian Mahmud

Yunus tentangmetode pendidikan Islam yang sekarang masih digunakan

di instansi-instansi pendidikan seperti pondok pesantren, yaitu direct

metode atau Thariqah al-Mubasyarah (metode langsung), lebih khususnya

pada pembelajaran Bahasa Arab.

2. “Metode dan corak Tafsir Qur‟an Karim karya Prof. Dr. Mahmud Yunus”

Skripsi di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau pada tahun

2014. Karya Nasrul Fatah Program Studi Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin. Skripsi ini membahas tentang metode, corak al-Adabi al-

Ijtima‟I serta tafsir dengan bentuk penafsiran ini bi al-ra‟y yang

digunakan oleh Mahmud Yunus dalam kitabnya Tafsir Qur‟an Karim.

3. M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, menulis artikel berjudul:

Mahmud Yunus: peloper pola baru penulisan tafsir al-Qur'an Indonesia, (

Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 2 nomer 3, edisi Januari - Juni 2015)

mengkaji tentang peloper pola baru penulisan tafsir al-Qur'an Indonesia

dengan kesimpulan ada dua faktor yang menandai Tafsir Qur'an Karim

karya mahmud yunus yang dianggap sebagai peloper bagi pengenalan pola

dan bentuk baru penulisan tafsir karya Indonesia modern.

4. Malta Rina, menulis artikel berjudul pemikiran dan karya-karya Mahmud

Yunus tentang pendidikan Islam, (Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10

nomer 2, edisi April-Desember 2011) mengkaji tentang pemikiran dan

karya-karya Mahmud Yunus tentang pendidikan islam dengan kesimpulan

pendidikan Islam yang sekarang masih digunakan dikalangan pendidikan

seperti pondok pesantren yang berada di Indonesia, lebih khususnya pada

pembelajaran Bahasa Arab.

Melihat penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini

berbeda dari penelitian sebelumnya, karena dari dua tulisan diatas tidak ada

satupun yang membahas tentang pemikiran corak kalam dalam tafsir Mahmud

Yunus.

11

E. Metodelogi Penelitian

Penelitian yang hendak penulis lakukan ini berupa kajian kepustakaan

(library research) bersifat deskriptif-analitis yang bekerja untuk menemukan

pemahaman akan fenomena yang terdapat pada objek sesuai dengan apa yang

dialami oleh pengamatan subyek penelitian.16

Bahan informasi mengenai objek

penulis telusuri dalam literatur-literatur, baik klasik maupun modern, termasuk

jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan.

1. Metode Pengumpulan Data

Adapun jenis data yang penulis kumpulkan untuk menuntaskan

kajian ini yaitu dengan menggunakan data dan berbagai literatur, yaitu

berupa data primer dan data sekunder.

a. Data Primer yaitu dengan menggunakan Tafsir Qur‟an Karim.

b. Data sekunder yaitu data yang biasanya telah tersusun dalam bentuk

dokumen17

yang berupa dari buku-buku dan sumber lainnya yang tidak

secara langsung berkaitan dengan tema. Di antaranya adalah buku

Tazkiyat al-Nafs, buku-buku theologi islam dan buku yang berkaitan

dengan jiwa dan manusia. Data sekunder lain sebagai tambahan

perbendaharaan pemahaman tentang kajian ini misalnya dengan

menelusuri di jurnal ilmiah, karya tulis, web dan sebagainya.

2. Analisa Data

Analisis data dilakukan oleh peneliti selama penelitian ini

berlangsung hingga seluruh data telah dianggap cukup. Analisis dilakukan

dengan cara memahami persoalan di sekitar objek penelitian. Peneliti

mencoba memposisikan diri pada posisi netral dengan tetap berpikir kritis.

Kajian ini bersifat deskriptif-analisis dengan meneliti penafsiran Mahmud

Yunus tentang corak pemikiran dan bagaimana aplikasi penafsirannya jika

16 Moleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-32 (Bandung: Rosdakarya,

2014), h. 6 17 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 248

12

dikontekstualisasikan pada masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.

Meneliti sosok tokoh Prof. Dr. Mahmud Yunus dengan menganilisis data

tentang nilai-nilai pemikiran kalam yang ada dalam tafsir Qur‟an Karim.

Metode analisis ini, peneliti gunakan untuk melihat.

3. Pendekatan Penelitian

Untuk pendekatan pengambilan data, penulis menggunakan metode

tahlili: yaitu membahas ayat-ayat al-Qur‟an dari segala segi dan

maknanya. Sedangkan pendekatan penelitian yang lain dengan pendekatan

historis-filosofis. Historis berarti akan ditelusuri dan dipotret perjalanan

metodologis tafsir Qur‟an Karim. Pendekatan filosofis dilakukan untuk

menelaah lebih jauh pemikiran dan penafsiran Prof. Dr. Mahmud Yunus

tentang nilai-nilai pemikiran kalam dalam tafsir Qur‟an Karim.

F. Sistematika Pembahasan

Supaya dalam penulisan skripsi ini, sesuai dengan judul yang telah

diajukan agar tidak rancu dalam pembahasannya maka, penulisan skripsi ini

akan di tuangkan dalam sistematika pembahasan, yang disusun dalam lima bab,

dimana masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai

topik-topik tertentu, sistematika pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:

Bab Satu, merupakan pendahuluan yang berisi: latar belakang

masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, kajian teori, metode penelitian, metode

pengumpulan data, analisa data, pendekatan penelitian, dan sistematika

pembahasan.

Bab Dua, menjelaskan mengenai khazanah pemikiran kalam, sejarah

perkembangan pemikiran kalam dan aliran-aliran pemikiran kalam, Syi‟ah,

Khawarij, Mu‟tazilah, Jabariyah, Qadariyah dan Ahlus Sunnah Wal

Jama‟ah.

13

Bab Tiga, memaparkan mengenai biografi Mahmud Yunus yang

meliputi riwayat hidup, aktivitas keilmuan, latar belakang penulis tafsir,

metode penafsiran, sumber penafsiran, sistematika penafsiran dan karya-

karya.

Bab Empat, membahas penafsiran Mahmud Yunus tentang iman

kepada Allah, penafsiran iman kepada malaikat, penafsiran iman kepada

rasul dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, penafsiran iman

kepada hari akhir, penafsiran iman kepada taqdir, corak penafsiran kalam

tafsir Mahmud Yunus dan pengelompokan ayat-ayat kalam.

Bab Lima, bab terakhir yakni bab penutup, merupakan kesimpulan dari

hasil penelitian yang mencakup atas keseluruhan dari isi karya ilmiah ini.

Kemudian disertai dengan saran-saran membangun, supaya dapat dijadikan

bahan referensi dan pelajaran pada penelitian selanjutnya.

14

BAB II

KHAZANAH PEMIKIRAN KALAM

A. Sejarah perkembangan pemikiran kalam

Secara harfiah kalam artinya perkataan atau percakapan.1 Sedangkan

secara terminologi bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan

tentang wujud Allah, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang

tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya dan

membicarakan tentang Rasul-Rasul Allah untuk menetapkan kebenaran

kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat

yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat

padanya.2

Beberapa ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda sesuai

dengan argumen mereka masing-masing tentang definisi Ilmu Kalam:

Menurut al-„Ijli Ilmu Kalam adalah Ilmu yang memberi kemampuan untuk

menetapkan aqidah agama (Islam) dengan mengajukan argument untuk

melenyapkan keraguan-keraguan. Menurut Ibn Khaldun Ilmu Kalam adalah

Ilmu yang mengandung argumen-argumen rasional untuk membela aqidah-

aqidah imanya dan mengandung penolakan terhadap golongan bid‟ah

(perbuatan-perbuatan baru tanpa contoh) yang didalam aqidah menyimpang

dari mazhab salah dan ahli sunnah.

Menurut Fu‟at al-Ahwani ilmu Kalam adalah memperkuat aqidah

agama dengan ajaran-ajaran yang rasional. Menurut Ibn Khaldun (1333-

1406) bahwa ilmu Kalam atau ilmu Tauhid ialah ilmu yang berisi alasan-

alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan

menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap

orang-orang yang menyeleweng dari kepercayan salaf dan ahlus Sunnah.3

Sedangkan menurut Hasbi al-Shiddieqy ilmu Tauhid ialah ilmu yang

membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan

mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli dan aqli. Ilmu

1 Murtadha Muthahhari, Mengenal Ilmu Kalam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h.

25. 2 Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 3. 3 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.

3.

15

kalam dikenal sebagai ilmu keislaman yang berdiri sendiri, yakni pada masa

khalifah al-Ma‟mun (813-833) dari Bani Abbasiyah. Sebelum itu

pembahasan terhadap kepercayaan Islam disebut al-fiqhu fi al-din sebagai

lawan dari al-fiqhu fi al-„ilmi.

Sesudah itu kemudian ulama-ulama Mu‟tazilah mempelajari buku-

buku filsafat pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma‟mun, maka mereka

mempertemukan sistem filsafat dengan sistem ilmu kalam, dan

menjadikannya ilmu yang berdiri sendiri di antara ilmu-ilmu yang ada, serta

menamakannya dengan nama ilmu kalam. Ada kalanya masalah yang paling

penting yang mereka bicarakan dan berselisih pendapat adalah masalah al-

kalam (Firman Allah) maka ilmu ini dinamakan dengan namanya. Ada

kalanya karena persesuaian mereka dengan ahli-ahli filsafat di dalam

memberikan nama ilmu mantiq (logika) di antara ilmu-ilmu mereka. Jadi

mantiq dan kalam adalah sinonim.4

Adapun ilmu ini dinamakan ilmu kalam, disebabkan:

1. Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad

permulaan hijriyah ialah apakah kalam Allah (al-Qur‟an) itu qadim atau

hadis. karena itu keseluruhan ilmu kalam dinamakan ini dinamai salah

satu bagian yang terpenting.

2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran ini

tampak jelas dalam pembicaraan para Mutakallimin. Mereka jarang

menggunakan dalil naqli (al-Qur‟an dan Hadis), kecuali sesudah

menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-

dalil pikiran.5

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah

tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga

lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika

Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga

tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu

4 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz I, (Kairo: Muassasah al-Halabiy, 1387 H atau

1968 M.), h. 22. 5 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.

3.

16

Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan

yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat

esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi

hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan

lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya

kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia

sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak

seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen.6

Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi

keilmuan kaum muslim. Terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu,

yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqa‟id (Ilmu Akidah-akidah, yakni kepercayaan,

Ilmu Tauhid yakni Ilmu tentang Kemaha-Esaan Tuhan dan Ilmu Ushul al-

Din Ilmu Pokok-pokok Agama. Di negeri kita, terutama seperti yang

terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang

Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan.

Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di

atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling

pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan,

masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu,

tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk

menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya

pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.

Sejarah munculnya ilmu kalam berawal sejak wafatnya Nabi

Muhammad SAW, timbullah persoalan-persoalan dikalangan umat islam

tentang siapakah pengganti Nabi (Khalifatul Rasul) kemudian persoalan itu

dapat diatasi setelah dibai‟atnya atau diangkatnya Abu Bakar As-Shiddiq

sebagai khalifah, setelah Abu Bakar wafat kekhalifahan dipimpin Umar bin

Khattab pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab umat islam tampak

tegar dan mengalami ekspansi seperti kejazirah Arabian, Palestina, Syiria,

sebagian wilayah Persia dan Romawi serta Mesir.

6 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 6.

17

Setelah kekhalifahan Umar bin Khattab berakhir maka Utsman bin

Affan menjadi Khalifah, Utsman termasuk dalam golongan Quraisy yang

kaya kaum keluarganya terdiri dari orang-orang Mekkah karena pengalaman

dagangnya mereka mempunyai pengetahuan administrasi. Pengetahuan

mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar

semenanjung Arabiah yang bertambah masuk kebawah kekuasaaan islam.7

Namun karena pada masa kekhalifahan Utsman cenderung kepada

nepotisme terjadilah ketidakstabilan dikalangan umat Islam dengan

banyaknya penentang-penentang yang tidak setuju kepada khalifah Ustman

puncaknya tewas terbunuh oleh pemberontak dari Kufah, Basroh dan Mesir.

Setelah Ustman wafat Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat terpilih

sebagai khalifah yang keempat tetapi ia segera mendapat tantangan dari

pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah seperti Thalhah, Zubair

dan Aisyah peristiwa ini dikenal dengan perang Jamal. Tantangan kedua

datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan yang juga ingin menjadi khalifah dan

menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Ustman.

Dari peristiwa-peristiwa tersebut munculah Teologi asal muasal sejarah

munculnya kalam. Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum

dikenal pada masa nabi Muhammad SAW, maupun pada masa sahabat-

sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-

ilmu ke-islaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak

membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (meetafisika). Kita tidak akan

dapat memahami persoalan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita

tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya, kejadian-

kejadian politis dan historis yang menyertai pertumbuhannya.8

B. Aliran-Aliran Pemikiran Kalam

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, aliran berarti haluan, paham

politik, aliran falsafah modern.9 Menurut istilah aliran kebatinan ialah

paham yang membentuk komunitas yang terdiri dari sejumlah orang dari

berbagai agamanya dan mengikatkan diri untuk bersepakat dalam nilai-nilai

7 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 7. 8 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 6-8. 9 Depertamen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesi, h. 962.

18

kehidupan berdasarkan keyakinan batin. Aliran-aliran pemikiran kalam

dalam islam kita bisa ketahui yaitu aliran Syi‟ah, Khawarij, Mu‟tazilah,

Qadariyah, Jabariyah, Murji‟ah dan Ahlus Sunnah.10

C. Aliran Syi’ah

Kata Syi‟ah berasal dari kata Arab yang mempunyai dua pengertian

yaitu menunjukkan arti “saling menolong” dan menunjukkan arti

“menyiarkan dan menyebarkan”. Ada juga yang mengatakan bahwa Syi‟ah

berarti sahabat atau pengikut. Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa term

Syi‟ah pada masa Nabi dipergunakan untuk menamakan empat sahabat

Nabi, yaitu Salman al-Farizi, al-Ghifari, Migdad ibn Aswad al-Kindi, dan

Amar ibn Yazer.11

Kata Syi‟ah dikemukakan dengan pengikut-pengikut „Ali

dan penolongnya.12

Para sejarawan berbeda pendapat dalam menentukan awal munculnya

Syi‟ah. Sebagian beranggapan bahwa Syi‟ah telah ada semenjak masa Nabi,

tepatnya pada peristiwa di Sagifah Bani Sa‟idah. Ada pula yang mengatakan

bahwa munculnya Syi‟ah di masa Usman, yang lainnya lagi mengatakan

bahwa ia muncul pasca tahkim dan terbunuhnya „Ali. Bahkan ada yang

mengatakan bahwa Syi‟ah baru lahir setelah peristiwa di Padang Karbala.13

Dalam perjalanan sejarah umat Islam kelompok Syi‟ah dinyatakan

sebagai mazhab politik yang pertama kali tampil dalam sejarah peradaban

Islam.14

Untuk mengetahui sebab-sebab munculnya dapat dilacak dari

serentetan peristiwa yang terjadi mulai hari-hari pertama meninggalnya

Rasulullah saw., yaitu pada peristiwa Saqifah, perang Jamal, perang Siffin,

dan tragedi Karbala. Secara historis, peristiwa Saqifah adalah peristiwa yang

tak terpisahkan dengan kemunculan Syi‟ah, sebagaimana disebutkan

sebelumnya bahwa dengan terangkatnya Abu Bakar al-Shiddiqi, ada

10 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,

1996), h. 43. 11 Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi‟ah. Rasionalisme dalam Islam, Cet II,

(Semarang: Ramadhani, 1990), h. 10. 12 Ihzan Ilahi Dzaher, al-Syi‟ah wa al Tasyim Firgun wa al-Thariq, (Pakistan: Idarat

alTarjuma‟i al-Sunnah, 1404/1994), h. 13. 13 Said Aqiel Siraj, Ahlussunnah Wal Jama‟ah, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 45. 14Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Diterjemahkan Oleh Abdurahman Dahlan

dan Ahmad Qarib dengan Judul “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”, Cet. I, (Jakarta: Logos

Publishing House, 1996), h. 34.

19

sebagian kelompok yang merasakan bahwa hak kekuasaan Ali ibn Abi

Thalib telah terampas.

Sejarah mengungkapkan bahwa pada waktu itu umat Islam terbagi

menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Anshar yang mencalonkan Saad ibn

Ubadah, golongan Muhajirin mencalonkan Abu Bakar, dan Bani Hasyim

mencalonkan Ali ibn Abi Thalib.15

Ini dapat dikatakan cikal bakal

tumbuhnya golongan Syi‟ah. Kalau dikembalikan pada penetapan istilah

Syi‟ah di atas golongan atau faksi yang menginginkan ‟Ali dan

keturunannya menjadi khalifah, maka peristiwa di Saqifah Bani Sa‟idah 632

M adalah awal dari kelahiran Syi‟ah yang sekaligus menjadi awal kekalahan

mereka. Sistem pemilihan khalifah pada saat itu dan kondisi sosiologis yang

benar-benar tidak menguntungkan pihak „Ali, di mana pemilihan itu

didasarkan pada sistem lama, yaitu mengikuti budaya patriarchal state, yang

memperhatikan masalah umur dan kelebihan-kelebihan individu yang

dimiliki.16

Di samping itu, para pendukung „Ali bin Abi Thalib yang mayoritas

berasal dari Arab Selatan banyak yang menyeberang ke pihak Abu Bakar

karena terjadi perpecahan di dalamnya.17

Versi lain mengatakan bahwa

golongan Syi‟ah muncul pada saat pemerintahan Usman ibn Affan dan

berkembang pada masa pemerintahan „Ali ibn Abi Thalib.

Pada masa ini dapat disebutkan sebagai zaman pertama kalinya terjadi

perang saudara, dan sekaligus zaman ini dapat juga disebut sebagai zaman

baru dalam sejarah perkembangan Syi‟ah.18

Setelah Ali ra. wafat (41 H atau

661 M.) terjadilah pertarungan berebut kekuasaan antara pendukung Ali ibn

Abi Thalib dengan pendukung Muawwiyah ibn Abi Sofyan yang jika dilihat

dari segi lokasi pendukung merupakan pertarungan antara penduduk Irak

(Ali) dengan penduduk Syiria (Muawiyah). Orang-orang Kufah menuntut

15 Nourouzaman Siddiq, Syi‟ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta:

PLP2M, 1995), h. 9. 16 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fatimiyah, (Mesir: Multazamah, 1958), h.

3. 17 S.H.M. Jafri, Dari Saqifah sampai Imamah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1985), h. 41. 18 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Diterjemahkan Oleh Abdurahman

Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”, Cet. I, (Jakarta:

Logos Publishing House, 1996), h.34.

20

agar jabatan keimanan tetap dipegang oleh keluarga Ali ibn Abi Thalib (ahl

al-Bait). Mereka merealisasikan tuntutannya dengan mengangkat Hasan

putra Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah (imam). Peristiwa pengangkatan

Hasan sebagai khalifah ini yang menjadi awal doktrin politik Syi‟ah.19

D. Aliran khawarij

Pengertian Khawarij berkaitan dengan predikat yang disandangkan

kepadanya yakni Khawarij itu sendiri, al-muhakkimah, syurah, al-mariqah

dan haruriyah. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja (خرج) yang berarti

keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.

Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu

didasarkan pada ayat 100 dari surah al-Nisa (4) yang di dalamnya

disebutkan: “keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”. Dengan

demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang

meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri

kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun teks yang dimaksud adalah:

“Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah

kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum

sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh tetap pahalanya di sisi

Allah.”

Nama lain dari Khawarij adalah al-muhakkimah yang berasal dari

semboyan mereka yang terkenal la hukma illa Allah (tiada Tuhan kecuali

hukum Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pembuat hukum kecuali

Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali. Yang

berhak memutuskan perkara hanya Allah swt. bukan arbitrase sebagaimana

19 Fazlur Rahman, Islam, (New York: Anchor Books, 1988), h. 208.

21

yang dijalankan oleh Ali.20

Namun ada juga yang mengemukakan bahwa

kaum Khawarij juga menyebut dirinya syurah berasal dari kata dasar yasyri

(menjual) yang berarti golongan yang mengorbankan (menjual) dirinya

untuk Allah.21

Khawarij dinamakan juga dengan al-mariqah karena dianggap telah

keluar dari agama, yang berasal dari kata maraqa yang berarti anak panah

keluar dari busurnya. Nama ini diberikan oleh lawan-lawan mereka. Nama

lain Khawarij adalah haruriah dari kata harura, salah satu desa yang terletak

di dekat kota Kufah Irak. Di tempat inilah mereka yang ada pada waktu itu

berjumlah dua belas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali

yang kemudian mengangkat Abdullah Ibn Wahab al-Rasyibi sebagai imam

mereka. Sebagai wujud rasa penyesalannya kepada Ali yang menerima

arbitrase tersebut.22

E. Aliran Mu’tazilah

Sejarah Munculnya Mu‟tazilah Diskursus yang banyak dan hangat

diperbincangkan pada abad pertama Hijriyah adalah masalah dosa besar dan

pembuat dosa besar. Pertanyaan tentang hal itu banyak diajukan kepada para

alim ulama. Hasan al-Bashri (692-728 M) seorang ulama besar di Irak, pada

suatu kesempatan mendapat pertanyaan dari salah seorang yang turut

mendengar pengajiannya. Sebelum sempat menjawab, seorang yang

bernama Washil bin Atha‟ menyatakan: “pembuat dosa besar tidak mukmin

dan tidak pula kafir”. Kemudian ia meninggalkan majelis gurunya dan

membentuk majelis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya.23

Aksi

inilah yang menimbulkan lahirnya Mu‟tazilah yang pada awalnya lahir

sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dilontarkan oleh

golongan Khawarij dan Murji‟ah. Nama Mu‟tazilah yang diberikan kepada

mereka berasal dari kata i‟tazala yang berarti “mengasingkan diri”.

20 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III, Cet. III, (Jakarta: PT. Ikhtiar

Baru Van Hoeve, 1994), h. 47. 21 Harun Nasution, Teologi Islam, Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), h.

13. 22 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 25. 23 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,

1996), h. 127.

22

Mu‟tazilah sendiri berasal dari akar kata i‟tazala yang berarti berlepas

diri, memisahkan diri, mengundurkan diri.24

Sedangkan Mu‟tazilah,

sebagaimana di dalam kamus al-Munjid: “suatu kelompok dari golongan

Qadariyah yang menyatakan diri menyimpang (bersikap netral) terhadap

kedua kubu yaitu Ahl al-Sunnah dan Khawarij.25

Dalam hal ini, Abu

Huzaifah Washil ibn “Atha‟ memisahkan dirinya, karena berlainan pendapat

dengan gurunya al-Hasan al-Basri, tentang orang Islam yang mengerjakan

maksiat dan dosa besar yang belum bertaubat sebelum mati.26

Para ahli berpendapat bahwa tokoh sentral alirah Mu‟tazilah adalah

Abu Huzaifah Washil ibn „Atha‟ al-Gazali, salah seorang murid al-Hasan

alBasri di Basrah. Mu‟tazilah timbul berkaitan dengan kasus Washil ibn

„Atha‟ dengan gurunya. Masalah itu muncul berawal dengan pemikiran

tentang pelaku dosa besar, yang oleh Khawarij dianggap telah kafir, dan

paham Murji‟ah berpendapat bahwa masih tetap mukmin. Wasil

berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar itu bukan

kafir dan bukan pula mukmin, tetapi mengambil posisi di antara kafir dan

mukmin.27

Aliran Mu‟tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang

dikenal dengan kerasionalannya dalam memaknai atau memberikan

pemahaman terhadap teks agama atau teks al-Qur‟an khususnya mengenai

ke-Tuhanan, kenabian dan keakhiratan dan selainnya yang masuk dalam

rukun iman dan seterusnya yang menjadi permasalahan inti dalam teologi,

seperti soal iman dan kufur, soal mukmin dan kafir. Siapa sebenarnya orang

yang dapat disebut sebagai orang mukmin dan siapa pula yang dapat disebut

sebagai orang kafir. Siapa pula sebenarnya muslim yang masih tetap dalam

Islam, dan siapa yang sudah dinyatakan keluar dari Islam. Di samping itu,

dalam teologi Islam juga dibahas tentang orang Islam yang mengerjakan

24 Abd. ibn Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab Indonesia Inggris, Cet. IV; (Jakarta:

Mutiara Sumber Widya 1974) , h. 186. 25 Louis Ma‟lout, al-Munjid al-Abjadiy, Cet. IV, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1985), h. 974. 26 Taib Tahir Abdul Muin; Ilmu Kalam, Cet. VIII, (Jakarta: Widjyah; 1986) , h. 102. 27 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1998), h. 63.

23

perbuatan haram (dosa besar dan dosa kecil). Bagaimana pula dengan orang

kafir yang mengerjakan kebaikan.

Mu‟tazilah sebagai salah satu aliran teologi rasional yang berangkat

dari tasdiq bi al-qalb wa ikrar bi al-lisan wa amal bi al-arkam, adalah aliran

yang pertama kali menciptakan ilmu kalam di dalam Islam. Mu‟tazilah

merupakan aliran teologi di dalam Islam yang mempersenjatai umat Islam

dengan senjata pemikiran, sehingga umat Islam memberikan suatu

pembelaan terhadap serangan-serangan secara filosofis yang datang dari

musuh-musuh mereka, yang mana dipersenjatai dengan alam pikiran filsafat

Yunani yang mengandalkan akal semata yang didasari atas nafsu dan

kepentingan ego. Mereka itu adalah kaum Yahudi, Nasrani, dan Majusi.28

Selanjutnya, pengikut dari ajaran Mu‟tazilah tidak menginginkan jika

alirannya diberi nama dengan nama Mu‟tazilah, kalau penamaan itu

dihubungkan dengan peristiwa i‟tizalnya Washil dari Hasan Basri. Mereka

lebih senang menamakan diri mereka dengan ahl al-Adl wa al-Tauhid.29

Namun demikian terlepas dari masalah penamaan aliran ini, ada tiga

tokoh besar yang menjadi pilar pendiri dan pengembangan ajaran rasional

ini, yakni al‟Allaf, al-Nazhzham dan al-Jubba‟i. Menurut al-Thabari30

kata

i‟tazala dan Mu‟tazilah sudah dipakai pada waktu pertikaian politik yang

terjadi di zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Mereka yang

tidak mau turut campur dalam pertikaian politik, mengasingkan diri dan

memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Menurut al-

Mas‟udi sebagaimana dikutip Nasution, golongan ini disebut kaum

Mu‟tazilah karena mereka mengatakan bahwa orang yang berdosa besar

bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara ke

dua posisi itu. Menurut versi ini, golongan ini disebut kaum Mu‟tazilah

28 Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Dar al-Kutub, 1975), h. 229. 29 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, Cet. V,

(Jakarta: UI Press, 1996), h. 38. 30 Lihat Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, juz IV (Bairut:

Dâr al-Fikr, 1987), h. 442.

24

karena membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak

masuk) golongan mukmin dan kafir.31

Tokoh-Tokoh Mu‟tazilah Aliran Mu‟tazilah banyak melahirkan

pemuka dan tokoh-tokoh penting. Hal ini tidak terlepas dari pusat

pengembangannya yang sangat strategis, yaitu kota Basrah dan kemudian di

Baghdad, yang merupakan pusat kekuasaan dan kiblat ilmu pengetahuan

dunia pada saat itu,32

di antara tokoh itu adalah:

Abu Huzail al-Allaf Nama lengkapnya adalah Abu Huzail Muhammad

ibn al-Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-Allaf abd al-Qais. Ia dinamakan

Al-Allaf karena tempat kelahiranya adalah Basrah (al-Allaf). Al-Allaf

dilahirkan pada tahun 135 H.33

Dan meninggal pada masa pemerintahan

khalifah al-Mutawakkil pada tahun 235 H.34

Abu Huzail al-Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran

Mu‟tazilah. Ia mengembangkan pandangan-pandangan Mu‟tazilah dan

meramunya dengan informasi-informasi baru. Atas prakarsa al-Allaf, tidak

sedikit lahir tokoh besar Mu‟tazilah. Ia lama berdomisili di kota Basrah. Ia

pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu. Ia diberi umur panjang,

hidup sekitar seratus tahun lamanya.35

Al-Allaf merupakan pemimpin Mu‟tazilah yang banyak berhubungan

dengan filsafat Yunani, pada masa mudanya sangat besar perhatiannya

kepada ilmu filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Banyaknya buku-buku Yunani pada saat itu karena pada masa Harun al-

Rasyid banyak orang yang dikirim ke Eropa untuk mencari manuskrip-

manuskrip Yunani untuk dibeli dan dikumpulkan di Baghdad dan kemudian

diterjemahkan. Kemudian pada zaman pemerintahan putranya, al-Ma‟mun

31 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, Cet. V,

(Jakarta: UI Press, 1996), h. 39. 32 Quraish Shihab (ed), Eksklopedi Islam, Juz. III, Cet. III; (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van

Hove, 1994), h. 293. 33 Ali Mustafa al Ghurabiy, Tarikh al-Firq al-Islamiyah (Mesir: Maktabah wa Mat‟baah

Muhammad Ali Sabihiy wa Awladu, t. th), h.148. 34 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.

53. 35Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiqu, Jus. II,

diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul “Aliran dan Teologi Filsafat Islam”,

Cet. I; (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 53.

25

penerjermah diintensifkan dan dibentuk Bayt al-Hikmah dibawah pimpinan

Hunain ibn Ishaq.36

Di sisi lain semua perbuatan maksiat yang bisa saja Allah

memerintahkannya maka perbuatan itu menjadi buruk karena adanya

larangan sedangkan perbuatan maksiat yang Allah tidak mungkin

membolehkannya, maka perbuatan itu buruk karena dirinya sendiri, seperti

tidak mengetahui Tuhan dan meyakini bukan Tuhan sebagai Tuhan.

Demikian juga semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan kecuali karena

perintah Allah, maka perbuatan itu menjadi baik karena diperintahkan, dan

semua perbuatan yang semestinya diperintahkan Allah, maka perbuatan itu

adalah baik karena dirinya sendiri.37

Ajaran-ajaran Abu al-Huzail merupakan kelanjutan dari ajaran Washil

bin Atha tentang peniadaan sifat Tuhan. Dan kemampuan akal manusia

mengetahui masalah-masalah ke-agamaan.38

Pertama, Tuhan adalah Maha

Sempurna. Olehnya itu, Tuhan itu tidak bisa tidak berbuat baik. Tuhan tidak

menghendaki kecuali hal-hal yang baik bagi manusia. Asumsi ini

melahirkan paham al-Shalih wa al-Ashlah. Menurut al-Huzail, betul Tuhan

mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan mengetahui dengan

pengetahuannya. Dan pengetahuannya adalah zat-Nya.39

Kedua, menurut al-

Huzail, akal dapat mengetahui dua masalah dasar dan pokok dalam tiap-tiap

agama yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa

akal manusia dapat:

a. Mengetahui adanya Tuhan

b. Mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan

c. Mengetahui apa yang baik dan buruk

36 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet. IV; (Bandung: Mizan,

1996), h. 131. 37Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, alih bahasa Abdurahman

Dahlan dan Ahmad Qarib dengan Judul “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”, Cet. I, (Jakarta:

Logos Publishing House, 1996), h.155. 38 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.

131. 39 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Cet. IV; (Bandung: Mizan,

1996), h. 132.

26

d. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya

menjauhi perbuatan jahat.40

Ia berpendapat bahwa konotasi sifat itu selalu saja negatif. Jadi, Allah

Maha Tahu berarti mempositifisir zat-Nya tetapi menegaskan ketidak

mampuan dari-Nya. Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang lain.

Perbedaan sifat-sifat Tuhan itu disebabkan oleh perbedaan kebalikan dari

sifat itu yang menegaskan dari Allah. Perbedaan itu sama sekali tidak

mengakibatkan Allah berbilang, karena sifat.41

Abu „Ali al-Jubba‟i Namun nama lengkapnya adalah Abu „Ali

Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Salam ibn Khalid ibn „Imran ibn Abban

Maula Usman ibn Affan ra. Ia dilahirkan di daerah Jubbah pada tahun 230 H

dan wafat pada tahun 303 H. pada bulan Sya‟ban.42

Al-Jubba‟i adalah tokoh

besar terakhir dari kalangan Mu‟tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di

Basrah. Ia belajar pada ayahnya sendiri.43

Abu Huzail dipadukannya dengan pengetahuannya tentang filsafat dan

setelah dirasa sudah mulai matang lalu dituliskan sebuah buku yang

berjudul Usul al-Khamzah sebagai suatu karya monumental dan merupakan

pegangan para pengikut Mu‟tazilah.44

Kelima dasar utama dimaksud adalah

sebagai berikut :

1. al-Tauhid;

2. al-„Adlu;

3. al-Wa‟du wa al-Wa‟id;

4. al-Manzilat bain al-Manzilatain;

5. al-Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahyi „an al-Munkar.45

40 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Dan Perbandingan,

Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), h. 45. 41 Ibrahim Makdour, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiqu, Jus. II,

diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan judul “Aliran dan Teologi Filsafat Islam”,

Cet. I; (Jakarta: Bumi Aksara,1995), h. 56. 42 Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Islamiyah wa Nasyat Ila Kalam (Kairo: Muhamad Ali

Sabih Press, t.th.) h. 218. 43 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Dan Perbandingan,

Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), h. 50. 44 Muhammad Hasbi, Ilmu Kalam , Cet. I, (Yogyakarta: Trustmedia, 2015), h. 71. 45 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III; (Kairo: Matabah al-Nahdah al-Mishriyah,

1952), h. 22.

27

Sistematika ajaran dasar ini tidak disusun berdasarkan kronologis

kemunculannya, tetapi disesuaikan dengan tata aturan menurut klasifikasi

intensitasnya dan keterkaitannya antara satu sama lainnya. Secara harfiah,

al-Usul al-khamsah yang berarti lima pokok atau lima asas. Lima asas

tersebut menjadi pegangan kaum Mu‟tazilah karena orang yang diakui

menjadi pengikut atau penganut Mu‟tazilah hanyalah orang yang mengakui

dan menerima kelima asas tersebut. Kelima dasar atau ajaran Mu‟tazilah ini

adalah merupakan pengembangan yang dilakukan oleh murid-murid atau

pengikut-pengikut terhadap Wasil ibn „Atha‟ setelah melalui proses

modifikasi terhadap unsur lain maka lahirlah ajaran dasar dan baku bagi

aliran Mu‟tazilah yang dikenal dengan al-Usul al-khamsah, sedang Wasil

ibn‟Atha‟ sebagai pendiri aliran ini telah meletakkan tiga ajarannya sebagai

dasar pertama dalam bidang teologi, yaitu Nafi al-Sifat, Qadar dan al-

Manzilah bain al-Manzilatain46

F. Aliran Jabariyah

Pengertian Jabariyah menurut etimologi kata Jabariyah berasal dari

kata جبر berarti pemaksaan, atau aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar

bagi manusia.47

Sedangkan menurut istilah atau terminologis dikalangan

para ahli teologi adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa

manusia dipaksa oleh Tuhan atau tidak mempunyai kekuasaan dan pilihan

sama sekali.48

Atau manusia dalam kehidupannya serba terpaksa (majbur).

Pemimpin yang pertama adalah Jaham bin sofwan. Karen itu kadang-

kadang aliran ini disebut al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak

persamaannya dengan aliran Qurro‟ agama Yahudi dan aliran Ya‟cubiyah

ajaran Kristen. Mula-mula Sofwan adalah juru tulis dari seorang pemimpin

bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar dan bembeerontak

didaerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Orang-orang

Jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar,

46 Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz, I, (Kairo: Muassasah al Halabiy, 1968), h.

49. 47Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-

Munawwir, 1984), h. 177. 48 Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Ihktiar Baru-van Hoeve, 1982), h. 1532.

28

merupakan kebalikan dari paham Qadariyah yang mana semua gerak

manusia dipaksa adanya kehendak Allah Swt.

Dalam segi tertentu Jabariyah dan Mu‟tazilah mempunyai kesamaan

pendapat, misalnya tentang sifat Allah Swt tidak bisa dilihat diakhirat kelak,

al-Qur‟an itu makhluk dan lain sebagainya. Jaham bin sofwan mati terbunuh

oleh pasukan Bani Umayah pada 131 H.49

Pembahasan surga atau neraka itu

bukan sebagai ganjaran atau kebaikan yang diperbuat manusia sewaktu

hidupnya dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan neraka

itu semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah Swt dalam qadrat dan iradat-

Nya. Kalau manusia tidak diserahi qadrat dan iradat sendiri dalam

mewujudkan usahanya dan Allah Swt saja yang menanggung qadrat dan

iradat yang menentukan perbuatan manusia tersebut hal itu sulit diterima.

Ibaratnya orang yang diikat lalu dilemparkan ke dalam laut, seraya

diserukan kepadanya: “jagalah dirimu, jangan sampai tenggelam ke dalam

air.”Akan tetapi paham Jabariyah ini melampaui batas, sehingga

mengitikadkan bahwa tidak berdosa kalau berbuat jahat, karena yang

berbuat itu pada hakikatnya Allah Swt. Kesesatannya mereka berpendapat

bahwa orang itu mencuri, maka Tuhan pula yang mencuri, bila orang shalat

maka Allah Swt juga yang sholat. Jadi kalau orang berbuat buruk atau jahat

maka Tuhan tidak adil. Karena apapun yang diperbuat manusia, kebaikan

atau keburukan tidak satupun terlepas dari qadrat dan iradat-Nya.50

Mayoritas kaum muslimin menolak paham jabariyah ini karena dapat

menyebabkan orang menjadi malas, lalai dan menghapuskan tanggung

jawab, dengan ayat tersebut al-Qur‟an al-Karim menolak pendapat-pendapat

yang dangkal itu.51

Ayat tersebut sebagai berikut.

49 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 143. 50 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 144. 51 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 148.

29

Artinya: “Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah

sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu", Maka orang-orang

yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah Kami

akan memberi Makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki

tentulah Dia akan memberinya makan, Tiadalah kamu melainkan dalam

kesesatan yang nyata".

G. Aliran Qadariyah

Menurut bahasa kata Qadariyah berasal dari kata, يقدقدر artinya قدرا

memutuskan, menentukan.52

Jadi asal kata Qadariyah mempunyai dua

pengertian. Yang pertama berarti menentukan. Dari kata inilah diambil kata

“taqdir”, sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Sedangkan yang kedua

berarti kekuatan dan kekuasaan. Yang kedua inilah yang identik dengan

paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki kekuatan

dan kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri. Kemudian menurut

istilah yang dipakai oleh ahli teologi ialah manusia mempunyai kebebasan

dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Atau

manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.53

Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh

ma‟bad al-Juhni al-Bisri dan Ja‟ad bin Dirham pada masa pemerintahan

khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Latar belakang timbulnya

qadariyah sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik bani umayyah

yang dianggapnya kejam. Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka

mengatakan bahwa kalau Allah Swt itu adil maka Allah Swt akan

menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang

berbuat baik. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri

dengan memilih perbuatan yang baik atau buruk. Jika Allah Swt telah

52 Yunan Yusuf. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka

Panjimas, 1990. h. 57. 53 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Dan Perbandingan,

Cet. II, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002) , h. 33.

30

menentukan terlebih dahulu nasib manusia maka Allah Swt itu zolim.

Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya.54

Ajaran-ajaran Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup

sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban

umum. Ma‟bad al-Juhni dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia

sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80 H/690 M). Setelah peristiwa ini

maka pengaruh paham qadariyah semakin surut akan tetapi dengan

munculnya aliran mu‟tazilah dapat diartikan sebagai menjelmaan kembali

faham-faham Qadariyah. Sebab keduanya terdapat persamaan filsafat.

sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan

manusia yang baik itu berasal dari Allah Swt sedangkan perbuatan buruk

manusia itu manusia sendiri yang melakukannya tidak ada sangkut pautnta

dengan Allah Swt.55

Oleh karena itu, jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga

di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semuanya itu adalah atas

pilihannya sendiri. Adapun alasan argumentasi golongan yang berfaham

Qadariyah dalam memperkuat pahamnya atau argumentasinya sering

dipakai dalil naqli atau QS. al-Ra‟ad: ayat 11 yaitu:

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya

bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah

Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga

mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila

Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang

dapat menolaknya: dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain

Dia.”

54 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 139. 55 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 140.

31

Perbedaan antara Jabariyah dan Qadariyah tentang qudrat. Ada qudrat

(kekuasaan) Allah dan ada pula qudrat manusia. Kalau usaha manusia tidak

berhasil, mungkin karena dia tidak atau belum mengetahui bagaimana qadar

Allah. Dalam kekeliruannya menentukan sebab-akibat, berlakulah qadha

Tuhan. Kalau usaha tidak sesuai dengan qadar Allah, ia tak akan berhasil.

Dengan demikian qudrat manusia terbatas dalam mencari sebab dan

menjalankannya. Apabila sesuai dengan qadar Allah berhasillah dia.

Apabila tidak berlakulah qadha Tuhan.56

Tentang Qadar baik dan buruk berasal dari Allah ada 2 tafsiran :

1. Tiap perbuatan baik dan buruk berasal dari Allah (inti ajaran

Jabariyah).

2. Yang dimaksud dengan qadar adalah ukuran atau norma (kaidah atau

peraturan). Apa dan bagaimana norma-norma baik dan buruk, itu

Tuhan-lah yang menentukan (inti ajaran Qadariyah).57

H. Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah berasal dari kata-kata: Ahlun

berarti golongan atau pengikut. Al-Sunnah berarti tabi‟at, perilaku, jalan

hidup, perbuatan yang mencakup ucapan, tindakan dan ketetapan rasulullah

Saw. Wa huruf „athf yang berarti dan atau serta. Al-jama‟ah berarti jama‟ah

yakni jama‟ah para sahabat Rasul Saw maksudnya ialah perilaku atau jalan

hidup para sahabat. Secara etimologis istilah “Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah”

berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw dan

jalan hidup para sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada

sunnah Rasul dan sunnah para sahabat, lebih khusus lagi shabat yang empat

yaitu, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan „Ali

bin Abi Thalib.58

Para sahabat, khususnya yang empat generasi pertama dan utama

dalam melazimi perilaku Rasulullah Saw, sehingga jalan hidup mereka

56 Sidi. GPAAI (pandangan menyeluruh tentang ajaran islam), cet. I, (Jakarta : Bulan

Bintang: 1974), h. 69. 57 Sidi. GPAAI (pandangan menyeluruh tentang ajaran islam), cet. I, (Jakarta : Bulan

Bintang: 1974), h. 71. 58 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 187.

32

praktis merupakan penjabaran nyata dari petunjuk al-Qur‟an dan Sunnah.

Setiap langkah hidupnya praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang

terkandung dan terkehendaki oleh ajaran islam, serta mendapat petunjuk dan

kontrol langsung dari baginda Rasulullah Saw. Oleh karena itu jalan hidup

mereka relatif terjamin kelurusannya dalam mengamalkan ajaran islam

sehingga jalan hidup mereka pulalah yang palin tepat menjadi rujukan

utama setelah jalan hidup Rasulullah Saw. Dalam hadis diter angkan: ر القرون ق رن الذي بعثت فيهم ث الذين ي لون هم ث الذين ي لون هم خي

)متفق عليو(

"Sebaik-baik periode adalah periode hidupku yang mana aku (Nabi)

diutus kepada mereka, kemudian disusul periode sesudah mereka (sahabat)

dan kemudian periode berikutnya lagi (tabi‟in)." Ada dua pendapat mengenai hadis ini, pertama periode seratus

pertama dari masa hidup Nabi Muhammad Saw abad I H. kemudian seratus

tahun kedua abad II H dan disusul seratus tahun berikutnya abad III H. hal

ini didasarkan pada pengertian qarnun yaitu abad atau hitungan 100 tahun.

59Kedua adanya pendapat bahwa qarnun tidak diartikan dengan perhitungan

100 tahun, tetapi yang dimaksud ialah suatu situasi yang mana ajaran-ajaran

islam secara kaffah, integral dan komperhensif diamalkan oleh pemeluk-

pemeluknya. Hal ini hanya terjadi pada masa hidup Nabi Saw, masa

khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Pasca masa tersebut

mulai timbul adanya konflik-konflik politik dan diikuti oleh perbedaan

paham keagamaan yaitu masa akhir khalifah Utsman bin „Affan dan

seterusnya.60

Maka tepatlah definisi Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah yang dikemukakan

oleh Abu Fadl bin Al-Syekh „Abd Al-Syakur al-Sanuri dalam kitabnya “al-

Kawakib al-Lamma‟ah fi tahqiq al-Musamma bi Ahlus Sunnah Wal

Jama‟ah” bahwa yang di maksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah ialah

59 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,

1996), h. 86. 60 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,

1996), h. 88.

33

golongan yang senantiasa berpegang teguh mengikuti sunah Rasul Saw dan

petunjuk para sahabatnya baik dalam lingkup akidah, ibadah maupun

akhlak.

Adapun wujud konkretnya Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah tidak lain ialah

golongan yang senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk al-Qur‟an dan

al-Sunnah. Artinya dalam segala hal selalu merujuk kepada al-Qur‟an dan

Sunnah. 61

Mengenai batasan paham Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah para ulama

merujuk kepada beberapa dalil naqli.62

Diantaranya: رسول هللا صلى الل عليو وسلم: اف ت رق الي هود على إحدى عن أب ىري رة قال: قال

ت ي وسبعي فرقة ت ي وسبعي فرقة، وت فرقت النصارى على إحدى أو ثن .أو ثن

ت )رواه األربعة( رقة على ثالث وسبعي ف وت فتق أم

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu, ia berkata: “Rasulullah

Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda, „Kaum Yahudi telah terpecah

menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan,

dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh

puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh

tiga (73) golongan.”(HR. abu dawud, al-tirmidzi,al-nasa‟i, ibn majah)63

Hadis ini tidak secara tegas menyatakan adanya golongan yang

disebut “Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah” akan tetapi baru diisyaratkan akan

terpecahnya umat rasulullah Saw, menjadi 73 golongan, maka golongan

Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah berarti salah satu dari ke-73 golongan tersebut.

Hadis lain yakni:

61 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 188. 62 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 190. 63 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Daud, Juz 2, (Beirut: daar

al-Kutub al-„Arabi, 1988), no. 2410, juz 2, kitab ke-14 dan bab ke-43, h. 251.

34

عليو وسلم: اف ت رقت الي هود على عن عوف بن مالك قال: قال رسول هللا صلى الل

ت ي إحدى وسبعي فرقة ف واحدة ف عون ف النار واف ت رقت النصارى على ثن النة وسب

د بيده عون ف النار وواحدة ف النة والذي ن فس مم وسبعي فرقة فإحدى وسب

ت على ثالث وسبعي ف عون ف النار، قيل: لت فتقن أم تان وسب رقة واحدة ف النة وثن

.ي رسول هللا من ىم؟ قال: الماعة)رواه الطرباىن(

Terjemahan hadis tersebut secara langsung menyebutkan kata “Ahlus

Sunnah Wal Jama‟ah” sebagai satu-satunya golongan yang dinyatakan bakal

selamat bisa masuk surga. Berdasarkan kedua hadis tersebut, jelaslah

bahwa. “Umat islam akan terpecah ke dalam banyak golongan sebagaimana

umat Yahudi dan Nasrani. Diantara 73 golongan itu terdapat satu golongan

yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa

mengikuti jejak hidup Rasulullah Saw dan jejak hidup para sahabatnya. Dan

golongan yang selamat (masuk surga) itu ialah golongan Ahlus Sunnah Wal

Jama‟ah.”64

Ada dua orang ulama Ahlus Sunnah yaitu:

1. Imam Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-

Maturidi as-Samarkhani.65

Dia hidup di Samarkand 238-333H/852-

944 M, masih bersisilah dengan sahabat besar Abu Ayyub Khalid bin

Zaid bin Kulaib al-Anshari yang rumahnya pernah disinggahi

rasulullah Saw, ketika perjalanan hijrah ke Madinah. Kealimannya

agak general, sekalipun yang menonjol tetap bidang teologi. Kitab

bakunya dalam bidang ini ialah Kitab at-Tauhid terdiri dari 400

halaman lebih. Dalam bidang fiqih dan bermazhab hanafi.

64 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

h. 192. 65 Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; Bandung: Mizan,

1996), h. 134.

35

2. Imam Abu Hasan Ali bin Isma‟il al-„Asy‟ari, masih bersisilah dengan

sahabat besar Abu Musa Al-Asy‟ari. Dia lahir di kota Basyrah 260-

330 H/873-945 M. Memiliki karangan-karangan dalam bidang teologi:

maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musahhalin, al-luma‟ fi raddi Ahl

al-Zaighi wal bida. Dalam mazhab fiqih ia bermazhab syafi‟i. Teologi

al-Asy‟ari memperoleh kemajuan yang pesat karena dukungan

penguasa khalifahal-Mutawakkilin (237-247 H/817-861M) dari bani

Abbasiyah dan Wazir dari bani Slajuk Nizham al-Mulk, wafat 403

H/1013 M. Kemudian disebarluaskan oleh ulama-ulama terkenal

antara lain: al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi,

al-Syahratani dan al-Sanusi.66

Ketokohannya sebagai teologi sunni,

Fathullah Khalif menjelaskan:“Imam al-Zubaidi pernah berkata:

ketika dikatakan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah maka yang dimaksud

adalah para pengikut Imam Asy‟ari dan Imam Al-Maturidi”67

Al-Maturidi dipandang sebagai pendiri Kalam Sunni yang pertama.

Hal ini didasarkan bahwa Al-‟Asy‟ari (260 -330 H) mula-mula berpaham

Mu‟tazilah, baru setelah berusia 40 tahun (300 H) dia tinggalkan paham

Mu‟tazilah dan kemudian bergabung kepada Sunni. Sedangkan Al-Maturidi

(24 8-333 H) yang umurnya 12 tahun lebih tua dan meninggal lebih

kemudian tidak pernah secara resmi berpaham Mu‟tazilah.68

Kelima aliran yang telah dijelaskan diatas akan digambarkan dalam

sebuah kehidupan sehari-hari kita oleh Hartono ahmad jaiz. Dialah yang

menciptakan manusia dengan segenap ketentuan yang ada padanya dan

menganugerahi kebebasan dalam berniat, berpikir, bercakap, beraksi atau

berikhtiar sesuai kehendakNya untuk menyetir nasibnya sendiri. Kelima

aliran yang dimaksud adalah:

1. Qadariyah. Penganut faham ini berpendapat bahwa nasib dan perjalanan

hidup manusia sepenuhnya terletak pada usaha dan kekuatannya sendiri.

66 maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-musahhalin, (Madinah: al-Jami‟ah al-Islamiyah,

1395 H). 67 Fathullah Khalif, dalam muqaddimah, kitab At-Tauhid, (Qatar: Daar al-Jami‟at al-

Qattariyah, tt), 51. 68 68 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1996), h. 278.

36

Bukan pada takdir. Dengan daya kapasitas yang dimilikinya ia akan

mampu mewujudkan segala hasrat dan kehendaknya dalam bentuk

perbuatan-perbuatan.

2. Jabariyah. Pandangan mereka berlawanan dengan Qadariyah. Yaitu

bahwa seluruh ikhtiar dan sepak terjang manusia, tuhanlah yang

menciptakan, menentukan dan “menentukan dan memaksanya‟‟ mansuia

hanyalah “robot” tang tak berdaya,tak punya alternatif dan kekuasaan

untuk mewujudkan kehendaknya. Tinggal secara terpaksa sesuai dengan

keinginan dan skenario agung sang pencipta.

3. Mu‟tazilah. Fahamnya boleh dikata sama dengan Qadariyah dalama hal

kebebasan mutlak manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Hanya saja

bahwa selain itu ada juga yang perbuatan munculnya spontan,dalam arti

tidak “tercatat” dalam rencana dan kehendak manusia.misal saja,gerak

refleks atau gerak otomatis atau yang terjadi dengan seandirinya.

4. Maturidiyah. Dalam masalah ini, serupa pendapat mereka Qadariyah dan

Mu‟tazilah atau minimal lebih condong kesana.

5. Ahlus-sunah wal-jama‟ah (aswaja). Golongan moderat dan kompromistis

ini berupaya mengambil jalan tengah antara Qadariyah dan Jabariyah.

Mereka berpendirian bahwasanya manusia wajib berikhtiar dan berusaha

sekua-kuat usaha untuk memanifestasikan segala hasrat dan kemauannya,

namun tidak akan pernah terlepas dari takdir tuhan. Ia dapat “meloncat”

dari satu takdir ke takdir lainnya, umpama dengan bantuan doa dan upaya

habis-habisan. Misalnya koruptor yang bertobat 7 turunan (taubat

nasuha) dan mengembalikan semua hasil jarahannya, kembali jadi

manusia yang soleh.69

69 Hartono ahmad jaiz, Rukun Iman Diguncang, Pertentangan Faham Harun Nasution, (

Jakarta: Pustaka An-Naba‟) h. 39.

37

BAB III

MENGENAL TOKOH MAHMUD YUNUS

A. Kondisi Sosial Keagamaan Mahmud Yunus

Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 Masehi.

Bertepatan dengan tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah di desa Sungayang

Batu Sangkar Sumatera Barat. Ia wafat pada tanggal pada hari sabtu tanggal

16 Januari 1982 M bertepatan 20 Rabi‟ul Awal 1402 H.1

Tanah kelahiran Mahmud Yunus berada kurang lebih 7 KM dari Kota

Batusangkar sebagai pusat ibu kota Kabupaten Tanah Datar dan 12 KM dari

Nagari Pagaruyung sebagai pusat Kerajaan Minangkabau dahulunya. Secara

adat dan budaya, tanah kelahiran beliau ini senantiasa memegang teguh

nilai-nilai adat dan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Mahmūd Yūnūs

dilahirkan dari keluarga terkemuka di Nagari Sungayang dan memiliki

nuansa keagamaan yang kuat. Ayahnya adalah seorang petani bernama

Yunus bin Incek dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah binti M

Thahir dari suku Chaniago. Disamping itu Yunus bin Incek juga dikenal

sebagai seorang yang jujur dan lurus. Ibu Mahmud Yunus adalah seorang

yang buta huruf karena tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah,

apalagi di desanya belum ada sekolah. Namun ia dibesarkan dalam

lingkungan yang islami. Ibu Hafsah bernama Doyan binti Muhammad Ali,

sedangkan kakek Hafsah bernama Syekh Muhammad Ali, bergelar Engku

Kolok.2

Dengan demikian secara silsilah Mahmud Yunus boleh dikatakan

adalah keturunan dari seorang ulama di Sungayang. Hafsah mempunyai

keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain tradisional

Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat.3

Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan

kecenderungannya yang kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam.

1 Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching,

2005), h. 336. 2 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:

Djambatan, 1992), h. 592. 3 Mahmud Yunus, Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, (Jakarta: Hidakarya

Agung, 1982), h. 5.

38

Melihat hal itu, saudara lelaki Hafsah (ibu Mahmud Yunus) bernama

Ibrahim dengan gelar Dt.Sinaro Sati seorang saudagar kaya di Batusangkar

pada masa itu sangat memperhatikan bakat serta kecerdasan Mahmud

Yunus. Ibrahim yang mendorong Mahmud Yunus untuk melanjutkan

pendidikan dan belajar ke luar negeri dengan disertai sokongan perbelanjaan

untuk keperluan itu. Hal ini memberikan gambaran tanggung jawab seorang

saudara lelaki kepada ibu (di Minangkabau disebut dengan “mamak”).4

Dukungan ekonomi dari sang mamak, juga disertai dorongan dari

orang tuanya, maka Mahmud Yunus sejak kecil hingga remaja hanya

dilibatkan dengan keharusan untuk belajar dengan baik tanpa harus ikut

memikirkan ekonomi keluarga dalam membantu orang tuanya mencari

nafkah, meskipun Mahmud Yunus adalah satu-satunya anak laki-laki dalam

keuarganya, dan bersamanya seorang adik perempuan bernama Hindun.

Sedangkan ayahnya telah meninggal dunia ketika Mahmud Yunus masih

kecil dan belum mumayyiz. Sedangkan dalam kehidupan rumah tangganya.

Mahmud Yunus tercatat pernah menikah dengan lima orang istri,

yaitu:5 Istri pertamanya bernama Hj. Darisah binti Pangeran dari

Payakumbuh dan mempunyai satu orang anak laki-laki yang bernama Prof.

Dr. H. Kamal Mahmud, S.H. Istri kedua bernama Hj. Djawahir yang juga

berasal dari Payakumbuh dan mempunyai lima orang anak yaitu: Hj.

Djawanis, Hafni, H. Fachrudin, Drs. H. Hamdi dan Elly. Istri ketiga adalah

Karminah dan mempunyai satu orang anak bernama Amlas. Ketiga istri

Mahmud Yunus tersebut dinikahinya sebelum berangkat ke Mesir, maka

pada waktu pergi belajar ke Mesir, Mahmud Yunus menceraikan istri yang

pertama yaitu Darisah binti Pangeran. Istri keempat bernama Hj. Nurjani

binti Jalil dari Padang dengan anak-anaknya bernama Fachri Mahmud, S.H,

Hj. Suraiya. Dr. Neszli Harmaini, Hj. Sufna dan Ir. Fachran. Mahmud

Yunus menikahi Hj. Nurjani setelah kembali dari Mesir. Istri yang kelima

adalah Hj. Darisah binti Ibrahim yang mempunyai enam orang anak yaitu

4 Fauzan Masyhudi, Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Konsep Pendidikan Islam, Jurnal

Tarbiyah, vo. 21, no. 1, (2014), h. 52. 5 Malta Rina, Artikel: “Pemikiran dan Karya-karya Prof. Dr. Mahmud Yunus tentang

Pendidikan Islam”, (Padang: Ilmu Sejarah Pasca Sarjana UNAND, 2011), h. 6.

39

Sufni (yang meninggal ketika masih bayi), Drs. H. Yunus Mahmud, Dr. H.

Hamdi, Hj. Elina, Mahdiarti dan Chairi. Hj. Darisah binti Ibrahim sendiri

adalah anak dari mamak Mahmūd Yūnūs sendiri yaitu Ibrahim Dt. Sinaro

Sati. Berdasarkan data diatas, dari lima orang istri, beliau memiliki anak

sebanyak 18 orang.

B. Aktivitas Keilmuan

Sejak kecil Mahmud Yunus sudah memperlihatkan minat dan

kecenderungannya yang kuat untuk memperdalam ilmu agama Islam.

Ketika berumur 7 tahun ia belajar membaca al-Qur‟an di bawah bimbingan

kakeknya, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali dengan gelar Engku

Gadang.6 Kebetulan kakek beliau itu (saudara lelaki dari Doyan binti

Muhammad Ali atau ibu Hafsah) memiliki surau, yang bernama Surau

Talang. Di surau inilah ia tahu bagaimana cara shalat, puasa dan membaca

al-Qur‟an dengan benar. Berkat ketekunannya dalam waktu kurang dari satu

tahun ia pun dapat menamatkan al-Qur‟an.

Selepas khatam al-Qur‟an, beliau pun dipercaya oleh datuknya

menjadi guru pembantu untuk mengajar anak-anak yang menjadi pelajar

pada peringkat awal atau rendah sambil beliau mempelajari dasar-dasar tata

bahasa Arab (ilmu sharaf) dengan kakeknya. Pada tahun 1908, dengan

dibukanya sekolah desa oleh masyarakat Sungayang, Mahmud Yunus pun

tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu ibunya

untuk belajar ke sekolah desa tersebut. Setelah mendapat restu dari ibunya

untuk belajar ke sekolah desa tersebut. Tahun pertama sekolah desa

diselesaikannya hanya dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh

penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya.

Di kelas tiga Mahmud Yunus menjadi siswa terbaik bahkan ia

dinaikkan ke kelas empat. Ia merasa bosan belajar di sekolah desa, Karena

pelajaran sebelumnya sering di ulang-ulang pada saat bosan itu ia

mendengar kabar bahwa H.M. Thaib umar membuka Madrasah (sekolah

6 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2005), h. 57.

40

agama) di surau Tanjung penuh Sungayang dengan nama Madras School

(Sekolah Surau).7

Bertepatan pula pada masa yang bersamaan, Syekh Haji Muhammad

Thaib Umar (tokoh mujaddid dari Minangkabau dan beliau termasuk

sebagai Kaum Muda atau Reformis) membuka Madras School (Sekolah

Surau) di Surau Tanjung Pauh Sungayang. Di madrasah ini Mahmud Yunus

mempelajari berbagai pelajaran, antar lain: Fath Al-Qarib, Iqna‟, Fath al-

Wahhab, Fath al-Muin, Alfiyah Ibnu Aqil, Taftazani, Umm al Barahin, al-

Jauhar al-Maknun, Talkhish, Jam‟u al-Jawami, Ihya Ulumuddin dan

Minhaj al-A‟bidin, ilmu nahwu (menggunakan Kitab Durul al-Nahwiyah),

ilmu sharaf (menggunakan papan tulis saja tanpa kitab) berhitung (menurut

sistem ahli hisab Arab atau sistem faraidh) dan bahasa Arab. Siang belajar

di Madras School hingga zuhur, selepas zuhur sampai malamnya belajar

ilmu fiqh, yaitu Kitab Fath al-Qarib. Pada tahun 1913 M, Mahmud telah

menjadi guru pembantu yang telah telah mempunyai murid 5-6 orang.

Mahmud Yunus bukan saja mengajarkan kitab-kitab yang telah

dipelajarinya, bahkan juga mengajarkan kitab-kitab yang belum pernah

dipelajarinya sama sekali. Sekalipun kitab-kitab yang cukup berat untuk

ukuran seusianya seperti: al-Mahalli, alfiah Ibnu „Aqil dan Jam‟u al-

Jawami‟.8

Oleh karena itu, setelah beliau berkesempatan menunaikan ibadah haji

ke Makkah pada tahun 1924 M, beliau berkeinginan untuk melanjutkan

pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi di Negara Timur Tengah, yaitu

Mesir. Setidaknya ada dua alasan penting mengapa Mahmud Yunus hendak

pergi belajar ke Timur Tengah, khususnya Mesir, yaitu:9

1. Hendak menambah ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan umum

yang biasa diajarkan di sekolah-sekolah menengah umum. Karena guru

beliau menganjurkan supaya para pelajar madrasah atau pesanteren

7 Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum

Teaching, 2005), h. 337. 8 Sulaiman Ibrahim, Pendidikan dan Tafsir “Kiprah Mahmud “Kiprah Mahmud Yunus

dalam Pembaruan Islam,” (Jakarta: LEKAS, 2011), Cet. I, h. 7. 9 Edi Iskandar, Mengenal Sosok Mahmud Yunus, Jurnal: Kependidikan Islam, vol. 3, no.

1, (2017), h. 38 .

41

atau ma‟had selain mempelajari ilmu pengetahuan agama hendaklah

mempelajari ilmu pengetahuan umum.

2. Hendak menyelidiki keadaan ulama-ulama di Mesir. Adakah di sana

ulama kaum muda dan ulama kaum tua seperti di Indonesia? Dan

hendak mempelajari dalil-dalil mereka masing-masing, mana yang

lebih kuat. Maka pada tahun 1924 M, Mahmud Yunus mendaftar

sebagai salah seorang pelajar Indonesia yang belajar di Universitas al-

Azhar.

Di Mesir, Mahmud Yunus kembali memperlihatkan prestasi yang

istimewa. Sehingga setelah satu tahun masa belajar, Mahmud Yunus

mencoba kemampuannya dengan masuk ujian akhir untuk menamatkan

pendidikan di Universitas al-Azhar dan mendapatkan Syahadah „Alimiyah

sebagai ijazah tertinggi di Universitas al-Azhar semasa itu. Ada 12 cabang

ilmu yang diujikan dalam ujian akhir tersebut dan kesemuanya itu telah

dikuasai Mahmud Yunus pada waktu belajar di tanah air, sebagaimana

dicatatkannya: “Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji, saya sanggup

masuk ujian itu. Karena kedua belas macam ilmu itu telah saya pelajari di

Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-

1923)”.10

Berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah). „Alimiyyah pada

tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Beliau

kemudian memasuki Darul „Ulum „Ulya Mesir11

Pada tahun 1925 ia berhasil

memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah „Ulya (setingkat

perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia

memilih jurusan Tadris (Keguruan). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-

satunya mahasiswa yang pertama dari Indonesia dan mahasiswa asing yang

berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul „Ulum. Setelah

10 Mahmud Yunus, Riwayat Hidup Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, (Jakarta: Hidakarya

Agung, 1982), h. 28. 11 Darul „Ulum „Ulya adalah Sekolah Tinggi pemerintah Mesir untuk menghasilkan

guru-guru agama dan bahasa Arab yang akan mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Lihat

Mahmud Yunus, Tafsir Al Qur‟an Al Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004), dalam

pendahuluan halaman III.

42

menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, ia

pun kembali ke tanah air pada tahun 1931.

C. Latar Belakang Penulis Tafsir

Pada tahun 1922, beliau mulai menterjemahkan al-Qur‟an dan

diterbitkan dengan huruf Arab-Melayu untuk memberi pemahaman bagi

mayarakat yang belum begitu paham bahasa Arab. Meskipun waktu itu

umumnya ulama Islam mengatakan haram menterjemah al-Qur‟an, tetapi

beliau sekali tidak terpengaruh bantahan tersebut dan beliaupun tetap

melanjutkan usahanya menterjemahkan Qur‟an Karim tersebut.12

Karya ini merupakan salah satu pemula bagi karya dalam kajian al-

Qur‟an di Indonesia dalam bentuk baru, yaitu dilihat dari sudut keberanian

menampilkan terjemahan al-Qur‟an di tengah-tengah masyarakat yang

masih menganggap haram menterjemahkan al-Qur‟an di luar bahasa Arab.

Karena menurut gagasan mayoritas dalam ortodoksi Islam, bahwa

terjemahan al–Qur‟an dalam pengertian yang sebenarnya dari kata tersebut

adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada karakter

i‟jaz (keunikan) al-Qur‟an yang tidak bisa diimitasi atau ditandingi manusia

dengan cara apapun. Menurut sudut pandang ini, karakteristik tersebut akan

hilang dalam terjemahan al-Qur‟an, karena terjemahan dibuat oleh

manusia.13

Namun usaha Mahmud Yunus tersebut terhenti, karena beliau pergi

melanjutkan studinya ke Mesir pada tahun 1924 M. Ketika belajar di Darul

„Ulum beliau mendapatkan pelajaran dari Syaikh di sana, bahwa

menterjemahkan al-Qur‟an itu hukumnya adalah mubah (boleh), bahkan

dianjurkan atau termasuk fardhu kifayah dengan tujuan untuk

menyampaikan dakwah Islamiyah kepada bangsa asing yang tidak

mengetahui bahasa Arab. Karena bagaimana mungkin dapat menyampaikan

12 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT Hida Karya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. III. 13 Taufik Adnan Kamal, Rekrontruksi Sejarah Al Qur‟an, (Jakarta: Yayasan Abad

Demokrasi, 2011), h. 395.

43

kitabullah kepada mereka, jika tidak diterjemahkan ke dalam bahasa

mereka.14

Dari pengalamannya melanjutkan kuliah di Mesir selama lebih kurang

enam tahun Mahmud Yunus berhasil menindak lanjuti awal ketertarikannya

terhadap ide-ide pembaharuan pemikiran Islam dengan tidak hanya

membaca jurnalnya, tetapi berhasil mengunjungi langsung tanah Mesir guna

menimba ilmu dan wawasan pembaruan Islam dari murid-murid

Muhammad „Abduh di tanah kelahiran mereka. Dengan pengalaman

istimewa ini, Mahmud Yunus memiliki jalinan komunikasi yang lebih dekat

dengan ideologi reformatif Muḥammad „Abduh dan Rasyīd Riḍā

dibandingkan tokoh-tokoh pembaharu terkenal tanah air seperti Ahmad

Hassan, Zainuddin Hamidi, Hasbi Ash-Shiddieqy dan Hamka yang hanya

mengenal gagasan reformatif Muhammad „Abduh dan Rasyīd Riḍā dari

membaca majalah al-Manār. Keistimewaan langka yang dimiliki oleh

Mahmud Yunus ini semakin lebih mengokohkan perannya sebagai pelopor

dan pembawa pola baru penulisan tafsir al-Qur‟an Indonesia modern yang

relatif sejalan dengan gagasan pembaruan Muhammad „Abduh.15

Dengan menerima pelajaran tersebut membuat Mahmud Yunus

merasa berbesar hati, karena hal itu sesuai dengan usaha menterjemahkan

al-Qur‟an yang selama ini beliau tekuni. Setelah kembali ke Indonesia,

maka dengan berbagai ilmu yang telah diserap pada bulan Ramadhan tahun

1354 H (Desember 1935) beliau mulai kembali menterjemahkan al-Qur‟an

dan disertai tafsir ayat-ayatnya yang dianggap penting yang kemudian

beliau beri nama: Tafsir Qur‟ān Karīm.

Dengan susah payah karya tafsir tersebutpun di terbitkan 2 juz setiap

bulan. Sedang dalam menterjemahkan juz 7 sampai dengan 18 Mahmud

Yunus dibantu oleh almarhum H.M.K. Bakry. Sehingga pada bulan April

1938 dengan pertolongan Allah Ta‟ala selesailah terjemahan al-Qur‟an dan

tafsirnya lengkap 30 juz dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Setelah

14 Taufik Adnan Kamal, Rekrontruksi Sejarah Al Qur‟an, (Jakarta: Yayasan Abad

Demokrasi, 2011), h. 40. 15 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “ppbp Tafsir al-Qur‟an Indonesia : Mahmud

Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015, h. 327.

44

Indonesia merdeka, pada tahun 1950 dengan petunjuk menteri Agama pada

waktu itu Almarhum Wahid Hasyim, salah seorang penerbit Indonesia

berkeinginan untuk menerbitkan Tafsir Qur‟an Karim ini dengan

mendapatkan fasilitas kertas dari Menteri Agama dan di cetak sebanyak

200.000 eksemplar. Lalu ditunjuk percetakan bangsa Indonesia untuk

mencetaknya.16

Namun kabarnya ada bantahan dari Ulama Yogyakarta, supaya

pencetakan Tafsir Qur‟an Karim ini dihentikan. Bantahan itu dikirim kepada

Menteri Agama RI, akan tetapi beliau sendiri tidak menerima bantahan

tersebut. Boleh jadi karena bantahan itu karena sebab-sebab yang lain,

pemilik percetakan itu tidak mau melanjutkan mencetak Tafsir Qur‟ān

Karīm ini, padahal pada waktu itu sudah mulai dicetak dengan jumlah yang

cukup banyak. Akhirnya diambil alih oleh M. Baharata direktur percetakan

al-Ma‟arif Bandung, kemudian Tafsir ini dicetak dan di terbitkan sebanyak

200.000 eksemplar dan dijualnya dengan harga Rp. 21.00 per eksemplar.17

Pada tahun 1953 seorang ulama dari Jatinegara memberikan bantahan

pula, bantahan itu dikirim kepada Presiden RI dan Menteri Agama,

salinannya disampaikan oleh Menteri Agama kepada Mahmūd Yūnūs, lalu

beliau memberikan balasan terhadap surat itu dengan lebar panjang.

Tembusannya dikirimkan kepada Presiden RI dan Menteri Agama.

Akhirnya orang yang membantah itu tidak berkomentar lagi dan hanya diam

saja.18

Kemudian setelah hasil percetakan itu habis, Mahmud Yunus bersama

istrinya, Darisah binti Ibrahim meneruskan penerbitkan Tafsir Qur‟an Karim

ini beberapa kali tanpa ada perubahan yang besar. Hanya ada perubahan

sedikit demi sedikit.19

Ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa tafsir ini yang juga disertai

dengan kesimpulan isi al-Qur‟an, bukanlah merupakan tejemahan dari kitab

16 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. IV. 17 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. IV. 18 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. IV. 19 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, h. IV.

45

bahasa arab, melainkan hasil penyelidikan pengarang sejak berusia 20 tahun

sampai saat itu berumur 73 tahun. Dalam tafsir ini yang paling dipentingkan

ialah menerangakan dan menjelaskan petunujuk-petunjuk yang termaktub

dalam al-Qur‟an un tuk diamalkan kaum Muslimin khususnya dan seluruh

umat manusia pada umumnya sebagai petunjuk universal.20

Dengan alasan

bahwa petunujuk itulah tujuan utama kitab suci al-Qur‟an seperti

diterangkan Allah dalam firman Nya pada permulaan surat Al-Baqarah:

“Kitab itu (Al-Quran) tidak ada keraguan didalamnya, jadi petunjuk

bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Mahmud Yunus juga menegaskan bahwa jika tafsir ini dan isi

kesimpulan al-Qur‟an yang disertakan di dalamnya memilki nilai kebenaran,

maka hal itu semata-mata merupakan hidayah dan karunia Allah.

Sebaliknya, jika terdapat kekhilafan dan kesalahan maka kesalah tersebut

tidak lain merupakan kesalahan dari dirinya sendiri. Beliau di dalam

pendahuluan tafsirnya berdoa: “Ya Tuhan kami, jangan siksa kami jika kami

lupa atau salah. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar

lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah terima taubat kami, sesungguhnya

Engkau penerima taubat lagi Maha Penyayang”.21

D. Metode Penafsiran

Secara umum Tafsir Qur`an Karim Mahmud Yunus ini menunjuk

pada metode ijmâlî yakni hanya menafsirkan ayat secara global saja. Namun

pada beberapa ayat, beliau memberikan perhatian lebih hingga terlihat corak

penafsiran tahlîlî, yakni suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan

kandungan ayat-ayat al-Qur`an dan seluruh aspeknya. Dalam tafsir Mahmud

Yunus, aspek kosa-kata dan penjelasan arti global tidak selalu dijelaskan.

Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu, kadang suatu ayat

atau suatu lafadz dijelaskan arti kosa-katanya, sedangakan lafadz di ayat

20 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. V. 21 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. V.

46

yang lain arti globalnya karena mengadung suatu istilah, bahkan kadang

dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan istilah itu

pada ayat-ayat yang lain.22

Dari penjelasan di atas, metode pemikiran penafsiran Mahmud Yunus

cenderung ke arah penafsiran model bi al-ra‟y.23

contoh penafsiran dapat

dilihat pada surat al-Baqarah ayat 46:

“(yaitu) mereka yang percaya dengan yakin bahwa mereka akan

menemui Tuhan mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Perkataan dalam ayat ini bukan artinya menyangka, melainkan

yakin sesuai dengan ayat 4 surah al-Baqarah. Sebab itu keimanan haruslah

dengan yakin-seyakinnya tidak boleh ragu-ragu atau prasangka saja.24

E. Sumber Penafsiran

Mahmud Yunus menjelaskan bahwa setelah beliau mempelajari

beberapa tafsir, seperti:

1. Tafsir Ath Thabari juz 1 halaman 42

2. Ibnu Katsir juz 1 halaman 3

3. Al Qasimy juz 1 halaman 7

4. Fajrul Islam juz 1 halaman 199

5. Zhurul Islam juz 2 halaman 40-43 dan juz 3 halaman 3725

Maka beliau menarik kesimpulan dengan merumuskan bahwa sumber

sumber tafsir secara umum itu ada tujuh, yaitu:

Pertama, Tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, karena ayat-ayatnya

saling menafsirkan dan jelas menjelaskan antara satu dengan yang lain.

22 Amursid, M. dan Amaruddin Asra. “Studi Tafsir Qur`an Karim Karya Mahmud

Yunus.” Jurnal Syahadah. Vol. 3, No. 2, Oktober 2015, h. 10. 23 Penafsiran yang menggunakan ijtihad yaitu berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang

benar dan kaidah-kaidah yang benar dan berlaku yang wajib dimiliki siap saja yang mau terjun

langsung , kake dalam dunia penafsiran al-Qur‟anr. Dan penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil

pemikiran seorang mufassir. 24 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Penerbit Mazhab Ciputat, Cet. Ke-2,

2013, h. 77. 25 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. VI.

47

Kedua, Tafsir dengan hadist yang shahih, seperti hadis Bukahri dan

Muslim. Sekali-kali tidak boleh dengan hadist yang dha‟if terlebih hadis

maudhu‟.

Ketiga, Tafsir dengan perkataan sahabat, tapi khusus yang berkaitan

dengan keterangan sebab-sebab turunnya ayat, bukan menurut pendapat dan

pikirannya.

Keempat, Tafsir dengan perkataan tabi‟in, bila mereka berijma‟

terhadap suatu tafsiran. Hal ini menurut pendapat yang mengatakan bahwa

ijma‟ adalah hujjah.

Kelima, Tafsir dengan kaidah bahasa arab bagi Ahli Ilmu Lughah.

Keenam, Tafsir dengan ijtihad bagi Mujtahid.

Ketujuh, Tafsir dengan tafsir aqli bagi Mu‟tazilah. Selain dari pada itu

ada lagi tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir Sufi bagi ahli Tasawuf.

Sedangkan dalam karyanya Tafsir Qur‟an Karim ini Mahmud Yunus

juga merujuk pada sumber-sumber pokok seperti: al-Qur‟an, hadis nabi dan

perkataan sahabat.26

Selain itu beliau juga menjadikan beberapa pendapat

ulama lain sebagai sumber penafsirannya, seperti: Syaikh Muhammad

Abduh, Syaikh Muhammad Rasyd Ridha, Syaikh Muhmmad Syaltut,

pendapat dalam kitab Tafsir Jalalain. Selain itu, Mahmud Yunus juga

merujuk pada pendapat-pendapat para imam madzhab dalam menjelaskan

ayat-ayat yang berkenaan dengan pembahasan fiqh. Sedangkan dalam hal

yang bersifat kekinian, seperti ilmu pengetahuan modern (sains), Ia merujuk

pada pendapat ilmuan dan hasil penemuan yang berkembang pada waktu

itu.

Penilaian terhadap Tafsir Qur‟an Karim banyak ulama Indonesia yang

mengatakan bahwa kitab karya Mahmud Yunus ini sebagai pencetus Tafsir

di Indonesia yang berbahasa Indonesia.

F. Sistematika Penafsiran

Dalam upaya penerbitan karya tafsir ini, Mahmud Yunus mengakui

bahwa dirinya selalu aktif selama lebih dari dua pertiga masa hidupnya, dari

26 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. VI.

48

usia 20 tahun hingga meninggal di usia ke-73. Ia mengatakan bahwa dirinya

telah mengabdikan hidupnya bagi penyempurnaan bentuk terjemahan dan

tafsir dalam kitab ini agar sejalan dengan perkembangan bahasa Indonesia.

Secara teknis, Mahmud Yunus membagi halaman tafsirnya menjadi

dua bagian. Ia menempatkan teks ayat-ayat al-Qur‟ān dalam tulisan huruf

Arab di sisi kanan, dan menempatkan terjemahnya di sisi kiri dengan huruf

Latin. Pada kasus tertentu, ia menyertakan tafsir, atau penjelasan tambahan

bagi ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih mendetil di bagian bawah

teks menyerupai bagian catatan kaki, yang porsinya tidak melebihi dari

setengah halaman saja. Penyajian tafsir ini diawali dengan pendahuluan

dari muallif. Jika membuka kitab ini lebih lanjut pembaca akan disuguhkan

penafsiran yang dimulai dengan menyebutkan nama surat, penerjemahan

terhadap semua ayat, penyajian tafsir di bagian bawah teks dilakukan secara

singkat dengan uraian bersifat global saja.27

G. Karya-Karya

Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang

yang produktif. Aktifitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting

dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud Yunus

lebih banyak di kenal lewat karangan-karangan, karena buku-bukunya

tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia.

Buku-buku Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat

kecerdasan. Karangan-karangannya bervariasi untuk anak-anak dan

masayarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literature

pada perguruan tinggi. Pada perjalanan hidupnya, ia telah mengahasilkan

buku-buku karangannya sebanyak 82 buku. Dari jumlah itu beliau

membahas berbagai bidang ilmu, yang sebagian lain bidang-bidang ilmu

agama Islam. Berikut ini buku-buku karya Mahmud Yunus:

- Tafsir Qur‟an Karim 30 Juz. Penafsiran Mahmud Yunus tentang tafsir

Qur‟an karim 30 juz. (Hidakarya Agung, Jakarta, cetakan ke LXXIII,

2004).

27 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-

Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,

h. 328.

49

- Metodik khusus pendidikan agama. Pembelajaran tentang metode khusus

dalam pendidikan agama. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1980).

- Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Intisari pendidikan Barat.

Tentang pendidikan di Negara-negara islam. (al-Hidayah, Jakarta, 1968)

- Kamus Arab Indonesia. Kamus Arab-Indonesia yang menjelaskan kosa

kata yang digunakan untuk keseharian dalam belajar bahasa arab terutama

dalam lingkungan pondok pesantren. (Yayasan penyelenggara pentafsir

al-Qur‟an, Jakarta, 1973)

- Marilah sembahyang I, II, III, IV. Tata cara solat untuk kehidupan

sehari-hari yang di jelaskan secara rinci untuk usia dini hingga dewasa.

(Hidakarya Agung, Jakarta, 1979)

- Haji ke Mekkah. Panduan untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah

(Hidakarya Agung, Jakarta, 1979)

- Hukum waris dalam Islam. Mengkaji hokum-hukum waris bagi setiap

keluarga. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1974)

- Hukum perkawinan dalam Islam. Perkawinan yang di bolehkan dan

dianjurkan dalam Islam. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1979)

- Tafsir ayat akhlak. Ayat-ayat dalam berakhlak untuk kehidupan sehari-

hari. (Hidakarya Agung Jakarta, 1975)

- Juz „amma dan terjemahannya. Pelajaran tentang Juz „Amma untuk

dihafal dan dimengerti terjemahannya. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1978)

- Beberapa kisah Nabi dan khalifahnya. Kisah-kisah para Nabi yang wajib

diketahui dan diteladani kebikannya. (Hidakarya Agung, Jakarta, 1980)

- Do'a-do'a Rasulullah. Doa-doa rasulullah dalam kehidupan. (Hidakarya

Agung Jakarta, 1979)

Dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkannya telah

menunjukan bahwa Mahmud Yunus adalah seorang cendekiawan yang

memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas terhadap Islam. Maka wajar

saja jika pemikiran dan ide-idenya menembus ruang dan waktu.28

28 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Lemlit Uin

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 59.

50

BAB IV

CORAK PEMIKIRAN KALAM DALAM TAFSIR MAHMUD YUNUS

A. Penafsiran Mahmud Yunus Tentang Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah menurut Mahmud Yunus termaksud pada apa yang

disebut sebagai keimanan kepada yang ghaib. Ghaib ialah sesuatu yang

tidak dapat ditangkap dengan salah satu panca indera. Mahmud Yunus

memberi contoh seperti, percaya bahwa diatas kekuasaan manusia ada yang

Maha Kuasa, yaitu Allah swt. Orang-orang yang beragama memang percaya

kepada yang gaib itu. Tetapi orang-orang yang tiada beragama tiada

percaya. Melainkan kepada apa-apa yang dapat disaksikan dengan

pancaindera atau dengan perkakas ilmu alam atau kimia.

Mahmud Yunus menambahkan bahwa pada abad ke XX ini sudah

banyak profesor-profesor di Eropa dan Amerika yang telah percaya kepada

yang ghaib, yaitu tatkala mereka menyelidiki „ilmu spiritualisme dan „ilmu

hypotisme (Mesmerisme). Dengan percobaan mereka telah banyak orang-

orang terpelajar di Eropa yang percaya akan adanya roh manusia, sebagai

pokok bagi mereka untuk percaya kepada Allah, Malaikat, dan sebagainya.1

Iman saja tidak cukup untuk umat islam khususnya dan umumnya

pada penganut agama lain, karena semua agama mempunyai keimanan

masing-masing. Keimanan dalam islam harus dibarengi dengan ketaqwaan,

karena taqwa dan iman tidak bisa dipisahkan. Orang yang bertaqwa itu

adalah orang yang menang dan sukses dari dunia sampai ke akhirat dalam

menjalankan perintah Allah swt, serta tiada dimurkai tiada pula sesat.

Orang-orang yang beriman akan mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah

swt. Serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat yaitu dengan menurut

petunjuk Allah swt.

Mahmud Yunus mnjelaskan dalam tafsirnya tentang taqwa. Taqwa

menurut bahasa ialah memeliharakan sesuatu dari yang membahayakan.

Taqwa menurut istilah ialah memeliharakan diri dari dosa atau mengikut

segala suruhan dan meninggalkan segala larangan. Orang-orang yang taqwa

yaitu:

1 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 3.

51

1. Orang-orang yang percaya kepada sesuatu yang ghaib.

2. Orang-orang yang mendirikan sembahyang artinya mengerjakan

sembahyang dengan jasmani dan hati yang khusuk. Adapun orang

yang sembahyang dengan jasmani saja sedang hatinya tidak

menghadap kepada Allah, maka orang itu tiada dinamai mendirikan

sembahyang.

3. Orang yang membayarkan sebagian hartanya untuk penolong fakir

miskin (zakat).

4. Mereka yang percaya kepada al-Qur‟an dan kitab-kitab yang

diturunkan kepada Nabi-nabi terdahulu.

5. Mereka percaya dan yakin akan hari kemudian.2

Menurut pandangan Mahmud Yunus sifat-sifat orang yang bertaqwa

ialah ia suka membelanjakan hartanya untuk fakir miskin dan kemaslahatan

umum, seperti menidikan masjid, rumah anak yatim, sekolah dan ia

berderma bukan diwaktu lapang saja tapi dikala sempit juga. Ia bisa bisa

menahan amarahnya kepada sesame manusia serta memaafkan

kesalahannya. Jika ia berbuat kejahatan, ia lekas mengingat Allah serta

meminta ampun.

Mahmud Yunus juga menjelaskan tentang orang-orang yang tidak taat

kepada Allah yaitu: orang-orang kafir, orang-orang munafik dan orang-

orang musyrik. Kafir berlawan dari taqwa. Orang kafir yaitu ingkar. Mereka

ini tiada menerima kebenaran, karena hati, pendengaran dan pemandangan

mereka telah tertutup. Oleh sebab itu mereka tidak memperhatikan isi alam

yang luas ini untuk mengetahui bahwa diatas segala kekuatan alam ini ada

yang Maha Kuasa yaitu Allah yang menjadikannya. Mereka itulah orang-

orang yang dimurkai Allah.

Mahmud Yunus menjelaskan pula tentang orang-orang munafik.

Orang-oramh munafik ialah orang yang pada lahirnya beriman kepada

Allah dan hari kemudian, tetapi sebenarnya mereka masih tetap dalam

kekafiran. Mereka ini hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman.

Kalau mereka diberi nasihat dan peringatan mereka tiada mau menerimanya.

2 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 3.

52

Orang-orang yang munafik itu dalam keraguan. Sebenarnya mereka itu

mendengar petunjuk al-Qur‟an sebagai suluh yang menerangi hatinya. Tapi

karena mereka dipengaruhi oleh kebiasaan mereka, maka petunjuk itu

tiadalh diturutnya. Seolah-olah mereka waktu ada dalam cahaya petunjuk al-

Qur‟an itu mereka kembali kedalam gelapan gulita. Mereka enggan

mendengar petunjuk al-Qur‟an sehingga mereka menutup telinga dengan

anak jari mereka sendiri supaya jangan kedengaran. Seolah-olah mereka

sama dengan orang-orang menutup telinganya dengan anak jarinya waktu

hari hujan lebat yang disertai oleh petir dan kilat. Mereka itulah orang-orang

yang sesat.3

Beliau juga memaprkan tentang orang musyrik. Orang musyrik ialah

orang yang mempersekutukan Allah dengan berhala dan sebagainya.

Berhala itu mereka jadikan sekutu Allah. Umumnya penduduk tanah arab

waktu turun al-Qur‟an orang-orang musyrik. Jadi mereka bukan Yahudi

bukan pula Nasrani.4 Mereka itu berdusta terhadap Allah, karena mereka

mempersekutukan Allah itu karena kehendak mereka sendiri, bukan

kehendak Allah.

Mahmud Yunus sangat mengaitkan sekali antara iman dan taqwa

sehingga beliau menuliskan didalam penafsirannya. Sesungguhnya jika

penduduk negeri itu beriman dan taqwa (meninggalkan yang haram) niscaya

Allah akan menumpahkan kepadanya hujan rahmat dari langit dan

melimpahkan berkat dari bumi yakni akan kayalah penduduk negeri itu serta

negeri menjadi aman. Dan akan mendapat balsan didunia dan diakhirat lebih

baik dan sempurna. Dan mereka masuk surga karena amalan dan usahanya

bukan semata-mata dengan iman saja.5 Dan Allah hanya menerima do‟a

orang-orang yang beriman serta beramal salih, artinya mengikut

perintahNya dan sunnah yang telah diaturNya. Jadi orang-orang yang hanya

3 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 5. 4Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 20. 5 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 383.

53

beriman saja tetapi tidak mau beramal maka memang do‟anya tidak akan

dikabulkan Allah.6

Dari awal surat penerjemahan tafsir Qur‟an Karim, Mahmud Yunus

menafsirkan tentang Allah swt. Allah itu Maha Esa ialah tiada Tuhan yang

disembah melainkan Dia. Ia hidup bukan mati, ia berdiri dengan sendirinya.

Memelihara semesta alam. Ia tidak mengantuk dan tidak pula tidur. Bagi-

Nya apa-apa yang dilangit dan apa-apa yang dibumi. Tak seorang pun juga

dapat memeberi syafa‟at, melainkan dengan izin-Nya. Ia mengetahui apa-

apa yang dihadapan (sebelum) mereka dan apa-apa yang dibelakang

(kemudian) mereka. Ia Maha Tinggi dan Maha Besar.7

Allah itu Esa, buktinya yaitu:

1. Tentang kejadian langit dan bumi. Jika kita perhatikan perjalanan

bumi mengedari matahari, bulan mengedari bumi dan bintang-bintang

beredar, semua berjalan dengan teratur, seperti kereta api yang

berjalan diatas relnya menurut akal yang waras tak dapat tak mestilah

ada yang mengaturnya da nada yang mengadakannya. Jika terlalai

yang memelihara itu satu menitpun, niscaya perjalanannya menjadi

gagal atau rusak. Sebenarnya disana ada kekuatan tarik-menarik tetapi

kekuatan itu Allah juga yang mengadakannya.

2. Berbeda malam dan siang kadang-kadang malam lebih panjang dari

siang kadang-kadang kebalikannya. Keadaan ini terang benar di

negeri-negeri yang letaknya jauh dari katulistiwa.

3. Kapal yang berlayar di lautan dengan tiada terbenam kedalam

dasarnya, sebagaimana yang ditetapkan dalam „ilmu alam.

4. Air hujan yang turun dari awan, sedang asalnya dari air lautan yang

menjadi uap oleh karena panas matahari.

5. Angin yang bertiup seperti angina utara selatan.

6 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 717. 7 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 57.

54

6. Awan yang berjalan kencang dan banyak yang lainnya, semua itu

berjalan dengan aturan yang sempurna sebagai bukti atas adanya

Allah yang Mahaesa lagi Mahakuasa.8

7. Keadaan manusia itu ada dua macam, yaitu laki-laki dan perempuan

yang berkasih-kasihan antara keduanya. Maka dari tanah manakah

kejadian laki-laki dan dari bumi apakah kejadian perempuan? Sungguh

yang demekian itu amat ajaib sekali, bahkan itulah bukti atas adanyya

Allah yang Mahakuasa.

8. Bermacam-macam bahasa manusia dan berlain-lain warna kulitnya dan

bentuk mukanya, bahkan bentuk telinganya saja tidak ada yang serupa

natara tiap manusia.

9. Tidur malam hari yang tidak ingat sesuatu apa-apa, seolah-olah ia

berpindah dari alam dunia kea lam yang lain, dan ia telah bangun

kemudian berusaha mencari karunia Allah (rezekiNya).

10. Melihat cahaya kilat yang cemerlang dengan hati ketakutan, kalau-kalau

disambarnya dan mempunyai harapan supaya air hujan turun dengan

segera dan menghidupkan bumi yang telah kering.9

Pandangan Mahmud Yunus tentang apa-apa pekerjaan baik yang akan

kita kerjakan hendaklah dengan nama Allah, artinya karena Allah dan dan

mengharapka keridhaanNya. Yaitu dengan menyebut Bismillah. Semua

nikmat yang kita terima dan apapun yang indah diantara isi alam yang luas

ini, hendaklah kita puji Allah, karena pokok dan asalnya ialah dari pada

Allah. Allah itu Maha Pengasih dan penyayang lebih kepada kita, karena

Dia yang menganugerahkan fikiran yang luas dan anggota yang cukup.

Tetapi sekalipun begitu Dia berkuasa pada hari kemudian untuk menyiksa

orang-orang yang tiada menurut perintahNya. Karena Allaah telah banyak

memberi kita macam-macam nikmat, maka wajiblah kita menyembahNya.

Dan tiada yang disembah selain dari padaNya. Wajiblah kita meminta

8 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 33. 9 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 596.

55

tolong kepada Allah untuk menyampaikan cita-cita kita dan mensukseskan

amalan perbuatan kita, karena Dia yang berkuasa.10

B. Penafsiran Iman kepada Malaikat

Menurut Mahmud Yunus malaikat juga termaksud makhluk ghaib.

Malaikat juga makhluk yang taat dan patuh menurut perintah Allah. Mereka

disuruh Allah tunduk kepada Adam, lalu mereka tunduk. Beriman kepada

malaikat-malaikat yaitu mengi‟tikadkan (mempercayai) bahwa Allah

menjadikan satu alam rohani, namanya malaikat. Mereka itu mengikut apa-

apa perintah Allah. Diantaranya bernama Jibril, Mika‟il dan „Izrail.11

Mahmud Yunus menambahkan bahwa malaikat itu suci tidak

memiliki hawa nafsu dan selalu bertasbih memuji dan tunduk terhadap

Allah swt. Para malaikat ditugaskan oleh Allah untuk menjaga dan

mengawasi tiap-tiap orang. Malaikat-malaikat itu menuliskan semua

perbuatan manusia, baik atau buruk sehingga ia tidak dapat mengingkari

amal perbuatannya. Dan begitu juga Allah mengirim malaikat maut untuk

mengambil roh (jiwa) manusia. Bukan roh mukmin diserahkan kepada

malaikat rahmat dan roh kafir kepada malaikat azab. Kemudian malaikat-

malaikat membawa roh itu ketempat yang ditentukan Allah.12

Didalam penafsiran Mahmud Yunus. Beliau menarangkan tentang

kejadian bahwasannya Nabi Muhammad saw menerima wahyu dari Allah

melalui perantara malaikat Jibril. Nabi Muhammad saw itu sebenarnya

melihat malaikat jibril yang menyampaikan wahyu kepadanya. Pada satu

kali dilihatnya pada sisi Sidratul Muntaha, yaitu tempat kesudahan

pengetahuan nabi, sehingga yang diatas itu tidak diketahuinya lagi.

Pemandangan Nabi itu sebenarnya betul, bukan salah. Adapun al-lata, al-

„uzza dan manata itu ialah nama berhala yang disembah oleh orang-orang

kafir Makkah.13

10 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 1. 11Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. IV. 12 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 185. 13 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 782.

56

Malaikat itu terbuat dari cahaya dan tunduk serta diberikan tugas

masing-masing dari Allah untuk mengawasi umat manusia. Setiap malaikat

mempunyai berbagai macam tugas dari Allah swt. ada malaikat yang

bertugas menjaga pintu surga, malaikata yang bertugas menjaga pintu

neraka, malaiktan yang bertugas mencabut nyawa, malaikat yang bertugas

meniup sangkakala dan tugas-tugas lainnya. Salah satu tugas malaikat ialah

menulis buku amalan perbuatan baik manusia maupun perbuatan buruk

manusia yang terdapat dalam surat al-infithar ayat 10-12. Kita wajib percaya

bahwa semua perbuatan kita terjaga baik (kekal bekasnya) dan sedikit pun

tidak ada yang lenyap atau hilang. Dan nanti dikamp ung akhirat akan

dibalas Allah dengan balasan seadil-adilnya.

C. Iman Kepada Rasul Dan Kitab-Kitab Yang Diturunkan Kepada Mereka

Penjelasan Mahmud Yunus tentang iman kepada rasul-rasul itu adalah

percaya bahwa Allah mengutus beberapa rasul (pesuruh) kepada manusia,

guna memberi khabar suka dengan surga dan khabar takdir dengan neraka.

Rasul-rasul itu banyak sekali diantaranya: Adam, Nuh, Ibrahim, Ya‟qub,

Yusuf, Daud, Sulaiman, Harun, Musa, Isa dan Muhammad SAW.

Beliau juga memaparkan tentang siapa itu para rasul. Rasul-rasul

dahulu kala itu manusia dan laki-laki juga. Mereka bertubuh kasar dan

beranggota, makan dan minum seperti manusia biasa. Hanya mereka

menerima wahyu dari pada Allah, untuk petunjuk dan pengajaran bagi umat

manusia.14

Dalam al-Qur‟an Allah menerangkan tentang 14 para Nabi yang

terdiri dari 3 golongan:

1. Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa dan harun. Mereka itu

dikaruniai Allah kerajaan pemerintahan dan kekuasaan, disamping

pangkat menjadi dan rasul.

2. Zakaria, Yahya, „Isa dan ilyas. Mereka ini sangat zuhud dan benci

terhadap kesenagan dunia, mereka diberi sifat orang-orang salih.

14 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 466.

57

3. „Isma‟il, Ilyasa‟, Yunus dan Luth, mereka diistimewakan dari

orang-orang dalam alam pada masanya itu.15

Kisah Nuh a.s. dan Hud a.s. serta kisah-kisah Nabi yang lain, adalah

kisah yang sebenarnya kejadian bukan kisah khayalan. Dalam al-Qur‟an

diterangkan pokok-pokoknya saja untuk jadi pengajaran dan ibrah pada

kaum yang kemudian. Nabi Muhammad tidak pandai membacakitab itu

hanya anasbi mendapat kisah itu dari wahyu dari pada Allah. Wahyu itu

semua benar dan wajib dipercayai. Pokok-pokok kisah itu dapat diterima

oleh ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), bahkan ahli sejarah pun

menerimanya. Disinilah letaknya kebesaran al-Qur‟an. Yang tidak diterima

ahli sejarah ialah kisah tambahan yang ditambahkan oleh ahli kisah atau

hadis-haids yang dhaif atau Tafsir yang berasal dari Yahudi/Nasrani, seperti

ka‟bul-Ahbar dan Munabbah. Tafsir-tafsir itulah yang tidak diterima oleh

orang-orang terpelajar masa sekarang. Tetapi kisah yang diterangkan al-

Qur‟an dapat diterima sama sekali. Oleh sebab itu Mahmud Yunus

mengusulkan dalam Muktamar Majma‟ al-Buhusul Islamiyah Cairo, supaya

dibersihkan tafsir al-Qur‟an dari tafsir yang berasal dari Yahudi/Nasrani.

Muhammad „Abduh menyatakan bahwa ayat-ayat Qur‟an itu dari

awalnya sampai tamat sebagai yang termaktub sekarang ini, tidak ada yang

mansukh (dirubah atau ditukar hukumnya). Firman Allah swt dalam surat

Yunus ayat 64 yaitu:

“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam

kehidupan di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat janji-janji

Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”16

15Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 190. 16 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 300.

58

Salah satu kisah Nabi yang diceritakan dalam al-Qur‟an yaitu Nabi

Luth a.s. yang diutus bersama umatnya dinegeri sedum (dekat dengan laut

mati yang dinamakan juga dengan laut Luth). Lalu katanya kepada

kaumnya: “Mengapakah kamu mengerjakan pekerjaan yang sangat keji,

yang belum pernah dikerjakan oleh orang-orang terdahulu dari padamu?

Kamu cinta ingin syahwat kepada laki-laki bukan perempuan, sungguh

kamu melampaui batas. Maka taka da jawaban dari kaumnya, selain dari

katanya: “Usirlah Luth itu serta orang-orang yang beriman kepadanya dari

negeri kamu, karena mereka orang-orang suci”. Kemudian Allah

menyelamatkan Luth dan ahli rumahnya yang beriman kepadanya kecuali

isterinya yang tidak beriman, maka ia masuk golongan orang-orang binasa.

Allah menurunkan atas mereka itu hujan batu yang menimpa kepala mereka,

sehingga mati mereka semuanya. Demikiannya siksa diatas mereka dunia

dan akhirat dimasukan kedalam neraka.17

Moh. Anwar Syarifuddin & Jauhar azizy, menyatakan bagaimana

tafsiran kemukjizatan al-Qur‟an secara ilmiah ditampilkan dalam sebuah

ulasan yang lugas dan juga rasional. Mahmud Yunus menafsirkan keajaiban

fenomena tidur panjang Nabi Azīr versi, lain menyebutnya Uzayr dapat

dilihat dalam Tafsīr Ṭabarī, sementara al-Qur‟an tidak menyebutkan

namanya, dan nama-nama itu hanya ada dalam informasi tafsir yang

disebutkan di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, yang termasuk dalam

kategori Isrā‟īliyāt yang tidak bisa dibenarkan atau didustakan begitu

saja.sebagai sebuah fenomena yang sama sekali tidak mustahil. Ia

menjelaskan, “Keadaan mati seratus tahun lamanya adalah perkara luar

biasa yang jarang terjadi, tetapi tidak juga mustahil.” Hal yang seperti itu

terjadi juga baru-baru ini, seperti diceritakan dalam majalah al-Muktaṭaf

(sebuah surat kabar ilmu pengetahuan Barat yang terbit di Mesir.)18

17 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 857. 18 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-

Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,

h. 336.

59

Diterangkan bahwa pengarangnya sendiri melihat orang yang tidur

selama sebulan lamanya, bahkan ada pula yang dibacanya, orang yang lama

tidurnya empat setengah bulan. Oleh sebab itu, tentu saja Allah berkuasa

menidurkan Nabi Azīr selama seratus tahun lamanya.19

Kisah Maryam dan Zakaria itu ialah berita ghaib, yaitu suatu kejadian

dahulu kala sedang Nabi Muhammad dan kaumnya tiada pernah melihatnya.

Begitu juga Nabi Muhammad tiada pernah mempelajarinya pada guru atau

membacanya dalam buku-buku, seperti dalam Taurat atau Injil karena

memang dia seorang ummi, tiada pandai tulis baca. Oleh sebab itu Nabi

Muhammad mengetahui berita itu dengan perantaraan wahyu yang dibawa

oleh roh suci (jibril). Kejadian-kejadian itu memang telah lewat berates-

ratus tahun lamanya (tiada dihadapan Nabi Muhammad). Sekalipun begitu

ia dapat mengetahuinya dengan perantaraan wahyu. Ini adalah satu bukti

bahwa Qur‟an itu bukanlah karangan Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad berbudi pekerti yang halus berhati lunak lembut dan

penyayang kepada umatnya. Oleh sebab itu berduyun-duyun manusia masuk

agama islam yang dibawanya.20

Beliau bukan hanya membacakan atau

mengajarkan al-Qur‟an dan hikmah kepada umatnya, melainkan juga

mendidik mereka supaya berakhlak mulia dan membersihkan mereka dari

akhlak yang tidak baik.

Kalau kami turunkan al-Qur‟an keatas gunung, niscaya engkau lihat

gunung itu, tunduk dan pecah karena takut kepada Allah. Ini adalah

sebagian perumpamaan untuk melukiskan bagaimana kebesaran petunjuk al-

Qur‟an, supaya manusia insaf akan kebesarannya. Sebab itu patutlah

mereka tunduk dan berhati takut mendengar petunjuk Qur‟an itu.

Mahmud Yunus juga menafsirkan tentang rezeki setiap manusia di

muka bumi ini, baik hewan ataupun manusia rezekinya atas Allah.

Hendaklah keluar rumah pagi hari untuk mencari rezeki sehingga ia

kembali petang hari dengan membawa keperluan hidupnya. Begitupn hewan

19 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-

Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,

h. 336. 20 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 94.

60

seperti burung ia pergi mencari makan dipagi hari bukan hanya diam

disarang saja. Disini teranglah bahwa bekerja dan berusahalah bukan

memangku tangan dan duduk-duduk saja dirumah. Kejadian ini pasti yang

sedang kita alami sekarang. Semua itu ada dalam kitab suci yang terang.21

Mahmud Yunus juga menambahkan bukti bahwa Allah

menyampaikan wahyu (al-Qur‟an) lewat perantara malaikat jibril dalam

surat al-Qiyamah ayat 16-19. Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk

mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan Malaikat Jibril terlebih dahulu

baru setealh malaikat jibril selesai, engkau membacanya dan menghafalnya,

sehingga tetap dalam hatinya. Beginilah aturan belajar para guru, harus

didengar pelajaran itu baik-baik baru diikuti dan dihafal.22

Dalam tafsir Qur‟an Karim beliau sering menjelaskan tentang

kepercayaan yang baik dan benar, pada ayat-ayat yang berkaitan dengan

kepercayaan. Kepercayaan dan i‟tiqad tidak cukup dengan semata-mata

dugaan dan sangkaan saja. Melainkan harus dengan penuh keyakinan dan

kepercayaan dalam hati, tidak boleh syak, ragu-ragu dan bimbang. Begitulah

keimanan kita kepada Allah, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya, haruslah

dengan yakin seyakin-yakinnya, sebagai firman Allah dan kepada akhirat

mereka itu yakin.23

D. Iman Kepada Hari Akhir

Menurut Mahmud Yunus beriman kepada hari yang kemudian yaitu

mengi‟tikadkan bahwa Allah bakal membangkitkan (menghidupkan) segala

manusia, sesudah mati (hari kiamat). Kemudian dibalas tiap-tiap orang

menurut amalnya masing-masing. Baik dibalas dengan baik, jahat dibalas

dengan jahat. Orang-orang mukmin masuk ke dalam surga kesenangan dan

orang-orang kafir masuk kedalam neraka kesengsaraan.24

21Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 309. 22 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 870. 23 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet. LXXIII, h. 784. 24Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. IV.

61

Mahmud Yunus berpendapat dalam surat al-Hajj ayat 1-7 tentang

adanya hari kiamat dan tanda-tanda hari kiamat tersebut. Hai sekalian

manusia, takutlah akan siksa Allah! Sesungguhnya gempa bumi pada hari

kiamat adalah sangat ngeri sekali. Pada hari itu lupa ibu yang menyusukan

anaknya, perempuan hamil menggugurkan anak dalam kandungannya.

Ketika itu engkau melihat manusia dalam mabuk minuman keras padahal

karena siksa Allah yang Maha hebat. Hai sekalian jika kamu masih

meragukan hari kiamat, maka kamu cukup insafi bagaimana asal kejadian

kamu niscaya akan hilang keraguan kamu. Kamu lihat bumi ini kurus kering

dan tumbuh-tumbuhan telah kering dan mati, kemudian Allah menurunkan

air hujan, lalu tumbuh-tumbuhan hidup dan tumbuh kembali, sehingga

menghijau dimuka bumi ini. Sesudah mati tadi. Semuanya itu menjadi bukti

bahwa Allah Kuasa menghidupkan orang yang mati sebagaimana

menghidupkan tumbuh-tumbuhan yang telah mati.25

Beliau juga menambahkan bahwasannya nanti kiamat itu sangat

dahsyat. Pada hari kiamat ditiuplah terompet lalu terkejutlah orang-orang

yang diatas langit dan dimuka bumi kecuali orang-orang yang salih-salih.

Menurut perkataan setengah ulama terompet itu ditiupnya 2 kali oleh

malaikat. Pertama, menyatakan telah tiba hari kiamat, lalu matilah segala

makhluk semuanya sehingga tiada lagi yang hidup selain Allah. Kedua,

dititupnya untuk menghidupkan dan membangkitkan semua manusia dari

kuburnya masing-masing dan hidup yang kedua kali di alam akhirat.

Disanalah Allah menghukum manusia dengan hukuman yang adil dalam

surat al-Zalzalah juz 30 dijelaskan.26

Mahmud Yunus menambahkan tentang penjelasan hari akhir bagi

orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hidup didunia ialah

untuk jalan kepada keselamatan diakhirat yang kekal dan abadi selama-

lamanya, sebab mereka tahu bahwa seberapa lama hidup didunia ini kalau

diperbandingkan dengan hidup pada hari yang kemudian adalah sesaat saja.

25 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 482. 26Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 556.

62

Intinya orang-orang yang beriman itu berusaha dan bekerja seperti orang

kafir juga, Cuma perbedaannya tentang maksud dan tujuan. Maksud orang-

orang kafir semata-mata kesenanngan didunia saja, tetapi maksud orang-

orang yang beriman untuk kesenangan didunia dan diakhirat.27

Beliau juga menjelaskan bahwa orang-orang mukmin harus tetap

insyaf dan kembali ke jalan Allah ketika melakukan perbuatan dosa. Orang-

orang mukmin yang berbuat dosa wajib insaf karena Allah mengadakan

mata-mata yang selalu melihatnya dan mengintipnya kemana ia

pergimeskipun ketempat yang tersembunyi dimalam yang gelap serta sunyi.

Mata, telinga dan kulit anggota tubuh mereka menjadi saksi atas apa yang

telah mereka kerjakan didunia. Janganlah dari kamu berbuat dosa meskipun

seorang diri ditempat yang tersembunyi karena Allah tetap melihat kamu.28

Beda halnya dengan orang-orang kafir, menurut Mahmud Yunus

mereka tiada dapat pahala dari Allah karena ia tidak percaya akan adanya

kampung akhirat. Sebab itu amalan baik mereka menjadi sia-sia diakhirat,

meskipun didunia mereka mendapat ganjaran yang baik. Berlain halnya

dengan orang-orang mukmin, mereka mendapat ganjaran dunia dan

akhirat.29

Orang-orang yang berdusta pula akan mendapatkan api neraka

yang bernyala-nyala dan sangat panas. Katkanlah: mana yang lebih baik,

neraka itu atau surge yang abadi yang disediakan untuk orang-orang yang

takut kepada Allah? “tentu surge yang lebib baik yang disediakan untuk

balasan (pahala) bagi orang-orang yang beriman dan bermal salih. Demikian

itu janji Allah yang sebenar-benarnyAa dan Allah tiada memungkiri

janjiNya.30

Mahmud Yunus menambahkan penjelasan tentang Allah telah

melukiskan bagaimana siksaan neraka dan nikmat surga. Makan dalam

neraka ialah kayu zaqum, kayu yang sangat pahit. Orang-orang berdosa itu

27Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 311. 28 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 706. 29 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 362. 30 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 526.

63

ditarik dan dihela ketengah-tengah neraka kemudian ditumpahkan air yang

sangat panas keatas kepalanya untuk menambah siksaannya. Seraya

dikatakan kepadanya: rasailah siksaan ini, yang kamu ragu-ragui tentang

kebenaran masa dulu. Adapun orang-orang taqwa mendapat derajat tinggi di

surga yang mempunyai kebun dan mata air. Mereka memakai kain sutera

yang tipis dan yang tebal duduk diatas kursi keemasan berhadap-hadapan.

Mereka mempunyai bidadari yang cantik serta mendapat bermacam-macam

buah.31

Janganlah kita terpedaya oleh kehidupan didunia ini, melainkan

hendaklah berlomba-lomba memperbuat kebaikan supaya dapat ampunan

dari Tuhan dan masuk surga yang sangat luas dengan kehidupan yang abadi.

E. Iman Kepada Taqdir

Dalam pembahasan taqdir, kita sering mendengar istilah qadha dan

qadar. Dua istilah yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama

jika disebutkan salah satunya. Taqdir merupakan bentuk kata kerja dari

qadha dan qadar yang berkaitan dengan hukum sebab akibat. Menurut

Mahmud Yunus taqdir adalah ketentuan Allah pada tiap-tiap hari dalam

urusan, yakni menjadikan, mematikan, menghidupkan, memusnakan,

memajukan dan lain sebagainya. Semuanya dijadikan Allah menurut

hikmah dan keadilan.32

Mahmud Yunus juga menambahkan mengenai ketentuan-ketentuan

mengenai taqdir yaitu, kepunyaan Allah ialah kerajaan langit dan bumi. Ia

tiada beranak dan tiada pula bersekutu dalam kerajaanNya. Ia menjadikan

tiap-tiap sesuatu lalu ditakdirkanNya dengan takdir tertentu. Sesungguhnya

Allah menjadikan alam ini dan mengatur segala sesuatu dengan ketentuan-

ketentuan yang tidak dapat diketahui orang sebelum terjadinya.

Contoh takdir dalam al-Qur‟an yang ada dalam kehidupan kita ini.

Dalam surat al-Ra‟d bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum

jika mereka sendiri tidak mengubah nasib suatu kaum, jika mereka sendiri

31 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h.736. 32 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 794.

64

tidak mengubah budi pekertinya. Umpamanya kaum yang suka berpecah-

belah dan bermusuh-musuhan sesamanya, tak dapat tidak mestilah kaum itu

mundur dalam segala-galanya, baik dalam pergaulan, ekonomi atau

pemerintahannya. Hal keadaanya itu tidak akan dirubah Allah, jika mereka

sendiri tidak merubah budi pekertinya lebih dahulu. Seorang pemalas

umpanya adalah nasibnya menjadi miskin dan kehidupan dalam kesusahan.

Nasibnya itu tidak akan dirubah Allah, jika ia sendiri tidak membuang sifat

pemalas itu lebih dahulu. Sebab itu janganlah meminta kepada Allah:

Kayakanlah saya! Sedang ia tidak suka berusaha karena langit itu tidak

menghujankan emas dan perak.33

Menurut Mahmud Yunus, Firman Allah ta‟ala., tentang taqdir juga

ditafsirkan dalam surat al-Qamar ayat 49-50 yaitu sesungguhnya kami

menjadikan tiap-tiap sesuatu menurut kadar yang tertentu, kokoh, teratur

sesuai dengan hikmah yang terkandung didalamnya. Contoh anggota tubuh

saja sangat teratur. Kalau kita hendak makan sesuatu dilihat oleh mata

terlebih dahulu. Mengadakan padi dengan ditanam dulu benihnya.

Adakalnya Allah menjadikan dengan langsung seperti Mu‟jizat para Nabi-

Nabi.34

Dalam taqdir ada ajaran Qur‟an yang mewajibkan supaya manusia

berusaha sekeras-kerasnya untuk mencapai cita-citanya, baik untuk

keselamatan dunia maupun kebahagiaan akhirat. Sesekali tidak boleh

berpangku tangan karena berpegang kepada takdir yang tiada diketahui. Jika

mendapat nikmat maka bersyukurlah ucap “Alhamdulillah”. Jika terkena

musibah ucaplah “Inna lillahi wainna ilaihi raji‟un. Inilah takdir yang telah

dituliskan bagi saya. Dengan demikian tentramlah jiwanya. Keterangan ini

nyatalah bahwa orang yang meninggalkan usaha karena berpegang teguh

kepada takdir, tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an bahkan

menyalahinya.35

33 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 351. 34Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 791. 35 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 524.

65

Tidak usahlah kejahatan itu dikaitkan kepada Tuhan, melainkan

akuilah kesalahan sendiri dan taubatlah kepada Tuahnmu. Allah pengampun

dan Penyayang. Orang-orang kafir tidak percaya akan adanya takdir Allah,

mereka (orang kafir) bersumpah bahwa Allah tidak akan pernah

menghidupkan orang mati, melainkan sesudah mati, taka da siksa neraka

dan taka da nikmat surga. Firman Allah: “Ya, sebenarnya Allah akan

menghidupkan orang-orang yang mati itu”, serta dibalasi perbuatan masing-

masing, baik dibalas dengan baik, buruk dibalas dengan buruk. Jika Allah

menghendaki mengadakan sesuatu maka taka da seorang juapun yang dapat

menghalanginya, tak ubah seperti kata Allah kepada sesuatu itu: “Jadilah

engkau”, niscaya jadilah ia.36

F. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Mahmud Yunus

Al-Qur‟an adalah adalah Firman atau wahyu yang berasal dari Allah

SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat

jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia. al-Qur‟an

adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil

yang diturunkan melalui para rasul.

Istilah corak tafsir ialah secara umum adalah kekhususan suatu tafsir

yang merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam

menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur‟an. Akan tetapi,

pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak lantas menutup

kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut, hanya saja yang

menjadi acuan adalah corak dominan yang ada dalam tafsir tersebut, karena

kita tidak bisa memungkiri dalam satu tafsir memiliki beberapa

kecenderungan seperti pada tafsir-tafsir yang ada pada saat ini. Contoh

beberapa corak tafsir seperti: Corak al-„llmi,37

Corak al-Adabi al-Ijtima‟i,38

Corak al-Shufi,39

Corak al-Falāsafi,40

Corak al-Fiqhi,41

dan Corak kalam.42

36 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 385. 37 corak penafsiran al-Qur‟an dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat al-

Qur‟an yang ditafsirkan dengan corak ini terutama adalah ayat-ayat kauniyyah (ayat yang

berkenaan dengan alam), dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, mufassir melengkapi dirinya

dengan teori-teori sains, karena tafsir ini dapat didefinisikan debagai ijtihad mufassir untuk

mengungkap hubungan ayat-ayat kawniyyah dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan

untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur‟an.

66

Ditinjau dari kecenderungan penafsirannya, bahwasannya Mahmud

Yunus dalam tafsirnya Qur‟an Karim cenderung kepada corak kalam yakni

salah satu corak penafsiran al-Qur‟an yang cenderung kepada yang

bersumber dari al-Qur‟an, as-Sunnah dan ijma‟ para ulama yang diambil

dari intisari al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dalil ini merupakan dalil pokok yang

menjadi dasar dalam keetapan hukum islam dan aqidah.

Contoh penafsiraan Mahmud Yunus tentang corak kalam yaitu tentang

rukun iman. Dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 136 yang diterangkan

hanya 5 perkara rukun iman:

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan

Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta

kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada

38 Corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan ketelitian

ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan-tujuan

pokok diturunkannya al-Qur‟an, kemudian mengaplikasikannya dalam tatanan sosial, seperti

pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya yang sejalan dengan

perkembangan masyarakat. 39 Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazarī dan tafsir sufi ishārī. Tafsir Sufi Nazarī

adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan Tafsir Sufi

Ishārī adalah menafsirkan ayatayat al-Qur‟an tidak sama dengan makna lahir dari ayat-ayat

tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak pada para pelaku

ritual sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana yang

dimaksud dalam tiap-tiap ayat tersebut. 40 corak tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima

pemikiran-pemikiran filsafat Yunani seperti Ibnu Sina dan al-Farabi maupun yang menolak

pemikiran filsafat itu. 41 sesuai dengan karakter fiqih yang di dalamya mengandung perbedaan pendapat, maka

tafsir fiqh pun di dalamnya memuat pendapat-pendapat ulama ahli fiqh yang berupaya

memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum

Islam. 42 corak tafsir yang membahas persoalan-persoalan tentang system keyakinan atau akidah

islam dengan maksud untuk mempertahankan akidah islam dari serangan sistem teologi diluar

islam yang menggunakan argumen rasional ataupun tradisional. Kerangka berfikir kalam itu dapat

dibedakan menjadi dua, rasional dan tradisional.

67

Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari

Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”

Penjelasan Mahmud Yunus bahwa rukun yang kelima seperti yang

dicatat itu, tidak didapati tercatat di dalam surat an-Nisa: 136. Maka, lima

daripada enam rukun iman itu telah diajar oleh Allah. Dan, yang keenam,

yang terakhir, diajar oleh “hadis Nabi saw” Justru, rukun yang keenam,

Percaya kepada taqdir, adalah tambahan kepada ajaran Allah. Takdir adalah

(takdirullah) sesuatu yang ditentukan oleh Allah terlebih dahulu, penentuan

dari Allah. Dengan itu, percaya kepada takdir artinya percaya bahwa segala-

galanya sudah ditentukan oleh Allah terlebih dahulu. Dalam hadis „arba‟in

an-Nawawiyah karya Imam Nawawi rahimahumullah, malaikat jibril

mengajarkan kepada Nabi Muhammad tentang Islam, Iman dan Ihsan. Kali

ini yang dikaji adalah perihal rukun iman. Lanjutan hadis dari „Umar bin

Khatab ra: ثن أب عمر بن الطاب قو قال : حد نا لو يسألو ويصد فأخبن عن قال : صدقت ف عجب

43ه وشرهاإليان قال أن ت ؤمن بهلل ومالئكتو وكتبو ورسلو والي وم اآلخر وت ؤمن بلقدر خي

“Iman ialah percaya kepada Allah, rasul-rasulNya, kitab-kitab yang

diturunkanNya, malaikat-malaikatNya, hari akhir yang kemudian dan takdir.

Iman menurut Mahmud Yunus ialah percaya kepada Allah, percaya

kepada Malaikat, percaya kepada rasul-rasulNya, percaya kepada kitab-

kitab yang diturunkanNya, hari yang kemudian dan takdir.44

Iman itu

adanya didalam hati dan harus dibarengi dengan taqwa. Ketika kita beriman

berarti kita mempercayai adaNya Allah yang Esa. Allah menciptakan semua

yang ada di muka bumi ini.

Beriman termaksud pada apa yang disebut sebagai keimanan kepada

yang ghaib. Ghaib ialah sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan salah

satu panca indera. Mahmud Yunus memberi contoh seperti, percaya bahwa

43 Abu Husen Ibn al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Daar al-kutub

ilmiyyah-Beirut, h. 41. 44 Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), Cet.

LXXIII, h. 27.

68

diatas kekuasaan manusia ada yang Maha Kuasa, yaitu Allah swt. Orang-

orang yang beragama memang percaya kepada yang gaib itu. Tetapi orang-

orang yang tiada beragama tiada percaya. Melainkan kepada apa-apa yang

dapat disaksikan dengan pancaindera atau dengan perkakas ilmu alam atau

kimia. Seseorang akan makin bertambah keimannya ketika mereka bertaqwa

yaitu dengan mendirikan sembahyang, membayar zakat, percaya kepada

kitab-kitab yang diturunkan nabi-nabi terdahulu. Dan percaya kepada kitab

suci yang masih ada dimuka bumi ini yaitu al-Qur‟an hendak kita akui

bahwa isi Qur‟an dari awal sampai keakhirnya, semuanya benar serta kita

percayai. Oleh sebab itu wajiblah orang islam mengi‟tiqadkan apa-apa yang

termaktub didalam al-Qur‟an semuanya. Orang yang beriman dan taqwa

itulah yang meang dan sukses di dunia dan akhirat.

Ayat al-Qur‟an bersifat Aqidah dan Ibadah yang harus diikuti secara

taufiqy harus ditafsirkan secara manqul. Sedangkan yang bersangkut paut

dengan peri kehidupan manusia, alam semesta dan tata kemasyarakatan harus

dikembangkan dengan Tafsir Modern. Hal ini didasarkan pada anggapan

bahwa al-Qur‟an sebagai wahyu dan akal kedua-duanya ciptaan Allah. Yang

tentunya harus bertemu pada satu titik. Kalau terjadi sebaliknya maka tentu

terjadi kerancuan yang timbulnya mungkin pada penafsiran ayatnya atau

pemikirannya. Maka pengembangan secara serentak dengan semboyan

meneruskan cara lama yang masih baik dan memilih pendapat baru yang

lebih baik dipandang selaras.45

Tafsir Mahmud Yunus ini menurut Moh. Anwar Syarifuddin & Jauhar

Azizy mempunyai dua keunggulan yaitu Mahmud Yunus sebagai pelopor

bagi pengenalan pola dan bentuk baru penulisan karya tafsir Indonesia

modern. Pertama, pemakaian huruf latin menggantikan pemakaian huruf arab

melayu yang umumnya digunakan pada tradisi penulisan karya-karya

terjemahan dan tafsir pada generasi sebelumnya. Kedua, keberadaan corak

penafsiran ilmiah yang mendapat perhatian khusus Mahmud Yunus dengan

upaya untuk menyajikan tabel ayat-ayat al-Qur‟an dan ragam disiplin ilmu

45 Abdur Rochim, Studi Perbandingan Antara Tafsir Tradisional Dan Modern,

(Yogyakarta: Perpustakaan digital, 2008), h. 125.

69

yang dikandungnya. Kedua faktor diatas lahir dari simulasi yang didapat

Mahmud Yunus dari gagasan-gagasan reformatif Muhammad „Abduh dan

murid-muridnya ketika studi di Mesir selam enam tahun.46

Jadi jelaslah dari

keterangan ini bahwa Mahmud Yunus bercorak kalam rasional lebih banyak

menggunakan akal pikiran beliau dalam menafsirkan ayat dan beliau juga

menggunakan sumber-sumber melalui dalil naqli sehingga beliau dapat

dikatan sebagai penganut paham Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.

46 M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “pelopor pola baru penulisan Tafsir al-

Qur‟an Indonesia : Mahmud Yunus”, Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari - Juni 2015,

h. 342.

68

G. Pengelompokan Ayat-Ayat Kalam

No Tema Ayat Tafsir Qur’an Karim Karya Mahmud

Yunus

Keterangan ayat

1.

Iman

Kepada

Allah

SWT

Q.S. al-

Baqoroh: 3-4

(Yaitu) orang-orang yang beriman

(percaya) kepada yang ghaib,

mendirikan sembahyang dan

menafkahkan sebagian rezeki yang kami

berikan kepada mereka.

Dan orang-orang yang beriman kepada

(kitab) yang telah diturunkan kepada

engkau (Ya Muhammad) dan Kitab-

Kitab yang diturunkan sebelum engkau,

sedang mereka itu yakin akan adanya

(hari) kiamat.

Orang-orang yang percaya kepada sesuatu yang

ghaib (sesuatu yang tidak dapat ditangkap dengan

salah satu panca indera), seperti percaya, bahwa

diatas kekuasaan manusia ada yang Maha Kuasa,

yaitu Allah. Orang-orang yang beragama memang

percaya kepada yang gaib itu. Tetpi orang-orang

yang beragama memang percaya kepada yang

gaib itu. Tetapi orang-orang yang tidada beragama

tiada percaya. Melainkan kepada apa-apa yang

dapat disaksikan dengan pancaindera atau dengan

perkakas ilmu alam atau kimia.

Pada abad ke XX ini sudah banyak profesor-

profesor di Eropa dan Amerika yang telah percaya

kepada yang gaib, yaitu tatkala mereka

menyelidiki „ilmu spiritualisme dan „ilmu

hypotisme (Mesmerisme). Dengan percobaan

mereka telah banyak orang-orang terpelajar di

Eropa yang percaya akan adanya roh manusia,

sebagai pokok bagi mereka untuk percaya kepada

Allah, Malaikat, d.s.b.

Orang-orang yang mendirikan sembhayang

artinya mengerjakan sembhayang dengan jasmani

dan hati yang khusu. Adapun orang-orang

sembhayang dengan jasmani saja sedang hatinya

tidak menghadap kepada Allah, maka orang itu

69

tiada dinamai mendirikan sembhayang.

Orang yang membayar sebagian hartanya untuk

penolong fakir miskin (zakat).

Mereka percaya kepada al-Qur‟an dan kitab-kitab

yang diturunkan kepada Nabi-Nabi dahulu. Kala.

Mereka percaya dan yakin akan hari yang

kemudian. Waktu itu akan disiksa orang-orang

yang memperbuat kejahatan dan diberi nikmat

orang-orang yang memperbuat kebaikan.

Orang-orang takwa itulah yang menang dan

sukses dari Dunia sampai ke akhirat. Dan itulah

mereka yang mendapat nikmat dari pada Allah

serta tiada dimurkai dan tiada pula sesat (al-

Fatihah: 7)

2.

Iman

kepada

malaikat

Q.S. al-An‟am:

61

Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan

tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan

diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat

penjaga, sehingga apabila datang

kematian kepada salah seorang di antara

kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-

malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat

Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.

Allah mengirim malaikat untuk menjaga dan

mengawasi tiap-tiap orang. Malaikat malaikat itu

menuliskan semua perbuatan manusia, baik atau

buruk sehingga ia tidak dapat mengingkari amal

perbuatannya. Dan begitu juga Allahmengirim

malaikat maut untuk mengambil roh (jiwa)

manusia. Bukan roh mukmin diserahkan kepada

malaikat rahmat dan roh kafir kepada malaikat

azab. Kemudian malaikat-malaikat membawa roh

itu ketempat yang ditentukan Allah.

70

3. Q.S. al-

Mu‟min: 7

(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy

dan Malaikat yang berada di

sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya

dan mereka beriman kepada-Nya serta

memintakan ampun bagi orang-orang

yang beriman (seraya mengucapkan):

"Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu

Engkau meliputi segala sesuatu, Maka

berilah ampunan kepada orang-orang

yang bertaubat dan mengikuti jalan

Engkau dan peliharalah mereka dari

siksaan neraka yang menyala-nyala,

„Arsy artinya tempat tidur raja, kursinya atau tahta

kerajaannya. Adapun „arsy Allah itu tidak kita

ketahui hakekatnya, malahan „arsy yang

bersesuaian dengan kebesaran-Nya. Menurut

keterangan ayat ini „arsy itu dipikul oleh malaikat-

malaikat , artinya malaikat-malaikat itulah yang

memeliharanya atau untuk menjadi kiasan, bahwa

malaikat-malaikat itu tinggi derajatnya, karena

hampirnya dari „arsy Tuhan.

Malaikat-malaikat yang memikul „arsy itu dan

dikelilingnya, semua tasbih yang menyucikan

Tuhan, dari sifat-sifat kekurangan serta

memujiNya.

4.

Iman

kepada

kitab

Allah

Q.S. al-

Ma‟idah: 48

Allah menurunkan kitab al-Qur‟an kepada Nabi

Muhammad yang membenarkan kitab yang

sebelumnya serta mengawasinya, yakni

memebnarkan yang benar dalam kitab itu dan

membetulkan yang tidak benar, karena usaha

71

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al

Quran dengan membawa kebenaran,

membenarkan apa yang sebelumnya,

Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan

sebelumnya) dan batu ujian terhadap

Kitab-Kitab yang lain itu: Maka

putuskanlah perkara mereka menurut apa

yang Allah turunkan dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu mereka dengan

meninggalkan kebenaran yang telah

datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat

diantara kamu, Kami berikan aturan dan

jalan yang terang. Sekiranya Allah

menghendaki, niscaya kamu dijadikan-

Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak

tangan manusia. Sebab itu Allah menyuruh Nabi

Muhammad dan umatnya, supaya juga

menghukum menurut yang diturunkan Allah

dalam al-Qur‟an. Allah telah mengadakan untuk

tiap-tiap umat syari‟at yang tertentu dan jalan

(cara, sistem) untuk memberi petunjuk dan

menyucikan jiwa mereka. Memang syari‟at tiap-

tiap umat berlainan, tetapi pokok Agama hanya

satu, yaitu Tauhid, Mengesakan Allah dan

mengislamkan (menundukan) jiwa raga dengan

patuh kepada Allah serta ikhlas dan berbuat baik

sesama manusia. Janganlah kamu berbantah-

bantah karena berlainan syari‟at itu, bahkan

kehendaklah kamu berlomba-lomba memperbarui

kebaikan, karena orang yang beriman hanya

dengan banyak amalan bukan dengan banyak

omongan.

72

menguji kamu terhadap pemberian-Nya

kepadamu, Maka berlomba-lombalah

berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-

lah kembali kamu semuanya, lalu

diberitahukan-Nya kepadamu apa yang

telah kamu perselisihkan itu,

5.

Iman

kepada

Rasul

Allah

Q.S. al-Ahzab

: 21

Sesungguhnya telah ada pada (diri)

Rasulullah itu suri teladan yang baik

bagimu (yaitu) bagi orang yang

mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak

menyebut Allah.

Adakah rasulullah Muhammad mwnjadi ikutan

dan tiru teladan yang baik bagi orang-orang

beriman yang mengharapkan pahal Allah dan

balasan akhirat. Nabi menyampaikan petunjukan

Allah dalam Qur‟an kepada umat manusia, bukan

semata-mata perkataan saja melainkan juga

dengan memperlihatkan tiru teladan yang baik

untuk jadi ikutan bagi mereka. Inilah salah satu

sebab maka ajaran anbi mendapat kemajuan yang

gilang-gemilang dan dapat mengubah I‟tiqad

(kepercayaan), adat istiadat, budi pekerti bangsa

arab dalam masa yang pendek sekali. Hal ini patut

menjadicontoh bagi pemimpin-pemimpin islam

dan ulama-ulama yaitu selain dari menyeru umat

manusia kepada agama islam dengan perkataan

juga dengan perkataan dan tiru tauladan yang

baik, sebagaimana di buat oleh Nabi s.a.w.

perlihatkan budi pekerti yang tinggi supaya

dicontoh oleh umat manusia.

73

6.

Iman

Kepada

Hari

Akhir

Q.S. al-

Qashas: 88

Janganlah engkau sembah Tuhan yang

lain bersama (menyembah) Allah. Tidak

ada Tuhan (yang berhak disembah)

melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti

binasa, kecuali zatNya. bagi-Nya hukum

putusan segala penentuan, dan hanya

kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Janganlah kamu sembah Tuhan yang lain bersama

Allah, tidak ada Tuhan kecuali Dia. Tiap-tiap

sesuatu akan rusak binasa, kecuali zat Allah,

bagiNya segala putusan dan kepadaNya kamu

akan dikembalikan.

8.

Iman

Kepada

Qadha

dan

Qadar

Q.S. Al-Qamar

: 49-50

Sesungguhnya Kami menjadikan tiap-tiap

sesuatu dengan kadar (takdir yang

ditentukan).

Pekerjaan (urusan) Kami tidak lain,

hanya satu kata, seperti sekejap mata.

Firman Allah : sesungguhnya kami menjadikan

tiap-tiap sesuatu menurut kadar yang tertentu,

kokoh teratur sesuai dengan hikmah yang

terkandung didalamnya. Misalnya letak anggota

muka manusia saja sangat teratur. Kalau kita

hendak makan sesuatu, dilihat oleh mata lebih

dahulu. Kalau baik diambil dengan tangannya,

lalu dihampirkannya ke hidungnya, kalau busuk

tidak jadi dimasukan ke mulut. Tapi kalau tidak

busuk baru di makannya.

Seteruusnya firman Allah : kalau Kami hendak

mengadakan sesuatu tidak lain, hanya dengan satu

kata Kun : adalah engkau seperti sekejap mata,

74

maka jadilah ia.

Artinya apa-apa yang dikehendaki Allah akan

mengadakan sesuatu niscaya ia mesti terjadi, tidak

dapat dihalangi oleh apapun. Ada kalnya Allah

menjadikan dengan langsung seperti ukjizat Nabi

yang di minta oleh umatnya. Atau dengan

mengadakan sebab-sebabnya lebih dahulu. Seperti

mengadakan padi dengan ditanam benihnya lebih

dahulu, dan begitulah seterusnya. Pendekanya

Allah mengadakan sesuatu menurut biasanya yaitu

dengan mengadakan sebab-sebanya lebih dahulu.

Tapi kadang-kadang tanpa kita ketahui sebab-seb

abnya seperti mukjizat Nabi-nabi.

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Corak kalam dalam Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus

mengadopsi metode penafsiran Muhammad ‘Abduh yang menyajikan

takwil secara rasional. Upaya rasionalisasi ayat-ayat al-Qur’an ini sesuai

dengan cara berfikir masyarakat modern. Dimana Ia mendasarkan nilai

iman sebagai yang dinyatakan kedalam Teologi Sunni. Yaitu: iman kepada

Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada

rasul-rasul Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada taqdir Allah.

Iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan

diamalkan dengan perbuatan. Iman kepada Allah termaksud kepercayaan

terhadap hal yang ghaib. Begitu pula Iman kepada malaikat dan hari akhir.

Iman kepada kitab ialah mempercayai dan meyakini bahwa kitab itu

Kalamullah yang disampaikan kepada para rasul Allah, untuk umat

manusia, melalui perantara malaikat jibril. Kitab tersebut ialah Taurat,

Zabur, Injil dan al-Qur’an. Akan tetapi ketiga kitab tersebut telah diangkat

oleh Allah keasliannya ke langit. Dan yang masih ada hingga saat ini ialah

al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Iman kepada

taqdir ialah mempercayai bahwa Allah menjadikan alam ini dan mengatur

segala sesuatu dengan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diketahui

orang sebelum terjadinya. Dan harus mempercayai ketetapan yang baik itu

berasal dari Allah swt, sedangkan ketentuan yang buruk itu datang dari diri

manusia sendiri.

Mahmud Yunus menggunakan metode tafsir ijmalī dalam cara

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna

yang terdapat pada suatu ayat secara global.

76

B. Saran

Semoga tulisan dapat menjadi sumbangan bagi khazanah keilmuan,

khususnya bagi kajian terhadap karya-karya tafsir di Indonesia, meskipun

disadari masih banyaknya kelemahan dalam penyajian tulisan ini.

Sehingga saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan bagi

kesempurnaan tulisan ini. Dan diharapkan akan ada kajian lanjutan

terhadap karya-karya tafsir di Indonesia lainnya. Karena tafsir di Indonesia

juga perlu mendapat sentuhan dan perhatian lebih lanjut. Selain itu karya

tafsir ulama Indonesia juga tidak kalah menarik untuk dikaji.

77

Daftar Pustaka

„Abd. ibn Nuh dan Oemar Bakry. Kamus Arab Indonesia Inggris, Cet. IV,

Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1974.

„Abduh, Muhammad. Risalah al-Tauhid, Dār al-Manar, Kairo, 1965.

„Abdullah Muhammad. Abu bin Isma‟il bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami‟ al-

Shahih, juz 4 (Shahih Bukhari), Daar al-Fikr, 1981.

„Aqiel Siraj, Said. Ahlussunnah Wal Jama‟ah, Yogyakarta: LKPSM, 1997.

Asmami, Yusran. Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo, 1993.

Baharuddin. Paradigma Psikologi Islam, Studi tentang Elemen Psikologi dan al-

Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Bahjat, Ahmad. Mengenal Allah, Pustaka Hidayah, Bandung: 1986.

Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia, Solo: Tiga

Serangkai Pustaka Mandiri, 2003.

Bakar, Abu. Perbandingan Mazhab Syi‟ah. Rasionalisme dalam Islam, Cet II,

Semarang: Ramadhani, 1990.

Dahlan, „Abdurahman dan Ahmad Qarib. “Aliran Politik dan Aqidah dalam

Islam”, Cet. I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Daud Sulaiman, „Abu bin al-Asy‟ats as-Sajastani. Sunan Abi Daud, Juz 2, no.

2410, juz 2, kitab ke-14 dan bab ke-43, Beirut: daar al-Kutub al-„Arabi,

1988.

Gazalba, Sidi. Pola Ajaran Dan Amal Islam (pandangan menyeluruh tentang

ajaran islam), cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

al-Gurabi, Mustofa „Ali. Tarikh al-Islamiyah wa Nasyat Ila Kalam, Kairo:

Muhamad Ali Sabih Press, t.th.

Hamka, Buya. Pengaruh Muhammad Abduh Di Indonesia, Jakarta: Tintamas,

1961.

Hanafi, Ahmad. Teologi islam (ilmu kalam), Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-13,

2010.

Hasbi, Muhammad. Ilmu Kalam, Memotret berbagai aliran Teologi dalam islam,

Yogyakarta: TrustMedia, 2015.

78

Ibrahim, Sulaiman, Pendidikan dan Tafsir “Kiprah Mahmud “Kiprah Mahmud

Yunus dalam Pembaruan Islam,” Jakarta: LEKAS, 2011, Cet. I.

Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, Cet. Ke-3, 2011.

Jaiz, Hartono Ahmad. Rukun Iman di Guncang, Pertentangan Faham Harun

Nasution, Cet Ke-2, Jakarta: Amir Regency, 2000.

al-Jabbar, „Abd, al-Mugni fi Abawab al-Tauhid, jilid XV, Kairo: al-Dar al-

Misriyyat, 1965.

Kementerian Agama RI. al-Qur‟an Dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010,

10 Jilid.

Ma‟lout, Louis, al-Munjid al-Abjadiy, Cet. IV, Beirut: Dar al-Masyriq, 1985.

Muhaimin, Muhammad. Muhaimin, Ilmu Kalam Sejarah dan Aliran-Aliran,

Semarang: Mitra Jaya, 1999.

Muthahhari, Murtadha. Mengenal Ilmu Kalam, Cet. I, Jakarta: Pustaka Zahra,

2002.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS, 2011.

Nata, Abudin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Nasir, A. Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1996.

Nasution, Harun. Muhammad „Abduh dan Teologi Rasional Mu‟tazilah, Jakarta:

UI Press, 1987.

-------, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

Jakarta: UI Pres, 1983.

-------, Harun. Pemikiran Dan Karya-Karya Prof. Dr. Mahmud Yunus Tentang

Pendidikan Islam, Padang: Jurusan Ilmu Sejarah Pascasarjana Universitas

Andalas, 2011.

Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Tim, Ensiklopedi Islam Indonesia , Jakarta:

Djambatan, 1992.

al-Qathan, Manna, Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, Bogor: Pustaka Litera Antar

Nusa, 2011.

79

Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Pendidikan Islam Ciputat: Quantum

Teaching, 2005.

Redaksi Ensiklopedi Islam, Dewan, Ensiklopedi Islam III, Cet. III, Jakarta: PT.

Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2010.

Siddiq, Nourouzaman, Syi‟ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah,

Yogyakarta: PLP2M, 1995.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al- Qur‟an, Bandung: Mizan, Cet. Ke-11,

1996.

-------, M. Quraish. Rasionalitas al-Qur‟an Studi Kritisatas Tafsir al-Manar,

Ciputat, LenteraHati, Cet. Ke-I, 2006.

al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal, Juz I, Kairo: Muassasah al-Halabiy, 1387 H

atau 1968 M.

Tahir Abdul Muin, Taib. Ilmu Kalam, Cet. VIII, Jakarta: Widjyah; 1986.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-

Munawwir, 1984.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hidup Karya

Agung, 1985.

-------, Mahmud. Tafsir Qur‟an Karim. Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

2011.

-------, Mahmud. Tafsir Qur‟an Karim, Cet. LXXIII, Jakarta: PT. Hidakarya

Agung, 2004.

Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Penerbit Pustaka

Panjimas, 1990.

S.H.M. Jafri. dari Saqifah sampai Imamah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1985.

Jurnal:

Amursid, Muhammad dan Amaruddin Asra. “Studi Tafsir Qur`an Karim Karya

Mahmud Yunus”, Jurnal Syahadah, vol. 3, no. 2, (2015).

Iskandar, Edi. Mengenal Sosok Mahmud Yunus, Jurnal: Kependidikan Islam, vol.

3, no. 1, (2017).

80

Masyhudi, Fauzan. Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Konsep Pendidikan Islam,

Jurnal Tarbiyah, vo. 21, no. 1, (2014).

Syarifuddin, M. Anwar & Jauhar Azizy. “Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru

Penulisan Tafsir al-Qur‟an Indonesia”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 2,

no. 3, (2015).

Artikel:

„Abduh, Abdurrahman Tuasikal. Artikel Rumaysho, ( Pesantren Daarus Sholihin:

14 Shafar 1439 H).

Rina, Malta. Artikel: Pemikiran Dan Karya-Karya Mahmud Yunus, Tentang

Pendidikan Islam. Padang: Pasca Sarjana UNAND, 2011.