PENGARUH NEO-SUFISME TERHADAP PERKEMBANGAN CORAK TASAWUF DAN TAREKAT Oleh: Mahrus As'ad 1 STAIN...

39
PENGARUH NEO-SUFISME TERHADAP PERKEMBANGAN CORAK TASAWUF DAN TAREKAT Oleh: Mahrus As’ad STAIN JURAI SIWO METRO E-mail: [email protected] Abstract The raise of neo-Sufism had influenced to the development of the new tasawuf and tarekat in the Islamic world. Neo-Sufism had continously directed them and made the syarite indispensable part of their doctrines. Gradually, this tendency forced them weaken their support to the immanation doctrine of God, replacing it with the transendency doctrine. Although the support to ‘Arabi’s doctrine was unshaky, they always remained in the orthodoxy line because of their loyalty to the syarite. Their return to the original stipulations of the Qur’an and the Sunna liberated them from their non-islamic characters. They also viewed the world more positively, even, tend to be activism when their spiritual and Islamic interests were in disturbed. Neo-Sufism had succeeded in changing the new tasawuf-tarekat to be more responsive to the worldy interest, without leaving their main functions as the spiritual vehicle to intimate with God and to spread Islam as well. Keywords: neo sufisme, syarite, orthodoxy, activism Abstrak Dr. Mahrus As’ad, M.Ag dosen tetap STAIN Jurai Siwo Metro, memperoleh gelar Doktor di bidang Pengkajian Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2007, kini menjabat sebagai Assisten Direktur Program Pascasarjana (PPs) STAIN Jurai Siwo Metro.

Transcript of PENGARUH NEO-SUFISME TERHADAP PERKEMBANGAN CORAK TASAWUF DAN TAREKAT Oleh: Mahrus As'ad 1 STAIN...

PENGARUH NEO-SUFISME TERHADAP PERKEMBANGAN

CORAK TASAWUF DAN TAREKAT

Oleh: Mahrus As’ad

STAIN JURAI SIWO METRO

E-mail: [email protected]

Abstract

The raise of neo-Sufism had influenced to the development of the new tasawuf andtarekat in the Islamic world. Neo-Sufism had continously directed them and madethe syarite indispensable part of their doctrines. Gradually, this tendency forced themweaken their support to the immanation doctrine of God, replacing it with thetransendency doctrine. Although the support to ‘Arabi’s doctrine was unshaky, theyalways remained in the orthodoxy line because of their loyalty to the syarite. Theirreturn to the original stipulations of the Qur’an and the Sunna liberated them from theirnon-islamic characters. They also viewed the world more positively, even, tend to beactivism when their spiritual and Islamic interests were in disturbed. Neo-Sufism hadsucceeded in changing the new tasawuf-tarekat to be more responsive to the worldyinterest, without leaving their main functions as the spiritual vehicle to intimate withGod and to spread Islam as well.

Keywords: neo sufisme, syarite, orthodoxy, activism

Abstrak

Dr. Mahrus As’ad, M.Ag dosen tetap STAIN Jurai Siwo Metro, memperolehgelar Doktor di bidang Pengkajian Islam dari Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2007, kini menjabat sebagaiAssisten Direktur Program Pascasarjana (PPs) STAIN Jurai Siwo Metro.

Kemunculan neo-sufisme abad ke-14 M berpengaruh besar terhadap coraktasawuf dan tarekat abad-abad berikutnya. Terhadap tasawuf, selainmendorong dilakukannya semacam “purifikasi” doktrin agar tidak dimasukiunsur-unsur non Islam, neo-sufisme memberikan arah agar mereka senantiasatetap berada dalam bimbingan syariat, dan syariat menjadi bagian takterpisahkan darinya. Kecenderungan ini secara perlahan kian memperlemahdukungan tasawuf pada doktrin emanasi Tuhan atas makhluknya, digantiktandoktrin transendensi. Walaupun kecenderungannya pada doktrin Ibn ‘Arabitidak goyah, tasawuf senantiasa menempatkan doktrinnya dalam kerangkaortodoks, karena kesetiaannya pada syariat. Pengaruh yang sama terjadi padatarekat. Pengembalian ajaran ke sumber asli Al-Qur’an dan Sunnah membuattarekat-tarekat baru yang muncul terbebas dari sifatnya yang tidak islami, sertamemandang dunia lebih positif, bahkan cenderung bercorak aktivisme bilakepentingan spiritualitas mereka dan dakwah Islam tertanggu. Neo-sufismeberhasil mengubah corak tarekat baru lebih responsif terhadap urusan duniawi,tanpa meninggalkan fungsi utamanya sebagai kendaraan mencapai kedekatandiri kepada Tuhan serta dakwah Islam.

Kata kunci: neo sufisme, syariat, ortodoksi, activisme

1. Pendahuluan

Kemunculan neo-sufisme Ibn Taimiyya (w.728 H/1328 M) dan

muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyya (w.751 H/1350 M) di abad ke-

14 telah membawa perubahan atas corak dan orientasi tasawuf

dan terakat secara mendasar. Walaupun paradigma lamanya tidak

seluruhnya hilang, corak dan orientasi tasawuf baru telah

mengalami perubahan doktriner yang penting; dari tasawuf yang

berlebihan pada praktek asketik, digantikan dengan tasawuf

yang lebih menekankan syariat, serta adanya pengaitan dan

pendamaian secara selektif doktrin mistiko-filosofis Ibn

‘Arabi dengan ajaran-ajaran tasawuf Al-Ghazali. Pada tarekat

perubahan paling menonjol terjadi pada bentuk

pengorganisasiaannya yang lebih longgar dan ciri ajarannya

yang telah disesuaikan dengan kecenderungan ortodoks. Praktek

pengamalan tarekat tidak lagi dilakukan di tempat-tempat

khusus, seperti zawiya, ribat, atau khanaqah, melainkan di

tempat-tempat lebih umum, seperti masjid dan rumah-rumah

pribadi guru. Calon-calon sufi masa ini cenderung lebih

inklusif dengan masyarakat, tidak seperti para darwis di masa

awal dengan penampilan khusus. Perubahan corak tasawuf dan

tarekat baru berakibat tidak saja pada perubahan citra

tasawuf dan tarekat itu sendiri, tetapi juga warna Islam

secara keseluruhan yang dipeluk kaum Muslim di kemudian hari.

Namun, tidak berarti tarekat masa ini telah mengalami

penggusuran total dari aspek-aspek tradisi lamanya. Ada yang

masih tetap dipertahankan, yaitu doktrin ajaran yang tidak

bertentangan dengan syariat. Gejala kesinambungan, di samping

perubahannya, terjadi pula pada tasawuf masa-masa berikutnya.

Bagaimana ciri-ciri mereka selanjutnya sangat ditentukan oleh

lingkungan tempat mereka mengembangkan diri dan menarik

banyak pengikut.

Tulisan ini berusaha mengungkap pengaruh neo sufisme

terhadap kesinambungan dan perubahan doktrin tasawuf dan

tarekat yang timbul di masa sesudahnya. Agar diperoleh

gambaran yang jelas mengenai objek kajian dimaksud, terlebih

dahulu dilakukan survei historis untuk membahas masalah-

masalah terkait mencakup perkembangan doktrin dan pelembagaan

tasawuf di masa-masa awal, neo-sufisme dan pengaruhnya

terhadap pembaharuan doktrin tasawuf, terbentuknya lembaga

tarekat dan munculnya tarekat baru, serta reorientasi doktrin

tasawuf dan pengaruhnya terhadap gerakan tarekat abad-abad

berikutnya.

2. Perkembangan Doktrin dan Pelembagaan Tasawuf

Perkembangan tasawuf dalam Islam tidak dapat dipisahkan

dengan gerakan zuhud (ascetism) di kalangan kaum muslimin

abad ke-1 H/7 M.1 Gerakan ini semula adalah gerakan protes

dari sekelompok orang salih terhadap penguasa Umayah yang

dianggap kurang religius dan bertentangan dengan kesalihan

dan kesederhanaan hidup Nabi saw. dan empat khifah

sesudahnya.2 Ngeri melihat kebatilan dan kezaliman dari

kalangan atas, orang-orang salih yang berfikir serba agamis

1 Reynold A. Nicolson, “Sufism” dalam James Hastings, Encyclopaedia ofReligion and Etics, Vol. 12, (Charles Scriber’s: tt) h. 10; Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani (al-Taftazani), Sufi dari Zaman ke Zaman, Diterjemahkanoleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani (Bandung: Pustaka, 1983) h. 54.2 Fazlul Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979)h. 129; Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,1992) h. 256.

tersebut berusaha menarik diri dari masyarakat sambil

melancarkan kritik.3 Gerakan mereka lebih diarahkan pada

tindakan-tindakan yang bersifat moral dan cenderung menolak

bentuk-bentuk kekerasan. Mereka yang tergabung dalam

kelompok ini adalah orang-orang salih, yang mencurahkan

hidup sepenuhnya untuk beribadat kepada Tuhan.4 Hassan al-

Bashri (w.110 H.), seorang tokoh mutakalimin besar dan

terkenal salih, adalah wakil terkemuka dari kelompok ini.

Selama abad ke-2 H/8 M, sebagai ekses dari menonjolnya

pendekatan serba fiqh dan kalam dalam kehidupan kaum

muslimin, terutama di Basrah, muncullah kelompok anti

ritualistik yang menekankan pada pentingnya aspek-aspek

kesalihan yang lebih tinggi, yang pada gilirannya

menyebabkan terjadinya pendalaman dalam aspek zuhud.

Pengertian zuhud pada masa ini bukan sekedar penarikan diri

dari kehidupan masyarakat umum, tetapi bahkan lebih menjurus

pada pengertian humilitas (kepapaan) yang tidak lagi hirau

dengan masalah makanan dan pakaian.5 Konsep Al-Qur’an

tentang tawakkul yang semula berkonotasi etis berkembang

menjadi doktrin ekstrim tentang pengingkaran dunia, yang

akhirnya melahirkan konsep sentral sufi: hubungan manusia

3 A.J. Arberry, Sufism an Account of the Mystics of Islam, (London: Mandala Books,1979) h. 32-33.4 Reynold A. Nicolson, Op. cit.5 Ibid.

dengan Tuhan.6 Karenanya, zuhud yang sejati, dengan tetap

berteguh pada syariat, berarti pengekangan nafsu dengan

tujuan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih. Kefakiran, rendah

hati, dan pasrah adalah ciri utama sufi-sufi abad ini.

Mereka mencintai Tuhan, tetapi pada saat yang sama, mereka

lebih takut pada-Nya. Atas dasar ini, Nicholson menempatkan

posisi tasawuf masa ini antara zuhud dan ma’rifat, lebih

tepatnya ridla.7 Doktrin tasawuf Ibrahim bin Adham (w. 160

H.) dan Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H.) bisa dijadikan contoh

dalam h ini.

Pada abad ke-3 H/9 M tasawuf memasuki era baru. Selain

pembentukan doktrin, terjadi peralihan konkrit dari paham

zuhud ke konsep tasawuf dalam arti sesunggunya. Para sufi

yang sebelumnya disebut zahid memperkenalkan konsep-konsep

baru yang baku, seperti ma’rifat, fana’, hulul, dan sebagainya.

Munculnya konsep-konsep ini menjadikan tasawuf Islam lebih

sempurna hingga terciptalah ilmu tasawuf.8 Dalam segi

doktrin, tasawuf abad ini mengenal dua aliran: Khurasan dan

Bagdad. Aliran Khurasan ditandai dengan penekanannya pada

doktrin tawakkul atau kepasrahan pada kehendak Tuhan,

cenderung spekulatif-panteistik, mengabaikan ketentuan-

ketentuan syariat, dan merusak tradisi ritual kaum muslimin

6 Fazlul Rahman, op. cit., h. 130.7 Reynold A. Nicolson, Op. cit.8 al-Taftazani, Op. cit., h. 17 dan 139.

yang sudah lazim.9 Tasawuf Al-Bistami (w. 201 H) dengan

doktrin fananya serta Al-Hlaj (w. 309 H) dengan doktrin

hululnya hingga melahirkan ungkapan Ana al-Haq dapat dijadikan

contoh. Sedangkan, aliaran Bagdad lebih menekankan kezuhudan

dan kesalihan, cenderung menolak asketisme radikal, menjauhi

doktrin fana, dan tetap berpegang teguh pada ketentuan-

ketentuan syariat, di samping menghidupkan tradisi

peribadatan kaum muslimin pada umumnya.10 Haris al-Muhasibi

(w. 243 H) dan muridnya al-Junaid al-Bagdadi (w. 298 H)

merupakan eksponen utama aliran ini, yang berkat murid-

muridnya kelak memunculkan tarekat dalam Islam.

Selama abad ke-4 H/10 M, terjadi ketegangan antara

kedua aliran tasawuf ini. Atas dukungan ulama ortodoks,

aliran Bagdad berhasil memenangkan pengaruh, dan aliran

Khurasan sementara tenggelam. Munculnya sejumlah teoritisi

handal, seperti al-Sarraj (w. 377 H/987 M), penulis al-Luma’,

dan Al-Kalabadzi (w. 390 H/995 M), penulis Ta’arruf, serta al-

Qusairi (w. 465/1073 M), penulis Risalah, menjadikan aliran

Bagdad dapat merangkul golongan ortodoks dan tasawuf

terintegrasi dengan syariat. Gerakan ini mencapai puncaknya

pada gagasan dan tokoh Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dengan

keberhasilannya membawa tasawuf ke posisi terhormat di

9 Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1993) h. 112.10 Ira M. Lapidus, Ibid.

kalangan Sunni.11 Al-Ghazali dengan tasawuf moderatnya,

tidak saja telah merekonstruksi Islam ortodoks dengan

menjadikan tasawuf sebagai bagian integralnya, tetapi juga,

dan ini lebih penting, berhasil membersihkan tasawuf dari

unsur-unsur yang tidak Islami.12

Namun, di sisi lain, pembaharuan tasawuf al-Ghazali ini

pada saat yang sama juga menjadi titik balik yang penting

bagi perkembangan doktrin tasawuf selanjutnya. Yang sangat

menonjol adalah munculnya doktrin “kesatuan wujud” (wahdat al-

wujud), yang akar-akarnya sebenarnya sudah ditancapkan oleh

Dzun Nun al-Misri (w. 860 M).13 Menurut para pengikut

doktrin ini, wujud itu satu; semua yang tampak banyak

sesungguhnya satu kesatuan; dan semua yang tampak itu

merupakan wujud luar Tuhan.14 Inilah doktrin sentral tasawuf

dalam Islam, yang merupakan puncak dari teori tasawuf sufi-

sufi abad ke-7 H/13 M dan sesudahnya.15 Namun, karena

dinggap menyimpang dari ajaran Islam dan dituduh menjadi

penyebab diabaikannya syariat, doktrin wahdat al-wujud tidak

pernah bebas dari serangan, terutama dari golongan ortodoks.

11 D.B. MacDonald, “Sufism”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopedia of Islam, (London:E.J.Brill, 1987) Vol. III, h. 149.12 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 140.13 S.A.Q. Husaini, The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabi, (Lahore: S.H. MuhammadAshraf, 1970) h. 21.14 Reynold A. Nicolson, Op. cit., h. 15.15 Cyril Glasse, The Consise Encyclopedia Of Islam, (London: StanceyInternational, 1989) h. 414.

3. Neo-Sufisme dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Doktrin Tasawuf

Sebagai reaksi atas meluasnya penyebaran pengaruh

doktrin wahdat al-wujud, di kalangan ulama ortodoks muncul

gerakan pembaharuan tasawuf yang disebut dengan neo-sufisme

atau tasawuf baru. Seperti sudah disinggung di muka, gerakan

neo-sufisme pertama kali dicetuskan oleh Ibn Taimiyyah (w.

728 H/1328 M) dan muridnya Ibn Qayyim Jauziyyah (w. 752

H/1352 M), bertujuan membangun tasawuf yang berpangkal pada

Al-Qur’an dan Sunnah dan senantiasa di bawah kedua sumber

ini, tanpa meninggalkan keterlibatannya dalam kehidupan

masyarakat.16 Ciri utama tasawuf baru ini adalah tekanannya

pada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah

guna mendekati Tuhan, tetapi dengan sasaran yang

disejajarkan dengan doktrin salaf, untuk meneguhkan keimanan

kepada akidah yang benar serta kemurnian moral jiwa. 17

Dengan demikian, kemunculan neo-sufisme sesungguhnya

merupakan upaya untuk menghidupkan kembali aktifisme salaf

dalam keberagamaan kaum muslim dan menanamkan sikap positif

pada dunia, yang sebelumnya tenggelam dalam pengaruh paham

zuhud.

Menariknya, gerakan neo-sufisme justru menonjol di

kalangan tasawuf sendiri. Seorang sufi terkenal Alaud Daulah

16 Nurcholish madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995) h.93.17 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 195.

al-Samnani (w. 736 H/1336 M) mengkritik bahwa doktrin wahdat

al-wujud sebagai mencapur-adukkan Tuhan dengan alam dan

menyamakan yang Ilahiah dengan yang manusiawi. Gerakan ini

mendapatkan dukungan kuat dalam ajaran Ahmad al-Sirhindi (w.

1034 H/1625 M), seorang sufi terkemuka dari perkumpulan

tarekat Naqsyabandiah India. Al-Sirhindi sebenarnya

sependapat dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini satu dengan

Tuhan dan merupakan penampakannya, tetapi berbeda dengan Ibn

‘Arabi, bahwa alam adalah determinasi dari ketiadaan dengan

pantulan wujud Tuhan, yang sebenarnya lain dari dan berbeda

dengan wujud Tuhan. Pada hakekatnya alam ini tiada dan

bersifat ilusif belaka, dan hanyalah pantulan dari wujud

Tuhan. Karena pantulan lain dari wujud Tuhan, hakekat dan

keberadaan alam ini juga lain dari Tuhan. Menurut Ibn

‘Arabi, alam ini secara substansi satu dengan Tuhan,

keberadaannya adalah keberadaan Tuhan; ia adalah Tuhan dalam

bentuk manifestasi keterbatasannya. Singkatnya, demikian

Abdul Haq Anshari, teosofi Ibn ‘Arabi bersifat monisme

kosmik dan dapat dikelompokkan sebagai panteisme. Sedangkan,

teosofi al-Sirhindi, monisme akosmik dan menarik garis paham

transendensi mutlak.18

Gagasan Al-Sirhindi memang tidak dielaborasi secara

lengkap dan menyeluruh; akan tetapi, kritiknya terhadap

18 Abdul Haq Ansari, “Syah Waliy Allah Attempts to Revise Wahdat al-Wujud”, Arabica, (Leiden: E.J. Brill, 1988) No. 35, h.197-213.

doktrin wahdat al-wujud benar-benar menggoncangkan dunia sufi.

H ini dapat dilihat dari munculnya beberapa sufi yang

sementara tetap setia mempertahankan konsep Ibn ‘Arabi; pada

saat yang sama, mereka mencoba memasukkan paham transendensi

ke dalam sistem Ibn ‘Arabi tersebut. Syah Waliy Allah al-

Dihlawi (w. 1176 H/1762 M) dari India dapat dijadikan contoh

dalam h ini.19 Beberapa ulama sufi Melayu Abad ke-11 H/17 M

dan Abad ke-12 H/18 M, juga dapat dimasukkan dalam kelompok

ini, seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1077 H/1666 M), Abd

al-Rauf al-Sinkili, Yusuf al-Makasari (w. 1699 M), Abd Samad

al-Palembani (w.1203 H/1788 M), Muhammad Arsyad al-Banjari

(w. 1227 H/1812 M), Muhammad Nafis al-Banjari, dan Daud al-

Fatani.20

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa usaha ulama,

khususnya setelah Al-Ghazli, untuk mengarahkan doktrin

tasawuf dari kecenderungannya yang menyimpang dari doktrin

19 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 202.20 Mengenai peran aktif keterlibatan ulama-ulama Melayu-Indonesia abadke-17 dan abad ke-18 dalam pembelaan dan pengembangan neo-sufisme, lihatAzyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII danXVIII, (Bandung: Mizan, 1994); Christian Dobbin, Islamic Revivalism in a ChangingPeasant Economy Central Sumatra, 1784-1847, (Cruzon: Cruzon Press, 1983);Chatib Chuzwain, Mengenal Allah Suatu Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palembani, Ulama Palembang Abad ke-18 Masehi, (Jakarta: Bulan Bintang,1985); Hafifz Dasuki (ed.), ‘Abdus Samad al-Palembani”, Ensiklopedi Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Baru van Hoeve, 1993); Karel A. Steenbrink,Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang,1984); Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya diNusantara, (Surabaya: al-Ikhlas, 1980).

ortodoks terus dilakukan. Melalui proses agak panjang,

kemunculan neo-sufisme berhasil memberikan arah baru dan

sekaligus “menjinakkan” doktrin tradisional tasawuf,

meskipun tidak secara total. Dengan tetap menjaga

kesinambungan (continuity) doktrin tradisionalnya, neo-sufisme

membawa perubahan (change) doktrinal yang mendasar di

dalamnya, dalam rangka menjauhkan tasawuf dari pemahamannya

yang menjurus kepada kesesatan. Dengan pendekatan seperti

ini, selain memungkinkan tasawuf dapat mempertahankan

doktrin wahdat al-wujudnya Ibn ‘Arabi, secara sadar dan

“cerdik”, mereka berusaha mendamaikan doktrin tersebut

dengan ajaran-ajaran ulama ortodok, dalam h ini seperti yang

diperkenalkan Al-Ghazali. Pengaruhnya sangat luas, tidak

terbatas pada wilayah tertentu saja, melainkan menjangkau

hampir ke seluruh kawasan dunia muslim, termasuk kawasan

Melayu Indonesia. Berkat gerakan neo sufisme, ajaran-ajaran

tasawuf yang kemudian berkembang di dunia Islam senantiasa

dalam pengawasan syariat, dan syariat tetap menjadi bagian

tak terpisahkan dari doktrin tasawuf. Masuknya syariat ke

dalam doktrin tasawuf dengan sendirinya semakin memperkokoh

posisi Islam ortodoks yang pada gilirannya memudahkan

dirinya dalam upaya turut mewarnai wajah Islam secara umum

di dunia Islam hingga masa-masa berikutnya.

4. Terbentuknya Lembaga Tarekat

Istilah tarekat (Arab: ţariqah), secara harfiah berarti

“jalan”, sama dengan sabīl21, yang dalam literatur sufi

memiliki dua pengertian yang hanya dapat dijelaskan melalui

proses kesejarahannya. Tarekat dalam pengertian pertama

adalah suatu metode kerohanian untuk memberikan bimbingan

spiritual kepada seseorang dalam mengarahkan kehidupannya

menuju kedekatan diri dengan Tuhan.22 Terekat dalam

pengertian ini merupakan jalan yang harus ditempuh atau

diikuti seorang sālik, lewat mana sejumlah maqāmāt dan ahwāl

harus dilampaui untuk sampai kepada tujuan akhir, yaitu

ma’rifat dengan Tuhan.23 Dengan demikian, tarekat dalam

pengertian ini berkonotasi individual di mana kehidupan

sufistik menjadi ciri utamanya.

Bergesernya sifat individual ke sifat kolektif dalam

bentuk persaudaraan sufi terjadi selama abad 3 H dan ke-4

(9 M dan 10 M) menyusul terselenggaranya haqah-haqah kecil

oleh seorang guru sufi bersama sejumlah murid/pengikutnya,

dalam organisasi yang masih longgar dan tidak tetap,

berkembang menggunakan pusat-pusat pertemuan, seperti ribat,

zawiyah, atau khanaqah.24 Di pusat-pusat pertemuan sufi

21 Abu Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Mastriq,1986) h. 465.22 Louis Massignon, “Tarika”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopaedia of Islam,(Leiden: E.J. Brill, 1987) h. 467.23 A.H. Johns, “Tariqah”, dalam Mircia Eliade, The Encyclopaedia of Religion,(New York: Macmillan Publishing Company, 1987) h. 342.24 Phillip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1973) h. 439.

inilah, di bawah bimbingan seorang guru (syaikh), pendidikan

sufi dilaksanakan. Dengan makin bertambahnya aktifitas dan

jumlah khanaqah (ribat, zawiyah) dari waktu ke waktu, beberapa

teori, konsep, dan amalan mistis diperkenalkan, begitu juga

tata tertib untuk mengatur kehidupan bersama. Pada paroh

kedua abad ke-6 H/12 M ketika semua itu mencapai

kemapanannya, tarekat telah menjelma ke dalam pengertian

kedua, menjadi persaudaraan sufi (sufi brotherhood).25

Dalam pengertian kedua ini, terekat berarti komunitas

di mana sejumlah sufi bergabung dengan seorang guru (syaikh)

dan tunduk di bawah aturan-aturan tertentu, baik secara

kolektif di berbagai khanaqah, ribat, atau zawiyah maupun

pertemuan rohani secara periodik.26 Tarekat dalam pengertian

kedua banyak sekali jumlahnya; mereka menggunakan nama

bermacam-macam sesuai nama sang pendiri. Di Bagdad, ada

tarekat Qadiriyyah, tarekat paling tua, pendirinya adalah

Abd al-Qadir Jailani (w. 525 H/1131 M); ada Syuhrawardiyyah

pendirinya Abd Qahar Abu Najib al-Syuhrawardi (w. 578 H/1182

M), dan Rifaiyyah pendirinya Ahmad Rifa’i (w. 578 H/1162 M).

Di Turki, Yasawiyyah dan Maulawiyyah, pendirinya secara

berurutan Ahmad Yasafi (w. 562 H/1166 M) dan Jalal al-Din

Rumi (w. 672 H/1273 M). Di Afrika Utara, Sadziliyyah

pendirinya Abu Hasan al-Syadzili (w. 656 H/1258 M); di Mesir

25 A.H. Johns, Op. cit., h. 344.26 J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (Oxford University Press, 1979).

Ahmadiyyah atau Badawiyyah pendirinya Ahmad Badawi (w. 675

H/1275 M); di Persia Kubrawiyyah dan Khwatiyyah secara

berurutan pendirinya Najm al-Din Kubra (w. 618 H/1221 M) dan

Umar al-Khwati (w. 1397 M). Di Asia Tengah, Naqsabandiyyah

pendirinya Baha’ al-Din Naqsaband (w. 791 H/1389 M); di

India Chistiyyah pendirinya Mu’in al-Din Chisti (w. 633

H/1236 M). Dan masih banyak lagi tarekat lainnya, induk

maupun cabang, terus bermunculan di dunia Islam, dari

berbagai generasi pada abad ke-9 H/16 M. Menurut

penghitungan al-Attas, jumlah mereka mencapai 177 buah

ordo.27

Meskipun demikian, tarekat yang banyak dan bermacam-

macam itu, secara doktrinal-objektif pada dasarnya tidak

terdapat perbedaan satu dengan yang lain. Yang membedakan

mereka hanyalah dalam segi ritualnya, seperti dalam metode

berzikir dan amalan peribadatannya. Tarekat Rifaiyyah,

misalnya, lebih menyukai zikr keras; sedangkan,

Naqsyabandiyyah kesukaannya zikr sedang-sedang saja. Dalam h

doktrin dan tujuan, mereka sesungguhnya sama, yaitu

meningkatkan kualitas moral-spiritual sesuai dengan ajaran

Islam.28 Sejak abad ke-6/13 M dan seterusnya apa yang

sekarang disebut dengan tarekat-tarekat besar muncul. Mereka

27 Syed Naquib al-Attas, Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among theMalays, (Singapore: Malayan Sociological Research Institute Ltd., 1983)h.31.28 A.J. Arbery, Op. cit., h. 89.

ini, selain sisi esoterik-batiniahnya, bertambah besar dan

lebih komprehensif. Dalam keadaan seperti ini, tidak

tertutup kemungkinan terjadinya dilusi antara cita dan

pengamalan tarekat dengan kepercayaan masyarakat umum,

sehingga dengan mudah tarekat menjadi gejala massa, dengan

seluruh lapisan yang ada.

Di lingkungan elit-politik, para sufi mendapat

perlindungan dan perlakukan khusus, bahkan dapat memasuki

jaringan khusus. Dengan kalangan ulama ortodoks, mereka juga

dapat bekerja sama, sehingga memudahkan tasawuf berintegrasi

dengan syariat. Di kawasan-kawasan perbatasan, seperti

Afrika Utara, Asia Tengah, dan India tarekat sufi

berafiliasi dengan para pejuang Islam, sehingga dapat

memainkan peranan penting dalam proses islamisasi.29 Di

kalangan bawah, pengaruh tarekat lebih hebat lagi. Di sini

pelayanan para guru sufi tidak saja terbatas pada pemberian

bimbingan spiritual dengan jalan zikr, pembacaan wirid, dan

amalan-amalan peribadatan lainnya, tetapi mencakup juga

pelayanan sosial yang konkrit kepada siapa saja yang

memerlukan. Tempat tinggal mereka, khanaqah (ribat/zawiyyah),

selain terbuka untuk umum, tempat para musafir dan pedagang

bisa menginap, si miskin memperoleh bantuan, dan orang-orang

sakit mendapatkan perawatan.30

29 Ira M. Lapidus, Op. cit., h. 171.30 A.H. Johns, Op. cit., h. 344.

Penyebaran tarekat-tarekat ini ada yang hanya terpusat

di tempat-tempat didirikannya, ada yang bersifat regional;

namun, tidak sedikit yang meluas hingga ke banyak wilayah

Islam lainnya. Tarekat Qadiriyyah, misalnya, bermula di

Bagdad, tetapi kemudian menyebar secara meyakinkan di Yaman,

Mesir, Sudan, Maghrib, Afrika Barat, India, dan Asia

Tenggara. Demikian juga Naqsyabandiyyah, walaupun didirikan

di Bukhara, tarekat ini memainkan peranan penting di India,

dengan cabang-cabangnya di Cina, Asia Tengah, Timur Tengah,

dan Indonesia.31

Pergerakan tarekat pada masa-masa awal tampak lincah

sekali dan bisa memasuki hampir semua lini kehidupan kaum

muslimin. Menurut A.H. Johns, ada beberapa faktor turut

memfasilitasi penyebaran tarekat. Selain daya tarik sisi

esoterik-batiniahnya, faktor pengakuan dan penerimaan

tasawuf di kalangan ulama ortodoks, munculnya kekacauan dan

ketidakpastian hidup kaum Muslim menyusul tumbangnya

kekhilafah Bani Abbas di Bagdad ke tangan tentara Mongol,

dan jatuhnya kaum Muslim ke tangan penguasa non-Islam

menjadi pendorong yang kuat bagi kaum muslim untuk memasuki

tarekat.32 Dalam situasi demikian tarekat yang dalam segi

rohaniahnya mampu menawarkan keakraban kehidupan sosial

(intimacy of social life) tanpa pandang bulu, dengan sangat mudah

31 Ibid., h. 347-348.32 Ibid., h. 344.

menjadikannya alternatif bagi afiliasi sosial secara

menyeluruh. Ini terbukti bahwa sejak menjadi organisasi

massa, tarekat dapat merekrut anggota dari seluruh lapisan

masyarakat. Terlebih lagi sejak mereka mendapat restu dari

kalangan ulama ortodoks.33

Demikianlah perkembangan tarekat di dunia Islam.

Menyandang peran beragam menjadikan tarekat di masa jayanya

hampir tidak dapat dipisahkan dari Islam, termasuk

penyebaran dan penguatannya di berbagai wilayah baru. Dalam

situasi kehidupan kaum muslim yang secara sosio-ekonomi

politik kehilangan kekuatan, perkumpulan tarekat menjadi

semacam “rumah besar” yang hangat, yang bisa memberi tempat

berteduh sekaligus perlindungan jasmani dan rahani kepada

siapa saja yang memasukinya. Ketangguhan da’i-da’inya dalam

memasuki wilayah-wilayah baru hingga ke pelosok-pelosok

pedalaman tak disangsikan lagi memberikan sumbangan penting

dalam penyebar-luasan Islam, yang dampaknya masih bisa

dirasakan hingga sekarang. Jika saja tidak berkembang

tarekat Islam, sulit dibayangkan agama ini dapat menyebar

dan dikenal secara meluas ke berbagai wilayah yang sering

disebut “pinggiran” (periferal), seperti Afrika Barat34 dan

Indonesia.35 Begitu sentral peran tarekat dalam sejarah33 Ibid.34 Baca Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern sebuah Kultur Praindustri dalam EraIlmu Pengetahuan dan Teknologi, Diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dkk.,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) h. 86-91.35 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Mizan, 1998).

Islam Abad Pertengahan sehingga menjadikan dirinya identik

dengan Islam itu sendiri. Dan menjadi anggota suatu tarekat

sama dengan menjadi Muslim, demikian pula sebaliknya.

Namun belakangan, terutama sejak masa Dinasti Utsmani

(abad ke-8 H/15 M), tarekat mengalami penurunan pamor

dibandingan masa-masa sebelumnya. Tarekat pada masa ini

menjadi gerakan kerakyatan dan membentuk cabang-cabang ke

dalam sejumlah besar aliran, yang sepenuhnya meleburkan diri

ke dalam arus kultus wali.36 Menurut Trimingham, setidaknya

ada dua faktor menjadi penyebab terjadinya kondisi seperti

ini. Faktor internal, ketidakmampuan para sufi menghasilkan

karya-karya kreatif; mereka hanya cenderung membuat

komentar-komentar atau ikhtisar terhadap karya sufi-sufi

sebelumnya. Faktor eksternal, adanya kecenderungan di

kalangan pengikut tarekat yang semakin mengarah pada

formalisme hingga menjauhkan mereka dari substansi tasawuf

yang sebenarnya.37 Kalangan pengikut tarekat selanjutnya

banyak disibukkan dengan perbincangan mengenai biografi,

kedudukan khusus atau kekeramatan para wali.38 Mereka juga

semakin berlebihan memberikan penghormatan kepada para wali,

36 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 103.37 al-Taftazani, op. cit., h. 243.38 Akar dari anggapan ini barangkali dapat dilacak dari teori wilāyat yangdibawa al-Hakim al-Tirmidzi (w. 898 H), bahwa seorang sufi adalah waliyang dengan pencapaian spiritualnya mampu menegakkan tatanan di bumi.Wali ini, karena kekeramatan yang diberikan Tuhan kepadanya, diyakinidapat menjadi perantara bagi mereka orang-orang awam dalam berhubungandengan Tuhan. Baca Ira M. Lapidus, Op. cit. h. 115.

hingga menjurus ke pengkultusan. H ini yang kemudian

menggiring mereka, para pengikut tarekat, yang sesungguhnya

mewakili hampir keseluruhan massa Islam Abad Pertengahan,

cenderung diliputi pandangan dan kebiasaan hidup yang sering

diistilahkan dengan khurafat, takhayul, atau bid’ah, yang

sebenarnya tidak dikehendaki para tokoh sufi terdahulu, dan

juga oleh Islam sendiri. Mudah dimengerti mengapa seorang

tokoh Muhammad bin Abd al-Wahhab (1703-1787) kemudian muncul

dan melancarkan gerakan pemurnian (purifikasi) dalam Islam,

karena kecenderungan sebagian besar massa Muslim abad-abad

ini dinilai semakin jauh tersesat dari ajaran agama. Seperti

akan diperlihatkan nanti, beberapa tarekat baru juga muncul

mengikuti jejak Ibn Abd al-Wahhab dalam usaha menjaga

kemurnian ajarannya.

5. Tarekat Baru

Di tengah merosotnya pamor tarekat, usaha pembaharuan

di kalangan mereka sendiri juga berlangsung. Di kalangan

Naqsyabandiyyah yang berpusat di India, misalnya, muncul

gerakan al-Mujaddidiyah di bawah ajaran Ahmad Sirhindi, yang

menolak ajaran wahdat al-wujud nya Ibn ‘Arabi, dan hendak

mengembalikan tarekat ke pangkuan syariat, dengan mana

pengaruhnya bahkan sudah merembes hingga ke luar India dan

mendominasi Hijaz di abad ke-18. Gerakan ini semakin penting

pada abad ke-19 sejak tampilnya Maulana Khalid (Khalid Dhiya

al-Din), yang darinya kemudian muncul terekat

Naqsyabandiyah-Khalidiyah, untuk mendukung supremasi syariat

dan aktivisme dalam kehidupan kaum Muslim. Pada akhir abad

ke-18 gerakan pembaharuan tarekat dengan maksud yang sama

juga muncul di Mingkabau (Indonesia), di kalangan tarekat

Syatariyyah, yang sangat merosot coraknya, karena telah

tercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lokal.39

Namun, usaha pembaharuan tarekat ini baru mendapatkan

gaungnya yang luar biasa sejak munculnya tarekat-tarekat

baru pada abad ke-18. Tarekat-tarekat baru ini jauh lebih

“revolusioner” jika dibandingkan dengan tarekat-tarekat

klasik di atas, baik dalam segi kandungan doktrik maupun

kelembagaannya. Secara doktrinal, tarekat baru mempunyai

ciri-ciri yang antara lain menolak penghormatan wali secara

berlebihan, tidak mengenal ketatnya otoritas silsilah, bahkan

ada yang menolak sama sekali, dan menjauhkan tasawuf dari

aspek asketisme dengan titik berat pada aktifime-praktis.

Selain itu, tujuan zikirnya mengarah pada penyatuan dengan

roh Nabi, bukan dengan Tuhan. Itulah sebabnya tarekat baru

ini sering disebut dengan tarekat Muhammadiyyah, sebagai39 Ulama yang paling berperan dalam gerakan pembaharuan ini adalahTuanku Nan Tuo dari Ampat Angkat, juga dikenal sebagai pendiri surauCangking dan guru Jalal al-Din sendiri. Dalam membela syariat, TuankuNan Tuo tidak cukup hanya dengan melalui pendidikan yang iaselenggarakan. Lebih dari itu, ia turun ke jalan dan dengan mengancammenghimbau masyarakat agar menegakkan kehidupan berdasarkan syariat.Gerakan “kembali ke syariat” Tuanku Nan Tuo ini semakin menggeloradengan bergabungnya ke dalam kancah ini dua tarekat lain, Qadiriyyah danNaqsyabandiyyah di Minangkabau. Azyumardi Azra, Op. cit., h. 290-291.

peneguhan bahwa tarekat ini dimurnikan dengan bertitik tolak

dari kehidupan moral-spiritual Nabi.40

Dari segi kelembagaan, tarekat baru bisa dikatakan

sebagai gejala khas yang muncul pada akhir abad ke-18 dan

awal abad ke-19, di kawasan-kawasan tertentu di dunia Islam,

terutama di Afrika, dengan sistem keorganisasian yang agak

terpusat dan tidak mudah pecah, jika dibandingkan dengan

tarekat-tarekat sebelumnya. Dalam usaha menarik pengikut,

mereka memperkenalkan bentuk-bentuk organisasi sosial baru

dan bahkan terlibat aktif secara politis.41 Ada beberapa

tarekat baru yang muncul pada masa ini, tiga di antaranya

penting untuk disorot, seperti di bawah ini, karena peranan

mereka dalam pembaharuan tarekat di Sudan, Mesir, dan Afrika

Utara dan Barat. Ketiga treat itu adalah Tijaniyyah,

Idrisiyyah, dan Sanusiyyah.

5.1. Tijaniyyah

Pendiri tarekat ini adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Tijani

(w. 1239 H/1815 M), seorang sufi kelahiran Aljazair Selatan.

Sebelum memulai karir kesufiannya, al-Tijani belajar di

banyak tempat, terakhir di Kairo di bawah bimbingan beberapa

syaikh tarekat. Setelah itu ia kembali ke Fez, untuk

membangun terekatnya setelah konon mendapat “restu” dari

40 J.S. Triminhham, Op. cit., h. 106.41 R.S. O’Fahey, Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idrisi and the Idrisi Tradistion, (London:Hurst and Company, 1990) h. 4.

Nabi.42 Menurut Trimingham, sebagai dikutip dari biografi

al-Tijani, ajaran-ajaran tarekat Tijaniyyah yang

dikembangkan sangat sederhana. Ritualnya tidak rumit, dan

tidak mengharuskan adanya penebusan dosa serta pengasingan

diri, mirip dengan ajaran tarekat Syadziliyyah. Yang

ditekankan justru perlunya seorang penghubung antara Tuhan

dengan manusia, yang untuk masanya tentu saja al-Tijani lah

dan penerusnya. Al-Tijani sangat menentang penghormatan

terhadap wali dan juga sangat melarang para pengikutnya

berbai’at ke dalam tarekat lain.43 Pada awalnya terekatnya

sulit berkembang; akan tetapi, berkat para penerus al-Tijani

dapat menembus Sudan Barat, Nilotic, sampai ke Sudan Tengah.

Pada paroh pertama abad ke-19, Haji Umar dari Tokolor

membawanya masuk ke kawasan Negro Guenea Perancis dan pada

permulaan abad ke-20 Tijaniyyah merupakan salah satu terekat

terpenting di Maroko dan Aljazair.44

5.2. Idrisiyyah

Tarekat Idrisiyyah didirikan di Mekkah oleh seorang

ulama pembaharu sekaligus sufi kelahiran Maroko bernama

Ahmad Ibn Idris (w. 1253 H/1837). Sebelum mendirikan

tarekatnya, Ibn Idris banyak mendalami ilmu-ilmu agama di

tanah kelahirannya. Di antara guru-gurunya adalah Abu al-

42 J.S. Trimingam, op. cit., h. 107. 43 J.S. Trimingam, op. cit., h. 108.44 Ibid., h. 110.

Mawahib ‘Abd al-Wahab al-Tazi (w. 1206 H/1792 M) yang

membaiat Ibn Idris ke dalam tarekat Qadiriyyah dan Abu al-

Qasim al-Wazir, yang berkat bimbingan spiritualnya Ibn Idris

berjumpa dengan al-Khidlir dalam pengajaran zikr, wirid, dan

doa-doa lainnya. Kelak isi pengajaran al-Khidlir ini menjadi

inti terekat Idrisiyyah yang didirikan.45

Menganut sufisme baru, Ibn Idris sangat menentang

prekatek terekat lama yang menurutnya sarat dengan khurafat

dan takhayul. Namun, ia juga tidak menyukai beberapa h dalam

ajaran-ajaran Wahabi, terutama penindasannya terhadap aspek

batini Islam.46 Karena itu, Ibn Idris segera meninggalkan

Maroko untuk selamanya. Setelah berhaji pada 1799, ia

menetap di Kairo untuk menambah pelajaran dan kemudian

pindah ke suatu tempat di Zainiyah. Pada 1818 Ibn Idris

berangkat ke Mekkah dan menetap di sana. Di tempat suci

inilah Ibn Idris menerima banyak murid dan pengikut dari

berbagai wilayah Islam, termasuk Indonesia, sebelum

menyingkir ke Sabiya di ‘Asir Yaman.47 Menurut biografinya,

45 R.S. O’Fahey, op. cit., h. 28-48.46 Pengauruh Wahabi masuk ke Maroko pada 1226 H/1811 M lewat penguasasetempat Mawlay Sulaeman (memerintah 1792-1822 M), atas ajakan reformasiyang disampaikan Sa’ud Ibn ‘abd al-‘Aziz, penguasa Hijaz. Menerimaajakan tersebut Mawlay Sualeman mengirim anaknya beserta sejumlahulamanya ke Mekkah bertepatan dengan musim haji. Sekembalinya dariMekkah, mereka melancarkan gerakan pembaharuan dengan mengadakanpenyerangan besar-besaran terhadap ulama Fez dan kaum marabout yangberakhir dengan traged yang memilukan. J.S. Trimingham, Op. cit., h. 109;R.S. Fahay, Ibid., h. 34-35.47 C.C. Adams, “The Sanusi”, The Muslim Word, 36 1946), h. 23.

seperti dikutip Trimingham, terekat Ibn Idris secara ketat

berdasarkan Al-Qur’an serta Sunnah dan menerima ijma’

terbatas hanya di kalangan sahabat. Bertarekat juga bukan

sekedar mengajarkan wirid dan zikr, tetapi juga untuk

mempersatukan umat ke dalam ikatan Islam.48

Tarekat Idrisiyyah, selain dirinya di kawasan ‘Asir,

lebih lanjut melahirkan tiga tarekat pembaharu lainnya yang

dibangun murid-muridnya: Rasyidiyyah, Mirghaniyyah, dan

Sanusiyyah. Rasyidiyyah, didirkan oleh Ibrahim al-Rasyid (w.

1291 H/1874 M), tersebar hanya di Aljazair. Mirghaniyyah

oleh Muhammad ‘Utsman al-Hijazi (w.1269 H/1953 M) menyebar

ke Sudan dan Nubia. Sanusiayyah, yang akan dibahas di

setelah ini, paling menonjol di antara ketiganya, didirikan

di Mekkah oleh Sayyid Muhammad Ibn ‘Ali al-Sanusi (w.1275

H/1859 M), sepeninggal gurunya pada 1253 H/18378 M).

5.3. Sanusiyyah

Sanusiyyah, seperti sudah disebut, didirikan oleh

Sayyid Muhammad Ibn ‘Ali al-Sanusi kelahiran Aljazair pada

1202 H/1787 M. Akibat konflik mengenai siapa penerus

tarekatnya sepeninggal sang guru, Al-Sanusi memilih

memisahkan diri, dan pada 1837 zawiyah pertamanya dirikan di

jabal Abu Qubais Mekkah. Dari tempat inilah tarekatnya

menyebar ke kawasan-kawasan penting di Hijaz.49 Pada 1840,

48 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 115.49 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 118.

karena alasan politik dan keagamaan, Al-Sanusi dipaksa

meninggalkan Mekkah, dan menyingkir ke perbukitan Jabal

Akhdar di pedalaman Cyrenaica. Di sini ia mendirikan zawiya

pertamanya di Afrika, yang diberi nama Al-Zawiyaht al-Baidla

(Zawiyah Putih).50 Dipilihnya padang pasir ini untuk

zawiyahnya karena dinilai cukup strategis. Di samping subur,

bisa menjadi pusat untuk menarik suku-suku Badui dan

penghubung bagi lalu lintas kafilah yang datang dari Sudan.

Akan tetapi, daerah ini sepertinya belum memberikan apa yang

diinginkan sampai kemudian melirik daerah Sahara Tengah.

Pada 1856 markasnya di Baidla dipindahkan ke Jaghbub, sebuah

kawasan padang pasir di Libya, dengan mendirikan sebuah

zawiya baru yang multifungsi.51 Di sini dibuat bangunan-

bangunan antara lain tempat tinggal pribadi, masjid,

madrasah, asrama penginapan musafir dan pedagang, gudang,

dan lain-lain, yang kesemuanya dipagari dengan benteng-

benteng pertahanan. Di sekelilingnya adalah tanah-tanah

pertanian milik para pengikutnya.52

Dalam seluruh tarekatnya al-Sanusi tampak lebih dekat

dengan gurunya Ibn Idris. Ia menyerukan perlunya persatuan

Islam, kembali kepada ajaran dasar al-Qur’an dan Sunnah, dan

trandensi Tuhan atas cipataan-Nya. Sanusi sangat mencela

amalan-amalan yang umum dilakukan tarekat-tarekat klasik,

50 C.C. Adams, op. cit. h. 24.51 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 119.52 C.C. Adams, op. cit. h. 32.

sepeti pencarian ektase, penghormatan kepada para wali, dan

pemasukan praktek-praktek lokal pra-Islam ke dalam ibadah.

Ia menganjurkan penerapan syariat secara ketat dalam tasawuf

dan tidak mentolelir adanya penyimpangan apapun dari Al-

Qur’an dan Sunnah.53

Sanusi diketahui menggabungkan banyak tarekat sufi ke

dalam tarekatnya, karena menurutnya, tarekat-tarekat sufi

itu bertujuan sama, yaitu sempurnanya jiwa manusia. Namun,

kesempurnaan jiwa tersebut tidak dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi Tuhan dengan jalan menyatu dengan-Nya,

karena h itu di luar kemampuan manusia biasa. Untuk itu,

sebagai gantinya, Sanusi menganjurkan peneladanan terhadap

Nabi Muhammad saw. dalam segala aspek kehidupan dengan tetap

bermuraqabah terhadap rohnya guna mencapai kesucian jiwa.54

Ia mengkalim doktrinnya sebagai hasil ijtihad, dan metode

serta amalan zikr yang dikembangkan untuk tujuan-tujuan

sederhana, berdasarkan ajaran-ajaran Islam salafi. Zawiyahnya

di Jaghbub tidak hanya untuk mengajarkan agama semata,

tetapi juga agar dapat mendorong para pengikutnya melibatkan

diri dalam kehidupan praktis, seperti bertani dan berdagang,

hingga teknik mempertahankan diri dari serangan luar.55

Sanusi sendiri merupakan aktifis sejati dalam program53 R.J.I. Ter Laan, “Sanusi Revivalism as Part of the Fundamentalist Tradition in Islam”, Appendix dalam Nicola A. Ziadeh, Sanusiyah a Study of a Revivalist Movement in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983), h. 140.54 R.J.I. Ter Laan, Ibid.55 Ibid.

pembaharuan moral, seperti diperlihatkan dalam sikap

politiknya. Dan Sanusiyyah dalam segi pengorganisasian

maupun pengarahan tarekatnya dapat dikatakan wakil par

excellence dari neo-sufisme.56

6. Reorientasi Doktrin Tasawuf dan Gerakan Tarekat

Doktrin neo-sufisme yang kemudian mengajawantah ke

dalam kehidupan pribadi-pribadi sufi dan para pendukungnya

menunjukkan bahwa tasawuf yang sudah terbaharui sama sekali

tidak memberi tempat bagi sikap pasif dan penarikan diri

(uzlah) dari masalah-masalah praktis duniawi. Sebaliknya,

mereka malah menghimbau sedemikian rupa agar kaum muslimin

aktif memenuhi kewajiban duniawi, yang seakan-akan menjadi

maqam tersendiri yang harus dilalui dalam rangka mencapai

kemajuan dalam perjalanan mistis. Dalam kasus Melayu

Indonesia abad ke-17, misalnya, sifat aktifisme para tokoh-

tokoh ulama sufi jelas sekali kelihatan, yang ekspresinya

tidak begitu jauh dengan yang diperlihatkan tokoh-tokoh

tarekat pembaharu.57 Jika tasawuf, lewat para tokohnya,

mendukung aktifisme positif kehidupan duniawi, tanpa

mengorbankan pemenuhan disiplin spiritualnya, aktifisme yang

sama menandai kebanyakan tarekat pembaharu. Mereka tidak

56 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 207.57 GWJ Drewes, “Futher Data Concerning ‘Abd al-Samad al-Palembani”, BKI,132 (1976) h. 269; Azumardi Azra, op. cit.

saja menyediakan pelayanan spiritual kepada para pengikutnya

dalam mencapai kesempurnaan jiwa, tetapi juga aktif

melibatkan para pengikutnya dalam pemenuhan kewajiban-

kebutuhan hidup, seperti berdagang, mendirikan koperasi

kerajian, dan sebagainya.58 Sanusiyyah dan Tijaniyyah,

hingga cabang-cabangnya di Sinegal, sebagai contoh,

diketahui aktif melibatkan para ikhwan, sebutan para

pengikutnya, dalam pembuatan jalan raya, pembentukan

koperasi dagang, pelaksanaan proyek-proyek irigasi, dan

pembangunan komunitas pertanian.59

Terakat-tarekat abad ke-19 bahkan melangkah lebih jauh

lagi; kehadiran mereka tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

politik. Mereka mewakili jaringan internasional tidak

kentara, yang berusaha melindungi identitas religio-kultural

Islam menghadapi penguasa-penguasa kolonial dari luar yang

kafir. Dalam rangka melindungi diri seperti ini, aktifisme

sosio-politik mudah sekali berubah menjadi gerakan jihad

guna melawan kekuatan-kekuatan yang dianggap musuh Islam.

Sanusiyyah di bawah Sayyed al-Mahdi dan keturunannya harus

mengangkat senjata melawan serbuan Italia,60 syaikh-syaikh

Naqsyabandiyah-Khidiyah mempelopori gerakan perlawanan

bersifat militan di beberapa wilayah Muslim bagian barat

58 A.H. Johns, op. cit., h. 350.59 Ibid.60 Derek Hoopwood, “A Pattern of Revival Movements in Islam?”, Islamic Quartely, Vol. 15-4, (1974) h. 157.

terhadap agresi Eropa,61 dan Asia Tengah dari pendudukan

Rusia,62 dan Naqsyabandiyah Indonesia melawan kesewenangan

Belanda atau pihak manapun yang mengancam Islam.63

Keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan agresi

penjajah, jika dikehendaki, sebenarnya dapat dideret lebih

panjang lagi. Pertanyaannya adalah apakah sikap militansi

memang menjadi ciri tarekat-tarekat baru, atau hanya

kebetulan saja? Apakah terdapat ajaran atau amalan yang

mendorong tarekat kepada militansi politik? Atau contoh-

contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian, disebabkan

situasi luar biasa; sedangkan, kaum tarekat, terutama

dasawarsa-dasawarsa belakangan, biasanya cenderung apolitik?

Mengenai tasawuf dan tarekat, dalam pengamatan

Bruinessen, terdapat dua pandangan yang bertolak belakang.

Para pejabat kolonial Belanda, Prancis, Italia, dan Inggris,

biasa mencurigai tarekat karena fanatisme kepada guru yang

dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik. Karena itu,

bukan suatu kebetulan jika kajian-kajian Barat yang pertama

mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel

daripada penelitian ilmiah. Karena bahaya politik yang

mereka cerna, banyak pejabat kolonial yang menganjurkan

larangan atau pembatasan terhadap tarekat. Namun, kecurigaan61 Hamid Algar, “The Naqsyabandi Order: a Preliminary Survey of its History and Significance”, Studia Islamica, XLIV, 1976, h. 151-152.62 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,1998) h.67.63 A.H. Johns, op. cit.

terhadap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial.

Pemerintan Turki, misalnya, sejak 1925 melarang semua

tarekat, setelah terjadi pemberontakan nasional Kurdi

dipimpin syaikh-syaikh Naqsyabandiyah, dan larangan itu

berlaku hingga sekarang. Larangan lebih ketat lagi berlaku

di (bekas) Uni Soviet, karena jaringan tarekat merupakan

oposisi bawah tanah yang paling penting di republik-republik

bagian Uni Soviet tersebut.64

Pandangan kedua, sebaliknya, menganggap bahwa

perkembangan tarekat merupakan suatu gejala depolitisasi,

sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Di

sini kaum tarekat dianggap lebih berorientasi pada urusan

ukhrawi daripada masalah duniawi. Mereka dikritik karena

lebih menekankan aspek asketik (zuhd) dan berorientasi

ukhrawi; dalam pendekatkan diri kepada Tuhan, kaum tarekat

biasa menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah, khulwah). Bila

kalangan Islam tradisional dianggap lebih kolot dan

akomodatif serta apolitik dibandingkan kalangan Islam

modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang

kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik.

Pandangan ini tampak menyederhanakan, tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwa ada kaitan erat antara proses depolitisasi,

64 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam diIndonesia, (Bandung: Mizan, 1999) h. 333.

seperti hnya di Indonesia dalam tiga dasawarsa belakangan,

dan suburnya perkembangan tarekat.65

Yang jelas, dua pandangan tentang tarekat di atas, kata

Bruinessen, terkait dengan situasi-situasi yang berbeda.

Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat

ditujukan kepada penguasa-penguasa non-Muslim atau sekuler

(Turki). Di negara Muslim merdeka jarang terjadi

pemberontakan atau sikap oposisi radikal kaum tarekat. Di

sini sikap mereka tidak berbeda dengan kalangan Islam

tradisional umumnya. Bahkan, kaum tarekat sangat dekat

dengan para penguasa. Syaikh-syaikh Naqsyabandiyah, di

negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, cenderung

mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elit.

Pihak yang disebut terakhir ini biasanya sangat “welcome”

dengan mereka. Tampaknya ada semacam simbiose mutualisma di

antara kedua belah pihak. Kedekatan para syaikh dengan

penguasa setempat, selain manfaat yang sifatnya pribadi,

dengan sendirinya dapat membantu memudahkan proses

islamisasi lanjutan. Sedangkan, bagi penguasa dan elit

sendiri, karamah dan kekuatan spiritual para syaikh diyakini

bisa mendatangkan berkah bagi perlindungan dan pelestarian

kerajaan. Dan tak kalah pentingnya, kedekatan dengan para

syaikh, tentu saja, dapat memperkokoh legitimasi penguasa di

mata rakyat. Pendeknya, kehadiran syaikh-syaikh tarekat di

65 Ibid., h. 335.

istana memainkan peranan bervariasi mulai dari guru agama

hingga menjadi “jimat hidup”.66

Tarekat juga terbukti memainkan peranan penting dalam

memperkuat persatuan dan jaringan sosial. Di kawasan Afrika

di mana terdapat banyak suku dan mereka saling bersaing

serta terlibat peperangan, tarekat merekrut banyak pengikut

dari suku-suku yang berbeda, dan berhasil mendamaikan serta

mempersatukan mereka, bahkan mengkoordinir mereka untuk

suatu perjuangan. Negara Libya modern adalah hasil

perjuangan tarekat Sanusiyah, dan syaikhnya yang keempat,

Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara

tersebut.67 Di Kurdistan peranan pemersatu bagi masyarakat

Kurdi yang bersuku-suku dimainkan tarekat Naqsyabandiyah di

akhir abad ke-19. Pemberontakan nasional Kurdi antara 1880

dan 1925 hampir kesemuanya dipimpin oleh syaikh-syaikh

Naqsyabandiyah, karena merekalah yang bisa menyatukan suku-

suku tersebut.68 Di Indonesia tarekat Qadiriyah-

Naqsyabandiyah memainkan peranan penting sebagai jaringan

komunikasi dan koordinasi para pengikutnya dalam perjuangan

melawan pemerintah kolonial.69 Setelah merdeka, potensi itu

muncul untuk tujuan lain. Ketaatan para pengikut kepada

66 Ibid., h. 334-335.67 E.E. Evans Pritchard, The Sanusi of Cyrenaica, (Oxford: Oxford University Press, 1949). 68 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning…Op cit., h. 341.69 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) h. 225-231.

syaikh yang dianggap bisa mendatangkan banyak suara

menjelang pemilu mendorong partai-partai politik berlomba

mendekati tarekat. Di Turki, meski masih di larang, tarekat

menjadi gudang suara yang penting, dan para syaikh memainkan

peranan politik yang menonjol: sebagai anggota parlemen

sekaligus bisa menempatkan orang-orang kepercayaan mereka di

jajaran birokrasi. Di Indonesia, terutama selama Orde Baru,

kebijakan depolitisasi Islam yang diterapkan juga telah

menempatkan tarekat sebagai “gudang suara” yang diperebutkan

oleh partai penguasa dan pesaingnya.70 Dan kalangan tarekat,

tentu saja, sangat menikmati peran barunya ini.

7. Penutup

Kemunculan neo-sufisme abad ke-7 H/14 M sangat besar

pengaruhnya terhadap perkembangan corak tasawuf dan tarekat-

tarekat baru di dunia Islam pada abad-abad sesudahnya. Di

lapangan tasawuf, neo-sufisme telah mendorongnya agar

melakukan semacam “purifikasi” doktrin agar tidak

terkontaminasi dengan unsur-unsur non Islam, serta tetap

bertahan di jalur syariat. Neo-sufisme memberikan arah yang

tidak putus-putusnya agar tasawuf senantiasa tetap berada

dalam bimbingan syariat, dan syariat harus tetap menjadi

bagian tak terpisahkan dari doktrin tasawuf. Dorongan ini

secara perlahan menjadikan tasawuf makin memperlemah

70 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning…Op cit., h. 342-343.

dukungannya untuk mempertahankan doktrin emanasi Tuhan atas

makhluknya, digantikan dengan doktrin transendensi. Walaupun

kecenderungannya terhadap doktrin Ibn ‘Arabi tidak goyah,

tasawuf senantiasa menempatkan doktrinnya dalam kerangka

ortodoks, karena kesetiaannya pada syariat. Di lapangan

tarekat, pengaruh neo-sufisme lebih hebat lagi. Pengembalian

tarekat kepada ajaran sumber asli Al-Qur’an dan Sunnah

menjadikannya terbebaskan dari sifat-sifatnya yang tidak

islami. Seperti halnya tasawuf, tarekat-tarekat baru juga

memandang dunia lebih positif, bahkan cenderung bercorak

aktivisme radikal bila kepentingan spiritualitas khususnya

dan misi dakwah Islamiyah umumnya tertanggu. Tak bisa

dipungkiri, kemunculan tasawuf dan tarekat-tarekat baru,

dengan bentuk organisasinya yang sentralistis dan trans-

nasional, besar jasanya dalam turut menentukan corak

puritanisme keberagamaan kaum Muslim pada umumnya serta

sikap optimisme mereka dalam memandang dunia. Pembaruan

doktrin dan watak gerakan telah membawa tasawuf dan tarekat

baru mampu memainkan banyak peran, namun fungsi dan

kehadiran utama mereka tetap sebagai kendaraan pendekatan

diri dengan Tuhan dan menjalankan misi dakwah Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawasy, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya diNusantara, Surabaya, al-Ikhlas, 1980.

Adams, C.C., “The Sanusi”, The Muslim Word, 36, 1946.

Algar, Hamid, “The Naqsyabandi Order: a Preliminary Surveyof its History and Significance”, Studia Islamica, XLIV,1976.

Ansari, Abdul Haq, “Syah Waliy Allah Attempts to ReviseWahdat al-Wujud”, Arabica, Leiden, E.J. Brill, 1988.

Arberry, A.J., Sufism an Account of the Mystics of Islam, London,Mandala Books, 1979.

al-Attas, Syed Naquib, Some Aspects of Sufism as Understood andPracticed among the Malays, Singapore, Malayan SociologicalResearch Institute Ltd., 1983.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan NusantaraAbad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan, 1994.

Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,Bandung, Mizan, 1998.

---------, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam diIndonesia, Bandung, Mizan, 1999.

Chuzwain, Chatib, Mengenal Allah Suatu Studi mengenai Ajaran TasawufSyaikh ‘Abdus-Samad al-Palembani, Ulama Palembang Abad ke-18Masehi, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.

Dasuki, Hafifz (ed.), “Abdus Samad al-Palembani”, EnsiklopediIslam, Jakarta, Ichtiar Baru Baru van Hoeve, 1993.

Dobbin, Christian, Islamic Revivalism in a Changing Peasant EconomyCentral Sumatra, 1784-1847, Cruzon, Cruzon Press, 1983.

Drewes, G.J.W., “Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme”, dalamGustave E. von Grunebaum, Islam Kesatuan dan Keragaman,Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1975.

-------------, “Futher Data Concerning ‘Abd al-Samad al-Palembani”, BKI, 132 (1976).

Glasse, Cyril, The Consise Encyclopedia Of Islam, London, StanceyInternational, 1989.

Hitti, Phillip K., History of the Arabs, London, Macmillan, 1973.

Hoopwood, Derek, “A Pattern of Revival Movements in Islam?”,Islamic Quartely, Vol. 15-4, (1974.

Husaini, S.A.Q., The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabi, Lahore, S.H.Muhammad Ashraf, 1970.

Johnss, A.H., “Tariqah”, dalam Mircia Eliade, The Encyclopaediaof Religion, New York, Macmillan Publishing Company, 1987.

Kartodirjo, Sartono, Pemberontakan Petani banten 1888, Jakarta,Pustaka Jaya, 1984.

Laan, R.J.I. Ter, “Sanusi Revivalism as Part of theFundamentalist Tradition in Islam”, Appendix dalamNicola A. Ziadeh, Sanusiyah a Study of a revivalist Movement inIslam, Leiden, E.J. Brill, 1983.

Lapidus, Ira M., History of Islamic Societies, Cambridge, CambridgeUniversity Press, 1993.

Ma’luf, Abu Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut, Daral-Masriq, 1986.

MacDonald, D.B., “Sufism”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopedia ofIslam, London, E.J.Brill, 1987) Vol. III.

Madjid, Nurcholish, Doktrin Islam dan Peradaban, Jakarta,Paramadina, 1992.

------------, Islam Agama Peradaban, Jakarta, Paramadina,1995.

Massignon, Louis, “Tarika”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopaedia ofIslam, Leiden, E.J. Brill, 1987.

Nicolson, Reynold A., “Sufism” dalam James Hastings,Encyclopaedia of Religion and Etics, Vol. 12, Charles Scriber’s,tt.

O’Fahey, R.S., Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idrisi and the Idrisi Tradition,London, Hurst and Company, 1990.

Pritchard, E.E. Evans, The Sanusi of Cyrenaica, Oxford, OxfordUniversity Press, 1949.

Rahman, Fazlul, Islam, Chicago, University of Chicago Press,1979.

Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abadke-19, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.

al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman,Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani, Bandung,Pustaka, 1983.

Tibi, Bassam, Krisis Peradaban Islam Modern sebuah Kultur Praindustridalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Diterjemahkan olehYudian W. Asmin dkk., Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994.

Trimingham, J.S., The Sufi Orders in Islam, Oxford, OxfordUniversity Press, 1979.