MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK TENUN SONGKET SIAK RIAU THE MEANING OF PATTERN ON...

24
MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK TENUN SONGKET SIAK RIAU Rilla Oktoviami Zef dan Diah Madubrangti Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya E-mail: [email protected] ABSTRAK Jurnal ini membahas mengenai bagaimana alam mempengaruhi corak dari kimono musim panas Jepang dan corak kain tenun songket Siak Riau yang keduanya sama-sama merupakan pakaian tradisi, sehingga mensimbolkan karakter masing-masing masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian dengan metode deskriptif dengan analisis kepustakaan dan wawancara khusus untuk mendapatkan data kain tenun songket Siak Riau. Hasil penelitian ini adalah baik masyarakat Jepang dan masyarakat Riau sama-sama mengandalkan alam sebagai inspirasi seni mereka, namun berbeda dalam aturan dan kesederhanaannya. THE MEANING OF PATTERN ON JAPANESE SUMMER’S KIMONO AND THE PATTERN ON WOVEN CLOTH SONGKET SIAK RIAU ABSTRACT The focus of this study is how nature influence the pattern of Japanese summer’s kimono and the pattern of woven cloth songket Siak Riau which is both of them is traditional clothes, so that symbolize the characteristic of each society. Author use descriptive method, with literature analysis and interview which is spesificly use to get data about woven cloth songket Siak Riau. The result of this research show that Japanese society and Riau society both of them set nature as their main inspiration of their art, but in other hands the rules of their art and the concept of simplicity are different. keywords: Kimono; summer; japanese society; nature; pattern; symbol; songket; Siak Riau; Riau society; philosophic meaning PENDAHULUAN Kedua Jenis pakaian tradisional hasil budaya masyarakat Jepang dan Indonesia, khususnya Melayu Riau, memiliki falsafah yang berbeda bergantung pada masyarakat pengguna yang disesuaikan dengan kesempatan, waktu, kondisi yang berlangsung pada saat itu. Namun, alam sama-sama memiliki pengaruh yang kuat dalam corak yang menghiasi kedua pakaian tradisional tersebut. Corak pada Kimono musim panas Jepang dan tenun songket Siak Riau, memiliki makna

Transcript of MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK TENUN SONGKET SIAK RIAU THE MEANING OF PATTERN ON...

MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK

TENUN SONGKET SIAK RIAU

Rilla Oktoviami Zef dan Diah Madubrangti

Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Jurnal ini membahas mengenai bagaimana alam mempengaruhi corak dari kimono musim panas Jepang dan corak

kain tenun songket Siak Riau yang keduanya sama-sama merupakan pakaian tradisi, sehingga mensimbolkan karakter

masing-masing masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian dengan metode deskriptif dengan analisis kepustakaan

dan wawancara khusus untuk mendapatkan data kain tenun songket Siak Riau. Hasil penelitian ini adalah baik

masyarakat Jepang dan masyarakat Riau sama-sama mengandalkan alam sebagai inspirasi seni mereka, namun

berbeda dalam aturan dan kesederhanaannya.

THE MEANING OF PATTERN ON JAPANESE SUMMER’S KIMONO AND THE

PATTERN ON WOVEN CLOTH SONGKET SIAK RIAU

ABSTRACT

The focus of this study is how nature influence the pattern of Japanese summer’s kimono and the pattern of woven

cloth songket Siak Riau which is both of them is traditional clothes, so that symbolize the characteristic of each society.

Author use descriptive method, with literature analysis and interview which is spesificly use to get data about woven

cloth songket Siak Riau. The result of this research show that Japanese society and Riau society both of them set

nature as their main inspiration of their art, but in other hands the rules of their art and the concept of simplicity are

different.

keywords: Kimono; summer; japanese society; nature; pattern; symbol; songket; Siak Riau; Riau

society; philosophic meaning

PENDAHULUAN

Kedua Jenis pakaian tradisional hasil budaya masyarakat Jepang dan Indonesia, khususnya

Melayu Riau, memiliki falsafah yang berbeda bergantung pada masyarakat pengguna yang

disesuaikan dengan kesempatan, waktu, kondisi yang berlangsung pada saat itu. Namun, alam

sama-sama memiliki pengaruh yang kuat dalam corak yang menghiasi kedua pakaian tradisional

tersebut. Corak pada Kimono musim panas Jepang dan tenun songket Siak Riau, memiliki makna

tertentu dari corak tersebut. Perbedaan karakter manusia yang dituangkan melalui corak kimono

musim panas Jepang dan tenun Songket Siak Riau pada umumnya dapat menggambarkan corak

dari masing-masing masyarakat tersebut.

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah makna filosofis yang terkandung

dibalik corak kimono Jepang pada musim panas dan corak tenun songket Siak Riau, dengan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa ada kesamaan atau kemiripan corak-corak yang ada pada kimono musim panas

Jepang dan tenun songket Siak Riau?

2. Bagaimana alam mempengaruhi corak-corak dari kimono musim panas Jepang dan corak-

corak dari tenun songket Siak Riau?

3. Apa makna di balik corak-corak kimono musim panas Jepang dan tenun songket Siak

Riau?

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menjelaskan makna filosofis yang

terkandung dibalik corak kimono Jepang pada musim panas dan corak tenun songket Siak Riau.

Mencakup di dalamnya yaitu apa saja corak yang terdapat pada kimono Jepang musim panas dan

tenun songket Siak Riau, bagaimana alam mempengaruhi corak-corak tersebut, dan apa makna di

balik corak-corak yang terdapat pada kimono Jepang musim panas dan tenun songket Siak Riau.

TINJAUAN TEORITIS

Alam dan manusia memiliki relasi yang sangat erat. Manusia dengan bebas

mengembangkan materi-materi untuk dapat bertahan hidup di alam. Materi-materi yang

dibentuk oleh manusia tersebut memiliki artian simbolik yang mencakup tujuan-tujuan lain

selain tujuan fungsionalnya, seperti tujuan rohani yang dimasukkan ke dalam materi-materi

tersebut (Veeger, 2001: 6). Terdapat 3 wujud kebudayaan, yaitu wujud ideal, wujud sistem

sosial, dan wujud fisik (Koentjaraningrat, 2009: 150-151). Salah satu wujud fisik dari

kebudayaan adalah pakaian. Pakaian dibuat dengan menggunakan kain. Sedangkan kain

merupakan barang hasil tenunan (Malik, 2004: 21).

Jepang merupakan masyarakat yang sangat terpengaruh oleh alam, dengan begitu segala

hal dalam kehidupan mereka sebisa mungkin membawa unsur-unsur alam. Seperti dalam corak-

corak pakaian tradisionalnya yang dikenal dengan kimono (Anesaki, 1983: 41-42). Kimono

musim panas Jepang dikenal dengan Yukata, dimana kimono pada musim ini memiliki banyak

corak alam yang beragam seperti burung, bunga, dan lain sebagainya. Di dalam corak tersebut

memiliki simbol tradisi yang melekat pada karakter masyarakat Jepang.

Indonesia memiliki hasil tenunan yang baik, salah satunya yang terkenal adalah songket.

Kebanyakan songket mencerminkan budaya Melayu yang terpengaruh dengan Islam

(Jamaludin: 22). Salah satu songket tersebut adalah berasal dari Riau, yang di kenal dengan

kain tenun songket Melayu Riau. Kain tenun songket Melayu Riau memiliki beragam corak

yang disadur dari alam, seperti flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Penyaduran tersebut

dapat dalam bentuk aslinya, dan dapat pula dalam bentuk mereka-reka ke bentuk abstrak (Malik,

2004: 32-33).

Dalam masyarakat Melayu Riau dikenal ungkapan, “Ada benda ada maknanya, ada cara

ada artinya, ada letak ada sifatnya”(Malik, 2004: 5). Dari hal ini dapat dikatakan bahwa setiap

hal termasuk kain tenun songket Melayu Riau, memiliki makna yang dapat dilihat dari corak-

corak yang terdapat pada kain tenun songket tersebut. Makna yang tersembunyi dalam corak-

corak tersebut dapat membuat corak tersebut menjadi simbol dari sebuah falsafah dari karakter

ataupun norma-norma yang ada pada masyarakat tersebut.

Simbol merupakan pencerminan spiritual dari manusia pada dulunya, dan juga merupakan

pencampuran antara kesakralan dan kesadaran akan dunia yang merupakan ciptaan dari Tuhan

(Eliade, 1985: 3). Melalui simbol kita dapat memahami serta menjelaskan makna spiritual yang

ada dibalik hal itu. Salah satunya memahami simbol tersebut melalui warna. Warna merupakan

hal yang sangat indah ketika dipandang, warna dari hutan, bunga-bunga, serta matahari

terbenam merupakan sumber emosi yang terdalam yang dapat membangkitkan rasa keindahan

(Conroy,2007: 1). Selama bertahun-tahun warna tertentu merupakan dari asosiasi atau simbolik

dari suatu karakter yang sangat mengagumkan (Conroy, 2007: 4).

Menurut Sussane K Langer, terdapat tiga kata kunci dari terbentuknya simbol yaitu idea,

sense, dan reasoning, yang memiliki pengertian sebagai berikut1:

a. Sense sendiri memiliki beberapa pengertian seperti panca indera yang dimiliki oleh

manusia (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba); perasaan

mengenai sesuatu yang penting; pernyataan yang normal dari pemikiran atau

kemampuan untuk berpikir jernih; dan pengertian sebuah kata serta cara untuk

memahami ataupun mengerti mengenai suatu hal.2

b. Idea merupakan rencana atau pemikiran; gambaran yang terdapat di dalam pemikiran

seseorang; pendapat atau keyakinan; serta perasaan akan sesuatu kemungkinan.3

c. Sementara itu kata reasoning mempunyai pengertian yaitu pendapat-pendapat dan ide-

ide yang berdasarkan pemikiran yang logis atau masuk akal.4

Wabi-sabi merupakan salah satu konsep estetika tradisional Jepang yang mengacu nilai-

nilai ajaran Zen Buddhisme. Secara harfiah wabi-sabi terdiri dari dua suku kata yakni wabi dan

sabi, keduanya berasal dari kata sifat yang mempunyai pengertian hampir sama, wabishii(侘び

しい) berarti tidak senang, sepi, sunyi, lengang, suram, redup, dan sabishii(寂しい)

mempunyai arti kemelaratan, kesedihan, kemiskinan, kesepian, dalam hal ini Itoh Teiji

mengatakan kendatipun kedua kata tersebut mempunyai banyak arti yang hampir sama tetapi ada

dua makna di dalam pengertian tersebut yang secara logika tampak berlawanan, makna pertama

berarti kemelaratan, kesengsaraan, kekecewaan dan makna kedua adalah kesederhanaan hidup

dalam keheningan. Dalam hal ini Teiji, mengilustrasikan wabi sebagai ungapan percakapan sehari-

hari, misal seseorang yang hidup dalam wabi zumai adalah kehidupan seseorang yang sepi,

mengandung kesediahan dengan tanpa ada kehangatan kasih sayang dari seorang istri/suami, tetapi

di sisi lain mempunyai kehidupan wabi mempunyai makna yang positif, yakni kehidupan yang

sederhana, hening, penuh keindahan dan keanggunan (lihat Teiji Itoh, 1993; 9) Kedua contoh

tersebut menyiratkan pengertian bahwa kehidupan wabi bukan suatu kemelaratan hidup,

kesengsaraan ataupun kemalangan, tetapi merupakan simbol dari sebuah “Keprihatinan hidup”

1 Susanne K. Langer, Philosophy In A New Key : A Study In The Symbolism Of Reason, Rite, And Art (The New

American Library, 1954)., hal 28., et seqq. 2 Victoria Bull, ed. Oxford Dictionary Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2008).,hal 400. 3 Ibid. hal, 218. 4 Ibid. hal, 366.

yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan kepuasan spiritual dengan cara mengasingkan diri

dari keramaian atau keduniawian.5

Selanjutnya Itoh Teiji memandang wabi dari sudut visual atau material, pada hakikatnya

mempunyai pengertian alami yakni warna, bentuk, dan tekstur dari bahan-bahan yang berasal dari

oraganis maupun anorganis, seperti gerabah, kayu, kertas, kayu, jerami, bambu, tanah lihat, batu,

serat kain, serat jerami, dan serat sutera. Akhirnya material wabi adalah material yang bersifat

alami secara tidak langsung bersentuhan dengan tangan manusia, sehingga dalam perwujudannya

menonjolkan karakteristik material dengan tanpa ada unsur yang sengaja dibuat-buat.6

Sabi yang berasal dari kata sabishii berarti sunyi, sepi, secara harfiah juga mempunyai arti

“karat” atau warna kuning kemerahan yang melekat pada permukaan besi atau logam lainnya,

sebagai akibat dari pengaruh cuaca atau udara, sehingga secara tidak langsung sabi berkaitan

dengan “waktu”. Dalam hal ini Teiji Itoh lebih cenderung mengartikan keindahan sabi lebih

banyak ditentukan oleh faktor waktu atau usia, karena waktu mempunyai kemampuan untuk

menyiratkan esensi suatu benda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.7

Menurut Hizamatsu kedua ungkapan wabi-sabi tersebut mempunyai nilai-nilai yang

bersumber pada ajaran Zen Buddha Jepang yang mempunyai tujuh karakteristik. Tujuh

karakteristik ajaran tersebut berfungsi sebagai tuntunan atau pedoman bertingkah laku sosial

termasuk bertingkah laku seni atau berkegiatan seni dalam lingkup kebudayaan Jepang. Nilai-nilai

tersebut secara tidak langsung berpengaruh kental terhadap wabi-sabi. Ketujuh karakteristik

tersebut antara lain: (1) fukinsei (不均整) ‘suatu kesimbangan yang dinamis’ (2) kanso (簡素)

‘kesederhanaan’ (3) kokou (考古拘) ‘esensi bentuk’ (4) shizen (自然) ‘kewajaran’ (5) yuugen ( 幽

玄) ‘bermakna’ (6) datsuzoku ( 脱俗) ‘bebas dari ikatan’, dan (7) seijaku (静寂) ‘ketenangan’.

Menurut Hizamatsu Shinichi prinsip-prinsip ajaran Zen telah digunakan sebagai acuan dalam

menentukan kaidah-kaidah estetis termasuk unsur dan prinsip seni Jepang.

5 Sri Iswidayati Isnaoen Pramudjo, “Seni Lukis Kontemporer Jepang: Kajian Estetika Tradisional Wabi Sabi Jepang

Periode ’80-an – 90’an” (Disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 2002), hal,

19. 6 Ibid. hal, 20. 7 Ibid.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan di dalam penulisan untuk corak kain tenun songket Siak Riau adalah

metode deskriptif dengan analisis melalui studi kepustakaan, serta mewawancarai beberapa tokoh

masyarakat Melayu, yaitu Bapak UU. Hamidy yang merupakan seorang budayawan melayu Riau

dan juga seorang akademisi, Bapak Tenas Effendy yang merupakan seorang budayawan Riau,

Bapak Amrun Salmon seorang budayawan dan designer kain tenun siak Riau, serta Ibu Wati

sebagai ketua dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranesda) Siak, Riau. Sementara untuk

Kimono musim panas Jepang, metode yang digunakan di dalam penulisannya adalah metode

deskriptif dengan analisis melalui studi kepustakaan, hal ini karena data-data sudah banyak

tersedia melalui literatur.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka.

Studi Pustaka merupakan proses pengumpulan data dengan menelusuri sumber-sumber

kepustakaan dengan membaca buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan

dijawab dan dijelaskan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisis

untuk mendapatkan kesimpulan. Di samping itu, penulis juga mencari data tambahan dan

penunjang melalui internet serta pemanfaatan buku-buku koleksi pribadi dari penulis sendiri.

HASIL PENELITIAN

Corak bunga merupakan salah satu corak yang digunakan pada kimono musim panas

Jepang dan kain tenun songket Siak Riau. Bunga-bunga tersebut dapat memberikan simbol

mengenai kehidupan masing-masing masyarakat pengguna kimono musim panas Jepang dan kain

tenun songket Siak Riau. Terdapat tiga corak bunga yang digunakan untuk analisis makna filosofis

corak kimono musim panas dalam bagian ini, yaitu himawari (gambar 1), ayame (gambar 2), dan

ajisai (gambar 3). Ketiga bunga tersebut merupakan bunga-bunga yang identik dengan musim

panas Jepang dan corak yang sering muncul pada kimono musim panas Jepang. Sementara itu tiga

corak bunga yang digunakan untuk analisis makna filosofis corak kain tenun songket Siak Riau

dalam bab ini, yaitu bunga kesumba (gambar 1), bunga kiambang (gambar 2), dan bunga melati

(gambar 3). Ketiga bunga ini merupakan bunga-bunga yang memiliki makna filosofis yang dekat

dengan kehidupan masyarakat Melayu Riau.

Gambar 1. Corak bunga himawari (kiri) pada kimono musim panas Jepang dan corak bunga

kesumba (kanan) pada kain tenun songket Siak Riau

Pada gambar 1 bagian kiri yaitu bunga yang ada pada corak kimono Jepang musim panas,

bunga itu disebut himawari atau dikenal umum dengan sebutan bunga matahari. Bunga matahari

merupakan bunga yang berkelopak banyak, kepala bunga berukuran cukup besar (diameter bisa

mencapai 30 cm), dan berwarna kuning. Daunnya merupakan daun tunggal lebar, serta batangnya

biasanya ditumbuhi rambut kasar, tegak, dan jarang yang bercabang. Keunikan bunga ini ialah

bunga matahari akan selalu mengikuti pergerakan matahari, atau dikenal dengan istilah

heliotropisme. Hal ini dalam artian bahwa mahkota bunga tersebut akan selalu mengarah ke

pergerakan matahari dari terbit hingga terbenamnya matahari tersebut. Perilaku khusus yang

dimiliki bunga matahari tersebut menyebabkan habitat tumbuhnya ialah tanah yang subur dan

hangat. Mengenai sifat bunga matahari ini, hal tersebut dapat dijadikan sebagai analogi kehidupan

masyarakat Jepang yang bersifat onjooshugi, yang diartikan sebagai hubungan timbal balik antara

orang tua dan anak, dimana orang tua akan selalu memberikan bantuan, bimbingan maupun

perlindungan. Sebaliknya, anak akan memberikan kepatuhan serta pengorbanan kepada orang tua.

Bunga matahari yang terdapat dalam kain kimono di atas memiliki warna dasar kain yang

berwarna biru. Warna biru mensimbolkan kebenaran yang merupakan hasil dari refleksi

ketenangan. Biru merupakan warna langit yang cerah, sehingga memberikan kesan tenang dan

teduh bagi orang yang memandangnya. Biru juga merupakan warna surga yang berarti biru

melambangkan hubungan dengan Tuhan. Kimono musim panas biasanya digunakan pada saat

festival musim panas atau dikenal dengan matsuri yang merupakan salah satu bentuk perayaan

masyarakat Jepang akan rasa syukur dan mengharapkan berkat yang lebih lagi pada hari-hari

kedepannya. Sehingga biru mewakili rasa kesatuan mereka dengan Dewa-Dewa yang mereka

agungkan di dalam matsuri tersebut. Biru juga merupakan lambang ketidakterbatasan karena

menggambarkan warna permukaan laut yang luas. Biru adalah warna yang akrab ditemui oleh

orang-orang Jepang di semua aspek dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga matahari dalam kain kimono musim

panas Jepang pada gambar tersebut di lukis dengan penempatan yang seimbang. Meskipun bunga-

bunga yang digambarkan besar, namun adanya jarak antara satu bunga dan bunga lainnya

menciptakan suatu keseimbangan dalam pembuatan corak bunga tersebut ke dalam kimono.

Warna lembut yang digunakan pada kimono tersebut mencerminkan suatu keindahan yang

sederhana, dan tidak mencolok. Sementara itu, kealamian bentuk dari bunga tersebut dituangkan

apa adanya seperti bentuknya yang dapat kita lihat di alam bebas. Dengan adanya bentuk dengan

lekuk yang sesuai dengan aslinya di alam, kedinamisan dalam peletakan bunga yang tidak

bertumpuk-tumpuk, serta warna yang lembut dipandang mata, menghasilkan suatu ketenangan

ketika melihat kimono ini.

Pada gambar 1 bagian kanan yaitu bunga yang ada pada corak kain tenun songket Siak

Riau yang dikenal dengan nama bunga kesumba. Bunga kesumba merupakan bunga yang hidup

di habitat yang kering dan memiliki hujan musiman. Bunga ini memiliki kepala bunga yang

berbentuk bulat, sama halnya dengan bunga matahari, namun berbeda dalam ukuran. Bunga ini

tidak tumbuh dalam satu batang tunggal, namun dalam batang yang bercabang, yang setiap

cabangnya memiliki satu sampai lima kepala bunga. Kepala bunga ini ada yang berwarna kuning,

oranye, dan berwarna merah. Tanaman ini memiliki fungsi dalam kehidupan seperti sebagai

penyedap makanan, dan minyak nabati dari ekstrak biji bunga ini. Dengan banyaknya manfaat dari

bunga ini maka dapat dianalogikan dalam kehidupan masyarakat di Riau bahwa keindahan pada

sebuah bunga tidak hanya menjadi sebuah hiasan saja, namun juga dapat menjadi penyambung

kehidupan, dengan menghasilkan rezeki dari bunga tersebut.

Bunga kesumba yang terdapat dalam kain tenun songket Siak Riau di atas memiliki warna

dasar kain yang berwarna hijau. Warna hijau merupakan warna tumbuh-tumbuhan yang hidup dan

belum layu, sehingga warna ini mensimbolkan kehidupan. Warna hijau juga merupakan warna

yang dapat melambangkan lahirnya kembali kehidupan, kesegaran, serta jiwa muda. Hijau juga

berarti harapan dan kegembiraan. Tumbuhan yang segar berwarna hijau, akan tetap berwarna hijau

meskipun saat kondisi hujan, dan panas terik melanda. Dari hal ini dapat dianalogikan bahwa

sesuai dengan pembelajaran dan pengaruh Islam pada masyarakat Riau bahwa kehidupan interaksi

sosial yang sama-sama kita alami di luar, merupakan pembelajaran yang sama bagi setiap orang,

sehingga orang yang dapat mengambil pelajaran kearah yang lebih baik dari apa yang terjadi dalam

interaksinya dengan sosial merupakan orang yang beruntung. Sebaliknya, sedangkan orang yang

dalam kehidupannya tidak mampu mengambil pelajaran kearah yang lebih baik dari apa yang

terjadi dalam interaksinya dengan sosial merupakan orang yang merugi. Warna pada masyarakat

Riau dalam menggunakan songket, merupakan perlambangan status penggunanya di dalam

masyarakat. Seperti warna hijau digunakan oleh Datuk-Datuk, atau dikenal dengan pemuka-

pemuka adat yang dihormati karena pengalaman dan ilmu-ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Namun, sekarang pemakaian warna sudah menjadi mengenai persoalan keindahan, dan tidak

terbatas kepada status seseorang yang menggunakan warna tersebut di dalam masyarakat.

Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga kesumba dalam kain tenun songket

Siak Riau pada gambar tersebut disusun dengan sedimikian rupa dengan berjajar, berbeda dengan

penysunan corak bunga matahari pada kain kimono musim panas Jepang yang tidak berjajar. Hal

ini melambangkan bahwa masyarakat Riau memiliki keteraturan dalam bermasyarakat,

keteraturan secara horizontal yang bila dikaitkan dengan Islam sebagai pengaruh kehidupan

bermasyarakat Riau, dikatakan sebagai hablumminannas (hubungan manusia dengan sesama

manusia atau lingkungan kehidupannya). Keteraturan secara vertikal dikaitkan sebagai

hablumminaallah (hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Bunga yang kecil dan disusun

berjajar sama besar menimbulkan kesan kesimbangan yang dapat ditangkap dari corak tersebut.

Penggunaan warna yang hanya ada kuning dan hijau, menunjukkan sisi sederhana dalam corak ini

tidak sesuai dengan konsep kanso ‘kesederhanaan’ dalam estetika wabi sabi Jepang, yang

mengatakan bahwa kesederhanaan dalam warna ialah warna yang tidak menyolok, sedangkan

hijau dan kuning merupakan warna yang mencolok.

Namun, dalam corak ini, bentuk bunga tidak sesuai dengan apa adanya yang ada di alam,

berbeda dengan corak bunga matahari pada kimono musim panas Jepang yang bentuknya sesuai

dengan apa adanya di alam. Pembuatan seperti ini dipengaruhi oleh konsep keislaman mengenai

bahwa keindahan itu berasal dari Allah swt, dan yang alami itulah yang seharusnya dikatakan

indah dan wajib kita syukuri. Sehingga untuk mempertahankan hal itu, maka pembuatan bunga

tersebut dibentuk menjadi bentukan yang sedemikian rupa oleh para perancang corak tersebut

dengan tidak menghilangkan sisi keindahan dari bunga itu sendiri. Bentuk bunga yang kecil dan

tersusun beraturan tersebut, serta bentuknya yang seperti baling-baling menimbulkan lambang

kedinamisan gerak dari bunga tersebut bila diterpa angin, sehingga ketika melihatnya dan

membayangkan dalam pikiran yang melihat akan merasakan ketenangan oleh keindahan tersebut.

Gambar 2. Corak bunga ayame (kiri) pada kimono musim panas Jepang dan corak bunga

kiambang (kanan) pada kain tenun songket Siak Riau

Pada gambar 2 bagian kiri yaitu bunga yang ada pada corak kimono Jepang musim panas,

bunga itu disebut ayame atau dikenal juga dengan sebutan shoubu atau bunga iris Jepang. Bunga

ayame merupakan bunga yang berbentuk panjang dan terkesan tajam seperti pedang. Bunga ayame

atau bunga iris ini memiliki keistimewaan dapat hidup di darat maupun di air, namun di jepang

bunga ini dibudidayakan di dalam lahan yang digenangi air. Bunga ini memerlukan cahaya

matahari yang banyak, sehingga bunga ini akan mulai tumbuh di Jepang saat peralihan dari musim

semi ke musim panas, sekitar akhir bulan Juni. Di Jepang, warna bunga ini didominasi oleh putih,

biru, dan ungu. Masyarakat Jepang mengenal bunga ini dengan nama iris yang dalam artian bahasa

Yunani yaitu pelangi. Bunga ini melambangkan kesetiaan, kebijaksanaan, kesejahteraan, dan

harapan. Dalam kehidupan masyarakat Jepang, ketika bunga ini mekar pada puncaknya,

masyarakat Jepang menamakannya ayame no matsuri serta mereka akan menikmati keindahan

bunga ini dengan datang mengunjungi tempat-tempat mekarnya. Bunga iris di jepang juga dikenal

sebagai simbol perayaan atau festival, karena bentuknya yang indah dan makna-makna yang

terkandung di dalam bunga iris ini sendiri. Bentuk bunga yang cantik namun berbatang kurus

tinggi seperti pedang, menggambarkan dua sisi Jepang yang terlihat tenang dengan memelihara

sistem ketradisionalannya, namun tetap bergerak maju dalam hal kehidupan bermasyarakat,

bahkan terlebih lagi dalam bidang teknologi.

Bunga ayame yang terdapat dalam kain kimono di atas memiliki warna dasar kain yang

berwarna hitam. Warna hitam dalam bahasa Jepang disebut dengan kuro, dimana warna hitam ini

mewakili kekakuan dan bermartabat. Hitam juga merupakan simbol keabadian, dan dapat diartikan

juga sebagai keheningan atau hal yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Dalam masyarakat

Jepang, warna hitam menandakan martabat dan suatu hal yang resmi.

Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga ayame dalam kain kimono musim

panas Jepang pada gambar tersebut di lukiskan lengkap dengan pola air yang menggambarkan

tempat hidup dari bunga ayame ini sendiri. Hal ini menimbulkan keseimbangan yang pada corak

tersebut, di mana terdapat bunga lengkap dengan tangkai dan kuntum bunganya serta tempat di

mana bunga ini tumbuh. Kuntum bunga yang layu atau patah, menggambarkan sisi kealamian atau

apa adanya dari alam, dimana tidak semua bunga selalu mekar dengan sempurna, dan bagi Jepang

ketidak sempurnaan itu lah yang sempurna, karena hal ini merupakan hal yang alami dari alam.

Kesederhanaan tercermin dari warna yang digunakan, yaitu warna lembut putih dan hitam, serta

bentuk bunga yang tidak berubah dari apa yang ada di alam, ketika melihat bunga tersebut tetap

indah di dalam corak kimono musim panas Jepang dimana bentuknya sama seperti yang ada di

alam, menggugah rasa ketenangan ketika melihatnya.

Pada gambar 2 bagian kanan yaitu bunga yang ada pada corak kain tenun songket Siak

Riau yang dikenal dengan nama bunga kiambang. Bunga kiambang merupakan bunga yang hidup

mengapung di air menggenang, dimana tempat hidupnya ini sama dengan bunga ayame yang juga

hidup di air yang menggenang. Tempat hidup bunga ini dapat di tempat-tempat seperti kolam,

sawah, danau, atau di sungai yang mengalir tenang. Kiambang sendiri memiliki dua tipe daun yang

sangat berbeda, yaitu daun yang tumbuh di permukaan air dan daun yang tumbuh di dalam air.

Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berwarna hijau sehingga

mengandung klorofil, dan permukaannya di tutupi rambut berwarna putih sedikit transparan untuk

mencegahnya dari basah serta membantunya untuk mengapung. Daun yang tumbuh di dalam air

berbentuk sangat mirip akar, namun berfungsi seperti akar, yang menangkap hara dari air.

Kiambang termasuk golongan paku-pakuan, namun masyarakat Riau dalam menjadikannya corak,

memposisikan kiambang sebagai bunga, karena keindahannya yang bagaikan bunga ketika

dijadikan corak pada kain tenun songket Siak Riau.

Gerak tumbuh dari kiambang ini ialah tumbuhan ini dapat tumbuh sangat rapat sehingga

menutupi permukaan sungai atau danau, tempat hidupnya. Melalui hal ini lah masayarakat Melayu

Riau mengambil pelajaran dalam kehidupannya hendaknya seperti kiambang yang tali

kekeluargaan antara satu dan yang lainnya selalu tersambung erat dan rapat. Bagi masyarakat

Melayu Riau yang terpengaruh dengan konsep keislaman, memiliki pemikiran bahwa eratnya

silaturahmi (tali kekeluargaan) akan mempermudah jalan seseorang untuk meraih rezekinya,

dengan saling tolong menolong dalam kesusahan dan kondisi senang.

Bunga kiambang yang terdapat dalam kain tenun songket Siak Riau di atas memiliki warna

dasar kain yang berwarna ungu. Warna ungu merupakan warna feminim yang menimbulkan kesan

tenang dan menyejukkan. Warna ungu merupakan perpaduan dari warna merah dan biru, sehingga

simbol dari warna ungu mengambil bagian dari warna-warna tersebut yaitu warna merah yang

melambangkan cinta dan pengorbanan, serta warna biru yang mengartikan kebenaran, dengan

begitu warna ungu merupakan warna dari kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan dalam kehidupan

masyarakat Melayu Riau, kebijaksanaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin-

pemimpin masyarakat. Kebijaksanaan merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat

untuk membuat harmoni yang seimbang dan menghindari terjadinya ketidak adilan dan

kesewenang-wenangan dari pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.

Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, ketenangan dari corak bunga kiambang dalam kain

tenun songket Siak Riau berasal dari corak tersebut disusun secara dinamis dengan

menggambarkan bagian-bagain kecil bunga kiambang tersebut yang menyatu, merupakan

perwujudan dari bagaiamana gerak dari kiambang tersebut di alam sebenarnya. Kesederhanaan

dalam corak ini tidak sesuai dengan konsep kanso ‘kesederhanaan’ dalam estetika wabi sabi

Jepang, yang mengatakan bahwa kesederhanaan dalam warna ialah warna yang tidak menyolok,

sedangkan ungu merupakan warna yang mencolok. Namun di sisi lain warna ungu sanagat feminin

dan lembut ketika di lihat. Meskipun bentuknya tidak serupa dengan apa yang ada di alam, namun

bagian-bagian dari corak kiambang ini menampilkan apa yang secara alami ada di kiambang

tersebut. Di dalam corak ini dapat dilihat dua daun kiambang yang sangat penting yaitu daun yang

mengapung di permukaan dan daun yang berada di dalam air, seolah-olah di lihat secara lurus dari

atas ke bawah sehingga menghasilkan corak demikian.

Bentuk dari corak kiambang ini sendiri memunculkan makna filosofi dari kiambang dalam

kehidupan masyarakat Melayu Riau. Gambaran dalam corak yang mempertautkan akar serta

penyusunan corak yang berdempet satu dan yang lainnya secara teratur dan diperhitungkan,

membuat kiambang terlihat sebagai sebuah tumbuhan yang cantik dan saling berkait antara satu

dan yang lainnya. Bentuk lengkungan dari corak ini juga menggambarkan suatu nilai keindahan

tersendiri yang membuat kiambang terlihat cantik hingga dikelompokkan kedalam corak yang

disebut dengan corak-corak bunga dalam corak pada kain tenun songket Siak Riau.

Gambar 3. Corak bunga ajisai (kiri) pada kimono musim panas Jepang dan corak bunga

melati (kanan) pada kain tenun songket Siak Riau

Pada gambar 3 bagian kiri yaitu bunga yang ada pada corak kimono Jepang musim panas,

bunga itu disebut ajisai atau dikenal juga dengan sebutan hydrangea. Bunga ajisai merupakan

bunga yang tumbuh di peralihan musim semi ke musim panas. Bunga ini mekar sekitar

pertengahan Juni. Bunga ini memiliki kelopak yang berbongkah-bongkah seperti sayur brokoli.

Warna dari bunga ajisai juga bermacam-macam, seperti merah marun, merah muda, ungu, putih,

biru, ataupun perpaduan beberapa warna tersebut sekaligus. Nama ajisai berasal dari kata azu yang

berarti berkumpul, dan sai yang berarti warna biru keunguan. Jenis ajisai yang paling banyak

dibudidayakan di Jepang ialah gakuajisai yang berwarna biru, terdiri dari empat helai kelopak pada

setiap satu tangakai bunga kecil, yang bergabung dengan tangkai-tangkai bunga lain membentuk

satu bongkahan seperti brokoli atau setengah bola berdiameter 10-20 cm. Tinggi pohonnya sekitar

1,5 m. Sedangkan daunnya, tumbuh berpasang-pasangan berlawanan arah di batangnya, berwarna

hijau tua dengan serat yang berjalur-jalur. Bunga ini dapat mekar selama 1-2 bulan, dan lebih kuat

bertahan melawan hujan serta angin kencang dibandingkan dengan bunga sakura.

Bunga ajisai merupakan salah satu bunga yang paling umum dan dicintai masyarakat

Jepang. Melalui bunga ajisai yang berbentuk berbongkah-bongkah dan berlapis tersebut,

melambangkan pengharapan masyarakat Jepang akan mendapatkan umur yang panjang selama

beberapa generasi. Semangat dari harapan ini tercermin dalam gaya hidup dalam hal makanan

orang Jepang, yang jarang sekali memakan makanan olahan dengan perpaduan bahan-bahan

makanan lain yang berlemak tinggi atau bahkan dapat menimbulkan racun dalam tumbuh ketika

dikonsumsi dalam jangka panjang, seperti pengawet atau penyedap rasa. Gaya hidup orang Jepang

yang makan – makanan yang langsung di olah dari alam seperti sushi, memiliki akibat kesehatan

yang lebih baik bagi penduduk Jepang, sehingga usia harapan hidup mereka menjadi salah satu

negara dengan penduduk yang memiliki tingkat harapan hidup yang tinggi di dunia.

Bunga ajisai yang terdapat dalam kain kimono di atas memiliki warna dasar kain yang

berwarna putih. Warna putih dalam bahasa Jepang disebut shiro. Putih mewakili rasa santai dan

mudah ditemui. Selain itu putih merupakan warna keramat bagi dewa-dewa, dan simbol dari

kemurnian. Warna putih juga mensimbolkan ketenangan jiwa bagi yang melihat ataupun yang

menggunakannya.

Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga ajisai dalam kain kimono musim panas

Jepang pada gambar tersebut di lukiskan secara menyebar namun tidak terkesan berantakan.

Kesederhanaan dapat dilihat dari penggunaan warna yang lembut yaitu warna putih sebagai warna

dari dasar kain kimono dan warna biru pada corak bunga tersebut. Bentuk dari bunga juga sama

seperti apa yang ada di alam, kecuali batang yang di lukiskan dalam kimono seperti lentur dan

berkait antara satu dan yang lainnya, hal ini tidak sama seperti di alam. Hal ini menunjukkan bahwa

pembuatan corak tidak kaku seperti apa yang ada di alam, dan dapat diekspresikan dengan bebas

selama bentuknya tidak berubah dari apa yang ada di alam sebenarnya. Perpaduan warna biru dan

putih dalam kain kimono musim panas jepang ini, tidak hanya memberikan kesan kesederhanaan

yang memang merupakan sifat orang Jepang, namun juga menunjukkan kesan ketenangan dengan

melihat pada kimono musim panas Jepang ini. Ajisai merupakan salah satu bunga yang

melambangkan negara Jepang selain bunga sakura.

Pada gambar 3 bagian kanan yaitu bunga yang ada pada corak kain tenun songket Siak

Riau yang dikenal dengan nama bunga melati. Bunga melati merupakan tanaman bunga hias

berupa perdu berbatang tegak yang hidup menahun. Sama halnya dengan bunga ajisai yang

melambangkan negara Jepang, bagi Indonesia, bunga melati merupakan simbol nasional,

khususnya melati putih (Jasminun sambac). Melati dapat tumbuh subur pada tanah yang gembur

dengan ketinggian sekitar 600-800 m di atas permukaan laut. Bunga melati berwarna putih, dengan

ukurannya yang kecil, bunga ini menghasilkan wangi yang bermanfaat untuk aroma terapi dalam

kesehatan. Susunan bunga melati ini menyirip dan berhadapan. Bagian-bagian bunga melati ini

terdiri dari tangkai anak bunga yang di ujungnya terdapat daun pelindng berbenrtuk benang

berjumlah 7 helai, disambung dengan tangkai bunga. Bunga melati dengan warnanya yang putih,

melambangkan kesucian dan kemurnian. Di beberapa tradisi di daerah-daerah di Indonesia bunga

melati juga digunakan dalam acara tradisi seperti di Riau, dalam acara mandi balimau yang

dilakukan oleh masyarakat Melayu Riau pada saat akan datang bulan Ramadhan, dimana acara ini

merupakan perpaduan nilai hinduisme dalam masyarakat Melayu sebelum masyarakat melayu

dipengaruhi seluruhnya oleh konsep keislaman. Dalam acara tradisi ini orang-orang mandi dengan

menggunakan wangi-wangian yang berasal dari bunga-bunga yang di racik sendiri, dimana salah

satunya terdapat bunga melati. Bunga melati selain memberikan wangi-wangian yang tahan lama,

juga sebagai simbol kesucian dan kemurnian hati dalam menyambut dan menjalankan ibadah di

bulan Ramadhan.

Bunga melati yang terdapat dalam kain tenun songket Siak Riau di atas memiliki warna

dasar kain yang berwarna merah. Warna merah merupakan warna dari dari darah, yang demkian

dikaitkan dengan kehidupan, tindakan, kegembiraan dan antusiasme (semangat/gairah). Bagi

masyarakat Melayu Riau, merah merupakan simbol dari ketegasan, kekar atau kekuatan, dan

kemandirian. Warna merah bagi masyarakat Melayu Riau merupakan warna yang dikenakan oleh

Hulu Balang. Hulu balang merupakan sebutan bagi pemimpin pasukan pada masa kerjaan di Riau,

khususnya kerajaan Siak. Namun saat ini warna sudah dipandang secara estetika penggunaannya,

sehingga hal tersebut tidak dikhawatirkan lagi bagi masyarakat Melayu Riau. Namun, bagi

masyarakat Melayu Riau yang berasal dari keturunan Raja-Raja Kerajaan Siak tersebut, mereka

masih mementingkan pemilihan warna ini dalam penggunaan kain tenun songket Siak pada

keseharaiannya.

Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga melati dalam kain tenun songket Siak

Riau pada gambar tersebut disusun secara teratur dan berjajar memanjang dari kiri ke kanan. Sisi

kesederhanaan dalam corak ini tidak sesuai dengan konsep kanso ‘kesederhanaan’ dalam estetika

wabi sabi Jepang, yang mengatakan bahwa kesederhanaan dalam warna ialah warna yang tidak

menyolok, sedangkan merah dan kuning yang digunakan dalam corak ini, merupakan warna yang

mencolok. Bentuk bunga melati yang ada pada corak kain tenun songket Siak Riau ini tidak sama

dengan bunga melati apa adanya seperti di alam bebas, berbeda dengan penggambaran bunga

ajisai dalam corak kimono musim panas Jepang yang sesuai dengan bentuknya yang ada di alam.

Pembuatan corak seperti ini dipengaruhi oleh konsep keislaman yang dipegang oleh masyarakat

Melayu Riau mengenai keindahan itu berasal dari Allah swt, dan yang alami itulah yang

seharusnya dikatakan indah dan wajib kita syukuri. Sehingga untuk mempertahankan hal itu, maka

pembuatan bunga tersebut dibentuk menjadi bentukan yang sedemikian rupa oleh para perancang

corak tersebut dengan tidak menghilangkan sisi keindahan dari bunga itu sendiri. Sehingga kita

sebagai manusia tetap mengagumi ciptaan Allah swt, bukannya mengagumi ciptaan pembuat corak

tersebut. Ketenangan dapat dikesankan pada penyusunan bunga-bunga melati ini dalam corak kain

tenun songket Siak Riau, yang ujung-ujungnya antara bunga yang diatas dan bunga yang dibawah

saling beradu, yang menganalogikan kedekatan anatara pihak yang di atas dan pihak yang dibawah.

Dalam bermasyarakat kedekatan pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya sangatlah perlu

bagi masyarakat Melayu Riau. Melalui bunga melati yang melambangkan kemurnian,

menggambarkan pengharapan masyarakat Melayu Riau terhadap kesucian hati dalam berinteraksi

dengan siapapun di lingkungan masyarakat. Baik dari pemimpin ke bawahan, atau siapa saja yang

melakukan interaksi dalam kesehariannya, sehingga dapat terhindar dari sengketa dan niat jahat

yang dapat menimbulkan pertengkaran yang membuat berkah tidak mengalir dalam kehidupan

masyarakat.

PEMBAHASAN

Berdasarkan pemaparan analisis di atas, maka makna dari corak tersebut dapat dirangkum dalam

tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Analisis Makna Corak Kimono Musim Panas Jepang Dan Corak Tenun

Songket Siak Riau Berdasarkan Konsep Simbol

Kategori Kimono

Musim

Panas

Jepang

Kain

Tenun

Songket

Siak Riau

Penjelasan

Sense

1. Pemilihan corak

berdasarkan

penglihatan dari

alam

2. Pemilihan objek

berdasarkan

perasaan ketika

melihat dari

alam

1. Ya

2. Ya

1. Ya

2. Ya

Hal ini menandakan

bahwa betapa

berpengaruh sangat

besarnya alam

memberikan inspirasi

kepada manusia. Baik

dalam masyarakat Jepang

dan masyarakat Melayu

Riau sangat

memperhatikan alam

dengan dan mencintai

alam hingga membawa

alam kedalam pakaian

masing-masing

masyarakat tersebut.

Idea

1. Bentuk corak

Sesuai dengan

apa adanya di

alam

1. Ya

1. Tidak

Hal ini karena Jepang

memiliki sifat

kealamian yang ‘apa

adanya’ hasil dari

2. Warna yang

digunakan pada

corak dan dasar

kain

2. Warna

Muda/

Lem-

but

2. Warna

Terang

kepercayaan Budha

Jepang. Sama halnya

dengan warna, Jepang

tidak menyukai sesuatu

yang mencolok, karena

akan terlihat berbeda

dari orang lain, dan

memberikan kesan

sombong. Sedangkan

Masyarakat Melayu

Riau dipengaruhi oleh

ajaran Islam, sehingga

corak dibuat tidak sama

dengan bentuk aslinya

agar menjaga

keindahan dari apa

yang diciptakan Tuhan,

dan menghindari dari

pemujaan yang

berlebihan terhadap

hasil karya, yang akan

memulai sinkritisme.

Warna terang seperti

merah, kuning, hijau

merupakan warna yang

telah sejak dulu

menjadi warna utama

yang selalu ditemukan

dalam adat

Reasoning

1. Ya

1. Ya

1. Makna dari

corak diambil

dari makna

objek corak

tersebut di alam

2. Makna warna

dari corak

tersebut

menganalogikan

gambaran

kehidupan

masing-masing

masyarakat

tersebut

2. Ya

2. Ya

Hal ini menunjukkan

bahwa makna-makna

dasar yang ada di alam,

sangat memiliki fungsi

yang dapat dijadikan

arah dalam kehidupan,

baik dalam masyarakat

Jepang dan dalam

masyarakat Melayu

Riau, sehingga hal ini

menjadi pola atau ciri

dari kehidupan

masyarakat tersebut

Tabel 2. Hasil Analisis Makna Corak Kimono Musim Panas Jepang Dan Corak Tenun

Songket Siak Riau Berdasarkan Konsep Estetika Wabi-Sabi Jepang

Aspek Kimono

Musim

Panas

Jepang

Kain

Tenun

Songket

Riau

Penjelasan

1. Fukinsei

‘keseimbangan

yang dinamis’

Ya Ya Bagi masyarakat Jepang yang

menganut Zen Budha,

menekankan bahwa ketidak

teraturan merupakan proporsi

yang dinamis. Jika dilihat dari

masyarakat Melayu Riau yang

di dasari dari konsep keislaman,

kedinamisan dilihat dari

penyimpangan bentuk yang

sebenarnya di alam, dengan

tujuan estetika dan tujuan

mencegah sinkretisme terhadap

objek corak tersebut dalam

masyarakat itu sendiri.

2. Kanso

‘kesederhanaan’

Ya Tidak Kesederhanaan dilihat dari

penggunaan warna yang tidak

menyolok. Pada corak kimono

musim panas Jepang warna

yang digunakan adalah warna

yang lembut seperti putih, biru;

sedangkan dalam corak kain

tenun songket Siak Riau, warna

yang digunakan ialah warna

mencolok seperti merah,

kuning, hijau, yang umum

ditemukan dalam adat

masyarakat Melayu Riau.

3. Kokou ‘esensi

bentuk’

Ya Ya Dengan melihat bentuk dapat

dilakukan pemahaman atau

pencerapan mengenai makna

dari corak tersebut.

4. Shizen

‘kewajaran’

Ya Ya Pada masayarakat Jepang dalam

kimono musim panas ini konsep

corak diterapkan ialah

meneriam apa yang ada di alam.

Sedangkan pada masyarakat

Melayu Riau dalam kain tenun

songket Siak Riau ini konsep

yang diterpakan ialah tidak

mengutamakan bentuk dari

objek yang akan dijadikan corak

tersebut, tetapi lebih ke karakter

objek yang akan dimunculkan

dalam corak tersebut.

5. Yuugen

‘bermakna’

Ya Ya Dari corak keduanya dapat

ditangkap pemaknaan tidak

hanya dari objek corak tersebut,

tetapi juga dari warna latar atau

warna latar kain tempat corak

itu dibuat.

6. Datsuzoku

‘bebas dari

ikatan’

Ya Ya Tidak ada aturan khusus

mengenai apa yang tidak baik

dan apa yang baik, atau apa

yang tidak boleh dan boleh

dilakukan dalam penuangan

corak dalam kain kimono

Jepang, karena ini akan

menghalangi kreatifitas dan

aktifitas pengembangan corak.

Dalam corak kain tenun songket

Siak Riau, seniman justru

berkreasi bentuk dan

mengimajinasikan bentuk

tersebut meskipun faktornya

karena apa yang dihasilkan

sebaiknya tidak sama dengan

apa yang ada di alam, untuk

menjaga kemurnian kita kepada

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

7. Seijaku

‘ketenangan’

Ya Ya Masing-masing keduanya

dalam corak tersebut

menggambarkan gerak dalam

diam.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil analisis dari tiga corak kimono musim panas Jepang dan tiga corak

kain tenun songket Siak Riau dari sisi konsep simbol dalam corak tersebut keduanya terbentuk

berdasarkan proses yang sama. Perbedaan hasil ataupun tampilan corak berawal dari berbedanya

pemikiran masing-masing masyarakat dari apa yang mereka lihat dan mereka rasakan di alam ini,

khususnya objek yang akan dijadikan corak baik dalam kimono musim panas Jepang, maupun

objek yang akan dijadikan corak dalam kain tenun songket Siak Riau. Meskipun terjadi perbedaan

pemikiran dalam menuangkan objek tersebut ke dalam corak, namun keduanya tetap

mempertahankan makna objek tersebut sama seperti apa yang mereka tangkap maknanya di alam,

sehingga penalaran makna keduanya sama-sama beriring dengan keadaan makna objek tersebut di

alam.

Hasil analisis dari tiga corak kimono musim panas Jepang dan tiga corak kain tenun

songket Siak Riau dari sisi konsep estetika wabi-sabi Jepang, diketahui bahwa terdapat satu poin

yang jelas-jelas berbeda antara corak kimono musim panas Jepang dan corak kain tenun songket

Siak Riau, yaitu pada konsep kesederhanaan. Kesederhanaan menurut Jepang ialah cenderung

memperlihatkan warna-warna lembut yang tidak mencolok, seperti putih, biru, hitam. Sementara

itu, pada masyarakat Melayu Riau sudah sejak lama ada dalam adat masyarakat ini ditemukan

warna-warna utama yaitu kuning, hijau, dan merah. Ketiga warna tersebut merupakan warna

terang dan jauh dari kesan lembut, ataupun sederhana menurut konsep kesederhanaan wabi-sabi

Jepang. Namun, terdapat enam dari konsep estetika lainnya yang sama-sama ditemukan baik di

dalam corak kimono musim panas Jepang, maupun corak kain tenun songket Siak Riau. Enam

konsep estetika wabi sabi ini ialah, keseimbangan yang dinamis, esensei bentuk, kewajaran,

bermakna, bebas dari ikatan, dan ketenangan.

DAFTAR REFERENSI

Buku

Anesaki, Masaharu. Art. Life, and Nature in Japan. Boston : Marshall Jones Company. 1983

Bakker, Anton. Kosmologi dan ekologi. Yogyakarta: Kanisius. 1995

Conroy, Ellen. Symbolism of Colour. London: Kessinger. 1921

Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Riau. Khazanah Kerajinan Melayu Riau. Yogyakarta:

Adi Cita Karya Nusa. 2009

Gidoni, Ofra Goldstein. Kimono and the Construstion of Gendered and Cultural Identities. USA:

The University of Pittsburgh. 1999

Hamidy, UU. Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan. Pekanbaru: UIR Press. 2009

Hamidy, UU. Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press. 2012

Jamaludin, Jadin, dkk. Indonesian Songket. Jakarta: Minitry of Tourism and Creative Economy

Republic of Indonesia. 2010

Kawakatsu, Ken-ichi. Kimono. Tokyo: Japan Travel Bureau. 1960

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2009

Langer, Susanne K. Philosophical Sketches. The United State of America: The Johns Hopkins

Press. 1962

Langer, Susanne K. Philosophy in a New Key. The United State of America: The Johns Hopkins

Press. 1954

Malik, Abdul,dkk. Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa. 2004

Saronto, Budi. Gaya Manajemen Jepang. Jakarta: Hecca Mitra Utama. 2005

Isnaoen Pramudjo, Sri Iswidayati. Seni Lukis Kontemporer Jepang: Kajian Estetika Tradisional

Wabi Sabi Jepang Periode ’80-an – 90’an. Depok: Disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya Universitas Indonesia. 2002

Tulleken, Kit van. Library of Nation. Amsterdam: Time Life Books. 1985

橋本澄子。 着物の歴史. 日本: 河出書房新社

Internet

Bunga Ayame. 6 Oktober 2013. http://www.hanakotoba.name/archives/2005/09/post_177.html

Kamo Garden. Japanese Iris. 4 Oktober 2013.

http://www.kamoltd.co.jp/kakegawa/english/bunka.htm

Pemita, Desika. Yukata, Baju Kimono di Musim Panas. 4 Oktober 2013.

http://showbiz.liputan6.com/read/280901/yukata-baju-kimono-di-musim-panas

Wahyu, Dipta. Pameran Kimono Musim Panas. 2 Oktober 2013.

http://digital.jawapos.co.id/shared.php?type=imap&date=20130606&name=H25-

A213057

バズカシー.菖蒲・菖蒲・かきつばたの違い.2013年 10月 28日.http://www.rcc.ricoh-

japan.co.jp/rcc/breaktime/untiku/100511.html

NHK. 夏の着物.2013年 10月 30日.http://www.nhk.or.jp/tsubo/program/file245.html