MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK TENUN SONGKET SIAK RIAU THE MEANING OF PATTERN ON...
Transcript of MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK TENUN SONGKET SIAK RIAU THE MEANING OF PATTERN ON...
MAKNA CORAK KIMONO MUSIM PANAS JEPANG DAN CORAK
TENUN SONGKET SIAK RIAU
Rilla Oktoviami Zef dan Diah Madubrangti
Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Jurnal ini membahas mengenai bagaimana alam mempengaruhi corak dari kimono musim panas Jepang dan corak
kain tenun songket Siak Riau yang keduanya sama-sama merupakan pakaian tradisi, sehingga mensimbolkan karakter
masing-masing masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian dengan metode deskriptif dengan analisis kepustakaan
dan wawancara khusus untuk mendapatkan data kain tenun songket Siak Riau. Hasil penelitian ini adalah baik
masyarakat Jepang dan masyarakat Riau sama-sama mengandalkan alam sebagai inspirasi seni mereka, namun
berbeda dalam aturan dan kesederhanaannya.
THE MEANING OF PATTERN ON JAPANESE SUMMER’S KIMONO AND THE
PATTERN ON WOVEN CLOTH SONGKET SIAK RIAU
ABSTRACT
The focus of this study is how nature influence the pattern of Japanese summer’s kimono and the pattern of woven
cloth songket Siak Riau which is both of them is traditional clothes, so that symbolize the characteristic of each society.
Author use descriptive method, with literature analysis and interview which is spesificly use to get data about woven
cloth songket Siak Riau. The result of this research show that Japanese society and Riau society both of them set
nature as their main inspiration of their art, but in other hands the rules of their art and the concept of simplicity are
different.
keywords: Kimono; summer; japanese society; nature; pattern; symbol; songket; Siak Riau; Riau
society; philosophic meaning
PENDAHULUAN
Kedua Jenis pakaian tradisional hasil budaya masyarakat Jepang dan Indonesia, khususnya
Melayu Riau, memiliki falsafah yang berbeda bergantung pada masyarakat pengguna yang
disesuaikan dengan kesempatan, waktu, kondisi yang berlangsung pada saat itu. Namun, alam
sama-sama memiliki pengaruh yang kuat dalam corak yang menghiasi kedua pakaian tradisional
tersebut. Corak pada Kimono musim panas Jepang dan tenun songket Siak Riau, memiliki makna
tertentu dari corak tersebut. Perbedaan karakter manusia yang dituangkan melalui corak kimono
musim panas Jepang dan tenun Songket Siak Riau pada umumnya dapat menggambarkan corak
dari masing-masing masyarakat tersebut.
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah makna filosofis yang terkandung
dibalik corak kimono Jepang pada musim panas dan corak tenun songket Siak Riau, dengan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa ada kesamaan atau kemiripan corak-corak yang ada pada kimono musim panas
Jepang dan tenun songket Siak Riau?
2. Bagaimana alam mempengaruhi corak-corak dari kimono musim panas Jepang dan corak-
corak dari tenun songket Siak Riau?
3. Apa makna di balik corak-corak kimono musim panas Jepang dan tenun songket Siak
Riau?
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menjelaskan makna filosofis yang
terkandung dibalik corak kimono Jepang pada musim panas dan corak tenun songket Siak Riau.
Mencakup di dalamnya yaitu apa saja corak yang terdapat pada kimono Jepang musim panas dan
tenun songket Siak Riau, bagaimana alam mempengaruhi corak-corak tersebut, dan apa makna di
balik corak-corak yang terdapat pada kimono Jepang musim panas dan tenun songket Siak Riau.
TINJAUAN TEORITIS
Alam dan manusia memiliki relasi yang sangat erat. Manusia dengan bebas
mengembangkan materi-materi untuk dapat bertahan hidup di alam. Materi-materi yang
dibentuk oleh manusia tersebut memiliki artian simbolik yang mencakup tujuan-tujuan lain
selain tujuan fungsionalnya, seperti tujuan rohani yang dimasukkan ke dalam materi-materi
tersebut (Veeger, 2001: 6). Terdapat 3 wujud kebudayaan, yaitu wujud ideal, wujud sistem
sosial, dan wujud fisik (Koentjaraningrat, 2009: 150-151). Salah satu wujud fisik dari
kebudayaan adalah pakaian. Pakaian dibuat dengan menggunakan kain. Sedangkan kain
merupakan barang hasil tenunan (Malik, 2004: 21).
Jepang merupakan masyarakat yang sangat terpengaruh oleh alam, dengan begitu segala
hal dalam kehidupan mereka sebisa mungkin membawa unsur-unsur alam. Seperti dalam corak-
corak pakaian tradisionalnya yang dikenal dengan kimono (Anesaki, 1983: 41-42). Kimono
musim panas Jepang dikenal dengan Yukata, dimana kimono pada musim ini memiliki banyak
corak alam yang beragam seperti burung, bunga, dan lain sebagainya. Di dalam corak tersebut
memiliki simbol tradisi yang melekat pada karakter masyarakat Jepang.
Indonesia memiliki hasil tenunan yang baik, salah satunya yang terkenal adalah songket.
Kebanyakan songket mencerminkan budaya Melayu yang terpengaruh dengan Islam
(Jamaludin: 22). Salah satu songket tersebut adalah berasal dari Riau, yang di kenal dengan
kain tenun songket Melayu Riau. Kain tenun songket Melayu Riau memiliki beragam corak
yang disadur dari alam, seperti flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Penyaduran tersebut
dapat dalam bentuk aslinya, dan dapat pula dalam bentuk mereka-reka ke bentuk abstrak (Malik,
2004: 32-33).
Dalam masyarakat Melayu Riau dikenal ungkapan, “Ada benda ada maknanya, ada cara
ada artinya, ada letak ada sifatnya”(Malik, 2004: 5). Dari hal ini dapat dikatakan bahwa setiap
hal termasuk kain tenun songket Melayu Riau, memiliki makna yang dapat dilihat dari corak-
corak yang terdapat pada kain tenun songket tersebut. Makna yang tersembunyi dalam corak-
corak tersebut dapat membuat corak tersebut menjadi simbol dari sebuah falsafah dari karakter
ataupun norma-norma yang ada pada masyarakat tersebut.
Simbol merupakan pencerminan spiritual dari manusia pada dulunya, dan juga merupakan
pencampuran antara kesakralan dan kesadaran akan dunia yang merupakan ciptaan dari Tuhan
(Eliade, 1985: 3). Melalui simbol kita dapat memahami serta menjelaskan makna spiritual yang
ada dibalik hal itu. Salah satunya memahami simbol tersebut melalui warna. Warna merupakan
hal yang sangat indah ketika dipandang, warna dari hutan, bunga-bunga, serta matahari
terbenam merupakan sumber emosi yang terdalam yang dapat membangkitkan rasa keindahan
(Conroy,2007: 1). Selama bertahun-tahun warna tertentu merupakan dari asosiasi atau simbolik
dari suatu karakter yang sangat mengagumkan (Conroy, 2007: 4).
Menurut Sussane K Langer, terdapat tiga kata kunci dari terbentuknya simbol yaitu idea,
sense, dan reasoning, yang memiliki pengertian sebagai berikut1:
a. Sense sendiri memiliki beberapa pengertian seperti panca indera yang dimiliki oleh
manusia (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba); perasaan
mengenai sesuatu yang penting; pernyataan yang normal dari pemikiran atau
kemampuan untuk berpikir jernih; dan pengertian sebuah kata serta cara untuk
memahami ataupun mengerti mengenai suatu hal.2
b. Idea merupakan rencana atau pemikiran; gambaran yang terdapat di dalam pemikiran
seseorang; pendapat atau keyakinan; serta perasaan akan sesuatu kemungkinan.3
c. Sementara itu kata reasoning mempunyai pengertian yaitu pendapat-pendapat dan ide-
ide yang berdasarkan pemikiran yang logis atau masuk akal.4
Wabi-sabi merupakan salah satu konsep estetika tradisional Jepang yang mengacu nilai-
nilai ajaran Zen Buddhisme. Secara harfiah wabi-sabi terdiri dari dua suku kata yakni wabi dan
sabi, keduanya berasal dari kata sifat yang mempunyai pengertian hampir sama, wabishii(侘び
しい) berarti tidak senang, sepi, sunyi, lengang, suram, redup, dan sabishii(寂しい)
mempunyai arti kemelaratan, kesedihan, kemiskinan, kesepian, dalam hal ini Itoh Teiji
mengatakan kendatipun kedua kata tersebut mempunyai banyak arti yang hampir sama tetapi ada
dua makna di dalam pengertian tersebut yang secara logika tampak berlawanan, makna pertama
berarti kemelaratan, kesengsaraan, kekecewaan dan makna kedua adalah kesederhanaan hidup
dalam keheningan. Dalam hal ini Teiji, mengilustrasikan wabi sebagai ungapan percakapan sehari-
hari, misal seseorang yang hidup dalam wabi zumai adalah kehidupan seseorang yang sepi,
mengandung kesediahan dengan tanpa ada kehangatan kasih sayang dari seorang istri/suami, tetapi
di sisi lain mempunyai kehidupan wabi mempunyai makna yang positif, yakni kehidupan yang
sederhana, hening, penuh keindahan dan keanggunan (lihat Teiji Itoh, 1993; 9) Kedua contoh
tersebut menyiratkan pengertian bahwa kehidupan wabi bukan suatu kemelaratan hidup,
kesengsaraan ataupun kemalangan, tetapi merupakan simbol dari sebuah “Keprihatinan hidup”
1 Susanne K. Langer, Philosophy In A New Key : A Study In The Symbolism Of Reason, Rite, And Art (The New
American Library, 1954)., hal 28., et seqq. 2 Victoria Bull, ed. Oxford Dictionary Fourth Edition (New York: Oxford University Press, 2008).,hal 400. 3 Ibid. hal, 218. 4 Ibid. hal, 366.
yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan kepuasan spiritual dengan cara mengasingkan diri
dari keramaian atau keduniawian.5
Selanjutnya Itoh Teiji memandang wabi dari sudut visual atau material, pada hakikatnya
mempunyai pengertian alami yakni warna, bentuk, dan tekstur dari bahan-bahan yang berasal dari
oraganis maupun anorganis, seperti gerabah, kayu, kertas, kayu, jerami, bambu, tanah lihat, batu,
serat kain, serat jerami, dan serat sutera. Akhirnya material wabi adalah material yang bersifat
alami secara tidak langsung bersentuhan dengan tangan manusia, sehingga dalam perwujudannya
menonjolkan karakteristik material dengan tanpa ada unsur yang sengaja dibuat-buat.6
Sabi yang berasal dari kata sabishii berarti sunyi, sepi, secara harfiah juga mempunyai arti
“karat” atau warna kuning kemerahan yang melekat pada permukaan besi atau logam lainnya,
sebagai akibat dari pengaruh cuaca atau udara, sehingga secara tidak langsung sabi berkaitan
dengan “waktu”. Dalam hal ini Teiji Itoh lebih cenderung mengartikan keindahan sabi lebih
banyak ditentukan oleh faktor waktu atau usia, karena waktu mempunyai kemampuan untuk
menyiratkan esensi suatu benda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.7
Menurut Hizamatsu kedua ungkapan wabi-sabi tersebut mempunyai nilai-nilai yang
bersumber pada ajaran Zen Buddha Jepang yang mempunyai tujuh karakteristik. Tujuh
karakteristik ajaran tersebut berfungsi sebagai tuntunan atau pedoman bertingkah laku sosial
termasuk bertingkah laku seni atau berkegiatan seni dalam lingkup kebudayaan Jepang. Nilai-nilai
tersebut secara tidak langsung berpengaruh kental terhadap wabi-sabi. Ketujuh karakteristik
tersebut antara lain: (1) fukinsei (不均整) ‘suatu kesimbangan yang dinamis’ (2) kanso (簡素)
‘kesederhanaan’ (3) kokou (考古拘) ‘esensi bentuk’ (4) shizen (自然) ‘kewajaran’ (5) yuugen ( 幽
玄) ‘bermakna’ (6) datsuzoku ( 脱俗) ‘bebas dari ikatan’, dan (7) seijaku (静寂) ‘ketenangan’.
Menurut Hizamatsu Shinichi prinsip-prinsip ajaran Zen telah digunakan sebagai acuan dalam
menentukan kaidah-kaidah estetis termasuk unsur dan prinsip seni Jepang.
5 Sri Iswidayati Isnaoen Pramudjo, “Seni Lukis Kontemporer Jepang: Kajian Estetika Tradisional Wabi Sabi Jepang
Periode ’80-an – 90’an” (Disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 2002), hal,
19. 6 Ibid. hal, 20. 7 Ibid.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan di dalam penulisan untuk corak kain tenun songket Siak Riau adalah
metode deskriptif dengan analisis melalui studi kepustakaan, serta mewawancarai beberapa tokoh
masyarakat Melayu, yaitu Bapak UU. Hamidy yang merupakan seorang budayawan melayu Riau
dan juga seorang akademisi, Bapak Tenas Effendy yang merupakan seorang budayawan Riau,
Bapak Amrun Salmon seorang budayawan dan designer kain tenun siak Riau, serta Ibu Wati
sebagai ketua dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranesda) Siak, Riau. Sementara untuk
Kimono musim panas Jepang, metode yang digunakan di dalam penulisannya adalah metode
deskriptif dengan analisis melalui studi kepustakaan, hal ini karena data-data sudah banyak
tersedia melalui literatur.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi pustaka.
Studi Pustaka merupakan proses pengumpulan data dengan menelusuri sumber-sumber
kepustakaan dengan membaca buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan
dijawab dan dijelaskan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisis
untuk mendapatkan kesimpulan. Di samping itu, penulis juga mencari data tambahan dan
penunjang melalui internet serta pemanfaatan buku-buku koleksi pribadi dari penulis sendiri.
HASIL PENELITIAN
Corak bunga merupakan salah satu corak yang digunakan pada kimono musim panas
Jepang dan kain tenun songket Siak Riau. Bunga-bunga tersebut dapat memberikan simbol
mengenai kehidupan masing-masing masyarakat pengguna kimono musim panas Jepang dan kain
tenun songket Siak Riau. Terdapat tiga corak bunga yang digunakan untuk analisis makna filosofis
corak kimono musim panas dalam bagian ini, yaitu himawari (gambar 1), ayame (gambar 2), dan
ajisai (gambar 3). Ketiga bunga tersebut merupakan bunga-bunga yang identik dengan musim
panas Jepang dan corak yang sering muncul pada kimono musim panas Jepang. Sementara itu tiga
corak bunga yang digunakan untuk analisis makna filosofis corak kain tenun songket Siak Riau
dalam bab ini, yaitu bunga kesumba (gambar 1), bunga kiambang (gambar 2), dan bunga melati
(gambar 3). Ketiga bunga ini merupakan bunga-bunga yang memiliki makna filosofis yang dekat
dengan kehidupan masyarakat Melayu Riau.
Gambar 1. Corak bunga himawari (kiri) pada kimono musim panas Jepang dan corak bunga
kesumba (kanan) pada kain tenun songket Siak Riau
Pada gambar 1 bagian kiri yaitu bunga yang ada pada corak kimono Jepang musim panas,
bunga itu disebut himawari atau dikenal umum dengan sebutan bunga matahari. Bunga matahari
merupakan bunga yang berkelopak banyak, kepala bunga berukuran cukup besar (diameter bisa
mencapai 30 cm), dan berwarna kuning. Daunnya merupakan daun tunggal lebar, serta batangnya
biasanya ditumbuhi rambut kasar, tegak, dan jarang yang bercabang. Keunikan bunga ini ialah
bunga matahari akan selalu mengikuti pergerakan matahari, atau dikenal dengan istilah
heliotropisme. Hal ini dalam artian bahwa mahkota bunga tersebut akan selalu mengarah ke
pergerakan matahari dari terbit hingga terbenamnya matahari tersebut. Perilaku khusus yang
dimiliki bunga matahari tersebut menyebabkan habitat tumbuhnya ialah tanah yang subur dan
hangat. Mengenai sifat bunga matahari ini, hal tersebut dapat dijadikan sebagai analogi kehidupan
masyarakat Jepang yang bersifat onjooshugi, yang diartikan sebagai hubungan timbal balik antara
orang tua dan anak, dimana orang tua akan selalu memberikan bantuan, bimbingan maupun
perlindungan. Sebaliknya, anak akan memberikan kepatuhan serta pengorbanan kepada orang tua.
Bunga matahari yang terdapat dalam kain kimono di atas memiliki warna dasar kain yang
berwarna biru. Warna biru mensimbolkan kebenaran yang merupakan hasil dari refleksi
ketenangan. Biru merupakan warna langit yang cerah, sehingga memberikan kesan tenang dan
teduh bagi orang yang memandangnya. Biru juga merupakan warna surga yang berarti biru
melambangkan hubungan dengan Tuhan. Kimono musim panas biasanya digunakan pada saat
festival musim panas atau dikenal dengan matsuri yang merupakan salah satu bentuk perayaan
masyarakat Jepang akan rasa syukur dan mengharapkan berkat yang lebih lagi pada hari-hari
kedepannya. Sehingga biru mewakili rasa kesatuan mereka dengan Dewa-Dewa yang mereka
agungkan di dalam matsuri tersebut. Biru juga merupakan lambang ketidakterbatasan karena
menggambarkan warna permukaan laut yang luas. Biru adalah warna yang akrab ditemui oleh
orang-orang Jepang di semua aspek dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga matahari dalam kain kimono musim
panas Jepang pada gambar tersebut di lukis dengan penempatan yang seimbang. Meskipun bunga-
bunga yang digambarkan besar, namun adanya jarak antara satu bunga dan bunga lainnya
menciptakan suatu keseimbangan dalam pembuatan corak bunga tersebut ke dalam kimono.
Warna lembut yang digunakan pada kimono tersebut mencerminkan suatu keindahan yang
sederhana, dan tidak mencolok. Sementara itu, kealamian bentuk dari bunga tersebut dituangkan
apa adanya seperti bentuknya yang dapat kita lihat di alam bebas. Dengan adanya bentuk dengan
lekuk yang sesuai dengan aslinya di alam, kedinamisan dalam peletakan bunga yang tidak
bertumpuk-tumpuk, serta warna yang lembut dipandang mata, menghasilkan suatu ketenangan
ketika melihat kimono ini.
Pada gambar 1 bagian kanan yaitu bunga yang ada pada corak kain tenun songket Siak
Riau yang dikenal dengan nama bunga kesumba. Bunga kesumba merupakan bunga yang hidup
di habitat yang kering dan memiliki hujan musiman. Bunga ini memiliki kepala bunga yang
berbentuk bulat, sama halnya dengan bunga matahari, namun berbeda dalam ukuran. Bunga ini
tidak tumbuh dalam satu batang tunggal, namun dalam batang yang bercabang, yang setiap
cabangnya memiliki satu sampai lima kepala bunga. Kepala bunga ini ada yang berwarna kuning,
oranye, dan berwarna merah. Tanaman ini memiliki fungsi dalam kehidupan seperti sebagai
penyedap makanan, dan minyak nabati dari ekstrak biji bunga ini. Dengan banyaknya manfaat dari
bunga ini maka dapat dianalogikan dalam kehidupan masyarakat di Riau bahwa keindahan pada
sebuah bunga tidak hanya menjadi sebuah hiasan saja, namun juga dapat menjadi penyambung
kehidupan, dengan menghasilkan rezeki dari bunga tersebut.
Bunga kesumba yang terdapat dalam kain tenun songket Siak Riau di atas memiliki warna
dasar kain yang berwarna hijau. Warna hijau merupakan warna tumbuh-tumbuhan yang hidup dan
belum layu, sehingga warna ini mensimbolkan kehidupan. Warna hijau juga merupakan warna
yang dapat melambangkan lahirnya kembali kehidupan, kesegaran, serta jiwa muda. Hijau juga
berarti harapan dan kegembiraan. Tumbuhan yang segar berwarna hijau, akan tetap berwarna hijau
meskipun saat kondisi hujan, dan panas terik melanda. Dari hal ini dapat dianalogikan bahwa
sesuai dengan pembelajaran dan pengaruh Islam pada masyarakat Riau bahwa kehidupan interaksi
sosial yang sama-sama kita alami di luar, merupakan pembelajaran yang sama bagi setiap orang,
sehingga orang yang dapat mengambil pelajaran kearah yang lebih baik dari apa yang terjadi dalam
interaksinya dengan sosial merupakan orang yang beruntung. Sebaliknya, sedangkan orang yang
dalam kehidupannya tidak mampu mengambil pelajaran kearah yang lebih baik dari apa yang
terjadi dalam interaksinya dengan sosial merupakan orang yang merugi. Warna pada masyarakat
Riau dalam menggunakan songket, merupakan perlambangan status penggunanya di dalam
masyarakat. Seperti warna hijau digunakan oleh Datuk-Datuk, atau dikenal dengan pemuka-
pemuka adat yang dihormati karena pengalaman dan ilmu-ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Namun, sekarang pemakaian warna sudah menjadi mengenai persoalan keindahan, dan tidak
terbatas kepada status seseorang yang menggunakan warna tersebut di dalam masyarakat.
Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga kesumba dalam kain tenun songket
Siak Riau pada gambar tersebut disusun dengan sedimikian rupa dengan berjajar, berbeda dengan
penysunan corak bunga matahari pada kain kimono musim panas Jepang yang tidak berjajar. Hal
ini melambangkan bahwa masyarakat Riau memiliki keteraturan dalam bermasyarakat,
keteraturan secara horizontal yang bila dikaitkan dengan Islam sebagai pengaruh kehidupan
bermasyarakat Riau, dikatakan sebagai hablumminannas (hubungan manusia dengan sesama
manusia atau lingkungan kehidupannya). Keteraturan secara vertikal dikaitkan sebagai
hablumminaallah (hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Bunga yang kecil dan disusun
berjajar sama besar menimbulkan kesan kesimbangan yang dapat ditangkap dari corak tersebut.
Penggunaan warna yang hanya ada kuning dan hijau, menunjukkan sisi sederhana dalam corak ini
tidak sesuai dengan konsep kanso ‘kesederhanaan’ dalam estetika wabi sabi Jepang, yang
mengatakan bahwa kesederhanaan dalam warna ialah warna yang tidak menyolok, sedangkan
hijau dan kuning merupakan warna yang mencolok.
Namun, dalam corak ini, bentuk bunga tidak sesuai dengan apa adanya yang ada di alam,
berbeda dengan corak bunga matahari pada kimono musim panas Jepang yang bentuknya sesuai
dengan apa adanya di alam. Pembuatan seperti ini dipengaruhi oleh konsep keislaman mengenai
bahwa keindahan itu berasal dari Allah swt, dan yang alami itulah yang seharusnya dikatakan
indah dan wajib kita syukuri. Sehingga untuk mempertahankan hal itu, maka pembuatan bunga
tersebut dibentuk menjadi bentukan yang sedemikian rupa oleh para perancang corak tersebut
dengan tidak menghilangkan sisi keindahan dari bunga itu sendiri. Bentuk bunga yang kecil dan
tersusun beraturan tersebut, serta bentuknya yang seperti baling-baling menimbulkan lambang
kedinamisan gerak dari bunga tersebut bila diterpa angin, sehingga ketika melihatnya dan
membayangkan dalam pikiran yang melihat akan merasakan ketenangan oleh keindahan tersebut.
Gambar 2. Corak bunga ayame (kiri) pada kimono musim panas Jepang dan corak bunga
kiambang (kanan) pada kain tenun songket Siak Riau
Pada gambar 2 bagian kiri yaitu bunga yang ada pada corak kimono Jepang musim panas,
bunga itu disebut ayame atau dikenal juga dengan sebutan shoubu atau bunga iris Jepang. Bunga
ayame merupakan bunga yang berbentuk panjang dan terkesan tajam seperti pedang. Bunga ayame
atau bunga iris ini memiliki keistimewaan dapat hidup di darat maupun di air, namun di jepang
bunga ini dibudidayakan di dalam lahan yang digenangi air. Bunga ini memerlukan cahaya
matahari yang banyak, sehingga bunga ini akan mulai tumbuh di Jepang saat peralihan dari musim
semi ke musim panas, sekitar akhir bulan Juni. Di Jepang, warna bunga ini didominasi oleh putih,
biru, dan ungu. Masyarakat Jepang mengenal bunga ini dengan nama iris yang dalam artian bahasa
Yunani yaitu pelangi. Bunga ini melambangkan kesetiaan, kebijaksanaan, kesejahteraan, dan
harapan. Dalam kehidupan masyarakat Jepang, ketika bunga ini mekar pada puncaknya,
masyarakat Jepang menamakannya ayame no matsuri serta mereka akan menikmati keindahan
bunga ini dengan datang mengunjungi tempat-tempat mekarnya. Bunga iris di jepang juga dikenal
sebagai simbol perayaan atau festival, karena bentuknya yang indah dan makna-makna yang
terkandung di dalam bunga iris ini sendiri. Bentuk bunga yang cantik namun berbatang kurus
tinggi seperti pedang, menggambarkan dua sisi Jepang yang terlihat tenang dengan memelihara
sistem ketradisionalannya, namun tetap bergerak maju dalam hal kehidupan bermasyarakat,
bahkan terlebih lagi dalam bidang teknologi.
Bunga ayame yang terdapat dalam kain kimono di atas memiliki warna dasar kain yang
berwarna hitam. Warna hitam dalam bahasa Jepang disebut dengan kuro, dimana warna hitam ini
mewakili kekakuan dan bermartabat. Hitam juga merupakan simbol keabadian, dan dapat diartikan
juga sebagai keheningan atau hal yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Dalam masyarakat
Jepang, warna hitam menandakan martabat dan suatu hal yang resmi.
Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga ayame dalam kain kimono musim
panas Jepang pada gambar tersebut di lukiskan lengkap dengan pola air yang menggambarkan
tempat hidup dari bunga ayame ini sendiri. Hal ini menimbulkan keseimbangan yang pada corak
tersebut, di mana terdapat bunga lengkap dengan tangkai dan kuntum bunganya serta tempat di
mana bunga ini tumbuh. Kuntum bunga yang layu atau patah, menggambarkan sisi kealamian atau
apa adanya dari alam, dimana tidak semua bunga selalu mekar dengan sempurna, dan bagi Jepang
ketidak sempurnaan itu lah yang sempurna, karena hal ini merupakan hal yang alami dari alam.
Kesederhanaan tercermin dari warna yang digunakan, yaitu warna lembut putih dan hitam, serta
bentuk bunga yang tidak berubah dari apa yang ada di alam, ketika melihat bunga tersebut tetap
indah di dalam corak kimono musim panas Jepang dimana bentuknya sama seperti yang ada di
alam, menggugah rasa ketenangan ketika melihatnya.
Pada gambar 2 bagian kanan yaitu bunga yang ada pada corak kain tenun songket Siak
Riau yang dikenal dengan nama bunga kiambang. Bunga kiambang merupakan bunga yang hidup
mengapung di air menggenang, dimana tempat hidupnya ini sama dengan bunga ayame yang juga
hidup di air yang menggenang. Tempat hidup bunga ini dapat di tempat-tempat seperti kolam,
sawah, danau, atau di sungai yang mengalir tenang. Kiambang sendiri memiliki dua tipe daun yang
sangat berbeda, yaitu daun yang tumbuh di permukaan air dan daun yang tumbuh di dalam air.
Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berwarna hijau sehingga
mengandung klorofil, dan permukaannya di tutupi rambut berwarna putih sedikit transparan untuk
mencegahnya dari basah serta membantunya untuk mengapung. Daun yang tumbuh di dalam air
berbentuk sangat mirip akar, namun berfungsi seperti akar, yang menangkap hara dari air.
Kiambang termasuk golongan paku-pakuan, namun masyarakat Riau dalam menjadikannya corak,
memposisikan kiambang sebagai bunga, karena keindahannya yang bagaikan bunga ketika
dijadikan corak pada kain tenun songket Siak Riau.
Gerak tumbuh dari kiambang ini ialah tumbuhan ini dapat tumbuh sangat rapat sehingga
menutupi permukaan sungai atau danau, tempat hidupnya. Melalui hal ini lah masayarakat Melayu
Riau mengambil pelajaran dalam kehidupannya hendaknya seperti kiambang yang tali
kekeluargaan antara satu dan yang lainnya selalu tersambung erat dan rapat. Bagi masyarakat
Melayu Riau yang terpengaruh dengan konsep keislaman, memiliki pemikiran bahwa eratnya
silaturahmi (tali kekeluargaan) akan mempermudah jalan seseorang untuk meraih rezekinya,
dengan saling tolong menolong dalam kesusahan dan kondisi senang.
Bunga kiambang yang terdapat dalam kain tenun songket Siak Riau di atas memiliki warna
dasar kain yang berwarna ungu. Warna ungu merupakan warna feminim yang menimbulkan kesan
tenang dan menyejukkan. Warna ungu merupakan perpaduan dari warna merah dan biru, sehingga
simbol dari warna ungu mengambil bagian dari warna-warna tersebut yaitu warna merah yang
melambangkan cinta dan pengorbanan, serta warna biru yang mengartikan kebenaran, dengan
begitu warna ungu merupakan warna dari kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan dalam kehidupan
masyarakat Melayu Riau, kebijaksanaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin-
pemimpin masyarakat. Kebijaksanaan merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat
untuk membuat harmoni yang seimbang dan menghindari terjadinya ketidak adilan dan
kesewenang-wenangan dari pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.
Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, ketenangan dari corak bunga kiambang dalam kain
tenun songket Siak Riau berasal dari corak tersebut disusun secara dinamis dengan
menggambarkan bagian-bagain kecil bunga kiambang tersebut yang menyatu, merupakan
perwujudan dari bagaiamana gerak dari kiambang tersebut di alam sebenarnya. Kesederhanaan
dalam corak ini tidak sesuai dengan konsep kanso ‘kesederhanaan’ dalam estetika wabi sabi
Jepang, yang mengatakan bahwa kesederhanaan dalam warna ialah warna yang tidak menyolok,
sedangkan ungu merupakan warna yang mencolok. Namun di sisi lain warna ungu sanagat feminin
dan lembut ketika di lihat. Meskipun bentuknya tidak serupa dengan apa yang ada di alam, namun
bagian-bagian dari corak kiambang ini menampilkan apa yang secara alami ada di kiambang
tersebut. Di dalam corak ini dapat dilihat dua daun kiambang yang sangat penting yaitu daun yang
mengapung di permukaan dan daun yang berada di dalam air, seolah-olah di lihat secara lurus dari
atas ke bawah sehingga menghasilkan corak demikian.
Bentuk dari corak kiambang ini sendiri memunculkan makna filosofi dari kiambang dalam
kehidupan masyarakat Melayu Riau. Gambaran dalam corak yang mempertautkan akar serta
penyusunan corak yang berdempet satu dan yang lainnya secara teratur dan diperhitungkan,
membuat kiambang terlihat sebagai sebuah tumbuhan yang cantik dan saling berkait antara satu
dan yang lainnya. Bentuk lengkungan dari corak ini juga menggambarkan suatu nilai keindahan
tersendiri yang membuat kiambang terlihat cantik hingga dikelompokkan kedalam corak yang
disebut dengan corak-corak bunga dalam corak pada kain tenun songket Siak Riau.
Gambar 3. Corak bunga ajisai (kiri) pada kimono musim panas Jepang dan corak bunga
melati (kanan) pada kain tenun songket Siak Riau
Pada gambar 3 bagian kiri yaitu bunga yang ada pada corak kimono Jepang musim panas,
bunga itu disebut ajisai atau dikenal juga dengan sebutan hydrangea. Bunga ajisai merupakan
bunga yang tumbuh di peralihan musim semi ke musim panas. Bunga ini mekar sekitar
pertengahan Juni. Bunga ini memiliki kelopak yang berbongkah-bongkah seperti sayur brokoli.
Warna dari bunga ajisai juga bermacam-macam, seperti merah marun, merah muda, ungu, putih,
biru, ataupun perpaduan beberapa warna tersebut sekaligus. Nama ajisai berasal dari kata azu yang
berarti berkumpul, dan sai yang berarti warna biru keunguan. Jenis ajisai yang paling banyak
dibudidayakan di Jepang ialah gakuajisai yang berwarna biru, terdiri dari empat helai kelopak pada
setiap satu tangakai bunga kecil, yang bergabung dengan tangkai-tangkai bunga lain membentuk
satu bongkahan seperti brokoli atau setengah bola berdiameter 10-20 cm. Tinggi pohonnya sekitar
1,5 m. Sedangkan daunnya, tumbuh berpasang-pasangan berlawanan arah di batangnya, berwarna
hijau tua dengan serat yang berjalur-jalur. Bunga ini dapat mekar selama 1-2 bulan, dan lebih kuat
bertahan melawan hujan serta angin kencang dibandingkan dengan bunga sakura.
Bunga ajisai merupakan salah satu bunga yang paling umum dan dicintai masyarakat
Jepang. Melalui bunga ajisai yang berbentuk berbongkah-bongkah dan berlapis tersebut,
melambangkan pengharapan masyarakat Jepang akan mendapatkan umur yang panjang selama
beberapa generasi. Semangat dari harapan ini tercermin dalam gaya hidup dalam hal makanan
orang Jepang, yang jarang sekali memakan makanan olahan dengan perpaduan bahan-bahan
makanan lain yang berlemak tinggi atau bahkan dapat menimbulkan racun dalam tumbuh ketika
dikonsumsi dalam jangka panjang, seperti pengawet atau penyedap rasa. Gaya hidup orang Jepang
yang makan – makanan yang langsung di olah dari alam seperti sushi, memiliki akibat kesehatan
yang lebih baik bagi penduduk Jepang, sehingga usia harapan hidup mereka menjadi salah satu
negara dengan penduduk yang memiliki tingkat harapan hidup yang tinggi di dunia.
Bunga ajisai yang terdapat dalam kain kimono di atas memiliki warna dasar kain yang
berwarna putih. Warna putih dalam bahasa Jepang disebut shiro. Putih mewakili rasa santai dan
mudah ditemui. Selain itu putih merupakan warna keramat bagi dewa-dewa, dan simbol dari
kemurnian. Warna putih juga mensimbolkan ketenangan jiwa bagi yang melihat ataupun yang
menggunakannya.
Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga ajisai dalam kain kimono musim panas
Jepang pada gambar tersebut di lukiskan secara menyebar namun tidak terkesan berantakan.
Kesederhanaan dapat dilihat dari penggunaan warna yang lembut yaitu warna putih sebagai warna
dari dasar kain kimono dan warna biru pada corak bunga tersebut. Bentuk dari bunga juga sama
seperti apa yang ada di alam, kecuali batang yang di lukiskan dalam kimono seperti lentur dan
berkait antara satu dan yang lainnya, hal ini tidak sama seperti di alam. Hal ini menunjukkan bahwa
pembuatan corak tidak kaku seperti apa yang ada di alam, dan dapat diekspresikan dengan bebas
selama bentuknya tidak berubah dari apa yang ada di alam sebenarnya. Perpaduan warna biru dan
putih dalam kain kimono musim panas jepang ini, tidak hanya memberikan kesan kesederhanaan
yang memang merupakan sifat orang Jepang, namun juga menunjukkan kesan ketenangan dengan
melihat pada kimono musim panas Jepang ini. Ajisai merupakan salah satu bunga yang
melambangkan negara Jepang selain bunga sakura.
Pada gambar 3 bagian kanan yaitu bunga yang ada pada corak kain tenun songket Siak
Riau yang dikenal dengan nama bunga melati. Bunga melati merupakan tanaman bunga hias
berupa perdu berbatang tegak yang hidup menahun. Sama halnya dengan bunga ajisai yang
melambangkan negara Jepang, bagi Indonesia, bunga melati merupakan simbol nasional,
khususnya melati putih (Jasminun sambac). Melati dapat tumbuh subur pada tanah yang gembur
dengan ketinggian sekitar 600-800 m di atas permukaan laut. Bunga melati berwarna putih, dengan
ukurannya yang kecil, bunga ini menghasilkan wangi yang bermanfaat untuk aroma terapi dalam
kesehatan. Susunan bunga melati ini menyirip dan berhadapan. Bagian-bagian bunga melati ini
terdiri dari tangkai anak bunga yang di ujungnya terdapat daun pelindng berbenrtuk benang
berjumlah 7 helai, disambung dengan tangkai bunga. Bunga melati dengan warnanya yang putih,
melambangkan kesucian dan kemurnian. Di beberapa tradisi di daerah-daerah di Indonesia bunga
melati juga digunakan dalam acara tradisi seperti di Riau, dalam acara mandi balimau yang
dilakukan oleh masyarakat Melayu Riau pada saat akan datang bulan Ramadhan, dimana acara ini
merupakan perpaduan nilai hinduisme dalam masyarakat Melayu sebelum masyarakat melayu
dipengaruhi seluruhnya oleh konsep keislaman. Dalam acara tradisi ini orang-orang mandi dengan
menggunakan wangi-wangian yang berasal dari bunga-bunga yang di racik sendiri, dimana salah
satunya terdapat bunga melati. Bunga melati selain memberikan wangi-wangian yang tahan lama,
juga sebagai simbol kesucian dan kemurnian hati dalam menyambut dan menjalankan ibadah di
bulan Ramadhan.
Bunga melati yang terdapat dalam kain tenun songket Siak Riau di atas memiliki warna
dasar kain yang berwarna merah. Warna merah merupakan warna dari dari darah, yang demkian
dikaitkan dengan kehidupan, tindakan, kegembiraan dan antusiasme (semangat/gairah). Bagi
masyarakat Melayu Riau, merah merupakan simbol dari ketegasan, kekar atau kekuatan, dan
kemandirian. Warna merah bagi masyarakat Melayu Riau merupakan warna yang dikenakan oleh
Hulu Balang. Hulu balang merupakan sebutan bagi pemimpin pasukan pada masa kerjaan di Riau,
khususnya kerajaan Siak. Namun saat ini warna sudah dipandang secara estetika penggunaannya,
sehingga hal tersebut tidak dikhawatirkan lagi bagi masyarakat Melayu Riau. Namun, bagi
masyarakat Melayu Riau yang berasal dari keturunan Raja-Raja Kerajaan Siak tersebut, mereka
masih mementingkan pemilihan warna ini dalam penggunaan kain tenun songket Siak pada
keseharaiannya.
Jika dilihat berdasarkan sudut estetika, corak bunga melati dalam kain tenun songket Siak
Riau pada gambar tersebut disusun secara teratur dan berjajar memanjang dari kiri ke kanan. Sisi
kesederhanaan dalam corak ini tidak sesuai dengan konsep kanso ‘kesederhanaan’ dalam estetika
wabi sabi Jepang, yang mengatakan bahwa kesederhanaan dalam warna ialah warna yang tidak
menyolok, sedangkan merah dan kuning yang digunakan dalam corak ini, merupakan warna yang
mencolok. Bentuk bunga melati yang ada pada corak kain tenun songket Siak Riau ini tidak sama
dengan bunga melati apa adanya seperti di alam bebas, berbeda dengan penggambaran bunga
ajisai dalam corak kimono musim panas Jepang yang sesuai dengan bentuknya yang ada di alam.
Pembuatan corak seperti ini dipengaruhi oleh konsep keislaman yang dipegang oleh masyarakat
Melayu Riau mengenai keindahan itu berasal dari Allah swt, dan yang alami itulah yang
seharusnya dikatakan indah dan wajib kita syukuri. Sehingga untuk mempertahankan hal itu, maka
pembuatan bunga tersebut dibentuk menjadi bentukan yang sedemikian rupa oleh para perancang
corak tersebut dengan tidak menghilangkan sisi keindahan dari bunga itu sendiri. Sehingga kita
sebagai manusia tetap mengagumi ciptaan Allah swt, bukannya mengagumi ciptaan pembuat corak
tersebut. Ketenangan dapat dikesankan pada penyusunan bunga-bunga melati ini dalam corak kain
tenun songket Siak Riau, yang ujung-ujungnya antara bunga yang diatas dan bunga yang dibawah
saling beradu, yang menganalogikan kedekatan anatara pihak yang di atas dan pihak yang dibawah.
Dalam bermasyarakat kedekatan pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya sangatlah perlu
bagi masyarakat Melayu Riau. Melalui bunga melati yang melambangkan kemurnian,
menggambarkan pengharapan masyarakat Melayu Riau terhadap kesucian hati dalam berinteraksi
dengan siapapun di lingkungan masyarakat. Baik dari pemimpin ke bawahan, atau siapa saja yang
melakukan interaksi dalam kesehariannya, sehingga dapat terhindar dari sengketa dan niat jahat
yang dapat menimbulkan pertengkaran yang membuat berkah tidak mengalir dalam kehidupan
masyarakat.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pemaparan analisis di atas, maka makna dari corak tersebut dapat dirangkum dalam
tabel berikut:
Tabel 1. Hasil Analisis Makna Corak Kimono Musim Panas Jepang Dan Corak Tenun
Songket Siak Riau Berdasarkan Konsep Simbol
Kategori Kimono
Musim
Panas
Jepang
Kain
Tenun
Songket
Siak Riau
Penjelasan
Sense
1. Pemilihan corak
berdasarkan
penglihatan dari
alam
2. Pemilihan objek
berdasarkan
perasaan ketika
melihat dari
alam
1. Ya
2. Ya
1. Ya
2. Ya
Hal ini menandakan
bahwa betapa
berpengaruh sangat
besarnya alam
memberikan inspirasi
kepada manusia. Baik
dalam masyarakat Jepang
dan masyarakat Melayu
Riau sangat
memperhatikan alam
dengan dan mencintai
alam hingga membawa
alam kedalam pakaian
masing-masing
masyarakat tersebut.
Idea
1. Bentuk corak
Sesuai dengan
apa adanya di
alam
1. Ya
1. Tidak
Hal ini karena Jepang
memiliki sifat
kealamian yang ‘apa
adanya’ hasil dari
2. Warna yang
digunakan pada
corak dan dasar
kain
2. Warna
Muda/
Lem-
but
2. Warna
Terang
kepercayaan Budha
Jepang. Sama halnya
dengan warna, Jepang
tidak menyukai sesuatu
yang mencolok, karena
akan terlihat berbeda
dari orang lain, dan
memberikan kesan
sombong. Sedangkan
Masyarakat Melayu
Riau dipengaruhi oleh
ajaran Islam, sehingga
corak dibuat tidak sama
dengan bentuk aslinya
agar menjaga
keindahan dari apa
yang diciptakan Tuhan,
dan menghindari dari
pemujaan yang
berlebihan terhadap
hasil karya, yang akan
memulai sinkritisme.
Warna terang seperti
merah, kuning, hijau
merupakan warna yang
telah sejak dulu
menjadi warna utama
yang selalu ditemukan
dalam adat
Reasoning
1. Ya
1. Ya
1. Makna dari
corak diambil
dari makna
objek corak
tersebut di alam
2. Makna warna
dari corak
tersebut
menganalogikan
gambaran
kehidupan
masing-masing
masyarakat
tersebut
2. Ya
2. Ya
Hal ini menunjukkan
bahwa makna-makna
dasar yang ada di alam,
sangat memiliki fungsi
yang dapat dijadikan
arah dalam kehidupan,
baik dalam masyarakat
Jepang dan dalam
masyarakat Melayu
Riau, sehingga hal ini
menjadi pola atau ciri
dari kehidupan
masyarakat tersebut
Tabel 2. Hasil Analisis Makna Corak Kimono Musim Panas Jepang Dan Corak Tenun
Songket Siak Riau Berdasarkan Konsep Estetika Wabi-Sabi Jepang
Aspek Kimono
Musim
Panas
Jepang
Kain
Tenun
Songket
Riau
Penjelasan
1. Fukinsei
‘keseimbangan
yang dinamis’
Ya Ya Bagi masyarakat Jepang yang
menganut Zen Budha,
menekankan bahwa ketidak
teraturan merupakan proporsi
yang dinamis. Jika dilihat dari
masyarakat Melayu Riau yang
di dasari dari konsep keislaman,
kedinamisan dilihat dari
penyimpangan bentuk yang
sebenarnya di alam, dengan
tujuan estetika dan tujuan
mencegah sinkretisme terhadap
objek corak tersebut dalam
masyarakat itu sendiri.
2. Kanso
‘kesederhanaan’
Ya Tidak Kesederhanaan dilihat dari
penggunaan warna yang tidak
menyolok. Pada corak kimono
musim panas Jepang warna
yang digunakan adalah warna
yang lembut seperti putih, biru;
sedangkan dalam corak kain
tenun songket Siak Riau, warna
yang digunakan ialah warna
mencolok seperti merah,
kuning, hijau, yang umum
ditemukan dalam adat
masyarakat Melayu Riau.
3. Kokou ‘esensi
bentuk’
Ya Ya Dengan melihat bentuk dapat
dilakukan pemahaman atau
pencerapan mengenai makna
dari corak tersebut.
4. Shizen
‘kewajaran’
Ya Ya Pada masayarakat Jepang dalam
kimono musim panas ini konsep
corak diterapkan ialah
meneriam apa yang ada di alam.
Sedangkan pada masyarakat
Melayu Riau dalam kain tenun
songket Siak Riau ini konsep
yang diterpakan ialah tidak
mengutamakan bentuk dari
objek yang akan dijadikan corak
tersebut, tetapi lebih ke karakter
objek yang akan dimunculkan
dalam corak tersebut.
5. Yuugen
‘bermakna’
Ya Ya Dari corak keduanya dapat
ditangkap pemaknaan tidak
hanya dari objek corak tersebut,
tetapi juga dari warna latar atau
warna latar kain tempat corak
itu dibuat.
6. Datsuzoku
‘bebas dari
ikatan’
Ya Ya Tidak ada aturan khusus
mengenai apa yang tidak baik
dan apa yang baik, atau apa
yang tidak boleh dan boleh
dilakukan dalam penuangan
corak dalam kain kimono
Jepang, karena ini akan
menghalangi kreatifitas dan
aktifitas pengembangan corak.
Dalam corak kain tenun songket
Siak Riau, seniman justru
berkreasi bentuk dan
mengimajinasikan bentuk
tersebut meskipun faktornya
karena apa yang dihasilkan
sebaiknya tidak sama dengan
apa yang ada di alam, untuk
menjaga kemurnian kita kepada
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
7. Seijaku
‘ketenangan’
Ya Ya Masing-masing keduanya
dalam corak tersebut
menggambarkan gerak dalam
diam.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil analisis dari tiga corak kimono musim panas Jepang dan tiga corak
kain tenun songket Siak Riau dari sisi konsep simbol dalam corak tersebut keduanya terbentuk
berdasarkan proses yang sama. Perbedaan hasil ataupun tampilan corak berawal dari berbedanya
pemikiran masing-masing masyarakat dari apa yang mereka lihat dan mereka rasakan di alam ini,
khususnya objek yang akan dijadikan corak baik dalam kimono musim panas Jepang, maupun
objek yang akan dijadikan corak dalam kain tenun songket Siak Riau. Meskipun terjadi perbedaan
pemikiran dalam menuangkan objek tersebut ke dalam corak, namun keduanya tetap
mempertahankan makna objek tersebut sama seperti apa yang mereka tangkap maknanya di alam,
sehingga penalaran makna keduanya sama-sama beriring dengan keadaan makna objek tersebut di
alam.
Hasil analisis dari tiga corak kimono musim panas Jepang dan tiga corak kain tenun
songket Siak Riau dari sisi konsep estetika wabi-sabi Jepang, diketahui bahwa terdapat satu poin
yang jelas-jelas berbeda antara corak kimono musim panas Jepang dan corak kain tenun songket
Siak Riau, yaitu pada konsep kesederhanaan. Kesederhanaan menurut Jepang ialah cenderung
memperlihatkan warna-warna lembut yang tidak mencolok, seperti putih, biru, hitam. Sementara
itu, pada masyarakat Melayu Riau sudah sejak lama ada dalam adat masyarakat ini ditemukan
warna-warna utama yaitu kuning, hijau, dan merah. Ketiga warna tersebut merupakan warna
terang dan jauh dari kesan lembut, ataupun sederhana menurut konsep kesederhanaan wabi-sabi
Jepang. Namun, terdapat enam dari konsep estetika lainnya yang sama-sama ditemukan baik di
dalam corak kimono musim panas Jepang, maupun corak kain tenun songket Siak Riau. Enam
konsep estetika wabi sabi ini ialah, keseimbangan yang dinamis, esensei bentuk, kewajaran,
bermakna, bebas dari ikatan, dan ketenangan.
DAFTAR REFERENSI
Buku
Anesaki, Masaharu. Art. Life, and Nature in Japan. Boston : Marshall Jones Company. 1983
Bakker, Anton. Kosmologi dan ekologi. Yogyakarta: Kanisius. 1995
Conroy, Ellen. Symbolism of Colour. London: Kessinger. 1921
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Riau. Khazanah Kerajinan Melayu Riau. Yogyakarta:
Adi Cita Karya Nusa. 2009
Gidoni, Ofra Goldstein. Kimono and the Construstion of Gendered and Cultural Identities. USA:
The University of Pittsburgh. 1999
Hamidy, UU. Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan. Pekanbaru: UIR Press. 2009
Hamidy, UU. Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press. 2012
Jamaludin, Jadin, dkk. Indonesian Songket. Jakarta: Minitry of Tourism and Creative Economy
Republic of Indonesia. 2010
Kawakatsu, Ken-ichi. Kimono. Tokyo: Japan Travel Bureau. 1960
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2009
Langer, Susanne K. Philosophical Sketches. The United State of America: The Johns Hopkins
Press. 1962
Langer, Susanne K. Philosophy in a New Key. The United State of America: The Johns Hopkins
Press. 1954
Malik, Abdul,dkk. Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa. 2004
Saronto, Budi. Gaya Manajemen Jepang. Jakarta: Hecca Mitra Utama. 2005
Isnaoen Pramudjo, Sri Iswidayati. Seni Lukis Kontemporer Jepang: Kajian Estetika Tradisional
Wabi Sabi Jepang Periode ’80-an – 90’an. Depok: Disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. 2002
Tulleken, Kit van. Library of Nation. Amsterdam: Time Life Books. 1985
橋本澄子。 着物の歴史. 日本: 河出書房新社
Internet
Bunga Ayame. 6 Oktober 2013. http://www.hanakotoba.name/archives/2005/09/post_177.html
Kamo Garden. Japanese Iris. 4 Oktober 2013.
http://www.kamoltd.co.jp/kakegawa/english/bunka.htm
Pemita, Desika. Yukata, Baju Kimono di Musim Panas. 4 Oktober 2013.
http://showbiz.liputan6.com/read/280901/yukata-baju-kimono-di-musim-panas
Wahyu, Dipta. Pameran Kimono Musim Panas. 2 Oktober 2013.
http://digital.jawapos.co.id/shared.php?type=imap&date=20130606&name=H25-
A213057
バズカシー.菖蒲・菖蒲・かきつばたの違い.2013年 10月 28日.http://www.rcc.ricoh-
japan.co.jp/rcc/breaktime/untiku/100511.html
NHK. 夏の着物.2013年 10月 30日.http://www.nhk.or.jp/tsubo/program/file245.html