PENGARUH NEO-SUFISME TERHADAP PERKEMBANGAN
CORAK TASAWUF DAN TAREKAT
Oleh: Mahrus As’ad
STAIN JURAI SIWO METRO
E-mail: [email protected]
Abstract
The raise of neo-Sufism had influenced to the development of the new tasawuf andtarekat in the Islamic world. Neo-Sufism had continously directed them and madethe syarite indispensable part of their doctrines. Gradually, this tendency forced themweaken their support to the immanation doctrine of God, replacing it with thetransendency doctrine. Although the support to ‘Arabi’s doctrine was unshaky, theyalways remained in the orthodoxy line because of their loyalty to the syarite. Theirreturn to the original stipulations of the Qur’an and the Sunna liberated them from theirnon-islamic characters. They also viewed the world more positively, even, tend to beactivism when their spiritual and Islamic interests were in disturbed. Neo-Sufism hadsucceeded in changing the new tasawuf-tarekat to be more responsive to the worldyinterest, without leaving their main functions as the spiritual vehicle to intimate withGod and to spread Islam as well.
Keywords: neo sufisme, syarite, orthodoxy, activism
Abstrak
Dr. Mahrus As’ad, M.Ag dosen tetap STAIN Jurai Siwo Metro, memperolehgelar Doktor di bidang Pengkajian Islam dari Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2007, kini menjabat sebagaiAssisten Direktur Program Pascasarjana (PPs) STAIN Jurai Siwo Metro.
Kemunculan neo-sufisme abad ke-14 M berpengaruh besar terhadap coraktasawuf dan tarekat abad-abad berikutnya. Terhadap tasawuf, selainmendorong dilakukannya semacam “purifikasi” doktrin agar tidak dimasukiunsur-unsur non Islam, neo-sufisme memberikan arah agar mereka senantiasatetap berada dalam bimbingan syariat, dan syariat menjadi bagian takterpisahkan darinya. Kecenderungan ini secara perlahan kian memperlemahdukungan tasawuf pada doktrin emanasi Tuhan atas makhluknya, digantiktandoktrin transendensi. Walaupun kecenderungannya pada doktrin Ibn ‘Arabitidak goyah, tasawuf senantiasa menempatkan doktrinnya dalam kerangkaortodoks, karena kesetiaannya pada syariat. Pengaruh yang sama terjadi padatarekat. Pengembalian ajaran ke sumber asli Al-Qur’an dan Sunnah membuattarekat-tarekat baru yang muncul terbebas dari sifatnya yang tidak islami, sertamemandang dunia lebih positif, bahkan cenderung bercorak aktivisme bilakepentingan spiritualitas mereka dan dakwah Islam tertanggu. Neo-sufismeberhasil mengubah corak tarekat baru lebih responsif terhadap urusan duniawi,tanpa meninggalkan fungsi utamanya sebagai kendaraan mencapai kedekatandiri kepada Tuhan serta dakwah Islam.
Kata kunci: neo sufisme, syariat, ortodoksi, activisme
1. Pendahuluan
Kemunculan neo-sufisme Ibn Taimiyya (w.728 H/1328 M) dan
muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyya (w.751 H/1350 M) di abad ke-
14 telah membawa perubahan atas corak dan orientasi tasawuf
dan terakat secara mendasar. Walaupun paradigma lamanya tidak
seluruhnya hilang, corak dan orientasi tasawuf baru telah
mengalami perubahan doktriner yang penting; dari tasawuf yang
berlebihan pada praktek asketik, digantikan dengan tasawuf
yang lebih menekankan syariat, serta adanya pengaitan dan
pendamaian secara selektif doktrin mistiko-filosofis Ibn
‘Arabi dengan ajaran-ajaran tasawuf Al-Ghazali. Pada tarekat
perubahan paling menonjol terjadi pada bentuk
pengorganisasiaannya yang lebih longgar dan ciri ajarannya
yang telah disesuaikan dengan kecenderungan ortodoks. Praktek
pengamalan tarekat tidak lagi dilakukan di tempat-tempat
khusus, seperti zawiya, ribat, atau khanaqah, melainkan di
tempat-tempat lebih umum, seperti masjid dan rumah-rumah
pribadi guru. Calon-calon sufi masa ini cenderung lebih
inklusif dengan masyarakat, tidak seperti para darwis di masa
awal dengan penampilan khusus. Perubahan corak tasawuf dan
tarekat baru berakibat tidak saja pada perubahan citra
tasawuf dan tarekat itu sendiri, tetapi juga warna Islam
secara keseluruhan yang dipeluk kaum Muslim di kemudian hari.
Namun, tidak berarti tarekat masa ini telah mengalami
penggusuran total dari aspek-aspek tradisi lamanya. Ada yang
masih tetap dipertahankan, yaitu doktrin ajaran yang tidak
bertentangan dengan syariat. Gejala kesinambungan, di samping
perubahannya, terjadi pula pada tasawuf masa-masa berikutnya.
Bagaimana ciri-ciri mereka selanjutnya sangat ditentukan oleh
lingkungan tempat mereka mengembangkan diri dan menarik
banyak pengikut.
Tulisan ini berusaha mengungkap pengaruh neo sufisme
terhadap kesinambungan dan perubahan doktrin tasawuf dan
tarekat yang timbul di masa sesudahnya. Agar diperoleh
gambaran yang jelas mengenai objek kajian dimaksud, terlebih
dahulu dilakukan survei historis untuk membahas masalah-
masalah terkait mencakup perkembangan doktrin dan pelembagaan
tasawuf di masa-masa awal, neo-sufisme dan pengaruhnya
terhadap pembaharuan doktrin tasawuf, terbentuknya lembaga
tarekat dan munculnya tarekat baru, serta reorientasi doktrin
tasawuf dan pengaruhnya terhadap gerakan tarekat abad-abad
berikutnya.
2. Perkembangan Doktrin dan Pelembagaan Tasawuf
Perkembangan tasawuf dalam Islam tidak dapat dipisahkan
dengan gerakan zuhud (ascetism) di kalangan kaum muslimin
abad ke-1 H/7 M.1 Gerakan ini semula adalah gerakan protes
dari sekelompok orang salih terhadap penguasa Umayah yang
dianggap kurang religius dan bertentangan dengan kesalihan
dan kesederhanaan hidup Nabi saw. dan empat khifah
sesudahnya.2 Ngeri melihat kebatilan dan kezaliman dari
kalangan atas, orang-orang salih yang berfikir serba agamis
1 Reynold A. Nicolson, “Sufism” dalam James Hastings, Encyclopaedia ofReligion and Etics, Vol. 12, (Charles Scriber’s: tt) h. 10; Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani (al-Taftazani), Sufi dari Zaman ke Zaman, Diterjemahkanoleh Ahmad Rofi’ ‘Utsmani (Bandung: Pustaka, 1983) h. 54.2 Fazlul Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979)h. 129; Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,1992) h. 256.
tersebut berusaha menarik diri dari masyarakat sambil
melancarkan kritik.3 Gerakan mereka lebih diarahkan pada
tindakan-tindakan yang bersifat moral dan cenderung menolak
bentuk-bentuk kekerasan. Mereka yang tergabung dalam
kelompok ini adalah orang-orang salih, yang mencurahkan
hidup sepenuhnya untuk beribadat kepada Tuhan.4 Hassan al-
Bashri (w.110 H.), seorang tokoh mutakalimin besar dan
terkenal salih, adalah wakil terkemuka dari kelompok ini.
Selama abad ke-2 H/8 M, sebagai ekses dari menonjolnya
pendekatan serba fiqh dan kalam dalam kehidupan kaum
muslimin, terutama di Basrah, muncullah kelompok anti
ritualistik yang menekankan pada pentingnya aspek-aspek
kesalihan yang lebih tinggi, yang pada gilirannya
menyebabkan terjadinya pendalaman dalam aspek zuhud.
Pengertian zuhud pada masa ini bukan sekedar penarikan diri
dari kehidupan masyarakat umum, tetapi bahkan lebih menjurus
pada pengertian humilitas (kepapaan) yang tidak lagi hirau
dengan masalah makanan dan pakaian.5 Konsep Al-Qur’an
tentang tawakkul yang semula berkonotasi etis berkembang
menjadi doktrin ekstrim tentang pengingkaran dunia, yang
akhirnya melahirkan konsep sentral sufi: hubungan manusia
3 A.J. Arberry, Sufism an Account of the Mystics of Islam, (London: Mandala Books,1979) h. 32-33.4 Reynold A. Nicolson, Op. cit.5 Ibid.
dengan Tuhan.6 Karenanya, zuhud yang sejati, dengan tetap
berteguh pada syariat, berarti pengekangan nafsu dengan
tujuan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih. Kefakiran, rendah
hati, dan pasrah adalah ciri utama sufi-sufi abad ini.
Mereka mencintai Tuhan, tetapi pada saat yang sama, mereka
lebih takut pada-Nya. Atas dasar ini, Nicholson menempatkan
posisi tasawuf masa ini antara zuhud dan ma’rifat, lebih
tepatnya ridla.7 Doktrin tasawuf Ibrahim bin Adham (w. 160
H.) dan Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H.) bisa dijadikan contoh
dalam h ini.
Pada abad ke-3 H/9 M tasawuf memasuki era baru. Selain
pembentukan doktrin, terjadi peralihan konkrit dari paham
zuhud ke konsep tasawuf dalam arti sesunggunya. Para sufi
yang sebelumnya disebut zahid memperkenalkan konsep-konsep
baru yang baku, seperti ma’rifat, fana’, hulul, dan sebagainya.
Munculnya konsep-konsep ini menjadikan tasawuf Islam lebih
sempurna hingga terciptalah ilmu tasawuf.8 Dalam segi
doktrin, tasawuf abad ini mengenal dua aliran: Khurasan dan
Bagdad. Aliran Khurasan ditandai dengan penekanannya pada
doktrin tawakkul atau kepasrahan pada kehendak Tuhan,
cenderung spekulatif-panteistik, mengabaikan ketentuan-
ketentuan syariat, dan merusak tradisi ritual kaum muslimin
6 Fazlul Rahman, op. cit., h. 130.7 Reynold A. Nicolson, Op. cit.8 al-Taftazani, Op. cit., h. 17 dan 139.
yang sudah lazim.9 Tasawuf Al-Bistami (w. 201 H) dengan
doktrin fananya serta Al-Hlaj (w. 309 H) dengan doktrin
hululnya hingga melahirkan ungkapan Ana al-Haq dapat dijadikan
contoh. Sedangkan, aliaran Bagdad lebih menekankan kezuhudan
dan kesalihan, cenderung menolak asketisme radikal, menjauhi
doktrin fana, dan tetap berpegang teguh pada ketentuan-
ketentuan syariat, di samping menghidupkan tradisi
peribadatan kaum muslimin pada umumnya.10 Haris al-Muhasibi
(w. 243 H) dan muridnya al-Junaid al-Bagdadi (w. 298 H)
merupakan eksponen utama aliran ini, yang berkat murid-
muridnya kelak memunculkan tarekat dalam Islam.
Selama abad ke-4 H/10 M, terjadi ketegangan antara
kedua aliran tasawuf ini. Atas dukungan ulama ortodoks,
aliran Bagdad berhasil memenangkan pengaruh, dan aliran
Khurasan sementara tenggelam. Munculnya sejumlah teoritisi
handal, seperti al-Sarraj (w. 377 H/987 M), penulis al-Luma’,
dan Al-Kalabadzi (w. 390 H/995 M), penulis Ta’arruf, serta al-
Qusairi (w. 465/1073 M), penulis Risalah, menjadikan aliran
Bagdad dapat merangkul golongan ortodoks dan tasawuf
terintegrasi dengan syariat. Gerakan ini mencapai puncaknya
pada gagasan dan tokoh Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dengan
keberhasilannya membawa tasawuf ke posisi terhormat di
9 Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1993) h. 112.10 Ira M. Lapidus, Ibid.
kalangan Sunni.11 Al-Ghazali dengan tasawuf moderatnya,
tidak saja telah merekonstruksi Islam ortodoks dengan
menjadikan tasawuf sebagai bagian integralnya, tetapi juga,
dan ini lebih penting, berhasil membersihkan tasawuf dari
unsur-unsur yang tidak Islami.12
Namun, di sisi lain, pembaharuan tasawuf al-Ghazali ini
pada saat yang sama juga menjadi titik balik yang penting
bagi perkembangan doktrin tasawuf selanjutnya. Yang sangat
menonjol adalah munculnya doktrin “kesatuan wujud” (wahdat al-
wujud), yang akar-akarnya sebenarnya sudah ditancapkan oleh
Dzun Nun al-Misri (w. 860 M).13 Menurut para pengikut
doktrin ini, wujud itu satu; semua yang tampak banyak
sesungguhnya satu kesatuan; dan semua yang tampak itu
merupakan wujud luar Tuhan.14 Inilah doktrin sentral tasawuf
dalam Islam, yang merupakan puncak dari teori tasawuf sufi-
sufi abad ke-7 H/13 M dan sesudahnya.15 Namun, karena
dinggap menyimpang dari ajaran Islam dan dituduh menjadi
penyebab diabaikannya syariat, doktrin wahdat al-wujud tidak
pernah bebas dari serangan, terutama dari golongan ortodoks.
11 D.B. MacDonald, “Sufism”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopedia of Islam, (London:E.J.Brill, 1987) Vol. III, h. 149.12 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 140.13 S.A.Q. Husaini, The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabi, (Lahore: S.H. MuhammadAshraf, 1970) h. 21.14 Reynold A. Nicolson, Op. cit., h. 15.15 Cyril Glasse, The Consise Encyclopedia Of Islam, (London: StanceyInternational, 1989) h. 414.
3. Neo-Sufisme dan Pengaruhnya terhadap Perubahan Doktrin Tasawuf
Sebagai reaksi atas meluasnya penyebaran pengaruh
doktrin wahdat al-wujud, di kalangan ulama ortodoks muncul
gerakan pembaharuan tasawuf yang disebut dengan neo-sufisme
atau tasawuf baru. Seperti sudah disinggung di muka, gerakan
neo-sufisme pertama kali dicetuskan oleh Ibn Taimiyyah (w.
728 H/1328 M) dan muridnya Ibn Qayyim Jauziyyah (w. 752
H/1352 M), bertujuan membangun tasawuf yang berpangkal pada
Al-Qur’an dan Sunnah dan senantiasa di bawah kedua sumber
ini, tanpa meninggalkan keterlibatannya dalam kehidupan
masyarakat.16 Ciri utama tasawuf baru ini adalah tekanannya
pada motif moral dan penerapan metode dzikir dan muraqabah
guna mendekati Tuhan, tetapi dengan sasaran yang
disejajarkan dengan doktrin salaf, untuk meneguhkan keimanan
kepada akidah yang benar serta kemurnian moral jiwa. 17
Dengan demikian, kemunculan neo-sufisme sesungguhnya
merupakan upaya untuk menghidupkan kembali aktifisme salaf
dalam keberagamaan kaum muslim dan menanamkan sikap positif
pada dunia, yang sebelumnya tenggelam dalam pengaruh paham
zuhud.
Menariknya, gerakan neo-sufisme justru menonjol di
kalangan tasawuf sendiri. Seorang sufi terkenal Alaud Daulah
16 Nurcholish madjid, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995) h.93.17 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 195.
al-Samnani (w. 736 H/1336 M) mengkritik bahwa doktrin wahdat
al-wujud sebagai mencapur-adukkan Tuhan dengan alam dan
menyamakan yang Ilahiah dengan yang manusiawi. Gerakan ini
mendapatkan dukungan kuat dalam ajaran Ahmad al-Sirhindi (w.
1034 H/1625 M), seorang sufi terkemuka dari perkumpulan
tarekat Naqsyabandiah India. Al-Sirhindi sebenarnya
sependapat dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini satu dengan
Tuhan dan merupakan penampakannya, tetapi berbeda dengan Ibn
‘Arabi, bahwa alam adalah determinasi dari ketiadaan dengan
pantulan wujud Tuhan, yang sebenarnya lain dari dan berbeda
dengan wujud Tuhan. Pada hakekatnya alam ini tiada dan
bersifat ilusif belaka, dan hanyalah pantulan dari wujud
Tuhan. Karena pantulan lain dari wujud Tuhan, hakekat dan
keberadaan alam ini juga lain dari Tuhan. Menurut Ibn
‘Arabi, alam ini secara substansi satu dengan Tuhan,
keberadaannya adalah keberadaan Tuhan; ia adalah Tuhan dalam
bentuk manifestasi keterbatasannya. Singkatnya, demikian
Abdul Haq Anshari, teosofi Ibn ‘Arabi bersifat monisme
kosmik dan dapat dikelompokkan sebagai panteisme. Sedangkan,
teosofi al-Sirhindi, monisme akosmik dan menarik garis paham
transendensi mutlak.18
Gagasan Al-Sirhindi memang tidak dielaborasi secara
lengkap dan menyeluruh; akan tetapi, kritiknya terhadap
18 Abdul Haq Ansari, “Syah Waliy Allah Attempts to Revise Wahdat al-Wujud”, Arabica, (Leiden: E.J. Brill, 1988) No. 35, h.197-213.
doktrin wahdat al-wujud benar-benar menggoncangkan dunia sufi.
H ini dapat dilihat dari munculnya beberapa sufi yang
sementara tetap setia mempertahankan konsep Ibn ‘Arabi; pada
saat yang sama, mereka mencoba memasukkan paham transendensi
ke dalam sistem Ibn ‘Arabi tersebut. Syah Waliy Allah al-
Dihlawi (w. 1176 H/1762 M) dari India dapat dijadikan contoh
dalam h ini.19 Beberapa ulama sufi Melayu Abad ke-11 H/17 M
dan Abad ke-12 H/18 M, juga dapat dimasukkan dalam kelompok
ini, seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1077 H/1666 M), Abd
al-Rauf al-Sinkili, Yusuf al-Makasari (w. 1699 M), Abd Samad
al-Palembani (w.1203 H/1788 M), Muhammad Arsyad al-Banjari
(w. 1227 H/1812 M), Muhammad Nafis al-Banjari, dan Daud al-
Fatani.20
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa usaha ulama,
khususnya setelah Al-Ghazli, untuk mengarahkan doktrin
tasawuf dari kecenderungannya yang menyimpang dari doktrin
19 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 202.20 Mengenai peran aktif keterlibatan ulama-ulama Melayu-Indonesia abadke-17 dan abad ke-18 dalam pembelaan dan pengembangan neo-sufisme, lihatAzyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII danXVIII, (Bandung: Mizan, 1994); Christian Dobbin, Islamic Revivalism in a ChangingPeasant Economy Central Sumatra, 1784-1847, (Cruzon: Cruzon Press, 1983);Chatib Chuzwain, Mengenal Allah Suatu Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad al-Palembani, Ulama Palembang Abad ke-18 Masehi, (Jakarta: Bulan Bintang,1985); Hafifz Dasuki (ed.), ‘Abdus Samad al-Palembani”, Ensiklopedi Islam,(Jakarta: Ichtiar Baru Baru van Hoeve, 1993); Karel A. Steenbrink,Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang,1984); Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya diNusantara, (Surabaya: al-Ikhlas, 1980).
ortodoks terus dilakukan. Melalui proses agak panjang,
kemunculan neo-sufisme berhasil memberikan arah baru dan
sekaligus “menjinakkan” doktrin tradisional tasawuf,
meskipun tidak secara total. Dengan tetap menjaga
kesinambungan (continuity) doktrin tradisionalnya, neo-sufisme
membawa perubahan (change) doktrinal yang mendasar di
dalamnya, dalam rangka menjauhkan tasawuf dari pemahamannya
yang menjurus kepada kesesatan. Dengan pendekatan seperti
ini, selain memungkinkan tasawuf dapat mempertahankan
doktrin wahdat al-wujudnya Ibn ‘Arabi, secara sadar dan
“cerdik”, mereka berusaha mendamaikan doktrin tersebut
dengan ajaran-ajaran ulama ortodok, dalam h ini seperti yang
diperkenalkan Al-Ghazali. Pengaruhnya sangat luas, tidak
terbatas pada wilayah tertentu saja, melainkan menjangkau
hampir ke seluruh kawasan dunia muslim, termasuk kawasan
Melayu Indonesia. Berkat gerakan neo sufisme, ajaran-ajaran
tasawuf yang kemudian berkembang di dunia Islam senantiasa
dalam pengawasan syariat, dan syariat tetap menjadi bagian
tak terpisahkan dari doktrin tasawuf. Masuknya syariat ke
dalam doktrin tasawuf dengan sendirinya semakin memperkokoh
posisi Islam ortodoks yang pada gilirannya memudahkan
dirinya dalam upaya turut mewarnai wajah Islam secara umum
di dunia Islam hingga masa-masa berikutnya.
4. Terbentuknya Lembaga Tarekat
Istilah tarekat (Arab: ţariqah), secara harfiah berarti
“jalan”, sama dengan sabīl21, yang dalam literatur sufi
memiliki dua pengertian yang hanya dapat dijelaskan melalui
proses kesejarahannya. Tarekat dalam pengertian pertama
adalah suatu metode kerohanian untuk memberikan bimbingan
spiritual kepada seseorang dalam mengarahkan kehidupannya
menuju kedekatan diri dengan Tuhan.22 Terekat dalam
pengertian ini merupakan jalan yang harus ditempuh atau
diikuti seorang sālik, lewat mana sejumlah maqāmāt dan ahwāl
harus dilampaui untuk sampai kepada tujuan akhir, yaitu
ma’rifat dengan Tuhan.23 Dengan demikian, tarekat dalam
pengertian ini berkonotasi individual di mana kehidupan
sufistik menjadi ciri utamanya.
Bergesernya sifat individual ke sifat kolektif dalam
bentuk persaudaraan sufi terjadi selama abad 3 H dan ke-4
(9 M dan 10 M) menyusul terselenggaranya haqah-haqah kecil
oleh seorang guru sufi bersama sejumlah murid/pengikutnya,
dalam organisasi yang masih longgar dan tidak tetap,
berkembang menggunakan pusat-pusat pertemuan, seperti ribat,
zawiyah, atau khanaqah.24 Di pusat-pusat pertemuan sufi
21 Abu Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Mastriq,1986) h. 465.22 Louis Massignon, “Tarika”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopaedia of Islam,(Leiden: E.J. Brill, 1987) h. 467.23 A.H. Johns, “Tariqah”, dalam Mircia Eliade, The Encyclopaedia of Religion,(New York: Macmillan Publishing Company, 1987) h. 342.24 Phillip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1973) h. 439.
inilah, di bawah bimbingan seorang guru (syaikh), pendidikan
sufi dilaksanakan. Dengan makin bertambahnya aktifitas dan
jumlah khanaqah (ribat, zawiyah) dari waktu ke waktu, beberapa
teori, konsep, dan amalan mistis diperkenalkan, begitu juga
tata tertib untuk mengatur kehidupan bersama. Pada paroh
kedua abad ke-6 H/12 M ketika semua itu mencapai
kemapanannya, tarekat telah menjelma ke dalam pengertian
kedua, menjadi persaudaraan sufi (sufi brotherhood).25
Dalam pengertian kedua ini, terekat berarti komunitas
di mana sejumlah sufi bergabung dengan seorang guru (syaikh)
dan tunduk di bawah aturan-aturan tertentu, baik secara
kolektif di berbagai khanaqah, ribat, atau zawiyah maupun
pertemuan rohani secara periodik.26 Tarekat dalam pengertian
kedua banyak sekali jumlahnya; mereka menggunakan nama
bermacam-macam sesuai nama sang pendiri. Di Bagdad, ada
tarekat Qadiriyyah, tarekat paling tua, pendirinya adalah
Abd al-Qadir Jailani (w. 525 H/1131 M); ada Syuhrawardiyyah
pendirinya Abd Qahar Abu Najib al-Syuhrawardi (w. 578 H/1182
M), dan Rifaiyyah pendirinya Ahmad Rifa’i (w. 578 H/1162 M).
Di Turki, Yasawiyyah dan Maulawiyyah, pendirinya secara
berurutan Ahmad Yasafi (w. 562 H/1166 M) dan Jalal al-Din
Rumi (w. 672 H/1273 M). Di Afrika Utara, Sadziliyyah
pendirinya Abu Hasan al-Syadzili (w. 656 H/1258 M); di Mesir
25 A.H. Johns, Op. cit., h. 344.26 J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (Oxford University Press, 1979).
Ahmadiyyah atau Badawiyyah pendirinya Ahmad Badawi (w. 675
H/1275 M); di Persia Kubrawiyyah dan Khwatiyyah secara
berurutan pendirinya Najm al-Din Kubra (w. 618 H/1221 M) dan
Umar al-Khwati (w. 1397 M). Di Asia Tengah, Naqsabandiyyah
pendirinya Baha’ al-Din Naqsaband (w. 791 H/1389 M); di
India Chistiyyah pendirinya Mu’in al-Din Chisti (w. 633
H/1236 M). Dan masih banyak lagi tarekat lainnya, induk
maupun cabang, terus bermunculan di dunia Islam, dari
berbagai generasi pada abad ke-9 H/16 M. Menurut
penghitungan al-Attas, jumlah mereka mencapai 177 buah
ordo.27
Meskipun demikian, tarekat yang banyak dan bermacam-
macam itu, secara doktrinal-objektif pada dasarnya tidak
terdapat perbedaan satu dengan yang lain. Yang membedakan
mereka hanyalah dalam segi ritualnya, seperti dalam metode
berzikir dan amalan peribadatannya. Tarekat Rifaiyyah,
misalnya, lebih menyukai zikr keras; sedangkan,
Naqsyabandiyyah kesukaannya zikr sedang-sedang saja. Dalam h
doktrin dan tujuan, mereka sesungguhnya sama, yaitu
meningkatkan kualitas moral-spiritual sesuai dengan ajaran
Islam.28 Sejak abad ke-6/13 M dan seterusnya apa yang
sekarang disebut dengan tarekat-tarekat besar muncul. Mereka
27 Syed Naquib al-Attas, Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among theMalays, (Singapore: Malayan Sociological Research Institute Ltd., 1983)h.31.28 A.J. Arbery, Op. cit., h. 89.
ini, selain sisi esoterik-batiniahnya, bertambah besar dan
lebih komprehensif. Dalam keadaan seperti ini, tidak
tertutup kemungkinan terjadinya dilusi antara cita dan
pengamalan tarekat dengan kepercayaan masyarakat umum,
sehingga dengan mudah tarekat menjadi gejala massa, dengan
seluruh lapisan yang ada.
Di lingkungan elit-politik, para sufi mendapat
perlindungan dan perlakukan khusus, bahkan dapat memasuki
jaringan khusus. Dengan kalangan ulama ortodoks, mereka juga
dapat bekerja sama, sehingga memudahkan tasawuf berintegrasi
dengan syariat. Di kawasan-kawasan perbatasan, seperti
Afrika Utara, Asia Tengah, dan India tarekat sufi
berafiliasi dengan para pejuang Islam, sehingga dapat
memainkan peranan penting dalam proses islamisasi.29 Di
kalangan bawah, pengaruh tarekat lebih hebat lagi. Di sini
pelayanan para guru sufi tidak saja terbatas pada pemberian
bimbingan spiritual dengan jalan zikr, pembacaan wirid, dan
amalan-amalan peribadatan lainnya, tetapi mencakup juga
pelayanan sosial yang konkrit kepada siapa saja yang
memerlukan. Tempat tinggal mereka, khanaqah (ribat/zawiyyah),
selain terbuka untuk umum, tempat para musafir dan pedagang
bisa menginap, si miskin memperoleh bantuan, dan orang-orang
sakit mendapatkan perawatan.30
29 Ira M. Lapidus, Op. cit., h. 171.30 A.H. Johns, Op. cit., h. 344.
Penyebaran tarekat-tarekat ini ada yang hanya terpusat
di tempat-tempat didirikannya, ada yang bersifat regional;
namun, tidak sedikit yang meluas hingga ke banyak wilayah
Islam lainnya. Tarekat Qadiriyyah, misalnya, bermula di
Bagdad, tetapi kemudian menyebar secara meyakinkan di Yaman,
Mesir, Sudan, Maghrib, Afrika Barat, India, dan Asia
Tenggara. Demikian juga Naqsyabandiyyah, walaupun didirikan
di Bukhara, tarekat ini memainkan peranan penting di India,
dengan cabang-cabangnya di Cina, Asia Tengah, Timur Tengah,
dan Indonesia.31
Pergerakan tarekat pada masa-masa awal tampak lincah
sekali dan bisa memasuki hampir semua lini kehidupan kaum
muslimin. Menurut A.H. Johns, ada beberapa faktor turut
memfasilitasi penyebaran tarekat. Selain daya tarik sisi
esoterik-batiniahnya, faktor pengakuan dan penerimaan
tasawuf di kalangan ulama ortodoks, munculnya kekacauan dan
ketidakpastian hidup kaum Muslim menyusul tumbangnya
kekhilafah Bani Abbas di Bagdad ke tangan tentara Mongol,
dan jatuhnya kaum Muslim ke tangan penguasa non-Islam
menjadi pendorong yang kuat bagi kaum muslim untuk memasuki
tarekat.32 Dalam situasi demikian tarekat yang dalam segi
rohaniahnya mampu menawarkan keakraban kehidupan sosial
(intimacy of social life) tanpa pandang bulu, dengan sangat mudah
31 Ibid., h. 347-348.32 Ibid., h. 344.
menjadikannya alternatif bagi afiliasi sosial secara
menyeluruh. Ini terbukti bahwa sejak menjadi organisasi
massa, tarekat dapat merekrut anggota dari seluruh lapisan
masyarakat. Terlebih lagi sejak mereka mendapat restu dari
kalangan ulama ortodoks.33
Demikianlah perkembangan tarekat di dunia Islam.
Menyandang peran beragam menjadikan tarekat di masa jayanya
hampir tidak dapat dipisahkan dari Islam, termasuk
penyebaran dan penguatannya di berbagai wilayah baru. Dalam
situasi kehidupan kaum muslim yang secara sosio-ekonomi
politik kehilangan kekuatan, perkumpulan tarekat menjadi
semacam “rumah besar” yang hangat, yang bisa memberi tempat
berteduh sekaligus perlindungan jasmani dan rahani kepada
siapa saja yang memasukinya. Ketangguhan da’i-da’inya dalam
memasuki wilayah-wilayah baru hingga ke pelosok-pelosok
pedalaman tak disangsikan lagi memberikan sumbangan penting
dalam penyebar-luasan Islam, yang dampaknya masih bisa
dirasakan hingga sekarang. Jika saja tidak berkembang
tarekat Islam, sulit dibayangkan agama ini dapat menyebar
dan dikenal secara meluas ke berbagai wilayah yang sering
disebut “pinggiran” (periferal), seperti Afrika Barat34 dan
Indonesia.35 Begitu sentral peran tarekat dalam sejarah33 Ibid.34 Baca Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern sebuah Kultur Praindustri dalam EraIlmu Pengetahuan dan Teknologi, Diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dkk.,(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) h. 86-91.35 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Mizan, 1998).
Islam Abad Pertengahan sehingga menjadikan dirinya identik
dengan Islam itu sendiri. Dan menjadi anggota suatu tarekat
sama dengan menjadi Muslim, demikian pula sebaliknya.
Namun belakangan, terutama sejak masa Dinasti Utsmani
(abad ke-8 H/15 M), tarekat mengalami penurunan pamor
dibandingan masa-masa sebelumnya. Tarekat pada masa ini
menjadi gerakan kerakyatan dan membentuk cabang-cabang ke
dalam sejumlah besar aliran, yang sepenuhnya meleburkan diri
ke dalam arus kultus wali.36 Menurut Trimingham, setidaknya
ada dua faktor menjadi penyebab terjadinya kondisi seperti
ini. Faktor internal, ketidakmampuan para sufi menghasilkan
karya-karya kreatif; mereka hanya cenderung membuat
komentar-komentar atau ikhtisar terhadap karya sufi-sufi
sebelumnya. Faktor eksternal, adanya kecenderungan di
kalangan pengikut tarekat yang semakin mengarah pada
formalisme hingga menjauhkan mereka dari substansi tasawuf
yang sebenarnya.37 Kalangan pengikut tarekat selanjutnya
banyak disibukkan dengan perbincangan mengenai biografi,
kedudukan khusus atau kekeramatan para wali.38 Mereka juga
semakin berlebihan memberikan penghormatan kepada para wali,
36 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 103.37 al-Taftazani, op. cit., h. 243.38 Akar dari anggapan ini barangkali dapat dilacak dari teori wilāyat yangdibawa al-Hakim al-Tirmidzi (w. 898 H), bahwa seorang sufi adalah waliyang dengan pencapaian spiritualnya mampu menegakkan tatanan di bumi.Wali ini, karena kekeramatan yang diberikan Tuhan kepadanya, diyakinidapat menjadi perantara bagi mereka orang-orang awam dalam berhubungandengan Tuhan. Baca Ira M. Lapidus, Op. cit. h. 115.
hingga menjurus ke pengkultusan. H ini yang kemudian
menggiring mereka, para pengikut tarekat, yang sesungguhnya
mewakili hampir keseluruhan massa Islam Abad Pertengahan,
cenderung diliputi pandangan dan kebiasaan hidup yang sering
diistilahkan dengan khurafat, takhayul, atau bid’ah, yang
sebenarnya tidak dikehendaki para tokoh sufi terdahulu, dan
juga oleh Islam sendiri. Mudah dimengerti mengapa seorang
tokoh Muhammad bin Abd al-Wahhab (1703-1787) kemudian muncul
dan melancarkan gerakan pemurnian (purifikasi) dalam Islam,
karena kecenderungan sebagian besar massa Muslim abad-abad
ini dinilai semakin jauh tersesat dari ajaran agama. Seperti
akan diperlihatkan nanti, beberapa tarekat baru juga muncul
mengikuti jejak Ibn Abd al-Wahhab dalam usaha menjaga
kemurnian ajarannya.
5. Tarekat Baru
Di tengah merosotnya pamor tarekat, usaha pembaharuan
di kalangan mereka sendiri juga berlangsung. Di kalangan
Naqsyabandiyyah yang berpusat di India, misalnya, muncul
gerakan al-Mujaddidiyah di bawah ajaran Ahmad Sirhindi, yang
menolak ajaran wahdat al-wujud nya Ibn ‘Arabi, dan hendak
mengembalikan tarekat ke pangkuan syariat, dengan mana
pengaruhnya bahkan sudah merembes hingga ke luar India dan
mendominasi Hijaz di abad ke-18. Gerakan ini semakin penting
pada abad ke-19 sejak tampilnya Maulana Khalid (Khalid Dhiya
al-Din), yang darinya kemudian muncul terekat
Naqsyabandiyah-Khalidiyah, untuk mendukung supremasi syariat
dan aktivisme dalam kehidupan kaum Muslim. Pada akhir abad
ke-18 gerakan pembaharuan tarekat dengan maksud yang sama
juga muncul di Mingkabau (Indonesia), di kalangan tarekat
Syatariyyah, yang sangat merosot coraknya, karena telah
tercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lokal.39
Namun, usaha pembaharuan tarekat ini baru mendapatkan
gaungnya yang luar biasa sejak munculnya tarekat-tarekat
baru pada abad ke-18. Tarekat-tarekat baru ini jauh lebih
“revolusioner” jika dibandingkan dengan tarekat-tarekat
klasik di atas, baik dalam segi kandungan doktrik maupun
kelembagaannya. Secara doktrinal, tarekat baru mempunyai
ciri-ciri yang antara lain menolak penghormatan wali secara
berlebihan, tidak mengenal ketatnya otoritas silsilah, bahkan
ada yang menolak sama sekali, dan menjauhkan tasawuf dari
aspek asketisme dengan titik berat pada aktifime-praktis.
Selain itu, tujuan zikirnya mengarah pada penyatuan dengan
roh Nabi, bukan dengan Tuhan. Itulah sebabnya tarekat baru
ini sering disebut dengan tarekat Muhammadiyyah, sebagai39 Ulama yang paling berperan dalam gerakan pembaharuan ini adalahTuanku Nan Tuo dari Ampat Angkat, juga dikenal sebagai pendiri surauCangking dan guru Jalal al-Din sendiri. Dalam membela syariat, TuankuNan Tuo tidak cukup hanya dengan melalui pendidikan yang iaselenggarakan. Lebih dari itu, ia turun ke jalan dan dengan mengancammenghimbau masyarakat agar menegakkan kehidupan berdasarkan syariat.Gerakan “kembali ke syariat” Tuanku Nan Tuo ini semakin menggeloradengan bergabungnya ke dalam kancah ini dua tarekat lain, Qadiriyyah danNaqsyabandiyyah di Minangkabau. Azyumardi Azra, Op. cit., h. 290-291.
peneguhan bahwa tarekat ini dimurnikan dengan bertitik tolak
dari kehidupan moral-spiritual Nabi.40
Dari segi kelembagaan, tarekat baru bisa dikatakan
sebagai gejala khas yang muncul pada akhir abad ke-18 dan
awal abad ke-19, di kawasan-kawasan tertentu di dunia Islam,
terutama di Afrika, dengan sistem keorganisasian yang agak
terpusat dan tidak mudah pecah, jika dibandingkan dengan
tarekat-tarekat sebelumnya. Dalam usaha menarik pengikut,
mereka memperkenalkan bentuk-bentuk organisasi sosial baru
dan bahkan terlibat aktif secara politis.41 Ada beberapa
tarekat baru yang muncul pada masa ini, tiga di antaranya
penting untuk disorot, seperti di bawah ini, karena peranan
mereka dalam pembaharuan tarekat di Sudan, Mesir, dan Afrika
Utara dan Barat. Ketiga treat itu adalah Tijaniyyah,
Idrisiyyah, dan Sanusiyyah.
5.1. Tijaniyyah
Pendiri tarekat ini adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Tijani
(w. 1239 H/1815 M), seorang sufi kelahiran Aljazair Selatan.
Sebelum memulai karir kesufiannya, al-Tijani belajar di
banyak tempat, terakhir di Kairo di bawah bimbingan beberapa
syaikh tarekat. Setelah itu ia kembali ke Fez, untuk
membangun terekatnya setelah konon mendapat “restu” dari
40 J.S. Triminhham, Op. cit., h. 106.41 R.S. O’Fahey, Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idrisi and the Idrisi Tradistion, (London:Hurst and Company, 1990) h. 4.
Nabi.42 Menurut Trimingham, sebagai dikutip dari biografi
al-Tijani, ajaran-ajaran tarekat Tijaniyyah yang
dikembangkan sangat sederhana. Ritualnya tidak rumit, dan
tidak mengharuskan adanya penebusan dosa serta pengasingan
diri, mirip dengan ajaran tarekat Syadziliyyah. Yang
ditekankan justru perlunya seorang penghubung antara Tuhan
dengan manusia, yang untuk masanya tentu saja al-Tijani lah
dan penerusnya. Al-Tijani sangat menentang penghormatan
terhadap wali dan juga sangat melarang para pengikutnya
berbai’at ke dalam tarekat lain.43 Pada awalnya terekatnya
sulit berkembang; akan tetapi, berkat para penerus al-Tijani
dapat menembus Sudan Barat, Nilotic, sampai ke Sudan Tengah.
Pada paroh pertama abad ke-19, Haji Umar dari Tokolor
membawanya masuk ke kawasan Negro Guenea Perancis dan pada
permulaan abad ke-20 Tijaniyyah merupakan salah satu terekat
terpenting di Maroko dan Aljazair.44
5.2. Idrisiyyah
Tarekat Idrisiyyah didirikan di Mekkah oleh seorang
ulama pembaharu sekaligus sufi kelahiran Maroko bernama
Ahmad Ibn Idris (w. 1253 H/1837). Sebelum mendirikan
tarekatnya, Ibn Idris banyak mendalami ilmu-ilmu agama di
tanah kelahirannya. Di antara guru-gurunya adalah Abu al-
42 J.S. Trimingam, op. cit., h. 107. 43 J.S. Trimingam, op. cit., h. 108.44 Ibid., h. 110.
Mawahib ‘Abd al-Wahab al-Tazi (w. 1206 H/1792 M) yang
membaiat Ibn Idris ke dalam tarekat Qadiriyyah dan Abu al-
Qasim al-Wazir, yang berkat bimbingan spiritualnya Ibn Idris
berjumpa dengan al-Khidlir dalam pengajaran zikr, wirid, dan
doa-doa lainnya. Kelak isi pengajaran al-Khidlir ini menjadi
inti terekat Idrisiyyah yang didirikan.45
Menganut sufisme baru, Ibn Idris sangat menentang
prekatek terekat lama yang menurutnya sarat dengan khurafat
dan takhayul. Namun, ia juga tidak menyukai beberapa h dalam
ajaran-ajaran Wahabi, terutama penindasannya terhadap aspek
batini Islam.46 Karena itu, Ibn Idris segera meninggalkan
Maroko untuk selamanya. Setelah berhaji pada 1799, ia
menetap di Kairo untuk menambah pelajaran dan kemudian
pindah ke suatu tempat di Zainiyah. Pada 1818 Ibn Idris
berangkat ke Mekkah dan menetap di sana. Di tempat suci
inilah Ibn Idris menerima banyak murid dan pengikut dari
berbagai wilayah Islam, termasuk Indonesia, sebelum
menyingkir ke Sabiya di ‘Asir Yaman.47 Menurut biografinya,
45 R.S. O’Fahey, op. cit., h. 28-48.46 Pengauruh Wahabi masuk ke Maroko pada 1226 H/1811 M lewat penguasasetempat Mawlay Sulaeman (memerintah 1792-1822 M), atas ajakan reformasiyang disampaikan Sa’ud Ibn ‘abd al-‘Aziz, penguasa Hijaz. Menerimaajakan tersebut Mawlay Sualeman mengirim anaknya beserta sejumlahulamanya ke Mekkah bertepatan dengan musim haji. Sekembalinya dariMekkah, mereka melancarkan gerakan pembaharuan dengan mengadakanpenyerangan besar-besaran terhadap ulama Fez dan kaum marabout yangberakhir dengan traged yang memilukan. J.S. Trimingham, Op. cit., h. 109;R.S. Fahay, Ibid., h. 34-35.47 C.C. Adams, “The Sanusi”, The Muslim Word, 36 1946), h. 23.
seperti dikutip Trimingham, terekat Ibn Idris secara ketat
berdasarkan Al-Qur’an serta Sunnah dan menerima ijma’
terbatas hanya di kalangan sahabat. Bertarekat juga bukan
sekedar mengajarkan wirid dan zikr, tetapi juga untuk
mempersatukan umat ke dalam ikatan Islam.48
Tarekat Idrisiyyah, selain dirinya di kawasan ‘Asir,
lebih lanjut melahirkan tiga tarekat pembaharu lainnya yang
dibangun murid-muridnya: Rasyidiyyah, Mirghaniyyah, dan
Sanusiyyah. Rasyidiyyah, didirkan oleh Ibrahim al-Rasyid (w.
1291 H/1874 M), tersebar hanya di Aljazair. Mirghaniyyah
oleh Muhammad ‘Utsman al-Hijazi (w.1269 H/1953 M) menyebar
ke Sudan dan Nubia. Sanusiayyah, yang akan dibahas di
setelah ini, paling menonjol di antara ketiganya, didirikan
di Mekkah oleh Sayyid Muhammad Ibn ‘Ali al-Sanusi (w.1275
H/1859 M), sepeninggal gurunya pada 1253 H/18378 M).
5.3. Sanusiyyah
Sanusiyyah, seperti sudah disebut, didirikan oleh
Sayyid Muhammad Ibn ‘Ali al-Sanusi kelahiran Aljazair pada
1202 H/1787 M. Akibat konflik mengenai siapa penerus
tarekatnya sepeninggal sang guru, Al-Sanusi memilih
memisahkan diri, dan pada 1837 zawiyah pertamanya dirikan di
jabal Abu Qubais Mekkah. Dari tempat inilah tarekatnya
menyebar ke kawasan-kawasan penting di Hijaz.49 Pada 1840,
48 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 115.49 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 118.
karena alasan politik dan keagamaan, Al-Sanusi dipaksa
meninggalkan Mekkah, dan menyingkir ke perbukitan Jabal
Akhdar di pedalaman Cyrenaica. Di sini ia mendirikan zawiya
pertamanya di Afrika, yang diberi nama Al-Zawiyaht al-Baidla
(Zawiyah Putih).50 Dipilihnya padang pasir ini untuk
zawiyahnya karena dinilai cukup strategis. Di samping subur,
bisa menjadi pusat untuk menarik suku-suku Badui dan
penghubung bagi lalu lintas kafilah yang datang dari Sudan.
Akan tetapi, daerah ini sepertinya belum memberikan apa yang
diinginkan sampai kemudian melirik daerah Sahara Tengah.
Pada 1856 markasnya di Baidla dipindahkan ke Jaghbub, sebuah
kawasan padang pasir di Libya, dengan mendirikan sebuah
zawiya baru yang multifungsi.51 Di sini dibuat bangunan-
bangunan antara lain tempat tinggal pribadi, masjid,
madrasah, asrama penginapan musafir dan pedagang, gudang,
dan lain-lain, yang kesemuanya dipagari dengan benteng-
benteng pertahanan. Di sekelilingnya adalah tanah-tanah
pertanian milik para pengikutnya.52
Dalam seluruh tarekatnya al-Sanusi tampak lebih dekat
dengan gurunya Ibn Idris. Ia menyerukan perlunya persatuan
Islam, kembali kepada ajaran dasar al-Qur’an dan Sunnah, dan
trandensi Tuhan atas cipataan-Nya. Sanusi sangat mencela
amalan-amalan yang umum dilakukan tarekat-tarekat klasik,
50 C.C. Adams, op. cit. h. 24.51 J.S. Trimingham, Op. cit., h. 119.52 C.C. Adams, op. cit. h. 32.
sepeti pencarian ektase, penghormatan kepada para wali, dan
pemasukan praktek-praktek lokal pra-Islam ke dalam ibadah.
Ia menganjurkan penerapan syariat secara ketat dalam tasawuf
dan tidak mentolelir adanya penyimpangan apapun dari Al-
Qur’an dan Sunnah.53
Sanusi diketahui menggabungkan banyak tarekat sufi ke
dalam tarekatnya, karena menurutnya, tarekat-tarekat sufi
itu bertujuan sama, yaitu sempurnanya jiwa manusia. Namun,
kesempurnaan jiwa tersebut tidak dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi Tuhan dengan jalan menyatu dengan-Nya,
karena h itu di luar kemampuan manusia biasa. Untuk itu,
sebagai gantinya, Sanusi menganjurkan peneladanan terhadap
Nabi Muhammad saw. dalam segala aspek kehidupan dengan tetap
bermuraqabah terhadap rohnya guna mencapai kesucian jiwa.54
Ia mengkalim doktrinnya sebagai hasil ijtihad, dan metode
serta amalan zikr yang dikembangkan untuk tujuan-tujuan
sederhana, berdasarkan ajaran-ajaran Islam salafi. Zawiyahnya
di Jaghbub tidak hanya untuk mengajarkan agama semata,
tetapi juga agar dapat mendorong para pengikutnya melibatkan
diri dalam kehidupan praktis, seperti bertani dan berdagang,
hingga teknik mempertahankan diri dari serangan luar.55
Sanusi sendiri merupakan aktifis sejati dalam program53 R.J.I. Ter Laan, “Sanusi Revivalism as Part of the Fundamentalist Tradition in Islam”, Appendix dalam Nicola A. Ziadeh, Sanusiyah a Study of a Revivalist Movement in Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1983), h. 140.54 R.J.I. Ter Laan, Ibid.55 Ibid.
pembaharuan moral, seperti diperlihatkan dalam sikap
politiknya. Dan Sanusiyyah dalam segi pengorganisasian
maupun pengarahan tarekatnya dapat dikatakan wakil par
excellence dari neo-sufisme.56
6. Reorientasi Doktrin Tasawuf dan Gerakan Tarekat
Doktrin neo-sufisme yang kemudian mengajawantah ke
dalam kehidupan pribadi-pribadi sufi dan para pendukungnya
menunjukkan bahwa tasawuf yang sudah terbaharui sama sekali
tidak memberi tempat bagi sikap pasif dan penarikan diri
(uzlah) dari masalah-masalah praktis duniawi. Sebaliknya,
mereka malah menghimbau sedemikian rupa agar kaum muslimin
aktif memenuhi kewajiban duniawi, yang seakan-akan menjadi
maqam tersendiri yang harus dilalui dalam rangka mencapai
kemajuan dalam perjalanan mistis. Dalam kasus Melayu
Indonesia abad ke-17, misalnya, sifat aktifisme para tokoh-
tokoh ulama sufi jelas sekali kelihatan, yang ekspresinya
tidak begitu jauh dengan yang diperlihatkan tokoh-tokoh
tarekat pembaharu.57 Jika tasawuf, lewat para tokohnya,
mendukung aktifisme positif kehidupan duniawi, tanpa
mengorbankan pemenuhan disiplin spiritualnya, aktifisme yang
sama menandai kebanyakan tarekat pembaharu. Mereka tidak
56 Fazlul Rahman, Op. cit., h. 207.57 GWJ Drewes, “Futher Data Concerning ‘Abd al-Samad al-Palembani”, BKI,132 (1976) h. 269; Azumardi Azra, op. cit.
saja menyediakan pelayanan spiritual kepada para pengikutnya
dalam mencapai kesempurnaan jiwa, tetapi juga aktif
melibatkan para pengikutnya dalam pemenuhan kewajiban-
kebutuhan hidup, seperti berdagang, mendirikan koperasi
kerajian, dan sebagainya.58 Sanusiyyah dan Tijaniyyah,
hingga cabang-cabangnya di Sinegal, sebagai contoh,
diketahui aktif melibatkan para ikhwan, sebutan para
pengikutnya, dalam pembuatan jalan raya, pembentukan
koperasi dagang, pelaksanaan proyek-proyek irigasi, dan
pembangunan komunitas pertanian.59
Terakat-tarekat abad ke-19 bahkan melangkah lebih jauh
lagi; kehadiran mereka tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
politik. Mereka mewakili jaringan internasional tidak
kentara, yang berusaha melindungi identitas religio-kultural
Islam menghadapi penguasa-penguasa kolonial dari luar yang
kafir. Dalam rangka melindungi diri seperti ini, aktifisme
sosio-politik mudah sekali berubah menjadi gerakan jihad
guna melawan kekuatan-kekuatan yang dianggap musuh Islam.
Sanusiyyah di bawah Sayyed al-Mahdi dan keturunannya harus
mengangkat senjata melawan serbuan Italia,60 syaikh-syaikh
Naqsyabandiyah-Khidiyah mempelopori gerakan perlawanan
bersifat militan di beberapa wilayah Muslim bagian barat
58 A.H. Johns, op. cit., h. 350.59 Ibid.60 Derek Hoopwood, “A Pattern of Revival Movements in Islam?”, Islamic Quartely, Vol. 15-4, (1974) h. 157.
terhadap agresi Eropa,61 dan Asia Tengah dari pendudukan
Rusia,62 dan Naqsyabandiyah Indonesia melawan kesewenangan
Belanda atau pihak manapun yang mengancam Islam.63
Keterlibatan tarekat dalam peperangan fisik melawan agresi
penjajah, jika dikehendaki, sebenarnya dapat dideret lebih
panjang lagi. Pertanyaannya adalah apakah sikap militansi
memang menjadi ciri tarekat-tarekat baru, atau hanya
kebetulan saja? Apakah terdapat ajaran atau amalan yang
mendorong tarekat kepada militansi politik? Atau contoh-
contoh tadi mesti dipahami sebagai kekecualian, disebabkan
situasi luar biasa; sedangkan, kaum tarekat, terutama
dasawarsa-dasawarsa belakangan, biasanya cenderung apolitik?
Mengenai tasawuf dan tarekat, dalam pengamatan
Bruinessen, terdapat dua pandangan yang bertolak belakang.
Para pejabat kolonial Belanda, Prancis, Italia, dan Inggris,
biasa mencurigai tarekat karena fanatisme kepada guru yang
dengan mudah berubah menjadi fanatisme politik. Karena itu,
bukan suatu kebetulan jika kajian-kajian Barat yang pertama
mengenai tarekat lebih mirip laporan penyelidikan intel
daripada penelitian ilmiah. Karena bahaya politik yang
mereka cerna, banyak pejabat kolonial yang menganjurkan
larangan atau pembatasan terhadap tarekat. Namun, kecurigaan61 Hamid Algar, “The Naqsyabandi Order: a Preliminary Survey of its History and Significance”, Studia Islamica, XLIV, 1976, h. 151-152.62 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,1998) h.67.63 A.H. Johns, op. cit.
terhadap tarekat bukanlah monopoli pejabat kolonial.
Pemerintan Turki, misalnya, sejak 1925 melarang semua
tarekat, setelah terjadi pemberontakan nasional Kurdi
dipimpin syaikh-syaikh Naqsyabandiyah, dan larangan itu
berlaku hingga sekarang. Larangan lebih ketat lagi berlaku
di (bekas) Uni Soviet, karena jaringan tarekat merupakan
oposisi bawah tanah yang paling penting di republik-republik
bagian Uni Soviet tersebut.64
Pandangan kedua, sebaliknya, menganggap bahwa
perkembangan tarekat merupakan suatu gejala depolitisasi,
sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dan politik. Di
sini kaum tarekat dianggap lebih berorientasi pada urusan
ukhrawi daripada masalah duniawi. Mereka dikritik karena
lebih menekankan aspek asketik (zuhd) dan berorientasi
ukhrawi; dalam pendekatkan diri kepada Tuhan, kaum tarekat
biasa menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah, khulwah). Bila
kalangan Islam tradisional dianggap lebih kolot dan
akomodatif serta apolitik dibandingkan kalangan Islam
modernis, kaum tarekat dianggap paling kolot di antara yang
kolot, dan yang paling menghindar dari sikap politik.
Pandangan ini tampak menyederhanakan, tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa ada kaitan erat antara proses depolitisasi,
64 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam diIndonesia, (Bandung: Mizan, 1999) h. 333.
seperti hnya di Indonesia dalam tiga dasawarsa belakangan,
dan suburnya perkembangan tarekat.65
Yang jelas, dua pandangan tentang tarekat di atas, kata
Bruinessen, terkait dengan situasi-situasi yang berbeda.
Hampir semua kasus perlawanan fisik oleh kaum tarekat
ditujukan kepada penguasa-penguasa non-Muslim atau sekuler
(Turki). Di negara Muslim merdeka jarang terjadi
pemberontakan atau sikap oposisi radikal kaum tarekat. Di
sini sikap mereka tidak berbeda dengan kalangan Islam
tradisional umumnya. Bahkan, kaum tarekat sangat dekat
dengan para penguasa. Syaikh-syaikh Naqsyabandiyah, di
negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, cenderung
mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elit.
Pihak yang disebut terakhir ini biasanya sangat “welcome”
dengan mereka. Tampaknya ada semacam simbiose mutualisma di
antara kedua belah pihak. Kedekatan para syaikh dengan
penguasa setempat, selain manfaat yang sifatnya pribadi,
dengan sendirinya dapat membantu memudahkan proses
islamisasi lanjutan. Sedangkan, bagi penguasa dan elit
sendiri, karamah dan kekuatan spiritual para syaikh diyakini
bisa mendatangkan berkah bagi perlindungan dan pelestarian
kerajaan. Dan tak kalah pentingnya, kedekatan dengan para
syaikh, tentu saja, dapat memperkokoh legitimasi penguasa di
mata rakyat. Pendeknya, kehadiran syaikh-syaikh tarekat di
65 Ibid., h. 335.
istana memainkan peranan bervariasi mulai dari guru agama
hingga menjadi “jimat hidup”.66
Tarekat juga terbukti memainkan peranan penting dalam
memperkuat persatuan dan jaringan sosial. Di kawasan Afrika
di mana terdapat banyak suku dan mereka saling bersaing
serta terlibat peperangan, tarekat merekrut banyak pengikut
dari suku-suku yang berbeda, dan berhasil mendamaikan serta
mempersatukan mereka, bahkan mengkoordinir mereka untuk
suatu perjuangan. Negara Libya modern adalah hasil
perjuangan tarekat Sanusiyah, dan syaikhnya yang keempat,
Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara
tersebut.67 Di Kurdistan peranan pemersatu bagi masyarakat
Kurdi yang bersuku-suku dimainkan tarekat Naqsyabandiyah di
akhir abad ke-19. Pemberontakan nasional Kurdi antara 1880
dan 1925 hampir kesemuanya dipimpin oleh syaikh-syaikh
Naqsyabandiyah, karena merekalah yang bisa menyatukan suku-
suku tersebut.68 Di Indonesia tarekat Qadiriyah-
Naqsyabandiyah memainkan peranan penting sebagai jaringan
komunikasi dan koordinasi para pengikutnya dalam perjuangan
melawan pemerintah kolonial.69 Setelah merdeka, potensi itu
muncul untuk tujuan lain. Ketaatan para pengikut kepada
66 Ibid., h. 334-335.67 E.E. Evans Pritchard, The Sanusi of Cyrenaica, (Oxford: Oxford University Press, 1949). 68 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning…Op cit., h. 341.69 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984) h. 225-231.
syaikh yang dianggap bisa mendatangkan banyak suara
menjelang pemilu mendorong partai-partai politik berlomba
mendekati tarekat. Di Turki, meski masih di larang, tarekat
menjadi gudang suara yang penting, dan para syaikh memainkan
peranan politik yang menonjol: sebagai anggota parlemen
sekaligus bisa menempatkan orang-orang kepercayaan mereka di
jajaran birokrasi. Di Indonesia, terutama selama Orde Baru,
kebijakan depolitisasi Islam yang diterapkan juga telah
menempatkan tarekat sebagai “gudang suara” yang diperebutkan
oleh partai penguasa dan pesaingnya.70 Dan kalangan tarekat,
tentu saja, sangat menikmati peran barunya ini.
7. Penutup
Kemunculan neo-sufisme abad ke-7 H/14 M sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan corak tasawuf dan tarekat-
tarekat baru di dunia Islam pada abad-abad sesudahnya. Di
lapangan tasawuf, neo-sufisme telah mendorongnya agar
melakukan semacam “purifikasi” doktrin agar tidak
terkontaminasi dengan unsur-unsur non Islam, serta tetap
bertahan di jalur syariat. Neo-sufisme memberikan arah yang
tidak putus-putusnya agar tasawuf senantiasa tetap berada
dalam bimbingan syariat, dan syariat harus tetap menjadi
bagian tak terpisahkan dari doktrin tasawuf. Dorongan ini
secara perlahan menjadikan tasawuf makin memperlemah
70 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning…Op cit., h. 342-343.
dukungannya untuk mempertahankan doktrin emanasi Tuhan atas
makhluknya, digantikan dengan doktrin transendensi. Walaupun
kecenderungannya terhadap doktrin Ibn ‘Arabi tidak goyah,
tasawuf senantiasa menempatkan doktrinnya dalam kerangka
ortodoks, karena kesetiaannya pada syariat. Di lapangan
tarekat, pengaruh neo-sufisme lebih hebat lagi. Pengembalian
tarekat kepada ajaran sumber asli Al-Qur’an dan Sunnah
menjadikannya terbebaskan dari sifat-sifatnya yang tidak
islami. Seperti halnya tasawuf, tarekat-tarekat baru juga
memandang dunia lebih positif, bahkan cenderung bercorak
aktivisme radikal bila kepentingan spiritualitas khususnya
dan misi dakwah Islamiyah umumnya tertanggu. Tak bisa
dipungkiri, kemunculan tasawuf dan tarekat-tarekat baru,
dengan bentuk organisasinya yang sentralistis dan trans-
nasional, besar jasanya dalam turut menentukan corak
puritanisme keberagamaan kaum Muslim pada umumnya serta
sikap optimisme mereka dalam memandang dunia. Pembaruan
doktrin dan watak gerakan telah membawa tasawuf dan tarekat
baru mampu memainkan banyak peran, namun fungsi dan
kehadiran utama mereka tetap sebagai kendaraan pendekatan
diri dengan Tuhan dan menjalankan misi dakwah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawasy, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya diNusantara, Surabaya, al-Ikhlas, 1980.
Adams, C.C., “The Sanusi”, The Muslim Word, 36, 1946.
Algar, Hamid, “The Naqsyabandi Order: a Preliminary Surveyof its History and Significance”, Studia Islamica, XLIV,1976.
Ansari, Abdul Haq, “Syah Waliy Allah Attempts to ReviseWahdat al-Wujud”, Arabica, Leiden, E.J. Brill, 1988.
Arberry, A.J., Sufism an Account of the Mystics of Islam, London,Mandala Books, 1979.
al-Attas, Syed Naquib, Some Aspects of Sufism as Understood andPracticed among the Malays, Singapore, Malayan SociologicalResearch Institute Ltd., 1983.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan NusantaraAbad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan, 1994.
Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,Bandung, Mizan, 1998.
---------, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam diIndonesia, Bandung, Mizan, 1999.
Chuzwain, Chatib, Mengenal Allah Suatu Studi mengenai Ajaran TasawufSyaikh ‘Abdus-Samad al-Palembani, Ulama Palembang Abad ke-18Masehi, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.
Dasuki, Hafifz (ed.), “Abdus Samad al-Palembani”, EnsiklopediIslam, Jakarta, Ichtiar Baru Baru van Hoeve, 1993.
Dobbin, Christian, Islamic Revivalism in a Changing Peasant EconomyCentral Sumatra, 1784-1847, Cruzon, Cruzon Press, 1983.
Drewes, G.J.W., “Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme”, dalamGustave E. von Grunebaum, Islam Kesatuan dan Keragaman,Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1975.
-------------, “Futher Data Concerning ‘Abd al-Samad al-Palembani”, BKI, 132 (1976).
Glasse, Cyril, The Consise Encyclopedia Of Islam, London, StanceyInternational, 1989.
Hitti, Phillip K., History of the Arabs, London, Macmillan, 1973.
Hoopwood, Derek, “A Pattern of Revival Movements in Islam?”,Islamic Quartely, Vol. 15-4, (1974.
Husaini, S.A.Q., The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabi, Lahore, S.H.Muhammad Ashraf, 1970.
Johnss, A.H., “Tariqah”, dalam Mircia Eliade, The Encyclopaediaof Religion, New York, Macmillan Publishing Company, 1987.
Kartodirjo, Sartono, Pemberontakan Petani banten 1888, Jakarta,Pustaka Jaya, 1984.
Laan, R.J.I. Ter, “Sanusi Revivalism as Part of theFundamentalist Tradition in Islam”, Appendix dalamNicola A. Ziadeh, Sanusiyah a Study of a revivalist Movement inIslam, Leiden, E.J. Brill, 1983.
Lapidus, Ira M., History of Islamic Societies, Cambridge, CambridgeUniversity Press, 1993.
Ma’luf, Abu Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut, Daral-Masriq, 1986.
MacDonald, D.B., “Sufism”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopedia ofIslam, London, E.J.Brill, 1987) Vol. III.
Madjid, Nurcholish, Doktrin Islam dan Peradaban, Jakarta,Paramadina, 1992.
------------, Islam Agama Peradaban, Jakarta, Paramadina,1995.
Massignon, Louis, “Tarika”, dalam E.J. Brill’s First Encyclopaedia ofIslam, Leiden, E.J. Brill, 1987.
Nicolson, Reynold A., “Sufism” dalam James Hastings,Encyclopaedia of Religion and Etics, Vol. 12, Charles Scriber’s,tt.
O’Fahey, R.S., Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idrisi and the Idrisi Tradition,London, Hurst and Company, 1990.
Pritchard, E.E. Evans, The Sanusi of Cyrenaica, Oxford, OxfordUniversity Press, 1949.
Rahman, Fazlul, Islam, Chicago, University of Chicago Press,1979.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abadke-19, Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman,Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani, Bandung,Pustaka, 1983.
Tibi, Bassam, Krisis Peradaban Islam Modern sebuah Kultur Praindustridalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Diterjemahkan olehYudian W. Asmin dkk., Yogyakarta, Tiara Wacana, 1994.
Top Related