BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Repository USM

23
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kinerja Karyawan Mengingat kinerja perusahaan tergantung pada kinerja karyawannya maka setiap karyawan dituntut untuk memebrikan kontribusi yang positif melalui kinerja yang baik. Kinerja yaitu pencapaian hasil dari karyawan berdasarkan suatu kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tersebut. Menurut Mangkuprawira dan Hubeis (2007) kinerja adalah hasil dari proses pekerjaan tertentu secara terencana pada waktu dan tempat dari karyawan serta organisasi bersangkutan. Kinerja karyawan akan menentukan capaian dari target atau sasaran yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mangkuprawira dan Hubeis (2007) menyebutkan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ektrinsik pegawai. Faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi kinerja pegawai terdiri dari pendidikan, pengalaman, motivasi, kesehatan, usia, keterampilan, emosi dan spiritual. Sedangkan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kinerja pegawai terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, kepemimpinan, komunikasi vertical dan horizontal, kompensasi, kontrol berupa penyeliaan, fasilitas, pelatihan, beban kerja, prosedur kerja, sistem hukuman dan sebagainya.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Repository USM

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kinerja Karyawan

Mengingat kinerja perusahaan tergantung pada kinerja karyawannya maka

setiap karyawan dituntut untuk memebrikan kontribusi yang positif melalui

kinerja yang baik. Kinerja yaitu pencapaian hasil dari karyawan berdasarkan suatu

kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tersebut.

Menurut Mangkuprawira dan Hubeis (2007) kinerja adalah hasil dari

proses pekerjaan tertentu secara terencana pada waktu dan tempat dari karyawan

serta organisasi bersangkutan. Kinerja karyawan akan menentukan capaian dari

target atau sasaran yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

Mangkuprawira dan Hubeis (2007) menyebutkan bahwa kinerja karyawan

dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ektrinsik pegawai. Faktor-faktor intrinsik

yang mempengaruhi kinerja pegawai terdiri dari pendidikan, pengalaman,

motivasi, kesehatan, usia, keterampilan, emosi dan spiritual. Sedangkan faktor

ekstrinsik yang mempengaruhi kinerja pegawai terdiri dari lingkungan fisik dan

non fisik, kepemimpinan, komunikasi vertical dan horizontal, kompensasi, kontrol

berupa penyeliaan, fasilitas, pelatihan, beban kerja, prosedur kerja, sistem

hukuman dan sebagainya.

11

Dalam penilaian kinerja jika tidak berorientasi pada objektivitas maka

dapat menimbulkan masalah dalam suatu perusahaan. Supaya tidak terjadi

masalah dalam penilaian kinerja, berikut metode yang dikemukakan Rivai (2005):

1. Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu

Metode ini dilakukan dengan mengevaluasi prestasi kerja masa lalu,

karyawan untuk menilai atas upaya-upaya yang telah mereka lakukan. Upaya-

upaya tersebut akan dinilai yang selanjutnya akan bisa mengarah kepada

perbaikan prestasi.

Ada beberapa teknik dalam metode ini :

a. Skala peringkat (Rating Scale)

Di dalam metode ini para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian

yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala kerja

tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.

b. Daftar pertanyaan (Checklist)

Didalam penilaian berdasarkan metode ini terdiri dari sejumlah pertanyaan

yang menjelaskan beraneka ragam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan

tertentu.

c. Metode dengan penilaian terarah (Forced Choice Methode)

Didalam metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan

mengurangi subjektivitas dalam penilaian.

d. Metode peristiwa kritis (Critical Incident Methode)

12

Didalam metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan

kritis penilai atas prilaku karyawan, seperti sangat baik atau sangat jelek

dalam melaksanakan pekerjaan.

e. Metode catatan prestasi

Didalam metode ini berkaitan erat dengan peristiwa kritis, yaitu catatan

penyempurnaan.

f. Skala peringkat dikaitkan dengan tingkah laku (Behaviorally Anchore

Rating Scale / BARS)

Didalam metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja satu

kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat

prestasi kerja dengan perilaku tertentu.

g. Metode peninjauan lapangan (Field Review Methode)

Didalam metode ini, penyelia turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli

dari SDM.

h. Tes dan observasi prestasi kerja (Comparative Evaluation Approach)

Didalam metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang

karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.

2. Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa depan

Metode penilaian prestasi kerja berorientasi masa depan memusatkan prestasi

pada masa yang akan datang melalui penilaian potensi karyawan dan

penetapan sasaran kerja yang sesuai dengan jabatan karyawan.

Teknik dari metode ini :

a. Penilaian diri sendiri (Self Appaisal)

13

Perusahaan mengemukakan harapan-harapan yang diinginkan dari

karyawan, tujuan perusahaan, dan tantangan-tantangan yang dihadapi

perusahaan pada karyawan.

b. Manajemen berdasarkan sasaran (Management By Objective)

Suatu bentuk penilaian dimana karyawan dan penyelia bersama-sama

menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja di waktu

yang akan datang.

c. Penilaian secara psikologis

Penilaian yang dilakukan oleh ahli psikologi untuk mengetahui potensi

karyawan.

d. Pusat penilaian (Assessment Center)

Serangkaian teknik penilaian oleh sejumlah penilai untuk mengetahui

potensi seseorang dalam melakukan tanggung jawab yang lebih besar.

Tujuan dari penilaian kinerja karyawan adalah untuk memperbaiki atau

meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja sumber daya

manusia organisasi. Menurut Mangkunegara (2007), secara lebih spesifik tujuan

dari penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan rasa saling pengertian antar karyawan tentang persyaratan

prestasi.

b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka

termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya

berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

14

c. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan

aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap

pekerjaan yang diemban sekarang.

d. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan

kebutuhan pelatihan, khususnya rencana diklat, dan kemudian menyetujui

rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

Menurut Sutrisno (2011) mengemukakan bahwa untuk mengukur kinerja

karyawan yaitu sebagai berikut :

1. Kualitas kerja

Kualitas yang dihasilkan menerangkan tentang jumlah kesalahan, waktu dan

ketetapan dalam melaksanakan tugas.

2. Kuantitas kerja

Kuantitas yang dihasilkan berkenan dengan beberapa jumlah produk atau jasa

yang dihasilkan .

3. Waktu kerja

Waktu kerja menerangkan akan berapa jumlah absen, keterlambatan, serta

masa kerja yang telah dijalani individu pegawai tersebut.

4. Kerjasama

Kerjasama menerangkan akan bagaiman individu membantu atau

menghambat usaha dari teman sekerjanya.

Menurut Sutrisno (2011), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja

karyawan adalah sebagai berikut :

15

1. Efektifitas dan efisiensi, dalam hubungannya dengan kinerja organisasi, maka

ukuran baik buruknya kinerja diukur oleh efektifitas dan efisiensi.

2. Otoritas dan tanggung jawab, dalam organisasi yang baik wewenang dan

tanggung jawab telah didelegasikan dengan baik tanpa ada tumpang tindih

tugas.

3. Disiplin, menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri

karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan.

4. Inisiatif, berkaitan dengan daya piker seseorang, kreativitas dalambentuk ide-

ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.

2.1.2 Pelatihan

Menurut Djoko Raharjo (2013) pelatihan merupakan suatu program yang

bertujuan untuk menutupi gap antar kecakapan karyawan dengan permintaan

jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas karyawan

dalam mencapai sasaran kerja. Menurut Mathis (2002), Pelatihan adalah suatu

proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu

mencapai visi organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai

tujuan organisasi.

Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan

yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam

pekerjaan mereka saat ini. Pelatihan dengan pengembangan, dengan

pengembangan yang bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada

individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya

saat ini maupun di masa mendatang.

16

Pelatihan menurut Gary Dessler (2009) adalah proses mengajarkan

ketrampilan dasar yang dibutuhkan karyawan baru atau yang ada sekarang untuk

menjalankan pekerjaan mereka. Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam

meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam dunia kerja. Karyawan, baik

yang baru maupun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya

tuntutan pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja,

strategi, dan lain sebagainya.

Menurut Mangkunegara, 2011 dalam (Hernawaty, Fendi Saputra Saragih,

2019), adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pelatihan dan

pengembangan karyawan adalah :

a) Perbedaan individu karyawan

b) Hubungan dengan analisis jabatan

c) Motivasi

d) Partisipasi aktif

e) Seleksi peserta

f) Seleksi instruktur

g) Metode pelatihan dan pengembangan

Menurut Mangkunegara, 2011 dalam (Hernawaty, Fendi Saputra Saragih,

2019), menyebutkan indikator-indikator dalam pelatihan sebagai berikut :

1. Tujuan

Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat

diukur.

2. Para pelatih (trainers)

17

Para pelatih harus memiliki kualifikasi yang jelas.

3. Materi pelatihan

Materi ini harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai.

4. Metode pelatihan

Harus sesuai dengan tingkat kemampuan karyawan yang menjadi peserta

pelatihan.

5. Peserta pelatihan

Peserta pelatihan dan pengambangan (trainee) harus memenuhi persyaratan

yang ditentukan.

Menurut Mondy (2008), langkah pertama dalam proses pelatihan dan

pengembangan adalah menentukan kebutuhan-kebutuhan spesifik pelatihan dan

pengembangan. Kebutuhan-kebutuhan pelatihan dapat ditentukan dengan

melakukan analisis pada beberapa, yaitu:

1. Analisis organisasi, analisis dilakukan dari sudut pandang organisasi secara

keseluruhan, mulai dari mempelajari misi-misi, tujuan-tujuan, dan rencana-

rencana stratejik perusahaan, bersama dengan hasil-hasil perencanaan sumber

daya manusia.

2. Analisis tugas, analisis berfokus pada tugas-tugas yang diperlukan untuk

mencapai tujuan-tujuan perusahaan.

3. Analisis orang, analisis berfokus pada individu untuk menentukan siapa yang

membutuhkan pelatihan dan metode serta jenis pelatihan seperti apa yang

dibutuhkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaannya.

18

Analisis kebutuhan pelatihan akan membantu perusahaan dalam

menentukan jenis pelatihan yang dibutuhkan oleh karyawan, pemilihan metode

pelatihan yang tepat, sehingga pelatihan yang diadakan dapat menambah

pengetahuan dan keterampilan karyawan, memperbaiki sikap, dan mampu

diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan masing-masing karyawan.

Menurut Dessler (2008) analisis kebutuhan pelatihan terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Analisis tugas

Analisis tugas merupakan studi yang rinci dari pekerjaan untuk mengetahui

keterampilan khusus yang dibutuhkan. Deskripsi pekerjaan dan spesifikasi

pekerjaan sangat membantu dalam hal ini. Daftar tanggung jawab dan

keterampilan khusus ini akan menjadi referensi dasar dalam menentukan

pelatihan yang dibutuhkan. Analisis tugas ini berguna untuk menentukan

penilaian kebutuhan pelatihan terhadap karyawan baru.

2. Analisis prestasi

Analisis prestasi merupakan proses verifikasi adanya defisiensi kinerja dan

menentukan apakah defisiensi tersebut harus dikoreksi melalui pelatihan atau

cara lain. Analisis ini berguna untuk menentukan penilaian kebutuhan

pelatihan terhadap karyawan lama. Ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan karyawan lama.

Termasuk laporan kinerja dari karyawan, rekan kerja, dan diri sendiri, data

yang terkait dengan kinerja pekerjaan (termasuk produktivitas, absen dan

keterlambatan, kecelakaan, sakit dalam jangka pendek, keluhan, sisa,

pengiriman terlambat, kualitas produk, penurunan waktu, perbaikan,

19

penggunaan peralatan, dan keluhan pelanggan), pengamatan oleh karyawan

atau ahli lainnya, wawancara dengan karyawan, ujian untuk pengetahuan

pekerjaan, keterampilan, dan kehadiran; survey sikap, agenda harian

karyawan, dan pusat penilaian.

Menurut Mondy (2008) metode-metode pelatihan adalah sebagai berikut:

1. Arahan instruktur

Metode arahan instruktur merupakan salah satu metode pelatihan yang efektif

untuk berbagai jenis pelatihan dan pengembangan. Salah satu manfaat

pelatihan dan pengembangan dengan arahan instruktur adalah bahwa si

instruktur bias menyampaikan sejumlah besar informasi dalam waktu relative

singkat.

2. Studi kasus

Studi kasus (case study) adalah metode pelatihan dan pengembangan yang

diberikan kepada trainee untuk mempelajari informasi yang diberikan dalam

sebuah kasus dan mengambil keputusan berdasarkan hal tersebut.

3. Pemodelan perilaku

Pemodelan perilaku (behavior modeling) adalah metode pelatihan dan

pengembangan yang memungkinkan seseorang untuk belajar dengan meniru

atau mereplikasi perilaku orang-orang lainnya untuk menunjukkan kepada

para manajer cara menangani berbagai situasi.

4. Permainan peran

Permainan peran (role-playing) adalah metode pelatihan dan pengembangan

di mana para peserta diminta untuk merespon permasalahan-permasalahan

20

khusus yang mungkin muncul dalam pekerjaan mereka dengan meniru

situasi-situasi dunia nyata.

5. Permainan bisnis

Permainan bisnis (business games) adalah metode pelatihan dan

pengembangan yang memungkinkan para peserta untuk mengambil peran-

peran seperti president, controller, atau vice president pemasaran dari dua

organisasi bayangan atau lebih dan bersaing satu sama lain dengan

memanipulasi factor-faktor yang dipilih dalam suatu situasi bisnis tertentu.

6. In-basket training

In-basket training adalah metode pelatihan di mana para peserta diminta

menyusun prioritas dan kemudian menangani sejumlah dokumen bisnis,

pesan e-mail, memo, laporan, dan pesan telepon yang biasanya melewati meja

seorang manajer.

7. On-the-job training

On-the-job training adalah metode pelatihan dan pengembangan informal

yang memungkinkan seorang karyawan untuk mempelajari tugas-tugas dalam

pekerjaan dengan mengerjakannya secara nyata.

8. Rotasi pekerjaan

Rotasi pekerjaan (job rotation) adalah metode pelatihan dan pengembangan

di mana karyawan berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya untuk

memperluas pengalaman mereka.

9. Magang

21

Magang (internship) adalah metode rekrutmen yang biasanya melibatkan para

mahasiswa perguruan tinggi yang membagi waktu mereka antara mengikuti

kuliah dan bekerja untuk sebuah organisasi. Magang sebagai metode

pelatihan dan pengembangan memungkinkan para peserta untuk

mengintegrasikan teori yang dipelajari di kelas dengan praktik-praktik bisnis.

10. Pelatihan pemula

Pelatihan pemula (apprenticeship training) adalah metode pelatihan yang

mengkombinasikan instruksi di kelas dengan on-the-job training.

2.1.3 Leader Member Exchange

Leader member exchange merupakan teori dalam teori kepemimpinan

tentang hubungan interaksi antara atasan dan bawahan. Menurut Robbin, 1989

dalam (Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyaningrum, 2011), teori leader member

exchange merupakan pendekatan terhadap kepemimpinan dengan melihat

hubungan antara atasan dan bawahan. Dalam hubungan tersebut ditemukan

perbedaan sikap yang diterima oleh bawahan dari atasannya.

Perbedaan itu membentuk kelompok terpisah yang menerangkan

hubungan atasan dan bawahan yang disebut in-group dan out-group. Pada in-

group terjalin hubungan berkualitas tinggi antar atasan dengan bawahan. Hal ini

dikarenakan atasan dan bawahan memiliki kesamaan karakteristik kepribadian

dan persamaan sikap. Bawahan dalam kelompok ini memiliki kompetensi yang

lebih baik dibandingkan dengan out-group.

Menurut Riggio, 1990 dalam (Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyaningrum,

2011), menyatakan bila leader member exchange berkualitas tinggi maka atasan

22

akan menilai positif bawahannya sehingga bawahan akan merasa diberi dukungan

dan motivasi oleh atasannya. Dukungan dari atasan ini akan meningkatkan rasa

percaya diri dan hormat sehingga bawahan termotivasi untuk melakukan yang

lebih dari yang diharapkan oleh atasannya.

Menurut Sparrowe dan Liden (1997) menjelaskan bahwa terdapat

beberapa tahap dalam proses hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu :

1. Testing and assessment (menilai bawahan)

Pada tahap ini masih belum ada hubungan diantara pemimpin dan

bawahannya. Pemimpin masih menimbang mana yang dapat masuk ke dalam

kategori in-group maupun out-group berdasarkan pada kriteria subjektif

maupun objektif.

2. Development of trust (pengembangan kepercayaan)

Tahapan ini pemimpin memberikan kesempatan dan tantangan yang baru

untuk menumbuhkan rasa percaya diantara mereka. Sebagai timbal baliknya,

maka para bawahan yang termasuk ke dalam kategori in-group akan

memperlihatkan loyalitas kepada pemimpinnya.

3. Creation of emotional bond (terciptanya ikatan emosional)

Seorang bawahan yang memiliki hubungan yang baik dengan pemimpinnya

dapat masuk ke dalam tahapan ini, dimana hubungan dan juga ikatan diantara

keduanya menjadi kuat secara emosional. Pada tahap ini, seorang bawahan

memiliki komitmen yang tinggi terhadap atasan.

Liden dan Maslyn (1998) membagi leader member exchange menjadi

empat dimensi, antara lain :

23

1. Affect ( Afeksi )

Affect mengacu pada keakraban yang tidak memandang status sosial. Aspek

afeksi dapat menjadi unsur paling dominan atau tidak bergantung kepada

jenis hubungan yang ada di tempat kerja. Waktu yang diperlukan untuk

menjalin hubungan cenderung berbeda-beda, ada yang bisa menjalin

hubungan baik dalam waktu yang singkat, namun ada juga yang tidak.

Hubungan saling menyukai antara pimpinan dan karyawan sendiri sangat

dibutuhkan untuk keberlangsungan leader member exchange.

2. Contribution (Kontribusi)

Dimensi kontribusi adalah persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada

tugas di tingkat tertentu antara pemimpin dan karyawan untuk mencapai

tujuan bersama. Level kontribusi dari seseorang dapat dilihat dari seberapa

banyak pekerjaan dan informasi yang didapat. Adanya kualitas kontribusi

yang tinggi menyebabkan karyawan rela berkorban demi pemimpin, rekan

kerja dan perusahaan. Semakin tingginya level kontribusi karyawan maka

kualitas hubungan leader member exchange juga semakin baik.

3. Loyalty (Loyalitas)

Loyalty adalah kesetiaan dan dukungan yang diberikan pada individu lain,

baik itu karyawan maupun pemimpin. Liden dan Maslyn (1998) menyatakan

bahwa loyalitas adalah bagaimana pemimpin maupun karyawan saling

mendukung aksi dan karakter satu sama lainnya dalam segala situasi.

Pemimpin akan lebih menyukai untuk memberikan tugas kepada karyawan

yang loyal. Loyalitas karyawan maupun pemimpin di sebuah perusahaan

24

sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan leader member exchange yang

nantinya berdampak terhadap kinerja perusahaan.

4. Professional Respect (Respek / Hormat)

Professional respect mengacu pada rasa hormat atau kagum pada pekerjaan

yang dilakukan orang lain. Rasa kagum dapat didasarkan berbagai hal seperti

keinginan untuk bisa menjadi orang tersebut atau karena pencapaian yang

dicapai oleh orang yang dikagumi. Rasa kagum seseorang karyawan dapat

disebabkan karena reputasi yang dimiliki oleh pemimpinnya. Reputasi dapat

terbentuk melalui data sejarah seperti pengalaman, komentar yang didapat

melalui perseorangan maupun dari luar organisasi dan penghargaan

diterimanya. Karyawan yang menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap

performa maupun interaksi dari pemimpin diharapkan dapat menerapkan

nilai-nilai baik tersebut dalam kesehariannya bekerja. Seorang karyawan yang

mampu menerapkan sesuai dengan yang dilakukan oleh pemimpin dapat

mewujudkan transisi yang baik di dalam organisasi.

2.1.4 Budaya Kaizen

Menurut Imai (1998), menyatakan dalam Bahasa Jepang, kaizen berarti

perbaikan berkesinambungan. Istilah ini mencakup perbaikan yang melibatkan

semua orang baik manajer dan karyawan, serta melibatkan biaya dalam jumlah tak

seberapa.

Kaizen bukanlah konsep baru, pertama kali diperkenalkan pada akhir

tahun 1950-an dan pada awal tahun 1960-an oleh para ahli seperti W.E. Deming

dan J.M. Juran. Konsep Kaizen berorientasi pada proses, sedangkan jika

25

dibandingkan dengan cara berpikir negara-negara Barat, lebih cenderung tentang

pembaharuan yang berorientasi pada hasil (Hammer et al, 1993; Chakraborty,

2014). Di Indonesia sendiri, menurut para ahli Budaya Kerja Kaizen secara sosial

budaya dirasa cocok untuk diterapkan, karena kaizen sendiri dalam

implementasinya mengikutsertakan banyak orang dan itu sesuai dengan budaya

Indonesia yang mengedepankan kerja sama dan gotong royong dalam bekerja

(Oktavian, 2015).

Bagi sebagian orang mungkin tidak asing dengan kata Kaizen. Secara

harafiah Kai = merubah dan Zen = lebih baik. Secara sederhana pengertian Kaizen

adalah usaha perbaikan berkelanjutan untuk menjadi lebih baik dari kondisi

sekarang. Ada juga orang yang menyebutnya dengan istilah Kaizen Teian yang

artinya: "Kaizen" berarti "perbaikan terus-menerus", sementara "teian" artinya

"sistem". Jadi, Kaizen Teian artinya adalah suatu sistem perusahaan yang

komprehensif yang dilakukan dalam rangka perbaikan terus menerus untuk

mencapai kondisi yang lebih baik dari hari ini, sehingga bisa membawa napas

baru dalam setiap perusahaan atau organisasi (Imai, 1986; Bwemelo &Gordia,

2014).

Menurut pendapat Imai (1998), indikator dari budaya kaizen adalah

kegiatan 5S yaitu :

1. Seiri (Ringkas)

Merupakan langkah awal dalam menjalankan budaya 5S, yaitu membuang/

menyortir/ menyingkirkan barang-barang, file-file yang tidak digunakan lagi

ke tempat pembuangan. Semua barang yang ada di lokasi kerja, hanyalah

26

barang yang benar-benar dibutuhkan untuk aktivitas kerja. Tindakan

dilakukan agar tempat penyimpanan menjadi lebih efisien, karena

dipergunakan untuk menyimpan barang atau file yang memang penting dan

dibutuhkan, serta bertujuan juga agar tempat kerja terlihat lebih rapi dan tidak

berantakan.

2. Seiton (Rapi)

Setelah menyortir semua barang atau file yang tidak dipergunakan lagi,

pastikan segala sesuatu harus ditetapkan posisinya, sehingga selalu siap

digunakan pada saat diperlukan, pastikan bahwa:

a. Setiap barang punya tempat.

b. Setiap tempat punya nama untuk barang tertentu.

c. Buat menjadi terorganisir dan sistematis.

d. Beri nama pada setiap tempat penyimpanan yang mudah diingat

3. Seiso (Resik)

Setelah menjadi rapi, langkah berikutnya adalah membersihkan tempat kerja,

ruangan kerja, peralatan dan lingkungan kerja. Tumbuhkan pemikiran bahwa

kebersihan merupakan hal yang fital dalam kehidupan, jika kita tidak menjaga

kebersihan, lingkungan akan menjadi kotor dan menjadi faktor utama

terjangkitnya penyakit tidak nyaman. Menyebabkan berkurangnya

produktivitas dan berakibat banyak kerugian. Lakukanlah pembersihan

harian, pemeriksaan kebersihan dan pemeliharaan kebersihan.

4. Seiketsu (Rawat)

27

Tahap ini adalah tahap yang sukar. Untuk menjaga ketiga tahap yang sudah

dijalankan sebelumnya secara rutin. Tahap ini dapat juga disebut tahap

perawatan, merupakan standarisasi dan konsistensi dari masing-masing

individu untuk melakukan tahapan-tahapan sebelumnya. Membuat

standarisasi dan semua individu harus patuh pada standar yang telah

ditentukan. Dapat dimotivasi dengan memberikan hadiah atau hukuman.

5. Shitsuke (Rajin)

Pemeliharaan kedisiplinan pribadi meliputi suatu kebiasaan dan pemeliharaan

program 5S yang sudah berjalan. Bila berada pada posisi sebagai atasan,

buatlah standarisasi 5S serta berikan pelatihan 5S, agar seluruh karyawan

perusahaan dapat mengerti akan kegunaan dari 5S sebagai dasar kemajuan

perusahaan, karena dengan menerapkan 5S yang praktis dan ringkas

bertujuan pada efisiensi, pelayanan yang baik, keamanan bekerja serta

peningkatan produktivitas dan profit.

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu No Nama

Peneliti, tahun dan judul

Sampel dan Obyek

Penelitian

Variabel dan Metode Analisis

Data

Hasil

1 Maulia Eka Riani, M. Syamsul Maarif, dan Joko Affandi (2017). “PENGARUH PROGRAM PELATUHAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. TD AUTOMOTIVE COMPRESSOR INDONESIA”

Sampel : 104 Orang. Objek penelitian : PT. TD AUTOMOTIVE COMPRESSOR INDONESIA

Variabel bebas : pelatihan. Variabel terikat : motivasi, kinerja karyawan. Metode analisis : statistik deskriptif kuantitatif dengan SEM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan berpengaruh signfikan dan positif terhadap motivasi kerja karyawan. Selanjutnya, pelatihan berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan. Sebaliknya, motivasi kerja berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan.

28

2 Santi Rimadias, Indah Ratry Pandini (2017). “ANALISIS PERAN KOMPENSASI NON FINANSIAL, PELATIHAN, DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN KONTRAK (STUDI PADA PT XACTI)”

Sampel : 119 orang. Objek penelitian : PT. XACTI

Variabel bebas : kompensasi non finansial, pelatihan, motivasi. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : deskriptif kuantitatif dengan SEM.

Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Kompensasi non finansial terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap Motivasi Karyawan Kontrak pada PT. Xacti, 2) Motivasi tidak berpengaruh positif terhadap Kinerja Karyawan Kontrak pada PT. Xacti, 3) Kompensasi Non Finansial tidak berpengaruh positif terhadap Kinerja Pegawai Kontrak di PT. Xacti, 4) Pelatihan terbukti memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Karyawan Kontrak pada PT. Xacti.

3 Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyamingrum (2011). “PERAN KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN, LEADER MEMBER EXCHANGE, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. MATAHARI SILVERINDO JAYA (MSJ) SEMARANG”

Sampel : 80 orang. Objek penelitian : PT. MATAHARI SILVERINDO JAYA (MSJ) SEMARANG

Variabel bebas : karakteristik kepribadian, leader member exchange, lingkungan kerja. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukan variabel karakteristik kepribadian tidak berpengaruh secara positif dan signifikan, sedangkan variabel leader member exchange dan lingkungan kerja berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.

4 Dina Via Erlita, Jun Surjanti (2018). “PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE, SELF EFFICACY, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (Studi pada Karyawan Bagian Pabrikasi di PT. PG Candi Baru Sidoarjo)”

Sampel : 47 orang. Objek penelitian : PT. PG CANDI BARU SIDOARJO

Variabel bebas : leader member exchange, self efficacy, kepuasan kerja. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : analisis statistik deskriptif, dan analisis statistik inferensial dengan partial least square (PLS).

Berdasar pada hasil pengkajian dan pembahasan yang sudah dipaparkan maka ada pengaruh positif yang signifikan antara leader member exchange (LMX) terhadap kinerja karyawan. Namun untuk self efficacy (SE) dan kepuasan kerja mempunyai dampak positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja karyawan.

5 Dini K, Muhtadin (2017) “PENGARUH

Sampel : 94 orang.

Variabel bebas : seiri (pemilahan), seiton (penataan),

Hasil penelitin menunjukkan budaya kaizen secara simultan mempunyai pengaruh positif

29

BUDAYA KAIZEN TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. INDOSPRING, TBK DI GRESIK”

Objek Penelitian : PT. INDOSPRING, TBK DI GRESIK

seiso (pembersihan), seiketsu (peraawatan), shitsuke (pembiasaan). Variabel terikat : Kinerja karyawan. Metode analisis : reliability analysis program SPSS.

terhadap kinerja karyawan. Variabel seiri positif signifikan terhadap kinerja karyawan, variabel seiton tidak terdapat pengaruh terhadap kinerja karyawan, variabel seiso tidak terdapat pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan, variabel seiketsu tidak terdapat pengaruh signifikan yang kuat terhadap kinerja karyawan, variabel shitsuke mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.

6 Wahyudi (2017) “PENERAPAN BUDAYA KERJA 5S DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN”

Sampel : 200 orang. Objek penelitian : PT. YAMAHA MUSICAL PRODUCTS INDONESIA

Variabel bebas : seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : analisis regresi linier berganda.

Hasil penelitian hubungan variabel terikat terhadap variabel bebas terdapat hubungan yang positif, hal ini berarti bahwa semakin tinggi budaya 5S diterapkan di perusahaan maka semakin tinggi pula kinerja karyawan pada perusahaan tersebut.

2.3 Hubungan Logis Antar Variabel Dan Perumusan Hipotesis

2.3.1 Hubungan Pelatihan terhadap Kinerja Karyawan

Menurut Djoko Raharjo (2013) pelatihan merupakan suatu program yang

bertujuan untuk menutupi gap antara kecakapan karyawan dengan permintaan

jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas karyawan

dalam mencapai sasaran kerja. Sedangkan menurut T. Hani Handoko (2010)

mempunyai pendapat bahwa pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki

penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci

dan rutin. Latihan menyiapkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan-

pekerjaan sekarang.

30

Maulia Eka Riani, M. Syamsul Maarif, dan Joko Affandi (2017)

menunjukkan dari hasil penelitiannya bahwa pelatihan berpengaruh signifikan dan

positif terhadap kinerja karyawan. Penelitian Santi Rimadias, Indah Ratry Pandini

(2017) menunjukkan bahwa pelatihan terbukti memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan beberapa penelitian diatas maka

hipotesis yang dapat dirumuskan adalah

H1: Pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

karyawan.

2.3.2 Hubungan Leader Member Exchange terhadap Kinerja Karyawan

Menurut Miner (1988) mengemukakan bahwa interaksi atasan-bawahan

atau leader member exchange yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak

seperti peningkatan kepuasan kerja, produktivitas dan kinerja karyawan. Menurut

Yukl (2005), teori pertukaran pemimpin-anggota (leader member exchange)

menjelaskan proses pembuatan peran antara seorang pemimpin dengan seorang

bawahan. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa para pemimpin

mengembangkan hubungan pertukaran yang terpisah dengan masing-masing

bawahan seperti dua pihak yang sama-sama mendefinisikan peran dari bawahan.

Kebanyakan pemimpin membuat hubungan pertukaran yang khusus dengan

sejumlah kecil bawahan yang dipercaya yang berfungsi sebagai asisten, letnan

atau penasihat.

Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyaningrum (2011) menyimpulkan dalam

penelitiannya bahwa leader member exchange berpengaruh positif signifikan

terhadap kinerja karyawan. Dari penelitian Dina Via Erlita, Jun Surjanti (2018)

31

menunjukkan ada pengaruh positif yang signifikan antara leader member

exchange (LMX) terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan beberapa penelitian

diatas maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah

H2 : Leader member exchange berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kinerja karyawan.

2.3.3 Hubungan Budaya Kaizen terhadap Kinerja Karyawan

Menurut Imai (2008) budaya kaizen pada dasarnya sejalan dengan kinerja,

kaizen adalah kemajuan dan perbaikan terus menerus dalam kehidupan seseorang,

kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan kerja.

Sedangkan menurut Osada (2011), 5S adalah sebuah pendekatan dalam mengatur

lingkungan kerja, yang pada intinya berusaha mengeliminasi waste sehingga

tercipta lingkungan kerja yang efektif, efisien dan produktif.

Dini K, Muhtadin (2017) dalam penelitiannya menunjukkan budaya kaizen

yang terdiri dari seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke secara simultan atau

bersama-sama mempunya pengaruh positif terhadap kinerja karyawan.

Selanjutnya Wahyudi (2017) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan

variabel terikat terhadap variabel bebas terdapat hubungan yang positif, hal ini

berarti bahwa semakin tinggi budaya 5S diterapkan di perusahaan maka semakin

tinggi pula kinerja karyawan pada perusahaan. Berdasarkan beberapa penelitian

diatas maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah

H3 : Budaya kaizen berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.

32

2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis

Menurut Djoko Raharjo (2013) pelatihan merupakan suatu program yang

bertujuan untuk menutupi gap antara kecakapan karyawan dengan permintaan

jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas karyawan

dalam mencapai sasaran kerja. Kemudian interaksi atasan-bawahan atau leader

member exchange yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti

peningkatan kepuasan kerja, produktivitas dan kinerja karyawan (Minner, 1988).

Dan menurut Imai (2008) budaya kaizen pada dasarnya sejalan dengan kinerja,

kaizen adalah kemajuan dan perbaikan terus menerus dalam kehidupan seseorang,

kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan kerja.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan dan rumusan hipotesis diatas, maka

dibuat suatu model sebagai kerangka pemikiran teoritis untuk menjawab masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Teoritis

H1

H2 Leader Member Exchange (X2)

Budaya Kaizen (X3)

Pelatihan (X1)

Kinerja Karyawan (Y)

H3