10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kinerja Karyawan
Mengingat kinerja perusahaan tergantung pada kinerja karyawannya maka
setiap karyawan dituntut untuk memebrikan kontribusi yang positif melalui
kinerja yang baik. Kinerja yaitu pencapaian hasil dari karyawan berdasarkan suatu
kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tersebut.
Menurut Mangkuprawira dan Hubeis (2007) kinerja adalah hasil dari
proses pekerjaan tertentu secara terencana pada waktu dan tempat dari karyawan
serta organisasi bersangkutan. Kinerja karyawan akan menentukan capaian dari
target atau sasaran yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Mangkuprawira dan Hubeis (2007) menyebutkan bahwa kinerja karyawan
dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ektrinsik pegawai. Faktor-faktor intrinsik
yang mempengaruhi kinerja pegawai terdiri dari pendidikan, pengalaman,
motivasi, kesehatan, usia, keterampilan, emosi dan spiritual. Sedangkan faktor
ekstrinsik yang mempengaruhi kinerja pegawai terdiri dari lingkungan fisik dan
non fisik, kepemimpinan, komunikasi vertical dan horizontal, kompensasi, kontrol
berupa penyeliaan, fasilitas, pelatihan, beban kerja, prosedur kerja, sistem
hukuman dan sebagainya.
11
Dalam penilaian kinerja jika tidak berorientasi pada objektivitas maka
dapat menimbulkan masalah dalam suatu perusahaan. Supaya tidak terjadi
masalah dalam penilaian kinerja, berikut metode yang dikemukakan Rivai (2005):
1. Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu
Metode ini dilakukan dengan mengevaluasi prestasi kerja masa lalu,
karyawan untuk menilai atas upaya-upaya yang telah mereka lakukan. Upaya-
upaya tersebut akan dinilai yang selanjutnya akan bisa mengarah kepada
perbaikan prestasi.
Ada beberapa teknik dalam metode ini :
a. Skala peringkat (Rating Scale)
Di dalam metode ini para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian
yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala kerja
tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi.
b. Daftar pertanyaan (Checklist)
Didalam penilaian berdasarkan metode ini terdiri dari sejumlah pertanyaan
yang menjelaskan beraneka ragam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan
tertentu.
c. Metode dengan penilaian terarah (Forced Choice Methode)
Didalam metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan
mengurangi subjektivitas dalam penilaian.
d. Metode peristiwa kritis (Critical Incident Methode)
12
Didalam metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan
kritis penilai atas prilaku karyawan, seperti sangat baik atau sangat jelek
dalam melaksanakan pekerjaan.
e. Metode catatan prestasi
Didalam metode ini berkaitan erat dengan peristiwa kritis, yaitu catatan
penyempurnaan.
f. Skala peringkat dikaitkan dengan tingkah laku (Behaviorally Anchore
Rating Scale / BARS)
Didalam metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja satu
kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat
prestasi kerja dengan perilaku tertentu.
g. Metode peninjauan lapangan (Field Review Methode)
Didalam metode ini, penyelia turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli
dari SDM.
h. Tes dan observasi prestasi kerja (Comparative Evaluation Approach)
Didalam metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang
karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.
2. Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa depan
Metode penilaian prestasi kerja berorientasi masa depan memusatkan prestasi
pada masa yang akan datang melalui penilaian potensi karyawan dan
penetapan sasaran kerja yang sesuai dengan jabatan karyawan.
Teknik dari metode ini :
a. Penilaian diri sendiri (Self Appaisal)
13
Perusahaan mengemukakan harapan-harapan yang diinginkan dari
karyawan, tujuan perusahaan, dan tantangan-tantangan yang dihadapi
perusahaan pada karyawan.
b. Manajemen berdasarkan sasaran (Management By Objective)
Suatu bentuk penilaian dimana karyawan dan penyelia bersama-sama
menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja di waktu
yang akan datang.
c. Penilaian secara psikologis
Penilaian yang dilakukan oleh ahli psikologi untuk mengetahui potensi
karyawan.
d. Pusat penilaian (Assessment Center)
Serangkaian teknik penilaian oleh sejumlah penilai untuk mengetahui
potensi seseorang dalam melakukan tanggung jawab yang lebih besar.
Tujuan dari penilaian kinerja karyawan adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja sumber daya
manusia organisasi. Menurut Mangkunegara (2007), secara lebih spesifik tujuan
dari penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan rasa saling pengertian antar karyawan tentang persyaratan
prestasi.
b. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka
termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya
berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.
14
c. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karir atau terhadap
pekerjaan yang diemban sekarang.
d. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan
kebutuhan pelatihan, khususnya rencana diklat, dan kemudian menyetujui
rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
Menurut Sutrisno (2011) mengemukakan bahwa untuk mengukur kinerja
karyawan yaitu sebagai berikut :
1. Kualitas kerja
Kualitas yang dihasilkan menerangkan tentang jumlah kesalahan, waktu dan
ketetapan dalam melaksanakan tugas.
2. Kuantitas kerja
Kuantitas yang dihasilkan berkenan dengan beberapa jumlah produk atau jasa
yang dihasilkan .
3. Waktu kerja
Waktu kerja menerangkan akan berapa jumlah absen, keterlambatan, serta
masa kerja yang telah dijalani individu pegawai tersebut.
4. Kerjasama
Kerjasama menerangkan akan bagaiman individu membantu atau
menghambat usaha dari teman sekerjanya.
Menurut Sutrisno (2011), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja
karyawan adalah sebagai berikut :
15
1. Efektifitas dan efisiensi, dalam hubungannya dengan kinerja organisasi, maka
ukuran baik buruknya kinerja diukur oleh efektifitas dan efisiensi.
2. Otoritas dan tanggung jawab, dalam organisasi yang baik wewenang dan
tanggung jawab telah didelegasikan dengan baik tanpa ada tumpang tindih
tugas.
3. Disiplin, menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri
karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan.
4. Inisiatif, berkaitan dengan daya piker seseorang, kreativitas dalambentuk ide-
ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan organisasi.
2.1.2 Pelatihan
Menurut Djoko Raharjo (2013) pelatihan merupakan suatu program yang
bertujuan untuk menutupi gap antar kecakapan karyawan dengan permintaan
jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas karyawan
dalam mencapai sasaran kerja. Menurut Mathis (2002), Pelatihan adalah suatu
proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu
mencapai visi organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai
tujuan organisasi.
Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan
yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam
pekerjaan mereka saat ini. Pelatihan dengan pengembangan, dengan
pengembangan yang bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada
individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya
saat ini maupun di masa mendatang.
16
Pelatihan menurut Gary Dessler (2009) adalah proses mengajarkan
ketrampilan dasar yang dibutuhkan karyawan baru atau yang ada sekarang untuk
menjalankan pekerjaan mereka. Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam
meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam dunia kerja. Karyawan, baik
yang baru maupun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya
tuntutan pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja,
strategi, dan lain sebagainya.
Menurut Mangkunegara, 2011 dalam (Hernawaty, Fendi Saputra Saragih,
2019), adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pelatihan dan
pengembangan karyawan adalah :
a) Perbedaan individu karyawan
b) Hubungan dengan analisis jabatan
c) Motivasi
d) Partisipasi aktif
e) Seleksi peserta
f) Seleksi instruktur
g) Metode pelatihan dan pengembangan
Menurut Mangkunegara, 2011 dalam (Hernawaty, Fendi Saputra Saragih,
2019), menyebutkan indikator-indikator dalam pelatihan sebagai berikut :
1. Tujuan
Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat
diukur.
2. Para pelatih (trainers)
17
Para pelatih harus memiliki kualifikasi yang jelas.
3. Materi pelatihan
Materi ini harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai.
4. Metode pelatihan
Harus sesuai dengan tingkat kemampuan karyawan yang menjadi peserta
pelatihan.
5. Peserta pelatihan
Peserta pelatihan dan pengambangan (trainee) harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan.
Menurut Mondy (2008), langkah pertama dalam proses pelatihan dan
pengembangan adalah menentukan kebutuhan-kebutuhan spesifik pelatihan dan
pengembangan. Kebutuhan-kebutuhan pelatihan dapat ditentukan dengan
melakukan analisis pada beberapa, yaitu:
1. Analisis organisasi, analisis dilakukan dari sudut pandang organisasi secara
keseluruhan, mulai dari mempelajari misi-misi, tujuan-tujuan, dan rencana-
rencana stratejik perusahaan, bersama dengan hasil-hasil perencanaan sumber
daya manusia.
2. Analisis tugas, analisis berfokus pada tugas-tugas yang diperlukan untuk
mencapai tujuan-tujuan perusahaan.
3. Analisis orang, analisis berfokus pada individu untuk menentukan siapa yang
membutuhkan pelatihan dan metode serta jenis pelatihan seperti apa yang
dibutuhkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaannya.
18
Analisis kebutuhan pelatihan akan membantu perusahaan dalam
menentukan jenis pelatihan yang dibutuhkan oleh karyawan, pemilihan metode
pelatihan yang tepat, sehingga pelatihan yang diadakan dapat menambah
pengetahuan dan keterampilan karyawan, memperbaiki sikap, dan mampu
diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan masing-masing karyawan.
Menurut Dessler (2008) analisis kebutuhan pelatihan terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Analisis tugas
Analisis tugas merupakan studi yang rinci dari pekerjaan untuk mengetahui
keterampilan khusus yang dibutuhkan. Deskripsi pekerjaan dan spesifikasi
pekerjaan sangat membantu dalam hal ini. Daftar tanggung jawab dan
keterampilan khusus ini akan menjadi referensi dasar dalam menentukan
pelatihan yang dibutuhkan. Analisis tugas ini berguna untuk menentukan
penilaian kebutuhan pelatihan terhadap karyawan baru.
2. Analisis prestasi
Analisis prestasi merupakan proses verifikasi adanya defisiensi kinerja dan
menentukan apakah defisiensi tersebut harus dikoreksi melalui pelatihan atau
cara lain. Analisis ini berguna untuk menentukan penilaian kebutuhan
pelatihan terhadap karyawan lama. Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan karyawan lama.
Termasuk laporan kinerja dari karyawan, rekan kerja, dan diri sendiri, data
yang terkait dengan kinerja pekerjaan (termasuk produktivitas, absen dan
keterlambatan, kecelakaan, sakit dalam jangka pendek, keluhan, sisa,
pengiriman terlambat, kualitas produk, penurunan waktu, perbaikan,
19
penggunaan peralatan, dan keluhan pelanggan), pengamatan oleh karyawan
atau ahli lainnya, wawancara dengan karyawan, ujian untuk pengetahuan
pekerjaan, keterampilan, dan kehadiran; survey sikap, agenda harian
karyawan, dan pusat penilaian.
Menurut Mondy (2008) metode-metode pelatihan adalah sebagai berikut:
1. Arahan instruktur
Metode arahan instruktur merupakan salah satu metode pelatihan yang efektif
untuk berbagai jenis pelatihan dan pengembangan. Salah satu manfaat
pelatihan dan pengembangan dengan arahan instruktur adalah bahwa si
instruktur bias menyampaikan sejumlah besar informasi dalam waktu relative
singkat.
2. Studi kasus
Studi kasus (case study) adalah metode pelatihan dan pengembangan yang
diberikan kepada trainee untuk mempelajari informasi yang diberikan dalam
sebuah kasus dan mengambil keputusan berdasarkan hal tersebut.
3. Pemodelan perilaku
Pemodelan perilaku (behavior modeling) adalah metode pelatihan dan
pengembangan yang memungkinkan seseorang untuk belajar dengan meniru
atau mereplikasi perilaku orang-orang lainnya untuk menunjukkan kepada
para manajer cara menangani berbagai situasi.
4. Permainan peran
Permainan peran (role-playing) adalah metode pelatihan dan pengembangan
di mana para peserta diminta untuk merespon permasalahan-permasalahan
20
khusus yang mungkin muncul dalam pekerjaan mereka dengan meniru
situasi-situasi dunia nyata.
5. Permainan bisnis
Permainan bisnis (business games) adalah metode pelatihan dan
pengembangan yang memungkinkan para peserta untuk mengambil peran-
peran seperti president, controller, atau vice president pemasaran dari dua
organisasi bayangan atau lebih dan bersaing satu sama lain dengan
memanipulasi factor-faktor yang dipilih dalam suatu situasi bisnis tertentu.
6. In-basket training
In-basket training adalah metode pelatihan di mana para peserta diminta
menyusun prioritas dan kemudian menangani sejumlah dokumen bisnis,
pesan e-mail, memo, laporan, dan pesan telepon yang biasanya melewati meja
seorang manajer.
7. On-the-job training
On-the-job training adalah metode pelatihan dan pengembangan informal
yang memungkinkan seorang karyawan untuk mempelajari tugas-tugas dalam
pekerjaan dengan mengerjakannya secara nyata.
8. Rotasi pekerjaan
Rotasi pekerjaan (job rotation) adalah metode pelatihan dan pengembangan
di mana karyawan berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya untuk
memperluas pengalaman mereka.
9. Magang
21
Magang (internship) adalah metode rekrutmen yang biasanya melibatkan para
mahasiswa perguruan tinggi yang membagi waktu mereka antara mengikuti
kuliah dan bekerja untuk sebuah organisasi. Magang sebagai metode
pelatihan dan pengembangan memungkinkan para peserta untuk
mengintegrasikan teori yang dipelajari di kelas dengan praktik-praktik bisnis.
10. Pelatihan pemula
Pelatihan pemula (apprenticeship training) adalah metode pelatihan yang
mengkombinasikan instruksi di kelas dengan on-the-job training.
2.1.3 Leader Member Exchange
Leader member exchange merupakan teori dalam teori kepemimpinan
tentang hubungan interaksi antara atasan dan bawahan. Menurut Robbin, 1989
dalam (Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyaningrum, 2011), teori leader member
exchange merupakan pendekatan terhadap kepemimpinan dengan melihat
hubungan antara atasan dan bawahan. Dalam hubungan tersebut ditemukan
perbedaan sikap yang diterima oleh bawahan dari atasannya.
Perbedaan itu membentuk kelompok terpisah yang menerangkan
hubungan atasan dan bawahan yang disebut in-group dan out-group. Pada in-
group terjalin hubungan berkualitas tinggi antar atasan dengan bawahan. Hal ini
dikarenakan atasan dan bawahan memiliki kesamaan karakteristik kepribadian
dan persamaan sikap. Bawahan dalam kelompok ini memiliki kompetensi yang
lebih baik dibandingkan dengan out-group.
Menurut Riggio, 1990 dalam (Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyaningrum,
2011), menyatakan bila leader member exchange berkualitas tinggi maka atasan
22
akan menilai positif bawahannya sehingga bawahan akan merasa diberi dukungan
dan motivasi oleh atasannya. Dukungan dari atasan ini akan meningkatkan rasa
percaya diri dan hormat sehingga bawahan termotivasi untuk melakukan yang
lebih dari yang diharapkan oleh atasannya.
Menurut Sparrowe dan Liden (1997) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa tahap dalam proses hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu :
1. Testing and assessment (menilai bawahan)
Pada tahap ini masih belum ada hubungan diantara pemimpin dan
bawahannya. Pemimpin masih menimbang mana yang dapat masuk ke dalam
kategori in-group maupun out-group berdasarkan pada kriteria subjektif
maupun objektif.
2. Development of trust (pengembangan kepercayaan)
Tahapan ini pemimpin memberikan kesempatan dan tantangan yang baru
untuk menumbuhkan rasa percaya diantara mereka. Sebagai timbal baliknya,
maka para bawahan yang termasuk ke dalam kategori in-group akan
memperlihatkan loyalitas kepada pemimpinnya.
3. Creation of emotional bond (terciptanya ikatan emosional)
Seorang bawahan yang memiliki hubungan yang baik dengan pemimpinnya
dapat masuk ke dalam tahapan ini, dimana hubungan dan juga ikatan diantara
keduanya menjadi kuat secara emosional. Pada tahap ini, seorang bawahan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap atasan.
Liden dan Maslyn (1998) membagi leader member exchange menjadi
empat dimensi, antara lain :
23
1. Affect ( Afeksi )
Affect mengacu pada keakraban yang tidak memandang status sosial. Aspek
afeksi dapat menjadi unsur paling dominan atau tidak bergantung kepada
jenis hubungan yang ada di tempat kerja. Waktu yang diperlukan untuk
menjalin hubungan cenderung berbeda-beda, ada yang bisa menjalin
hubungan baik dalam waktu yang singkat, namun ada juga yang tidak.
Hubungan saling menyukai antara pimpinan dan karyawan sendiri sangat
dibutuhkan untuk keberlangsungan leader member exchange.
2. Contribution (Kontribusi)
Dimensi kontribusi adalah persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada
tugas di tingkat tertentu antara pemimpin dan karyawan untuk mencapai
tujuan bersama. Level kontribusi dari seseorang dapat dilihat dari seberapa
banyak pekerjaan dan informasi yang didapat. Adanya kualitas kontribusi
yang tinggi menyebabkan karyawan rela berkorban demi pemimpin, rekan
kerja dan perusahaan. Semakin tingginya level kontribusi karyawan maka
kualitas hubungan leader member exchange juga semakin baik.
3. Loyalty (Loyalitas)
Loyalty adalah kesetiaan dan dukungan yang diberikan pada individu lain,
baik itu karyawan maupun pemimpin. Liden dan Maslyn (1998) menyatakan
bahwa loyalitas adalah bagaimana pemimpin maupun karyawan saling
mendukung aksi dan karakter satu sama lainnya dalam segala situasi.
Pemimpin akan lebih menyukai untuk memberikan tugas kepada karyawan
yang loyal. Loyalitas karyawan maupun pemimpin di sebuah perusahaan
24
sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan leader member exchange yang
nantinya berdampak terhadap kinerja perusahaan.
4. Professional Respect (Respek / Hormat)
Professional respect mengacu pada rasa hormat atau kagum pada pekerjaan
yang dilakukan orang lain. Rasa kagum dapat didasarkan berbagai hal seperti
keinginan untuk bisa menjadi orang tersebut atau karena pencapaian yang
dicapai oleh orang yang dikagumi. Rasa kagum seseorang karyawan dapat
disebabkan karena reputasi yang dimiliki oleh pemimpinnya. Reputasi dapat
terbentuk melalui data sejarah seperti pengalaman, komentar yang didapat
melalui perseorangan maupun dari luar organisasi dan penghargaan
diterimanya. Karyawan yang menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap
performa maupun interaksi dari pemimpin diharapkan dapat menerapkan
nilai-nilai baik tersebut dalam kesehariannya bekerja. Seorang karyawan yang
mampu menerapkan sesuai dengan yang dilakukan oleh pemimpin dapat
mewujudkan transisi yang baik di dalam organisasi.
2.1.4 Budaya Kaizen
Menurut Imai (1998), menyatakan dalam Bahasa Jepang, kaizen berarti
perbaikan berkesinambungan. Istilah ini mencakup perbaikan yang melibatkan
semua orang baik manajer dan karyawan, serta melibatkan biaya dalam jumlah tak
seberapa.
Kaizen bukanlah konsep baru, pertama kali diperkenalkan pada akhir
tahun 1950-an dan pada awal tahun 1960-an oleh para ahli seperti W.E. Deming
dan J.M. Juran. Konsep Kaizen berorientasi pada proses, sedangkan jika
25
dibandingkan dengan cara berpikir negara-negara Barat, lebih cenderung tentang
pembaharuan yang berorientasi pada hasil (Hammer et al, 1993; Chakraborty,
2014). Di Indonesia sendiri, menurut para ahli Budaya Kerja Kaizen secara sosial
budaya dirasa cocok untuk diterapkan, karena kaizen sendiri dalam
implementasinya mengikutsertakan banyak orang dan itu sesuai dengan budaya
Indonesia yang mengedepankan kerja sama dan gotong royong dalam bekerja
(Oktavian, 2015).
Bagi sebagian orang mungkin tidak asing dengan kata Kaizen. Secara
harafiah Kai = merubah dan Zen = lebih baik. Secara sederhana pengertian Kaizen
adalah usaha perbaikan berkelanjutan untuk menjadi lebih baik dari kondisi
sekarang. Ada juga orang yang menyebutnya dengan istilah Kaizen Teian yang
artinya: "Kaizen" berarti "perbaikan terus-menerus", sementara "teian" artinya
"sistem". Jadi, Kaizen Teian artinya adalah suatu sistem perusahaan yang
komprehensif yang dilakukan dalam rangka perbaikan terus menerus untuk
mencapai kondisi yang lebih baik dari hari ini, sehingga bisa membawa napas
baru dalam setiap perusahaan atau organisasi (Imai, 1986; Bwemelo &Gordia,
2014).
Menurut pendapat Imai (1998), indikator dari budaya kaizen adalah
kegiatan 5S yaitu :
1. Seiri (Ringkas)
Merupakan langkah awal dalam menjalankan budaya 5S, yaitu membuang/
menyortir/ menyingkirkan barang-barang, file-file yang tidak digunakan lagi
ke tempat pembuangan. Semua barang yang ada di lokasi kerja, hanyalah
26
barang yang benar-benar dibutuhkan untuk aktivitas kerja. Tindakan
dilakukan agar tempat penyimpanan menjadi lebih efisien, karena
dipergunakan untuk menyimpan barang atau file yang memang penting dan
dibutuhkan, serta bertujuan juga agar tempat kerja terlihat lebih rapi dan tidak
berantakan.
2. Seiton (Rapi)
Setelah menyortir semua barang atau file yang tidak dipergunakan lagi,
pastikan segala sesuatu harus ditetapkan posisinya, sehingga selalu siap
digunakan pada saat diperlukan, pastikan bahwa:
a. Setiap barang punya tempat.
b. Setiap tempat punya nama untuk barang tertentu.
c. Buat menjadi terorganisir dan sistematis.
d. Beri nama pada setiap tempat penyimpanan yang mudah diingat
3. Seiso (Resik)
Setelah menjadi rapi, langkah berikutnya adalah membersihkan tempat kerja,
ruangan kerja, peralatan dan lingkungan kerja. Tumbuhkan pemikiran bahwa
kebersihan merupakan hal yang fital dalam kehidupan, jika kita tidak menjaga
kebersihan, lingkungan akan menjadi kotor dan menjadi faktor utama
terjangkitnya penyakit tidak nyaman. Menyebabkan berkurangnya
produktivitas dan berakibat banyak kerugian. Lakukanlah pembersihan
harian, pemeriksaan kebersihan dan pemeliharaan kebersihan.
4. Seiketsu (Rawat)
27
Tahap ini adalah tahap yang sukar. Untuk menjaga ketiga tahap yang sudah
dijalankan sebelumnya secara rutin. Tahap ini dapat juga disebut tahap
perawatan, merupakan standarisasi dan konsistensi dari masing-masing
individu untuk melakukan tahapan-tahapan sebelumnya. Membuat
standarisasi dan semua individu harus patuh pada standar yang telah
ditentukan. Dapat dimotivasi dengan memberikan hadiah atau hukuman.
5. Shitsuke (Rajin)
Pemeliharaan kedisiplinan pribadi meliputi suatu kebiasaan dan pemeliharaan
program 5S yang sudah berjalan. Bila berada pada posisi sebagai atasan,
buatlah standarisasi 5S serta berikan pelatihan 5S, agar seluruh karyawan
perusahaan dapat mengerti akan kegunaan dari 5S sebagai dasar kemajuan
perusahaan, karena dengan menerapkan 5S yang praktis dan ringkas
bertujuan pada efisiensi, pelayanan yang baik, keamanan bekerja serta
peningkatan produktivitas dan profit.
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu No Nama
Peneliti, tahun dan judul
Sampel dan Obyek
Penelitian
Variabel dan Metode Analisis
Data
Hasil
1 Maulia Eka Riani, M. Syamsul Maarif, dan Joko Affandi (2017). “PENGARUH PROGRAM PELATUHAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. TD AUTOMOTIVE COMPRESSOR INDONESIA”
Sampel : 104 Orang. Objek penelitian : PT. TD AUTOMOTIVE COMPRESSOR INDONESIA
Variabel bebas : pelatihan. Variabel terikat : motivasi, kinerja karyawan. Metode analisis : statistik deskriptif kuantitatif dengan SEM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan berpengaruh signfikan dan positif terhadap motivasi kerja karyawan. Selanjutnya, pelatihan berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan. Sebaliknya, motivasi kerja berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan.
28
2 Santi Rimadias, Indah Ratry Pandini (2017). “ANALISIS PERAN KOMPENSASI NON FINANSIAL, PELATIHAN, DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN KONTRAK (STUDI PADA PT XACTI)”
Sampel : 119 orang. Objek penelitian : PT. XACTI
Variabel bebas : kompensasi non finansial, pelatihan, motivasi. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : deskriptif kuantitatif dengan SEM.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Kompensasi non finansial terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap Motivasi Karyawan Kontrak pada PT. Xacti, 2) Motivasi tidak berpengaruh positif terhadap Kinerja Karyawan Kontrak pada PT. Xacti, 3) Kompensasi Non Finansial tidak berpengaruh positif terhadap Kinerja Pegawai Kontrak di PT. Xacti, 4) Pelatihan terbukti memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Karyawan Kontrak pada PT. Xacti.
3 Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyamingrum (2011). “PERAN KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN, LEADER MEMBER EXCHANGE, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. MATAHARI SILVERINDO JAYA (MSJ) SEMARANG”
Sampel : 80 orang. Objek penelitian : PT. MATAHARI SILVERINDO JAYA (MSJ) SEMARANG
Variabel bebas : karakteristik kepribadian, leader member exchange, lingkungan kerja. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukan variabel karakteristik kepribadian tidak berpengaruh secara positif dan signifikan, sedangkan variabel leader member exchange dan lingkungan kerja berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.
4 Dina Via Erlita, Jun Surjanti (2018). “PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE, SELF EFFICACY, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (Studi pada Karyawan Bagian Pabrikasi di PT. PG Candi Baru Sidoarjo)”
Sampel : 47 orang. Objek penelitian : PT. PG CANDI BARU SIDOARJO
Variabel bebas : leader member exchange, self efficacy, kepuasan kerja. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : analisis statistik deskriptif, dan analisis statistik inferensial dengan partial least square (PLS).
Berdasar pada hasil pengkajian dan pembahasan yang sudah dipaparkan maka ada pengaruh positif yang signifikan antara leader member exchange (LMX) terhadap kinerja karyawan. Namun untuk self efficacy (SE) dan kepuasan kerja mempunyai dampak positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja karyawan.
5 Dini K, Muhtadin (2017) “PENGARUH
Sampel : 94 orang.
Variabel bebas : seiri (pemilahan), seiton (penataan),
Hasil penelitin menunjukkan budaya kaizen secara simultan mempunyai pengaruh positif
29
BUDAYA KAIZEN TERHADAP KINERJA KARYAWAN PT. INDOSPRING, TBK DI GRESIK”
Objek Penelitian : PT. INDOSPRING, TBK DI GRESIK
seiso (pembersihan), seiketsu (peraawatan), shitsuke (pembiasaan). Variabel terikat : Kinerja karyawan. Metode analisis : reliability analysis program SPSS.
terhadap kinerja karyawan. Variabel seiri positif signifikan terhadap kinerja karyawan, variabel seiton tidak terdapat pengaruh terhadap kinerja karyawan, variabel seiso tidak terdapat pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan, variabel seiketsu tidak terdapat pengaruh signifikan yang kuat terhadap kinerja karyawan, variabel shitsuke mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan.
6 Wahyudi (2017) “PENERAPAN BUDAYA KERJA 5S DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN”
Sampel : 200 orang. Objek penelitian : PT. YAMAHA MUSICAL PRODUCTS INDONESIA
Variabel bebas : seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke. Variabel terikat : kinerja karyawan. Metode analisis : analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian hubungan variabel terikat terhadap variabel bebas terdapat hubungan yang positif, hal ini berarti bahwa semakin tinggi budaya 5S diterapkan di perusahaan maka semakin tinggi pula kinerja karyawan pada perusahaan tersebut.
2.3 Hubungan Logis Antar Variabel Dan Perumusan Hipotesis
2.3.1 Hubungan Pelatihan terhadap Kinerja Karyawan
Menurut Djoko Raharjo (2013) pelatihan merupakan suatu program yang
bertujuan untuk menutupi gap antara kecakapan karyawan dengan permintaan
jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas karyawan
dalam mencapai sasaran kerja. Sedangkan menurut T. Hani Handoko (2010)
mempunyai pendapat bahwa pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki
penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci
dan rutin. Latihan menyiapkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan sekarang.
30
Maulia Eka Riani, M. Syamsul Maarif, dan Joko Affandi (2017)
menunjukkan dari hasil penelitiannya bahwa pelatihan berpengaruh signifikan dan
positif terhadap kinerja karyawan. Penelitian Santi Rimadias, Indah Ratry Pandini
(2017) menunjukkan bahwa pelatihan terbukti memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan beberapa penelitian diatas maka
hipotesis yang dapat dirumuskan adalah
H1: Pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
karyawan.
2.3.2 Hubungan Leader Member Exchange terhadap Kinerja Karyawan
Menurut Miner (1988) mengemukakan bahwa interaksi atasan-bawahan
atau leader member exchange yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak
seperti peningkatan kepuasan kerja, produktivitas dan kinerja karyawan. Menurut
Yukl (2005), teori pertukaran pemimpin-anggota (leader member exchange)
menjelaskan proses pembuatan peran antara seorang pemimpin dengan seorang
bawahan. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa para pemimpin
mengembangkan hubungan pertukaran yang terpisah dengan masing-masing
bawahan seperti dua pihak yang sama-sama mendefinisikan peran dari bawahan.
Kebanyakan pemimpin membuat hubungan pertukaran yang khusus dengan
sejumlah kecil bawahan yang dipercaya yang berfungsi sebagai asisten, letnan
atau penasihat.
Muhaimin, Kunartinah, Kis Indriyaningrum (2011) menyimpulkan dalam
penelitiannya bahwa leader member exchange berpengaruh positif signifikan
terhadap kinerja karyawan. Dari penelitian Dina Via Erlita, Jun Surjanti (2018)
31
menunjukkan ada pengaruh positif yang signifikan antara leader member
exchange (LMX) terhadap kinerja karyawan. Berdasarkan beberapa penelitian
diatas maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah
H2 : Leader member exchange berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan.
2.3.3 Hubungan Budaya Kaizen terhadap Kinerja Karyawan
Menurut Imai (2008) budaya kaizen pada dasarnya sejalan dengan kinerja,
kaizen adalah kemajuan dan perbaikan terus menerus dalam kehidupan seseorang,
kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan kerja.
Sedangkan menurut Osada (2011), 5S adalah sebuah pendekatan dalam mengatur
lingkungan kerja, yang pada intinya berusaha mengeliminasi waste sehingga
tercipta lingkungan kerja yang efektif, efisien dan produktif.
Dini K, Muhtadin (2017) dalam penelitiannya menunjukkan budaya kaizen
yang terdiri dari seiri, seiton, seiso, seiketsu dan shitsuke secara simultan atau
bersama-sama mempunya pengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
Selanjutnya Wahyudi (2017) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan
variabel terikat terhadap variabel bebas terdapat hubungan yang positif, hal ini
berarti bahwa semakin tinggi budaya 5S diterapkan di perusahaan maka semakin
tinggi pula kinerja karyawan pada perusahaan. Berdasarkan beberapa penelitian
diatas maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah
H3 : Budaya kaizen berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
32
2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis
Menurut Djoko Raharjo (2013) pelatihan merupakan suatu program yang
bertujuan untuk menutupi gap antara kecakapan karyawan dengan permintaan
jabatan, selain itu juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas karyawan
dalam mencapai sasaran kerja. Kemudian interaksi atasan-bawahan atau leader
member exchange yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti
peningkatan kepuasan kerja, produktivitas dan kinerja karyawan (Minner, 1988).
Dan menurut Imai (2008) budaya kaizen pada dasarnya sejalan dengan kinerja,
kaizen adalah kemajuan dan perbaikan terus menerus dalam kehidupan seseorang,
kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan kerja.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan dan rumusan hipotesis diatas, maka
dibuat suatu model sebagai kerangka pemikiran teoritis untuk menjawab masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
H1
H2 Leader Member Exchange (X2)
Budaya Kaizen (X3)
Pelatihan (X1)
Kinerja Karyawan (Y)
H3