BAB II madu jadi

41
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kulit 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit Kulit merupakan organ kompleks yang melindungi dari lingkungan, pada saat bersamaan memungkinkan interaksi dengan lingkungannya. Kulit merupakan perpaduan yang dinamis, kompleks, terintegrasi dari sel, jaringan, dan elemen matriks yang memediasi berbagai fungsi, yaitu: kulit merupakan barier permeabilitas fisik, menjaga dari agen infeksius, termoregulasi, proteksi sinar ultraviolet, penutupan luka dan regenerasi, dan memberikan penampilan fisik luar (Kochevar dkk, 2008). Kulit terdiri dari tiga lapisan besar, yaitu epidermis, dermis, dan subkutis. 2.1.2 Epidermis Epidermis merupakan struktur yang terus memperbaharui diri secara kontinyu, yang memberikan tempat tumbuh bagi struktur turunan 9

Transcript of BAB II madu jadi

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kulit

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ kompleks yang melindungi

dari lingkungan, pada saat bersamaan memungkinkan

interaksi dengan lingkungannya. Kulit merupakan

perpaduan yang dinamis, kompleks, terintegrasi

dari sel, jaringan, dan elemen matriks yang

memediasi berbagai fungsi, yaitu: kulit merupakan

barier permeabilitas fisik, menjaga dari agen

infeksius, termoregulasi, proteksi sinar

ultraviolet, penutupan luka dan regenerasi, dan

memberikan penampilan fisik luar (Kochevar dkk,

2008). Kulit terdiri dari tiga lapisan besar,

yaitu epidermis, dermis, dan subkutis.

2.1.2 Epidermis

Epidermis merupakan struktur yang terus

memperbaharui diri secara kontinyu, yang

memberikan tempat tumbuh bagi struktur turunan

9

10

yang disebut appendage (kelompok pilosebaseus,

kuku, dan kelenjar keringat). Ketebalan epidermis

berkisar antara 0,4 sampai 1,5 mm dibandingkan

dengan kedalaman kulit 1,5 sampai 4,0 mm. Sebagian

besar epidermis terdiri dari sel keratinosit

yangmengelompok menjadi empat lapisan, yang diberi

nama sesuai dengan posisi atau sel pembentuk

strukturnya. Sel tersebut berdiferensiasi

progresif dari sel basal proliveratif, melekat

dengan epidermal membran basal, menuju

diferensiasi akhir stratum korneum

terkeratinisasi, yang merupakan lapisan terluar

dan barier kulit.

Epidermis terdiri dari 5 lapis, yaitu stratum

germinativum (SG), stratum spinosum (SS), stratum

granulosum (SGR), stratum lusidum dan stratum korneu (SC)

dimana keratinosit bermigrasi ke permukaan dan

kemudian terlepas, yang disebut dengan proses

deskuamasi. (Melton dan Swanson, 1996). Lapisan

epidermis terdiri dari :

11

2.1.2.1 Lapisan basal/stratum germinativum, lapisan ini

aktif bermitosis , terdiri dari sel keratinosit

berbentuk kolumnar yang melekat melalui filamen

keratin pada membran basal pada hemidesmosom,

melekat pada sel sekitar lainnya sepanjang

desmosom, dan memberikan pertumbuhan bagi sel yang

lebih superfisial untuk membentuk lapisan

epidermis. Analisis ultrastruktur menunjukkan

adanya membran yang berikatan dengan vakuola yang

mengandung melanosom berpigmen yang ditransfer

dari melanosit melalui fagositosis. Pigmen

sepanjang melanosom memberikan keseluruhan

pigmentasi kulit secara makroskopis. Lapisan basal

merupakan lokasi primer dari sel epidermis yang

aktif membelah.

2.1.2.2 Lapisan spinosum, bentuk, struktur, bagian

subseluler dari sel spinosus berhubungan dengan

posisinya pada pertengahan epidermis. Lapisan ini

diberi nama karena penampakannya yang menyerupai

spine (duri) pada bagian tepinya dilihat secara

histologis. Sel spinosus suprabasal berbentuk polihedral

12

dengan inti bulat. Sel ini berdiferensiasi dan

bergerak ke atas sepanjang epidermis, dan secara

progresif memipih dan berkembang menjadi organel

yang dikenal sebagai granula lamelar.

2.1.2.3 Lapisan granular, lapisan ini diberi nama

sesuai dengan granula keratohialin basofilik yang

prominen disekitar sel. Lapisan granuler adalah

tempat pembentukan komponen struktural yang akan

membentuk barier epidermal. Granula keratohialin

terbentuk utamanya dari profilagrin, filament

keratin, dan lorikrin. Profilagrin akan berubah

menjadi filagrin, dimana filagrin berperan pada

hidrasi stratum korneum dan membantu filter

radiasi ultraviolet.

2.1.2.4 Stratum korneum, lapisan ini terbentuk dari

difrensiasi komplit sel granular yang menghasilkan

tumpukan sel tak berinti dan berbentuk kerucut

memipih. Lapisan ini memberikan proteksi mekanik

kulit dan barier kehilangan air dan permeabilitas

terhadap substrat yang larut dari lingkungan.

Barier stratumkorneum terbentuk dari dua sistem

13

kompartemen dengan lemak tipis, korneosit yang

kaya protein dikelilingi oleh matriks lemak

ekstraseluler. Kedua kompartemen bekerja bersama-

sama membentuk barier aktivitas epidermis. Fungsi

primer dari dari matriks lemak ekstraseluler

adalah regulasi permeabilitas, deskuamasi,

aktivitas peptida antimikrobial, eksklusi toksin,

dan absorpsi kimia selektif. Korneosit berperan

pada penjagaan mekanik, hidrasi, inflamasi yang

dimediasi oleh sitokin, dan proteksi dari

kerusakan akibat sinar matahari.

2.1.3 Dermis

Dermis merupakan sistem integrasi dari fibrus,

filamentus, difus, dan elemen seluler jaringan

penghubung yang mengakomodasi saraf, jaringan

pembuluh darah, appendage epidermal, dan terdiri

dari berbagai tipe sel, termasuk fibroblas,

makofag, sel mast, dan sel yang berperan pada

sistem imun. Dermis merupakan komponen terbesar

pembentuk kulit sehingga mempertahankan

viabilitas, elastisitas dan kekuatan peregangan

14

kulit. Ini melindungi tubuh dari trauma mekanik,

mengikat air, dan berperan pada termoregulasi, dan

mengandung reseptor berbagai stimulus. Dermis

bekerjasama dengan epidermis dalam mempertahankan

komponen masing-masing serta berinteraksi dalam

perbaikan dan pembentukan kembali kulit setelah

perlukaan. Dermis terdiri dari dua bagian, yaitu :

papiler dermis dan retikuler dermis. Kedua bagian tersebut

dapat dibedakan secara histologis, dan keduanya

berbeda dalam hal organisasi jaringan penunjang,

densitas sel, bentuk saraf dan pembuluh darah.

Papiler dermis berbatasan dengan epidermis, dengan

ketebalan tidak lebih dari dua kalinya. Retikuler

dermis benjolan jaringan dermal. Ini terbentuk

sebagian besar dari serat kolagen berdiameter

besar, menyatu membentuk rangkaian, cabang serat

elastin mengelilingi rangkaian tersebut. Pada

orang normal, serat elastin dan rangkaian kolagen

meningkat ukurannya secara progresif sampai ke

hipodermis. Bagian terbawah dari retikuler dermis

dikatakan transisi dari jaringan penunjang fibrus

dengan jaringan penunjang lemak dari hipodermis.

15

2.1.4 Hipodermis (subkutis)

Jaringan hipodermis menyekat tubuh, sebagai bantalan

dan pelindung kulit, dan memungkinkan mobilitas

kulit dari jaringan di bawahnya. Jaringan ini juga

memberikan efek kosmetik dengan memberikan bentuk

tubuh. Lapisan retikuler dermis (RD) terdiri dari

jaringan ikat yang rapat, yang dibedakan dari

lapisan papiler dermis (PD), terutamanya dibentuk

dari jaringan ikat longgar. Elastisitas dan

regangan kulit terutama ditentukan oleh lapisan

RD, yang juga merupakan tempat struktur lain

seperti kelenjar dan folikel rambut (Melton dan

Swanson, 1996).

2.2 Konsep Luka

2.2.1 Definisi

Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomi

normal yang diakibatkan oleh proses patologis yang

berasal dari faktor internal dan eksternal yang

mengenai organ tertentu (Perry, 2006: 1853).

16

Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau

kulit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh

lain (Mansjoer, 2000: 396).

2.2.2 Jenis-jenis luka

2.2.2.1 Berdasarkan sifat kejadian.

1) Luka disengaja, misalnya luka terkena radiasi

atau bedah

2) Luka tidak disengaja, dibagi menjadi dua yaitu

luka terbuka (jika terjadi robekan) dan luka

tertutup (jika tidak terjadi robekan).

2.2.2.2 Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi

dua, yaitu luka mekanisme dan non-mekanisme

1) Luka mekanik terdiri atas :

(1) Vulnus Scissum atau luka sayat akibat

benda tajam. Pinggir luka kelihatan rapi.

(2) Vulnus Contusum, luka memar karena

cedera pada jaringan bawah yang menyebabkan

robeknya jaringan rusak dalam.

(3) Vulnus Kaceratum, luka robek akibat

terkena mesin atau benda lainnya yang

menyebabkan robeknya jaringan rusak dalam.

17

(4) Vulnus Punctum, luka tusuk yang kecil di

bagian luar (bagian mulut luka) akan tetapi

besar didalam luka.

(5) Vulnus Seloferadum, luka tembakan

peluru.

(6) Vulnus Morcun, luka gigitan yang tidak

jelas bentuknya pada bagian luka.

(7) Vulnus Abrasio, luka terkikis yang

terjadi pada bagian luka dan tidak sampai ke

pembuluh darah

2) Luka non-mekanik terdiri atas luka akibat zat

kimia, termik, radiasi, atau sengatan listrik.

2.2.3 Tahapan Penyembuhan Luka

Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka

terbagi atas :

2.2.3.1 Fase koagulasi: setelah luka terjadi, terjadi

perdarahan pada daerah luka yang diikuti dengan

aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga

terbentuk klot hematoma. Proses ini diikuti oleh

proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.

18

2.2.3.2 Fase inflamasi: Fase inflamasi mempunyai

prioritas fungsional yaitu menggalakkan

hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan

mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama

bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk

klot hematom mengalami degranulasi, melepaskan

faktor pertumbuhan seperti platelet derived growth

factor (PDGF) dan transforming growth factor ß (βTGF),

granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), C5a,

TNFα, IL-1 dan IL-8. Leukosit bermigrasi menuju

daerah luka.Terjadi deposit matriks fibrin yang

mengawali proses penutupan luka.

2.2.3.3 Fase proliperatif: Fase proliperatif terjadi

dari hari ke 4-21 setelah trauma. Keratinosit

disekitar luka mengalami perubahan fenotif.

Regresi hubungan desmosomal antara keratinosit

pada membran basal menyebabkan sel keratin

bermigrasi kearah lateral. Keratinosit bergerak

melalui interaksi dengan matriks protein

ekstraselular (fibronectin, vitronectin dan

kolagen tipe I). Faktor proangiogenik dilepaskan

19

oleh makrofag, vascular endothelial growth factor (VEGF)

sehingga terjadi neovaskularisasi dan pembentukan

jaringan granulasi.

2.2.3.4 Fase remodeling: Remodeling merupakan fase

yang paling lama pada proses penyembuhan luka,

terjadi pada hari ke 21-hingga 1 tahun. Terjadi

kontraksi luka, akibat pembentukan aktin

myofibroblas dengan aktin mikrofilamen yang

memberikan kekuatan kontraksi pada penyembuhan

luka. Pada fase ini terjadi juga remodeling

kolagen. Kolagen tipe III digantikan kolagen tipe

I yang dimediasi matriks metalloproteinase yang

disekresi makrofag, fibroblas, dan sel endotel.

Pada masa 3 minggu penyembuhan, luka telah

mendapatkan kembali 20% kekuatan jaringan normal.

Tabel 2.1 Penyembuhan Luka Bedah Menurut Barbara

(2005).

Stadium Waktu Kejadian SelPeradangan(0-4hari)

0-2 jam

0-4 hari

1. Hemostasis2. Fagositosis

1. Trombosit2. Eritrosit3. Leukosit4. Neutrofil5. Makrofag

20

Poliferasi(2-22hari)

1-4 hari1-7 har

i2-20hari2-22hari

1. Epitelisasi

2. Neovaskularisasi

3. Kontraksi4. Sintesiskolagen

1. Keratinosit

2. Entotel3. Miofibrobl

as4. Fibroblas

Pematangan(21hari-2 tahun)

Remodelingkolagen

Fibroblas

Tabel 2.2 Tanda-Tanda Penyembuhan Luka BedahMenurut Barbara (2005)

Stadium Waktu Tanda-TandaPeradangan(0-4 hari)

0-2 jam0-4 hari

Terasa panas,nyeri, kemerahan,terjadipembengkakan.

Proliferasi(2-22 hari)

1-4 hari2-7 hari2-20 hari2-22 hari

Tepi luka tampakmerah muda,tampak cerah,ridge, tampakjaringan epiteldan granulasi.

Pematangan(21hari-2tahun)

Jaringan parut,tampak seratberbentuk silang,area luka terasagatal.

2.2.4 Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan

Luka

21

2.2.4.1 Vaskularisasi, karena luka membutuhkan

keadaaan peredaran darah yang baik untuk

pertumbuhan atau perbaikan sel.

2.2.4.2 Anemia, memperlambat proses penyembuhan luka

mengingat perbaikan sel membutuhkan kadar protein

sel yang cukup. Oleh sebab itu, orang yang

mengalami kekurangan kadar hemoglobin dalam darah

akan mengalami proses penyembuhan lama.

2.2.4.3 Usia, kecepatan perbaikan sel berlangsung

sejalan dengan pertumbuhan atau kematangan usia

seseorang. Namun selanjutnya, proses penuaan dapat

menurunkan sistem perbaikan sel sehingga dapat

memperlambat proses penyembuhan luka.

2.2.4.4 Penyakit lain, mempengaruhi proses

penyembuhan luka. Adanya penyakit seperti diabetes

millites dan ginjal dapat memperlambat proses

penyembuhan luka.

2.2.4.5 Nutrisi, merupakan unsur utama dalam membantu

perbaikan sel, terutama karena kandungan zat gizi

yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh vitamin

A diperlukan untuk membantu proses epitelisasi

22

atau penutupan luka dan sintesis kolagen, vitamin

B kompleks sebagai faktor pada sistem enzim yang

mengatur metabolisme protein , karbohidrat lemak,

vitamin C dapat berfungsi sebagai fibroblas dan

pencegah adanya infeksi serta membentuk kapiler

darah dan vitamin K membantu sintesis protrombin

dan berfungsi sebagai zat pembekuan darah.

2.2.4.6 Kegemukan, obat-obatan, merokok dan stres.

Mempengaruhi proses penyembuhan luka.

2.2.4.7 Infeksi, terjadi bila terdapat tanda-tanda

seperti kulit kemerahan, demam, nyeri dan timbul

bengkak, jaringan disekitar luka mengeras,serta

adanya kenaikan leukosit (Musrifatul Uliyah,

2006).

2.3 Tikus putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan salah satu

hewan percobaan yang paling sering digunakan dalam

penelitian penelitian oleh karena memiliki

strukturanatomi, fisiologi dan histologi organ yang

secara sistematis hampir sama dengan organ manusia.

23

Selain itu, tikus putih lebih mudah didapatkan,

lebih mudah dipelihara, lebih cepat berkembang

menjadi dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan

musiman dan umumnya lebih mudah berkembang biak.

Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu

dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak

jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya

(Gunter dan Dhand, 2002). Klasifikasi tikus putih

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus dan manusia mempunyai jumlah gen pengkode

protein yang sama, yaitu sekitar 30.000, dengan

tingkat kemiripan sebesar 99%. Dalam sebuah

penelitian oleh Dermitzakis yang langsung

24

membandingkan urutan kromosom 21 pada manusia dengan

kromosom pada tikus, didapatkan bahwa bahkan daerah

kromosom yang miskin gen menunjukkan kesamaan yang

luas antara dua organisme ini (Gunter dan Dhand,

2002).

2.3.1 Kandang

Kandang hewan sebaiknya terbuat dari bahan yang

kuat dan awet. Untuk mempermudah pembersihan dan

sanitasi kandang sebaiknya permukaan kandang harus

rata. Dirancang sedemikian rupa agar pengamatan

terhadap hewan yang ada di dalam kandang tidak

terlalu mengganggu ketenangan hewan tersebut.

Ukuran kandang tikus yang digunakan adalah 1800cm²

untuk 7-8 ekor.

Posisi tempat makanan dan minuman dibuat agar

pencucian, penggantian dan pengisian kembali mudah

dilakukan. Kandang yang rusak harus segera

diperbaiki untuk mencegah hewan terluka.

2.3.2 Alas Kandang

25

Alas kandang harus bersifat menyerap air bebas

dari bahan kimia yang bersifat toksin atau zat

lain yang berbahaya bagi hewan dan pekerja dan

merupakan pekerja dan merupakan bahan yang tidak

bisa dimakan hewan. Jumlah yang dipakai harus

cukup untuk menjaga hewan tetap kering sampai

jadwal pergantian berikutnya (Harmita, 2005).

2.3.3 Makanan dan Minuman

Makan tikus yang sama yaitu biji jagung muda,

setiap hari 12-20 gr makanan. Tikus tidak

memerlukan minuman karena sudah mendapatkan air

dari makanan yang dimakannya.

Jika makanan tidak mengandung air maka sebaiknya,

air minum intuk hewan harus selalu tersedia.

Dengan perlakuan tertentu, kontaminasi di dalam

air bisa dikurangi (Harmita, 2005).

2.3.4 Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih

Tikus putih dan manusia mempunyai tingkat homologi

yang tinggi. Sehingga dalam proses perbaikan

luka,tikus putih memiliki fase-fase perbaikan luka

26

yang sama dengan manusia, dengan aktivitas

mediator yang juga sama (Sheid dkk, 2000). Fase

pertama yaitu fase inflamasi, dimana terjadi

reaksi vaskuler dan seluler akibat luka yang

terjadi pada jaringan lunak. Pada fase ini terjadi

penghentian perdarahan serta pembersihan daerah

luka dari benda asing, sel-sel mati serta bakteri

sebagai persiapan mulainya penyembuhan luka. Pada

awal fase, kerusakan pembuluh darah menyebabkan

keluarnya platelet yang berfungsi sebagai

hemostasis. Platelet akan membentuk clot yang akan

menutupi pembuluh darah yang rusak selain itu juga

dilepaskan zat vasokonstriktor yang akan akibatkan

vasokonstriksi pembuluh darah kapiler, dan akan

terjadi penempelan endotel pada pembuluh darah

(Hoyt dkk, 2007). Fase ini tidak berlangsung lama,

setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler

serta pelepasan vasodilator seperti histamin,

serotonin dan sitokin. Histamin akan menyebabkan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vena,

sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh

27

darah dan masuk ke daerah luka. Terjadi edema

jaringan dan keadaan lokal lingkungan luka menjadi

asidosis. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi

sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra

vaskuler. Fungsi netrofil adalah fagositosis benda

asing dan bakteri di daerah luka selama dua sampai

tiga hari dan kemudian akan digantikan oleh sel

makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding

dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fase

inflamasi dapat berlangsung sampai hari ketiga

(Hoyt dkk, 2007). Fase berikutnya yaitu fase

proliferasi. Peran fibroblas sangat besar pada

fase ini, yaitu bertanggung jawab pada persiapan

menghasilkan produk struktur protein yang akan

digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan),

pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya

bersembunyi di matriks jaringan ikat. Sesudah

terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari

jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka,

kemudian akan berproliferasi serta mengeluarkan

28

beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid,

fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam

membangun jaringan baru. Akan terbentuk jaringan

granulasi berupa sel-sel dan pembuluh darah baru

yang tertanam di dalam jaringan. Selain itu juga

akan terjadi angiogenesis atau proses pembentukan

pembuluh kapiler baru di dalam luka (Falanga dan

Iwamoto, 2008). Setelah itu akan dimulai proses

selanjutnya yaitu epitelisasi. Keratinisasi akan

dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

barier yang menutupi permukaan luka. Dengan

sintesis kolagen oleh fibroblas, pembentukan

lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya

dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi

dan dermis. Fase proliferasi akan berakhir jika

epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk

(Hoyt dkk, 2007).

Pada suatu penelitian menggunakan tikus putih,

dilaporkan bahwa tiga hari setelah perlukaan, luka

pada tikus putih sudah mulai mengalami pembentukan

29

jaringan granulasi yang diikuti dengan

reepitelisasi sehingga membuktikan fase perbaikan

luka terjadi secara tumpang tindih. Fibroplasia

pada luka juga meningkat pada hari ke lima sampai

ke tujuh (Kusmiati dkk, 2006). Fase selanjutnya

yaitu Fase remodelling yang dimulai sekitar minggu

kedua setelah perlukaan dan berakhir kurang lebih

12 bulan. Fibroblas sudah mulai meninggalkan

jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan

mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan

serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk

memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan

parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke

sepuluh setelah perlukaan. Sintesis kolagen yang

telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan

pada fase maturasi. Kolagen muda (gelatinous collagen)

yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah

menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih

kuat dan struktur yang lebih baik (Sheid dkk,

2000). Luka dikatakan sembuh jika terjadi

kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan

30

kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan

aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan

luka sama, namun outcome atau hasil yang dicapai

ternyata tidak sama dengan manusia, bahkan tidak

sama untuk masing-masing individu tikus putih. Hal

ini sangat tergantung dari kondisi biologik

masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka

(Hoyt dkk, 2007).

2.4 Konsep Terapi Madu

2.4.1. Konsep Madu

Madu merupakan produk lebah yang lebih dahulu

dikenl dan diteliti. Madu terbuat dari nektar yang

dikumpulkan lebah madu dari berbagai tumbuhan

berbunga. Lebah akan menyimpan nektar di sarangnya

dalam bentuk madu sebagai makanan mereka sendiri.

Namun, para peternak lebah memanen madu yang

berlebihan dan menjualnya. Madu memilika efek

antibakteri sehingga banyak dipakai untuk mengobati

luka dan mempercepat penyembuhan (Suranto, 2007).

31

Madu adalah cairan manis alami berasal dari nektar

tumbuhan yang diproduksi oleh lebah madu. Lebah

madu mengumpulkan nektar madu dari bunga

mekar,cairan tumbuhan yang mengalir di dedaunan dan

kulit pohin, atau kadang-kadang dari embun. Nektar

adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar

necteriffer dalam bunga, bentuknya berupa cairan,

berasa manis alami dengan aroma yang lembut

(Suranto, 2007).

2.4.2. Karakteristik Madu

Menurut Suranto (2007) madu mempunyai banyak

keunggulan karena karakteristiknya. Sepuluh

karakteristik fisis madu adalah sebagai berikut :

2.4.2.1 Kekentalan (viskositas)

Madu yang baru diekstrakan berbentuk cairan

kental. Kekentalannya tergantung dari komposisi

madu, terutama kandungan airnya. Bila suhu

meningkat, kekentalan madu akan menurun.

2.4.2.2 Kepadatan (densitas)

Madu mempunyai ciri khas yaitu kepadatannya akan

mengikuti gaya gravitasi sesuai berat jenis.

32

Bagian madu yang kaya akan air (densitasnya

rendah) akan berada diatas madu yang lebih padat

dan kental.

2.4.2.3 Sifat Menarik Air (higroskopis)

Madu bersifat menyerap air sehingga akan bertambah

encer dan akan menyerp kelembapan udara

sekitarnya.

2.4.2.4 Tegangan Permukaan (surface tension)

Madu memiliki tegangan permukaan yang rendah

sehingga sering digunakan sebagai campuran

kosmetik. Tegangan permukaan madu bervariasi

tergantung sumber nektarnya dan berhubungan dengan

kandungan zat koloid.

2.4.2.5 Suhu

Madu mempunyai sifat lambat menyerap suhu

lingkungan, tergantung dari komposisi dan derajat

pengkristalannya. Dengan sifat yang mampu

mengantarkan panas dan kekentalan yang tinggi

menyebabkan madu mudah mengalami overheating

(kelebihan panas) sehingga pengadukan dan

33

pemanasan madu haruslah dilakukan secara hati-

hati.

2.4.2.6 Warna

Warna madu bervariasi dari transparan hingga tidak

berwarna seperti air, dari warna terang hingga

hitam. Warna dasar madu adalah kuning kecoklatan

seperti gula caramel. Warna madu dipengaruhi oleh

sumber nektar, usia madu dan penyimpanan.

2.4.2.7 Aroma

Aroma madu yang khas disebabkan oleh kandungan zat

organiknya yang mudah menguap (volatil). Aroma madu

bersumber dari zat yang dihasilkan sel kelenjar

bunga yang bercampur dalam nektar dan juga karena

proses fermentasi dan gula, asam amino dan vitamin

selama pematangan madu.

2.4.2.8 Rasa

Rasa madu yang khas ditentukan oleh kandungan asam

organik dan karbohidratnya, juga dipengaruhi oleh

sumber nektarnya. Kebanyakan madu rasanya manis

dan agak asam.

2.4.2.9 Sifat Mengkristal

34

Madu cenderung mengkristal pada proses penyimpanan

di suhu kamar. Banyak orang berfikir bila madu

mengkrtistal berarti kwalitas madu buruk atau

sudah ditambah gula.

2.4.2.10 Memutar Optik

Madu memiliki kemampuan mengubah sudut putaran

cahaya terpolarisasi. Kemampuan ini disebabkan

kandungan zat gula yang spesifik dalam madu.

2.4.3. Komposisi Madu

Menurut Suranto (2007) komposisi madu bervariasi :

2.4.3.1 Gula

Komposisi terbesar madu adalah gula fruktosa dan

glukosa (85-95% dari total gula). Tingginya

kandunga gula sederhana dan presentasi fruktosa

menciptakan karakteristik nutrisi yang khas untuk

madu.

2.4.3.2 Air

35

Komposisi terbesar kedua setelah gula adalah air.

Keberadaan air dalam madu merupakan hal penting

terutama pada proses penyimpanan. Hanya madu

mengandung kadar air kurang dari 18% yang dapat

disimpan tanpa kwatir terjadi fermentasi.

2.4.3.3 Kalori

Madu merupakan salah satu nutrisi alami sumber

energi. Satu kilogram madu mengandung 3,280 kalori

atau setara dengan 50 buir telur ayam, 5,7 liter

susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4 kilogram

kentang dan 1,68 kilogram daging.

2.4.3.4 Enzim

Enzim yang terkandung dalam madu adalah invertase,

diastase, katalase, oksidase, peroksidase, dan

protease. Guna enzim ini adalah memecah sukrosa

menjadi glukosa dan fruktosa. Enzim diastase

berfungsi mengubah zat tepung menjadi dekstrin dan

maltosa. Kemampuan enzim mengubah zat tepung ini

dipengaruhi oleh suhu 60-80ºC. Enzim katalase

mengubah hydrogen peroksidase menimbulkan efek

antibakteri.

36

2.4.3.5 Hormon

Hormon adalah zat kimia yang berfungsi mengatur

aktivitas sel atau organ tubuh. Madu mengatur

hormon gonadotropin yang berfungsi menstimulasi

kelenjar seksual.

2.4.3.6 Asam amino

Madu mengandung asam amino ensensial yang penting

untuk tubuh seperti proline, tirosin, fenilalanin, glutamin

dan asam aspartat. Namun, kandungan sangat bervariasi

dari 0,6 hingga 500 mgdalam 100 gram madu.

2.4.3.7 Vitamin dan mineral

Madu kaya akan vitamin A, vitamin B kompleks

(lengkap), vitamin C, D, E dan K. Penelitian di

Universitas Florida Departemen Ilmu Makanan dan

Nutrisi penting seperti vitamin B6, riboflavin,

thiamin dan asam pantotenat. Madu mengandung

mineral cukup lemgkap namun bervariasi antara

0,01% - 0,64%, D. Jarvis meneliti kandungan

mineral madu dan memastikan dari 100% sampel

terdapat zat besi, kalium, kalsium, magnesium, tembaga,

mangan, natrium, dan fosfor. Zat lainnya adalah brium,

37

seng, sulfur, klorin, yodium, zirconium, gollium, vanadium, colbalt

dan molybdenum. Sebagian kecil madu ada yang

mengandung bismuth, germanium, lithium dan emas.

2.4.4. Penyimpanan Madu

Proses penyimpanan akan mempengaruhi kwalitas madu.

Untuk mempertahankan kwalitasnya, madu harus

disimpan dalam wadah kaca (lebih dipilih yang warna

gelap), keramik, porselin, kayu tertentu, atau

stainles stel. Pemggunakan wadah besi, tembaga,

timah, atau campuran logam harus dihindari karena

dapat bereaksi dengan gula dan asam organik madu

serta menghasilkan zat beracun.

Suhu yang ideal untuk menyimpan madu adalah sekitar

20ºC dengan kelembaban kurang dari 65%. Penyimpanan

di ats suhu 25ºC akan menurunkan kwalitas yang

disebabkan perubahan enzim dan kimiawi madu

(Suranto, 2007).

2.4.5. Cara membedakan madu murni dengan madu palsu:

1) Dibakar di atas sendok.

Taruhlah madu pada sebuah sendok logam. Bakar

38

bagian bawah sendok dengan api/lilin. Madu yang

asli akan mendidih hingga busanya tumpah dari

sendok, sedangkan yang palsu, meskipun mendidih

namun busa tak sampai tumpah.

2) Dengan kertas koran.

Teteskan madu pada kertas tipis/koran. Madu yang

asli tidak akan membuat kertas basah/robek.

Sedangkan madu palsu akan terserap ke dalam

kertas, karena kandungan airnya yang lebih

tinggi.

3) Menggunakan korek api.

Masukkan batang korek api ke dalam madu beberapa

saat. Ambil dan pantikkan/gesekkan agar menyala.

Bila madu asli, korek akan tetap bisa menyala,

dan sebaliknya.

4) Dengan segelas air.

Teteskan setetes madu ke dalam segelas air. Madu

asli akan langsung jatuh ke dasar gelas dan tetap

terlihat berkumpul/tidak larut dengan air.

39

5) Dimasukkan dalam freezer.

Masukkan madu ke dalam freezer/lemari es. Madu

asli tidak akan membeku.

6) Dicampur kuning telur.

Campur dan aduk madu dengan kuning telur bebek.

Bila madu asli, telur akan berubah warna dan

terlihat seperti setengah matang.

2.4.6. Pemanfaatan Madu Di Bidang Kesehatan

Menurut Suranto (2007) dalam dunia kesehatan,

pemanfaatan madu bukanlah hal yang asing. Ada

beberapa aturan yang harus diperhatikan jika anda

mengkonsumsi madu untuk tujuan pengobatan, yakni

perhatikan dosisi dan efek sampingnya.

2.4.5.1 Dosis

Dosis madu dianjurkan untuk orang dewasa adalah

100-200 gram sehari, diminum tiga kali sehari,

pagi sebanyak 30-60 gram, siang 40-80 gram, dan

malam 30-60 gram. Disarankan satu jam setengah

atau dua jam sebelum makan atau tiga jam sesudah

makan. Untuk anak-anak, dosis madu adalah 30 gram

sehari. Madu sebaiknya diminum dengan campuran air

40

agar lebih mudah dicerna dan mencapai peredaran

darah, ke jaringan, dan sel tubuh (Yoirish, 1959).

2.4.5.2 Efek Samping

American Journal of Clinical Nutrition tahun 1995

melaporkan konsumsi madu pada orang normal dapat

menimbulkan diare atau gangguan perut. Hal ini

mungkin disebabkan kandungan fruktosa madu cukup

tinggi. Kadar glukosa madu termasuk yang tertinggi

sekelompok buah apel dan pir (Dotinga, 2004).

Tingginya fruktosa madu pada beberapa orang dapat

menyebabkan gangguan penyerapan yang disebut

malarbsorpsi fruktosa. Hal ini cukup merepotkan

bagi orang-orang yang sebelumnya punya pencernaan

yang sensitif. Namun hal tersebut justru

menguntungkan untuk orang yang punya keluhan susah

buang air besar (Ladas, 1995).

2.4.5.3 Perawatan Luka dan Luka Bakar

Penggunaan madu untuk perawatan sudah banyak

dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Dunia

kedokteran modern saat ini telah banyak

membuktikan madu sebagai obat yang unggul

41

(Suranto, 2007). Sebuah laporan menunjukkan luka

yang dibalut dengan madu menutup pada 90 % kasus.

Pada luka bakar derajat ringan, penyembuhan dengan

olesan madu berlangsung lebih cepat. Pasien yang

luka bakar berat yang harus ditransplantasi kulit

dipercepat penyembuhannya dengan madu

(Subrahmanyam, 1991).

Penelitian yang dimuat di sebuah jurnal bedah

tahun 1991 menunjukan keunggulan madu

dibandingkan obat topikal Silver Sulfadiazin untuk luka

bakar. Sejumlah 104 wanita dan pria dengan

berbagai derajat luka bakar dibagi 2 kelompok.

Kelompok pertama mendapatkan balutan madu dan

kelompok kedua dibalut dengan obat topikal Silver

Sulfadiazin.

Tabel 2.3 Perbandingan Madu dan Silver Sulfadiazin

Kondisi Luka KelompokMadu

KelompokSilver

SulfadiazinJaringan tumbuh rata-rata

7,5 hari 13,4 hari

Luka tidak mengandungkuman

91% 7%

42

Kesembuhan 15,4 hari 17,2Keluhan nyeri danbekas luka

Lebihsedikit

Lebih banyak

(Subrahmanyam, 1991.Tropical Aplication of Honey inTreatment of Burns)

Madu merangsang terbentuknya kulit yang baru dan

sehat sehingga jarang membuat bekas luka yang

jelek. Kandungan madu yang kaya nutrisi membuat

pasokan zat-zat yang dibutuhkan penyembuhan luka

selalu cukup (Broadhurst, 2000).

Manfaat lainnya adalah madu dapat mengurangi

peradangan yang ditandai dengan berkurangnya

nyeri, bengkak, dan luka yang mengering. Salah

satu penyebabnya karena madu memiliki osmolaritas

yang tinggi hingga menyerap air dan memperbaiki

sirkulasi serta pertukaran udara di area luka.

Selain itu, madu memiliki efek membersihkan. Hal

ini dikarenakan madu bersifat lengket pada luka

dan jaringan mati turut terangkat hingga luka

menjadi bersih (Broadhurst, 2000).

43

Madu berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh

karena dapat meningkatkan jumlah sel darah putih.

Jadi, kemampuan madu untuk menghambat radikal

bebas akan mengurangi kerusakan jaringan, dan

kemampuannya merangsang sel darah putih akan

mempercepat penyembuhan. Madu juga membuat

lingkungan menjadi lembab yang mendukung

pembentukan kulit baru (Broadhurst, 2000).

2.4.5.4 Mengandung Antibiotika

Efek antibakteri madu pertama kali dikenal tahun

1892 oleh van Ketel. Awalnya, efek antibakteri ini

diduga karena kandungan gula madu yang tinggi,

yang disebut efek osmotik. Namun, penelitian lebih

lanjut menunjukkan adanya zat inhibine yang pada

akhirnya diidentifikasi sebagai hidrogen peroksida

yang berfungsi sebagi antibakteri (Suranto, 2007).

2.4.5.5 Efek Madu

1) Efek Osmotik

Madu terdiri dari campuran 84% gula dengan

kadar air sekitar 15-20% sehingga sangat tinggi

44

kadar gulanya. Sedikitnya kandungan air dan

interaksi air dengan gula tersebut akan membuat

bakteri tidak dapat hidup. Tidak ada bakteri

yang mampu hidup pada kadar air kurang dari 17%

(Molan PC, 2000).

Berdasarkan efek osmotik ini, seharusnya madu

yang diencerkan hingga kadar gulanya menurun

akan mengurangi efek antibakteri, namun,

kenyataannya, ketika madu dioleskan pada

permukaan luka yang basah dan tercampur dengan

cairan luka, efek antibakterinya tidak hilang.

Madu tetap dapat mematikan bakteri meskipun

diencerkan hingga 7-14 kali. Dengan demikian,

disimpulkan ada faktor lain yang menunjang efek

antibiotika madu (Suranto, 2007).

2) Aktivitas Hidrogen Peroksida

Madu juga mengandung zat lain yang dapat

membunuh bakteri yaitu hidrogen peroksida. Kelenjar

hipofaring lebah madu mensekresikan enzim glukosa

oksidase yang akan bereaksi dengan glukosa bila

45

ada air dan memproduksi hidrogen peroksida. Reaksi

kimiawi ini berlangsung sesaat, tetapi dalam

jumlah kecil terus terbentuk hingga madu

matang. Bila madu bereaksi kembali dengan air

maka produksi hidrogen peroksida akan meningkat

lagi. Konsentrasi hidrogen peroksida pada madu

sekitar 1 mmol/l, 1000 kali lebih kecil

jumlahnya daripada larutan hidrogen peroksida

3% yang biasa dipakai sebagai antiseptik. Meski

konsentrasinya lebih kecil, efektivitasnya

tetap baik sebagai pembunuh kuman. Efek samping

hidrogen peroksida seperti merusak jaringan

akan diatasi madu dengan zat antioksidan dan

enzim-enzim lainnya (Suranto, 2007)

3) Sifat Asam Madu

Ciri khas madu lainnya adalah bersifat asam

dengan pH antara 3,2-4,5, cukup rendah untuk

menghambat pertumbuhan bakteri yang berkembang

biak rata-rata pada pH 7,2-7,4 (Suranto, 2007).

4) Faktor Fitokimia

46

Pada beberapa jenis madu juga ditemukan zat

antibiotik. Zat tersebut disebut faktor non-

peroksida. Madu selama ini telah memiliki

faktor tersebut adalah madu manuka (Leptospermum

scoparium) berasal dari Selandia Baru. Di

Australia, madu dari spesies Leptospermum yang

lain, jellybush, juga ditenggarai memiliki zat

non-peoksida ini (Suranto, 2007).

5) Aktifitas Fagositosis dan Meningkatkan Limfoit

Fagositosis adalah mekanisme membunuh kuman

oleh sel yang disebut fagosit, sedangkan limfosit

adalah sel darah putih yang terbesar perannya

dalam mengusir kuman. Penelitian terbaru

memperlihatkan madu dapat meningkatkan

pembelahan sel limfosit, artinya turut memperbanyak

pasukan sel darah putih tubuh. Selain itu, madu

juga meningkatkan produksi sel monosit yang

dapat mengeluarkan sitokin, TNF-alfa, interleukin 1,

dan interleukin 6 yang mengaktifkan respon daya

47

tahan tubuh terhadap infeksi. Kandungan glukosa

dan keasaman madu juga secara sinergis ikut

membantu sel fagosit dalam menghancurkan bakteri

(Suranto, 2007).

Beberapa hal yang membuat efek antibakteri madu

berbeda-beda adalah kandungan hidrogen

peroksida dan non-peroksida, seperti vitamin C,

ion logam, enzim katalase, dan juga ketahanan

madu terhadap suhu dan sensitifitas enzimnya

terhadap cahaya. Pada dasarnya, semua madu asli

mempunyai sifat antibakteri karena kadar

gulanya yang tinggi. Beberapa ahli berpendapat,

efek antibakteri madu secara umum memang akan

berkurang bila madu bercampur atau diencerkan.

Efek madu sebagai antibakteri terbaik diperoleh

dari penggunaan topikal (dioleskan) (Suranto,

2007)

2.4.7. Penggunaan Madu Sebagai Kompres Luka

Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan

asam pada luka sehingga akan dapat mencegah bakteri

48

melakukan penetrasi dan kolonisasi. Selain itu

kandungan air yang terdapat dalam madu akan

memberikan kelembaban pada luka. Hal ini sesuai

dengan prinsip perawatan luka modern yaitu ‘‘Moisture

Balance’’. Hasil penelitian Gethin GT et al (2008)

melaporkan madu dapaat menurunkan Ph dan mengurangi

ukuran luka kronis (ulkus vena/arteri dan luka

dekubitus) dalam waktu du minggu secara signifikan.

Hal ini akan memudahkan terjadinya prses granulasi

dan eitelisasi pada luka.

Efem (1993) meneliti kemampuan madu sebagai

penyembuhan luka akibat gangrene, dan luka akibat

diabetes mellitus pada pasien di Afrika. Madu

diberikan secara topika sebanyak 15-30 ml sekali

sehari. Luka gangrene dan luka diabetic sembuh dan

membaik diikuti dengan tidak ditemukannya bakteri-

bakteri yang sebelumnya ada di sekitar luka, yakni

P.pyocyenea, E.coli, S.aureus, P.mirabilitas, coliform. Klebsiella,

Sterptococcus faecalis, dan Streptococcus pyogenes.

49

Luka setelah operasi cesar juga tak luput dari

penelitian para ahli dan dipublikasikan dalam

Australia NZ Journal of Obstetrics & Gynaecology. Madu

diaplikasikan dengan perban pada luka bekas

operasi. Ditemukan kemampuan madu sebagai

penyembuhan luka bekas operasi Caesar akan membuka

peluang penggunaan madu dalam klinik.