BAB II LANDASAN TEORI A. Jaminan 1. Pengertian Jaminan ...

68
BAB II LANDASAN TEORI A. Jaminan 1. Pengertian Jaminan secara umum Istilah jaminan berasal dari Bahasa Belanda yaitu “zekerheid” atau cautieyang secara umum merupaka cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barangnya. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu: “suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit seusai yang diperjanjikan”. Sedangkan pengertian agunan diatur dalam pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998 tentang jaminan yaitu: “jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”. 1 Jaminan atau agaunan merupakan aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada pemberi jaminan jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika peminjam gagal membayar, pihak pemberi peminjam dapat memiliki agunan tersebut. Dalam pemeringkatan kredit, jaminan sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun perusahaan. Bahkan dalam perjanjian kredit gadai, jaminan merupakan satu- satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnya pinjaman. 2 Selain istilah jaminan, 3 dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam pasal 1 angka 23 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Agunan adalah “Jaminan tambahan diserakan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. 1 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta; Rajawali Pers, 2013), 78 2 Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), 53 3 Rizky Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta;internusa, 1990), 49

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Jaminan 1. Pengertian Jaminan ...

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Jaminan

1. Pengertian Jaminan secara umum

Istilah jaminan berasal dari Bahasa Belanda yaitu “zekerheid” atau

“cautie” yang secara umum merupaka cara-cara kreditur menjamin

dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungan jawab umum debitur

terhadap barangnya. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank No.

23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu: “suatu keyakinan kreditur

bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit seusai yang

diperjanjikan”. Sedangkan pengertian agunan diatur dalam pasal 1 angka 23

UU No. 10 Tahun 1998 tentang jaminan yaitu: “jaminan pokok yang

diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia”.1 Jaminan atau agaunan merupakan aset pihak peminjam yang

dijanjikan kepada pemberi jaminan jika peminjam tidak dapat mengembalikan

pinjaman tersebut. Jika peminjam gagal membayar, pihak pemberi peminjam

dapat memiliki agunan tersebut. Dalam pemeringkatan kredit, jaminan sering

menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun

perusahaan. Bahkan dalam perjanjian kredit gadai, jaminan merupakan satu-

satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnya pinjaman.2

Selain istilah jaminan,3 dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan

dapat dibaca di dalam pasal 1 angka 23 Undang-undang nomor 10 tahun 1998

tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang

perbankan. Agunan adalah “Jaminan tambahan diserakan nasabah debitur

kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah”.

1 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta; Rajawali Pers, 2013), 78

2 Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2003), 53 3 Rizky Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta;internusa, 1990), 49

Jaminan secara umum berfungsi sebagai jaminan pelunasan

kredit/pembiayaan. Jaminan kredit/pembiayaan berupa watak, kemampuan

modal, dan prospek usaha yang dimiliki debitur maupun, modal, dan prospek

usaha yang dimiliki debitur merupakan jaminan immateril yang berfungsi

sebagai first way out.4

Agunan dalam kontruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir).

Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini

dserahkan oleh debitur kepada bank.Unsur-unsur agunan, yaitu:

a) Jaminan tambahan;

b) Diserahkan oleh debitur kepada bank

c) Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan

Di dalam sumber Badan Pembinaan Hukum Nasional yang

diselanggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 s.d. 30 juli 1977 disimpulkan

pengertian jaminan. Jaminan adalah “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena

itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda”.

Kontruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang

dikemukakan Hartono Hadisoeparto dan M. Bahsan. Hartono Hadisoeprapto5

berpendapat bahwa jaminan adalah “sesuatu yang diberikan kepada kreditur

untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”.

Kedua definisi jaminan yang dipaparkan di atas, adalah:

1. Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor (bank)

2. Ujudnya jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan

materil)

3. Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor

dengan debitur.

4 Salim Haris, Perkembangan Hukum Jaminan di Indoesia, (Jakarta; Rajawali Pers,

2014), 78 5 Tan Kamelo, Hukum Jaminan dalam Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,

(Bandung: PT.Alumni, 2004), 43

Istilah yang digunakan M. Bahsan6 adalah jaminan. Ia berpendapat

bahwa jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan

debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.

Alasan digunakan istilah jaminan karena:

1. Telah lazim digunakan dalam bidang ilmu Hukum dalam hal ini

berkaitan dengan penyebutan-penyebutan, seperti hukum

jaminan, lembaga jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak

jaminan, dan sebagainya.

2. Telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan

tentang lembaga jaminan, seperti yang tercantum dalam Undang-

undang Hak tanggungan dan jaminan Fidusia.

Pada prinsipnya penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh

M.Bahsan, bahwa istilah yang lazim digunakan dalam kajian teoritis adalah

jaminan. Istilah jaminan ini, mencakup jaminan materil dan jaminan

perorangan.

2. Jenis-jenis jaminan

Jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia

dan yang berlaku di luar Negri. Dalam pasal 24 UU Nomor 14 Tahun 1967

tentang perbankan ditentukan bahwa “Bank dapat dibedakan menjadi 2 macam,

yaitu:7

1. Jaminan materil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan, dan

2. Jaminan imateril (perorangan), yaitu jaminan perorangan.

Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti

memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat

melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan

perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi

hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin

pemenuhan perikatan yang bersangkutan (Hasil seminar Badan Pembinaan

Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 sampai

6 Salim Haris, Perkembangan Hukum Jaminan di Indoesia, (Jakarta; Rajawali Pers,

2014), 79 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 (tentang Perbankan), 3

dengan 30 Juli 1977). Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,8 mengemukakan

pengertian jaminan materil (kebendaan) dan jaminan perorangan. Jaminan

materil adalah:

Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai

ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat

dipertahankan terhadap siapapun selalu mengikuti bendanya dan dapat

dialihkan. Sedangkan jaminan materil (perorangan) adalah jaminan yang

menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, terhadap harta

kekayaan debitur umumnya.9

Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur yang

tercantum pada jaminan materil yaitu:

1. Hak mutlak atas suatu benda

2. Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu

3. Dapat dipertahankan terhadap siapa pun

4. Dapat dialihkan kepada pihak lainnya

Unsur jaminan perorangan, yaitu:

1. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu

2. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan

3. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu:

1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buk II KUH

2. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata

3. Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4

Tahun 1996

4. Jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor

42 Tahun 1999.

Yang termasuk jaminan perorangan, adalah:

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih

8 Salim Haris, Perkembangan Hukum Jaminan di Indoesia, (Jakarta; Rajawali Pers,

2014), 80 9 Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risikko Perbankan Syariah di Indonesia,

Jakarta; Salemba Empat (9 oktober 2016), 32

2. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;

dan

3. Perjanjian garansi

Dari kedelapan jenis jaminan di atas, maka yang masih berlaku adalah:

1. Gadai

2. Hak tanggungan

3. Jaminan fidusia

4. Hipotek atas kapal laut dan pesawat udara

5. Borg (Penanggungan)

6. Tanggung-menanggung; dan

7. Perjanjian garansi.10

3. Syarat-syarat dan manfaat benda jaminan

Pada prinsipinya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada

lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonbank, namun benda yang dapat

dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-

syarat benda jaminan yang baik adalah:

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukannya

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan

atau meneruskan usahanya.

3. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah

diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit.11

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting

dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini

dapat memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur

adalah:

1. Terujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup

10

Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama 2015), 71-76 11

Ikatan Bankir Indonesia, Manajemen Risiko dan Kredit Bank, (Jakarta; PT

gramedia Pustaka Utama, 2016), 67

2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Bagi debitur dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh

fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkanusahanya.

Keamanan modal adalah dimaksudkan bahwa kredit atau modal yang

diserahkan oleh kreditur kepada debitur tidak merasa takut atau khwatir tidak

dikembalikannya modal tersebut. Memberikan kepastian hukum adalah

memberikan kepastian bagi pihak kreditur dan debitur. Kepastian bagi kreditur

adalah kepastian untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari

debitur. Sedangkan bagi debitur adalah kepastian untuk mengembalikan pokok

kredit dan bunga yang ditentukan. Di samping itu, bagi debitur adalah adanya

kepastian dalam berusaha. Karena dengan modal yang dimilikinya dapat

mengembangkan bisnisnya lebih lanjut.12

Apabila debitur tidak mampu dalam

mengembalikan pook kredit dan bunga, bank atau pemilik modal dapat

melakukan eksekusi terhadap benda jaminan. Nilai benda jaminan itu biasanya

pada saat melakukan taksiran nilainya lebih tinggi jika dibandingkan pokok

dan bunga yang tertunggak.13

Namun, dalam kenyataannya seringkali nilai jamiannya lebih rendah

dari hutang pokok dan bunga. Sehingga untuk melakukan eksekusi oleh pejabat

lelang engalami kesulitan, karena nilai jual benda jaminan dibawah nilai

hutang pokok dan bunga. Hutang pokok dan bunga sebanyak Rp 10.000.000,

tetapi nilai benda jaminan pada saat lelang sebanyak Rp 5.000.000. apabila

terjadi hal seperti itu, maka pejabat lelang melakukan penundaan terhadap

eksekusi benda jaminan. Penundaan ini dilakukan sampai barang jaminan

sesuai dengan jumlah barang yang seharunys dibayar oleh debitur.14

12

Malayu S.P Hasibun, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta: Bumi Kasara, 2006), 54-55 13

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan , (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), 56 14

Antonio Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (jakarta: Gema

Insani. 2001), 98

4. Sifat perjanjian jaminan

Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam,

yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan

perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau

lembaga keuangan nonbank. Rutten berpendapat bahwa perjanjian pokok

adalah perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang

mandiri. Contoh perjanjian kredit bank. Kredit adalah15

penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga (Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan). Unsur-unsur kredit, meliputi:16

1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu

2. Didasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

3. Para pihaknya, yaitu bank dan pihak lain (nasabah)

4. Kewajiban peminjam, yaitu untuk melunasi hutangnya;

5. Jangka waktu; dan

6. Adanya bunga.

Perjanjian accesoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan

dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contoh perjanjian accesoir ini adalah

perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan, dan

fidusia. Jadi, sifat perjanjian jaminan adalah perjanjian accesoir yaitu

mengikuti perjanjian pokok.17

15

Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama 2015), 90 16

Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan edisi ke empat, (Jakarta; PT Gramedia

Pustaka Utama), 89 17

Munir Fuady, Hukum Bisnis (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung; PT Citra

Aditya Bakti 2002), 87

5. Bentuk dan substansi perjanjian jaminan

Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan

dan tertulis. Perjanjian pembebanan dalam bentuk lisan, biasayanya dilakukan

dalam kehidupan masyarakat pedesaan, masyarakat yang satu membutuhkan

pinjaman uang kepada masyarakat, yang ekonominya lebih tinggi. Biasanya

pinjaman itu cukup dilakukan secara lisan. Misalnya, A ingin mendapatkan

pinjaman uang dari B, maka A cukup menyerahkan surat tanahnya pada B.

Setelah tanah diserahkan, maka uang pinjaman diserahkan oleh B kepada A.

Sejak terjadinya konsensus kedua belah pihak, maka sejak saat itulah

terjadinya perjanjian pembebanan jaminan.18

B. Dasar Hukum Jaminan

Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah pasal 8 ayat

(1) UU perbankan yang menyatakan bahwa:

“dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank

wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad

dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya

atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang

diperjanjikan”.

Jaminan pemberian kredit menurut pasal 8 ayat (1) adalah bahwa

keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan

tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang

seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari

nasabah debitur.19

18

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2014), 21-30 19

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indoesia, (Jakarta; Rajawali Pers,

2014), 40-41

C. Konsep Jaminan Dalam Hukum Ekonomi Syariah

Dalam Hukum Ekonomi Syariah berkaitan dengan jaminan utang

dikenal 2 istilah yaitu kafalah dan rahn.

Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada

pihak ketiga untuk memenuhi kewajibannya pihak kedua atau yang ditanggung

(makful‟anhu, ashil).20

Menurut Bank Indonesia, kafalah adalah aad pemberian

jaminan (Makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana

pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu

hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).

Sedangkan Rahn, secara terminologi yaitu “Ja‟lu „Ainin Laha Qimatun

maliyah fi Nnadzari al-Syar‟i watsiqatan bidainin bihaitsu yumkinu akhdzu

dzalika al-Dain au Akhdzu ba‟dhuhu mintika al-„aini (menjadikan barang yang

mempunyai nilai harta menurut ajaran Islam sebagai jaminan utang, hingga

orang yang bersangkutan dapat mengambil piutang atau mengambil sebagian

manfaat barang itu). Menurut Dewan Syariah Nasional, Rahn yaitu menahan

barang sebagai jaminan atas hutang. Sedangkan menurut Bank Indonesia, Rahn

adalah akad penyerahan barang/hrta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada

Bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.21

Menurut para ulama kontemporer terkait konsep Hukum ekonomi Syariah

kurang lebih ada 6 aspek, yaitu:

1. Shulhu

Menurut Sayyid Sabiq,22

shulhu adalah suatu akad untuk

mengakhiri perlawanan/perselisihan antara dua orang yang berlawanan.

Menurut Habsi Al-Shiddieqi, shulhu adalah “akad yang disepakati oleh

dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu,

dengan akad itu akan dapat hilang perselisihan.”

20

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, Jilid 4, 90 21

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

(Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 44 22

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 2, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2007), 92

a. Dasar hukum Shulhu yaitu:

ب أ إػشاضب فل جبح ػي ثؼيب شصا أ شأح خبفذ ٱ إ إ

خ أدضشد ٱلفظ ٱىش ش يخ خ ٱىص ب صيذب صيذب ث

خج ي ب رؼ ث مب ٱلل رز قا فئ ٨٢١شا رذغا

Artinya :“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan

nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat

mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian

itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut

tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan

dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz, sikap

tidak acuh dan bertindak tidak adil), maka sesungguhnya

Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(QS.

an-Nisaa: 128)23

ب ب فئ ثخذ إدذ اقززيا فؤ صيذا ث ؤ اى ا طب ئفزب فئ فبءرفؤصيذا ش اىي ػي اال خشا فقزي ااى ز رجخ دز رف ء إى أ

قغط ذت اى أقغطا إ بلل بثيؼذه ثArtinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi

kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,

hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi

sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah

surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan

hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah

mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (QS al-Hujurat

[49]:9)24

Hadits Nabi saw

شح قبه قبه يخ جب إص ػ أث ش اىص عي ػي صي للا سعاللل

ديو دش ب أ إه صيذب أدو دشا غي اى ثArtinya : “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Perdamaian itu boleh antara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang menghalalkan yang haram atau

mengharamkan yang halal (HR. Abu Dawud).25

23

Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an, (Bandung: Angkasa, 2004),

187 24

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi,...199 25

Munzier Suprapta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), 89

Yang dimaksud perdamaian atau shulhu disini adalah mengenahi hutang

piutang yang rentan dengan perselisihan dan perlu dengan diantisipasi dengan

cara perdamaian.

2. Sulhu Ibra‟

Shulhu Ibra yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi

haknya, shulhu ibra‟ ini tidak terikat oleh akad. Dalam artian suatu cara

menyelesaikan masalah hutang dengan melepaskan, mengikhlaskan,

atau menghapuskan hutang seseorang oleh pemberi hutang.

3. Tasamuh

Dasar hukumnya adalah hadis Nabi Saw: عي صي للا ه للا سع ب أ ػ للا سض ػجذ للا ػ جب ثش ث

إراقزض إرا شزش ذب إرا ثبع سجو ع للا قبه سدArtinya : “Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Allah mengasihi orang orang yang bermurah hati ketika

menjual, ketika membeli dan ketika menagih hutang )HR

Bukhari).26

Dalam hal ini diharapkan pihak yang berpiutang agar

memberikan kelonggaran atau bermurah hati dan tidak melakukan

pemaksaan ketika melakukan penagihan karena hal inilah sikap luhur

yang diajarkan agama Islam yang hendaknya dipraktekkan setiap

muslim.

4. Wakalah

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, wakalah adalah “akad penyerahan

kekuasaan dimana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai

gantinya untuk bertindak”.

a) Dasar Hukum Wakalah

Ijma ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang

sebagai bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang

diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SW berfirman

dalam QS. al-Maidah ayat 2:

26

Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka

Setia, 2000), 90

ال ال ٱىذ ش ٱىذشا ال ٱىش ئش ٱلل ا شؼ ا ال رذي ءا ب ٱى ز ؤ

ث س فضل جزغ ذ ٱىذشا ٱىج ال ءا ئذ إرا ٱىقي ب سض

ش ن ال جش فٱصطبدا غجذ دييز ٱى ػ م أ صذ ق ا

ث ا ػي ٱل ال رؼب ٱىز ق ا ػي ٱىجش رؼب

أ رؼزذا ٱىذشا

ٱر قا ٱىؼذ شذذ ٱىؼقبة ٱلل إ ٢ٱلل

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong

dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah

kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya.” (QS. Al Maidah [5]:2)27

Sedangkan dasar dalam hadis adalah riwayat yang menyatakan

bahwa Rasulullah Saw mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang

Anshar untuk mewakili beliau ketika mengawini Maimunah binti Harits.

(HR. Malik)28

5. Kafalah

Menurut Abdul Rahman Ghazaly, kafalah/dhaman adalah transaksi

yang menggabungkan dua tanggungan (beban) untuk memenuhi kewajiban

baik berupa utang, uang, barang, pekerjaan, maupun badan.

a. Landasan Hukum

و د جبءث ى يل ا ع اى قب ىا فقذ ص صػ أب ث ش ثؼ

Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan

piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya

akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban

unta, dan aku menjamin terhadapnya”. (QS. Yusuf

[12]:72)29

b. Yang harus dipenuhi dalam transaksi kafalah yang harus

dipenuhi dalam transaksi kafalah

1) Kafiil, yang dimaksud adalah orang yang

berkewajiban melakukan tanggungan makful bihi)

orang yang bertindak seagai kafil disyaratkan orang

27

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi,...204 28

Munzier Suprapta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), 93 29

Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an,...191

dewasa baligh, berakal, berhak penuh untuk bertindak

untuk urusan hartanya, dan rela dengan kafalah.

2) Ashil/makful anhu yaitu orang yang berutang yaitu

orang ang di tanggung. Tidak disyaratkan baligh

berkala kehadiran dan kerelaan dengan kafalah.

3) Makful anhu yaitu orang yang memberi utang

(berpiutang). Disyaratkan dketahui dan dikenal oleh

orang yang menjamin. Hal ini supaya lebih udah dan

disiplin.

4) Makful bihi yaitu sesuatu yang dijamin berupa orang

atau barang atau pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh

orang yang keadaannya ditanggung.

5) Lafal yaitu lafal yang menunjukkan arti menjamin.

c. Macam-macam kafalah

1) Kafalah Jiwa (Kafalah bi Al-Wajhi) disebut juga jaminan

muka,.yaitu keharusan bagi si kafil untuk menghadirkan

orang yang ia tanggung kepada orang yang ia janjikan

tanggungan (makful lahu/orang yang berpiutang). Kafalah

Jiwa (Kafalah bi Al-Wajhi) disebut juga jaminan muka .

yaitu keharusan bagi si kafil untuk menghadirkan orang

yang ia tanggung kepada orang yang ia janjikan tanggungan

(makful lahu/orang yang berpiutang).

2) Kafalah Harta (Kafalah bil Maal) adalah kewajiban yang

harus dipenuhi kafil dengan pemenuhan berupa harta.

Dalam Kafalah harta terdapat tiga jenis, yaitu

Kafalah bi Al-Dayn, Kafalah dengan penyerahan benda,

dan Kafalah dengan „aib. Berikut penjelasannya:

(a) Kafalah bi Al-Dayn adalah kewajiban membayar hutang

yang menjadi tanggungan orang lain. Hal ini didasari

oleh hdits Nabi yang artinya “Shalatkanlah dia dan saya

akan membayar hutangnya, Rasulullah kemudian

menshalatkannya” (HR Bukhari).30

Disyaratkan dalam utang tersebut sebagai berikut:

1. Hendaknya nilai tang tersebut tetap pada waktu

terjadi transaksi jaminan.

2. Barangnya diketahui.

(b) Kafalah dengan menyerahkan materi

Kewajiban menyerahkan benda tertentu yang ada

di tangan orang lain, seperti menyerahkan barang jualan

kepada pembeli, mengembalikan barang yang dighasab

dan sebagainya.

(c) Kafalah dengan aib

Yaitu menjamin barang dikhawatirkan benda yang

akan dijual tersebut terdapat masalah atau aib dan cacat

(bahaya) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-

hal lain.

6. Hiwalah

Hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang

yang yang berutang al-Muadin kepada orang lain yang dibebani

tanggungan pembayaran utang tersebut.

a) Dasar hukum

Yang menjadi dasar dari akad hiwalah adalah

hadits Nabi Muhammad SAW.

شح سض أث ش ػ عي ػي سع ه للا أ ػ للا

ي فيزجغ ػي فئر أرجغ أدذم ظي طو اىخ قبه Artinya : “Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw

bersabda: Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya

(mampu) merupakan penganiayaan, dan apabila seseorang

30

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutyara Sumber Widya,2000), 89

diantara kamu utangnya dialihkan kepada orang kaya

(mampu) maka hendaklah ia menerimanya.”31

Ajaran Islam yang bersandarkan kepada al-Qur‟an dan Hadis Nabi

SAW mengakui kemungkinan terjadinya utang-piutang dalam usaha

(muamalah) atau karena kebutuhan mendesak untuk memenuhi

kebutuhannya. Allah SWT memerintahkan kita untuk berkomitmen terhadap

akad yang sudah disepakati bersama sebagaimana firman-Nya:

ن ػي ب زي إال ؼ خ ٱل فا ثٱىؼقد أدي ذ ىن ث ا أ ءا ب ٱى ز ؤ ش

ب شذ ذن ٱلل إ دش أز ذ ذي ٱىص ٨

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan

kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan

berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya

Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."

(QS. al-Maidah: 1)32

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa para pihak yang

terkait dalam suatu perjanjian (akad) wajib memenuhi klausul-klausul yang

telah disepakati dalam perjanjian. Karena itu pihak yang berutang (debitur)

wajib memenuhi kewajibannya, yaitu membayar lunas utangnya sebagaimana

yang telah disepakati dalam perjanjian (akad) utang piutang yang telah

dibuatnya.

Dalam mengatasi kredit macet atau bermasalah, toko bangunan

Sumber Makmur Pegandon Kendal melakukan penyelamatan dengan langkah

penjadwalan kembali (rescheduling) bagi konsumen yang mengalami

penunggakan piutang. Ketika nasabah mengalami ingkar janji phak toko telah

melakukan pemberian tangguh untuk konsumen yang menunggak piutang.

Pemberian tangguh itu sesuai dengan firman Allah SWT:

31

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman,Mushtalah Al Hadits, (Yogyakarta:

Media Hidayah, 2011), 87

32Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an,...178

رؼي إ مز ش ى ن قا خ أ رصذ غشح ر ػغشح فظشح إى إ مب

Artinya; “Jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka

berilah tangguh sampai dia berkelapangan”. (QS. Al-

Baqarah [2]:280)33

Dilihat dari cara yang dilakukan Bank BRI Syariah Kota Cirebon dalam

menangani kredit macet, dapat diketahui bahwan penanganan kredit macet di

Bank BRI Syariah Kota Cirebon tersebut menggunakan beberapa cara

diantaranya memberikan toleransi kepada nasabah, dari pemberian toleransi

yang berupa mempertimbangkan komitmen dari nasabah yang akan

membayar piutangnya pada hari atau tanggal tertentu, dan dibuktikan dengan

ditulis kembali pada nota baru (rescheduling).34

Hal ini sesuai dengan konsep

Islam tentang toleransi (tasamuh) sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut

ini:

عي س ع ه اىو صو اىو ػي ػب أ للا سض ػجذ للا جبثش ث ػ

إرا إرا شزش سجو عذب إر ثب ع للا اقزض قبه سد

Artinya : “Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Allah

mengasihi orang orang yang bermurah hati ketika menjual, ketika

membeli dan ketika menagih hutang (HR Bukhari).35

Kemudian setelah pihak bank memberikan toleransi, tahapan

berikutnya yaitu musyawarah. Dalam prakteknya, Bank BRI Syariah Kota

Cirebon setelah adanya pemberian toleransi kepada nasabah bermasalah,

pihak bank langsung mendatangi pihak yang bermasalah untuk melakukan

pembicaraan mengenahi masalah piutang yang tak kunjung dibayarkan. Di

dalam pembicaraan tersebut terdapat pihak konsumen dan keluarga lain,

biasanya istri konsumen serta pemilik dengan juru tagih dalam hal ini

biasanya supir untuk membicarakan bagaimana solusi atas masalah kredit

macet tak tertagih yang harus diselesaiakan secepatnya sampai terjadinya

kesepakatan antara kedua pihak kemudian ditulis kembali pada nota

(reconditioning). hal ini sesuai dengan konsep ekonomi Islam yaitu shulhu,

33

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi,...191 34

Hasil Observasi dari Bapak Muchtadi Refriyanto Selaku Operation Manager Bank

BRI Syariah Kantor Cabang Kota Cirebon Pada Pukul 24 Januari Pukul 09:15 WIB 35

Munzier Suprapta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), 95

yaitu suatu akad untuk mengakhiri perlawanan atau perselisihan antara dua

orang yang berlawanan Yang di maksud disini adalah akad untuk

menyelesaikan suatu masalah utang piutang atau penyelesaian sehingga

menjadi perdamaian, dengan cara melakukan shulhu (keringanan) tanpa

penyelesaian melalui jalur hukum.36

Selama ini Bank BRI Syariah Kota Cirebon belum sekalipun

membawa masalah – malash piutangnya ke dalam jalur hukum.37

Karena

menyelesaikan masalah dengan perdamaian itu lebih baik, sesuai dengan

firman Allah SWT:

ب أ صيذب إػشاضب فل جبح ػي ثؼيب شصا أ شأح خبفذ ٱ إ رز قا فئ إ رذغا

خ أدضشد ٱلفظ ٱىش ش يخ خ ٱىص ب صيذب ث

خج ي ب رؼ ث مب ٨٢١شا ٱلل

Artinya:“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz

atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan

perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi

mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika

kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara

dirimu (dari nusyuz, sikap tidak acuh dan bertindak tidak adil),

maka sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu

kerjakan.” (QS. An-nisaa:128)38

Kemudian dari syarat dan rukun shulhu, penanganan piutang tak tertagih

atau kredit macet yang dilakukan Bank BRI Syariah Kota Cirebon bila dicermati

dan diamati juga mengikuti syarat shulhu yaitu:

a) Syarat yang berhubungan dengan mushalih (orang yang berdamai) yaitu

pihak bank dan pihak nasabah)

b) Syarat yang berhubungan dengan mushalih bih yaitu objek yang

dijadikan jaminan

36

Hasil wawancara dengan Bapak Hendra Gunawan, Financing Support Assistant

Manager/Manager BRI Syariah Kantor Cabang kota Cirebon, Wawancara, 19 Januari 2017 37

Hasil wawancara dengan Bapak Uus Kusnawan selaku Micro Karketing Manager

Bank BRI Syariah Kantor Cabang Kota Cirebon pada tanggal 22 Januari 2017 Pukul 13:00 WIB 38

Bachtiar Surin, Az-Zikra Terjemah dan Tafsir Al-Qur‟an,...172

c) Syarat yang berhubungan dengan mushalih „anhu yaitu sesuatu yang

diperkirakan termasuk hak manusia yang boleh dijadwalkan (diganti).

Yaitu masalah kredit macet dari nasabah.39

D. Kredit

1. Pengertian Kredit

Kredit berasal dari kata credere yaitu baha italia yang artinya

percaya, jadi orang yang mendapat kredit dari bank berarti orang tersebut

dipercaya oleh bank untuk mendapat jaminan.

Pengertian kredit, menurut Veithzal Rivai dan Perata Veithzal

kredit adalah penyerahan barang, jasa atau uang dari satu pihak (kreditor

atau pemberi pinjaman) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain (nasabah

atau pengutang/ borrower) dengan janji membayar dari penerima krredit

kepada pemberi kredit pada tanggal yang telah disepakati kedua belah

pihak.

Menurut syamsu Iskandar, kredit merupakan piutang bagi bank

atau lembaga keuangan bukan bank, maka pelunasannya merupakan

kewajiban yang harus dilakukan oleh debitur terhadap utangnya, sehingga

resiko kredit macet dapat dihindarkan.40

Pengertian kredit menurut pasal 1 ayat 11 UU No 10 kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.41

2. Unsur-unsur kredit

Ada beberapa unsur yang terkandung dalam pemberian suatu

fasilitas kredit:

39

Hasil wawancara dengan Bapak Annas Riezki R selaku Marketing Manager Bank

BRI Syariah Kantor Cabang Kota Cirebon pada tanggal 20 Januari 2017 Pukul 10.00 WIB 40

Muhammad Abdul Kadir dan Murniati, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: PT Citra aditya Bakti), 78

41 Munir Fuady, Hukum Bisnis (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung; PT Citra Aditya Bakti

2002), 45

1) Kepercayaan

Di mana pihak perbankan memiliki kepercayaan terhadap

pihak penjamin, kepercayaan ini dapat diperoleh pihak bank

bila telah melakukan analisis pada saat mengajukan proposal,

sesuai dengan prosedur terhadap pihak peminjam.

2) Kesepakatan

Pada saat proposal pengajuan kredit telah disetujui oleh pihak

bank yang bersangkutan bank yang bersangkutan selanjutnya

dilakukan kotrak kesepakatan dan ditandatangani oleh pihak

bank dan pihak peminjam.

3) Jangka waktu

Setiap kredit yang diajukan pasti terdapat jangka waktu

tertentu, hal ini akan disesuaikan dengan jangka waktu yang

telah disepakati pada saat kontrak kesepakatan. Jangka waktu

dapat berbentuk jangka pendek, jangka menengah, atau pun

jangka panjang.42

4) Risiko

Semakin panjang waktu pinjaman maka akan membuat

pengembalian pokok dan bunganya jauh lebih besar bila kita

memilih jangka pendek karena hal ini akan berkaitan dengan

risiko tidak tertagihnya kredit. Sebab sejauh ini yang

menanggung risiko adalah pihak bank.

5) Balas jasa

Balas jasa di dalam bank umum adalah berupa bunga dan

biaya administrasi. Hal ini merupakan keuntungan yang

dapat diperoleh oleh pihak bank.43

42

Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama 2015), 55 43

Arie Iindra, Bank dan Lembaga Keuangan, Yogyakarta; Leutika Prioa 2014, 58

3. Jenis-jenis kredit

Ada beberapa macam kredit yang diberikan oleh bank umum, bank

umum syariah, maupun bank perkreditran rakyat untuk masyarakat terdiri

dari beberapa jenis:

a) Dilihat dari jenis kegunaannya

1. Kredit investasi. Kredit ini diberikan kepada

perusahaan yang baru akan berdiri untuk keperluan

membangun pabrik baru. Yaitu, merupaka kredit yang

diberikan kepada pengusaha yang melakukan

investasi atau penanaman modal. Biasanya kredit

jenis ini memiliki jangka waktu yang relatif panjang

yaitu diatas 1 tahun. Contoh jenis kredit ini adalah

kredit untuk membangun pabrik atau menambah

kredit menambah pabrik atau menambah peralatan

pabrik seperti mesin-mesin.44

2. Kredit modal kerja. Kredit ini diberikan kepada

perusahaan yang telah berdiri, namun membutuhkan

dana untuk meningkatkan produksi dalam

operasionalnya. Misalny dalam hal membayar gaji

pegawai untuk membeli bahan baku. Kredit modal

kerja merupakan kredit yang digunakan sebagai

modal usaha. Biasanya kredit ini adalah untuk

memberli bahan baku, membayar gaji karyawan. Dan

modal kerja lainnya.

3. Kredit perdagangan, merupakan kredit yang diberikan

kepada para pedagang dalam rangka memperlancar

atau memperluas atau memperbesar kegiatan

perdagangannya. Contoh jenis kredit ini adalah untuk

44

Teguh Pudjono Muljono, Manajemen Perkreditan bagi Bank Komersial cetakan ke tiga,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 78

membeli barang dagangan yang diberikan kepada

para suplier atau agen.45

4. Kredit produktif, merupaka kredit yang dapat berupa

investasi, modal kerja, atau perdagangan. Dalam arti

kredit ii diberikan untuk diusahakan kembali sehingga

pengembalian kredit diharapkan dari hasil usha yang

dibiayai.

5. Kredit konsumtif, merupakan kredit yang digunakan

untuk keperluan pribadi misalnya keperluan

konsumsi, baik pangan, sandang, maupun papan.

Contoh jenis kredit ini adalah kredit perumahan dan

kredit kendaraan bermotor, yang kesemuanya untuk

dipakai sendiri.46

6. Kredit profesi, merupakan kredit yang diberikan

kepada para kalangan profesional seperti dosen,

dokter, atau pengacara.47

b) Diliat dari segi sektor usaha

a. Kredit pertanian, diberikan untuk membiayai sektor

perkebunan atau pertanian rakyat.

b. Kredit peternakan, diberikan untuk jangka pendek

misalnya untuk pternakan ayam; dan jangka panjang

misalnya untuk kambing ataupun sapi.

c. Kredit industri, diberikan untuk membiayai

pembangunan atau pembelian rumah.48

45

Dicki Hartanto, Bank dan Lembaga Keuangan lain, (Yogyakarta: Aswaja Pressido,

2012), 67 46

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung; PT Citra

Aditya Bakti, 1993), 65 47

Arie Iindra, Bank dan Lembaga Keuangan, (Yogyakarta; Leutika Prioa 2014), 59 48

Muhammad Abdul Kadir dan Murniati, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: PT Citra aditya Bakti), 80

4. Fungsi kredit

Veitzhal Rivai dan Andria Permata Veitzhal kredit mempunyai

peran yang sangat dalam perekonomian. Secara garis besar fungsi kredit di

dalam perekonomian, perdagangan, dan keuangan dapat dikemukakakn

sebagai berikut:

1. Kredit dapat meningkatkan utility (daya guna) dari modal/uang

2. Kredit meningkatkan utility (daya guna) suatu barang

3. Kredit meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

4. Kredit menimbulkan kegairahan masyaratakat

5. Kredit sebagai alat stabilitas ekonomi

6. Kredit sebagai jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional

7. Kredit sebagai alat hubungan ekonomi internasional

5. Jaminan Kredit

Dalam melakukan peminjaman, pihak peminjam dapat membeikan

jaminan atau tanpa jaminan. Namun di Indonesia pihak bank selama ini

masih memberikan pinjaman dengan jaminan sedangkan untuk pinjaman

tanpa jaminan belum lazim diterapkan di Indonesia. Adapun jaminan yang

dapat dijadikan jaminan kredit leh calon bank yang akan memberikan

pinjaman adalah sebagai berikut:49

a. Jaminan benda berwujud yaitu barang-barang yang dapat

dijadikan jaminan seperti:50

1) Tanah

2) Bangunan

3) Kendaraan bermotor

4) Barang dagangan, dan

5) Tanaman51

49

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta; kencana Media

Group Kasmir, PT Raja Grafindo Persada, 2008), 62 50

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta; Intermedia, 1997), 87 51

Antonio Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (jakarta: Gema

Insani. 2001), 67

b. Jaminan benda tidak berwujud yaitu benda yang merupakan

sura-surat yang dijadikan jaminan seperti:

1. Sertifikat saham

2. Sertifikat obligasi

3. Sertifikat deposito, dan

4. Wesel.52

6. Prosedur pemberian kredit

Menurut Rachmat Firdaus dan Maya Arianti, langkah-langkah yang

umum dalam prosedur perkreditan yaitu:

a) Persiapan kredit

Kegiatan tahap permulaan dengan maksud untuk saling mengetahui

informasi dasar antara calon debitur dengan bank, terutama calon

debitur yang baru pertama kali akan mengajukan kredit kepada

bank yang bersangkutan, biasanya dilakukan wawancara atau lain-

lain.

b) Analisis kredit atau penilaian kredit

Dalam tahap ini diadakan penilaian yang mendalam tentang

keadaan usaha atau proyek permohon kredit.

c) Keputusan kredit

Atas dasar laporan hasil analisis kredit, maka pihak melalui pihak

pemutus kredit, baik berupa seorang pejabat yang ditunjuk atau

pimpinan bank tersebut maupun berupa satu komite dengan

anggota lebih dari satu orang pejabat seseuai dengan yang tertuang

dalam kebiajaka perkreditan bank masing-masing dapat

memutuskan apakah permohonan kredit tersebut layak untuk diberi

kredit atau tidak.53

d) Pelaksanaan dan administrasi kredit

Setelah calon peminjam mempelajari dan menyetujui isi keputusan

keredit serta bank telah menerima dan meneliti semua persyaratan

52

Arie Iindra, Bank dan Lembaga Keuangan, Yogyakarta; Leutika Prioa 2014, 61 53

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya

Bakti, 1993), 87

kredit dari calon peminjaman terutama surat-surat asli bukti

jaminan, fotocopy izin usaha dan tempat usaha, fotocopy NPWP

dan bukti pembayaran pajak tahun terakhir dan sebagainya, maka

kedua belah pihak menandatangani perjanjian kredit serta syarat-

syarat umum pemberian kredit, beserta lampiran-lampiran.54

7. Syarat-syarat Pemberian Kredit

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemberia kredit didasarkan

atas kepercayaan. Selain kepercayaan syarat-syarat pemberian kredit

adalah sebagai berikut:55

a. Karakter (character)

Suatu keadaan yang berhubungan dengan sifat, kejujuran, dan

itikad baik ari kredit dalam kehidupan ekonomi atau usahanya.

Pemberian kredit perlu meneliti kebiasaan dan kepribadian

pemohon sebelum memutuskan untuk memberikan kredit.

b. Kemampuan (capacity)

Keharusan yang berhubungan dengan kemampuan,

kepandaian, dan keahlian pemohon kredit untuk mengelola

usahanya. Dari penelitian tersebut, pemberi kredit dapat

mengambil kesimpulan apakah pemohon mampu atau tidak

mampu untuk mengembalikan kredit.

c. Modal (capital)

Penerima kredit harus mememiliki modal sendiri. Pinjaman

atau kredit hanya digunakan sebagai pendorong untuk

perkembangan usahanya.

d. Jaminan (collaterol)

Si peminjam harus menyediakan jaminan untuk mendapat

kredit. Kalau kredit tidak dapat dikembalikan, maka jaminan

ini akan dijual untuk mengembalikan kredit yang dipakai.

54

Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama 2015), 89 55

Dicki Hartanto, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta; Aswaja Pressindo,

2012), 99

Jaminan ini bisa berupa harta tetap seperti tanah, rumah,

ataupun surat-surat berharga.

e. Kondisi ekonomi (condition of economy)

Suatu keadaan ekonomi yang sedang berlangsung dan ramalan

keadaan ekonomi pada masa mendatang. Jika pemberi kredit

memperkirakan bahwa perekonomian baik maka kredit akan

diberikan. Begitu pun sebaliknya.56

Disamping kelima syarat diatas, prinsip 3R dalam pemberian

kredit. Prinsip 3R:57

a. Returns. Prinsip ini berkaitan dengan kemampuan yang

mendatangkan keberhaslan dari kredit yang diberikan.

b. Repayment. Prinsip ini berkaitan dengan kemampuan

mengembalikan kredit.

c. Risk. Prinsip ini berkaitan dengan kemampuan peminjam

dalam menanggug risiko ketidakmampuan pengembalia kredit.

Hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit:

1. Jangka waktu kredit

2. Suku bunga,

3. Cara pembayaran,

4. Agunan/jaminan kredit

5. Biaya administrasi, dan

6. Asuransi jiwa dan tagihan.58

8. Prinsip-prinsip pemberian kredit

Dalam memberikan kredit agar masing-masing pihak merasa aman

maka ada hal-hal yang perlu diperhatikan oleh masing-masing pihak.59

Pihak perbankan akan melakukan penilaian pada calon peminjaman

dengan kriteria 7p, berikut penjelasannya:60

56

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan , (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), 75 57

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta; Intermedia, 1997), 87 58

Arie Iindra, Bank dan Lembaga Keuangan, Yogyakarta; Leutika Prioa 2014, 61-62 59

Andi Soemitra, Bank dan Lembaga keuangan Syariah, (Jakarta; Kencana, Juni 2009) 60

Arie Indra, Bank dan Lembaga Keuangan, (Yogyakarta; Leutika Prioa, 2014)

1) Personality

Personality merupakan sikap, emosi, tingkah laku, dan

tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah.

2) Party

Menggolongkan nasabh berdasarkan klasifikasinya masing-

masing, misalnya nasabah yang loyal secara karakter atau

modal.

3) Purpose

Hal ini untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil

kredit, tujuan pengembalian kredit misalnya untuk modal

kerja atau investasi.

4) Prospect

Pihak bank dalam hal ini akan menilai seberapa

mengutungkan prospek ushaa nasabah yang mengajukan

kredit.

5) Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan

kredit yang telah diambiol atau dari mana saja dana untuk

pengembalian kredit.

6) Profitabilitas

Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan

jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat

berupa jaminan atau jaminan asuransi.

7) Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan

jaminan mendapakan perlindungan. Perlindungan dapat

berupa jaminan barang atau jaminan asuransi.61

61

Arie Iindra, Bank dan Lembaga Keuangan, Yogyakarta; Leutika Prioa 2014, 63-64

9. Ananlisis Kredit

Menurut Lukman Dendawijaya analisis kredit yaitu suatu proses

yang dimaksudkan untuk menganalisis atau menilai suatu permohonan

kredit yang diajukan oleh calon debitur kredit sehingga dapat memberikan

keyakinan kepada phak bank bahwa proyek yang aka dibiayai dengan

kredit bank cukup layak.

Analisis kredit dilakukan agar kredit yang diberikan mencapai

sasaran, yaitu aman. Artiya kredit tersebut harus diterima kembali

pengembaliannya secara tertib, teratur dan tepat waktu sesuai dengan

perjanjian antara bank dengan nasabah sebagai penerima dan pemakai

kredit. Selain itu, dengan tujuan terarah, artinya kredit yang diberikan

tersebut akan digunakan akan untuk tujuan seperti yang dimaksud dalam

permohonan kredit dan sesuai dengan peraturan dan kesepakatan ketika

disayaratkan dalam akad kredit.62

Analisis kredit amat penting, karena analisis kredit dapat untuk:

1. Menentukan berbagai risiko yang akan dihadapi oleh bank

dalam memberikan kredit kepada seseorang atau badan usaha.

2. Mengantisipasi kemungkinan pelunasan kredit.

3. Mengetahui jenis kredit, jumlah kredit, dan jangka waktu kredit

yang dibutuhkan oleh usaha debitur.

4. Mengetahui kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi

kreditnya.63

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa analisis kredit

merupakan peralatan yang sangat penting untuk pengambilan

keputusan yang tepat apakah kredit diberikan atau tidak. Analisis

kredit yang baik haruslah menemui persayaratan:

1. Analisis hendaknya lengkap meliputi semua aspek dari

pemohon.

62

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan , (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), 81 63

Dicki Hartanto, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta; Aswaja Pressindo,

2012), 54

2. Semua aspek tersebut hendaknya dianalisis secara objektif

dalam arti semua aspek kekuatan dan kelemahan dari

pemohon dapat dianalisis.

3. Analisis mengandung penilaian yang tegas dan jelas,

sehingga memudahkan untuk pengembalian keputusan.64

E. Penyelamatan dan Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah/Macet

1. Pengertian kredit bermasalah

Ada beberapa pengertian kredit bermasalah, yaitu sebagai berikut:

a. Kredit yang di dalam pelaksanaannya belum mecapai/memenuhi

target yang diinginkan bank.

b. Kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko di kemudian hari

bagi bank dalam arti luas.

c. Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya,

baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan atau

pembayaran bunga, denda keterlambatan, serta ongkos-ongkos bank

yang menjadi beban debitur.

d. Kredit di mana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama

apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan

diperkirakan tidak cukup membayar kembali kredit sehingga belum

mencapai/memenuhi target yang diinginkan oleh bank.

e. Kredit di mana terjadi cedera janji dalam pembayaran kembali sesuai

perjanjian sehingga terdapat tunggakan, atau ada potensi kerugian

diperusahaan debitur sehingga memiliki kemungkinan timbulnya

risiko dikemudian hari bagi bank dalam arti luas.65

f. Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajibannya

terhadap bank, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya,

pembayaran bunga maupun pembayaran ongkos-ongkos bank yang

menjadi beban nasabah debitur yang bersangkutan

64

Antonio Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (jakarta: Gema

Insani. 2001), 71 65

Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan edisi ke empat, (Jakarta; PT Gramedia

Pustaka Utama), 77

g. Kredit golongan perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan

macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak.

Bagi bank, semakin dini menganggap kredit yang diberikan menjadi

bermasalah, semakin baik karena akan berdampak semakin dini pula dalam

upaya penyelamatannya sehingga tidak terlanjur parah yang berakibat

semakin sulit penyelesaiannya.66

2. Sebab-sebab pembiayaan bermasalah

Dalam penjelasan pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. UU

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan maupun dalam Penjelasan Pasal 37

UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah antara lain dinyatakan

bahwa kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh

bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus

memperhatikan asa-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah yang sehat.

Apabila bank tidak memperhatikan asas-asas pembiayaan yang sehat

dalam menyalurkan pembiayaan, maka akan timbul berbagai risiko yang harus

ditanggung oleh bank antara lain berupa:

a) Utang/kewajiban pokok pembiayaan tidak dibayar.

b) Margin/bagi hasil/fee tidak dibayar.

c) Membengkaknya biaya yang dikeluarkan.

d) Turunnya kesehatan pembiayaan.67

3. Sebab-sebab terjadinya kredit bermasalah

Dalam penyaluran kredit, tidak selamanya kredit yang diberikan bank

kepada debitur akan berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan di dalam

perjanjian kredit. Kondisi lingkungan eksternal dan internal dari sisi

nasabah/debitur da sisi bank), dapat mempengaruhi kelancaran kewajiban

debitur kepada bank sehingga kredit yang telah disalurkan kepada debitur

berpotensi atau menyebabkan kegagalan.

66

Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama 2015),55 67

Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama 2015), 60

Kondisi lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi kegagalan

dalam pemberian kredit, antara lain sebagai berikut:

a. Perubahan kondisi ekonomi dan kebijakan/peraturan yang

mempengaruhi segmen/bidang usaha debitur. Perubahan tersebut

merupakan tantangan terus menerus yang dihadapi oleh pemilik dan

pengelola perusahaan. Kunci sukses dari usaha adalah kemampuan

menganalisa perubahan dan fleksibel dalam mengelola usahanya

b. Tingkat persainga yang tinggi, perubahan teknologi, dan perubahan

preferensi pelanggan sehingga mengganggu prospek usaha debitur

atau menyebabkan usaha debitur sulit untuk tumbuh sesuai dengan

target bisnisnya.

c. Faktor risiko geografis terkait dengan bencana alam yang

mempengaruhi usaha debitur.68

Terkait dengan kondisi internal, kegagal debitur dalam memenuhi

kewajibannya kepada bank yang menyebabkan kredit menjadi bermasalah

(NPL), dapat dilihat dari dua sisi (dari sisi debitur dan dari sisi bank), yaitu

berikut ini:69

a. Dari sisi debitur

1) Sikap kooperatif debitur menurun dan adanya itikad yang

kurang baik dari debitur atau manajemen perusahaan.

2) Kredit yang diterima tidak digunakan untuk tujuan yang

seharusnya sebagaimana yang diperjanjikan dengan bank.

3) Strategi usaha tidak tepat

4) Konflik di dalam manajemen, organisasi dan kepegawaian

(untuk debitur yang merupakan badan usaha) yang berpengaruh

terhadap aktivitas bisnis perusahaan.

b. Dari sisi bank

68

Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risikko Perbankan Syariah di Indonesia,

Jakarta; Salemba Empat (9 oktober 2016), 78 69

Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan edisi ke empat, (Jakarta; PT Gramedia

Pustaka Utama), 88

1) Analisis kredit yang kurang memadai dari bank sehingga

terjadinya ketidaktepatan dalam penilaian risiko dan

mitigasinya, serta timbulnya ofer financing (kredit yang

diberikan lebih besar dari kebutuhan debitur).

2) Pemantauan terhadap fasilitas kredit yang telah diberikan

kepada debitur kurang memadai (lemah)

3) Adanya fraud yang dilakukan oleh karyawan bank terkait

dengan penyaluran kredit kepada debitur.

4) Penguasaan agunan yang lemah, baik dari objek/fisik agunan

maupun pengikatannya.70

4. Pembinaan kredit bermasalah

Upaya awal pengelolaan kredit bermasalah, agar diperoleh hasil yang

optimal, maka perlu dilakukan penagihan secara intensif terhadap debitur

bermasalah oleh bank yang juga dapat dikategorikan sebagai upaya pembinaan,

sebelum masuk dalam langkah penyelamatan.

Pembinaan kredit bermasalah merupakan upaya awal yang dilakukan

terhadap debitur kredit bermasalah merupakan upaya awal yang dilakukan

terhadap debitur kredit bermasalah sehingga dapat menjaga dan mengamankan

kepentingan bank atas fasilitas kredit yang telah disalurkan, serta dapat

memperoleh hasil yang optimal sebagaimana yang diharapkan sesuai dengan

tujuan awal pemberian kredit. Langkah yang dapat dilakukan dalam tahapan

pembinaan kredit. Langkah yang dapat dilakukan dalam tahapan pembinaan

kredit bermasalah ini antara lain melalui:71

a. Melakukan pendampingan kepada debitur bermasalah. Pendampingan

ini bertujuan untuk mengetahui apakah permasalahan kredit yang

terjadi murni karena aktivitas usaha (risiko bisnis) atau karena

kecurangan yang dilakukan debitur terhadap fasilitas kredit yang telah

diterimanya (tidak sesuai dengan tujuan diberikannya kredit). Jika

terkait permasalahan aktiitas usaha, pendampinganyang dilakukan

70

Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risikko Perbankan Syariah di Indonesia,

Jakarta; Salemba Empat (9 oktober 2016), 82 71

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan , (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), 90

bank dengan memberikan alternatif masukan/solusi yang dapat

membantu debitur keluar permasalahan usaha yang dialaminya.

Sebagai contoh, jika berdasarkan hasil analisis bank permasalahan

yang dihadapi debitur adalah karena ketidakefisienan dalam proses

produksi, bank dapat memberikan masukan untuk melakukan efisiensi

dalam proses produksi, seperti efisiensi dalam pos persediaan dengan

melakukan strategi just in time, dan sebagainya. Dari aktivitas

pendampingan tersebut, bank dapat menetapkan debitu mana yang

dapat dilakukan penyelamatan terhadap fasilitas kreditnya, dan mana

yang harus dilakukan penyelesaian terhadap fasilitas kreditnya.72

b. Selain itu, aktivitas pembinaan juga termasuk dalam hal melakukan

aktivitas penagihan secara intensif terhadap debitur bermasalah.

5.Upaya-upaya untuk Mengantisipasi Risiko Pembiayaan Bermasalah/Macet

Secara garis besar, penanggulangan pembiayaan bermasalah dapat

dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat preventif dan upaya-upaya yang

bersifat respresif/kuratif.73

Upaya-upaya yang bersifat preventif (pencegahan) dilakukan oleh bank

sejak permohonan pembiayaan diajukan nsabah, pelaksanaan analisa yang

akurat terhadap data pembiayaan, pembuatan perjanjian pembiayaan yang

benar, pengikatan agunan yang menjamin kepentingan bank, sampai dengan

pemantauan atau pengawasan terhadap pembiayaan yang diberikan.

Sedangkan upaya-upaya yang bersifat represif/kuratif adalah upaya-

upaya penanggulangan yang bersifat penyelamatan atau penyelesaian terhadap

pembiayaan bermasalah (non performing financings/NPFs).

6. Penyelematan kredit bermasalah

Penyelamatan kredit bermasalah adalah serangkaian tindakan yang

dapat dilakukan bank terhadap debitur bermasalah untuk dapat memperbaiki

kinerja usaha debitur yang bersangkutan dan kualitas kreditnya, yang di

dasarkan atas hasil analisis bank, debitur tersebut masih mempunyai prospek

72

Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan edisi ke empat, (Jakarta; PT Gramedia

Pustaka Utama), 89 73

Herman Darwani, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 91

terkait aktivitas usaha yang dijalaninyada dapat melaksanakan kewajibannya

kepada bank sehingga dapat menjaga kepentingan bank dan melindungi bank

dari potensi risiko yang lebih besar.

Tindakan yang dapat dilakukan bank dalam penyelamatan kredit

bermasalah, anatara lain sebagai berikut:

a. Rescheduling, Reconditioning, dan Restructuring (R3)74

1) Rescheduling

Recheduling,75

yaitu perubahan syarat kredit hanya

menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk

masa tenggang (grace peroid) dan perubahan besarnya angsuran

kredit. Tentu tidak kepada semua debitur yang menunjukkan itikad

dan karakter yang jujur dan memiliki kemauan untuk membayar

atau melunasi kredit. Di samping itu, usaha debitur juga tidak

memerlukan tambahan dan atau likuiditas.76

a) Bentuk Rescheduling

1. Perpanjangan jangka waktu kredit

2. Perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan bunga

3. Perpanjangan jangk waktu pelunasan utang pokok dan

atau tunggakan angsuran kredit.

4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan

atau tunggakan angsuran, tunggakan bunga, serta

perubahan jumlah angsuran.

5. Perpanjangan jangka waktu pelunasan utang pokok dan

tunggakan bunga kredit.

b) Syarat Rescheduling

Perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut

jadwal pembayaran dan jangka waktu dan memperoleh

74

Yohanes Benny Apriyanto, Jurnal Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Bank DKI

Jakarta Cabang Solo Melalui jalur non lititgasi, Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta 2015, di

akses pada tanggal 18 Februari jam 23:00 WIB 75

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:

Kencana Media Group Kasmir, PT Raja Grafindo Persada, 2006), 52 76

Herman Darwani, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 87

fasilitas rescheduling hanyalah debitur yang memenuhi

persyaratan tertentu, antara lain sebagai berikut:

1. Usaha debitur memiliki prospek untuk bangkit kembali

2. Debitur menunjukkan itikad baik, yaitu memiliki

keinginan untuk membayar dan adanya keyakinan

bahwa debitur tetap berminat dan atau berniat untuk

terus mengelola usahanya.

3. Agunan yang dikuasai bank cukup meng-cover dan

memenuhi syarat yuridis.77

Dengan demikian, dasar melakukan rescheduling adalah

1. Hanya kesulitan likuidasi sementara

2. Nasabah kooperatif dan beritikad baik

3. Sarana produksi masih ada

4. Memiliki dana cukup

5. Perpanjangan jangka waktu tidak melebihi umur

teknis/ekonomi sarana produksi

Dalam proses rescheduling, tunggakan pokok dan bunga dijumlah

(dikapitalisasi) untuk kemudian dijadwalkan kembali pembayaran nya

untuk dibuat perjanjian rescheduling tersendiri.

2) Reconditioning (persyaratan ulang)

Reconditioning78

ialah perubahan sebagian atau seluruh syarat

kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka

waktu tingkat suku bunga, penundaan pembayaran sebagian atau seluruh

bunga dan persayaratan lainnya.79

Perubahan syarat kredit tersebut tidak

termasuk penambahan dana atau injeksi dan konversi sebagian atau

seluruh kredit menjadi „equity‟ perusahaan. Debitur yang bersifat jujur,

terbuka, dan cooperative yang usahanya sedang mengalami kesulitan

keuangan dan diperkirakan masih dapat beroperasi dengan

77

Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan edisi ke empat, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka

Utama), 95 78

Herman Darwani, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 90 79

Herman Darwani, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 89

menguntungkan, kreditnya dapat dipertimbangkan untuk dilakukan

persayratan ulang.

a) Bentuk Reconditioning

1. Perubahan tingkat suku bunga

2. Pemberian keringanan tunggakan bunga

3. Perubahan struktur permodalan perusahaan nasabah

4. Perubahan syarat disposisi kredit

5. Penambahan jaminan

b) Syarat Reconditioning

Perubahan sebagian atau seluruh syarat kredit yang tidak

terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan

persayaratan lain sepanjang tidak menyangkut maksimum kredit.

Dalam reconditioning ini, dapat pula diberikan kepada

debitur keringanan pembebasan sebagian bunga tertunggak atau

pemberhentian bunga bagi debitur yang bersifat jujur, beroperasi

dengan menguntungkan namun mengalami kesulitan keuangan.

3) Restructuring

Upaya penyelamatan dengan melakukan perubahan syarat-syarat

kredit yang menyangkut penambahan dana bank, konversi seluruh atau

sebagian tunggakan menjadi pokok kredit baru atau konversi seluruh

menjadi sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan dan equity bank,

yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning.80

a) Bentuk restructuring81

1. Penambahan kredit investasi pada alat-alat produksi rangka

meningkatkan kapasitas produksi yang optimal atau dalam

rangka meningkatkan efesiensi usahanya.

2. Penambahan kredit modal kerja untuk dapat meningkatkan

usahanya secara optimal.

80

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:

Kencana Media Group Kasmir, PT Raja Grafindo Persada, 2006), 91 81

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta;

Sinar Grafika, 2012), 45

3. Mengadakan penjualan aktiva yang tidak produktif untuk

menambah modal kerja/investasi pada alat-alat produksi

yang lebih tepat guna atau untuk menurunkan baki

debit/tunggakan bunga.

4. Penjualan aset yang tidak begitu pengaruh terhadap operaso

perusahaan.

b) Syarat restructuring

Tindakan resctructuring dapat diberikan kepada debitur yang

masih mempunyai itikad baik untuk melunasi kewajibannya dan

faktor-faktor yang mendukung tindakan restructuring, misalnya adanya

pemasaran produksi yang masih berfungsi baik dan masih dapat

ditingkatkan. Faktor lainnya adalah dikelolanya usaha nasabah oleh

manajemen yang profesional, dan mempekerjakan tenaga kerja yang

cukup terampil dan didukung oleh teknologi yang memadai untuk

produksi, nasabah tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan

bahan baku dan kondisi secara global masih cukup mendukung.82

b. Manajemen assistancy

Manajemen assistancy, yaitu bantuan kosultasi dan manajemen

profesional yang diberikan Bank pada nasabah yang masih mampu. Jika

langkah penyelamatan, maka dapat dipertimbangkan tindakan

penyelesaian kredit bermasalah. Namun, tindakan ini harus didasarkan

pembuktian secara kuantitatif merupakan tindakan yang paling

menguntungkan bagi bank.83

c. Debt to Equity Swap

Secara umum, debt to equity swap merupakan suatu kesepakatan

untuk menukar utang dengan saham (equity) di suatu perusahaan. Terkait

dengan perbankan (khususnya perkreditan), debt to equity swap

merupakan kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka

penyelamatan kredit dalam bentuk penyertaan modal oleh Bank pada

82

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:

Kencana Media Group Kasmir, PT Raja Grafindo Persada, 2006), 45 83

Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, (Jakarta; PT Bumi Aksara), 67

perusahaan debitur untuk mengatasi kegagalan kredit, yaitu dengan

mengubah utang debitur menjadi penyertaan modal bank pada perusahaan

debitur.84

Dari sudut pandang bank sebagai kreditur, debt to equity swap

dilakukan karena bank melihat perusahaan debitur memiliki potensi nilai

ekonomi yang sanagat bagus di masa mendatang walaupun saat ini kondisi

keuangan perusahaan debitur mengalami permasalahan.

Di pihak lain, debt to equity swap dari sudut pandang perusahaan

debitur merupakan salah satu bentuk restrukturisasi utang karena kondisi

keuangan yang tidak memungkinkan untuk melunasi kewajiban nya

kepada bank (pemberi jaminan).

Kriteria debitur yang dapat diberikan skim ini adalah

1. Usaha masih prospektif

2. Manajemen kooperatir, terbuka, dan beritikad baik.

d. Perjanjian Penyelesaian Hutang

Merupakan penyelesaian tunggakan kewajiban debitur secara

angsuran, yang didudukkan dalam suatu akta perjanjian penyelesaian

hutang. Tunggakan debitur yang dimaksud adalah tunggakan bunga dan

tunggakan kewajiban lainnya di luar hutang pokok, baik on balance sheet

maupun off balance sheet.

Kriteria debitur dapat diberikan skim ini adalah

1. Usaha masih prospektif

2. Manajemen kooperatif, terbuka dan beritikad baik.85

F. Strategi Penyelesaian Pembiayaan Kredit/Macet

Secara garis besar, usaha penyelesaian pembiayaan macet daoat dibedakan

berdasarkan kondisi hubungannya dengan nasabah debitur,86

yaitu sebagai

berikut:

84

Ditulis oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas

Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi, Islam, (Jakarta; Rajawali Pres,

2012), 85 85

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:

Kencana Media Group Kasmir, PT Raja Grafindo Persada, 2006), 85

1. Penyelesaian pembiayaan di mana pihak debitur masih kooperatif,

sehingga usaha penyelesaian dilakukan secara kerja sama anatara

debitur dan bank, yang dalam hal ini disebut sebagai “ penyelesaian

secara damai” atau “penyelesaia secara persuasif”.

2. Penyelesaian pembiayaan di mana pihak debitur tidak kooperatif lagi,

sehingga usaha penyelesaian dilakukan secara pemaksaan dengan

melandaskan pada pihak-pihak yang dimiliki oleh bank. Dalam hal ini

penyelesaian tersebut “penyelesaian secara paksa”.

Sumber-sumber penyelesaian pembiayaan antara lain berupa:

3. Barang-barang yang dijain kepada bank. Dalam fikih didasarkan

kepada prinsip rahn.

4. Jaminan perorangan, baik dari orang perorangan maupun dari badan

hukum, dalam fikih didasarkan kepada prinsip kafalah.

5. Seluruh harta kekayaan debitur dan pemberi jaminan (lihat pasal 1131

KUH Perdata), termasuk yang dalam bentuk piutang kepada bank

sendiri (kalau ada). Dalam fikih, hal ini antara lain didasarkan pada

Hadis Rasulullah saw, Sebagai berikut: Dari Ka‟ab bin Malik,

“Sesungguhnya Nabi saw pernah menyita harta milik Muaddz lalu

beliau menjualnya untuk membayar utangnya”. (HR. Imam

Daruquthni).87

6. Pembayaran dari pihak ketiga yang bersedia melunasi utang debitur.

Dalam fikih didasarkan kepada prinsip hawalah atau kafalah.88

Dengan dasar dan prinsip-prinsip tersebut, strategi penyelesaian

pembiayaan macet yang dapat ditempuh oleh bank adalah berupa tindakan-

tindakan sebagai berikut:

86

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

(Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 51 87

Munzier Suprapta, Ilmu Hadits, (Jakarta; Grafindo Persada, 2006), 45 88

Herman Darmawi, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta; PT Bumi Aksara,

2012), 13

a. Penyelesaian oleh Bank Sendiri

Penyelesaian oleh bank sendiri biasanya dilakukan secara bertahap. Pada

tahap pertama biasanya penagihan secara persuasif, dengan kemungkinan:

1. Nasabah melunasi atau mengangsur kewajiban pembiayaan

pinjamannya

2. Nasabah atau pihak ketiga pemilik agunan menjual sendiri barang

agunan secara sukarela

3. Dilaksanakan perjumpaan utang (kompensasi)89

4. Dilaksanakan pengalihan utang (pembaruan utang/novasi

subjektif); atau

5. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan

kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara

demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

para pihak (Pasal 29 ayat (1) huruf c UU No. 42 Tahun 1999

tentang Fidusia).90

Apabila tahap pertama tidak berhasil, bank melakukan upaya-upaya

tahap kedua dengan melakukan tekanan psikologis kepada debitur, berupa

peringatan tertulis dengan ancaman bahwa penyelesaian pembiayaan macet

tersebut akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam hal upaya-upaya tahap kedua belum juga berhasil. Bank dapat

menempuh upaya tahap ketiga, yaitu penjualan barang jaminan dibawah

tangan atas dasar kuasa dari debitur/ pemilik agunan. Dalam praktik,

walaupun telah ada surat kuasa dari debitur, namun tidak semua bank berani

untuk melakukan penjualan dibawah tangan atas agunan tersbut.

b. Penyelesaian Melalui Debt Collector

berdasarkan ketentuan-ketentuan KUH Perdata, Pasal 1320 tentang

syarat sahnya perjanjian dan Pasal 1792 tentang pemberian kuasa, bank juga

dapat memberikan kuasa kepada pihak lain yaitu debt collector, untuk

89

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Kencana, 2005), 75 90

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

(Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 87

melakukan upaya-upaya penagihan pembiayaan macet. Tentu dengan cara-

cara yang tidak melawan hukum dan ketentuan syariah.91

c. Penyelesaian Melalui Kantor Lelang

Meminta bantuan kantor lelang untuk melakukan:

1) Penjualan barang jaminan yang telah diikat dengan hak

tanggungan berdasarkan janji bahwa pemegang Hak

Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas

kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitur cidera

janji/beding van eigenmatige verkoop (Pasal 11 ayat (2) huruf e

jis. Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan).

2) Penjualan agunan melalui eksekusi gadai atas daasr parate

eksekusi (Pasal 1155 KUH Perdata).

3) Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas

keuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum

serta mengambil piutangnya dari hasil penjualan (Pasal 29 ayat

(1) huruf b UU No. 42 Tahun 1999).92

d. Penyelesaian Melalui Badan Peradilan

1) Gugat Perdata melalui Pengadilan Agama93

Perdailan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan

keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-

orang yang beragama Islam, yang sebelumnya berdasarkan Undang-

undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama hanya

berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah,

wakaf, zakat, infak, shadaqah, maka sekarang berdasarkan pasal 49

huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama,

91

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta; Kencana Media Group

Kasmir, PT Raja Grafindo Persada, 2008), 67 92

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggunan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), 25 93

Salim Haris, Perkembangan Hukum Jaminan di Indoesia, (Jakarta; Rajawali Pers, 2014),

62

kewenagan pengadilan Agama diperluas termasuk bidang ekonomi

syariah.94

Dengan penegasan dan peneguhan kewenangan pengadilan agama

untuk menyelesaiakan perkara ekonomi syariah, dalam penyelesaian

sengketa niaga atau bisnis, yang selama ini pengadilan yang diberi

tugas dan kewenangan adalah pengadilan negri/niaga yang berada

dalam lingkungan peradilan umum, maka setelah disahkannya UU No.

3 Tahun 2006 tersbut, menyangkut penyelesaian sengketa bisnis

khususnya berkaitan dengan ekonomi syariah, tugas dan

kewenangannya berada pada Peradilan Agama.95

2) Eksekusi Agama Melalui Pengadilan Agama/Pengadilan Negri

a. Pelaksaan titel eksekutoorial oleh Pemegang Hak Tanggungan

sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) UU No. 4 Tahun

1996 (Pasal 20 ayat (1) huruf b UU No.4 Tahun 1996)

b. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima Fidusia

sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 42

Tahun 1999 (Pasal 29 ayat (1) huruf a No. 42 Tahun 1999).

3) Permohonan Pailit Melalui Pengadilan Niaga

Berdasakan ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004 tentang kepailitan dan penundaaan kewajiban pembayaran

utang dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih

kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang

telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih kreditornya.

Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang di

atas, bank sebagai kreditor dalam rangka untuk mendapatkan

penyelesaian pembiayaan macet, dapat melakukan upaya hukum

pengajuan permohonan pailit. Dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 37

94

Arie Iindra, Bank dan Lembaga Keuangan, Yogyakarta; Leutika Prioa 2014, 95

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta;

Sinar Grafika, 2012), 88

Tahun 2004 tersebut ditegaskan bahwa, kurator berwenang

melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta

pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Yang dimaksud

dengan pemberesan adalah penguangan aktiva perseroan yang

pailit untuk membayar atau melunasi utangnya.96

Hadis Nabi menjelaskan: “Siapa yang menemukan

hartanya secara utuh di tangan orang pailit, maka ia lebih baik

berhak atas barang itu dari pada orang yang mempiutangi

lainnya” (HR, Al-Jama‟ah dari Samurah dan Ibn Jundab).97

e. Penyelesaian Melalui Badan Arbitrase

Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di

luar peradilan umum didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 Undang-undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian

sengketa / “UU Arbitrase”).

Lembaga arbitrase ini dapat dipergunakan untuk penyelesaian

pembiayaan macet, apabila dalam perjanjia/akad pembiayaan terdapat

klausul tenntang penyelesaian sengketa melalui arbitrase (factum de

compromittendo), atau telah dibuat perjanjian arbitrase tersendiri setelah

timbulnya sengketa (akta compromiso) (Pasal 1 angka 3 & Pasal 9 UU

Arbitrase).98

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Arbitrase, pengadilan negri (dan

pengadilan agama) tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian Arbitrase. Adanya perjanjian Arbitrase

yang dibuat secara tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam

perjanjiannya ke pengadilan negri (atau pengadilan agama) (Pasal 11 ayat

(1) UU Arbitrase).

96

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggunan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), 25 97

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta;

Sinar Grafika, 2012), 89 98

Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005), 67

Mengingat sengketa perbankan syariah merupakan sengketa perdata

dalam bidang bisnis, yang merupakan kewenangan arbitrase, maka

penyelesaian sengketa bank syariah dengan nasabah atau pihak lainnya

dapat menggunakan badan arbitrase syariah. Badan Arbitrase Syariah, pada

saat ini baru ada satu yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional, disingkat

BASYARNAS.99

f. Penyelesaian Melalui Direktoral Jendral Piutang dan Lelang Negara

Bagi bank-bank BUMN, ada kewajiban untuk menyerahkan

penyelesaian pembiayaan macet (piutang negara macet) kepada PUPN. Hal

ini didasarkan pada peraturan perundan-undangan sebagai berikut:

1) Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Pengurusan

Piutang Negara (UU Nomor 49 Prp Tahun 1960). Berdasakan

pasal 8,12, dan 14 UU tersebut di atasa, dapat disimpulkan bahwa

pembiayaan macet bank-bank BUMN adalah merupakan Piutang

Negara yang wajib diserahkan kepada PUPN dan pelaksanaannya

tunduk kepada keputusan Mentri Keuangan.100

2) Keputusan Mentri Keuangan RI No. 300 KMK.01/2002 tanggal

13 Juni 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara berdasarkan

pasal 2 Keputusan Mentri Keuangan RI N0\o. 300/KMK.01/2002

tanggal 13 Juni 2002 dapat disimpulkan bahwa penyelesaian

Piutang Negara dilakukan dengan cara:

a) Piutang negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri

oleh instansi pemerintah, lembaga negara, atau badan

usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki

oleh negara atau dimiliki oleh BUMN/BUMD sesuai

ketentuan perundang-undangan yang berlau (ayat (1)).

b) Dalam hal penyelesaian piytan negara pada ayat (1) tidak

berhasil, instansi pemerintah, lembaga negara, atau badan

99

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta;

Sinar Grafika, 2012), 90 100

Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, (Jakarta; Bumi Aksara), 89

usaha tersebut wajib menyerahkan pengurusan piutang

negara kepada PUPN (ayat (2)).101

3) Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005

tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negaa/Daerah. Dalam PP

ini, mengenai penghapusan bersyarat diatur sebagai berikut:

Penghapusan Secara bersyarat dan penghapusan secar mutlak

atas piutang perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (Pasal 19). Tata cara penghapusan secara berysarat

dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan

Negara/Daerah yang pengurusan piutangnya diserahkan

kepada PUPN, diatur lebih lanjut dengan Peratura Mentri

Keuangan (pasal 20).

Perkembangan selanjutnya, berdasarkan Peraturan

pemerintah No. 33 Tahun 2006 tentang perubahan atas

peraturan pemerintah no 14 Tahun 2005 tentang tata cara

penghapusan piutang Negara /Daerah, dan Keputusan Mentri

Keuangan RI No. 87/PMK.07/2006 tanggal 09-10-2006

tentang pengurusan piutang perusahaan Negara/Daera,

pemerintah telah mengubah ketentuan tentang pengurusan

piutang negara yang berasal dari BUMN/BUMD daerah,

menjadi tidak lagi diselesaikan oleh PUPN.102

Dengan terbitnya peraturan perundang-undangan

tersebut, terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai

pengurusan piutang BUMN/Daerah, yaitu sebagai berikut:103

a) Pengurusan piutang BUMN/Daerah selanjutnya

dilakukan sendiri oleh BUMN/Daerah berdasarkan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku Perseroan

terbatas dan BUMN serta peraturan pelaksanaannya.

101

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggunan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), 25 102

Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, (Jakarta; Bumi Aksara, 2011), 67 103

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta; PT Kencana. 2005), 77

b) Pengurusan piutang BUMN/Daerah tetap dilakukan

oleh PUPN selama tidak ada perubahan terhadap

ketentuan pasal 12 ayat (1) UU PUPN. Hal ini

disebabkan PP No. 33 Tahun 2006 dan PMK

No.87/PMK.07/2006 merupakan peraturan perundang-

undangan yang hirarkinya berada dibawah UU seingga

tidak dapat menyimpangi ketentuan pasal 12 ayat (1)

UU PUPN.

4) Namun dalam perkembangan peraturan perundang-undangan

yang mutakhir, penyelesaian piutang bermasalah pada bank

BUMN tidak lagi mendasarkan kepada UU No. 49 Prp Tahun

1960, melainkan diselesaikan berpedoman kepada UUPT dan

UUBUMN.104

Berdasarkan pasal 4 ayat (5) dan (6) UU No. 10 Tahun

2010 tentang APBN 2011, berbunyi sebagai berikut;105

Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan bagian pemerintah

atas laba BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian

piutang bermasalh pada BUMN di bidang usaha perbankan

dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Nomor 19

Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara beserta

peraturan pelaksanaannya (ayat (5)).

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian piutang

bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan

sebagaimana dimaksud pada (ayat (5)) di ataur dengan

peraturan Menteri Keuangan (ayat 6)).

Penjelasan Pasal 4 ayat (5) berbunyi sebagai berikut:

104

Yohanes Benny Apriyanto, Jurnal Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Bank DKI

Jakarta Cabang Solo Melalui jalur non lititgasi, Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta 2015, di

akses pada tanggal 18 Februari jam 23:00 WIB 105

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta; PT Kencana. 2005), 79

Sambil menunggu dilakukannya peruabahn Undang-undang

Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang panitia Urusan Piutang

Negara, dan dalam rangka mempercepat penyelesaian piutang

bermasalah pada BUMN di bidang usaha perbankan, dapat

dilakukan pengurusan piutangnya melalui mekanisme

pengelolaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang perseroan terbatas.

Sedangkan terkait dengan pemberian kewenangan kepada RUPS,

penyelesaian piutang bermasalh pada BUMN di bidang Usaha

perbankan didasarkan pada ketentuan perundang-undangan di

bidang badan usaha milk negara.106

Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (5) dan (6) UU No. 10 tahun 2010

beserta penjelasannya di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Khusus bagi BUMN di bidang usaha perbankan, penyelesaian

piutang bermasalah termasuk piutang macetnya untuk tahun

anggaran tahun 2011 tidak lagi berpedoman kepada Undang-

undang Prp Nomor 49 Tahun 1960, melainkan berpedoman kepada

UUPT dan UUBUMN.

2. Dengan demikian, Direksi BUMN dapat melakukan penyelesaian

putang bermasalahnya berdasarkan ketentuan UUPT, Undang-

undang BUMN dan ketentuan Anggaran Dasar masing-masing.

Kebijakan tersebut tidak hanya pada tahun anggaran 2011 tetapi seperti

itu juga sudah diberlakukan untuk penyelesaian piutang bermasalah bank-

bank BUMN pada tahun anggaran 2010 berdasarkan Undang-undang

Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun

2010 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2010

tentang Perubahan Undang-undang APBN 2010.

g. Penyelesaian Melalui Kejaksan bagi Bank-bank BUMN

106

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

(Jakarta; Sinar Grafika, 2012), 91

Berdasarkan ketentuan pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16

Tahun 2004 tentang kejaksaan ditegaskan bahwa, di bidang perdata dan tata

usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam

maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Berdasarkan ketentuan ini maka bank-bank BUMN/Perusahaan

Negara dapat memberikan kuasa kepada kejaksaan untuk melakukan upaya-

upaya penyelesaian penagihan pembiayaan macetnya sebagai piutang

negara.107

G. Fatwa DSN MUI terkait Klaim Jaminan Pembiayaan kredit macet

a. Fatwa DSN MUI No 19/DSN/MUI/IV/2001 Al-Qardh

Dewan Syariah Nasional setelah menimbang:

a) Bahwa Lembaga Keuangan Syari‟ah (LKS) di samping sebagai

lembaga komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial

yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal;

b) Bahwa salah satu sarana peningkatan perekonomian yang dapat

dilakukan oleh LKS adalah penyaluran dana melalui prinsip al-

Qardh, yakni suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan

ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang

diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh

LKS dan nasabah.

c) Bahwa agar akad tersebut sesuai dengan syari‟ah Islam, DSN

memandang perlu menetapkan fatwa tentang akad al-

Qardh untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Mengingat:

1. Firman Allah SWT, antara lain:

... فبمزج غ إى أجو ثذ ز ا إرا رذا آ ب اى ز ؤ

107

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta;

Sinar Grafika, 2012), 95

"Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara

tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis..." (QS. al-

Baqarah [2]: 282)

ب د آأ ا ثبىؼق ف ا أ آ اى ز

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..."

غشح ػغشح فظشح إى ر مب إ …

"Dan jika ia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh

sampai ia berkelapangan…" (QS. al-Baqarah [2]: 280)

2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain:

مشة مشثخ ج للا ػ ب، فش مشة اىذ مشثخ غي ج ػ فش أخ ػ اىؼجذ ف بدا اىؼجذ ػ للا ف خ، )سا غي(اىقب

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah

akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong

hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya" (HR. Muslim)

ظي طو اىغ بػخ()سا اىج…

"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu

kezaliman …" (HR. Jama'ah)

ثز )سا اىغبئ أث داد اث بج ػق اجذ ذو ػشض اى ى

أدذ(

"Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan

harga diri dan memberikan sanksi kepadanya" (HR. Nasa'i, Abu Daud, Ibn

Majah, dan Ahmad)

قضبء )سا اىجخبس( أدغن شم خ إ

"Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam

pembayaran utangnya" (HR. Bukhari)

3. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf:

غي اى ب أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى يخ جبئض ث اىص

ب. أدو دشا دلال أ إال ششطب دش ػي ششط

"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian

yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum

muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."108

4. Kaidah fiqh:

سثب. فؼخ ف مو قشض جش

"Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang,

muqridh) adalah riba."

Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional

pada hari Senin, 24 Muharram 1422 H/18 April 2001 M

Memutuskan

Menetapkan : Fatwa tentang Al-Qardh

Pertama Ketentuan umum Al-Qardh

1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh)

yang memerlukan.

2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada

waktu yang telah disepakati bersama.

3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.

4. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan

sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.

6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh

kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan

ketidakmampuannya, LKS dapat:

a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Kedua Sanksi

1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan

sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidak-

mampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.

2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1

dapat berupa --dan tidak terbatas pada-- penjualan barang jaminan.

108

KH. Ma’ruf Arifin, Fatwa dalam Hukum Islam, (Jakarta: Elass 2008), 62

3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi

kewajibannya secara penuh.

Ketiga sumber dana

1. Bagian modal LKS;

2. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan

3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya

kepada LKS

Keempat

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

Badan Arbitrasi Syari‟ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.

b. Fatwa No 47 DSN/MUI/II/2005 tentang konversi akad murabahah

DSN Mengingat

1. Bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah pada Lembaga

Keuangan Syari'ah (LKS) pada umumnya dilakukan secara cicilan

dalam kurun waktu yang telah disepakati antara LKS dengan nasabah;

2. Bahwa dalam hal nasabah mengalami penurunan kemampuan dalam

pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan;

3. Bahwa keringanan sebagaimana dimaksud di atas dapat diwujudkan

dalam bentuk konversi dengan membuat akad baru dalam

penyelesaian pembayaran kewajiban;

4. Bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut

Syari'ah Islam, Dewan Syari'ah Nasional memandang perlu

menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman.109

Mengingat

1. Firman Allah SWT, antara lain:

a. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:

ثب … اىش دش غ أدو للا اىج …

"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

…"

b. Firman Allah QS. al-Nisa' [4]: 29:

رجبسح رن ثبىجبطو إال أ ن ث اىن ا أ ا الرؤمي آ ب اى ز آ أ

... ن رشاض ػ

"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan

(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …"

109

KH. Ma’ruf Arifin, Fatwa dalam Hukum Islam, (Jakarta: Elass 2008), 63

c. Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 1:

ا ثبى ف ا أ آ ب اى ز د آ أ …ؼق

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu."

d. Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 2:

ا… اىؼذ ا ػي الث رؼب ال اىز ق ا ػي اىجش رؼب

"… dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa …"

e. Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 280:

... ش ىن ا خ ق رصذ أ غشح، ػغشح فظشح إى ر مب إ ...

"... Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih bik bagimu, jika kamu mengetahui."

2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:

a. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu

Hibban :

ه سع سض للا ػ أ ذ اىخذس عؼ أث ػ آى للا صي للا ػي

رشاض. غ ػ ب اىج قبه: إ عي

Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.110

b. Hadis Nabi riwayat al-Thabarani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-

Mustadrakyang menyatakan bahwa hadis ini shahih:

ش ثئخشاج ث ب أ صي للا ػي آى عي ى اىج ػجبط أ س اث

شد ثئخشاجب ش جبء بط ، فقبىا: ب ج للا، إل أ ىب اىض

، فقبه ى رذو سعه للا صي للا ػي آى عي: ػي اى بط د

ا )سا اىطجش اىذبم ف اىغزذسك صذذ( ي ا رؼج ضؼ

"Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka seraya mengatakan: "Wahai Nabiyallah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo" Maka Rasulullah saw berkata: "Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat."

110

KH. Ma’ruf Arifin, Fatwa dalam Hukum Islam, (Jakarta: Elass 2008), 63

c. Hadits Nabi Riwayat Muslim, beliau bersabda:

مشة مشثخ ج للا ػ ب، فش مشة اىذ مشثخ غي ج ػ فش أخ ػ اىؼجذ ف بدا اىؼجذ ػ للا ف خ، اىقب .

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,

Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah

senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong

saudaranya."

d. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, beliau

bersabda:

ب أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى يخ جبئض ث اىص

ب. أدو دشا دلال أ إال ششطب دش ػي ششط غي اى

"Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

3. Kaidah Fiqh, antara lain:

ب.الصو ف و ػي رذش ذه دى لد الثبدخ إال أ ؼب اى

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil

yang mengharamkannya."111

a. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

يخ جبئض ث ب اىص أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى

ب. أدو دشا دلال أ إال ششطب دش ػي ششط غي اى

"Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali

syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram."

2. Kaidah Fiqh:

و ػي رذ ذه دى لد الثبدخ إال أ ؼب ب.الصو ف اى ش

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil

yang mengharamkannya."

ش. غ شق خ رجيت اىز اى

111

KH. Ma’ruf Arifin, Fatwa dalam Hukum Islam, (Jakarta: Elass 2008), 64

"Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan."

Memperhatikan

1. Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 perihal

Permohonan Fatwa.

2. Hasil workshop BPH-DSN, 9-10 Dzulqa'dah 1425/21-22 Desember 2004.

3. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Jum'at,

16 Muharram 1426/ 25 Februari 2005.

Memutuskan

Pertama Ketentuan Konversi akad

1. Akad murabahah dihentikan dengan cara:

a. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga

pasar;

b. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan;

c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka kelebihan itu

dapat dijadikan uang muka untuk akad ijarah atau bagian modal

dari mudharabah dan musyarakah;

d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang

tetap menjadi utang nasabah yang cara pelunasannya disepakati

antara LKS dan nasabah.

2. LKS dan nasabah ex-murabahah tersebut dapat membuat akad baru

dengan akad:

a. Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik atas barang tersebut di atas dengan

merujuk kepada fatwa DSN No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al

Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik;

b. Mudharabah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 07/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); atau

c. Musyarakah dengan merujuk kepada fatwa DSN No. 08/DSN-

MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.112

Kedua ketentuan penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan

112

KH. Ma‟ruf Arifin, Fatwa dalam Hukum Islam, (Jakarta: Elass 2008), 65

melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.

c. Fatwa No 46 DSN-MUI/II/2000 tentang potongan tagihan murabahah

DSN Menimbang

1. Bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah pada Lembaga

Keuangan Syari'ah (LKS) pada umumnya dilakukan secara cicilan

dalam kurun waktu yang telah disepakati antara LKS dengan nasabah;

2. Bahwa dalam hal nasabah telah melakukan pembayaran cicilan

dengan tepat waktu, maka ia dapat diberi penghargaan. Sedangkan

nasabah yang mengalami penuruan kemampuan dalam pembayaran

cicilan, maka ia dapat diberi keringanan;

3. Bahwa penghargaan dan merupakan mukafaah tasji'iyah (insentif)

keringanan dapat diwujudkan dalam bentuk potongan dari total

kewajiban pembayaran;

4. Bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut

ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa sebagai

pedoman bagi LKS dan masyarakat secara umum.113

Mengingat

3. Firman Allah SWT, antara lain:

a. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:

ثب … اىش دش غ أدو للا اىج …

"… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."

113

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van Hoeve,

1996), 85

b. Firman Allah QS. Al-Nisa' [4]: 29:

ثبىجبطو ن ث اىن ا أ ا الرؤمي آ ب اى ز رجبسح آ أ رن إال أ

... ن رشاض ػ

"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan

(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …"

c. Firman Allah QS. Al-Ma'idah [5]: 1:

د ا ثبىؼق ف ا أ آ ب اى ز …آ أ

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..."

d. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:

ا خ ق رصذ أ غشح، ػغشح فظشح إى ر مب إ ...... ش ىن

"... Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu lebih bik bagimu ..."

e. Firman Allah QS. Al-Ma'idah [5]: 2:

ا ػي اىجش … رؼب ... اىز ق

" dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa"

4. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:

a. Hadist Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh

Ibnu Hibban :

سع سض للا ػ أ ذ اىخذس عؼ أث ػ آى ه للا صي للا ػي

رشاض، )سا اىجق اث بجخ صذذ غ ػ ب اىج قبه: إ عي اث دجب(

"Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,

Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan

kedua belah pihak."

b. Hadis Nabi riwayat al-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-

Mustadrak yang menyatakan bahwa hadis ini shahih sanadnya :

ش ثئخشاج ب أ صي للا ػي آى عي ى اىج ػجبط أ س اث

ش جبء بط شد ثئخشاجب ث اىض للا، إ ل أ ا: ب ج ، فقبى

، فقبه سع رذو ى ىب ػي اى بط د ه للا صي للا ػي آى

ا )سا اىطجش اىذبم ف اىغزذسك ي ا رؼج : ضؼ عي صذذ(

"Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika Nabi Saw. memerintahkan

untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang dari mereka

seraya mengatakan: "Wahai Nabi Allah, Engkau telah memerintahkan

untuk mengusir kami sementara kami mempunyai piutang pada orang-

orang yang belum jatuh tempo" Maka Rasulullah saw berkata: "Berilah

keringanan dan tagihlah lebih cepat."114

c. Hadits Nabi Riwayat Muslim:

مشة مشثخ ج للا ػ ب، فش مشة اىذ مشثخ غي ج ػ فش للا خ، اىقب )سا أخ ػ اىؼجذ ف بدا اىؼجذ ػ ف

غي(.

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,

Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah

senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong

saudaranya."

d. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

ب أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى يخ جبئض ث اىص

ب. أدو دشا دلال أ إال ششطب دش ػي ششط غي اى

"Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali

syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang

haram."

5. Kaidah Fiqh:

ب. و ػي رذش ذه دى لد الثبدخ إال أ ؼب الصو ف اى

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan

114

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van

Hoeve, 1996), 87

1. Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 perihal

Permohonan Fatwa.

2. Hasil workshop 9-10 Dzulqa'dah 1425/21-22 Desember 2005.

3. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis,

tanggal 08 Muharram 1426 H./ 17 Februari 2005.

Memutuskan

Menetapkan Fatwa tentang potongan tagihan murabahah

Pertama Ketentuan pemberian

1. LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada

nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan

kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan nasabah yang

mengalami penurunan kemampuan pembayaran.

2. Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan

LKS.

3. Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad.115

Kedua ketentuan penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah. 116

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.

3. Fatwa DSN No 47 DSN-MUI/II/2005 tentang penyelesaian piutang

murabahah bagi nasabah tidak mampu bayar.

115

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van Hoeve,

1996), 89 116

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van

Hoeve, 1996), 88

DSN menimbang

1. Bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah pada

LembagaKeuangan Syari'ah (LKS) pada umumnya dilakukan secara

cicilan dalam kurun waktu yang telah disepakati antara LKS dengan

nasabah;

2. Bahwa dalam hal nasabah tidak mampu membayar, maka diselesaikan

dengan prinsip-prinsip syari'ah Islam.

3. Bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut Syari'ah

Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan

pedoman.

Mengingat

1. Firman Allah SWT, antara lain:

a. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:

إ ... ... ش ىن ا خ ق رصذ أ غشح، ػغشح فظشح إى ر مب

"... Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu lebih bik bagimu, jika kamu mengetahui."

b. Firman Allah QS. al-Nisa' [4]: 29:

رجبسح ػ رن ثبىجبطو إال أ ن ث اىن ا أ ا الرؤمي آ ب اى ز آ أ

... ن رشاض

"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …"

c. Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 2:

ا… اىؼذ ا ػي الث رؼب ال اىز ق ا ػي اىجش رؼب

"… dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa."

2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:

a. Hadist Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu

Hibban :

ه للا صي سع سض للا ػ أ ذ اىخذس عؼ أث ػ آى للا ػي

رشاض، )سا اىجق اث بجخ صذذ اث غ ػ ب اىج قبه: إ عي دجب(

Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan

kedua belah pihak.

b. Hadis Nabi riwayat al-Thabarani dalam al-Kabir dan al-Hakim dalam al-

Mustadrakyang menyatakan bahwa hadis ini shahih sanadnya :

ش ثئخشاج ث ب أ صي للا ػي آى عي ى اىج ػجبط أ س اث

ش جبء بط ، فقبىا: ب ج شد ثئخشاجب ىب اىض للا، إل أ

، فقبه سعه للا صي للا ػي آى عي: ى رذو ػي اى بط د

ا )سا اىطجش اىذبم ف اىغزذسك صذذ( ي ا رؼج ضؼ

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi Saw. ketika beliau

memerintahkan untuk mengusir Bani Nadhir, datanglah beberapa orang

dari mereka seraya mengatakan: "Wahai Nabiyallah, sesungguhnya

Engkau telah memerintahkan untuk mengusir kami sementara kami

mempunyai piutang pada orang-orang yang belum jatuh tempo" Maka

Rasulullah saw berkata: "Berilah keringanan dan tagihlah lebih cepat."

c. Hadits Nabi Riwayat Muslim:

مشة مشثخ ج للا ػ ب، فش مشة اىذ مشثخ غي ج ػ فش أخ ػ اىؼجذ ف بدا اىؼجذ ػ للا ف خ، اىقب )سا غي(.

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,

Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah

senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong

saudaranya".117

d. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

ب أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى يخ جبئض ث اىص

ب. أدو دشا دلال أ إال ششطب دش ػي ششط غي اى

"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian

yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan

kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

3. Kaidah Fiqh, antara lain:

لد الث ؼب ب.الصو ف اى و ػي رذش ذه دى بدخ إال أ

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya."

117

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van Hoeve,

1996), 89

Memperhatikan

1. Fatwa DSN No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan

Dalam Murabahah.

2. Hasil workshop BPH DSN, 9-10 Dzulqa'dah 1425/21-22 Desember 2004.

3. Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 perihal

Permohonan Fatwa.

4. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Selasa,

tanggal 13 Muharram 1426 H./ 22 Februari 2005.

Memutuskan

Menetapkan Fatwa tentang penyelesaian piutang murabahah bagi nasabah tidak

mampu membayar

Pertama ketentuan penyelesaian

LKS boleh melakukan penyelesaian (settlement) murabahah bagi nasabah

yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan

waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:

1. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau

melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati;

2. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan;

3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS mengembalikan

sisanya kepada nasabah;

4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap

menjadi utang nasabah;

5. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS dapat

membebaskannya.

Kedua ketentuan penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.

d. Fatwa DSN MUI No 48 DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali

tagihan murabahah

DSN menimbang

1. Bahwa sistem pembayaran dalam akad murabahah pada Lembaga

Keuangan Syari'ah (LKS) pada umumnya dilakukan secara cicilan

dalam kurun waktu yang telah disepakati antara LKS dengan nasabah;

2. Bahwa dalam hal nasabah mengalami penurunan kemampuan dalam

pembayaran cicilan, maka ia dapat diberi keringanan;

3. Bahwa keringanan sebagaimana dimaksud di atas dapat diwujudkan

dengan cara yang tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam;

4. Bahwa untuk kepastian hukum tentang masalah tersebut menurut

ajaran Islam, Dewan Syari'ah Nasional memandang perlu menetapkan

fatwa sebagai pedoman bagi LKS dan masyarakat secara umum.

Mengingat

1. Firman Allah SWT, antara lain:

a. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:

غ … أدو للا اىج ثب اىش دش …

"…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."

b. Firman Allah QS. al-Nisa' [4]: 29:

رجبسح ػ رن ثبىجبطو إال أ ن ث اىن ا أ ا الرؤمي آ ب اى ز آ أ

...رشاض ن

"Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan

(mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …"

c. Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 1:

د آ أب ا ثبىؼق ف ا أ آ …اى ز

"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu."

d. Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 2:

ا… اىؼذ ا ػي الث رؼب ال اىز ق ا ػي اىجش رؼب

"… dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa

..."

e. Firman Allah SWT, QS. al-Baqarah [2]: 280:

... ش ىن ا خ ق رصذ أ غشح، ػغشح فظشح إى ر مب إ ...

"... Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguhan sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu lebih bik bagimu, jika kamu mengetahui."

2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:

a. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu

Hibban:

ذ اىخذ عؼ أث ػ آى ه للا صي للا ػي سع سض للا ػ أ س

رشاض غ ػ ب اىج قبه: إ عي

"Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak."

b. Hadis Nabi Riwayat Muslim, beliau bersabda:

مشة مشثخ ج للا ػ ب، فش مشة اىذ مشثخ غي ج ػ فش )سا غي(. أخ ػ اىؼجذ ف بدا اىؼجذ ػ للا ف خ، اىقب

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,

Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah

senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong

saudaranya."118

3. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:

a. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dan shahihkan oleh Ibnu

Hibban:

آى ه للا صي للا ػي سع سض للا ػ أ ذ اىخذس عؼ أث ػ

رشاض غ ػ ب اىج قبه: إ عي

"Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan

kedua belah pihak."

b. Hadis Nabi Riwayat Muslim, beliau bersabda:

مشة مشثخ ج للا ػ ب، فش مشة اىذ مشثخ غي ج ػ فش للا خ، اىقب )سا غي(. أخ ػ اىؼجذ ف بدا اىؼجذ ػ ف

"Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia,

Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah

senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong

saudaranya."

c. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, beliau

bersabda:

ب أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى يخ جبئض ث اىص

دلال إال ششطب دش ػي ششط غي اى ب. أدو دشا أ

"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

4. Kaidah Fiqh, antara lain:

ب. و ػي رذش ذه دى لد الثبدخ إال أ ؼب الصو ف اى

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya."119

118

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van

Hoeve, 1996), 90 119

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (jakarta: PT Ikctiar Baru Van

Hoeve, 1996), 91

a. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, beliau

bersabda:

ب أدو دشا دلال أ إال صيذب دش غي اى يخ جبئض ث اىص

ب. أدو دشا دلال أ إال ششطب دش ػي ششط غي اى

"Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian

yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan

kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

5. Kaidah Fiqh, antara lain:

ب. و ػي رذش ذه دى لد الثبدخ إال أ ؼب الصو ف اى

"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan

1. Hasil workshop BPH-DSN, 9-10 Dzulqa'dah 1425/21-22 Desember 2004.

2. Surat Direksi BSM No. 6/552/DIR tertanggal 21 September 2004 perihal

Permohonan Fatwa.

3. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Jum'at,

16 Muharram 1426/ 25 Februari 2005

Memutuskan

Menetapkan Fatwa tentang penjadwalan kembali tagihan murabahah

Pertama ketentuan penyelesaian

LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan

murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi

pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan

ketentuan:

1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;

2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya

riil;

3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua

belah pihak.

Kedua ketentuan penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan

melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di

kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.120

120

KH. Ma’ruf Arifin, Fatwa dalam sistem Hukum Islam, (Jakarta; Elass, 2008), 95