BAB 3 KONSTRUKSI NEGARA KESULTANAN SERDANG
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of BAB 3 KONSTRUKSI NEGARA KESULTANAN SERDANG
18
BBAABB 33
SSUUMMBBEERR HHUUKKUUMM TTAATTAA NNEEGGAARRAA KKEESSUULLTTAANNAANN SSEERRDDAANNGG
1. Sumber Hukum Materiil Daulat-Durhaka
Jati diri Melayu umumnya mengajarkan kepada orang–orang Melayu akan adanya siklus antara
daulat dan derhaka. Secara simbolik jati diri ini diaktualisasikan dalam tiga unsur mendasar yaitu
Sultan, para pembesar dari berbagai hirarki dan rakyat yang menjadi wadah untuk menjunjung kedua
unsur terdahulu. Ketiga unsur ini bertalian erat diantara satu dengan lainnya. Bangsawan Serdang
merupakan bagian dari bangsawan Melayu. Seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam,
berbahasa Melayu sehari–harinya dan beristiadat Melayu. Dalam adat Melayu terdapat satu
ungkapapan yang dipedomani. Ungkapan ini; “adat bersendi hukum syarak, syarak bersendikan
kitabullah”. Jadi orang Melayu itu adalah etnis secara kultural (budaya) dan tidak mesti secara
genologis (persamaan darah turunan). Dalam hukum kekeluargaan orang Melayu menganut sistem
“parental” (kedudukan pihak ibu dan pihak bapak sama). Pada awalnya ketika agama Islam mulai
dikembangkan oleh orang Melayu (pedagang) ke seantero Nusantara; pengertian Melayu merupakan
pengertian suatu wadah orang Islam dalam menghadapi golongan non–Islam.1
Dalam kesadaran Barat kekuasaan merupakan gejala yang khas antarmanusia. Kekuasaan adalah
kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain, untuk membuat mereka melakukan
tindakan–tindakan yang kita kehendaki. Kekuasaan pada dirinya sendiri adalah sesuatu yang abstrak
yang hanya menjadi kongkret dalam sebab–sebab dan akibatnya. Kekuasaan terdiri dalam hubungan
tertentu antara orang–orang ataupun kelompok orang dimana salah satu pihak dapat memenangkan
kehendaknya terhadap yang satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang beraneka ragam
misalnya sebagai kekuasaan orang tua, karismatik, politik, fisik, finansial, inteletual dan tergantung
dari dasar empirisnya.2
Dalam paham Melayu kekuasaan adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Sistem keSultanan-
keSultanan Melayu yang tumbuh di Sumatera Timur dan ada sejak kerajaan Haru di Deli lenyap
karena serangan Aceh pada 1539 M merupakan bersifat kerajaan Islam Mazhab Syafii yang
mengutamakan mufakat (konsensus) dalam pemerintahan sehari–hari diantara Sultan yang dianggap
sebagai “zilullah fi‟l alam” bayang–bayang Tuhan diatas dunia atau “kalifatullah fi‟l ard” wakil
Tuhan di dunia dengan rakyat diwakili oleh para “Orang Besar” telah diciptakan ketika terjadi
“kontrak sosial” antara sang sapurba dengan demang lebar daun di Bukit Seguntang Maha Meru
seperti yang diceritakan oleh sejarah Melayu. Dalam “kontrak sosial” ini Sultan (penguasa) tidak
boleh menghina dan memperkosa hak rakyat. Sultan tidak akan membuat keputusan tanpa mufakat
dan persetujuan segenap Orang Besar. Taatnya orang Melayu kepada Sultan yang dianggap sebagai
wakil Tuhan di dunia/kepala pemerintahan Islam/kepala adat sejak dahulu sebelumnya terungkap
dalam pepatah “ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati”. Oleh sebab itu Sultan mempunyai
“Daulat” selaku penguasa pemerintahan, penguasa Islam dikerajaannya; dan selaku kepala adat
Melayu. Pemberontakan terhadap Sultan dianggap merusak keseimbangan kosmos di alam tindakan
1Tengku Luckman Sinar, SH. Jati Diri Melayu (Medan : Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Budaya
Melayu–MABMI, 1994) hal. 8–15. 2Magnis. Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa (rev. ed.; Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 98–99.
19
mana disebut “Durhaka”, yang hukumnya sangat berat sampai melibatkan keluarga dan harta benda
pendurhaka itu. Oleh sebab itu dapatlah kita lihat didalam sejarah keSultanan-keSultana Melayu
sebelum penjajahan Barat untuk melenyapkan ketidakadilan rakyat memakai tiga cara :
1) Cara pertama : Memprotes sesuai pepatah “Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja
disanggah”. Pepatah ini memperlihatkan bahwa hak azasi manusia sudah lama dipraktekan
pada orang Melayu dibandingkan orang diluar Melayu;
2) Cara kedua; sering kita lihat dengan meracuni raja itu hingga tewas;
3) Cara ketiga; rakyat yang merasa ditekan lalu berangkat pindah dengan keluarganya ke
kerajaan lain sehingga daulat raja itu jadi berkurang. Dalam hikayat Melayu sering hal itu
dilukiskan dengan “negeri itu menjadi lengang ibarat disambar garuda”. Dengan banyak
keluar rakayatnya maka raja yang zalim itu hilanglah pamornya (daulatnya) dan turunlah
derarajat kerajaannya menjadi miskin.3
Ketiga unsur; Sultan, para pembesar dari berbagai hirarki dan rakyat yang menjadi wadah untuk
menjunjung kedua unsur terdahulu itu merupakan semacam matarantai yang tidak dapat dipisahkan.
Siapa dan apa yang menaikan martabat seorang Sultan tidaklah terlepas dari rakyat walaupun sekecil
apapun pengikut dan rakyat yang mendaulati beginda dari kerajaan itu. Sebaliknya tentulah tidak
akan terwujud suatu sistem, peraturan atau organisasi sesuatu keSultanan, masyarakat yang teratur,
tata cara hidup yang bernorma dan berbudaya seandainya ketiadaan raja atau Sultan yang didaulati
sebagai unsur tertinggi dalam tata cara berkeSultanan dan berpemerintahan. Sebagai pemimpin
sebuah masyarakat yang besar dalam tradisi kemepimpinan Melayu–Islam ia perlu diakui sebagai
khalifah di dunia.
Apabila merujuk kepada tradisi pribumi; rakyat suatu kerajaan atau suatu keSultanan dianggap
sebagai tanah. Hanya unsur tanah saja yang boleh menumbuhkan pohon. Dan apabila mengambil
contoh tradisi kepemimpinan Parsi, Sultan diibaratkan pohon dan rakyatnya diumpamakan sebagai
akarnya. Hanya apakah ada akar barulah pohonnya boleh tumbuh dan berkembang. Tanah yang
segar, akar yang kuat tentu dapat menghasilkan pohon yang subur dan baik. Perantaraan diantara
Sultan dengan rakyatnya adalah pembesar. Para pembesar dari pelbagai hirarki melaksakan fungsi–
fungsi fiskal dalam melangsungkan kewibawaan dan berkuasanya seorang Sultan terhadap seluruh
rakyatnya. Tidak mungkin kesemua tanggungjawab itu dilakukan oleh Sultan. Maka memang sangat
diperlukanlah hal–hal yang bersifat kompleks itu dibagi–bagikan (pembagian kekuasaan) kepada para
pembesar tersebut.
Seorang Sultan mempunyai tugas pertama–tama ia harus mengangkat bendahara, kedua ia juga
mengangkat tumenggung, tugas yang ketiga seorang Sultan yang bijaksana juga harus melakukan
pengangkatan terhadap syahbandar. Demikianlah, betapa Sultan dan pembesar saling perlu
memerlukan ibarat api dengan kayu tidak akan mungkin menyala api apabila tanpa adanya kayu.
Maka wajarlah apabila Sultan, pembesar dan rakyat menjadi dasar dalam pandangan hidup
perpolitikan Melayu dalam membentuk sebuah kerajaan dengan berbagai keragaman institusinya.
Selanjutnya apabila dikaitkan seorang raja atau Sultan yang berwibawa serta yang pemegang
kekuasaan tertinggi dalam institusi kerajaan yang memakai gelar Sultan tersebut maka wujud dari
kerajaan itu berwujud keSultanan. Instutusi inilah yang menjadi tonggak dari penggagasan,
penumbuhan, perkembangan dan kelangsungan daripada suatu kerajaan dan warisan–warisan Melayu
berikutnya. Begitu penting institusi ini dalam menyumbang untuk mewujudkan sebuah kerajaan
sehingga diungkapkan secara falsafah dalam budaya politik Melayu “…negeri (keSultanan) kalah,
apabila Sultannya mati.”4
3Luckman, Op. Cit., hal. 18–25. 4Latiff. Melaka dan Arus Gerak Kebangsaan Malaysia (Kuala Lumpur : Universiti Malaya, 1991), hal. 10–
15.
20
Dari ungkapan ini dapat diyakini bahwa raja atau Sultan dalam paham Melayu memiliki
kosmis.Kosmisialah suatu kekuatan yang dimiliki oleh seorang Sultan (penguasa) berdasarkan
keseimbangan dalam berpedomankan akan kestabilan kosmos (alam semesta). Artinya seorang Sultan
dapat berkuasa apabila jumlah total kekuasaan dalam alam semesta tetap sama saja. Individu-individu
yang berkuasa dianggap penuh kekuatan batin dalam arti baik atau buruk. Pada prinsipnya kekuatan
adi dunia itu ada dimana-mana tetapi ada tempat, benda dan manusia dengan pemusatan yang lebih
tinggi. Sultan yang dipenuhi oleh kekuatan ini tidak bisa dikalahkan dan tak dapat dilukai dengan
kata lain Sultan itu sakti kekuatan yang membuat sakti disebut kesaktian. Kekuasaan politik adalah
ungkapan kesaktian maka tidak merupakan sesuatu yang abstrak suatu nama belakang bagi hubungan
antara dua unsur yang kongkret yaitu manusia atau kelompok manusia. Kekuasaan mempunyai
substansi pada dirinya sendiri (kehendak dari Sultan yang bersangkutan) berinteraksi pada dirinya
sendiri dan tidak tergantung dari dan mendahului terhadap segala pembawaan empiris. Dalam
kenyataannya kekuasaan hakekat realitas sendiri, dasar ilahinya dilihat dari segi kekuatan yang
menagalir pada dirinya sendiri itu merupakan sesuatu yang abstrak yang hanya menjadi kongret
dalam sebab-sebab dan akibat-akibatnya. Kekuasaan terdiri dari hubungan tertentu antara orang-
orang atau kelompok orang tertentu dimana salah satu pihak dapat memenangkan kehendaknya
terhadap satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang beraneka ragam; misalnya sebagai
kekuasaan orang tua yang kharismatik, politik, fisik, finansial, intelektual; tergantung dari dasar
empiriknya. Pada latarbelakang kekuasaaan itu Sultan dapat dimengerti sebagai orang yang
memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri sebagai orang yang
sakti sesaktinya. Kita bisa membayangkan sebagai pintu air yang menampung seluruh air sungai dan
bagi tanah yang lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan, atau sebagai lensa
pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya kebawah. Kesaktian sang Sultan
diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang dipegangnya. Kekuasaan semakin besar
semakin luas wilayah kekuasaan yang dipegangnya. Dari seorang Sultan akan mengalirlah
ketenangan dan kesejahteraan kedaerah sekelingnya. Tidak ada musuh dari luar atau kekacauan
didalam yang menggangu petanipada pekerjaannya di sawah karena kekuasaaan yang berpusat dalam
Sultan sedemikian besar sehingga semua faktor yang bisa mengganggu kekuatanya seakan-akan
dikeringkan daya pengacau dari pihak-pihak yang dianggap berbahaya seakan-akan dihisap kedalam
Sultan. Dalam wilayah kekuasaanya akan dapat ketentraman dan keadilan serta setiap pihak dapat
menjalankan usaha-usahanya tanpa perlu takut dan kaget. Kekuasaan dari Sultan juga nampak dari
kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi bencana-bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi
dan gempa bumi karena semua peristiwa alam dari kekuatan kosmis yang sama dan dipusatkan dalam
diri Sultan, maka apabila kekuasaannya Sultan itu menyeluruh maka akan terlepas dari apa yang
dikatakan dengan tidak adanya kekuatan-kekuatan selain kekuatan pusat (basis kekuasaan) termasuk
kekuatan-kekuatan alam masih bisa bergerak. Oleh karena itu kekuatan Sultan terbukti dari akan
adanya keteraturan dan kesuburan alam serta masyarakat. Jadi apabila semuanya tentram, bila tanah
memberi panen yang berlimpah-limpah, bila setiap penduduk dapat makan dan berpakaian
secukupnya dan semua orang merasa puas inilah yang dikatakan bahwa Sultan masih memiliki
kosmisyang direalisasikan sebagai keadaan yang “…negeri (keSultanan) apabila Sultannya
mati”.Apabila kosmis itu tidak dimiliki lagi oleh Sultan tersebut maka akan terjadinya kekacauan,
kritikan-kritikan dan perlawanan–perlawanan. Apabila tidak ada lagi terdapat pusat-pusat kekuasaan
yang belum tergantung daripadanya atau memberontak terhadap pemerintahan pusat dan apabila
terjadi segala macam ganguan terhadap ketentraman serta keselarasan dalam wilayah kekuasaanya
tersebut.5
5Ibid., hal. 17.
21
Dengan demikian, faktor–faktor berikut akan menjadi landasan utama secara umum dalam
menegaskan dan meneruskan kelangsungan institusi keSultanan-keSultana Melayu sebagai berikut :
Hardinya seorang Sultan yang didaulati. Baginda harus beragama Islam. Dalam melaksanakan
hukum–hukum dan perundang–undangan kerajaan maka syariat Islam diterapkan bersama–sama
peraturan–peraturan dari adat–istiadat setempat. Landasan kepada penegakan daulat ialah adil.
Baginda menjadi pelindung kepada kesejahteraan rakyat dan keSultanan. “Memangsai rakyat tanpa
dosanya (melalaikan dosa menderhaka kepada Sultan), alamat kerajaan akan binasa”. Ukuran dari
tingginya daulat yang dimiliki oleh Sultan dapat ditaidai dengan taat dan setianya rakyat serta
kemakmuran seluruh keSultanan. Perdagangan maju dan banyaknya alim ulama yang masuk ke
negeri ini.
Pembesar dan para menteri yang menjalankan tugasnya dan menjunjung tinggi perintah Sultan
dengan setianya. Filsuf mengungkapkan “bahwa kerja/titah Sultan dijunjung, kerja sendiri terabaikan,
ini adalah idealismenya.
Orang kebanyakan baik yang berada di tanah Melayu sendiri ataupun kawasan–kawasan yang
menjadi taklukan Melayu menjadi rakyat kebawah Duli Yang Maha Mulia. Secara idealnya mereka
melindungi sebaliknya mereka adalah penegak daulat Sultan. Interaksi mereka dengan raja adalah
renggang tetapi untuk menyeimbangi kereanggangan tersebut dibarengi dengan kepercayaan dan
pendukungan terhadap daulat secara spiritual, peranan dan fungsi pembesar ke atas mereka.
Hadirnya kerjasama, saling topang–menopang dan dukung–mendukung secara langsung maupun
secara tidak langsung diantara ketiga unsur (Sultan, pembesar dan rakayat) ini. Dengan fenomena ini
akan terbentuk suatu konsensus masyarakat yang diaktualisasikan kepada pegangan dan kepatuahan
kepada wadah (kontrak sosial) “sang spurba taram seri tri buana (pihak yang diperintah)” dengan
“demang selebar daun (pihak yang diperintah)”. Ini merupakan suatu tradisi turun–temurun dalam
politik Melayu.
Secara historis dalam budaya berpolitik Melayu menjurus kearah terbinanya sebuah kerajaan,
apabila tonggak bernegara ialah institusi kerajaan atau keSultanan maka unsur yang sangat mendasari
akan kedua aspek ini ialah pemegang dan penguasa dari politik tersebut. Kedaulatan dan usaha–usaha
pembinannya bukan sekedar muncul dari dukungan dan pengakuan dari kalangan–kalangan seperti
pembesar, menteri dan rakyat tetapi harus didukung juga oleh adanya penguatan dengan mitos–mitos
dan kepercayaan diwariskan oleh pendahulu–pendahulu terdahulu secara turun–temurun mengenai
asal usul dari Sultan tersebut6.
1. Sumber Hukum Formal Sumber hukum formal di Negara KeSultanan Serdang merupakan sumber hukum yang dikenal
dalam bentuknya; karena itulah sumber hukum formal ini diketahui dan ditaati oleh rakyat Negara
KeSultanan Serdang serta berlaku secara umum.
Sumber hukum formal di Negara KeSultanan Serdang meliputi Peraturan Perundangan-Undangan
serta Kebiasaan (coustum) dan Adat. Peraturan Perundang-Undangan itu, diantaranya berkenaan
dengan Peraturan Tanah Jaluran yang arahannya “bahwa orang pendatang yang sudah tinggal 8
(delapan) tahun dan sudah mermbaur (kawin campur) dengan penduduk asli di kampung Melayu
dapat menjadi rakyat KeSultanan”7.
Adapun yang berkenaan dengan Kebiasaan (coustum) dan Adat; diantaranya Tanda Larangan yang
apabila dilanggar akan menerima baik sangsi sosial maupun sanksi pidana. Bentuk Tanda Larangan
itu diantaranya “Tapak Lawang – hasil tanah yang dipungt melalui penghulu kampung kepada
6Ibid., hal. 18 7Tim Penulis Masyarakat Sejarahwan Indonesia dan Yayasan Kesultanan Serdang. Profil Sultan Shariful
Alamshah–Sultan Kerajaan Negeri Serdang Ke-5 (Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2010), hal. 26.
22
penduduk pendatang, dimana mereka diharuskan meminta ijin untuk membuka sebidang tanah hutan
dengan tujuan berladang padi. Cukai yang dipungut ditetapkan 10 (sepuh) gantang padi8.
A. Adat Mahkota : Busana Kesultanan Serdang9
Wilayah Kesultanan Serdang dihuni oleh penduduk asli yang terdiri dari beberapa sukubangsa,
yaitu Sukubangsa Melayu yang mendiami wilayah pesisir Selat Melaka, Sukubangsa Karo yang
mendiami wilayah Senembah-Tanjong Muda dan Sukubangsa Batak Timur yang mendiami wilayah
Serdang Hulu.
Keragaman sukubangsa tersebut ternyata berpengaruh terhadap kebudayaan di Negara Kesultanan
Serdang. Salah satu pengaruh di bidang kebudayaan tersebut tercermin lewat busana, baik busana
bagi para bangsawan di Kesultanan Serdang hingga busana rakyat pada umumnya. Beberapa busana
yang menjadi pakaian khas dari Kesultanan Serdang, antara lain:
1. Busana Bangsawan Melayu (Pangeran/Keluarga Sultan)
Memakai baju dengan kain yang dipenuhi sulaman “Kain Bertabur” benang emas. Busana tersebut
dilengkapi dengan kain samping (kain sarung dilipat dua dilekatkan/dipakaikan di pinggang dengan
kepala kain di belakang), tengkulok (Ikat Kepala), sebilah keris, selempang (kain kebesaran yang
disilangkan dibahu penanda jabatan/kedudukan), dan bengkong (ikat pinggang untuk menutupi
lipatan kain samping). Busana resmi seperti ini dipakai ketika Bangsawan Tinggi mengikuti upacara
adat keraton Menjunjung Duli menghadap Sultan pada hari-hari besar tertentu di depan singgasana
Sultan.
2. Pakaian Bangsawan Melayu (Tengku Puteri/Keluarga Sultan)
Memakai baju dengan kain yang dipenuhi sulaman “Kain Bertabur” benang emas. Busana tersebut
dilengkapi dengan selendang yang dipakai di kepala atau bahu. Busana resmi seperti ini dipakai
ketika Bangsawan Tinggi mengikuti upacara adat keraton Menjunjung Duli menghadap Sultan pada
hari-hari besar tertentu di depan singgasana Sultan.
3. Pakaian Pria Bangsawan Karo dari Senembah (Sibayak)
Memakai sepasang busana hitam dengan baju yang bersulam dan mengenakan/memakai ikat kepala
(Bulang-bulang) dan ikat kain serta selendang berbenang emas (Uis belabulu), dilipat menjadi bentuk
segitiga dan diselempangkan/diletakkan di bahu yang disebut namanya Kadang-kadang, serta
dilengkapi dengan sebilah keris Karo yang disebut Tumbuk Lada.
4. Pakaian Wanita Bangsawan Karo dari Senembah (Puang Inang)
8Ibid., hal. 34. 9Wawancara dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH; dirumah : JL. Abdulla Lubis No. 42/47
Medan, tanggal 31 Maret 2001.
23
Memakai busana berupa sepasang pakaian (kain) dan selendang yang bertabur benang emas (Uis).
Busana ini dilengkapi dengan kain selendang (Uis Nipes), dipakai/diikat di atas dada, diikat di
pinggang, atau diselempangkan/diletakkan di atas bahu. Selain itu, busana ini juga dilengkapi oleh
ikat kepala dari kain bertabur benang emas (Uis) yang disebut Tudung Teger.
5. Busana Pria Bangsawan Batak Timur Serdang Hulu (Tuan Perbapaan)
Memakai busana berupa sepasang baju berwarna hitam dengan kain dan selendang benang emas
yang disebut Ulos, dan memakai ikat kepala dari kain batik yang disebut Gotong Potik, serta sebilah
senjata yang diselipkan di pinggang yang disebut Suhul Gading.
6. Busana Wanita Bangsawan Batak Timur Serdang Hulu (Puang Bolon)
Memakai busana berupa sepasang pakaian dengan kain bersulam benang emas (Ulos) dan
dilekatkan di pinggang (di dalam baju) atau di atas dada yang disebut Ragi Pane. Busana ini
dilengkapi dengan selendang (Suri-suri) dan diletakkan/diselempangkan di atas bahu sebelah kanan
atau diikatkan di pinggang. Penutup kepala memakai ikat kepala dari kain ulos yang disebut Bulang
Teget.
7. Busana Sehari-hari bagi bangsawan (pria dan wanita)
Bagi Pria:
Memakai busana Melayu, yaitu Teluk Belanga yang dilengkapi dengan samping kain songket dan
memakai kopiah.
Bagi Wanita:
Memakai baju kebaya Melayu yang dilengkapi dengan kain pelekat serta memakai selendang di
bahu
Upacara Kematian Adat Serdang10
Salah satu pelaksanaan adat-istiadat yang terdapat di Kesultanan Serdang dan masyarakat Melayu
Sumatra Timur pada umumnya adalah upacara kematian. Pada zaman dahulu kesultanan merupakan
pemerintahan tertinggi pada masyarakat Islamdi Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara). Oleh
karena itu, upacara kematian pada masyarakat Islam dapat dilihat dalam pelaksanaan upacara
kematian Sultan. Tujuan upacara kematian pada masyarakat Melayu sesuai dengan ajaran agama
Islam yaitu mati dalam Islam. Jika yang meninggal dunia adalah seorang Sultan atau Orang Besar
maka diadakanlah upacara dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Kaum wanita berkerbang rambut (rambut terurai lepas);
2) Semua laki-laki memakai ikat kepala berwarna putih atau secarik kain putih;
3) Terdapat rombongan yang bertugas “meratap”, yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian
bersyair seperti meratap, memuji-muji, dan mengeluarkan kata-kata hiba untuk si mayat;
4) Anggota badan dan sendi-sendi mayat diolesi dengan minyak;
10 Ibid.,
24
5) Jenazah dinaikkan ke atas kelemba (tempat tidur khusus untuk orang mati) yang dihiasi;
6) Semua badan dan muka jenazah ditutupi dengan kain bertabur dan diletakkan sebilah keris
(atau benda-benda logam lainnya) di atas perut jenazah agar camar-camar (najis-najis) yang
tertinggal dapat keluar dengan cepat;
7) Jenazah pantang ditinggalkan sendirian, harus ada yang menjaga dan bergantian melafalkan
ayat-ayat suci Alqur‟an. Selain itu, diharapkan ada wangi semerbak dari kapur barus, air
bunga mawar, dan asap setanggi;
8) Secara beramai-ramai membuat keranda dan rahap (penghias keranda). Namun, rahap hanya
diperuntukkan apabila kalangan bangsawan yang meninggal dunia.
1. Memandikan dan Mengkafani Jenazah
Aturan yang berlaku dalam tradisi Islam dan Melayu adalah jenazah harus dimandikan terlebih
dahulu. Beberapa perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan ritual memandikan mayat di
antaranya adalah kain putih, sugi-sugi, air limau, sabun, kapas, daun bedara, sikat, bedak, minyat atar,
kapur barus, dan cendana. Seluruh perlengkapan itu dimasukkan ke dalam dua mangkuk limau, empat
piring, satu talam, satu sangai, dan dua buah labu. Jenazah dimandikan dengan cara Islam. Orang
yang memangku jenazah sebaiknya menantu atau kerabat dekat untuk menjaga agar hal yang kurang
baik tidak sampai tersiar ke luar.
Apabila jenazah telah selesai dimandikan, diberikanlah sedekah kepada orang yang memandikan,
yakni berupa:
1) Kain putih berukuran 1,80 meter (2,2 yard), bisa juga ditambahkan atau berupa baju dan kain,
diberikan kepada orang yang memangku jenazah;
2) Kain putih berukuran 1,80 meter (2,2 yard) diberikan kepada “penyandar”, yakni orang yang
menjadi sandaran pemangku ketika memandikan jenazah;
3) Seperangkat alat-alat, termasuk mangkuk limau, cincin, dan kain putih berukuran 1,80 meter
(2,2 yard), diberikan kepada “peruang”, yaitu orang yang dtugaskan untuk membersihkan
anggota-anggota tubuh jenazah;
Setelah selesai dimandikan, jenazah kemudian dikafani dengan kain putih, diberi kapas, kayu
gaharu, dan kapur barus serta wangi-wangian. Selanjutnya, jenazah dimasukkan ke dalam keranda.
Kepada seluruh keluarga, ahli waris, kerabat, dan handai taulan, diberi kesempatan melihat jenazah
untuk terakhir kalinya. Setelah itu, jenazah lalu disembahyangkan (sebaiknya oleh 40 orang atau
lebih). Upacara menshalatkan jenazah mempunyai persyaratan, antara lain perlu diselesaikan hutang-
piutangnya agar jangan menjadi penghalang bagi yang meninggal.
2. Raja Mangkat, Raja Menanam
Jika yang wafat adalah seorang Sultan, maka keranda dinaikkan dengan jenazahnya ke atas kelemba
agar upacara Menjunjung Duli bisa dilaksanakan. Sesuai dengan adat Melayu “Raja Mangkat, Raja
Menanam”, penabalan pengganti Sultan yang mangkat harus segera dilangsungkan dan jenazah
Sultan yang meninggal dunia tidak boleh dikuburkan sebelum diangkat penggantinya. Penobatan
Sultan yang baru dilakukan di depan jenazah Sultan yang wafat. Dalam upacara penabalan Sultan,
ada beberapa hal yang perlu diingat, antara lain:
1) Jenis pakaian sama dengan pakaian mahkota;
25
2) Pelaminan yang disediakan berupa 9 tingkat dan semua berwarna kuning;
3) Dayang-dayang berjumlah 18 orang dengan rincian 9 orang dayang berada pada sisi kiri dan 9
orang dayang lainnya berada di sisi kanan;
4) Disediakan Balai Pulut Kuning dengan ukuran besar dan bunga telur sebanyak seratus biji;
5) Seperangkat bahan tepung tawar;
6) Payung kuning kesultanan bertingkat tiga;
7) Alat regalia kerajaan harus ada di dekat penabalan singgasana, yakni berupa satu pedang
panjang dan satu pedang pendek, satu keris panjang dan satu keris pendek, satu tumpuk lada,
satu tombak agam tanpa rambu-rambu, dan satu tombak dengan rambu;
8) Pejabat yang telah ditunjuk membacakan surat pengangkatan pengukuhan Sultan;
9) Salah seorang punggawa kesultanan bertugas memegang payung bertingkat;
10) Salah seorang punggawa yang telah ditunjuk sebelumnya menyerukan “Daulat Tuanku”
sebanyak 3 kali lalu disambut dengan alunan suara rakyat di halaman istana;
11) Bunyi meriam didentumkan sebanyak 13 kali;
12) Menepung tawari;
13) Pembesar tertinggi duduk bersama-sama di singgasana.
3. Tentang Rahap
Apabila yang wafat adalah Sultan atau Orang-orang Besar Kesultanan Serdang, maka harus
dibuatkan rahap. Rahap adalah sungkup atau penutup di mana di dalamnya diletakkan keranda.
Rahap diberi hiasan dan tingkatan yang disesuaikan menurut tingkatan sosial orang yang meninggal
dunia. Terdapat dua jenis rahap yang digunakan di dalam tradisi Kesultanan Serdang.
1) Rahap Raja Diraja, yakni rahap khusus yang diperuntukkan bagi Raja/Sultan yang wafat
(terdiri dari 8 tingkat);
2) Rahap Raja Dipaksi yang diperuntukkan bagi putra mahkota (4 tingkat) dan anak bangsawan
kesultanan (2 tingkat).
Jumlah tingkat rahap harus angka genap yang melambangkan perasaan duka-cita. Sebagai penanda
berita belasungkawa, di luar istana dikibarkanlah tonggol, yakni panji-panji kecil berbentuk persegi
dan berwarna hitam. Di atas bumbungan rahap terdapat selembayung yang ditempatkan di tengah-
tengah. Selembayung adalah tanda jenis kelamin orang yang meninggal dunia. Untuk laki-laki,
bagian tengah selembayung bentuknya berbukit, sedangkan untuk perempuan, selembayung
mempunyai lekukan pada bagian tengahnya.
Warna yang digunakan pada rahap juga terdapat perbedaan berdasarkan kedudukan keluarga
kesultanan yang meninggal dunia, yaitu:
1) Sultan, rahap dan payung-payungnya semua berwarna kuning;
2) Anak-anak Sultan dan Tengku-tengku yang bergelar Raja Muda, Putra Mahkota, dan Tengku
Bendahara, rahap berwarna kuning dengan les hitam;
3) Tengku-tengku lainnya, warna dasar rahap adalah hitam dengan renda berwarna kuning;
4) Datuk-datuk Wazir Berempat, warna dasar rahap adalah putih. Sedangan payungnya dihiasi
dengan renda-renda berwarna hijau dan di pucuknya berwarna kuning;
5) Encik-encik istri Tengku, warna rahap semuanya berwarna putih;
6) Pangeran Perbaungan, Raja Denai, Wazir Padang, dan Wazir Bedagai, warna dasar rahap
adalah kuning dengan les hitam dan hijau;
26
7) Kejeruan Senembah, warna dasar rahap adalah putih dengan renda biru;
8) Kejeruan Serba Jadi, warna dasar rahap adalah putih dengan renda biru dan kuning;
9) Datuk-datuk Berlapan, warna dasar rahap adalah putih dengan renda hijau.
4. Pemakaman
Setelah acara penabalan Sultan yang baru selesai dilaksanakan, maka jenazah almarhum Sultan
sudah dapat diberangkatkan untuk dimakamkan. Pemberangkatan jenazah ke tempat peristirahatan
terakhir diawali dengan kata sambutan, kemudian seluruh keluarga menyampaikan ucapan terima
kasih atas segala bantuan yang telah diberikan selama proses upacara baru kemudian jenazah mulai
diberangkatkan menuju tempat pemakaman. Perjalanan menuju ke tempat pemakaman sebaiknya
dilakukan dengan berjalan kaki dan untuk wanita sebaiknya tidak turut serta.
Perlengkapan yang harus disediakan dalam upacara pemakaman antara lain air mawar selabu, tilam,
tikar, payung, dan bantal. Ada punggawa yang ditunjuk untuk membawa air labu yang nanti
disiramkan atas makam, serta membawa payung dan tikar untuk tempat duduk orang yang membaca
talqin. Selain itu disediakan juga bungai rampai setalam yang akan disebarkan di sepanjang jalan
menuju pemakaman dan disebarkan pula di atas makam. Uang recehan juga disiapkan untuk
disedekahkan kepada para pengantar. Untuk ulama yang membaca talqim, disedekahkan tilam-tilam,
bantal baru, dan sebuah tepak penalkin beserta uang di dalamnya. Setelah upacara pemakaman selesai
dilaksanakan, maka pada malamnya diadakan tahlil selama 3 hari berturut-turut.
Gelar Kebangsawanan (Kerabat/Keturunan)11
Banyak sekali gelaran-kadang yang dipakai oleh Radja-radja Melaju setelah masuknja Islam.
Gelaran jang umum ialah “SULTHAN” dan “RADJA” bagi keradjaannja jang ketjil (misalnja :
“Radja Denai”, sering diterdjemahkan ke dalam bahasa Belanda dahulu “Het Hoofd van”). Ada djuga
radja2 jang memakai gelar “MAHARDJA” (seperti mahardja van Padang) dan “JANG
DIPERTUAN” atau di singkat JAMTUAN (seperti Jang Dipertuan Kualah dan Leidong : Jang
Dipertuan Besar Siak dan lain2). Ada pula jang sekedar memakai “SUTAN” (Sutan Panai, Kota
Pinang dan lain2).
Adapun gelaran-gelaran kebangsawanan banyak pula. Sebelum 1860 disini belum begitu dikenal
title “TENGKU” (mungkin ini kemudiannya ditiru dari Atjeh atau Malaya). Menurut Anderson
dalam lawatannya ke daerah ini di tahun 1823 masih dipakai title bangsawan “TUANKU” dan
“WAN” bagi aristokraten kadang-kadang title ini dikombinasikan seperti : “Tuanku Wan Kumbang”.
Disekitar tahun 1860 lazim di daerah Deli dan Serdang, title “TAN” (kependekan dari “Sutan” seperti
Tan Aman”) mungkin pengaruh dari Minangkabau. Mari kita tinjau kini pemakaian title “TENGKU”
seperti pertanyaan dari Gubernur Ezerman tgl. 3 Nopember 1932 tertuju kepada ambtenar-ambtenar
Belanda didaerah-daerah Melayu di Sumatera Timur dan Riau. Gunanya komisi ini agar dapat
dihindarkan pemakaian title hukumnya didalam hukum adat.12
Hasil-hasil penyelidikan tersebut adalah mengenai title “TENGKU” :
Dari surat Tuanku Sulaiman Sjariful Alamsyah, Sultan Serdang, termaksud di istana Perbaungan 8
Nopember 1933 : “Menurut adat Negeri Serdang yang berhak memakai title “TENGKU”, ialah
11Didasarkan atas hasil wawancara dengan Tengku Syahrial di Belawan, tertanggal 5 April 2001. 12Ibid.,
27
mereka yang dari pihak laki-laki berketurunan dari Radja Negeri Serdang, baik yang sudah-sudah,
yang sekarang atau yang akan datang, dengan tiada yang membedakan, apakah ibunya Tengku atau
tidak. Selainnya daripada itu boleh memakai title Tengku yaitu orang yang berketurunan dari Radja
negeri lain, yang dinegerinya ia memakai title Tengku. Dan orang yang berketurunan dari Radja
negeri lain, yang di negerinya memakai title lain, dan title itu tiada kurang tarapnya dari title Tengku,
misalnya “SUTAN”yang berketurunan dari Radja Pagarujung (Minangkabau) dan sebagainya serta ia
bersemenda ke negeri Serdang, maka kepadanya boleh diberikan oleh keradjaan memakai title
“TENGKU”.
Dari surat Ass. Resident Asahan tanggal 13 Januari 1933 : dibeberapa Keradjaan-keradjaan dalam
afdeling ini terjadi kesimpangsiuran keadaan sedangkan mengenai hak memakai title “Tengku” juga
terdapat keterangan-keterangan yang berbeda-beda sehingga menurut pendapat saja akibat dari fakta
bahwa keradjaan-keradjaan yang memang diakui mereka ~ tidaklah begitu mengetahui dalam hal
ini.13
Tetapi yang nyata bahwa anak-anak yang ayah dan ibunya Tengku juga juga laki-laki Tengku dan
isterinya tidak bertitel, maka anak-anak mereka di Labuhan Batu juga mendapat title Tengku : di
Asahan mengenai hal ini terdapat keragu-raguan. Jika seorang laki-laki tanpa title kawin engan
wanita-Tengku maka anak-anak mereka di Labuhan Batu kehilangan title Tengku dan mereka
memperoleh title “WAN” di Asahan mereka ini memperoleh title “DJADJA”.
Disamping title Tengku ada lagi title “ADJA”. Sebahagian mengatakan ada hubungannya.
Bagaimanapun title Tengku dipandang lebih tinggi. Juga mengenai ini belum terdapat kepastian.
Mengenai asalnya title Tengku tidak seorangpun dapat memberikan keterangan yang sempurna
didalam afdeeling disini tidak terdapat Tengku, yang bukan keturunanya dari Sultan. Tetapi yang
mana yang duluan, Radja atau Tengku. Dengan kata lain apakah Radja berasal dari Tengku-famili
sehingga cabanya tinggal satu-satunya disini atau keturunan dari raja yang memperoleh title Tengku.
Menurut Kontelir Batu Bara seyongianya asalnya sebagaiberikut : Title yang biasanya disana ialah
RADJA, DATUK, WAN dan TENGKU. Titel yamg pertama di atas di Sumatera diantara suku
bangsa Melayu merupakan title sebutan untuk Kepala-kepala Daerah, sedangkan “DATUK” dan
“WAN” berasal dari Minangkabau. Title Tengku lebih banyak merupakan title Tengkumelengket
kepada orang-orang yang dahulu berasal dari Riau. Diman title itu serupa “TONGKU” adanya dan
dipakai untuk turunan dari Sulthan. Di Labuhan Batu tidak terdapat pemakaian title Tengku secara
tidak sah dan jarang terjadi penyalahgunaannya.
Tengku Machmud, Sultan Langkat, menjawab pertanyaan ini tgl. 27 April 1933 dari Darul Aman
sebagai berikut : “....bersama ini kita maklumkan bahwa di dalam kerajaan ada bermacam-macam
gelaran yang di pakai oleh anak-anak bangsawan yaitu TENGKU, RADJA, WAN, ORANG KAYA
dan ENCIK. Oleh karena sudah lama tidak diperhatikan gelaran itu sudah tentang benar dan menjadi
tiada berapa tentu susunannya, sehingga banyak orang-orang memakai gelaran yang menurut ada
tiada boleh dipakainya. Akan tetapi hal itu tiada boleh disalahkan kepada mereka semata-mata, sebab
kerajaan belum ada menetapkan peraturan tentang susunan memakai gelaran bangsawan itu. Jika
peraturan ini sudah diadakan barulah boleh dituntut orang-orang yang memakai gelaran yang bukan
haknya. Oleh karena itu telah kita dirikan suatu komisi yang kita kepalai sendiri dan anggota-
anggotanya terdiri dari beberapa saudara-saudara dan orang besar-besar kita buat menyusun suatu
13Didasarkan atas hasil Wawancara dengan Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH; dirumah: JL.
Abdulla Lubis No. 42/47 Medan, tanggal 31 Maret 2001.
28
“Peraturan tentang memakai gelaran bangsawan di dalam negeri Langkat”. Sesudahnya diperbuat
peraturan itu akan kita kirimkan rancangannya kehadapan paduka sehabat kita adanya.14
Tengku Amaluddin, Sultan Deli Termaktub di kota maimun tgl. 23-2-1933 : “Bahwa sebenarnya
menurut adat disini adalah derajat kebangsawanan terbagi atas 5 bahagian yaitu : 1. TENGKU. 2.
RADJA 3. WAN 4. DATUK 5. ORANG KAYA 6. ENCIK”.
Yang berhak memakai nama “Tengku” ialah putera/putri dari SULTAN dan keturunanya dari laki-
laki, yakni selagi ayahnya memakai nama Tengku maka sekalian anak-anaknya berhaklah memakai
nama atau derajat itu, karena nama Tengku itu dipandang menjadi suatu kebangsawanan yang
mengambil nasaf atau turunan dari ayah.
Yang ikatakan “RADJA” seperti yang pernah ada bernama “Radja Buang” berasal dari Inderagiri,
yaitu yang berketurunan dari negeri lain yang bukan berasal keturunan Sultan tetapi pada negeri itu
telah ada adatnya yang memakai nama “Radja”. Begitu juga suatu bangsa atau keturunan bangsawan
dari negeri yang datang berkediaman disini menurut adat hanya memakai nama keturunan menurut
haknya yang ada terpakai di negeri asalnya.
Misalnya seperti “RADEN” dari Tanah Jawa atau “SUTAN” dari Westkust, dibenarkan dan
dipanggilkan juga disini Raden atau Sutan. Maka jika seumpanya itu berkawin disini dengan seorang
perempuan dan perempuan itu ada berketurunan Tengku. Maka anak yang terbit dari perkawinan itu
hanya berhak memakai nama Radja jikalau nyata ditetapkan keturunan Sutan itu keturunan Radja-
radja di Westkust.
Yang dikatakan “WAN” yaitu jika seorang laki-laki daripada Datuk atau Orang Kaya atu Intjik
ataupun orang Kebanyakan berkawin dengan seseorang perempuan keturunan Tengku, maka anak
yang tertib dari perkawinan inilah yang dikatakan Wan, sehingga turun-temurunnya mengalami nasaf
bapak.
Yang dikatakan “DATUK” ialah datuk-datuk empat suku yaitu Kepala-kepala orang dan
turunannya yang laki-laki. Selain dari itu juga mereka dibesarkan dikaruniakan oleh Raja atau
(Sultan) akan pangkat Datuk dan anak atau keturunan yang laki-laki dari Datuk yang dibesarkan ini
dipanggilkan “Orang Kaya”. Adapun “INTJIK-INTJIK” yaitu adalah boleh dikatakan suatu
panggilan yang memuliakan seorang laki-laki maupun perempuan daripada orang kebanyakan dengan
sebab adakalanya oleh Raja dan adakalnya oleh orang banyak saja menurut perjalanan yang sudah
teradat. Begitulah rasanya susunan perjalanan kebangsawanan yang seharusnya tetapi ada juga
sebenarnya daripada mereka itu yang tidak mengetahui telah memakai-makaikan juga yang tiada hak
baginya. Mereka juga demikian itu yang memakai nama kebangsawanannya dengan tiada haknya
menurut adat, maka sudah tentu menurut adat juga boleh dilarangkan baginya sambil ditetapkan atas
haknya yang sebenarnya.
Sesungguhnya hal keadaan yang bersalahan itu adalah diperhatikan benar melainkan pada masanya
yang perlu saja yaitu dengan kebetulan bersangkutan dengan sesuatu urusan memberikan haknya juga
terbentang sepanjang adat atau peraturan negeri seperti misalnya jika ada mereka itu perlu ditimbang
tentang memberi kebebasannya atau kearah negeri atau ada masa perkawinan mereka menjadi
perselisihan atas “Kufu-nya” atau tiada. Diatas kesalahan itu tiada pernah dilakukan hukuman, tetapi
boleh dilarang atau diperingatkan dan manakala tiada mengindahkan olehnya yang dilarangkan dan
diperingatkan itu maka barulah ianya dapat dihukum sekira-kira kesalahan tiada mengindahkan
larangan dan peringatan itu. Bahwa adapun yang Seri Paduka Tuan Besar Gubernur berkehendak
kepada suatu list atau saat dari mereka itu Tengku-tengku pada pikiran kita jika saat tengku-tengku
itu diperbuatkan maka haruslah pula saat dari yang selainnya itu juga diperbuatkan yang mana hal
pekerjaan itu menjadikan satu pekerjaan yag sukar dikerjakan dengan siasat yang mesti dilakukan
14Didasarkan atas hasil Wawancara dengan Tengku Syahrul di Selesei, tertanggal 7 Mei 2001.
29
atas rakyat didalam bahagian-bahagian tertentu dari kerajaan, jadi setiap kepala mempunyai suatu
daerah tugas tertentu. Di Sumatera timur terdapat percampur-bauran dari kedua adat ini.
Di Siak Tunggal menetap sejak Siak masih di bawah Johor banyak orang Minangkabau. Di abad
ke-17 ini dapat memerdekakan diri dari Johor, lalu kepala-kepala rakyat atau datuk-datuk dari
Minangkabau yaitu Suku Lima Puluh, Tanah Datar, dan pesisir menjadilah orang besar. Kemudian
dibentuk lagi suku Kampar sebagai orang yang keempat dibawah kepala suku tersendiri dan juga
diakui sebagai orang besar kepala dari Bukit Batu, suatu daerah yang terletak di depan Pulau
Bengkalis, dengan titel DATUK LAKSEMANA. Adapun batubara dahulu di kolonisir dari Siak dan
juga disini pemerintahan suku menurut adat Minangkabau dilaksanakan. Seorang bendahara
mewakili disini pertuanan Siak. Sewaktu akhir-akhir pengaruh Siak makin hilang, terjadilah
pembagian territorial dan Lima Puluh, Tanah Datar, pesisir dan Lima Laras, nama-nama dari 4
Landschap dinamai juga suku. Datuk-dtuk yang sedemikian rupa ditemui juga sebagai kepala daerah
(territorial). Suasana yang seemikian rupa ditemui juga ditempat-tempat lain.
Di Deli Sultan memerintah di bantu oleh seorang raja muda dan kepala-kepala dari empat suku
yaitu Hamparan Perak, Serbajaman, SukaPiring dan Senembah. Sudah jelas bahwa suatu
pemerintahan dengan sekian banyak kepala-kepala dalam Landschap yang kecil ini tidak begitu
menyenagnkan. Terutama pembagian kerja dan kekuasaan tertinggi antara raja dengan raja mudanya
sering mendatangkan kejadian-kejadian yang kurang baik. Oleh karena itulah pemerintah Belanda
sering menyederhanakan system pemerintahan disini dan pertama-tama ialah berusaha
menghapuskan fungsi raja muda. Di Langkat usaha ini tidak perlu lagi sebab Sultan yang terdahulu
telah mengangkat dirinya sebagai pemerintahan tunggal dan raja muda maupun orang-orang besar
sebagai anggota dari kerajaan tidak didapat disini. Di Deli raja muda telah dihapuskan setelah
mangkatnya raja muda Sulaiman (1887).
Di Asahan raja muda beroleh apanages memerintah Kualu dan Liu Dong, yang kemudian menjadi
merdeka dari Asahan dan sejak itu di Asahan fungsi ini tidak pernah diganti. Di Serdang sejak raja
muda Mustafa berhenti tahun 1910 dan meninggal dunia di tahun 1919 juga fungsi ini sudah
dihapuskan.
Pemerintah Belanda ingin lebih banyak lagi yaitu perlahan-lahan juga berkeinginan untuk
menghapuskan instituut orang-orang besar. Di Siak pada tanggal 15 Desember 1915 telah dibuat
kontrak dengan4 orang kepala suku dan datuk Laksemana dimana mereka mengundurkan diri dari
jabatannya selaku orang besar kerajaan dan serta merta menyerahkan seluruhnya kekuasaan dan
pemerintahan di Siak ke dalam tangan Sultan sendiri. Lalu kemudian mereka diangkat menjadi
kepala-kepala distrik, masing-masing dengan distrikya sendiri dan, mendapat gaji dari kas Landschap
(Kas Kerajaan). Juga di Panai dan Bilah berlaku sama di tahun 1915. Juga sedang dipersiapkan oleh
Belanda peraturan yang sama untuk kota Pinang dan Kuluh.
Akhirnya akan tercapailah tujuan Belanda didalam semua kerajaan-kerajaan kecil hanya terdapat
seorang yang memerintah saja dan para Orang besar juga menjadi anggota dirobah sebagai pegawai-
pegawai kerajaan. Di tahun 1915 suatu daerah terakhir yang masih merdeka di Sumatera telah
dimasukkan kedalam Gubernur Sumatera Timur. Daerah-daerah ini terdiri dari Landschap Kerajaan
N. Sembilan dan kerajaan Na Sepuluh, 2 komleks kampong-kampung Batak dibatas Hulu Bilah.
Setiap mereka menghendaki otonomi sendiri. Akhirnya Belanda menetapkan daerah-daerah ini
dimasukkan dalam Kerajaan Bilah.
Dalam lingkungan Kesultanan Serdang, terdapat berbagai ragam sapaan dan panggilan yang terdiri
dari berbagai-bagai golongan kata, yang dalam hal ini termasuk gelar kerajaan, gelar adat (warisan),
dan kata ganti diri. Penggolongan ini berdasarkan penggolongan kata sapaan dalam masyarakat. Kata
sapaan dalam gelar kerajaan, gelar adat dan kata ganti diri ialah kata sapaan yang digunakan untuk
menyapa seseorang yang dikaitkan peranannya di dalam lembaga tersebut, atau suasana yang
melatarbelakangi sesuatu peristiwa dalam berkomunikasi. Pemakaian gelar kebangsawanan dalam
30
lingkungan Kesultanan Serdang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, seiring dengan
perubahan iklim politik dan pemerintahan.
Gelar kebangsawanan yang digunakan pada masa kesultanan adalah sebagai berikut:
1) Raja yang berkuasa bergelar Sultan dengan sapaan Duli Yang Maha Mulia. (D.Y.M.M);
2) Menteri Utama bergelar Perdana Menteri dengan sapaan Yang Teramat Mulia (Y.T.M);
3) Penanggungjawab keuangan kesultanan bergelar Bendahara dengan sapaan Yang Teramat
Mulia (Y.T.M).
4) Putra Raja bergelar Putra Mahkota dengan sapaan Duli Yang Amat Mulia (D.Y.A.M);
5) Raja Kecil bergelar Datuk dengan sapaan Yang Dimuliakan (Y.D.);
6) Jaksa (merangkap Kepala Polisi) bergelar Temenggung dengan sapaan Yang Mulia (Y.M);
7) Kepala Militer (angkatan laut dan darat) bergelar Laksamana dengan sapaan Yang Mulia
(Y.M);
8) Kepala pelabuhan dan perdagangan bergelar Syahbandar dengan sapaan Yang Mulia (Y.M);
9) Kepala Agama bergelar Mufti dengan sapaan Yang Mulia (Y.M).
Gelar kesultanan dan sapaan kebangsawanan yang masih berlaku hingga saat ini adalah sebagai
berikut:
1) Tengku, gelar ini berhak digunakan oleh putra-putri dari Sultan dan keturunannya dari laki-
laki yaitu apabila ayahnya memakai nama Tengku maka anak-anaknya secara langsung
berhak memakai gelar tersebut. Gelar, derajat, atau nama Tengku dipandang menjadi suatu
gelar kebangsawanan yang mengambil nasab turunan dari ayah;
2) Raja, gelar ini berhak digunakan oleh yang berketurunan dari negeri lain, bukan berasal dari
keturunan Sultan. Misalnya, seperti penguasa dari negeri lain apabila kawin dengan seorang
wanita dari keturunan Tengku, maka anak dari perkawinan itu berhak memakai nama Raja;
3) Wan atau Megat, gelar ini berhak digunakan oleh anak yang lahir dari perkawinan antara
lelaki biasa dengan wanita keturunan Tengku, dan turun-temurunnya mengambil nasab dari
ayah;
4) Datuk, gelar ini berhak digunakan oleh para kepala daerah taklukan (urung). Keturunan laki-
laki dari Datuk juga mempunyai hak menyandang gelar Datuk;
5) Aja, gelar ini berhak digunakan oleh anak perempuan Datuk;
6) Orang Kaya, gelar ini berhak digunakan oleh orang yang diberi gelar oleh Raja dan anak
Datuk.
Berikut ini adalah Gelar Adat Bangsawan Kesultanan Serdang yang diberikan kepada Kerabat
Kesultanan Serdang15
. Gelar-gelar tersebut adalah:
1) Tengku Faisal gelar Pangeran Muda Mangkubumi;
2) Tengku Ismaruddin Sharick gelar Pangeran Muda Sri Indera;
3) Tengku Fairus Shafick gelar Pangeran Muda Merangu Diraja;
4) Tengku Aizansyah gelar Pangeran Muda Indera Perkasa;
15
Tengku Mira Rozana Sinar, “Peran Kesultanan Serdang dalam Pelestarian Adat Budaya Melayu
Serdang”, (Makalah Seminar Dialog Budaya Komunitas Adat, Makassar, 2007); hal. 5.
31
5) Dr. Tengku Syariful Anwar gelar Pangeran Muda Indera Mahkota.
6) Tengku Ryo Riezqan, SE. gelar Tengku Merdangga Diraja;
7) Tengku Lidya gelar Tengku Puan Kesuma Dewi;
8) Prof. Tengku Silvana Sinar, MA., Ph.D. gelar Tengku Puan Prameswari;
9) Tengku Fazila Agustina gelar Tengku Puan Sekar Diraja;
10) Tengku Eliza Norhan Sinar gelar Tengku Puan Cendera Kirana.
11) Tengku Haniza gelar Tengku Puan Sri Danta;
12) Dra. Tengku Thyrhaya Zein, MA. gelar Tengku Puan Cendera Dewi;
13) Dra. Tengku Melfira gelar Tengku Puan Gemala Indera;
14) Tengku Mira Rozanna Sinar, S.Sos. gelar Tengku Puan Puteri Bongsu;
15) Encik Hj. Dahlia gelar Encik Puan Muda Perwara.
Berikut ini adalah Gelar Adat Bangsawan Kesultanan Serdang yang diberikan kepada Orang
Besar/Wazir/ Kepala Luhak Kesultanan Negeri Serdang16
. Gelar-gelar tersebut adalah:
1) Tengku Basyaruddin Shouckry gelar Raja Muda Indera Diraja;
2) Tengku Omar Saddick gelar Temenggong Mangkunegara;
3) Tengku Haris Abdullah gelar Tengku Laksemana Bija Wangsa;
4) Tengku Hermansyah, AMP. gelar Tengku Sri Maharaja Luhak Ramunia;
5) O.K. Syahrial Ajil gelar Datuk Maha Menteri Luhak Araskabu;
6) O.K. Habibullah gelar Datuk Paduka Raja Luhak Batangkuis;
7) O.K. Khaidar Aswan, SE. gelar Datuk Paduka Raja/Timbalan Datuk Luhak/Wazir Batang
Kuis;
8) Prof. Dr. O.K. Subhilhar gelar Datuk Pakerma Raja Luhak Tanjung Morawa;
9) Tengku Tifka Zulfikar gelar Pangeran Negeri Perbaungan;
10) Tengku Haji Azhar gelar Kejeruan Santun Setia Raja Negeri Serbajadi;
11) O.K. Ibnu Hajar gelar Datuk Setia Maharaja Negeri Denai;
12) H. Wan Azmansyah Baros gelar Kejeruan Sri Diraja Negeri Senembah Tj. Muda;
13) Tuan Lukman Silangit gelar Datuk Sura Diraja Wakil Batak Timur;
14) Tuan Mansyur Tarigan gelar Datuk Setia Amar Diraja Wakil Serdang Hulu;
15) Tuan Sayuti AS gelar Datuk Godang Setia Pahlawan Luhak Pantai Cermin;
16) H. Wan Adham Nuch gelar Datuk Katibul Asrar Amar Diraja;
17) Tengku Sjahruwardi gelar Bentara Sri Setia Amar Diraja;
18) Tuan Azizul Kholis, SE., M.Si. gelar Datuk Bentara Setia Indera;
19) Tuan Nazwir Sulong gelar Datuk Bentara Kiri Diraja.
Berikut ini adalah Gelar Adat Bangsawan Kesultanan Serdang yang diberikan kepada Pengulu Adat
Kesultanan Serdang17
. Gelar-gelar tersebut adalah:
1) O.K. Syafaruddin gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Araskabu Kecamatan
Beringin;
2) Tuan H.M. Boelian Dachban gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Sei.
Rampah Kec. Sei Rampah;
3) Tuan Samsul Bahri gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Sennah Kecamatan
Pegajahan;
16
Ibid.., 17
Ibid.,
32
4) Tuan Mansyur UH. gelar gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Sialang
Kecamatan Teluk Mengkudu;
5) Tuan H. Abbas Somad, SMHK. gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Lubuk
Pakam III Kecamatan Lubuk Pakam;
6) Tuan Ir. Tengku Syaiful gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pulau Gambar
Kecamatan Serbajadi;
7) Tuan Zaibir Ibra gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Bandar Khalifah
Kecamatan Bandar Khalifah;
8) Tuan Drs. Zainuddin gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Sei. Bamban;
9) O.K. Bahruddin gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Kota Pari Kecamatan
Pantai Cermin;
10) Tuan Ibnu Hafas gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Tg. Beringin
Kecamatan Tg. Beringin;
11) O.K. Kamiluddin gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pon Kecamatan
Sungai Bamban;
12) Tuan Hidayat Ong gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa VIII, Kecamatan
Pagar Merbau;
13) Tuan H. Rahmatsyah gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Percut
Kecamatan Percut Sei. Tuan;
14) Tuan Kiyai H. Sulaiman Sembiring gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa
Telun Kenas Kecamatan Telun Kenas;
15) Tuan Drs. Syaiful Anwar gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Tg.
Morawa Kecamatan Tg. Morawa;
16) Tuan Rudi Faliskan gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Batu Bedimbar,
Kecamatan Tg. Morawa;
17) Tuan Anwaruddin Ulfa gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Batang Kuis
Pekan Batang Kuis;
18) Tuan Syaiful Azhar gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Galang
Kecamatan Galang;
19) Tuan Haminson gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Paloh Sibaji Kecamatan
Pantai Labu;
20) Tuan Syarifuddin IX gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pekan Perbaungan;
21) Tuan Syarifuddin Nong gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Lubuk Pakam-
II;
22) Wan Herman gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Setaman Jernih–
Perbaungan;
23) Tuan Akhiruddin Sauti gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Simpang Tiga
Perbaungan;
24) Tuan Muhammad Sum gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Pantai Cermin
Kiri;
25) Tuan Jubardin gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Besar-II Terjun
Kecamatan Pantai Cermin;
26) Tuan Ir. Fakhrul Rozi gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Desa Sahmat Lubuk
Pakam;
27) H. O.K. Hasanuddin gelar Pengulu Adat Kesultanan Negeri Serdang Kampung Besar Serdang
Kecamatan Beringin.
B. Adat Patik
33
Dalam kehidupannya, seperti halnya masyarakat lainnya, masyarakat melayu serdang dilandasi oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh mereka sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Dan hal ini terlihat dalam
upacara adat, adat perkawinan, seni musik, seni tari, teater, permainan rakyat, makanan dan
sebagainya.
Dalam upacara-upacara adat yang terdapat dalam masyarakat Melayu Serdang merupakan
ungkapan dari perilaku, cita-cita, kepribadian dan pegangan hidup masyarakatnya dan hal ini
dimaknai dan dijembatani melalui perlengkapan dan tata cara pelaksanaannya. Salah satu contoh dari
upacara yang masih dapat kita lihat sampai sekarang seperti Upacara Jamuan Laut - Upacara ini
ditujukan agar penguasa laut tidak marah kepada para nelayan dan mereka dapat memperoleh ikan
yang berlimpah.
Upacara Tolak Bala-Upacara yang ditujukan untuk menjemput sang Dewi Padi agar kekal berdiam
dan bertunas banyak sehingga panen dapat berhasil. Upacara-upacara diatas mengandung makna agar
masyarakat tetap bersemangat dan percaya akan keberadaan Tuhan yang meningkatkan hasil
tangkapan ikan ataupun hasil panen dan mensyukurinya. Oleh karena itu, dalam kesehariannya
upacara tersebut masih tetap dipertahankan walaupun telah mengalami banyak perubahan yang
disebabkan modernisasi/perkembangan zaman.
Demikian pula pada upacara perkawinan, terdapat tahapan-tahapan yang mengandung nilai-nilai
budaya yang berisi mengenai pesan-pesan untuk menjalani kehidupan selanjutnya, jadi bukan hanya
sekedar sebuah acara perkawinan yang identik dengan pesta ataupun simbol dari kemampuan
finansial seseorang untuk membuat suatu pesta adat.
Upacara perkawinan bagi masyarakat Melayu Serdang merupakan pelaksanaan Syari‟ah Islam dan
kegiatan sosial yang besar. Pada zaman dahulu, beberapa hari sebelum perkawinan berlangsung,
semua handai tolan dan sanak keluarga telah berkumpul di tempat pesta adat akan berlangsung.
Perkawinan dianggap juga sebagai sebuah peningkatan persaudaraan karena dengan perkawinan
maka dua keluarga yang kawin menjadi satu keluarga yang lebih besar. Apabila yang menikah adalah
keluarga kerajaan, maka perkawinan tersebut tidak hanya menyatukan ke dua keluarga tapi juga
merupakan perwujudan satu peristiwa politik. Dalam upacara perkawinan, biasanya berbagai
kegiatan-kegiatan seni (seni hias, seni ukir, sulaman dan lain-lain) akan diperagakan oleh orang-orang
tua (sesepuh) yang kemudian menjadi pedoman bagi generasi yang muda.
Dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu Serdang terdapat 12 (dua belas) tahapan
perkawinan, yaitu sebagai berikut :1) Merisik da penghulu Telangkai, 2) Jamu Sukut, 3) Meminang,
4) Ikat Janji, 5) Mengantar Bunga Sirih, 6) Akad Nikah, 7) Berinai, 8) Berinai Curi : a..Berinai
Tengah, b. Berinai dan Mandi Berhias, c. Berandan dan Mandi Berhias, 9) Bersanding, 10) Nasi
Hadap-hadapan (Astakona atau Setakona), 11) Mandi Berdimbar, dan 12) Mandi Selamat (lepas
halangan).
Demikian pula pada kesenian masyarakat Melayu Serdang, terdapat nilai-nilai budaya yang
dipengaruhi oleh kesenian islam yang pada akhirnya banyak melahirkan jiwa pemain, pencipta dan
penimatnya berakhlak mulia baik terhadap lingkungan, sesama masyarakat dan pemimpin ataupun
kepada penciptaNya.
Kesenian ini, terdiri dari musik, tari, sastra dan teater dan kesemua hal ini saling terkait. Karena
semua kesenian tersebut bukanlah hanya sekedar kreasi artistik, tidak juga sekedar untuk hiburan atau
bersantai, tetapi bersatu dengan berbagai aspek kebudayaan.
Dilihat dari fungsinya, kesenian dalam masyarakat Melayu Serdang dibagi menjadi dua bagian :
1. Kesenian dengan sistem kepercayaan
Dalam sistem kepercayaan, kesenian yang dilakukan berkaitan dengan upacara magis dan
keagamaan lazimnya berbentuk simbolis yang melambangkan kuasa luar biasa. Misalnya, nyanyian
34
dan tetabuhan yang dilakukan oleh dukun atau pawang ataupun lagu-lagu tertentu di dalam musik
Nobat Diraja, nyanyian kematian ataupun dalam agama Islam dikenal tari zapin, hadrah, rodat, yang
selslu berkaitan dengan aktivitas-aktivitas agama Islam.
2. Kesenian dengan kehidupan sosial
Dalam kehidupan sosial, kesenian berhubungan erat dengan pengalaman manusia dan struktur
sosial seperti hubungan antara kelas sosial, sikap, dan tahapan tehnologi atau ringkasnya
mencerminkan taraf kemajuan masyarakat. Tujuan utama dari sosial ialah untuk hiburan dan
memenuhi kebutuhan rohaniah manusia.
Sebagai contoh pada tarian Melayu Serdang selalu dan wajib berdasarkan kepada tata susila yang
telah digariskan oleh adat. Selanjutnya harus memenuhi norma-norma yang diatur oleh agama Islam
atau adat Melayu. Nilai-nilai kesopanan, etika, estetika, harus merujuk kepada adat. Seorang penari
wanita dan pria memiliki peran tersendiri sebagai ekspresi wanita dan pria Melayu. Wanita yang
lemah gemulai dan pria yang gagah namun cakap dan handal dalam bergerak. Selain itu, alam
sekitarnya menjadi objek mimesis gerak tari yang diselaraskan dengan nilai-nilai estetika.
Selain terkait dengan hal diatas, kesenian dalam masyarakat Melayu serdang memiliki fungsi dalam
aktivitas perekonomian suku bangsa itu. Seperti halnya dengan bahasa, maka kesenian juga adalah
alat komunikasi sosial dan sebagai media, ia memainkan peranan penting didalam interaksi sosial
berbagai individu didalam masyarakat pendukungnya itu. Dalam seni terdapat banyak informasi
mengenai nilai-nilai sosial, aspirasi dan orientasi suku bangsa itu.
Keanekaragaman budaya masyarakat Melayu Serdang juga tercermin dalam permainan-permainan
rakyat dan hal ini terlihat pada istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut permainan tersebut.
Permainan-permainan ini memiliki fungsi untuk melatih serta membina khalayaknya bersikap jujur,
cerdas, bijak dan arif dalam beraktivitas sehari-hari. Contoh-contoh permainan rakyat adalah a.
Permainan Gasing, b. Permainan Rimbang, c. Permainan Congklak, d. Permainan Alip Cendong, dll
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa masyarakat Melayu Serdang memiliki keanekaragaman
yang banyak dipengaruhi oleh unsus-unsur Islam dan menjadi dasar dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Melayu Serdang18
.
Pengaruh Globalisasi terhadap Perkembangan Kebudayaan Sosial Budaya di Kesultanan
Serdang
Kebudayaan dalam konsep praksis, (Bourdieu, 1977 dalam Bachtiar Alam) menekankan pada
adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai “sturktur
obyektif” yaitu sistem konsepsi yang diwariskan dari generasi ke genarasi. Bourdieu menggambarkan
hubungan timbale balik diantara keduanya sebagai (1) struktur obyektif yang direproduksi secara
terus menerus dalam praksis para pelakunya yang berada dalam kondisi historis tertentu, (2) dalam
proses tersebut para pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasi simbol-simbol budaya yang
terdapat dalam struktur obyektif sebagai tindakan strategis dalam konteks sosial tertentu, (3) sehingga
proses timbal balik secara terus menerus antara praksis dan struktur obyektif dapat menghasilkan baik
perubahan maupun kontinuitas. Hal ini menunjukkan kebudayaan dalam konsep praksis adalah suatu
konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan keperntingan maupun kekuasaan yang dimiliki oleh
pelaku dan menunjukkan bahwa simbol-simbol ataupun nilai-nilai yang terkandung dalam
kebudayaaan bersifat cair, dinamis dan keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya dan
pada konteks sosial tertentu19
.
18Ibid., hal. 7 19Bachtiar Alam, “Globalisasi dan Perubahan Budaya : Perspektif Teori Kebudayaan”, (Jurnal
Antropologi Indonesia, Edisi XXI, No. 50, 1998 ), hal.1 – 8.
35
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Melayu Serdang, seperti misalnya pada upacara
perkawinan yang mengalami perubahan dengan sengaja menghilangkan setiap tahapan-tahapan adat
istiadat dalam perkawinan adat melayu dengan dalih keterbatasan waktu dan biaya dengan sebuah
alasan ”Dengan tidak mengurangi makna dari adat Melayu” sehingga cukup diwakilkan dengan satu
buah tahapan saja atau penggunaan budaya-budaya barat seperti penggunaan busana bergaya barat
atau eropa sehingga terbentuk suatu kebiasaan adat budaya yang baru. Ataupun pada kesenian, seperti
pengaruh media-media sinema elektronik yang lebih mengetengahkan gaya hidup perkotaan yang
serba ”Wah” lebih menarik untuk di tonton dibandingkan dengan memahami atau menyaksikan seni
drama tradisi, seperti Teater Makyong dan Teater Bangsawan20
.
Demikian pula, perubahaan yang terjadi dalam kesenian Rentak Calti (rentak lagu pop
Melayu/dangdut sekarang ini). Di zaman sebelum Perang Dunia ke-2, para penarinya adalah wanita
dan partner berpakaian ala India Selatan. Alat-alat yang mengiringinya ialah sebuah harmonium, 2
buah gendang tabla dan maraca. Tarian ini tidak berapa populer dikalangan rakyat banyak dan hanya
ditarikan di istana Serdang dan Deli saja, mungkin karena tariannya agak sulit untuk dipelajari dan
tidak disertai partner laki-laki maka kurang menarik pada masyarakat banyak untuk hiburan. Namun,
musiknya tetap populer dan makin meningkat di dalam tahun 1970-an21
.
Hal diatas menggambarkan bahwa perubahan-perubahan tersebut merupakan proses globalisasi itu
sudah berlangsung sejak lama dan tidak selalu ditandai dengan peningkatkan kemampuan komunikasi
ataupun peralatan canggih, namun pada ”keterbukaan” terhadap pengaruh berbagai kebudayaan
dunia. Sebagai contoh, tarian dalam masyarakat yang struktur sosialnya relatif sederhana, seperti
masyarakat tribal, tari menjadi bagian dari upacara ritual dan memiliki kedudukan penting dalam
sistem sosial masyarakatnya, seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara daur hidup (circle life).
Sementara itu, dalam masyarakat modern yang lebih terbuka terhadap kebudayaan luar melihat tarian
selain memiliki fungsi ritual dan religi juga selalu memiliki fungsi estetis, hiburan dan mengasah
intelegensia masyarakat.
Oleh karena itu, konsepsi bahwa kebudayaan itu bersifat cair, dinamis dan keberadaannya
tergantung pada praksis para pelakunya dan pada konteks sosial tertentu ini menyebabkan proses
globalisasi dan perubahan kebudayaan itu tidak akan pernah hilang dari kehidupan sosial manusia.
Sesuai dengan yang dikatakan Levi-Strauss22
, bahwa Identitas atau jati diri para pendukung suatu
kebudayaan menjadi kuat bukan karena isolasi tetapi justru karena adanya interaksi antara budaya.
C. Silsilah Dinasti Kesultanan Serdang
Awal sejarah Kesultanan Serdang tidak lepas dari sejarah Kesultanan Deli. Diawali dengan Kerajaan
Haru/Aru hingga Gocah pahlawan menaklukkan Haru, berikut keturunannya hingga mangkatnya
Tuanku Panglima Paderap sampai pada saat pemilihan penerus Kesultanan Deli Hingga akhirnya
Tuanku Umar Johan terusir dari istana Deli waktu itu.
1723 - Atas perlakuan yang dilakukan oleh Tuanku Pasutan selaku Sultan Deli terhadap adiknya
Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung Sunggal marga
Surbakti dan Raja Urung Senembah marga Barus serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak
Timur marga Saragih yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjung Morawa dan juga
seorang pembesar dari Aceh Uleebalang Lumu (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan
selaku Raja Serdang yang pertama.
20Tengku Mira Rozana Sinar, Op. Cit., hal. 7 – 14. 21 Ibid, hal. 11 22Bachtiar Alam, Op. Cit., hal. 8.
36
Para Datuk ini pun segera membawa Tuanku Umar beserta ibundanya Permaisuri Puan Sampali ke
muara sungai Serdang dan merajakan Tuanku Umar sebagai Sultan Serdang yang pertama (1723 M).
Mereka membawa Sarakata dengan Cap Sikureung dari Sultan Aceh untuk pesan penobatan Tuanku
Umar yaitu sebagai berikut : “Memerintah Negeri Serdang dengan peringgannya, yang termadzkur dan
menghukumkan atas sekalian rakyatnya dan mengambil wadsil dan adat serta derajat, seperti yang
kanun oleh Paduka mahkota alam Iskandar muda dan hendaklah menjunjungkan yang titah Allah dan
sabda Rasul dan menyarankan sekalian Raja-raja dan menyarankan kami, serta menjauhkan
larangannya Liqaulihi Ta’ala Amarabil ma’rufi, wanaha’anilmunkari dan lagi firmanNya „athiaulaha
wa’athi aul Rasuli wa’ulul amriminkum dan hendaklah memeliharakan segala hamba Allah, jangan
teraniaya, dan mencurahkan sekalian rakyat pada perintah jalan syariah dini Muhammadin, karena
firman Allah Ta’ala wa’aqimursalata wa’atuzakata watsumu ramdhana watahiyul baita kanistatha
illahi sabila, lagi pula hendaklah dikuatkan atas sekalian rakyat sembahyang Jum‟at pada tiap-tiap
mesjid dan sembahyang berjamaah pada tiap-tiap waktu adanya. Waba‟dahu apabila memutuskan
barang diperhukuman hendaklah dengan mau dengan periksanya sehabis-habis ijtihad, karena firman
Allah Ta’ala Innallaha ja’murukum bil’adil walihsin, dan lagi firmanNya, fahkum bainakum bima
anzalallahu walatattabi’ilhawa, dan lagi firmanNya yaadauda tahakamta binan nasi antahkumabil adli
fihadizil kudsi, sebagai lagi wilayah nikah, fasah, fitrah anak yatim dan menerima harta baital mal yang
dalam daerah segala peringgannya. Maka barang siapa yang berkehendak kamu sekalian datanglah
kepada kami.”
Raja itu adalah zillullah fi’l alam. Setelah dibacakan oleh utusan Aceh itu, dipukullah gendang dan
naubat. Maka oleh Raja Urung Senembah dinyatakanlah bahwa : “Ada Raja Adat Berdiri, Tiada
Raja Adat Mati.” “Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim Raja Disanggah”. (Tidak durhaka tetapi,
negeri ditinggalkan seperti di dalam hikayat lama, negeri itu akan lengang ibarat disambar garuda. Raja
akan kehilangan daulatnya, menjadi miskin dan turunlah derajatnya).
Oleh Kadhi Malikul Adil berbicara : Di dalam Surat an- Nisa‟ Ayat 59 diterakan :
Wahai orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan
kepada Ulil Amri (orang yang berkuasa) dari kalangan kamu!
Dari Anas ibn Malik r.a. bahwa Nabi bersabda: Dengar oleh kamu kata raja kamu dan ikut oleh kamu
akan dia, jikalau ada ia sahaya yang Habshi sekalipun!
Dari Sheikh Abdullah dalam “Bayan al Asma” : Raja itu ibarat zat, dan menteri itu ibarat sifat.
Maka zat dan sifat itu tiada ia berceraikeduanya.
Dari kitab “Bustanussalatin” (III) : Barangsiapa mati itu dan tiada diketahuinya dan tiada dikenalnya
akan raja padamasanya itu maka ia akan mati dengan kematiannya yang durhaka!
Maka oleh Raja Urung Sunggal (Serbanyaman) dinyatakanlah petuah: Dua sifat penting yang harus
dimiliki oleh raja yakni sifat pemurah (kepada rakyat) dan berani. Sifat pemurah syarat penting kepada
raja yang ingin melaksanakan keadilan. Keadilan jalanmenuju taqwa. Raja ibarat kayu besar di tengah
padang. Akarnya ialah rakyat, batangnya ialahOrang Besar, tempat berteduh di hari hujan tempat
bernaung di hari panas. Akarnya tempat duduk, batangnya tempat bersandar.
Setelah berbagai ucapan taat setia yang tiada berubah dari utusan penghulu adat di kampung-
kampung, maka diserukanlah 3x dipimpin oleh Raja Urung Sunggal: “Daulat Tuanku!” (Daulat hanya
ada pada diri Raja). Sejak itu terjalinlah suasana harmonisasi diantara Sultan dan rakyat Serdang.
37
Dikenang oleh cerita rakyat akan Tuanku Umar Baginda Junjungan itu sebagai: “Raja yang memegang
adat yang kanun adat pusaka turun-temurun adil, arif, bijak bersusun, pandai meneliti zaman beralun.”
Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli. Demikianlah, akhirnya
Kesultanan Deli terpecah menjadi dua, Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan
yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia Putera Garaha (permaisuri),
sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar
akhirnya tersingkir dari Deli. Tuanku Umar Johan pun membangun istananya di Kampong Besar,
Sempali.
Melihat kesedihan yang dialami oleh abangndanya Tuanku Umar, Tuanku Tawar (Arifin) Gelar
Kejuruan Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi langsung
menggabungkan wilayahnya kepada Kesultanan Serdang. Masa pemerintahan Tuanku Umar Baginda
Junjungan dipenuhi dengan pembangunan kampung-kampung di sepanjang arah ke hulu sungai
Serdang dan Sungai Ular dan Denai.
Tuanku Umar Johan memiliki 3 orang putra,yaitu: Tuanku Malim, Tuanku Ainan Johan
Alamsyah, dan Tuanku Sabjana (Tengku Jana) atau yang sering dikenal sebagai Pangeran Kampung
Kelambir.
1867 - Tuanku Umar Johan mangkat. Beliau mendapat gelar Marhom Kacapuri. Saat pemilihan
penerus Kesultanan Serdang, Tuanku Malim sebagai putera pertama dari Tuanku Umar Johan menolak
untuk diangkat menjadi Raja, sehingga dinobatkanlah adiknya Tuanku Ainan Johan Alamsyah
sebagai Raja Serdang II. Dan Tuanku Sabjana diangkat sebagai Pangeran Raja Muda.
Untuk memperluas wilayah kekuasaannya, Raja Ainan pun menikahi Tuanku Puan Sri Alam anak
Tuanku Nan Panjang ibni al-Marhum Raja Hitam, Yang di-Pertuan Perbaungan. Maka saat itu
bergabunglah Kerajaan Perbaungan dalam naungan Kesultanan Serdang. Dari pernikahannya ini,
Sultan Serdang memiliki 7 Orang Putra, Yaitu: Tengku Besar Zainal Abidin, Tengku Thaf Sinar,
Tengku Tunggal glr.Tengku Sri Maharaja Kampong Durian, Tengku Andang glr.Pangeran
Bandar Labuhan, Sutan Nur Sahmad, Tuanku Gadeh Angai dan 4 orang putri, yaitu: Tuanku Sri
Ulam, Tuanku Jijah, Tuanku Upam. Kemudian Raja Ainan menikah dengan Merah Uda dari
Kampung Paku melahirkan putra bernama Tengku Harum, dan dari istri ketiga Sharifa mendapat
seorang putri bernama Tengku Sharifah Nur Isah.
Dan untuk memperkuat kekuasaanya, maka Sultan Ainan Johan Alamsyah membentuk Dewan
Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
1) Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara);
2) Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu);
3) Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu;
4) Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Dewan Diraja, yang harus bersama Sultan memutuskan sesuatu. Selain para pejabat istana di atas,
Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan).
Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat
seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara‟ bersendikan Kitabullah”.
38
Pembentukan Dewan Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal
kembali bergabung dengan Kesultanan Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung
Tanjung Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang. Sultan Ainan Johan Alamsyah
memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang
melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki
binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga
melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak
beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar
budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara
perkawinan maupun perhelatan besar.
1815 - Putera pertama Raja Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin pergi berperang membantu
mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela
mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai. Untuk
menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera
mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar
yang sama: Tengku Besar.23
1817 - Raja Ainan Johan Alamsyah mangkat, Sebenarnya Tuanku Zainal Abidin atau putra beliau
yaitu Tan Aman gelar Radja Moeda Sri Maharaja yang akan meneruskan tahta kesultanan Serdang,
tetapi dalam adat Melayu Serdang, dikarenakan Tuanku Zainal Abidin saat meninggal belum menjadi
Raja dan masih Tengku Besar, maka putra beliau tidak berhak menjadi raja. Akhirnya Dewan Majelis
Orang Besar, yaitu Raja dan Kepala Negeri yang ditaklukkan, dan jajahan mengangkat Tuanku Sultan
Thaf Sinar Basarshah sebagai Sultan Serdang dengan memakai gelar “Sri Paduka Duli Yang Maha
Mulia Tuanku Thaf Sinar Basar Shah Sultan Kerajaan Serdang dengan Rantau, Jajahan, dan
Takluknya”. Saat ini pula gelar Raja berganti menjadi Sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini, Kesultanan Serdang mengalami era jaya
dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena perdagangannya. Nama Kesultanan Serdang
begitu besar dan dikenal negeri-negeri lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-
kerajaan lain, seperti Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan
Serdang juga bersusur galur sampai ke Minangkabau.
1817 - Karena kemakmuran negeri Serdang maka Kerajaan Siak datang menyerang sehingga Sultan
Sinar terpaksa mengakui hegemoni Siak.
Masa hidupnya Sultan Thaf menikah dengan Tuanku Sri Indra Kuala, Tuanku Ampuan,putri dari
Y.A.M. Tuanku Sutan Usalli ibni al-Marhum Tuanku Nan Panjang, Yang di-Pertuan Raja
Perbaungan dan memiliki 4 putra yaitu: Tengku Abdul Djalil, Tengku Mustafa, Tengku Abdul
Madjid, Tengku Muhammad Basyaruddin Syaiful Alamsyah, T.H. Mat Yasin, Tan Siddik dan
T.Muhammad Adil.
Dan 4 orang putri, yaitu: Tengku Ngah Salima, Tengku Rabiah, Tengku Putri Sharifa Aishah
dan Tengku Mariam.
1823 - Johan Anderson, mengunjungi Serdang, ia mencatat:
1) Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil
hutan);
23Kalau dilihat dalam catatan Kesultanan Langkat era awal abad ke 17 ini adalah masa kepemimpinan Tuah
Hitam sebagai Sultan Langkat. Konflik yang terjadi pada masa itu dimana Kerajaan Siak Sri Inderapura dan
Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Langkat sehingga membuat Kerajaan Langkat takluk. Tuanku Zainal Abidin adalah menantu dari Tuah Hitam, Dia menikahi Tengku Sri Deli adik dari Raja Nobat Shah Alam glr.Raja
Bendahara Kejuruan Jepura Bilad Jentera Malai, Langkat.
39
2) Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah
lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi;
3) Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang
melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang;
4) Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada
Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman;
5) Cukai di Serdang cukup moderat.
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara
pepatah dan adat tersebut adalah:
a) secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang
dalam diperlihara ikan;
b) genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
c) cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras
maka pembangunan terlaksana);
d) hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan
berhasil baik bersama-sama).
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ini amat berpegang teguh pada adat
Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang
masuk Melayu (Islam).
1850 - Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat di Kacapuri dan
dimakamkan di kampung Besar, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan
untuknya dengan gelar Marhom Besar. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua, yaitu: Sultan
dan Yang di-Pertuan Besar Serdang Basyaruddin Syaiful Alamsyah sebagai Sultan Serdang
IV. Sementara adik-adiknya Tan Siddik diangkat menjadi Temenggong (Kepala polisi dan
keamanan), Mat Yasin sebagai Pangeran Mangkunegara Batak Timur, Wakil Perbaungan dan
Datuk Berlapan dan Tuanku Mustafa sebagai Raja Muda Sri Maharaja.
1854 - Aceh mengirim ekspedisi perang sebanyak 200 perahu perang untuk menaklukkan kesultanan
Deli dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Deli, Langkat dan Serdang pun takluk pada saat itu.
Sultan Aceh, Ibrahim Mansyur Syah mengangkat para Sultan - sultan menjadi wazir Aceh dan Sultan
juga memberikan pengakuan berupa Mahor cap Sembilan.
Dalam menjalankan pemerintahannya Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-
orang besar, wazir, serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful
Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun luar. Selain
berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang juga menghadapi gangguan dari
penjajah Belanda.
1 Februari 1858 - Menurut The Anglo-Dutch Treaty tanggal 17 Maret 1824 Atau yang sering
dikenal dengan London Treaty antara Inggris dengan Belanda menyatakan Sumatera diserahkan
Inggris di bawah pengaruh Belanda. Pemerintah Hindia Belanda lalu mendekati Siak yang sedang
lemah karena perang saudara, dan berhasil menekan Siak membuat perjanjian Kontrak Politik Siak-
Belanda. Di dalam Kontrak itu Siak berada di bawah naungan Pemerintah Hindia Belanda. Siak
mohon bantuan Belanda agar mengusir pengaruh Aceh pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.
1862 - Sultan Basyaruddin dikenal sebagai sultan yang berani membawa bendera Aceh ketika
menemui Netscher yang tiba di Kuala Serdang pada tanggal 16 Agustus 1862. Pengibaran bendera
40
Aceh itu adalah wujud penolakannya terhadap pernyataan bahwa Serdang berada di bawah Siak.
Serdang pada waktu itu memang sedang tidak berada di bawah Siak, tetapi Aceh. Akan tetapi, pada
akhirnya sultan harus terjerat dalam rantai kekuasaan kolonial. Ia harus menandatangani acte van
erkenning. Hanya saja ketika harus membubuhi stempel pada tandatangannya, Sultan Basyaruddin
tetap mencantumkan kata-kata sebagai “wazir” Sultan Aceh.
Hal ini membuat Netscher tersinggung dan mengancam akan menyerang Serdang dengan senjata
yang ada di kapalnya. Akhirnya sultan bersedia menghapus kata-kata itu dan sebaliknya Belanda
bersedia mengakui Sultan Basyaruddin sebagai Sultan Serdang dengan wilayahnya meliputi Percut,
Denai, Perbaungan, Bedagai, dan Padang.
Hanya berselang waktu 9 bulan, yaitu di tahun 1863, ayah Sultan Sulaiman ini mulai menunjukkan
sikap “menentang”. Ia kembali menjalin hubungan dengan Aceh. Menyambut dengan sukacita
kedatangan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Raja Cut Latief ke Rantau Panjang. Peristiwa inilah
yang kemudian mendorong pemerintah kolonial mengirim Expeditie Tegen Serdang En Asahan yang
tiba di Rantau Panjang pada tanggal 1 Oktober 1865.Asisten Residen Riau, E.Netscher memasuki
Kuala Serdang. Belanda mengajakan perundingan dengan Sultan Basyaruddin.24
19 Januari 1865 - Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah menikah dengan Tuanku Puan Zahrah
anak dari Tuanku Musa Ainan Rahmatshah. Karena tidak mendapatkan keturunan maka Sultan
Basyaruddin menikah lagi dengan Enzik Rata (Seorang perempuan dari keturunan biasa dari Pantai
Cermin) maka lahirlah putera tunggal mereka bernama Tuanku Sulaiman Syariful Alamsah di
Rantau Panjang Ibukota Kesultanan Serdang. Kemudain Sultan Basyaruddin juga memiliki 2 orang
putri yaitu: Tengku Putri Amina dan Tengku Ketu.
1865 - Serdang takluk, dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam Acte
van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862 (Basarshah II, tanpa tahun:64). 4 Urung Serdang yaitu
Denai, Perchut, Padang (Tebing Tinggi) dan Bedagai diserahkan Belanda kepada kesultanan Deli.
1871 - Pada awalnya eksploitasi perkebunan di daerah Serdang dilakukan oleh Firma Naeher &
Grob yang merupakan usaha patungan antara Hermann Naeher, seorang pedagang dari Sisilia yang
berkebangsaan Bavaria (Jerman) dengan Carl Furchtegott Grob, pendiri onderneming Helvetia yang
berkebangsaan Swiss. Ditahun 1871 mereka mendapat kontrak tanah dari Sultan Serdang seluas 7.588
bahu. Tahun 1876 lahan mereka ditambah dengan sebidang tanah yang terletak di Deli.
1880 - Sultan Basyaruddin yang sempat bertahan selama 5 hari dapat dilumpuhkan. Semanjak
kekalahannya itu, gerak gerik sultan dibatasi walaupun ia masih berkuasa. Di masa-masa itu sultan
lebih banyak menghabiskan waktunya di mesjid, menjadi orang yang tawaddu‟ hingga akhir hayatnya
(1882).
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau pada 20 Desember
1879 dengan gelar Marhom Kota Batu. Sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah diangkat
menjadi Sultan Serdang V, masih sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang
untuk sementara diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful
Alamsyah) sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin pemerintahan.
24
Lihat Artikel selengkapnya di Ekspedisi Militer Asahan & Serdang 1865.
41
Pengangkatannya Sulaiman ini tidak mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial sehingga
dianggap tidak syah. Memang pengangkatan Sulaiman tidak mengikuti aturan pemerintah kolonial,
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pejabat Kolonial Belanda yang ada disitu. Hal inilah yang
menyebabkan kedudukan Sultan Sulaiman dari tahun 1880 hingga 1887 seolah-olah tergantung hingga
mempengaruhi pandangan dan sikap Sulaiman kelak terhadap kolonial.
1882 - Walaupun belum diakui oleh kolonial, langkah pertama yang dilakukan sultan dalam
pemerintahannya adalah menuntut pengembalian beberapa daerah Serdang yang diambil Belanda.
Pengambilalihan ini dilakukan Belanda pada masa pemerintahan ayahnya, sebagai hukuman karena
dianggap telah “membangkang” terhadap pemerintahan kolonial. Meskipun usia Sulaiman belum
genap 18 tahun, peristiwa yang terjadi pada tahun kedua pemerintahannya itu (1882) menandai
dimulainya politik civil disobedience. Akhirnya Sultan Deli mengembalikan urung Denai kepada
Sultan Serdang. Tapi pertikaian belum juga usai antara Deli dan Serdang.
Strategi politik civil disobedience dalam berbagai cara kemudian menjadi corak kebijakan
pemerintahan Sultan Sulaiman di bawah kekuasaan kolonial. Tidak mengherankan kebijakan ini kelak
kerap menjadi bahan perbincangan dikalangan pejabat kolonial di Serdang, malah dalam laporan serah
terima jabatan kata-kata “agar berhati-hati bila berhubungan dengan sultan ini” selalu dituliskan.
Disebutkan, beliau selalu melancarkan protes, mengemukakan keberatan dan tidak pernah membiarkan
pemerintah Belanda terlalu jauh mencampuri urusannya.
1887 - Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan raja baru di Serdang ini
baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29 Januari 1887. Pada era kepemimpinan Sultan
Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang dengan Deli semakin memanas kendati beberapa
solusi telah dilakukan untuk meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan
kekerabatan.
1882 - Pemerintah kolonial melalui Residen Schiff melakukan politik adu domba dengan membagi
Senembah menjadi 4 kejuruan :
1) Daerah Medan Senembah dikepalai Wan Kolok;
2) Daerah Patumbak dikepalai Wan Sulong Bahar;
3) Daerah Sigaragara dikepalai Wan Sulong Mamat;
4) Daerah Namu Surau dikepalai Sibayak Amat.
Pembagian ini tidak berjalan secara efektif, sehingga Belanda kemudian memodifikasi perjanjian
tersebut dengan membagi 2 daerah Senembah menjadi:
1) Senembah Serdang, yang beribu kota di Sei Bahasa dengan daerahnya di Tadukan Raga/Sei
Bahasa dan Medan Senembah;
2) Senembah Deli, yang beribu kota di Patumbak dengan daerahnya Patumbak, Sigaragara dan
Namu Surau.
3) 1889 - Sultan Sulaiman memberikan perluasan wilayah Firma Naeher & Grob hingga
menjadi 31.563 bahu pada tahun 1889. (1 bahu 7.096,50 M²).
30 September 1889 - Karena tekanan finansial dan kerugian yang besar, maka secara resmi
seluruh kebun dan asset milik Naeher & Grob berpindah menjadi milik Senembah
Maatschappij (inbreng pada perseroan yang baru dibentuk) dengan Jacobus Nienhuys dan
CW Janssen sebagai direksi, sedangkan yang menjadi komisaris yaitu JT Cremer, H
Naeher, GE Haarsma, AL Wurfbain dan R Von Seutter ; dan mengelola kebun-kebun
42
Tanjung Morawa, Tanjung Morawa Kiri, Sei Bahasa, Batang Kuis, Gunung Rinteh dan
Petumbak.
21 Maret 1891 - Sultan Sulaiman menikah dengan Tengku Darwishah glr. Tengku Permaisuri, putri
dari Raja Burhanuddin Pagaruyung.
1894 - Karena sering dilanda banjir istana Rantau Panjang, maka Sultan Sulaiman ingin
memindahkannya. Controleur Belanda di Rantau Panjang mengajak Sultan untuk membangun ibukota
bersama di Lubuk Pakam. Sultan dengan tegas menolak ajakan itu. Sultan lebih memilih Perbaungan
sebagai ibukota baru Kesultanan Serdang. Penolakan Sultan Sulaiman ini menjadi hal yang kurang
menguntungkan bagi kolonial karena letaknya Perbaungan yang jauh dari Lubuk Pakam membuat
pengawasan terhadap sultan menjadi lebih sulit.
1896 - Akhirnya Sultan Sulaiman memindahkan kekuasaannya ke Simpang Tiga, Perbaungan.
Dibangunlah Istana Darul Arif Kota Galuh dengan megahnya.
1898 - Untuk mensejahterakan rakyatnya, Sultan Sulaiman merubah sistem pertanian di Serdang.
Bersawah memang bukan hal yang baru bagi warga Serdang. Di masa lalu, untuk memperoleh beras
orang Melayu membuka huma. Hasil yang diperoleh dengan cara ini hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup petani itu sendiri.
Diawali dengan membuka areal persawahan di Rantau Panjang. Dipilihnya ibukota Serdang ini
menjadi areal persawahan dikarenakan jumlah air berlimpah dan dinilai sesuai untuk sawah takung.
Untuk mengubah kampung lama yang tergenang air itu menjadi areal persawahan raksasa, Sultan
Sulaiman mengeluarkan biaya sebesar $.Str.10.000,- untuk berbagai keperluan, mulai dari penyediaan
benih padi sampai pembangunan tanggul air. Sawah yang dipanen satu tahun sekali tidak dapat
bertahan lama karena kerusakan hutan di hulu sungai Serdang akibat pembukaan perkebunan yang
belum dapat ditangani dengan baik. Areal persawahan ini selalu disapu banjir tiap kali musim
penghujan.
23 Maret 1900 - Karena tidak mendapatkan keturunan dari Tengku Darwishah, maka Sultan
Sulaiman menikah dengan Enzik Kurnia Purba dan melahirkan Tengku Putera Mahkota Rajih
Anwar dan Tengku Putri Nazri.
Tak berapa lama berselang, Sultan Sulaiman menikah lagi dengan Enzik Raya Purba dan
melahirkan Tengku Sharial Sinar dan Tengku Abunawar dan Tengku Fatimah Zahriah. Kemudian
dari istri keempat Tuanku Hajjah Zahara binti al-Marhum Tuanku Ainan Rahmad Shah
melahirkan Tuanku Lukman Sinar, Tengku Abu Kasim dan Tengku Zainabah.
1901 - Selain Istana Kota Galuh, Sultan juga membangun sebuah mesjid yang dikenal sebagai
Masjid Raya Sulaimaniyah. Mesjid ini didirikan seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan
Serdang dari Rantau Panjang (sekarang berada di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang) ke
Istana kota Galuh Perbaungan (dulu Serdang). Nama masjid ini sendiri dinisbatkan kepada Sultan
Sulaiman, yang membangunnya.Sultan Sulaiman juga membangun masjid dengan nama yang sama
dengan mesjid Sulaimaniyah di Pantai Cermin dan sama sama masih eksis hingga kini.
1903 - Ide membuka pertanian sawah dengan sistem irigasi menjadi pilihannya. Untuk mewujudkan
impiannya, sultan mendatangkan orang-orang Banjar dari Kalimantan. Mereka dapat didatangkan ke
Serdang karena hubungan baik sultan dengan Sultan Banjar. Para petani Banjar ini dipimpin oleh Haji
Mas Demang.
Untuk melancarkan proyek ini sultan menyediakan areal pertanian seluas 2000 bahu (14.192.000 m2)
dengan biaya yang dikeluarkan mencapai $ 1.200.000. Dengan lahan dan dana yang disediakan oleh
sultan inilah dibangun proyek persawahan irigasi di Perbaungan yang kemudian dikenal dengan istilah
bendang. Ternyata sistem pertanian irigasi ini dapat memberikan hasil yang memuaskan bagi
43
Kesultanan Serdang sehingga Serdang di kenal sebagai daerah lumbung padi untuk kawasan Residen
Sumatera Timur.
Hasil padi yang diperoleh disimpan di gudang padi istana di bawah pengawasan seorang kepala
gudang, sedangkan beras disimpan tersendiri di gudang yang berbeda. Cara-cara seperti ini, membuat
persediaan padi kerajaan tidak pernah habis.
Rakyat yang membutuhkan padi dapat memperolehnya secara gratis. Mereka hanya datang
menghadap sultan, menyampaikan keinginannya dan dengan secarik surat dari sultan beras dari gudang
akan berpindah ke tangan mereka. Setiap orang hanya diizinkan memperoleh beras sebanyak satu
kaleng (15 kg) saja.
1907- Kerajaan Serdang diwakili Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah mengikat Politiek Contract
dengan pemerintah kolonial yang diwakili Residen Pantai Timur Sumatera Jacob Ballot dengan
ratifikasi Gubernur Jenderal Ir. De Graeff, yang mana pada kontrak tersebut mengatur antara lain :
1) Meminjamkan tanah kepada Hindia Belanda dengan hukum Hindia Belanda , dan berjanji
untuk setia dan patuh terhadap penyerahan tersebut;
2) Tanah yang dipinjamkan meliputi kawasan : Serdang, Serdang Senembah dengan Tandjong
Moeda, Timor Batakdoesoen, Serbadjadi, Perbaoengan, Denai;
3) Kewenangan Sultan dan negerinya mengurus sendiri internalnya. Sultan dan rakyatnya tidak
boleh diserahkan kepada negara lain, kecuali terhadap Pemerintah Hindia Belanda;
4) Dari Politiek Contract ini Sultan menerima pendapatan tetap sebesar Fl.50.850,- /tahun.
Sedangkan pendapatan tidak tetap diperdapat dari Rantau Pandjang, Denai dan Pantai Cermin
Perbaungan.
1918 - Sejak lahir Tengku Rajih Anwar memang terus menjadi pewaris semu, baru tanggal 8
Oktober Gubernur Jenderal Hindia Belanda menobatkan beliau menjadi Tengku Besar.
22 Agustus 1923 - Sultan Sulaiaman mendapat mendali penghargaan The Officer of the Order of
Orange-Nassau dan tanggal 26 Juli 1927, beliau menerima penghargaan Mendali Knight order of the
Netherlands Lion.
1932 - Tengku Besar Rajih Anwar dinobatkan sebagai Tengku Putera Mahkota. Rajih Anwar
banyak membantu Ayahndanya dalam mengurusi pemeritahan. Rajih diangkat sebagai Direktur
Midden Serdang Landbouw Maatschappij dari tahun 1920 hingga 1946.
13 April 1932 - Tengku Abu Nawar lahir di Kraton Kota Galuh, Perbuangan Bandar Setia.
27 Juli 1933 - Tengku Luckman Sinar lahir di Istana Keraton Kota Galuh Perbaungan, Kabupaten
Serdang Bedagai.
1937 - Sultan Sulaiman dengan anggaran terbatas namun cukup untuk memulai pekerjaan besar;
meluruskan aliran Sungai Serdang sepanjang tujuh kilometer. Beliau sendiri yang meletakkan pancang
pertama dan membakar sumbu dinamit agar tanggul penahan meledak hingga dapat mengaliri alur
Sungai Serdang yang sudah diluruskan itu. Serdang kanaal ini menyelamatkan beberapa kampung,
lebih dari 10.000 hektar persawahan di sekitarnya dan mengairi sawah-sawah lain di tepian sungai yang
dahulu dapat dilalui kapal api dari Selat Melaka ini. Manfaat kanal ini juga dirasakan oleh perkebunan
di sekitarnya, sebab itu beliau tidak pernah segan „memaksa‟ pengelola kebun termasuk Deli
Spoorweg Maatschappij (DSM) untuk turut memberi kontribusi yang pantas.
44
3 Maret 1946 - Wilayah Sumatra Timur, termasuk Serdang, dilanda situasi yang mencekam terjadi
peristiwa menggegerkan yang dikenal sebagai “Revolusi Sosial” di mana terjadi penangkapan
terhadap raja-raja yang ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Raja-raja dan kaum bangsawan
itu oleh kaum kiri dianggap sebagai pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Menurut buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang (2003) yang ditulis oleh
Pemangku Adat Kesultanan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, di Serdang keadaan sedikit
berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain.
Berkat adanya dukungan yang positif dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum
pergerakan dan perasaan anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta
sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia sejak tahun 1945,
maka tidak terjadi aksi penangkapan, pembunuhan, atau penjarahan di Serdang. Sultan Sulaiman
Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena banyak kerabat dan para
bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di dalam struktur angkatan bersenjata Republik,
partai-partai politik yang berhaluan Islam dan nasionalis.
Oleh karena itu, ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946, diadakanlah suatu perundingan antara
Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang
dan para tokoh adat Kesultanan Serdang. Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa
Kesultanan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang dalam hal ini bertindak
mewakili pemerintah Republik Indonesia (Basarshah II, 2003:64).
4 Maret 1946 - Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, maka diutuslah Jaksa Tengku
Mahmuddin dan Panitera Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi
menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik Indonesia
yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan sejumlah wakil organisasi
masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor Kerapatan di Perbaungan. Timbang terima yang
mulai berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap pelosok wilayah Serdang itu agaknya merupakan sebuah
peristiwa unik yang berlaku untuk pertamakalinya di Indonesia. Sejak saat inilah Kesultanan Serdang
meleburkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud komitmennya
terhadap kemerdekaan dan berdirinya negara Indonesia yang berdaulat.
13 Oktober 1946 - Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah meninggal dunia dalam usia 80 tahun dan
dikebumikan dengan upacara militer di makam raja-raja di sebelah Masjid Raya Sulaimaniyah di
Perbaungan yang masih termasuk di dalam wilayah administratif Serdang. Beliau digelar Marhom
Perbaungan. Sebagai pemegang tahta Serdang ke VI sepeninggal Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
adalah Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar. Namun, dikarenakan oleh situasi politik dan
keamanan di Serdang dan umumnya di Sumatra Timur yang belum stabil, maka penabalan mahkota
kesultanan kepada Tuanku Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar hanya sebagai kepala adat.
Di samping itu, Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar sendiri tidak bersedia dinobatkan sebagai Sultan
Serdang karena merasa masih trauma dengan serentetan kejadian tragis atau “Revolusi Sosial” yang
terjadi di tahun 1946 itu.
22 Desember 1952 - Tengku Luckman Hakim Sinar menikah dengan Tengku Daratul Qamar Binti
Tengku Muhammad Hidayat glr. Tengku Suri, putri dari Tengku Muhammad Hidayat Ibnu
Tengku Muhammad Haji Saleh, Tengku Kejuruan Paduka Raja, Perchut, dan istrinya, Tengku
Izah putri Sri Paduka Tuanku Sultan Amaluddin II Perkasa' Shah, Sultan Deli.
45
11 Juli 1953 - Tuanku Abu Nawar menikah di Istana Maimoon, Medan, dengan Tengku Mulfi putri
dari Sri Paduka Tuanku Sultan Otteman II Perkasa 'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan
Amaluddin al-Sani Perkasa Alam Shah, Sultan Deli dan memiliki 3 Putra dan 3 putri: yaitu: Tengku
Sulaiman Amaluddin glr. Raja Muda, Tengku Achmad Thala'a glr. Tengku Pangeran Sri
Mahkota dan Tengku Harris Abdullah sedang putrinya: Tengku Salimat ul-Mardiah, Tengku
Hanizah dan Tengku Melfira.
28 Desember 1960 - Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar wafat di Medan dan dimakamkan di
Mesjid Raya Sulaimaniyah, Perbaungan. Setelah mangkatnya Tengku Putera Mahkota Rajih Anwar,
masyarakat adat Serdang tidak lagi mempunyai kepala adat selama masa-masa selanjutnya dan posisi
ini mengalami kevakuman selama lebih kurang 35 tahun.
Semasa hidupnya Rajih Anwar menikah 2 kali, dengan istri pertamanya Enzik Nelli, beliau memiliki
putra, yaitu: Tengku Ziwar, Tengku Athar dan 5 orang putri: Tengku Nef Dewani, Tengku
Romani, Tengku Nazli, Tengku Sita Sharitsa, Tengku Zahiar.
dan dengan istri keduanya: Tengku Lailan Shahfinah binti al-Marhum Sultan Abdul Aziz Abdul
Jalil Rahmad, Tengku Mas memiliki 2 putra: Tengku Peter Azwar, Tengku Evert Anhar dan 2
orang putri: Tengku Cornelia, Tengku Lydia.
20 Juli 1962 - Putra Tuanku Abunawar lahir Tengku Akhmad Thala’a (Ameck) di Medan.
30 November 1996 - Kerapatan Adat Negeri Serdang mengadakan sidang serta memutuskan bahwa
Pemangku Adat Serdang dipilih dan ditetapkan dari putra-putra almarhum Sultan Sulaiman Syariful
Alamsyah yang masih hidup. Dari sidang-sidang tersebut kemudian diputuskan Tuanku Abunawar
Sinar Syariful Alam Al-Haj, putra ketiga Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dan pemegang mahkota
Kesultanan Negeri Serdang yang ke VII sebagai Pemangku Adat Negeri Serdang dan Ketua
Kerapatan Adat Negeri Serdang.
5 Januari 1997 - Penabalannya Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj dilakukan dalam
upacara adat di Gedong Juang 45 di Perbaungan. Namun, kebangkitan Kesultanan Serdang ini tidak
bisa lepas dari himpitan sistem politik negara. Institusi kesultanan semata-mata dilihat dari perspektif
politik. Keberadaan Kesultanan Serdang tidak lagi dipahami sebagai representasi perilaku budaya dan
adat masyarakatnya. Oleh karena itu, aktivitas kesultanan dibatasi hanya sebagai institusi istiadat saja.
Dalam penyelenggaraan istiadat pun “diarahkan” tidak menjadi perenggang masyarakat dengan akar
budayanya, apalagi unsur budaya yang berhubungan dengan tradisi kesultanan, khususnya tradisi
kesultanan yang terdapat di Sumatra Timur (Basarshah II, 2003:71).
Tuanku Abu Nawar mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Belanda HLS, and MULO di
Medan, HIS dan Sekolah Grafika Jakarta. Beliau aktif memimpin berbagai perusahaan keluarga
Kesultanan Serdang, antara lain: Direktur di CV. PUTRI, Chair di PT. PPP Serdang Tengah (Dir. 1971-
2002), PT. PPP Serdang Hilir, PresDir PT. Blumei, dan lain-lain. Jabatan terakhir sebelum diangkat
menjadi Pemangku Adat, beliau menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Deli Serdang.
28 Januari 2001 - Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj mangkat karena sakit dan
dikebumikan di Makam Raja Diraja di samping Masjid Raya Sulaimaniyah, Perbaungan. Sebagai
penerus keberadaan Kesultanan Serdang setelah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam Al-Haj wafat
adalah Tuanku Luckman Sinar Baharshah II. Sebelum jenazah Tuanku Abunawar Sinar Syariful Alam
Al-Haj diberangkatkan pada tengah malam tanggal 28 Januari 2001, sesuai dengan Adat Melayu “Raja
Mangkat Raja Menanam”, dimusyawarahkanlah mengenai pengganti Tuanku Abunawar Sinar Syariful
46
Alam Al-Haj dan anggota sidang dengan suara bulat menyepakati bahwa Tuanku Luckman Sinar
Baharshah II (waktu itu bergelar Temenggong Mangkunegara Serdang) sebagai Pemangku Adat
Serdang berikutnya.
12 Juni 2002 - Upacara penobatan Tuanku Luckman Sinar Baharshah II selaku Pemangku Adat
Kesultanan Negeri Serdang yang ke VIII digelar di Perbaungan. Tengku Luckman Sinar Basarsah II
SH dinobatkan sebagai Pemangku Adat Kesultan Serdang pada 12 Juni 2002 oleh Sultan Deli Ke XII,
Tuanku Azmy Perkasa Alam. Sementara Tengku Pangeran Sri Mahkota Achmad Tala'a bin
Sultan Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah di angkat sebagai Timbalan Kepala Adat.
Acara ini dihadiri 6.000 orang utusan dari seluruh Serdang dan 2.000 orang undangan dari kalangan
pemerintah serta empat negara. Tuanku Luckman Sinar Baharshah II yang memegang tahta adat
Kesultanan Negeri Serdang hingga sekarang menjadi penegas bahwa Kesultanan Serdang masih eksis
sampai hari ini.
Tengku Luckman Sinar pernah bersekolah di SR,MULO dan HIS, SM dari USU Medan 1962, dan
SH dari Universitas Jayabaya 1969. Beliau pernah mengikuti pelatihan militer 1963-1964, Dosen di
Fakultas Sains dan Hukum Univ, Jayabaya 1969-1972, Sekretaris Dewan Kesenian Medan 1972-
1975, kolumnis Harian"Waspada" Medan 1987-2011.
Beliau seorang Konservasionis, sejarawan dan penulis begbagai buku tentang sejarah Melayu,
seperti: "Batu Kecil: Tuanku Seri Paduka Gocah Pahlalawan" (1959), "Sari Sejarah Serdang"
(1971), "Silsilah Kesultanan Deli dari Istana Maimun" (1975), "Sejarah Melayu di Sumatera
Keseultanan Timur '( 1985), "Perang Sunggal" (1987), "The History of Medan di zaman dahulu"
47
(1996), "Revolusi Nasional dan Revolusi disebut Sosial di Sumatera Timur" (1997), "Teromba
Silsilah Radja2 daripada Bangsawan Serdang "(2001)," Timur Sumatera Kebudayaan Melayu
"(2002), dan lain-lain.
6 Januari 2008 - Menteri Kesehatan RI DR. Dr. Siti Fadilah Supari menerima gelar kehormatan
adat melayu, Datuk Sri Utama Sejahtera Bangsa, dari kesultanan Negeri Serdang. Pemberian gelar
kehormatan dilakukan dalam sebuah upacara adat dikawasan wisata Pantai Cermin, Kabupaten Serdang
Bedagai, Sumatera Utara.
Upacara dipimpin oleh Pemangku adat Kesultanan Serdang Tuanku Lukman Sinar Basarsyah
II, yang diawali dengan pertunjukan tari menunjung duli, tarian penghormatan rakyat serdang kedapa
sultan mereka. Tuanku Lukman Sinar Basarsyah II, yang adalah putra Sultan Serdang V Tuanku Sultan
Sulaiman Syaiful Alamsyah kemudian menyematkan bintang raja, menyilangkan selempang kebesaran
dan menyerahkan keris pusaka kepada Menteri Kesehatan.
Tuanku Lukman Sinar Basarsyah II, mengatakan gelar tersebut diberikan karena sebagai menteri
makan Siti Fadilah telah melakukan banyak hal untuk membantu rakyat Serdang melalui program
Askeskin, Desa siaga dan pemberdayaan pesantren. ”setelah mencermati, menilik dan mendengar
pendapat dari berbagai pihak gelar ini diberikan dan akan tanggal dengan sendirinya kalau yang
bersangkutan tidak lagi menjalankan tanggungjawabnya,” katanya. Uapcara tersebut diakhiri dengan
upacara tepung tawar dimana pemangku adat menaburkan beras dan bunga kepada penerima gelar adat.
20 Januari 2009 - Tuanku Luckman Sinar dianugerahkan dari Anugerah MelayuOnline 2009 dalam
kategori Sejarawan yang Konsisten Mengkaji Sejarah Kebudayaan Melayu di Gedung Concert
Hall, Taman Budaya Yogyakarta.
27 Juli 2009 - Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II memberikan gelar kepada tokoh-tokoh budaya
dan kekerabatan Kesultanan Serdang di Convetion Hall Hotel Tiara Medan. Mereka yang diberi gelar,
yakni:
1) H.Tengku Nurdin glr.Pangeran Kesuma Negara - Sesepuh Kesultanan Serdang;
2) Dr. Syafii Ahmad, MPH glr.Dato' Sri Wangsa Diraja - Penasehat utama;
3) Prof.Dr.Ir.Djohar Arifin glr.Dato' Pendita Indera Wangsa - Pembina Olahraga Bangsa;
4) Drs.Sakhyan Asmara, MSP glr Dato' Wangsa Diraja - Pembina Gerakan Pemuda Bangsa;
5) Drs.Zainuddin Mars glr.Dato' Indera Muda - Pembina Adat Budaya Serdang;
6) Prof.Suwardy MS glr.Dato' Sastra Negara - Pembina Sejarah Melayu;
7) Tengku Yose Rizal,SE glr.Pangeran Setia Pahlawan - Pendekar Kesultanan Serdang;
8) OK.Saidin, SH, M.Hum glr. Dato' Dharma Wangsa - Pembina Tanah Adat serdang;
9) Wan Iwan Dzulhami, SH glr. Dato' Bijaya Sura - Pembela Pemuda Melayu Serdang;
10) Drs.Syarifuddin Rosa glr. Dato' Wira Pahlawan - Pembela Tanah Adat Serdang;
11) Drs.Shafwan Hadi Umry glr. Dato' Amar Wangsa - Pembina Sastra Melayu Serdang;
12) Drs.Erwin Nurdin Pelos glr. Dato' Arya Bupala.
Tuanku Luckman Sinar Baharshah II juga memberi gelar kepada anak-anaknya. Pada putranya, yaitu:
Tengku Lukman Basharuddin Shukri [Basyaruddin Shouckry] glr. Raja Muda Indera di-Raja,
dan putrinya Dr.Tengku Rabitta Cherise [Cherrys] glr.Tengku Putri, Tengku Silvana
Khairunnisa [Chairuanissa] [Professor Dr. Tengku Silvana Sinar] glr. Tengku Puan Paramaswari,
Tengku Eliza Nurhan glr. Tengku Puan Chandra Kirana, Dr.Tengku Thirhaya Zain glr. Tengku
Puan Chandra Devi dan Tengku Myra Rozanna [Tengku Mira Sinar] glr.Tengku Puan Putri
Bongsu.
13 Januari 2011 - Dunia Melayu mengalami duka yang mendalam karena kehilangan seorang
sejarawan otodidak yang menguasai dan memiliki sumber-sumber sejarah dari Belanda, khususnya
48
tentang Sumatera Utara dan dunia Melayu. Tuanku Luckman Sinar Basarshah II. Sultan Serdang ini
mangkat pukul 20.05 di RSSime Darby, Subang Jaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
Beliau dimakamkan di Kompleks Masjid Raya Sulaimaniyah, Perbaungan, yang dibangun oleh
Sultan Serdang. Makam almarhum Tuanku Luckman Sinar Basarshah II berdekatan dengan makam
sang ayah, Sultan Sulaiman Shariful Alamshah.
Sejarawan sekaligus budayawan Melayu adalah dua identitas yang melekat pada Tuanku Luckman
Sinar. Dua identitas itu sangat jelas terlihat dalam berbagai karya tulis, pemikiran, dan aktivitas beliau.
Maka layaklah jika sederet prestasi dan beragam penghargaan, mengisi lembaran kisah kehidupannya.
Jenazah Beliau dimakamkan tanggal 14 Januari 2011 diberangkatkan dari rumah duka Jalan Abdullah
Lubis medan.
Setelah Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II wafat diangkatlah Timbalan Kepala Adat Sri
Mahkota Serdang Tuanku Achmad Thala'a Sinar Syariful Alamsyah meneruskan sebagai
Pemangku Adat Serdang IX.
8 November 2011 - Sultan Serdang V Tuanku Sulaiman Syariful Alamsyah mendapat
kehormatan pemerintah Indonesia dengan menerima Bintang Mahaputra Adipradana sekaligus
diangkat sebagai Tokoh Pejuang Dari Sumut.
Penghargaan ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada keluarga Sultan Serdang
V, Prof Hj T Silvana Sinar di Jakarta, Selasa (8/11). Penghargaan ini selanjutnya dibawa ke Sumut
Rabu (9/11) yang mendapat sambutan antusias dari masyarakat Sumut.
Penghargaan ini diserahkan Prof Hj T Silvana Sinar kepada Sultan Serdang IX Tuanku Achmad
Thala'a di VIP Room Bandara Polonia. Sultan Serdang IX pun menyerahkan penghargaan ini secara
simbolis kepada Bupati Serdang Bedagai diwakili Wakil Bupati Serdang Bedagai Ir Sukirman dan
Bupati Deli Serdang diwakili Kepala Kesbanglinmas Deli Serdang H Eddy Azwar.
Disini juga dilaksanakan tepung tawar kepada Prof Hj T Silvana Sinar antara lain dilakukan Bupati
Serdang Bedagai, Bupati Deli Serdang, pengurus PB Mabmi H Tengku Yos Rizal, tokoh Kesultanan
Serdang, tokoh sastra Sumut dan undangan lain. Juga dilaksanakan kegiatan ramah tamah.
3. Asas Pembagian dan Kerjasama Kekuasaan Menurut Tingkatan25
Pembagian dan kerjasama menurut tingkatan ini berarti pembagian dan kerjasama menurut
tingkatan secara luas dan pembagian dan kerjasama menurut tingkatan secara sempit.
Pembagian dan kerjasama menurut tingkatan secara luas merupakan pembagian dan kerjasama
menurut tingkatan atas hirarki – negara wilayah pusat (Serdang Asli) dengan wilayah bagian.
Sedangkan pembagian dan kerjasama menurut tingkatan secara sempit adalah pembagian dan
kerjasama tingkatan atas hirarki – diantara organ negara pusat (Serdang Asli) dengan organ negara
bagian.
25 Bagian ini merupakan interpretasi dari penulis didasarkan atas hasil Wawancara dengan Tuanku Luckman
Sinar Basarshah II, SH; dirumah: JL. Abdulla Lubis No. 42/47 Medan, tanggal 31 Maret 2001 dan dipadukan
dengan Tengku Syahrial di Belawan, tertanggal 5 April 2001.