Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer Blondes’” pada...

10
Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film Gentlemen Prefer Blondes’” pada Perempuan Dewasa (usia 20 tahun ke atas) Suci Marini Novianty 11/319846/SP/24915 A. Latar Belakang Diamonds are a girl‟s best friend. Kalimat yang dinyanyikan oleh Marilyn Monroe ini boleh jadi adalah salah satu lagu yang mengingatkan kita kepada Monroe. Lagu yang kemudian menarik kita kepada satu film di mana lagu ini menjadi lekat dengan citra Monroe, Gentlemen Prefer Blondes‟. Sebelum akhirnya dibesut kembali ke layar lebar pada tahun 1953 oleh sutradara Howard Hawks. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama di tahun 1925 karya Anita Loos ini pernah dibuat juga ke dalam drama musikal Broadway dan film bisu pada tahun 1928. Lewat karakter yang kuat dan twist cerita yang berbeda dari film kebanyakan di era 50-an, film ini menjadi amat menarik untuk dikaji. Dibintangi oleh Marilyn Monroe dan Jane Russell sebagai pemeran utamanya, film ini menyuguhkan kisah persahabatan dua gadis penghibur di kelab malam. Karakter Marylin Monroe sebagai Lorelei Lee dikatakan sebagai seorang perempuan berambut pirang yang terkesan bodoh dan sangat mencintai berlian. Sebab memiliki berlian diafiliasikan dengan menjadi kaya, dan Lorelei suka pria kaya. Prinsipnya adalah mencari seorang suami kaya agar dapat hidup dengan nyaman. Sedangkan Jane Rusell memerankan tokoh Dorothy Shaw yang berambut coklat yang berkepribadian 180 derajat berbeda dengan Lorelei. Dorothy digambarkan sebagai seorang perempuan yang melihat cinta dan bahagia bukan dari harta. Namun, mereka saling melengkapi dalam hal karakter. Dorothy pula yang terus mengingatkkan Lorelei untuk menghindari masalah. Hal yang dapat membatalkan pertunangannya dengan seorang laki laki kaya. Dorothy bahkan digambarkan pula dapat mengorbankan perasaan cintanya kepada seorang laki laki untuk membela sahabatnya. Pencitraan yang begitu kuat oleh dua karakter ini bahkan begitu lekat dalam benak penonton dan menjadikan mereka sangat terkenal sebagai ikon perempuan di budaya pop, bahkan hingga kini 1 . Perbedaan kedua karakter tersebut dalam memandang cinta adalah fokus utama dalam penelitian ini. Memandang cinta. Cinta yang seperti apa? Dalam film ini, karena karakter Dorothy dan Lorelei sama sama mempunyai preferensi untuk menyukai laki laki, maka yang akan kita kaji adalah cara memandang cinta responden perempuan dewasa berusia 20 tahun ke atas kepada lawan jenis mereka. Rentang waktu yang lama antara penayangan film dan penelitian ini memungkinkan analisis resepsi dilakukan 2 . Pasalnya, dengan demikian, peneliti 1 Menurut pengamatan peneliti, hingga kini, citra seorang perempuan berambut pirang masih lekat dengan seorang perempuan bodoh yang hanya peduli dengan penampilan luar dan mencintai harta sedangkan perempuan berambut gelap cenderung lebih pintar dan serius. Dapat kita lihat dari citra yang sama diberikan oleh film lain di tahun 2000an, seperti Legally Blonde (2001) dan Mean Girls (2004). 2 Dalam salah satu perkualiahan mata kuliah Filsafat Komunikasi dijelaskan tentang Persepsi yang membutuhkan waktu lama dan memastikan responden benar benar menghayati pesan.

Transcript of Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer Blondes’” pada...

Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer

Blondes’” pada Perempuan Dewasa (usia 20 tahun ke atas)

Suci Marini Novianty

11/319846/SP/24915

A. Latar Belakang

Diamonds are a girl‟s best friend.

Kalimat yang dinyanyikan oleh Marilyn Monroe ini boleh jadi adalah salah satu

lagu yang mengingatkan kita kepada Monroe. Lagu yang kemudian menarik kita kepada

satu film di mana lagu ini menjadi lekat dengan citra Monroe, „Gentlemen Prefer

Blondes‟.

Sebelum akhirnya dibesut kembali ke layar lebar pada tahun 1953 oleh sutradara

Howard Hawks. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama di tahun 1925 karya

Anita Loos ini pernah dibuat juga ke dalam drama musikal Broadway dan film bisu

pada tahun 1928. Lewat karakter yang kuat dan twist cerita yang berbeda dari film

kebanyakan di era 50-an, film ini menjadi amat menarik untuk dikaji.

Dibintangi oleh Marilyn Monroe dan Jane Russell sebagai pemeran utamanya,

film ini menyuguhkan kisah persahabatan dua gadis penghibur di kelab malam.

Karakter Marylin Monroe sebagai Lorelei Lee dikatakan sebagai seorang perempuan

berambut pirang yang terkesan bodoh dan sangat mencintai berlian. Sebab memiliki

berlian diafiliasikan dengan menjadi kaya, dan Lorelei suka pria kaya. Prinsipnya

adalah mencari seorang suami kaya agar dapat hidup dengan nyaman.

Sedangkan Jane Rusell memerankan tokoh Dorothy Shaw yang berambut coklat

yang berkepribadian 180 derajat berbeda dengan Lorelei. Dorothy digambarkan sebagai

seorang perempuan yang melihat cinta dan bahagia bukan dari harta. Namun, mereka

saling melengkapi dalam hal karakter. Dorothy pula yang terus mengingatkkan Lorelei

untuk menghindari masalah. Hal yang dapat membatalkan pertunangannya dengan

seorang laki – laki kaya. Dorothy bahkan digambarkan pula dapat mengorbankan

perasaan cintanya kepada seorang laki – laki untuk membela sahabatnya.

Pencitraan yang begitu kuat oleh dua karakter ini bahkan begitu lekat dalam

benak penonton dan menjadikan mereka sangat terkenal sebagai ikon perempuan di

budaya pop, bahkan hingga kini1. Perbedaan kedua karakter tersebut dalam memandang

cinta adalah fokus utama dalam penelitian ini.

Memandang cinta. Cinta yang seperti apa? Dalam film ini, karena karakter

Dorothy dan Lorelei sama – sama mempunyai preferensi untuk menyukai laki – laki,

maka yang akan kita kaji adalah cara memandang cinta responden perempuan dewasa

berusia 20 tahun ke atas kepada lawan jenis mereka.

Rentang waktu yang lama antara penayangan film dan penelitian ini

memungkinkan analisis resepsi dilakukan2

. Pasalnya, dengan demikian, peneliti

1 Menurut pengamatan peneliti, hingga kini, citra seorang perempuan berambut pirang masih lekat dengan seorang perempuan bodoh yang hanya peduli dengan penampilan luar dan mencintai harta sedangkan perempuan berambut gelap cenderung lebih pintar

dan serius. Dapat kita lihat dari citra yang sama diberikan oleh film lain di tahun 2000an, seperti Legally Blonde (2001) dan Mean

Girls (2004). 2 Dalam salah satu perkualiahan mata kuliah Filsafat Komunikasi dijelaskan tentang Persepsi yang membutuhkan waktu lama dan

memastikan responden benar – benar menghayati pesan.

meyakini bahwa responden akan sudah benar – benar terpapar dengan cara pandang

tentang cinta oleh kedua tokoh utama sehingga dapat ditelisik lebih jauh melalui proses

analisis resepsi. Diharapkan, nantinya penelitian ini akan dapat memetakan cara

pandang perempuan dewasa yang telah terpapar film „Gentlemen Prefer Blondes‟ akan

cinta kepada lawan jenisnya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana resepsi perempuan dewasa (umur 20 tahun ke atas) terhadap cara

memandang cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer Blondes‟.

C. Paradigma

Pada penelitian ini, karena peneliti memutuskan untuk memilih analisis resepsi

dan pendekatan yang akan peneliti lakukan adalah pendekatan kualitatif. Maka,

paradigma yang digunakan adalah paradigma konstruktivis. Paradigma ini dianggap

oleh peneliti paling mendukung penelitian ini dibanding paradigma komunikasi lainnya3.

Paradigma konstruktivis adalah cara pandang yang bersifat reflektif dan

dialektikal4. Perlunya empati dan interaksi yang dialektis atau dialog antara peneliti

dengan responden yang menjadi subjek penelitian agar dapat merekonsruksi realitas

yang diteliti dengan metode kualitatif.

Denzin dan Lincoln (2009) memaparkan bahwa paradigma konstruktivis

merupakan cara pandang yang toleran dan longgar serta tidak saklek berbicara tentang

tahap penelitian. Hal ini lah yang membedakan kualitatif dan kuantitatif. Sebab, realitas

yang menjadi fokus penelitian ini pun adalah hasil bentukan dari pengalaman dan

konstruksi sosial di masyarakat. Bagi mereka, realitas juga memiliki kekhasan yang

lokal, spesifik, serta ditentukan oleh masing – masing individu atau kelompok sosial

yang memiliki konstruksinya. Dalam melihat realitas pun, sebagai peneliti yang

menggunakan pendekatan kualitatif, praktis tidak bisa pula dilakukan generalisasi dalam

penciptaan realitas.

Ardianto (2009) dalam bukunya, Filsafat Ilmu Komunikasi memaparkan bahwa

untuk penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivis, sesungguhnya mereka

melihat alam semesta bukan lagi sebagaimana adanya melainkan sebagai entitas yang

dikonstruksi secara sosial. Lebih lanjut, melalui paradigma ini penelitian akan melihat

pada pola pemahaman pesan yang menjurus ke recipient-oriented. Saat penerima

memahami pesan dan mengkonstruksikan pesan dengan kapabilitas latar belakang yang

dimilikinya, maka barulah terjadi proses komunikasi.

D. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi

D.1 Ontologi

Film bukanlah hal baru dalam kapasitasnya sebagai media massa. Perkembangan

film sendiri dimulai sejak penemuannya di abad ke 19, semenjak itu, film selalu

diidentikan dengan peran hiburannya. Film sendiri dapat dikatakan sebagai hiburan

3 Paradigma Ilmu Komunikasi menurut Guba dalam Hidayat (1999) ada tiga, yaitu : a. Paradigma Klasik; b. Paradigma Kritis; c.

Paradigma Konstruktivisme. Sedangkan Ritzer (2005) menyebut bahwa ada empat paradigma dalam Ilmu Komunikasi, yaitu : a. Paradigma Positivisme; b. Paradigma Post – Positivisme; c. Paradigma Kritis; d. Paradigma Konstruktivis 4 Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi teori paradigma dan diskursus teknologi komunikasi dimasyarakat. Jakarta: Kencana.

hal. 238

paket lengkap yang menayangkan alur cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian

yang bersifat teknis lain kepada masyarakat secara umum5.

Film merupakan media komunikasi masa karena sifat – sifatnya yang ;

i. Menyampaikan informasi yang matang dalam konteks utuh dan

lengkap sehingga dapat diserap khalayak secara mendalam;

ii. Mengatasi masalah batasan ruang dan waktu dengan

menggunakan distorsi dalam proses pembuatannya;

iii. Membawakan situasi komunikasi yang khas hingga menimbulkan

keterlibatan khalayak lebih intim dengan film tersebut;

iv. Melibatkan kondisi emosional penonton ketika mengikutsertakan

komunikasi film tersebut menambah aspek kredibilitas film;

v. Menuntut penonton atau khlayak film untuk membentuk kerangka

komunikasi yang baru setiap kali menonton film agar mendapatkan

persepsi tepat;

vi. Membutuhkan ketelitian dalam pembuatan, karena perbaikan pada

titik tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara pemotongan film, dan

mustahil diralat seperti media massa lainnya;

vii. Menyerap informasi bersamaan dengan saat penerimaan karena

referensi khalayak film lebih sedikit dibandingkan media massa lainnya

membuat kesalahan persepsi dan pengertian tidak dapat serta merta

diperbaiki6.

‘Gentlemen Prefer Blondes‟ adalah film yang mampu mempengaruhi

penontonnya lewat sistem audiovisualnya. Bisa dibayangkan betapa berpengaruhnya

film ini hingga ikon Marilyn Monroe dengan gaun pinknya di lagu Diamonds Are a

Girl‟s Best Friend bahkan diikuti bertahun kemudian oleh selebriti dunia macam,

Madonna, Christina Aguilera, Kylie Minogue, hingga James Franco.

Pesan yang paling mencolok dari keseluruhan film dalam pandangan peneliti

sebenarnya adalah dikotomi perspektif tentang, ‘kita harus mencintai orang yang seperti

ap?’, yang dinarasikan lewat karakter Lorelei Lee dan Dorothy Shaw ini. Sehingga

peneliti merasa menarik untuk menemukan pola penerimaan atau resepsi penonton

terhadap kedua cara pandang yang berbeda ini.

Alasan memilih penonton perempuan dewasa yang berusia 20 tahun ke atas pun

bukan tanpa alasan. Peneliti menganggap bahwa perempuan dengan usia 20 tahun ke

atas sudah memiliki tendensi untuk berpikir secara serius mengenai hubungan7, setidak

3 dari 2 menjawab demikian. Di sini, bagi responden yang sudah terpapar dengan

dikotomi cara pandang tentang cinta pasti akan sedikit banyak terpengaruh.

Apalagi ditambah dengan latar belakang pendidikan, keluarga, agama, adat

istiadat, hingga lingkungan sosial. Peneliti meyakini akan terdapat perbedaan proses

rekonstruksi pesan yang telah mereka terima lewat film „Gentlemen Prefer Blondes‟.

5 Dennis McQuail. 1994. Mass Communication Theory an Introduction. California: Sage Publication. hal. 13. 6 Disarikan dari http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hi/206612046/bab2.pdf 7 Mini riset dengan bertanya kepada lima orang responden perempuan secara acak yang berusia 20 – 27 tahun

Inilah yang menjadi kunci penelitian ini. Bahwa peneliti ingin mengetahui bagaimana

latar belakang perempuan dewasa (usia 20 tahun ke atas) mempengaruhi resepsi mereka

terhadap cara pandang tentang cinta pada film „Gentlemen Prefer Blondes‟.

D.2 Epistemologi

Penelitian ini akan menggunakan metode analisis resepsi dalam praktiknya nanti.

Baran dalam Hadi (2009) mengatakan bahwa analisis resepsi memfokuskan pemaknaan

dan pemahaman yang mendalam pada teks di media. Baran juga menegaskan bahwa

poin kunci dalam analisis resepsi tentang cara individu menginterpretasikan pesan yang

dibawa oleh media.

Bagi Tuchman (1994); van Zoonen (1994); (Kellner 1995); MacBeth (1996)

dalam CCMS (2002), premis besar dari analisis resepsi terletak pada pemaknaan

terhadap teks media. Pemaknaan ini didapatkan dari penerima. Sebab, mereka secara

aktif memproduksi makna dengan menerima dan menginterpretasikaan pesan sesuai

latar belakang sosial dan budaya mereka.

Analisis resepsi juga merupakan sebuah metode yang menggunakan pendekatan

kulturalis karena makna pesan, media massa khususnya, dinegosiasikan oleh masing –

masing individu berdasarkan kerangka pengalaman mereka, Maka, akhirnya, pesan –

pesan akan terekonstruksi secara subjektif, papar McRobbie dalam CCMS (2002).

Fokus analisis resepsi sendiri adalah pertemuan pesan yang termediasi dengan

khalayaknya secara langsung. Bagi La Pastina (2005), pertemuan ini lah yang akan

memberi informasi tentang kompleksitas dan dinamika interaktivitas yang terjadi antara

khalayak dan produk budayanya. Pola ini dimungkinkan karena pada dasarnya makna

sebuah pesan bersifat polisemi dan terbuka sehingga khalayak dapat bebas memahami

dan memberikan interpretasinya berbeda satu dan lainnya.

Dengan analisis resepsi, penelitian ini berupaya untuk menggali apa yang tersirat

dan tersurat serta melatari resepsi khalayak terhadap dikotomi cara memandang cinta

pada film „Gentlemen Prefer Blondes‟.

D.3 Aksiologi

Penelitian ini sejalan dengan salah satu tradisi komunikasi menurut Craig, yaitu

sosiokultural.Menurur Littlejohn dan Foss (2011), gagasan utama dari tradisi ini adalah

berbagai bentuk interaksi antar manusia, bukan lagi melihat manusia sebagai manusia

yang terbentuk dengan sendirinya tanpa memerlukan lingkungan sosial. Pada tradisi ini,

interaksi adalah komponen penting karena merupakan proses dan sarana pertukaran

makna, peran, peraturan, serta nilai budaya di dalam masyarakat.

Penelitian dalam tradisi sosiokultural cenderung mengabaikan aspek kognitif

pemrosesan pesan pada tiap individu. Sebab, tradisi ini percaya bahwa aspek kognitif

pun datangnya dari bahasa yang digunakan dalam proses interaksi, sehingga pemikiran

tiap individu dipercaya sebagai hasil dari hubungan sosial budaya masyarakat di

sekitarnya.

Menggunakan pendekatan ini, pengetahuan dapat dengan leluasa diinterpretasi

dan dibentuk. Teori – teori dari tradisi ini pun mayoritas fokus pada cara identitas

seorang individu dibangun melalui interaksi antar individu di dalam kelompok sosial

dan budayanya masing – masing. Identitas menjadi penting karena merupakan

penentuan peranan mereka di dalam kelompoknya masing – masing.

Kemudian, fungsi budaya dalam tradisi ini adalah membentuk konteks bagi

tindakan dan interpretasi yang dilakukan oleh tiap individu dalam kelompoknya.

Konteks yang dibangun oleh budaya ini menjadi poin penting tradisi sosiokultural

karena penting untuk menjabarkan bentuk komunikasi dan makna.

Budaya dan konteks yang dipercaya sangat penting dalam penelitian terkait

tradisi sosiokultural, membuat penelitian dengan tradisi ini mayoritas bersifat holistik

atau menyeluruh. Bagi peneliti kajian yang terkait dengan tradisi ini, adalah penting

untuk menganalisis keseluruhan fragmen kajian dari interaksi level mikro.

Nantinya, penelitian ini memang ingin menggali aspek sosial dan budaya dari

subjek penelitian untuk mengetahui proses kognitif mereka meresepsi film „Gentlemen

Prefer Blondes‟.

E. Objek Material dan Objek Formal

E. 1 Objek Material

Objek material pada penelitian ini adalah penonton film „Gentlemen Prefer

Blondes‟. Khususnya adalah perempuan dewasa berusia 20 tahun ke atas. Lebih

dipersempit lagi menjadi mereka yang telah menonton film ini lebih dari lima kali untuk

benar – benar meyakinkan bahwa pesan dari film ini telah meresap ke dalam hati

responden. Setelah pesannya telah meresap ke dalam benak penonton, barulah peneliti

yakin bahwa mereka telah membuat keputusan untuk menginterpretasikan pesan dengan

caranya sendiri. Sehingga baru dapat kita teliti menggunakan metode analisis resepsi.

E.2 Objek Formal

Pada penelitian ini, objek formal yang peneliti gunakan adalah analisis resepsi

penonton film ‘Gentlemen Prefer Blondes’ terhadap cara mereka memang cinta dalam

film tersebut.

F. Kerangka Pemikiran

F.1 Dikotomi Cara Memandang Cinta dalam Film ‘Gentlemen Prefer

Blondes’

Tabel 1.

Karakter Pandangan

Lorelei Lee

Cinta itu datangnya dari harta, semakin

banyak harta yang dimiliki maka semakin

banyak juga waktu untuk mencintai

pasangan. Maka, pilihlah pasangan yang

kaya untuk menggenapi hidupmu.

Dorothy Shaw

Cinta bukanlah perkara harta, asalkan laki

– laki itu menarik, maka cinta akan datang.

Tak perlu harta untuk membuatmu

mencintai seseorang.

Tabel di atas adalah penjelas statement dikotomi cara memandang cinta yang

peneliti berikan. Sepanjang film ini, peneliti menemukan betapa kedua karakter ini

sangatlah memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta dari dialog – dialog di dalam

film, seperti ini:

Lorelei (L) :Dorothy's not bad, honest. She's just dumb. Always falling for a

man just because he's good-looking.l keep telling her, it's as easy

to fall for a rich man as a poor man.lf they're tall, dark and

handsome, she forgets vital statistics. That's why l'm her friend.

She needs me to educate her.

***

L :Dorothy, did you ever hear of a rich pole-vaulter?

Dorothy(D) :Who cares? l like a man who can run faster than l can.

L :l hate to think where you'll wind up. You're wasting time on

unrefined persons without money.

D :Honey, did it occur to you that some people just don't care about

money?

L :Don't be silly. We're talking serious.Do you want a loveless

marriage?

D :Me, loveless?

L :lf a girl spends time worrying about the money she doesn't

have...how will she have any time for love?

***

D :You're not one of those?

Ernie (E) :One of what?

D :The kind who tells a girl about his money.

E :What's wrong with money?

D :Yes, l'm afraid you are. Go whistle up a rope.

E :Wait--

D :l can't stand rich playboys who think they--

***

L :What do you do for a living?

E :Oh, that kind of line. Nothing, l'm afraid. Just clip coupons.

L :Coupons. That's like money, isn't it?

E :Very similar.

L :l'm so pleased. Dorothy's never been interested in anyone

worthwhile.

Potongan – potongan dialog di atas sudah memberikan perbedaan yang jelas

tentang dikotomi cara pandang kedua perempuan ini dalam melihat cinta. Karakter

Lorelei dan Dorothy peneliti rasa sangatlah kuat dalam film ini. Lorelei dengan

sikapnya yang matrealistik sedangkan Dorothy tetap bertahan menjadi dirinya yang

tidak mengejar harta sebagai prasyarat dari munculnya cinta.

F.2 Perempuan Dewasa (Usia 20 Tahun Ke Atas)

Ada berbagai macam penjelasan ketika kita berbicara tentang ‘dewasa’. Bagi

umat Islam, misalnya, perempuan dianggap dewasa apabila sudah haid yang biasanya

terjadi pada usia 13 -14 tahun. Sedangkan bagi negara, Warga Negara Indonesia (WNI)

yang dewasa adalah mereka yang sudah berusia 17 tahun dan mendapatkan Kartu Tanda

Penduduk.

Tidak, bukan kedua hal di atas yang menjadi parameter dewasa dalam penelitian

ini. Peneliti memilih untuk menggunakan parameter minimal perempuan dewasa dari

sisi psikologi. Menurut Dahlan (2001) ada tiga fase perkembangan seseorang hingga

menjadi dewasa, yaitu :

a) Masa dewasa dini (dewasa awal), periode penyesuaian diri

terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan baru.

Periode ini secara umum berusia sekitar 18-25 dan berakhir sekitar

35-40 thn.

b) Masa dewasa madya (dewasa tengah). Usia madya berusia sekitar

35-40 tahun & berakhir sekitar 60 tahun.

c) Dewasa akhir (usia lanjut).

Maka, kategori subjek penelitian yang dirujuk dalam penelitian ini masuk ke

masa dewasa dini. Meskipun Dahlan mencantumkan usia 18 – 25 tahun, namun peneliti

menimbang bahwa ada common sense di masyarakat bahwa 18 tahun pun masih

dianggap belum dewasa karena masih duduk di bangku SMA. Sehingga, 20 tahun

peneliti rasa lebih logis memulai subjek untuk penelitian ini.

Dahlan lebih lanjut juga menjelaskan ciri – ciri dewasa dini seperti di bawah ini :

Tabel 2

Fsikis Fungsi organ-organ berjalan dengan sempurna dan

mengalami masa produktifitas yang tinggi

Fungsi Motorik Memiliki kecepatan respon yang maksimal dan

mereka dapat menggunakan kemampuan ini dalam

situasi tertentu dan lebih luas.

Fungsi Psikomotorik Kemampuan kaki : mampu berjalan dan meloncat

secara maksimal, biasanya atlit yang berprestasi

mencapai puncak kejayaannya atau klimaknya pada

usia dewasa muda.

Bahasa Keterampilan berbahasa lebih dikuasai, dan lebih

supel serta mudah berkomunikasi dengan orang

lain.

Intelegensi Kemampuan berfikir lebih realistis dan berfikir

jauh kedepan, strategis dan selalu bersemangat

untuk berwawasan luas.

Emosional Stabilitas emosi masih mengalami naik turun,

namun tetap terkontrol dan cendrung mengarah

ketitik ketitik keseimbangan dan bisa mnerima

tanggung jawab.

Kepribadian 1.Masa dewasa dini sebagai masa kreatif

2.Masa dewasa dini sebagai masa keinginan

mandiri

3.Masa dewasa dini sebagai masa komitmen ;

Suatu komitmen dibuat oleh orang dewasa

muda karena mereka dituntut untuk menjadi

orang dewasa yang mandiri dan bertanggung

jawab bagi kehidupannya sendiri.

4.Masa dewasa dini sebagai masa

ketergantungan

Sosial Masa dewasa dini biasanya akan lebih supel dalam

berteman namun kondisi mereka seringkali

mengubah cara berteman kerah kelompok-

kelompok

Moralitas Masa dewasa dini selalu memiliki keinginan untuk

bisa mengikuti nilai-nilai adapt istiadat yang

berlaku, begitu pula dengan nilai keagamaan yang

memiliki tempat tersendiri dihati orang dewasa,

namun seringkali dewasa muda belum bisa

mengikuti nilai-nilai tersebut secara sempurna.

Mengambil poin kemampuan bahasa, intelegensi, emosional, kepribadian, dan

sosial, membuat pengambilan sampel perempuan berusia 20 tahun ke atas. Sebab,

meskipun ada kemungkinan subjek akan juga datang dari tingkat dewasa madya dan

akhir, namun paling tidak dasar – dasar karakternya sudah terlihat sejak dini.

F.3 Teori Dialogis

Teori yang merupakan buah pikiran dari Bakhtin dalam Littlejohn (1996)

mengungkapkan bahwa teori dialogis yang topic utamanya adalah hubungan ini

merupakan teori penyilangan antara sudut pandang sosiokultural dan kritikal. Lewat

teori ini, Bakhtin membantu masyarakat untuk memahami pola hubungan di dalam

kelompoknya. Ada lima gagasan utama yang Bakhtin hassilkan untuk melihat hubungan

dalam masyarakat;

1. Gagasan tentang realitas sehari – hari (lazim prosaic)

Gagasan ini sederhana. Sangat karena mengacu pada dunia sehari –hari tempat

kelompok menjalin hubungan. Dunia tempat tinggal sehari – hari dilihat sebagai pusat

yang konstan dan titik awal semua perubahan yang berjalan lambat. Gagasan tentang

kementahan

2. Gagasan tentang kementahan

Kementahan yang diutarakan Bakhtin datang dari fokusnya tentang kelaziman.

Pada gagasan ini Bakhtin bercerita bahwa dunia adalah tempat yang terbuka dan bebas

juga tidak lengkap dan statis, dan manusia lah yang membuat susunan dan konteks

hingga menjadikannya dunia yang kompleks.

3. Gagasan tentang heteroglossia

Bakhtin meyakini bahwa dunia terbentuk dari banyaknya suara (heteroglossia)

yang keseluruhannya memberikan kontribusi terhadap perubahan dunia yang konstan.

4. Gagasan tentang dialog

Gagasan tentang dialog lahir dari pemikiran Bakhtin tentang cara kita, individu,

berinteraksi dalam satu pola interaksi khusus.Dialog, papar Bakhtin adalah sesuatu yang

terhadu dalam sebuah situasi tertentu bagi pelaku tertentu pula.

5. Gagasan tentang ucapan

Gagasan terakhir ini adalah kelanjutan dari gagasan tentang dialog. Sebab, pada

gagasan ini muncul konsepsi tentang dialog yang mengacu pada bahasa yang

dimunculkan (diucapkan atau ditulis) pada sebuah konteks. Di dalam dialog ini pula

terjadi negosiasi pemahaman, pandangan antar individu terlibat.

Gagasan Bakhtin ini mewakili apa yang ingin penelitian ini sampaikan.

Menekankan pada pentingnya poin latar belakang budaya, di mana terjadi pertukaran

dan negosiasi makna sebelum akhirnya seorang individu mengambil keputusannya

tentang resepsi cara memandang cinta.

Daftar Pustaka

Buku

Ardianto, Elvinaro, Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:

Simbiosa.

Bungin,Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi teori paradigma dan diskursus teknologi

komunikasi dimasyarakat. Jakarta: Kencana Rekatama Media.

Dahlan, M. Djawad, 2001. Psikologi Perkembangan anak dan remaja. Bandung :

Rosdakarya.

Denzin, Norman K, Yvonna, S Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hidayat, Dedy N.1999. Bahan Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi

dan Latihan Penelitian Komunikasi : Bagian I Paradigma Klasik dan

Hypothetico –Deductive Method Dalam Penelitian Komunikasi. Jakarta :

Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI.

McQuail, Dennis. 1994. Mass Communication Theory an Introduction. California: Sage

Publication.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Rosdakarya

Littlejohn, Stephen W. 1996.Theories of Human Communiation (fifth edition). New

Jersey : Wadsworth Publication.

Littlejohn, Stephen W, Karen A, Foss. Theories of Human Communication (tenth

edition). Long Grove : Waveland Press.

Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage

Publication.

Jurnal

La Pastina, Antonio C, Joseph D, Straubhaar. 2005. “Multiple Television Genres and

Audiences, The Schism between Telebovelas‟ Global Distribution and Local

Consumption”. Gazette. 67. (3). 271 – 288.

Website

Film sebagai Landasan Komunikasi Massa,.

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hi/206612046/bab2.pdf diakses pada 23

April 2013.

Reception Analysis. http://www.cultsock.ndirect.co.uk/ MUHome/cshtml/index.html,

Diakses pada 8 Oktober 2002.