Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer Blondes’” pada...
Transcript of Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer Blondes’” pada...
Analisis Resepsi terhadap Cara Memandang Cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer
Blondes’” pada Perempuan Dewasa (usia 20 tahun ke atas)
Suci Marini Novianty
11/319846/SP/24915
A. Latar Belakang
Diamonds are a girl‟s best friend.
Kalimat yang dinyanyikan oleh Marilyn Monroe ini boleh jadi adalah salah satu
lagu yang mengingatkan kita kepada Monroe. Lagu yang kemudian menarik kita kepada
satu film di mana lagu ini menjadi lekat dengan citra Monroe, „Gentlemen Prefer
Blondes‟.
Sebelum akhirnya dibesut kembali ke layar lebar pada tahun 1953 oleh sutradara
Howard Hawks. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama di tahun 1925 karya
Anita Loos ini pernah dibuat juga ke dalam drama musikal Broadway dan film bisu
pada tahun 1928. Lewat karakter yang kuat dan twist cerita yang berbeda dari film
kebanyakan di era 50-an, film ini menjadi amat menarik untuk dikaji.
Dibintangi oleh Marilyn Monroe dan Jane Russell sebagai pemeran utamanya,
film ini menyuguhkan kisah persahabatan dua gadis penghibur di kelab malam.
Karakter Marylin Monroe sebagai Lorelei Lee dikatakan sebagai seorang perempuan
berambut pirang yang terkesan bodoh dan sangat mencintai berlian. Sebab memiliki
berlian diafiliasikan dengan menjadi kaya, dan Lorelei suka pria kaya. Prinsipnya
adalah mencari seorang suami kaya agar dapat hidup dengan nyaman.
Sedangkan Jane Rusell memerankan tokoh Dorothy Shaw yang berambut coklat
yang berkepribadian 180 derajat berbeda dengan Lorelei. Dorothy digambarkan sebagai
seorang perempuan yang melihat cinta dan bahagia bukan dari harta. Namun, mereka
saling melengkapi dalam hal karakter. Dorothy pula yang terus mengingatkkan Lorelei
untuk menghindari masalah. Hal yang dapat membatalkan pertunangannya dengan
seorang laki – laki kaya. Dorothy bahkan digambarkan pula dapat mengorbankan
perasaan cintanya kepada seorang laki – laki untuk membela sahabatnya.
Pencitraan yang begitu kuat oleh dua karakter ini bahkan begitu lekat dalam
benak penonton dan menjadikan mereka sangat terkenal sebagai ikon perempuan di
budaya pop, bahkan hingga kini1. Perbedaan kedua karakter tersebut dalam memandang
cinta adalah fokus utama dalam penelitian ini.
Memandang cinta. Cinta yang seperti apa? Dalam film ini, karena karakter
Dorothy dan Lorelei sama – sama mempunyai preferensi untuk menyukai laki – laki,
maka yang akan kita kaji adalah cara memandang cinta responden perempuan dewasa
berusia 20 tahun ke atas kepada lawan jenis mereka.
Rentang waktu yang lama antara penayangan film dan penelitian ini
memungkinkan analisis resepsi dilakukan2
. Pasalnya, dengan demikian, peneliti
1 Menurut pengamatan peneliti, hingga kini, citra seorang perempuan berambut pirang masih lekat dengan seorang perempuan bodoh yang hanya peduli dengan penampilan luar dan mencintai harta sedangkan perempuan berambut gelap cenderung lebih pintar
dan serius. Dapat kita lihat dari citra yang sama diberikan oleh film lain di tahun 2000an, seperti Legally Blonde (2001) dan Mean
Girls (2004). 2 Dalam salah satu perkualiahan mata kuliah Filsafat Komunikasi dijelaskan tentang Persepsi yang membutuhkan waktu lama dan
memastikan responden benar – benar menghayati pesan.
meyakini bahwa responden akan sudah benar – benar terpapar dengan cara pandang
tentang cinta oleh kedua tokoh utama sehingga dapat ditelisik lebih jauh melalui proses
analisis resepsi. Diharapkan, nantinya penelitian ini akan dapat memetakan cara
pandang perempuan dewasa yang telah terpapar film „Gentlemen Prefer Blondes‟ akan
cinta kepada lawan jenisnya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana resepsi perempuan dewasa (umur 20 tahun ke atas) terhadap cara
memandang cinta dalam film ‘Gentlemen Prefer Blondes‟.
C. Paradigma
Pada penelitian ini, karena peneliti memutuskan untuk memilih analisis resepsi
dan pendekatan yang akan peneliti lakukan adalah pendekatan kualitatif. Maka,
paradigma yang digunakan adalah paradigma konstruktivis. Paradigma ini dianggap
oleh peneliti paling mendukung penelitian ini dibanding paradigma komunikasi lainnya3.
Paradigma konstruktivis adalah cara pandang yang bersifat reflektif dan
dialektikal4. Perlunya empati dan interaksi yang dialektis atau dialog antara peneliti
dengan responden yang menjadi subjek penelitian agar dapat merekonsruksi realitas
yang diteliti dengan metode kualitatif.
Denzin dan Lincoln (2009) memaparkan bahwa paradigma konstruktivis
merupakan cara pandang yang toleran dan longgar serta tidak saklek berbicara tentang
tahap penelitian. Hal ini lah yang membedakan kualitatif dan kuantitatif. Sebab, realitas
yang menjadi fokus penelitian ini pun adalah hasil bentukan dari pengalaman dan
konstruksi sosial di masyarakat. Bagi mereka, realitas juga memiliki kekhasan yang
lokal, spesifik, serta ditentukan oleh masing – masing individu atau kelompok sosial
yang memiliki konstruksinya. Dalam melihat realitas pun, sebagai peneliti yang
menggunakan pendekatan kualitatif, praktis tidak bisa pula dilakukan generalisasi dalam
penciptaan realitas.
Ardianto (2009) dalam bukunya, Filsafat Ilmu Komunikasi memaparkan bahwa
untuk penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivis, sesungguhnya mereka
melihat alam semesta bukan lagi sebagaimana adanya melainkan sebagai entitas yang
dikonstruksi secara sosial. Lebih lanjut, melalui paradigma ini penelitian akan melihat
pada pola pemahaman pesan yang menjurus ke recipient-oriented. Saat penerima
memahami pesan dan mengkonstruksikan pesan dengan kapabilitas latar belakang yang
dimilikinya, maka barulah terjadi proses komunikasi.
D. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
D.1 Ontologi
Film bukanlah hal baru dalam kapasitasnya sebagai media massa. Perkembangan
film sendiri dimulai sejak penemuannya di abad ke 19, semenjak itu, film selalu
diidentikan dengan peran hiburannya. Film sendiri dapat dikatakan sebagai hiburan
3 Paradigma Ilmu Komunikasi menurut Guba dalam Hidayat (1999) ada tiga, yaitu : a. Paradigma Klasik; b. Paradigma Kritis; c.
Paradigma Konstruktivisme. Sedangkan Ritzer (2005) menyebut bahwa ada empat paradigma dalam Ilmu Komunikasi, yaitu : a. Paradigma Positivisme; b. Paradigma Post – Positivisme; c. Paradigma Kritis; d. Paradigma Konstruktivis 4 Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi teori paradigma dan diskursus teknologi komunikasi dimasyarakat. Jakarta: Kencana.
hal. 238
paket lengkap yang menayangkan alur cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian
yang bersifat teknis lain kepada masyarakat secara umum5.
Film merupakan media komunikasi masa karena sifat – sifatnya yang ;
i. Menyampaikan informasi yang matang dalam konteks utuh dan
lengkap sehingga dapat diserap khalayak secara mendalam;
ii. Mengatasi masalah batasan ruang dan waktu dengan
menggunakan distorsi dalam proses pembuatannya;
iii. Membawakan situasi komunikasi yang khas hingga menimbulkan
keterlibatan khalayak lebih intim dengan film tersebut;
iv. Melibatkan kondisi emosional penonton ketika mengikutsertakan
komunikasi film tersebut menambah aspek kredibilitas film;
v. Menuntut penonton atau khlayak film untuk membentuk kerangka
komunikasi yang baru setiap kali menonton film agar mendapatkan
persepsi tepat;
vi. Membutuhkan ketelitian dalam pembuatan, karena perbaikan pada
titik tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara pemotongan film, dan
mustahil diralat seperti media massa lainnya;
vii. Menyerap informasi bersamaan dengan saat penerimaan karena
referensi khalayak film lebih sedikit dibandingkan media massa lainnya
membuat kesalahan persepsi dan pengertian tidak dapat serta merta
diperbaiki6.
‘Gentlemen Prefer Blondes‟ adalah film yang mampu mempengaruhi
penontonnya lewat sistem audiovisualnya. Bisa dibayangkan betapa berpengaruhnya
film ini hingga ikon Marilyn Monroe dengan gaun pinknya di lagu Diamonds Are a
Girl‟s Best Friend bahkan diikuti bertahun kemudian oleh selebriti dunia macam,
Madonna, Christina Aguilera, Kylie Minogue, hingga James Franco.
Pesan yang paling mencolok dari keseluruhan film dalam pandangan peneliti
sebenarnya adalah dikotomi perspektif tentang, ‘kita harus mencintai orang yang seperti
ap?’, yang dinarasikan lewat karakter Lorelei Lee dan Dorothy Shaw ini. Sehingga
peneliti merasa menarik untuk menemukan pola penerimaan atau resepsi penonton
terhadap kedua cara pandang yang berbeda ini.
Alasan memilih penonton perempuan dewasa yang berusia 20 tahun ke atas pun
bukan tanpa alasan. Peneliti menganggap bahwa perempuan dengan usia 20 tahun ke
atas sudah memiliki tendensi untuk berpikir secara serius mengenai hubungan7, setidak
3 dari 2 menjawab demikian. Di sini, bagi responden yang sudah terpapar dengan
dikotomi cara pandang tentang cinta pasti akan sedikit banyak terpengaruh.
Apalagi ditambah dengan latar belakang pendidikan, keluarga, agama, adat
istiadat, hingga lingkungan sosial. Peneliti meyakini akan terdapat perbedaan proses
rekonstruksi pesan yang telah mereka terima lewat film „Gentlemen Prefer Blondes‟.
5 Dennis McQuail. 1994. Mass Communication Theory an Introduction. California: Sage Publication. hal. 13. 6 Disarikan dari http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hi/206612046/bab2.pdf 7 Mini riset dengan bertanya kepada lima orang responden perempuan secara acak yang berusia 20 – 27 tahun
Inilah yang menjadi kunci penelitian ini. Bahwa peneliti ingin mengetahui bagaimana
latar belakang perempuan dewasa (usia 20 tahun ke atas) mempengaruhi resepsi mereka
terhadap cara pandang tentang cinta pada film „Gentlemen Prefer Blondes‟.
D.2 Epistemologi
Penelitian ini akan menggunakan metode analisis resepsi dalam praktiknya nanti.
Baran dalam Hadi (2009) mengatakan bahwa analisis resepsi memfokuskan pemaknaan
dan pemahaman yang mendalam pada teks di media. Baran juga menegaskan bahwa
poin kunci dalam analisis resepsi tentang cara individu menginterpretasikan pesan yang
dibawa oleh media.
Bagi Tuchman (1994); van Zoonen (1994); (Kellner 1995); MacBeth (1996)
dalam CCMS (2002), premis besar dari analisis resepsi terletak pada pemaknaan
terhadap teks media. Pemaknaan ini didapatkan dari penerima. Sebab, mereka secara
aktif memproduksi makna dengan menerima dan menginterpretasikaan pesan sesuai
latar belakang sosial dan budaya mereka.
Analisis resepsi juga merupakan sebuah metode yang menggunakan pendekatan
kulturalis karena makna pesan, media massa khususnya, dinegosiasikan oleh masing –
masing individu berdasarkan kerangka pengalaman mereka, Maka, akhirnya, pesan –
pesan akan terekonstruksi secara subjektif, papar McRobbie dalam CCMS (2002).
Fokus analisis resepsi sendiri adalah pertemuan pesan yang termediasi dengan
khalayaknya secara langsung. Bagi La Pastina (2005), pertemuan ini lah yang akan
memberi informasi tentang kompleksitas dan dinamika interaktivitas yang terjadi antara
khalayak dan produk budayanya. Pola ini dimungkinkan karena pada dasarnya makna
sebuah pesan bersifat polisemi dan terbuka sehingga khalayak dapat bebas memahami
dan memberikan interpretasinya berbeda satu dan lainnya.
Dengan analisis resepsi, penelitian ini berupaya untuk menggali apa yang tersirat
dan tersurat serta melatari resepsi khalayak terhadap dikotomi cara memandang cinta
pada film „Gentlemen Prefer Blondes‟.
D.3 Aksiologi
Penelitian ini sejalan dengan salah satu tradisi komunikasi menurut Craig, yaitu
sosiokultural.Menurur Littlejohn dan Foss (2011), gagasan utama dari tradisi ini adalah
berbagai bentuk interaksi antar manusia, bukan lagi melihat manusia sebagai manusia
yang terbentuk dengan sendirinya tanpa memerlukan lingkungan sosial. Pada tradisi ini,
interaksi adalah komponen penting karena merupakan proses dan sarana pertukaran
makna, peran, peraturan, serta nilai budaya di dalam masyarakat.
Penelitian dalam tradisi sosiokultural cenderung mengabaikan aspek kognitif
pemrosesan pesan pada tiap individu. Sebab, tradisi ini percaya bahwa aspek kognitif
pun datangnya dari bahasa yang digunakan dalam proses interaksi, sehingga pemikiran
tiap individu dipercaya sebagai hasil dari hubungan sosial budaya masyarakat di
sekitarnya.
Menggunakan pendekatan ini, pengetahuan dapat dengan leluasa diinterpretasi
dan dibentuk. Teori – teori dari tradisi ini pun mayoritas fokus pada cara identitas
seorang individu dibangun melalui interaksi antar individu di dalam kelompok sosial
dan budayanya masing – masing. Identitas menjadi penting karena merupakan
penentuan peranan mereka di dalam kelompoknya masing – masing.
Kemudian, fungsi budaya dalam tradisi ini adalah membentuk konteks bagi
tindakan dan interpretasi yang dilakukan oleh tiap individu dalam kelompoknya.
Konteks yang dibangun oleh budaya ini menjadi poin penting tradisi sosiokultural
karena penting untuk menjabarkan bentuk komunikasi dan makna.
Budaya dan konteks yang dipercaya sangat penting dalam penelitian terkait
tradisi sosiokultural, membuat penelitian dengan tradisi ini mayoritas bersifat holistik
atau menyeluruh. Bagi peneliti kajian yang terkait dengan tradisi ini, adalah penting
untuk menganalisis keseluruhan fragmen kajian dari interaksi level mikro.
Nantinya, penelitian ini memang ingin menggali aspek sosial dan budaya dari
subjek penelitian untuk mengetahui proses kognitif mereka meresepsi film „Gentlemen
Prefer Blondes‟.
E. Objek Material dan Objek Formal
E. 1 Objek Material
Objek material pada penelitian ini adalah penonton film „Gentlemen Prefer
Blondes‟. Khususnya adalah perempuan dewasa berusia 20 tahun ke atas. Lebih
dipersempit lagi menjadi mereka yang telah menonton film ini lebih dari lima kali untuk
benar – benar meyakinkan bahwa pesan dari film ini telah meresap ke dalam hati
responden. Setelah pesannya telah meresap ke dalam benak penonton, barulah peneliti
yakin bahwa mereka telah membuat keputusan untuk menginterpretasikan pesan dengan
caranya sendiri. Sehingga baru dapat kita teliti menggunakan metode analisis resepsi.
E.2 Objek Formal
Pada penelitian ini, objek formal yang peneliti gunakan adalah analisis resepsi
penonton film ‘Gentlemen Prefer Blondes’ terhadap cara mereka memang cinta dalam
film tersebut.
F. Kerangka Pemikiran
F.1 Dikotomi Cara Memandang Cinta dalam Film ‘Gentlemen Prefer
Blondes’
Tabel 1.
Karakter Pandangan
Lorelei Lee
Cinta itu datangnya dari harta, semakin
banyak harta yang dimiliki maka semakin
banyak juga waktu untuk mencintai
pasangan. Maka, pilihlah pasangan yang
kaya untuk menggenapi hidupmu.
Dorothy Shaw
Cinta bukanlah perkara harta, asalkan laki
– laki itu menarik, maka cinta akan datang.
Tak perlu harta untuk membuatmu
mencintai seseorang.
Tabel di atas adalah penjelas statement dikotomi cara memandang cinta yang
peneliti berikan. Sepanjang film ini, peneliti menemukan betapa kedua karakter ini
sangatlah memiliki pandangan yang berbeda tentang cinta dari dialog – dialog di dalam
film, seperti ini:
Lorelei (L) :Dorothy's not bad, honest. She's just dumb. Always falling for a
man just because he's good-looking.l keep telling her, it's as easy
to fall for a rich man as a poor man.lf they're tall, dark and
handsome, she forgets vital statistics. That's why l'm her friend.
She needs me to educate her.
***
L :Dorothy, did you ever hear of a rich pole-vaulter?
Dorothy(D) :Who cares? l like a man who can run faster than l can.
L :l hate to think where you'll wind up. You're wasting time on
unrefined persons without money.
D :Honey, did it occur to you that some people just don't care about
money?
L :Don't be silly. We're talking serious.Do you want a loveless
marriage?
D :Me, loveless?
L :lf a girl spends time worrying about the money she doesn't
have...how will she have any time for love?
***
D :You're not one of those?
Ernie (E) :One of what?
D :The kind who tells a girl about his money.
E :What's wrong with money?
D :Yes, l'm afraid you are. Go whistle up a rope.
E :Wait--
D :l can't stand rich playboys who think they--
***
L :What do you do for a living?
E :Oh, that kind of line. Nothing, l'm afraid. Just clip coupons.
L :Coupons. That's like money, isn't it?
E :Very similar.
L :l'm so pleased. Dorothy's never been interested in anyone
worthwhile.
Potongan – potongan dialog di atas sudah memberikan perbedaan yang jelas
tentang dikotomi cara pandang kedua perempuan ini dalam melihat cinta. Karakter
Lorelei dan Dorothy peneliti rasa sangatlah kuat dalam film ini. Lorelei dengan
sikapnya yang matrealistik sedangkan Dorothy tetap bertahan menjadi dirinya yang
tidak mengejar harta sebagai prasyarat dari munculnya cinta.
F.2 Perempuan Dewasa (Usia 20 Tahun Ke Atas)
Ada berbagai macam penjelasan ketika kita berbicara tentang ‘dewasa’. Bagi
umat Islam, misalnya, perempuan dianggap dewasa apabila sudah haid yang biasanya
terjadi pada usia 13 -14 tahun. Sedangkan bagi negara, Warga Negara Indonesia (WNI)
yang dewasa adalah mereka yang sudah berusia 17 tahun dan mendapatkan Kartu Tanda
Penduduk.
Tidak, bukan kedua hal di atas yang menjadi parameter dewasa dalam penelitian
ini. Peneliti memilih untuk menggunakan parameter minimal perempuan dewasa dari
sisi psikologi. Menurut Dahlan (2001) ada tiga fase perkembangan seseorang hingga
menjadi dewasa, yaitu :
a) Masa dewasa dini (dewasa awal), periode penyesuaian diri
terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan baru.
Periode ini secara umum berusia sekitar 18-25 dan berakhir sekitar
35-40 thn.
b) Masa dewasa madya (dewasa tengah). Usia madya berusia sekitar
35-40 tahun & berakhir sekitar 60 tahun.
c) Dewasa akhir (usia lanjut).
Maka, kategori subjek penelitian yang dirujuk dalam penelitian ini masuk ke
masa dewasa dini. Meskipun Dahlan mencantumkan usia 18 – 25 tahun, namun peneliti
menimbang bahwa ada common sense di masyarakat bahwa 18 tahun pun masih
dianggap belum dewasa karena masih duduk di bangku SMA. Sehingga, 20 tahun
peneliti rasa lebih logis memulai subjek untuk penelitian ini.
Dahlan lebih lanjut juga menjelaskan ciri – ciri dewasa dini seperti di bawah ini :
Tabel 2
Fsikis Fungsi organ-organ berjalan dengan sempurna dan
mengalami masa produktifitas yang tinggi
Fungsi Motorik Memiliki kecepatan respon yang maksimal dan
mereka dapat menggunakan kemampuan ini dalam
situasi tertentu dan lebih luas.
Fungsi Psikomotorik Kemampuan kaki : mampu berjalan dan meloncat
secara maksimal, biasanya atlit yang berprestasi
mencapai puncak kejayaannya atau klimaknya pada
usia dewasa muda.
Bahasa Keterampilan berbahasa lebih dikuasai, dan lebih
supel serta mudah berkomunikasi dengan orang
lain.
Intelegensi Kemampuan berfikir lebih realistis dan berfikir
jauh kedepan, strategis dan selalu bersemangat
untuk berwawasan luas.
Emosional Stabilitas emosi masih mengalami naik turun,
namun tetap terkontrol dan cendrung mengarah
ketitik ketitik keseimbangan dan bisa mnerima
tanggung jawab.
Kepribadian 1.Masa dewasa dini sebagai masa kreatif
2.Masa dewasa dini sebagai masa keinginan
mandiri
3.Masa dewasa dini sebagai masa komitmen ;
Suatu komitmen dibuat oleh orang dewasa
muda karena mereka dituntut untuk menjadi
orang dewasa yang mandiri dan bertanggung
jawab bagi kehidupannya sendiri.
4.Masa dewasa dini sebagai masa
ketergantungan
Sosial Masa dewasa dini biasanya akan lebih supel dalam
berteman namun kondisi mereka seringkali
mengubah cara berteman kerah kelompok-
kelompok
Moralitas Masa dewasa dini selalu memiliki keinginan untuk
bisa mengikuti nilai-nilai adapt istiadat yang
berlaku, begitu pula dengan nilai keagamaan yang
memiliki tempat tersendiri dihati orang dewasa,
namun seringkali dewasa muda belum bisa
mengikuti nilai-nilai tersebut secara sempurna.
Mengambil poin kemampuan bahasa, intelegensi, emosional, kepribadian, dan
sosial, membuat pengambilan sampel perempuan berusia 20 tahun ke atas. Sebab,
meskipun ada kemungkinan subjek akan juga datang dari tingkat dewasa madya dan
akhir, namun paling tidak dasar – dasar karakternya sudah terlihat sejak dini.
F.3 Teori Dialogis
Teori yang merupakan buah pikiran dari Bakhtin dalam Littlejohn (1996)
mengungkapkan bahwa teori dialogis yang topic utamanya adalah hubungan ini
merupakan teori penyilangan antara sudut pandang sosiokultural dan kritikal. Lewat
teori ini, Bakhtin membantu masyarakat untuk memahami pola hubungan di dalam
kelompoknya. Ada lima gagasan utama yang Bakhtin hassilkan untuk melihat hubungan
dalam masyarakat;
1. Gagasan tentang realitas sehari – hari (lazim prosaic)
Gagasan ini sederhana. Sangat karena mengacu pada dunia sehari –hari tempat
kelompok menjalin hubungan. Dunia tempat tinggal sehari – hari dilihat sebagai pusat
yang konstan dan titik awal semua perubahan yang berjalan lambat. Gagasan tentang
kementahan
2. Gagasan tentang kementahan
Kementahan yang diutarakan Bakhtin datang dari fokusnya tentang kelaziman.
Pada gagasan ini Bakhtin bercerita bahwa dunia adalah tempat yang terbuka dan bebas
juga tidak lengkap dan statis, dan manusia lah yang membuat susunan dan konteks
hingga menjadikannya dunia yang kompleks.
3. Gagasan tentang heteroglossia
Bakhtin meyakini bahwa dunia terbentuk dari banyaknya suara (heteroglossia)
yang keseluruhannya memberikan kontribusi terhadap perubahan dunia yang konstan.
4. Gagasan tentang dialog
Gagasan tentang dialog lahir dari pemikiran Bakhtin tentang cara kita, individu,
berinteraksi dalam satu pola interaksi khusus.Dialog, papar Bakhtin adalah sesuatu yang
terhadu dalam sebuah situasi tertentu bagi pelaku tertentu pula.
5. Gagasan tentang ucapan
Gagasan terakhir ini adalah kelanjutan dari gagasan tentang dialog. Sebab, pada
gagasan ini muncul konsepsi tentang dialog yang mengacu pada bahasa yang
dimunculkan (diucapkan atau ditulis) pada sebuah konteks. Di dalam dialog ini pula
terjadi negosiasi pemahaman, pandangan antar individu terlibat.
Gagasan Bakhtin ini mewakili apa yang ingin penelitian ini sampaikan.
Menekankan pada pentingnya poin latar belakang budaya, di mana terjadi pertukaran
dan negosiasi makna sebelum akhirnya seorang individu mengambil keputusannya
tentang resepsi cara memandang cinta.
Daftar Pustaka
Buku
Ardianto, Elvinaro, Q-Anees, Bambang. 2009. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung:
Simbiosa.
Bungin,Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi teori paradigma dan diskursus teknologi
komunikasi dimasyarakat. Jakarta: Kencana Rekatama Media.
Dahlan, M. Djawad, 2001. Psikologi Perkembangan anak dan remaja. Bandung :
Rosdakarya.
Denzin, Norman K, Yvonna, S Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Dedy N.1999. Bahan Penunjang Kuliah Metodologi Penelitian Komunikasi
dan Latihan Penelitian Komunikasi : Bagian I Paradigma Klasik dan
Hypothetico –Deductive Method Dalam Penelitian Komunikasi. Jakarta :
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI.
McQuail, Dennis. 1994. Mass Communication Theory an Introduction. California: Sage
Publication.
Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Rosdakarya
Littlejohn, Stephen W. 1996.Theories of Human Communiation (fifth edition). New
Jersey : Wadsworth Publication.
Littlejohn, Stephen W, Karen A, Foss. Theories of Human Communication (tenth
edition). Long Grove : Waveland Press.
Ritzer, George (ed.). 2005. Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage
Publication.
Jurnal
La Pastina, Antonio C, Joseph D, Straubhaar. 2005. “Multiple Television Genres and
Audiences, The Schism between Telebovelas‟ Global Distribution and Local
Consumption”. Gazette. 67. (3). 271 – 288.
Website
Film sebagai Landasan Komunikasi Massa,.
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hi/206612046/bab2.pdf diakses pada 23
April 2013.
Reception Analysis. http://www.cultsock.ndirect.co.uk/ MUHome/cshtml/index.html,
Diakses pada 8 Oktober 2002.