ADDRESSING THE PROBLEM OF EXCESS FISHING CAPACITY IN TUNA FISHERIES by
LOVE RELATIONSHIP PADA PENYANDANG TUNA NETRA (Studi pada Interpersonal Relationship Pasangan Kekasih...
-
Upload
ubrawijaya -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of LOVE RELATIONSHIP PADA PENYANDANG TUNA NETRA (Studi pada Interpersonal Relationship Pasangan Kekasih...
1
LOVE RELATIONSHIP PADA PENYANDANG TUNA NETRA
(Studi pada Interpersonal Relationship Pasangan Kekasih Penyandang Tuna
Netra Dewasa Muda di Surabaya)
Laily Puspita
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Abstract
Love Relationship is usually experienced by half-adults. Started with
physical attraction, the relationship can go further, it is also can be experienced by
people with visual impairment. Using qualitative research methodology with
descriptive level, the focus of this research is about how personal attractiveness,
relationship development, relationship maintenance and conflict in the visual
impairment. The results of this study are summarized based on formulation of
problem and the focus of research, that the visual impairments rely on auditory
function as a substitute for the sense of sight. They can recognize and memorize
the others through sounds such as vocal tone and marching. They assess
handsome or beauty of people by listening sound they hear. Their first impression
come from partners’s sound and physical appearance. Physical appearance can be
recognited by asking to people with normal sight. Then they build and maintain
relationships with a distinctive way: verbal language is the most important thing,
when going on a date to somewhere they bring a companion each as a guide, and
for indirect communication or long distance, they use gadget that has a special
application so that the gadget can sound. Although there are signs of relationship
destruction, their a strong commitment will help them to not make it over. The
way they resolved the conflict is by relying verbal language.
Keywords: Love Relationship, Visual Impairment, Relationship Development,
Relationship Maintenance
Abstrak
Love Relationship atau hubungan cinta adalah hal yang biasa dialami oleh
sebagian besar dari kita yang berusia dewasa muda. Berawal dari ketertarikan
secara fisik, sebuah hubungan dapat terbangun lebih jauh. Hal ini juga yang
dialami oleh para penyandang tuna netra. Menggunakan metodologi penelitian
kualitatif dengan tataran deskriptif, fokus penelitian ini adalah mengenai
bagaimana interpersonal attractiveness, relationship development, relationship
maintenance dan konflik hubungan pada pasangan tuna netra (visual impairment).
2
Hasil penelitian ini dirangkum berdasarkan rumusan masalah dan fokus
penelitian, bahwa penyandang tuna netra mengandalkan fungsi indra pendengaran
sebagai pengganti indra penglihatan. Mereka dapat mengenal dan menghafal
orang lain melalui suara seperti nada bicara, bahkan derap langkah. Mereka
menilai tampan atau cantiknya seseorang dari suara yang terdengar. Awal
ketertarikanpun dari suara dan penampilan fisik pasangan. Penampilan fisik
mereka ketahui dengan bertanya pada orang-orang berpenglihatan normal.
Kemudian mereka membangun dan mempertahankan hubungan dengan cara yang
khas: kata-kata verbal adalah hal yang paling utama, saat pergi berkencan ke suatu
tempat mereka membawa pendamping masing-masing sebagai penunjuk jalan,
dan komunikasi tidak langsung atau jarak jauh menggunakan gadget yang terdapat
aplikasi khusus sehingga gadget mereka dapat mengeluarkan suara. Meskipun
terdapat tanda perusakan hubungan namun komitmen yang kuat tidak
membuatnya berakhir. Cara mereka menyelesaikan konflik adalah dengan
mengandalkan kata-kata verbal.
Kata Kunci : Love Relationship, Tuna Netra, Relationship Development,
Relationship Maintenance
Pendahuluan
Ketertarikan dengan lawan jenis biasa dimulai dari penglihatan. Saat
berinteraksi dengan orang lain, persepsi alat indra penglihatan akan menilai
penampilan fisik seseorang menarik atau tidak. Seperti yang dijelaskan DeVito
(1997, h. 233) menurut beberapa periset, dalam empat menit pertama interaksi
awal, seseorang memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan ini atau tidak.
Pada tahap inilah penampilan fisik begitu penting, karena dimensi fisik paling
terbuka untuk diamati secara mudah.
Penampilan fisik yang diamati melalui indra penglihatan akan membentuk
kesan. Dan dari kesan tersebut, seseorang akan menentukan untuk lebih dekat atau
tidak terhadap orang lain yang diamati. Jika ketertarikan itu ada dan proses
pengenalan berlanjut lebih dekat, maka tidak menutup kemungkinan terjalinnya
love relationship. DeVito (2004, h. 287) menjelaskan of all the qualities of
interpersonal relationship, none seems as important as love “we are all born for
love”.
Love relationship tidak hanya terjadi pada dua orang yang memiliki panca
indra sempurna yang dapat saling tertarik satu sama lain melalui penglihatan,
namun juga para penyandang tuna netra. Secara garis besar dapat dikatakan tuna
netra merupakan orang-orang berkebutuhan khusus karena ketidaksempurnaan
pada indra penglihatan.
Menurut Direktorat Pembinaaan Sekolah Luar Biasa (2008), yang
dimaksud dengan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan serta tidak berfungsinya indera penglihatan. Meskipun demikian,
bukan berarti para penyandang tuna netra ini tidak dapat menjalin hubungan cinta.
3
Merekapun dapat saling tertarik dengan lawan jenis walaupun tidak saling
menatap. Interaksi yang terjalin antar penyandang tuna netra dapat dilakukan
melalui indra peraba dan indra pendengaran. Pada penelitian psikologi yang
dilakukan di badan sosial penyandang tuna netra Jogjakarta, Meriyani & Hidayah
(2013) menyebutkan bahwa syarat interaksi sosial yang terdapat dalam interaksi
antar anggota tuna netra yakni kontak yang khas menggunakan indra peraba dan
komunikasi melalui handphone dengan cara pemakaian yang khas, yakni dengan
menggunakan indra peraba dan indra pendengaran.
Kemudian ditemukan juga penelitian, masih dari sudut pandang psikologi,
membahas mengenai makna cinta pada pasangan tuna netra berstatus suami istri.
Fauzana (2012) menjelaskan dari hasil penelitian ditemukan bahwa cara subjek
dan pasangan memaknai cinta mereka adalah subjek dan pasangan subjek tetap
saling memberikan perhatian, saling mengetahui kelebihan dan kekurangan satu
sama lain, menerima pasangan apa adanya, serta tetap menjaga komitmen yang
telah di bangun bersama pasangan. Dari hasil wawancara, pasangan ini masih
memiliki 3 komponen cinta.
Fenomena mengenai percintaan pasangan tuna netra juga pernah
diberitakan oleh detikNews.com. Penulis artikel Yulianti (2013) memberitakan
bahwa di Bandung terdapat pasangan suami istri penyandang tuna netra yang
menikah karena insting. Kedua penyandang tuna netra ini membangun hubungan
bermula dari ketertarikan yang tumbuh dari perasaan senasib, kemudian saling
membuka diri dengan banyak mengobrol dan bercerita sehingga timbul
keakraban. Dari keakraban ini muncul perasaan cinta. Lalu perasaan cinta itu
terwujud dalam komitmen pernikahan.
Dari fakta-fakta diatas, diketahui bahwa meskipun interaksi antar
penyandang tuna netra berbeda dengan orang yang memiliki panca indra
sempurna, tetapi dalam hal pemaknaan cinta mereka tidak jauh berbeda seperti
halnya pasangan dengan panca indra sempurna lainnya. Kemudian persamaan
pandangan hidup membuat banyak orang jatuh cinta. Jika ditinjau dari sudut
pandang komunikasi, fenomena ini memunculkan pertanyaan, seseorang biasanya
mengalami ketertarikan melalui fisik yang terlihat, tapi bagaimanakah dengan
penyandang tuna netra? Apakah interaksi melalui indra pendengaran dan indra
peraba yang membuat dua orang penyandang tuna netra saling tertarik? Benarkah
insting yang membuat mereka jatuh cinta? Dalam menjalin love relationship
bagaimanakah pola komunikasi mereka sehingga satu sama lain dapat saling
percaya dan menjaga ikatan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan diteliti
secara empiris oleh peneliti, kemudian dikaji dengan sudut pandang komunikasi.
Penelitian dilakukan pada pasangan kekasih penyandang tuna netra
dewasa muda di Surabaya, dimana satu pasangan adalah tuna netra dengan tuna
netra dan pasangan kedua tuna netra dengan yang berpanca indra lengkap atau
normal. Mengapa di Surabaya? Karena pada awalnya peneliti menemukan hal
menarik di lingkungan peneliti, yakni di Surabaya. Peneliti mendapati pasangan
suami istri penyandang tuna netra yang hidup dengan baik dan bahagia, sehingga
membuat peneliti penasaran untuk menelisik lebih jauh mengenai pasangan yang
tidak dapat melihat tapi dapat saling jatuh cinta ini. Karena pasangan suami istri
4
sudah pernah diteliti sebelumnya, jadi peneliti memutuskan pasangan kekasih
untuk diteliti.
Mengapa dewasa muda? Karena pada masa ini seseorang membutuhkan
pendidikan yang lebih tinggi untuk jenjang karirnya dan mulai membangun
hubungan intim. Seperti yang dijelaskan oleh Iriani & Ninawati (2005) bahwa
masa dewasa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu: masa dewasa muda (20-40
tahun), masa dewasa menengah (40-65 tahun), dan masa dewasa akhir (65-
meninggal). Masa dewasa muda umumnya berada pada kondisi fisik dan
intelektual yang baik. Pada masa ini, mereka membuat keputusan karir dan
membentuk hubungan yang intim.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian menggunakan kualitatif karena membutuhkan data
berbentuk deskriptif dengan wawancara mendalam. Untuk teknik pengumpulan
data peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam. Teknik wawancara
dipilih karena peneliti membutuhkan informasi dan deskripsi mendalam mengenai
kehidupan percintaan subjek. Penelitian ini difokuskan pada
1. Attractiveness yang terjadi pada tuna netra
Bagaimana pasangan tuna netra dapat saling tertarik satu sama lain. Daya
tarik apa yang dimiliki oleh satu sama lain (interpersonal attractiveness)
2. Proses Membangun Hubungan (Relationship Development)
Bagaimana pasangan tuna netra membangun kontak, keterlibatan dan
keakraban satu sama lain.
3. Proses Pemeliharaan Hubungan (Relationship Maintenance)
Upaya apa yang dilakukan satu sama lain untuk memelihara hubungan.
4. Konflik yang terjadi pada pasangan tuna netra
Bagaimanakah pasangan tuna netra mengelola konflik
Informan dalam penelitian ini dipilih menggunakan teknik purposive
Sampling yaitu, teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu yang diterapkan secara sengaja oleh peneliti (Sugiyono, 2011, h.218).
Adapun kriteria informan bagi penelitian ini adalah sebagai berikut,
1. Pasangan kekasih penyandang tuna netra berusia 21-25 tahun. Hal ini
peneliti lakukan sesuai dengan tema yang diangkat. Usia tersebut
dipilih karena di usia tersebut seseorang berada pada masa dewasa
muda.
2. Peneliti menentukan informan sebanyak 2 pasangan kekasih dengan
kriteria satu pasangan adalah tuna netra dengan tuna netra dan
pasangan kedua tuna netra dengan normal. Hal ini dirasa menarik oleh
peneliti karena adanya perbedaan tersebut. Peneliti ingin mendalami
fenomena ini secara lebih intrinsik. Mengapa hanya dua pasangan?
Karena untuk mencari informan yang sesuai dengan kriteria peneliti,
hanya 2 pasangan ini yang cocok dan dapat dijangkau.
5
Hasil dan Pembahasan
Data pada penelitian ini berdasarkan dari hasil wawancara mendalam
peneliti dengan informan utama yakni Agus Dhyana, Noer Laili, Riski Nurilawati,
dan Ismu Aziz, serta informan pendukung yakni Ratih Tria dan Afisyahrin yang
merupakan sahabat dari informan utama.
Dalam proses mencari informasi mendalam tentang penelitian ini, peneliti
melakukan proses pertemanan terlebih dahulu kepada semua informan, agar
informan menjadi nyaman dengan peneliti dan pada akhirnya dapat terbuka.
Peneliti juga menjadi relawan atau mitra bakti terhadap kegiatan yang diadakan
oleh Pertuni (Persatuan Tuna Netra) Surabaya untuk dapat mengenal lebih dekat
bagaimana interaksi para penyandang tuna netra.
Peneliti melakukan percakapan kepada beberapa orang tuna netra dengan
rentan usia 15-25 tahun yang peneliti jumpai pada sebuah acara Pertuni (Persatuan
Tuna Netra) termasuk informan sendiri, mereka mengaku bahwa memang indra
pendengaran dan perabalah yang banyak mereka gunakan sebagai pengganti indra
penglihatan. Mereka dapat mengenal dan menghafal orang lain melalui nada
bicara, bahkan derap langkah. Dan indra peraba mereka gunakan untuk memakai
gadget sebagai media berkomunikasi dengan orang lain yang jaraknya jauh, dan
aktivitas lainnya seperti memakai tongkat sebagai penunjuk arah. Aplikasi modern
saat ini sangat membantu mereka untuk berkomunikasi secara mudah pada ponsel
maupun laptop mereka. Terdapat aplikasi Talkback yang sudah dijelaskan pada
bab sebelumnya yang membantu ponsel untuk dapat berbicara. Kemudian aplikasi
Jaws milik windows yang berguna sebagai screen reader atau pembaca layar pada
laptop sehingga ketika tombol keyboard ditekan akan mengeluarkan suara. Hal ini
yang membantu mereka untuk proses belajar dan aktivitas komunikasi lainnya,
seperti bersosial media sepeti facebook.
Mereka menjalani hubungan antar pribadi dengan usaha-usaha pendekatan
seperti perjumpaan langsung, telpon, sms, dan facebook. Perjumpaan adalah hal
yang sering mereka lakukan. Saat berjumpa, mereka akan berbincang tentang
banyak hal. Sama seperti orang berpenglihatan normal kebanyakan, mereka akan
membicarakan hal-hal yang mereka senangi. Saat jauh, telpon dan sms lah yang
sering mereka gunakan untuk mengetahui keberadaan atau kabar pasangan. Hal
ini lebih mudah karena terdapat aplikasi pada ponsel yang sudah dijelaskan diatas
yang membuat mereka tetap terhubung meskipun jaraknya berjauhan. Facebook
merupakan sosial media yang mereka gunakan untuk saling berbagi dengan
pasangan maupun khalayak umum. Sosial media facebook ini terkenal dikalangan
penyandang tuna netra, karena penggunaannya tidak rumit dan seperti yang
kebanyakan anak muda lainnya, sebagai ajang eksistensi.
Seperti orang kebanyakan lainnya yang sedang menjalin hubungan cinta,
mereka juga melakukan kencan. Kencan dapat mereka lakukan saat jam kampus
sudah selesai atau pada waktu hari libur. Mereka dapat berkencan di taman atau
tempat makan. Untuk pasangan tuna netra dengan tuna netra masing-masing dari
mereka memerlukan pendamping untuk mengantarkan mereka ke tempat tujuan.
Pendamping akan pergi ketika mereka berjumpa, dan akan dihubungi kembali
6
untuk menjemput ketika sudah selesai berkencan. Untuk pasangan tuna netra
dengan berpenglihatan normal, mereka tidak perlu membawa pendamping, karena
yang berpenglihatan normal lah yang menjadi penunjuk jalan. Hal ini sangat unik
jika dilihat dari kaca mata umum. Bagaimana bisa seorang yang berpenglihatan
normal berlapang dada berkencan dengan seorang tuna netra. Fenomena ini
menarik karena tidak semua orang mengetahui terdapat pasangan yang
sedemikian rupa.
Setiap dari informan memiliki karakter yang berbeda-beda. Meskipun
demikian mereka tidak ragu untuk menjalin hubungan cinta. Justru perbedaan
karakter inilah yang membuat hubungan mereka lebih berwarna. Seperti orang
kebanyakan, mereka memberikan perhatian satu sama lain seperti menanyakan
lagi ngapain, lagi dimana, sudah makan belum, dan pertanyaan sejenis. Perhatian
kecil seperti ini yang membuat hubungan mereka lebih awet.
1. Interpersonal Attractiveness pada Penyandang Tuna Netra
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, menurut percakapan yang dilakukan
peneliti kepada beberapa orang tuna netra mereka mengaku bahwa memang indra
pendengaran dan perabalah yang banyak mereka gunakan sebagai pengganti indra
penglihatan. Mereka dapat mengenal dan menghafal orang lain melalui nada
bicara, bahkan derap langkah. Dan indra peraba mereka gunakan untuk memakai
gadget sebagai media berkomunikasi dengan orang lain yang jaraknya jauh, dan
aktivitas lainnya seperti memakai tongkat sebagai penunjuk arah.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Meriyani & Hidayah (2013) bahwa
syarat interaksi sosial yang terdapat dalam interaksi antar anggota tuna netra yakni
kontak yang khas menggunakan indra peraba dan komunikasi melalui handphone
dengan cara pemakaian yang khas, yakni dengan menggunakan indra peraba dan
indra pendengaran.
Dari hasil wawancara tersebut diketahui bahwa awal ketertarikan tuna
netra dengan lawan jenis (Risky Nurilawati, Ismu Aziz, Agus Dhyana) adalah
melalui indra pendengaran. Dapat dikatakan mereka mengalami ketertarikan dari
“telinga turun ke hati”. Mereka dapat menilai bagaimana seseorang itu cantik atau
tampan menurut mereka dari suara yang terdengar.
Temuan lain dari penelitian ini adalah penampilan fisik melalui anggapan
orang lain mengenai pasangan turut andil dalam daya tarik ini. Faktanya, orang-
orang tuna netra ternyata juga memperhatikan penampilan fisik seseorang dengan
bertanya pada mereka yang berpenglihatan normal. Hal ini seperti yang dikatakan
DeVito (1997, h. 233) menurut beberapa periset, dalam empat menit pertama
interaksi awal, seseorang memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan ini
atau tidak. Pada tahap inilah penampilan fisik begitu penting, karena dimensi fisik
paling terbuka untuk diamati secara mudah.
7
2. Relationship Development
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sama halnya dengan orang-orang
berpenglihatan normal, pasangan tuna netra juga menjalin kontak, keterlibatan dan
keakraban. Tapi tentu saja dengan cara-cara yang unik.
Adakalanya saat si pria mengajak berkencan, mereka masing-masing harus
membawa orang lain yang memiliki penglihatan normal sebagai pendamping atau
penunjuk jalan bagi mereka. Tapi bagi pasangan tuna netra dengan orang
berpenglihatan normal, tidak perlu membawa orang lain, cukup pasangannya
sendiri yang menjadi penunjuk jalan, bahkan membonceng atau menyetir ketika
berkendara. Pendamping disini adalah anggota keluarga atau teman dari informan.
Pendamping adalah orang yang mendampingi sekaligus penunjuk jalan bagi
mereka untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Ketika sampai ditempat yang
dimaksud, pendamping meninggalkan mereka dan akan di hubungi kembali jika
sudah selesai.
Untuk berkomunikasi, selain secara langsung mereka juga menggunakan
gadget seperti ponsel dan laptop yang memiliki aplikasi khusus agar gadget
mereka seolah berbicara ketika ditekan tombolnya. Dengan begitu mempermudah
mereka berinteraksi seperti lewat telepon, sms, dan sosial media untuk saling
menjalin komunikasi secara intens.
3. Love Relationship
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bagi penyandang tuna netra
menjalani kehidupan sebagai kekasih seseorang tidaklah berbeda dengan orang
lain, tapi tentu saja dengan cara mereka sendiri. Setelah menjalani kontak,
keakraban, dan dirasa hubungan dapat lebih dijalani secara berkelanjutan,
merekapun mengungkapkan cinta secara langsung atau verbal seperti yang
dilakukan Ismu Aziz pada Riski Nurilawati. Bahkan cara pengungkapan cinta
yang unik pun terjadi, yakni lewat lagu yang dinyanyikan secara khusus untuk
orang yang disukainya di depan umum. Itulah yang dilakukan Agus Dhyana saat
mengungkapkan cinta pada Noer Laili Rahmawati. Agus mengungkapkan
perasaannya melalui lagu yang dinyanyikannya sendiri saat pentas seni di kampus
mereka.
Jika ditanya mengenai makna cinta bagi mereka, dapat diringkas bahwa
mereka memaknai cinta seperti orang pada umumnya, yaitu suatu perasaan
khusus yang diberikan kepada seseorang sehingga terjalinlah love relationship
sebagai pasangan kekasih untuk saling memberi dan menyanyangi satu sama lain.
Meskipun dengan cara-cara yang sedikit berbeda dengan orang lain karena
keterbatasan yang mereka miliki, tapi mereka tetap bisa menikmati perjalanan
hubungan cinta.
Menurut Guerrero (1997) dalam DeVito (2004, h. 291) mengemukakan
bahwa secara nonverbal cinta juga dapat dikomunikasikan. Menjaga kontak mata
adalah hal yang penting dilakukan saat berinteraksi dengan pasangan. Tetapi
dalam kasus percintaan tuna netra hal ini tidak berlaku. Menjaga kontak mata,
antara pasangan tuna netra dengan tuna netra tidak bisa dilakukan. Mereka
8
melakukan kedekatan melalui komunikasi dengan gestur tubuh agak saling
mendekat, agar suara mereka dapat terdengar dengan jelas. Jadi dalam kasus
percintaan penyandang tuna netra, konsep Guerrero (1997) yang menyebutkan
bahwa kontak mata merupakan bagian dari mengkomunikasikan cinta tidak
berlaku.
Mengenai harapan dalam hubungan percintaan yang mereka jalani,
harapan mereka adalah sampai pada pernikahan. Dari hasil wawancara
membuktikan bahwa love relationship yang mereka jalani bukan hanya sekedar
untuk bermain-main melainkan hubungan yang serius. Hal ini sesuai seperti yang
dikatakan oleh Wood (2009, h. 220) bahwa setiap hubungan romantis selalu
diharapkan untuk mencapai pernikahan dan bertahan selamanya. Hal inilah yang
membedakan hubungan romantis dengan hubungan lainnya.
Di Indonesia sendiri hubungan romantis semacam ini lebih familiar
disebut dengan pacaran. Dari hasil wawancara informanpun mereka mengaku
mendapatkan perhatian, kasih sayang, teman berdiskusi, dan dapat juga
bergandengan tangan. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh Bannet dalam
Wisnuwardhani dan Mashoedi (2012, h. 83) menjelaskan bahwa pacaran adalah
hubungan pranikah antara pria dan wanita yang diterima oleh masyarakat.
Individu menilai hubungan pacaran merupakan sarana dimana adanya
persahabatan, mendapatkan dukungan emosional, kasih sayang, kesenangan, dan
eksplorasi seksual.
Kemudian hubungan yang dijalani oleh para informan ini terdapat
karakteristik tertentu, yakni hasrat untuk bersama-sama yang tercipta dari rasa
ketertarikan personal, keintiman satu sama lain yang terbentuk melalui tahapan
proses, dan komitmen menjadi sepasang kekasih yang berharap sampai pada
pernikahan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Gamble & Gamble (2005, h.
268) bahwa terdapat tiga karakteristik unik dalam hubungan romantis, yaitu
komitmen, dimana seseorang berkeputusan tetap bersama dengan pasangannya.
Lalu passion atau hasrat yaitu meningkatnya intensitas rasa tertarik terhadap daya
tarik fisik dan daya tarik seksual pada orang lain membuat diri ingin bersama
pasangan. Kemudian intimacy atau keintiman, tahap yang tertuju pada kedekatan
perasaan antara dua orang dan dua kekuatan yang mengikat untuk bersama.
Kemudian mengenai usia para informan yang berada pada 20-25 tahun
merupakan golongan usia dewasa muda. Pada fase ini seseorang memang
membutuhkan cinta dalam hidupnya. Hal seperti ini seperti yang dijelaskan oleh
Iriani & Ninawati (2005), masa dewasa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu:
masa dewasa muda (20-40 tahun), masa dewasa menengah (40-65 tahun), dan
masa dewasa akhir (65- meninggal). Masa dewasa muda umumnya berada pada
kondisi fisik dan intelektual yang baik. Pada masa ini, mereka membuat
keputusan karir dan membentuk hubungan yang intim.
4. Relationship Maintenance
Dalam menjalin hubungan cinta, tentu ada upaya-upaya untuk
mempertahankannya agar tidak terjadi kerusakan. Hal ini juga yang dilakukan
oleh para penyandang tuna netra yang menjalin hubungan sebagai kekasih
9
seseorang. Mengenai pemeliharaan hubungan ini sesuai dengan yang dikatakan
Devito (2007, h. 240) bahwa memelihara hubungan adalah tindakan yang
mengacu pada usaha untuk mempertahankan, memelihara hubungan. Individu
akan melakukan usaha pemeliharaan hubungan ketika terjadi hal-hal yang
dianggap salah dalam hubungan atau perlu peningkatan hubungan menjadi lebih
baik.
Cara mereka berkomunikasi tidak jauh berbeda dengan orang
berpenglihatan normal yaitu secara langsung, telepon, sms, dan media sosial lewat
gadget mereka yang bisa ‘bersuara’ karena terdapat aplikasi khusus seperti
talkback. Sikap saling perhatian, pengertian, saling percaya, dan keterbukaan juga
mendukung mereka untuk saling mempertahankan.
Dari hal ini, yang membedakan dengan orang berpanca indra lengkap
adalah ketika mereka berjumpa dan hendak pergi ke suatu tempat, masing-masing
dari mereka harus ada yang menemani oleh orang berpanca indra lengkap untuk
menunjukkan jalan. Bagi orang berpenglihatan normal yang menjalin hubungan
cinta dengan penyandang tuna netra, menjadi pusat perhatian saat berkencan
sudah menjadi hal biasa. Menurut Devito (2007, h. 244-245), terdapat strategi
untuk mempertahankan hubungan diantaranya be nice, communicate, controlling,
be open, give assurance, dan be positive.
5. Konflik
Dalam setiap hubungan antar pribadi selalu ada hal-hal yang memicu
konflik. Tetapi apakah konflik itu akan menjadi sebab rusaknya hubungan, atau
justru mengakrabkan. Dalam konsep yang diusung DeVito (2011, h.274) beberapa
sebab perusakan hubungan diantaranya adalah ketidakmerataan distribusi dan
biaya.
Masalah seperti ini diakui oleh informan yang menjadi pemicu
perselisihan dalam hubungan mereka. Salah satu pihak merasa selalu mengalah
sedangkan pihak yang lain selalu merasa benar. Terlalu banyak menuntut diberi
pengertian, sedangkan pihak yang lain tidak menerima hal yang sama.
Dari hasil penelitian, pemicu perusakan hubungan dari kedua pasangan
tersebut sama yakni ketidakmerataan distribusi penghargaan dan biaya, yakni
salah satu pihak merasa terlalu banyak mengalah, terlalu banyak memberi
pengertian dan perhatian, sedangkan pihak yang lain dirasa tidak memberikan hal
yang seimbang.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa perhatian disini adalah
dengan sering-sering menghubungi lewat telepon maupun sms untuk menanyakan
kabar seperti “Lagi ngapain? Udah makan apa belom? Hari ini kegiatannya apa
saja? Ada hal menarik apa?” dan pertanyaan sejenis lainnya. Perhatian semacam
ini yang lebih sering dari pihak laki-laki yang menanyakannya dari pada pihak
wanita. Hal demikian yang memicu adanya kerenggangan, karena sebenarnya
laki-laki juga ingin diperhatikan sedemikian rupa.
10
Pengertian disini adalah tentang bagaimana pasangan mengerti keinginan
dan kebutuhan pasangan, termasuk disini adalah perhatian yang sudah dijelaskan
diatas. Dalam hal mengerti atau memahami ini, pihak laki-laki sering merasa
harus mengalah ketika berhadapan dengan suatu konflik, seperti pada saat mereka
bertengkar karena kurangnya komunikasi. Disaat pihak laki-laki memang sedang
banyak tugas atau kegiatan penting lainnya sehingga terlambat atau belum sempat
menghubungi, hal demikianpun dapat menyebabkan kerenggangan berujung pada
pertengkaran yang selalu pada akhirnya laki-laki yang sebenarnya ingin
dimengerti harus selalu mengalah agar konflik dapat diredam. Pada akhirnya laki-
laki lah yang selalu meminta maaf dan merayu agar pasangannya tidak merajuk
atau marah Istimewanya dalam hal ini adalah cara mereka berkomunikasi saat
konflik terjadi adalah dengan mengandalkan kata-kata atau verbal. Satu sama lain
tidak dapat mengetahui ekspresi atau mimik wajah, tapi yang mereka perhatikan
adalah seperti nada bicara yang meninggi atau merendah yang dapat menunjukkan
emosi seseorang.
Umumnya kita mempertahankan hubungan yang menguntungkan dan
meninggalkan hubungan yang merugikan. Jika salah satu pihak terlalu banyak
memberi tanpa menerima, hal tersebut dapat memicu kerenggangan dalam
hubungan.
Distribusi yang tidak merata antara penghargaan yang diterima dengan
biaya atau hal yang diberikan dapat membuat salah satu pihak merasa terbebani.
Namun jika dalam hubungan tersebut terdapat komitmen yang kuat untuk
bersama, tanda-tanda perusakan ini tidak sampai membuat hubungan menjadi
berakhir. Demikian pula yang dialami para informan pada penelitian ini.
Komitmen mereka kuat untuk menjadi sepasang kekasih, sehingga meskipun
terdapat konflik atau tanda perusakan, hubungan mereka tetap berlanjut.
Dalam hal ini kedua informan menggunakan gaya pengelolaan konflik
yang disebut dengan gaya kancil. Seperti yang dijelaskan oleh Supratiknya (1995,
h. 94-95) yang menjelaskan bahwa seekor kancil sangat mengutamakan
hubungan, dan kurang mementingkan tujuan-tujuan pribadinya. Ia ingin diterima
dan disukai oleh binatang lain. Ia berkeyakinan bahwa konflik harus dihindari,
demi kerukunan.
Penutup
Kesimpulan
1. Bagi penyandang tuna netra, indra pendengaran sebagai pengganti indra
penglihatan. Mereka dapat mengenal dan menghafal orang lain melalui suara
seperti nada bicara, bahkan derap langkah. Mereka menilai tampan atau
cantiknya seseorang dari suara yang terdengar.
2. Selain dari indra pendengaran, interpersonal attractiveness atau ketertarikan
personal pada penyandang tuna netra juga dari penampilan fisik. Cara mereka
mengetahui bagaimana penampilan seseorang adalah dengan bertanya pada
mereka yang berpenglihatan normal.
11
3. Membangun hubungan (relationship development) dan memelihara hubungan
(Relationship Maintenance) dilakukan dengan cara mereka sendiri. Yakni
dengan seringnya perjumpaan dan berkomunikasi secara intens satu sama lain.
Mereka melakukan usaha-usaha agar hidupnya mudah seperti orang-orang
berpenglihatan normal. Mereka bisa menggunakan gadget seperti ponsel dan
laptop dengan menggunakan aplikasi khusus sehingga ketika mereka menekan
tombol, gadget mereka akan mengeluarkan suara. Hal ini yang membantu
mereka untuk berkomunikasi jarak jauh. Ketika berkencan, mereka masing-
masing harus membawa orang lain yang memiliki penglihatan normal sebagai
pendamping atau penunjuk jalan bagi mereka. Tapi bagi pasangan tuna netra
dengan orang berpenglihatan normal, tidak perlu membawa orang lain, cukup
pasangannya sendiri yang menjadi penunjuk jalan, bahkan membonceng atau
menyetir ketika berkendara.
4. Para informan memaknai cinta seperti orang pada umumnya, yaitu suatu
perasaan khusus yang diberikan kepada seseorang sehingga terjalinlah love
relationship sebagai pasangan kekasih untuk saling memberi dan menyanyangi
satu sama lain, dengan komunikasi sebagai landasan untuk membangun dan
mempertahankan hubungan.
5. Terdapat konflik dalam hubungan, tetapi komitmen yang kuat membuatnya
tidak berakhir. Cara mereka menyelesaikan konflik adalah dengan
mengandalkan kata-kata atau verbal. Satu sama lain tidak dapat mengetahui
ekspresi atau mimik wajah, tapi yang mereka perhatikan adalah seperti nada
bicara yang meninggi atau merendah yang dapat menunjukkan emosi
seseorang.
Saran
Pertama, penelitian ini dapat dikembangkan lagi oleh peneliti selanjutnya.
Bisa saja penelitian ini diperdalam dengan subjeknya adalah pasangan suami istri
tuna netra. Atau bisa saja penelitian ini diambil dari sudut pandang yang lain,
lebih diperkaya dengan teori-teori komunikasi antar pribadi yang lain.
Kedua, diharapkan penelitian ini dapat membuka pikiran dan hati pembaca
untuk lebih peka terhadap saudara-saudara kita yang merupakan penyandang
difabel. Bahwa mereka juga memiliki banyak bakat dan kemampuan, mereka bisa
mencintai dan menjalin hubungan dengan baik, mahir menggunakan gadget,
mahir bernyanyi, mahir berdiskusi, mahir menjadi guru, sehingga banyak
universitas yang diharapkan lebih membuka kesempatan bagi mereka dan juga
lapangan kerja dapat lebih luas bagi mereka.
Ketiga, bagi informan maupun pembaca diharapkan dari penelitian ini
akan lebih membuka wawasan untuk memahami mengenai bagaimana baiknya
menjalin hubungan interpersonal menurut teori-teori seperti DeVito sehingga
dapat di praktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu kelancaran
hubungan interpersonal.
12
Daftar Pustaka
Buku
Badudu & Zain. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Budyatna, M. & Ganiem. L. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Dayakisni, T dan Salis Y. (2004). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
Dayakisni, T & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
DeVito, J.A. (2004). The Interpersonal Communication Book. USA : Pearson
Education, Inc.
DeVito, J.A. (1997). Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books.
Devito, J.A. (2011). Komunikasi Antar Manusia Edisi ke Lima. Tangerang:
Karisma Publishing Group.
DeVito, J. A. (2007). The Interpersonal Communication Book. 11th edn. Boston:
Pearson Education.
Gamble, T.K & Gamble, M. (2005). Communication Works. 8th edn. New York:
McGraw Hill.
Hamidi. (2007). Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang: UMM Press.
Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta : Salemba Humanika
Kriyantono, R. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Moleong, J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Mulyana, D. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
rosdakarya.
Mulyana, D. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Sugiyono. (2010). Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif , dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
13
Supratiknya. (1995). Tinjauan psikologis Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta:
Kanisius
Wahyuni, S. (2012). Qualitative Research Method. Jakarta: Salemba Empat.
Wisnuwardhani, D. (2012). Hubungan Interpersonal. Jakarta: Salemba
Humanika.
Widjaja. (2000). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Wood, J.T. (2009). Communication in Our Lives. 5th edn. United States:
Wadsworth
Wisnuwardhani, D & Mashoedi, S. (2012). Hubungan Interpersonal. Jakarta:
Salemba Humanika
Skripsi dan Jurnal
Aloni, M & Bernieri, F. J. (2004). Is love blind? the effects of experience
and infatuation on the perception of love. Journal of Nonverbal Behavior,
28 (4), 294. Diakses pada 27 Maret 2014, dari
http://eresources.pnri.go.id:2056/docview/229274980?accountid=25704
Davis, P. B. (2010). The social psychology of love and attraction. McNair
Scholars Journal, 14 (1), 10. Diakses pada 21 Maret 2014, dari
http://scholarworks.gvsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1235&context=
mcnair
Dewi, A. (2013). Studi komparasi faktor-faktor daya tarik interpersonal pada
mahasiswa unnes yang berpacaran ditinjau dari jenis kelamin. Journal of Social and Industrial Psychology.
Vol.2 No.1, 33. Diakses pada 2 April 2014, pada
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sip
Emmons, R.A. & Colby, P. M. (1995). Emotional conflict and well-being:
relation to perceived availability, daily utilization, and observer reports of
social support. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 68 No.
5, 947-959. Diakses pada 28 Maret, dari
hpq.sagepub.com/content/16/4/621.refs
Fauzana, D.N. (2012). Makna cinta pada pasangan tunanetra. (Skripsi,
Perpustakaan Universitas Gunadarma, 2012). Di akses pada 21 Maret
2014 dari
http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/15311/makna-cinta-pada-
pasangan-tunanetra.html/
14
Iriani, F. & Ninawati. (2005). Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Dewasa
Muda Ditinjau dari Pola Attachment. Jurnal Psikologi. Vol. 3 No.1, 44-
60. Diakses pada 28 Maret 2014, dari
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Psi/article/view/28/29
Meriyani & Hidayah , N. (2013). Interaksi sosial antar sesama penyandang tuna
netra dalam dadan sosial mardiwuto, yayasan Dr. Yap Prawirohusodo,
Yogyakarta. Jurnal UNY, 3 (3), 1. Diakses pada 21 Maret 2014, dari
http://journal.student.uny.ac.id/jurnal/artikel/2776/34/337
Roe, J. (2008). Social inclusion: meeting the socio-emotional needs of children
with vision needs. The British Journal of Visual Impairment. 26 (2), 147-
158. Diakses pada 27 Maret 2014, dari
http://jvi.sagepub.com/content/26/2/147.2.full.pdf+html
Sternberg, R. J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review. Vol.
93, No. 2, 119-135. Diakses pada 27 Maret 2014, dari
http://content2.learntoday.info/shu/PS520/media/Sternberg%20Love.pdf
Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan development. (5th ed.). Fort Worth.
Harcourt Brace College Publishers, TX. Diakses pada 2 April 2014, dari
http://dlibrary.acu.edu.au/digitaltheses/public/adt-
acuvp204.15072009/06references%20and%20appendices.pdf
Internet
Direktorat Pembinaaan Sekolah Luar Biasa. (2008). Definisi Tuna netra. Di akses
pada 27 Maret 2014, dari www.ditplb.or.id.
Kamus Bahasa Indonesia. Definisi Pasangan. Di akses pada 2 April 2014, dari
http://kamusbahasaindonesia.org/pasangan
Nawawi, A. (2007). Definisi Tuna Netra. Di akses pada 28 April 2014, dari
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195412071
981121-AHMAD_NAWAWI/HANDOUT_PENDK_TUNET_1.pdf
Pertuni. (2013). Definisi, Tujuan, Visi, dan Misi Pertuni. Di akses pada 13
Agustus 2014, dari http://pertuni.idp-europe.org/index.php
Yulianti, T. (2013). Kisah Cinta Pasutri Tuna Netra yang ‘Melihat’ Pasangan
Lewat Insting. Diakses pada 5 Mei 2014, dari
http://news.detik.com/bandung/read/2013/06/26/161302/2285009/486/kisa
h-cinta-pasutri-tuna-netra-yang-melihat-pasangan-lewat-insting