ANALISA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT: INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT KE LIBYA 2011 MELALUI...
-
Upload
ubrawijaya -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of ANALISA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT: INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT KE LIBYA 2011 MELALUI...
MAKALAH
“ANALISA KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT:
INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT KE LIBYA 2011
MELALUI NATO”Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Analisis Politik Luar
Negeri. Dosen Pengampu: Ibu Henny Rosalinda,
Oleh :
GIGIH TAUFAN HERDIANTO
(115120407111042)
(C.HI.3)
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas
Analisis Politik Luar Negeri mengenai Invasi Militer
Amerika Serikat ke Libya 2011
Makalah ini disajikan sesuai dengan ketentuan agar
memudahkan pemahaman para pembaca terhadap isi dari makalah
ini. Makalah ini dirangkum dari berbagai sumber yang
berkaitan dengan pembahasan yaitu Invasi Militer Amerika
Serikat ke Libya 2011. Dengan adanya makalah ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dan dapat menambah wawasan bagi
para pembaca.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyajian makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan saran
dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan makalah
ini di masa yang akan datang. Akhir kata, kami ucapkan
terima kasih kepada para pembaca dan segala pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini.
Malang, 22 Desember 2012
Hormat kami
Penyusun
BAB IPENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
Krisis dalam pemerintahan di negara Libya yang menjadipolemik dalam dunia internasional yang mengundang banyak
perhatian di seluruh penjuru dunia yang menjadikannya
sebuah sejarah penting bagi Libya dan juga seluruh aktor
yang terlibat. Hal ini menjadi salah satu rujukan bagi
kami untuk menganalisa kejadian di negara penghasil
minyak mentah terbesar urutan tujuh tersebut dengan
mengaplikasikan berbagai teori yang kami gunakan pada
analisis peristiwa tersebut yang merupakan suatu output
dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Libya
terlepas dari “kendaraan” Amerika Serikat yakni NATO.
Dalam menjelaskan tentang analisis yang kami kembangkan,
kami menggunakan perspektif realis sebagai acuan dalam
menganalisa kejadian-kejadian yang terjadi di Libya
akibat dari beberapa hal sehingga terjadi gerakan
separatis dan kaum oposisi dari pihak pemerintah serta
campur tangan NATO dalam rangka menggulingkan rezim
Muammar Khadafi yang telah berkuasa atas negara Libya.
Hal ini kami coba untuk menelaah setiap pokok kejadian
yang memicu penggulingan rezim Khadafi oleh para kelompok
oposisi dari pemerintah yang dibantu oleh negara-negara
barat yang terikat pada pakta pertahanan semenjak perang
dingin yang dikomandoi oleh Amerika Serikat yang sering
disebut dengan NATO. Dalam hal ini PBB tidak berkutik
untuk menegakkan perdamaian antara Libya yang memiliki
masalah intern dalam kepemerintahannya sehingga Amerika
dengan NATO-nya ikut campur dengan alih-alih penegakan
demokrasi kemanusiaan yang pada dasarnya mereka hanya
menginginkan minyak mentah yang menjadi kekayaan Libya
yang diincar negara barat. Amerika yang sadar akan
potensi minyak di Libya, tentu sangat mengharapkan posisi
Moammar Khadafi turun dari jabatan presiden Libya yang
dinilai oleh Amerika Serikat sebagai penghambat dalam
transaksi minyak mentah antar kedua negara.
1. 2 Rumusan Masalah1. Pertimbangan apa saja yang mempengaruhi Amerika
untuk menginvasi Libya?
2. Bagaimana hubungan antara Khadafi dengan Amerika
Serikat sebelum krisis?
3. Apa yang menjadi tujuan akhir Amerika Serikat pada
misinya di Libya?
4.Bagaimana kebijakan Amerika Serikat terhadap Libya
pasca kematian Khadafi?
1. 3 TujuanTujuan dari penulisan makalah ini meliputi :
1. Sebagai pemenuhan tugas untuk mata kuliah Analisis
Politik Luar Negeri
2. Sebagai bahan untuk mempelajari mengenai kebijakan
luar negeri Amerika Serikat kepada Libya
3. Sebagai upaya untuk menambah wawasan baik bagi
pembaca maupun penyusun
1. 4 ManfaatAdapun manfaat dari penulisan makalah Invasi Militer
Amerika Serikat ke Libya 2011 ini antara lain :
1. Baik bagi pembaca maupun penulis, diharapkan
makalah ini mampu memberika pemahaman secara
mendalam mengenai kebijakan luar negeri Amerika
Serikat terkait isu Libya.
2. Memberi pengetahuan mengenai beberapa kejadian
penting terkait dengan krisis yang melanda Libya
beberapa waktu silam.
3. Mengetahui fakta-fakta politis terkait kebijakan
Amerika Serikat kepada Libya di tahun 2011
1. 5 Kerangka Pemikiran
Dalam menjelaskan mengenai fenomena yang terkait dengan
kebijakan Amerika Serikat pada invasi mereka ke Libya
terlepas dari “kendaraan” Amerika Serikat dan sekutunya
yaitu NATO, yang kemudian akan mengginakan perspektif atau
pendekatan secara realis guna menganalisi beberapa kebijakan
luar negeri Amerika yang kemudian diterapkan terkait krisis
yang terjadi di Libya.
Dalam poin Balance of Power, terlihat jelas tentang
bagaimana situasi dunia internasional yang memunculkan
Amerika Serikat menjadi salah satu hagemon yang hingga saat
ini sedang berkuasa. Kekuatan Amerika Serikat yang hingga
saat ini belum tertandingi oleh negara manapun di
dunia,menurut realis sangat berpotensi untuk terjadi perang.
Oleh karena itu, Amerika Serikat dapat menjadi suatu ancaman
terhadap negara-negara yang memiliki kekuatan yang relatif
lebih kecil dari Amerika Serikat tidak terkecuali Libya.
Perspektif realis yang digunakan sebagai pedoman untuk
menjelaskan terkait fenomena tersebut sesuai dengan beberapa
asumsi dasar realis seperti struggle for power yang sesuai
dengan tujuan utama Amerika Serikat menginvasi Libya juga
untuk menerapkan pengaruh Amerika Serikat yang berhubung
dengan ideologi demokrasi yang diterapkan di Libya dengan
menggulingkan rezim Khadafi dan disokong dengan tentara
oposisi Khadafi (NTC). Karakter self help terlihat jelas
mengenai Amerika Serikat yang sadar akan potensi minyak
mentah yang terkandung dalam Libya demi pemenuhan atas
kebutuhan minyak domestik. Selain itu pula, Level of Analysis
juga akan digunakan dalam analisa pada makalah ini dengan
indikasi dari level International, state, hingga Individu
Selain beberapa asumsi dasar dari realism yang
dijabarkan diatas, juga akan diperinci dengan beberapa
asumsi dasar dari pendapat para Scholar seperti Rosenau
dengan analisa spesifik actor dan juga Sprout dengan analisa
lingkungan psycho-mileu dari aktor pembuat kebijakan guna
menjelaskan fenomena yang terjadi terkait case study tersebut
dalam membangun argumentasi yang sesuai dengan perspektif
realism.
BAB IIPEMBAHASAN
2. 1 Pertimbangan USA menginvasi Libya dan
kebijakannya
2.1. 1 Responsibility to Act dan Faktor Ekonomi
Dalam situasi perekonomian Amerika yang pada saat itu
masih relatif belum stabil, serta keterkaitan Amerika dengan
krisis Libya sudah sangat jauh terlibat, serta pasukan
Amerika Serikat yang dikirim khusus untuk menangani konflik
Afghanistan dan Irak yang cukup menyedot kas negara serta
banyak juga yang menjadi korban jiwa dalam konflik tersebut,
maka Amerika Serikat mengubah haluan kebijakan politik luar
negerinya dengan mengandalkan NATO sebagai kendali militer
sehingga dana operasional untuk konflik di Libya dapat
diminimalisir, namun kendali militer masih dipegang oleh
Amerika dengan kendaraanya yaitu sekutunya yang tergabung
dalam NATO.
Pada dasarnya Amerika juga masih mengannggap memiliki
tanggunga jawab atas nama kebebasan manusia pada konflik di
Libya. Namun, karena untuk mengurangi anggaran militer, maka
Amerika bersatu dengan sekutunya untuk menginvasi militer di
Libya dan juga menetapkan kepentingan politinsnya di Libya.
Hal ini sesuai dengan pidato Barack Obama tentang sikap
Amerika Serikat terhadap Libya di gedung putih tertanggal 28
Maret 2011 di gedung putih.1
“ For generations, The United States of America has played a unique role
as sn anchor of global security and as an adcvocate for human freedom. Mindful
of the risk and costs of military action, we are naturally reluctant to use force to
solve the worlds, many challenges. But when our interests and values are at
stake we have responsibility to act. That’s what happened in Libya over the
course of these last six weeks”
-Barack
Obama
2.1. 2 Cadangan Minyak Mentah
1 http://www.whitehouse.gov/the-pressoffice/2011/03/28/remarks-president-addressnation-Libya. Viewed December 23rd, 2012
OPEC atau Organization of the Petroleum Exporting
Countries sebagai organisasi internasional yang bergerak di
bidang perminyakan yang secara khusus menghimpun data secara
akurat yang menghasilkan laporan tabel yang tertera pada
OPEC Annual Statistical Bulletin 2012 seperti berikut ini :
Dari tabel tersebut dapat diamati bahwasanya Libya
menempati posisi ke-7 sebagai negara yang memiliki sumber
cadangan minyak mentah terbesar di dunia dengan 48 milyar
barel atau setara dengan 4% dari 81% dari seluruh cadangan
minyak mentah dunia yang teridentifikasi pada keanggotaan
OPEC .2
2 See Opec Annual Statistical Bulletin 2012.
Hal ini merupakan dasar dari konstelasi politik Amerika
Serikat yang sadar pada potensi minyak Libya yang sangat
diinginkan oleh Amerika Serikat guna mempertebal devisa
negara tersebut dengan menjajaki blok-blok minyak yang
berada di Libya yang di akomodasi oleh perusahaan minyak
asal Amerika seperti ExxonMobil dan Chevron.
2.1. 3 Transisi Amerika Serikat, dari Bush ke Obama
Salah satu faktor yang juga cukup berdampak signifikan
dalam pembuatan kebijakan dalam level individu adalah
kepemimpinan Amerika Serikat dari George W. Bush ke Brack
Obama. Seperti diketahui dunia, pada tanggal 20 Januari 2009
telah terpilih Presiden Amerika Derikat yang ke-44, serta
yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat Presiden dengan
kulit hitam. Hal tersebut disambut sukacita oleh seluruh
warga negara Amerika Serikat karena Bush dianggap gagal dan
terburuk dalam masa pemerintahannya pada 50 tahun terakhir
sejarah Presiden AS.
Begitupun dengan dunia internasional yang menganggap
Bush sangat tidak popuer karena kecenderungannya yang sangat
arogan dan memaksakan kehedak sehingga sangat familiar
dengan statementnya yaitu “either you with us or against us”.3
Pada saat Obama menjabat presiden Amerika Serikat,
keputusannya terkait dengan Libya cukup dipengaruhi oleh
situasi dari lingkungan politis di sekitar Obama dalam3 Katherine Butler, “Far to great Expectations” , “The New Statesman”, January 19th , 2009
membuat seuatu kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Hal
ini selaras dengan asumsi dasar dari pendapat Rosenau dari
sisi spesifik actor dan juga Sprout yang manganalisa
lingkungan psycho-mileu dalam mempengaruhi kebijakan dari
actor.4
Obama yang secara karakteristik tidak arogan seperti
Geoge W. Bush, dalam menentukan kebijakan terkait dengan
Libya sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan HAM.
Hal ini sesuai dengan pidatonya yaitu :
“To brush aside America’s responsibility as a leader and more profoundly
our responsibilities to our fellow human beings under such circumstances
would have been a betrayal of who we are. Some nations may be able to
to turn a blind eye to atrocities in other countries. The United States of
America is different. And as President, i refused towait for the images of
slaughter and mass grave before taking action”5
-Barack Obama
Dalam faktor lingkungan Presiden Barack Obama,
statement beliau juga dipengaruhi oleh Menteri Pertahanan
Amerika Serikat, Robert Gates yang juga mengautkan prinsip-
prinsip dasar Amerika Serikat yang berlaku di seluruh dunia
seperti Demokratisasi, Preemption, Unilateralisme, Hagemoni, dan
Demonstrasi dengan menyatakan “Nilai-nilai dan prinsip-
prinsip Amerika Serikat berlaku untuk semua negara.
4 Steve Smith, Anelia Hadfield, Tim Dunne, Foreign Policy Theories Actors Cases (New York: Oxford University Press, 2008) Page 14 -165 http://www.whitehouse.gov/the-pressoffice/2011/03/28/remarks-president-addressnation-Libya. Viewed December 23rd, 2012
Tanggapan kami di setiap negara harus disesuaikan dengan
negara itu, dan keadaan khas negara tersebut”.6
Dalam pernyataan dari Menteri Pertahanan Amerika
Serikat tersebut, jelas sekali terlihat bahwa Amerika
menginvasi Libya lebih pada faktor Demokratisasi
pemerintahan Libya yang dikuasi oleh rezim Khadafi.
Perbedaan ideologi inilah yang terjadi sebagai salah satu
latar belakang Amerika Serikat menyerang Libya walaupun
dalam komado miiternya menggunakan aliansi NATO, namun
Amerika secara tidak langsung dapat mengontrol NATO yang
masuk ke Libya dengan gagasan untuk menegakkan HAM dan
mengatasnamakan kemanusiaan dengan membantu gerakan oposisi
pemerintahan Khadafi.
Namun, Amerika juga mementingkan pengaruh yang
ditujukan untuk menegakkan demokrasi dan menjamin
pemerintahan yang lebih demokratis dengan cara-cara yang
diyakini juga akan menambah tindak pelanggaran HAM yang
terjadi di Libya. Hal ini dikarenakan unsur militeristik
yang terdapat pada NATO sebagai perpanjangan tangan dari
Amerika Serikat. Mengingat NATO adalah persekutuan negara-
negara barat yang terbentuk guna mengakomodir kepentingan
lewat jalur militer semasa Perang Dingin dan bertahan hingga
saat ini.
6 Egidius Patnistik. Mengapa Libya diserang Suriah tidak? . Wednesday, April 27th , 2011. http://internasional.compas.com/read/2011/04/27/14462470/Mengapa.Libya.Diserang.Suriah.Tidak. Viewed December 24th , 2012
2.1. 4 Tujuan Dasar Politik Luar Negeri Amerika Serikat
Ketika Amerika Serikat memutuskan untuk terlibat dalam
konflik yang berlangsung di negara lain, maka mereka selalu
mengedepankan prinsip-prinsip yang mengatasnamakan
kemanusiaan dan HAM yang sesuai dengan tujuan dasar politik
luar negerinya.7 Hal tersebut tersurat pada tujuan dasar
politik luar negeri Amerika serikat yang juga menjadi alasan
dilaksanakan intervensi militer walaupun juga dibantu dengan
“kendaraan” militernya, yaitu NATO di Libya.
1. Keamanan Nasional
Amerika Serikat yang mengedepankan kebebasan dan
juga aman ari segala bentuk intervensi dari luar
yang tidak diinginkan. Kebijakan luar negeri
Amerika Serikat mengakomodir kepentingan
nasionalnya untuk menjaga keamanan Amerika Serikat
yang bebas dan merdeka.
2. Perdamaian Dunia
7 Richard C. Remy, Lary Elowits & William Berlin, Government of The United State, (New York: Mac Milliam Publishing Company, 1984) Page 30
Merupakan tujuan jangka panjang politik luar
negeri Amerika Serikat adalah menciptakan
perdamaian dunia. Seluruh presiden Amerika yang
pernah menjabat, selalu turut dalam upaya
menciptakan perdamaian dunia. Dalam menyelesaikan
konflik, tak jarang Amerika bersatu dengan negara
lain atau organisasi internaional. Selain itu
juga, Amerika Serikat juga selalu memberikan
bantuan pada daerah-daerah konflik dan juga
membentuk aliansi dengan beberapa negara di
berbagai kawasan.
3. Self Government
Cara melindungi keamanan nasional Amerika Serikat
juga bisa dengan mendukung negara yang demokrasi
tanpa campur tangan dari luar dan membantu negara
yang ingin berdemokrasi.
4. Perdagangan Bebas dan Terbuka
Amerika Serikat berusaha untu dapat mempertahankan
sistem pasar bebas dan terbuka, hal ini sangat
penting untuk dapat memasarkan produk-produk
Amerika Serikat. Hal tersebut juga dalam upaya
mencapai kepentingan nasional dan keamanan dalam
segi ekonomi.
5. Concern of Humanity
Dalam upayanya Amerika Serikat untuk menciptakan
stabilitas dunia, maka Amerika Serikat
memperhatikan negara-negara yang tengah dilanda
konflik serta mengupayakan perdamaian di negara
tersebut dan turut membantu negara-negara yang
terkena bencana alam.
Secara umum, politik Amerika Serikat harus berorientasi
pada tujuan-tujuan dasar politik luar negeri Amerika Serikat
tersebut. Setiap-setiap keputusan yang diambil yang
berorientasi dri tujuan dasar tersebut semata-mata demi
menciptakan keamanan nasional Amerika Serikat. Oleh karena
itu, keamanan bagi Amerika Serikat merupakan suatu hal yang
harus diutamakan.
Relevansinya terhadap konflik Libya adalah Amerika
mencoba untuk mengusung isu kemanusian diatas segala hal dan
menempatkan diri mereka sebagai polisi internasional dan
mengharuskan Amerika untuk menghentikan kekejaman rezim
Khadafi yang berkuasa di Libya dengan membantai penduduknya
sendiri. Maka atas dasar Resolusi DK PBB 1973, Amerika
menggunakan instrumen militernya untuk menyelesaikan konflik
di Libya dengan dibantu NATO dan bergabung dengan tentara
oposisi pemerintahan Libya yakni NTC.
Hal tersebut disinyalir menjadi alasan belaka,
mengingat Amerika juga mempunyai kepentingan di Libya yang
memiliki potensi minyak serta guna menurunkan rezim Khadafi
yang dianggap sebagai penghambat utama dalam liberalisasi
minyak Libya k negara-negara barat seperti Amerika Serikat.
II. II Hubungan antara Khadafi dengan Amerika
Serikat
Khadafi dikenal sebagai salah satu dari segelintir
pemimpin dunia yang berani mengatakan tidak atas
keperkasaan Amerika Serikat (AS).Pria yang mulai berkuasa
pada 1 September 1969 ini memperlihatkan diri sebagai
orang yang mampu menolak untuk tunduk kepada negara
adikuasa itu selama bertahun-tahun. Khadafi naik takhta
sebagai presiden pada 1 September 1969 saat berusia 27
tahun ketika memimpin kudeta yang menggulingkan monarki
pro- Barat Libya, Raja Idris. Setelah berkuasa, Khadafi
menempatkan filsafat politik berbasis ide pan-Afrika,
pan- Arab dan anti-imperialis, dicampur dengan beberapa
aspek Islam.
Hal ini dibaca berbeda oleh Amerika yang menganggap
bahwa Muammar Khadafi tidak menanamkan sistem
pemerintahan yang demokrasi di negaranya dan justru
menganut sistem pemerintahan otokratik. Khadafi malahan
menyerang balik pengkritiknya itu dengan menguliahkan
kembali para akademisi Amerika di Columbia University,New
York via satelit di tahum 2006. Ia juga mengemukakan
bahwa tidak ada sistem demokrasi yang baik selain
demokrsi di Libya yang bersifat jamahiriyah yang berarti
“negara massa” yang menurut pandangan dari Muammar
Khadafi sebagai alasan yang mendasari kesempatan yang
sama bagi rakyat Libya untuk mengemukakan pendapat mereka
masing-msing di “kongres rakyat”. Sistem itu berarti
bahwa kekuasaan dipegang ribuan komisi rakyat. Filosofi
politiknya dia tulis dalam sebuah buku,Green Book,yang
berisi alternatif bagi sosialisme dan kapitalisme yang
dikombinasikan dengan aspek Islam.
Sebagai seorang pemimpin yang menentang kekuasaan besar
AS, Khadafi tak jarang menemukan dirinya di tengah-tengah
perseteruan dengan Washington. April 1986, pesawat tempur
AS menyerang Libya sebagai balas dendam atas pengeboman
sebuah tempat disko di Berlin yang menewaskan tiga orang,
termasuk dua tentara AS. Saat itu, Presiden AS Ronald
Reagan menyebut Khadafi sebagai “anjing gila”. Serangan
itu menewaskan lebih dari 60 orang, termasuk putri angkat
Khadafi yang berusia 15 bulan dan nyaris membunuh
Khadafi. Tensi hubungan antara AS dan Libya diperparah
dengan penolakan Khadafi menyerahkan dua tersangka
pengeboman pesawat Pan Am yang menewaskan 256 orang di
Lockerbie.
Namun, setelah menghadapi sanksi perekonomian
berkepanjangan, sang kolonel akhirnya “menyerah”. April
1999, dia menyerahkan dua warga Libya yang dituduh dalam
pengeboman Pan Am.
Pemerintahan Bill Clinton saat itu meresponsnya dengan
melakukan pembicaraan rahasia dengan Tripoli. Memasuki
era 2000-an, Khadafi melunak. Pada 2003, Libya sepakat
memberikan kompensasi kepada seluruh keluarga korban
Lockerbie. Dia juga mengecam terorisme dan mengumumkan
bahwa dia menyerahkan impiannya untuk membuat senjata
pemusnah massal menyusul tergulingnya Saddam Hussein dari
Irak dalam invasi pimpinan AS. Pengumuman itu membuat
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencabut sanksi. Muammar
Khadafi juga pernah merobek draft persetujuan perdamaian
dan perjanjian yang menurutnya hanyalah rekayasa politik
Amerika pada saat rapat agung dalam forum di PBB.
II. III Tujuan Politis Amerika Serikat di Libya
Dalam beberapa sumber di media massa terkait dengan
invasi Amerika Serikat ke Libya banyak dijelaskan bahwa
Amerika dan sekutunya memiliki misi terselubung yang menjadi
tujuan politisnya di Libya semata-mata hanyalah untuk
beberapa alasan dari kepentingan Amerika dan sekutunya di
Libya. Isu terkait dengan minyak mentah yang terkandung di
dalam dataran yang tersebar secara merata di Libya digadang-
gadang sebagai faktor utama atas Amerika Serikat yang
dibantu oleh sekutu untuk masuk ke Libya dan membantu
gerakan oposisi pemerintahan rezim Khadafi (NTC) melalui
jalur militer.
Pada saat pergerakan kelompok oposisi mulai gencar
mengadakan pemberontakan di setiap sudut negara Libya yang
menuntut agar Khadafi mundur dari tampuk kekuasaannya yang
setelah 42 tahun memimpin Libya. Rakyat menilai bahwa krisis
yang terjadi tidaklah lepas dari keluarga Khadafi yang
melakukan KKN terhadap kekayaan negara yang dikuasai rezim
yang berkuasa, sehingga gerakan oposisi membentuk suatu
belligerent yaitu National Transicional Council atau NTC.
Selain itu, fakta menyebutkan bahwasanya Amerika
Serikat memiliki tujuan politis utamanya di Libya yang
mencakup tiga hal utama, yakni minyak mentah, demokrasi, dan
isu senjata pemusnah missal.
Minyak mentah, alasan utama terkait tujuan Amerika
Serikat menginvasi Libya yang sangat realistis dan menjadi
rahasia umum adalah potensi minyak Libya yang tersebar di
seluruh penjuru dataran Libya. Walaupun Amerika Serikat dan
sekutunya tidak sedang dirundung krisis terkait dengan
kelangkaan minyak, namun minyak merupakan komoditi paling
utama dalam isu-isu politis yang berkembang antar negara
karena secara umum minyak dapat mempengaruhi perekonomian
global. Hal ini sesuai dengan asumsi dasar self help yang
dimana negara akan melakukan tindakan rasional untuk
mewujudkan kepentingan nasionalnya.
Demokrasi, Amerika Serikat juga memiliki kepentingan
untuk menyebarkan ideology terkait demokrasi. Libya semasa
rezim Khadafi dinilai sebagai negara yang melaksanakan
system pemerintahannya secara otoritarian yang bertolak
belakang dengan Amerika Serikat dan sekutunya yang
demokrasi. Dalam poin ini, sesuai dengan asumsi dasar
struggle for power pada realism yang membuat Amerika Serikat
mencoba menyebarluaskan pengaruhnya ke Libya.
Senjata pemusnah massal, asumsi ini menjadi hal yang
memuat asumsi Power centrism yang dapat memperkuat posisi
politis.8 Namun, hingga saat ini masih belum terbukti
keberadaan senjata yang dikembangkan oleh Libya yang
dicurigai oleh Amerika Serikat. Mungkin hal ini adalah alibi
yang dibuat oleh Amerika Serikat untuk mempertegas argument
mereka terkait dengan Libya.
Dari beberapa analisis faktor tersebut sangat jelas
bahwa kebijakan Amerika Serikat terkait dengan krisis yang
mendera Libya tidaklah lepas dari bebrapa tujuan politis dan
tidak serta merta hanya demi kemanusiaan dan penyelesaian
8Steve Smith, Amelia Hadfield, Tim Dunne, Foreign Policy Theories Actors Cases (New York: Oxford University Press, 2008) page. 32-33
konflik antara pasukan oposisi pemerintah Libya dengan
pasukan rezim Khadafi.
II. IV Libya pasca konflik
PBB melaui NATO yang dimotori oleh Amerika Serikat
nampaknya telah berhasil membantu rakyat Libya untuk
mencapai demokrasi di negaranya dan menggulingkan rezim
otoriter presiden Moammar Khadafi dan berakhir dengan
kemenangan para kelompok oposisi penentang pemerintahan
Khadafi. Akan tetapi tugas dari PBB tentu saja belum selesai
sampai sini. Maka PBB melalui Amerika Serikat perlu membantu
Libya dalam proses recovery kepemerintahannya pasca perang
yang terjadi.
Tidak dapat dipungkiri kembali kematian Moammar Khadafi
sang presiden dari Libya ini turut membawa dampak yang besar
bagi negara Libya. Setelah selama kurang lebih 42 tahun
negara Libya berada dalam rezim Khadafi yang dinilai sangat
otoritarian, akhirnya para kelompok- kelompok oposisi
penentang pemerintahan Khadafi atau yang biasa disebut NTC
telah berhasil mengambil alih kepemerintahannya setelah 42
tahun di bawah rezim otoriter Khadafi.
Setelah tewasnya Moammar Khadafi, tentu saja menjadi
awal yang baru demokrasi di Libya. Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) dan Amerika Serikat telah menyambut pembentukan
pemerintah transisi di Libya.9 Dukungan juga datang dari
menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton ia
menganggap ini merupakan salah satu kemajuan bagi Libya.
Amerika Serikat akan bekerjasama dengan pemerintah transisi
Libya untuk mengatasi semua tantangan besar yang dihadapi
negara ini.
Selain itu Libya juga diharapkan dapat lebih
meliberalisasi minyaknya dengan baik. Sulit dipungkiri bahwa
perang sering kali berakhir dengan penjarahan dan perampokan
sumber daya alam dan kekayaan alam dari negara yang kalah
perang. Seperti yang sekarang sedang dilakukan NTC yang
memegang pemerintahan di Libya pasca berakhirnya rezim
Khadafi. NTC sudah membuat kesepakatan untuk memberikan 35 %
pengolahan minyak mentahnya kepada Amerika sebagai tanda
terima kasih atas dukungan penuh dalam gerakan revolusi
menggulingkan Kadhafi.10
BAB IIIPENUTUP
3. 1 Kesimpulan
9 http://vovworld.vn/id-id/Berita/Pemerintah-transisi-baru-di-Libya-dilantik/59986.vov. Viewed, December 26th, 201210http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/detil/265976/0/Pengelolaan-Energi-Libya-Pasca-Qadhafi. Viewed, December 26th, 2012
Kebijakan Amerika Serikat yang memiliki tujuan
dasar guna menciptakan keamanan nasional dan keamanan dun ia
dari segala bentuk ancaman serta menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan menjadi dasar bagi setiap kebijakan luar
negerinya. Pada kasus Libya, isu kemanusiaan kembali menjadi
justifikasi atas pergerakan militer Amerika Serikat ke
Libya. Khusus pada kasus Libya, Amerika Serikat secara
komando militeristik diserahkan pada sekutunya yaitu NATO.
Hal ini tidak luput dari efisiensi penggunaan anggaran dan
kekuatan militer pasca konflik di Afghanistan dan Irak yang
cukup menyedot anggaran negara. Pertimbangan tersebut muncul
atas inisiatif dari Presiden Amerika yaitu Barack Obama dan
keputusan tersebut didukung oleh kongres dan memunculkan
suatu kebijakan yang berasal dari level individu dan spesifik
aktor sesuai dengan anggapan dari scholar yaitu Rosenau.
Situasi dunia yang anarkhi yang memunculkan Amerika
Serikat sebagai hagemon tanpa ada kekuatan lain yang
mengimbangi agar tercipta perdamaian dunia sesuai dengan
konsep Balance of Power dan Libya sebagai negara yang inferior
dari Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat berani untuk
menginvasi Libya walaupun dibantu dengan NATO. Fakta
menyebutkan bahwa, kebijakan luar negeri Amerika Serikat
memiliki konstelasi politik terselubung. Minyak mentah
menjadi sasaran utama bagi Amerika untuk menguasai potensi
sumber minyak mentah yang tersebar diseluruh daratan Libya
melalui perusahaan minyak milik Amerika Serikat seperti
Exxonmobil dan Chevron. Selain itu, perbedaan ideologi
menjadi hal yang tak terbantahkan mengingat rezim otoriter
Muammar Khadafi menguasai Libya lebih dari 42 tahun. Struggle
for power pada ideologi tak terelakkan, karena salah satu
kebijakan dasar Amerika Serikat adalah demokratisasi. Belum
lagi Amerika Serikat yang menganggap Libya mengembangkan
senjata pemusnah massal (WMD) yang dapat memperkuat posisi
politis Khadafi atau Power centrism yang hingga kini masih
belum terdeteksi keberadaannya atau mungkin hanya alasan
Amerika Serikat saja untuk memperkuat argumen mereka untu
menyerang Libya dengan kendaraan politisnya bernama NATO.
Dari hasil kebijakan tersebut, didapati hasil yang
sesuai dengan ekspektasi pemerintah Amerika Serikat yang
mendapat upeti atas jasanya yang menurunkan rezim Khadafi
berupa kepemilikan minya mentah Libya sebanyak 35% dari
total keseluruhan sumber minyak mentah Libya yang tersebar
di seleruh daratan Libya.
Demokrasi sebagai bukti nyata dari hasil penggulingan
rezim Khadafi yang membuat Libya mengadakan pemilu dan
menadi negara “boneka” dari Amerika Serikat pasca krisis
Libya. PBB sebagai institusi pemersatu bangsa tidak cukup
tegas untuk mengantisipasi Amerika Serikat dan sekutunya
yang tergabung dalam NATO untuk ikut campur dalam agresi
militernya di Libya. Kebijakan Amerika Serikat yang
mendukung recovery pemerintahan Libya dibawah NTC hanyalah
alibi agar Libya tidak menyerahkan Minyak mentah yang
menjadi tujuan utamanya untuk dijual ke negara selain barat,
khususnya Amerika Serikat untuk mengantisipasi dan menjadi
modal atas kerjasama yang berkelanjutan dalam hal jual beli
minyak mentah.
DAFTAR PUSTAKA
Smith, Steve, et. al. 2008. Foreign Policy Theories Actors Cases. New
York: Oxford University Press
Richard C. Remy, Lary Elowits & William
Berlin.1984.Government of The United State. New York: Mac Milliam
Publishing Company
Katherine Butler, “Far to great Expectations”, “The New
Statesman”,January 19th, 2009
Organization of the Petroleum Exporting Countries. Opec
Annual Statistical Bulletin 2012. Vienna :Public Relations and
Information Department
Egidius Patnistik. Mengapa Libya diserang Suriah tidak? Wednesday,
April 27th , 2011.
http://internasional.compas.com/read/2011/04/27/14462470/Men
gapa.Libya.Diserang.Suriah.Tidak.
http://www.whitehouse.gov/the-pressoffice/2011/03/28/remarks-
president-addressnation-Libya
http://vovworld.vn/id-id/Berita/Pemerintah-transisi-baru-di-
Libya-dilantik/59986.vov
http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita-kemigasan/
detil/265976/0/Pengelolaan-Energi-Libya-Pasca-Qadhafi
http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-13755445