Kebijakan AS di Bidang Ideologi, Politik, Ekonomi dan Militer

25
Kebijakan AS di Bidang Ideologi, Politik, Ekonomi dan Militer Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Politik Luar Negeri Amerika Serikat Dosen: Rahmi Fitriyanti, M.Si oleh: Farah Dina F/ 1111113000112

Transcript of Kebijakan AS di Bidang Ideologi, Politik, Ekonomi dan Militer

Kebijakan AS di Bidang Ideologi, Politik,

Ekonomi dan Militer

Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Politik Luar

Negeri Amerika Serikat

Dosen: Rahmi Fitriyanti, M.Si

oleh:

Farah Dina F/ 1111113000112

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

1. Politik Luar Negeri Amerika Serikat di Bidang Ideologi:

Demokrasi

1.1 Studi Kasus: Invasi Amerika Serikat ke Irak tahun

2003

Selama perang dingin, kebijakan luar negeri AS di

Timur Tengah dipengaruhi oleh tiga tujuan utama, yaitu

mengepung Uni Soviet, mengamankan suplai petroleum dan

menjamin kebertahanan Israel. Promosi demokrasi ditutupi

oleh tiga tujuan tersebut. Pertimbangan demokrasi dan Hak

Asasi Manusia tidak menjadi motif dukungan AS untuk

melawan negara Arab yang radikal selama Perang Dingin.

Pertimbangan Balance of Power adalah pertimbangan utama

para pembuat kebijakan AS.

Berakhirnya Perang Dingin dan kemenangan demokrasi

atas komunisme Uni Soviet berujung pada perubahan penting

pada kebijakan luar negeri AS. Masa administrasi Bill

Clinton memberi perhatian lebih besar kepada isu luar

negeri demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Dua contoh

undang-undang yang mengatur demokrasi dan Hak Asasi

Manusia pada kebijakan luar negeri AS adalah The Leahy

Amendment to the Defense Appropiations Act (1988) dan the

Religious Persecution Act (1998).

Perhatian khusus juga diberikan kepada hak perempuan

dan pekerja. Kebijakan luar negeri negara Timur Tengah

banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini dan

demokrasi menjadi salah satu elemen dalam hubungannya

dengan aktor regional. Promosi demokrasi selama periode

ini bagaimanapun tetap mendapat proporsi yang kecil dalam

pembuatan kebijakan luar negeri AS.

Serangan terorisme 11 September 2001 membuat promosi

demokrasi menjadi elemen penting dalam pembuatan

kebijakan luar negeri AS di Timur tengah. Tak lama

setelah serangan tersebut muncul berbagai pandangan bahwa

terorisme Islamis adalah ancaman utama AS. Hal tersebut

disebabkan oleh defisit demokrasi yang terjadi di Timur

Tengah dan AS merasa bertanggung jawab atas hal tersebut.

AS merasa harus melakukan demokratisasi di Timur Tengah.

Represi dan autoritarianisme membuat para Islamis

frustasi dan akhirnya bertindak nekat. AS dan sekutunya

menganggap demokrasi adalah satu-satunya solusi bagi

masalah terorisme.

Tesis partisipasi-moderat yang menyatakan bahwa

keterlibatan para Islamis dalam proses demokrasi akan

mendorong mereka untuk menjauhi ekstrimisme dan terorisme

dan mendekat kepada interpretasi moderat Islam. Tesis

inilah yang saat ini menjadi pondasi kebijakan AS. Neo-

konservatif Bush membuat demokrasi sebagai arah kebijakan

luar negeri AS. Promosi demokrasi ke seluruh dunia

merupakan bagian dari misi global AS dan membantu

pengamanan posisinya di dunia. Tetapi sayang pada

akhirnya kegagalan proyek demokratisasi Irak berujung

ketidakpercayaan publik terhadap AS yang sangat kukuh

dalam menyebarkan ideologi demokrasinya.1

1.2 Grand Theory: Liberalisme

Berdasarkan perspektif liberalisme, keputusan untuk

berperang berasal dari karakteristik internal negara,

khususnya tipe pemerintahan dan juga pengaruh dari

ekternal, yaitu hukum internasional. Keamanan dan

kesejahteraan global bergantung kepada penyebaran

demokrasi dan perdagangan dserta fungsi regulasi konflik

pada institusi internasional. Seperti realisme,

liberlaisme menurunkan beberapa teori hubungan

internasional. Idealisme Kantian/ Wilsonian didasarkan

pada ide bahwa kondisi yang lebih demokratis akan mampu

menciptakan kondisi yang lebih damai. Maka dari itu,

liberal crusading akan menggunakan kekerasan untuk

mengganti kedikatatoran dengan demokrasi.

1.3 Teori: Democratic Peace Theory

Teori ini menyatakan bahwa sesama negara demokratis

tidak akan saling menyerang. Namun mereka sangat rentan

untuk berperang dengan negara yang non-demokratis.

Semakin demokratis, maka semakin mudah menciptakan

perdamaian.

1.4 Konsep: Demokratisasi

1 Katerina Dalacoura, US Foreign Policy and Democracy Promotion in the Middle East: Theoretical Perspectives andPolicy Recommendations

Negara-negara demokratis, seperti AS, akan berupaya

sekuat mungkin untuk menyebarkan ideologinya melalui

proses demokratisasi. Proses demokratisasi adalah proses

transformasi sistem atau struktur pemerintahan suatu

negara menjadi suatu sistem yang menerapkan nilai-nilai

demokrasi, seperti: adanya pemilihan umum, kebebasan

berpendapat, adanya perwakilan rakyat, adanya pembagian

struktur pemerintah yang memungkinkan terjadinya proses

check and balances dan sebagainya.

1.5 Analisa:

Negara-negara demokratis cenderung takut dengan

negara-negara non-demokratis yang kurang transparan dan

mekanisme check and balances yang memungkinkan negara non-

demokratis tersebut untuk menyerang negara-negara

demokratis dahulu. Negara demokratis berpandangan bahwa

kediktatoran lebih mungkin untuk menggunakan kekerasan

dan hal tersebut membuat negara demokrasi menjadi lebih

agresif dan rentan perang ketika merasa terancam oleh

negara non-demokratis.

Maka keputusan administrasi Bush untuk melakukan

invasi ke Irak adalah karena adanya ketakutan AS bahwa

Irak akan mengembangkan senjata pemusnah masal untuk

menyerang AS dan sekutunya, walaupun pada akhirnya tidak

terbukti.

David Kay, inspektur senjata utama untuk Survey senjata

Irak, mengingatkan kembali akan asumsi bias pejabat AS

tentang kemampuan senjata Irak:

Kami menemukan setelah Perang Teluk pertama bahwa kita

pernah meremehkan kapasitas nuklir Irak, sehingga tidak

ada yang percaya pada Irak ketika mereka mengatakan yang

sebenarnya, bahwa tidak ada senjata di Irak.

Dukungan untuk relevansi teori liberal terhadap

keputusan invasi dapat ditemukan di pertanyaan, “Akankah

AS menginvasi Irak seandainya Irak telah menjadi negara

demokratis?” Kemungkinan jawabannya adalah tidak. Tidak

hanya karena alasan bahwa sesama negara demokratis yang

matang tidak akan menyerang satu sama lain, namun juga

akan menjadi pertanyaan jika kongres dan publik mendukung

invasi kepada negara yang bukan negara otoriter. Ini

membuktikan bahwa tipe rezim juga menjadi penyebab

penting perang.

Dari perspektif liberal, serangan 9/11 , yang

dilakukan oleh warga negara dari negara-negara non-

demokratis di Timur Tengah , meskipun tidak Irak ,

memberikan insentif baru dan menarik bagi AS untuk

menggunakan kekuatannya untuk mendorong demokrasi ,

dengan harapan suatu efek spillover positif melalui wilayah

tersebut. Sebuah pembenaran penting bagi AS untuk

mengakhiri kediktatoran represif Saddam Hussein adalah

untuk melindungi hak asasi manusia dan meringankan

penderitaan rakyat Irak. Bush dilaporkan membaca laporan

tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Irak dan laporan

tersebut memberinya semacam tanggung jawab moral yang

diperlukan untuk membuat keputusan (untuk menyerang).

Walaupun sebenarnya tidak ada pelanggaran Hak Asasi

Manusia besar-besaran sedang terjadi di saat invasi, dan

administrasi Bush tidak menunjukkan bahwa concern

terhadap isu Hak Asasi Manusia adalah motif utama untuk

keputusan invasi.

Teori Liberal menyatakan bahwa AS akan terus

memprioritaskan penggulingan negara non-demokrasi yang

dianggap sebagai musuh. Negara demokratis tidak akan

mungkin untuk terlibat dalam perang yang berpotensi

nuklir dengan negara non - demokratis, kecuali mereka

diserang dahulu.

2. Politik Luar Negeri Amerika Serikat di Bidang Politik

2.1 Studi Kasus: Pemberian Bantuan Ekonomi AS kepada

Korea Selatan untuk Mempertahankan Dominasi

Kekuasaannya di Asia

Dekatnya hubungan antara AS dan Korea Selatan

semakin diperkuat dengan berbagai isu yang berkembang di

regional Asia. Bangkitnya Cina membuat AS harus

mempertahankan aliansi dekatnya di Asia agar dominasinya

tidak menurun. Bantuan finansial pun semakin banyak

diberikan oleh AS kepada Korea Selatan.

2.2 Grand Theory: Neo-Realisme

Neo-Realisme sebagai turunan Realisme telah

menghasilkan berbagai teori yang terkait dengan masalah

security dilemma, balance of power dan loyalitas aliansi kepada

hegemon dalam struktur internasional yang anarki ini.

Salah satu teorinya adalah teori Hegemonic Stability. Kasus

yang akan dibicarakan adalah mengenai pemberian bantuan

ekonomi AS kepada Korea Selatan yang disebabkan oleh

kecemasan AS akan bangkitnya Cina yang mampu menandingi

dominasi kekuatan AS khususnya di regional Asia. Central

Intelligence Agency (CIA) memproyeksikan bahwa Cina akan

menjadi kekuatan militer utama dan akan menandingi

Amerika dalam kekuatan global di tahun 2020.

2.3 Teori: Hegemonic stability

A.F K Organski mengemukakaan ide teori hegemonic

stability dalam karya terkenalnya World Politics (1958). Dia

menjelasakan bahwa ketika sebuah negara memiliki

kekuasaan hegemoni dan menjadi dominan untuk mempraktekan

kebijakan hegemoninya kepada negara lain yang kurang kuat

kemudian kekuasaan hegemoninya tersebut ditantang oleh

negara kuat atau negara yang sedang bangkit lainnya.

Situasi ini dapat memicu peperangan atau konflik antara

the rising power dan hegemon yang kekuatannya menurun.

Para ilmuwan teori ini mendukung ide dominasi Amerika

Serikat di hubungan internasional dan mendeklarasi

hegemoni AS sebagai langkah positif untuk dunia yang

lebih baik, damai dan sejahtera.

Hegemonic stability adalah keadaan dimana ada suatu

negara bangsa yang menjadi sebuah hegemon terhadap negara

bangsa lainnya. Hegemoni dari satu kekuatan saja akan

mampu mencakup negara lain dengan paksaan dari negara

itu. Perkembangan berlanjut dari adanya sebuah hegemoni

yang menguasai kepada suatu hegemoni yang mampu

menciptakan sebuah stabilitas. Yang dimaksudkan sebagai

sebuah stabilitas adalah sebuah stabilitas yang mampu

menjaga kestabilan negara – negara lain di dunia. Contoh

negara yang pernah menciptakan hegemonic stability adalah

Inggris pada abad ke-18 dengan segala macam rupa

invasinya ke wilayah – wilayah lain. Namun seiring

berkembangnya zaman, Amerika Serikat mampu menciptakan

hegemonic stability selanjutnya pada abad ke-20, meskipun hal

ini mulai diragukan sekarang mengingat bahwa Amerika

Serikat telah turun pamornya karena serangan terorisme

maupun hantaman krisis ekonomi. Banyak ilmuwan

berpendapat bahwa instabilitas dan stagnasi hubungan

ekonomi internasioal pada masa antar-perang disebabkan

tidak adanya hegemon yang mampu menjaga stabilitas

sistem.

Wang Jisi, dekan departemen Hubungan Internasional

Universitas Peking dan seorang peneliti ahli hubungan AS

dan Cina, mengatakan bahwa dalam beberapa tahun ini,

tujuan utama kebijakan luar negeri AS adalah untuk

mempertahankan hegemoni dan dominasinya sehingga AS akan

berusaha untuk menghindari munculnya hegemoni baru, dalam

konteks saat ini Cina, dalam hubungan internasional.

Contoh kebijakannya antara lain memperkuat hubungan

keamanannya dengan aliansinya seperti Jepang, Korea

Selatan dan Filipina; hubungan yang lebih erat dengan

emerging powers seperti Indonesia dan Vietnam; mempererat

kerjasama dengan institusi seperti ASEAN dan sebagainya.

2.4 Konsep: Balance of Power

Power negara merupakan suatu konsep yang sangat

penting dalam studi politik dunia. Power dalam perspektif

realis merupakan konsep sentral. Hal ini berkaitan dengan

aksi negara dalam politik internasional. Negara mengejar

kepentingan nasionalnya sebagai alasan dibalik setiap

tindakan negara. Maksimalisasi power adalah kepentingan

suatu negara. Dengan demikian tindakan negara dapat

dijelaskan dengan keinginannya untuk mempertahankan,

perlindungan, atau meningkatkan power dalam hubungannya

dengan negara lain sebagai respon rasional pada kondisi

politik internasional yang anarki.

Balance of Power berasal dari pemikiran kaum realis

dimana mereka percaya bahwa dunia dengan negara yang

kekuatannya sama rata akan menimbulkan sebuah kedamaian.

Dalam artikelnya yang berjudul ‘Introduction : The Enduring Axioms

of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance’, T. V.

Paul membagi tiga bentuk dalam Balance of Power antara

lain : 1) Hard balancing : yaitu cara yang digunakan untuk

mencapai Balance of Power dengan mempertahankan dan menambah

kekuatan militer. Hal ini digunakan oleh kaum realis

dalam pemahamannya. 2) Soft balancing : yaitu dimana negara-

negara menaikkan intensitas kekuatannya bersama negara

kuat lain sehingga dapat meredam adanya negara rising power

baru yang dapat mengancam dan menimbulkan ketakukan. 3)

Asymmetric balancing : yaitu keadaan dimana adanya usaha yang

dilakukan negara bangsa untuk bisa mencapai keseimbangan

namun terdapat gejala tak langsung dari aktor diluar

negara itu sendiri seperti teroris yang dapat mengancam

keamanan.

2.5 Analisa

Melalui kacamata Realisme, hegemonic stability sangat

penting dalam sistem internasional yang anarki ini. Dunia

internasional membutuhkan seorang hegemon yang mampu

mengatur dan menjaga perdamaian dunia. Amerika Serikat

menjadi hegemonic stability pada abad ke-20 dan berhasil

menjaga kestabilan sistem internasional, meskipun hal ini

mulai diragukan sekarang mengingat bahwa Amerika Serikat

telah turun pamornya karena serangan terorisme maupun

hantaman krisis ekonomi.

Kemunculan hegemon tandingan akan menyebabkan

ketidakstabilan sistem internasional. Maka, dalam kasus

kebangkitan Cina saat ini, Amerika Serikat berupaya keras

untuk menghalangi Cina untuk menandingi dominasinya.

Amerika Serikat sebagai polisi dunia merasa perlu menjaga

balance of power regional Asia. Untuk itu Amerika Serikat

membuat inisiatif-inisiatif penting, baik dalam bidang

politik, ekonomi dan militer demi mempertahankan dominasi

kekuasaannya di regional Asia. Salah satu inisiatifnya

adalah memberikan bantuan luar negeri untuk Korea

Selatan, aliansi dekatnya. Maka, AS sekarang sedang

berusaha untuk melakukan soft balancing, yaitu menaikkan

kekuatannya bersama kekuatan lain, seperti Korea Selatan,

untuk menghindari rising power, dalam hal ini adalah Cina,

yang ditakutkan akan mengancam dominasi dan hegemoni AS.

Kami berpendapat bahwa di dunia saat ini, insentif

hegemon untuk memprioritaskan sekutu dalam alokasi

bantuan luar negeri tergantung pada balance of power

regional tertentu. Konsep pertama menyatakan bahwa ketika

konsentrasi kekuasaan terpusat, maka bantuan luar negeri

AS bertujuan untuk membantu sekutunya. Namun saat

konsetrasi kekuasaan tidak terpusat (konsep kedua), maka

bantuan luar negeri AS bertujuan untuk mendapatkan

simpati dari negara non-aliansinya. Setelah runtuhnya Uni

Soviet, Amerika Serikat belum menghadapi pesaing global,

namun pengaruhnya di berbagai daerah sedang ditantang

oleh kekuatan regional yang muncul, seperti China dan

India. Untuk menguji teori ini, kita menganalisis alokasi

bantuan luar negeri Amerika Serikat setelah Perang

Dingin, yaitu antara tahun 1990 dan 2009. Fokus pada

periode ini karena teori kami berfokus pada situasi

dimana penantang utama hegemon adalah kekuatan regional,

bukan global. Kami menunjukkan bahwa ketika konsentrasi

kekuasaan dalam suatu wilayah meningkat, maka Amerika

Serikat juga akan meningkatkan bantuan luar negeri untuk

sekutunya. Sebaliknya, di daerah-daerah yang ditandai

dengan pemerataan kekuasaan, hegemon berfokus pada

membeli pengaruh dari non - sekutu. Selain berfokus

kepada logika kebijakan luar negeri hegemon, teori dan

empiris kami menyoroti pentingnya dinamika regional di

dunia dengan hegemon tunggal. Temuan ini menjelaskan

bagaimana Amerika Serikat dapat diharapkan untuk merespon

perubahan balance of power di seluruh dunia.

Sesuai dengan teori bantuan luar negeri kedua, yaitu

beberapa sarjana berpendapat bahwa hegemon dapat

menggunakan pengaruh mereka untuk mengekstrak konsesi

dari negara lain. Hegemon mungkin khawatir tentang

keamanan sekutu dan daya tawarnya. Jika kekuatan sangat

terkonsentrasi, sekutu ini dikelilingi oleh satu atau

lebih kuat aktor. Oleh karena itu, sekutu rentan terhadap

serangan. Hal ini berarti bahwa hegemon memiliki insentif

untuk meningkatkan hubungan dengan sekutu melalui bantuan

asing. Sebagai contoh, mempertimbangkan implikasi dari

China menggantikan Jepang sebagai hegemon di Asia Timur.

Hal ini akan mendorong Amerika Serikat untuk meningkatkan

dukungan kepada negara-negara yang setia di seluruh Cina,

seperti Korea Selatan.2

3. Politik Luar Negeri Amerika Serikat di bidang Ekonomi

3.1 Studi Kasus: Keanggotaan AS dalam Trans- Pacific

Partnership (TPP)

The Trans-Pacific Partnership (TPP) adalah sebuah

perjanjian perdagangan bebas antara AS dan 11 negara

partner dagang lainnya di wilayah samudera Pasifik.

Jumlah perdagangan barang antara anggota-anggotanya kini

adalah 1,5 triliyun dolar AS dan jumlah perdagangan jasa

mencapai 242 milyar dolar AS. Perjanjian ini jika

berjalan lancar akan melebihi North American Free Trade

Agreement (NAFTA).

2 Sung Eun Kim, Johannes Urpelainen, When Do Allies Receive More American Foreign Aid? Hegemonic ForeignPolicy in a World of Regions, 2012

Pada 10 Desember 2013, AS dan Australia, Brunei

Darussalam, Cili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko,

Selandia Baru, Peru, Singapur serta Vietnam mengumumkan

kemajuan substansial pada tahap finalisasi perjanjian

TPP.

Perjanjian ini tidak melibatkan Cina dengan tujuan

mengimbangi dominasi perdagangan Cina dan India di Asia

Timur. TPP juga menyediakan arena aliansi perdagangan

yang memberi kesempatan pada AS untuk mengintervensi

konflik perdagangan di Laut Cina Selatan yang kaya akan

minyak.

Seperti perjanjian perdagangan lainnya, TPP

menghilangkan tariff pada barang dan jasa serta memberi

kuota perdagangan. TPP mencakup jumlah barang dan jasa

yang luas termasuk jasa finansial, telekomunikasi dan

penetapan standar keselamatan. Maka TPP sangat

mempengaruhi kebijakan luar negeri negara anggotanya.

TPP berhasil memdorong pertumbuhan ekonomi,

menciptakan lapangan kerja baru dan kesejahteraan bagi 12

negara anggota. Perjanjian ini jika berjalan sesuai

rencana akan mendorong angka ekspor mencapai 305 milyar

dolar AS pertahun pada tahun 2025. Pertambahan pendapatan

negara anggota akan mencapai 223 milyar dolar AS

pertahun.3

3 US Trade Representative, TPP Fact Sheet

TPP adalah negosiasi perdagangan paling signifikan

dan menjanjikan keuntungan ekonomi yang signifikan bagi

bisnis, pekerja, petani dan penyedia jasa Amerika.

Menurut analisis oleh Peterson Institute, keuntungan

bersih AS dari TPP ini diperkirakan mencapai 77 milyar

dolar AS dan menambah jumlah ekspor mencapai 305 milyar

dolar AS pertahun pada tahun 2025.

3.2 Grand Theory: Liberalisme

Liberalisme mengatakan bahwa kerjasama akan

menguntungkan semua pihak yang terlibat. Ketergantungan

yang terjadi diantara negara-negara membuat negara harus

menjalin kerjasama dengan negara lain, terutama negara

yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar.

3.3 Teori: Liberalisme Komersial

Kaum liberal umumnya mengambil pandangan positif

tentang sifat manusia. Mereka memiliki keyakinan besar

terhadap akal pikiran manusia dan mereka yakin bahwa

prinsip-prinsip rasional dapat dipakai pada masalah-

masalah internasional. Manusia memakai akal pikirannya

sehingga mereka dapat mencapai kerjasama yang saling

menguntungkan bukan hanya dalam negara tetapi juga lintas

batas internasional.

Pandangan bahwa hubungan politik dipengaruhi oleh

proses perkembangan ekonomi adalah pandangan utama

liberalisme. Beberapa penelitian mengenai hubungan

perkembangan sosio-ekonomi dan konflik telah dilakukan.

Liberalis menekankan bahwa perkembangan ekonomi mampu

menghindari konflik antar negara karena penggunaan

senjata yang dianggap sangat merusak atau setidaknya

memiliki potensi merusak.

3.4 Konsep: Kerjasama

Liberalisme men-generalisasi kondisi sosial yang

membuat perilaku aktor yang self-interested kearah kerjasama

atau konflik. Kondisi konfliktual dan tindakan kekerasan

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kepercayaan

mendasar yang berbeda, sumber daya alam yang terbatas

jumlahnya dan ketidaksetaraan dalam kekuatan politik.

Namun kepercayaan yang bersifat komplementer akan membawa

pada harmoni dan kerjasama. Kepentingan mutual antar

negara akan membawa mereka kepada kerjasama ekonomi yang

saling menguntungkan.

3.5 Analisa

Tujuan AS bergabung dengan Transpacific Partnership

adalah dalam rangka mewujudkan kepentingan liberalnya.

Pemerintah AS memiliki tiga tujuan utama dalam TPP ini:

pertama, mendirikan sebuah platform untuk sosialisasi

aturan perdagangan dan investasi yang berkualitas sejak

WTO tidak mampu membuat peraturan lebih baik. Kedua,

untuk menghindari marjinalisasi proses integrasi Asia

yang dipimpin oleh Cina sejak proses sosialisasi standar

emas AS yang tidak terlalu bagus di Asia. Ketiga, untuk

terlibat dalam dinamisme ekonomi Asia sebagai upaya untuk

mencari sumber pendapatan tambahan melalui strategi

ekspor. TPP adalah perjanjian penting sebagai salah satu

upaya mencapai liberalisasi ekonomi tingat internasional

di Asia-Pasifik. Kurangnya kemajuan setelah Doha Round

WTO, pemerintah AS membuat strategi liberalisasi

kompetitif melalui perjanjian bebas bilateral pada awal

tahun 2000. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk

memikat akses pasar preferensial ke pasar AS untuk

mendorong negara-negara untuk mempromosikan standar emas

AS.4

Partisipasi AS dalam TPP ini sangat menguntungkan

AS. TPP adalah salah satu alat untuk mengubah persepsi

negara Asia terhadap AS. Presiden Obama juga menegaskan

untuk memperkuat hubungannya dengan aliansi lamanya dan

membangun kerjasama baru dengan negara-negara di Asia.

Dari sudut pandang pemerintah AS, keuntungan lain

TPP adalah: AS akan bergabung dengan grup perdagangan

yang memiliki liberalisasi tingkat tinggi yang sangat

kompatibel dengan misi perjanjian perdagangan bebas AS.

Kedua, daripada melalui perjanjian bilateral, TPP akan

menyediakan arena bagi AS dan negara-negara di Asia

Pasifik untuk bertemu sehingga lebih efisien. Ketiga,

akses terbuka kepada TPP akan menawarkan kemungkinan

konstruksi platform Asia-Pasifik yang memberikan keuntungan

ekonomi dan politik secara luas.5

4 5 Mireya Solís, Endgame: Challenges for the United States in finalizing the TPP Negotiations,”Kokusai Mondai (International Affairs), No.622, Juni 2013

4 Politik Luar Negeri Amerika Serikat di bidang Militer

4.3 Studi Kasus: Bantuan Militer Amerika Serikat untuk

Israel

Sudah menjadi rahasia umum, Israel merupakan mitra

terdekat Amerika. Kedekatan ini semakin erat ketika kaum

Yahudi di Amerika membentuk suatu lobi yang bertujuan

membela kepentingan Israel di dunia Internasional

khususnya di region Timur Tengah. Salah satu lobi terkuat

Yahudi yang berada di Amerika adalah AIPAC (American

Israel Public Affairs Comittee ).

AIPAC selama ini telah berhasil melakukan infiltrasi

terhadap bagian–bagian penting pembuat keputusan politik

Amerika. Anggota AIPAC sangat aktif mempengaruhi pejabat-

pejabat pemerintahan dan anggota konggres Amerika. Dengan

kata lain AIPAC berusaha mendapatkan dukungan para

politisi Amerika untuk mendukung kaum zionis dan setiap

kepentingan–kepentingan kaum zionis seperti Israel. Lobi

AIPAC ini mampu membuat Amerika meningkatkan bantuan dan

dukungan Amerika Serikat kepada Israel terutama bantuan

militer, yang merupakan prioritas utama bagi AIPAC dalam

melancarkan lobi-lobinya. Amerika akan selalu

memperjuangkan kepentingan Isarel. Dukungan Amerika ini

terlihat jelas ketika pada tahun 2002 Bush memberikan

pernyataan pada media bahwa ia meyakini perdana menteri

Israel, Ariel Sharon adalah seorang yang cinta damai.6

Bantuan Amerika untuk Israel selama 10 tahun

terakhir bernilai sebesar 30 miliar dolar. Ini belum

6 Skripsi berjudul AIPAC Mempengaruhi Proses Pembuatan Kebijakan Pemberian Bantuan MiliterAmerika kepada Israel Pada Masa Pemerintahan G. W. Bush

termasuk bantuan kerjasama pembuatan sistem keamanan

Kubah Baja Anti Roket jarak dekat senilai 2,5 juta dolar

untuk melindungi permukiman Israel.

Sejak tahun 1985, Amerika Serikat telah memberikan

hampir $ 3 miliar dalam bentuk hibah setiap tahun untuk

Israel. Hampir semua bantuan ini ke Israel adalah dalam

bentuk bantuan militer. Hampir 75% dari dana tersebut

digunakan untuk membeli peralatan pertahanan AS dari

perusahaan Amerika.

Dalam sambutannya di Lembaga Studi Pro Kshinger di

Washington, Chapiro menegaskan bahwa peningkatan kekuatan

Israel dalam menghadang roket perlawanan tidak akan

membantu terwujudnya solusi dua negara. Sebaliknya,

solusi dua negara, menurutnya, tidak akan menghentikan

ancaman roket. “Namun kami mendukung Israel dengan sistem

keamanan Kubah Baja untuk memberikan kepercayaan diri

Israel dalam mengambil keputusan di masa depan dalam

rangka perdamaian utuh,” tegasnya.

Ia menegaskan, bantuan keamanan Amerika kepada

Israel lebih dari karena faktor kedekatan dan simpati

atau kecintaan. Menurutnya, bantuan keamanan itu karena

Israel juga memperkuat keamanan nasional Amerika.7

4.4 Grand Theory: Realisme

Realisme memberi perhatian besar kepada masalah

bantuan militer. Bantuan militer di masa damai saat ini

dianggap sebagai bukti bahwa berbagai teori dan konsep

realisme seperti teori aliansi dan konsep bantuan militer

7 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/10/07/18/125230-amerika-berikan-bantuan-militer-pada-israel-terbesar-dalam-satu-dekade diakses pada 20 Desember 2013

luar negeri masih relevan. Persahabatan yang sudah

terjalin antara Amerika Serikat dan Israel semakin erat

dengan munculnya satu musuh nyata, yaitu Muslim Palestina

dan negara Timur Tengah lainnya.

4.5 Teori: Aliansi

Sebuah aliansi didefinisikan sebagai:

1a) negara yang beraliansi

b) sebuah ikatan atau hubungan antara keluarga atau

individual

2a) sebuah asosiasi (berdasarkan perjanjian) dari

dua atau lebih negara untuk mencapai kepentingan

bersama

b) sebuah perjanjian aliansi

Poin penting dari pernyataan diatas adalah adanya

hubungan antara dua atau lebih aktor untuk mencapai

tujuannya. Sebuah otoritas independen, seperti negara,

yang memiliki wewenang untuk memerintah sebuah populasi

atau wilayah sangat dibutuhkan. Hal ini penting karena

hanya dengan otoritas tersebut muncul kemungkinan untuk

memobilisasi dan mempraktekkan kekuatan yang dimiliki

negara, sebuah kondisi awal dalam sebuah aliansi.8

4.6 Konsep: Bantuan Luar Negeri (Foreign Aid)

Sistem internasional yang anarki menciptakan

kebebasan otonomis diantara negara-negara. Hal tersebut

membuat sebuah sistem internasional yang8 Stefan Bergsmann, The Concept of Military Alliance

terdesentralisasi dimana setiap negara adalah berdaulat,

menggunakan power mereka diatas sebuah “defined territory,

a population and a government” (Sorensen, 2004. P. 17),

saat terlibat pada hubungan/ permainan power politik

dengan negara lainnya. Dalam setting seperti ini, bantuan

internasional/ bantuan luar negeri (foreign aid) praktis

hanya menjadi sebuah alat kebijakan untuk mencapai

kepentingan nasional. Alat kebijakan ini dalam pandangan

realis dilihat sebagai sebuah hasil dari perang dingin

yang digunakan dalam kompetisi diantara kekuatan great

power. Bantuan internasional di pandang sebagai sebuah

senjata kunci dalam perang dingin untuk memperbesar

kemungkinan beraliansinya negara-negara dunia ketiga

kedalam salah satu kubu great power. Motivasi politik

itulah yang menurut morghentau menjadi hal yang di

pertimbangkan oleh donor saat memberikan bantuan luar

negeri (Hattori, 2002, p.642).

Kehadiran bantuan internasional dianggap sebagai

sebuah instrument kebijakan sejak adanya kepentingan luar

negeri yang tidak dapat diamankan dengan penanganan

militer dan untuk mendukung metode diplomasi yang

sebenarnya “tradisional” namun dalam bungkus yang lebih

pantas. Selain kegunaan bantuan internasional sebagai

instrument untuk mendukung tujuan kebijakan luar negeri,

dalam prakteknya muncul bahwa kebijakan bantuan luar

negeri meng-cover pula banyak disparitas tujuan dan

kegiatan, sebagai respon dari berbagai macam kebutuhan,

yang terlihat maupun yang tidak terlihat, berhubungan

maupun tidak berhubungan pada tujuan politik sebuah

kebjakan luar negeri. (Morgenthau, 1962 , p.301)

Morghentau (1962), salah satu tokoh sentral realisme,

dalam artikelnya yang berjudul A Political Theory of Foreign Aid

coba mengembangkan tipologi dari bantuan internasional.

Ia mengidentifikasi lima tujuan kebijakan bantuan luar

negeri, yaitu: military, prestige, humanitarian, economic, dan

subsistence. Tipologi ini digunakan untuk mengorganisasikan

kompleksitas kebijakan yang di labeli dengan nama “foreign

aid”. Berdasarkan hal ini maka ada dua tipe strategi yang

digunakan untuk mendapatkan pengaruh: propaganda dan suap

(propaganda dan suap). Sebagian besar tipe bantuan

internasional yang diidentifikasi bersifat politis, hanya

sedikit yang sifatnya humanitarian foreign aid. Artinya, hal

yang seharusnya bersifat non-politis kemudian bersifat

sangat politis ketika diletakkan dalam konteks politik.

4.7 Analisa:

Dalam beberapa dekade AS dan Israel telah menjalin

hubungan bilateral yang kuat dengan alasan meningkatnya

dukungan AS untuk Israel dan keamanannya; tujuan

strategis bersama di Timur Tengah; komitmen berasama

dalam menyebarkan nilai-nilai demokrasi; dan hubungan

sejarah sejak AS mendukung lahirnya Israel tahun 1948.

Bantuan militer AS untuk Israel didasarkan pada

alasan strategis yang rasional

sebagai berikut:

- Aliansi dengan nilai yang sama: Presiden Truman

langsung mengakui kedaulatan Israel hanya dalam 11

menit setelah deklarasi kemerdekaan pada tahun 1948

dan otomatis menjadi negara pertama yang mengakui

kemderkaannya. Sejak saat itu, AS mempertahankan

hubungan tersebut berdasarkan nilai-nilai demokrasi

dan liberal yang sama.

- Kepentingan keamanan AS: Israel, sebagai aliansi

demokratis yang stabil, adalah negara penting bagi

kepentingan keamanan AS di Timur Tengah. AS dan

Israel memiliki kepentingan yang sama di regional

yang krusial ini termasuk menghindari pengembangan

senjata pemusnah masal, memberantas terorisme dan

mempromosikan proses demokratisasi dan pengembangan

ekonomi di regional Timur Tengah.

- Memajukan proses perdamaian: bantuan AS dengan

jumlah banyak dimulai pada Perjanjian Perdamaian

Camp David pada tahun 1979 antara Israel dan Mesir,

sebuah kepentingan kunci AS. Dukungan ini merupakan

kelanjutan dari promosi perdamaian dan stabilitas di

regional antara Israel dan negara Arab tetangganya.

Sangat penting bagi AS untuk memajukan tujuan two

states for two peoples, sebuah negara Yahudi dan

demokratis Israel dan negara independen dan

berdaulat Palestina.

- Kepentingan ekonomi: bantuan militer untuk Israel

juga mendukung penciptaan lapangan kerja di AS

karena bantuan militer tersebut membutuhkan suplai

barang dan jasa yang besar.9

Beberapa dampak dari bantuan militer AS ini adalah:

- Arms for influence: Kerjasama antar pemerintah akan

meningkat ketika bantuan militer AS meningkat. Maka

pemerintah AS akan terus meningkatkan bantuan

militernya kepada negara yang mendukung kepentingan

AS dan mengurangi atau menghentikan bantuan kepada

negara yang gagal dalam mendukung kebijakan luar

negeri AS.

- The Lonely Superpower: ketergantungan pada negara kuat

dapat memicu pembangkangan. Pemerintah yang menerima

bantuan militer dalam jumlah yang signifikan mungkin

akan melawan pemerintah AS untuk menghindari

pelabelan sebagai boneka AS oleh negara lain.

- The Reverse Leverage: secara paradoks sebuah negara kuat

dapat menjadi ketergantungan pada negara yang telah

ia bantu. Merujuk pada hal itu, jumlah bantuan

militer yang diberikan kepada negara lain

merefleksikan seberapa jauh ketergantungan AS kepada

negara tersebut, seperti dalam hal ekspor minyak,

basis untuk pasukan militer dan kerjasama militer.

Dalam perspektif ini, akan lebih mudah bagi negara

lain untuk menerima bantuan militer AS daripada AS

menemukan partner strategisnya.10

Mengingat pola-pola ini, pembuat kebijakan AS

menghadapi dilema yang sulit. Memberikan bantuan9 American Military Aid to Israel, www.israelactionnetwork.org , diakses pada Desember 201310Patricia Sullivan, Is Military Aid an Effectice Tool for U.S. Foreign Policy?

militer mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan

pengaruh di negara-negara kunci - seperti Pakistan -

yang terletak di bagian strategis dari dunia. Bahkan

jika bantuan tidak memiliki efek positif pada tingkat

kerjasama dengan Amerika Serikat secara keseluruhan, AS

masih bisa mendapatkan manfaat tertentu. Para pembuat

kebijakan, bagaimanapun, masih harus mengatasi utilitas

terbatas bantuan militer ini untuk mendorong kerjasama

lain dengan tujuan pelaksanaan kebijakan luar negeri

secara keseluruhan. Memberikan bantuan militer

terkadang memungkinkan Amerika Serikat untuk

menghindari biaya intervensi militer langsung, namun

para pemimpin harus berhati-hati untuk tidak

membahayakan kepentingan keamanan jangka panjang

Amerika.