Akulturasi Budaya Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan ... - OSF

267
AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DAN CIREBON DI KESULTANAN CIREBON Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Doktor dalam Bidang Sejarah dan Peradaban Islam Oleh: Mukhoyyaroh (31171200000017) Promotor: Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si Program Studi Pengkajian Islam Konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2021 M/1442 H

Transcript of Akulturasi Budaya Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan ... - OSF

AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DAN CIREBON

DI KESULTANAN CIREBON

Disertasi

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Doktor

dalam Bidang Sejarah dan Peradaban Islam

Oleh:

Mukhoyyaroh

(31171200000017)

Promotor:

Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A.

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si

Program Studi Pengkajian Islam

Konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2021 M/1442 H

ii

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkap dan menganalisis aktivitas sosial-budaya, dan relasi

sosial budaya, serta makna simbolik dan filosofis dari wujud budaya Tionghoa dan budaya

Cirebon di Kesultanan Cirebon. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan

termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan dan lapangan, sedangkan prosedur

pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan pencatatan, serta

dokumentasi. Sementara pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan historis,

antropologis dan semiotik. Adapun sumber yang digunakan adalah sumber primer dan

sekunder yang terdiri dari sumber tulisan berupa buku, artikel jurnal, dan arsip, serta sumber

non-tulisan berupa hasil wawancara dan bukti arkeologis. Temuan penting penelitian ini,

yaitu: Pertama, kontak sosial-budaya etnis Tionghoa dengan masyarakat Cirebon terjadi

melalui tiga gelombang, yaitu dimulai sejak abad ke-15, yang ditandai dengan kedatangan

Cheng Ho dan para pasukannya; Gelombang kedua terjadi pada akhir abad ke-15, yang

ditandai dengan kedatangan Puteri Tiongkok bernama Ong Tien Nio dengan seluruh barang

bawaannya; Gelombang ketiga terjadi di abad ke-18, ditandai dengan masuknya orang-orang

Tionghoa sebagai orang-orang pelarian dari Batavia. Kedua, relasi sosial-budaya etnis

Tionghoa dan masyarakat Cirebon yang kemudian menghasilkan akulturasi budaya. Budaya

Cirebon dan budaya Tionghoa yang telah terakulturasi dalam perkembangannya sangat

dipengaruhi oleh agama Islam. Ketiga, berbagai bukti arkeologis seperti Gapura Siti Inggil,

Makam Astana Gunung Jati dan Guha Sunyaragi serta Kereta Kencana Singa Barong dan

Batik, semuanya mendapat pengaruh dari Hindu, Tiongkok dan Belanda, serta memiliki

makna simbolik dan filosofis yang berbeda-beda. Lewat arsitektur dan simbol-simbol yang

ada menunjukkan betapa Kesultanan Cirebon sarat dengan nilai-nilai ketauhidan yang

ditemukan pada dua puluh tiang Mande Malang Semirang. Kesultanan Cirebon sekalipun

merupakan Kesultanan Islam, tetapi sangat inklusif terhadap dinamika masyarakat dan ragam

budaya yang datang dari luar, serta berdiri di atas keberagaman budaya dan meletakkan

penghormatan yang tinggi terhadap keyakinan orang lain. Hal tersebut mengakibatkan

terjadinya akulturasi, khususnya antara kebudayaan Tionghoa dan budaya Cirebon di

Kesultanan Cirebon. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya

Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon menyatu dalam bentuk akulturasi,

bukan asimilasi ataupun difusi.

Kata kunci: Akulturasi, budaya Tionghoa, budaya Cirebon, Kesultanan Cirebon

iii

ملخص

رذف ز اذساعخ إ اىشف ازس١ شبط االخزبػ اثمبف، افىشح اثمبف١خ، اؼ اشض افغف اثمبفخ

اذساعبد اىزج١خ اص١١خ اثمبفخ ازش١ش٠ج١خ ف عطخ ازش١ش٠ج. اعزخذذ اجبزثخ اح اى١ف ز اذساعخ

ا١ذا١خ. ثبغجخ طش٠مخ خغ اج١ببد، لبذ اجبزثخ ثبالزظخ، اساس، ازغد١، ازث١ك. ثبغجخ مبسثخ،

ثبغجخ صذس، ف١مغ إ اصذس األعبع اعزخذذ اجبزثخ امبسثخ ازبس٠خ١خ األزشثخ١خ، اغ١١خ١خ.

وزت دس٠بد ثبئك، صبدس غ١ش وزبث١خ ث اساس ا٢ثبس ازبس٠خ١خ. ازبئح ابخ ز اثب ٠زى

االرصبي االخزبػ اثمبف ث١ اص١١١ ادزغ ازش١ش٠ج زص ف ثالس خبد، ثذأ إ -أوالاذساعخ ب ٠:

ظ ػشش بخامش ااخش. اخخ اثب١خ لؼذ ف ( خ١شCheng Ho امش اخبظ ػشش، ثد١ئ رش١ح )

( غ و ب ززب األش١بء. اخخ اثبثخ زصذ ف Ong Tien Nioثد١ئ أ١شح ص١١خ ادػذ أح ر١ ١ )

١خ إ اؼاللخ االخزبػ١خ اثمبف١خ اص١ -ثانيا(. Bataviaامش اثب ػشش، ثد١ئ اص١١١ االخئ١ ثبربف١ب )

. إ اثمبفخ ازش١ش٠ج١خ اص١١خ از رثبلفذ ف رطسب رأثشد وث١شا ثبذ٠ ازش١ش٠ج١خ رزح ش١ئب ازثبلف

(، ضش٠ر Gapura Siti Inggilإ اؼذ٠ذ اجشا١ األثش٠خ ازبس٠خ١خ ث ثاثخ ع١ز إد١ ) -ثالثااإلعال.

( ػشثخ ى١خ Guha Sunyaragi(، خب ع١بساخ )Makam Astana Gunung Jatiأعزبب خح خبر )

(، ثبر١ه )ف سع رم١ذ ػ امبػ(، وب رأثشد ثب١ذع١خ، االذ٠خ، singa barongع١دب ثبسح )

عطخ اشص، خذب اإلشبساد إ أ ذعخ اؼبس٠خ خالي ااص١١خ، ف١ب ؼب سض٠خ فغف١خ خزفخ.

Mandeازش١ش٠ج ب صجغخ ل١ ازز١ذ ل٠خ، خذبب ف ػشش٠ ػدا ع١ذ ثأػذح بذ بالح ع١١شاح )

Malang Semirang إ عطخ رش١ش٠ج ثبشغ أب إعال١خ، إال أب شزشوخ ف ازغ١١شاد االخزبػ١خ رأثشد .)

ذ ػ رع اثمبفبد سذ اغطخ رمذ٠شا ػب١ب ؼزمبد ابط. أد ثخزف اثمبفبد از خبءد اخبسج، لب

ره إ ازثبلف، ثخ ازسذ٠ذ ث١ اثمبفخ اص١١خ اثمبفخ ازش١ش٠ج٠خ ف عطخ ازش١ش٠ج. ثزا، رمي ز اذساعخ

(، ال asimilasiزثبلف ١ظ االعز١ؼبة )إ اثمبفخ اص١١خ اثمبفخ ازش١ش٠ج١خ ف عطخ رش١ش٠ج ارسذد ف شى ا

(.difusi) ازؼش٠ف

ازثبلف، اثمبفخ اص١١خ، اثمبفخ ازش١ش٠ج١خ، اغطخ ازش١ش٠ج١خ الكلمات المفتاحية:

iv

Abstract

This study aims to reveal and analyse the socio-cultural activities, cultural concepts, as well

as symbolic and philosophical meanings on the forms of Tionghoa culture and Cirebon

culture in the Cirebon Sultanate. The research method applied is the qualitative and belongs

to the type of literature and field research, while the data collection procedure is carried out

through observation, interviews, and recording, and documentation. Meanwhile, the research

approaches used are historical, anthropological and semiotic approaches. The sources used

are primary and secondary sources consisting of written sources in the form of books, journal

articles and archives, as well as non-written sources in the form of interviews and

archaeological evidence. The essential findings of this research are: First, the socio-cultural

contact of the Tionghoa ethnics with the Cirebon people occurred through three waves,

starting in the 15th century, which was marked by the arrival of Cheng Ho and his troops;

The second wave happened in the end of the 15th century, which was marked by the arrival

of a Tiongkok princess named Ong Tien Nio with all her belongings; The third wave

occurred in the 18th century, marked by the entry of Tiongkok people as refugees from

Batavia. Second, the socio-cultural relations of the Chinese ethnics and the Cirebon people

which later resulted in cultural acculturation. Furthermore, Cirebon culture and Tionghoa

culture which have been acculturated in their development are strongly influenced by Islam.

Third, various archaeological evidences, such as the Siti Inggil Gate, the Tomb of Astana

Gunung Jati and Guha Sunyaragi as well as the Singa Barong Golden Chariot and Batik, all

of which were influenced by Hinduism, the Netherlands and Tiongkok, had different

symbolic and philosophical meanings. Moreover, the architecture and symbols show how the

Cirebon Sultanate is full of monotheistic values found on the twenty Mande Malang

Semirang pillars. Even though the Sultanate of Cirebon is an Islamic Sultanate, it

implemented very inclusive on the dynamics of society and various cultures that came from

outside, and stood on cultural diversity, as well as placed high respect on the beliefs of

others. This resulted in acculturation, especially between Tionghoa culture and Cirebon

culture in the Cirebon Sultanate. Thus, this study concludes that Tionghoa culture and

Cirebon culture in the Cirebon Sultanate are united in the form of acculturation, instead of

assimilation or diffusion.

Keywords: Acculturation, Tionghoa culture, Cirebon culture, Cirebon Sultanate

v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

A. Konsonan

B. Vocal

1. Vocal Tunggal

Tanda Nama Huruf

Latin

Nama

Fathah a A

Kasrah i I

Dhammah u U

2. Vocal Rangkap

Tanda Nama Gabungan

Huruf

Nama

Fathah a A

Kasrah i I

Contoh:

H{aul : زي H{usain : زغ١

C. Ta’ Marbut}ah

Transliterasi ta‟ marbut}ah ditulis dengan “ha”, baik dirangkai dengan

b = ة

t = د

th = س

j = ج

h{ = ذ

kh = ش

d = د

dz = ر

r = س

z = ص

s = ط

sh = ػ

s} = ص

d} = ض

t} = ط

z = ظ

ع = „

g = ؽ

f = ف

q = ق

k = ن

l = ي

m =

n =

w =

h =

y =

vi

kata sesudahnya maupun tidak, contoh (شأح), madrasah (ذسعخ)

Contoh:

al-Madi>nah al-Munawwarah :اذ٠خ اسح

D. Shadda>h

Shaddah atau tashdid ditransliterasi, dilambangkan dengan huruf, yaitu

huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah tersebut.

Contoh:

<Rabbana : سثب

Nazzala : ضي

E. Kata Sandang

Kata sandang “اي” dilambangkan berdasar huruf yang mengikutinya, jika

diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan

ditulis “al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya “اي” ditulis

lengkap baik menghadapi al-Qamariyah contoh kata al-Qamar (امش)

maupun al-Syamsiyah seperti kata al-Rajulu (اشخ).

Contoh:

al-Qalam : ام al-Syams : اشظ

F. Pengecualian Transliterasi

Pengecualian transliterasi adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim

digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa

Indonesia, seperti lafal هللا, Asmaul Husna dan Ibn, kecuali

menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan

konsistensi dalam penulis.

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,

taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga tetap

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan keluarganya.

Atas izin dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

disertasi yang berjudul “Akulturasi Budaya Tionghoa dan Budaya Cirebon di

Kesultanan Cirebon”. Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih jauh

dari kata sempurna. Namun, terlepas dari semua kekurangan yang ada, penulis

secara pribadi mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua

pihak yang turut andil memberikan dukungan, baik moril maupun materil,

sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan penuh hormat, penulis

sampaikan kepada Rektor UIN Syarif Hidayutllah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany

Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., beserta jajarannya, Direktur Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. H. Asep Saefudin Jahar,

M.Phil. Begitu pula halnya kepada Dr. H. Hamka Hasan, Lc., MA selaku Wakil

Direktur, Prof. Dr. H. Didin Saepudin, MA selaku Ketua Program Studi Doktor

dan H. Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya juga disampaikan

kepada Prof. Dr. H. Didin Saepudin, MA dan Prof. Dr. H. M. Ikhsan Tanggok,

M.Si selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan, arahan, petunjuk, saran dan kritik membangun secara kontinue kepada

penulis sehingga penyusunan disertasi ini bisa sampai pada ujian pendahuluan.

Kesediaan kedua pembimbing dalam melakukan sharing dan berdiskusi secara

langsung tentang konsep yang dibahas dalam disertasi ini mempermudah penulis

dalam menuangkan pikiran secara sistematis dan terarah sehingga menghasilkan

tulisan ini meski masih ditemukan banyak kekurangan yang harus diperbaiki lagi.

Penulis juga tidak lupa sampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh

Civitas Akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mulai

dari para dosen yang telah melakukan tranformasi ilmu kepada penulis sehingga

menjadi bekal yang baik dalam memperkuat konsep keilmuan dan aplikasinya.

Juga kepada seluruh Pegawai dan Staf Sekretariat dan Staf Pepustakaan Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh dedikasi

mereka melayani mahasiswa dengan ikhlas dalam menyiapkan berbagai

kebutuhan dan fasilitas yang dibutuhkan sehingga penyelesaian disertasi ini

berjalan secara berkesinambungan.

Kepada orang tua penulis ayahanda H. Mahsus dan Ibunda H. Rohmah,

terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan atas jasa, support dan doa yang

tiada henti-hentinya, serta limpahan kasih sayangnya. Juga ucapan terima kasih

kepada adik-adikku dan keluarga besar H. Amir yang telah memberikan

dukungan, do‟a, dan kasih sayangnya, sehingga dapat menjadi spirit dan motivasi

bagi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Kepada anak-anakku tersayang,

Nadia Ashfia Zahra, Hasymi Naseem Al-Farabi, dan Atiya Azkia Zahra yang

dengan tulus selalu memberikan dukungan, semangat, dan kasih sayangnya

viii

sehingga studi ini bisa selesai. mohon maaf sayang, bunda tidak bisa selalu

mendampingi dan menemani kalian. Berkat motivasi dari merekalah, penulis

dengan segala tantangan dan lika-liku hidup yang dihadapi, utamanya dalam

menyusun disertasi ini, bisa terselesaikan. Semoga Allah senantiasa memberikan

balasan yang setimpal kepada kita, sehingga kesuksesan selalu menyertai kita

semua.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya

kepada Kementrian Agama selaku pemberi beasiswa tahun 2017-2020, sehingga

dapat mengikuti pembelajaran dan menyelesaikan program doktor di SPS UIN

Jakarta. Juga kepada ketua Yayasan Sasmita Jaya Group, Rektor Universitas

Pamulang beserta jajarannya, Dekan Fakultas Sastra dan Ketua Prodi Sastra

Inggris atas support dan kesempatan yang diberikan, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi program Doktor di UIN Syarif Hidayatullah.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pamanda Dr. H. Masduki, Dr.

Imam Syafii, Kyai Ahmad Rusydi atas support dan perhatiannya. buat teman-

teman angkatan 2017 program doctor, teman-teman dosen UNPAM/STMIK

Eresha, teman-teman Persada Nusantara, dan teman-teman DPW Adpisi DKI,

support, perhatian, kasih sayang, persaudaraan dan kebersamaan yang selama ini

terjalin menjadi energi tersendiri buat penulis. Kepada adinda Sabil Mokodenseho

dan Yunus yang telah banyak membantu penulis dalam setiap kesulitan, baik

kesulitan dalam bidang akademik maupun kesulitan-kesulitan lainnya,

jazakumullah khoirol jaza….

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para informan; Dr. Opan,

Bapak Permadi S.H., Drh. Bambang Irianto, Bapak Ajat, Bapak Hafidz, dan

Bapak Jazuli, yang telah banyak membantu dan bersedia untuk meluangkan

waktunya di sela-sela pekerjaan untuk membantu penulis dalam melakukan

penelitian di Kesultanan Cirebon.

Akhirnya, penulis sadar bahwa dalam penulisan disertasi ini masih banyak

kekurangan, kekeliruan, dan kealfaan dalam berbagai aspek sehingga mengurangi

kebulatan dan keutuhan isi serta kandungan disertasi ini di mata pembaca. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang konstruktif

untuk memperbaiki dan menyempurnakan disertasi ini. Semoga Allah SWT selalu

menyertai langkah amal usaha kita dengan rahmat dan hidayahnya. Amin Ya

Rabbal Alamin.

Jakarta, 05 Januari 2021

Penulis,

Mukhoyyaroh

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................ i

Abstrak ........................................................................................................................ ii

Pedoman Transliterasi Arab Latin ............................................................................ v

Kata Pengantar ............................................................................................................ vii

Daftar Isi ...................................................................................................................... ix

Daftar Gambar ............................................................................................................ xi

Daftar Singkatan ......................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Pemasalahan .................................................................................... 18

1. Identifikasi Masalah .................................................................. 18

2. Perumusan Masalah ................................................................... 19

3. Pembatasan Masalah ................................................................. 19

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 19

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ................................................ 20

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................. 20

F. Metode Penelitian ............................................................................ 27

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 30

BAB II INTERAKSI BUDAYA: TIONGHOA, NUSANTARA

DAN ISLAM ............................................................................................. 31

A. Konsep Kebudayaan: Akulturasi, Asimilasi dan

Difusi ............................................................................................... 31

B. Kedatangan Etnis Tionghoa: Jejak Cheng Ho dan

Muslim Tionghoa ............................................................................ 55

C. Pra Kolonial: Muslim Tionghoa sebagai Budaya

Hibrida ............................................................................................. 61

D. Era Kolonial Belanda: Kemunduran Budaya Muslim

Tionghoa-Jawa ................................................................................ 65

BAB III SEJARAH KESULTANAN CIREBON ................................................ 69

A. Profil dan Dialektika Kesultanan .................................................... 69

1. Kesultanan Cirebon ................................................................... 69

2. Dialektika Politik dan Islam ...................................................... 75

B. Perkembangan Daerah dan Masyarakat Cirebon ............................ 87

1. Daerah Cirebon .......................................................................... 87

2. Cirebon dalam Lintas Dagang ................................................... 93

3. Cirebon sebagai Basis Syiar Islam ............................................ 98

C. Masuknya Etnis Tionghoa Ke Cirebon ........................................... 105

x

BAB IV RELASI SOSIAL-BUDAYA ETNIS TIONGHOA DAN

MASYARAKAT CIREBON ...................................................... 113

A. Mengenal Budaya Cirebon .............................................................. 113

B. Corak Budaya Tionghoa .................................................................. 118

C. Pergumulan Budaya Tionghoa dan Budaya Cirebon ...................... 129

BAB V BUDAYA TIONGHOA DAN CIREBON DI

KESULTANAN CIREBON: MAKNA SIMBOLIK DAN

FILOSOFIS .......................................................................................... 141

A. Arsitektur Keraton Kasepuhan ........................................................ 143

B. Kereta Kencana Singa Barong ........................................................ 175

C. Batik Cirebon .................................................................................. 188

D. Guha Sunyaragi ............................................................................... 203

BAB VI PENUTUP....................................................................................... 211

A. Kesimpulan ...................................................................................... 211

B. Saran dan Rekomendasi .................................................................. 212

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 213

Glosarium ..................................................................................................................... 249

Indeks ............................................................................................................................ 253

Biografi Penulis ............................................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. : Kebudayaan A dan Kebudayaan B bertemu dalam

Masyarakat, sehingga menghasilkan suatu kebuadayaan

baru (A+B) 50

Gambar 2. : Pembauran dua unsur sosial yang berbeda dan

menghasilkan suatu unsur yang baru 50

Gambar 3. : Pembaruan dua unsur sosial yang berbeda akan

menghasilkan suatu ukuran yang baru 50

Gambar 4. : Struktur Kosmologi Keraton Kasepuhan 145

Gambar 5. : Siti Inggil 146

Gambar 6. : Mande Malang Semirang 156

Gambar 7. : Mande Semar Tinandu 158

Gambar 8. : Mande Pandawa Lima 161

Gambar 9. : Mande Pelinggihan (Pengiring) 165

Gambar 10. : Mande Karesmen 168

Gambar 11. : Tangga Masuk ke Makam Sunan Gunung Jati 170

Gambar 12. : Bagian Depan Tembok Makam Sunan Gunung Jati 173

Gambar 13. : Tembok Depan Makam Astana Gunung Jati 174

Gambar 14. : Kereta Kencana Singa Barong 177

Gambar 15. : Motif Wadasan Mega Mendung 195

Gambar 16. : Motif Sulur Mega Mendung 195

Gambar 17. : Motif Balong Teratai 198

Gambar 18. : Motif Piring Selampad 199

Gambar 19. : Motif Barongsai 202

Gambar 20. : Guha Sunyaragi (Guha Peteng) 205

Gambar 21. : Guha Sunyaragi (Bahan Dasar Batu Karang) 209

xii

DAFTAR SINGKATAN

ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi

PITI : Persatuan Islam Tionghoa Indonesia

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PKI Partai Kumunis

SAW : Shollallahu Alaihi Wasallam

SDI : Sarekat Dagang Islam

SI : Sarkat Islam

SWT : Subhanahu Wa Ta’ala

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945

VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan etnis Tionghoa1 di Indonesia merupakan persoalan yang sangat

menarik dan belum tuntas sampai saat ini. Suryadinata mengatakan masalah etnis

Tionghoa adalah masalah yang rumit, seperti persoalan ekonomi dan politik luar

negeri.2 Karena masalahnya begitu kompleks dan rentang waktunya yang cukup

panjang membuat persoalan yang bersifat historis, kultural, politis dan ekonomis3

menjadi tumpang tindih.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Barat di Nusantara, etnis Tionghoa sudah

melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara4 termasuk Indonesia sejak abad

ke-16 dan awal abad ke-17. Mereka menukarkan barang-barang asal Tiongkok

seperti sutra dan porselen, rempah-rempah, obat-obatan dan barang-barang yang

langka dari kawasan Asia Tenggara.5 Fakta ini dipertegas oleh Azra bahwa

hubungan antara Nusantara dan etnis Tionghoa telah ada sejak pra Islam. Hubungan

itu telah meninggalkan banyak warisan penting dan jejak sejarah di negeri ini.6

Literatur yang berbicara tentang hubungan Indonesia dengan etnis Tionghoa

memang sangat terbatas,7 sehingga awal kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara

belum dapat dipastikan dengan jelas. Ada yang mengatakan telah terjadi kontak

1Dalam disertasi ini, sesuai Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2014 tentang

pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967

tanggal 28 Juni 1967, yang terkait dengan etnis menggunakan kata “Tionghoa”, sedangkan

kata “Tiongkok” digunakan untuk menyebut nama negara. Adapun penggunaan kata “Cina”

digunakan pada kutipan langsung maupun sumber kutipan. 2L. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Indonesia: Pustaka

LP3S, 2002), h. 18. 3C. Setijadi, Ethnic Chinese in contemporary Indonesia: Changing Identity Politics

and the Paradox of Sinification, (Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016), h. 1-11. 4X. Gong, “The Belt & Road Initiative and China‟s influence in Southeast Asia”. The

Pacific Review, vol. 32, no. 4, 2019, h. 635-665.; S. N. Lestari & N. S. Wiratama, “The dark

side of the Lasem maritime industry: Chinese power in opium business in the XIX

century”. Journal of Maritime Studies and National Integration, vol. 2, no. 2, 2018, h. 91-

100.; L. Y. Lim, “Southeast Asian Chinese business: Past success, recent crisis and future

evolution”. Business, Government and Labor: Essays on Economic Development in

Singapore and Southeast Asia, 2017, h. 313. 5B. Wiryomartono, “Urbanism and Ethnic Minority: Chinese Quarters and Society in

Jakarta-Indonesia 1600–Present”. In Traditions and Transformations of Habitation in

Indonesia, (Singapore: Springer, 2020), h. 105-127.; M. S. Heidhues, “Studying the Chinese

in Indonesia: A long half-century”. SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast

Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 601-633. 6Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII-XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:

Mizan, 1994), h. 11.; Azyumardi Azra, Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan

Nusantara abad XVII dan XVIII, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1998), h. 38-43. 7M. I. Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan

Islam Indonesia dan Cina, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 10.

2

dengan etnis Tionghoa dari Dinasti Chou sejak 300 tahun SM. dengan bukti sejarah

berupa elemen kebudayaan seperti dalam kehidupan sosial kultural orang Dayak di

Kalimantan dan masyarakat Ngada di pulau Flores.8 Kemudian, ada temuan benda

pra sejarah seperti kapak dan sepatu di Tiongkok, Siberia dan Eropa Timur.9

Berdasarkan cerita dalam Dinasti Han, pemerintahan Kaisar Wan Ming (1-6 SM)

telah mengenal Nusantara dengan sebutan Huang Tse.10

Vleming menyatakan kontak antara Tionghoa-Indonesia terutama Jawa baru

terjadi awal abad ke-5 M ditandai dengan datangnya seorang pendeta Buddha dari

Tiongkok bernama Fa Hian. Sekitar tahun 413, Fa Hian singgah di Jawa selama

lima bulan dalam perjalanannya ke India. Berdasarkan catatannya, saat itu belum

ada etnis Tionghoa yang menetap di Jawa.11

Kemudian sekitar tahun 671, pendeta

Buddha lainnya yang bernama I-Tsing berangkat dari Canton menuju Nalanda

melalui Sriwijaya, dan menetap di daerah ini selama empat belas tahun.12

Dalam

tulisannya, I-Tsing bercerita tentang adat istiadat serta kejadian yang terjadi di

Sriwijaya.13

Ia juga menceritakan bahwa Raja Sriwijaya menyerahkan hasil-hasil

bumi kepada Maharaja Tiongkok. Bahkan, pada tahun 991, beberapa utusan

Sriwijaya pergi ke Tiongkok dan menetap setahun lamanya di Canton.14

Tidak

heran jika di tahun 1129, Maharaja Tiongkok memberikan gelar raja kepada

penguasa Jawa tersebut. Namun, pengiriman upeti itu seharusnya tidak boleh

dipandang sebagai bukti ketundukan yang satu kepada yang lain sebagaimana Cator

mengatakan bahwa harus ditunjukkan secara garis besar, pengiriman upeti mungkin

pada akhirnya tidak dianggap sebagai bukti konklusif dari keberadaan hubungan

bawahan dalam arti politik.15

Pasca abad ke-8, banyak pedagang Tionghoa yang bertolak ke daerah-daerah

bagian selatan Nusantara untuk mengunjungi pelabuhan Sriwijaya dan pelabuhan

Melayu. Pada tahun 1082, pemerintahan Yuan-Fong, Sung-Hui-Yao mengatakan

bahwa wakil kepala pengangkutan dan wakil kepala urusan dagang menerima surat

dari wakil umum pedagang asing di negara-negara di laut selatan yang ditulis dalam

bahasa Tiongkok. Surat itu berasal dari raja Chan-pei (Jambi), bagian dari San-Fo-

8R. Ratnawati, I. Syah, & S. Arif, “Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang

Dwikewarganegaraan Etnis Tionghoa pada Masa Demokrasi Liberal”. Jurnal Pendidikan

dan Penelitian Sejarah, vo. 1, no. 1, 2013, h. 1-8. 9R. Maulana, “Dakwah dan Etnisitas: Negosiasi Identitas pada Majalah Cheng

Hoo”. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, vol. 19, no. 1, 2013, h. 25-39. 10

M. Taneo, F. A. Ndoen & S. Y. Neolaka, “History of Arrival and Development of

Chinese Ethnic in Kupang”. International Journal of Multicultural and Multireligious

Understanding, vol. 6, no. 5, 2019, h. 356-369.; B. G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran

Politik, (Jakarta: Trans Media, 2008), h. 20. 11

Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu), h.

39. 12

Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara

Islam di Nusantara, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007), h. 81-82. 13

Setiono, Tionghoa dalam Pusaran..., h. 21. 14

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu…, h. 81. 15

W. J. Cator, The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indies,

(Oxford: 1936), h. 2.

3

tsi‟i (Sriwijaya), dan dari puteri raja yang diserahi kekuasaan untuk mengawasi

urusan negara San-Fo-tsi‟i. Mereka mengirimkan perhiasan, rumbia, kamfer, dan

tiga belas potong pakaian.16

Pada saat Sriwijaya tampil dan memerankan kotanya sebagai kota

kosmopolitan sebagai perantara dalam perdagangan Timur jauh dan Timur Tengah,

menurut sumber-sumber Tiongkok, banyak duta Muslim yang dikirim oleh

Sriwijaya ke Kaisar Tiongkok dari abad 10 sampai dengan abad 12 M.17

Hubungan

diplomatik dengan Kekaisaran Tiongkok tidak hanya dilakukan Sriwijaya, tetapi

juga Kerajaan Borneo. Kerajaan di Borneo Barat mengirim beberapa utusannya

yang salah satunya bernama P‟u A-Lu–Hsieh (Abu Abdullah) ke istana Sung. Duta

ini sebenarnya adalah seorang pedagang Arab yang kapalnya sedang berlabuh di

muara sungai Kerajaan Borneo Barat, dan diminta oleh penguasa setempat untuk

memimpin delegasi duta-dutanya ke istana Sung di Tiongkok.18

Hubungan erat yang terjalin antara etnis Tionghoa dan Nusantara disebabkan

oleh faktor perdagangan internasional.19

Hubungan itu didorong oleh

berkembangnya tiga kerajaan besar sejak abad ke-7 M. yakni Dinasti Tang di

Tiongkok, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat (Timur

Tengah).20

Etnis Tionghoa membawa berbagai jenis barang dagangan seperti

porselen, kapur barus, sutera, produk pabrik (kain, satin, brocade, dan pakaian

berbahan katun dan sebagainya). Transaksi jual beli terjadi di sepanjang pantai utara

Jawa yang dikenal sebagai bandar perdagangan.21

Pasca runtuhnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, arus perniagaan etnis

Tionghoa bergeser ke Jawa Timur tepatnya di Keling (Ho-Ling) pada abad ke-7,

dan berkembang pesat pada masa Kerajaan Panjalu (Daha atau Kediri). Sebelumnya

Raja Darmawangsa (991-1007) sudah meletakkan dasar-dasar dan membuka

hubungan diplomatik serta hubungan dagang dengan etnis Tionghoa.22

Hubungan

16

J. Leijten, “Mauro Jambi, the Capital of Srivijaya: According to the writings of I-

Tsing, Chau Ju-kua and Resent”. Studies and Archaeological Findings, 2017, h. 1-44. 17

S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal

Ahimsya Karya Press, 2003), h. 75. 18

W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from

Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), h. 108-110. 19

M. Stuart-Fox, “Southeast Asia and China: The role of history and culture in shaping

future relations”. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic

Affairs, vol. 26, no. 1, 2004, h. 116-139. 20

A. Ibrahim, “Islam in Southeast Asia”. Ar Raniry: International Journal of Islamic

Studies, vol. 5, no. 1, 2018, h. 40-52.; S. M. Imamuddin, “Arab Mariners and Islam in China

(Under the Tang Dynasty 618-906 AC)”. Journal of the Pakistan Historical Society, vol. 32,

no. 3, 1984, h. 155.; Y. Chang, “The Ming Empire: Patron of Islam in China and Southeast-

West Asia”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 61, no. 2,

1988, h. 1-44. 21

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di

Indoneisa, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 142-144. 22

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-orang Besar di Tanah Air,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 21.

4

dagang antara Tionghoa dan Panjalu di abad 12 berkembang cukup pesat, dan terus

berlanjut sampai masa kepemimpinan Ken Arok yang bergelar Raja Rajasa (1222

M).23

Hubungan antara Nusantara dan Tiongkok juga terjadi pada masa Kaisar

Mongol Kubilai Khan. Sejak tahun 1280, Jawa menjadi salah satu daerah yang

mendapat perhatiannya. Sebagaimana negeri-negeri lain, ke pulau Jawa juga dikirim

utusan pertama untuk menyuruh negeri itu takluk kepadanya dan supaya Raja-raja

Jawa datang ke Tiongkok untuk menyampaikan hormat mereka. Namun,

Kertanegara sebagai Raja Singosari merasa dirinya besar pula dan tidak

memerdulikan desakan tersebut. Lama kelamaan Kertanegara merasa dirinya jemu

dengan desakan Kubilai Khan yang berkali-kali. Akhirnya, Kartanegara menyuruh

untuk membuat cacat muka utusan Tiongkok itu yang bernama Meng Ki. Hal itu

menimbulkan kemarahan Kubilai Khan. Akhirnya Tiongkok mengirim ekspedisi

untuk menghukum Kertanegara dengan pasukan berjumlah 20.000 orang pada tahun

1293. Namun, sesampainya di Jawa, Raja Kertanegara ternyata telah dibunuh oleh

Djayakatwang dari Kediri. Raden Widjaya yang tidak lain adalah menantu

Kertanegara adalah pribadi yang cukup cerdik untuk menjadikan tentara Mongol

sebagai sekutunya. Dengan keadaan ini mereka bersatu untuk menyerang Kediri.

Setelah peperangan yang hebat, Kediri pada akhirnya dapat dikalahkan. Ketika

tentara Mongol hendak pulang ke negerinya, secara tiba-tiba Raden Widjaya beserta

pasukannya menyerang tentara Mongol yang mengakibatkan korban sekitar 3000

tentara Tiongkok.24

Penulis berpendapat bahwa expedisi Mongol tanpa disengaja

telah membantu Raden Wijaya untuk mendirikan Majapahit.

Pada masa Dinasti Ming hubungan antara Nusantara dan Tiongkok kembali

membaik yang sebelumnya sempat terganggu dengan invasi tentara Mongol ke

Jawa. Hal ini dibuktikan dengan diutusnya Cheng Ho untuk memimpin ekspedisi

muhibbah.25

Gaya keramik peninggalan Majapahit yang ditemukan dalam sebuah

penggalian membuktikan pengaruh seni Tionghoa. Menurut catatan tahunan

Melayu, banyak tukang yang berasal dari Tiongkok bekerja di istana Majapahit.26

Hubungan ini menemui puncaknya pada masa Dinasti Ming. Banyak komunitas

Tionghoa yang memegang peran sentral, baik dalam sektor politik maupun

ekonomi, juga di antara mereka ada yang menjadi juru dakwah Islam. Sampai akhir

abad ke-15, tidak kurang dari 43 duta dari Jawa di kirim ke Tiongkok, dan 41 di

antaranya terjadi selama kurang lebih satu abad (1370-1465). Al Qurtuby melihat

hubungan “mesra” itu tidak hanya disebabkan karena faktor ekonomi dan politik,

tetapi hubungan yang dibangun berdasarkan persamaan ideologi.27

Di masa Dinasti Ming (1405-1433), Kaisar Yung-Le memerintahkan Cheng Ho

untuk melakukan kunjungan persahabatan ke negara-negara di Asia Tenggara.

Ekspedisi pertamanya dilakukan pada tahun 1405, ia singgah di bandar Samudera

23

Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 76-77. 24

H. J. de Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan

Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 146. 25

Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur…, h. 28. 26

De Graaf, Cina Muslim..., h. 146. 27

Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 80-81.

5

Pasai dan bertemu dengan Sultan Samudera Pasai bernama Zainal Abidin Bahian

Syah untuk mengadakan hubungan politik dan dagang. Setelah adanya hubungan

baik itu, maka semakin banyak pedagang Tionghoa yang datang ke Samudera Pasai

dan banyak di antara mereka melakukan perkawinan dengan penduduk setempat.28

Menurut prasasti Tain Fei Ling Ying Zhi Ji29

(Catatan tentang Kemujaraban Dewi

Sakti), Cheng Ho melakukan perjalanan muhibbah sebanyak tujuh kali.30

Tjandrasasmita mengatakan sebelum kedatangan Cheng Ho ke Nusantara di abad

ke-15, etnis Tionghoa Muslim sudah aktif di Indonesia. Dalam menjalankan misi

dari Dinasti Ming, perjalanan serta pelayaran yang dilakukannya mempunyai arti

penting bagi rakyat Tiongkok. Ekspedisi pelayaran Cheng Ho membawa 63 unit

kapal dengan awak kapal berjumlah sekitar 27.000. Pengaruh yang dihasilkan dari

pelayarannya tidak hanya dirasakan rakyat Tiongkok saja, namun juga umat Islam

Nusantara, termasuk Indonesia sekarang ini.31

Kesuksesan besar dari pencapaian Cheng Ho dalam misi pelayarannya di

samping faktor kekuatan militer, juga karena didukung identitasnya sebagai seorang

Muslim. Identitas keislaman mampu menjadi perekat sosial dan menciptakan

solidaritas emosional dalam wilayah “jaringan Muslim” di pesisir Samudra Hindia

ketika itu. Bersamaan dengan misi pelayaran, agama Islam sudah menguasai hampir

di setiap pos strategis perdagangan.32

Ma Huan dalam Ying-yai Seng-Lan, ketika

mendarat di Jawa, mendapati etnis Tionghoa Muslim. Mereka melakukan salat dan

berpuasa pada bulan Ramadhan.33

Di sisi lain, kehadiran Cheng Ho mendorong

semangat keislaman penduduk lokal, khususnya daerah yang baru berkenalan

dengan Islam. Kehadiran armada Cheng Ho selalu disambut dengan antusias oleh

penduduk setempat dan pemuka agamanya, sebagaimana yang ditunjukkan Maulana

Malik Ibrahim (w. 1419), salah seorang wali yang tinggal di Gresik, menerima

rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho juga tidak memaksa pengikutnya

yang ingin tinggal menetap di Jawa untuk bergabung dan membaur dengan

komunitas Islam lainnya guna menyebarkan Islam. Hampir setiap wilayah pesisir

yang disinggahinya, Cheng Ho selalu menempatkan etnis Tionghoa Muslim di

daerah-daerah seperti di Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Tuban,

Gresik dan Surabaya.34

Kedatangan Cheng Ho ke berbagai daerah di Nusantara memberikan kemajuan

dalam berbagai bidang seperti bercocok tanam, alat bajak dari besi, beternak,

28

Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu..., h. 83-84 29

Prasasti ini dibangun oleh Cheng Ho di Changle Provinsi Fujian (Hokkian). 30

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di

Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), h. 60-61. 31

Uka Tjandrasasmita, “Laksamana Cheng Ho dan Penyebaran Islam di Asia Pasifik”,

Seminar Internasional Fakultas Dakwah IAIN Jakarta, 28 Agustus 1993. 32

Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 89. 33

Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433).

Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‟eng Chun, (Cambridge: The University

Press for the Hakluyt Society, 1970), h. 93.; Lihat juga Claudine Salmon, “The Chinese

Community of Surabaya, from Its Origins to the 1930s Crisis”. Chinese Southern Diaspora

Studies, vol. 3, 2009, h. 23. 34

Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 91

6

perdagangan seni ukir, seni bangunan (arsitektur) dan seni budaya lainnnya.

Bahkan, bangsa Indonesia hingga saat ini masih memanfaatkan produk dari hasil

pengetahuan etnis Tionghoa seperti tahu, tauco, mie, bihun, kwetiaw, kecap,

bakpao, bakso, bakpia, capcay, kain sutra, keramik, porselen, kembang api, mercon,

dan sebagainya. Sementara itu, dari Nusantara Cheng Ho membawa tanaman kayu

manis, lada, cengkeh, dan sebagainya.35

Dalam konteks kedatangan awal etnis

Tionghoa di Nusantara menurut Hidayat pada umumnya mereka hanya terdiri dari

laki-laki saja, dan keadaan ini berlangsung sampai berakhirnya Perang Dunia I.36

Etnis Tionghoa kemudian mengadakan perkawinan dengan perempuan lokal,

baik dengan perempuan bangsawan maupun rakyat biasa. Dari perkawinan silang

tersebut muncul istilah “Cina peranakan” sebagai imbangan dari “Cina totok”.37

Di

era pra kolonial, tradisi ini dikenal dengan “kawin silang” antara Tionghoa-Jawa.

Bahkan, banyak orang Jawa yang bangga menyatakan dirinya sebagai keturunan

Tionghoa. Raynal dalam Histoire Philosophique et Politique sebagaimana dikutip

Lombard menulis penduduk pulau Jawa menganggap dirinya keturunan Tionghoa,

meskipun agama dan adat istiadatnya tidak lagi sama.38

Sementara Pires memberi

kesaksian tentang keharmonisan etnis pribumi dan Tionghoa, bahkan Pires melihat

ada penguasa Tionghoa yang memberikan anak perempuannya kepada vasal39

Jawa

untuk dinikahi.40

Pasca kedatangan Belanda ke Indonesia, tradisi ini lambat laun lenyap. Belanda

memisahkan pribumi Jawa dan Tionghoa yang dianggap sebagai “orang asing dari

Timur”. Pemisahan ini terjadi setelah etnis Tionghoa dianggap oleh Belanda sebagai

pesaing utama dalam bidang perdagangan. Puncaknya terjadi pada Oktober 1740

ketika Belanda melakukan pembantaian massal yang dikenal dengan chinezenmoord

(pembantaian etnis Tionghoa), dimana ribuan orang dibunuh dan ratusan rumah

dibakar.41

Pada saat etnis Tionghoa yang ada di Jawa mengalami pembantaian massal

oleh Belanda, Kekaisaran Tiongkok saat itu sudah beralih ke Dinasti Manchu tidak

memerdulikan nasib etnis Tionghoa, bahkan mereka menganggap etnis Tionghoa

rantau tidak ada hubungannya dengan etnis Tionghoa daratan. Bangsa Manchu

sangat antipati terhadap Islam, bahkan mereka khawatir melihat perkembangan

35

Yuanzhi, Muslim Tionghoa…, h. 20-21. 36

Z. M. Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, (Bandung: Tarsito,

1984), h. 75. 37

Liem Tian Joe, Riwayat Semarang 1416-1931, (Semarang: 1933), h. 12. 38

Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, (Jakarta: 1996), h. 46-

47. 39

Vasal adalah seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang

berkuasabiasanya dalam bentuk dukungan militer, perlindungan bersama (mutual

protection), atau pemberian upeti, dan menerima jaminan jaminan serta imbalan tertentu

sebagai gantinya. Sistem ini telah ada sebelum hingga berakhirnya feodalisme di Eropa pada

abad pertengahan. Selain di Eropa, sistem ini juga ditemukan pada kekaisaran Mongolia,

Jepang (Gokenin), dan lainnya. 40

Tome Pires, Suma Oriental, edited & translated by Armando Cortesso, (London:

1944), h. 179. 41

Wiryomartono, “Urbanism and Ethnic…, h. 105-127.

7

Tionghoa Muslim perantauan di Asia Tenggara, yang dianggap bisa mengancam

eksisitensi Konfusianisme dan Taoisme sebagai agama leluhur mereka. Untuk itu

mereka menarik secara besar-besaran Jung-jung yang ada di Asia Tenggara sampai

ke Asia Timur dan pantai barat India untuk dibakar.42

Karena merasa punya

kesamaan “visi dan misi”, Belanda mengadakan koalisi dengan pemerintah

Tiongkok untuk mendatangkan etnis Tionghoa yang berhaluan Konfusius (non

Islam) untuk dipekerjakan di sektor pertanian (Jawa), perkebunan (di Kalimantan),

pertambangan (di Sumatera) dan lain-lain. Pengiriman gelombang imigran dari

Tiongkok itu di samping menguntungkan Belanda secara ekonomi juga sejalan

dengan keinginan pemerintah Tiongkok untuk memutus historisitas Tionghoa

Muslim di Jawa khususnya.43

Itulah sebabnya kenapa di Jawa atau di Indoneisa

pada umumnya yang tampak adalah Konfusianisme ketimbang Islamnya.

Imigran Tionghoa yang datang ke Nusantara sudah pula membawa isteri dan

anak-anaknya, mereka kebanyakan berasal dari suku Hokkian, Hakka dan Canton.

Sampai pertengahan abad ke-19, suku Hokkian merupakan dominant group,

menyebar ke seluruh wilayah Nusantara untuk bertani dan berdagang, serta sebagai

tukang, buruh perkebunan dan pertambangan.44

Pada masa kolonial Belanda memerintah, mereka membuat kebijakan yang

sangat rasialis dengan membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Orang Eropa

diposisikan sebagai warga kelas satu, etnis Tionghoa termasuk dalam warga Timur

Asing atau warga kelas dua, dan penduduk asli (pribumi) diposisikan sebagai kelas

yang paling akhir. Nugrahanto mengatakan Belanda juga menciptakan kawasan

pecinan untuk etnis Tionghoa. Mereka hanya boleh tinggal di daerah pecinan dan

tidak boleh tinggal berbaur dengan masyarakat pribumi.45

42

A. Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), h.

110. 43

C. I. Ratnapuri, “Chinese Ethnic Perspective on the Confucius Values of Leadership

in West Java Fuqing Organization”. Pertanika Journal of Social Sciences &

Humanities, vol. 28, 2020.; R. Theo & M. W. Leung, “China‟s Confucius Institute in

Indonesia: Mobility, Frictions and Local Surprises”. Sustainability, vol. 10, no. 2, 2018, h.

530.; E. Sutrisno, “Confucius is Our Prophet: The Discourse of Prophecy and Religious

Agency in Indonesian Confucianism”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast

Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 669-718. 44

V. Purcel, The Chinese in Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Oxford University Press,

1962), h. i.; K. Ismail, “Imperialism, Colonialism and their Contribution to the Formation of

Malay and Chinese Ethnicity: An Historical Analysis”. Intellectual Discourse, vol. 28, no. 1,

2020, h. 171-193.; J. Stenberg, “From the (Tang) General to the (Jakarta) Specific: Xue

Rengui across Time and Space”. Asian Studies Review, 2020, h. 1-19.; H. Y. Kuo, “South

Seas Chinese in Colonial”. Framing Asian Studies: Geopolitics and Institutions, 2018, h.

231. 45

Widyo Nugrahanto, Bertahan di Perantauan: Wacana Cina Muslim di Nusantara

Abad ke 15 dan ke 16, (Bandung: Uvula Press, 2007), h. 166-167.; Lihat juga S. Sudjarwo,

& P. Pujiati, “The Shifting Tradition of Ethnic Chinese Weddings at Pecinan Village Bandar

Lampung City”. Research on Humanities and Social Sciences, vol. 8, no. 12, 2018, h. 58-

65.; D. Rizaldi, “Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown

Bandung”. International Journal Pedagogy of Social Studies, vol. 3, no. 2, 2018, h. 133-141.

8

Penulis melihat sebagaimana Nugrahanto di atas bahwa kebijakan pemerintah

Belanda dengan membentuk kawasan pecinan dimaksudkan supaya Belanda lebih

mudah mengawasi gerak-gerik mereka, juga agar hubungan baik antara etnis

Tionghoa dan rakyat pribumi menjadi retak. Sebab, Belanda khawatir jika etnis

Tionghoa bersatu dengan pribumi akan menjadi sebuah kekuatan baru yang bisa

mengancam eksistensi mereka.

Dengan tinggalnya etnis Tionghoa di kawasan pecinan membuat mereka

merasa berbeda dengan pribumi. Begitupun etnis pribumi merasa berbeda dengan

etnis Tionghoa. Pada akhirnya, perasaan berbeda itu tidak menciptakan perasaan

kebersamaan, yakni tidak ada lagi sense of belonging dan sense of care di antara

mereka. Keadaan ini membuat pemerintah Belanda dengan mudah menguasai

dengan memanfaatkan kondisi yang ada. Politik Devide et Impera46

yang diciptakan

Belanda berhasil memecah belah hubungan antara etnis pribumi dan Tionghoa.

Sejak saat itu, sikap diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terjadi, bahkan sebagian

masih terjadi hingga kini.47

Dengan kebijakan politik sebagaimana disebutkan, etnis

Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab dan India digolongkan

sebagai golongan timur asing.

Pada masa kemerdekaan, golongan timur asing dianggap sebagai warga negara

Indonesia apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan setia pada

negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945, Bab X, Pasal 26, Ayat 1.

Namun, pada pelaksanaannya ada perlakuan yang berbeda bagi etnis Arab, karena

agamanya sama dengan yang dipeluk mayoritas masyarakat Indonesia, maka

mereka dianggap “pri” (pribumi) atau bahkan “asli”, sedangkan etnis Tionghoa,

karena agamanya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budhis dan Nasrani, termasuk

juga etnis India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani,

dianggap “non pri”. Dengan stigma “non pri”, kedudukan mereka yang bukan

pribumi, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan,

pada masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan presiden yang

menekan, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi paksa, sehingga

sebagai etnis mereka tidak boleh mengekspresikan budayanya. Beberapa peraturan

tersebut dapat dilihat dalam beberapa Keputusan Pemerintah Indonesia, seperti

Pelarangan Sekolah dan Penerbitan Surat Kabar Berbahasa Cina; keputusan

Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang Penggantian Nama; Instruksi

Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama dan Kepercayaan serta Adat Istiadat

Keturunan Cina; Keputusan Presiden No. 240/1967 tentang Kebijakan Pokok

46

K. Saddhono & S. Supeni, “The Role of Dutch Colonialism in the Political Life of

Mataram Dynasty: A Case Study of the Manuscript of Babad Tanah Jawi”. Asian Social

Science, vol. 10, no. 15, 2014, h. 1-7. 47

S. Lubis & R. Buana, “Stereotypes and Prejudices in Communication between

Chinese Ethnic and Indigenous Moslem in Medan City, North Sumatra Province–

Indonesia”. Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, vol.

2, no. 2, 2020, h. 513-522.; S. Turner & P. Allen, “Chinese Indonesians in a rapidly

changing nation: Pressures of ethnicity and identity”. Asia pacific viewpoint, vol. 48, no. 1,

2007, h. 112-127.; C. Y. Hoon, “Assimilation, multiculturalism, hybridity: The dilemmas of

the ethnic Chinese in post-Suharto Indonesia”. Asian Ethnicity, vol. 7, no. 2, 2006, h. 149-

166.

9

menyangkut WNI Keturunan Asing; dan Instruksi Presidium Kabinet No.

37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina.48

Kategorisasi pribumi dan non pribumi yang direproduksi selama masa Orde

Baru membuat etnis Tionghoa semakin mengeksklusifkan diri. Akan tetapi,

serangkaian usaha pembatasan ini juga diiringi dengan langkah pemerintah yang

mendukung komunitas etnis Tionghoa untuk melakukan ekspansi bisnis dalam

segala sektor. Komunitas etnis Tionghoa di Indonesia lebih mengedepankan

hubungan kekerabatan inter-etnis daripada membangun relasi dengan masyarakat

lokal tempat mereka bermukim. Dalam sudut pandang sebagian masyarakat lokal,

kecenderungan etnis Tionghoa untuk mengeksklusifkan diri memperuncing

segregasi, karena mayoritas etnis Tionghoa dominan dalam sektor ekonomi.49

Kebijakan asimilasi50

secara menyeluruh diterapkan selama pemerintahan Orde

Baru (1966-1998). Pemerintah menegaskan bahwa warga negara Indonesia

keturunan Tionghoa harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat

Indonesia asli.51

Namun, dalam praktik seringkali asimilasi berjalan dengan kabur

dan bertentangan, bahkan beberapa kebijakan Orde Baru cenderung anti-asimilasi

karena pertimbangan kondisi politis. Sebagai contoh, toleransi terhadap agama-

agama minoritas dan pembedaan antara pribumi dan non pribumi cenderung

malahan memilah, dan bukan mempersatukan etnis Tionghoa dan orang Indonesia

48

A. Dawis, “Chinese Education in Indonesia: Developments in the Post-1998

Era”. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, h. 75-96.; L. Suryadinata,

“Indonesian State Policy Towards Ethnic Chinese: From Assimilation to

Multiculturalism”. Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture and Multiculture, 2004,

h. 1-16.; A. Freedman, “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in

Indonesia”. Asian Ethnicity, vol. 4, no. 3, 2003, h. 439-452. 49

D. Susilo, “Chinese Cultural Values and its Influence on Chinese Indonesian

Entrepreneurial Culture”. Asian People Journal (APJ), vol. 3, no. 1, 2020, h. 201-208.; M.

Z. Tadjoeddin, “Inequality and Exclusion in Indonesia”. Journal of Southeast Asian

Economies, vol. 36, no. 3, 2019, h. 284-303.; H. Liu & Y. Zhou, “New Chinese Capitalism

and the ASEAN Economic Community”. In The sociology of Chinese capitalism in

Southeast Asia, (Palgrave Macmillan, Singapore, 2019), h. 55-73. 50

Asimilasi adalah proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya dua

kebudayaan yang asli, atau kebudayaan yang lama tidak nampak lagi. Koentjaraningrat

mendefinisikan pembauran sebagai suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan

manusia dengan latar kebudayaannya yang berbeda. Setelah mereka bergaul secara intensif,

sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan

campuran. Lihat D. Parisi, F. Cecconi, & F. Natale, “Cultural Change in Spatial

Environments: the Role of cultural assimilation and internal changes in cultures. Journal of

Conflict Resolution, vol. 47, no. 2, 2003, h. 163-179.; M. C. Dato-on, “Cultural Assimilation

and Consumption Behaviors: A Methodological Investigation”. Journal of Managerial

Issues, 2000, h. 427-445.; J. M. Yinger, “Toward a Theory of Assimilation and

Dissimilation”. Ethnic and Racial Studies, vol. 4, no. 3, 1981, h. 249-264. 51

G. Dwipayana dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya,

(Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), h. 279.

10

asli.52

Artinya, etnis Tionghoa tetap terpisah dari komunitas tuan rumah

(Indonesia).53

Jadi, menurut penulis dalam prakteknya tidak terjadi pembauran.

Kebijakan asimilasi yang digaungkan pemerintah Orde Baru menurut beberapa

pengamat gagal karena tidak diikuti dengan produk-produk hukum yang

mendukung terjadi pembauran, sehingga kebijakan asimilasi tidak membuahkan

hasil yang yang maksimal. Sama hal juga dengan program yang dijalankan mantan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencoba mengindonesiakan etnis

Tionghoa adalah bukan solusi yang tepat. Pembauran menurut Kite harusnya

dipusatkan pada usaha memperbaiki hubungan antar dua kelompok. Pembauran

bukan berarti tanpa perbedaan; pembauran bukan berarti kehilangan kebudayaan,

biarkan pembauran berjalan secara alami.54

Pasca jatuhnya Soeharto yang diawali oleh demonstrasi massif dari mahasiswa

dan kerusuhan anti- Tionghoa pada Mei 1998 membuat konsep asimilasi pemerintah

Indonesia mengalami perubahan secara bertahap, yang puncaknya terjadi pada masa

Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur55

menetapkan konsep bangsa Indonesia

yang non-rasial. Lebih lanjut Ia mengatakan Indonesia terdiri dari berbagai etnik

yang membentuk kebangsaan kita. Salah satu etnik tersebut adalah etnis Tionghoa

sebagai bagian terpadu dari bangsa Indonesia. Ia mengakui etnis Tionghoa dalam

aspek budaya termasuk agama dan kepercayaan mereka, juga tidak melihat

kontradiksi antara etnisitas Tionghoa dan konsep bangsa Indonesia. Meskipun

demikian, ia menekankan arti pentingnya kesetiaan politik dan penerimaan atas

nasionalisme Indonesia yang harus dimiliki oleh mereka.56

Dengan kata lain, konsep

ini memberi pengakuan keberadaan budaya etnis sebagai bagian dari budaya

Indonesia dengan memberikan kebebasan kepada masing-masing etnis untuk

mengekspresikan budayanya.

52

L. Suryadinata, “Chinese Indonesians in Post-Suharto Indonesia: Democratisation

and Ethnic Minorities by Chong Wu-Ling”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast

Asia, vol. 35, no. 1, 2020, h. 165-168.; H. Kurniawan, “Ethnic Chinese during the New

Order: Teaching Materials Development for History Learning based on

Multiculturalism”. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 30, no. 1, 2020, h. 46-54.; W.

Wasino, S. Putro, A. Aji, E. Kurniawan & F. A. Shintasiwi, “From Assimilation to Pluralism

and Multiculturalism Policy: State Policy Towards Ethnic Chinese in Indonesia”. Paramita:

Historical Studies Journal, vol. 29, no. 2, 2019, h. 213-223. 53

D. F. Anwar, “Indonesia-China Relations: Coming Full Circle?. Southeast Asian

Affairs, no. 1, 2019, h. 145-161. 54

E. Kite, “Chinese Cultural Identity: Suharto's Wisdom and its Success in Achieving

Complete Integration”. In ACICIS Field Report, (Malang: Muhammadiyah University,

2004), h. 1-39. 55

Ketika A. Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, ia

mencabut Peraturan No.14/1967 yang membatasi praktik adat istiadat dan agama etnis

Tionghoa pada tingkat pribadi. Ia juga merayakan Tahun Baru etnis Tionghoa secara terbuka

dengan etnis Tionghoa yang disponsori oleh perhimpunan keagamaan Konghucu Indonesia

(Matakin). 56

A. Wahid, “Beri Jalan Orang Cina”, dalam J. Jahja (peny.), Nonpri di Mata Pribumi,

(Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991). h. 224–228.

11

Secara legal formal konsep di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya

Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Gus Dur

mengeluarkan kebijakan revitalisasi adat istiadat dan kepercayaan Tionghoa

sekaligus mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Kebijakan ini selanjutnya didukung

oleh Presiden Megawati dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari nasional.57

Pergeseran iklim politik tersebut mendorong etnis Tionghoa untuk berpartisipasi

dalam masyarakat Indonesia. Pembauran etnis Tionghoa bisa dilihat dalam

keterlibatan mereka dalam berbagai sektor kehidupan. Persatuan Islam Tionghoa

Indonesia (PITI) sebagai organisasi di internal Tionghoa Muslim melakukan upaya

konsolidasi untuk beradaptasi sekaligus eksistensi. Tionghoa Muslim berbaur

dengan masyarakat dan aktif di berbagai organisasi serta tidak menonjolkan sebagai

etnis Tionghoa.58

PITI menggunakan strategi pendekatan kebudayaan agar efektif dalam

berdakwah, mereka tetap mempertahankan identitas etnis Tionghoa dan beradaptasi

dengan budaya setempat.59

Sunano mengatakan pola dakwah dengan merayakan

Tahun Baru etnis Tionghoa dalam bentuk pengajian Imlek perlu dikembangkan

dengan mengkaji berbagai tradisi kebudayaan Tionghoa yang tidak menjadi bagian

dari ritual agama.60

Dengan melakukan demistifikasi kebudayaan Tionghoa dan

diadopsi menjadi bagian kebudayaan Islam, akan memberikan pengaruh yang

berbeda dalam pola dakwah Islam sekarang yang makin kering budaya dan hanya

berkutat pada doktrin.

Konsep sebagaimana di atas juga direalisasikan di Cirebon karena mereka

memiliki hubungan erat dalam aspek sejarah. Menurut naskah Purwaka Tjaruban

Nagari61

etnis Tionghoa sudah ada di Cirebon jauh sebelum Kesultanan Cirebon

berdiri. Hubungan Keraton Cirebon dengan etnis Tionghoa sudah terjalin lama yang

ditandai dengan keberadaan etnis Tionghoa sejak tahun 1415 M. Peristiwa

monumental itu terjadi pada saat pasukan dari Tiongkok yang dinahkodai Cheng Ho

mendarat di pelabuhan Cirebon dengan membawa pasukan lebih dari 23.000 dengan

57

E. Kuntjara, & C. Y. Hoon, “Reassessing Chinese Indonesian stereotypes: two

decades after Reformasi”. South East Asia Research, 2020, h. 1-18.; S. Suprajitno,

“Reconstructing Chineseness: Chinese Media and Chinese Identity in Post-Reform

Indonesia”. Kemanusiaan: The Asian Journal of Humanities, vol. 27, no. 1, 2020.; Z.

Alkatiri, A. L. Waworuntu, F. Gani & R, De Archellie, “Medan Chinese and Their Stigma:

Grabbing Power in Multicultural Society. International Review of Humanities Studies, vol.

4, no. 1, 2019. 58

E. Purwati & E. F. Rusydiyah, “Transformative Islamic Education of Convert

Chinese Muslim”. Journal of Talent Development and Excellence, vol. 12, no. 1, 2020, h.

164-178. 59

A. Rohman, “Chinese–Indonesian Cultural and Religious Diplomacy”. Journal of

Integrative International Relations, vol. 4, no. 1, 2019, h. 1-24. 60

Sunano, Muslim Tionghoa di Yogyakarta, (Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2017),

h. 325. 61

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986), h. 31.; Lihat juga B. S. Budi,

“Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon) 1972”. Journal of Asian

Architecture and Building Engineering, no. 4, 2005, h.1-8.

12

63 perahu. Filolog Cirebon, Raden Ahmad Rafan Safari Hasyim menjelaskan,

Cheng Ho menginap di Cirebon selama tujuh hari. Dalam waktu singkat tersebut

pasukan Cheng Ho ada yang melakukan perkawinan dengan penduduk Cirebon.

Jadi, hubungan antara Cirebon dan Tiongkok sangat erat dan sudah terjadi jauh

sebelum ada Kerajaan Cirebon.62

Menurut laporan Ma Huan sebagaimana dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan,

Cirebon tertulis dengan nama Che Li Wen.63

Che Li Wen adalah salah satu daerah

yang pernah dikunjungi Cheng Ho beserta pasukannya pada tahun 1415. Kunjungan

ini juga terdapat dalam kitab Purwaka Caruban Nagari yang menyebut istilah

Cirebon berasal dari kata “Caruban”, kemudian “Carbon” dan akhirnya Cirebon.

Caruban berarti campuran, karena tempat itu dahulunya didiami oleh penduduk dari

berbagai bangsa, agama, bahasa dan tulisan mereka menurut bawaannya masing-

masing serta pekerjaan mereka berlainan. Sementara kata “Carbon” menurut para

wali disebut “Puser Jagad” karena Cirebon terletak di tengah-tengah pulau Jawa.

Penduduk setempat menyebut Cirebon dengan sebutan Nagari Gede, lama

kelamaan diucapkan oleh orang kebanyakan menjadi “Garage”, dan selanjutnya

menjadi “Grage”. Menurut penduduk setempat “Grage” berasal dari Glagi yaitu

nama udang kering untuk bahan membuat terasi. Secara bahasa, Cirebon berasal

dari Ci-rebon. “Ci” dalam bahasa Sunda artinya air, sedangkan “rebon” adalah

sejenis udang kecil yang merupakan bahan untuk membuat terasi.64

Berdasarkan peta dunia yang dibuat Diego Ribeiro tahun 1529, Cirebon ketika

itu disebut dengan nama Tjurban. Sementara perjalanan orang-orang Belanda

pertama kali mendarat di Banten tahun 1596. Diberitakan bahwa kota Charabaon

(Cirebon) itu indah dan besar, diperkokoh dengan tembok yang kuat dan terdapat

sungai yang mengandung air tawar. De Haan mengatakan tembok yang

mengelilingi Keraton Cirebon dibuat sekitar tahun 1590 atas prakarsa Senopati

Mataram sebagai tanda perekrutan dengan Panembahan Ratu.65

Lain halnya Pires

yang pernah berkunjung ke Cirebon, dimana ia bercerita tentang kondisi pelabuhan

Cirebon, barang komoditi yang diperjualbelikan serta jumlah penduduk yang ada.

Dari catatan Pires dapat diketahui pada masa itu Cirebon memiliki pelabuhan yang

bagus dan ramai. Banyak kapal yang berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 junk dan

beberapa lancara. Mengenai kapal, Pires hanya mencatat junk dan lancara, sebab

pada masa itu berlaku tradisi menilai sebuah pelabuhan dari kemampuannya

dilabuhi kapal besar yaitu junk dan lancara. Meskipun perahu-perahu kecil tidak

tercatat dalam tulisan Pires, namun keberadaannya dipastikan lebih banyak.

Keramaian pelabuhan Cirebon juga dapat dilihat dari jumlah penduduknya yang

sudah mencapai seribu jiwa dengan lima atau enam saudagar, salah satunya Pate

62

“Sejarah Warga Tionghoa di Cirebon”, dalam Radar Cirebon, 29 Januari 2017.

http://www.radarcirebon.com/tag/sejarah-warga-tionghoa, (Diakses, 23 Januari, 2019). 63

Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian:…, h. 23. 64

Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972),

h. 31.; Lihat juga A. Sobana Hardjasaputra dan Tawalimuddin Haris (ed.), Cirebon dalam

Lima Zaman Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), h.19-20. 65

F. de Haan, Oud Batavia, (Bandung: 1935), h. 38.

13

Quedir seorang saudagar yang cerdik, berani dan dihormati.66

Dari catatan ini juga

dapat diketahui bahwa salah satu barang komoditi Cirebon adalah beras.

Hubungan antara etnis Tionghoa dengan pihak keraton telah terjadi sejak

Syarif Hidayatullah (1479-1568).67

Hubungan di antara mereka menjadi semakin

akrab dengan dipersuntingnya putri Ong Tien sebagai salah satu istri Sunan Gunung

Djati. Ong Tien adalah putri kaisar dari Dinasti Ming. Konon putri ini jatuh hati

pada Sunan Gunung Jati setelah pandangan pertamanya. Walaupun kaisar tidak

mengijinkan namun putri tetap bersikeras pada keinginannya, hingga kaisar

mengijinkannya. Dengan membawa barang-barang berharga dari istana negeri

Tiongkok seperti guci, piring, pot dan benda-benda keramik lainnya, puteri bertolak

ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar Kekaisaran Tiongkok yang dikawal

oleh Panglima Lie Guan Cang dan nakhoda Lie Guan Hian. Setelah sampai di

Cirebon, dilangsungkan pernikahan antara Sunan Gunung Djati dengan putri Ong

Tien. Putri dan para pengawalnya masuk Islam dan beralih nama dengan Ratu Mas

Rara Sumanding.68

Penulis sepakat dengan beberapa pendapat yang mengatakan

bahwa dari puteri Tiongkok inilah perluasan Keraton Cirebon banyak menggunakan

hiasan dinding dari porselen buatan Tiongkok. Tidak sedikit pula hiasan berbentuk

guci dari Dinasti Ming yang dibawa ke Cirebon seperti yang masih tersimpan

sekarang.

Dalam segi pemerintahan, etnis Tionghoa juga memiliki kedudukan yang

cukup penting yaitu dengan diangkatnya seorang berkebangsaan Tiongkok sebagai

Sah Bandar di Cirebon. Sah Bandar ini bertanggung jawab atas pengawasan

kegiatan di pelabuhan dan berperan sebagai penghubung antara pedagang asing

yang akan masuk ke Cirebon dengan Sultan Cirebon. Dalam bidang yang lain, etnis

Tionghoa ini juga dikenal baik dalam hal kemampuannya dalam pembuatan uang

logam. Dalam kepandaian tersebut mereka telah memperoleh kepercayaan yang

tinggi dari para Sultan Cirebon. Hal itu diketahui dari data sejarah yang menyatakan

bahwa setelah wafatnya dua pembesar Cirebon yaitu Reksanegara dan Suradinata

yang bertugas membuat uang logam, para Sultan Cirebon mengontrak etnis

Tionghoa untuk membuat mata uang logam Cirebon.69

Dunia perdagangan di Cirebon ketika itu tidak hanya mengenal uang logam

yang dikeluarkan oleh Kerajaan Cirebon, tetapi juga mengenal uang-uang lain

dalam perdagangan. Uang-uang tersebut antara lain adalah sour dari Perancis, mata

66

Pires, Suma Oriental..., h. 183. Lihat juga P. H. Djajadiningrat, “Kanttekeningen bij,

Het Javaanse rijk Tjerbon in de eerste eeuwen van zijn bestaan”. (Nr. 1487). Bijdragen tot

de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast

Asia, vol. 113, no. 4, 1957, h. 380-392. 67

A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah

Mertasinga, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2005).; A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif

Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Kuningan, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007). 68

P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 21-22. 69

A. Schottenhammer, “China‟s Increasing Integration into the Indian Ocean World

Until Song 宋 Times: Sea Routes, Connections, Trades”. In Early Global Interconnectivity

Across the Indian Ocean World, vol. I, (Cham: Palgrave Macmillan, 2019), h. 21-52.; S.

Suparman, S. Sulasman, & D. Firdaus, “Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th

Century”. Tawarikh, vol. 9, no. 1, 2017, h. 49-58.

14

uang dari Inggris, Hindia Belanda dan kepeng-kepeng Tiongkok. Di antara mata

uang yang ada, uang picis buatan Cirebon merupakan alat pembayaran yang kurang

bagus dan nilainya turun naik. Untuk itulah pada perkembangan selanjutnya, mata

uang logam Cirebon menggunakan huruf latin dan huruf Tiongkok.70

Pemakaian

huruf latin mungkin lebih disebabkan oleh faktor politik dimana kekuasaan dari

pengaruh Belanda telah begitu kuat dalam pemerintahan Kesultanan Cirebon.

Tentang pemakaian huruf Tiongkok kemungkinan disebabkan oleh karena

pembuatnya adalah etnis Tionghoa yang dikontrak Sultan Cirebon. Selain itu,

keberadaan jenis huruf Tiongkok mungkin juga dilatarbelakangi oleh penguasa,

agar mata uang Cirebon dapat lebih diterima dalam perdagangan saat itu. Pada masa

itu picis-picis Tiongkok memegang peranan penting dalam perdagangan di Jawa,71

hingga mampu menguasai sebagian besar pemakaian uang. Dalam konteks ini, etnis

Tionghoa di Indonesia telah ikut memperkaya dan diperkaya oleh kebudayaan suku-

suku Indonesia lainnya, sehingga terjadi akulturasi yang unik dan amat kaya

manifestasinya pada ragam budaya Indonesia. Penulis melihat akulturasi yang

intens terjadi pada masa pra kolonial terutama pada abad XV dan XVI.

Clyne dan Jupp mendefinisikan akulturasi sebagai sebuah keniscayaan dan

tidak bisa dihindari apalagi dengan meningkatnya pernikahan antar etnis. Menurut

keduanya akulturasi berbeda dengan asimilasi, dimana dalam akulturasi kelompok

atau individu tidak kehilangan identitas asalnya, sedangkan asimilasi berarti

penghapusan karakteristik yang ada pada masing-masing kelompok atau individu.72

Sementara Berry berpendapat akulturasi dalam praktiknya cenderung mendorong

lebih banyak perubahan di salah satu kelompok daripada yang lainnya, sedangkan

asimilasi bersifat reaktif dan kreatif karena merangsang wujud-wujud budaya baru

yang tidak ditemukan dalam salah satu budaya yang terjadi kontak.73

Berry dalam

karyanya yang lain mengatakan asimilasi merupakan salah satu jenis akulturasi.

Artinya, akulturasi juga bisa menimbulkan tumbuhnya budaya baru yang tidak ada

pada kelompok-kelompok tersebut.74

Lebih jauh Berry mengatakan akulturasi tidak

hanya terjadi pada budaya tetapi juga pada psikologis seseorang. Akulturasi

psikologis terjadi sebagai akibat dari adanya individu yang berakulturasi. Dalam

konteks ini faktor budaya mempunyai pengaruh yang signifikan pada

perkembangan dan tampilan perilaku individu.75

Akulturasi psikologis dipengaruhi

banyak faktor, tidak hanya faktor masyarakat asal tetapi juga oleh masyarakat

permukiman baru. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah tentang imigrasi,

70

Z. Masduqi, “Penggunaan Dinar-Dirham dan Fulus: Upaya Menggali Tradisi yang

Hilang (Studi Kasus di Wilayah Cirebon)”. Holistik, vol. 13, no. 2, 2012. 71

R. Ptak, “China and the Trade in Cloves, circa 960-1435”. Journal of the American

Oriental Society, 1993, h. 1-13. 72

M. Clyne & J. Jupp (ed.), “Epilogue: A Multicultural Future”. In Multiculturalism

and Integration: A Harmonious Relationship, (ANU Press, 2011), h. 191-198. 73

J. W. Berry, “Acculturation and Adaptation in a New Society”. International

Migration, vol. 30, 1992, h. 69-69. 74

J. W. Berry, “Globalisation and Acculturation”. International Journal of Intercultural

Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-336. 75

J. W. Berry, “Cross‐cultural Psychology: A Symbiosis of Cultural and Comparative

Approaches”. Asian Journal of Social Psychology, vol. 3, no. 3, 2000, h. 197-205.

15

ideologi dan sikap dominan masyarakat pendatang, serta dukungan sosial, dan yang

tidak kalah pentingnya lagi adalah tingkat pribadi seseorang dalam beradaptasi ikut

berkontribusi pada akulturasi psikologis.76

Ilmuwan yang menganggap sama konsep akulturasi dan asimilasi dapat

ditelusuri dalam pendapat Gillin dan Gillin misalnya, memparalelkan dua konsep

tersebut dengan mengatakan asimilasi dan akulturasi dapat terjadi apabila terpenuhi

beberapa hal, di antaranya ada toleransi; kesempatan dalam bidang ekonomi;

penghormatan terhadap orang lain dan kebudayaannya; perkawinan campur; dan

adanya ancaman dari luar.77

Sementara Koentjaraningrat ikut mendefinisikan

akulturasi sebagai sebuah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia

dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu

kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke

dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan

itu. Seperti telah diuraikan sebelumnya, suatu unsur kebudayaan tidak pernah

didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau

kompleks yang terpadu.78

Dari beberapa teori akulturasi di atas, penulis cenderung mengikuti pendapat

Berry dan Koentjaraningrat, serta tidak sependapat dengan teorinya Gillin yang

menganggap sama antara akulturasi dan asimilasi. Menurut penulis dalam akulturasi

masing-masing kelompok tidak kehilangan identitas etnis. Kedua kebudayaan atau

lebih itu bertemu dan membentuk kebudayaan baru tanpa keduanya kehilangan ciri

khas masing-masing. Sementara di dalam asimilasi masing-masing etnis kehilangan

keunikannya, lalu muncul suatu budaya baru yang tidak ada di masing-masing

kelompok atau biasa disebut melting pot.79

Secara umum masyarakat di belahan dunia manapun memiliki unsur-unsur

budaya yang universal berupa bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan

hidup, mata pencaharian, kesenian, dan bahkan agama. Dalam proses akulturasi

budaya ini terjadi perubahan pada masing-masing unsur budaya. Perubahan tersebut

tergantung pada intensitas interaksi sosial yang terjadi pada kedua budaya ini dan

76

J. W. Berry, “Achieving a Global Psychology”. Canadian Psychology, vol. 54, no. 1,

2013, h. 55. 77

Gillin & Gillin, Cultural Sociology: A Revision and of an Introduction to Sociology,

(New York: The Macmillan Company, 1948), h. 529-530. 78

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990). 79

Melting pot (kuali peleburan) adalah metafora untuk masyarakat heterogen yang

semakin homogen. Elemen yang berbeda “melebur menjadi satu” sebagai suatu kesamaan

budaya yang harmonis. Teori melting pot pertama kali menjadi terkenal ketika pada 1782, J.

Hector St. John de Crevecoeur, seorang imigran dari Perancis, menggambarkan homogenitas

demografis Amerika Serikat sebagai terdiri dari “individu dari semua bangsa.... dicampurkan

ke dalam ras manusia baru, yang pekerjaan dan keturunannya suatu hari akan menyebabkan

perubahan besar dalam dunia”. Lihat A. Brons, P. Oosterveer, & S. Wertheim-Heck,

“Feeding the Melting Pot: Inclusive Strategies for the Multi-ethnic City”. Agriculture and

Human Values, 2020, h. 1-14.; M. Berray, “A Critical Literary Review of the Melting Pot

and Salad Bowl Assimilation and Integration Theories”. Journal of Ethnic and Cultural

Studies, vol. 6, no. 1, 2019, h. 142-151.; F. C. Berumen, “Resisting Assimilation to the

Melting Pot”. Journal of Culture and Values in Education, vol. 2, no. 1, 2019, h. 81-95.

16

sikap penerimaan dari masyarakat pendukung kedua budaya tersebut. Begitupun

masyarakat Tionghoa yang berdiam di Cirebon sejak awal telah membawa budaya

dan tradisi dari tanah leluhur, namun kemudian mengalami akulturasi ketika

berinteraksi dengan masyarakat Cirebon.

Tylor (antropolog Inggris) dalam bukunya Primitive Culture (1871)

mengatakan budaya adalah keseluruhan yang kompleks dari cakupan pengetahuan,

kepercayaan, seni, moral, hukum, dan adat istiadat, termasuk kemampuan dan

kebiasaan yang diperoleh setiap orang sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut

Tylor mengatakan bahwa budaya dipelajari sebagai anggota masyarakat. Oleh

karena itu, untuk mempelajari budaya seseorang harus menjadi bagian dari

masyarakat.80

Sementara Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai

keseluruhan sistem gagasan dan tindakan serta hasil karya manusia dalam rangka

menunjang kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar.81

Senada dengan Koentjaraningrat, Soemardjan dan Soemardi mengatakan

kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material culture) yang

diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya

dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.82

Pertemuan arus kebudayaan dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu

yang wajar dan alamiah, serta bernilai positif karena manusia merupakan makhluk

sosial, politis dan ekonomis. Kebudayaan sejatinya merupakan world view83

sekaligus way of life84

dari suatu kelompok masyarakat yang membedakannya

dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada dasarnya kebudayaan merupakan

identitas dari suatu masyarakat. Identitas terinternalisasi ke dalam gagasan

keyakinan dan berbahasa, bahkan dalam cara berpakaian dan lainnya yang

kemudian mewujud dalam keragaman etnis dan ras. Mengingat budaya yang

dihasilkan setiap negara itu berbeda dan variatif, maka arus pertemuan budaya kerap

menimbulkan kontestasi dan eskalasi yang melahirkan benturan antara satu

80

E. B. Tylor, Primitive Culture, (New York: Harper Torch Books, 1871). 81

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Yogyakarta: 1981), h.181. 82

Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta:

Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964), h. 113. 83

C. Hubley, J. Hayes, M. Harvey, & S. Musto, “To the victors go the existential spoils:

The mental-health benefits of cultural worldview defense for people who successfully meet

cultural standards and valued goals”. Journal of Social and Clinical Psychology, vol. 39, no.

4, 2020, h. 276-314.; C. Wei, S. Dai, H. Xu, & H. Wang, “Cultural worldview and cultural

experience in natural tourism sites. Journal of Hospitality and Tourism Management, vol.

43, 2020, h. 241-249. 84

L. Pavlyshyn, O. Voronkova, M. Yakutina, & E. Tesleva, “Ethical Problems

Concernig Dialectic Interaction of Culture and Civilization”. Journal of Social Studies

Education Research, vol. 10, no. 3, 2019, h. 236-248.; J. Parks, “Defending the American

Way of Life: Sport, Culture, and the Cold War ed. by Toby C. Rider”. Journal of Arizona

History, vol. 60, no. 3, 2019, h. 388-390.

17

kebudayaan dengan kebudayaan lain atau antara satu peradaban dengan peradaban

lainnya.85

Indonesia sebagai bangsa yang berakar pada budaya yang beragam, sudah

seharusnya membuat pertemuan arus budaya antara satu sama lain bisa berdampak

positif dan saling memperkaya masing-masing kebudayaan. Namun, dalam

realisasinya, pertemuan antar budaya bisa juga melahirkan ketimpangan dan

benturan jika suatu kelompok mayoritas mendominasi dan memaksakan adanya

pembauran terhadap budaya lain yang notabene kelompok minoritas.86

Bahkan,

lebih jauh pemerintah membuat seperangkat aturan yang menyudutkan kelompok

minoritas. Pemerintah melarang penggunaan simbol-simbol Tionghoa dan dipaksa

untuk melepaskan seluruh identitas yang berbau Tionghoa didepan publik.

Kebijakan ini tidak pelak lagi menimbulkan benturan-benturan dan letupan sosial.87

Kerusuhan sosial antar etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi terjadi sejak

jaman kolonial. Tahun 1740 terjadi kerusuhan besar pertama yang menewaskan

10.000 orang Tionghoa. Kemudian, perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825-

1830. Keadaan ini terus berlanjut di tahun 1965, etnis Tionghoa dianggap terlibat

dalam gerakan komunisme, hingga akhirnya seluruh simbol yang bernuansa

Tionghoa harus dihapuskan.88

Di masa Orde Baru, pemerintah mengambil langkah

yang dianggap penting, salah satunya adalah membersihkan unsur-unsur PKI dalam

segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk Tiongkok sebagai negara

dan peranakannya yang dianggap sebagai pendukung PKI.

Uraian di atas menunjukan bahwa kontak budaya antara etnis Tionghoa dengan

masyarakat pribumi sudah terjalin cukup lama, jauh sebelum Belanda datang ke

Nusantara. Maka wajar jika terjadi kontak yang intens termasuk dalam penyebaran

ajaran Islam. Kontak budaya yang intens itu melahirkan akulturasi antara kedua

kebudayaan baik dalam bentuk fisik seperti arsitektur bangunan, teknologi

85

R. Diprose & M. N. Azca, “Conflict Management in Indonesia‟s Post-authoritarian

Democracy: Resource Contestation, Power Dynamics and Brokerage”. Conflict, Security &

Development, vol. 20, no. 1, 2020, h. 191-221.; G. Gürpinar, “Foreign Policy as a Contested

Front of the Cultural Wars in Turkey”. Uluslararası İlişkiler/International Relations, vol.

17, no. 65, 2020, h. 3-21.; J. Abbink, “Religion and Violence in the Horn of Africa:

Trajectories of Mimetic Rivalry and Escalation between „Political Islam‟and the

State”. Politics, Religion & Ideology, 2020, h. 1-22. 86

J. Lee, “Promoting Majority Culture and Excluding External Ethnic Influences:

China‟s Strategy for the UNESCO „intangible‟cultural heritage list. Social Identities, vol.

26, no. 1, 2020, h. 61-76.; R. Antony, “Emerging Ethnic Minority Sub-cultures: young

Tamils in the Post-war Context in the Tamil-dominated Areas in Sri Lanka”. Ethnic and

Racial Studies, vol. 43, no. 10, 2020, h. 1909-1928.; R. Evans, “Interpreting family struggles

in West Africa across Majority-Minority world Boundaries: Tensions and

Possibilities”. Gender, Place & Culture, vol. 27, no. 5, 2020, h. 717-732. 87

L. Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompas,

2010), h. 193-210. 88

Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Cina: Sejarah Etnis Cina Indonesia,

(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 19.

18

perkapalan, pertanian dan perdagangan.89

Adapun non fisiknya seperti dalam

berbahasa dan pola berperilaku antara dua bangsa tersebut. Penulis melihat

terjadinya akulturasi dan kontak budaya yang damai ini karena masing-masing

pihak mengembangkan sikap toleran, saling menghormati dan menghargai.

Hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi berjalan dinamis dan

fluktuatif. Awalnya damai, kemudian mengalami konflik setelah kehadiran Belanda

di Nusantara. Akibat kebijakan pembagian kelas oleh Belanda, citra etnis Tionghoa

dalam pandangan masyarakat pribumi jadi negatif. Stereotip negatif dialamatkan

kepada mereka, dan itu berkembang dari masa ke masa. Kondisi ini diperparah

dengan kebijakan Orde Baru yang cenderung diskriminatif dan tindakan beberapa

orang Tionghoa yang melakukan korupsi dengan jumlah fantastis sehingga

merugikan Negara.

Berbagai literatur menjelaskan bahwa ada pengaruh etnis Tionghoa di berbagai

wilayah di Nusantara, termasuk Cirebon dalam hal ini Kesultanan Cirebon di satu

sisi. Sementara di sisi yang lain, Cirebon adalah kota yang sangat kosmopolitan dan

merupakan central aktivitas perdagangan di masa lalu, sehingga itu nyaris tidak

mungkin kalau tidak ada jejak etnis Tionghoa dalam kebudayaan Cirebon,

khususnya di Kesultanan Cirebon. Indikasi ke arah itu ada beberapa catatan, tetapi

sejauh ini belum menjadi perhatian para sarjana. Jadi, yang menjadi masalah dalam

penelitian ini adalah bahwa ada sesuatu yang menurut hipotesis penulis, seharusnya

pengaruh Tionghoa di Cirebon itu sangat kuat dan berjejak di dalam artefak-artefak.

Dalam konteks itu, ada dua alasan yang bisa penulis kemukakan, yakni pertama,

karena Tionghoa sangat berpengaruh di Nusantara, dan kedua karena Cirebon

menjadi kota lalu lintas ketika itu. Itu sebabnya tema ini menurut penulis penting

untuk ditelusuri dan dikaji lebih jauh lagi. Penelitian ini di samping mengelaborasi

akulturasi budaya etnis Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon, juga ingin

menganalisis makna simbolik dan filosofis dari hasil perwujudan budaya berupa

benda-benda bersejarah di antaranya yaitu Keraton Kasepuhan, makam Astana

Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong dan batik Cirebon, serta Taman Air

Sunyaragi.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, secara garis besar ada beberapa hal

yang dapat diidentifikasi terkait akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Cirebon, di

antaranya:

1) Cirebon menyimpan berbagai peninggalan arkeologis yang erat kaitannya

dengan produk yang berasal dari Tiongkok, serta letak geografisnya sebagai

bekas pelabuhan internasional memungkinkan terjadinya kontak sosial,

budaya, dan agama antara etnis Tionghoa dan Cirebon.

89

Z. Majchrzyk, “Cultural Identity and Aggression within the Acculturation Framework

of the Global World”. Sveikatos, vol. 29, no. 1, 2019, h. 56.; M. Nowak, “The Funnel

Beaker Culture in Western Lesser Poland: Yesterday and Today”. Archaeologia Polona, vol.

57, 2019.; D. S. Yu & K. M. A. Malik, “Cultural Islam in Northern Europe”. Baltic

Region, vol. 11, no. 3, 2019.

19

2) Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara diawali motivasi ekonomi dan

dakwah Islam, serta adanya hubungan antara Muslim di Nusantara dengan

Muslim di Tiongkok yang dibuktikan melalui perjalanan Cheng Ho.

3) Pernikahan Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon) dengan Ong Tien putri

keturunan etnis Tionghoa.

4) Budaya material dan non-material di Kesultanan Cirebon dihiasi nuansa

Tiongkok, sebab sejak awal telah terbentuk hubungan dinamis antara etnis

Tionghoa dan penduduk Nusantara.

5) Politik Devide et Impera oleh Belanda, salah satunya bertujuan memecah

belah hubungan antara penduduk lokal dan etnis Tionghoa, serta adanya

stigma negatif terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana akulturasi budaya

Tionghoa dan Cirebon pada Kesultanan Cirebon abad XV-XVIII?. Rumusan

masalah tersebut diturunkan menjadi pertanyaan-pertanyaan minor sebagai berikut :

a. Bagaimana aktivitas sosial-budaya etnis Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan

Cirebon?

b. Bagaimana relasi budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon?

c. Bagaimana makna simbolik dan filosofis dari wujud budaya Tionghoa dan

Cirebon dalam Kesultanan Cirebon?

3. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini fokus pada hal-hal yang seharusnya

diteliti, maka penulis membatasinya pada beberapa hal sebagai berikut:

a. Tema penelitian dibatasi pada akulturasi budaya Tionghoa dan budaya

Cirebon di Kesultanan Cirebon.

b. Objek penelitian adalah benda-benda peninggalan sebagai wujud akulturasi

etnis Tionghoa dan Cirebon (arsitektur Keraton Kasepuhan, Makam Astana

Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong, Batik Cirebon, dan Taman Air

Sunyaragi).

c. Lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah daerah Cirebon, khususnya

Kesultanan Cirebon.

d. Penelitian ini dibatasi pada abad XV-XVIII dengan alasan bahwa bangunan-

bangunan bersejarah yang dipaparkan dibangun pada abad XV–XVIII.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi akulturasi budaya

Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Adapun tujuan khususnya

adalah ingin mengungkap dan menganalisis beberapa hal sebagai berikut:

1. Mengungkap dan menganalisis aktivitas sosial-budaya Tionghoa dan Cirebon

di Kesultanan Cirebon.

2. Mengungkap dan menganalisis relasi budaya etnis Tionghoa dan masyarakat

Cirebon.

3. Mengungkap dan menganalisis makna simbolik dan filosofis dari wujud

budaya Tionghoa dan Cirebon dalam Kesultanan Cirebon.

20

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian

Secara teoritis maupun praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk berbagai pihak, di antaranya:

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai riset terbaru tentang kesejarahan

dan kebudayaan Nusantara dalam konteks Indonesia, khususnya terkait

budaya Tionghoa dan budaya Cirebon.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber rujukan atau referensi bagi

akademisi maupun peneliti, khususnya bagi para peneliti yang akan

mengkaji budaya Tionghoa dan budaya Cirebon.

c. Melalui hasil penelitian ini, informasi terkait perpaduan budaya Tionghoa

dan Cirebon dalam bentuk arkeologis dapat diketahui masyarakat secara

luas.

d. Masyarakat luas dapat memahami makna simbolis dan filosofis dari

arsitektur Keraton Kasepuhan, Makam Astana Gunung Jati, Kereta Kencana

Singa Barong, batik Cirebon, dan Taman Air Sunyaragi yang ada dalam

Kesultanan Cirebon.

e. Perpaduan budaya Tionghoa dan Cirebon yang terjadi melalui proses

akulturasi mampu menciptkan keharmonisan di antara dua budaya.

Pelajaran berharga tersebut dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat

Indonesia, khususnya masyarakat Cirebon dalam merawat keharmonisan di

tengah keberagaman.

f. Nilai-nilai dibalik perwujudan budaya dapat dijadikan sebagai bentuk

akulturasi yang baik, seperti sikap saling menghormati, menghargai dan

menerima perbedaan.

g. Mendorong masyarakat mampu memelihara dan mengamalkan budaya yang

mengandung nilai-nilai toleransi sehingga terwujud tatanan hidup yang

rukun dan damai di Indonesia, khususnya di daerah Cirebon maupun di

dalam Kesultanan.

h. Sebagai bangsa yang majemuk pemahaman tentang akulturasi menjadi

penting agar tercipta kebebasan, keadilan dan perdamaian.

i. Penelitian ini diharapkan mendapat perhatian dari pihak pemerintah yang

bersangkutan untuk dapat terus menjaga nilai-nilai historis yang masih

tersimpan di keraton, terutama menjaga dan merawat budaya-budaya

material dan non-material yang menyimpan nilai historis, selain sebagai aset

di bidang pariwisata juga sebagai aset pendidikan bagi generasi mendatang.

E. Kajian Terdahulu yang Relevan

Budaya Tionghoa dan budaya Cirebon, maupun perpaduan di antara kedua

budaya tersebut telah ikut mewarnai budaya-budaya yang ada di Nusantara

termasuk Indonesia atau khususnya Cirebon. Menurut penelusuran penulis, kajian

tentang budaya Nusantara di Indonesia khususnya budaya Tionghoa dan budaya

Cirebon telah diteliti dan ditulis oleh banyak kalangan dari berbagai perspektif yang

berbeda-beda, di antaranya:

21

De Graaf dan Pigeaud, Chinese Muslim in Java in The 15 th And 16 th

Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon.90

De Graaf dan Pigeud

memasukkan naskah yang dikenal dengan nama The Malay Annals of Semarang

and Cerbon. Sebuah naskah yang menarik juga penuh teka-teki. Naskah ini

mengajak kita kepada kebingungan sejarah atau bahkan ke dalam fantasi sejarah.

Ricklefs yang mengedit buku ini, di satu sisi mengakui upaya dari kedua penulis,

tetapi di sisi lain mempertanyakan keaslian Sejarah Melayu. Bahkan, Lombard91

juga meragukan keberadaannya, dan karenanya menolak gagasan bahwa sebagian

besar Wali adalah Tionghoa peranakan. Meskipun demikian, Lombard dan Salmon,

melalui karya mereka “Islam and Chineseness”92

tetap mengakui adanya peran

Muslim Tionghoa di Jawa. Menurut mereka, Tionghoa Muslim peranakan memiliki

peran penting dalam proses islamisasi di Jawa. Mereka juga menyebut bahwa

banyak di antara saudagar Tionghoa Muslim yang dipekerjakan di kota-kota utama

pesisir Jawa oleh penguasa setempat, bahkan juga di pelabuhan-pelabuhan luar

Jawa. Pada perkembangannya banyak di antara mereka yang melakukan perkawinan

dengan wanita lokal, baik wanita bangsawan maupun wanita dari keturunan biasa.

Hubungan ini juga memengaruhi berbagai budaya Nusantara, seperti ukiran masjid

Jepara yang punya undak 5 sepintas seperti pagoda, juga memengaruhi bidang

sastra.

Weng, Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiusitas di

Indonesia.93

Dalam bukunya Hew menganalisis identitas budaya Tionghoa Muslim

sebagai bagian dari Islam Indonesia dengan cara memaparkan tentang negosiasi

identitas yang terus berlangsung di antara adat atau tradisi Islam Indonesia yang

beragam. Menurutnya orang dapat menjadi islami tanpa harus menanggalkan

budaya Tionghoa, begitu juga orang dapat menjadi lebih Indonesia dengan tetap

mempertahankan budaya Tionghoa. Manifestasi identitas budaya Tionghoa Muslim

menunjukkan bahwa perjumpaan antara religiusitas keislaman yang terus tumbuh

dan keragaman budaya yang berkembang di Indonesia telah melahirkan sebuah

kesalehan Islam yang tegas sekaligus inklusif.

Karya penting lainnya yang membahas hubungan Tiongkok-Indonesia adalah

yang ditulis Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru

Hubungan Islam Indonesia dan China”.94

Tanggok berusaha mengurai kembali

hubungan antara Tiongkok-Indonesia. Menurutnya, secara historis hubungan di

antara keduanya telah terjadi sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum

kedatangan penjajah Belanda. Hubungan yang terjalin sangat harmonis dan

90

H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslim in Java in The 15 th And 16 th

Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon. Edited by M. C. Ricklefs

(Melbourne: Monash University, 1984). 91

D. Lombard, “H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the

15th and 16th Centuries”. Archipel, vol. 32, no. 1, 1986, h. 186-187. 92

D. Lombard & C. Salmon, “Islam and Chineseness”. Indonesia, no. 57, 1993, h. 115-

131. 93

H. W. Weng, Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiusitas di

Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2019). 94

Ikhsan Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan

Islam Indonesia dan China”, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010).

22

mengalami kemajuan yang luar biasa. Hubungan tersebut bukan saja secara

diplomatik, tetapi juga di luar diplomatik. Karya Tanggok membawa pembaca

untuk melihat sejarah hubungan Indonesia dan Tiongkok di masa lampau, maka

sepatutnya masyarakat Indonesia saat ini meningkatkan kembali hubungan tersebut

ke arah yang lebih baik dan dikembangkan ke berbagai aspek kehidupan, terutama

dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Menurut Tanggok, jika kerja

sama di antara Tiongkok-Indonesia bisa terwujud, maka dapat dikatakan sebagai

upaya “Meretas Jalan Sutra Baru” yang berbeda dengan “Jalan Sutra Masa Lalu”.

Hoadley, “Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing

Ethnic Boundaries”.95

Penelitian Hoadley bagi penulis cukup menarik dimana ia

mencoba meninjau kembali batas etnis antara elit Jawa, Tionghoa peranakan, dan

Tionghoa di Cirebon. Menurut penelitiannya, ada tiga fase yang dapat dilihat dalam

pengembangan hubungan etnis di Cirebon selama periode 1680-1731. Sampai

dekade pertama abad ke-18, menurut norma-norma Jawa ada dua kelompok elit:

Jawa, termasuk peranakan yang baru direkrut, dan Tionghoa. Meskipun dibedakan

oleh identitas yang terpisah dan fungsi sosial khusus, kelompok-kelompok tersebut

pada awalnya terbuka dalam gerakan yang melintasi batas-batas etnis yang

sepenuhnya dapat diterima. Kemudian fase kedua di antar oleh tindakan para

pejabat Belanda, yang sejak awal pemerintahan kolonial di Cirebon telah berusaha

mengidentifikasi peranakan sebagai etnis Tionghoa dengan penggunaan istilah

Melayu peranakan atau, yang lebih umum, peranakan Tionghoa. Pada dekade

pertama abad ke-18, Belanda giat mengambil langkah-langkah aktif untuk

memisahkan mereka yang mereka identifikasi sebagai peranakan dari elit Jawa

dengan melarang pekerjaan mereka sebagai menteri Cirebon dan memastikan

bahwa perkebunan mereka ditangani oleh boedelmeester Tionghoa. Puncak logis

dari fase perkembangan ini adalah pemindahan semua peranakan ke otoritas pejabat

kompeni, Kapitan Tionghoa. Mereka berharap menciptakan situasi etnis di mana

orang Jawa terpisah dari etnis Tionghoa peranakan.

Fase ketiga dan terakhir terdiri dari reaksi para pangeran Cirebon selama

periode 1720-1731, yang mencegah rencana Belanda menjadi kenyataan. Motivasi

pangeran untuk oposisi datang dari kebutuhan mereka untuk mencegah hilangnya

sumber daya tenaga kerja dan layanan dari kelompok yang telah menyediakan

banyak pejabat tinggi mereka selama setengah abad. Tetapi keinginan mereka untuk

mencegah Belanda dari memasukkan peranakan di bawah Kapitan Tionghoa

memaksa para pangeran Cirebon untuk membuat perbatasan antara orang

Jawasekarang secara khusus termasuk peranakandan Tionghoa. Pertahanan

Jawa atas sumber daya manusia terhadap perambahan Belanda menghasilkan batas-

batas etnis yang membatu dari jenis yang sebelumnya tidak diketahui di Cirebon.

Namun, dalam analisis akhir Hoadley, tindakan para pangeran pada 1720-1731

kurang eksklusif secara etnis daripada perpecahan antara Jawa dan peranakan/

Tionghoa yang akan menghasilkan jika pengajuan Belanda di tahun 1730 telah

menjadi kenyataan. Akhir dari periode 1731 merupakan setengah jalan antara situasi

di Jawa kolonial dan yang di Thailand non kolonial. Hasil tindakan Kompeni Hindia

95

M. C. Hoadley, “Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing

Ethnic Boundaries.” The Journal of Asian Studies, vol. 47, no. 3, 1988, h. 503-517.

23

Timur Belanda negatif dalam arti ganda. Mereka mengurangi insentif untuk

integrasi dengan merongrong otoritas elit Jawa dan menghilangkan hadiah untuk

integrasi dalam bentuk pos pengadilan. Hanya dalam abad-abad berikutnya,

langkah-langkah yang diambil secara aktif untuk mendorong orang-orang yang

berasal dari Tiongkok untuk mengidentifikasi diri dengan elit kolonial.

Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among

Javanese Muslims”.96

Muhaimin membahas keyakinan masyarakat Cirebon hingga

apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka berperilaku. Menurutnya apa yang

mereka yakini memotivasi apa yang mereka perbuat, dan apa yang mereka lakukan

mencerminkan ungkapan verbal apa yang mereka yakini. Muhaimin menemukan

bahwa semua tradisi yang berkembang dalam masyarakat Cirebon juga dapat

ditemukan dalam tradisi Islam yang berakar pada wahyu atau mendapatkan

pembenaran dalam literatur hukum Islam, baik yang bersumber dari al-Qur‟an,

hadis maupun fikih para ulama.

Darheni, “The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese

Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of Chinese

with Javanese Culture”.97

Darheni mengkaji tentang akulturasi bahasa dan budaya

Tionghoa di Losari, Cirebon. Penelitiannya menemukan bahwa situasi linguistik di

Cirebon adalah diglossic. Di Cirebon menurut temuan Darheni sejumlah bahasa

digunakanbahasa Cirebon, bahasa Sunda Cirebon, bahasa Indonesia, dan bahasa

asing seperti bahasa Arab, Tionghoa, Belanda, dan Inggris. Hokkian adalah salah

satu bahasa yang digunakan secara produktif oleh komunitas etnis Tionghoa di

Losari, Cirebon (perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah). Akulturasi bahasa

dan budaya antara kelompok etnis Tionghoa dan kelompok asli dapat dilihat dari

difusi yang jelas dalam cara berpikir dan perilaku kedua kelompok etnis di wilayah

tersebut. Selain itu, temuan penting Darheni menurut penulis adalah bahwa

primordialisme antara kelompok etnis asliCirebon dan Tionghoa tidak terlihat

jelas. Menurutnya, yang menunjukkan pembentukan komunikasi adalah dalam

aspek sosial, ekonomi, pemerintahan, dan kekuasaan. Akibatnya, akulturasi bahasa

Mandarin dengan budaya Jawa di Cirebon Timur mencakup aspek fonologis,

leksikal atau diksi (yang paling sering), morfologis (paling unik), dan sintaksis.

Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Indonesia Abad XV & XVI.98

Karya Al Qurtuby

96

A. G. Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among

Javanese Muslims”. (Unpublished PhD Thesis, The Australian National University,

Canberra, 1995). Tesis Muhaimin ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berbahasa

Indonesia, lihat A. G. Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon,

(Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002). 97

N. Darheni, “The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese

Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of Chinese with

Javanese Culture”. In The 1st International Seminar on Language, Literature and

Education, KnE Social Sciences, 2018, h. 663-686. 98

S. Al Qurtubi, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Indonesia Abad XV & XVI, (Yogyakarta: Inspeal

Ahimsya Karya Press, 2003).; Lihat juga S. AI Qurtuby, “The Tao of Islam: Cheng Ho and

24

berupaya menegaskan bahwa Tionghoa Muslim pada faktanya telah ikut

membentuk apa yang selanjutnya disebut sebagai “Sino-Javanese Muslim Culture”,

sebuah proses akulturasi antara budaya Tionghoa, Islam dan Jawa. Bentuk “Sino-

Javanese Muslim Culture” itu tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan

peribadatan Islam yang menunjukan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga

berbagai seni/sastra (batik, ukir) dan unsur kebudayaan lain. Al Qurtuby

menemukan bahwa dari berbagai literatur Tionghoa, Iiteratur lokal Jawa, tradisi

Iisan, serta berbagai peninggalan purbakala Islam dalam kurun abad ke-15/16

mengisaratkan pengaruh Tionghoa di Jawa sangat terasa. Ukiran padas di masjid

kuno Mantingan Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam

Sunan Giri di Gresik, arsitektur Keraton Cirebon beserta Taman Sunyaragi,

konstruksi masjid Demak, khususnya soko tatal penyangga masjid beserta lambang

kura-kura, konstruksi masjid sekayu di Semarang, ataupun masjid Kali Angke dan

Masjid Kebun Jeruk di Jakarta, setidaknya dapat menjadi landasan asumsi tersebut.

Tanpa mengesampingkan keterlibatan Tionghoa Muslim lainnya, Al Qurtuby

mengatakan tokoh yang berperan bagi terjalinnya proses tersebut adalah Cheng Ho.

Penting dicatat bahwa Cheng Ho ikut serta dalam menyiarkan ajaran agama Islam

sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang selanjutnya ia kombinasikan dengan

beberapa prinsip ideal yang diadopsi dari ajaran lokal Tionghoa seperti

Konfusiusme maupun Taoisme. Di sinilah menurut Al Qurtuby titik singgung

terkait relasi antara Islam sebagai agama lokal Indonesia dengan beberapa prinsip

Tao sebagai kepercayan lokal Tionghoa bisa diidentifikasi.

Dyah dan Zein, “The Influence of Cultural Acculturation on Architecture

Keraton Kasepuhan Cirebon”.99

Temuan penting dari penelitian Dyah dan Zein

mengatakan bahwa akulturasi terbukti dalam arsitektur bangunan, yang

menunjukkan pengaruh budaya asing Eropa dan Tiongkok, serta Hinduisme lokal

dan budaya Jawa. Akulturasi di Keraton Kasepuhan Cirebon diterapkan pada

beberapa elemen arsitektur. Elemen arsitektur struktur bangunan ditemukan pada

pilar dan atap bangunan. Unsur non arsitektur dari struktur bangunan, akulturasi

budaya dapat ditemukan pada lengkungan, dinding, pintu dan jendela. Sementara

elemen arsitektur dekoratif bangunan, akulturasi budaya ditemukan pada hiasan

dinding dan patung.

Dewi dan Annisa, “Akulturasi Budaya pada Perkembangan Kraton Kasepuhan

Cirebon”.100

Temuan penelitian mereka mengatakan akulturasi budaya pada Kraton

Kasepuhan Cirebon terjadi karena pengaruh lokasi yang strategis dan sikap yang

terbuka dari Sultan Cirebon. Hal tersebut menjadikan Cirebon sebagai pusat

perdagangan, tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan budaya antar bangsa.

Lebih jauh dikemukakan bahwa sikap terbuka dari Sultan Cirebon merupakan poin

the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java”. Studia Islamika, vol. 15, no. 1, 2009,

h. 51-78. 99

S. A. Dyah & F. K. Zein, “The Influence of Cultural Acculturation on Architecture

Keraton Kasepuhan Cirebon”. In Reframing the Vernacular: Politics, Semiotics, and

Representation, (Cham: Springer, 2020), h. 251-260. 100

H. I. Dewi dan Anisa, “Akulturasi Budaya pada Perkembangan Keraton Kasepuhan

Cirebon”. Proceeding PESAT Universitas Gunadarma Depok, vol. 3, 2009.

25

penting masuknya beberapa pengaruh budaya asing, seperti budaya Tionghoa,

Hindu, Buddha, Jawa, Eropa, Islam dan Arab dalam masyarakat Cirebon, terutama

pada bangunan Kraton Kasepuhan. Penelitian mereka secara spesifik menyebutkan

budaya Tionghoa dapat ditemukan pada bangunan Dalem Agung Pakungwati, Siti

Inggil (termasuk Mande Pendawan, Mande Semar Tinandu, Mande Kresman,

Mande Pengiring), Kucung Kutagara Wadasan dan pintu Buk Bacem; pengaruh

Hindu pada Siti Inggil; pengaruh Buddha pada Bangsal Prabayaksa; pengaruh Jawa

pada tiang-tiang Mande Semar Tinandu, Mande Pengiring, Jinem Pangrawit;

pengaruh Eropa pada Pungkuran, Jinem Pangrawit, Bangsal Prabayaksa, Gajah

Nguling; pengaruh Arab dapat ditemukan pada pintu Buk Bacem. Terakhir,

pengaruh Islam dapat ditemukan pada Mande Malang Semirang.

Beberapa karya terdahulu di atas patut diapresiasi, sebab keberadaannya

membuka ruang dan jalan bagi penulis untuk melihat permasalahan yang dikaji agar

lebih komprehensif. Karya de Graaf dan Pigeaud, meskipun mendapat kritikan dari

Ricklefs dan Lombard karena seolah berlebihan atas gagasan mereka bahwa

sebagian besar Wali adalah Tionghoa peranakan. Namun, Karya de Graaf dan

Pigeaud membantu penulis dalam mengidentifikasi peran Tionghoa Muslim, baik

dalam konteks Cirebon maupun Indonesia pada umumnya. Sebagaimana juga karya

Tanggok bahwa secara historis hubungan Tionghoa dan Indonesia telah terjadi

sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum kedatangan penjajah Belanda.

Hubungan yang terjalin sangat harmonis dan mengalami kemajuan yang luar biasa.

Hubungan tersebut bukan saja secara diplomatik, tetapi juga di luar diplomatik.

Juga yang menjadi perhatian penulis adalah karya Weng yang menganalisis

identitas budaya Tionghoa Muslim sebagai bagian dari Islam Indonesia. Menurut

penulis karya-karya yang disebutkan adalah karya penting untuk melihat sisi lain

sejarah awal perkembangan Islam di Nusantara, termasuk dalam melihat peran

Tionghoa Muslim dalam konteks Indonesia dan Cirebon, sebelum penulis

mengungkapkan makna-makna simbolik dan filosofis yang luput dari karya mereka.

Penulis belum menemukan satu kajian yang secara mendalam mengkaji makna

simbolis dan filosofis dari wujud budaya material etnis Tionghoa dan Cirebon di

Kesultanan Cirebon. Muhaimin misalnya, ia lebih banyak berbicara tentang budaya

non material, khususnya tradisi Islam yang mencakup ibadah dan adat masyarakat.

Fokus inilah yang membedakan antara penelitian Muhaimin dengan penelitian yang

penulis lakukan. Disamping itu, penulis melihat kajiannya Muhaimin seolah

“menampik” kontribusi dari unsur-unsur di luar Islam seperti Hindu, Buddha dan

sebagainya. Padahal, kalau kita lihat berbagai benda peninggalan (budaya material),

khususnya di Kesultanan Cirebon juga dapat ditemukan secara jelas adanya

pengaruh dari luar Islam, seperti Hindu, Tionghoa dan sebagainya. Begitupun

Darheni yang mengkaji soal ciri bahasa dan akulturasi dari penutur bahasa

Tionghoa di Cirebon. Darheni lewat temuannya mengatakan bahwa primordialisme

antara kelompok etnis asliCirebon dan Tionghoa tidak terlihat jelas, tetapi

signifikansi yang menunjukkan pembentukan komunikasi (bahasa) adalah pada

aspek sosial, ekonomi, pemerintahan dan kekuasaan. Penting dicatat bahwa selain

dari aspek bahasa (budaya non material), aspek budaya material berupa benda-

benda peninggalan di Kesultanan Cirebon juga penting diungkap karena di

dalamnya tersimpan makna simbolis dan filosofis yang sampai sekarang tidak henti-

26

hentinya dikaji dan dibicarakan. Wujud budaya atau budaya material tersebut

semacam mengajak kita untuk membahasakan apa yang dikandungnya, utamanya

yang berkaitan dengan aspek sejarah masalah lalu. Dengan demikian, penelitian ini

sebagai tidak lanjut atau memperkaya penelitian sebelumnya dengan menyajikan

perspektif baru dalam konteks akulturasi etnis Tionghoa dan Cirebon, sehingga

lebih komprehensif. Argumentasi dan komentar penulis terhadap penelitian

Muhaimin dan Darhenni juga mendapat dukungan dari Al Qurtuby dengan

meminjam apa yang ia sebut “Sino-Javanese Muslim Culture”itu tidak hanya

tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam yang menunjukan adanya unsur

Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga berbagai seni/sastra (batik, ukir) dan unsur

kebudayaan lain.

Selain temuan Muhaimin dan Darheni, penelitian Hoadley di atas cukup

membantu penelitian ini sebelum masuk dan menjawab bagaimana wujud budaya

etnis Tionghoa dan Cirebon, utamanya dalam mengungkap makna simbolis dan

filosofisnya. Penelitian Hoadley nantinya membantu penulis dalam pencarian

definisi internal etnis yang valid secara lokal, sehingga mengurangi bahaya

kontaminasi nilai atau determinisme historis dari pihak luar, baik itu pengamat asing

kontemporer atau peneliti modern. Jika kita menerima pengamatan pejabat kolonial

Belanda tanpa kritik, menurut Hoadley kita dapat dengan mudah salah memahami

dasar kerja sama antara Tiongkok dan Jawa, bahkan di Cirebon, para menteri

Muslim untuk para pangeran diterima karena mereka telah menjadi orang Jawa;

pejabat Tionghoa, syabbandar dan Kapitan Tionghoa, tetap asing dengan sistem

sosial mayoritas. Pendekatan ini juga membutuhkan perhatian terhadap perubahan

seiring waktu. Dalam contoh ini, Hoadley mengatakan hanya etnis Tionghoa dan

Jawa yang ada pada awalnya, tetapi asumsi kekuasaan Belanda membawa

kelompok etnis ketiga, dengan batas-batas yang dapat dikenali, terbentuk setelah

1730. Kelompok ini adalah peranakan, sampai saat itu kategori deskriptif hanya

digunakan oleh orang Belanda. Hoadley menggunakan seperti apa yang disarankan

Skinner, konsekuensi penting dari perkembangan ini adalah bahwa hubungan etnis

yang tidak harmonis di Jawa modern adalah produk, bukan hanya datum, sejarah.

Dari sekian penelitian terdahulu yang penulis kemukakan di atas, ada dua

penelitian yang mirip dengan penelitian ini, yang fokus pada akulturasi budaya

material yang ada di Keraton Kasepuhan, yakni penelitian Dyah dan Zein, serta

penelitian Dewi dan Annisa. Penelitian mereka membantu penulis dalam

mengidentifikasi budaya-budaya Tionghoa yang ada di Keraton Kasepuhan, namun

penulis melihat mereka kurang mengeksplorasi terkait dengan budaya Cirebon itu

sendiri. Inilah salah satu pembeda dengan penelitian ini. Selain itu, karya mereka

hanya sekadar menyebutkan adanya pengaruh budaya dari luar yang terakulturasi

dengan Keraton Kasepuhan. Berbeda dengan penelitian ini, penulis berangkat dari

menentukkan beberapa pengaruh budaya yang terakulturasi dengan budaya Cirebon,

khususnya budaya dari luar yang masuk ke dalam Keraton Kasepuhan, kemudian

mengungkapkan makna-makna simbolik dan filosofis secara mendalam. Di

samping, sebelumnya penulis juga memerhatikan perkembangan daerah dan

masyarakat Cirebon serta Kesultanan Cirebon yang menjadi bagian penting dari

penelitian ini.

27

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pedekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sementara jenis penelitiannya

adalah kepustakaan dan lapangan, sebab data-datanya tidak hanya bersumber dari

literatur tetapi juga data lapangan berupa pengamatan dan wawancara. Metode dan

jenis penelitian tersebut digunakan sebagai suatu payung konsep meliputi beberapa

format penelitian yang membantu penulis dalam memahami dan menjelaskan

makna fenomena sosial dari setting alamiah101

yang ada sebagaimana Moleong

mengatakan jenis penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami.102

Secara komprehensif penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan Creswell

adalah suatu proses penelitian ilmiah yang dimaksudkan untuk memahami masalah-

masalah manusia dalam konteks sosial. Dengan menciptakan gambaran menyeluruh

dan kompleks, kemudian disajikan dengan melaporkan pandangan terperinci dari

sumber informasi, serta dilakukan dalam setting alamiah tanpa adanya intervensi

dari peneliti.103

Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis

dan antropologis yaitu penelitian ilmiah yang didasarkan pada kajian sejarah yang

berbasis pada kajian kepustakaan dan telaah data dengan berpegang teguh pada

norma atau kaidah yang berlaku. Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan

semiotik104

untuk menganalisa makna simbolik dan filosofis dari wujud relasi

budaya Tionghoa dan Cirebon.

Saussure mengartikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai

bagian dari kehidupan sosial.105

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda

(sign), berfungsinya tanda dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi

seseorang berarti sesuatu yang lain, dan tidak hanya berbentuk sebuah benda.

Dalam kehidupan manusia, tanda selalu menyampaikan suatu informasi sehingga

mempunyai sifat komunikatif.106

Artinya, satu kata dalam kajian semiotika memiliki

makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna

bahasa tentang makna.107

101

S. B. Mariam, Qualitative Research and Case Study Application in Education, (San

Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998), h. 5. 102

L. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1995), h.

25. 103

J. W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,

(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998). 104

D. Hattenhauer, “The Rhetoric of Architecture: A Semiotic

Approach”. Communication Quarterly, vol. 32, no. 1, 1984, h. 71-77.; M. Gottdiener,

“Hegemony and Mass Culture: A semiotic approach”. American Journal of Sociology, vol.

90, no. 5, 1985, h. 979-1001. 105

F. de Saussure, “Course in General Linguistics”, In Literary Theory, An Anthology,

by J. Rivkin & M. Ryan (eds.), (UK: Blackwell Publishing Ltd., 2004), h. 59-71. 106

H. S. M. Yakin & A. Totu, “The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A

Brief Comparative Study”. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 155, 2014, h. 4-8. 107

J. Kristeva, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, (New

York: Columbia University Press, 1980), h. 31.

28

Adapun tahapan analisis data diawali dengan pengambilan data (collecting

data) yang berkaitan dengan budaya Tionghoa dan Cirebon, serta sejarah dari

keduanya. Kemudian, penulis melakukan observasi dan wawancara langsung

dengan para informan dengan berpedoman pada pedoman observasi dan wawancara

yang telah disusun pada tahap pendahuluan untuk memperdalam data atau informasi

yang diperoleh. Setelah data dikumpulkan, penulis kemudian mengklasifikasi dan

menganalisa data tersebut, serta membuat kesimpulan berupa jawaban-jawaban atas

masalah-masalah yang menjadi inti penelitian. Terakhir adalah penyusunan hasil

penelitian dan pelaporannya yang disusun dalam kerangka yang sistematis dan

logis.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer

diambil dari para narasumber (filolog, sejarawan, budayawan dan pihak Kesultanan

Cirebon). Penulis memilih narasumber dari tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui

agar bisa memberikan informasi sesuai data yang dibutuhkan. Sementara data

sekunder, yakni telaah dari berbagai literatut seperti buku, arsip, jurnal, dan laporan

penelitian yang tentu relevan dengan kajian ini.

3. Instrumen Pengumpulan Data

Langkah dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu: pertama,

observasi.108

Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang

spesifik karena observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam

yang lain. Kedua, wawancara.109

Wawancara menjadi teknik yang penting selain

observasi dalam proses pengumpulan data karena ternyata masih banyak data-data

yang masih berada dalam ingatan pelaku atau pegiat budaya Cirebon, termasuk

tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama Ketiga, pencatatan. Pencatatan ini

dilakukan pada saat wawancara berlangsung dan setelah wawancara. Pencatatan ini

dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan data sesuai kebutuhan yang

diperlukan peneliti. Keempat, dokumentasi.110

Semua dokumentasi, baik gambar

maupun keterangan yang berkaitan dengan penelitian digunakan guna melengkapi

catatan hasil observasi dan wawancara.

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

108

C. Pope & D. Allen, “Observational Methods”. Qualitative Research in Health Care,

2020, h. 67-81.; J. Rose & C. W. Johnson, “Contextualizing Reliability and Validity in

Qualitative Research: Toward More Rigorous and Trustworthy Qualitative Social Science in

Leisure Research”. Journal of Leisure Research, 2020, h. 1-20. 109

Chien-Juh Gu, “Qualitative Interviewing in Ethnic-Chinese Contexts: Reflections

From Researching Taiwanese Immigrants in the United States”. International Journal of

Qualitative Methods, vol. 19, 2020. 110

J. Pakkanen, A. Brysbaert, D. Turner, & Y. Boswinkel, “Efficient three-dimensional

field documentation methods for labour cost studies: Case studies from archaeological and

heritage contexts”. Digital Applications in Archaeology and Cultural Heritage, vol. 17,

2020, h. 1-10.

29

Seluruh data yang berhasil dikumpulkan melalui beberapa teknik pengumpulan

di atas, peneliti kemudian mencatat ulang semuanya untuk dijadikan sebagai catatan

lapangan. Data tersebut kemudian diolah dengan cara reduksi data melalui proses

inklusi dan eksklusi. Proses inklusi adalah mengambil data yang relevan dengan

penelitian, sedangkan proses eksklusi adalah membuang data yang tidak relevan.

Kemudian peneliti melakukan proses coding atau pemberian kode agar sumber

datanya tetap dapat ditelusuri dengan mudah dan cepat.langkah berikutnya, catatan-

catatan yang telah diberi kode tersebut diedit (editing) dengan cara dipilah-pilah,

diklasifikasi, disintesiskan dan dibuat ikhtisarnya. Langkah berikutnya penulis

melakukan pemaknaan terhadap data-data tersebut. Data yang diperoleh dianalisis

kemudian dideskripsikan secara kualitatif. Metode kualitatif deskriptif adalah

menggambarkan dan memaparkan data hasil penelitian, baik yang bersumber dari

wawancara, observasi, dan dokumentasi, dengan berupa kalimat-kalimat atau

paragraf-paragraf bukan berupa angka-angka statistik atau bentuk angka lainnya.

Analisa kualitatif digunakan untuk menganalisis proses sosial yang berlangsung dan

makna dari fakta-fakta yang tampak dipermukaan itu. Dengan demikian, maka

analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta dan bukan

sekedar untuk menjelaskan fakta tersebut.111

Teknik analisis deskriptif dilakukan dalam tiga siklus (reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan). Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul

dari catatan tertulis di lapangan. Selama kegiatan pengumpulan data berlangsung,

dilakukan analisis data. Proses analisis data meliputi: 1) menetapkan fokus

penelitian. 2) menyusun temuan-temuan data yang diperoleh. 3) membuat rencana

pengumpulan data berikutnya sesuai temuan-temuan dari data yang dikumpulkan

sebelumnya. 4) mengembangkan pertanyaan untuk pengumpulan data berikutnya. 5)

menggali sumber-sumber kepustakaan yang berhubungan dengan pemanfaatan

media para profesional.112

Penulis menyajikan data tersebut dalam jenis penelitian

kualitatif-deskriptif, karena data yang diteliti adalah data verbal yang tidak

berbentuk angka-angka, tetapi dalam bentuk kata, kalimat, dan ungkapan-ungkapan

yang tertuang dalam naskah atau teks. Kemudian pada bagian akhir adalah

penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan cara deduktif, yaitu memulai analisis

dari hal-hal yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.

G. Sistematika Pembahasan

Secara umum studi tentang akulturasi budaya Tionghoa dan Cirebon di

Kesultanan Cirebon terdiri dari enam bab pembahasan. Bab I adalah bab

111

H. Kyngäs, “Qualitative Research and Content Analysis” In The Application of

Content Analysis in Nursing Science Research, (Cham: Springer, 2020), h. 3-11.; C. S.

Barroso, A. E. Springer, C. M. Ledingham, & S. H. Kelder, “A Qualitative Analysis of the

Social And Cultural Contexts that Shape Screen Time Use in Latino Families Living on the

US-Mexico Border”. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-

being, vol. 15, no. 1, 2020, h. 1735766. 112

M. Islam, “Data Analysis: Types, Process, Methods, Techniques and Tools”.

International Journal on Data Science and Technology, vol. 6, no. 10, h. 2020.

30

pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah,

perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kajian terdahulu yang relevan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II

adalah bab yang membahas soal interaksi budaya Tionghoa, Nusantara dan Islam.

Bab ini mendiskusikan konsep budaya secara umum yang mencakup teori

akulturasi, asimilasi dan difusi; kedatangan etnis Tionghoa: jejak Cheng Ho dan

Muslim Tionghoa; pra kolonial: Muslim Tionghoa sebagai budaya hibrida; dan

bagian terakhir bab ini membahas kemunduran budaya Muslim Tionghoa-Jawa di

era Kolonial Belanda. Bab III adalah bab yang membahas sejarah Kesultanan

Cirebon. Secara spesifik bab ini mengurai profil kesultanan, dialektika politik dan

Islam, serta perkembangan masyarakat Cirebon mulai dari sejarah Daerah Cirebon,

masuknya etnis Tionghoa ke Cirebon, Daerah Cirebon dalam lintas dagang, serta

Cirebon sebagai basis syiar Islam. Bab IV adalah bab yang membahas relasi sosial-

budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon yang secara spesifik mengurai

beberapa poin menyangkut budaya Cirebon, corak budaya Tionghoa, serta

pergumulan budaya Tionghoa dengan budaya Cirebon. Bab V adalah bab analisis

tentang budaya Tionghoa dan Cirebon. Secara spesifik bab ini membahas tentang

makna simbolik dan filosofis dari arsitektur Keraton Kasepuhan, Kereta Kencana

Singa Barong, Batik Cirebon dan Guha Sunyaragi. Bab VI adalah bab penutup yang

berisi tentang kesimpulan dan saran, serta dilengkapi dengan daftar pustaka sebagai

rujukan.

31

BAB II

INTERAKSI BUDAYA: TIONGHOA, NUSANTARA DAN ISLAM

A. Konsep Kebudayaan: Akulturasi, Asimilasi dan Difusi

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayahbentuk jamak

dari buddhi (budi atau akal).1 Kebudayaan secara sederhana dapat diartikan sebagai

hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Para sarjana kemudian membedakan istilah

“budaya” dan “kebudayaan”. Budaya didefinisikan sebagai cipta, karsa dan rasa,

sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa.2 Dalam diskursus

antropologi budaya, perbedaan definisi antara budaya dan kebudayaan itu

ditiadakan, di mana kata “budaya” hanya dipakai sebagai suatu singkatan dari

“kebudayaan”, namun keduanya memiliki arti yang sama. Sementara “kebudayaan”

dalam literatur Inggris disebut culturedari kata Latin colere yang berarti

mengolah atau mengerjakan.3 Selain istilah “kebudayaan” (culture), dikenal juga

istilah “peradaban” (civilization)digunakan untuk menyebut unsur kebudayaan

yang halus, maju dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, norma pergaulan,

kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya.4 Istilah “peradaban”

juga sering digunakan untuk menyebut kebudayaan yang mempunyai sistem

teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dari

masyarakat kota yang maju dan kompleks.5

Dalam khazanah keislaman ada „urf atau „adah yang biasa disinonimkan

dengan budaya. „Urf adalah kebiasaan dan prilaku masyarakat dalam menjalani

kehidupan sehari-hari yang kemudian dijadikan adat-istiadat turun temurun, baik

ucapan maupun perbuatan. Karena „urf merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari manusia, maka para ahli menempatkan „urf sebagai salah satu instrumen dalam

1M. Susi, D. A. Purnama, I. Nany, A. Prima & R. Krasnobaev, “Cultural

Sciences”. Cultural Sciences, vol. 34, no. 3, 2019. 2D. Saleebey, “Culture, Theory, and Narrative: The Intersection of Meanings in

Practice”. Social Work, vol. 39, no. 4, 1994, h. 351-359.; H. C. Triandis & D. P. S. Bhawuk,

“Culture Theory and the Meaning of Relatedness”. In P. C. Earley & M. Erez (eds.), The

New Lexington Press Management and Organization Sciences Series and New Lexington

Press Social and Behavioral Sciences Series. New Perspectives on International

Industrial/Organizational Psychology, (The New Lexington Press/Jossey-Bass Publishers,

1997), h. 13–52. 3D. P. Bhawuk, “The Role of Culture Theory in Cross-cultural Training: A

Multimethod Study of Culture-specific, Culture-general, and Culture Theory-based

Assimilators”. Journal of Cross-cultural Psychology, vol. 29, no. 5, 1998, h. 630-655. 4S. Mennell & J. Rundell, “Introduction: Civilization, Culture and the Human Self-

image”. In Classical Readings on Culture and Civilization, (Routledge, 2017), h. 9-44.; J. P.

Arnason, “Civilization, Culture and Power: Reflections on Norbert Elias' Genealogy of the

West”. Thesis Eleven, vol. 24, no. 1, 1989, h. 44-70. 5Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015), h.

146.

32

merumuskan hukum. Ada salah satu kaidah ushul yang berbunyi: “al-„adah

muhakkamah” yang menunjukkan bahwa „urf itu punya posisi penting.6

Agama (Islam) dan budaya (lokal) masing-masing memiliki simbol-simbol dan

nilai tersendiri. Islam adalah simbol yang melambangkan ketaatan kepada Allah.

Kebudayaan (lokal) juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup

didalamnya dengan ciri khas kelokalannya. Agama memerlukan sistem simbol, atau

dengan kata lain memerlukan kebudayaan agama, namun keduanya berbeda. Agama

adalah sesuatu yang final, universal dan absolut, sedangkan kebudayaan bersifat

particular, relative dan temporer. Meski demikian, dialektika di antara keduanya

adalah sebuah keniscayaan. Islam memberikan warna dan spirit pada kebudayaan

setempat, sedangkan kebudayaan lokal memberi kekayaan kepada Islam.7

Manusia dalam pandangan Islam diposisikan sebagai khalifah (wakil Allah) di

bumi (QS. al-Baqarah [2]: 30). Tugas manusia sebagai khalifah disempurnakan

dengan tugas „ubudiyyah-nya sebagai hamba Allah. Sebagai khalifah Allah,

manusia harus berperan aktif di dunia, dan memiliki kewajiban memakmurkan

bumi, mengelolanya demi kemaslahatan bersama, memelihara keharmonisan

dengan lingkungan alam dan menebar kebaikan di alam semesta. Manusia harus

memelihara alam dengan penuh kasih sayang, mampu menjaga keharmonisan

terhadap, litosfir, atmosfir, tanah, mineral, energi serta air. Dalam menjalani

perannya di muka bumi, manusia harus selalu menyadari akan tanggung jawabnya

sebagai khalifah. Sehingga sekalipun manusia sudah mampu mencapai kebudayaan

yang tinggi, manusia tetap tidak akan semena-mena mengeksploitasi alam.

Beberapa ahli berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan.

Koetjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan sosial yang didapat melalui

proses belajar. Koentjaraningrat lebih lanjut mengatakan kebudayaan memiliki

unsur-unsur yang bersifat universalditemukan di semua kebudayaan bangsa-

bangsa di duniaada bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem

peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan

kesenian.8 Ini berarti bahwa seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan. Hampir

seluruh tindakan manusia dalam masyarakat dibiasakan melalui proses belajar

6T. M. Salisu, “„Urf/„Adah (Custom): An Ancillary Mechanism in Shari „ah”. Ilorin

Journal of Religious Studies, vol. 3, no. 2, 2013, h. 133-148.; A. Shabana, “'Urf and'Adah

within the Framework of Al-Shatibi's Legal Methodology”. UCLA J. Islamic & Near

EL, vol. 6, 2006, h. 87.; A. Rachim, “Al Adah Muhakkamah”. Al-Mawarid Journal of

Islamic Law, vol. 4, 1995, h. 8-13. 7S. Bin Zayyad & B. R. Sinclair, “Culture, Context+ Environmental Design:

Reconsidering Vernacular in Modern Islamic Urbanism”. Architectural Research:

Addressing Societal Challenges, vol. 1, 2017, h. 535-542.; H. Al-Aoufi, N. Al-Zyoud, & N.

Shahminan, “Islam and the cultural conceptualisation of disability”. International Journal of

Adolescence and Youth, vol. 17, no. 4, 2012, h. 205-219.; B. Larkin, B. Meyer, & E. K.

Akyeampong, “Pentecostalism, Islam & Culture”. Themes in West Africa's History, 2006, h.

286-312. 8Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi …, h. 165.

33

sebagaimana beberapa ahli antropologi seperti Wissler,9 Kluckhohn,

10 Davis dan

Hoebel11

mengatakan kebudayaan dan tindakan kebudayaan adalah segala tindakan

yang harus dibiasakan oleh manusia melalui belajar. Hanya sedikit yang tidak perlu

dibiasakan melalui belajar, yaitu beberapa tindakan naluri, beberapa tindakan

refleks dan beberapa tindakan membabi buta.

Lebih lanjut Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud, yaitu:

1. Wujud kebudayaan yang berupa ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan

sebagainya. Kebudayaan ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto.

Letaknya didalam kepala atau alam pikiran warga masyarakat.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktifitas serta Tindakan berpola dari

manusia itu sendiri, atau biasa juga disebut sistem sosial. Sistem sosial ini

terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan

bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun

ke tahun, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

Wujud yang kedua ini bersifat kongkrit, dapat diobservasi, difoto dan

didokumentasi.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga

ini disebut juga kebudayaan fisik. Benda fisik ini merupakan hasil ide-ide

atau pikiran-pikiran dan Tindakan manusia.12

Geertz melangkah lebih komprehensif mengatakan kebudayaan adalah

keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimilki manusia sebagai

makhluk sosial. Sistem gagasan itu kemudian melahirkan simbol-simbol yang

ditransmisikan secara historis. Masyarakat kemudian menggunakan model

pengetahuan ini untuk berkomunikasi, bersikap dan bertindak dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang

dimilki bersama dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan

proses perorangan. Geertz kemudian menyarankan agar dalam memahami suatu

kebudayaan juga harus memerhatikan maknanya, jangan hanya fokus pada tingkah

laku ataupun hubungan sebab-akibat.13

Seorang ahli antropologi harus mampu

menafsirkan simbol-simbol agar dapat memahami makna dari sebuah kebudayaan.

Berangkat dari pendapat Geertz, Purwanto mengatakan pemahaman kebudayaan

9S. A. Freed & R. S. Freed, “Clark Wissler and the Development of Anthropology in

the United States”. American Anthropologist, vol. 85, no. 4, 1983, h. 800-825. 10

R. Boroch, “A Formal Concept of Culture in the Classification of Alfred L. Kroeber

and Clyde Kluckhohn”. Analecta, vol. 25, no. 2, 2016. 11

E. A. Hoebel, “Anthropology in Education”. Yearbook of Anthropology, 1955, h.

391-395.; Lihat juga E. A. Hoebel, “Karl Llewellyn: Anthropological Jurisprude”. Rutgers

Law Review, vol. 18, 1963, h. 735.; E. A. Hoebel, Man in the Primitive World: An

introduction to Anthropology, vol. 1, (New York: Toronto: McGraw-Hill Book Company,

1949). 12

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…,h. 150-152. 13

C. Geertz, The Interpretation Cultures, (New York: Basic Books Inc. Publisher,

1973), h. 89.

34

juga meliputi bagaimana warga masyarakat melihat, merasakan dan berfikir

mengenai sesuatu di sekelilingnya.14

Pendapat para ahli sebelumnya tidak jauh berbeda dengan Tumanggor yang

mengatakan kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut

masyarakatikut memengaruhi perilakunya dalam menghadapai tantangan

kehidupan di sekitarnya.15

Kebudayaan itu tidak dibawa dari lahir, namun diperoleh

dari proses belajar sebagaimana Tumanggor lebih spesifik mengatakan kebudayaan

lahir dalam kehidupan masyarakat melalui tiga perwujudan, yakni wujud

kebudayaan sebagai sistem gagasan, wujud kebudayaan sebagai aktifitas sosial dan

wujud kebudayaan yang melahirkan materi budaya, baik yang melekat dalam jiwa

atau pikiran ataupun materi yang ada di kebendaan (artefak).16

Upaya pendefinisian konsep kebudayaan juga diutarakan Tylor bahwa

kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,

adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai

bagian dari anggota masyarakat.17

Sejak 1950-an, ahli antropologi seperti Kroeber

dan Kluckhohn mencoba merumuskan kembali kosep kebudayaan secara lebih

sistematik dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions

(1952). Mereka berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah

laku manusia, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui

simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-

kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi. Dalam hal

ini, struktur sosial hanya dianggap sebagai salah satu segi dari masyarakat.

Kluckhohn juga mengatakan bahwa ada unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya

universal dalam setiap kebudayaan manusia; meliputi sistem organisasi sosial,

sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem pengetahuan, kesenian dan religi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap unsur kebudayaan pada hakikatnya

mengandung tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial dan artefak.

Sementara itu, pada setiap unsur-unsur kebudayaan juga menjelma wujud dari

kebudayaan, baik sebagai sistem budaya, sistem sosial maupun artefak.18

Secara spesifik Yuanzhi membagi budaya dalam dua pengertian, yakni

pengertian sempit dan pengertian luas. Budaya dalam pengertian sempit mengacu

kepada semua hasil kegiatan dan akal budi manusia seperti sastra, seni, pendidikan,

kepercayaan, adat istiadat, dan sebagainya. Sementara budaya dalam pengertian

14

Hari Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 58-59. 15

Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010), h.

141. 16

Tumanggor dkk., Ilmu Sosial & Budaya…, h. 23-25. 17

E. B. Taylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology,

Philosophy, Religion, Art, and Custom, vol. 2, (London: John Murray, Albemarle Street,

1871), h. 401. Lihat juga T. Larsen, “EB Tylor, Religion and Anthropology”. The British

Journal for the History of Science, 2013, h. 467-485.; L. Ratnapalan, “EB Tylor and the

Problem of Primitive Culture”. History and Anthropology, vol. 19, no. 2, 2008, h. 131-142. 18

A. L. Kroeber & C. Kluckhohn, “Culture: A Critical Review of Concepts and

Definitions”. Papers: Peabody Museum of Archaeology & Ethnology, Harvard University,

vol. 47, no. 1, 1952, h. viii.

35

luas berarti keseluruhan pengetahuan dan kreasi manusia, baik yang bersifat materi

maupun non materi.19

Artinya, sifat budaya itu saling memengaruhi, atau budaya

antar bangsa itu bersifat timbal balik. Suatu bangsa memengaruhi bangsa lain

sekaligus menerima pengaruh dari bangsa lain, dan itu yang terjadi pada budaya

Tionghoa dan Indonesia.20

Linton membagi kebudayaan menjadi dua, yakni budaya yang nampak (overt

culture) dan bagian yang tidak nampak (covert culture).21

Hoenigman sebagaimana

dikutip Barzilai mengatakan wujud kebudayaan yang tidak nampak (covert culture)

adalah ide atau gagasan, sesuatu yang abstrak yang berbeda dengan overt culture.

Namun, overt culture juga merupakan bagian dari sistem budaya, karena sistem

budaya tidak hanya gagasan-gagasan tetapi mencakup sistem nilai budaya, konsep-

konsep, tema-tema pikir dan keyakinan.22

Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Budaya ada karena adanya manusia, atau dengan kata lain, pendukung

kebudayaan adalah manusia itu sendiri. Budaya tidak akan mati sekalipun

manusianya mati, karena kebudayaan yang ada akan diwariskan kepada

keturunannya dan seterusnya. Pewarisan kebudayaan tidak selalu bersifat vertikal

tetapi bisa juga horizontal, yaitu manusia yang satu belajar kebudayaan dari

manusia lainnya.23

Setiap pengalaman yang dialami manusia, akan diteruskan dan

dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lain.

Kebudayaan itu bukan sesuatu yang statis dan kaku, tetapi senantiasa berubah

sesuai dengan perubahan sosial yang ada. Suatu budaya dalam masyarakat akan

terus mengalami perubahan termasuk tradisi, dan biasanya, perubahan budaya itu

terjadi karena adanya kontak komunikasi atau dialog melalui bahasa. Tanpa bahasa,

proses pengalihan kebudayaan tidak akan terjadi. Dialog meniscayakan adanya

persamaan dan kesamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Anggapan bahwa

kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan lain hanya akan melahirkan

fasisme, nativisme dan chauvinisme. Dengan dialog diharapkan ada ide baru yang

19

Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu

Populer, 2005), h. xviii. 20

H. Kurniawan, “The Role of Chinese in Coming of Islam to Indonesia: Teaching

Materials Development Based on Multiculturalism”. Paramita: Historical Studies

Journal, vol. 27, no. 2, 2017, h. 238-248. 21

R. Linton, The Study of Man: An Introduction, (Appleton-Century, 1936). 22

G. Barzilai, Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities,

(University of Michigan Press, 2003), h. 109. 23

D. Nettle, “Selection, Adaptation, Inheritance and Design in Human Culture: The

view from the Price Equation”. Philosophical Transactions of the Royal Society, vol. 375,

no. 1797, 2020, h. 20190358.; R. Wang, “Inheritance of Intangible Cultural Heritage of

Oroqen Ethnic Group Based on Computer Network Culture”. In Journal of Physics:

Conference Series, vol. 1574, no. 1, (IOP Publishing, 2020), h. 012003.; W. Su, “Study on

the Inheritance and Cultural Creation of Manchu Qipao Culture”. In 3rd International

Conference on Art Studies: Science, Experience, Education (ICASSEE 2019), (Atlantis

Press, 2019).

36

bisa memperkaya kebudayaan, dan di samping untuk memperkaya kebudayaan,

dialog juga bertujuan untuk mencari titik temu antar kebudayaan yang ada.24

Budaya dalam perkembangannya akan terus mengalami perubahan, tidak

bersifat konstan. Perubahan budaya bisa saja terjadi karena pertemuan dua atau

lebih budaya. Koentjaraningrat dalam konteks ini mengatakan perubahan

kebudayaan bisa terjadi melalui lima proses, yaitu: 1) Proses belajar terhadap

kebudayaan itu sendiri yang meliputi proses internalisasi, proses sosialisasi dan

proses enkulturasi. Proses enkulturasi adalah proses penyesuaian pikiran, sikap

terhadap adat, sistem norma dan dan peraturan yang ada dalam suatu kebudayaan.

2) Proses evolusi, yaitu perubahan budaya yang terjadi secara berulang namun

dalam rentang waktu yang panjang. 3) Proses diffusi, yaitu perubahan budaya yang

terjadi karena migrasi yang dilakukan oleh kelompok manusia yang membawa

unsur kebudayaannya. 4) Proses inovasi, yaitu perubahan budaya yang terjadi

karena adanya penemuan baru dalam kebudayaan, misal teknologi. 5) Proses

akulturasi dan asimilasi yaitu perubahan sosial yang terjadi karena adanya

percampuran unsur budaya asing terhadap budaya setempat.25

Kebudayaan pada dasarnya memuat beragam corak, yakni bisa bentuknya tetap

atau sulit berubah, kebudayaan yang dipengaruhi unsur kebudayaan asing (covert

culture)26

serta kebudayaan yang lentur dengan perkembangan jaman sehingga

mudah beradaptasi dengan unsur-unsur kebudayaan asing (overt culture).27

Beberapa contoh covert culture adalah keyakinan keagamaan yang dianggap suci,

beberapa adat yang sudah dipelajari dan diamalkan sejak kecil, dan sistem nilai-

nilai budaya. Sementara yang termasuk overt culture adalah kebudayaan fisik

seperti alat teknologi dan benda-benda yang berguna bagi kehidupan sehari-hari,

serta gaya hidup dan ilmu pengetahuan.28

Seiring perkembangannya, kebudayaan mengalami perubahan begitu cepat,

dan para antropolog tidak dapat meneliti masyarakat seperti itu tanpa mempelajari

keadaaan sebelumnya. Sementara sebuah kebudayaan akan dipahami secara

komprehensif jika dipahami juga konteks masa lalunya. Karena anggapan seperti

itu, maka pendekatan historis diperlukan. Para ahli antropologi dari Amerika Latin

banyak yang menggunakan data historis dalam penelitiannya. Data historis ini

24

Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016), h.

xiii. 25

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977),

h. 142. 26

L. E. Brown, “Cold War, Culture Wars, War on Terror: the NEA and the art of public

diplomacy”. Cold War History, 2020, h. 1-19.; T. Schmader, H. B. Bergsieker, & W. M.

Hall, “Cracking the Culture Code”. In Applications of Social Psychology by J. Forgas, K.

Fiedler & W. Crano (ed.), (New York: Routledge, 2020), h. 334-355. 27

R. Busbridge, B. Moffitt & J. Thorburn, “Cultural Marxism: Far-right Conspiracy

Theory in Australia‟s Culture Wars”. Social Identities, 2020, h. 1-17.; R. K. Lawrence, M.

Edwards, G. W. Chan, J. A. Cox, & S. C. Goodhew, “Does Cultural Background Predict the

Spatial Distribution of Attention?. Culture and Brain, 2019, h. 1-29. 28

L. Qian & M. Garner, “A Literature Survey of Conceptions of the Role of Culture in

Foreign Language Education in China (1980–2014)”. Intercultural Education, vol. 30, no. 2,

2019, h. 159-179.

37

dipakai jika diperlukan, bukan untuk menonjolkan permasalahannya sebagaimana

juga Herskovits menggunakan data sejarah dalam penelitiannya di kalangan orang

Negro.29

Boas (1858-1942) adalah salah seorang pelopor aliran historisme Amerika,

bahkan akhirnya dianggap sebagai bapak antropologi Amerika. Boas berpendapat

bahwa sejarah dapat dijadikan alat untuk memahami kebudayaan yang tersebar di

muka bumi. Perhatian Boas terhadap analisis spesifik dari cultural history agaknya

sangat dipengaruhi oleh dua tradisi ilmu pengetahuan di luar paham evolusionis

yang berkembang di Amerika pada waktu itu, yaitu pendekatan geografi dan

pendekatan field work. Boas berpendapat bahwa berbagai peristiwa unik dan

spesifik yang pernah terjadi dalam sejarah akan dapat dipakai untuk menjelaskan

fenomena kebudayaan di masa sekarang. Menurutnya, kehidupan yang nampak

sekarang yang terjadi pada suatu masyarakat adalah akibat dari peristiwa masa lalu.

Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi dalam kehidupan suatu bangsa juga

dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar masyarakat tersebut.30

Persoalan mengenai proses perubahan kebudayaan dalam dunia antropolgi

merupakan suatu persoalan pokok bahkan sejak zaman lahirnya ilmu ini. Awalnya

perubahan kebudayaan dianggap sebagai akibat adanya suatu kekuatan yang

terdapat di dalam inti dari tiap-tiap kebudayaan di dunia. Kekuatan yang dimaksud

di dalam tiap-tiap kebudayaan adalah kekuatan evolusi. Di samping itu, timbul juga

anggapan bahwa proses perubahan kebudayaan itu adalah akibat dari adanya gerak

persebaran dan perpaduan kembali dari kebudayaan-kebudayaan yang ada, dikenal

dengan istilah “difusi”.

Penyelidikan yang mengkhususkan terhadap proses-proses yang terjadi apabila

dua kebudayaan bertemu atau akulturasi terjadi pada perkembangan selanjutnya.

Menurut Koentjaraningrat karangan-karangan yang bersifat teoritis sudah ada sejak

tahun 1910 namun belum mempunyai dasar yang kuat. Misalnya, karangan G. Sergi

(1911)31

tentang pengaruh yang berbeda-beda kekuatannya dari suatu kebudayaan

asing pada berbagai adat-istiadat dalam suatu kebudayaan asli, karangan Triggs

(1912)32

tentang runtuhnya kebudayaan asli yang kena pengaruh kebudayaan asing,

kemudian karangan Marett (1918)33

tentang alam pikiran suatu bangsa asli yang

kena pengaruh kebudayaan asing.34

29

M. J. Herkovits, Acculturation: The Study of Culture Contact, (New York: Peter

Smith, 1958). 30

F. Boas, “History and Science in Anthropology: A Reply”. American Anthropologist,

vol. 38, no. 1, 1936, h. 137-141. 31

G. Sergi, L'uomo secondo le origini, l'antichità, le variazioni e la distribuzione

geografica. Sistema naturale di classificazione. Con 212 figure nel testo, 107 tavole

separate e una carta geografica dei generi umani, (Fratelli Bocca, 1911). 32

O. L. Triggs, “The Decay of Aboriginal Races (Illustrated)”. The Open Court, no.

10, 1912. 33

R. R. Marett, “Presidential Address. The Transvaluation of Culture”. Folklore, vol.

29, no. 1, 1918, h. 15-33. 34

Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan

Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1958), h. 442.

38

Lembong berpendapat bahwa membangun sebuah bangsa harus dimulai dari

membangun kebudayaannya, begitupun membangun Indonesia harus dimulai dari

jantung kebudayaan yaitu manusianya. Selama ini semua orang hanya fokus pada

pembangunan fisik dan mengabaikan “pembangunan” manusianya. Lembong

melalui idenya yang dikenal dengan istilah “penyerbukan silang antarbudaya”

(cross culture fertilization) berupaya membangun manusia Indonesia agar dapat

mengembangkan potensi yang dimiliki.35

Manusia Indonesia harus mampu

melakukan penyerbukan silang antar budaya-budaya unggul yang ada, juga budaya-

budaya unggul yang berada dari luar, atau budaya asing. Menurutnya, tiap-tiap

daerah atau bangsa memiliki unsur-unsur kebaikan dan keunggulan termasuk etnis

Tionghoa, yang apabila dipadukan akan menghasilkan sebuah “budaya Indonesia

baru” yang unggul. Budaya Indonesia harus mampu menjadikan manusia Indonesia

mampu mengambil budaya luhur yang ditemui serta kemudian

mengembangkannya.

Dengan jalan penyerbukan silang antar budaya, etos kerja yang bagus, yang

dimiliki sebuah kelompok bisa diterapkan di kelompok lain dan melahirkan budaya

baru, yakni etos kerja dalam bingkai budaya Indonesia. Jadi, dalam penyerbukan

silang antarbudaya, kita tidak hanya mengakui adanya kemajemukan yang ada di

Indonesia, namun juga mengakui bahwa setiap daerah atau kelompok memiliki

kebaikan-kebaikan dan keunggulan yang kalau keunggulan-keunggulan itu

dipadukan akan menghasilkan budaya Indonesia baru yang unggul yang mampu

berdiri tegak dan bersaing kompetitif dengan semua budaya bangsa dalam bingkai

peradaban dunia. Dalam konteks ini, penyerbukan silang antarbudaya adalah sebuah

bentuk strategi kebudayaan baru untuk memajukan Indonesia.36

1. Akulturasi

Akulturasi adalah proses di mana kontak antara kelompok budaya yang

berbeda mengarah pada perolehan pola budaya baru oleh satu kelompok, atau

mungkin kedua kelompok, dengan adopsi semua atau sebagian budaya yang lain.

Pendefinisian tersebut sebagaimana dalam Dictionary of Sociology, dijelaskan

bahwa “Acculturation is a process in which contacts between different cultural

groups lead to the acquisition of new cultural patterns by one group, or perhaps both

groups, with the adoption of all or parts of the others‟s culture”.37

Sementara

Redfield, Linton dan Herskovits adalah yang pertama kali memberikan definisi

secara sistematik tentang akulturasi. Mereka mengatakan akulturasi akan terjadi

ketika kelompok individu yang memiliki budaya berbeda bersentuhan langsung dan

akan mengakibatkan perubahan dalam pola budaya asli dari salah satu atau kedua

35

A. Rukmana dan E. Lembong (ed.), Penyerbukan Sialng Antarbudaya: Membangun

Manusia Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Kompatindo, Jakarta, 2015). 36

J. Oetama dan A. S. Maarif, Penyerbukan Silang Antar Budaya: Membangun

Manusia Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2015), h. xii-xxvi. 37

David Jary dan Julia Jary, HarperCollins Dictionary of Sociology, (New York:

HarperPerennial, 1991), h. 3.

39

kelompok tersebut.38

Namun, definisi tersebut dalam perkembangannya mendapat

banyak kritikan dari para antropolog kemudian, karena ada beberapa poin yang sulit

ditafsirkan. Misalnya, perbedaan antara akulturasi dan asimilasi, akulturasi itu suatu

proses ataukah menunjukkan suatu keadaan?. Sekalipun terdapat kesulitan,

keduanya masuk dalam ruang lingkup studi perubahan kebudayaan.

Thurnwarld mengatakan “acculturation is a process, not an isolated event”.39

Dalam konteks ini Thurnwarld lebih menekankan pada proses yang terjadi di

tingkat individual karena suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru

itulah yang disebut dengan akulturasi. Dalam konteks ini Koentjaraningrat

mengatakan akulturasi juga bisa digunakan untuk membahas berbagai hal yang

berkaitan dengan penyesuaian individu terhadap suatu budaya baru. Contohnya

dalam sejarah kebudayaan manusiabanyak yang melakukan migrasi yaitu gerak

perpindahan suku bangsa dari suatu tempat ke tempat lain yang menyebabkan

bertemunya antar kelompok manusia dengan kebudayaan berbeda, dan sebagai

akibatnya, individu-individu itu dihadapkan pada kebudayaan asing.40

Akulturasi itu sendiri sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat merupakan

proses sosial yang terjadi bila mana dalam suatu masyarakat dengan suatu

kebudayaan tertentu, dipengaruhi unsur kebudayaan asing yang berbeda sifatnya.

Unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasi dan diintegrasikan ke

dalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri.41

Jalan

yang dilalui akulturasi sebagaimana Soekanto mengatakan bisa dibedakan antara

penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu

yang ada dalam masyarakat. Meskipun ia sendiri menyatakan bahwa lembagalah

yang mendapat penilaian tertinggi menjadi saluran utama.42

Jadi, akulturasi pada

dasarnya merupakan fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu

berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan

pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua kelompok tersebut. Jika ada dua

masyarakat atau lebih menjalin kontak sosial dalam waktu yang cukup lama, maka

cepat atau lambat kebudayaan dari masing-masing pihak yang bersangkutan tentu

akan saling berkenalan dan saling memengaruhi. Akibat, kontak kebudayaan

tersebut menimbulkan proses akulturasi. Proses akulturasi di antaranya dapat terjadi

antara aspek material dan non-material dari kebudayaan yang sederhana dengan

kebudayaan yang kompleks, dan antara kebudayaan yang kompleks dengan

kebudayaan yang kompleks pula.43

Sementara Saebani mengatakan akulturasi meliputi fenomena yang timbul

sebagai hasil percampuran kebudayaan jika berbagai kelompok manusia dengan

38

R. Redfield, R. Linton, & M. J. Herskovits, “Memorandum for the Study of

Acculturation”. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 149-152. 39

R. Thurnwald, “The Psychology of Acculturation”. American Anthropologist, vol. 34,

no. 4, 1932, h. 557-569. 40

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djembatan,

1990), h. 248. 41

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan…, h. 91. 42

S. Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h.

367-368. 43

B. A. Saebani, Pengantar Antropolog, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 191.

40

kebudayaan yang beragam bertemu mengadakan kontak secara langsung dan terus

menerus, kemudian menimbulkan perubahan dalam pola-pola kebudayaan yang

original dari salah satu kelompok atau pada keduanya.44

Suyono dalam Kamus Antropologi mengatakan akulturasi merupakan

pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal

dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau

bertemu.45

Sementara Lauer mendefinisikan akulturasi sebagai proses sosial yang

dimulai sejak kedua kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai

melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah

satu kelompok atau keduanya.46

Berbeda dengan Joyomartono yang masih bersifat

“ragu-ragu” mengatakan bahwa dalam akulturasi bisa jadi hanya salah satu dari dua

kebudayaan yang berubah, namun bisa juga terjadi perubahan pada kedua

kebudayaan. Dari pengertian tersebut, akulturasi memiliki makna yang berbeda

dengan difusi. Suatu kebudayaan dapat mengambil anasir kebudayaan lain tanpa

terjadinya akulturasi.47

Pendapat Koetjaraningrat di atas senada dengan Keesing mengatakan

akulturasi sebagai suatu proses sosial yang timbul jika suatu kelompok manusia

dengan budaya-budaya tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur budaya asing

tertentu, sehingga kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah

kedalam kebudayaan sendiri, tetapi tanpa menyebabkan identitas kebudayaan

sendiri hilang.48

Pengertian yang sama juga dikemukakan Haviland bahwa

akulturasi adalah proses sosial yang terjadi jika dua kebudayaan atau lebih bertemu

dalam jangka waktu yang lama dan mengakibatkan perubahan-perubahan besar.49

Menurut Berry akulturasi merupakan proses perubahan budaya dan psikologis

yang terjadi sebagai akibat pertemuan dua atau lebih budaya dan anggota masing-

masing kelompok etnik. Akulturasi mengakibatkan perubahan budaya dan

psikologis karena adanya kontak dengan budaya lain. Perilaku seseorang cenderung

berubah setelah mengalami perjumpaan dengan budaya lain. Misalnya, ketika

Inggris menduduki India dan Afrika, maka banyak di antara orang India ataupun

Afrika yang terakulturasi ke dalam gaya hidup orang Inggris, juga banyak di antara

mereka yang berubah perilakunya, baik dari segi bahasa, agama, pakaian dan

lainnya.50

Di negara-negara Eropa yang memiliki banyak daerah jajahan atau di negeri

Amerika Serikat yang di dalam wilayahnya mempunyai penduduk dari suku-suku

bangsa Indianbanyak timbul perubahan masyarakat dan kebudayaan yang

44

Saebani, Pengantar Antropolog... h. 189. 45

A. Suyono, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 15. 46

R. H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj., (Jakarta: Rineka Cipta,

1993), h. 403. 47

M. Joyomartono, Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan,

(Semarang: IKIP Semarang Press, 1991), h. 41. 48

F. M. Keesing, Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological

Sources to 1952, no. 1. (New York: Octagon Books, 1973). 49

W. A. Haviland, Cultural Anthropology, (Wadsworth Publishing Company, 2002). 50

J. W. Berry, “Globalisation and Acculturation”. International Journal of Intercultural

Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-336.

41

merupakan perpaduan dari beberapa kebudayaan. Di Inggris, studi semacam ini

disebut culture contact, sedangkan di Amerika lebih banyak digunakan istilah

acculturation.51

Menurut Puspito akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses

sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu

dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian

rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke

dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan

itu sendiri.52

Senada dengan Puspito, Supatmo mengatakan akulturasi adalah

perubahan budaya yang terjadi jika dua kebudayaan atau lebih bertemu, kemudian

kebudayaan asing itu secara bertahap diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri

tanpa mengakibatkan hilangnya karakter atau identitas budaya itu. Lebih jauh

Supatmo mengatakan bahwa proses perubahan budaya yang terjadi tidak selamanya

kelompok kebudayaan setempat yang bersifat pasif dan kelompok budaya asing

yang aktif, tetapi bisa juga terjadi di antara mereka tindakan saling menerima dan

memengaruhi.53

Haviland mengatakan akulturasi bisa terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu: 1)

Substitusi. Bentuk substitusi adalah proses penggantian unsur kebudayaan lama

diganti dengan unsur kebudayaan baru yang lebih memberikan nilai bagi kehidupan

masyarakat. Misalnya, binatang kerbau yang digunakan untuk membajak sawah

diganti dengan mesin tractor. 2) Sinkretisme. Bentuk sinkretisme adalah proses

meleburnya budaya lama dengan unsur budaya baru sehingga tercipta kebudayaan

baru. Misalnya, bercampurnya unsur-unsur ajaran agama Hindu-Buddha dengan

ajaran Islam sehingga menghasilkan sistem kepercayaan Islam Kejawen. 3) Adisi

(addition). Unsur budaya yang lama yang masih berfungsi ditambah unsur baru

sehingga memberikan nilai lebih. Misalnya, beroperasinya kendaraan bermotor

untuk melengkapi alat transportasi tradisional seperti dokar, becak dan lain-lain. 4)

Dekulturasi (deculturation). Bentuk ini adalah proses hilangnya atau tidak

berfungsinya unsur-unsur kebudayaan lama digantikan dengan unsur kebudayaan

baru, sebagai contoh, mesin penggilingan padi yang sudah menggantikan

penggunaan lesung dan gebugan untuk menumbuk padi. 5) Originasi. Bentuk

originasi adalah proses masuknya unsur budaya baru yang sebelumnya tidak dikenal

sama sekali sehingga menimbulkan perubahan sosial dalam masyarakat. Misal,

masuknya teknologi listrik ke pedesaan telah menyebabkan perubahan besar dalam

berbagai aspek kehidupan masyarakat desa. Informasi yang diterima masyarakat

telah menimbulkan perubahan baik dalam bidang pendidikan, kesehatan,

perekonomian, gaya hidup, tingkah laku dan hiburan. 6) Penolakan (rejection).

Masyarakat yang tidak siap dan tidak setuju dengan proses percampuran cenderung

melakukan penolakan sebagaimana kerab dijumpai masih ada di antara masyarakat

51

Hari Poerwanto, “Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional”. Humaniora, vol. 11,

no. 3, 1999, h. 29-37. 52

Hendro Puspito, Sosiologi Semantik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 233. 53

Supatmo, “Keragaman Seni Hias Bangunan Bersejarah Masjid Agung Demak”.

Imajinasi, vol. 10, 2, 2016, h. 107–120.

42

yang tidak mau berobat ke dokter jika sakit dan lebih memilih berobat ke kyai atau

dukun.54

Rohmanu dalam penelitiannya tentang pernikahan masyarakat etnik Jawa di

Selangor, Malaysia mendapati tradisi pernikahan yang dilakukan masyarakat Jawa

di Selangor masih mempertahankan tradisi-tradisi Jawa meskipun mereka sudah

lama beradaptasi dengan budaya Melayu sebagai tempat kelahirannya. Menurutnya

akulturasi yang terjadi mengarah pada substitusi dan sinkretisme. Substitusi dalam

arti bahwa ada beberapa tradisi Jawa yang diganti dengan budaya Melayu karena

dianggap memiliki substansi yang sama. Adapun yang dimaksud sinkretisme adalah

bahwa dua budaya itu melebur menjadi sebuah budaya baru yang sifatnya khas.55

Akulturasi juga menunjuk pada terjadinya perubahan yang dialami oleh

seseorang akibat kontak dengan budaya lainnya, sekaligus juga akibat keikutsertaan

dalam proses akulturasi yang memungkinkan budaya dan kelompok etnis

menyesuaikan diri dengan budaya yang lainnya. Akulturasi biasanya terjadi pada

seorang pendatang yang perlu menyesuaikan diri dengan budaya yang baru

ditemuinya. Perubahan budaya yang terjadi pada individu menunjuk pada sikap,

nilai, dan jati diri. Dalam kondisi seperti ini, kesiapan mental dan pendidikan

seseorang sangat menentukan dalam beradapatasi dengan budaya yang baru.56

Usman membagi proses akulturasi menjadi dua bentuk,57

yaitu: pertama,

akulturasi damai (penetration pasifique). Akulturasi ini terjadi jika masyarakat

penerima kebudayaan menerima unsur-unsur kebudayaan asing secara damai tanpa

paksaan. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia.

Kedua macam kebudayaan tersebut diterima masyarakat pribumi secara damai

tanpa konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh

kedua kebudayaan itupun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya

masyarakat. Kedua, akulturasi ekstrim (penetration violante). Akulturasi jenis ini

terjadi dengan cara merusak, memaksa lewat kekerasan, perang, dan penaklukkan.

Akibatnya, masyarakat yang dikalahkan dipaksakan untuk menerima unsur-unsur

kebudayaan asing dari pihak yang menang. Contohnya, masuknya kebudayaan

Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga

menimbulkan goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.

54

W. A. Haviland, Antropologi, terj. R. G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga, 1988), h. 263. 55

A. Rohmanu, “Acculturation of Javanese and Malay Islam in Wedding Tradition of

Javanese Ethnic Community at Selangor, Malaysia”. KARSA: Journal of Social and Islamic

Culture, vol. 24, no. 1, 2016, h. 52-66. 56

J. Cullum & H. C. Harton, “Cultural evolution: Interpersonal Influence, Issue

Importance, and the Development of Shared Attitudes in College Residence

Halls”. Personality and Social Psychology Bulletin, vol. 33, no. 10, 2007, h. 1327-1339.; J.

W. Berry, U. Kim, S. Power, M. Young, & M. Bujaki, “Acculturation Attitudes in Plural

Societies”. Applied Psychology, vol. 38, no. 2, 1989, h. 185-206.; T. P. Hannigan, “Traits,

Attitudes, and Skills that are Related to Intercultural Effectiveness and their Implications for

Cross-cultural Training: A Review of the Literature”. International Journal of Intercultural

Relations, vol. 14, no. 1, 1990, h. 89-111. 57

A. R. Usman, Etnis Cina Perantauan di Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2009), h. 45-47.

43

Dari sekian perdebatan, memang para antropolog mendefinisikan akulturasi

secara berbeda, tetapi semua sepakat bahwa konsep itu berkaitan dengan proses

sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaannya bertemu

dengan kelompok manusia yang lain kemudian terjadi proses saling memengaruhi

hingga terjadi perubahan pada kebudayaan asli suatu kelompok atau pada

keduanya.58

Powell adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep akulturasi

pada tahun 1883 ketika melakukan studi pada suku Numa salah satu suku Indian

yang menempati wilayah California, Arizona, Utah, Oregon dan Nevada. Sejak

konsep akulturasi diperkenalkan Powell, konsep ini menjadi topik menarik dalam

perbincangan para akademisi, dan banyak studi kemudian gencar dilakukakan yang

dilakukan Holmes (1886), Boas (1896) dan W. McGee (1898).59

Ketiganya

merupakan ilmuan dalam bidang etnologi atau antropologi budaya. Di awal 1910,

para sarjana antropologi mulai memerhatikan masalah akulturasi dengan melakukan

penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat dan kebudayaan dari berbagai suku

bangsa Indian (penduduk asli Amerika) yang disebabkan pengaruh kebudayaan

orang “kulit putih”, dan juga berbagai suku bangsa di Afrika, Oceania, Filipina dan

Indonesia, dan kemudian melukiskan berbagai perubahan yang terjadi pada

kehidupan dan kebudayaan mereka.60

Pada perkembangannya akulturasi tidak hanya menjadi fokus dalam disiplin

etnologi atau antropologi budaya, tetapi telah menarik perhatian para ilmuan di

bidang sosiologi dan psikologi. Dalam bidang sosiologi Simon menulis “Social

Assimilation”,61

sedangkan dalam bidang psikologi Thomas dan Znaniecki meneliti

dan menulis tentang fenomena akulturasi di kalangan para pendatang yang berasal

dari Polandia di negara Eropa dan Amerika, dan dipublikasikan pada tahun 1918

dengan judul The Polish Peasant in Europe and America; Monograph of an

Immigration Group”.62

Kemudian di tahun 1936 terbit sebuah artikel

“Memorandum for the Study of Acculturation” tulisan kolaboratif Robert

Redfield, Linton dan Herskovits63

dan menjadi pembuka bagi studi-studi

berikutnya. Pada tahun 1951 konsep akulturasi dijadikan sebagai konsep kerja oleh

International Organization for Migration untuk mengatasi masalah para imigran

dan pengungsi dengan maksud untuk membantu mereka mengatasi shock culture

dan kesehatan mental lainnya. Kaitannya dengan kesehatan mental, seorang pakar

psikologi, Berry menulis “Immigration, Acculturation and Adaption” telah banyak

mengupas soal kesehatan mental di kalangan para imigran atau pengungsi pada

58

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan…, h. 91. 59

J. W. Powell, Seeing Things Whole: The Essential John Wesley Powell, (Island

Press, 2004). 60

R. M. Keesing & F. M. Keesing, New Perspectives in Cultural Anthropology, (New

York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1971), h. 19. 61

S. E. Simons, “Social Assimilation”. American Journal of Sociology, vol. 6, no. 6,

1901, h. 790-822. 62

W. I. Thomas & F. Znaniecki, The Polish peasant in Europe and America:

Monograph of an immigrant group, vol. 2, (University of Chicago Press, 1918). 63

Redfield, Linton, & Herskovits, “Memorandum…, h. 149-152.

44

tahun 1997.64

Kemudian di tahun 2000, fenomena akulturasi menjadi diskursus

penting di kalangan para ilmuan ketika mengkaji studi perubahan budaya. Banyak

karya yang bermunculan pada periode ini, dua di antaranya adalah “Acculturation,

Living Successfully in Two Cultures” karya J. W. Berry pada tahun 2005,65

dan

“Rethingking the Concept of Acculturation, Implication for Theory and Research”

karya Schwartz, Unger, Zamboanga, dan Szapocznik tahun 2010.66

Sebenarnya, masalah akulturasi sudah lama dirumuskan oleh para pakar. Selain

membahas masalah metode untuk mengobservasi, mencatat dan mendeskripsikan

suatu proses akulturasi, juga ada empat masalah pokok yang berkaitan dengan

diskursus akulturasi, yaitu: (1) Unsur-unsur kebudayaan asing apakah yang mudah

diterima atau sukar diterima; (2) Unsur-unsur kebudayaan apakah yang mudah

diganti atau diubah oleh kebudayaan asing; (3) Individu-individu manakah yang

cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing, atau sebaliknya; (4) Ketegangan

dan krisis sosial sebagai akibat terjadinya akulturasi. Menurut Purwanto unsur

kebudayaan yang bersifat konkrit dan memiliki manfaat besar dalam kehidupan,

biasanya cenderung mudah diterima. Sementara unsur kebudayaan yang sukar

diterima biasanya yang berkaitan dengan upacara adat dan unsur kebudayaan yang

sudah berakar dari kecil. Dalam proses akulturasi juga dibahas tentang individu-

individu yang lambat atau cukup responsif menerima akulturasi. Dalam konteks ini

Purwanto mengatakan golongan muda tidak selalu lebih cepat menerima akulturasi

dari pada golongan tua. Cepat atau lambatnya seseorang dalam menerima proses

akulturasi sangat berkaitan dengan latar belakang yang melingkarinya dan

kepentingan apa yang terkait.67

Para ahli antropologi kemudian menaruh perhatian akan peristiwa terjadinya

proses akulturasi, agar dapat mengetahui dan memahami bagaiamana proses

tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan, baik perubahan sosial maupun

budaya. Sebagai salah satu bentuk proses sosial, akulturasi erat kaitannya dengan

pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Sebagai akibat dari pertemuan tersebut,

maka kedua belah pihak saling memengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka

mengalami perubahan bentuk. Artinya, akulturasi hanya akan terjadi jika ada dua

kebudayaan atau lebih bertemu. Selanjutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan

terjadinya akulturasi, di antaranya direct cultural transmissions,68

kasus-kasus mono

64

J. W. Berry, “Immigration, Acculturation, and Adaption”. Applied Psychology, An

International Review, vol. 46, 1997, h. 5-68. 65

J. W. Berry, “Acculturation: Living successfully in Two Cultures”. International

Journal of Intercultural Relations, vol. 29, no. 6, 2005, h. 697-712. 66

S. J. Schwartz, J. B. Unger, B. L. Zamboanga, & J. Szapocznik, “Rethinking the

Concept of Acculturation: Implications for Theory and Research”. American

Psychologist, vol. 65, no. 4, 2010, h. 237-251. 67

Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan…, h. 186-187. 68

D. Anzola & D. Rodríguez-Cárdenas, “A Model of Cultural Transmission by Direct

Instruction: An Exercise on Replication and Extension”. Cognitive Systems Research, vol.

52, 2018, h. 450-465.; S. Bar-Gill & C. Fershtman, “Integration Policy: Cultural

Transmission with Endogenous Fertility”. Journal of Population Economics, vol. 29, no. 1,

2016, h. 105-133.; C. Attias-Donfut, “Family transfers and cultural transmissions between

three generations in France”. Global Aging and Challenges to Families, 2003, h. 214-252.

45

kultural seperti ekologis dan demografis, serta modifikasi sebagai akibat pergeseran

kebudayaan, juga akulturasi bisa disebabkan oleh suatu reaksi adaptasi bentuk-

bentuk kehidupan yang tradisional.69

Akulturasi sebagai sebuah proses sosial yang erat kaitannya dengan pertemuan

dua kebudayaan atau lebih memerlukan sikap yang arif dalam menghadapi

perubahan-perubahan yang terjadi, atau dalam pengertian lain biarlah proses

akulturasi tetap berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Namun, agar dalam

perubahan yang terjadi tidak menyimpang dari akar budaya bangsa, maka

dibutuhkan suatu pedoman yang dapat menentukan arah perkembangan kebudayaan

bangsa. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 merupakan pedoman untuk

menangkal lajunya proses akulturasi agar tidak melenceng dari nilai-nilai inti

Pancasila sebagai konfigurasi kebudayaan bangsa.

Menurut Rudmin akulturasi yang selama ini dipahami sebagai bentuk yang

dapat menyatukan dua kebudayaan atau lebih, namun penomemena kontemporer

mengakibatkan sebaliknya, akulturasi menjadi pemicu benturan antar etnis,

benturan peradaban, bahkan tidak jarang terjadi perang antar suku (masyarakat

tempatan dengan pendatang).70

Kenyataan ini seperti yang terjadi pada benturan

kebudayaan di Papua atau yang sedang terjadi di Papua. Karena masyarakat Papua

heterogen, maka penyelesaian konflik harus menggunakan pendekatan antropologi

dan sosiologi budaya.71

Menurut penulis, penyelesaian dengan senjata bukan solusi

yang tepat untuk menyelesaikan masalah di Papua. Sebaiknya dilakukan dialog

dengan semua pihak terkait untuk mendapatkan solusi terbaik bagi kemaslahatan

masyarakat Papua dan semua pihak yang ada di dalamnya.

Abadi dalam penelitiannya tentang pembauran di Sumenep menemukan bahwa

perkawinan silang (cross marriage) menjadi salah satu lembaga penting yang

mampu menghasilkan pembauran yang berkualitas dan alamiah, yang pada akhirnya

menghasilkan akulturasi dan asimilasi dalam berbagai dimensi kehidupan.

Berangkat dari temuannya, Abadi mengatakan pembauran yang berkualitas hanya

akan terjadi jika masing-masing individu atau kelompok menjunjung tiggi martabat

kemanusiaan (human dignity).72

69

J. M. Waldmueller, “Agriculture, Knowledge and the „Colonial Matrix of Power‟:

Approaching Sustainabilities from the Global South”. Journal of Global Ethics, vol. 11, no.

3, 2015, h. 294-302.; W. Leimgruber, “Values, Migration, and Environment: An Essay on

Driving Forces Behind Human Decisions and their Consequences”. In Environmental

Change and its Implications for Population Migration, (Dordrecht: Springer, 2004), 247-

266.; P. L. Van den Berghe, “Australia, Canada and the United States: Ethnic Melting Pots

or Plural Societies?”. The Australian and New Zealand Journal of Sociology, vol. 19, no. 2,

1983, h. 238-252. 70

F. W. Rudmin, “Debate in Science: The Case of Acculturation”, AnthroGlobe

Journal, 2006, h. 72-73. 71

J. O. Ondawame, “West Papua: The Discourse of Cultural Genocide and Conflict

Resolution”. In Cultural Genocide and Asian State Peripheries, (New York: Palgrave

Macmillan), h. 103-138. 72

M. A. M. Abadi, “Cross Marriage (Sebuah Model Pembauran Budaya Antar

Komunitas Cina, Arab, India, Jawa dan Madura di Sumenep Kota)”. KARSA: Journal of

Social and Islamic Culture, vol. 12, no. 2, 2012, h. 132-148.

46

Menurut penulis, temuan Abadi di atas membuktikan bahwa hubungan yang

harmoni dan penuh toleransi akan menghasilkan pembauran yang alamiah, wajar

dan berkualitas. Akulturasi meniscayakan sikap toleransi dan simpati dari semua

pihak. Namun, jika ada kekuatan negara yang ikut intervensi dalam pembauran

seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda dan Orde Baru,

maka pembauran yang dihasilkan akan semu, kualitasnya dangkal dan rentan

dengan banyak kepentingan, atau dengan kata lain pembauran yang dipaksakan itu

merendahkan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara dalam konteks

Cirebon, toleransi dan keharmonisan antar komunitas etnis/ras yang terjadi pada

abad XV dan XVI layak menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat

Indonesia yang akhir-akhir ini sering mengalami kegamangan dan masalah-masalah

yang terkait dengan isu SARA.

2. Asimilasi

Konsep asimilasi telah diperdebatkan secara luas dalam ilmu sosial tentang

migrasi sejak awal abad ke-20, tetapi sekarang diterima secara luas sebagai cara

untuk menggambarkan cara-cara imigran dan pergantian musim semi ketika mereka

melakukan kontak dengan masyarakat setempat. Dalam penggunaannya saat ini,

konsep asimilasi tidak menyiratkan superioritas apapun dalam pandangan

masyarakat tuan rumah atau nilai tertentu terhadap perubahan sikap dan perilaku di

antara para imigran lintas generasi. Sebaliknya, asimilasi sekarang paling berguna

sebagai sarana untuk menggambarkan dinamika sosial.73

Asimilasi dapat dibedakan

dari akomodasi, proses kompromi yang ditandai oleh toleransi, dan dari akulturasi,

atau perubahan budaya yang diprakarsai oleh gabungan dua atau lebih sistem

budaya atau pemindahan individu dari masyarakat asli dan latar budaya ke

lingkungan sosial budaya baru. Asimilasi harus dibedakan juga dari penggabungan,

atau fusi biologis. Arti istilah seperti difusi juga sangat bervariasi dari asimilasi.

Asimilasi berasal dari kata assimilare (Latin) atau assimilation (Inggris) yang

berarti “menjadi sama” (Indonesia). Sinonim kata asimilasi adalah pembauran.

Asimilasi merupakan proses sosial yang terjadi yang ditandai dengan adanya upaya-

upaya untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara masing-

masing individu atau kelompok-kelompok manusia.74

A Modern Dictionary of

Sosiology mendefinisikan asimilasi sebagai suatu proses yang terjadi jika seorang

individu atau kelompok mengadopsi kultur atau identitas kelompok lain dan

menjadikannya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Asimilasi juga bisa

dimaknai sebagai suatu proses saling serap dan bercampurnya kebudayaan yang

berbeda dimana masing-masing elemen saling meleburkan diri dengan kebudayaan

lainnya.75

Sementara The Cambridge Dictionary of Sociology mendefinisikan

asimilasi adalah sebagai suatu proses mengidentifikasi diri atau membuat seseorang

73

M. A. Lone, “Towards A Sociology of Assimilation: Concept, Theory, Debate and

Practice in Cultural Anthropology”. Asian Journal of Research in Social Sciences and

Humanities, vol. 3, no. 12, 2013, h. 131-166. 74

Puspito, Sosiologi Semantik…, h. 233. 75

S. Soemardjan, Streotip, Asimilasi, Integrasi Sosial, (Bandung: Cita Karya, 1976), h.

224-225.

47

menjadi bagian dari suatu kelompok, komunitas, atau warga negara tertentu. Kata

asimilasi juga diartikan sebagai sebuah proses penerimaan kenyataan baru atau

keadaan baru untuk menyesuaikan diri sebagai sebuah kesadaran yang diterima.76

Berdsarkan penjelasan di atas, asimilasi secara sederhana dalam pengertian

sosiologis didefinisikan sebagai suatu proses sosial dimana dua atau lebih individu

atau kelompok saling meleburkan diri sehingga identitas masing-masing menjadi

hilang dan terwujud kebudayaan baru yang berbeda dengan budaya aslinya.

Asimilasi mempunyai dua pengertian yang berbeda yaitu membuat seperti

atau meleburkan diri pada budaya dominan, dan yang kedua adalah mengambil atau

menggabungkan. Dalam pengertian pertama, seseorang atau suatu kelompok

masyarakat menerima bahasa, sikap perangai dan tingkah laku kelompok lain yang

dominan dan menyesuaikan dirinya dengan budaya kelompok tersebut. Adapun

dalam pengertian kedua, seseorang atau kelompok saling mengambil dan bergabung

sehingga terbentuk budaya baru.77

Semula memang istilah asimilasi hanya mengacu

pada hubungan satu arah dan satu dimensi dimana kelompok imigran melepaskan

karakteristik kebudayaan asalnya untuk kemudian meleburkan diri dengan

kebudayaan dominan.78

Namun, pada perkembangannya konsep asimilasi merujuk

pada relasi dua kelompok yang berbeda dengan masing-masing kebudayaannnya

yang kemudian masing-masing kelompok saling memengaruhi dan dipengaruhi.79

Xie dan Greenman mendefinisikan asimilasi sebagai proses sosial yang terjadi

jika ada dua atau lebih kelompok manusia dengan kebudayaaan berbeda-beda

bertemu, terjadi kontak sosial yang intensif untuk waktu yang lama sehingga

masing-masing kebudayaan tadi berubah karakteristiknya dan berubah wujudnya

menjadi kebudayaan campuran. Proses sosial ini biasanya terjadi pada kelompok

76

B. S. Turner, The Cambridge Dictionary of Sociology, (UK: Cambridge University

Press, 2006). 77

A. Asfari & A. Askar, “Understanding Muslim Assimilation in America: An

Exploratory Assessment of First & Second-Generation Muslims Using Segmented

Assimilation Theory”. Journal of Muslim Minority Affairs, 2020, h. 1-18.; S. J. Nawyn & J.

Park, “Gendered segmented assimilation: earnings trajectories of African immigrant women

and men”. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 2, 2019, h. 216-234.; C. Diehl,

“Assimilation without groups?. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 13, 2019, h. 2297-

2301. 78

R. Abramitzky, L. Boustan, & K. Eriksson, “Do Immigrants Assimilate More Slowly

today than in the past?. American Economic Review: Insights, vol. 2, no. 1, 2020, h. 125-41.;

F. M. Muchomba, N. Jiang, & N. Kaushal, “Culture, labor supply, and fertility across

immigrant generations in the United States”. Feminist Economics, vol. 26, no. 1, 2020, h.

154-178.; C. Daniel, “Language Policies, Immigrant Assimilation, and Minority Group

Advancement in the United States”. In Handbook of the Changing World Language Map,

2020, h. 2237-2259. 79

J. S. Jahangir, "Mappila Experience: Assimilation of Cultures and Legacy of Islam in

Kerala”. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 3, 2020, h. 2540-2547.; B. Woo, D. D.

Maglalang, S. Ko, M. Park, Y. Choi, & D. T. Takeuchi, “Racial discrimination, ethnic-racial

socialization, and cultural identities among Asian American youths”. Cultural Diversity and

Ethnic Minority Psychology, 2020.; P. Pathak & S. Vadiya, “Role of Employee Assimilation

in Controlling Job Hopping–An Empirical Study”. Studies in Indian Place Names, vol. 40,

no. 8, 2020, h. 297-307.

48

mayoritas dan minoritas. Kelompok minoritas biasanya yang meleburkan diri pada

golongan mayoritas sehingga karakteristik kebudayaannya lama kelamaan akan

hilang dan menyatu dengan kelompok mayoritas.80

Sementara Horton dan Hunt

mendefinisikan asimilasi sebagai suatu proses sosial yang ditandai dengan usaha-

usaha untuk mempersatukan tindakan, sikap dan proses-proses mental dengan

mempertimbangkan kepentingan dan tujuan bersama, sekaligus usaha untuk

mengurangi perbedaan yang terdapat di antara individu atau kelompok.81

Pendapat Horton dan Hunt di atas sepertinya diperkuat oleh para ahli yang lain

seperti Harsojo mengatakan asimilasi adalah suatu proses sosial yang ditandai

dengan makin berkurangnya karakteristik masing-masing individu atau kelompok

untuk mencapai kepentingan dan tujuan yang sama.82

Senada para ahli sebelumnya,

Soekanto mengatakan asimilasi merupakan proses sosial yang ditandai dengan

adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat pada individu atau

kelompok manusia dan memperkuat usaha-usaha untuk menyatukan langkah, sikap

dan ide untuk mencapai kepentingan bersama.83

Sekalipun banyak pendapat terkait definisi asimilasi, namun semua sepakat

asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila dua kelompok manusia atau lebih

dengan latar belakang kebudayaaan yang berbeda saling bertemu dan berinteraksi

secara intensif untuk waktu yang lama, selanjutnya kebudayaan masing-masing

golongan berubah wujudnya menjadi suatu kebudayaan baru. Biasanya asimilasi ini

terjadi pada kelompok mayoritas dan minoritas. Golongan minoritas menyesuaikan

diri dan meleburkan diri dalam golongan mayoritas sehingga lambat laun

kehilangan identitas kebudayaan dan melebur dalam kebudayaan mayoritas.84

Idi dan Huda berpendapat bahwa asimilasi akan cepat terjadi jika kelompok

pendatang mau berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat, baik secara

ekonomi, sosial-budaya, politik maupun aspek lainnya, serta menghilangkan

prasangka dan diskriminasi terhadap penduduk asli. Dalam konteks Indonesia, jenis

asimilasi sebagaimana pendapat Idi dan Huda telah terjadi di Bangka, baik di kota-

kota maupun pedesaan. Di sana etnis Tionghoa relatif dapat melebur dengan

masyarakat pribumi dan mendapat perlakuan yang baik.85

Contoh kasus tersebut

menandakan bahwa sekalipun kontak sosial antar dua kelompok masyarakat dengan

kebudayaan masing-masing berbeda dan berlangsung intensif belum tentu terjadi

suatu proses asimilasi jika di antara kelompok yang berbeda itu tidak ada sikap

saling toleransi dan menghargai di antara mereka. Tidak hanya terjadi di Bangka,

etnis Tionghoa di Surakarta sebagaimana studi Sutirto mengatakan etnis Tionghoa

80

Y. Xie & E. Greenman, “The social context of assimilation: Testing implications of

segmented assimilation theory”. Social Science Research, vol, 40, no. 3, 2011, h. 965-984. 81

P. B. Horton & C. L. Hunt, Sociology (New York: McGraw-Hill, 1976). 82

Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1967), h. 191. 83

Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 88. 84

Abadi, “Cross Marriage…, h. 132-148. 85

A. Idi & N. Huda, Cina-Melayu di Bangka, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h.

267-269.

49

di Surakarta sekalipun bergaul secara intensif dengan etnis Jawa, tatapi banyak juga

yang belum terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa.86

Pada prakteknya istilah asimilasi dan akulturasi sering tumpang tindih, bahkan

kedua istilah ini sering digunakan untuk mengartikan obyek yang sama. Para ahli

sosiologi sering menggunakan istilah asimilasi,87

sedangkan ahli antropologi

menggunakan istilah akulturasi.88

Cole mengatakan asimilasi merupakan proses

akulturasi yang paling ekstrim, sebab ketika terjadi kontak budaya antar dua

kelompok atau lebih, salah satu kelompok mengabaikan atau meninggalkan budaya

asalnya untuk kemudian mengadopsi budaya baru dalam kehidupannya.89

Rokhani, Salam dan Rochani-Adi, dalam karya mereka yang mengkaji

konstruksi identitas etnis Tionghoa melalui difusi budaya membuat istilah asimilasi,

akulturasi dan difusi semakin bias. Mereka banyak menggunakan istilah difusi

dalam menjelaskan Gambang Kromong yang menjadi fokus kajian sebagai wujud

budaya hibrid yang merupakan hasil akulturasi antara budaya Tionghoa dan budaya

pribumi. Penelitian mereka mengatakan kesenian Gambang Kromong merupakan

hasil difusi budaya di daerah Jakarta. Kesenian ini merupakan campuran dari

berbagai unsur budaya, juga merupakan proses integrasi budaya yang menggunakan

strategi difusi budaya. Bentuk difusi budaya dapat dilihat dari adaptasi atas bentuk

instrumen, tangga nada, lagu-lagu yang dipentaskan, maupun fungsi dari

pertunjukan gambang kromong itu sendiri.90

Dari beberapa definisi di atas, maka ada beberapa indikator dalam asimilasi

yaitu: (1) ada individu atau kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda;

(2) Antar individu atau kelompok tersebut terjadi kontak sosial yang intensif dalam

jangka waktu yang lama; (3) Masing-masing pihak saling menyesuaikan diri dan

meleburkan diri; (4) Terjadinya perubahan budaya pada masing-masing individu

atau kelompok; (5) Terwujudnya kebudayaan baru yang berbeda dengan

kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Beberapa konsep

asimilasi dalam bentuk gambar adalah sebagai berikut:

86

T. W. Sutirto, Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, (Pustaka

Cakra, 2000). 87

J. E. Trimble, “Introduction: Social change and acculturation”. In Acculturation:

Advances in Theory, Measurement, and Applied Research, vol. 10, 2003, h. 3-13. 88

M. J. Herskovits, “The Significance of the Study of Acculturation for

Anthropology”. American Anthropologist, vol. 39, no. 2, 1937, h. 259-264. 89

N. L. Cole, “What is the Meaning of Acculturation? Understanding Acculturation

and How it Differs from Assimilation”. 2018. 90

U. Rokhani, A. Salam, & I. Rochani-Adi, “Konstruksi Identitas Tionghoa melalui

Difusi Budaya Gambang Kromong: Studi Kasus Film Dikumenter Anak Naga Beranak

Naga”. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts), vol. 16, no. 3, 141-

152.

50

Kebudayaan A+B Kebudayaan

A B

Gambar 1. Kebudayaan A dan Kebudayaan B bertemu dalam Masyarakat, sehingga

menghasilkan suatu kebuadayaan baru (A+B)

Kebudayaan A Kebudayaan B

Kebudayaan AB

Gambar 2. Pembauran dua unsur sosial yang berbeda dan menghasilkan suatu unsur

yang baru

+ =

Gambar 3. Pembaruan dua unsur sosial yang berbeda akan menghasilkan suatu

ukuran yang baru

51

Menurut Tumanggor ada beberapa faktor penghambat dan pendukung proses

asimilasi.91

Di antara faktor penghambat proses asimilasi, yaitu: 1) Pengetahuan

yang kurang terhadap unsur kebudayaan yang dibawa pendatang ataupun penduduk

asli. 2) Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi. 3) Perasaan ego dan

superioritas terhadap kebudayaan sendiri dibanding kebudayaan lain. Adapun

beberapa faktor pendukung proses asimilasi, yaitu: 1) Faktor toleransi, yaitu sikap

saling menerima dan menghormati kebudayaan kelompok lain. 2) Faktor

kemanfaatan timbal balik, yaitu saling memberikan manfaat kepada masing-masing

pihak. 3) Faktor simpati, yaitu sikap saling menghargai dan memperlakukan secara

baik kelompok lain. 4) Faktor perkawinan. Faktor yang terakhir yakni perkawinan

sudah dibuktikan Abadi dalam penelitiannya bahwa perkawinan silang (cross

culture) adalah lembaga yang mampu menghasilkan pembauran yang berkualitas.92

3. Difusi

Difusi kebudayaan adalah persebaran budaya suatu kelompok sosial kepada

kelompok yang lain. Difusi kebudayaan terjadi jika budaya-budaya atau norma-

norma yang dimiliki suatu kelompok masyarakat mengalami persebaran ke wilayah

atau kelompok lain.93

Melalui difusi kebudayaan, cakrawala atau wawasan

seseorang diperluas dan menjadi lebih kaya secara budaya. Terjadinya pencampuran

budaya dunia melalui berbagai etnis, agama, dan kebangsaan hanya meningkat

dengan beberapa di antaranya; transportasi, teknologi informasi dan komunikasi

yang semakin modern.

Ada beberapa contoh difusi kebudayaan yang bisa penulis kemukakan dalam

kaitannya dengan kemajuan teknologi modern, di antaranya; kita dapat dengan

mudah berkomunikasi setiap hari via media sosial seperti whatsapp, twitter,

instagram, facebook dan sebagainya dengan seseorang yang tinggal jauh dari kita.

Selain itu, melalui youtube kita juga bisa mengenal salah-satu jenis masakan Jepang

yang terkenal yaitu susi, sekaligus bagaimana cara membuatnya. Artinya, di era

globalisasi seperti saat ini, setiap orang bisa mengambil ilmu dan manfaat dari

kebudayaan asing yang dilihatnya dari media sosial maupun alat komunikasi

lainnya. Dalam konteks ini teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi

sarana difusi kebudayaan yang ampuh. Namun, kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi di era globalisasi selain berdampak positif, juga mengandung hal-hal

negatif kepada masyarakat. Pada akhirnya difusi kebudayaan dapat merubah cara

atau pola hidup seseorang.

Ragam persoalan kebudayaan yang muncul di era globalisasi selain yang

dijelaskan di atas, misalnya adalah menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme,

tergerusnya budaya asli atau budaya lokal, manusia cenderung individualis, dan

beberapa gaya hidup yang kadang tidak sesuai dengan budaya lokal.94

Ngafifi

mengibaratkannya seperti dua sisi mata uang, kemajuan teknologi di satu sisi

91

Tumanggor dkk., Ilmu Sosial & Budaya…, h. 63. 92

Abadi, “Cross Marriage…, h. 132-148. 93

S. Soemardjan, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1991). 94

S. Suneki, “Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah”. CIVIS, vol. 2,

no. 1, 2012, h. 307-32.

52

mendatangkan banyak manfaat, namun di sisi lain juga menimbulkan kemudharatan

yang tidak kalah besar dengan manfaatnya. Teknologi, selain mempermudah

manusia dalam menjalani kehidupan, juga mengancam kerusakan lingkungan,

dekadensi moral, global warming, dan lain sebagainya. Ada wajah ganda dalam

teknologi, suatu saat bisa menjadi teman, dan di saat yang lain bisa menjadi

musuh.95

Sementara kalau kita mengacu pada abad sebelum pertengahan, budaya

yang dimiliki suatu kelompok biasanya dibawa oleh pedagang yang melakukan

perjalanan jauh untuk menjual dagangannya.96

Pada saat terjadi migrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok manusia ke

berbagai penjuru dunia, maka pada saat itu pula terjadi persebaran unsur-unsur

kebudayaan. Proses demikian dalam ilmu antropologi dikenal sebagai difusi

(diffusion). Menurut Koentjaraningrat proses difusi adalah proses penyebaran unsur-

unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Salah satu bentuk difusi adalah

persebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain dilakukan oleh

kelompok manusia yang bermigrasi.97

Ada beberapa proses difusi, di antaranya

adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan

antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia dengan individu kelompok

tetangga. Pertemuan antara kelompok ini dapat berlangsung dengan berbagai cara,

salah satunya adalah bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan.

Unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam

kebudayaan penerima dengan tidak disengaja dan tanpa paksaan atau secara damai.

Namun, terdapat pula pemasukan unsur-unsur budaya asing secara paksa yang

biasanya disebabkan karena peperangan dan serangan penaklukan yang berakibat

pada masuknya unsur-unsur kebudayaan asing dan mulailah proses akulturasi.98

Berawal dari ketertarikan untuk mengetahui mengapa di berbagai daerah

sering ditemukan unsur-unsur budaya yang sama, baik dalam bentuk maupun isinya

walau letak mereka berjauhan. Dalam konteks tersebut, studi difusi kebudayaan ini

dimulai. Migrasi kelompok manusia yang sudah terjadi dan dilakukan sejak dulu

menyebabkan unsur-unsur budaya tersebar. Pada perkembangan kemudian, ternyata

persebaran budaya tidak harus diikuti dengan perpindahan manusianya. Di era

sekarang, persebaran budaya bisa dilakukan melalui media komunikasi seperti

buku, surat kabar, majalah dan berbagai media audiovisual. Penelitian Gilhuly

menemukan adanya beberapa persamaan pada unsur-unsur kebudayaan di daerah-

daerah yang berlainan sebagai akibat terjadinya persebaran budaya atau cultural

diffusion. Persebaran budaya dianggap sebagai unsur yang penting dalam

95

M. Ngafifi, “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial

Budaya”. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, vol. 2, no. 1, 2014, h. 33-

47. 96

M. Scholze, “Trading Cultures: Berbers and Tuareg as Souvenir Vendors Marko

Scholze and Ingo Bartha”. In Between Resistance and Expansion: Explorations of Local

Vitality in Africa, vol. 18, 2004, h. 69.; L. A. Babb, “Mirrored Warriors: On the Cultural

Identity of Rajasthani Traders”. International Journal of Hindu Studies, vol. 3, no. 1, 1999,

h. 1-25. 97

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 199. 98

J. Al Wekhian, “Acculturation Process of Arab-Muslim Immigrants in the United

States”. Asian Culture and History, vol. 8, no. 1, 2016, h. 89-99.

53

perkembangan makhluk manusia.99

Proses menyebar tersebut yang kemudian

membuat bangsa-bangsa saling berhubungan dan memengaruhi.

Menurut aliran difusionisme kebudayaan manusia itu sumbernya satu, dan

berada di satu tempat tertentu, yaitu pada saat manusia pertama kali ada di muka

bumi. Kemudian kebudayaan induk tadi berkembang, menyebar dan “pecah” karena

pengaruh lingkungan atau masa yang berbeda menjadi beberapa kebudayaan baru.

Kebudayaan-kebudayaan yang “pecah” tadi kemudian terus bergerak dan berpindah

dari satu tempat ke tempat lain sehingga bertemu dan berhubungan dengan

kebudayaan lain dan terjadi proses saling memengaruhi.100

Teori heliolithic yang dipelopori oleh Smith101

dan Perry102

mengatakan bahwa

sejarah kebudayaan manusia bermula dari Mesir yang kemudian bergerak ke

daerah-daerah sekitar Laut Tengah, Afrika, India, Indonesia, Polinesia dan ke

Amerika. Mereka beralasan bahwa kebudayaan Mesir kuno yang tersebar di negara-

negara itu nampak pada bangunan-bangunan batu besar atau megalith dan juga pada

kompleks unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan matahari, atau

helios. Pandangan Smith yang Mesir sentris karena ia banyak melakukan penelitian

terhadap kebudayaan Mesir kuno. Ia juga banyak mendapatkan persamaan unsur-

unsur kebudayaan besar yang ada di daerah lain dengan yang ditemukannya di

Mesir. Smith akhirnya menyimpulkan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang tersebar

itu berasal dari Mesir.103

Namun, teori ini banyak mendapat kecaman, yang salah

satunya datang dari seorang antropolog Amerika bernama Lowiemenyatakan

bahwa teori heliolithic merupakan teori difusi yang ekstrim, tidak sesuai dengan

fakta di lapangan, baik dipandang dari sudut hasil-hasil penggalian ilmu prasejara

maupun dari sudut konsep-konsep tentang proses difusi dan persebaran unsur-unsur

kebudayan antara bangsa-bangsa yang telah diterima oleh kalangan ilmu

antropologi waktu itu.104

Penelitian tentang difusi juga dipelopori oleh seorang ilmuwan Perancis

bernama Tarde dengan turut mengenalkan konsep hukum imitasi yang menyatakan

bahwa seseorang belajar dengan cara meniru orang lain. Dengan demikian difusi

adalah proses sosial dari sebuah jaringan komunikasi antar pribadi

(interpersonal).105

Kemudian diteruskan oleh ilmuwan dari Inggris yang bernama

99

K. Gilhuly, R. Ackerman, J. N. Adams, F. Ahl, J. Alvares, B. Anderson, W. S.

Anderson et al., “Cultic Prostitution: A Case Study in Cultural Diffusion”. In Erotic

Geographies in Ancient Greek Literature and Culture, vol. 51, no. 1/2, (New York: Center

for Hellenic Studies, 2018), h. 1-10. 100

F. Lissoni, “International Migration and Innovation Diffusion: An Eclectic

Survey”. Regional Studies, vol. 52, no. 5, 2018, h. 702-714. 101

G. E. Smith, In the Beginning: Origin of Civilisation, (New York: Morrow, 1928). 102

W. J. Perry, The Children of the Sun, (London: Methuen, 1923).; Lihat juga W. J.

Perry, Gods and Men. The Attainment of Immortality, (London: G. Howe ltd., 1927). 103

G. E. Smith, The Influence of Ancient Egyptian Civilization in the East and in

America, (America: The University Press, 1916). 104

R. H. Lowie, The History of Ethnological Theory, (New York: Holt, Rinehart &

Winston, 1937). 105

G. Tarde & J. M. Baldwin, “Imitation and Creativity”. The Creativity Reader, 2019,

h. 173.; Lihat juga P. Beirne, “On Gabriel Tarde, Penal Philosophy”. In Classic Writings in

54

Simmel yang memperkenalkan penelitiannya bahwa individu merupakan anggota

sebuah sistem namun tidak terikat kuat pada sistem itu.106

Tradisi penelitian difusi

sudah mulai ramai dilakukan pada pertengan tahun 1940. Dalam sejarahnya,

disiplin ilmu sosiologi dianggap sebagai pionir dalam penelitian difusi.

Ghazali dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa teman dan media berperan

penting dalam proses difusi budaya transeksual di kalangan pelajar laki-laki.

Penelitian ini dilakukan di empat universitas yang berbeda pada tahun 2007-2009.

Globalisasi dianggap menjadi penggerak kepada berlakunya difusi budaya dalam

masyarakat. Budaya transeksual sekalipun bertentangan dengan budaya dan nilai-

nilai lokal, namun keberadaannya tidak bisa dihapuskan karena mendapatkan

dukungan dari infrastruktur yaitu media komunikasi yang terus menerus

mempertontonkan gaya hidup mereka baik lewat film dan sebagainya.107

Beberapa riset kolaboratif sebagaimana yang dilakukan Olson,108

Soete109

Benhabib dan Spiegel,110

tentang pengaruh difusi teknologi pada pola hidup

manusia menyatakan secara sosiologis, salah satu aspek yang memengaruhi prilaku,

aktivitas dan tindakan manusia adalah teknologi. Teknologi mampu mengubah pola

relasi antar manusia. Keberadaan teknologi akan sangat memengaruhi prilaku

manusia. Kemajuan teknologi mewujudkan masyarakat digital dalam berbagai

aspek kehidupan manusia. Munculnya berbagai alat-alat cangih di bidang informasi

dan komunikasi seperti satelit, bioteknologi, di bidang pertanian, di bidang

kesehatan dan rekayasa genetika menunjukkan teknologi masyarakat itu maju.

Di era globalisasi saat ini, indikator kemajuan suatu negara adalah pada

penguasan teknologi. Negara-negara maju menjadi adikuasa, kaya raya dan disegani

karena memiliki teknologi canggih. Sebaliknya, jika negara itu terbelakang

teknologinya maka akan tertinggal dan ditinggalkan. Manusia sekarang sudah

benar-benar menjadi budak teknologi. Berdasarkan survey Secure Envoy (2012)

terhadap 1000 orang di UK menyimpulkan bahwa mahasiswa sekarang mengalami

nomophobiaperasaan cemas dan takut. 66 persen responden mengaku tidak bisa

Law and Society: Contemporary Comments and Criticisms, (London & New York:

Routledge, 2017), h. 21-28. 106

J. McCole, “Georg Simmel: Decentering the Self and Recovering Authentic

Individuality”. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2, 2019, h.

151-162.; O. Lizardo, “Simmel‟s Dialectic of Form and Content in Recent Work in Cultural

Sociology”. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2, 2019, h. 93-

100. 107

S. Ghazali, J. Mapjabil, A. Nor, N. Samat, & J. Jaafar, “Difusi Ruangan Budaya

Transeksualisme dan Imaginasi Geografi Pelajar Lelaki Berpenampilan Silang di Universiti

Tempatan Malaysia”. E-Bangi Journal of Social Science and Humanities, vol. 7, no. 1,

2012, h. 252-266. 108

K. E. Olson, M. A. O‟Brien, W. A. Rogers, & N. Charness, “Diffusion of

Technology: Frequency of Use for Younger and Older Adults”. Ageing International,

vol. 36, no. 1, 2011, h. 123-145.; 109

L. Soete, “International Diffusion of Technology, Industrial Development and

Technological Leapfrogging”. World Development, vol. 13, no. 3, 1985, h. 409-422. 110

J. Benhabib & M. M. Spiegel, “Human capital and technology diffusion”.

In Handbook of Economic Growth, vol. 1, 2015, h. 935-966.

55

hidup tanpa telepon selular. Jumlah ini meningkat pada responden usia 18-24 tahun

yakni sebanyak 77 persen.111

Berdasarkan penelitian Wiyoso, proses difusi juga terjadi pada musik

Karawitan. Proses difusi dari instrumen musik dapat dilihat dengan adanya rebab

dalam gamelan Jawa. Instrumen rebab juga dapat ditemui di negara-negara lain

seperti Arab, Maroko, Philipina dan Eropa. Sekalipun di setiap negara rebab itu

memiliki nama yang berbeda-beda dan mungkin telah dimodifikasi, namun pada

prinsipnya instrumen tersebut asal mulanya samainstrumen spike fiddle

instrumen bersenar yang gagangnya melewati diametral melalui resonator dan

dimainkan dengan busur. Sama seperti alat musik bonang di Indonesia yang juga

memiliki nama berbeda-beda. Ada bonang di Jawa, talempong di Minang dan

trompong di Bali.112

Dalam konteks bangsa yang majemuk, komunikasi lintas

budaya menjadi penting untuk meminimalisir munculnya konflik antar etnis.

Dengan mempelajari komunikasi budaya, seseorang akan mampu besikap bijak dan

moderat dalam menghadapi perbedaan-perbedaan, serta lebih berhati-hati dalam

membangun relasi sosial.113

Komunikasi antar budaya adalah komunikasi atau

dialog yang dilakukan oleh masing-masing pribadi atau kelompok yang memiliki

budaya yang berbeda.114

B. Kedatangan Etnis Tionghoa: Jejak Cheng Ho dan Muslim Tionghoa

Melihat beberapa peninggalan sejarah seperti artefak dan bahan sejarah, baik

sumber lokal maupun tulisan dalam bahasa asing karya para sarjana, banyak

mengaitkan antara kebudayaan Tionghoa di Nusantara, khususnya Indonesia yang

sebelumnya Hindia-Belanda dengan jejak kunjungan Cheng Ho dan Tionghoa

Muslim lainnya. Oleh karena itu, bagian ini ingin menggambarkan bahwa Cheng

Ho dan Tionghoa Muslim memang berperan dalam penciptaan budaya dan

peradaban Indonesia, melalui penyebaran Islam, dan dalam pengembangan

kerukunan antar agama di abad 15 dan 16. Bagian ini tidak secara detail

memberikan catatan tentang sejarah Cheng Ho dan kedatangannya di Nusantara

(Indonesia), tetapi lebih pada perdebatan soal fakta sejarah dan cerita-cerita rakyat

setempat tentang kehadirannya di Indonesia abad ke-15 dan sedikit menggambarkan

bagaimana masyarakat lokal memandang sosok Cheng Ho yang luar biasa dalam

penyebaran agama Islam. Sudah dikenal luas dalam masyarakat Muslim Indonesia

bahwa Islam dibawa ke kepulauan terutama oleh pedagang Arab, Sufi Persia,

pedagang Gujarat, atau guru India. Menurut Al Qurtuby, hanya segelintir

111

E. P. Yildiz, M. Çengel, & A. Alkan, “Investigation of Nomophobia Levels of

Vocational School Students According to Demographic Characteristics and Intelligent

Phone Use Habits”. Higher Education Studies, vol. 10, no. 1, 2020, h. 132-143.; C. Yildirim

& A. P. Correia, “Exploring the dimensions of nomophobia: Development and validation of

a self-reported questionnaire”. Computers in Human Behavior, vol. 49, 2015, h. 130-137. 112

J. Wiyoso, “Pengaruh Difusi dalam Bidang Musik Terhadap Karawitan, Harmonia”.

Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, vol. 3, no. 2, 2002. 113

M. Syarifah, “Budaya dan Kearifan Dakwah”. Jurnal al-Balagh, vol. 1, no. 1, 2016,

h. 23-24. 114

A. Liliweri, Meaning of Culture and Intercultural Communication, (Yokyakarta:

LKIS, 2003), h. 12-13.

56

cendekiawan, sejarawan, dan ilmuwan sosial yang mengakui keberadaan dan

kontribusi Tionghoa Muslim dalam proses islamisasi Indonesia.115

Bagian ini,

kemudian, akan mencoba untuk menyajikan tokoh-tokoh sejarah Tionghoa Muslim

di bagian utara Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya selama abad ke 15

dan 16, serta sedikit mendiskusikan dampak dari kunjungan Cheng Ho dalam proses

pembentukan Tionghoa-Jawa atau budaya Muslim Indonesia.

Ma Huan dalam karyanya Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the

Ocean's Shores (1433), menulis bahwa di Jawa (Jawa Timur) ada tiga jenis orang,

yaitu: pertama, orang-orang Muhammad, yang datang dari Barat dan telah mapan,

serta pakaian dan makanan mereka bersih dan layak. Kedua, orang Tionghoa yang

semua datang dari Canton, Chang-chou dan Ch‟uan-chou.116

Mereka adalah orang-

orang yang melarikan diri dari tiga daerah tersebut dan menetap Jawa. Disebutkan

juga apa yang mereka makan dan gunakan juga sangat baik dan banyak dari mereka

telah mengadopsi agama Muhammad dan menjalankan ajarannya. Ketiga, penduduk

asli (pribumi), yang sangat jelek dan tidak sopan, mereka pergi dengan kepala tanpa

lengan dan kaki telanjang dan percaya pada setan. Makanan orang-orang ini sangat

kotor dan buruk, misalnya ular, semut, serangga dan cacing, yang disimpan sesaat

sebelum dibakar dan lalu dimakan. Kemudian mereka memelihara anjing di rumah,

memakannya dan tidur bersama mereka, tanpa merasa jijik sama sekali.117

Gambaran tentang tiga jenis orang yang tinggal dan menetap di Jawa

sebagaimana dalam tulisan Ma Huan, dikomentari oleh Al Qurtuby dengan

mengatakan bahwa meskipun komentar dan pandangan Ma Huan tentang

“penduduk asli” terlihat merendahkan masyarakat setempat, yang ia gambarkan

sebagai masyarakat tidak beradab, namun kisahnya tentang keberadaan Tionghoa

Muslim di Jawa layak untuk dipertimbangkan dengan cermat,118

sebab Ma Huan

adalah seorang Tionghoa Muslim yang menemani Cheng Ho dalam perjalanan

keempatnya di Laut Selatan (1413-1415) yang melaporkan selama perjalanan

mereka melalui Jawa Timur bahwa penduduknya terdiri dari penduduk asli (Jawa),

Muslim dan Tionghoa, banyak dari mereka adalah Muslim. Kemudian, sebuah teks

Tionghoa kontemporer Xiyang Fanguo Zhi (Records of the Foreign Countries in the

Western Ocean), sebagaimana dikutip oleh para sejarawan dan sinolog Prancis,

Lombard dan Salmon,119

bahkan sampai sejauh mengatakan bahwa semua orang

Tionghoa ini adalah Muslim. Namun, menurut Al Qurtuby hal tersebut sangat

berlebihan untuk mengatakan bahwa semua orang Tionghoa yang tinggal di Jawa

115

S. Al Qurtuby, “The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‟s

Past”. Zheng He and the Afro-Asian World, h. 171-186. 116

Chang-chou dan Ch‟uan-chou terletak di Fukien, tidak jauh dari Amoy. 117

Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433).

Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‟eng Chun, (Cambridge: The University

Press for the Hakluyt Society, 1970), h. 93.; Lihat juga penjelasan yang senada dalam karya

W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese

Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), h. 49. 118

Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 119

D. Lombard & C. Salmon, “Islam and Chineseness”. Indonesia, no. 57, 1993, h.

115-131.

57

Timur, terutama di daerah Surabaya, Gresik dan Tuban selama abad 15 adalah

pengikut agama Muhammad atau menganut agama Islam.120

Soal pelayaran dan pendaratan armada Cheng Ho, Tingyu mengatakan bahwa

telah melibatkan 62 kapal besar dan 225 kapal lainnya bersama dengan 27.550 awak

kapal, pejabat, pembuat peta, astronom, dokter, pengkhotbah, ahli etnografi, tabib

tradisional, dan sebagainya.121

Dari 1405 hingga 1433, Cheng Ho melakukan tujuh

kali pelayaran dan mengunjungi lebih dari 37 negaradari pelabuhan Indonesia,

terutama Palembang, Cirebon, Banten, Gresik, Surabaya dan Semarang, ke Ceylon,

Kocin, Calikut, Ormuz, Jeddah, Magadishu dan Malindi, dari Champa ke India, dari

Teluk Persia ke Laut Merah dan pantai Kenya. Selama perjalanannya, Cheng Ho

ditemani Heo Shien, Ma Huan dan Fei Shien, semuanya adalah Muslim, yang

melayani sebagai wakil dan sekretarisnya. Kemudian seorang juru bicara yang fasih

berbahasa Arab bernama Ha San (imam masjid Sin An/Changan). Menurut Menzies

Cheng Ho adalah seorang Muslim yang taat dan sosok yang kuat selain menjadi

seorang prajurit yang tangguh dan penasihat terdekat Kaisar Yongle.122

Literatur mencatat bahwa Cheng Ho melakukan pelayaran sebanyak tujuh kali.

Pelayaran pertama (1405-1407) adalah dari Nanjing ke Calicut, Champa, Jawa,

Sriwijaya, Sumatra, dan Ceylon; pelayaran kedua (1407-1409) adalah perjalanan ke

India dan untuk menginstal raja baru Calicut; pelayaran ketiga (1409-1411) adalah

ke Champa, Temasek, Malaka, Sumatra (Samudra dan Tamiang), dan Ceylon;

pelayaran keempat (1413-1415) adalah ke Champa, Jawa, Sumatra, Malaya,

Maladewa, Ceylon, India, dan Hormuz; pelayaran kelima (1417-1419) tujuannya

adalah Champa, Jawa, Palembang, Aden, Mogadishu, Brawa, dan Malindi di pantai

barat Afrika; pelayaran keenam (1421-1422) adalah ke Afrika dan seluruh dunia

termasuk Amerika;123

dan terakhir pelayaran ketujuh (1431-1433) adalah ke

Vietnam Selatan, Surabaya, Palembang, Malaka, Samudra, Ceylon, Calicut, Afrika,

dan Jeddah.124

Kemudian, menurut laporan Ma Huan, Tionghoa Muslim yang tinggal di

pantai utara Jawa sebagian besar berasal dari Canton, Changzhou, Quanzhou dan

tempat-tempat lain di Tiongkok selatan yang telah meninggalkan negara mereka

karena berbagai alasan,125

termasuk motivasi politik dan ekonomi. Tidak sedikit

juga studi yang berhubungan dengan orang Tionghoa di Batavia dan Jawa

120

Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 121

Z. Tingyu, “Ming shi (History of the Ming Dynasty)”. Beijing: Zhonghua shuju, vol.

285, no. 173, 1974.; Pelayaran dan pendaratan armada Cheng Ho di Nusantara juga dapat

dilihat dalam beberapa karya relevan. Lihat J. L. Nio, Tiongkok Sepandjang Abad,

(Djakarta: Gunung Agung, 1952).; Kong Yuanzhi, Sam Po Kong dan Indonesia, (Jakarta:

CV. Haji Masagung, 1996). 122

G. Menzies, 1421: The Year China Discovered America, (New York: Perennial.

2003), h. 21. 123

Menzies, 1421: The Year China…, h. 21. 124

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor,

2000).; J. Widodo, “Admiral Zheng He and pre-Colonial Coastal Urban Development in

Southeast Asia”. Inaugural Lecture organized by Friends of Zheng He Society, (Singapore:

unpublis, 2003). 125

Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan:…, h. 93.

58

(Indonesia), misalnya yang dilakukan Carey126

dan Blusse127

yang juga memilih

Tiongkok bagian selatan (Canton dan Hakka) sebagai yang mendominasi di antara

tempat asal imigran. Dalam konteks ini, jika dilihat dari beberapa sumber

mengatakan bahwa Ma Huan bukan satu-satunya pengembara yang menyaksikan

dan mencatat keberadaan komunitas Tionghoa Muslim pada masa pra kolonial. Lain

halnya dengan yang awal seperti Tome Pires, Edmund Scott, Cornelis de Houtman

dan Ibn Battutah juga mengakui keberadaan Tionghoa Muslim selama periode

tersebut.128

Kedatangan Tionghoa Muslim, khususnya di Jawa awal abad ke-17, juga

dikonfirmasi oleh John Jourdain yang mengunjungi Banten pada tahun 1614,129

dan

Cornelis Busyero pada tahun 1617. Memang, di Jawa abad 15 dan 16, Tionghoa

Muslim tidak hanya ditemukan di Jawa Timur sebagaimana catatan Ma Huan

selama kunjungannya, tetapi di sepanjang pantai utara Jawa termasuk Jawa Barat.

Loedewicks, yang mengunjungi Banten pada abad 16,130

juga menyaksikan

kehadiran Tionghoa Muslim, yang disebut Geschoren Chineezen (orang Tionghoa

yang dicukur) dalam dokumen VOC. Demikian juga Ibn Battutah, melaporkan

keberadaan komunitas Tionghoa Muslim di wilayah pesisir Jawa dan Asia

Tenggara.131

Selain itu, Lombard dan Salmon dalam karya mereka memberikan

keterangan tentang Tionghoa Muslim selama era kolonial Belanda, khususnya yang

ada di Jawa dan Sumatera, serta di beberapa wilayah lain Indonesia.132

Al Qurtuby selama dalam penelitiannya di Jawa utara, seperti Banten, Cirebon,

Surabaya, Tuban, Kudus, Jepara, Demak, Jakarta, dan di tempat lain tentang peran

Tionghoa Muslim dalam penyebaran Islam di Jawa (Indonesia) menemukan banyak

cerita dan fakta sejarah yang mengejutkan tentang keberadaan Tionghoa Muslim,

termasuk Cheng Ho.133

Al Qurtuby menemukan ada kisah tokoh sejarah karismatik

Tionghoa Muslim yang terkait dengan ekspedisi Cheng Ho, juga yang berkontribusi

pada penciptaan budaya Tionghoa Muslim-Indonesia/Jawa dan islamisasi. Al

Qurtuby mencontohkan dalam Kesultanan Demak, ada yang dikenal dengan nama

Demak Bintoro yang menurutnya patut mendapat perhatian khusus karena peran

sentralnya dalam menggulingkan Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit sekitar 1478.

126

P. Carey, “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central

Java, 1755-1825”. Indonesia, vol. 37, 1984, h. 1-47. 127

Lihat Leonard Blusse, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women, and the

Dutch in VOC Batavia, (Amsterdam: Foris Publication, 1988). 128

G. E. Marrison, “The coming of Islam to the East Indies”. Journal of the Malayan

Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 24, no. 1, 1951, h. 28-37. Al Qurtuby, “The

Imprint…, h. 171-186. 129

A. Reid, “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth

Centuries”. Journal of Southeast Asian Studies, vol. 11, no. 2, 1980, h. 235-250. 130

A. Muzzaki, “Cheng Hoo Mosque: Assimilating Chinese Culture, Distancing it from

the State”. London, UK: Crise Working Paper, no. 71, 2010, h. 1-29. 131

Lihat T. Harb, Rihlah Ibn Battutah al-Musammah Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara‟ib al-

Amsar wa Aja‟ib al-Asfar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002). 132

Lombard & Salmon, “Islam and Chineseness”, h. 115-131. 133

S. Al Qurtuby, “Melaka, Cheng Ho, dan Kesadaran Sejarah Kita”, Malaysia,

Konferensi Internasional Bertajuk “Zheng He and Afro-Asian World”, 5 Januari 2014.

59

Runtuhnya Majapahit dinilai oleh Al Qurtuby sebagai yang menandai transisi dari

Hindu-Buddha ke Islam dalam sejarah sosial Jawa.134

Dengan demikian, di bawah

kendali Tionghoa Muslim, Demak adalah pusat dalam menyebarkan supremasi

Islam atas Banten, Cirebon, Jepara, Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya, yang

semuanya menjadi kesultanan Islam kecil. Pendiri Demak, Raden Patah sendiri

diidentifikasi sebagai seorang Tionghoa Muslim, sebagian mengatakan ia adalah

seorang Tionghoa Totok, dan sebagian yang lain menganggapnya peranakan.135

Kemudian, Al Qurtuby dalam penelitian juga mencatat beberapa tokoh

Tionghoa Muslim lain, di antaranya Liem Mo Han (Babah Liem)136

secara luas

dikenal oleh orang Jawa tidak hanya sebagai pemimpin Tionghoa lokal selama

perjuangan Demak tetapi juga sebagai arsitek dari beberapa masjid di Jawa terutama

masjid terkenal Mantingan di Jepara (dekat Demak). Selain Babah Liem, para

pemimpin Tionghoa Muslim terkenal berpengaruh lainnya di awal abad 16

termasuk Coa Mie An dan Gouw Eng Cu yang tinggal di Lasem, dekat Demak. Cie

Gwie Wan, tangan kanan Sultan Hadlirin,137

sang suami dari ratu Jawa yang

terkenal Ratu Kalinyamat, serta pendiri industri ukiran seni ukiran kayu dan patung

di Jepara juga adalah tokoh Tionghoa Muslim. Tokoh Tionghoa Muslim penting

lainnya dari masa pra kolonial menurut tradisi lisan, adalah Kiai Telingsing (Tan

Ling Sing atau Ling Sing), yang merupakan mitra Sunan Kudus di kota Kudus,

Jawa Tengah, dekat dengan Demak. Orang-orang lokal Kudus tidak hanya

“menguduskan” Kiai Telingsing (disebut “Mbah Sing”) tetapi juga melanjutkan

ajarannya. Salah satu ajaran Telingsing yang diadopsi masyarakat setempat adalah

solat sacolo saloho dongo sampurno (salat sebagai doa sempurna).138

Menurut Opan dalam tradisi lisan Cirebon ada nama Syekh Quro alias Syekh

Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin. Syekh Quro datang ke Cirebon bersama

rombongan Cheng Ho. Ia adalah putera seorang ulama besar dari Champa yang

bernama Syekh Yusuf Siddik. Pada awalnya Syekh Quro berdakwah di Cirebon,

namun karena mendapat hambatan dari penguasa, akhirnya ia pergi dan

melanjutkan dakwahnya di Kerawang. Di tempat baru ini Syekh Quro membangun

sebuah pondok sebagai tempat dakwah dan penyiaran agama Islam. Bahkan, Nyai

Subang Larangistreri Prabu Siliwangi yang juga nenek Sunan Gunung

134

Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 135

S. AI Qurtuby, “The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in

Pre-Modern Java”. Studia Islamika, vol. 15, no. 1, 2009, h. 51-78. 136

Babah Liem adalah seorang Tionghoa Muslim, duta besar Tiongkok untuk Demak,

dan pemimpin Nan Lung (Naga Selatan), sebuah serikat pekerja Tionghoa di luar negeri

yang berbasis di Jawa yang berfungsi sebagai organisasi sosial untuk melestarikan warisan

dan budaya Tionghoa. Asosiasi Tionghoa perantauan ini didirikan oleh komunitas Tionghoa

lokal yang berada di Jawa setelah ekspedisi Cheng Ho. 137

Sultan Hadlirin adalah seorang Tionghoa Muslim yang nama aslinya adalah Wintang

(batu nisannya terletak di dekat Masjid Mantingan Jepara). Diceritakan bahwa Wintang

masuk Islam oleh Sunan Kudus, salah satu orang suci Muslim Jawa yang terkenal, ditemani

oleh Rakim, seorang Tionghoa Muslim lainnya. Sejak saat itu namanya berubah menjadi

Hadlirin yang berarti “kedatangan”. Lihat Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di

Indonesia, (Semarang, Tanjung Sari, 1979). 138

Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186.

60

Jatipernah menuntut ilmu di bawah asuhan Syekh Quro.139

Ia memiliki anak yang

bernama Tan Go Hoat alias Syekh Bentong. Ialah yang pertama kali membuat

bedug yang sekarang disimpan di masjid Gunung Jati.140

Selain itu, dikenal juga

nama Haji Kung Wu Ping yang merupakan anak buah Cheng Ho yang kemudian

mendirikan pemukiman Tionghoa Muslim Hanafi di Sarindil, Talang dan Sembung.

Kemudian Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdhil Hanafi alias Pangeran Adipati

Wirasanjaya mengembangkan pemukiman Tionghoa Muslim tersebut. Haji Tan Eng

Hoat ini kemudian membantu Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan dan

mengembangkan Islam di wilayah Priangan Timur sampai ke Garut. Haji Tan Eng

Hoat kemudian menjadi Raja Muda bawahan Kerajaan Cirebon yang berkedudukan

di Kadipaten. Ponakannya yang bernama Tan Sam Cai (Muhammad Syafi‟I alias

Tumenggung Aria Dwipa Cula juga punya peran penting dalam Kesultanan)

sebagai Menteri Keuangan di Kesultanan Cirebon dan arsitek Kelenteng Talang,

bahkan ada juga yang mengatakan ia merupakan arsitek Guha Sunyaragi. Selain itu

juga dikenal nama Haji Kung Sem Pak alias Haji Muhammad Nurjani, keturunan

Haji Kung Wu Ping, yang mendirikan mercusuar terkenal di Cirebon.141

Munculnya

orang Tionghoa di Cirebon terkait dengan ekspedisi Cheng Ho bisa ditemukan di

Carita Purwaka Caruban Nagari. Dalam teks ini, dinyatakan bahwa pelabuhan

pertama Cirebon terletak di Pasambangan antara Gunung Sembung dan Amparan

Jati. Syahbandar (kepala pelabuhan) adalah Ki Gendeng Djumadjan Djati.142

Carita Purwaka Caruban Nagari juga menyebutkan bahwa Wei Ping (Kung

Wu Ping) dan Te Ho, bersama para pengikutnya, dalam perjalanan ke Majapahit,

mendarat di pelabuhan dan tinggal di sana selama tujuh hari.143

Selama mereka

tinggal, mereka membangun Mercusuar.144

Tjandrasasmita mengidentifikasi nama

“Te Ho” sebagai Laksamana Cheng Ho yang ditemani oleh Ma Huan dan Feh Tsin

(Fei Xin), mengunjungi Cirebon, berdasarkan laporan Ying-yai Sheng-lan oleh Ma

Huan.145

Tionghoa Muslim lainnya yang dikenal dalam tradisi lokal Cirebon adalah

Syeikh Bentong (Babah Bantong), putrinya bernama Ratna Subanci, menikah

dengan Raja Bravijaya V dari Majapahit. Dari pernikahan tersebut lahir seorang

putra bernama Jin Bun yang kemudian menjadi pendiri Kesultanan Demak dengan

gelar Raden Patah. Cerita itu juga dipertegas didalam Cerita Purwaka Caruban

139

Atja, Cerita Purwaka…, h. 31. 140

Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19

Juli 2020. 141

H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th

Centuries. Edited by M. C. Ricklefs, (Melbourne: Monash University, 1984).; Atja, Cerita

Purwaka…, h. 31. 142

Atja, Cerita Purwaka…, h. 30-31. 143

Menurut Permadi, data ini diperkuat oleh pernyataan Wan Ming (Direktur Riset

Tiongkok) yang menyatakan bahwa di dalam Ying-yai Sheng-Ian juga ditulis bahwa Cheng

Ho dan pasukannya mendarat di pantai utara pulau Jawa sebelum Semarang, yaitu Moro

(Muara Jati), Sarindil dan Talang. Ketiga desa tersebut ada di Cirebon. Wawancara dengan

Permadi (Tokoh masyarakat Tionghoa) pada tanggal 26 September 2019. 144

Atja, Cerita Purwaka…, h. 31. 145

Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. 2009), h. 92.

61

Nagari bahwa Raden Patah adalah putera Prabu Brawijaya Kertabumi dari seorang

puteri Tiongkok. Pada waktu puteri itu hamil, ia diserahkan kepada Arya Damar,

Bupati Palembang yang saat itu merupakan bawahan Majapahit. Di Palembang,

puteri itu melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Jinbun. Sementara

dari Arya Damar, puteri itu mempunyai anak yang diberi nama Raden Kusen.

Setelah remaja, Jinbun alias Raden Patah dan Raden Kusen berangkat ke Majapahit.

Raden Kusen diangkat menjadi Bupati Teterung, sedangkan Raden Patah diangkat

menjadi Adipati Bintoro di Demak. Raden patah dengan dukungan para wali dan

penguasa kota-kota pantai utara dan beberapa kota seberang laut, akhirnya berhasil

meruntuhkan Majapahit, dan karena itu ia dinobatkan menjadi Sultan Demak yang

pertama dengan gelar Sultan Akbar al-Pathah.146

Dalam konteks Cirebon, salah satu yang paling terkenal di kalangan Tionghoa

Muslim Cirebon adalah Putri Ong Tien147

(istri Sunan Gunung Jati). Putri Ong Tien

telah menjadi simbol budaya penduduk lokal, baik Tionghoa maupun non

Tionghoa, dan berfungsi sebagai figur pemersatu antara kedua kelompok di

Cirebon. Salah satu yang dapat dilihat dari makam Putri Ong Tien, yakni hingga

saat ini banyak dikunjungi orang dari berbagai latar belakang etnis dan agama di

seluruh Indonesia, bahkan manca negara.

Dengan demikian, menurut penulis penting untuk mengetahui bahwa

keberadaan Tionghoa Muslim dalam fase awal islamisasi Jawa tidak hanya

diungkapkan oleh kisah dan laporan para penjelajah asing dan sumber-sumber

Tiongkok, tetapi juga dalam kronik, sejarah, dan tradisi lisan Jawa lokal. Sejumlah

artefak Islam, peninggalan arkeologis, dan warisan budaya yang menunjukkan

pengaruh orang Tionghoa juga membuktikannya. Karena itu, kita dapat

mengasumsikan pengembangan semacam budaya Tionghoa-Jawa atau Muslim

sebagai hasil penggabungan budaya Tionghoa-Islam-Jawa.

C. Pra Kolonial: Muslim Tionghoa sebagai Budaya Hibrida

Penulis dalam bagian ini ingin memulai dengan mengatakan bahwa Tionghoa

Muslim bukanlah orang baru di Indonesia. Ada beberapa bukti keberadaan

Tionghoa Muslim di Jawa sejak abad ke-15 dan keterlibatan mereka dalam dakwah

Islam sejak saat itu.148

Lombard dan Salmon mengatakan interaksi budaya Tionghoa

dan lokal pada waktu itu tercermin dalam arsitektur masjid. Disebut sebagai sub

kultur Muslim peranakan, mereka melihat interaksi seperti itu sebagai bentuk

“persatuan suci” kosmopolitan, yang menggabungkan kontribusi positif dari

ideologi Islam dan teknik Tiongkok.149

146

Atja, Cerita Purwaka…, h. 93-94. 147

Atja, Cerita Purwaka…, h. 40-41. 148

S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal

Ahimsya Karya Press, 2003).; M. Ali, “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial

Indonesia”. Explorations, vol. 7, no. 2, 2007, h. 1-22. 149

D. Lombard & C. Salmon, “Islam and Chineseness”. In A. Gordon (ed.), The

Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, (Kuala Lumpur: Malaysian

Sociological Research Institute, 2001), h. 181-208.

62

Ada beberapa teks sejarah yang menyebutkan keberadaan Tionghoa Muslim di

Indonesia sebelum masa kolonial Belanda. Seorang Tionghoa Muslim, Ma Huan,

yang menemani Laksamana Cheng Ho dalam serangkaian ekspedisinya ke Laut

Selatan (1405-1433), melaporkan dalam bukunya Ying-yai Sheng-Ian: The Overall

Survey of the Ocean's Shores (1433),150

bahwa sudah ada etnis Tionghoa di Jawa

pada waktu itu dan beberapa dari mereka adalah Muslim. Memang laporan tersebut

tidak menyebutkan tentang pemberitaan Islam oleh Cheng Ho pada waktu itu.

Namun, dengan menggunakan sejarah lokal dan sumber-sumber lain, di antaranya

karya Yuanzhi,151

Sen,152

dan Budiman,153

mereka berpendapat bahwa Cheng Ho

dan para pengikutnya telah menyebarkan Islam secara langsung atau tidak langsung

di Jawa.

Selain beberapa sumber lokal di atas, ada juga diketemukan karya

kontroversial, The Malay Annals of Semarang and Cerbon, sering dikutip untuk

mendukung peran Tionghoa Muslim menyebarkan Islam di Jawa. Ini bukan

merupakan teks lontar awal, tetapi ditemukan pertama kali dalam karya

Parlindungan154

sebagai lampiran dari bukunya yang berbahasa Melayu tentang

legenda di Sumatera, berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao:

Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.155

Lampiran buku

tersebut membahas peranan etnis Tionghoa Muslim bermazhab Hanafi dalam

perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, 1411-1564. Teks tersebut kemudian

direproduksi, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikomentari dalam sebuah

buku oleh Graaf dan Pigeaud.156

Ricklefs yang mengedit buku tersebut, meskipun

mengakui upaya dari kedua penulis, mempertanyakan keaslian Sejarah Melayu.

150

Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores

(1433).Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‟eng Chun, (Cambridge: The

University Press for the Hakluyt Society, 1970). 151

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di

Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), h. 60-61. 152

T. T. Sen, Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast

Asian Studies, 2009). 153

A. Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari,

1979). 154

Menurut Parlindungan, ia menerima teks yang disebut Sejarah Melayu Semarang

dan Cerbon dari seorang administrator Belanda bernama Poortman, yang meninggal di

Voorburg, Belanda tahun 1951. Poortman mengatakan bahwa catatan sejarah itu ditemukan

di kuil-kuil di Semarang dan Cirebon. Begitulah klaim Parlindungan. Namun, upaya serius

dari para sarjana Belanda untuk mengidentifikasi orang ini, tidak menghasilkan apa-apa,

Oleh karena itu, Ricklefs bertanya-tanya apakah Poortman ini mungkin bukan hanya

makhluk atau imajinasi Parlindungan, atau mungkin imajinasi yang rumit. 155

M. O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror

Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Djakarta: Tandjung

Pengharapan, 1964). Lihat M. O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar

Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-

1833, (Yogyakarta: LKiS, 2007). 156

H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th

Centuries. Edited by M. C. Ricklefs, (Melbourne: Monash University, 1984).

63

Bahkan, Lombard157

juga meragukan keberadaannya, dan karenanya menolak

gagasan bahwa sebagian besar Wali adalah Tionghoa peranakan. Sementara Berg

mengatakan sebagian besar Wali adalah keturunan Arab Hadrami.158

Terlepas dari perdebatan di atas, menurut penulis, beberapa teks sejarah

tersebut masih dapat digunakan sepanjang dalam usaha mendapatkan beberapa

pandangan terkait dengan konteks pembahasan. Jika ditelusuri lagi, bukan hanya itu

tatapi teks-teks sejarah lokal lainnya seperti Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi,

Muljana, dalam bukunya yang kontroversial berjudul Runtuhnya Negara Hindu-

Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara159

mengatakan bahwa

Tionghoa Muslim berperan penting dalam pendirian kerajaan Islam di Jawa, dan

beberapa orang Muslim yang taat beragama di Jawa yakni Wali Songoberasal

dari Tiongkok.160

Teks Jawa kontroversial lainnya, disebut Serat Dermagandul,

juga menganggap beberapa Wali Songo berasal dari Tiongkok.161

Meskipun

keabsahan catatan-catatan lokal ini harus diteliti lebih jauh lagi, namun, menurut

penulis, catatan-catatan tersebut tidak boleh diabaikan karena merupakan bagian

dari ingatan kolektif masyarakat, yang penting dalam memberikan petunjuk tentang

hubungan antara Tionghoa dan Muslim di masa lalu.

Beberapa hal terkait dengan Tionghoa Muslim di Nusantara atau lebih sepsifik

Indonesia juga banyak dikaji oleh Al Qurtuby dalam beberapa karyanya, Arus Cina-

Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama

Islam di Nusantara Abad XV&XVI,162

“The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy

of Chinese Muslims in Pre-Modern Java”;163

“The Imprint of Zheng He and

Chinese Muslims in Indonesia‟s Past”;164

“Islam di Tiongkok dan Cina Muslim di

Jawa pada Masa Pra-Kolonial Belanda”,165

telah berusaha mengumpulkan lebih

banyak sumber untuk mendukung kasus kontribusi Tionghoa Muslim dalam

lslamisasi. Menurutnya, keberadaan Tionghoa Muslim dalam penyebaran awal

Islam tidak hanya dibuktikan oleh para sarjana Barat, sumber-sumber Tionghoa,

teks-teks Jawa lokal dan tradisi lisan seperti dibahas di atas, tetapi juga oleh

157

D. Lombard, “H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the

15th and 16th Centuries”. Archipel, vol. 32, no. 1, 1986, h. 186-187. 158

L. W. C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, (Jakarta: INIS,

1989). 159

Buku ini adalah salah satu buku yang kontroversial dari Slamet Muljana, diterbitkan

pada tahun 1968, dan ditarik dari peredaran pada tahun 1971 oleh pihak berwenang

Indonesia, tetapi baru-baru ini diterbitkan ulang di Yogyakarta oleh Lembaga Kajian Islam

dan Sosial pada tahun 2005. 160

S. Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam

di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005). 161

Ali, “Chinese Muslims…, h. 1-22. 162

S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal

Ahimsya Karya Press, 2003). 163

AI Qurtuby, “The Tao of Islam…, h. 51-78. 164

Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 165

S. Al Qurtuby, “Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-

Kolonial Belanda”. Konfrontasi, vol. 1, no. 2, 2012, h. 69-90.

64

pengaruh Tionghoa pada desain arsitektur masjid dan makam tua di Jawa, seperti

makam Sunan Giri di Gresik, desain istana Cirebon dan arsitektur masjid Demak di

Jawa Tengah. Dua contoh terkait di Jakarta adalah mesjid Angke dan masjid Kebon

Jeruk. Masjid Angke memiliki beberapa ornamen Tionghoa di gerbang dan tali

seperti yang ada di kuil Tionghoa; sementara ada batu nisan Muslim di Masjid

Kebon Jeruk yang memiliki aksara Tiongkok dan Arab. Berangkat dari beberapa

sumber sejarah dan situs keagamaan tersebut, Al Qurtuby berpendapat bahwa ada

budaya Tionghoa Muslim-Jawa di seluruh Jawa, sebagai hasil dari interaksi antara

Cheng Ho dan Tionghoa Muslim lainnya dengan orang lokal Jawa.

Selain Al Qurtuby, Yuanzhi telah mencatat bahwa beberapa situs keagamaan

Tionghoa mungkin memiliki hubungan dengan Laksamana Cheng Ho, seperti Kuil

Ancol di Jakarta dan Sam Po Kong (Kuil Cheng Ho, juga dikenal sebagai Gedung

Batu) di Semarang. Merujuk karya Tanggok bahwa beberapa orang bahkan

mengatakan kuil seperti itu pernah berfungsi sebagai masjid.166

Selain itu, kontak

budaya antara Tionghoa dan Indonesia, serta perkembangan Islam di Tiongkok

selama abad 13 dan 15 digambarkan oleh Sen untuk mendukung klaimnya tentang

hubungan dekat antara ekspedisi Cheng Ho dan Islam di Asia Tenggara.167

Penulis

melihat semua sumber yang ada mecoba meyakinkan kita semua bahwa ada

interaksi antara Tionghoa dan Islam di Indonesia, khususnya Jawa di masa lalu

sekalipun sumber-sumber tersebut tidak secara eksplisit menjelaskan peranan

Tionghoa Muslim dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan kata lain, semua

literatur tersebut, sampai batas tertentu, mungkin telah melebih-lebihkan pengaruh

Tionghoa terhadap perkembangan Islam di Jawa, atau memang seperti itu adanya.

Sebelum kedatangan Belanda, ada banyak juga orang Tionghoa yang masuk

Islam. Hal tersebut menurut Giap dilakukan sebagai cara mengintegrasikan diri

mereka ke dalam masyarakat Jawa, dengan menikahi penduduk setempat dan

mengadopsi nama-nama Jawa sehingga dapat meningkatkan derajat sosial dan

politik mereka, juga tidak biasa bagi mereka untuk berasimilasi dengan kelompok

mayoritas lokal. Namun, dengan perkembangan politik yang menyertai

kolonialisme Belanda, bentuk interaksi budaya antara Tionghoa dan Muslim ini

menurun. Oleh karena itu, generasi Tionghoa Muslim di masa yang akan datang

sulit dilacak karena sebagian besar dari mereka akhirnya berasimilasi, dan ada

kehancuran budaya Tionghoa Muslim-Jawa. Keadaan tersebut disebabkan oleh

beberapa hal, termasuk meningkatnya kekuatan rezim kolonial Belanda, perubahan

politik di Tiongkok, pergantian Islam yang lebih ortodoks, dan meningkatnya

kedatangan perempuan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme Tionghoa.

Hancurnya budaya Tionghoa Muslim-Jawa berarti bahwa etnis Tionghoa pada

waktu itu sebagian besar non Muslim dan dianggap oleh beberapa orang Indonesia

166

M. I. Tanggok, “The Role of Chinese Communities lo the Spread of Islam in

Indonesia”. Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, vol. 7, no. 3, 2006, h. 249-262. 167

T. T. Sen, Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast

Asian Studies, 2009).

65

asli sebagai “orang lain” yang signifikan dan “orang asing” yang tidak

berasimilasi.168

D. Era Kolonial Belanda: Kemunduran Budaya Muslim Tionghoa-Jawa

Kebijakan pemisahan dari pemerintahan Belanda menyebabkan penarikan

batas yang lebih ketat antara orang Tionghoa dan pribumi (Indonesia), serta

mengurangi jumlah konversi etnis Tionghoa ke Islam. Benedict Anderson

sebagaimana dikutip Ang berpendapat bahwa itu adalah kebijakan kolonial Belanda

yang secara artifisial menciptakan “minoritas Tionghoa” di Hindia Belanda saat

itu.169

Dalam status sipil, Belanda menciptakan tiga kategori rasial, masing-masing

dengan hak dan hak hukum yang berbedaorang Eropa berada di level paling atas,

orang-orang asingterutama Tionghoa, juga orang Arab dan India berada di level

menengah, sedangkan penduduk pribumi (Indonesia) menempati posisi paling

bawah. Status istimewa ini memberi kesan pada etnis Tionghoa bahwa status sosial

orang pribumi Indonesia lebih rendah. Karena Islam umumnya dikaitkan dengan

orang pribumi Indonesia, banyak etnis Tionghoa yang dianggap masuk Islam akan

menurunkan status sosial mereka.170

Pada saat yang sama, kebijakan Belanda lebih

suka menjaga etnis Tionghoa agar tidak berbaur dengan penduduk pribumi dan

masuk Islam. Sebagai hasil dari kebijakan ini, etnis Tionghoa menjadi kelas

perantara yang terutama terlibat dalam kegiatan ekonomi dan tinggal di distrik-

distrik tertentu. Pada saat yang sama, orang pribumi Indonesia semakin memegang

persepsi negatif terhadap orang Tionghoa Indonesia, seperti menjadi eksklusif dari

mayoritas orang Indonesia dan mengeksploitasi sumber daya masyarakat pribumi.

Namun, terlepas dari kebijakan kolonial Belanda, masih ada beberapa etnis

Tionghoa yang masuk Islam, terutama untuk pertimbangan keamanan dan ekonomi.

Setelah pembunuhan massal etnis Tionghoa oleh pasukan Belanda dan tentara lokal

di Jakarta pada 1740, banyak yang masuk Islam untuk menghindari menjadi korban.

Sementara yang lainnya dikonversi karena alasan ekonomi, sehingga mereka akan

dianggap “pribumi” dan karenanya dikenakan pajak yang lebih rendah. Hal ini

menyebabkan Belanda mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah konversi

agama etnis Tionghoa, karena telah menghasilkan kerugian besar bagi pemerintah

kolonial.171

Lombard dan Salmon mencontohkan bahwa pada tahun 1745, orang

Tionghoa yang pindah agama dilarang berasimilasi dengan Muslim setempat dan

wajib membayar pajak yang lebih tinggi. Kolonial Belanda juga khawatir bahwa

interaksi yang erat antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat dapat

168

T. S. Giap, “Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia”. In Chinese

Beliefs and Practices in Southeast Asia, (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1993), h. 59-

100. 169

I. Ang, “Trapped in Ambivalence Chinese Indonesians, victimhood and the Debris

of History”. In M. Morris & B. de Bary (eds.), „Race‟ Panic and the Memory of Migration,

(Hong Kong: Hong Kong University Press, 2001), h. 21-47. 170

W. G. Skinner, “Creolized Chinese Societies in Southeast Asia”. In A. Reid (ed.),

Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, (Sydney: Allen and

Unwin, 1996), h. 50-93. 171

Lombard & Salmon, “Islam and Chineseness”, h. 181-208.

66

mengganggu kestabilan kekuasaan mereka. Untuk memisahkan para mualaf dari

Muslim lokal, Belanda menunjuk kapitan khusus untuk memimpin Tionghoa

Muslim dan membangun sebuah masjid, yakni mesjid Krukut khusus untuk

mualaf.172

Hew dalam penelitiannya menemukan bahwa banyak pemimpin Tionghoa

Muslim menyalahkan pemerintahan kolonial Belanda karena lebih sedikit Tionghoa

yang masuk Islam. Beberapa dari mereka melihat era kolonial Belanda sebagai

periode paling gelap dalam sejarah orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya dan

Tionghoa Muslim pada khususnya.173

Oleh karena itu, bagi para pemimpin

Tionghoa, penting untuk menekankan sejarah Tionghoa Muslim sebelum

kedatangan Belanda sebagai cara memosisikan diri di Indonesia kontemporer dan

mengajarkan Islam ke etnis Tionghoa. Dalam konteks ini, penelitian Hew secara

lebih rinci melihat bagaimana etnis Tionghoa Muslim mengutarakan kembali

ingatan bersejarah mereka. Penting juga dicatat bahwa alasan lain yang

berkontribusi terhadap penurunan konversi etnis Tionghoa ke Islam, seperti

meningkatnya ortodoksi Islam dan kebangkitan nasionalisme Tionghoa pasca abad

ke-19.174

Tumbuhnya bentuk Islam yang tegas yang menuntut umat Islam untuk

mengamalkan agama mereka dengan lebih kaku, seperti tidak makan daging babi

dan meninggalkan penyembahan dewa mungkin telah lebih jauh mengecilkan hati

orang Tionghoa Indonesia dari menjadi Muslim.175

Hubungan antara etnis Tionghoa dan Muslim lokal juga memburuk setelah

Perang Jawa (1825-1830) dan serangan Sarekat Islam (1912). Selama puncak

Perang Jawa, Diponegoro, seorang pemimpin Jawa mengambil sikap tanpa

kompromi terhadap etnis Tionghoa. Ia dikatakan telah mengeluarkan dekrit yang

memerintahkan Tionghoa di distrik-distrik tertentu untuk mengkonversi atau

menghadapi hukuman mati176

Dia juga mensyaratkan sunat segera bagi “mereka”

yang menyatakan sebagai Muslim. Sementara pada tahun 1905, Sarekat Dagang

Islam (SDI) didirikan oleh beberapa pengusaha Muslim asli untuk melindungi

kepentingan bisnis mereka dari pedagang Tionghoa yang lebih mapan. Pada tahun

1912, SDI direorganisasi dengan nama Sarekat Islam (SI). Pada tahun yang sama, ia

meluncurkan boikot terhadap pedagang Tionghoa yang berubah menjadi kerusuhan

terhadap Tionghoa dalam beberapa hari kemudian, di sekitar Surakarta dan Jawa

Tengah.177

172

Lombard & Salmon, “Islam and Chineseness”, h. 181-208. 173

W. W. Hew, “Negotiating Ethnicity and Religiosity: Chinese Muslim Identities in

Post-new Order Indonesia”, (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy

Department of Political and Social Change School of International, Political and Strategic

Studies College of Asia and the Pacific of The Australian National University, 2011), h. 62. 174

M. Jacobsen, “Islam and Processes of Minorisation among Ethnic Chinese in

Indonesia: Oscillating between Faith and Political Economic Expediency”. Asian Ethnicity,

vol. 6, no. 2, 2005, h. 71-87. 175

Hew, “Negotiating Ethnicity…, h. 62. 176

Lombard & Salmon “Islam and Chineseness”, h. 115-131. 177

Azyumardi Azra “The Indies Chinese and the Sarekat Islam: An account of the Anti-

Chinese Riots in Colonial Indonesia”. Studia lslamika, vol. 1, no. 1, 1994, h. 25-54.; T.

67

Terlepas dari ketegangan di atas, Ali mengatakan bahwa ada cukup banyak

Tionghoa Muslim yang terlibat dalam perang anti-kolonial lokal dan gerakan

nasionalis, termasuk Johan Muhammad Chai, seorang Tionghoa Muslim yang

menandatangani Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dalam membahas religiusitas

beberapa Tionghoa Muslim, Ali juga mengatakan bahwa pada awal abad ke-20,

terdapat berbagai orientasi keagamaan di antara mereka, mulai dari sinkretik,

ortodoks hingga Islam politik. Seperti itu keberagaman dalam religiusitas

menunjukkan bahwa Tionghoa Muslim telah berintegrasi ke dalam budaya lokal

dengan berbagai cara.178

Dari berbagai peristiwa di atas memperkuat stereotip negatif di antara orang

pribumi Indonesia. Ditambah lagi banyak kasus-kasus korupsi dengan nilai yang

sangat besar banyak dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Untuk itu, penulis

berpendapat bahwa untuk mengubah stereotif tersebut, maka memori kolektif

tentang konstruksi orang Tionghoa sebagai “orang luar” perlu ditata ulang guna

menghindari konflik yang berulang antara orang Tionghoa dan warga asli. Persepsi

masyarakat asli terhadap etnis Tionghoa dapat diubah melalui penulisan Kembali

sejarah mereka secara proporsional dan sesuai konteks. Mudah-mudahan dengan

memahami sejarah secara benar, akan dapat merekatkan Kembali hubungan

“mesra” yang dulu sempat terbina.

Shiraishi, An Age in Motion. Popular Radicalism in Java 1912-1926, (Ithaca: Cornell

University Press, 1990). 178

Ali, “Chinese Muslims…, h. 1-22.

68

69

BAB III

SEJARAH KESULTANAN CIREBON

Pada bab III ini penulis akan membahas tentang sejarah Kesultanan Cirebon.

Bagian ini secara husus akan menjelaskan tentang sejarah terbentuknya Kesultanan

Cirebon, dialektika politik di Kesultanan Cirebon dan sejarah kedatangan etnis

Tionghoa di Cirebon. Pembahasan ini menjadi penting disajikan agar kita mendapat

gambaran yang komprehensif tentang Kesultanan Cirebon dan kedatangan etnis

Tionghoa di Cirebon sebelum pembahasan tentang relasi sosial budaya antara etnis

Tionghoa dan masyarakat Cirebon di bab selanjutnya.

A. Profil dan Dialektika Kesultanan

1. Kesultanan Cirebon

Proses islamisasi di Nusantara dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya

dengan mendirikan sebuah pusat kekuataan Islam yang dilembagakan, yakni

kesultanan. Kesultanan didirikan sebagai manifestasi sosial dan politik yang

dilakukan untuk mendukung komunitas Islam yang ada di Nusantara. Dalam

konteks tersebut, sekurangnya ada beberapa fungsi kesultanan itu didirikan, di

antaranya sebagai pusat kekuatan di masa lalu, pusat kebudayaan, pusat keilmuan

dan pusat keagamaan.1

Salah satu kesultanan yang berdiri di Nusantara adalah Kesultanan Cirebon.

Kesultanan ini berdiri pada tahun 1482 M. dan menandai sebuah era baru yang ada

di wilayah Jawa Barat. Hal ini dikarenakan Cirebon sebelum itu berada di bawah

kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pendirian

Kesultanan Cirebon bukan merupakan awal dari gerakan islamisasi, tetapi pendirian

institusi politik yang dimanifestasikan sebagai Kesultanan Cirebonadalah

merupakan kelanjutan dari proses islamisasi yang sudah berlangsung dan dilakukan

oleh para pendakwah sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati.2

Sebelum Cirebon menjadi kesultanan, daerah ini merupakan sebuah pedukuhan

kecil yang terletak di bibir atau pesisir teluk Cirebon, orang-orang menyebutnya

dengan nama Lemah Wungkuk atau disebut juga Dukuh Tegal Alang-Alang, sebab

pedukuhan ini dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Sikap ramah dari pribadi Ki

Gedeng Alang-Alang menjadi salah satu faktor pendorong atau menarik perhatian

para pendatang dari berbagai suku, agama, budaya dan bahasa yang berbeda.

Semuanya bisa datang, bahkan untuk menetap sekalipun. Hal tersebut sebagaimana

diceritakan dalam Purwaka Caruban Nagari, yaitu: “Wis mandeg ta sira teguh

alang-alang dukuh kang mangko sinebut Caruban tumuli, mapan janmapada

1J. Burhanudin, “Converting Belief, Connecting People: The Kingdoms and the

Dynamics of Islamization in Pre-Colonial Archipelago”. Studia Islamika, vol. 25, no. 2,

2018, h. 247-278.; S. F. Alatas, “Notes on various theories regarding the Islamization of the

Malay archipelago”. Alatas, SF (1985). Notes on Various Theories Regarding the

Islamization of the Malay Archipelago. The Muslim World, vol. 75, 1985, h. 162-175. 2T. Tendi, D. Marihandono, & A. Abdurakhman, “Between the Influence of

Customary, Dutch, and Islamic Law: Jaksa Pepitu and Their Place in Cirebon Sultanate

History”. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, vol. 57, no. 1, 2019, h. 117-142.

70

sukheng pesambangan desa keh mara ngkene pantaraning pra dol tinuku”

(akhirnya berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kelak menjadi Caruban.

Banyak orang dari Dukuh Pesambangan yang datang ke daerah tersebut, salah

satunya mereka yang berprofesi sebagai pedagang).3

Sosok pangeran Cakrabuana (Ki Somadullah/Pangeran Walangsungsang) yang

mendirikan wilayah Lemah Wungkuk atas titah gurunya Syekh Nurjati, seorang

muballig yang pernah singgah di Pelabuhan Muara Jati. Adapun tujuan pendirian

wilayah ini adalah untuk memperluas penyebaran Islam di pesisir utara pantai Jawa

dan daerah sekitarnya.4

Ki Somadullah membangun Lemah Wungkuk atas titah gurunya dan

mengundang penduduk yang tadinya tinggal di Amparan Jati yang merupakan salah

satu jalur perdagangan internasional dan pelabuhan penting saat itu. Dalam proyek

pendirian wilayah itu tercatat ada 52 orang yang berasal dari berbagai suku bangsa

ikut membantu dan bergabung. Mereka bekerja sama dan bahu membahu

membersihkan hutan belukar. Lemah Wungkuk berkembang pesat dan menarik

banyak orang untuk kemudian datang dan menetap. Jumlah penduduk meningkat

tajam dari 52 menjadi 346 dalam waktu singkat, dengan rincian 196 orang berasal

dari suku Sunda, 106 orang suku Jawa, 16 orang dari Sumatera, 4 orang dari suku

Melayu, 2 orang dari India, 2 orang dari Persia, 3 orang dari Syam/Syiria, 11 orang

dari Arab dan 6 orang dari Tiongkok. Kemajemukan etnik dan asal-usul penduduk

menunjukkan betapa pesatnya perkembangan wilayah ini, baik dari segi demografis

maupun ekonomis.5

Ki Somadullah berhasil mengembangkan wilayah Lemah Wungkuk sehingga

mampu mengungguli wilayah Amparan Jati dimana Muara Jati menjadi pusat

pelabuhan internasional, bahkan pada perkembangannya, Amparan Jati kemudian

menjadi bagian dari wilayah Lemah Wungkuk dan pelabuhan internasional beralih

ke Lemah Wungkuk. Wilayah Lemah Wungkuk semakin hari bertambah luas

menjadikan wilayah ini berubah nama menjadi Caruban atau Cerbon atau Cirebon

yang berarti campuran.6 Jadi perubahan nama dari Lemah Wungkuk menjadi

Caruban terjadi pada masa Ki Somadullah karena penduduk yang mendiami tempat

itu berasal dari berbagai bangsa, agama dan bahasa, serta pekerjaan yang berbeda.

Cirebon tumbuh menjadi kota yang ramai, dan pantainya berkembang menjadi

pelabuhan yang ramai dengan kegiatan perdagangan melalui laut. Cirebon

berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir utara pulau Jawa. Ada empat

faktor yang memengaruhi Cirebon menjadi pelabuhan penting. Pertama, letak

geografisnya yang strategis. Pelabuhan Cirebon berada pada lokasi berbentuk teluk

3N. H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, (Bandung: Alqaprint, 2000), h.

45. 4Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986), h. 33.; D. N. Rosyidin dan A.

Syafaah, Keragaman Budaya Cirebon: Survey atas Empat Entitas Budaya Cirebon,

(Cirebon: Elsi Pro, 2016), h. 25. 5D. N. Rosyidin, Ulama Paska Sunan Gunung Jati, Studi atas Sejarah dan Jaringan

Intelektual Cirebon Pada Abad ke 16 Hingga Abad ke 18, (Laporan penelitian, IAIN Syekh

Nurjati, 2014), h. 36-37. 6Rosyidin dan Syafaah, Keragaman Budaya Cirebon…, h. 25-26.

71

sehingga terlindung dari gelombang pasang air laut. Kedua, pelabuhan Cirebon

berada di bagian tengah pesisir utara pulau Jawa, dan cukup jauh dari pelabuhan

lain, seperti Jepara, Tuban dan Surabaya di timur pulau Jawa dan Sunda Kelapa

serta Banten di sebelah barat pulau Jawa. Ketiga, pelabuhan Cirebon mudah

didatangi dengan perahu, bahkan dapat dimasuki oleh kapal-kapal berukuran besar.

Keempat, hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman berlangsung lancer,

baik melalui sungai atau darat.7

Dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menetap di wilayah

sebagaimana disebutkan di atas, maka status pedukuhan Tegal Alang-Alang

ditingkatkan menjadi desa dengan nama pakuwon (akuwuhan), hal itu sudah sesuai

dengan struktur pemerintahan yang diatur oleh Kerajaan Pajajaran. Perubahan status

dari pedukuhan menjadi pakuwon pada akhirnya berimplikasi pada perubahan

struktur kekuasaan lokal. Atas dasar itu, maka Ki Gedeng Alang-Alang yang

sebelumnya menjadi pemimpin pedukuhan, kemudian berubah statusnya menjadi

seorang kuwu (kepala desa). Dengan bergantinya status pedukuhan menjadi

pakuwon, maka secara otomatis nama Tegal Alang-Alang berubah menjadi Caruban

Larang.8

Ki Somadullah bukanlah tokoh pertama yang mendiami Lemah Wungkuk. Ia

justru mewarisi wilayah ini dari mertuanya, Ki Danusela yang bergelar Ki Gedheng

Alang-Alang. Ki Gedeng Alang-Alang dalam konteks ini adalah sebagai kuwu

pertama dari Pakuwon Caruban Larang. Untuk mendamping kuwu yang sudah

sepuh tersebut, maka Prabu Siliwangi9 mengutus putranya dari Nyi Rara Subang

Larang yakni Pangeran Cakrabuana untuk menjadi wakil kuwu dengan gelar Ki

Cakrabuana karena ia menjabat sebagai pangraksabumi atau wakil kuwu yang

diberikan tugas khusus dalam mengurusi masalah pertanian dan pengairan.10

Sepeninggal mertuanya, Ki Somadullah resmi menjadi Kuwu.11

Pada masanya,

Lemah Wungkuk berubah nama menjadi Caruban, Cerbon atau Cirebon.

Wilayahnya semakin luas dengan masuknya wilayah Cirebon pedalaman yang

dikenal dengan Cirebon Girang. Dengan demikian, Ki Somadullah berhasil

7A. S. Hardjasaputra dan T. Haris, (ed.), Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15

Hingga Pertengahan Abad ke-20), (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi

Jawa Barat, 2011), h. 27. 8Di tahun 1389, saat Cirebon masih dikenal dengan Caruban Larang, wilayahnya terdiri

atas dua daerah, yaitu Caruban Girang dan Caruban Pantai. Wilayah Caruban pantai yang

kemudian berkembang menjadi pusat negeri Cirebon, dengan Pangeran Cakrabuana sebagai

adipatinya. Lihat P. R. Abdurrahman, Cerbon, (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia

dan Penerbit Sinar Harapan, 1982), h. 29. 9Prabu Siliwangi menikah dengan seorang putri beragama Islam yaitu Rara Subang

Larang, anak dari Mangkubumi Singapura/Mertasinga Caruban. Dari pernikahan tersebut,

Prabu Siliwangi memiliki tiga orang anak, yakni Pangeran Walangsungsang, Ratu Mas Lara

Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang. Lihat P. S. Sulendraningrat, Sejarah

Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 16. 10

A. S. Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman: Abad Ke-15 hingga Pertengahan

Abad Ke-20, (Bandung: Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, 2012),

h. 23. 11

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 35.

72

menggabungkan wilayah Cirebon Girang dan Cirebon Larang yang tadinya

terpisah. Dengan adanya perluasan wilayah tersebut, wilayah Cirebon meliputi

sungai Cipamali di bagian Timur, Cigugur (termasuk wilayah Kuningan) di bagian

Selatan, pegunungan Kromong di bagian Barat dan Junti di sebelah Utara.12

Dalam rangka perluasan wilayah atau ekspansi kekuasannya, Pangeran

Cakrabuana mengutus anaknya Pangeran Carbon untuk mengembangkan

pemukiman kakeknya di Caruban Girang. Upaya yang dilakukan oleh Pangeran

Arya Carbon berhasil ketika Caruban Girang meningkat statusnya menjadi

Pakuwan Caruban Girang. Karena prestasinya, maka Pangeran Carbon diangkat

sebagai kuwu pertama di Caruban Girang. Selain itu, Pangeran Cakrabuana

mengajak para pendatang yang bermukim di daerah lain dari wilayah Caruban

Larang untuk sama-sama membangun serta berpartisipasi untuk mengembangkan

wilayahnya menjadi pemukiman yang ramai.13

Dengan semakin luasnya wilayah Cirebon secara otomatis juga berimplikasi

terhadap semakin beragamnya penduduk, termasuk budaya dan tradisinya. Inilah

yang kemudian menjadi landasan sejarah yang kokoh bagi berkembangnya budaya

yang heteregon di wilayah yang nantinya bernama Caruban Nagari, yaitu negeri

dimana beragam suku bangsa dan budaya serta agama hadir. Cirebon kemudian

menjadi salah satu pusat transmisi ilmu pengetahuan dan pusat perdagangan dengan

semakin ramai dan strategisnya pelabuhan Cirebon dalam jaringan pelayaran dan

perdagangan internasional dan regional. Banyaknya artefak yang ditemukan

menunjukkan kompleksitas kebudayaan dan peradaban yang pernah singgah dan

berkembang di Cirebon.14

Pangeran Cakrabuana kemudian mengajarkan banyak hal kepada masyarakat

setempat, sebagaimana masyarakat Junjang yang pada dasarnya belum memahami

teknologi pertanian. Dalam konteks ini Pangeran Cakrabuana mengajarkan mereka

cara-cara bertani, sehingga hasil panen dapat berlipat ganda. Begitu juga dengan

masyarakat Juntinyuat dan Indramyu, mereka diajarkan bagaimana cara bertenun

yang baik sehingga dapat menghasilkan tenunan serat gebong yang bagus. Inisiatif

Pangeran Cakrabuana dalam mengajarkan masyarakat selain agar masyarakat

setempat dapat memberdayakan diri dan semua potensi yang mereka miliki, juga

sebagai bagian dari misi syiar Islam yakni dalam rangka meyakinkan masyarakat

lokal untuk memeluk agama Islam.15

Pangeran Cakrabuana juga merupakan orang yang pertama kali mengajarkan

sistem pemilihan lokal secara langsung di Cirebon. Sistem pemilihan ini

diberlakukan pada setiap level pemerintahan, termasuk pada tingkatan paling bawah

12

Supratikno Rahardjo (ed), Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera,

(Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998), h. 49.; Atja, Carita Purwaka

Caruban…, h. 35. 13

D. N. Rosyidin, dkk, Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektor Khazanah

Keagamaan Balitbang Kementrian Agama RI, 2013), h. VI. 14

Rahardjo (ed), Kota Dagang Cirebon…, h. 51.; Rosyidin dan Syafaah, Keragaman

Budaya Cirebon…, h. 26. 15

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 29.

73

yakni dalam hal memilih kuwu16

(Kepala Desa). Sistem pemilihan ini dikenal

dengan nama uwi-uwian. Sistem pemilihan ini juga yang dilakukan oleh masyarakat

penduduk pesisir Cirebon untuk memilih Pangearn Cakrabuana yang saat itu

menjabat sebagai wakil kuwu menjadi kuwu Cirebon kedua setalah Ki Gedeng

Alang-Alang wafat pada 1447 M. Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu selama 32

tahun (1447-1479 M).17

Seiring berjalannya waktu, Cirebon mengalami perkembangan yang begitu

pesat, dan atas prestasi yang dicapai Pangeran Cakrabuana, ia kemudian diangkat

oleh Raja Pakuan Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri

Mangana. Raja Pakuan Pajajaran akhirnya mengutus Tumenggung Jayabaya untuk

memberikan petandha kaprabon. Sehingga tidak heran jika Pangeran Cakrabuana

sangat loyal kepada Raja Pakuan Pajajaran ketika menjadi vasal dan selalu

mengirimkan bulu bekti (upeti) berupa garam dan terasi.18

Pada tahun 1479 Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan kepada

ponakannya yaitu Syarif Hidayatullah. Namun, sejak tahun 1482 Syarif

Hidayatullah tidak mau lagi mengirimkan upeti kepada Pajajaran sebagaimana yang

dilakukan pamannya. Maka, sejak saat itu Cirebon menjadi kerajaan yang berdaulat

penuh dan tidak lagi menjadi bawahan Pajajaran. Jadi dalam pendirian Kesultanan

Cirebon, Wali Songo mempunyai andil yang besar, yakni dengan tampilnya Sunan

Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Awalnya Syekh Syarif Hidayatullah

berperan sebagai juru dakwah yang mempunyai tugas untuk menyebarkan ajaran

agama Islam kepada masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, dan statusnya

sebagai salah satu keponakan dari peguasa Cirebon yakni Pangeran Cakrabuana

sekaligus juga sebagai cucu Prabu Siliwangi, Syekh Syarif Hidayatullah akhirnya

diberikan amanah untuk memegang pemerintahan dari pamannya.19

Ia bergelar

Ingkang Sinuhun Sunan Jati Purba Wisesa Panetep Panataagama Awliyah

Khalifatur Rasullah Shallallahu „Aliahi Wasalam”.20

Sunan Gunung Jati dilantik

16

Para kuwu biasanya dibantu oleh beberapa pejabat dalam struktur pemerintahan

seperti, Ki Buyut (Penasehat Kuwu), Ki Kliwon (Wakil Ki Kuwu), Ki Carik/Juru Tulis

(Penanggung Jawab Administrasi), Ki Raksabumi (Penanggung Jawab Pertanian dan

Perairan), Ki Juragan Pulisi (Penanggung Jawab Keamanan dan Ketertiban), Ki Mayor

(Pembantu Raksabumi), Ki Bahu (Pembantu Umum), Ki Capgawe (Pembantu Juragan

Pulisi), Ki Bekel (Penanggung Jawab Blok), Ki Kemit (Penjaga Desa atau Pesuruh). 17

Proses pemilihan yang dilakukan secara uwi-uwian dilakukan dengan cara

menghadirkan gegeden/gegedug (calon yang akan dipilih) dari setiap Kabuyutan. Para

gegeden ini akan berdiri di depan Bale Desa, kemudian rakyat memilih langsung dengan

cara berjongkok di depan calon pemimpinnya. Gegeden yang memiliki pemilih paling

banyak itulah yang berhak untuk menjadi kuwu di desa atau dukuh tersebut. Lihat

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 47. 18

E. S. Ekajati, Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah sampai Terbentuknya

Kabupaten, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003), h. 13. 19

Atja, Carita Purwaka Caruban …, h. 37. 20

A. O. Safari, “Perta Naskah Cirebon”, Makalah Disampaikan dalam Forum Diskusi

Bulanan, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB) Jurusan Adab STAIN Cirebon, 7 Maret

2009.

74

oleh Raden Ali Rokhmatullah dan juga merupakan Ketua Dewan Wali Sango. Pada

masanya, Cirebon sebagai sebuah kekuatan politik mencapai puncaknya.

Demi memperlancar kegiatan pemerintahan, Kesultanan Cirebon membangun

Keraton Pakungwati.21

Dalam perkembangannya, keraton ini mengalami beberapa

perubahan, yakni pada tahap pertama tahun 1452, di keraton hanya terdapat

bangunan Dalem Agung Pakungwati. Bangunan ini mempunyai kesamaan struktur,

mengunakan susunan bata merah dengan ornamen wadasan setiap sisinya. Pada

bagian tengah merupakan bangunan yang terbuka, berdiri beberapa tiang tanpa

menggunakan dinding, dan di setiap tiangnya memiliki pondasi berbentuk lesung

tanpa adanya ornamen. Tiang penyanggah terbuat dari kayu dengan pondasi umpak,

sedangkan pada pangkalnya ada ukiran dan motif. Sementara di bagian atap

bangunan berbentuk atap bertipe malang semirang dengan genteng sebagai

penutupnya.22

Kemudian, pada tahap kedua tahun 1489 mulai didirikan Mesjid Agung Sang

Cipta Rasa.23

Diikuti dengan beberapa pembangunan lainnya seperti Siti Inggil,

museum benda kuno, kuncung dan kutagara wadasan, pengukuran, dan pintu buk

bacem. Pembangunan Keraton Cirebon tahap kedua juga diikuti dengan perbaikan

pada bagian lainnya seperti bangunan Siti Inggil dikelilingi dengan tembok merah

dengan adanya pasangan piring keramik yang mengadopsi budaya dari Tiongkok

dan pintu masuk berupa candi Bentar. Siti Inggil juga terdiri dari lima buah

bangunan beratapkan sirap yang berderet dari barat ke timur. Selain itu juga Mande

Malang Semirang (Mande Jajar) mempunyai tiang enam buah melambangkan

rukun iman dan seluruhnya ada 20 tiang melambangkan sifat ketuhanan.24

Tiang-

tiangnya memiliki banyak ornamen seperti pada bagian bawah pondasi berbentuk

lesung dengan ukiran flora yang berupa motif keliangan dan kangkungan dari

ragam hias Jawa Barat.

Pada bangunan museum kuno terdapat beberapa karakteristik yang berbeda

dengan bangunan yang ada pada Siti Inggil. Pada bangunan ini digunakan tembok

bata yang tertutup sampai ke atap, sedangkan ornamen-ornamen yang digunakan

tidak banyak, hanya berupa list yang terdapat pada pintu masuk dan bawahnya

berukir wadasan yang melambangkan manusia harus hidup mempunyai pondasi

yang kuat. Sementara pada pintu buk bacem digunakan bingkai gapura seperti

tampak mengadopsi kebudayaan Gujarat yaitu berupa lengkungan, juga terdapat

21

Keraton Pakungwati sejak awal telah dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. Terhitung

setelah kematian kakeknya, yaitu Mertasinga, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan

kedudukannya sebagai raja. seluruh harta warisan yang diperolehnya digunakan untuk

membangun Keraton Pakungwati. Lihat H. A. Dasuki (ed.), Sejarah Indramayu,

(Indramayu: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu,1978), h. 24. 22

Dini Rosmalia, “Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon”. Prosiding

Semarnusa IPLBI ITS Surabaya, 2018, h. 074-082.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h.

35.; Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 50-51. 23

P. S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon, (1984), h. 56-57.;

Mudhofar Muffid, dkk, “Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta

Rasa Cirebon”. Modul , vol. 14, no. 2, 2014, h. 65-70. 24

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 65-66.

75

tempelan piring keramik dari kebudayaan Tionghoa untuk memperindah tampilan

pintu buk bacem.

Pada tahap ketiga, ada beberapa perkembangan tahun 1529 ditambahkan

beberapa panambahan bangunan seperti Bale Kambang, Bangsal Agung, Dalem

Arum Kedalem, Bangunan Kaputren beserta Paseban Kaputren, Bangsal

Pringgadani, dan Jinem Pangrawitserta, juga Taman Bunderan Dewandaru dan

seterusnya.25

2. Dialektika Politik dan Islam

Rintisan pendirian Kesultanan Cirebon sudah dilakukan oleh Pangeran

Cakrabuana. Ia mulai merintis dari mulai kuwu sampai menjadi Tumenggung.

Perintisan diawali ketika ia menggantikan Ki Gedeng Alang-Alang yang wafat.

Maka, dilakukanlah proses uwi-uwian sehingga Pangeran Cakrabuana terpilih

menjadi kuwu di Caruban Nagari. Banyak proses yang dilalui dan prestasi yang

dicapai Pangeran Cakrabuana untuk menjadi Tumenggung seperti pengukuhan

kuwu-kuwu yang ada di bawah kekuasaan Caruban Larang dan membuka wilayah-

wilayah baru serta meletakkan konsep pemerintahan sehingga dapat berjalan dengan

baik.26

Pada lain kesempatan, Pangeran Walangsungsang akan berguru kepada Syekh

Maulana Maghribi, akan tetapi ia menolak dan menyarankan untuk berguru kepada

Syekh Datuk Kahfi (Syekh Maulana Idhofi). Syekh Maghribi mengatakan bahwa

ketika Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang menunaikan

ibadah haji maka ia akan dinikahi oleh Sultan Mesir kemudian dari hasil

pernikahan akan lahir pemimpin para wali di Pulau Jawa.27

Akhirnya, Pangeran

Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang28

mengikuti anjuran Syekh

Maulana Maghribi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi pada tahun 1442 M.

Ketika kedatangan mereka, Syekh Datuk Kahfi merasa senang. Keduanya

diperkenankan untuk tinggal di sekitar Gunung Jati dan melarang mereka untuk

pulang ke Kerajaan Pajajaran. Syekh Datuk Kahfi juga mengatakan bahwa Nyi Mas

Ratu Rara Santang akan dipersunting oleh sultan dari Bani Israil, dan dari

perkawinan tersebut akan lahir sosok anak yang dapat mengislamkan Pulau Jawa.

Maka, tidak lama kemudian mereka berdua diperintahkan untuk menunaikan ibadah

haji ke Mekah.29

25

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 67. 26

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 35. 27

Ki Kampah, Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil, (Cirebon: Rumah

Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon, 2013), h. 223-224. 28

Sejak awal, setelah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang

dewasa, mereka berniat masuk agama Islam, akan tetapi niat itu tidak disetujui, dan

pangeran Walangsungsang beserta istrinya Indhang Ayu serta Nyi Mas Ratu Rara Santang

pergi keluar istana untuk belajar dan mendalami Islam. Mereka berguru pada Syekh Datuk

Kahfi di Amparan Jati. Selanjutnya, atas saran gurunya mereka membuka dusun baru di

kebon pesisir yang terletak dekat tepi laut di selatan Amparan Jati. Lihat Sulendraningrat,

Sejarah Cirebon, h. 18. 29

Hardjasaputra dan Haris, Cirebon dalam Lima…, h. 46-47.; Atja, Carita Purwaka

Caruban…, h. 33.

76

Setelah pulang haji dari tanah suci Mekah, Nyi Mas Ratu Rara Santang

berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim, dan Pangeran Walangsungsang

menjadi Haji Abdullah Iman. Pada saat melakukan ibadah haji itulah Nyi Mas Ratu

Rara Santang bertemu dengan Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah) yang

memerintah kota Ismailiyah, Palestina. Ia baru saja ditinggal mati oleh istrinya dan

bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu Rara Santang. Maka, dilamarlah Nyi Mas Ratu

Rara Santang oleh Syarif Abdullah.30

Pada akhirnya, Nyi Mas Ratu Rara Santang menikah dengan Sultan Syarif

Abdullah. Pernikahan tersebut kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama

Syarif Hidayat yang merupakan salah satu Wali Songo yang berjasa menyebarkan

Islam khususnya di daerah Sunda.31

Para keturunannya kelak menjadi pemimpin

agama di Pulau Jawa. Sementara Syekh Datuk Kahfi,32

Syekh Quro,33

dan Syekh

Maulana Maghribi34

merupakan utusan-utusan dakwah dari berbagai daerah, untuk

menyebarkan ajaran agama Islam di luar Jazirah Arab termasuk di Pulau Jawa.

Pada tahun 1448, ketika sedang melakukan ibadah haji, Syarifah Mudaim

melahirkan Syarif Hidayatullah di Mekah. Syarif Hidayatullah kemudian dibesarkan

di Mesir, di tempat ayahnya berada. Syarif Hidayatullah tumbuh dan berkembang

menjadi pemuda yang tangguh dan cerdas serta taat menjalankan perintah agama

Islam, bahkan ia bercita-cita untuk menyebarkan ajaran agama Islam.35

Syarif Hidayatullah mempunyai semangat yang membara untuk belajar agama

Islam, hal itu disampaikan kepada ibunya, bahkan ia berkeinginan besar untuk

berguru kepada Nabi Muhammad SAW., namun ibunya memberikan pengertian

bahwa Nabi Muhmamad SAW sudah wafat. Maka, Syarif Hidayatullah berangkat

ke Mekah dan berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri. Ia belajar tentang adab

guru, zikir, dan silsilah serta beberapa ilmu agama Islam lainnya seperti ilmu

30

Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda…, h. 17-19.; Atja, Carita Purwaka

Caruban…, h. 33. 31

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 33-34. 32

Syekh Datuk Kahfi atau disebut juga Syekh Nurjati merupakan utusan dari Persia. 33

Syekh Quro adalah seorang ulama dari Campa. Ayahnya bernama Syekh Yusuf

Siddik, seorang ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan dari Syekh

Jamaludin dan Syekh Jalaludin (ulama besar Mekah). Literatur lain bahkan mengatakan

bahwa Syekh Quro masih memiliki garis keturunan yang sampai pada Sayidina Husein bin

Sayidina Ali r.a dan Siti Fatimah. Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari (Putri Ki

Gedeng Karawang). Dari pernikahannya lahir Syekh Ahmad (Penghulu pertama di

Karawang). Cucu Syekh Ahmad dari putrinya yang bernama Nyi Mas Kedaton yakni

Musanudin yang kelak menjadi Lebe Cirebon dan memimpin Tajug Sang Cipta Rasa pada

masa Sunan Gunung Jati. Lihat Syamsurizal, dkk., Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh

Quratul‟ain, (Karawang: Mahdita, 2009), h. 10. 34

Syekh Maulana Maghribi (w. 12 Rabiul Awwal 822 H/8 April 1419) merupakan

utusan dari Maroko. Lihat M. Fauzan, “Selubung Historiografi Syekh Maulana Maghribi,

Wonobodro”. Jurnal Penelitian, vol. 12, no. 2, 2015, h. 261-281. 35

Musyrifah Sunanto, “Syarif Hidayatullah Seorang Wali Penyebar Islam di Jawa

Barat”, (Disertasi PPS. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 33.; Atja, Carita

Purwaka Caruban…, h. 34.

77

tarekat, hakekat dan makrifat. Pasca belajar di Mekah, ia kemudian pulang ke

negara ayahnya. Ketika ia pulang, ayahnya meninggal dunia, dan ia diminta untuk

menggantikan posisi ayahnya, akan tetapi Syarif Hidayatullah memilih untuk

pulang ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam bersama Pangeran Cakrabuana.

Dalam perjalanannya ke Pulau Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di beberapa

daerah, di antaranya Gujarat (selama tiga bulan), singgah di pondok saudaranya

yang berada di daerah Pasai (selama dua tahun), dan daerah Banten yang diketahui

sudah banyak masyarakatnya memeluk Islam.36

Setiba di Cirebon, ia membuka pondok berkat bantuan uwanya yaitu Haji

Abdullah Iman yang merupakan Kuwu Caruban dan mendapat tugas untuk

berdakwah di Gunung Sembung, dan menjadi guru agama Islam. Dengan datangnya

Syarif Hidayatullah ke Cirebon, Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman

kemudian menikahkan anaknya yang bernama Nyai Pakungwati dengan Syarfi

Hidayatullah sekaligus mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai penggantinya untuk

memimpin Caruban dan bergelar Susuhunan Jati, Sunan Jati, atau Sinuhun

Caruban/Cerbon.37

Upacara penobatan Syekh Syarif Hidayatullah dilakukan pada tanggal 12

bagian terang bulan carita 1404 Saka (Maret/April 1479 M). Penobatan itu

didukung penuh oleh kalangan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel dan

melantik Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin Cirebon yang baru. Penobatan itu

juga ditandai dengan pemberian gelar kepada Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang

Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purbawisesa Penataagama Aulia Allah Ta‟ala

Kutubil Jaman, Kholifatu rasulillahi Sholulolhu Alaihi Wassalam”. Berdasarkan

gelar itu Syekh Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati

yang mempunyai otoritas sebagai pemimpin agama di Tatar Sunda.38

Dengan

penobatan ini Syarif Hidayatullah tidak hanya sebagai seorang pemimpin secara

politis, tetapi juga pemimpin agama Islam di wilayah Sunda sebagai pengganti

Syekh Nurjati yang sudah wafat.

Langkah awal yang dilakukan Sunan Gunung Jati adalah dihentikannya

pengiriman upeti garam dan terasi pada tahun 1482 yang seharusnya tiap tahun

dikirimkan ke Ibu kota Pakuan Pajajaran sebagai salah satu persembahan kerajaan

vasal kepada kerajaan induk. Sejak saat itu Cirebon bukan lagi sebagai negara vasal

dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sementara untuk mempertahankan dan

mengantisipasi dari serangan Kerajaan Pakuan Pajajaran karena tidak mengirimkan

upeti seperti tahun-tahun sebelumnya, maka dibentuklah pasukan keamanan yang

disebut Pasukan Jagabaya. Pasukan ini dipimpin oleh seorang komandan yang

disebut Tumenggung, sedangkan untuk jumlah serta kualitasnya sangat memadai

36

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 36.; Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda…, h.

28-30. 37

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 55.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h.

37. 38

P. S. Sulendraningrat (ed.), Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati

Maulana Syarif Hidayatullah, (Cirebon: Sekretariat Sementara Keprabonan, 1984), h. 35.

78

dan ditempatkan di pusat kerajaan, pelabuhan serta tempat-tempat yang dikuasai

oleh Kesultanan Cirebon.39

Dalam rangka memperbaiki sistem pemerintahan, Sunan Gunung Jati berusaha

menata pemerintahan dari tingkat pusat sampai di tingkatan paling bawah selaras

dan sesuai dengan kondisi sosial budaya dan kebutuhan masyarakat. Selain system

pemerintahan, ia juga menata gelar dan jabatan para pejabat pemerintahan. Untuk

kepala persekutuan masyarakat terkecil yang jumlah penduduknya 20 orang

dipimpin oleh Ki Buyut, beberapa unit kebuyutan disebut dengan nama dukuh/desa

yang dipimpin oleh seorang kuwu, kumpulan beberapa dukuh/desa dipimpin oleh

sorang Ki Gede serta kumpulan beberapa Gede dipimpin oleh seorang

Adipati/Tumenggung atau sekarang lebih dikenal dengan Bupati. Setiap pejabat

pemerintahan seperti Adipati, Tumenggung dan Bupati diwajibkan untuk hadir di

ibu kota negara dalam agenda menghadiri rapat bulanan yang disebut dengan istilah

Seba Keliwonan. Rapat ini biasanya dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati di

Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.40

Kesultanan Cirebon sebagai kekuatan politik di bagian barat pulau Jawa

mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, putera Nyi Mas

Rara Santang, adik Pangeran Cakrabuanakeduanya merupakan anak Prabu

Siliwangi dari Nyi Mas Subang Larang. Sunan Gunung Jati berhasil menggantikan

kedudukan pamannya sebagai penguasa Cirebon dengan memperluas wilayah

Cirebon mencakup seluruh wilayah pesisir utara, pedalaman, wilayah selatan hingga

ujung barat pulau Jawa yaitu wilayah Banten. Melalui beberapa penaklukan,

wilayah-wilayah yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran berhasil dikuasai

oleh Sunan Gunung Jati. Lama kelamaan, pengaruh Pajajaran semakin berkurang

dan akhirnya benar-benar jatuh pada tahun 1579. Singkatnya, di bawah

kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan melemahnya pengaruh Kerajaan Pajajaran,

pada abad 16 Cirebon telah berhasil tampil sebagai penguasa tunggal di wilayah

bagian barat pulau Jawa.41

Kesultanan Cirebon dalam kepemimpinan Sunan Gunung Jati telah

berlangsung selama 66 tahun. Dalam Purwaka Tjaruban Nagari yang disalin

Sulendraningrat dan Babad Tjerbon yang ditulis Ki Murtasiah edisi Brandes

menyebutkan bahwa istri Sunan Gunung Jati yang pertama adalah Nyi Mas

Babadan. Penjelasannya adalah di tahun 1471 Syarif Hidayatullah menikah dengan

Nyi Babadan di Babadan Cirebon. Pada tahun 1477 Nyi Babadan wafat tanpa putra.

Dua tahun sebelum wafatnya Nyi Babadan, Syarif Hidayatullah bedakwah ke

Banten dan menikah dengan Nyi Kawunganten di tahun 1475. Kemudian di tahun

39

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 37.; Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h.

56. 40

Pada tahun 1530 wilayah Kesulatanan Cirebon sudah meliputi separuh Propinsi Jawa

Barat yang sekarang. Namun, sebagian penduduk masih beragama non Islam. Ini menjadi

sebuah tantangan kepada setiap pemimpin daerah untuk menyebarkan agama Islam di

wilayahnya masing-masing. Lihat U. Sunardjo, Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon: Kajian

dari Aspek Politik dan Pemerintahan, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan, t.th.), h. 38. 41

D. N. Rosyidin, dan A. Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon: Survey atas Empat

Entitas Budaya Cirebon, (Cirebon: Elsi Pro, 2016), h. 26-27.

79

1478 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Pakungwati. Tiga tahun selisih

pernikahannya dengan Nyi Pakungwati, Syarif Hidayatullah menikahi Ong Tien

(putri Tionghoa) di tahun 1481. Pada tahun 1486 menikah dengan Syarifah

Baghdad. Pada tahun 1485 putri Tionghoa wafat, Syarif Hidayatullah menikah lagi

dengan Nyi Tepasari. Sekalipun Syarif Hidayatullah melakukan pernikahan yang

berulang-ulang, namun tidak pernah memiliki istri lebih dari empat. Keempat

isterinya itu masing-masing menetap di Kawunganten Banten, Pakungwati Cirebon,

Syarifah Baghdad di Pesambangan dan Nyi Tepasari dari Majapahit.42

Pada masa pemerintahannya, sebelum lengser, Sunan Gunung Jati menetapkan

pengganti kepemimpinan Cirebon. Berdasarkan pertimbangan kemampuan dan

kapasitas yang mumpuni, maka pada tahun 1511, ditetapkan Pangeran Bratakelana

yang masih berusia 23 tahun. Dalam menetapkan penggantinya Sunan Gunung Jati

tidak berdasarkan asas senioritas ataupun yang diambil dari permaisuri.43

Namun,

setelah setahun dari pengangkatannya, dan sekembalinya dari Demak pasca

menikah dengan Nyi Mas Ratu Nyawa, Pangeran Bratakelana gugur dihadang dan

diserang oleh bajak laut di perairan Gebang pada tahun 1512. Sunan Gunung Jati

nampaknya lebih tertarik pada kegiatan penyebaran Islam daripada urusan

pemerintahan, sehingga mulai tahun 1528 pemerintahan diserahkan kepada

Pangeran Pasarean -puteranya dengan Nyai Tepasari dari Majapahitsetelah

gugurnya Pangeran Bratakelana.44

Pada masa pemerintahan Pangeran Pasarean, ia

mendapat pengawasan langsung dari Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1529,

Pangeran Pasarean melengkapi bangunan keraton seperti Bale Kambang Dalem

Arum Kedalem, Bangsal Agung, Bangunan Kaputren, Bangsal Pringadani, Jinem

Pangrawit, Taman Bunderan dan Dewandaru. Dapat dikatakan bahwa masa

Pangeran Pasarean memerintah cukup singkat yaitu sekitar 18 tahun.45

Sunan Gunung Jati akhirnya menikahkan Pangeran Pasarean dengan janda

kakaknya, yaitu Nyi Mas Ratu Nyawa. Sementara kakak Pangeran Pasarean yang

bernama Ratu Ayu dinikahkan dengan Fatahillah. Akan tetapi, Pangeran Pasarean

dibunuh oleh Arya Panangsang pada 1546, sehingga untuk mengisi kekosongan

tersebut, Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Sunan Cirebon dan Dipati Swarga.

Pada akhirnya Pangeran Swarga menikah dengan Putri Fatahillah yaitu Nyi Mas

Wanawati Raras yang dikemudian hari akan menurunkan Panembahan Cirebon.

Pada tahun 1552, Dipati Swarga menderita sakit sehingga tidak dapat menjalankan

42

Sunanto, “Syarif Hidayatullah Seorang…,” h. 73-75. 43

Pernikahan pertama Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas Babadan tidak dikarunai

keturunan dan di usia pernikahannya yang keempat tahun, Nyi Mas Babadan meninggal.

Begitu juga pernikahannya dengan Putri Ong Tin Nio dan Nyi Mas Pakungwati juga tidak

dikarunai keturunan. Sunan Gunung Jati baru dikaruniai keturunan ketika menikah dengan

Nyi Mas Kawunganten pada 1475, yakni Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingkin (Pangeran

Hasanudin). Kemudian, pernikahannya dengan Syarifah Baghdad pada 1485, Sunan Gunung

Jati dikarunai dua orang putra bernama Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana. 44

Hardjasaputra dan Haris, Cirebon dalam Lima…, h. 68. 45

U. Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon,

1479-1809, (Bandung: Tarsito, 1983), h. 67.

80

roda pemerintahan Kesultanan Cirebon, sehingga Fatahillah46

yang juga merupakan

mertuanya menggantikan posisinya dalam menjalankan kekuasaan.47

Pada tahun 1568, Kesultanan Cirebon berduka karena Sunan Gunung Jati yang

merupakan salah satu raja dan Wali Songo meninggal dunia. Ia dimakamkan di

Astana Gunung Sembung atau lebih dikenal dengan nama Astana Gunung Jati. Hal

ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Purwaka Caruban Nagari bahwa Sunan

Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M dan meninggal pada tahun 1568 M dengan

usia 120 tahun. Sepeninggal wafat Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon

kehilangan salah satu sosok raja yang bijaksana sekaligus juga tokoh penyebar

agama Islam.48

Pasca kepemimpinan Sunan Gunung Jati, tidak ada keturunan

langsung yang dapat menggantikannya sebagai raja Cirebon. Karena ketiga anak

Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana, dan Pangeran

Bratakelana telah terlebih dahulu meninggal. Putra yang masih hidup adalah

Pangeran Sebakinkin (Pangeran Hasanudin), namun ia sudah menjadi salah satu

penguasa Banten. Maka, berdasarkan kesepakatan sesepuh Cirebon, ditunjuklah

Fatahillah untuk memimpin Kesultanan Cirebon, tetapi masa kepemimpinannya

terbilang cukup singkat, yakni sekitar tahun 1568 M-1570 M.49

Berdasarkan

penelusuran penulis, sedikit informasi yang menyebutkan sepak terjang dan

kepemimpinan Fatahillah saat memimpin Kesultanan Cirebon.

Pasca Fatahillah wafat, tambuk kepemimpinan diserahkan kepada Pangeran

Emas yaitu putra tertua Pangeran Dipati Carbon. Ia mendapatkan gelar sebagai

Panembahan Ratu atau Panembahan Ratu I. Pada awal pemerintahannya, Cirebon

sudah mencapai kemajuan yang signifikan dan berkembang pesat, hal itu dapat

dilihat dengan ramainya pelabuhan Cirebon karena terbukanya aktivitas

perdagangan, dan struktur pemerintahan ketika itu sudah tersusun rapih karena

kepala-kepala wilayah atau yang bergelar Ki Gedeng sudah banyak dan tunduk

kepada Raja Cirebon. Di samping itu, perekonomian daerah ini juga sudah semakin

maju dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Ketersediaan tranportasi sungai

yang menghubungkan antara sungai-sungai kecil dengan pelabuhan Cirebon,

sampai ke daerah pedalaman turut mempercepat perkembangan ekonomi di daerah

setempat. Produksi di sekitar pelabuhan seperti ikan asin, garam dan terasi sangat

diminati oleh masyarakat pedalaman, dan masyarakat pedalaman menyiapkan

ketersediaan beras, hasil bumi dan kayu-kayuan yang cukup melimpah. Sehingga

46

Fatahillah ditunjuk sebagai salah satu pemegang tertinggi kekuasaan di Kesultanan

Cirebon. Ia merupakan salah satu panglima perang Cirebon, tangan kanan serta penasehat

terpercaya Sunan Gung Jati. Selain itu, sebelum menjadi menantu, Fatahillah telah ikut

berjasa dalam mengalahkan aramada Portugis dan berhasil merebut Sunda Kelapa menjadi

wilayah kekuasaan Islam. 47

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 68-69.; Atja, Carita Purwaka Caruban…,

h.41. 48

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 68. 49

Dapat terlihat dari pengangkatan Fatahillah sebagai salah satu pemimpin Cirebon,

walaupun berstatus sebagai menantu, Sunan Gunung Jati melihat calon pemimpin

berdasarkan kapasitas dan cakapnya memimpin. Lihat Z. Masduqi, Cirebon dari Kota

Tradisional Ke Kota Kolonial, (Cirebon: Nurjati Press, 2011), h. 45.

81

dengan dibangunnya sarana dan prasana itu membuat perekonomian mengalami

peningkatan yang cukup signifikan.50

Selain yang disebutkan di atas, pembangunan di wilayah keraton juga

diperbanyak oleh Panembahan Ratu I. Pada tahun 1596, Panembahan Ratu I

membangun pagar tembok yang mengelilingi kota dengan tinggi dua meter dan

mempunyai beberapa pintu gerbang. Pagar tembok ini merupakan salah satu

persembahan Panembahan Senopati dari Mataram kepada Panembahan Ratu I yang

sudah dianggap sebagai gurunya. Pembangunan tembok tersebut bertujuan untuk

memperkuat pertahahan Cirebon, mengingat daerah ini merupakan basis pertahanan

Mataram di bagian Barat. Selain itu, fungsi pembangunan tembok merupakan taktik

Mataram untuk menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Cirebon, hal ini dikarenakan

penguasa Banten ingin menguasai Cirebon.51

Panembahan Ratu lebih memfokuskan perhatiannya pada penguatan kehidupan

keagamaan seperti yang dijalankan oleh Syarif Hidayatullah. Ia lebih banyak

memerankan diri sebagai seorang ulama dari pada seorang umaro. Kedudukannya

sebagai seorang ulama membuatnya lebih banyak perhatian kepada masalah

keagamaan daripada masalah politik dan ekonomi dalam menjalankan

pemerintahannya. Kedudukannya ini pula yang menyebabkan Sultan Mataram

segan memasukkan Cirebon sebagai daerah bawahannya. Dalam rangka

mempererat hubungan dengan Mataram akhirnya dilakukan perkawinan politis

antara Panembahan Ratu dan Nyai Mas Ratu Lampok Angrorosputeri Sultan

Pajang pada tahun 1571 M. Perkawinan politis juga dilakukan oleh cucu kedua

belah pihak, yaitu Panembahan Girilaya dengan puteri Sunan Amangkurat 1.52

Pada tahun 1649, Panembahan Ratu I meninggal dunia. Kursi kepemimpinan

selanjutnya dipercayakan kepada cucunya yakni Pangeran Girilaya (Pangeran

Karim/Pangeran Rasmi). Pangeran Girilaya kemudian mendapatkan gelar sebagai

Panembahan Ratu II. Pada masa pemerintahannya, Cirebon mendapatkan tekanan

dari Mataram di bawah kepemimpinan Sunan Amangkurat I. Hal ini disebabkan

karena Panembahan Ratu II merupakan menantu dari Sunan Amangkurat I

Mataram, sehingga ketika ia dilantik membuat Amangkurat I berambisi untuk

menguasai Cirebon.53

Ketika Panembahan Girilaya yang tidak lain adalah merupakan menantu Sultan

Amangkurat I dari Kerajaan Mataram menjadi penguasa Cirebon, keadaan

mengalami perubahan. Cirebon menjadi rebutan pengaruh dua kekuatan politik

Islam yaitu Mataram dan Banten. Karena Cirebon merupakan pelabuhan penting,

maka Cirebon dijadikan buffer power-nya Mataram. Sebagai pelabuhan penting,

Cirebon dianggap memiliki kemampuan untuk mengembangkan perdagangan baik

lokal maupun internasional. Secara ekonomi, Cirebon memiliki kemandirian karena

tidak hanya menggantungkan ekonominya pada produk-produk agraris tetapi juga

50

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 120. 51

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 70. 52

Yani, A. “Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton

Cirebon. Holistik, vol. 12, no. 1, 2011, h. 181-196. 53

H. Erwantoro, “Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon”. Patanjala, vol. 4, no. 1, 2012, h.

166-179.

82

pada perdagangan yang bersumber dari eksternal.54

Kekuatan Cirebon tersebutlah

yang menurut penulis digunakan Mataram untuk melihat Cirebon sebagai wilayah

strategis dalam kerangka operasi militer Mataram ke Batavia yang sudah sejak awal

abad ke-17 dikuasai VOC.

Masa pemerintahan Panembahan Ratu II merupakan masa yang yang cukup

berat dan sulit bagi Cirebon, sebab Sunan Amangkurat I menganggap bahwa

kedaulatan, kewibawaan dan kemerdekaan Cirebon sebagai sebuah Kerajaan Islam

sudah berakhir, bahkan Sunan Amangkurat I berhasil mengambil Ciamis sebagai

wilayahnya, sehingga wilayah Cirebon tinggal meliputi Cirebon, Majalengka,

Indramayu dan Kuningan. Campur tangan Mataram didasari dengan keinginan

menjadi negara super power di Nusantara serta dapat mengusir VOC dari Pulau

Jawa. Salah satu starteginya adalah dengan menguasai Cirebon, karena Cirebon

memiliki pelabuhan yang strategis untuk jalur perdagangan internasional. Selain itu,

Cirebon dianggap bisa dijadikan benteng untuk menahan laju VOC yang berpusat di

Batavia, sehingga membuat Mataram bisa melakukan ekspansi ke daerah timur.55

Pada masa Amangkurat I, Mataram lebih mudah memasukan pengaruhnya bagi

Cirebon, karena Panembahan Ratu II adalah menantunya sendiri. Ia mengawasi

sendiri aktivitas pemerintahan Cirebon, sehingga satu waktu ia beranggapan bahwa

Cirebon sedang merintis kekuatan dengan Kesultanan Banten untuk melakukan

pemberontakan terhadap Mataram. Pada tahap ini Amangkurat I bersekutu dengan

VOC dan berambisi untuk menguasai Cirebon. Hal ini karena, ia mendapat

pengaruh dan bujukan dari VOC untuk menguasai Cirebon termasuk pelabuhan

Cirebon.56

Pada tahun 1650, Amangkurat I mengundang Panembahan Ratu II untuk

berkunjung ke Mataram dengan alasan untuk memberikan penghormatan sebagai

Raja Cirebon. Undangan tersebut diamini oleh Panembahan Ratu II dengan

berangkat ke Mataram bersama kedua anaknya yakni Pangeran Martawijaya dan

Pangeran Kartawijaya, namun sesampainya di Mataram, mereka dijadikan tahanan

oleh Amangkurat I, dan dilarang untuk kembali ke Cirebon. Hal ini merupakan

taktik Amangkurat I untuk melemahkan Kesultanan Cirebon. Masih dalam posisi

sebagai tahanan pada tahun 1662, Panembahan Ratu II meninggal di Mataram dan

dimakamkan di Imogiri Yogyakarta. Hal ini terjadi ketika ia menjadi tahanan rumah

bersama kedua putranya. Pasca meninggalnya Panembahan Ratu II, Cirebon terjadi

kekosongan kepemimpinan, namun tidak membuat dan menyebabkan kelumpuhan

dan kehancuran.57

54

H. M. Ambary, “Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran

Islam”, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Kementerian

Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996), h. 47-48. 55

F. T. Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan

Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”. Tamaddun, vol. 4, no. 1,

2016, h. 123-146.; H. Djajadiningrat, Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon

pada Abad-abad Pertama Berdirinya, (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 69-71.; Hardjasaputra,

Cirebon dalam Lima…, h. 87-88. 56

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 140. 57

Lasmiyati, “Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya)”.

Patanjala, vol. 5, no. 1, 2013, h. 131-146.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 73.; H. R.

83

Pada saat terjadi kekosongan kepemimpinnan, Kesultanan Banten mulai

melakukan campur tangan. Hal ini dilakukan ketika Panembahan Ratu II dan kedua

anaknya menjadi tahanan oleh Mataram. Dengan wafatnya Panembahan Ratu II,

melalui perdebatan yang sengit dan mendalam, para pejabat Cirebon akhirnya

meminta bantuan dan perlindungan dari Kesultanan Banten. Permintaan itu

direspon positif oleh Sultan Ageng Tirtayasa selaku penguasa Banten, dan

diputuskan bahwa pengganti Kesultanan Cirebon adalah Pangeran Wangsakerta,

yang tidak lain adalah merupakan putra Panembahan Ratu II dari selir sebagai Raja

Cirebon. Pengangkatan Pangeran Wangsakerta sebagai Raja Cirebon terjadi karena

dengan pertimbangan bahwa kedua anak Panembahan Ratu II yakni Pangeran

Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya masih menjadi tahanan Mataram. Dengan

ditetapkannya Pangeran Wangsakerta sebagai penguasa Cirebon menandakan

bahwa Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai kekuatan besar untuk melindungi

Cirebon dari kendali politik Mataram yang dimainkan Amangkurat I.58

Pasca meninggalnya Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya), pada tahun

1677 terjadi perpecahan di dalam Kesultanan Cirebon. Pecahnya Kesultanan

Cirebon tidak terlepas dari campur tangan dan pengaruh Kesultanan Banten dan

Kesultanan Mataram. Kedua kekuatan tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni

sama-sama ingin menguasai Cirebon. Setelah dua putera Panembahan Ratu II, yaitu

Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya berhasil dibebaskan oleh

Trunojoyo dari cengkeraman kakeknya (Sunan Amangkurat I), keduanya kemudian

dibawa ke Kediri untuk selanjutnya dibawa ke Sultan Ageng Tirtayasa di Banten.

Keduanya disambut dengan upacara penghormatan, dan yang hadir pada saat itu

adalah adiknya yakni Pangeran Wangsakertayang mengambil alih kepemimpinan

selama kedua kakaknya menjadi tawanan Mataram. Pada saat itu, Sultan Ageng

Tirtayasa membagi tiga kekuasaan atas Kesultanan Cirebon. Ketiga Pangeran

Cirebon mendapat gelar sultan dari Sultan Banten dan dilantik menjadi penguasa

Cirebon. Gelar Sultan Muhammad Syamsuddin diberikan kepada Pangeran

Martawijaya sekaligus menjadi Sultan Kasepuhan, gelar Sultan Muhammad

Badrudin diberikan kepada Pangeran Kartawijaya sekaligus menjadi Sultan

Kanoman, dan Pangeran Wangsakerta dilantik menjadi Panembahan Cirebon,59

namun ia tidak membangun kesultanan seperti kedua saudaranya. Dengan pecahnya

menjadi dua kasultanan, ini kemudian menimbulkan sebuah masalah baru dan titik

balik dalam hal campur tangan dari pihak lain seperti VOC. Dalam tahap ini,

membuat eksistensi Cirebon semakin menurun.60

Keterlibatan VOC dalam pemerintahan Kesultanan Cirebon terjadi ketika

Sultan Sepuh I meminta bantuan VOC untuk membereskan perpecahan yang terjadi

dalam kekuasaan Cirebon. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, perpecahan itu

justru dimanfaatkan oleh VOC untuk merebut dan menjadikan Cirebon sebagai

B. Irianto dan K. T. Sutarahardja, Sejarah Cirebon: Naskah Keraton Kacirebonan,

(Yogyakarta: Deepublish, 2013), h. 92-93. 58

Erwantoro, “Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon”, h. 170-183. 59

Hardjasaputra dan Haris, Cirebon dalam Lima…, h. 99.; Atja , Purwaka Caruban

Nagari…, h. 73-74. 60

Atja, Purwaka Caruban Nagari…, h. 46.

84

negara bawahan (vassal state). Konflik yang berkepanjangan membuat VOC mudah

untuk melakukan adu domba masing-masing sultan. Pada tahun 1681, VOC

mengadakan perjanjian persahabatan di antara para sultan untuk mengatasi konflik,

dan VOC bertindak sebagai penegahnya. Perjanjian itu berlangsung di Keraton

kasepuhan pada tanggal 7 Januari 1681, dan yang melakukan perjaanjian adalah

Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, Panembahan Cirebon, Raksanegara, Anggaderaksa,

Purbanegara, Anggadeprana, Anggaraksa, Nayapati, Jacob van Dyck dan Jochem

Michielse.61

Ada beberapa hasil kesepakatan yang merugikan dalam perjanjian itu, yakni

Cirebon diperintah oleh Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Panembahan Cirebon.

Akan tetapi, mengenai batas kekuasaan belum ditentukan. Secara politik ada

beberapa poin dalam perjanjian ini yaitu Cirebon merupakan salah satu daerah

protektorat VOC sehingga membuat sultan tidak lagi mendapat atau berhak penuh

untuk memimpin Cirebon, atau dengan kata lain, adanya pembatasan akan wewenag

sultan untuk memimpin Cirebon. Selain itu, antara kedua belah pihak yakni Cirebon

dan VOC harus selalu menjalin persahabatan dan saling percaya dan Sultan Cirebon

tidak boleh membuat basis pertahanan di daerah perbatasan dan wilayah panjang

tanpa ada izin dari VOC. Kemudian, VOC boleh membangun benteng di Cirebon.62

Padahal, pertahanan dari kesultanan yang kuat diperlukan untuk mempertahankan

wilayah kekuasaannya.

Kehadiran VOC di Cirebon terutama setelah adanya perjanjian pada 7 Januari

1681 telah membawa perubahan pada segala sendi kehidupan masyarakat Cirebon,

ditambah lagi bahwa VOC berusaha mengambil peran, dan melakukan intervensi

pada politik Kesultanan Cirebon. Keterlibatan VOC dalam urusan pemerintahan

telah mengakibatkan terjadinya pergeseran peran seorang sultan. Sultan tidak lagi

punya otoritas kekuasaan politik karena peran itu sudah diambil alih oleh VOC. Hal

itu juga dapat dilihat ketika VOC mengeluarkan peraturan pergantian sultan pada

tahun 1752. Sultan hanya mengurusi urusan keagamaan dan kebudayaan. Eksistensi

sultan menjadi lemah dan tidak lagi memiliki kekuatan karena otoritas politik

berada ditangan VOC.63

Perjanjian 18 Januari 1752 sebagaimana yang disebutkan di atas, VOC

mengeluarkan peraturan mengenai pergantian sultan dan sultan-sultan Cirebon

kehilangan kekuasaan politiknya. Ada dua garis besar dalam peraturan tersebut

yaitu pergantian tahta harus didasarkan pada warisan ayah kepada anak, dan jika

sultan meninggal dan tidak mempunyai keturunan langsung maka kekayaan beserta

peranan dalam sebuah pemerintahan harus dibagikan kepada para sultan yang lain.

Contohnya, ketika Panembahan Cirebon meninggal dunia, ia tidak meninggalkan

keturunan maka kekayaan dan daerah kekuasaanya oleh VOC dibagikan kepada

61

Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial

Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”, h. 123-146. 62

Masduqi, Cirebon dari Kota…, h. 70. 63

Tendi, “Surat Perjanjian 7 Januari 1681: Edisi Diplomatik Naskah.”. Jurnal

Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 8, no. 1, 2020, h. 39-58.; Deviani,

“Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di

Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”, h. 123-146.

85

Kasepuhan dan Kanoman. Di samping itu, VOC mengatur tentang gelar sultan,

dimana gelar sultan ini hanya diberikan kepada dua penguasa saja, dan pemimpin

kesultanan selanjutnya hanya boleh bergelar pangeran. Setiap terjadi pergantian

kepemimpinan di kasultanan, VOC mempunyai peran yang besar, seperti ketika

Sultan Anom IV wafat yang seharusnya menjadi penggantinya adalah puteranya

yaitu Pangeran Surianegara, namun VOC mengangkat adik seayahnya yaitu

Pangeran Surantaka. Dengan begitu kuatnya peran VOC, sampai bisa mengusir

beberapa pangeran yaitu Pangeran Surianegara, Pangeran Lautan untuk keluar dari

keraton.64

Pengaruh VOC di Cirebon semakin berkuasa setelah membangun loji atau

benteng di kawasan Pelabuhan Cirebon. VOC mempunyai hak untuk membangun

benteng pertahanan di Cirebon, namun sebaliknya, pihak kesultanan tidak diizinkan

membentuk sebuah pertahanan di sekitar keraton. Pembangunan benteng pertama

dilakukan setelah penghancuran tembok keliling Cirebon, yang juga merupakan

persembahan dari Pangeran Senopati. Dari material inilah benteng pertama di

Cirebon dibangun di sekitar Pelabuhan Cirebon. Benteng tersebut diberi nama De

Fortrese de Bescherming (Benteng Perlindungan). Lokasi benteng di sekitar

pelabuhan menandakan bahwa VOC ingin menguasai dan mengontrol aktivitas

perdagangan Cirebon karena pelabuhan ini merupakan salah satu pusat

perekonomian internasional.65

Dengan pengaruh kuatnya sebagaimana penulis sebutkan di awal, VOC

merampas kekuasaan politik sultan. Semua keputusan sultan yang ditandatangani

harus atas perintah dan persetujuan VOC. Sultan dalam kondisi ini kehilangan

kekuasaan politiknya. Karir dan gelarnya hanya sebatas simbol, karena sebenarnya

yang menjalankan pemerintahan adalah VOC. Contohnya dalam perjanjian 8

September 1688 pasal 22 yang menyatakan bahwa gelar sultan dan panembahan

hanya digunakan dalam surat dan naskah dari kompeni, sedangkan di luar itu

disebut dengan raja atau bahkan Pangeran Cirebon dan nama asli seperti

Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta.66

Dalam penelusuran penulis, setidaknya ada beberapa perjanjian yang dilakukan

untuk menengahi konflik antar Sultan yaitu perjanjian persahabatan antara sultan

dengan dimediasi VOC, pada tanggal 7 Januari 1681, dilanjutkan perjanjian pada 4

Desember 1685, perjanjian 5 Desember 1688, Perjanjian 4 Agustus 1699, perjanjian

17 Januari 1708, dan perjanjian 18 Januari 1752. Semua perjanjian yang digelar

pada sebenarnya tidak menguntungkan Cirebon, malah membuatnya rugi, akan

tetapi para sultan tidak mengajukan keberatan atau gugatan terhadap hasil-hasil

perjanjian karena mereka sudah terikat dengan kontrak perjanjian.67

64

M. S. Bochari & Wiwi Kuswiyah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, (Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h. 45. 65

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 68. 66

Tim Peneliti, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Pemda TK. I, 1991),

h. 252. 67

Perjanjian 7 Janauri 1681 berdampak besar bagi Kesultanan Cirebon, terutama di

sosial, ekonomi dan politik. Implikasinya adalah dengan melemahnya kekuasaan politik di

Kesultanan Cirebon dengan banyaknya campur tangan VOC dalam pemerintahan kesultanan

86

Isi perjanjian tanggal 7 Januari 1681 antara Cirebon dan VOC sangat

memengaruhi perjalanan Cirebon sebagai kota dagang. VOC mendapatkan hak

monopoli impor dan ekspor dengan bebas bea impor yang sebelumnya pernah

dikenakan keraton sebesar dua persen dari nilai barang. Perjanjian itu juga

merugikan penduduk lokal yang harus mendapat lisensi dari VOC yang ingin

melakukan pelayaran. Kapal-kapal tidak boleh sembarangan masuk pelabuhan

kecuali atas ijin VOC. Tanaman lada yang ditanam di Cirebon diatur oleh VOC dan

VOC pula yang menentukan harganya.68

Dengan perjanjian tersebut, secara politis

Cirebon berada di bawah kendali langsung VOC.

Dalam rangka menyebarkan paham adu domba, VOC mengutus Francois Tack

untuk melakukan pendekatan dengan para sultan, hal ini bertujuan supaya para

sultan berselisih paham. Hubungan yang dekat antara Francois Tack dan Sultan

Anom I, membuat Sultan Sepuh I dan Panembahan Cirebon iri dan merasa curiga,

ditambah lagi batas-batas kekuasaan Cirebon belum ditentukan, bahkan dengan

semakin intensnya kedua orang itu mengakibatkan konflik dan membuat sebuah

perjanjian. Dalam perjanjian yang digelar pada 8 September 1688, terdapat 26 pasal

dan naskah perjanjian ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pihak Cirebon

diwakili oleh Sultan Sepuh I beserta putra pertamanya Sultan Dipati Anom, Sultan

Anom I beserta putra tertuanya Pangeran Ratu, dan Panembahan Cirebon beserta 12

orang mantri, sedangkan pihak VOC dipimpin oleh Johanes de Hartog.69

Setelah VOC bubar pada 1799, kekuasaan politik Cirebon diambil alih oleh

Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Cirebon

masuk dalam wilayah keresidenan sekaligus sebagai ibu kota distrik dengan

Gubernur Jenderalnya H. W. Daendels. Status sultan diberhentikan dan dijadikan

sebagai bupati yang diberi gaji, sehingga sultan mendapat pensiunan.70

Gubernur

Jenderal Daendels kemudian menerapkan sistem pemerintahan sentralistik yakni

memerintah rakyat secara langsung tanpa adanya perantara sultan atau bupati. Ia

menurunkan kedudukan sultan dan bupati, dan menjadikan mereka sebagai pegawai

tinggi pemerintah kolonial serta mendapatkan gaji. Oleh karena itu Daendels,

membuat kedudukan seorang sultan dan bupati tidak berlaku lagi termasuk di

Cirebon. Pada tanggal 2 Februari 1809, Daendels mengeluarkan peraturan

Reglement op het Beheer van Cheribonsche Landen71

(Peraturan tentang

dengan cara mempersempit kekuasaan sultan. Lihat “Naskah Perjanjian 7 Janauri 1681”,

dengan Sumber Arsip Cirebon No. 38.3 Arsip Nasional Republik Indonesia. Lihat juga

Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik

Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”, h. 123-146. 68

S. T. Sulistiyono, Dari Lemah Wungkuk Hingga Cheribon: Pasang Surut

Perkembangan Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1997), h. 85. 69

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 112. 70

Lisa Susanti, “Pengaruh Kolonial Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon

Tahun 1752-1830”. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, vol. 3, no. 3, 2018, h. 274-288.; Sulistiyono,

Dari Lemah Wungkuk…, h. 87. 71

Peraturan sebagaimana di atas terdiri atas: Ketentuan Umum (6 pasal); Bagian

Pertama, tentang Prefek (32 pasal); Bagian Kedua, Para Sultan, Bupati, dan Pemerintahan

Daerah Lebih Lanjut (31 pasal); Bagian Ketiga, soal Pajak, Kerja Pengabdian dan

87

Penguasaan atau Pemerintah Daerah Cirebon) yang menyatakan bahwa

pemerintahan Cirebon ditetapkan sebagai prefecture atau identik dengan sistem

karesidenan. Dengan adanya keputusan tersebut, membuat para sultan menjadi

pegawai pemerintahan kolonial Belanda serta kepala pemerintahan diganti oleh

seorang bupati yang diangkat langsung oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda.

Merujuk pada catatan John Crawfurd, Boulger mengatakan bahwa hingga masa

jabatan Daendels dan Janssens, penduduk Cirebon dikenakan delapan jenis

pungutan.72

Pertama, kontingen, sebesar lima belas persen dari total padi hasil

panen, tetapi pada kenyataannya diterapkan secara seenaknya. Kedua, pajak per

kepala (poll-tax) atau pajak atas keluarga, sebagian dipungut atas nama pemerintah,

sebagian lagi atas nama kepala setempat. Ketiga, pajak pasar atau tol. Pajak ini

dipungut untuk setiap barang atau komoditas yang dihasilkan dari pertanian,

manufaktur, dan hasil kerajinan tangan. Keempat, pajak pemotongan sapi. Pajak ini

berdampak pada harga makanan dan pembatasan terhadap upaya pembiakan hewan

serbaguna sebagaimana dimaksud. Kelima, pajak penginapan dan makanan bagi

pengembara, pengangkutan, bagasi, dan penyimpanan semua barang. Keenam,

kewajiban untuk membangun dan memperbaiki jembatan, jalan, dan bangunan

publik di sepanjang negeri (Cirebon). Ketujuh, kewajiban untuk menanam dan

menyetor dalam jumlah yang memadaiberbagai produk demi kepentingan ekspor,

terutama kopi. Kedelapan, pajak persepuluhan. Pada sebenarnya 1/20 dari total padi

hasil panen, dialokasikan untuk tujuan keagamaan dan pembayaran opsional, tetapi

jarang sekali ditangguhkan.

B. Perkembangan Daerah dan Masyarakat Cirebon

1. Daerah Cirebon

Wilayah Cirebon adalah wilayah pesisir utara paling timur di provinsi Jawa

Barat. Perbatasan timur dan tenggara adalah provinsi Jawa Tengah, perbatasan

selatan adalah Kabupaten Ciamis, perbatasan barat adalah Kabupaten Sumedang

dan Subang, sedangkan perbatasan utara adalah laut Jawa. Secara administrasi,

wilayah ini terdiri dari empat kabupaten (Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan

Majalengka), dan wilayah Cirebon dikategorikan sebagai wilayah padat penduduk

di Indonesia. Menurut Abdurrahman yang dinamakan daerah Cirebon dewasa ini

adalah wilayah bekas Keresidenan Cirebon, yang terdiri dari Kabupaten Cirebon,

Kuningan, Majalengka, Indramayu dan Kotamadya Cirebon. Sementara yang

dikenal sebagai Cirebon dalam sejarah kuno ialah daerah yang terletak di sebelah

utara ujung paling timur Pulau Jawa bagian barat.73

Kewajiban-kewajiban Lain Penduduk Pribumi (16 pasal); Bagian Keempat, terkait

Pengadilan Negeri (11 pasal); Bagian Kelima, Perihal Polisi, Pembuatan Jalan, dan Layanan

Pos (31 pasal). Lihat J. A. van der Chijs, Nederlansch-Indisch Plakaatboek 1602-1811.

Vijftiende Deel (1808-1809). (Batavia/'s Hage: Landsdrukkerij/M. Nijhoff, 1896), h. 474-

513. 72

Demetrius C. Boulger, The Life of Sir Stamford Raffles, (London: Horace Marshal &

Son, 1897), h. 115. 73

Abdurrahman, Cerbon, h. 11.

88

Cirebon daerahnya seluas 6790 km2, dan pada akhir tahun 1905 berpenduduk

1.700.000 jiwa. Daerah ini dihuni oleh orang kulit putih, berjumlah 1.200 orang,

Tionghoa 23.000 orang dan Arab 2.900 orang, serta orang-orang asing timur

lainnya. Di bagian selatan berbahasa sunda, di bagian utara campuran bahasa Jawa

dengan tiga macam logat, antara lain di daerah Indramayu, di bagian utara Cirebon

dengan logat Cirebon, sedangkan di ujung timur distrik Losari dengan logat Tegal.

Tentang asal mula penduduk Cirebon oleh Kern dikatakan berasal dari Jawa, sebab

Cirebon merupakan tempat pemberhentian pedagang-pedagang Jawa di daerah

Sunda.74

Menurut data BPS Kabupaten Cirebon jumlah penduduk Cirebon tahun

2019 berjumlah 322.322 jiwa.

Sebenarnya, Cirebon sudah dikenal sejak awal abad ke-15. Merujuk Purwaka

Tjaruban Nagari,75

nama Cirebon dahulunya adalah Tegal Alang-Alang yang

kemudian disebut Lemah Wungkuk. Pada masa Raden Walangsungsang berubah

lagi namanya menjadi Caruban. Purwaka Tjaruban Nagari juga menjelaskan bahwa

Cirebon berasal dari kata “Caruban”“Carbon” “Cerbon”“Cirebon”, berarti

campuran. Pada saat itu, Cirebon sudah didiami oleh penduduk dari berbagai

bangsa dan juga agama yang majemuk. Pekerjaan penduduknya juga bervariatif.

Sementara dalam definisi lain, Cirebon secara etimologis berasal dari dua kata

bahasa Sunda”Ci” yang berarti air, dan “Rebon” adalah sejenis udang kecil-kecil

yang merupakan bahan baku untuk membuat terasi.76

Terdapat banyak pelafalan dan cara penulisan kata Cirebon. Pires misalnya,

menyebut Cirebon dengan kata “Choroban”.77

Berbeda dengan Pires, orang-orang

Belanda78

pada masa awal kehadirannya di Nusantara menyebut Cirebon dengan

kata “Charaboan”, yang selanjutnya pada masa akhir menjadi “Tjerbon dan

Cheribon”. Masyarakat setempat menyebutnya “Nageri Gede” (Negara

Agung/Besar). Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan

berubah lagi menjadi “Grage”. Grage berasal dari kata “glagi” yang berarti udang

kecil yang telah kering. Negeri Cirebon juga sering disebut sebagai “puser bumi”

atau “puser jagad” oleh para Wali Sango karena letaknya yang berada di tengah

Pulau Jawamenjadi pusat penyiaran Islam untuk wilayah tanah Sunda.79

Wilayah yang sekarang dikenal Cirebon sebenarnya berasal dari wilayah kecil

di pesisir pantai utara pulau Jawa, yang bernama Tegal Alang-Alang atau Lemah

Wungkuk. Orang yang membangun wilayah ini adalah Pangeran Cakrabuana alias

Ki Somadullah. Namun demikian, ia bukan orang pertama yang berada di wilayah

74

R. A. Kern & H. Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara,

1974), h. 9. 75

Naskah ini ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 M. 76

Atja, Purwaka Caruban Nagari…, h. 28. 77

A. Cortesao, The Summa Oriental of Tome Pires, (London: Hakluyt Society 1994),

h. 67. 78

Dalam tulisan-tulisan Belanda, misalnya, Dagh Register, mencatat nama “Cirebon”

sekurang-kurangnya ditulis dan dieja dalam 25 cara. Kemudian dari cara penulisan yang

banyak itu, pada abad ke-18 terwujud cara penulisan “Cheribon”. Lihat Kern &

Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan..., h. 13. 79

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 28-29.

89

ini karena sebelumnya sudah ada Ki Danusela yang bergelar Ki Gedheng Alang-

Alang yang kelak menjadi Kuwu pertama dan menjadi mertuanya. Usaha Ki

Somadullah ini tidak terlepas dari perintah gurunya Syekh Nurjati, seorang muballig

Islam yang pernah singgah di Pelabuhan Muara Jati.80

Menurut sumber tradisional, semula di daerah pesisir Cirebon terdapat tiga

pelabuhan yaitu Muara Jati, Japura dan Singapura. Pada awalnya, ketiga pelabuhan

tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Wilayah Amparan Jati dengan

Muara Jatinya merupakan pelabuhan internasaional pada saat itu. Dalam

perkembangannya, wilayah Amparan Jati merupakan bagian dari Lemah Wungkuk.

Selanjutnya pelabuhan internasional juga berpindak ke Lemah Wungkuk. Wilayah

Lemah Wungkuk semakin lama semakin luas dan akhirnya berubah nama menjadi

Caruban atau Cerbon atau Cirebon pada masa Ki Somadullah alias Pangeran

Cakrabuana. Setelah Cirebon berkembang, pelabuhannya menjadi ramai dengan

kegiatan perdagangan, dan termasuk menjadi salah satu pusat pelabuhan di pantai

utara Jawa. Ada empat faktor yang memengaruhi perkembangan Cirebon sebagai

pelabuhan penting. Pertama, letak geografisnya yang strategis, pelabuhan Cirebon

berada pada lokasi berbentuk teluk, sehingga kondisi pelabuhan terlindungi dari

gelombang air pasang laut. Kedua, pelabuhan Cirebon terletak di bagian tengah

pesisir utara Pulau Jawa, dan cukup jauh dari pelabuhan lain seperti Jepara, Tuban,

Surabaya yang berada di sebelah timur Pulau Jawa dan Sunda Kelapa serta Banten

di sebelah barat Pulau Jawa. Ketiga, pantai Cirebon mudah didatangi oleh perahu,

bahkan dapat dimasuki oleh kapal berukuran besar. Keempat, hubungan antara

pelabuhan dengan daerah pedalaman berlangsung lancar, baik melalui sungai

maupun darat. Sungai-sungai itu di antaranya Sungai Krian, Sungai Cimanuk, dan

Sungai Cilosari.81

Secara historis, status Cirebon yang dikenal sekarang sebelum dipimpin oleh

Pangeran Cakrabuana, sekitar abad ke 14 dan awal abad ke 15 adalah wilayah yang

terpecah-pecah dan terbagi ke dalam beberapa nagari. Nagari-nagari tersebut

meliputi Surantaka,82

Singapura,83

Japura, Wanagiri Rajagaluh, dan Talaga. Secara

politik, nagari-nagari tersebut dipimpin atau dikuasai oleh penguasa yang dikenal

dengan sebutan Ki Gedeng. Misalnya, Wanagiri yang nantinya menjadi Ibu kota

Cirebon Girang di pegang oleh Ki Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sedhnag Kasih

memegang Surantaka dan Amparan Jati, Ki Gedeng Surawijaya Sakti memegang

Singapura yang dikemudian hari diserahkan kepada Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki

80

Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 21; Rosyidin, dan A. Syafaah, A.

Keragaman Budaya Cirebon…, h. 25. 81

Rosyidin, dan A. Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon…, h. 25-26. 82

Wilayah ini letaknya berada di sebelah utara 4 Km dari Amparan Jati (Makam Sunan

gunung Jati) 83

Singapura berada kurang lebih 4 km. dari sebelah utara Giri Aparan Jati, sebalah

utara berbatasan dengan Nagari Surantaka, sebelah barat berbatasan dengan Nagari

Wanagiri, sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Japura, dan sebalah timur berbatasan

dengan laut Jawa (teluk Cirebon). Pusat pemerintahanya terletak di Desa Sirnabaya

sekarang. Lihat Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, 1998), h. 48.

90

Gedeng Tapa. Meski secara sekilas wilayah-wilayah ini terpisah namun nagari

tersebut pada dasarnya tunduk dan patuh pada Kerajaan Sunda/Galuh, sebab semua

Ki Gedeng secara genealogis memliki ikatan darah dan kekerabatan.84

Sungai-sungai di Cirebon ketika itu digunakan sebagai sarana lalu lintas untuk

perahu dan kapal yang cukup besar. Hal ini seperti disaksikan oleh Tome Pires pada

tahun 1513. Dalam catatan perjalannya, ia menyebutkan bahwa Cirebon adalah kota

pelabuhan yang ramai oleh kegiatan perdagangan. Pelabuhan Cirebon merupakan

salah satu pelabuhan ramai di Pulau Jawa yang sering didatangi oleh para pedagang

dari berbagai negara, seperti Arab, India dan Tiongkok. Dengan semakin ramainya

pelabuhan Cirebon, ada sejumlah pedagang pribumi dan asing yang tinggal di

sekitar pelabuhan, salah satunya adalah saudagar Asing Pate Quedir, yang semula

tinggal di Malaka. Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu tempat untuk mengeskpor

berbagai hasil komoditi hasil bumi seperti terasi, ikan, daging, padi, beras, sayur

dan buah-buahan, serta tarum dan kayu yang baik untuk pembauatan kapal.85

Cirebon adalah salah satu kota pantai yang terletak di ujung timur pantai utara

Tatar Sunda yang menjadi lalu lintas perdagangan internasional pada masanya. Pada

awalnya Cirebon ini merupakan sebuah pemukiman nelayan yang tidak berarti.

Kemudian berkembang menjadi pedukuhan atau desa yang bernama Dukuh Tegal

Alang-Alang berada kurang lebih 5 km di sebalah utara Kota Cirebon sekarang.

Berkembangnya Cirebon sebagai pelabuhan yang ramai didukung oleh beberapa

faktor kondusif yang dibutuhkan oleh pelabuhan-pelabuhan besar pada waktu itu.

Pertama, Cirebon dapat bertindak sebagai pangkalan tempat para pelaut membeli

bekalair tawar, beras dan sayur untuk persediaan dalam perjalanan. Kedua,

Cirebon menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar yang bertindak sebagai

pemilik modal, sedangkan bandar Cirebon dijadikan sebagai tempat penyimpanan

barang-barang perdagangan.86

Dengan demikian, harus diakui Cirebon merupakan

pangkalan penting, dan memiliki akses perdagangan dan pelayaran antarbangsa.

Lokasinya berada di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, turut menjadikannya

sebagai jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga terciptanya suatu

kebudayaan yang khas. Di samping itu, Cirebon menyimpan beberapa warisan

budayatradisi dan kesenian, serta warisan fisik sebagai hasil perpaduan antara

kebudayaan lokal dan asingArab, India, Tiongkok dan Eropa.

Dalam bidang pemerintahan Cirebon merupakan salah satu dari Kerajaan Islam

yang ada di Nusantara. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kesultanan Cirebon. Raja

pertama Kesultanan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Dalam pemerintahannya, ia

menerapkan sistem pemerintahan yang tertata rapih sehingga para penerusnya dapat

meneruskan dan menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Beberapa sultan

setelah Sunan Gunung Jati adalah, Pangeran Pasarean, Panembahan Ratu, Sultan

Sepuh dan Sultan Anom.

84

N. H. Lubis, A. Sulaeman, Y. Munaf, & M. R. Razman, “Islamization of the Sunda

Kingdom”. International Information Institute (Tokyo), Information, vol. 21, no. 4, 2018, h.

1349-1357.; Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 48. 85

Cortesao, The Summa Oriental…, h. 27. 86

Cortesao, The Summa Oriental…, h. 27.

91

Pada tahap selanjutnya, Cirebon mengalami beberapa perubahan dengan

terpecahnya menjadi empat kesultanan dengan masing-masing keraton, yaitu: 1)

Keraton Kasepuhan. 2) Keraton Kanoman. Keraton ini didirikan oleh Pangeran

Muhammad Badruddin/Pangeran Kertawijaya (Sultan Anom 1) sekitar tahun 1678.

3) Keraton Kacirebonan adalah pecahan dari Keraton Kanoman yang luasnya

sekitar 2.5 hektar, dan Sultan Carbon adalah sebagai Amirul Mukminin. 4) Keraton

Keprabonan, berdiri tahun 1696 dan dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati

Keprabon.87

Di abad ke-18, keadaan masyarakat Cirebon semakin memburuk ketika berada

di bawah pemerintahan kolonial. Masalah yang dihadapi cukup banyak, utamanya

dalam bidang sosial dan ekonomi. Penjualan diri untuk menjadi budak meningkat

tajam, wabah penyakit dan kelaparan menyerang masyarakat Cirebon pada tahun

1719, 1721, 1729, 1756, 1757, 1773, 1775, 1776, 1792 dan 1812. Tindakan

kompeni yang semena-mena terhadap rakyat dan kesengsaraan yang dialami

menyebabkan timbulnya pemberontakan, kekacauan terjadi di mana-mana selama

bertahun-tahun. Puncak amarah rakyat Cirebon terjadi pada tahun 1802 berupa

gerakan perlawanan rakyat menentang Belanda beserta kaki tangannya, yaitu etnis

Tionghoa. Akibat perlawanan rakyat Cirebon, banyak etnis Tionghoa yang terbunuh

dan diusir dari daerah Cirebon dan sekitarnya.88

Secara historis, sampai awal abad ke-20 pemerintah Belanda melakukan

eksploitasi dengan mengadakan pembukaan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik

gula di wilayah Karesidenan Cirebon. Hak kepemilikan tanah masyarakat tentunya

semakin terampas dan masyarakat berada dalam kemiskinan. Namun, pada

perjalanannya eksploitasi terhadap berbagai daerah di Nusantara berkurang seiring

dengan munculnya politik etis akibat desakan dan kritikan dari partai liberal

Belanda bersamaan dengan pernyataan keprihatinan dari pihak pemerintahan

Belanda terhadap kesejahteraan rakyat pribumi (Indonesia).89

Sejak Cirebon dijadikan Kota Praja (Gemeente) atau Ibu kota Karesidenan

Cirebon pada 1 April 1906. J. H. J. Sigal sebagai Asisten Residen di Cirebon

mengajak seluruh warga Kota Cirebon dan sekitarnya untuk sama-sama memajukan

pemerintahan kota, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi, meningkatkan bidang kesenian dan ilmu pengetahuan, dan menyediakan

fasilitas umum yang mudah dan cepat. Pemerintah Hindia Belanda memandang

Kota Cirebon sebagai daerah penting dan strategis untuk dijadikan sebagai pusat

pemerintahan dan daerah industri di Jawa Barat bagian timur. Sejalan dengan itu,

perkembangan perekonomian dan industri gula semakin berkembang. Pemerintah

Hindia Belanda meningkatkan status Kota Cirebon menjadi Stadgemeente yaitu

kota yang memiliki otonomi luas dalam pengembangan wilayahnya dan dalam

mengatur rumah tangganya sendiri. Sejak itu Cirebon mengalami proses

87

D. R. Indika, “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”, dalam Pembangunan dengan

Berbasiskan Budaya dan Kearifan (Pengembalian Citra Keraton sebagai Pusat

Kebudayaan dan Ekonomi Cirebon, ISEI Economic Review, vol II, no. 1, 2018, h. 1-7. 88

Susanti, “Pengaruh Kolonial…,” h. 274-288. 89

Imas Emalia, “Geliat Ekonomi Kelas Menengah Muslim di Cirebon: Dinamika

Industri Batik Trusmi 1900-1980”. Al-Turas, vol. XXIII, no. 2, 2017, h. 211-230.

92

modernisasi dan industrialisasi sebagai pusat pengembangan perekonomian

perkebunan, khususnya tebu. Dengan demikian, Cirebon banyak mengalami

perubahan, baik dari segi fisik perkotaan maupun pola perekonomian masyarakat.90

Perkembangan masyarakat Cirebon dari sisi sosial-ekonomi tidak dapat

dipisahkan dari sarana dan prasarana, termasuk transportasi. Keberadaan Cirebon

yang dilintasi sugai-sungai kecilmengalir ke laut mengakibatkan transportasi air

menjadi sangat dibutuhkan. Ada beberapa sungai yang saling terhubungsungai

Krian, sungai Cimanuk dan sungai Cilosarisemuanya dapat dilalui oleh perahu

dan kapal kecilmenjadi penghubung antara daerah pedalaman dan daerah pesisir,

baik yang berkaitan dengan aktivitas sosial maupun ekonomi. Pires dalam

catatannya menyebutkan bahwa beberapa sungai di Cirebon dapat dilalui oleh

perahu atau junk sejauh kira-kira 3 mil. dari pesisir ke arah hulu sungai.

Transportasi laut membantu para petani untuk mengangkut hasil pertanian dan hasil

hutan yang laku dijual di pasaran yang berada di pesisir. Dengan demikian, moda

transportasi laut ketika itu mendorong mobilitas sosial, baik di wilayah pusat

kerajaan maupun dari dan ke wilayah pedalaman.91

Meningkatnya pertanian, khususnya padi di daerah pedalaman menjadikan

Cirebon sejak abad ke-15 hingga abad ke-17 sebagai produsen utama beras di Pulau

Jawa, di samping Rembang, Mataram, dan Banten. Hasil tani masyarakat

pedalaman menjadi potensi ekonomi dalam menunjang kegiatan ekonomi di

Cirebon. Tidak heran, pedalaman Cirebon sebagai penghasil beras diakui oleh

pemerintah kolonial Belanda. Dalam sumber Belanda diberitakan bahwa awal abad

ke-1, Cirebon menghasilkan beras berkualitas baik, minyak kelapa, kacang-

kacangan, bawang putih, dan lain-lain. Bahkan, ketika penjajah Belanda di Batavia

kekurangan beras (Agustus 1617), para kompeni mendatangkan beras dari Cirebon.

Pada pertengahan tahun 1619 hampir tiap hari banyak kapal dari Cirebon datang ke

pelabuhan Sunda Kalapa dengan berbagai macam muatan.92

Hingga saat ini, Cirebon adalah sebuah kota yang memiliki daya tarik

tersendiri dibanding kota lainnya. Secara geografis Cirebon merupakan daerah

pesisir yang dijuluki sebagai kota warisan kesultanan dan warisan Wali Songo.

Banyak budaya yang hadir di tengah masyarakat Cirebon merupakan warisan

kesultanan dan warisan para wali. Pernyataan ini dipandang objektif berdasarkan

bukti-bukti dan data sejarah yang ada,93

yakni Cirebon memiliki wisata budaya

berupa keraton-keraton yang bersejarah, wisata ziarah, kesenian tari topeng, musik

tarling dan batik Trusmi. Keraton dan tinggalan budaya lainnya seyogyanya

menjadi landmark yang dapat menjadi ikon daerah yang jika dikembangkan

menjadi potensi ekonomi tidak hanya buat masyarakat sekitar tetapi juga

pemerintah daerah setempat. Tinggalan-tinggalan budaya tersebut perlu dikelola

90

Emalia, “Geliat Ekonomi Kelas…, h. 211-230. 91

S. Zuhdi, Hubungan Pelabuhan Cirebon dengan Daerah Pedalaman: Suatu Kajian

dalam Kerangka Perbandingan dengan Pelabuhan Cilacap 1880-1940, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 119. 92

Susanti, “Pengaruh Kolonial…,” h. 274-288. 93

Emalia, “Geliat Ekonomi Kelas…, h. 211-230.

93

dengan manajemen yang baik dan profesional sehingga menjadi wahana yang dapat

menjadi kebanggan baik dalam skala lokal, regional maupun internasional.

Perekonomian sebuah daerah akan dipengaruhi oleh letak geografis yang

strategis dan sumber daya alam yang dimilikinya. Perekonomian di Cirebon

didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, restoran,

sektor pengangkutan, komunikasi dan sektor jasa. Kota Cirebon termasuk kota yang

cepat bertransformasi dari tatanan ekonomi tradisional yang bertumpu pada sektor

yang mengandalkan sumber daya manusia seperti industri pengolahan, perdagangan

dan jasa. Sektor industri dan perdagangan sedang mengalami perkembangan yang

pesat dibanding sektor lainnya. Pertumbuhan jumlah perusahaan dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan, dan hal ini berimplikasi pada pertambahan lapangan kerja

bagi masyarakatnya.94

Namun, di tengah kemodernan dan arus globalisasi,

pembangunan Kota Cirebon dilakukan dengan tetap berbasiskan budaya dan

kearifan lokal “ingsun titip tajug lan fakir miskin” untuk dapat mengembalikan

Cirebon sebagai kota historis dan demi kemandirian kesultanan di masa yang akan

datang.95

2. Cirebon dalam Lintas Dagang

Cirebon sebagai bandar niaga berperan dalam perdagangan internasional,

kedatangan kapal-kapal asing di Cirebon memperjelas keterkaitan Cirebon dalam

jaringan internasional. Dalam beberapa catatan dari sumber Portugis, yakni Tome

Pires menyebutkan bahwa Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan selalu

ada empat sampai lima kapal yang berlabuh. Hasil bumi yang dihasilkan selain

beras adalah bahan makanan lainnya. Pires juga mencatat adanya kegiatan

perdagangan di wilayah Jawa Barat, sedangkan beberapa pelabuhan di antaranya

dikuasai oleh Kerajaan Sunda yakni Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Calap dan

Cimanuk. Selain itu, ia menyebutkan ada beberapa pelabuhan di wilayah Jawa

yaitu Cirebon, Japura, Tegal Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Giri dan

Surabaya. Dalam catatan Pires, mata uang yang digunakan dalam transaksi

perdagangan atau jual beli adalah mata uang Tiongkok. Bentuk mata uang tersebut

yakni berlubang di bagian tengah, dan di sampingnya terdapat jenis mata uang

lainnya.96

Setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang, pelabuhan Cirebon semkin

ramai dan baik untuk akses perhubungan laut antara Persia, Mesir, Arab, Tiongkok,

dan Campa serta menghubungkan dengan beberapa pelabuhan lain. Perkembangan

pelabuhan Cirebon juga didukung dengan ekspansi Kerajaan Islam Cirebon untuk

menguasai pelabuhan-pelabuhan di wilayah Pajajaran. Setelah Banten dikuasai

(tahun 1526) dan Sunda kelapa (1527), maka seluruh pesisir pantai utara Jawa Barat

dalam kekuasaan Kerajaan Islam. Akibat politik ini, jaringan perdagangan

94

Indika, “Ingsun Titip Tajug…, h. 1-7. 95

Indika, “Ingsun Titip Tajug…, h. 1-7. 96

Tome Pires, Summa Oriental, terj. Sri Margana, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2014), h. 237.; I. M. Johan, Penelitian Sejarah Kebudayaan Cirebon dan Sekitamya Antara

Abad XV-XIX: Tinjauan Bibliografi, dalam Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:

Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia, 1996), h. 10.

94

internasional yang sedang tumbuh dan berkembang terbentang dari Demak, Cirebon

hingga Banten.97

Kota-kota pelabuhan mempunyai peran sebagai pusat ekonomi di setiap

wilayahnya. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai jalur ekspor dan impor hasil-

hasil bumi dari daerah pedalaman yang terpencil yang dihubungkan dengan jalan

sungai maupun darat, sehingga dimungkinkan membutuhkan adanya kebutuhan jasa

angkutan. Sudjana mengatakan setidaknya ada tiga indikator dasar suatu pelabuhan

yang harus berlangsung dan berlanjut, yaitu: (1) adanya hubungan antara pasar

dunia dengan pasar domestik; (2) adanya hubungan antara pelabuhan dengan daerah

pedalaman sehingga terbentuknya jalur atau akses transportasi, serta terbentuknya

pusat-pusat pengumpulan barang dagangan; dan (3) hubungan antara kegiatan

pelabuhan dengan pembentukan kota pelabuhan itu sendiri.98

Tiga indikator tersebut

dapat dilihat di Cirebon, sebagai kota pelabuhan telah menjadi tempat untuk

menghubungkan dua dunia yaitu daratan dan lautan. Sementara dari segi ekonomi,

pelabuhan Cirebon juga berfungsi sebagai tempat menampung atau gudang barang

dagangan dari wilayah pedalaman untuk didistribusikan dan dijual ke tempat-tempat

lain yang membutuhkan. Selain itu, pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat

penampungan barang-barang dari tempat lain yang tidak dihasilkan dari wilayah

pedalaman yang sangat dibutuhkan seperti produk-produk kerajinan (keramik, kain

dan sebagainya).

Oleh karena itu, dengan adanya kebutuhan yang timbal balik membuat

pelabuhan dan pedalaman menjadi posisi yang saling membutuhkan dan antara satu

dengan lainnya saling menopang. Dalam konteks ini sarana dan prasarana

transportasi dibangun untuk memudahkan arus perdagangan barang, baik dari

pelabuhan maupun menuju pelabuhan. Ekajati mengatakan bahwa hubungan ke

daerah pedalaman terjalin melalui sungai dan jalan darat. Sungai di Cirebon

berperan sebagai jalan atau lalu lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah

pedalaman, disaksikan Pires di tahun 1513. Mungkin sungai yang dimaksud adalah

sungai Krian (sekarang) yang dapat dilayari sampai Cirebon Girang, Sungai

Cimanuk di sebelah utara dan Sungai Cilosari di daerah pedalaman wilayah

Cirebon.99

Dengan bertambahnya para pedaganag dari mancaegara yang masuk ke

pelabuhan Cirebon ikut membuat barang-barang yang berasal dari mancanegara

masuk ke wilayah Cirebon. Barang-barang itu dibutuhkan masyarakat pedalaman

dikarenakan mereka tidak memproduksi barang-barang seperti logam besi, emas

dan perak serta tekstil halus (sutera dan keramik). Di samping barang-barang yang

menjadi kebutuhan masyarakat daerah pelabuhan seperti garam, terasi dan ikan

97

Uka Tjandrasasmita, Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 13. 98

T. D. Sudjana, Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 14. 99

E. S. Ekajati, dkk, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Kerjasama

Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Universitas Padjajaran, 1991), h. 45.

95

asin.100

Mengenai situasi perdagangan barang yang diperjual belikan di pelabuhan

Cirebon dapat dilihat pada catatan Pires, yaitu:

“The land of Cherimon is next to Sundai its lard is called Labe Uca. He is

vassal of Pate Rodim, lard of Demak. This Cherimon has a good port and there

must be three or four junks there. It has a deal of rice and many foodstuffs: it

must have as many as ten small lancaras, they say that it has not so many now.

This place cherimon must have up to a thousand inhabitats. Pate Quedir the

one who revolted in upeh lives in this place cherimon. There must be five or six

merchants in cherimon as great as Pate Quedir, but they all and the lord of

cherimon do honour to Pate Quedir, because they hold him to be a bold

merchant and a knight.101

Dari catatan Pires di atas, dapat diketahui bahwa ketika Pires datang ke

Cirebon, daerah ini memiliki pelabuhan yang bagus dan dan ramai dikunjungi oleh

para pedagang. Kapal-kapal yang berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 junk. Pires

mencatat junk dan lancara sebab pada waktu itu berlaku tradisi menilai sebuah

pelabuhan dari kemampuan pelabuhan tersebut dilabuhi kapal besar (junk) dan

lancara. Sementara kapal-kapal ukuran kecil yang berlabuh tidak dicatat Pires,

tetapi dengan menganalisis situasi perdagangan ketika itu, menurut penulis kapal-

kapal tersebut dimungkinkan lebih banyak. Ramainya aktivitas perdagangan di

pelabuhan Cirebon juga dapat dilihat dari jumlah penduduknya mencapai 1000 jiwa

dengan lima atau enam saudagar, salah satunya yaitu Pate Quedir salah seorang

saudagar yang cerdik, berani dan dihormati oleh masyarakat. Di samping itu, dapat

diketahui bahwa komoditi Cirebon adalah berupa beras dan bahan makanan lainnya,

namun Pires tidak menyebutkan nama-nama komoditas lainnya. Barang-barang lain

yang tidak disebutkan adalah barang hasil jual beli dari negeri-negeri lain ke

wilayah Cirebon. Padahal setiap harinya banyak perahu yang masuk ke Pelabuhan

Muara Jati dari Jawa Timur, Madura dan Palembang.102

Hal tersebutlah yang

kemudian membuat pelabuahn Cirebon ramai dikunjungi oleh para pedagang.

Pelabuhan Muara Jati mengalami perubahan dan perbaikan serta

penyempurnaan bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai fasilitas pelayaran

seperti Mercusuar yang dahaulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa yang dibantu oleh etnis

Tionghoa. Selain itu, dibagun pula bengkel sebagai tempat untuk memperbaiki

perahu yang rusak dengan memanfaatkan etnis Tionghoa ahli pembuat junk yang

dahulu dibawa oleh Cheng Ho. Sementara dalam rangka merealisasikan Cirebon

sebagai kota pelabuhan, Sunan Gunung Jati melakukan pembangunan pangkalan

perahu yang terletak di sebelah tenggara Keraton Cirebon tepatnya di tepi sungai

Kriyan. Pangkalan perahu ini dilengkapi dengan gapura yang disebut Lawang

Sanga, bengkel perahu, istal kuda kerajaan dan beberapa pos pengamanan.103

Untuk menunjang sarana transportasi dibangunlah sarana transportasi sebagai

penunjang pelabuhan, baik akses transportasi darat maupun laut. Pembangunan

100

Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 54. 101

Cortesao, The Summa Oriental…, h. 27. 102

Dartano, Penyebaran Agama Islam di Cirebon dan Sekitarnya antara Tahun 1470-

1570 M, (Universitas Indonesia, 1991), h. 18 103

Susanti, “Pengaruh Kolonial…,” h. 274-288.

96

akses jalan darat dimulai dari alun-alun Keraton Pakungwati ke arah pelabuhan

Muara Jati. Pembangunan akses jalan ini bertujuam agar para pedagang asing atau

para utusan dari kerajaan lain dapat dengan mudah masuk ke pelabuhan Muara Jati,

atau memudahkan bagi siapa saja yang ingin bertemu dengan Sunan Gung Jati,

khususnya dalam urusan pemerintahan. Selain itu, dibentuk juga pasukan untuk

menjaga dan memlihara keamanan yang diberi nama Pasukan Jagabaya dengan

jumlah dan kualitas yang memadai. Pasukan ini ditempatkan di pusat kerajaan dan

tempat-tempat yang masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon.

Terkait komoditi barang yang diekspor dari Cirebon, naskah Negara

Kertabumi menggambarkan dan membantu menjelaskan jenis barang-barang

tersebut. Dalam naskah itu disebutkan bahwa:

“Pada tahun 1337 Saka (1415M), Muhara Jati kedatangan armada Cina yang

dipimpin oleh Cenhuwa (laksamana), Mah-wan (juru tulis), Ong Keng-Hong

(juru mudi), Kung Way-Ping (panglima), dan Pey-Sin (juru tulis). Mereka

semua adalah utusan Maharaja Cina Yuwang-Lo (Yung-Lo) dari wangsa

Ming. Dalam gerombolan itu terdapat beberapa orang pembesar kerajaan

Wilwatika yang menjadi duta di Swarnabhumi. Di Muhara Jati armada itu

berhenti mendapatkan perbekalan, atas persetujuan kedua belah pihak, di

Muhara Jati didirikan sebuah menara sebagai imbalan, pihak Cina

mendapatkan perbekalan yang diperlukan berupa garam, terasi, beras tumbuk,

rempah-rempah dan kayu jati”.104

Barang-barang komoditas yang didatangkan ke Cirebon dapat diketahui dari

keterangan yang terdapat dalam cerita Purwaka Caruban Nagari seperti logam besi,

perak, emas, sutra, dan keramik halus.105

Barang-barang yang diperjualbelikan di

pelabuhan Cirebon pasti sama dengan barang-barang yang diperjualbelikan di

pelabuhan Kerajaan Sunda mengingat pelabuhan Cirebon sezaman. Mengenai

barang-barang komoditi yang ada di pelabuhan Kerajaan Sunda, Cortesao menulis

pernyataan Pires bahwa komoditi Kerajaan Sunda yang terpenting adalah beras

(mencapai 10 junk setahun), lada (1000 bahar setahun), dan kain tenun yang

diekspor ke Malaka. Sementara sebagai barang import bagi Kerajaan Sunda adalah

tekstil halus dari Cambay, dan kuda dari Pariaman sebanyak 4.000 ekor pertahun

yang diperguankan untuk angkatan perang dan berburu.106

Dalam hal alat tukar menukar yang dipergunakan, pedagang Tionghoa

mempunyai peran dominan sebagaimana ditunjukkan bahwa dipergunakannya mata

uang Tiongkok sebagai alat tukar menukar utama di Jawa.107

Uang Tiongkok

didatangkan langsung dari Tiongkok, bahkan impor mata uang Tiongkok terus

berlangsung sampai masa VOC.108

Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa uang

Tiongkok dipergunakan adalah terdapatnya keramik Tiongkok, kain sutera,

104

Atja, Nagarakretabumi, (Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan

Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1986), h. 37. 105

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 56. 106

Cortesao, The Summa Oriental…, h. 169. 107

Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung…, h. 45. 108

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 67.

97

kelenteng dan vihara di setiap pelabuhan yang ada di Jawa. Selain mata uang

Tiongkok, alat tukar menukar yang digunakan untuk jalinan perdagangan di Pulau

Jawa adalah uang Portugis yang dikenal dengan nama crusados, uang malaka

disebut calais dan uang lokal Jawa yang diberi nama tumdaya atau tail.109

Nilai mata uang yang dipergunakan oleh para penduduk Cirebon tidak jelas

mata uang mana yang dijadikan standar. Ada beberapa perbandingan nilai dalam

mata uang itu, misalnya mata uang Tiongkok yang memilki nilai kecil diberi lubang

di tengahnya, sehingga mata uang tersebut dapat diikat mencapai seratus buah.

Setiap ikatan memuat 100 keping uang logam yang setara nilainya dengan lima

calais Malaka. Sementara mata uang dengan nilai besar terdapat nilai mata uang

emas yantg nilainya sama dengan 3000 calais atau 9 crusados.110

Akan tetapi

sebelum itu, di Nusantara telah dikenal bentuk uang berupa koin emas dan koin

perak pada masa Hindu. Demikian juga pada masa awal Islam, terutama di daearah-

daerah pantai yang menjadi jalur perdagangan dikenal beberapa jenis uang seperti di

Banten dikenal jenis uang berupa koin tembaga dan perak, Sumenep berupa bahan

celup yang dioleskan pada kain yang sudah dipakai, Cirebon dikenal dengan uang

yang terbuat dari takaran kecil timah yang disebut picis dan sebagainya.111

Mengenai kondisi obyektif pelabuhan Cirebon yang menjadikannya sebagai

kerajaan maritim dan pelabuhan besar yang ramai dapat dilihat sebagaimana dalam

catatan Pires bahwa pada tahun 1514 Cirebon merupakan pelabuhan yang baik,

setiap waktu ada 3 atau 4 junk (sejenis perahu besar) yang berlabuh di sana,

sedangkan lancara (sejenis perahu yang laju jalannya) hanya berlabuh. Junk adalah

alat transfortasi yang trekenal di mana-mana, dan hanya dapat menyusuri sungai

yang mengalir sejauh 9 mil.112

Junk juga dijadikan sebagai ukuran untuk

menetukan besar kecilnya sebuah pelabuhan, selain itu dipakai sebagai alat

pengukur kekuatan suatu kerajaan. Semakin banyak junk yang dimiliki oleh sebuah

kerajaan, maka kerajaan itu dinilai sebagai kerajaan besar. Sumber lain mengatakan

bahwa pada masa itu junk para saudagar Tionghoa sangat terkenal. Tjiptoatmojo

mengutip pendapat Eduard Sebberg mengatakan bahwa junk Tiongkok menarik

perhatian, tinggi haluan dan buritannya tidak sama, sedangkan bagian tengahnya

rendah. Nampak di atas buritan terdapat sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup

mencolok juga umbul-umbul yang berwarna coreng moreng, kedua layarnya lebar

dan tebal terbuat dari sebangsa daun rumput yang diayam.113

Adapun soal perahu

lancara termasuk ke dalam jenis perahu muatan barang yang berukuran besar. Pires

mencatat mengenai perdagangan Kerajaan Sunda dan Malaka, barang-brang

109

Cortesao, The Summa Oriental…, h. 70. 110

Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 58. 111

Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 59. 112

E. S. Ekajati, (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Jakarta: Girimukti

Pasaka, 1984), h. 90. 113

F. A S. Tjiptoatmojo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad XIX sampai

Medio Abad XIX”. (Disertasi Doktoral Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM Yogyakarta,

1983), h. 91.

98

komoditas Sunda diangkut dengan lancara, yaitu sejenis kapal yang berkapasitas

sampai 150 ton.114

Dengan posisinya sebagai kerajaan maritim, Cirebon menjadikan perahu tidak

hanya sebagai sarana transportasi dagang tetapi digunakan juga sebagai armada

perang. Armada perang Cirebon pernah dikirim ke Demak untuk membantu dalam

upaya menumpas armada Prabu Rangga Premana (Ratu Supiturung). Pada saat itu

pasukan Cirebon bergabung dengan pasukan Banten, Sunda Kelapa dan Demak

yang semuanya berjumlah 3007 armada perahu.115

Karena semakin ramainya

pelabuhan Cirebon, masyarakat sekitar pelabuhan mempunyai pekerjaan baru

sebagai pengrajin atau pembuat perahu. Sebenarnya teknologi pembuatan perahu

sudah dikembangkan oleh para penduduk di sekitar pesisir pantai dan di daerah

yang ada sungainya. Perahu selain digunakan sebagai alat transportasi juga

mempunyai fungsi dan peranan sosial yang penting, baik sebagai sarana untuk mata

pencaharian maupun sebagai sarana kekuatan politik dalam bentuk armada perang.

Mata pencaharian sebagai nelayan atau pelaut merupakan salah satu sumber

daya yang dimiliki masyarakat Cirebon. Para nelayan ketika itu memiliki arti

penting bagi Kerajaan Cirebon, selain sebagai tenaga dalam perolehan hasil laut dan

perdagangan di laut, juga berperan sebagai penjaga perairan pantaiberpatroli di

selat dan menjaga keamanan para pedagang yang akan singgah di pelabuhan dan

berkunjung ke Kerajaan Cirebon. Dengan bertambahnya wilayah kekuasaan

Cirebon yang mencakup beberapa daerah pedalaman, ikut mengubah corak

kehidupaan kerajaan dari yang semula bercorak kerajaan maritim berubah menjadi

kerajaam maritim agraris. Kehidupan bercorak maritim ditunjukan oleh masyarakat

nelayan dengan meningkatnya kegiatan perdagangan di wilayah kawasan

pelabuhan. Sementara perkembangan kehidupan agraris ditandai dengan

meningkatnya kegiatan pertanian yang banyak menghasilkan komoditas hasil bumi.

3. Cirebon sebagai Basis Syiar Islam

Gerakan islamisasi adalah bagian dari sejarah Nusantara yang fenomenal.

Kedatangan Islam di Nusantara yang kemudian diikuti dengan gerakan islamisasi

pada abad ke-13 berperan penting dalam merubah sejarah Indonesia, sekaligus

menandai awal era modern di negeri ini.116

Walaupun sejarah kedatangan Islam

masih misterius atau dengan kata lain masih diperdebatkan oleh para sarjana, tetapi

kenyataannya Islam berhasil menjadi agama yang dianut oleh masyoritas penduduk

Nusantara. Tidak hanya itu, dengan jumlah penduduk yang besar, Islam di

Indonesia menjadi komunitas Muslim terbesar di dunia dibandingkan dengan

jumlah umat Muslim di tempat dimana Islam pertama kali diperkenalkan oleh Nabi

Muhammad SAW.

Sejarah pembentukan Cirebon tidak dapat dipisahkan dari peran penting Islam

di masa silam. Islam masuk ke daerah Cirebon secara bertahap mulai abad ke-15.

Namun, sebelum berdirinya Kerajaan Islam Cirebon, daerah ini belum merupakan

114

Cortesao, The Summa Oriental…, h. 167. 115

Ekajati, Sejarah Kuningan…, h. 34. 116

M. C. Ricklefs, The History of Modern Indonesia Since c. 1200, vol. 3, (Great

Britain: Palgrave Macmillan, 2001), h. 23.

99

pusat penyebaran agama Islam. Titik tolak Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam

khususnya di tatar Sunda adalah sejak berdirinya Kerajaan Islam Cirebon. Jika

Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Jawa Timur, maka

Kerajaan Cirebon adalah titik central penyebaran agama Islam di Jawa Barat,

terutama sejak Sunan Gunung Jati menjadi memimpin Cirebon.117

Beberapa literatur menyebutkan bahwa proses islamisasi di Cirebon melalui

jalur yang sama dengan wilayah lainnya di Nusantara, yakni melalui maritim. Islam

pada mulanya datang ke wilayah pesisir Cirebon tepatnya di pelabuhan Muara Jati,

wilayah Pesambangan yang menjadi bagian dari wilayah Singapura. Maka, tidak

heran komunitas Muslim yang pertama kali muncul di daerah pesisir seperti dalam

cerita tiga komunitas Tionghoa Muslim yang berasal dari rombongan Cheng Ho dan

Syekh Nurjati yang mendirikan lembaga pendidikan di bukit Amparan Jati,

Pesambangan. Para pelaku islamisasi pun baik yang berasal dari kalangan pribumi

seperti Haji Purwa maupun di luar wilayah Cirebon datang dengan status sebagai

pedaganag yang banyak bergerak di dunia perdagangan.118

Ada beberapa tokoh yang erat kaitannya dengan proses islamisasi di wilayah

Cirebon dan sekitarnya, selain penduduk pribumi, juga Syekh Nurjati, Syekh

Bayanullah dan Syekh Maulana Maghribi. Kedua pendakwah awal merupakan

kakak beradik, putra Syekh Datuk Ahmad Malaka yang menurut penjelasan sejarah

memiliki ikatan dengan Syekh Hasanuddin. Syekh Nurjati datang ke pelabuhan

Muara Jati lebih lambat, yakni tiga sampai lima tahun setelah kedatangan Syekh

Hasanuddin atau Syekh Quro ke tempat yang sama. Sementara itu, Syekh

Bayanullah datang ke wilayah Cirebon paling akhir dibandingkan dengan para

pendakwah lainnya, dan ia sendiri memusatkan gerakan islamisasinya di wilayah

Kuningan.119

Dalam konteks di atas, Syekh Nurjati lebih memilih untuk datang ke pelabuhan

Muara Jati yang saat itu menjadi entre port ke wilayah Cirebon. Sama seperti apa

yang dilakukan Syekh Hasanudin, Syekh Nurjati membangun pesantren yang

berlokasi dekat dengan pelabuhan, yaitu di Bukit Amparan Jati, Pesambangan.

Lembaga pendidikan Islam inilah yang tercatat sebagai tempat belajar para

penguasa Kerajaan Islam Cirebon seperti Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung

Jati. Syekh Nurjati tidak melakukan expansi dalam menyebarkan dakwah Islam dan

tidak terlibat dalam proses pembentukan Kerajaan Cirebon. Ia tampil sebagai guru

spiritual dan penasehat, serta mengajarkan para calon penguasa Kerajaan Islam

Cirebon. Sementara peran politik lebih menonjol dan terlihat pada Syekh

Abdurrahman (Pangeran Panjunan), Syekh Abdurrahim (Pangeran Kejaksaan), dan

Syarifah Baghdad.120

Tahap awal penyebaran agama Islam berlangsung melalui pesantren dalam

lingkungan terbatas. Di pesantren, santri dididik menjadi kader-kader penyebar

agama Islam. Setelah mereka memiliki atau menguasai ajaran Islam, mereka

117

H. M. Ambary, Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran

Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 46-47. 118

Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon…, h. 18-19. 119

Ekajati, Sejarah Kuningan…, h. 54. 120

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 35.

100

kembali ke daerah masing-masing untuk menyebarkan agama Islam, juga untuk

membantu tokoh-tokoh penyebar agama di daerah tersebut.

Penyebaran dan pengajaran ajaran Islam di Cirebon dilakukan menggunakan

metode dakwah. Sunan Gunung Jati melakukan dakwah Islam dengan berkeliling ke

berbagai penjuruh daerah yakni dari satu tempat ke tempat lain di Jawa Barat,

hingga mencapai daerah Pagedingan (wilayah barat dan selatan Sumedang Larang),

daerah Ukur Cibaliung (sekarang wilayah Bandung), daerah Batulayang, dan daerah

Timbanganten (sekarang daerah Garut).121

Dakwah dengan cara berkeliling pada umumnya berlangsung secara efektif dan

efisien. Hal ini terjadi karena didukung oleh dua faktor, yaitu: pertama, dakwah

dilaksanakan melalui pendekatan sosial budaya dengan pola akomodatif. Dalam

berdakwah, Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengetahuan masyarakat tentang

unsur-unsur legenda dan mitos. Kedua, kesalehan dan sikap keteladanan (uswatun

hasanah) para penyebar agama Islam. Setelah diajarkan tentang ajaran agama

Islam, para mualaf juga diberikan contoh kesalehan sosial dengan memberi teladan

bagaimana ajaran agama Islam itu dilaksanakan atau dipraktekkan.122

Dalam melaksanakan dakwah Islam, para penyebar agama Islam memadukan

ajaran agama Islam dengan tradisi dan unsur-unsur budaya termasuk kesenian

seperti gamelan, wayang, tari topeng, sintren dan lain-lain, yang di kalangan

masyarakat dijadikan obyek dakwah. Misalnya, gamelan dimainkan menjelang

waktu salat Jumat dengan maksud menarik warga masyarakat untuk berkumpul dan

mendengarkan dakwah. Dengan demikian, mereka dapat dengan mudah diajak

untuk melaksanakan salat Jumat. Sama halnya di Demak, gamelan dijadikan media

dakwah Islam sebagaimana di masa pemerintahan Raden Fattah. Selain itu,

pertunjukkan wayang kulit juga digunakan sebagai media dakwah Islam, karena

wayang kulit pada dasarnya adalah mitologi orang Jawa. Sunan Gunung Jati dan

Sunan Kalijaga misalnya, mereka menggunakan kesenian wayang dan tari topeng

sebagai media dakwah Islam. Dalam pertunjukan wayang kulit, penonton hanya

dapat melihat bayang-bayang wayang yang bersifat abstrak. Gambaran abstrak

seperti itu mirip dengan syraiat, ilmu kalam dan ilmu fikih. Dalam dakwah dengan

menggunakan media wayang, masyarakat ditekankan untuk mengambil pelajaran

dari cerita lakon wayang yang berisi sikap dan perilaku, termasuk soal bagaimana

tindakan yang harus diambil ketika menghadapi persoalan hidup dan juga cara

penyelesaiannya.123

Sedari awal Kesultanan Cirebon sudah menjadi basis bagi pengembangan

Islam yang toleran, inklusif, dan moderat. Kesultanan Cirebon menjadikan budaya

sebagai alat untuk dakwah. Ini sangat relevan untuk masyarakat Indonesia yang

majemuk dan kaya budaya dibutuhkan sikap “tengahan” dalam berbudaya dan

beragama. Secara tidak langsung Kesultanan Cirebon telah turut berkontribusi

121

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 36. 122

W. Hernawan & Ading Kusdiana Biografi Sunan Gunung Djati: Sang Penata

Agama di Tanah Sunda, (LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020). 123

Fahrur Razi, “NU dan Kontinuitas Dakwah Kultural”. Jurnal Komunikasi Islam, vol.

01, no. 02, 2011, h. 161-172.; Anif Arifani, “Model Pengembangan Dakwah Berbasis

Budaya Lokal”, Jurnal Ilmu Dakwah, vol. 4, no. 15, 2010, h. 849-878.

101

dalam peradaban Islam yaitu dengan sikap „tengahan”nya sehingga terbentuk

muslim-muslim yang berpaham keagamaan moderat, akomodatif dan inklusif.

Ada beberapa jalur penyebaran agama Islam ke daerah Jawa Barat dari Cirebon

yaitu pertama: Cirebon, Kuningan, Talaga dan Galuh. Kedua: Cirebon, Kadipaten,

Majalengka, Darmaraja dan Garur. Ketiga: Cirebon, Sumedang, dan Bandung.

Keempat: Cirebon, Talaga, Sagalaherang dan Cianjur. Sementara daerah lain yang

menjadi sasaran penyebaran agama Islam adalah Indramyu dan Tasikmalaya. Jalur

dakwah Islam tersebut menunjukkan bahwa islamisasi di sebagian wilayah Jawa

Barat berasal dari Cirebon. Penduduk yang mendapatkan dakwah Islam menerima

ajaran Islam dengan senang hati karena para penyebar dakwah pandai dan bijaksana

dalam melakukan pendekatan dengan penduduk setempat. Dengan demikian,

penyebaran agama Islam di beberapa daerah sebagaimana disebutkan berlangsung

secara damai.124

Sebelum Islam berkembang di Cirebon, wilayah ini tidak banyak dikenal.

Ketika pengaruh Islam di Cirebon begitu kuat, maka barulah Cirebon mulai dikenali

dan semakin kuat. Beberapa sumber tradisi sebagaimana dalam naskah Babad

Cerbon dan Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa Cirebon pada mulanya

merupakan sebuah desa nelayan yang tidak berarti, bernama Dukuh Tegal Alang-

Alang atau Lemah Wungkuk. Dahulu wilayah tersebut bernama Lemah wungkuk

yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Ia merupakan salah satu kuwu yang

diangkat oleh penguasa Pajajaran sebagi kepala pemukiman.125

Kekuasaan Cirebon

saat itu meliputi batas Sungai Cipamali di sebelah timur, Cigugur (Kuningan) di

sebelah selatan, pegunungan sebelah barat dan junti (Indramayu) di sebalah utara.

Penyebaran Islam di wilayah-wilayah luar Pesambangan lebih didominasi oleh

peran Pangeran Cakrabuana dengan membangun wilayah Cirebon Larang dan

Sunan Gunung Jati yang mendirikan Kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya

Pangeran Cakrabuana didukung oleh 52 pengikutnya. Dukungan juga diberikan

oleh Ki Danusela yang nantinya bergelar Ki Gedeng Alang-Alang ketika diangkat

menjadi kuwu pertama Cirebon Larang. Sementara Raden Walangsungsang

bertugas untuk mengurus persoalan sumber daya alam yang ada di wilayah Cirebon

Larang.126

Raden Walangsungsang memiliki beberapa gelar seperti Pangeran Cakrabuana,

Ki Somadullah yang artinya tempat berlindungnya agama Allah dan Haji Abdullah

Iman ketia ia belajar dari Syekh Nurjati dan sudah menunaikan ibadah haji.

Pemberian gelar sudah menjadi sebuah tradisi budaya politik di Nusantara untuk

melegitimasi kekuasaan atas dasar agama. Oleh karena itu, pangeran Cakrabuana

dipandang sebagai penguasa dan pemilik wilayah dan rakyat serta representasi

kekuasaan tuhan dimuka bumi yang akan melindungi ajaran Islam dan kaum

Muslim. Hal ini juga relevan ketika Cirebon digambarkan sebagai pusat alam

semesta (puser bumi). Sementara Sunan Gung Jati sebagai penerus Pangeran

Cakrabuana bergelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep

Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosullullah Shallollahu Alahi

124

Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 67. 125

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 33. 126

Kertawibawa, Pangeran Cakrabuana…, h. 148-149.

102

Wassalam”. Gelar tersebut memiliki banyak makna, baik secara politik ataupun

keagamaan. Gelar itu juga menggambarkan tingginya peran dan status serta

kekuasaan dan kewenangan di Kerajaan Islam Cirebon. Ia tidak hanya berperan

sebagai raja, tetapi juga menjadi referensi ajaran agama Islam bagi masyarakat

Muslim.127

Gerakan Islamisasi secara masif baru dilakukan pada masa kepemimpinan

Sunan Gunung Jati, yang statusnya juga sebagai salah satu anggota Wali Songo. Di

awal penulis telah menjelaskan bahwa bahwa tugas utamanya Sunan Gunung Jati

adalah mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam seluas-luasnya. Hanya saja,

peran Sunan Gunung Jati berbeda denga para wali lainnya, Sunan Gunung Jati

mempunyai kekuasaan penuh dengan status sebagai raja. Maka itu, gerakan dakwah

Islam tidak hanya dilakukan sebagaimana Sunan Bonang dan Sunan Giri yang

mendirikan pusat pendidikan Islam, tetapi juga menggunakan bala tentara Kerajaan

Islam Cirebon. Hal inilah yang mungkin membenarkan pendapat Ricklefs yang

mengatakan meskipun secara umum dakwah Islam di Nusantara dilakukan secara

damai, tetapi bukan berarti tidak ada yang menggunakan pedang atau dengan cara

perang.128

Hal ini dapat dilihat saat Sunan Gunung Jati mengislamkan Luragung, ia

menggerakan pasukan untuk menaklukan Kerajaan Hindu Luragung.129

Begitupun,

ketika ia mengirim anaknya Maulana Hasanudin (Pangeran Sabakinkin) untuk

mengislamkan masyarakat yang ada di wilayah Banten dan Sumatera bagian

selatan.

Dengan demikian, di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Cirebon menjadi

salah satu basis syiar dan kejayaan Islam. Pada masa itu, terjadi beberapa

penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah seperti Indrmayu, Karawang, Bekasi,

Tanggerang dan Serang Banten, termasuk takluknya beberapa kerajaan seperti

Kerajaan Galuh (1528) dan Kerajaan Talaga (1530). Selain itu, bukti kejayaan

Cirebon dapat dilihat pada bangunan fisik seperti Keraton Pakungwati (Keraton

Kasepuhan), Pelabuhan Muara Jati, Mesjid Agung Sang Ciptarasa dan sebagainya.

Sejak Syarif Hidayatullah tinggal di Keraton Pakungwati, tempat ini menjadi

awal mula dari semua kegiatan perkembangan Islam secara luas dan masif. Dalam

sistem pemerintahan diterapkan nilai-nilai Islam untuk mengelola Kerajaan Islam

Cirebon. Sebagai seorang pimpinan politik dan agama, struktur kenegaraan yang

didasarkan pada paham kekuasaan religius. Sang pemimpin bukan hanya sebagai

manusia biasa, namun memiliki kekuatan supranatural. Raja menjadi medium untuk

menghubungkan manusia dengan alam gaib. Dengan demikian, misi pemerintahan

Sunan Gunung Jati merupakan perpaduan antara sistem pengelolaan negara dengan

dakwah agama Islam sehingga aspek-aspek yang ada di pemerintahan, pengendalian

masyarakat dan pengembangan agama menjadi satu yang tidak dapat terpisahkan.

127

Z. Masduqi, dkk., Islamisasi, Suksesi Kepemimpinan, dan Awal Munculnya

Kerajaan Islam Cirebon: Kajian dan Penulisan Sejarah Kesultanan Cirebon, (Jakarta:

Puslitbang Lektur & Khazanah Keagamaan Balitbang Diklat Kementrian Agama RI, 2012),

h. 126. 128

Ricklefs, The History…, h. 17. 129

Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon…, h. 29.

103

Pada tahun 1483, Keraton Pakungwati yang dahulu dibangun oleh pangeran

Cakrabuana diperluas dan ditambah dengan bangunan-bangunan pelengkap, dan

dikelilingi tembok setinggi 2,5 meter dengan ketebalan 80 cm pada areal tanah

seluas 20 hektar. Sementara, untuk menjaga keamanan keraton, dibangun tembok

setinggi 2 meter mengelilingi Ibu kota seluas 50 hektar. Tembok keliling keraton

dilengkapi dengan pintu gerbang.130

Selain itu, upacara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton

Cirebon mulai diadakan dan dilaksanakan dengan meriah dan secara besar-besaran

ketika Sunan Gung Jati diangkat sebagai Wali Kutub pada tahun 1470 M. Perayaan

keagamaan tersebut oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Panjang

Jimat,131

sekaligus menandai bahwa Sunan Gunung Jati dan keturunannya

menempati struktur sosial yang tinggi dan sebagai penata agama.132

Di samping itu,

salah satu tempat yang menjadi pusat kegiatan agama Islam di Kesultanan Cirebon

adalah Mesjid Agung Sang Ciptarasa. Sunan Gung Jati menjadi raja di Kesultanan

Cirebon sekaligus sebagai anggota Wali Songo. Dengan demikian, segala

aktivitasnya tidak terlepas dari upaya untuk mendakwahkan ajaran agama Islam. Itu

sebabnya, pada 1480 Sunan Gunung Jati mendirikan Mesjid Agung Sang Cipta

Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan di sebelah barat alun-alun. Dalam

pembangunan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Gunung jati dibantu oleh

Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Sementara yang menjadi arsitek dalam

pembangunan mesjid tersebut adalah Raden Sepat (arsitek Kerajaan Majapahit).133

Adapun dengan informasi mengenai pendirian Mesjid Agung Sang Cipta Rasa

dapat ditelusuri dalam Naskah Kuningan, dijelaskan bahwa:

“...Sejarah tanah Sunda menjadi mukmin semua lalu dibangun mushola,

Mesjid Agung di Carbon. Para wali diundang, dan kesembilannya sudah hadir

yaitu, Sunan Bonang, Pangeran Majagung, Sunan Jati sebagai tuan rumah,

Sunan Kalijaga, Syekh Bentong, Syekh Maulana Maghribi, Syekh Lemah

Abang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Semua sepakat untuk melaksanakan

pembangunan Mesjid Agung di Carbon. Tiga buah amal sudah diselesaikan,

yakni pertama membangun negara yaitu negaranya orang shaleh, kedua

membangun sabilullah, yaitu memerangi orang kufur dan menjadikannya

beragama Islam dengan seizin Allah, dan ketiga membnagun mesjid tempat

utuk orang shalat dan seterusnya...”.134

Selain yang dijelaskan dalam naskah di atas, informasi terkait Mesjid Agung

Sang Cipta Rasa juga dapat ditelusuri dalam sumber yang menjelaskan bahwa

Mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang juga Mesjid Agung Pakungwati adalah

130

H. Erwantoro, Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon, (Bandung: Balai Pelestarian

Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012), h. 175. 131

Lubis, Sejarah Kota-kota, h. 184-185. 132

S. Siddique, “Relics of the Past: A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon,

West Java”, (Ph.D. Dissertation, Bielefeld, 1977), h. 91. 133

Lubis, Sejarah Kota-kota, h. 45. 134

A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah

Kuningan, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007).

104

sebagai masjid Kerajaan Cirebon. Misalnya dalam Naskah Mertasinga, dijelaskan

bahwa:

“...setelah penobatan ini Sinuhun Sunan Gunung Jati berkehendak untuk

membangun Mesjid Agung Pakungwati yang kelak akan menjadi pusaka di

Carbon. Uwaknya diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk

membangun mesjid itu. Dari seluruh pelosok negeri telah dikumpulkan kayu

yang baik untuk dipakai sebagai tiang. Sunan Rangga sudah mengerti akan

keinginan putranya itu. Dengan segera sudah terkumpul banyak kayu-kayu

yang diperlukan. Tukangnya berjumlah seratus orang, sebanyak bahan yang

ada, atap sirap sudah dipilih, paku dan batu bata sudah terkumpul di

Pakungwati. Kemudian Sinuhun Jati berkata kepada Syekh Datuk Kahfi:

“Kakanda Datuk Khapi tolong tuliskan surat untuk dikirimkan ke negara Bani

Israil, sampaikan kepada Adinda Nurullah agar mengupayakan kayu jati.

Mintalah utamanya, yang panjang untuk dijadikannya sakagurunya hanya

empat buah saja yang dibutuhkan, satu tiang satu saka dari Mesir sebagai

sumbangannya Babu Dampul. Satu dari Bani Israil sebagai sumbangannya

Adinda Nurullah, dan satu lagi dari Surandil sumbangannya dari Syekh

Bentong. Segera Datuk Kahfi menulis surat tersebut dan mengirimkannya,

sementara itu, yang membangun terus bekerja, sambil menunggu datangnya

kiriman ke empat kayu sakaguru dari negara Arab...”.135

“... setibanya Sinuhun Jati di Dalem Agung, beliau berkehendak untuk segera

mendirikan mesjid yang patakannya sudah didirikan. Semua wali sangat

bersemangat dalam membantu pembnagunan mesjid ini. Mereka telah

mendirikan rangkanya bersama-sama. Ketika keesokan harinya terjadi

perselisihan lagi mengenai arah kiblat. Sebagian mengatakan kurang ke

selatan, lainnya mengatakan kurang ke utara, dan lainnya mengatakan sudah

tepat arah kiblat. Sehingga kerangka mesjid itu diangkat berpindah-pindah

berubah arah setiap kali terdengar pendapat baru. Demikian berlangsung tak

habis-habisnya. Sunan Kalijaga memberikan penyelesainnya seperti yang

dilakukannya waktu di Demak. Setelah selesai pembangunan Mesjid Agung

Carbon semua wali memanjatkan puji syukur dan para wali melakukan shalat

subuh. Waktu itu usia Sinuhun Jati 113 tahun, kemudian para wali

memberikan sumbangannya untuk mesjid ini. Sunan Bonang menyumbangkan

satu tikar yang digelarkan di utara, Syekh Bentong menyumbang satu tikar

yang berasal dari Madinah dan digelar di paimaman dan di sebelah utara,

Sunan Jati menyumbang satu tikar yang berasal dari Pulau Majeti dan

dipasang di tengah paimaman. Sunan Kalijaga menyumbang satu tikar yang

digelar di sebelah utara tikar Sunan Purba. Pada waktu itu, semua wali

bergantian menjadi imam shalat Jum‟at di Mesjid Agung. Pangeran Makhdum

yang menjadi juru qomat shalat Jum‟at. Pangeran Datuk Kahpi yang

memegang waman ah sanun-nya (yang mengatur mesjid dalam hal jadwal,

shaf shalat), Tuan Jopak dan Tuan Bumi yang melayani, Sunan Panggung,

135

A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah

Mertasinga, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2005), h. 68-99.

105

Pangeran Kajoran, bersama Pangeran Drajat tanggung jawab memeganag

hukum-hukum, semuanya diatur dengan persetujuan para wali.136

Mesjid Agung Sang Cipta Rasa menjadi salah satu pusat kegiatan keagaman di

wilayah Kesultanan Cirebon. Pembangunan mesjid ini merupakan bagian tidak

terpisahkan dari pusat pemerintahan Kesultanan Islam masa lalu. Keraton, mesjid,

alun-alun dan pasar merupakan kesatuan yang membentuk ini kota kuno Kerajaan

Islam. Mesjid Agung Sang Cipta Rasa memperlihatkan gaya bangunan tradisional

yakni memiliki pintu masuk berbentuk Gapura Bentar, dan denahnya dua tumpang

berjumlah ganjil.

C. Masuknya Etnis Tionghoa ke Cirebon

Dalam pembentukan komunitas Muslim di Nusantara, Reid sebagaimana

dikutip Hidayat berpendapat bahwa adanya hibridisasi di mana pada awalanya

label-label etnik seperti Jawa-Melayu yang merupakan keturunan hasil perkawinan

campur antara lelaki etnis Tionghoa dengan perempuan lokal yang sudah

berlangsung berabad-abad. Telah disebutkan bahwa sejak awal penduduk Cirebon

terdiri dari campuran beberapa etnis. Berbagai literatur menyebutkan bahwa

sebelum berdirinya Kerajaan Islam di Cirebon, orang-orang Arab dan Tionghoa

sudah ada dan menetap di daerah ini. Diduga kuat beberapa saudagar Arab menetap

di pesisir Cirebon sejalan dengan Cirebon menjadi kota pelabuhan, dan bersamaan

dengan masuknya agama Islam. Mengenai kedatangan etnis Tionghoa ke Cirebon,

pengamat sejarah Jeremy Wijaya mengatakan etnis Tionghoa pertama kali masuk

ke Cirebon diperkirakan sejak abad ke-8 yang ditandai dengan pendirian Klenteng

Kak Tiao Kak Sie dekat pelabuhan Cirebon sekarang.137

Dengan berdirinya

klenteng tersebut, penulis berspekulasi bahwa sebagian besar etnis Tionghoa yang

menetap di Cirebon menganut agama leluhurnya, Konghucu.

Ketika Cirebon berubah status menjadi Kerajaan Islam, masyarakat Cirebon

secara garis besar terdiri dari tiga golongan sosial. Pertama, golongan bagsawan

tingkat atasraja atau sultan beserta keluarganya, serta para pejabat tinggi

kerajaanelit birokrasi dan agama. Kedua, golongan bangsawan tingkat

menengahpegawai kerajaan tingkat menengahkesatria, demang, tokoh agama,

saudagarTionghoa dan Arab. Ketiga, rakyat biasa (wong cilik)terdiri dari

kelaurga petani, nelayan dan pedagang kecil.

Ada juga pendapat yang mengatakan kedatangan etnis Tionghoa ke Cirebon

terjadi pada awal abad ke-15, ditandai dengan berdirinya kampung pecinan yang

dibangun tahun 1415 oleh anak buah Cheng Ho sewaktu singgah di pelabuhan

Muara Jati. Berbagai literatur mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang dibawa

Cheng Ho ke Pulau Jawa menetap di Banten, Cirebon, Semarang, Juwana, Jepara,

Gresik, Surabaya, dan Bangil. Sementara kehidupan sehari-hari dari etnis Tionghoa

dan Arab yang menetap di Cirebon bercampur dengan penduduk pribumi, bahkan

terjadi perkawinan silanglaki-laki Tionghoa dan Arab menikah dengan

perempuan pribumi. Kedua etnis asing tersebut masing-masing tinggal secara

136

Wahyu, Sejarah Wali…, h. 68-99. 137

S. M. Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, (Bandung: Tarsito,

1977).

106

berkelompokdisebut pecinan (kampung Cina) dan kampung Arab. Dengan

demikian, terjadi sebuah akulturasi budaya, termasuk bahasa.138

Eksistensi etnis Tionghoa di Nusantara sebenarnya sudah ada sejak zaman

purba. Hal itu didasarkan pada hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar

kuno di Jawa, Lampung dan Bantanghari serta Kalimantan yang disimpan di

keraton. Selain itu, ditemukan kapak batu yang sedikit dipoles dari zaman

neolitikum yang mempunyai persamaan dengan kapak batu giok atau zamrud yang

ditemukan di Tiongkok, dan berasal dari zaman yang sama.139

Namun di Nusantara,

kedatangan etnis Tionghoa lebih dikenal pada abad ke-15 tepatnya di masa Dinasti

Ming sedang berkuasa. Etnis Tionghoa dari Yunan mulai berdatangan untuk

menyebarkan agama Islam terutama di Pulau Jawa. Dengan dipimpin Cheng Ho,

armada dan etnis Tionghoa berdatangan ke Nusantara dan mendarat di pantai

Simongan Semarang.140

Pelayaran Cheng Ho di Nusantara mempunyai beberapa latar belakang.

Pertama, Cheng Ho didukung oleh Dinasti Ming yang mempunyai kekuatan amat

kuat. Usaha pertanian serta produk-produk bermutu dan maju seperti kain sutra,

porselen, alat besi, dan sebagainya dimiliki oleh mereka. Dalam konteks ini Cheng

Ho mendapatkan bantuan material yang cukup dan baik dari Dinasti Ming. Kedua,

sejak lama sudah terjalin hubungan erat antara etnis Tionghoa dengan negara-

negara Asia-Afrika. Dengan hubungan yang baik itu membuat perniagaan antara

Tionghoa dengan negara-negara Asia semakin banyak, utamanya antara pemerintah

dan pedagang. Hal ini membuat terbukanya lapangan pekerjaan sebagai awak kapal

yang sudah berpengalaman, terlatih dan handal. Ketiga, teknologi mereka dalam

membuat kapal sudah semakin maju. Kapal terdiri dari 50-60 kabin dan mampu

membawa lebih dari 1.000 penumpang dalam pelayaran jauh. Jangkar perahu begitu

besar dan memerlukan 200-300 orang jika hendak mengangkatnya. Badan kapal

merupakan sususnan ruang-ruang yang terpisah satu sama lainnya. Meskipun

terbentur kencang dan sebagainya, kapal tidak akan mudah tenggelam bila hanya

sebagian saja yang rusak.141

Pengiriman armada yang dipimpin Cheng Ho bertujuan untuk mengamankan

jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara.142

Mengingat lokasi ini banyak diganggu

oleh bajak laut. Selain itu, Dinasti Ming ingin mempromosikan kejayaan dinastinya,

serta mengembangkan pengaruh politik dan militernya kepada negara-negara Asia.

Ketika memimpin pelayaran, Cheng Ho membawa pasukan yang banyak, tiap

armada terdiri dari 62 buah kapal yang disebut bao chuan (kapal harta). Kapal besar

yang dibawanya berukuran: panjang 132 meter dan lebar 54 meter. Kapal ini

138

H. J. de Graaf, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan

Mitos, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1998). 139

B. G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia Pustaka,

2008), h. 25. 140

A. Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (The Chinese Muslim

Community in Indonesia), (Semarang: Tanjung Sari, 1979), h. 57. 141

K. Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah Cheng Ho,

(Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), h. 12. 142

Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan…, h. 76.

107

mampu membawa 27.800 pasukan dan sejumlah barang-barang, di antaranya emas,

porselen, tembikar, karya seni yang indah, dan kain sutra. Barang barang ini

kemudian ditukarkan dengan gading gajah, cula badak, kulit penyu, obat-obatan,

rempah-rempah, mutiara dan batu-batu permata.

Selain kapal penumpang, pasukan armada ini membawa beberapa kapal di

antaranya: kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk pasukan kavaleri, kapal

tempur, dan kapal patroli cepat yang punya banyak dayung. Kapal-kapal yang

dibawa Cheng Ho menimbulkan rasa hormat bercampur kagum, takjum dan takut.

Armada-armada ini dipandang sebagai pasukan yang gagah dan unik. Ketika

armada kembali ke Tiongkok mereka membawa pulang berbagai macam hadiah dan

upeti dari negara-negara yang dikunjunginya.

Kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara selain adanya pelayaran dari Cheng

Ho, juga disebabkan karena bencana alam dan peperangan yang tidak ada henti-

hentinya membuat etnis Tionghoa secara nekat meninggalkan negeri mereka dan

mencoba nasib baru di negeri orang dengan hanya berbekal buntalan pakaian.

Ribuan etnis Tionghoa menyebar ke berbagai penjuru dunia, utamanya di Asia

Tenggara. Kondisi tersebut menandakan bagian penting migrasi Tionghoa secara

besar-besaran ke seluruh dunia, dan mencapai puncaknya pada abad ke-15.143

Kontak sosial antara etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon menurut penulis

terjadi dalam tiga gelombang, yaitu dimulai sejak abad 15, yang ditandai dengan

kedatangan Cheng Ho dan para pasukannya. Dalam perjalanannya, rombongan etnis

Tionghoa melakukan persinggahan ke beberapa pelabuhan yang ada di sepanjang

pesisir pantai utara Pulau Jawa, termasuk pelabuhan Muara Jati, Pesambangan yang

pada saat itu menjadi salah satu bagian wilayah Singapura. Dalam rombongan

tersebut, turut serta beberapa tokoh seperti Haji Kung Wu Ping, Ma Huan144

dan

Feh Sin. Bahkan Cheng Ho dan pasukannya mendirikan Mercusuar.145

Namun

menurut Permadi sebelum kedatangan Cheng Ho dan pasukannya, para utusannya

(Tilik Sandi) sudah datang terlebih dahulu ke Cirebon. Para utusan inilah yang

memberi kabar tentang kondisi Cirebon yang memiliki air bersih dari gunung

Ciremai dan kayu jati. Permadi juga mengatakan bahwa Mercusuar itu sudah

dibangun oleh para utusan Cheng Ho sebelum Cheng Ho datang ke Cirebon. Jadi,

Cheng Ho datang ke Cirebon memang sudah direncanakan.146

Mengenai kedatangan rombongan Cheng Ho ke pelabuhan Muara Jati, Tim

Peneliti Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia merujuk

kepada pandangan Mills bahwa kunjungan terjadi pada tahun 1415. Kunjungan ini

merupakan rangkaian perjalanan pulang dari kunjungan ke Surabaya menuju

143

Graaf, Cina Muslim…, h. 56. 144

Menurut Purwaka Caruban Nagari, Ma Huang adalah sekretaris Cheng Ho. Ia

datang ke Cirebon bersama rombongan Tionghoa. Di Cirebon ia dikenal dengan nama

Muhammad Hasan. Setelah tingal di Cirebon Ma Huang dinikahkan kepada saudara Ki

Gedeng Tapa atau Ki Gedeng jumajan Jati yang bernama Nyai Rara Rudra. Setelah menikah

ia bergelar Ki Dampu Awang. Lihat B. B. Kertawibawa, Pangeran Cakrabuana Sang

Perintis Kerajaan Cirebon, vol. 1 (Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2007). 145

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 31. 146

Wawancara dengan Permadi (Tokoh Mayarakat Tionghoa) pada tanggal 26

September 2019

108

Palembang dan sempat singgah di beberapa pelabuhan di Pulau Jawa, salah satunya

Cirebon. Ketika rombongan Muhibah Cheng Ho datang ke Palabuhan Muara Jati,

para rombongan disambut oleh penguasa lokal saat itu, yaitu Ki Gedeg Jumajan

Jati.

Pada perkembangan selanjutnya, Haji Kung Wu Ping yang merupakan anak

buah Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa muslim Hanafi di tiga tempat

yaitu di Sarindil, Sembung dan Talang. Masing-masing komunitas itu kemudian

diberi tugas. Komunitas pertama ditugaskan untuk mencari kayu jati dan

menghasilkan kayu jati untuk memperbaiki kapal, sedangkan komunitas kedua

ditugaskan untuk memelihara mercusuar yang sudah dibangun. Sementara

komunitas ketiga ditugaskan menjaga dan merawat pelabuhan. Dengan menetapnya

kaum Tionghoa Muslim merupakan salah satu cikal bakal lahirnya komunitas

Muslim di Cirebon, hingga pada akhirnya mereka mendirikan mesjid sebagai

tempat ibadah.147

Namun, dari beberapa wilayah yang ditempati oleh ketiga komunitas Tionghoa

sebagaimana di atas, hanya ada satu tempat yang berkembang Islamnya dan masih

memegang teguh keimanannya yakni di Sembung. Adapun komunitas Tionghoa

Muslim di Sarindil dan Talang banyak yang murtad. Mereka yang tinggal di dua

wilayah seperti Sarindil dan Nagari Japura menjadi sepi, bahkan menjadi sebuah

tempat untuk pertapaan. Sementara Talang di Singapura yang didominasi etnis

Tionghoa pemeluk Konghucumerubah mesjid yang ada di sana menjadi

Klenteng.148

Menurut penulis kemunduran itu bisa jadi karena berhentinya

muhibbah Laksamana Cheng Ho ke Jawa. Kemudian Haji Tan Eng Hoat (Maulana

Ifdhil Hanafi/Pangeran Adipati Wirasanjaya) mengembangkan pemukiman

Tionghoa Muslim. Haji Tan Eng Hoat inilah yang kemudian membantu Sunan

Gunug Jati menyebarkan dan mengembangkan Islam ke Priangan timur sampai ke

Garut, juga ikut membantu Sunan Gunung Jati melawan Kerajaan Galuh.

Ponakannya yang bernama Tan Sam Cai alias Muhammad Syafei alias

Tumenggung Aria Dwipa Cula juga punya peran penting dalam Kesultanan

Cirebon. Tan Sam Cai pernah menjabat sebagai bendahara kesultanan, bahkan ia

juga merupakan arsitektur Guha Sunyaragi. Selain sebagai administrator yang baik.

Tan Sam Cai berjasa dalam memperkuat Kesultanan Cirebon dengan

keuangannya.149

Ia dipercaya oleh Sunan Gunung Jati menjadi bendahara yang

cakap dan terpercaya pada masa Panembahan Ratu.150

Tan Sam Cai tidak banyak disebut dalam catatan tertulis sejarah kepurbakalaan

Cirebon, akan tetapi perannya secara lisan cukup dikenal di kalangan masyarakat

khususnya etnis Tionghoa yang meyakini bahwa Tan Sam Cai berperan dalam

Kesultanan Cirebon, tepatnya di masa Sunan Gunung Jati memimpin, bahkan ia

sering dikaitkan dengan pembangunan Guha Sunyaragi, selain sebagai salah satu

bendara ulung Kesultanan Cirebon. Meski demikian, asal usul Tam Sam Cai masih

147

Graaf, Cina Muslim…, h. 34-35. 148

Graaf, Cina Muslim…, h. 36. 149

Graaf, Cina Muslim…, h. 42-44. 150

Rusyanti, “Peranan Tan Sam Cai Kong dalam Sejarah Cirebon”. Purbawidya, vol. 2,

no. 1, 2013, h. 105-117.

109

belum jelas sebagaimana De Graaf dalam bukunya mengungkapkan bahwa Tan

Sam Cai merupakan sepupu Tan Eng Hoat (Maulana Ifdil Hanafi/Adipatai Wirya

Sanjaya).151

Pada saat ia menjadi Menteri Keuangan Cirebon pada tahun 1569-1585, Tam

Sam Cai membuka beberapa potensi ekonomi seperti membuka pasar tradisional,

melakukan pencetakan mata uang yang berupa emas dan perak baik itu dinar atau

dirham. Pada masanya, Cirebon pernah mempunyai percetakan uang receh yang

berupa koin mirip Tiongkok kuno. Menurut Iwan Satibi, ketika wafat, Tan Sam Cai

sudah keluar dari Islam, sehingga jasadnya di tolak untuk dimakamkan di komplek

makan Astana Gunung Jati, namun karena jasa dan kemampuanya sebagai salah

satu Menteri Keuangan pada masa Kesultanan Islam, dan lain sebagainya, ia diberi

keistemewaan dengan diberikan tanah khusus untuk dijadikan tempat

pemakamannya, di daerah Sukalila Utara sekarang.152

Tan Sam Cai diduga kuat

berperan penting dalam pembangunan Guha Sunyaragi atau Taman Air Sunyaragi.

Salmon berpendapat bahwa pembangunan Gua Sunyaragi adalah salah satu hasil

menggeliatnya orang-orang Tionghoa di Cirebon. Walaupun tidak secara langsung

meyebut asiteknya adalah orang Tionghoa. Namun, ia menyebut pengaruh orang-

orang Tionghoa. Menurut tradisi lokal bahwa sebelah barat guha di bagian sisi

terlihat menyerupai muka barongsai dan adanya replika makam Putri Ong Tien

yang kemudian menjadi alasan bahwa arsiteknya adalah Tan Sam Cai.153

Selain itu,

bukti eksistensi etnis Tionghoa di Cirebon adalah dengan didirikannya Mesjid

Talang. Mesjid ini menurut Neor, pada awalnya ketika orang Tionghoa sampai di

Cirebon, mereka mendirikan sebuah mesjid yang dinamakan Mesjid Talang untuk

tempat beribadahnya Tionghoa Muslim pada masa kedatanagan Laksamana Cheng

Ho. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, mesjid ini beralih fungsi menjadi

Klenteng.154

Gelombang kedua terjadi pada akhir abad 15 yang ditandai dengan kedatangan

puteri Tiongkok yang bernama Ong Tien Nio bersama para pengawalnya dan

seluruh barang bawaannya.155

Rombongan orang-orang Tionghoa tersebut sampai di

Muara Jati dan bertemu dengan orang-orang keling. Menurut mereka, Sunan

Gunung Jati sedang berdakwah di daerah sekitar Gunung Ciremai yaitu Luragung.

Akhirnya, rombongan tersebut menyusul ke tempat dakwah Sunan Gunung Jati.

Maka bertemulah rombongan Tionghoa dengan Syekh Syarif, Pangeran Cakrabuana

beserta para muridnya. Patih Tionghoa kemudian mengutarakan maksudanya untuk

151

Tan Eng Hoat menjadi Raja Muda bawahan Kesultanan Cirebon dan berkedudukan

di Kadipaten serta menyebarkan mazhab Syafii. Ia meninggal ketika sedang merebut Galuh

dan dimakamkan di sekitar Garut dan Ciamis. 152

Penolakan pemakaman Tan Sai Cai dilakukan oleh Haji Kung Sem Pak di Gunung

Sembung dan berdasarkan permintaan istrinya yaitu Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek

Cong, akhirnya Tan Sai Cai dimakamkan di sekitar rumahnya. Lihat de Graaf, Cina

Muslim…, h. 40-45. 153

Mengenai pengaruh orang-orang Cina dalam pembangunan jasa tekhnik bangunan.

Lihat Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 23.; dan N. M. Noer, Menusa Cirebon,

(Cirebon: Dinas Pemuda dan Pariwisata Kota Cirebon, 2009), h. 298. 154

Noer, Menusa Cirebon, h. 300. 155

Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 40-41.

110

mengobati Putri Ong Tien dan siap berbakti untuk Syekh Syarif. Kemudian ia

menyampaikan lamarannya, dan sebagai bentuk lamarannya, ia menyerahkan 150

pengikut Puteri Ong Tin kepada Sunan Gunung Jati.156

Dengan persetujuan

Pangeran Cakrabuana, serta beberapa pertimbangan seperti penyebaran Islam,

dakwah dan mempererat hubungan antar negara, maka lamaran Putri Ong Tien

diterima oleh Sunan Gung Jati. Pernikahan mereka pun dilangsungkan pada 1481

M, akan tetapi dari pernikahan ini tidak dikarunai keturunan. Pernikahan antara

Sunan Gung Jati dan Putri Ong Tin membawa dampak sosial budaya di Cirebon.

Banyak pengaruh budaya Tionghoa yang akhirnya menjadi local wisdom.157

Datangnya orang-orang Tionghoa ke Cirebon adalah sekitar abad ke-18,

mereka datang sebagai orang-orang pelarian dari Batavia. Kemudian terjadi

kerusuhan antara etnis Tionghoa dengan pemerintah Hindia Belanda, yaitu ketika

VOC mengalami defisit keuangan yang berakibat kesejahteraan pegawai kolonial

Belanda terganggu. VOC kemudian mengeluarkan peraturan kepada etnis Tionghoa

agar membayar sebanyak dua ringgit sebagai tanda atau surat izin dalam berdagang.

Maka terjadilah kerusuhan yang puncaknya pada 19 Oktober 1740 M.158

Peristiwa

itu dikenal dengan Geger Pecinan atau Chinezemoord atau peristiwa Angke.

Kejadian ini terjadi ketika para pribumi bersama VOC melakukan pembantaian

terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka menjarah rumah, gudang logistik, dan

menjarah aset-aset yang dimiliki di Batavia. Diperkirakan bahwa 10.000 manusia

menjadi korban dalam tragedi ini. Setelah terjadi tragedi Chinezemoord, orang-

orang Tionghoa memutuskan untuk menjauhi politik dan hanya berkonsentrasi

untuk kegiatan ekonomi. Bahkan mereka menerima dengan sabar kebijakan-

kebijakan yang dibebankan kepada mereka yang salah satunya dengan mengisolasi

mereka ke dalam perkampungan khusus yang disebut dengan pecinan. Kebijakan ini

diambil sebagai upaya untuk membendung kemungkinan bersatunya orang-orang

Tionghoa dengan pribumi untuk melawan kolonial Belanda.159

Pada masa pemerintahan Belanda, orang-orang Tionghoa Muslim mengalami

kesulitan berkembang karena adanya tekanan dari pihak kolonial. Bahkan, orang-

orang Tionghoa Muslim berpindah agama mengikuti orang-orang kolonial yang

beragama Kristen. Hal ini disebabkan adanya sebuah sikap permusuhan kepada

orang-orang Tionghoa yang menciptakan ketegangan sehingga keamanan menjadi

sebuah yang berharga. Dengan memeluk agama yang sama dengan penguasa

kolonial. Orang-orang Tionghoa beranggapan akan selamat dan mendapatkan

perlindungan serta rasa aman.160

156

D. K. Laksmiwati, Putri Ong Tien Mengarungi Samudra Asmara Meraih Cinta

Sejati Susuhunan Jati Romantika Caruban Nagarai, cet 2, (Yogyakarta: Deepublish, 2014),

h. 12. 157

A. Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,

(Depok: Penerbit Kepik, 2012), h. 7. 158

Priyanto Wibowo, “The 1740 Racial Tragedy and loss off Batavia Sugarcane

Industries”. Paramita, vol. 23, no. 2, 2013, h. 127-136. 159

Afif, Identitas Tionghoa Muslim…, h. 53. 160

L. Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002, (Jakarta: PT. Grafiti

Press, 2005), h. 89.

111

Pada abad ke 18, orang-orang Tionghoa berupaya untuk memulihkan citra

positif mereka sebagai salah satu rekan kerja strategis yang dapat menjaga

kestabilan aktivitas perdagangan. Akan tetapi, pemerintah kolonial memanfaatkan

situasi itu dengan memperalat orang-orang Tionghoa sebagai sumber pendapatan

untuk membiayai pekerjaan kolonial seperti pembuatan jalan, rumah gadai dan

beberapa pembangunan lainnya. Di samping itu, orang Tionghoa menyambut

kesempatan itu untuk memperkaya mereka dan menjalankan roda perekonomian

serta menjaga hubungan baik dan berusaha memeprtahankan hubungan dengan

pihak kolonial.161

Dengan datangnya orang Tionghoa ke Cirebon, mereka melakukan pembauran

dengan masyarakat sekitar. Pembauran orang-orang Tionghoa membuat terjadinya

akulturasi dan asimilasi di masyarakat. Mereka membawa tradisi, tata kehidupan,

serta norma-norma yang berlaku. Mereka tetap teguh dan mempunyai sikap

fanatisme terhadap kepercayaan leluhur. Tionghoa Muslim melakukan aktivitas

ritual keagamaan dan tardisi adatnya masih dipegang kuat. Hal ini merupakan bukti

bahwa mereka masih melakukan penghormatan kepada leluhurnya sekaligus

sebagai momen untuk menjaga keharmonisan sesama keluarga walaupun berbeda

keyakinan. Aktivitas budaya orang Tionghoa dapat dilihat dari Barongsai, perayaan

Imlek dan Cheng Beng, ataupun seperti Tionghoa Muslim yang memperingati

perayaan Idul Adha dan Idul Fitri.

Walaupun sebagai warga pendatang, etnis Tionghoa mempunyai keahlian di

bidang ekonomi dari pada orang-orang pribumi. Mereka kebanyakan mempunyai

sifat ulet, rajin, hemat dan dapat dipercaya ketika berdagang. Mereka sebagian

berprofesi sebagai pedagang di berbagai pusat perdagangan. Meskipun sudah

memeluk Islam, kepercayaan Tri Dharma yang sudah melekat dan sejalan dengan

nilai-nilai Islam tetap dilestarikan yaitu sifat dapat dipercaya sehingga mereka dapat

dipercaya dalam bidang perdagangan.162

161

P. Wibowo, “Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis

tentang Posisi dan Identitas”. In Proceeding of The 4th International Conference on

Indonesian Studies: “Unity, Diversity, and Future”, vol. 13, 2012. 162

P. S. Sopiah, “Inpres No 14 Tahun 1967 dan Implikasinya Terhadap Identitas

Muslim Tionghoa Cirebon”. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol.

5, no. 2, 2017, h. 152-173.

112

113

BAB IV

RELASI SOSIAL-BUDAYA

ETNIS TIONGHOA DAN MASYARAKAT CIREBON

Pembahasan tentang relasi sosial-budaya etnis Tionghoa dan masyarakat

Cirebon erat kaitannya dengan bab-bab sebelumnya, dan mengantarkan kajian ini

pada bab inti pembahasan. Bagian ini secara khusus menjelaskan bagaimana

budaya Cirebon dan corak budaya Tionghoa serta pergumulan antara kedua budaya

tersebut. Pembahasan ini penting disajikan agar kita mendapat gambaran tentang

setting sosial yang terjadi pada saat itu, dan juga corak budayanya, sehingga

penggunaan ornamen-ornamen Tionghoa yang begitu kuat melekat pada beberapa

budaya material di Cirebon dapat dianalisis secara komprehensif.

A. Mengenal Budaya Cirebon

Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan,

tindakan, dan hasil karya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.1 Mengacu

pada definisi tersebut, budaya Cirebon merupakan produk dari cipta, karsa dan rasa

manusia Cirebon. Budaya akan terus berkembang karena akan mengakomodir

semua hal yang berkembang dan hidup di daerah tersebut dan juga budaya yang

datang. Budaya Cirebon dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh agama

Islam. Berbagai praktek ritual dari adat Cirebon diwarisi turun temurun dan

dilestarikan sampai sekarang oleh masyarakat Cirebon. Di antara adat yang masih

dilestarikan dan bisa disaksikan adalah Suroan, Saparan, Mauludan,2 Rajaban,

Ruwahan, Syawalan,3 Slametan,

4 Khitanan dan lain sebagainya. Beberpa tradisi

tersebut dianggap oleh masyarakat Cirebon sebagai bagian dari ritual tambahan

yakni ritual agama Islam.

Ritual tambahan sebagaimana di atas, bukan termasuk ibadah dalam makna

yang sempit. Yani mengatakan simbol-simbol budaya itu hanya dimengerti oleh

masyarakat yang bersangkutan, karena pada dasarnya kebudayaaan itu merupakan

reaksi manusia terhadap lingkungannya dan masalah yang dihadapinya. Setiap

daerah atau negara memiliki budaya masing-masing yang mungkin berbeda atau

sama dengan daerah lainnya. Sebagai contoh pemeluk agama yang sama, namun

1Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Yogyakarta: 1981), h. 180-181.

2E. Wijayanto & S. R. Soekarba, ―The Cultural Evolution of Local Islamic Values on

the Muludan Tradition in Cirebon: A Memetics Perspective‖. International Review of

Humanities Studies, vol. 4, no. 2, 2019.; M. Yusuf, ―When Culture Meets Religion: The

Muludan Tradition in the Kanoman Sultanate, Cirebon, West Java‖. Al Albab-Borneo

Journal of Religious Studies (BJRS), vol. 2, no. 1, 2013. 3A. Afghoni, ―Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan di

Makam Gunung Jati Cirebon)‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 13, no. 1, 2017,

h. 48-64. 4B. Busro & H. Qodim, ―Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di

Cirebon, Indonesia‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 14, no. 2, 2018, h. 127-147.

114

dalam melaksanakan ajaran agamanyabukan ibadah mahdhahberbeda-beda

karena pengaruh budaya lokal masing-masing daerah.5

Cirebon secara semiotik berasal dari kata Caruban. Di dalam naskah Purwaka

Tjaruban Nagari kata Caruban tertulis secara eksplisit yang artinya campuran.

Cirebon dari sejak awal sudah didesain sebagai salah satu pusat masyarakat dan

kebudayaan Islam. Itu dilakukan Ki Somadullah atau lebih populer sebagai

Pangeran Cakrabuana yang mewarisi jabatan Kuwu dari mertuanya atas instruksi

dan perintah dari gurunya Syekh Nurjati. Dengan demikian di bawah bimbingan

Syekh Nurjati, para penguasa Cirebon sudah sejak awal membangun struktur

masyarakat berbasis ajaran Islam, menerapkan hukum Islam meski dengan segala

keterbatasan, membangun basis politik Islam, dan membangun kebudayaan lokal

yang telah mengalami banyak penyesuaian dengan prinsip dan ajaran Islam.

Budaya Cirebon adalah merupakan produk dari cipta, karsa dan rasa

masyarakat Cirebon. Budaya Cirebon khas dan unik, berbeda dengan budaya

lainnya meskipun dari sumber mungkin hampir atau bahkan sama. Sebagai bagian

dari produk sejarah, tentunya harus disadari dalam transmisi mengalami proses

negosiasi dan adaptasi dari waktu ke waktu. Sebagaimana dalam banyak literatur,

budaya Cirebon adalah hasil akulturasi budaya Jawa, Sunda, Tionghoa dan Islam

secara harmonis dan menawan. Kehidupan masyarakat Cirebon berjalan dengan

damai dan tertib berlandaskan prinsip toleransi dan harmonisasi yang

divisualisasikan dalam berbagai wujud budaya material maupun non material.

Cirebon sebagai pelabuhan internasional bisa dikatakan sebagai melting pot

berbagai kebudayaan negara yang pernah berlabuh. Ragam suku, etnis, agama dan

budaya yang berkembang sejak awal munculnya di Nusantara khususnya Cirebon

berimplikasi bagi lahirnya ragam budaya dan produknya sebagaimana tergambar

pada budaya kesenian, tradisi keagamaan, hingga kuliner. Selain itu, hubungan

antara etnis Tionghoa dan Kesultanan Cirebon mengakibatkan terjadinya

pembauran budaya yang dipresentasikan dalam benda-benda bersejarah yang sarat

dengan ornamen Tionghoa. Sebagai Kesultanan Islam, pada perkembangannya

nilai-nilai Islam sangat mewarnai budaya Cirebon.

Islam merupakan elemen utama dalam proses pembentukan identitas budaya

Cirebon dan perkembangannya. Ambary mengatakan bahwa tamaddun Islam

memberikan kontribusi penting terhadap penampakan dan kenampakan keragaman

dan keunikan budaya Cirebon.6 Berbeda jika dibandingkan peran Islam dalam

konteks kebudayaan lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Islam berperan sangat

kecil dalam proses pembentukan dan pengembangan budaya lokal. Hal itu terjadi

karena sebelum Islam hadir di kedua tempat itu, sudah ada budaya dan tradisi lokal

yang sangat dominan dan berpengaruh pada masyarakat setempat. Artinya, nilai-

nilai dan prinsip lokal sudah lebih dulu mengakar kuat sebelum datangnya agama-

5A. Yani, ―Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton

Cirebon. Holistik, vol. 12, no. 1, 2011, h. 181-196. 6H. M. Ambary, ―Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran

Islam‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Kementerian

Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996), h. 44.

115

agama, termasuk Islam. Agama-agama yang datang tidak menghilangkan nilai dan

prinsip-prinsip kejawaan mereka.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Islam berperan penting dalam proses

pembentukan budaya Cirebon. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa

Islam yang ditampilkan adalah Islam yang terbuka, fleksibel, dan menerima adat

istiadat lokal. Di sini prinsip Islam dibahasakan dengan bahasa dan cara pandang

lokal, tetapi tidak kehilangan nilai dan prinsipnya. Hal itu terlihat pada wayang, tari,

gamelan7 dan sebagainya yang banyak dipengaruhi oleh wacana keislaman.

8

Peta politik Cirebon ikut berperan dalam menentukan warna dan wajah budaya

Cirebon. pada masa Sunan Gunung Jati hingga Panembahan Ratu, kedudukan dan

wibawa Cirebon sangat dihormati oleh banyak daerah, teutama Banten dan

Mataram.9 Pasca Sunan Gunung Jati, telah terjadi banyak perubahan disebabkan

konflik internal maupun intervensi eksternal. Pada masa Panembahan Ratu tidak

berbeda jauh dengan masa Sunan Gunung Jati, meski dapat ditemui perbedaan

dalam beberapa aspek. Panembahan Ratu digambarkan sebagai sosok yang soleh,

mencintai kehidupan sufistik dan berwatak Waliyullah. Untuk itu ia tetap

mempertahankan kehidupan agama yang ―asli‖ sebagaimana yang diamalkan

buyutnya, seperti mempertahankan kebiasaan untuk tetap salat Jumat dan salat Idul

Fitri di Masjid Agung Cipta Rasa, serta salat Idul Adha di Masjid Astana di

kompleks pemakaman Gunung Jati.10

Pasca pecahnya Kesultanan Cirebon pada 1677, Vereenigde Oost-Indische

Compagnie (VOC) mulai memanfaatkan kondisi tersebut dan menanamkan

pengaruhnya. VOC dengan mudah memengaruhi para sultan yang terus berseteru,

sehingga para sultan meminta VOC untuk menjadi mediator dalam menyelesaikan

konflik internal mereka. Situasi semakin memburuk dengan berhasilnya VOC

memaksakan perjanjian dengan semua kekuatan politik di Cirebon untuk menjadi

penguasa pelabuhan sekaligus memonopoli perdagangan. Bahkan, setelah berhasil

memperkuat monopoli dan basis ekonominya, VOC juga memperkuat intervensi

politik dengan cara mengambil peran dalam menentukan jabatan-jabatan strategis

dalam kesultanan termasuk tentang posisi sultan. Para sultan tidak lagi memiliki

otoritas politik, melainkan tidak lebih sebagai simbol budaya dan agama. VOC

menempati status sosial yang sejajar dengan sultan dan keluarganya, bahkan pejabat

VOC merasa kedudukannya lebih tinggi dibanding sultan dengan status mereka

yang mulai melemah.11

7H. J. Spiller, ―Basic Gamelan Concepts in the Music of Cirebon‖. In Focus: Gamelan

Music of Indonesia, (Routledge, 2010), h. 59-86. 8D. N. Rosyidin dkk., Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2013), h. 197. 9Ambary, ―Peranan Cirebon…, h. 39.

10D. N. Rosyidin, ―Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam

Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18‖. Jurnal Sosiologi Walisongo (JSW), vol. 1,

no. 2, 2017, h. 77-194. 11

F. T. Deviani, ―Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan

Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)‖. Tamaddun, vol. 4, no. 1,

2016, h. 123-146.

116

Pengaruh VOC yang demikian kuat pada Kesultanan Cirebon berdampak besar

pada eksistensi sultan, serta memengaruhi semua aktivitas masyarakat Cirebon

termasuk kondisi sosial dan budaya. Masyarakat Cirebon yang mayoritasnya

beragama Islam dan mempunyai budaya keraton yang kental, mengalami sedikit

banyak perubahan ketika VOC menguasai wilayah Cirebon. Perubahan itu tidak

hanya terjadi di lingkungan keraton, tetapi juga masyarakat umum baik yang tinggal

di pedalaman maupun pesisir mengalami perubahan sosial dan budaya. Budaya

keraton tidak lagi pure berasal dari tradisi masa lalu, tetapi sudah banyak

dipengaruhi oleh budaya Eropa yg diperkenalkan oleh VOC. Sultan Kasepuhan dan

Kanoman secara sengaja banyak mengadopsi budaya Barat seperti pola perilaku,

tata cara dan model infrastruktur ala Eropa kedalam lingkungan keraton. Akibatnya,

terjadi gap budaya antara budaya keraton yang sudah ―diwarnai‖ Eropa dan budaya

masyarakat umum yang masih sederhana dan cenderung egaliter. Dalam konteks

itu, menurut analisa penulis wibawa keraton menjadi menurun, sekaligus salah satu

penyebab Pangeran Kusumajaya melakukan pemberontakan sebagai bentuk kritik

kepada para sultan.

Cirebon yang bercorak Kesultanan Islam dan memiliki penduduk yang

mayoritas Islam mengalami beberapa perubahan, terutama budaya Cirebon ketika

berada di bawah dominasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Perubahan

budaya tersebut terjadi di hampir seluruh aspek kebudayaan Cirebon, yang ditandai

dengan adanya pengaruh budaya asing Eropa di berbagai peninggalan keraton

(infrakstruktur), di samping budaya non fisik yang melekat pada kekuasaan sultan

dalam hal pola perilaku dan pengambilan keputuasan. Kalau kita mengacu pada

teori kebudayaan Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur, yakni

bahasa, sistem pengetahuan, organisasi politik, sistem peralatan hidup dan

teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.12

Maka,

penulis melihat beberapa unsur budaya tersebut, juga ikut mengalami perubahan.

Pertama, perubahan dalam budaya organisasi politik. Sebelum kesultanan

terbagi menjadi dua, struktur pemerintahan dipegang oleh seorang sultan sebagai

penguasa tertinggi yang memiliki tugas pokok menjalankan roda pemerintahan.

Sultan biasa dibantu oleh para petinggi kesultanan yang notabene adalah keluarga

atau memiliki garis keturunan dari keluarga Sultan. Namun, ketika VOC menguasai

Cirebon, struktur pemerintahan mengalami perubahan. Aktivitas sultan diawasi oleh

mantri bentukan VOC. Kedudukan sultan sejajar dengan VOC, bahkan secara de

facto kedudukannya di bawah pejabat VOC. Segala kebijakan dan keputusan sultan

harus sepengetahuan dan seijin VOC. Begitu juga sultan dan seluruh masyarakat

Cirebon harus siap menaati setiap aturan dan kebijakan yang sudah ditetapkan

VOC.13

Kedua, perubahan dalam bidang teknologi dan peralatan hidup. VOC

memperkenalkan saluran air, tempat pembuangan sampah dan limbah kotoran,

pembuatan WC dan pemandian umum. Sehingga Cirebon menjadi lebih bersih dan

12

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 203-204. 13

Deviani, ―Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial

Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)‖, h. 123-146.

117

sehat lingkungannya.14

Menurut Hardjasaputra, awalnya VOC menyediakan air

bersih itu untuk kapal-kapal yang datang ke Cirebon. Penyediaan air bersih itu

diwujudkan pada tahun 1809-1815 dengan dibuatnya saluran air dari sungai Cipager

ke sisi barat Cirebon dan ditampung di bendungan di daerah pasar Balong dan

dialirkan ke pelabuhan. Di samping itu, bahan material yang digunakan untuk

membuat rumah juga mengalami perubahan. Masyarakat Cirebon awalnya

menggunakan bambu kemudian bergeser menggunakan batu dan kayu untuk

membangun temboknya.15

Ketiga, perubahan sistem mata pencaharian. Sebagai kota pelabuhan, banyak

masyarakat Cirebon yang bekerja sebagai nelayan. Mereka menangkap udang untuk

dijadikan terasi dan petis sebagai olahan khas Cirebon. Selain itu, mereka juga

menagkap ikan dan membuat garam.16

Namun, ketika VOC berkuasa dan

menerapkan sistem tanam paksa, maka banyak dari masyarakat yang beralih

menjadi petani. Masyarakat dipaksa untuk menanam hasil pertanian yang laku di

pasaran untuk dijual kembali. VOC lebih menekankan perdagangan dari pada hasil

laut. 17

Keempat, perubahan dalam bidang keagamaan. Kegiatan dakwah dan syiar

Islam mengalami penurunan drastis karena VOC melarang para kyai untuk

melakukan syiar Islam. Aktivitas mubalig di bawah pengawasan VOC, akibatnya

mereka tidak bisa secara leluasa melakukan dakwahnya. Kegiatan dakwah

mengalami penurunan, akibatnya syiar Islam ke wilayah pedalaman mengalami

kendala yang sangat berarti pada saat itu.18

Kelima, perubahan dalam bidang kesenian. Misalnya dalam motif batik

Cirebon. Motif khas batik Cirebon adalah mega mendung yaitu corak berbentuk

awan dan degradasi warna yang menarik. Kehadiran VOC di Cirebon membuat

motif batik menjadi lebih berwarna. Kalau sebelumnya hanya ada motif mega

mendung dan motif Tionghoa, mulai muncul motif kompeni. Adapun ciri motif

kompeni biasanya bergambar tentara kompeni membawa senjata laras panjang atau

senapan, ada juga tentang kehidupan petani dan pedagang.19

Namun, hasil

14

S. T. Sulistiyono, ―Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut

Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai

Bandar Jalur Sutra (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996), h. 139. 15

A. S. Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga

Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa

Barat, 2011), h. 122. 16

Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 76. 17

E. P. Hendro, ―Perkembangan Morfologi Kota Cirebon dari Masa Kerajaan Hingga

Akhir Masa Kolonial‖. Paramita, vol. 24, no. 1, 2014, h. 17-30.; Wahyu Iryana,

―Perjuangan Rakyat Cirebon-Indramayu Melawan Imperialisme‖. At-Tsaqafah, vol. 17, no.

2, 2020, h. 373-381. 18

A. S. Hardjasaputra dan T. Haris, (ed.), Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15

Hingga Pertengahan Abad ke-20), (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi

Jawa Barat, 2011), h. 124-125. 19

A. Nursalim, T. R. Rohidi, T. Triyanto, & S. Iswidiarti, ―Batik Wadasan Motif, Past

and Present‖. In Proceeding of International Conference on Art, Language, and Culture,

2017. h. 215-225.; A. S. Patria, ―Dutch Batik Motifs: The Role of The Ruler and The Dutch

Bussinesman‖. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, vol. 16, no. 2, 2016, h.

118

penelitian Yani menjelaskan bahwa dalam produk budaya-budaya yang ada di

keraton-keraton Cirebon, pengaruh Islam begitu kuat dan terlihat dalam wujud

budaya fisik maupun pada teks-teks yang tertulis. Teks-teks yang tertulis pada

benda-benda fisik tersebut pada umumnya merupakan penggalan-penggalan ayat al-

Quran seperti yang terlihat dalam bendera kebesaran Cirebon dan piring besar yang

senantiasa dipanggul pada acara panjang jimat.20

Hasil perilaku dan adaptasi manusia umumnya tergambar pada sisa-sisa

bangunan yang ditinggalkan. Adaptasi ialah suatu proses, dan melalui proses itu

hubungan-hubungan yang saling menguntungkan antara suatu organisme dan

lingkungannya dibangun dan dipertahankan.21

Sisa-sisa bangunan di Kesultanan

Cirebon menggambarkan adanya pengaruh unsur-unsur dari suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Hal ini memberikan

gambaran kemungkinan adanya kontak budaya antara budaya Tionghoa dan budaya

Cirebon. Keadaan ini diperkuat dengan informasi yang tertulis di dalam Purwaka

Caruban Nagari yang menjelaskan bahwa pada tahun 1415 Cheng Ho dan

pasukannya mendarat di pelabuhan Cirebon.22

Budaya Cirebon yang begitu kaya merupakan hasil proses difusi, akulturasi

dan asimilasi yang berlangsung sangat lama dan intens dari berbagai kebudayaan

yang berasal dari berbagai etnis dan bangsa yang mendiami kota bersejarah ini.

Interaksi antar komunitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menghasilkan

proses pembauran yang berkualitas dan alamiah, pembauran yang meliputi berbagai

dimensi kehidupan. Pembauran yang lama dan terus menerus menghasilkan suatu

masyarakat multikultural. Dengan demikian, penulis melihat budaya Cirebon

muncul dengan karakteristik yang unik.

B. Corak Budaya Tionghoa

Sebelum penulis menjelaskan tentang budaya Tionghoa, penulis terlebih

dahulu akan menguraikan tentang sejarah sebutan Tionghoa. Eddy Lembong

menjelaskan bahwa berdasarkan teks pidato Prof. Dr. A.M. Cecilia Hermina Sutami

pada tanggal 15 oktober 2008 menjelaskan bahwa kata ―Cina‖ berasal dari bahasa

Sansekerta yang berarti ―Daerah yang sangat jauh‖. Cecillia juga mengatakan

bahwa kata ―China‖ sudah ada dalam buku Mahabharata sekitar tahun 1400 SM.

125-132.; T. Borshalina, ―Development of Entrepreneurship and Sustainable Innovation in

Indonesian Small and Medium Enterprises (Study on Trusmi Batik SMEs in Cirebon, West

Java, Indonesia)‖. The 11th Asian Academy of Management International Conference 2015,

(Universiti Sains Malaysia, APEX, Asian Academy of Management, Majelis Profesor

Negara, Yayasan Pahang, 2015). 20

O. I. Hariyanto, ―The Meaning of Offering Local Wisdom in Ritual Panjang

Jimat‖. International Journal of Scientific & Technology Research, vol. 6, no. 6, 2017. 21

D. L. Hardesty, ―The Use of General Ecological Principles in Archaeology‖. In

Advances in Archaeological Method and Theory, vol. 3, (New York: Academic Press,

1980), h. 157-187. 22

Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972).;

Lihat juga Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores

(1433).Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‘eng Chun, (Cambridge: The

University Press for the Hakluyt Society, 1970), h. 23.

119

Lebih lanjut Eddy Lembong juga mengatakan bahwa dalam sebuah konferensi yang

diikutinya, Prof. Wang Gungwu menegaskan bahwa orang-orang Cina sendiri tidak

pernah menggunakan istilah ―Cina/China‖. Istilah Cina/China mulai diperkenalkan

oleh bangsa-bangsa Barat di Nusantara sejak awal abad ke-17. Pada awalnya istilah

Cina/China tidak berkonotasi buruk, namun dengan kebijakan penerapan politik

Devide Et Impera yang dicanagkan oleh Belanda, akhirnya istilah itu mengalami

pergeseran makna dan memiliki konotasi yang buruk. Pada awal abad ke-20, Koran

Sin Po yang mewakili orang-orang Cina mengadakan gentleman agreement dengan

para pemuka pergerakan untuk tidak lagi menggunakan istilah Cina/China dan

menggantinya dengan istilah Tionghoa. Itulah sebabnya semua dokumen historis

seperti UUD 1945 dan sebagainya, menggunakan istilah Tionghoa dan bukan

Cina/China. Namun, pasca peristiwa G30SPKI, terbit Surat Edaran Presidium

Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967, maka istilah

Cina/China resmi digunakan kembali.23

Peristiwa G30SPKI 1965 berimbas pada eksistensi etnis Tionghoa di

Indonesia. Sejak peristiwa itu pemerintah menutup seluruh surat kabar dan sekolah

yang berbahasa Mandarin. Seperangkat aturan yang cenderung rasispun dikeluarkan

pemerintah di masa Orde Baru, antara lain diharuskannya orang-orang Tionghoa

untuk mengganti nama mereka menjadi lebih Indonesia, serta dilarang merayakan

hari raya orang Tionghoa termasuk juga agama orang-orang Tionghoa. Jadi, pada

masa Orde Baru tidak ada lagi perayaan besar-besaran ketika hari raya Tionghoa

tiba. Akibatnya, generasi muda Tionghoa tidak lagi mengetahui tradisi kebudayaan

leluhur mereka.

Kalau diperhatikan lampiran foto dalam buku Peradaban Tionghoa Selayang

Pandang karya N. J. Lan, menurut penulis sebenarnya Lan ingin menjelaskan

bahwa sebelum masa Orde Baru, etnis Tionghoa dapat melaksanakan penutupan

Tahun Baru Imlek dengan sangat meriah. Uraian Nio tentang kuil-kuil Tionghoa

yang usianya ratusan tahun secara implisit menggambarkan bahwa sebelum masa

Orde Baru, etnis Tionghoa dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan

masyarkat sekitar tanpa masalah.24

Namun, berbagai kebijakan diskriminatif

pemerintah di tahun 1966-1967 terhadap etnis Tionghoa membuat hampir semua

bentuk kebudayaan Tionghoa lumpuh, walaupun secara ekonomi tampak

dimanjakan, namun dalam hal kebudayaan mereka dipasung.25

Barulah, sejak ditandatangani Kepres Nomor 12 tanggal 14 Maret 2014, maka

surat edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28

Juni 1967 resmi dicabut dan tidak berlaku. Dengan berlakunya Kepres Nomor 12

tahun 2014, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan,

penggunaan istilah orang atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang

23

Diambil dari: http://www.nabilfoundation.org/artikel/9/istilah-cina-china-dan-

tionghoa . (Diakses pada 30 November, 2020). 24

Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia, 2013), h. 204. 25

M. Herwiratno, ―Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan

Kebudayaan Tionghoa di Indonesia‖. Lingua Cultura, vol. 1, no. 1, 2007, h. 78-86.

120

atau komunitas Cina. Sementara untuk penyebutan negara Republik Rakyat China

diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.26

Kebudayaan Tionghoa mempunyai tiga pilar utama, yaitu pers berbahasa

Tionghoa, sekolah-sekolah menengah Tionghoa dan organisasi-organisasi etnis

Tionghoa. Tiga pilar utama itu pada masa Soeharto dihapuskan dengan kebijakan

asimilasinya. Kebijakan Soeharto ini juga membuat orang Tionghoa secara

kebudayaan menjadi ―kurang Tionghoa‖. Kebijakan asimilasi itu berjalan kabur,

dan bahkan kadang-kadang kebijakan politik Soeharto malah cenderung anti

asimilasi. Contohnya adalah pembedaan antara pribumi dan non pribumimembuat

jarak dan sekat itu semakin terlihat, yang justru bertentangan dengan kebijakan

asimilasi yang digalakkan.

Ketika rezim pemerintah berganti, dan BJ Habibi menggantikan Presiden

Soeharto, pintu demokrasi semakin terbuka lebar. Tidak hanya itu, Habibi juga

sangat mengapresiasi bangsa Tiongkok sebagaimana dalam republika.co.id, Habibi

menyatakan bahwa ―hadiah terbesar bangsa Cina (Tiongkok) ke Indonesia adalah

agama Islam‖.27

Bahkan Gus Dur mengatakan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari

tiga ras (Melayu, Austro-Melanesia dan China), sehingga tidak ada keturunan

masyarakat asli. Ketiga ras tersebut yang membentuk kebangsaan Indonesia, bahkan

Gus Dur sendiri adalah keturunan sebagian China dan sebagian Arab.28

Dengan

terbukanya pintu demokrasi di masa Habibi, kebijakan asimilasi Soeharto perlahan-

lahan mulai ditinggalkan dan kebijakan yang lebih pluralis mulai diterapkan

terhadap etnis Tionghoa. Sehingga pada akhirnya, tiga pilar budaya Tionghoa

sebagaimana penulis sebutkan di atas mulai diizinkan kembali sekalipun belum

sepenuhnya.29

Kebudayaan Tionghoa adalah salah satu peradaban tertua di bumi.30

Kebudayaan ini dikenal sejak awal peradaban dunia. Kebudayaan Tionghoa adalah

seluruh hasil cipta, karya serta produk budaya yang dilahirkan masyarakat

Tionghoa, baik masyarakat Tionghoa asli maupun peranakan yang sudah menetap

beberapa generasi di negara lain. Adapun kebudayaan Tionghoa Indonesia adalah

suatu tradisi atau kebiasaan yang hidup dan berkembang serta dipraktekkan oleh

etnis Tionghoa di Indonesia melalui proses penyesuaian dengan budaya lokal

setempat. Ada tiga ajaran yang banyak dipengaruhi oleh kebudyaan Tionghoa, yaitu

26

Kemenkumham, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

Pengesahan Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China Tentang

Ekstradisi (Treaty Between The Republic of Indonesia and the People’s Republic of China

on Extradition), (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016). 27

―Hadiah Terbesar Bangsa Tiongkok ke Indonesia adalah Agama Islam‖. Didapatkan

dari: https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/13/09/27/mtrx43-habibie-

hadiah-terbesar-bangsa-cina-ke-indonesia-adalah-islam. (Diakses tanggal 17 Agustus 2020). 28

Ali Mustajab, ―Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap China Tionghoa di Indonesia‖.

IN RIGHT, vol. 5, no. 1, 2015, h. 153-193. 29

L. Suryadinata, ―Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari

Asimilasi Ke Multikulturalisme ?‖. Antropologi Indonesia, no. 71, 2003, h. 1-12. 30

C. Gan, ―Archaeological Finds and Origins of Chinese Civilization‖. In A Concise

Reader of Chinese Culture, (Singapore: Springer, 2019), h. 1-19.

121

ajaran Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme.31

Ketiga ajaran tersebut dijadikan

masyarakat Tionghoa sebagai landasan dan pedoman dalam berperilaku dan

mengatur tata kehidupan mereka sehari-hari.32

1. Taoisme

Masyarakat Tionghoa meyakini Taoisme sebagai ajaran yang bisa

mendatangkan keberkahan dalam kehidupan manusia. Mereka mengamalkan ajaran

Tao dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjadikan ajaran Lao Tze sebagai

pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara, serta dalam hal memimpin dan

manajemen. Dalam manajemen Tao misalkan, manusia diajarkan agar kreatif, dan

kreativitas itu menjadi salah satu budaya Tionghoa yang masih bisa disaksikan

sampai sekarang.33

Secara historis, Taoisme merupakan ajaran yang berkembang sejak 300 SM.

dibawa oleh Lao Tzu. Melalui ajaran ini Lao Tzu mengatakan seluruh jagad alam

raya dan isinya merupakan manifestasi dan refleksi dari Tao yang sempurna. Semua

aksi yang dijalankan manusia merupakan pemberian Tao. Dengan kata lain, Tao

adalah segala-galanya dalam kehidupan. Lao Tzu menulis sebuah buku Tao te

Ching, sebuah buku hikmat yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup

masyarakat Tionghoa. Buku tersebut terdiri atas tiga topik, yaitu: 1) Hukum alam,

berisi penjelasan tentang bagaimana segalanya terjadi. 2) Cara hidup, memuat

penjelasan tentang bagaimana caranya hidup dalam keharmonisan yang disadari

dengan hukum alam. 3) Metode kepemimpinan, berisi penjelasan tentang

bagaimana caranya memerintah atau mendidik orang lain menurut hukum alam.34

Pada dasarnya, ajaran Taoisme sebagaimana yang diamalkan etnis Tionghoa

sangat menekankan keselarasan perkembangan unsur-unsur fisik, sosial dan

spiritual serta kesadaran diri dalam kehidupan sehari-hari.35

Manusia diajarkan

31

Q. H. Vuong, Q. K. Bui, V. P. La, T. T. Vuong, V. H. T. Nguyen, M. T., Ho,... & M.

T. Ho, ―Cultural Additivity: Behavioural Insights from the Interaction of Confucianism,

Buddhism and Taoism in Folktales‖. Palgrave Communications, vol. 4, no. 1, 2018, h. 1-

15.; H. Liang, ―Jung and Chinese Religions: Buddhism and Taoism‖. Pastoral

Psychology, vol. 61, no. 5-6, 2012, h. 747-758.; L. Silong, ―Threes Types of Confluence

among Confucianism, Buddhism and Taoism‖. Journal of Peking University (Philosophy &

Social Sciences), vol. 2, 2011. 32

L. Hao, ―Goodness: The Ultimate Integration of Confucianism, Buddhism and

Taoism in China‖. In Proceedings of the XXIII World Congress of Philosophy, vol. 12,

2018, h. 143-147. 33

Y. U. A. N. Ming-ze, ―A Survey on the Relationship History between Buddhism and

Taoism in Southeast Guangxi‖. Journal of Yulin Normal University, no. 1, 2016, h. 5. 34

F. Yang, ―Taoist wisdom on individualized teaching and learning—Reinterpretation

through the perspective of Tao Te Ching‖. Educational Philosophy and Theory, vol. 51, no.

1, 2019, h. 117-127.; M. Daoshan, ―The Distribution and Feature Checking of Interrogative

Sentences in Tao Te Ching‖. Linguistics, vol. 4, no. 6, 2016, h. 230-236.; Y. Tang, ―On the

Dao De Jing (Tao Te Ching)‖. In Confucianism, Buddhism, Daoism, Christianity and

Chinese Culture, (Berlin, Heidelberg: Springer, 2015), h. 153-157. 35

Y. Guoqing, ―History of Taoism‖. Rituals and Practices in World Religions: Cross-

Cultural Scholarship to Inform Research and Clinical Contexts, vol. 5, 2019, h. 99-112.; N.

122

bagaimana bisa hidup secara harmonis dengan manusia lain dan alam. Menurut

ajarannya, manusia baru dapat mengelola alam setelah dia dapat hidup bersahabat

dengan alam. Jika dilihat dari perspektif Islam, maka ini berkaitan dengan tugas

manusia sebagai khalifah (wakil Allah di bumi)36

sebagaimana dalam al-Qur‘an

surat Al-A‘raf [7] ayat 56. Ayat ini menjelaskan bahwa sebagai khalifah, manusia

diberi tugas untuk membangun, mengelola dan memakmurkan alam sesuai dengan

kehendak Allah. Jadi, dalam menjalankan fungsinya manusia harus bisa bersahabat

dengan alam dan tidak merusaknya.

2. Konfusianisme

Ajaran kedua setelah Taoisme adalah Konfusianisme. Ajaran ini dibawa oleh

Konghucu, serta lahir dan berkembang di Tiongkok.37

Banyak orang Tionghoa, baik

yang berada di Tiongkok maupun perantauan mengikuti ajaran Konghucu. Ajaran

ini sangat popular dan banyak mendapat pengikut dibanding ajaran lainnya. Ajaran

Konghucu dan budaya Tionghoa sempat ―dibekukan‖ selama masa Orde Baru.38

Namun, pasca reformasi, ajaran ini dihidupkan kembali untuk dianut oleh

masyarakat, bahkan budaya Tionghoa boleh ditampilkan kembali di depan umum.

Dalam praktiknya, ajaran Konfusius mengatur moral kehidupan manusia, baik

hubungan manusia dengan sesamanya seperti hubungan keluarga, suami-istri, anak-

anak, juga mengatur hubungan antara negara dan masyarakat. Salah satu di antara

ajaran Konghucu adalah yang berkaitan dengan etika, mereka menyebutnya Sang

Kang (tiga hubungan tata krama), yaitu hubungan seorang raja dengan menterinya

atau hubungan atasan dan bawahan, hubungan ayah dengan anak, serta hubungan

suami dan istri.39

Ajaran Konghucu sangat menekankan prinsip kemanusiaan. Manusia harus

kembali pada sifat kemanusiaannya yang sejati agar sejahtera lahir batin dan

beradab. Sama halnya dengan ajaran moral Konfusius yang juga mengajarkan

keharmonisan dengan sesama manusia, terutama antara anak dan orang tua. Seorang

anak harus hormat dan tunduk pada orang tua bagaimanapun kondisi orang tua. Jati

diri seorang anak dibuktikan dari kepatuhannya pada orang tua. Begitu pula

hubungan atasan dan bawahan, raja dan rakyatnya diatur dalam Konghucu.40

Di

K. Okoro, ―Oriental Traditions [Taoism]: A Critical Option for Peace Building Initiative in

the Contemporary Society‖. Journal of Social Research, vol. 1, no. 4. 2017. 36

C. Kersten, ―The Caliphate‖. In Oxford Research Encyclopedia of Religion, 2019.; A.

Alajmi, ―‗Ulama and Caliphs New Understanding of the ―God's Caliph‖ term‖. Journal of

Islamic Law and Culture, vol. 13, no. 1, 2011, h. 102-112. 37

T. A. Wilson, ―Culture, Society, Politics, and the Cult of Confucius‖. On Sacred

Grounds: Culture, Society, Politics, and the Formation of the Cult of Confucius, 2020, h. 7. 38

T. E. Muas, ―Restoring Trusts without Losing Face: An Episode in the History of

China–Indonesia Relationship‖. Tawarikh, vol. 6, no. 2, 2015.; M. S. Heidhues, ―Studying

the Chinese in Indonesia: A long half-century‖. SOJOURN: Journal of Social Issues in

Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 601-633. 39

X. I. E. Yuhan, & G. E. Chen, ―Confucius‘ Thoughts on Moral Education in

China‖. Cross-Cultural Communication, vol. 9, no. 4, 2013, h. 45-49. 40

L. Bi, J. Ehrich, & L. C. Ehrich, ―Confucius as Transformational Leader: Lessons for

ESL Leadership‖. International Journal of Educational Management, vol 26, no. 4, 2012,

123

samping prinsip etika,41

Konghucu juga mengajarkan lima sifat mulia yang biasa

disebut Wu Chang yang harus dimiliki manusia, yaitu: 1) Ren/Jen; cinta kasih, rasa

kebenaran, kebajikan, tahu diri, halus budi pekerti, rasa tepo seliro dan dapat

menyelami perasaan orang lain. 2) I/Gi; rasa solidaritras, senasib sepenanggungan

dan membela kebenaran. 3) Li/Lee; sopan santun, tata krama dan budi pekerti. 4)

Ce/Ti; bijaksana atau kebijaksanaan, pengertian dan kearifan. 5) Sin; kepercayaan,

rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain, serta dapat memegang janji dan

menepati janji.42

3. Buddhisme

Agama Buddha (Buddhism) adalah sebuah ajaran yang banyak dianut oleh

etnis Tionghoa di negeri mereka, juga di perantauan. Secara historis, agama Buddha

merupakan warisan peradaban kuno dari India. Ajaran agama ini mengajarkan agar

menjunjung tinggi dan menghargai hak asasi wanita sekaligus menghilangkan

kasta-kasta yang ada pada masa itu. Di samping itu, ajaran Buddha juga sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Ajaran Buddha menekankan kefanaan pada semua benda. Khayalan, ketidak-

kekalan, dan sifat tidak sejati dari keakuan, serta persamaan dan persaudaraan

semua makhluk. Menurut ajaran ini, jalan untuk sampai pada Sang Buddha itu tidak

mudah, butuh perjuangan dan kerja keras, serta disiplin, yakni melalui meditasi dan

perenungan yang tinggi sekaligus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Menjaga hubungan yang baik dan mengembangkan cinta kasih di antara sesama

manusia agar terwujud hubungan yang harmonis.43

Ajaran Buddha juga sangat

menekankan kebebasan berfikir yang implikasinya adalah sangat menghargai dan

menghormati semua ajaran agama yang ada. Sikap menghormati ini merupakan

manifestasi dari spiritual yang tinggi.44

Pengaruh Buddhisme pada masyarakat Tionghoa dapat dilihat dalam praktik

meditasi, hidup disiplin, dan hubungan baik sesama manusia, terutama dengan

sesama etnis Tionghoa. Demikian juga kasih sayang sesama keluarga dan saling

membantu antara teman merupakan perwujudan dari pengaruh Buddhisme dan

391-402.; S. S. Wah, ―Confucianism and Chinese Leadership‖. Chinese Management

Studies, vol. 4, no. 3, 2010, h. 280-285. 41

X. Ke, ―Person-making and Citizen-Making in Confucianism and their Implications

on Contemporary Moral Education in China‖. Re-envisioning Chinese Education: The

Meaning of Person-making in a New Age, (London: Routledge, 2015), h. 116-129. 42

D. N. Anna, ―Konghucu di Korea Kontemporer dan Sumbangannya Terhadap

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia‖. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, vol. 12, no. 2,

2016, h. 239-254. 43

S. Y. Wang, Y. J. Wong, & K. H. Yeh, ―Relationship Harmony, Dialectical Coping,

and Nonattachment: Chinese Indigenous Well-being and Mental Health‖. The Counseling

Psychologist, vol. 44, no. 1, 2016, h. 78-108.; G. Xing, ―Conflict and Harmony between

Buddhism and Chinese Culture‖. International Journal of Buddhist Thought and

Culture, vol. 25, 2015, h. 83-105. 44

F. Hassan, ―A Comparative Approach to Common Ground between Buddhism and

Islam‖. European Journal of Scientific Research, vol. 71, no. 4, 2012, h. 514-519.

124

Konfusianisme.45

Ketiga ajaran yakni Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme

sangat mewarnai kehidupan etnis Tionghoa, baik di negeri mereka maupun

perantauan. Hingga kini, ketiga ajaran tersebut telah melekat dalam kehidupan

orang Tionghoa.

Kebudayaan dan peradaban Tiongkok dimulai dari sungai kuning. Bangsa

Tiongkok selama berabad-abad bergaul dan berinteraksi dengan suku lainnnya di

Tiongkok, sehingga terbentuk kebudayaan Tionghoa. Ada 56 etnis berbeda di

Tiongkok, mereka saling berinteraksi, berintegrasi dan beradaptasi sehingga

membentuk kebudayaan Tionghoa.46

Mereka disebut bangsa Han. Selain bangsa

Han, di Tiongkok juga ada bangsa lain seperti bangsa Tibet, Bai, Mongol, Kazakh

dan Uighur. Kazakh dan Uighur pada umumnya beragama Islam. Mereka hidup

berdampingan dan membentuk bangsa yang besar dan kebudayaan serta peradaban

yang tinggi.47

Masyarakat Tionghoa juga terdiri atas banyak marga, kemudian membentuk

satu kesatuan yang akrab. Marga merupakan salah satu keunikan sekaligus

kebanggan bagi mereka. Bagi masyarakat Tionghoa primitif, yaitu pada masa awal

kebudayaan Tionghoa, anak-anak mengikuti marga ibunya yang disebut Xing

karena mereka tidak mengetahui siapa ayahnya. Dalam konteks ini, sang ibu

merupakan figure central dalam keluarga yang dapat membentuk karakter anak,

sebab ibu yang merawat dan mendidik anaknya. Jadi dalam masyarakat Tionghoa

primitif, mereka menganut paham matriarkhal.48

Pada perkembangan berikutnya setelah kebudayaan semakin maju dan laki-laki

menjadi pekerja utama, maka terjadi alih peran, yakni posisi ibu digantikan oleh

ayahnya. Simbol kebanggan dan kekuatan dalam keluarga adalah ayah, karena ayah

yang mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Masyarakat Tionghoa

mengambil marga dari garis ayahnya atau umum disebut Patriarkhal. Penciptaan

marga dalam masyarakat Tionghoa berbeda-beda. Ada yang menggunakan totem,

nama wilayah, gelar kebangsaan, maupun nama negara.49

Kebudayaan Tionghoa adalah sebuah kebudayaan yang banyak menyimpan

khazanah tentang simbol yang penting dan bermakna bagi kehidupan mereka.

Dalam peradaban Tiongkok, simbol-simbol itu sudah dikenal sejak ribuan tahun

yang lalu dan bertahan sampai saat ini. Sehingga itu, tidak heran jika simbol

merupakan karakteristik peradaban Tiongkok yang memiliki banyak makna. Bagi

etnis Tionghoa, di mana dan kapan saja, simbol merupakan harapan dan berkah dari

kehidupan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Tionghoa juga tidak bisa

lepas dari simbol sebagai sebuah anugerah dan motivasi dalam beraktivitas sehari-

45

M. D. Coogan, Eastern Religions: Hinduism, Buddhism, Taoism, Confucianism,

Shinto, (Duncan Baird Publishers, 2005), h. 552. 46

R. Hayhoe, ―Encountering Chinese Culture Over Changing Times‖. Education

Journal, vol. 47, no. 2, 2019, h. 1-22. 47

J. P. Dorian, B. Wigdortz, & D. Gladney, ―Central Asia and Xinjiang, China:

Emerging Energy, Economic and Ethnic Relations‖. Central Asian Survey, vol. 16, no. 4,

1997, h. 461-486. 48

L. Xiaoxiang, Origins Chinese People and Customs, (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2003), h. 32. 49

Xiaoxiang, Origins Chinese…, h. 34.

125

hari. Simbol-simbol kuno dalam kebudayaan tidak hanya sekedar motif-motif

hiasan belaka, bukan sekedar ―seni untuk seni‖, tetapi motif mengandung makna

yang dalam dan merupakan motif magis religious.50

Ternyata bagi orang Tionghoa,

selain sebagai seni dan hiasan dinding, simbol bisa menjadi motif yang dapat

mencerahkan kehidupan mereka sekaligus menjadi harapan bagi kelangsungan

hidup bangsa Tiongkok. Lebih jauh lagi, simbol bagi masyarakat Tionghoa ternyata

menjadi pandangan hidup, baik dalam aspek politik, ekonomi dan sosial, serta

dalam keagamaan mereka.

Kebudayaan Tionghoa menyimpan kekayaan simbol-simbol yang telah

diamalkan oleh masyarakat Tionghoa sejak ribuan tahun yang lalu. Simbolisme

merupakan ciri khas yang akan terus melekat pada etnis Tionghoa dimanapun

berada dan sampai kapanpun. Simbol itu bisa mengungkapkan perasaan maupun

makna tertentu bagi kehidupan sehari-hari orang Tionghoa. Masyarakat Tionghoa

juga percaya kalau simbol bisa membawa berkah bagi kehidupan mereka. Simbol-

simbol itu bisa berupa gambar, alam, manusia maupun binatang.51

Di antara simbol-

simbol itu, simbol hewan mendapat prioritas dalam kehidupan tradisional

masyarakat Tionghoa. Simbolisme hewan mendapat perhatian utama dan memiliki

makna yang penting bagi keberlangsungan hidup mereka. Hewan-hewan yang

banyak mereka jadikan simbol adalah singa, kuda, ular, dan naga. Dalam

kepercayaan mereka, kebudayaan yang disimbolkan dengan hewan-hewan dapat

meramalkan masa depan, harapan maupun tantangan.

Berdasarkan hal di atas, Konfusius pernah mengemukakan sebagaimana

dikutip Herwiratno bahwa kata-kata tidak bisa mengungkapkan kedalaman bahasa,

dan bahasa tidak mampu mengungkapkan kedalaman arti. Maka, tidak heran jika

bangsa Tiongkok banyak mengungkapkan sesuatu dengan simbol. Simbol-simbol

yang sarat makna banyak ditemukan di Klenteng. Di depan, kanan dan kiri

Klenteng biasanya ada sepasang arca singa yang bermakna penolak mara bahaya.

Patung sepasang naga biasanya ditemukan di atap Klenteng yang melambangkan

perlindungan, kekuasaan dan keberuntungan. Naga ikan atau Long Yu bermakna

ketekunan dan kerja keras dalam meraih keberhasilan. Burung Phoenix (Hong)

sering dipasangkan dengan naga yang bermakna keserasian dan keseimbangan Yin

Yang. Hewan Qilin sebagai lambang kebajikan sempurna, umur panjang, kebesaran,

kepatuhan, keturunan yang cemerlang dan pemerintahan yang bijak. Kura-kura

perlambang umur panjang dan bermartabat. Simbol itu tidak hanya ada di hewan,

tetapi juga beberapa tumbuhan dan buah-buahan memiliki makna. Misalnya teratai

lambang kesucian, buah apel lambang keselamatan, jeruk simbol rejeki

keberuntungan dan pohon pisang sebagai lambang harapan akan banyaknya

keturunan.52

Bicara tentang identitas dan budaya Tionghoa akan sangat dipengaruhi oleh

latar belakang sejarah, adat istiadat, bahasa, geografi, dan karakteristik etniknya dari

mana identitas budaya itu berasal termasuk juga politik dan kekuasaan yang sedang

50

Ong Hean Tatt, Simbolisme Hewan Cina, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1996), h.1. 51

D. Zhang, ―Cultural Symbols in Chinese Architecture‖. Architecture and Design

Review, vol. 1, 2018, h. 1-19. 52

Herwiratno, ―Kelenteng: Benteng Terakhir…, h. 78-86.

126

berkuasa. Dialek bahasa Tionghoa yang diucapkan oleh sekelompok orang juga

menunjukkan perbedaan kebudayaan mereka. Perbedaan budaya itu terutama

kelihatan sekali dalam budaya material, budaya makan, adat istiadat, budaya

pemakaman yang semuanya itu menunjukkan perbedaan pandangan kelompok

tersebut dengan kelompok lainnya. Wang Gungwu dalam Christian mengatakan

budaya Tionghoa mudah beradaptasi dengan bahasa, budaya dan agama Barat.53

Sementara Hall mengatakan identitas budaya itu tidak tetap, semuanya

tergantung bagaimana memosisikan (positioning) dan diposisikan, dan menjadi

subyek sejarah, budaya, serta kekuasaan yang terus berlangsung. Identitas budaya

merupakan suatu proses yang tidak akan pernah selesaiselalu dalam proses

identifikasi dalam konteks sejarah dan budaya.54

Di dunia yang semakin maju dimana mobilitas masyarakat semakin tinggi,

Joseph mengatakan saling ketergantungan ekonomi antar negara tidak dapat

dielakkan, perubahan pola imigrasi dan politik yang begitu dinamis membutuhkan

pemahaman atas kultur yang berbeda-beda. Dengan kata lain, komunikasi antar

budaya menjadi penting.55

Senada dengan Joseph, Liliweri mengatakan bahwa

dalam hidup bermasyarakat menuntut seseorang untuk mau berkomunikasi, baik

dengan anggota kelompoknya maupun dengan orang diluar kelompoknya. Dalam

komunikasi antar kelompok sesungguhnya terdapat proses interaksi dan komunikasi

antar budaya, serta antar masing-masing individu yang memiliki latar belakang

kebudayaan yang berbeda.56

Pemerintah Indonesia ingin membentuk masyarakat yang memiliki sense of

belonging terhadap bangsanya, apapun etnisnya di tengah kemajemukan yang ada,

sebuah bangsa yang memiliki kepemilikan bersama, yakni satu bangsa, satu tanah

air dan satu bahasa. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan

kebijakannya itu adalah dengan mengasimilasikan dan meleburkan etnis Tionghoa

ke dalam penduduk pribumi Indonesia. Suryadinata menilai upaya asimilasi tersebut

menghadapi kendala karena begitu besar populasi Tionghoa ke Asia Tenggara

termasuk Indonesia setelah paruh abad ke-19.57

Namun, sepanjang kebijakan

pemerintah terhadap etnis Tionghoa tidak diskriminatif, penulis optimis etnis

Tionghoa akan lebih berorientasi terhadap negara dimana mereka tinggal walau

kebangkitan kembali ke Tiongkok menguat. Identifikasi budaya mereka dengan

Tionghoa akan menipis dan mereka akan terus menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitarnya.

Peranan orang Tionghoa dalam penulisan sejarah Indonesia dalam berbagai

aspek kurang ditonjolkan, sekalipun bukti sejarah menunjukkan mereka memiliki

53

S. A. Christian, ―Identitas Budaya Orang Tionghoa di Indonesia‖. Cakrawala

Mandarin, vol. 1, no. 1, 2017, h. 12-14. 54

Stuart Hall, ―Cultural Identity and Diaspora‖, dalam Jonathan Rutherford, (eds.),

Identity: Community, Culture, Difference, (London: Lawrence and Wishartm, 1990), h. 225. 55

A. D. Joseph, Komunikasi Antar Manusia, (Jakarta: Professional Books, 1997), h.

482. 56

A. Liliweri, ―Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Etnik di Kupang‖.

Dalam A. Liliweri (ed.), Perspektif pembangunan: Dinamika dan tantangan pembangunan

Nusa Tenggara Timur, (Kupang: Penerbit Yayasan Citra Insan Pembaru, 1994), h. 56. 57

Suryadinata, ―Kebijakan Negara Indonesia…, h. 1-12.

127

sumbangsih dan peran serta bagi perkembangan Indonesia, baik dalam bidang

keagamaan, kesusasteraan, kesenian, bahasa, olahraga, bangunan, kuliner maupun

kedokteran. Sebaliknya, gambaran umum atau stigma yang berlaku di tengah

masyarakat pribumi adalah stigma negatif, bahkan mereka dianggap sebagai

economic animal yang bersifat oportunis, nasionalismenya diragukan, mereka

dianggap egois, dan loyalitas politiknya diragukan.58

Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia menurut Hanggara terbagi menjadi tiga

kelompok, yaitu: kelompok yang ingin tetap menjaga ikatan politik dan budaya

dengan Tiongkok; kelompok yang hanya ingin memelihara ikatan budaya; dan

kelompok yang melepaskan diri dari ikatan budaya maupun politik dengan

Tiongkok.59

Kelompok atau etnis Tionghoa Indonesia bahkan turut memberikan

solusi untuk mengatasi problem sosial agar hubungan antara masyarakat Indonesia

dan etnis Tionghoa tidak ada gap dan stigma negatif, serta terwujud hubungan yang

harmonis dan rukun. Berbagai usulan yang diberikan untuk mengatasi masalah-

masalah ini begitu beragam; ada yang mengusulkan integrasi politik; ada juga yang

menyarankan pembauran total sebagai solusi; dan ada juga yang mengusulkan

masuk Islam.

Peran orang-orang Tionghoa dalam kedatangan Islam di Indonesia telah

memicu perdebatan di kalangan akademisi. Secara umum pendapat yang populer

adalah dunia Arab berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia, bukan

Tionghoa. Pedagang Arab dan Persia yang pertama kali memperkenalkan Islam ke

Nusantara, mendirikan komunitas pedagang Muslim asing di kota-kota pelabuhan di

seluruh Nusantara. Pendapat populer ini ditentang oleh beberapa sarjana yang

berpendapat bahwa Tionghoa juga berperan penting dalam penyebaran Islam di

Indonesia, terutama pada abad XV dan XVI melalui perdagangan. Kelompok ini

diwakili oleh Parlindungan, Slamet Muljana dan Al Qurtuby. Namun, pandangan Al

Qurtuby selangkah lebih maju dengan mengidentifikasi Laksamana Cheng Ho

sebagai tokoh kunci. Menurutnya, banyak Muslim dari Canton, Chang-chou dan

Ch‘uan-chou yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho ke Jawa dan bermukim di kota-

kota pesisir utara Jawa seperti Gresik, Tuban, Surabaya, Semarang, Cirebon, Jakarta

dan Banten.60

Al Qurtuby juga memperkuat argumennya dengan menggunakan

empat sumber sejarah: Pernyataan dari petualang asing;61

catatan-catatan Tionghoa;

teks tertulis dan tradisi lisan Jawa; bangunan-bangunan bersejarah dan monumen

yang ditemukan di Jawa. Beberapa historiografi Jawa seperti Babad Tanah Djawi,

Serat Kandaning Ringgit Purwa, Carita Lasem, Babad Cirebon dan Hikayat

58

Khong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,

2005). 59

A. Hanggara, ―Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia‖. Jurnal Equilibrium, vol.

14, no. 02, 2016, h. 71. 60

S. Al Qurtuby, ―The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‘s Past‖.

Zheng He and the Afro-Asian World, h. 171-186. 61

S. Al Qurtuby menggunakan kesaksian Ma Huan dari Cina, Loedewicks dari Belanda

dan Ibnu Batutah dari Magribi.

128

Hasanuddin juga dikutip Al Qurtuby untuk memperkuat peran orang Tionghoa

dalam islamisasi di tanah Jawa.62

Pengaruh Tionghoa dapat dilihat di beberapa masjid di Jawa, masjid Cheng Ho

misalnya. Muzzaki63

mengatakan bahwa masjid seharusnya tidak hanya berfungsi

sebagai tempat ibadah, namun juga berfungsi sosial. Rohman mengatakan bahwa

itulah yang dilakukan oleh masjid Cheng Ho, yang tidak hanya dijadikan sebagai

tempat salat sehari-hari orang Islam, namun juga membangun hubungan sosial,

persatuan umat dan juga bisa sebagai tempat mempromosikan proses asimilasi dan

harmoni antar umat beragama di Indonesia.64

Masjid Cheng Ho juga merupakan

sebuah wadah bagi Tionghoa Muslim untuk mengekspresikan identitas budaya dan

sosial politik, sekaligus membantu mereka untuk membangun perekonomian

dengan aman tanpa adanya intimidasi dari manapun. Dari masjid ini pula, etnis

Tionghoa Muslim bisa menjalin hubungan yang baik dengan organisasi

kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah yang membuat mereka semakin

merasa aman secara sosial politik. Menurut Mahfud masjid Cheng Ho juga harus

berperan aktif untuk merekatkan harmoni antara orang-orang Tionghoa khususnya,

dan etnis Tionghoa Muslim pada umumnya dengan penduduk pribumi.65

Sementara

Muzakki mengatakan bahwa konflik yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia

karena kaum minoritas ini kurang mampu bernegosiasi dengan budaya lokal.66

Dan

ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Ketimpangan ekonomi dan sosial

dan persaingann politik menjadi lahan subur untuk timbulnya konflik sosial antara

komunitas Tionghoa dan penduduk lokal. Bernegosiasi dengan budaya lokal bukan

berarti kehilangan identitas budanya. Komunitas Tionghoa bisa tetap memperkuat

identitas budayanya di masjid Cheng Ho.67

Kebudayaan itu sifatnya dinamis dan akan selalu mengalami perubahan dan

perkembangan. Budaya tidak hanya mencakup produk, namun meliputi suatu proses

yang tumbuh kembang bersama rasionalitas lain. Pertemuan antar budaya yang

berbeda akan menghasilkan hibriditas kebudayaan yang sulit sekali dikenali batas-

batasnya. Boleh jadi juga akan melahirkan kebudayaan baru yang akan lebih

cenderung kepada budaya mainstream, atau bisa juga lebih condong kepada budaya

marginal. Hibriditas budaya itu bisa disaksikan dalam kehidupan sosial masyarakat

62

S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal

Ahimsya Karya Press, 2003), h. 39-41. 63

Muzzaki, ―Cheng Hoo Mosque…, h. 1-29. 64

A. Rohman, ―Chinese–Indonesian Cultural and Religious Diplomacy‖. Journal of

Integrative International Relations, vol. 4, no. 1, 2019, h. 1-24. 65

C. Mahfud, ―The Role of Cheng Ho Mosque: The New Silk Road, Indonesia-China

Relations in Islamic Cultural Identity‖. Journal of Indonesian Islam, vol. 8, no. 1, 2014, h.

23-38. 66

A. Muzakki, ―Ethnic Chinese Muslims in Indonesia: An Unfinished Anti-

Discrimination Project‖. Journal of Muslim Minority Affairs, vol. 30, no. 1, 2010, h. 81-96. 67

R. Rahmawati, K. Yahiji, C. Mahfud, J. Alfin, & M. Koiri, ―Chinese Ways of Being

Good Muslim: Fom the Cheng Hoo Mosque to Islamic Education and Media

Literacy‖. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 8, no. 2, 2018, h. 225-

252.

129

seperti bahasa, ritual keagamaan, dan pandangan hidup. Proses hibriditas itu bisa

terjadi melalui hubungan sosial dan perkawinan silang budaya. Hubungan yang

terakhir ini menurut Humaedi adalah yang paling efektif. Perkawinan silang budaya

akan menghasilkan pembauran dalam berbagai aspek. Aspek bahasa misalnya,

akan ada bahasa yang unik di dalam keluarga disebabkan karena pernikahan. Bisa

jadi keluarga tersebut memilih bahasa kebudayaan mainstream ataupun tidak

memilih bahasa kedua pasangan, namun memilih bahasa Indonesia.68

Beberapa pemimpin Tionghoa Muslim telah membentuk identitas yang khas

melalui hubungan trans nasional dengan Muslim di Tiongkok dan

mengonfigurasinya kembali dalam konteks Indonesia. Imajinasi trans-nasional ini

bukan bentuk keinginan untuk kembali atau terikat dengan negeri Tiongkok, tetapi

lebih merupakan upaya untuk mendefinisikan kembali posisi sosial Tionghoa

Muslim di Indonesia. Penulis melihat upaya tersebut sangat wajar, sebab sejak

dahulu Tionghoa memiliki hubungan yang erat dengan penduduk pribumi

Nusantara yang dalam konteks ini Indonesia. Setiono mengatakan bahwa sejak abad

1-6 SM. yakni pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang, etnis

Tionghoa telah mengenal Nusantara dengan nama Huang-Tse. Jarak tempuh

Tiongkok-Nusantara yang jauh memerlukan waktu tempuh satu tahun lamanya, hal

itu disebabkan karena pengaruh musim, mereka menggunakan angin muson yang

berubah setiap enam bulan sekali untuk berlayar. Menyebabkan banyak orang

Tionghoa yang menetap dan kemudian menikahi penduduk Nusantara hingga

memiliki keturunan yang kemudian disebut oleh sebagian orang sebagai Tionghoa

Peranakan.69

C. Pergumulan Budaya Tionghoa dan Budaya Cirebon

Pada bagian ini akan dijelaskan pembauran budaya Tionghoa dan budaya

Cirebon. Sejak awal kedatangan etnis Tionghoa ke Cirebon, mereka sudah

membaur dengan masyarakat setempat dalam berbagai aspek kehidupan. Hasilnya

dapat dilihat dari adanya pembauran alami dalam kehidupan mereka. Etnis

Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran,

salah satunya melalui pernikahan. Oleh sebab itu, sebagian besar penduduknya

sudah menjadi penduduk peranakan, lahir dan menetep di Indonesia, khususnya

Cirebon.70

Berbagai kesenian dan upacara tradisi terus dijaga dan dilestarikan

masyarakat atau etnis Tionghoa di Cirebon, salah satu contohnya adalah upacara

Imlek untuk menyambut datangnya tahun baru dengan dimeriahkan oleh beberapa

jenis kesenian atau pertunjukkan seperti Barongsai, Liong dan sebagainya.

Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia khususnya Cirebon harus diakui

membawa tradisi, tata kehidupan dan norma-norma sebagaimana yang berlaku

dalam masyarakat asal mereka, serta sikap fanatisme terhadap tradisi negara

leluhur. Hari S. Gani sebagaimana dikutip Sopiah mengatakan bahwa dalam

68

M. A. Humaedi, ―Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon‖. Humaniora, vol. 25, no. 3,

2013, h. 281-285. 69

Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002), h. 18. 70

Diambil dari: https://www.radarcirebon.com/2018/03/23/cirebon-tionghoa-

perkawinan-budaya-yang-melekat/ . (Diakses pada 30 November, 2020).

130

melakukan aktivitas budayanya, ada beberapa orang Tionghoa non Muslim dan

etnis Tionghoa Muslim yang masih ikut mengelola secara bersama-sama setiap

ritual keagamaan, begitu juga dalam menjalankan tradisi dan adat istiadat.71

Dalam konteks di atas, penulis melihat di satu sisi, meskipun sebagian

masyarakat sudah menjadi Muslim, namun di sisi lain, aktivitas keagamaan dan

budaya tersebut masih dipegang kuat oleh mereka. Di samping kondisi tersebut

sebagai bentuk penghormatan terhadap siapa leluhurnya sekaligus dijadikan sebagai

momen penting untuk tetap menjaga keharmonisan dan kerukunan bersaudara di

tengah karakter keluarga yang pada kenyataannya memiliki keyakinan yang

berbeda. Kenyataan tersebut juga menurut penulis memperlihatkan bahwa aktivitas

budaya dan ritual keagamaan bisa menjadi wadah interaksi sosial di antara

masyarakat yang menganut agama berbeda, juga etnis. Mereka bersikap saling

menghormati dan mendukung dalam melakukan tradisi yang terdapat persamaan

nilai-nilainya. Aktivitas budaya tersebut dapat ditemukan di Cirebon, baik dalam

tradisi orang Tionghoa seperti perayaan Imlek, Barongsai, Ceng Beng,72

maupun

sebaliknya yakni pada saat masyarakat Tionghoa Muslim merayakan Idul Fitri,

ziarah kubur dan sebagainya.

Perlu digarisbawahi, meskipun etnis Tionghoa dianggap sebagi warga

pendatang tetapi etnis Tionghoa lebih berhasil dalam bidang ekonomi dibanding

masyarakat pribumi pada umumnya. Dalam konteks Cirebon, keberhasilan

Tionghoa dalam bidang ekonomi turut memengaruhi stabilitas perdagangan maupun

ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah setempat.73

Di samping Cirebon juga

masuk dalam salah satu tujuan pariwisata lokal maupun manca negara karena

daerah ini menyimpan segenap peninggalan historis masa silam seperti Istana

Kasepuhan dan Kanoman, makam Sunan Gunung Jati, Gua Sunyaragi, serta warisan

karya batik yang megah seperti batik khas Cirebon yang memiliki motif Mega

Mendung dan sebagainya. Sebagian dari apa yang disebutkan adalah merupakan

hasil atau produk dari perpaduan budaya etnis Tionghoa dan Cirebon di masa silam,

juga mengandung unsur-unsur dan nilai-nilai Islam,74

yang kemudian menarik

tujuan wisatawan dan peziarah saat ini. Dengan demikian hal tersebut ikut

memengaruhi kehidupan masyarakat Cirebon dalam aspek ekonomi, juga menjadi

71

P. S. Sopiah, ―Inpres No 14 Tahun 1967 dan Implikasinya Terhadap Identitas Muslim

Tionghoa Cirebon‖. Tamaddun, vol. 5, no. 2, 2017, h. 152-173. 72

Ceng BengGrave-sweeping day adalah tradisi/festival bagi etnis Tionghoa sebagai

bentuk penghormatan kepada leluhur mereka dengan mengunjungi makam atau kuburan

untuk berdoa yang dalam Islam dikenal dengan ziarah kubur. Lihat W. W. Hew,

―Negotiating ethnicity and religiosity: Chinese Muslim identities in post-new order

Indonesia‖, (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy Department of

Political and Social Change School of International, Political and Strategic Studies College

of Asia and the Pacific of The Australian National University, 2011), h. 9 & 205. 73

A. Jaelani, ―Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme and

Creative Economy‖. Journal of Economics and Political Economy (JEPE), vol. 3, no. 2,

2016, h. 264-283. 74

Hassan, ―Islamic tourism: The Concept and the Reality‖. Islamic Tourism, vol. 14,

no. 2, 2004, h. 35-45.; W. Ritter, ―Recreation and tourism in the Islamic countries‖. Ekistics,

1975, h. 56-59.

131

salah satu sumber pendapatan bagi daerah Cirebon sebagai akibat dari banyaknya

para wisatawan yang masuk di daerah ini.

Sebagai salah satu daerah di pantai utara Jawa, Cirebon termasuk daerah yang

berkembang pesat dalam perkembangan Islam. Ini didukung pula oleh pelabuhan

menjadi pertemuan strategis para pedagang dan komunitas lain dengan tujuan

berbeda. Secara ekonomi, Cirebon adalah pusat kota sekaligus kerajaan maritim

agraria yang lebih fokus pada kehidupan ekonomi perdagangan dan pertanian.

Adapun pertumbuhan dan perkembangan kota-kota kerajaan karena beberapa faktor

di antaranya faktor geografis, ekonomi, politik, kosmologi dan magis-religius.75

Penulis melihat sebagaimana pandangan umum penduduk pribumi, khususnya

bagi masyarakat Cirebon bahwa model awal yang telah melekat dari sifat etnis

Tionghoa yaitu rajin, ulet, hemat dan dapat dipercaya di dalam berdagang. Sehingga

tidak heran jika sebagian besar di antara mereka adalah termasuk kelompok

Hokkian. Usaha-usaha tersebut dapat dijumpai di pusat-pusat perdagangan dan

perbelanjaan di daerah Cirebon. Secara umum jenis pencaharian atau pekerjaan

yang ditekuni etnis Tionghoa baik Muslim maupun non Muslim adalah pedagang

dan pengusaha. Dengan demikian, hal tersebut juga memperlihatkan kepada kita

bahwa meskipun sebagian dari etnis Tionghoa telah memeluk Islam sebagai agama

yang diyakini, tetapi mereka tetap mengakui ajaran Tri Dharma yang telah

memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan etnis

Tionghoa, khususnya yang ada di Cirebon. Misalnya, sifat dapat dipercaya

membuat keberadaan mereka dalam persaingan ekonomi, khususnya perdagangan

selalu maju dan berkembang.

Cirebon, sebagai wilayah yang dihuni oleh komunitas budaya Cirebon,

memiliki karakteristik unik karena akulturasi antara Hindu, Hindu-Islam, etnis

Jawa-Sunda, etnis Arab- Tionghoa, kerajaan Mataram-Galuh Pakuan/Padjajaran,

dan Jawa Barat/Jawa Tengah. Selain itu, Cirebon juga merupakan wilayah lintas

antar pesisir daerah dan daerah pegunungan/dataran tinggi. Sehingga itu, perlu juga

untuk dikemukakan situasi linguistik di Cirebon dalam hal berkomunikasi. Di

Cirebon, sejumlah bahasa digunakan, yaitu bahasa Cirebon, bahasa Sunda Cirebon,

bahasa Indonesia, dan bahasa asing seperti bahasa Arab, Belanda dan Inggris, serta

bahasa Hokkien atau Hokkian.76

Bahasa Hokkian adalah salah satu bahasa yang

digunakan secara produktif oleh etnis Tionghoa di Losari, Cirebon (perbatasan

antara Jawa Barat dan Jawa Tengah). Akulturasi bahasa dan budaya antara

kelompok etnis Tionghoa dan kelompok asli dapat dilihat dari difusi yang jelas

dalam cara berpikir dan perilaku kedua kelompok etnis di wilayah tersebut.

Penelitian Darheni mengatakan primordialisme antara kelompok etnis asli dan

Tionghoa tidak terlihat jelas, yang menunjukkan pembentukan komunikasi dalam

75

M. D. Pusponegoro dan N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1991). 76

Bahasa Hokkien atau Hokkian (sederhana: 闽南语, tradisional: 閩南語) adalah salah

satu dari cabang bahasa Minnan (Min Selatan) yang merupakan bagian dari bahasa Han

(Tionghoa). Bahasa Hokkien juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan

Taiwan.

132

aspek sosial, ekonomi, pemerintahan, dan kekuasaan.77

Dengan demikian, bahasa

dan budaya Jawa (bahasa Cirebon-Jawa) adalah bagian dari budaya Indonesia

(termasuk dalam kategori bahasa Melayu), dan juga membuat kontribusinya sendiri

terhadap pengembangan adat, upaya untuk memelihara dan meningkatkan nilai

kemanusiaan, dan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Menurut Ayatrohaedi bahasa yang digunakan oleh masyarakat adalah bahasa

Jawa dengan dialek Cirebon, bahasa Cirebon, bahasa Indonesia (sebanyak yang

dibutuhkan), dan bahasa lain seperti bahasa Arab, Tionghoa, dan Bugis. Misalnya,

di wilayah Cirebon, baik kota maupun pedesaan, ada daerah dengan penutur bahasa

Cirebon-Sunda.78

Sementara Darheni yang melakukan penelitian tentang penggunaa

bahasa di Losari, Cirebon mengatakan penggunaan bahasa di Losari, Cirebon

memiliki karakteristik yang unik, variasi bahasa Cirebon telah dicampur dengan

bahasa Hokkian. Ia menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa

lokalbahasa Cirebon-Jawa di Losari sangat memengaruhi perkembangan

linguistik di daerah itu, sehingga penutur bahasa Hokkian setempat memiliki

karakteristik bahasa mereka sendiri. Sementara itu, kosa kata bahasa Hokkian

memengaruhi perkembangan bahasa lokal, tetapi ini terbatas pada salam/panggilan

dan angka.79

Setiap kelompok atau masyarakat suku bangsa yang tinggal dan menetap di

lingkunggan tertentu memiliki kebudayaannya masing-masing dengan simbol-

simbol yang mungkin hanya bisa dimengerti secara tepat oleh masyarakat dalam

lingkungannya sendiri, karena pada dasarnya kebudayaan merupakan respon

manusia terhadap lingkungan dan persoalan yang dihadapi. Dengan demikian setiap

etnis pasti memiliki budaya masing-masing yang mungkin berbeda atau sama

dengan etnis lainnya. Misalnya suku Minang80

dan suku Sunda81

yang mayoritas

Islam atau suku Minahasa82

dan suku Batak,83

sekalipun memiliki agama dan

77

N. Darheni, ―The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese

Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of Chinese with

Javanese Culture‖. KnE Social Sciences, 2018, h. 663-686. 78

Ayatrohaedi, Dialektologi sebuah pengantar (An introduction to dialectology),

(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979). 79

Darheni, ―The Language Characteristic…, h. 663-686. 80

L. K. Alfirdaus, E. Hiariej, & F. Adeney-Risakotta, ―The Position of Minang-Chinese

Relationship in the History of Inter-ethnic Groups Relations in Padang, West

Sumatra‖. Jurnal Humaniora, vol. 28, no. 1, 2016, h. 79-96.; A. Widyanti, L. Susanti, I. Z.

Sutalaksana, & K. Muslim, ―Ethnic differences in Indonesian Anthropometry Data:

Evidence from Three Different Largest Ethnics‖. International Journal of Industrial

Ergonomics, vol. 47, 2015, h. 72-78. 81

D. S. Anshori, ―The Construction of Sundanese Culture in the News Discourse

Published by Local Mass Media of West Java‖. Lingua Cultura, vol. 12, no. 1, 2018, h. 31-

38.; A. Hasanah, N. Gustini, & D. Rohaniawati, ―Cultivating Character Education Based on

Sundanese Culture Local Wisdom‖. Jurnal Pendidikan Islam, vol. 2, no. 2, 2016, h. 231-

253. 82

E. Lobja, A. Umaternate, T. Pangalila, H. Karwur, & Y. Burdam, ―The

Reconstruction of Cultural Values and Local Wisdom of the Tombulu Sub-Ethnic of

Minahasa Community in the Walian Village of Tomohon City‖. In International Conference

133

kepercayaan yang sama, namun kenyataannya masing-masing di antara mereka

memiliki tradisi dan tata cara pelaksanaannya yang berbeda. Hal tersebut terjadi

karena adanya pengaruh dari kearifan lokal (local wisdom)84

masing-masing suku.

Selain beberapa suku yang disebutkan di atas, hal yang sama juga terjadi pada

masyarakat Cirebon. Tradisi-tradisi yang berkembang di dalam keraton Cirebon

adalah merupakan warisan budaya yang berlangsung turun temurun dari para

pendahulu keraton,85

yaitu dari Pangeran Cakrabuana,86

Sunan Gunung Jati terus

kepada keturunannya. Kesultanan Cirebon menjadi sebuah kerajaan yang berdaulat

adalah pada masa Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati memutuskan untuk tidak

lagi mengirimkan upeti kepada Prabu Siliwangi yang notabene juga adalah

kakeknya. Setidaknya ada dua peran yang melekat pada sosok Sunan Gunung Jati,

yakni selain sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Kesultanan Cirebon, ia juga

merupakan seorang Waliyullah. Sehingga wajar jika terjadi dialektika yang terus-

menerus antara institusi keagamaan dan simbol kekuasaan. Dialektika itu terlihat

dengan banyak digunakannya simbol Islam dalam upacara atau tradisi kekratonan

dan dalam kehidupan masyarakat Cirebon seperti upacara Mauludan berdialektika

dengan tradisi Islam yang dikenal sampai sekarang dengan pembacaan Barzanji,

marhaban dan sholawat. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa perjumpaan

Islam dan budaya dengan komunitas masyarakat Cirebon telah melahirkan budaya

masyarakat Cirebon yang religius, tetapi khas dan unik sebagai wujud harmoni dari

ritus keagamaan yang berasal dari nilai-nilai Islam dan tradisi setempat.87

Beberapa kajian ilmiah tentang kehidupan orang-orang Tionghoa telah

dilakukan. Pada umumnya, kajian-kajian tersebut lebih menekankan pada aspek

on Social Science 2019 (ICSS 2019), (Atlantis Press, 2019).; N. Kaliki, ―The Symbol of

Traditional Cloths of Kabasaran Dance‖. Linguistic Journal, vol. 6, no. 1, 2018, h. 30-40. 83

H. P. Manalu, ―Adat Batak Ditinjau dari Perspektif Iman Kristen‖. Haggadah, vol. 1,

no. 1, 2020, h. 32-41. 84

H. Habibi, ―Protecting National Identity Based on the Value of Nation Local

Wisdom‖. International Journal of Malay-Nusantara Studies, vol. 1, no. 2, 2018, h. 24-40.;

R. Sinaga, F. Tanjung, & Y. Nasution, ―Local Wisdom and National Integration in

Indonesia: A Case Study of Inter-Religious Harmony amid Social and Political Upheaval in

Bunga Bondar, South Tapanuli‖. Journal of Maritime Studies and National Integration, vol.

3, no. 1, 2019, h. 30-35. 85

―Java, Boordevol Cultuur‖, dalam Algemeen Dagblad, Rotterdam, 18-05-1993, h.

25. 86

Selain tradisi-tradisi di dalam keraton, transformasi sosial dan politik dari Hinduisme

Pajajaran menjadi Cirebon Islam telah dimulai setelah Pangeran Cakrabumi (juga dikenal

sebagai Pangeran Cakrabuana) mendeklarasikan kemerdekaan Cirebon dari Pajajaran. Ia

tidak hanya mendirikan pusat pemerintahan yang independen di Pakungwati, tetapi juga

secara aktif menyebarkan ajaran Islam di tanah Cirebon. Salah satu warisannya adalah

mesjid kecil yang disebut ―Tajug Jalagrahan‖. Lihat D. Hamdani, ―Cultural System of

Cirebonese People: Tradition of Muludan in the Kanoman Kraton Indonesian‖. Journal of

Social Sciences, vol. 4, no. 1, 2012 11-22.; D. Wildan, Sunan Gunung Jati: Pembumian

Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural (Antara Fiksi dan Fakta), (Bandung,

Humaniora Utama Press, 2002), h. 272-273. 87

A. Yani, ―Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton

Cirebon‖. Holistik, vol. 12, no. 01, 2011, h. 181-196.

134

ekonomi dan politik. Gambaran serupa dapat ditemukan pada Babat Tanah Jawi

atau Babat Melayu. Meski demikian, kajian-kajian ilmiah tersebut kurang menaruh

perhatian pada aspek budaya etnis Tionghoa dalam konteks Cirebon yang pada

sebenarnya memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukti

arkeologis dan antroplogis menunjukkan bahwa kontak budaya antara etnis

Tionghoa, atau Tionghoa dengan penduduk Nusantara atau Indonesia saat ini sudah

berlangsung berabad-abad. Beberapa bukti tersebut tampak dari ukiran padas dalam

arsitektur keraton dan Taman Air Sunyaragi (Guha Sunyaragi) di Cirebon; ukiran

cadas di masjid kuno Mantingan, Jepara;88

menara masjid di Pecinan Banten;89

konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik;90

konstruksi masjid Demak (soko

tatal dan lambang kura-kura);91

atau kaitan masjid Kali Angke dengan Gouw Tjay

dan masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya

Cai.92

Dalam banyak segi, fakta ini menunjukkan posisi sosial Tionghoa Muslim

dalam struktur komunitas Muslim Indonesia.93

Beberapa di antara mereka

menempati posisi sehingga memainkan peran yang strategis dalam pengembangan

syiar dan perkembangan Islam di Nusantara, Indonesia saat in, termasuk Cirebon.

Internalisasi ajaran Islam awal yang dilakukan oleh Tionghoa Muslim tidak

dapat ditentukan secara pasti. Tetapi paling tidak, secara umum dapat dikatakan

bahwa proses tersebut telah berlangsung sejak pertama kali mereka datang ke

Indonesia. Karena alasan sosial budaya, keberagamaan Tionghoa Muslim erat

dengan konteks sosial ekonomi mereka, khususnya sebagai pedagang di perkotaan.

Berbeda dengan keberagamaan etnis lain sebagaimana dari Gujarat, jika yang

terakhir melakukan mobilitas hingga ke pedalaman, maka Tionghoa Muslim

cenderung mengembangkan kehidupan keagamaan mereka di pesisir,94

yang pada

waktu itu merupakan pusat perkotaan Muslim.

88

S. Al Qurtuby, ―The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‘s

Past‖. Zheng He and the Afro-Asian World, Chapter 8, h. 171-186.; F. B. Buseri, ―The Role

of Chinese Ethnic in Spread of Islam in Indonesia‖. In Proceeding of The International

Seminar and Conference on Global Issues, vol. 1, no. 1, 2015, h. 48-54. 89

T. E. Darmayanti & A. Bahauddin, ―The Influence of Foreign and Local Cultures on

Traditional Mosques in Indonesia‖. In Islamic Perspectives Relating to Business, Arts,

Culture and Communication, (Singapore: Springer, 2015), h. 175-183. 90

A. Muzzaki, ―Cheng Hoo Mosque: Assimilating Chinese Culture, Distancing it from

the State‖. CRISE: Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity

Working Paper, no. 70, 2010, h. 1-29. 91

B. Wiryomartono, ―Patrimonial Figure and Historic Sites in Banda Aceh and

Demak‖. In Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia, (Singapore:

Springer, 2020), h. 265-282.; M. N. Rokhman & L. Yuliana, ―History Learning at Secondary

School about Demak Kingdom‖. Journal of Social Studies (JSS), vol. 14, no. 1, 2018. 92

D. Lombard & C. Salmon, ―Islam and Chineseness‖. Indonesia, no. 57, 1993, h. 115-

131. 93

W. Zhuang, ―Photography and Chineseness: Reflections on Chinese Muslims in

Indonesia‖. Inter-Asia Cultural Studies, vol. 20, no. 1, 2019, h. 107-130.; S. Y. Chiou,

―Search of New Social and Spiritual Space: Heritage, Conversion, and Identity of Chinese-

Indonesian Muslims‖, (Doctoral Dissertation, Utrecht University, 2012). 94

Y. Z. Abidin, ―Keberagamaan dan Dakwah Tionghoa Muslim‖. Ilmu Dakwah:

Academic Journal for Homiletic Studies, vol. 11, no. 2, 2017, h. 357-368.

135

Cirebon sebagai garis sutra menjadi pusat pelabuhan yang sibuk serta pusat

tamaddun Islam yang memiliki beberapa karakter, antara lain, yaitu: pertama,

pertumbuhan Islam menghembuskan kehidupan kota dengan pola masyarakat dan

persiapan hirarki sosial yang kompleks. Kedua, perkembangan arsitektur baik sakral

dan profan, misalnya, Masjid Agung Cirebon, istana Kasepuhan, Kanoman,

Kacerbonan dan Kaprabonan, bangunan Siti Inggil mengadaptasi desain dan

ornamen lokal termasuk Tionghoa dan Islam. Ketiga, tumbuhnya seni lukis kaca

dan patung yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam sangat khas Cirebon,

yang antara lain juga menunjukkan adanya unsur-unsur antropomorfik yang tidak

lazim dalam seni Islam. Keempat, tumbuhnya dan perkembangan seni seperti tari,

batik, musik dan berbagai seni pertunjukan tradisional bernafaskan Islam, ornamen

khas awan Cirebon, dan lainnya. Kelima, Cirebon masuk ke jaringan penyiaran

Islamis yang dipimpin oleh Wali Songo yang terkenal di pulau Jawa. Keenam,

tumbuhnya penulisan teks-teks agama dan pemikiran keagamaan bahwa fisik tetap

tersimpan di istana dan tempat lain di Jawa Barat, yang masih membutuhkan

peninjauan mendalam. Ketujuh, tumbuhnya proliferasi jemaah syariah di Cirebon

yang kemudian melahirkan karya sastra berupa mistik berserat yang mengandung

ajaran tujuh wujudiyah atau martabat. Tradisi serat mistisisme kemudian sangat

berpengaruh pada penulisan tradisi sastra. Delapan, berkembangnya institusi

pendidikan Islam dalam bentuk sekolah agama di Cirebon, Indramayu, Karawang,

Majalengka dan Kuningan.95

Agama Islam masuk ke Cirebon pada permulaan abad ke-15 bersamaan dengan

terjadinya kontak pertama antara orang-orang Arab dan Tionghoa dengan pribumi.

Islam pun dikenal oleh masyarakat Cirebon sebagai agama pendatang yang dibawa

oleh para pedagang Arab dan Tionghoa. Namun, karena saat itu belum terjadi

kontak budaya yang signifikan, penyebaran Islam pun baru terjadi secara masif

pada masa Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon. Ketika pertama datang orang-

orang Arab dan Tionghoa menempati wilayah pesisir Cirebon. Sebagai pedagang,

mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di sana, maka tidak heran jika hanya

wilayah pesisir saja yang sejak awal telah mengenal Islam.

Secara historis Hubungan orang-orang Tionghoa dengan masyarakat Cirebon

dimulai sejak kedatangan Cheng Ho dan pasukannya yang berjumlah kurang lebih

27.000 orang di Pelabuhan Muara Jati pada tahun 1415 M. Menurut Ibnu Bathutah,

di setiap Pelabuhan dan tempat yang disinggahi Cheng Ho selalu menempatkan

perwakilan dagang, konsul politik dan Gudang-gudang Tiongkok. Namun karena

saat itu belum berdiri kerajaan Cirebon dan Pelabuhan Muara Jati hanya sebuah

Pelabuhan kecil, Cheng Ho hanya menempatkan orang-orangnya yang mau tinggal

di Cirebon. Dalam buku ―Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, De Graaf

menceritakan bahwa Haji Kung Wu Ping yang merupakan anak buah Cheng Ho

membangun komunitas Tionghoa muslim Hanafi di Sembung, Sarindil dan Talang.

Kemudian Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdhil Hanafi alias Pangeran Adipati

95

A. B. Lapian & E. Sedyawati, ―Kajian Cirebon dalam Kajian Jalur Sutra‖. Cirebon

sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), (Jakarta: Departemen

Pendidikandan Kebudayaan RI, 1997).

136

Wirasanjaya mengembangkan pemukiman Tionghoa muslim.96

Haji Tan Eng Hoat

membantu Sunan Gunug Jati menyebarkan dan mengembangkan Islam ke Priangan

Timur sampai ke Garut juga ikut membantu Sunan Gunung Jati melawan kerajaan

Galuh. Maulana Ifdhil Hanafi alias Haji Tan Eng Hoat menjadi raja muda bawahan

Kesultanan Cirebon dan berkedudukan di Kadipaten. Ponakannya yang bernama

Tan Sam Cai alias Muhammad Syafei alias Tumenggung Aria Dwipa Cula juga

punya peran penting dalam Kesultanan Cirebon. Tan Sam Cai pernah menjabat

sebagai bendahara kerajaan, bahkan ada juga yang mengatakan dia merupakan

arsitektur Guha Sunyaragi. Tan Sam Cai digambarkan sebagai administrator yang

baik. Tan Sam Cai sangat berjasa dalam memperkuat Kesultanan Cirebon dengan

keuangannya. Juru kunci makam keluarga Kesultanan di Sembung juga dipegang

oleh Haji Kung Sem Pak alias Haji Nurjani.97

Para pedagang asing itu banyak berinteraksi dengan penduduk lokal.

Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menetap di Cirebon.

Mereka kemudian menikahi perempuan-perempuan pribumi. Beberapa orang

Tionghoa berperan penting di Kesultanan Cirebon pada periode awal. Keberadaan

mereka berdampak pada perkembangan kebudayaan di masyarakat sebagaimana

terlihat pada bangunan, kesenian, hingga benda-benda pusaka. Pengaruh tradisi

Tionghoa pun cukup kental terasa di Cirebon. Beberapa masjid kuno di sana

menggunakan keramik dari Tiongkok untuk hiasan dindingnya. Jumlahnya tidak

sedikit dan motifnya pun sangat beragam.

Keramik-keramik itu didatangkan langsung dari Tiongkok. Sebagian besar

dibawa oleh para pedagang, sementara sisanya didapat dari utusan raja. Namun, ada

juga yang dibuat oleh etnis Tionghoa yang sudah menetap di Cirebon. Tidak hanya

di masjid, keramik-keramik Tiongkok juga menghiasi bangunan publik lainnya,

bahkan di makam Sunan Gunung Jati pun tersebar hiasan-hiasan keramik Tiongkok.

Hal itu diperkuat dengan keberadaan istri Sunan Gunung Jati yang berdarah

Tionghoa, yakni Ong Tien Nio. Selain itu, nuansa Tionghoa juga terlihat pada salah

satu motif batik Cirebon, yakni mega mendung. Sementara Hardjasaputra menyebut

bahwa gambaran naga pada kereta pusaka Kesultanan Cirebon sangat erat kaitannya

dengan kebudayaan Tionghoa. Namun, Hardjasaputra mengatakan selain menyerap

budaya luar yang bersifat positif, diduga sebagian warga masyarakat Cirebon juga

menyerap budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, salah satunya adalah

arak.98

Pendapat Hardjasaputra didasarkan pada keberadaan pabrik arak di Cirebon

yang dikelola oleh etnis Tionghoa. Dalam ―Eenige Offciele Stukken met Betrekking

tot Tjirebon‖, laporan resmi pemerintah Belanda yang ditulis Brandes menyebut

96

H.J. de Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV Dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos,(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 19..),h. 34-36. 97

97

H.J. de Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa…, h. 42-44. 98

A. S. Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga

Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa

Barat, 2011).

137

kebiasaan minum minuman keras telah menjadi budaya di pelabuhan-pelabuhan

Cirebon yang dibawa oleh para pedagang dari mancanegara.99

Setidaknya ada tiga tahapan kedatangan etnis Tionghoa di Cirebon yang

dimulai dari tahun yang paling awal, yaitu: Pertama, sekitar tahun 1415 M, dengan

adanya rombongan Laksamana Ceng Ho yang datang ke Cirebon bersama armada

angkatan lautnya dengan membawa 63 Perahu yang memuat 27.800 orang yang

terdiri dari perwira, prajurit, tabib, para ahli perbintangan, dan para penerjemah.100

Kedatangan Laksamana Ceng Ho mungkin juga meninggalkan masyarakat

Tionghoa pertama di Cirebon. Menurut Huang dalam bukunya Budaya Etnis

Tionghoa Cirebon mengatakan bahwa ketika Laksamana Ceng Ho beserta

rombongannya termasuk Ma Huan, dalam perjalannanya ke Majapahit dan mampir

ke Cirebon selama 7 hari 7 malam mereka meninggalkan beberapa rombongannya

di daerah ini, bahkan dikatakan juga, Ma Huan telah menikahi seorang wanita yang

masih punya tali persaudaraan dengan Ki Gedeng Tapa (Penguasa Pelabuhan

Cirebon) yang bernama Nyai Rara Rudra.101

Kedua, sekitar akhir abad 15, Cirebon didatangi oleh Putri Ong Tien yang

memiliki tujuan untuk mencari Sunan Gunung dan menikahinya.102

Tujuan Putri

Ong Tien mencari Sunan Gunung Jati karena untuk menyembuhkan perutnya yang

kelihatan hamil. Yang awal ceritanya ketika itu sunan Gunung Jati pergi ke negeri

Tiongkok untuk berdakwah. Di sana Sunan Gunung Jati terkenal sakti dan kerap

menyembuhkan orang sakit yang pada akhirnya Raja Tiongkok mencoba kesaktian

Sunan Gunung Jati dengan cara menebak isi perut putrinya yang ketika itu terlihat

membuncit karena adanya buntelan kain yang sengaja di pasang oleh putri itu

dengan perintah raja. Ketika Sunan Gunung Jati menjawab bahwa perut itu

membuncit karena hamil, Raja Tiongkok itu langsung ketawa dan langsung

memerintahkan Sunan Gunung Jati pergi dari negeri Tiongkok. Pasca Sunan

Gunung Jati pergi, ternyata Putri Tiongkok menjadi benar-benar hamil. Raja

Tiongkok pun langsung menyuruh prajuritnya untuk menyusul Sunan Gunung yang

telah diusirnya, Sunan Gunung Jati tidak bisa ditemukan karena mungkin sudah

pergi dari negara Tiongkok yang pada akhirnya putri tersebut mencari sendiri

sampai ke daerah Cirebon.103

Ketiga, pada abad 18-an saat banyak pelarian etnis

Tionghoa dari wilayah Batavia yang datang ke wilayah Cirebon. Hadinoto dalam

karya Mahdun menyebut bahwa etnis Tionghoa yang ada di Cirebon sudah ada

sebelum bangsa Eropa masuk dalam wilayah tersebut. Dibuktikan dengan adanya

99

J. L. A. Brandes, ―Eenige Officiele Stukken met Betrekking tot Tjirebon‖. TBG, vol.

37, 1894, h. 449-488. 100

D. K. Laksmiwati, Putri Ong Tin Mengarungi Samudra Asmara Merahi Cinta Sejati

Sesuhunan Jati Romantika Caruban Nagari, ed. 1, cet. 2, (Yogyakarta: Deepublish, 2014),

h. 12. 101

Huang, Budaya Etnis Tionghoa…, h. 18. 102

Raden S. Hidayat, Sejarah Caruban Kawedar, (Cirebon: Badan Komunikasi

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), h. 65. 103

Hidayat, Sejarah Caruban Kawedar, h. 66.

138

pemukiman orang Tionghoa sebelum benteng ―de Bescherming‖ milik VOC yang

didirikan di Kota Cirebon.104

Berdasarkan pemaparan di atas, pergumulan budaya etnis Tionghoa dan

masyarakat Cirebon di Kesultanan Cirebon telah menghasilkan akulturasi budaya

yang bisa ditemukan di Keraton Kasepuhan dan artefak-artefak bersejarah lainnya.

Penulis menemukan bahwa bangunan bersejarah seperti Keraton Kasepuhan dan

berbagai artefak memiliki keistimewaan tersendiri, unik dan karakteristiknya

berbeda dengan keraton-keraton maupun artefak-artefak lainnya. Keraton

Kasepuhan dan beberapa peninggalannya begitu kental dengan ornamen dari luar,

terutama ornamen-ornamen Tionghoa. Ornamen Tionghoa yang begitu kuat tidak

dapat dilepaskan dari peran etnis Tionghoa yang hadir, utamanya putri Tiongkok

bernama Ong Tien Nio, yang tidak hanya fisik tetapi juga jiwanya. Ong Tien Nio

adalah sosok yang sangat berarti bagi sang penguasa Sunan Gunung Jati sebab ia

adalah salah satu istrinya. Lebih jauh penulis ingin mengatakan bahwa jika tidak

ada fisik dari Tiongkok yang hadir di Kesultanan Cirebon ketika itu, maka tidak

mungkin ruangan sultan yang begitu private seperti Astana Gunung Jati, Kereta

Kencana Singa Barong, masjid Astana Gunung Jati, Guha Sunyaragi, Batik Mega

Mendung, dan sebagainya dipenuhi ornamen-ornamen Tionghoa. Semua itu

menjadi bukti betapa berperannya seorang perempuan dalam ruang dan makna,

sehingga turut mewarnai suasana di dalam Kesultanan Cirebon.

Sebagai seorang putri Tiongkok, Ong Tien Nio sebagaimana di atas otomatis

hadir dengan filosofi agamanya yaitu Tao dengan konsep Yin Yang (keseimbangan).

Keseimbangan dalam konteks penelitian ini dimaknai bahwa raja dan ratu itu tidak

berhadapan, juga tidak atas dan bawah tetapi saling melengkapi laksana orang yang

berangkulan. Merujuk dalam falsafah Tiongkok, simbol Yin dan Yang mengandung

beberapa makna dan tafsiran, yakni dalam Yin terdapat Yang (dalam gelap ada

terang), begitu juga sebaliknya. Yin dan Yang merupakan lambang ajaran falsafah

Taoisme.105

Konsep Yin Yang menggambarkan bahwa segala sesuatu dalam alam

semesta mempunyai aspek yang berlawanan: ada putih dan ada yang hitam; ada

baik dan buruk; sejuk dan panas; siang dan malam; musim kemarau dan musim

hujan; surga dan neraka. Lebih jauh, konsep Yin Yang digunakan untuk

menggambarkan bahwa sesuatu yang saling bertentangan dan saling bergantung itu

sebuah keniscayaan.106

Yin dan Yang digambarkan seperti telur, yang bagian kuning

dan putihnya terpisah. Yang melambangkan surga, laki-laki, matahari, terang,

104

Hadinoto, ―Lingkungan Pecinan dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa

Kolonial‖, dalam Mahdun, ―Konflik Cina-Pribumi dan Dampaknya Bagi Pertumbuhan

Industri Batik di Trusmi 1948‖. Jurnal Tamaddun, vol. 5, no. 2, 2017, h. 76-93. 105

Tony Fang, ―Yin Yang: A new perspective on culture‖. Management and

organization Review, vol. 8, no. 1, 2012, h. 25-50.; Xinyan Jiang, ―Chinese dialectical

thinking—the yin yang model‖. Philosophy Compass, vol. 8, no. 5, 2013, h. 438-446. 106

Mondo Secter, ―The yin-yang system of ancient china: The yijing-book of changes

as a pragmatic metaphor for change theory‖. Journal for Interdisciplinary and Cross-

Cultural Studies, vol. 1, no. 1, 1998, h. 85-106.; Stefan Jaeger, ―A geomedical approach to

chinese medicine: the origin of the Yin-Yang symbol‖. Recent Advances in Theories and

Practice of Chinese Medicine, 2012, h. 29-44.

139

kekuatan, dan hal positif lainnya. Sementara Yin melambangkan tanah, bulan,

kegelapan, wanita, dingin, lembut, mati, angka ganjil, dan sesuatu yang negatif.

Konsep Yin Yang walaupun bertentangan antara satu sama lain, namun

keduanya bersikap saling melengkapi seperti laki-laki dan perempuan, meskipun

berbeda, namun perlu bersama-sama untuk mewujudkan generasi baru. Konsep Yin

Yang juga diterangkan dalam al-Qur‘an surat Yasin [36] ayat 36-37. Ayat ini

menjelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan segala sesuatu secara tawazun

atau seimbang, yaitu dengan diciptakannya setiap sesuatu secara berpasangan.

Dalam konteks ini, tawazun (seimbang) dalam Islam sejalan dengan konsep Yin

Yang dalam falsafah Tiongkok, yang juga menekankan pada keseimbangan.

Sehingga menurut penulis, konsep Yin Yang juga sejalan dengan nilai-nilai Islam,

dimana Islam sebagai sebuah agama mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa

bersikap seimbang dalam berbagai aspek kehidupan. Dunia-akhirat adalah

seimbang, kita tidak bisa mengabaikan urusan akhirat hanya untuk urusan dunia,

begitupun sebaliknya.

140

141

BAB V

BUDAYA TIONGHOA DAN CIREBON DI KESULTANAN CIREBON:

MAKNA SIMBOLIK DAN FILOSOFIS

Mengacu pada pendapat Koentjaraningrat yang membagi wujud kebudayaan

menjadi tiga, maka pada bab inti ini penulis akan focus pada kebudayaan fisik yang

merupakan hasil ide atau pikiran-pikiran dan Tindakan manusia. Bagian ini adalah

lanjutan dari pembahasan sebelumnya, dan merupakan bab inti penelitian yang

menguraikan beberapa beberapa wujud budaya sebagai hasil akulturasi budaya

Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Dari sejumlah wujud budaya

yang terakulturasi, penulis lebih banyak menghadirkan dan menganalisis wujud

budaya seperti yang terdapat dalam arsitektur bangunan Keraton Kasepuhanmulai

dari Gapura Siti Inggil, lima bangunan tanpa dinding dan beratap sirap (Mande

Malang Semirang, Mande Semar Tinandu, Mande Pandawa Lima, Mande

Pelinggihan/Pengiring, dan Mande Karesmen), Makam Astana Gunung Jati dan

Guha Sunyaragi/Taman Air Sunyaragi. Selain itu, diuraikan dan dianalisis pula

beberapa peninggalan seperti Kereta Kencana Singa Barong dan batik. Penulis

kemudian memunculkan makna-makna simbolik dan filosofis yang ada dibalik

semua wujud budaya tersebut, kemudian menganalisisnya menggunakan beberapa

teori akulturasi yang digagas oleh para sarjana dan pendukungnya, yang

mengatakan bahwa jika dua kelompok individu yang memiliki budaya berbeda

bersentuhan langsung atau bertemu, maka akan mengakibatkan perubahan dalam

pola budaya asli dari salah satu atau kedua kelompok tersebut. Namun tidak

kehilangan identitas atau karakteristik budaya masing-masing.1

Suatu budaya diciptakan selalu tanpa terlepas dari sebuah makna. Umumnya

makna budaya tersebut diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol

sebagaimana juga simbol-simbol yang ada di Keraton Kasepuhan. Dilihat dari

pengertian simbol secara umum mencakup berbagai aspek yang luas. Namun yang

perlu diperhatikan adalah bahwa setiap daerah memiliki simbol budaya yang

berbeda-beda, yang membedakan ciri khas masing-masing. Berbicara mengenai

simbol, otomatis juga akan berbicara mengenai semiotika. Piliang mengatakan

semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan

produksi makna.2 Tanda dalam kehidupan manusia selalu menyampaikan suatu

informasi sehingga mempunyai sifat komunikatif. Mengutip teori Peirce dalam

Queiroz dan Stjernfelt bahwa tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke

1R. Redfield, R. Linton, & M. J. Herskovits, “Memorandum for the Study of

Acculturation”. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 149-152.; R. Thurnwald,

“The Psychology of Acculturation”. American Anthropologist, vol. 34, no. 4, 1932, h. 557-

569.; F. M. Keesing, Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological

Sources to 1952, no. 1. (New York: Octagon Books, 1973).; Koentjaraningrat, Beberapa

Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), h. 142.; W. A. Haviland, Cultural

Anthropology, (Wadsworth Publishing Company, 2002).; J. W. Berry, “Globalisation and

Acculturation”. International Journal of Intercultural Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-

336. 2Y. A. Piliang, “Semiotik Teks: Sebuah Pendekatan Analisis Teks”. Jurnal

Komunikasi, vol. 5, no. 2, 2004, h.189-198.

142

dalam ikon, indeks, dan simbol.3 Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang

diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang

sama dengan apa yang dimaksudkan. Indeks merupakan tanda yang memilik

hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda

sebagai bukti. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau

perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang

sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Pemahaman terhadap simbol

dapat diidentifikasi sebagai kata benda, kata kerja dan kata sifat. Simbol sebagai

kata benda dapat berupa barang, obyek, tindakan dan hal-hal kongkrit lain. Simbol

sebagai kata kerja dapat berfungsi sebagai menggambarkan, menyelubungi,

mengartikan, menunjukkan, memanipulasi, dan menandai. Simbol sebagai kata sifat

berarti sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna, lebih bernilai, sebuah

kepercayaan, dan prestasi. Fungsi simbol digunakan untuk menjembatani obyek

atau hal-hal yang nyata dengan hal-hal yang abstrak yang maknanya melebihi dari

makna hal yang tampak. Mengacu pada teori simbol Elias, Bucholc mengatakan

simbol adalah kreasi manusia untuk mengejawantahkan ekspresi dan gejala-gejala

alam dengan bentuk-bentuk bermakna, yang artinya dapat dimengerti dan disepakati

oleh masyarakat tertentu.4 Adapun filsafat atau filosofis menurut KBBI adalah

pengetahuan dan penyelidikan mengenai hakikat segala sesuatu, sebab, asal dan

hukumnya dengan menggunakan akal pikiran. Jadi yang dimaksud makna filosofis

adalah sebuah usaha atau ikhtiar untuk mengungkap hakikat yang sebenarnya dari

suatu wujud budaya. Begitupun dengan budaya-budaya material yang ada di

Kesultanan Cirebon sebagai hasil akulturasi berbagai budaya tidak lepas dari makna

simbolik dan filosofis.

Berger dan Luckmann mengatakan simbol adalah usaha yang dilakukan oleh

manusia dalam melembagakan pandangan atau pengetahuan mereka tentang

masyarakat. Manusia membangun dunia simbolik yang universal yag dinamakan

pandangan hidup atau ideologi dengan memandang masyarakat sebagai proses yang

dinamis. Dengan demikian kenyataan sosial yang ada merupakan suatu konstruksi

sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke

masa kini dan menuju masa yang akan datang.5 Sementara Turner mengatakan

bahwa dengan mengkaji simbol maka akan diketahui siapa pemilik kebudayaan dan

siapa pewarisnya di masa yang akan datang. Simbol merupakan sesuatu yang sangat

dikenal dan dipahami oleh masyarakat karena ia hadir dalam keseharian mereka.6

Dalam konteks penelitian ini, mempelajari dan memahami simbol dapat membawa

kita mengetahui kondisi sosial ketika sejumlah benda peninggalan atau wujud

3J. Queiroz & F. Stjernfelt, “Introduction: Peirce‟s Extended Theory and

Classifications of Signs”. Semiotica, vol. 2019, no. 228, 2019, h. 1-2. 4M. Bucholc, “Schengen and the Rosary” Historical Social Research/Historische

Sozialforschung, vol. 45, no. 171, 2020, h. 153-181. 5P. L. Berger dan T. Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang

Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. XIII-XIV. 6V. Turner, “Symbolic Studies”. Annual Review of Anthropology, vol. 4, 1, 1975, h.

145-161. Lihat juga V. Turner, “Process, System, and Symbol: A New Anthropological

Synthesis”. Daedalus, 1977, h. 61-80.

143

budaya material yang ada di Keraton Kasepuhan itu dibentuk, bahkan keadaan

sosial sebelum benda-benda peninggalan itu digagas.

Sifat multikultural seni diharapkan dapat dijadikan dasar pemersatu bangsa

dengan mengembangkan kemampuan manusia untuk saling menghargai akan

adanya perbedaan. Pemahaman terhadap keanekaragaman budaya yang dimiliki

merupakan sebuah landasan yang kuat dalam mempersatukan perbedaan menjadi

kesatuan yang utuh. Akan tetapi, ketidakpahaman terhadap keanekaragaman yang

dimiliki merupakan akar perpecahan dan permusuhan. Dengan demikian, seni

dengan berbagai sifat yang ada memiliki arti dan peran penting dalam pendidikan.

Seni merupakan media dalam menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung misi

pendidikan. Seni juga merupakan sarana yang tepat dalam rangka transformasi ilmu

pengetahuan pada diri seseorang. Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai

serta norma-norma yang mengikat di dalammya, memiliki aturan tersendiri bagi

umatnya yang apabila umat mau dan patuh melaksanakannya, maka ia akan

mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam upaya inilah seni diperlukan

dalam proses transformasi ilmu serta nilai-nilai luhur pendidikan Islam.7

A. Arsitektur Keraton Kesepuhan

Salah satu bagunan di Kesultanan Cirebon adalan Keraton Kasepuhan.

Kasepuhan berasal dari kata bahasa Sunda yaitu “Sepuh” yang berarti “Tua”. Pada

awalnya di Kesultanan atau Kerajaan Cirebon hanya ada satu keraton, yakni

Keraton Pakungwati. Namun di abad ke-17, bersamaan dengan dibaginya

kesultanan menjadi tiga kekuasaan., maka dibangun pula Keraton Kasepuhan dan

Keraton Kanoman. Ketiga keraton tersebut masing-masing berasal dari satu

keturunan anggota Wali Songo,8 yaitu Sunan Gunung Jati. Kesultanan Cirebon

resmi dibagi menjadi Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan satu

7R. Kurnianto & N. Lestarini, “Integration of Local Wisdom in Education”.

In International Seminar on Education, 2020, h. 557-563.; N. Hariyati, “Islamic Education

in the Prespective of Islamic Nusantara”. In International Conference on Language,

Education, Economic and Social Science, vol. 1, no. 1, 2019, h. 125-134.; T. Narawati,

“Arts and Design Education for Character Building”. In International Conference on Arts

and Design Education (ICADE 2018), (Atlantis Press, 2019). 8Wali Songo (Wali Sembilan) adalah kelompok wali atau orang suci yang

mendakwahkan Islam di Pulau Jawa. Menurut literature, umumnya menyatakan bahwa Wali

Songo terdiri dari sembilan orang, di antaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan

Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan

Muria, dan Sunan Gunung Jati. Lihat Pierre Fournié, “Rediscovering the Walisongo,

Indonesia: A Potential New Destination for International Pilgrimage”. International Journal

of Religious Tourism and Pilgrimage, 7, no. 4, 2019, h. 77-86.; Abdurrohman Kasdi, “The

Role of Walisongo in Developing the Islam Nusantara Civilization”. Addin, vol. 11, no. 1,

2017, h. 1-26.; E. Soenarto, “From Saints to Superheroes: The Wali Songo Myth in

Contemporary Indonesia's Popular Genres”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal

Asiatic Society, 2005, h. 33-82.

144

Peguron pada tahun 1679 oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten untuk

menghindari perpecahan keluarga Kesultanan Cirebon.9

Keraton Kasepuhan dulunya adalah keraton Pakungwati. Namun karena

ditempati oleh Sultan Sepuh maka Namanya berubah menjadi Keraton Kasepuhan.

Keraton Kasepuhan memiliki luas wilayah 18,5 hektare. Keraton dibatasi oleh

tembok yang membentang dari utara ke selatan. Untuk memasuki halaman pertama

terdapat jembatan Pangrawit dan pintunya hanya merupakan pemotongan tembok

keliling. Sebelum memasuki halaman pertama terdapat bangunan Pancaratna di sisi

barat dan Pancaniti di sisi timur jalan masuk. Pada halaman pertama di sisi timur

terdapat kompleks Siti Inggil dan pintu Penggada. Untuk memasuki halaman ke dua

terdapat Langgar Dalem di sisi barat, melalui dua Gapura Paduraksa. Selanjutnya

adalah zona semi privasi, tempat Sultan bekerja dan menerima tamu. Area ini bisa

dimasuki melalui pintu Gledegan. Terakhir adalah area privat Sultan dan

keluarganya. Di area ini Sultan dan keluarganya tinggal sehingga tidak sembarang

orang bisa masuk. Area ini bisa dimasuki melalui pintu Buk Bacem.10

Berdasarkan penelusuran dan observasi penulis, ruang Keraton Kasepuhan

mengadopsi seni bangunan yang berkembang pada masa Majapahit. Di samping itu,

masih adanya kepercayaan alam pikiran pada masa pra Islam tentang kesejajaran

antara alam semesta dan alam manusia. Kosmo magis yang berasal dari ajaran

kosmologis Hindu-Buddha. Gambaran atau cerminan alam semesta menurut

kepercayaan itu adalah bahwa keraton dan semua isi di dalamnya dianggap sebagai

replika atau tiruan alam semesta. Misalnya, seorang raja yang sedang bersemayam

di dalam keraton disamakan dengan dewa yang bersemayam di puncak Mahameru.

Salah satu pengejawantahan kepercayaan peniruan kosmos Mahameru melalui seni

bangunan yang sangat menonjol adalah bangunan candi.11

Dengan demikian,

penggambaran gunung merupakan suatu motif yang mewisesa dalam seni bangunan

Jawa-Hindu.

Dalam konteks di atas, salah satu ciri penting lainnya yang juga dianggap

sebagai kesinambungan alam pikiran Jawa-Hindu yang mengilhami atau

berpengaruh pada perkembangan seni bangunan Keraton Kasepuhan adalah

pembuatan gunung atau bukit dan kolam buatan dengan suatu gugusan bangunan

yang terletak di tangannya. Dua buah gunung buatan di dalam Keraton Kasepuhan

disebut gunung Semar dan gunung Indrakila, sedangkan bagian dalam bangunan

kolam buatan dengan gugusan bangunan di tengahnya disebut Balong Klangenan.

Sementara bangunan kayu di tengahnya disebut Bale Kembang.12

Aspek lainnya

9Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986), h. 74. 10

Dini Rosmalia, “Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon”, Seminar Heritage

IPLBI, 2018, h. B 074-082. 11

Dini Rosmalia &L. Edhi Prasetya, “ Kosmologi Elemen Lanskap Budaya Cirebon”, Seminar

Heritage IPLBI, 2017, h. B 073-082. 12

I. H. Agustina, A. Djunaedi, S. Sudaryono, & D. Suryo, “The Perspective of

Sustainable in Relation Space at Region of Kasultanan Kasepuhan Cirebon”, Makalah

dipresentasikan dalam International Conference ICABE di IIUM, Kuala Lumpur, 7th–8th

November, 2013. Lihat juga I. H. Agustina, A. Djunaedi, S. Sudaryono, & D. Suryo, “Gerak

Ruang Kawasan Keraton Kasepuhan”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan

145

adalah tata letak bangunan kompleks Keraton Kasepuhan dapat dibagi ke dalam tiga

bagian. Kontur permukaan dan pelataran kompleks keraton dibuat semakin

meninggi ke belakang, yang menunjukan derajat kesucian dan merupakan bagian

paling suci, karena bagian ini merupakan tempat bersemayam raja beserta seluruh

keluarganya. Struktur kosmologi Keraton Kasepuhan digambarkan Agustina,

Hindersah dan Asiyawati13

sebagai berikut:

Gambar 4. Struktur Kosmologi Keraton Kasepuhan

Sumber: Agustina, Hindersah, & Asiyawati, 2017:167-174

Ketika memasuki kawasan Keraton Kasepuhan,14

kita akan melihat sebuah

gerbang yang terbuat dari batu bata merah bertingkat. Bagian paling depan keraton

disebut Siti Inggil atau tanah tinggi, yang kedudukannya menghadap langsung ke

arah lapangan tempat pasukan keraton ketika itu berkumpul setelah melewati Siti

Inggil yang berbentuk gerbang dan pagar panjang. Di bagian depan Siti Inggil juga

terdapat meja dan bangku yang terbuat dari batu. Benda tersebut berasal dari

Gujarat dan merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas

Stamford Raffles15

di tahun 1811 M. Bangunan Siti Inggil merupakan perpaduan

dari Islam, Hindu, dan Tiongkok. Di bagian tembok Siti Inggil terdapat banyak

tempelan keramik Tiongkok, di samping juga terdapat keramik Belanda. Gapura

Siti Inggil mendapat pengaruh Hindu karena jika diperhatikan bentuk bangunannya

sama seperti Gapura Candi Bentar.

Kota, vol. 13, no. 1, 2013, h. 8-13.

13I. H. Agustina, H. Hindersah, & Y. Asiyawati, “Identifikasi Simbol-Simbol Heritage

Keraton Kasepuhan”. ETHOS: Jurnal Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, vol.

5, no. 2, 2017, h. 167-174. 14

Keraton Kasepuhan dibangun pada tahun 1430 M. 15

Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) pernah menjadi Gubernur Jenderal van

Java (1813-1818). Lihat S. Raffles, Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas

Stamford Raffles, (New York: Cambridge University Press, 2013).; C. H. Wake, “Raffles

and the rajas: the founding of Singapore in Malayan and British colonial history. Journal of

the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 48 (227), 1975, h. 47-73.

146

Gambar 5. Siti Inggil

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Siti Inggil sebagaimana gambar di atas dikelilingi tembok bata merah dengan

tempelan piring keramik dan pintu masuk berupa Candi Bentar. Dilihat dari bentuk

dan ornamen yang menghiasi bangunan Siti Inggilmengadopsi budaya dari Hindu

berupa Candi Bentar dan budaya dari Tiongkok berupa tempelan piring keramik.

Strukturnya berupa tumpukan bata merah yang saling ditempelkan antara satu dan

lainnya.

Pemasangan piring keramik dari Tiongkok dalam banyak tempelan pada

bangunan Keraton Kasepuhan, termasuk pada bangunan Siti Inggil dalam berbagai

literatur erat kaitannya dengan kebudayaan Islam.16

Berthold Laufer (1874-1934),

seorang antropolog yang bekerja di Filipina, adalah orang pertama yang

memberikan perhatian khusus pada serpihan keramik Tiongkok untuk studi

pertukaran komersial dan budaya.17

Memang, pada awal abad ke-20, perdagangan

antara Tiongkok dan Asia Tenggara, serta antara Tiongkok dan dunia Muslim,

sedang mengalami kemajuan.18

Laufer kemudian mengusulkan untuk memasukkan

keramik Tiongkok di antara bahan historis untuk mempelajari pola perdagangan.

Laufer mengatakan selain dari referensi kronologis yang secara khusus menarik

minat para arkeolog, studi tentang keramik Tiongkok berkaitan dengan dua tingkat

sejarah, yakni menyangkut distribusi spesial artefak, serta periuk19

dan porselen

yang lebih awet daripada kebanyakan jenis barang lainnya. Kemunculannya di

seluruh situs arkeologi di Samudra Hindia menawarkan serangkaian data geografis

yang tepat untuk menciptakan kembali lintasan perdagangan maritim. Dengan

16

J. G. Tylor, “The Chinese and the Early Centuries of Conversion to Islam in

Indonesia”. In Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, T. Lindsey & H.

Pausacker (ed.), (Singapore & Australia: ISEAS Publication & Monash University Press,

2005), h. 148-164. 17

B. Laufer, “Post Scriptum”. In F. C. Cole, Chinese Pottery in the Philippines, Field

Museum of Natural History, Anthropological Series, vol. XII, no. 1, 1912. 18

Danar Widiyanta, “Keberadaan Etnis Cina Dan Pengaruhnya Dalam Perekonomian Di Asia Tenggara”, Mozaik, Vol. V, No. 1, 2010, h. 84-95.

19Periuk adalah peralatan dapur yang sampai saat ini masih dapat ditemukan di daerah

perkampungan. Para penduduk masih menggunakannya karena selain bentuknya indah,

periuk dibuat dari bahan tembaga yang dipercaya lebih tahan lama ketimbang bahan yang

terbuat dari logam dan sejenisnya. Penelitian terkait jenis periuk bisa dilihat dalam karyanya

B. Zhao, “Chinese-style ceramics in East Africa from the 9th to 16th century: A case of

changing value and symbols in the multi-partner global trade”. Afriques. Débats, Méthodes

et Terrains D‟histoire, no. 06, 2015.

147

menggunakan pendekatan ini, para sarjana Jepang dan Eropa seperti Mikami20

dan

Pirazzoli-t‟Serstevens21

menggunakan istilah “Jalan Keramik” untuk menunjuk rute

perdagangan maritime.

Karena produksi periuk cukup signifikan di semenanjung Asia Tenggara terkait

erat dengan tradisi Tionghoa, hal ini membuat beberapa sarjana telah mengusulkan

untuk memberi label ulang kaitannya dengan penggunaan istilah “keramik gaya

Tiongkok”.22

Sebagaimana penelitian Zhao, memilih untuk menggunakan istilah

umum “keramik gaya Tiongkok” sebab produksi keramik di Asia Timur adalah

transnasional dan global dan didasarkan pada konteks perdagangan yang kompleks.

Pertama, selama periode dari abad ke-11 hingga ke-16, hubungan antara kekaisaran

Tiongkok, negara-negara tetangga di Asia Tenggara, dan perbatasan mereka

berkembang secara signifikan. Kedua, provinsi-provinsi Tiongkok di Guangxi,

Yunnan, dan Guangdong dan negara-negara di semenanjung Asia Tenggara

diuntungkan oleh kondisi iklim yang serupa, di mana produksi keramik sangat

bergantung.

Fleisher dan Laviolette mengatakan sejak akhir abad ke-13 dan seterusnya,

kehadiran keramik gaya Tiongkok di bagian utama masjid telah diperhatikan oleh

para arkeolog di beberapa lokasi. Para ahli berpendapat untuk penggunaan paralel

gaya keramik Tiongkok dalam konteks agama dan domestik adalah bahwa

keduanya mungkin terkait erat dengan Islam.23

Kaitannya dengan konteks penelitian

ini, keramik-keramik gaya Tiongkok dapat ditemukan di Keraton Kasepuhan

sekaligus menjadi saksi hubungan antara orang-orang keraton dengan etnis

Tionghoa, misalnya guci-guci atau tempelan-tempelan keramik yang ada di

bangunan keraton, Astana Gunung Jati, Masjid Gunung Jati dan Guha Sunyaragi.

Selain itu, banyak cara untuk melihat fungsi keramik Tiongkok membuktikan

daya tarik material yang tidak terbantahkan. Penulis mencontohkan, banyak artefak

Tiongkok memiliki lubang paku keling di dalamnya untuk mengakomodasi kabel

logam yang bergabung kembali dengan pecahan. Lubang tersebut umumnya

menurut Pirazzoli-T‟Serstevens ditafsirkan sebagai indikasi bahwa benda-benda ini

sangat berharga.24

Piringan keramik Tiongkok yang dipangkas dengan serpihan

keramik Tiongkok dan Islam juga telah digali, beberapa di antaranya dilubangi di

20

Ts. Mikami, Tôji no michi – tôzai bunmei no setten o tazunete [Jalan Keramik: Bukti

Materiel dari Kontak Budaya Timur dan Barat], (Tokyo: Iwnami Shoten, 1969). 21

M. Pirazzoli-t‟Serstevens, “La route de la céramique”, Le grand Atlas de

l‟archéologie, (Paris: Encyclopaedia Universalis, 1985), h. 284-285. 22

M. F. Dupoizat, N. H, Wibisono, C. Guillot, Catalogue of the Chinese-Style

Ceramics of Majapahit: Tentative Inventory, (Paris & France: Association Archipel, 2007). 23

J. Fleisher, A. Laviolette, “The Changing Power of Swahili Houses, Fourteenth to

Nineteenth Centuries AD”. In R. A. Beck (ed.), The durable house: House Society Models in

Archaeology, Center for Archaeological Investigations Occasional Paper, no. 35,

(Carbondale, Southern Illinois University, 2007), h. 175-197. 24

M. Pirazzoli-T‟serstevens, “Une Denrée Recherchée: la Céramique Chinoise

Importée dans le Golfe Arabo-persique, IXe–XIV

e Siècles”. Mirabilia Asiatica, vol. 2, 2005,

h. 69-88.

148

tengahnya.25

Tampaknya benda-benda tersebut digunakan sebagian untuk menghiasi

tubuh dan pakaian, seperti liontin, anting-anting, dan kancing. Sangat menarik

untuk memerhatikan bahwa pecahan artefak yang dipilih untuk penggunaan

sekunder ini umumnya didekorasi dengan glasir berkilauan yang berwarna-warni.26

Adapun pecahan keramik dapat diubah menjadi alat (weights, spindle whorls, dan

sebagainya). Dalam konteks itu mereka membuktikan bahwa periuk dan porselen

sangat dihargai. Studi terbaru tentang konteks arsitektur non-batu ditambah dengan

survei pedesaan membuktikan bahwa periuk dan serpihan porselen juga digunakan

untuk menghias dinding rumah dari tanah liat.27

Bagi Li Min, fenomena ini

merupakan contoh konkrit dari akulturasi, menggambarkan bagaimana keramik

Tiongkok telah mengalami transformasi fungsional dan kadang-kadang bahkan

gaya ketika mereka disesuaikan kembali dengan budaya material lokal.28

Dengan demikian, jelas bahwa bukti arkeologis yang tersedia mengungkapkan

difusi keramik gaya Tiongkok ke daerah Cirebon, khusunya Keraton Kasepuhan

tampaknya terkait dengan penetrasi Islam, karena ditemukan keramik-keramik gaya

Tiongkok di Keraton Kasepuhan yang merupakan kesultanan Islam. Keramik-

keramik dapat dilihat pada bangunan keraton, Astana Gunung Jati, Masjid Gunung

Jati dan guha Sunyaragi. Selain itu penulis melihat ada peran yang sama dengan

simbol sosial, karena impor ini ditemukan dalam konsentrasi tinggi di makam elit

yang terlibat dalam perdagangan maritim. Barang-barang eksotis ini juga berfungsi

sebagai simbol dan perwujudan kekuatan dagang.

Berbagai bukti arkeologis sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, juga

memperlihatkan bahwa di dalam Keraton Kasepuhan terdapat berbagai budaya yang

ikut mewarnainya. Makna filosofisnya adalah bahwa sekalipun Cirebon merupakan

Kesultanan Islam, tetapi sangat terbuka terhadap dinamika masyarakat, dan bersikap

inklusif terhadap berbagai budaya dan keberagamaan orang lain. Kesultanan ini

ingin berdiri di atas keberagaman budaya, dan meletakkan penghormatan yang

tinggi terhadap keyakinan orang lain. Sebagai contoh, salah satu bangunan paling

depan Keraton Kasepuhan, yakni tembok Siti Inggil. Di tembok Siti Inggil ada

25

S. Pradines, Fortifications et Urbanisation en Afrique Orientale, (Oxford:

Archaeopress, 2004). 26

Untuk cakram berlubang yang dibuat dengan periuk hijau Longquan dengan pola

naga ditemukan di situs Kilwa-Kisiwani, lihat N. Chittick, Kilwa: An Islamic Trading City

on the East African Coast, vol. II, (Nairobi/London: British Institute of African Studies,

1974), h. 428. 27

L. W. Donley-Reid, “The power of Swahili Porcelain, Beads and Pottery”. In S. M.

Nelson, A.B. Kehoe (eds.), Powers of Observation: Alternative Views in Archaeology,

Archaeological Papers of the American Anthropological Association 2, (Washington:

American Anthropological Association, 1990), h. 47-59. 28

Li Min, “The Trans-Pacific Extension of Porcelain Trade in the Early Modern Era:

Cultural Transformations Across Pacific Space”. In P. K. Cheng (ed.), Proceeding of the

International Symposium: Chinese Export Ceramics in the 16th and 17th Centuries and the

Spread of Material Civilisation, (Hong Kong: The City University, 2012), h. 219-234.

149

Gapura Candi Bentar, tempelan keramik Tiongkok dan keramik Belanda.29

Ornamen-ornamen tersebut diletakkan di bagian paling depan dari Keraton

Kasepuhan sehingga dapat disaksikan oleh semua orang.

Candi Bentar sebagaimana di Siti Inggil (Keraton Kaespuhan) yang

mengadopsi budaya dari Hindu banyak ditemukan di beberapa tempat di Indonesia

dengan pemaknaan yang berbeda-beda, misalnya Yusuf dalam penelitiannya

mengatakan bahwa Candi Bentar dalam konsep Bali merupakan simbol mulut yang

tenganga. Simbol mulut yang tenganga ini menjadikan Candi Bentar sebagai pintu

masuk. Yusuf mencontohkan Candi Bentar pada kompleks gereja Kristen Pniel

Blimbingsari, Bali. Candi Bentar pada gereja ini memiliki ornamen salib sebagai

simbol agama Kristen.30

Sementara Zarifa dalam penelitiannya tentang “Masjid dan

Makam Sendang Duwur: Perwujudan Akulturasi”, mengatakan bahwa terdapat 4

Candi Bentar pada kompleks masjid dan makam Sendang Duwur. Candi Bentar

dikenal pada zaman Indonesia–Hindu, seperti terdapat pada bekas kompleks

Keraton Majapahit (Gapura Waringin Lawang). Bangunan kuno (Candi) relief

seperti itu terdapat pada relief Candi Jawi, Candi Jago, dan Candi Tigawangi. Zarifa

bahkan mengatakan bahwa Candi Bentar yang tertua berada di Pura Prasada Bali.31

Perpaduan budaya Islam dan Hindu menjadi satu kesatuan yang saling

melengkapi yang diwujudkan dalam bentuk bangunan yang dalam konteks Keraton

Kasepuhan, salah satunya adalah Siti Inggil. Sebagaiman juga penelitian Fitri terkait

Gapura Bentar, Gapura Paduraksa, masjid dan makam di Sendang Duwur,32

Lamongan, Jawa Timur. Fitri dalam penelitiannya mengatakan bahwa di bangunan

paduraksa terdapat ornamen dan motif yang memiliki makna simbolik dalam

kaitannya dengan Islam, misalnya hiasan motif pohon kalpataru yang dalam

kepercayaan Hindu menyebutnya sebagai pohon hayat, sedangkan dalam Islam

disebut pohon syajarotul khuldi yang berada di sidrotul muntaha. Pohon tersebut

mempunyai makna bahwa pohon yang dapat memberikan segala keinginan.33

Dalam konteks Kesultanan Cirebon, Gapura Candi Bentar yang mendapat

pengaruh Hindu bermakna bahwa Kesultanan Cirebon sekalipun merupakan

kesultanan Islam tetapi sangat menghormati dan menghargai leluhurnya dengan

tetap mengakomodir unsur-unsur budaya Hindu. Sehingga orang Hindu yang

29

Pembahasan tentang tempelan keramik Belanda dalam kajian ini tidak dijelaskan

secara spesifik sebab keramik ini dipasang belakangan setelah kehadiran Belanda di

Cirebon. 30

S. A. Yusuf, “Aspects of Architecture Infrastructures Acculturation Function, form

and the Meaning of the Christian Church building Pniel Blimbingsari in Bali. Arteks: Jurnal

Teknik Arsitektur, vol. 1, no. 1, 2016, h. 15-30. 31

A. P. Zarifa, “Masjid dan Makam Sendang Duwur: Perwujudan Akulturasi”. In

Prosiding Seminar Heritage IPLBI, 2017, h. 381-384. 32

Sendang Duwur diambil dari salah satu nama tokoh yang menyebarkan Islam di

tanah Jawa, yakni Sunan Sendang Duwur. Nama asli dari Sunan Sendang Duwur adalah

Raden Noer Rahmanputra dari Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid dari

Baghdad. Gelar Sunan Sendang Duwur didapat dari pemberian Sunan Drajad. 33

R. F. R. Fitri, “Simbol Bangunan pada Komplek Gapura, Masjid dan Makam

Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur”. Jurnal

Penelitian, Universitas Airlangga, 2018, h. 1-10.

150

melihat Gapura Candi Bentar merasakan keterwakilannya, begitupun etnis

Tionghoa ketika melihat ornamen-ornamen Tionghoa. Lebih jauh kesultanan ini

menginginkan adanya kerukunan hidup beragama dan kerukunan hidup berbudaya

dalam kehidupan bernegara. Ini menandakan bahwa sejak awal Kesultanan Cirebon

yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati menjadi basis bagi pengembangan Islam

yang toleran, inklusif,34

atau dalam bahasa yang sedang booming sekarang ini, yakni

Islam Wasathiyyah atau Islam moderat.

Kaitannya dengan konsep Islam Wasathiyyah sebagaimana di atas,

cendekiawan Muslim Azyumardi Azra membuat sebuah penegasan dengan

mengatakan bahwa Islam Wasathiyyah atau Islam moderat secara substansi

merupakan tradisi lama, baik secara keagamaan atau kebudayaan. Lebih lanjut ia

mengatakan bahwa Islam Wasathiyyah sudah diperkenalkan oleh para ulama

terdahulu, terhitung sejak kehadirannya di Nusantara. Wasathiyyah Islam bertemu

dengan ragam budaya dan suku bangsa, yang menekankan pada sikap “tengahan”

melahirkan umat Islam Indonesia yang wasathiyyah, akomodatif dan inklusif.

Sebagai contoh budaya masyarakat Jawa yang tepo seliro, guyub adalah budaya

yang menekankan pada kebersamaan, tidak “menang-menangan”, tidak egois dan

tidak menang sendiri. Islam Wasathiyyah atau Islam moderat yang berkembang di

Indonesia memiliki beberapa karakteristik yaitu tawassuth, tawazun, dan

muwathonah.35

Istilah wasathiyyah merupakan terminologi yang sangat dinamis dan

kontekstual. Artinya, terminologi tersebut tidak hanya berkaitan dengan satu aspek

saja, tetapi melibatkan keseimbangan antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit,

hak dan kewajiban, individualisme dan kolektivisme, teks (al-Qur‟an dan hadis) dan

ijtihad, ideal dan realita, yang permanen dan sementara,36

yang kesemuanya terjalin

secara terpadu. Dengan demikian, sebenarnya konsep Islam Wasathiyyah atau Islam

moderat meminta umat Islam untuk mengamalkan ajaran Islam secara seimbang,

tidak berlebihan dan komprehensif dalam berbagai hal dengan memusatkan

perhatiannya pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan

pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi dan

keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan,

persamaan antar ras dan lainnya.37

Pada akhirnya, Islam Wasathiyyah harus menjadi

34

Toleran dan inklusifnya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari sosok pemimpinnya,

yaitu Sunan Gunung Jati. Sikap Sunan Gunung Jati yang toleran dan inklusif menurut

Irianto erat kaitannya dengan wawasannya yang luas dan bersifat internasional, ilmunya

“dalam”, sudah mengunjungi banyak negara, serta sahabatnya lintas agama dan negara.

Itulah yang membentuk kepribadian Sunan Gunung Jati. Wawancara dengan Bambang

Irianto (Budayawan Cirebon) pada tanggal 08 Juli 2020. 35

Azyumardi Azra, disampaikan dalam Webinar yang diselenggarakan PPIM Jakarta,

19 Juni 2020. 36

Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq, (Cairo: Dar al-

Shuruq, 2000), h. 30. 37

Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic

Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia”. In International Journal of

Humanities and Social Science, vol. 4, no. 9, 2014, h. 51-62.

151

arus utama keislaman di Indonesia, karena dianggap menjadi solusi untuk

menjawab berbagai problematika keagamaan dan peradaban global.38

Kajian Islam dalam konteks Islam Indonesia yang moderat juga erat kaitannya

dengan konsep moderasi. Hilmy mengatakan konsep moderasi memiliki beberapa

karakteristik di antaranya: Menyebarkan Islam tidak menggunakan kekerasan, tetapi

lebih mengutamakan jalan damai; Mengadopsi cara hidup yang moderat dalam

semua aspek, termasuk sains dan teknologi, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM)

dan sejenisnya; Cara berfikirnya rasional; Dalam memahami Islam sangat

kontekstual, tidak tekstual; dan, menggunakan ijtihad jika tidak ditemukan

justifikasi eksplisit dari al-Qur‟an dan hadis. Beberapa karakteristik tersebut bisa

diperluas dengan beberapa karakteristik lain seperti toleransi, harmoni dan kerja

sama antar kelompok agama.39

Sekalipun istilah Islam moderat atau Islam Wasathiyyah baru populer

belakangan ini dan mendapat momentumnya pada masa Lukman Saefuddin

(Menteri Agama RI 2014-2019), namun dalam konteks kajian ini penulis melihat

“ruh”nya sudah ada sejak Kesultanan Cirebon didirikan. Corak Islam yang inklusif,

akomodatif dan toleran terhadap keberagaman agama dan budaya yang diwariskan

oleh para pendiri Kesultanan Cirebon masih bisa kita saksikan bersama dalam

beberapa tempat bersejarah di Cirebon. Jika Kesultanan Cirebon itu ekslusif tentu

kita tidak akan menemukan budaya-budaya dari luar yang notabene budaya non-

Islam ada dan berakulturasi dengan budaya Islam, bahkan menempel di bangunan-

bangunan yang dimuliakan dan disakralkan oleh warga masyarakat setempat.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, di tembok bangunan utama Keraton

Kasepuhan yaitu Siti Inggil, terdapat Gapura Candi Bentar yang mendapat pengaruh

dari Hindu, dan keramik-keramik yang berasal dari Tiongkok. Berdasarkan

posisinya, kedua wujud budaya tersebut diletakkan di bagian depan, serta Gapura

Candi bentar dan pengaruh Hindu lainnya diletakkan di atas atau lebih tinggi.

Secara sombolik hal tersebut erat kaitannya dengan waktu kedatangan Hindu yang

sudah lebih dulu dibanding Islam. Adapun keberadaan tempelan-tempelan keramik

Tiongkok yang dipasang di tembok bagian depan keraton bermakna bahwa Keramik

Tiongkok itu merupakan budaya dari luar, bukan budaya lokal. Oleh karena budaya

tersebut datang dari luar, maka tempelan keramik diletakkan di tembok bagian

depan Kesultanan Cirebon dan diletakkan di luar. Sedangkan keberadaan keramik-

keramik Tiongkok di bagian dalam Keraton Kasepuhan memperlihatkan eksistensi

etnis Tionghoa yang kemudian menjadi isteri Sultan Gunung Jati, yakni putri Ong

Tien. Oleh karena itu, tidak heran jika sampai sekarang pengaruh budaya Tionghoa

tidak hanya ada di luar, namun juga di dalam keraton. Hal tersebut bermakna bahwa

budaya Tionghoa telah menjadi bagian penting dan integral dari Kesultanan

Cirebon yaitu dengan terjadinya perkawinan antara Sunan Gunung Jati dan Puteri

38

Sauqi Futaqi, “Konstruksi Moderasi Islam (Wasathiyyah) dalam Kurikulum

Pendidikan Islam”. In 2nd Proceedings; Annual Conference for Muslim Scholars, UIN

Sunan Ampel Surabaya, 21-22 April 2018, h. 521-530. 39

Masdar Hilmy, “Whither Indonesia‟s Islamic Moderatism? A reexamination on the

moderate vision of Muhammadiyah and NU”. Journal of Indonesian Islam, vol. 7, no. 1,

2013, h. 24-48.

152

Ong Tien. Sebagaimana dikatakan oleh Opan bahwa akulturasi yang paling tinggi

adalah melalui perkawinan.40

Hal ini juga diamini oleh Gillin. Menurutnya

perkawinan campur adalah kondisi yang paling menguntungkan untuk proses

akulturasi.41

Seandainya sultan tidak beristerikan orang Tionghoa, boleh jadi

budaya-budaya Tionghoa itu tidak akan mewarnai Keraton Kasepuhan. Lebih lanjut

Opan juga mengatakan bahwa pada saat itu barang atau produk-produk dari

Tiongkok terutama keramik dikenal sangat bagus baik motif maupun kualitasnya.

Semua orang-dari sultan sampai rakyat- menyukai motif atau ornamen yang ada di

keramik atau sutera yang dibawa Ong Tien. Kemudian dalam perkembangannya

ornamen-ornamen itu ikut mewarnai dan memengaruhi budaya-budaya yang

berkembang di Cirebon. Pendapat ini juga diperkuat oleh pernyataan P.R. A Arief

Natadiningrat bahwa kebudayaan Tiongkok mulai berpengaruh secara signifikan

terhadap kebudayaan Cirebon sejak kedatangan puteri Ong Tien.42

Dengan demikian, Candi Bentar yang merupakan pengaruh dari Hindu di

Indonesia telah terakulturasi dengan kebudayaan Islam, khususnya di Gapura Siti

Inggil kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon dan di tempat-tempat lain, seperti

makam dan masjid Sendang Duwur sebagaimana penelitian Zarifah serta Candi

Bentar pada gereja di Bali yang memiliki ornamen salib.

Bangunan Siti Inggil tidak hanya mendapat pengaruh Hindu tapi juga budaya

Tionghoa. Budaya Tionghoa kaya akan makna dan simbol, khususnya yang

berkaitan dengan hewan. Budaya Tionghoa juga dipengaruhi oleh agama Budha,

Tao dan Khong Hucu sebagai agama mayoritas masyarakat Tionghoa. Dalam kitab

Tripitaka seperti yang ditulis Mulyono dan Diana menjelaskan bahwa Sang Buddha

sangat menghargai nyawa makhluk hidup, tidak terkecuali binatang. Oleh karena

itu, masyarakat Tionghoa menjadikan hewan sebagai komponen-komponen

simbolik dan sering mengkaitkan sifat-sifat hewan dengan nilai-nilai kehidupan

manusia. Hewan dianggap memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai hidup

yang ingin digapai oleh manusia, yakni kesehatan, panjang umur, kekuatan,

kemakmuran, dan perlindungan dari segala bahaya.43

Begitupun dengan gambar-

gambar yang menghiasi keramik-keramik yang menempel di tembok Siti Inggil

kaya akan simbolisasi yang dikaitkan dengan budaya Tionghoa. Adapun gambar-

gambar yang menempel di keramik adalah naga (lung), phoenix (feng huang), dan

ikan.

Naga dalam zodiak Tiongkok adalah makhluk luar biasa yang melambangkan

kemakmuran dan keperkasaan. Naga juga merupakan simbol dari Kaisar Tiongkok,

di mana mereka selalu mengenakan jubah yang penuh dengan ornamen naga.

Sementara dalam tradisi Tionghoa, naga identik dengan sesuatu yang besar dan

40

Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19

Juli 2020. 41

Gillin&Gillin, Cultural Sociology: A Revision and of Introduction to Sociology, (New York: The Mac Millan Company, 1948), h. 530. 42

N. Sofiyawati, Kajian Gaya Hias Singa Barong dan Paksi Naga Liman Dalam Estetika Hibriditas Kereta Kesultanan Cirebon, Sosioteknologi, Vol. 16, No. 3, 2017, h. 304-324

43Grace Mulyono dan Diana Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng

Kwan Sing Bio di Tuban”. Dimensi Interior, vol. 6, no. 1, 2008, h. 1-8.

153

hebat.44

Menurut Bambang Irianto Naga itu khusus untuk pemimpin. Untuk

pemimpin nomor satu biasanya naganya menghadap kedepan. Jadi, seorang Patih,

Tumenggung atau Bupati sekalipun tidak akan berani menggunakan jubah atau baju

dengan ornamen naga yang menghadap kedepan. Biasanya selain raja atau sultan,

ornamen naganya menghadap kesamping. Hal itu bisa disaksikan pada Kereta

Kencana Singa Barong yang banyak terdapat patung naga, yang semuanya

menghadap kedepan.45

Artinya Kereta kencana Singa Barong adalah kendaraan

yang khusus diperuntukkan untuk Sultan. Makanya, tempat duduknya hanya untuk

satu orang.

Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, naga merupakan penggabungan dari

sembilan macam hewan yang dikomposisikan sedemikian rupa, yaitu; 1) kepala

menyerupai unta, dengan jenggot panjang dan lidah mematikan; 2) tanduk unta; 3),

mata kelinci; 4) telinga sapi yang tidak dapat mendengar; 5) leher ular; 6) perut

katak; 7) sisik ikan pada tubuh; 8) sayap elang; dan 9) tapak kaki harimau.46

Naga

memiliki arti yang sangat berharga bagi masyarakat Tionghoa. Simbol naga

melambangkan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi. Pada intinya, naga

adalah simbol kebesaran, keagungan dan kehebatan; simbol kemakmuran akan air,

baik melalui hujan ataupun danau; simbol dari kekuatan yang menjaga dan

mengawasi manusia serta jagad raya.47

Sementara menurut Tanomi, naga dianggap sebagai Dewa Laut dan Dewa yang

bisa mendatangkan hujan oleh orang Tiongkok Kuno. Mereka sangat menghormati

naga, apalagi mereka sangat tergantung pada hasil pertanian. Lebih lanjut mereka

menganggap naga sebagai lambang keberuntungan, kemakmuran, kekuasaan,

keberanian, kepercayan dan kepahlawanan. Pertunjukan Liong pada saat Cap Go

Meh adalah salah satu wujud tradisi untuk berdoa meminta perlindungan dari sang

naga.48

Dalam konteks Keraton Kasepuhan, naga dijumpai pada tembok Siti Inggil

sebagai bangunan utama dan paling depan, yang secara filosofis bermakna bahwa

Kesultanan Cirebon merupakan kesultanan yang berdiri sendiri bukan kerajaan

44

Mulyono dan Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing Bio

di Tuban”, h. 1-8. 45

Wawancara dengan Bambang Irianto (Budayawan Cirebon) pada tanggal 08 Juli

2020. 46

Li Xiaoxiang, Origins of Chinese People and Customs, (Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo, 2003), h. 22-25.; Lihat juga Polniwati Salim, “Memaknai Pengaplikasian

Ornamen pada Atap Bangunan Klenteng sebagai Ciri Khas Budaya Tionghoa”. Aksen, vol 1,

no. 2, 2016, h. 50-65.; Mulyono dan Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng

Kwan Sing Bio di Tuban”, h. 1-8.; Sugiri Kustedja, dkk., “Makna Ikon Naga, Long, Elemen

Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa”. Jurnal Sosioteknologi, ed. 30, thn. 12, 2013, h.

526-539. 47

De Jeny Gex, Asian Style Source Book, (Singapura: MQ Publication Ltd., 2000), h.

44-45. 48

Erna Tanomi dan Elisa Christiana, “Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa dalam

Pertunjukan Liong Batik dan Wacinwa di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta tahun 2015”.

Century: Journal of Chinese Language, Literature and Cultur, vol. 2, no. 1, 2014, h. 108-

122.

154

bawahan Pajajaran seperti Ketika masih dibawah kepemimpinan Cakrabuana. Sejak

Syarif Hidayatullah memimpin Cirebon sudah melepaskan diri dari Pajajaran dan

menjadi negara yang berdaulat penuh.49

Naga yang berada di tembok Siti Inggil

juga bermakna sebagai sebuah doa kepada Kekuatan yang transenden agar

senantiasa menjaga dan melindungi penghuni keraton khususnya keluarga sultan

dan masyarakat Cirebon pada umumnya dari segala macam bahaya, wabah, musuh

dan kemudharatan lainnya. Makna implisitnya adalah bahwa seorang raja atau

pemimpin harus mampu mengayomi dan melindungi warganya dari segala macam

bahaya, baik bahaya musuh, kelaparan, penyakit, kebodohan maupun

kemudharatan. Seorang pemimpin harus mampu memberikan rasa aman, kedamaian

dan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Selain gambar naga, di tembok Siti Inggil juga terdapat gambar phoenixsalah

satu simbol penting dalam tradisi masyarakat Tionghoa. Makhluk ini digambarkan

sebagai burung yang indah dengan perpaduan beberapa warna. Makhluk ini

dianggap dapat membawa nasib baik dan melambangkan kaisar wanita, kedamaian

dan kemakmuran. Phoenix juga melambangkan matahari dan kehangatan yang

menyelimuti daerah selatan karena memang makhluk ini merupakan simbol dari

daerah selatan. Menurut Tatt ada beberapa nilai dan makna dari phoenix, yaitu:

penanda lahirnya “orang besar”, phoenix hanya akan singgah ke sesuatu yang

berharga, membawa kemakmuran, kedamaian dan kenyamanan, juga mampu

melawan kejahatan. Dalam upacara perkawinan masyarakat Tionghoa, gambar

phoenix selalu disandingkan dengan naga. Phoenix melambangkan pengantin

wanita, sedangkan naga melambangkan pengantin pria.50

Adapun gambar phoenix

yang ditempel di dinding tembok Siti Inggil bermakna sebuah doa dan harapan agar

kedamaian, ketenangan dan kemakmuran selalu mewarnai kehidupan masyarakat

Cirebon. Masyarakat Cirebon dijauhkan dari segala konflik, pertikaian dan

peperangan. Ketika keadaan negara damai, maka pembangunan di segala bidang

akan berjalan baik, ekonomi juga akan tumbuh cepat, yang pada akhirnya akan

menghantarkan masyarakat Cirebon pada keadaan makmur dan sejahtera.

Gambar yang yang terakhir adalah gambar ikan. Dalam tradisi Tionghoa, ikan

bermakna kegelapan. Hewan ini biasa dihidangkan pada acara Imlek. Maknanya

adalah segala hal yang tidak baik dan kehidupan yang penuh kegelapan atau nasib

buruk di masa lalu harus dihilangkan dan diganti dengan sesuatu yang baik dan

penuh keberuntungan.51

Ikan juga merupakan simbol “berlebih-lebihan”

(kemewahan). Jadi tempelan ornamen ikan di keramik yang ditempel di dinding Siti

Inggil dapat juga diartikan sebagai sebuah doa dan harapan agar masyarakat

49

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari…, h. 95. 50

Ong Hean Tatt, Chinese Animal Symbolisms, (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk

Publications, 1993), h. 40-55. 51

Ni Wayan Sartini, “Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa: Analisis

Wacana Ritual Tahun Baru Imlek”. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, vol. 19, no. 2,

2006, h. 47-62.

155

Cirebon senantiasa berada dalam keadaan yang berkecukupan dalam aspek material

dan spiritualnya.52

Sementara dalam bahasa Mandarin ikan sama pelafalannya dengan

keberuntungan.53

Ikan adalah salah satu hewan yang disenangi. Setiap orang yang

melihat ikan hatinya senang dan damai. Makanya dalam kehidupan nyata sering kita

saksikan ada orang-orang yang melarikan “kegalauannya” dengan memancing.

Makna implisit dari gambar ikan adalah bahwa etnis Tionghoa yang datang ke

Cirebon membawa pesan perdamaian dan ingin hidup damai dengan penduduk

setempat, bukan permusuhan atau peperangan. Penulis melihat hal itu sejalan

dengan misi yang dibawa Chengho ketika berkunjung ke Cirebon. Sekalipun saat

itu pasukan yang dibawanya berjumlah, kurang lebih 27.000 pasukan, lebih banyak

dari jumlah penduduk Amparan Jati, namun Cheng Ho tidak melakukan penaklukan

atau kolonialisasi. Cheng Ho hanya membawa misi persahabatan. Makanya di

daerah atau negara manapun ia singgah, diterima dengan baik oleh masyarakat

setempat. Itu yang membedakan kedatangan Cheng Ho dan Barat. Begitupun ketika

Ong Tien datang dengan pasukannya ke Cirebon, membawa misi perdamaian,

bahkan kemudian terjadi perkawinan.

Selain ornamen-ornamen fauna, di keramik-keramik yang ditempel di Siti

Inggil juga ada ornamen flora seperti bunga. Tumbuhan dianggap sebagai lambang

yang memiliki kekuatan alami, dan tahan terhadap berbagai perubahan cuaca atau

iklim. Tumbuhan/bunga yang sering digunakan sebagai ornamen, salah satunya

adalah teratai. Bagi masyarakat Tionghoa terutama pengikut Buddha, teratai

memiliki tempat yang istimewa di hati mereka. Dalam agama Buddha, teratai

dipercaya sebagai tempat duduk Sang Buddha yang melambangkan keagungan.

Teratai dalam budaya Tionghoa melambangkan kesucian dan kesempurnaan, serta

senantiasa tumbuh bersih dan menarik walaupun dalam lumpur atau rawa-rawa.54

Dalam kaitannya dengan Islam, Opan melihat bahwa tiap-tiap orang Muslim di

manapun ia berada, harus mampu menjaga fitrah ketauhidannya, jangan sampai

luntur dan terkontaminasi dengan lingkungan yang membuatnya semakin jauh dari

Dzat Yang Maha Suci. Dengan kata lain, mau berteman dengan siapa saja dan di

mana saja, nilai-nilai Ketuhanan harus selalu dipegang kuat. Manusia harus mampu

beradaptasi dengan lingkungan di manapun berada dan sebisa mungkin bermanfaat

bagi sesama.55

Penulis melihat, dengan adanya berbagai budaya dari luar yang ikut mewarnai

dan melekat dalam arsitektur Keraton Kasepuhan, menandakan bahwa telah terjadi

akulturasi budaya dalam Kesultanan Cirebon. Pandangan penulis sejalan dengan

teorinya Keesing bahwa akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul jika suatu

52

Jeremy Huang, Mengungkap Keberadaan dan Budaya Etnis Tionghoa Cirebon,

(Cirebon: Katalog Online Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati, 2006), h. 53. 53

David Lievander, Olivia, dan Kuo Chun-I, “Ritual Perayaan Imlek Etnis Tionghoa Di

Kota Toli-toli”. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture, vol. 5, no.

1, 2017, h. 10-17. 54

Salim, “Memaknai Pengaplikasian Ornamen…,”, h. 50-65 55

Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19

Juli 2020.

156

kelompok manusia dengan budaya-budaya tertentu bertemu dengan unsur-unsur

budaya asing tertentu, sehingga kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan

diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan identitas kebudayaan

masing-masing hilang.56

Dari bangunan Keraton Kasepuhan, penulis melihat beberapa hal. Pertama,

Bangunan mencerminkan bahwa Kesultanan Cirebon berbasiskan ajaran Islam.

Kedua, bangunannya mencerminkan terjadinya proses akulturasi yang baik,

dibuktikan dengan bangunan-bangunan yang ada di Keraton Kasepuhan maupun di

tempat bersejarah lainnya. Perwujudan budaya-budaya dari berbagai negara ada

disini, dan diposisikan di tempat-tempat tertentu. Dengan demikian, budaya Cirebon

memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan Islam sebagai agama utama dan

mayoritas dipeluk masyarakat Cirebon. Ini terlihat dari makna-makna filosofis dari

bangunan-bangunan yang ada dalam Siti Inggil. Bangunan Siti Inggil dibangun

pada tahun 1529 pada masa Syarif Hidayatullah.

Secara keseluruhan, di bagian dalam Siti Inggil terdapat lima bangunan tanpa

dinding, dan beratap sirap. Deretan depan dari barat ke timur, di antaranya adalah

bangunan Mande Malang Semirang, Mande Semar Tinandu, Mande Pandawa Lima,

Mande Pelinggihan (Pengiring), dan Mande Karesmen.

1. Mande Malang Semirang

Gambar 6. Mande Malang Semirang

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Bangunan Mande Malang Semirang merupakan bangunan utama yang berada

di bagian tengah Siti Inggil. Fungsi bangunan ini dikhususkan sebagai tempat duduk

Sultan Cirebon beserta para keluarga, utamanya dalam berbagai kegiatan seperti

upacara pelatihan dan pelaksanaan pengadilan di Alun-alun Sangkalabuana tepatnya

di sebelah utara Keraton Cirebon. Mande Malang Semirang ditopang oleh enam

tiang utama yang melambangkan rukun iman, dan jika dihitung keseluruhan

tiangnya berjumlah dua puluh yang melambangkan dua puluh sifat Allah.

Pelambangan rukun iman sebagaimana yang ada pada enam tiang utama

Mande Malang Semirang dalam kaitannya dengan Islam mengarah pada masalah

akidah. Sementara dalam Islam pembahasan mengenai akidah, salah satunya ialah

rukun iman yang enam, sebagaimana hadis Rasulullah SAW berikut ini:

56

F. M. Keesing, Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological

Sources to 1952, (New York: Stanford University Press, 1953), h. 1.

157

Dari Umar RA berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW bahwa: “...Maka

terangkanlah kepadaku tentang iman jawab Nabi, hendaklah engkau beriman

kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab kitab-Nya, kepada utusan

utusan-Nya, kepada hari kiamat, dan hendaklah engkau beriman kepada

Qodar yang baik dan yang buruk...”(HR. Muslim).

Kesadaran terhadap akidah (kepercayaan) artinya mempercayai sepenuh hati

terhadap keberadaan yang gaib merupakan suatu sikap jiwa yang diperoleh karena

pengetahuan yang berproses demikian rupa sehingga membentuk taat nilai atau

norma maupun prilaku seseorang.57

Sementara itu, dua puluh tiang penyanggah yang melambangkan dua puluh

sifat Allah. Menurut al-Asya'iroh, pembagian sifat terbagi menjadi tiga, di yaitu:

Pertama, Sifat Wajib adalah sifat-sifat yang pasti dimiliki oleh Allah SWT yang

sesuai dengan keagungan-Nya. Sifat wajib ini ada dua puluh yang terbagi menjadi

empat kategori, yaitu: (1) Sifat nafsiyah (sifat yang menetapkan adanya Allah

SWT). Sifat ini hanya ada satu, yaitu sifat wujud (ada). Dalil bahwa Allah SWT

memiliki sifat wujud disebutkan dalam al-Qur‟an, yang artinya “Maha Suci Allah

yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga

padanya matahari dan bulan yang bercahaya” (QS. Al-Furqan 25:61). (2) Sifat

salbiyah adalah sifat yang menolak segala sifat yang tidak layak dan tidak patut

bagi Allah SWT, sebab dzat dan sifat Allah SWT Maha Sempurna dan tidak

memiliki kekurangan. Adapun yang termasuk dalam sifat salbiyah ada 5 yaitu:

qidam (terdahulu), baqa (kekal), mukhalafatu lil hawadits (tidak serupa dengan

yang baharu/makhluk), qiyamuhu binafsiihi (berdiri sendiri), wahdaniyah (Maha

Esa). (3) Sifat ma'ani adalah sifat yang tetap ada pada dzat Allah yang menjelaskan

keaktifan dzat Allah. Yang termasuk ke dalam sifat ma'ani yaitu: hayyun (Maha

Hidup), qudrah (Maha Kuasa), iradah (Maha Berkehendak), ilmun (Maha

Mengetahui), Kalam (Maha Berfirman), Sama' (Maha Mendengar), bashar (Maha

Melihat). (4) Sifat ma'nawiyah yaitu sifat yang disandingkan dengan sifat ma'ani

atau sifat yang menjelaskan tentang sifat ma'ani. Jumlahnya ada 7 yaitu : kaunuhu

hayyan (dzat yang selalu berkeadaan Maha Hidup), kaunuhu qadiran (dzat yang

selalu berkeadaan Maha Kuasa), kaunuhu muridan (dzat yang selalu berkedaan

Maha Berkehendak), kaunuhu aliman (dzat yang selalu berkeadaan Maha

Mengetahui), kaunuhu sami'an (dzat yang selalu berkeadaan Maha Mendengar),

kaunuhu bashiran (dzat yang selalu berkeadaan Maha Melihat).

Kedua, sifat mustahil (sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh Allah SWT yang

menunjukkan kekurangan-Nya). Sifat mustahil merupakan kebalikan dari sifat

wajib. Jumlahnya ada dua puluh, yaitu adam (tidak ada), huduts (baru), fana

(rusak/binasa), mumatsali lil hawaditsi (serupa dengan makhluknya), qiyamuhu

bighairihi (berdiri dengan yang lain), ta‟addud (lebih dari satu), ajzun (lemah),

karahah (tidak berkemauan), jahlun (bodoh), al maut (mati), as shamam (tuli), al

umyu (buta), al bukmu (bisu), kaunuhu ajzan (keadaan-Nya yang lemah), kaunuhu

mukrahan (keadaan-Nya terpaksa), kaunuh jahilan (keadaan-Nya yang bodoh),

kaunuhu mayyitan (keadaan-Nya yang mati), kaunuhu ashamman (kedaan-Nya

57

Ahmad Munawar Ismail, “Aqidah as a Basic Of Social Toleranca: The Malaysian

Experience”. International Journal of Islamic Thought, vol. 1, 2012, h. 1-7.

158

yang tuli), kaunuhu a'maa (keadaan-Nya yang buta), kaunuhu abkam (keadaan-Nya

yang bisu).

Ketiga, sifat jaiz adalah sifat yang mungkin boleh dimiliki dan boleh tidak

dimiliki oleh Allah SWT. Bahwa Allah SWT berbuat apa yang dikehendaki. Sifat

jaiz hanya ada satu yaitu fi'lu kulli mumkinin au tarkuhu (Allah berwenang untuk

menciptakan dan berbuat sesuatu atau tidak sesuai dengan kehendak-Nya).

Sebagaimana firman Allah yang artinya“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia

kehendaki dan memilihnya…”(QS. Al-Qashas 28: 68).

Sifat wajib bagi Allah sebagaiman di atas, sangat penting untuk diketahui oleh

setiap orang Islam. Kaitannya dengan Kesultanan Cirebon, memahami hal tersebut

adalah wajar sebab Kesultanan Cirebon merupakan salah salah Kerajaan Islam yang

pernah jaya di masanya. Tentu doktrin keagamaan juga diterapkan oleh pihak

kesultanan kepada masyarakatnya. Tidak hanya itu, semua bangunan yang ada di

dalam Keraton Kasepuhan Cirebon juga memiliki makna simbolik dan filosofis

dalam kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu

sosok pemimpin Kerajaan Islam Cirebon, yakni Sunan Gunung Jati, ia tidak hanya

sebagai pemimpin kerajaan tetapi juga sebagai orang yang mendakwahkan Islam

pada masyarakatnya.

Masyarakat Cirebon, merupakan komunitas masyarakat yang mewarisi nilai-

nilai luhur dari tokoh agama Islam di tanah Jawa, yakni Syarif Hidayatullah (1448-

1568) yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Peradaban Islam yang

disebarkan oleh Sunan Gunung Jati memberi kontribusi pada pembentukan cara

pandang dunia yang menekankan aspek teosentrikberkisar sekitar Tuhan,

daripada konsep peradaban Barat yang lebih menekankan pada aspek

antroposentrikberkisar pada manusia. Semuanya itu berasal dari warisan kearifan

lokal Sunan Gunung Jati yang terus dilestarikan di kalangan masyarakat Cirebon

hingga saat ini.

Melalui bangunan Mande Malang Semirang, penulis melihat bahwa Susuhunan

Jati sebenarnya ingin menegaskan bahwa Kesultanan Cirebon dibangun di atas

fondasi iman atau tauhid, dan khusus dua puluh tiang penyanggah bangunan Mande

Malang Semirang menyimbolkan sifat wajib bagi Allah. Dengan demikian, melalui

simbol tiang-tiang menunjukkan betapa Kesultanan Cirebon sarat dengan simbol-

simbol ketauhidan.

2. Mande Semar Tinandu

Gambar 7. Mande Semar Tinandu

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

159

Bangunan Mande Semar Tinandu sebagaimana pada gambar di atas biasa

digunakan atau berfungsi sebagai tempat duduk penasehat kesultanan, penghulu

keraton dan kepala kaum Masjid Sang Cipta Rasa. Bangunan yang terletak di

sebelah barat laut dari Siti Inggil ini ditopang oleh dua tiang penyanggah yang

melambangkan dua kalimat syahadat. Tidak hanya sebatas lambang, tetapi setiap

tahunnya pihak keraton melangsungkan sebuah tradisi keagamaan yang dikenal

dengan nama panjang jimatdalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad

SAW, yang dalam tradisi masyarakat Jawa di Yogyakarta disebut sekaten. Jimat

(kang siji kang kudu dirumat)dalam konteks ini adalah syahadat.

Sementara dalam Islam, syahadat dapat diartikan sebagai pernyataan janji setia.

Syahadat berasal dari kata syahada yasyhadusyahādatan atau syuhūdan yang

berarti menghadiri, menyaksikan, mengetahui, memberikan kesaksian, bersumpah,

mengakui, dan mendatangkan. Oleh karena syahadat juga bisa berarti sumpah, maka

harus dipenuhi dan tidak bisa dilupakan, sebab salah satu syarat seseorang dianggap

Muslim adalah dengan membaca dua kalimat syahadat, yakni pernyataan atau

pengakuan bahwa Allah adalah Tuhannya dan Muhammad adalah utusan Allah.58

Keraton Kasepuhan sebagai Kesultanan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai

dan aturan Islam juga memiliki pandangan yang demikian. Karena syahadat adalah

sumpah yang tidak boleh dilupakan, maka syahadat harus tetap diingat dengan jalan

terus mengikrarkannya. Peristiwa ini telah diabadikan di dalam al-Qur‟an surat Al

A‟raaf [7] ayat 172-173. Dua ayat ini mengungkap secara jelas bahwa terjadi

pengambilan sumpah atau bai‟at syahadat langsung di hadapan Allah. Sumpah setia

tersebut membawa manusia lahir dalam keadaan suci bagi keyakinan Muslim.

Abd al-Raḥmān dalam Durūs al-Fiqhiyyah menyebut bahwa istilah syahadat

adalah memantapkan hati (ber-iqtiqod), sesungguhnya Allah Esa, tidak ada sekutu

bagi-Nya dan sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah rasul dan utusan

Allah.59

Sementara Muhammad Nawawī Al-Jāwy menerangkan bahwa syahadat

adalah tiang Islam, atau fondasi agama Islam. Terkait dengan beberapa rukun Islam

setelahnya, dikatakan Al-Jawī adalah sebagai pelengkap dari bangunan Islam.

Dengan demikian, syahadat adalah syarat sah diterimanya amal seorang Muslim,

atau dengan kata lain, jika seseorang itu belum bersyahadat, rukun-rukun Islam

setelahnya itu akan sia-sia.60

Dengan demikian, setelah seseorang mengikrarkan syahadat, maka ia telah sah

untuk mengamalkan hukum Islam. Bagi setiap orang yang ingin masuk ke agama

Islam, maka harus memenuhi lima rukun syahadat sebagaimana yang telah

disebutkan. Sementara bagi keturunan Muslim, tidak memerlukan ikrar syahadat

seperti muallaf, meskipun seumur hidupnya tidak pernah mengikrarkan syahadat, ia

sudah menjadi mukallaf. Dalam konteks ini, syahadat seperti roh bagi tubuh, ia

58

Fakhruddin, “Eksistensi Syahadat dan Shalawat dalam Prespektif Tarekat Asy-

Syahadatain”. Jurnal Yaqzhan: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan, vol. 4, no. 2,

2018, h. 242-267. 59

Abd al-Raḥmān, Durūs al-Fiqhiyyah, (T.tp.: Maktabah Syekh Salim, t.th.), h. 3. 60

Muḥammad Nawawī Al-Jāwy, Riyāḍ al-Badī‟ah, (Semarang: Pustaka al-„Alawiyah,

t.th.), h. 3.

160

merupakan kehidupan bagi semua elemen Islam. Karena begitu pentingnya

syahadat dalam kepercayaan Islam, Said Hawwa mengatakan bahwa amal kebaikan

yang dilakukan seseorang tidak ada artinya tanpa syahadat.61

Syahadat yang

dilafalkan adalah syahadat tauhid lā ilāha illa Allah dan syahadat Rasul Muḥammad

rasūl Allah. Kedua kalimat ini dinamakan dua kalimat syahadat (syahadatain), dan

tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dalam konteks masyarakat Cirebon, khususnya di Keraton Kasepuhan, untuk

menjaga agar dua kalimat syahadat ini tetap terpelihara di dalam masyarakat

Muslim, maka ada tradisi yang dikenal dengan panjang jimat. Prosesi adat atau

tradisi panjang jimat adalah refleksi dari sebuah proses kelahiran Nabi Muhammad

SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi

Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan

berbagai benda pusaka, dan “jimat” berarti siji kang kang kudu dirumat (satu yang

dihormati yaitu kalimat syahadat “lā ilāha illa Allah”). Jika digabungan dua kata

tersebut memiliki arti sederetan persiapan menyambut kelahiran nabi yang teguh

mengumandangkan kalimat syahadat kepada umat di dunia. Umumnya, tiap-tiap

upacara terdiri atas kombinasi beberapa macam unsur upacara seperti berkorban,

berdo‟a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya

telah ditentukan sebagai hasil kreasi para pendahulunya yang telah menjadi tradisi

di dalam masyarakat Cirebon.62

Oleh karena panjang jimat telah menjadi tradisi secara turun-temurun, maka

sepanjang hayat dalam pandangan masyarakat Cirebon, setiap orang Muslim harus

menjaga dan merawat jimat-nya yaitu syahadat. Artinya, akidah seorang Muslim

harus tetap dijaga dan jangan sampai lepas. Kalau diperhatikan ritual-ritual yang

berlangsug di dalam tradisi panjang jimat hampir mirip dengan upacara yang

lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil.

Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja

kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk

mendengarkan keabsahan keraton. Pada saat yang sama, seorang raja

menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya.63

Secara serentak,

upacara tradis panjang jimat di Cirebon dilangsungkan di empat tempat yang

menjadi peninggalan dari Syarif Hidayatullah, yakni di Keraton Kasepuhan,

Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan kompleks makam Syarif Hidayatullah

pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.

Dengan demikian, dua tiang penyanggah bangunan Mande Semar Tinandu

adalah simbol dua kalimat syahadat yang makna filosofisnya adalah bahwa

Kesultanan Cirebon sejak awal pendiriannya adalah kesultanan yang berlandaskan

pada Ketuhanan, dan memegang akidah islamiyyah. Karena kesultanan ini

berbasiskan pada ajaran-ajaran Islam, maka secara otomatis semua hal yang

61

Said Hawwa, Al-Islam, terj. Badul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press,

2004), h. 33-34. 62

A.B. Usman, dkk., Upacara Sekaten dalam Pendekatan Teologis: Merumuskan

Kembali Interkasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), h. 205. 63

Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Masa Pra-Islam”, dalam Darori Amin

(ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 20-21.

161

berkaitan dengan kehidupan bernegara disandarkan pada ajaran Islam. Kemudian

secara teologis, dua tiang penyanggah Mande Semar Tinandu menekankan pada

keesaan Allah, dan keesaan Allah itu kemudian dijabarkan pemaknaannya lewat

sifat wajib bagi Allah.

3. Mande Pandawa Lima

Gambar 8. Mande Pandawa Lima

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Mande Pandawa Lima adalah bagunan yang difungsikan sebagai tempat duduk

para panglima dan pengawal pribadi Sultan Cirebon. Bangunan ini berada tepat di

sebelah kiri bangunan utama dengan ditopang oleh lima buah tiang penyangga yang

melambangkan rukun Islam. Keimanan seseorang akan terlihat dari pengamalan

rukun Islam. Iman atau akidah seseorang itu letaknya di hati. Kuat dan lemahnya

iman seseorang akan terlihat dari seberapa ia mampu mengamalkan rukun Islam

tersebut.

Rukun Islam merupakan sendi-sendi agama Islam, serta merupakan tonggak

yang harus didirikan setiap orang Muslim agar bisa selamat hidupnya di dunia dan

akhirat. Banyak nilai dan makna yang dikandung rukun Islam yang bisa diamalkan

sehingga manusia benar-benar bisa menjadi wakil Allah di muka bumi sebagaimana

yang Dia kehendaki, yakni manusia yang memiliki fitrah penghambaan kepada-

Nya dalam semua aspek.64

Ada beberapa hadis yang memuat adanya rukun Islam

sebagai pondasi agama Islam, salah satu di antaranya adalah hadis yang dimuat

dalam kitab Sahīh Bukhari. Rasulullah SAW. bersabda: “Islam itu ditegakkan atas

lima, persaksian tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan

sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Syahadatain), mendirikan

shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan Ibadah Haji ke Baitullah dan puasa pada

bulan Ramadhon” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menjelaskan kepada kita semua bahwa Islam ditegakkan atas lima

perkara. Sebagai makhluk yang memiliki fitrah (potensi beragama), kelima perkara

atau rukun tersebut harus dijalankan. Nilai dan makna yang terkandung di dalamnya

harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana juga yang

64

Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz I,

(Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

162

ditekankan pada masyarakat Cirebon, khususnya di Keraton Kasepuhan, sejak

kesultanan Islam ini dipimpin oleh Sultan Sunan Gunung Jati. Upaya menerapkan

nilai-nilai dan makna yang dikandung rukun Islam dalam menjalankan kehidupan

yang penuh dengan masalah ini merupakan bagian dari strategi bimbingan Sunan

Gunung Jati sebagai yang mendakwahkan Islam untuk membantu manusia,

khususnya bagi keluarga Keraton Kasepuhan, dan masyarakat Cirebon secara

umum untuk menemukan fitrahnya kembali sebagai khalifah dan hamba Allah di

muka bumi.

Rukun Islam merupakan tonggak agama yang mulia, sebagaimana Imam al-

Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksudkan, lima rukun (rukun Islam)

merupakan dasar-dasar agama Islam dan kaidah-kaidahnya, yang agama Islam

dibangun di atasnya, dan dengannya Islam tegak.65

Sementara Imam an-Nawawi

juga ikut mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan bahwa sesungguhnya

hadis ini merupakan pokok yang besar di dalam mengenal Islam, dan agama Islam

bersandar di atas hadis ini, dan hadis ini mengumpulkan rukun-rukunnya.66

Selain

dua ulama tersebut, Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa al-Bukhari memasukkan

hadis ini ke dalam kitab al-Iman, untuk menandaskan bahwasanya Islam adalah

nama bagi pekerjaan dan bahwasanya Islam dan iman itu, terkadang adalah satu

maknanya.67

Bangunan Mande Pandawa Lima yang dilengkapi dengan lima tiang

penyanggah, selain menyimbolkan rukun Islam, juga memuat makna filosofis dan

urgensi yang dapat ditelusuri dari penjelasan masing-masing rukun yang ada dalam

rukun Islam, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, haji.

Pertama, syahadat. Syahadatain berisi syahadat tauhid dan syahadat rasul,

keduanya wajib diucapkan dengan sungguh-sungguh, dengan segenap jiwa dan

memahami makna yang terkandung didalamnya. Sementara dalam Syarah Hadits

Arba‟in an-Nawawi dijelaskan bahwa meninggalkan syahadatain hukumnya kafir

secara ijma‟, dan syahadat seorang Muslim tidaklah sah sehingga terkumpul

padanya tiga hal, yakni keyakinan hati, ucapan lisan dan menyampaikan kepada

orang lain.68

Inilah nilai akhlak yang terkandung dalam syahadatain, yaitu

pengikraran dengan segenap jiwa (rohani), dengan memahami isi kandungannya.

Dengan demikian, syahadatain dapat bermakna: 1) kunci sahnya keempat rukun

Islam;69

2) cerminan dari komitmen terhadap enam prinsip rukun iman,

mengandung unsur keyakinan (nilai akidah), sebuah kekuatan visi, yaitu memulai

65

Ibn Daqiq al-„Id, Syarah al-Arba‟in Hadisan al-Nawawiyah, (Kairo: Maktabah Turos

al-Islami, t.th.), h. 20. 66

Imam an-Nawawi, Hadits Arbain al-Nawawiyah, edisi terjemahan, (Surabaya: AW

Publisher, 2005). 67

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadis, cet. V, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang,

19780), h. 99. 68

Imam an-Nawawi, Syarah Hadits Arba‟in Imam Nawawi Penjelasan 40 Hadits Inti

Ajaran Islam, terj. Ibn Daqiq al-„Id, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2013). 69

Hafizh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fatḥul-Bari Syarh Sahih

Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.), h. 54.

163

dengan tujuan akhir, dan membulatkan tekad diri;70

3) salah satu pilar, sehingga jika

satu pilar roboh, yang lain ikut roboh;71

4) mengandung kalimat tauhid (mengesakan

Allah), dan meyakini kebenaran utusan Allah, yakni Rasulullah SAW.

Kedua, shalat. Shalat mengandung makna meningkatkan keharmonisan dalam

berhubungan dengan sesama manusia dan alam semesta, di samping meningkatkan

keyakinan hubungan dengan Allah. Shalat wajib ditekankan supaya dilaksanakan

secara berjamaah. Selain dilipatkan pahalanya sampai 27 derajat, shalat berjamaah

sebagaimana dikatakan Agus dapat menghilangkan diskriminasi antar sesama

manusia, membina persatuan, menampakkan rasa persamaan, kuatnya satu barisan,

kesatuan kalimat, dan berlatih taat kepada Allah dalam masalah-masalah yang

bersifat umum atau masalah sosial.72

Shalat adalah konsentrasi akal pikiran dan jiwa

yang diorientasikan kepada Allah semata, juga menimbulkan ketenangan hati dan

ketentraman batin bagi pelakunya sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-Ma‟arij

[70] ayat 19-23. Selain dalam ayat tersebut, shalat juga merupakan pelatihan

mengekang nafsu syahwat, membersihkan jasmani dan rohani dari sifat-sifat dan

perilaku tercela serta perbuatan keji dan mungkar sebagaimana firman Allah dalam

surat Al-Ankabut [29] ayat 45.

Shalat juga dapat memperkokoh jiwa untuk bersosialisasi dan meningkatkan

hubungan yang kuat antara sesama umat Islam, seperti solidaritas sosial, kesatuan

pemikiran dan kelompok.73

Selain itu, urgensi dari shalat adalah bangunan Islam

yang paling agung di antara kelima bangunannya sesudah dua kalimat syahadat.

Posisi dalam agama seperti tempat kepala terhadap tubuh. Maka sebagaimana orang

yang tidak berkepala tidak bisa hidup, demikian halnya seorang yang tidak

mengerjakan shalat, berarti tidak beragama,74

sebab shalat merupakan kewajiban

yang pertama dalam Islam.75

Ketiga, zakat. Dari segi definisi zakat berarti “menyucikan” dan

“mengembangkan” jiwa dan harta benda bagi pelaku zakat, sedangkan secara istilah

zakat berarti kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya

dengan syarat-syarat tertentu76

sebagaimana juga yang dikatakan Al Asqalani

bahwa yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat adalah mengeluarkan sebagian

dari harta dengan ketentuan tertentu.77

Sementara di dalam al-Qur‟an, Allah telah

70

A. G. Agustian, Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ;

Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,

(Jakarta: Arga Wijaya, 2001), h. 262. 71

Ahmad al-Hambali Ibn Rajab, Jami‟ul-„Ulum wal Hikam, (Beirut: Darul Ma‟rifah,

1987). 72

Bustanuddin Agus, Al-Islam, Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran

Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 106. 73

Ahmad bin Salim Badwailan, Dahsyatnya Terapi Shalat, terj. Ubaidillah S. Akhyar,

(Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007), h. 24-25. 74

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Nasehat-nasehat Agama dan Wasiat-wasiat

Keimanan, terj. Zaid H. Al-Hamid, cet. I, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2002), h. 96. 75

Abdul Aziz Salim Basyarahil, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1996), h. 11. 76

Agus, Al-Islam…, h. 111. 77

Al-Asqalani, Fatḥul-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.)

164

menggabungkan antara shalat dan zakat sebagaimana dalam surat Al-Baqarah [2]

ayat 110.

Kalau dicermati lebih jauh, kewajiban zakat dalam al-Qur‟an selalu

digambarkan dengan kata “ātu”suatu kata yang dari akarnya dapat dibentuk

berbagai ragam kata dan mengandung lebih dari satu makna, antara lain istiqamah

bersikap jujur dan konsekuen, cepat, memudahkan jalan, dan pelaksanaan secara

sempurna, serta mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana.78

Secara

sederhana, makna-makna tersebut dapat dijelaskan bahwa zakat dikeluarkan dengan

sikap istiqamah sehingga tidak terjadi kecurangan, baik dalam pemilihan,

pembagian, dan perhitungannya; bergegas dalam pengeluarannya atau tidak

menunda-nunda sampai waktunya berlalu; mempermudah jalan penerimaannya; dan

bagi mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk ini adalah seorang yang agung lagi

bijaksana. Sehingga dalam konteks ini, kesucian jiwa dapat melahirkan ketenangan

batin, bukan hanya bagi penerima zakat, tetapi juga bagi pemberinya. Karena

kedengkian dan iri hati dapat tumbuh pada saat seseorang yang berkecukupan,

namun enggan mengulurkan bantuan. Kedengkian ini menurut Shihab dapat

melahirkan keresahan bagi kedua belah pihak.79

Dari penjelasan di atas, maka makna yang dikandung zakat berdampak pada

manusia (pemberi zakat) itu sendiri sebagai bagian dari pengembangan dan

peningkatan, serta fitrah beragama. Hal ini dikarenakan dengan mengeluarkan

zakat, jiwa dan harta dari pemberi zakat akan menjadi suci (fitrah) dan berkembang.

Iman menjadi meningkat, jiwa menjadi tenang, dan harta menjadi bertambah.

Keempat, puasa. Puasa dari segi bahasa berarti menahan, yakni menahan diri

dari yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam matahari, sedangkan

yang membatalkannya ialah makan, minum, bersetubuh, dan sengaja mengeluarkan

mani atau muntah dan sebagainya.80

Dalam Islam, puasa dikenal dengan beberapa

jenis, yakni puasa wajib, sunat dan haram. Puasa wajib adalah pada bulan Ramadlan

dan puasa nażar. Apabila seseorang berhalangan puasa karena sakit, dalam

perjalanan, haid, dan nifas, wajib dibayar pada hari lain sebanyak hari yang tidak

dapat dipuasakannya. Puasa sunat ialah puasa di luar bulan Ramadlan yang

dianjurkan oleh al-Qur‟an dan hadis, seperti puasa enam hari bulan Syawal, puasa

Arafah (9 Zhulhijjah) bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji, puasa hari

Asyura‟ (10 Muharram), memperbanyak puasa pada bulan Sya‟ban, puasa hari

Senin dan Kamis, dan puasa pada pertengahan bulan Qamariyah. Tetapi haram

berpuasa pada dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, serta pada hari tasyrîq, yaitu

tanggal 11, 12, 13 Zhulhijjah.

Salah satu nilai yang dikandung dalam ibadah puasa adalah nilai akhlak, yakni

melatih kesabaran, sebab dengan sabar menahan hawa nafsu dari apa segala yang

membatalkannya, kita diharapkan menjadi insan yang bertakwa (muttaqīn),81

78

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. XXX,

(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), h. 192. 79

Shihab, Lentera Hati…, h. 193. 80

Agus, Al-Islam…, h. 114. 81

Ridwan Malik, Puasa Ulat: Merenungi Jejak Tuhan, Bercermin pada Nurani,

(Cibubur: PT. Variapop Group, 2006), h. 56.

165

sebagaimana Allah SWT dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat 183. Menjadi

insan bertakwa (muttaqīn), tergantung pada bagaimana kualitas puasa itu sendiri.

Maka tidak salah jika al-Ghazali sebagaimana dikutip Malik membagi tiga

tingkatan atau kualitas puasa, yaitu puasa orang awam, puasa orang khusus, dan

puasa super khusus (khawas al khawas). Semakin tinggi tingkat puasa kita, semakin

besar pengaruh puasa dalam merubah kualitas diri manusia yang menjalaninya

menjadi lebih baik dari sebelumnya.82

Merujuk pada konteks di atas, puasa termasuk syariat Islam yang dilaksanakan

berdasarkan keikhlasan, menjadi rahasia antara hamba dengan Tuhan dan tidak ada

yang mengetahuinya, kecuali Allah SWT. Oleh sebab itu, puasa memilliki pahala

yang agung dan balasan yang besar, karena ia adalah ibadah yang dapat

mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Dengan demikian,

melalui bangunan Mande Pandawa Lima yang merupakan simbol rukun Islam,

sultan ingin menegaskan bahwa kesultanan ini memadukan akidah dan Syariah

yang bersumber dari ajaran Islam.

Kelima, Haji. Haji merupakan rukun Islam yang kelima dan merupakan ibadah

pokok yang keempat yang disyariatkan setelah ketiga pokok ibadah sebelumnya,

yakni: sholat, puasa Ramadhan dan zakat. Ibadah haji merupakan salah satu sarana

komunikasi antara seorang hamba dengan Khaliknya. Ibadah ini pertama kali

disyariatkan pada tahun keenam hijrah, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali

Imran [3] ayat 96-97.

Haji sebagai ibadah fisik dan ibadah rohani bertujuan agar manusia

memusatkan segala yang dimiliki hanya untuk Allah. Dengan bekal kesadaran akan

persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah maka para tamu Allah

harus menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” dengan mengenakan pakaian ihram

yang sama dengan yang lainnya. Pada saat itu semua manusia dari golongan

manapun semuanya sama. Salah satu pelajaran berharga yang harus dipetik bahwa

manusia tidak layak sombong dengan pangkat, keilmuan dan harta yang

dimilikinya, karena di hadapan Allah semua sama, yang membedakan hanyalah

ketakwaannya.

4. Mande Pelinggihan (Pengiring)

Gambar 9. Mande Pelinggihan (Pengiring)

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

82

Malik, Puasa Ulat: Merenungi…, h. 56.

166

Mande Pelinggihan (Pengiring) digunakan sebagai tempat duduk pengiring

atau pejabat kesultanan, termasuk para hakim dan jaksa ketika ada persidangan

yang dilakukan oleh pengadilan kesultanan. Bangunan ini ditopang oleh delapan

tiang, yakni empat tiang di bagian tengah dan empat tiang di masing-masing pojok

bangunan. Delapan tiang penyanggah tersebut, selain dijadikan sebagai tempat

duduk para pejabat kesultanan, juga memiliki makna simbolik dan makna filosofis.

Bangunan Mande Pelinggihan diperkuat oleh empat tiang penyanggah di

bagian tengahmenyimbolkan empat anasir penting yang ada di alam: tanah, air,

udara dan api. Tanah merupakan unsur utama dan penting dari ekosistem. Tanah

merupakan hasil bumi dan nikmat Allah SWT yang harus kita pelihara

keberadaannya dengan sebaik-baiknya sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al

A‟raaf [7] ayat 58 dan surat Al Mu‟min [40] ayat 67. Dengan demikian, melalui

simbol tanah, ada pesan agama yang ingin disampaikan bahwa manusia itu

diciptakan dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Jadi, berhati hatilah dalam

menjalani kehidupan di dunia karena setiap perilaku manusia akan dimintai

pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Manusia harus sadar bahwa hidupnya di

dunia untuk mencari pahala, amal kebaikan untuk bekal di akhirat.

Komponen lingkungan lainnya yang sangat vital bagi kehidupan makhluk

hidup adalah air. Manusia baru bisa merasakan betapa pentingnya air ketika

kebutuhan akan air sulit dipenuhi, atau ketika air menimbulkan masalah. Di sisi

lain, air sangat bermanfaat bagi kehidupan manusiamulai dari keperluan air

minum, memasak, mencuci, irigasi, industri sampai pada penyediaan energi dan

rekreasi. Seluruh aktivitas manusia tidak bisa dilepaskan dari air, atau dengan kata

lain, makhluk hidup sangat tergantung pada ketersediaan air.

Di dalam Islam air sangat penting sebagai sarana ibadah. Ketika seorang

Muslim akan berwudhu untuk sholat dan mandi junub untuk mensucikan diri, maka

air dibutuhkan untuk bersuci. Hal tersebut sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-

Maidah [5] ayat 6, yang menjelaskan posisi strategis air, serta fungsinya dalam tata

kehidupan alam, manusia dan lingkungannya. Misalnya tentang asal dan penopang

kehidupan, daur hidrologi, sarana transportasi, dan sebagainya, bahkan Allah

melukiskan surga sebagai kebun yang dialiri sungai-sungai di bawahnya. Allah

SWT juga pernah mengadzab umat-umat terdahulu yang ingkar dan melampaui

batas seperti umat nabi Nuh, Firaun, kaum Saba dan umat-umat lainnya, dengan air.

Hal tersebut mengisyaratkan bahwa air merupakan sesuatu yang vital dan

diperlukan, tetapi juga bisa menjadi sumber masalah dan bencana.83

Begitu

pentingnya air bagi kehidupan manusia, maka telah menjadi kewajiban kita bersama

untuk merawatnya.

Selain komponen tanah dan air, udara juga merupakan salah satu unsur penting

dimana seluruh isi alam semesta yang ada bergantung padanya. Udara memberikan

manfaat bagi kehidupan seluruh alam. Udara terbentuk dari beberapa gas yaitu:

Helium (He), Nitrogen (N), Oksigen (O2) dan Karbon Dioksida (CO2). Semua

makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk bernafas. Gas oksigen juga dibutuhkan

83

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang & Diklat Kementrian Agama

RI dengan LIPI, Air dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan

Mushaf Al-Qur‟an, 2011), h. 1-3.

167

untuk pembakaran makanan dalam tubuh makhluk hidup. Dari pembakaran tersebut

menghasilkan energi, yang mana energi itu dibutuhkan untuk melakukan segala

aktivitas manusia. Selain O2, CO2 juga berperan dalam proses pernapasan manusia.

Kebutuhan manusia akan oksigen per jam rata-rata berjumlah 53 liter. Sementara

oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis dedaunan (tanaman) agar dapat

memproduksi kebutuhan 53 liter oksigen harus dihasilkan oleh minimal 3000

lembar daun atau sekitar 4 tanaman yang masing-masing minimal memiliki 750

helai daun. Namun, fakta yang ada saat ini, manusia mulai malas menanam pohon.

Semua halamannya dibeton, dan sebagai akibatnya, disamping tidak ada resapan

air, juga kebutuhan oksigen tidak terpenuhi, sehingga kualitas udara semakin buruk,

bahkan yang lebih memprihatinkan lagi banyak hutan yang dibabat habis.

Dengan demikian, ada pesan dibalik empat tiang penyanggah di bagian tengah

bangunan Mande Pelinggihan yang ingin disampaikan kepada manusia bahwa

sebagai makhluk beragama, manusia wajib bersyukur atas nikmat udara yang Allah

berikan, serta bersama-sama menjaga keseimbangan alam dan tidak merusaknya.

Dan ini terkait dengan tugas utama manusia sebagai khalifah yaitu merawat,

memakmurkan dan memanfaatkan alam ini untuk kemaslahatan bersama.

Penebangan hutan secara liar, membuang limbah ke sungai, dan membakar hutan

hanya akan merusak alam dan membuat keseimbangan yang ada menjadi timpang.

Menjaga keseimbangan alam adalah tugas manusia sebab manusia adalah

bagian integral dari alam semesta. Itulah sebabnya manusia memiliki kedudukan

yang sederajat dan setara dengan alam, dan semua makhluk di alam ini. Kenyataan

ini harus mampu membangkitkan perasaan solider, perasaan sepenanggungan

dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain. Sebagai khalifah juga

manusia mempunyai tanggungjawab moral terhadap alam semesta, baik terhadap

keberadaan ataupun kelestariannya.

Adapun simbol empat tiang yang lain di masing-masing pojok bangunan

Mande Pelinggihan melambangkan empat penjuruh atau arah mata angin, yakni

utara, selatan, barat dan timur. Makna filosofisnya adalah kemanapun manusia

menghadapkan pandangannya, sesungguhnya sedang menghadap Allahpemilik

Kerajaan timur dan barat, serta semua arah mata angin. Allah pemilik arah terbitnya

matahari dan tenggelamnya matahari, serta apa yang ada di antara keduanya

sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat 115. Ayat ini memberikan

pengertian kepada manusia bahwa seluruh penjuru adalah milik Allah, dan Allah

tidak memiliki tempat khusus. Milik Allah timur dan barat, serta arah terbitnya

cahaya dan segala apa yang berkaitan dengan yang terdapat di sana, juga arah

terbenamnya cahaya. Oleh karena itu, kemanapun manusia menghadap selama

dalam rangka melaksanakan apa yang diperintahkan, maka disitulah akan

menemukan wajah Allah.84

Melalui empat tiang tersebut, ada pesan yang ingin

disampaikan, yakni setiap Muslim di manapun berada harus selalu mengingat Allah

serta melaksanakan kewajibannya untuk sholat lima waktu dan lain sebagainya.

Selain itu, penulis melihat makna lain dari empat arah mata angin adalah

bahwa sejak awal Kesultanan Cirebon terbuka kepada siapapun dan dari manapun

arah datangnya untuk menjadi pejabat kesultanan. Artinya, sultan tidak selalu

84

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 289.

168

mengedepankan nepotisme untuk menentukan orang-orang untuk menjadi pejabat

kesultanan, melainkan ia mencari orang-orang yang cocok, dan yang datang dari

mana saja selama orang-orang tersebut memiliki kompetensi dan setia kepada

kesultananmereka yang difungsikan. Hal tersebut diperkuat dengan hadirnya

orang-orang atau para pejabat kesultanan yang datang dari luar daerah Cirebon,

terutama mereka yang diketahui adalah etnis Tionghoa.

5. Mande Karesmen

Gambar 10. Mande Karesmen

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Bangunan Mande Karesmen jumlah tiang penyanggahnya sama dengan Mande

Pelinggihan, hanya saja, fungsinya dijadikan sebagai tempat menaruh peralatan

kesenian seperti alat musik gamelan. Di Kesultanan Cirebon, tradisi menabuh

gamelan sekaten (gong sekati)85

dilakukan dua kali dalam setahun, khususnya pada

peringatan atau acara-acara keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Gamelan

juga biasa dipertunjukkan di alun-alun, yang disaksikan oleh sultan dan

keluarganya. Sekalipun arsitektur bangunan Mande Karesmen sebagaimana dalam

gambar nampak seperti bangunan Hindu, tetapi sesungguhnya bangunan ini sarat

dengan nilai-nilai Islam.

Sebagaima disebutkan di atas, jumlah tiang bangunan Mande Karesmen sama

dengan Mande Pelinggihan. Empat tiang di bagian tengah merupakan simbol empar

anasir penting dalam kehidupan yaitu tanah, air, udara dan api. Sementara empat

tiang bagian luar merupakan simbol arah mata angin dengan makna filosofis agar

mnusia dimanapun berada selalu mengingat Allah SWT. Allah pemilik segala arah,

tidak ada tempat yang lepas dari monitor Allah. Jadi, manusia harus mawas diri dan

menjaga perilakunya dimanapun berada karena Allah senantiasa mengawasi dan

inilah makna ihsan“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah,

jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia yang melihatmu…”. Ihsan juga

adalah melakukan ibadah dengan khusyu‟, ikhlas dan yakin bahwa Allah senantiasa

mengawasi dan memerhatikan apa yang diperbuatnya. Sebagaimana dalam hadis

Rasulullah:

Dari Umar r.a. dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah SAW

suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang

sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas

perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya.

85

Gamelan Sekaten (Gong Sekati) adalah alat kesenian buatan abad ke-15.

169

Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya

kepada lututnya (Rasulullah SAW) seraya berkata: “Ya Muhammad,

beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Islam

adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain

Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan

shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”,

kemudian dia berkata: “anda benar”. Kami semua heran, dia yang bertanya dia

pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang

Iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-

malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau

beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”, kemudian dia berkata:

“anda benar”. Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan”.

Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-

akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat

engkau”. Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan

kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang

bertanya”. Dia berkata: “Beritahu aku tentang tanda-tandanya”, beliau

bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat

seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba,

(kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya”, kemudian orang itu

berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya:

“Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya

lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada

kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim).

Hadis di atas menjelaskan bahwa Islam dibangun di atas tiga landasan utama,

yaitu iman, Islam dan ihsan. Oleh karenanya, hendaknya seorang Muslim

memandang ihsan sebagai bagian dari akidah keislaman, dan tidak memandang

ihsan sebatas akhlak yang utama saja. Ihsan yang dipahami dengan benar akan

mampu membentuk manusia-manusia Muslim yang tidak hanya soleh secara

individual tetapi juga sosial. Aktualisasi ihsan akan membuat para pelaku bisnis

tidak hanya semakin dekat kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia.86

Mande Karesmen adalah bangunan tempat alat musik gamelan. Maknanya

adalah bahwa budaya Cirebon merupakan budaya yang disenangi, disukai dan

dinikmati oleh siapa saja. Budaya Cirebon menembus segala arah mata angin.

Setiap orang dari manapun asalnya bisa ikut menikmati alunan gamelan yang

sedang dimainkan. Musik gamelan ini disamping sebagai media hiburan, juga bisa

mengurangi kecemasan dan depresi. Dari hasil penelitian Yusli dan Nurullya

Rachma menemukan bahwa gamelan bisa menjadi alternatif perawatan atau terapi

untuk lansia yang menghadapi masalah kecemasan.87

86

M. Djakfar, “Corporate Social Responsibilty: Aktualisasi Ajaran Ihsan dalam

Bisnis”. Ulul Albab, vol 11, no. 1, 2010, h. 111-130. 87

Utami Dwi Yusli dan Nurullya Rachma, “Pengaruh Pemberian Terapi Musik

Gamelan Jawa Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia”. Jurnal Perawat Indonesia, vol. 3, no

1, 2019, h. 72-78.; Lihat juga Rita Hadi W, “Pengaruh Intervensi Musik Gamelan Terhadap

170

Penulis melihat bahwa akulturasi budaya pada Keraton Kasepuhan Cirebon

terjadi karena dua hal. Pertama, lokasinya yang strategis menjadikan Cirebon

sebagai pusat perdagangan, tempat bertemunya berbagai suku, budaya dan agama

antar bangsa. Kedua, sikap terbuka dari Sultan Cirebon merupakan faktor terpenting

yang mengakibatkan masuknya berbagai pengaruh budaya pada bangunan dan

masyarakat, khususnya pada bangunan Kraton Kasepuhan Cirebon. Akulturasi

budaya pada bangunan Keraton Kasepuhan yaitu berasal dari Tiongkok, Hindu,

Budha, Jawa, Eropa, Islam dan Arab. Budaya Tionghoa dapat ditemukan pada

bangunan Dalem Agung Pakungwati, bangunan Siti Inggil termasuk bangunan

Mande Malang Semirang, Mande Semar Tinandu, Mande Pandawa Lima, Mande

Pelinggihan (Pengiring), dan Mande Karesmen, serta Kucung Kutagara Wadasan,

Pintu Buk Bacem.

6. Makam Astana Gunung Jati

Cirebon adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak situs

peziarahan Islam, salah satu yang sangat terkenal adalah makam Sunan Gunung

Jati. Kompleks makam seluas 5 hektare yang telah berusia lebih dari enam abad itu

terdiri dari sembilan tingkat pintu utama, yakni pintu Lawang Gapura di tingkatan

pertama, pintu Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang

Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan Lawang Teratai di

puncak kesembilan. Para peziarah hanya dibolehkan berkunjung sampai bangsal

Pesambangan, depan pintu Lawang Gedhe, pada tingkatan pintu keempat.

Sementara pintu kelima sampai kesembilan terkunci rapat, dan hanya sesekali

dibuka khusus bagi anggota keluarga Keraton Cirebon, atau orang yang mendapat

izin khusus dari Keraton Kasepuhan Cirebon, atau pada acara-acara tertentu seperti

Gerebeg Idul Fitri dan Idul Adha, Maulud Nabi, dan pada malam Jumat Kliwon.

Gambar 11. Tangga Masuk ke Makam Sunan Gunung Jati

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Depresi Pada Lansia di Panti Wreda Harapan Ibu Semarang”. Home, vol. 1, no. 2, 2013, h.

135-140.

171

Untuk sampai ke makam Sunan Gunung Jati, setiap peziarah harus melewati

sembilan pintu. Sembilan pintu tersebut merupakan simbol dari sembilan wali.

Selain sebagai simbol dari sembilan wali, sembilan pintu untuk sampai ke makam

Sunan Gunung Jati juga merupakan simbol dari sembilan lubang pada tubuh

manusia yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud dengan sembilan

lubang pada tubuh manusia, yakni dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang

telinga, satu lubang mulut, satu lubang alat kelamin dan satu lubang anus, yang jika

dihitung keseluruhannya, berjumlah sembilan lubang. Kaitannya dengan panca

indera, sebenarnya telah disinggung dalam al-Qur‟an surat Al-Insan [76] ayat 2.

Ayat al-Qur‟ān di atas sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa panca indera

manusia merupakan pemberian dari Allah SWT. yang harus dijaga dan difungsikan

dengan sebaik-baiknya, sebagaimana pula kemampuan manusia dalam

menggunakannya. Karena itulah, dalam konteks ini panca indera manusia akan

dimintai pertanggungjawaban di hari akhir nanti, sebagaimana dalam al-Qur‟an

surat Al-Isra‟ [17] ayat 36. Afirmasi ayat ini terkait dengan indera eksternal dan

internal88

manusia turut terlintas eksplisit, terbukti, muncul pula terma yang terkait

dengan fungsi indera, yakni kesaksian (syahadah/witnessing) akan adanya Allah

SWT, malaikat dan hari akhir yang berdimensi imani. Yang berkaitan dengan

perjanjian awal (mitsāq) manusia pada masa pra wujud, yang berupa kesaksian

bahwa Allah adalah Tuhan (…alastu birabbikum…), yang mana pada saat itu, ruh

manusia mampu bersaksi setelah mengenali Allah sebagai Tuhan melalui indera

internalnya.89

Selain beberapa ayat yang telah disebutkan, ada juga ayat al-Qur‟an

yang berisi peringatan bagi manusia agar menjaga pandangan, pendengaran, lisan,

maupun kemaluannya. Hal ini secara tegas diabadikan Allah dalam al-Qur‟an surat

Fushshilat [41] ayat 22. Menurut Thabataba‟I sebagaimana dikutip Shihab bahwa

ayat tersebut mengisyaratkan pengawasan Allah terhadap manusia pada setiap

waktu dan tempat. Di manapun dan kemanapun manusia, Allah senantiasa

bersamanya. Dalam segala kegiatannya, manusia senantiasa berada di bawah

teropong yang mengawasi dan menyaksikannya.90

Sementara dalam ayat yang lain Allah secara khusus memperingatkan manusia

agar menjaga lisannya dengan menjauhi ghibahmembicarakan orang lain yang

tidak ada di depan kita tentang sesuatu yang tidak disenangi dari orang yang

dibicrakan. Sekalipun keburukan itu benar disandang atau terjadi pada orang yang

sedang dibicarakan, hal tersebut tetap terlarang. Apalagi jika keburukan yang

dibicarakan itu tidak disandang oleh objek ghibah, maka perbuatan tersebut

termasuk buhtan (kebohongan besar) sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-

Hujuraat [49] ayat 12.

88

Muhammad Taqiyuddin, “Panca Indera dalam Epistemologi Islam”. Tasfiyah: Jurnal

Pemikiran Islam, vol. 4, no. 1, 2020, h. 113-138. 89

S. M. N. Al-Attas, Islam, Secularism and The Philosophy of the Future, (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1985), h. 45-46.; Lihat juga S. M. N. Al-Attas, The Intuition of Existence,

(Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), h. 193-194. 90

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mișbah, vol. 12, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 398-

401.

172

Ayat di atas menggambarkan betapa buruknya menggunjing, bahkan

Thabathaba‟I dalam Shihab menjelaskan bahwa ghibah adalah bagian dari hal yang

merusak masyarakat. Dampak positif yang diharapkan dari terwujudnya masyarakat

bisa gagal dan berantakan karena ghibah. Masyarakat yang harmonis antar

anggotanya, yang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai sulit terwujud

hanya karena ghibah. Ghibah juga dapat melemahkan hubungan kemasyarakatan

seperti rayap yang menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit

hingga berakhir pada kematian.91

Dengan kata lain, keselamatan seseorang

tergantung pada usahanya dalam menjaga lisannya. Tidak sedikit orang yang

tergelincir dan celaka hidupnya karena ulah lisannya sendiri. Perkataan yang baik

akan membawa keselamatan, dan sebaliknya perkataan yang buruk akan

mencelakakan dan menghancurkan. Oleh karena itu, manusia harus hati-hati

menggunakan lisannya, sebab perkataan yang tidak baik akan mendatangkan murka

Allah dan menghapus segala kebaikan yang ada pada pelaku ghibah.

Selain beberapa ayat al-Qur‟an di atas, hadis nabi memberikan kabar gembira

bagi mereka yang mampu menjaga lisan dan kemaluannya. Rasulullah SAW

bersabda: “Barang siapa yang memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa

yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya

jaminan masuk surga” (HR. Bukhari). Hadis ini menginformasikan kepada kita

bahwa akan datang bencana besar untuk menimpa seseorang yang tidak mampu

menjaga apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya (lisan dan

kemaluan). Sebaliknya, barang siapa mampu menjaga keduanya, berarti ia telah

mencegah terjadinya bencana besar dan menjauhkan diri dari berbagai macam

perbuatan maksiat, dan akan membuat seseorang selalu dalam naungan, rahmat dan

karunia Allah SWT. Lebih lanjut, Setiani mengatakan bahwa dorongan syahwat

yang tidak disalurkan melalui lembaga pernikahan, hanya akan menjerumuskan

manusia ke dalam lembah kehinaan.92

Penulis melihat bahwa makna dibalik simbol-simbol yang digunakan di dalam

Kesultanan Cirebon sebagai kesultanan Islam, khususnya pada makam Sunan

Gunung Jati yang terkait dengan panca indera erat kaitannya dengan makna yang

terdapat dalam Islam. Tidak heran, sejak dahulu hingga saat ini, secara turun

temurun dalam kepercayaan orang-orang Keraton Kasepuhan, sembilan lubang

yang ada pada manusia yang menurut analisa penulis erat kaitannya dengan panca

indera, harus dijaga kebersihannya karena semua itu merupakan pemberian dari

Allah SWT.

Dengan demikian, sembilan tangga yang juga merupakan simbol sembilan

lubang mengandung nilai-nilai religious. Sembilan lubang ini harus dijaga dan

dikendalikan untuk menjadi manusia ideal atau insan kamil yang beretika baik,

berhati bersih dan baik, serta dekat dengan sang Pencipta. Untuk sampai pada

ma‟rifat, manusia harus dapat memfungsikan sembilan lubang itu sebagaimana

petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW. Manusia harus mampu mengendalikan,

91

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mișbah, vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 256-

257. 92

Riris Eka Setiani, “Pendidikan Seks Bagi Anak : Perspektif Al-Qur‟an”. Yinyang,

vol. 12, no. 1, 2017, h. 57-84.

173

menjaga, dan memfungsikan sembilan lubang yang melekat dalam jasmani secara

benar dan konsekuen, sehingga tidak melanggar aturan agama, norma dan etika

pergaulan93

dalam bermasyarakat.

Sementara untuk naik atau masuk ke makam Sunan Gunung Jati ada aturanya

yang sudah menjadi ketetapan keraton. Masyarakat biasa hanya bisa sampai pada

pintu makam yang telah ditentukan. Ketetapan tersebut tidak hanya berlaku bagi

masyarakat biasa ketika berziarah, tetapi para pihak dari Kesultanan Cirebon pun

berziarah ke makam Sunan Gunung Jati, umumnya hanya dalam acara misalnya,

grebeg Syawal, seminggu setelah hari raya Idul Fitri, yang dipimpin langsung oleh

sultan keraton. Sementara yang membedakan dengan masyarakat umum, mereka

hanya boleh di pintu pasujudan, dimana tempat ini rutin diadakan tahlilan yakni

pada setiap malam Senin, malam Kamis dan malam Jumat.

Menurut Hafid ada dua alasan tidak diperkenankannya para peziarah atau

masyarakat umum masuk hingga ke makam Sunan Gunung Jati, yaitu: (1) Karena

masyarakat umum bukan bukan trah-nya Kanjeng Sunan Gunung Jati. (2) Dengan

pertimbangan bahwa di kompleks makam Sunan Gunung Jati telah tersimpan

banyak benda berharga, yang apabila semua masyarakat umum masuk,

dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan pada benda-benda berharga

didalamnya dan lain sebagainya.94

Meskipun, setiap manusia di mata Allah sama

kedudukannya, sehingga tidak ada pembatasan antara masyarakat biasa dangan

sultan, apalagi terhadap orang yang sudah meninggal. Namun, keturunannyalah

yang berhak untuk ziarah, di samping itu memang setiap raja sudah ada pekemnya

masing-masing, yang diatur oleh kesultanan secara turun temurun.

Gambar 12. Bagian Depan Tembok Makam Sunan Gunung Jati

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Hasan (juru kunci makam Sunan Gunung Jati) sebagaimana dalam Jaelani,

Setyawan dan Nursyamsudin menjelaskan bahwa yang menarik dari para peziarah

selain warga Muslim, banyak juga etnis Tionghoa yang berziarah ke makam Sunan

Gunung Jati. Di makam mereka berdoa, membakar hio, dan memberi santunan uang

kepada para pengemis di sekitar makam. Hal ini dapat dimaklumi karena salah satu

istri dari Sunan Gunung Djati yang bernama Ong Tien Nio adalah putri salah satu

Kaisar Dinasti Ming dari Tiongkok. Jadi, kedatangan etnis Tionghoa ke makam

93

Zaenuddin Bukhari, “Mistisisme Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung”.

(Disertasi IAIN Walisongo, 2012), h. 10. 94

Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon),

pada tanggal 17 Juli 2020.

174

tersebut adalah untuk menziarahi leluhur mereka juga. Para peziarah Tionghoa

berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu, sedangkan

peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe.95

Bagi masyarakat Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah simbol religiusitas. Sunan

adalah wali Allah, yang merupakan status spiritual tertinggi umat manusia biasa,

kedua setelah para nabi. Mereka juga percaya bahwa wali Allah sempurna dan

memiliki hak istimewa dari Tuhan.96

Dengan posisi ini, orang Cirebon percaya

bahwa sunan adalah perantara antara para peziarah dan Tuhan. Keyakinan ini

berakar pada tradisi Islam yang menekankan bahwa wali Allah adalah yang terpilih,

perwakilan Allah di dunia material, dan memiliki pengetahuan yang langsung

berasal dari Tuhan.

Gambar 13. Tembok Depan Makam Astana Gunung Jati

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Selain itu, di Makam Astana Gunung Jati sebagaimana di Keraton Kasepuhan

dan keraton lainnya juga terdapat banyak ornamen-ornamen Tionghoa dalam bentuk

tempelan-tempelan keramik dan guci-guci dengan jumlah yang jauh lebih banyak.

Bahkan, di Makam Astana Gunung Jati ada sebuah bangunan yang disebut Gedung

Kong yang di dalamnya berisi keramik-keramik dari Dinasti Ming yang dibawa

oleh Puteri Ong Tien Nio ketika datang ke Cirebon, dan itu diamini oleh Prof. Wan

Ming ketika mengadakan kunjungan ke Makam Astana Gunung Jati sebagai bagian

dari acara Seminar Internasional Cheng Ho yang diadakan di Hotel Aston

Cirebon.97

Gambar-gambar yang ada di keramik juga sama dengan gambar-gambar

yang ada di Keraton Kasepuhan di antaranya; gambar naga, ikan, bunga dan

phoenix. Gambar naga misalnya, bagi masyarakat Tionghoa merupakan simbol

harapan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kebaikan,

kemakmuran, keberuntungan, kejayaan dan kebahagiaan. Naga juga merupakan

95

A. Jaelani, E. Setyawan dan Nursyamsudin, “Religi, Budaya Dan Ekonomi Kreatif:

Prospek dan Pengembangan Pariwisata Halal di Cirebon”. Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian

Hukum Ekonomi Islam, vol. 2, no. 2, 2017, h. 101-122. 96

B. Sanusi, “Jum‟atan in the Graveyard: An Anthropological Study of Pilgrims in the

Grave of Sunan Gunung Jati Cirebon, West Java”. Journal of Indonesian Islam, vol. 4, no.

2, 2010, h. 317-340. 97

Penulis ikut serta dalam rombongan Prof. Wan Ming dalam kunjungannya ke Makam

Astana Gunung Jati pada tanggal 25 November 2018.

175

lambang kaisar yang dianggap sebagai “Putera Langit”. Maka, tidak heran jika

gambar naga melekat dengan simbol-simbol kekaisaran; pakaian, bangunan, dan

semua perlengkapan yang digunakannya. Sementara dalam kosmologi tradisional,

naga merupakan lambang hewan penjaga langit di bagian timur, mengatur hujan

dan musim semi. Secara keseluruhan lambang tersebut mengandung makna

kebaikan, kemuliaan, kebesaran, kemakmuran, kebahagiaan, kedamaian,

kehangatan, kelembutan, kehidupan dan hal-hal positif lainnya.98

Adapun gambar phoenix99

di Makam Astana Gunung Jati diduga kuat

mendapat pengaruh dari budaya Tionghoa di masa lalu. Berdasarkan wawancara

dengan Ajat,100

phoenix dalam mitologi Tiongkok merupakan simbol dari

kekuasaan, keindahan dan kemakmuran, sedangkan mitologi sendiri menurut Xinyu

dan Al-Muhsin dapat dimaknai sebagai kesatuan kesadaran primitif, yang

mengintegrasikan pemikiran, sains, sejarah, dan literatur orang primitif.101

Dalam

konteks itu, Connorton (ahli mitologi Amerika) percaya bahwa kebijaksanaan orang

primitif dan orang kuno tercermin dalam mitologi. Tetapi orang-orang modern tidak

tahu barangnya, secara membabi buta meninggalkan mitos-mitos ini. Jika mitos ini

bisa dipahami dengan benar, maka orang-orang modern dapat dibebaskan dari

tekanan spiritual.102

Sementara, Wickley (antropolog) percaya bahwa mitologi

penting untuk konsolidasi dan peningkatan budaya tradisional.103

B. Kereta Kencana Singa Barong

Kehidupan di Keraton Kasepuhan penuh dengan simbol-simbol yang memiliki

makna mistis, yang diberlakukan oleh raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan,

baik itu dalam arsitektur ataupun pranata yang lain.104

Simuh menjelaskan bahwa

kehidupan di keraton sarat dengan unsur-unsur mistis simbolik. Unsur-unsur mistis

98

Kustedja, “Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur Tradisional

Tionghoa”, h. 526-539. 99

Phoenix adalah makhluk mitologi yang disakralkan oleh masyarakat Tiongkok. Motif

phoenix ini hanya boleh digunakan sebagai motif hias permaisuri raja. Baik dalam

pakaiannya, penghias rambutnya, tusuk kondenya dan hiasan mewah lainnya. Binatang ini

digambarkan memiliki kepala seperti burung Pelikan, berleher seperti ular, berekor sisik

ikan, bermahkota burung merak, bertulang punggung mirip naga dan berkulit sekeras kura-

kura. Lihat Z. Tian, S. Ye, & H. Qian, “The Flying Dragon and the Dancing Phoenix:

Chinese Totem Myths”. In Myths of the Creation of Chinese, (Singapore: Springer, 2020), h.

43-74.; L. Xing, J. Zhang, H. Klein, A. Mayor, Y. Chen, H. Dai,... & S. Dong, “Dinosaur

Tracks, Myths and Buildings: The Jin Ji (Golden Chicken) Stones from Zizhou Area,

Northern Shaanxi, China”. Ichnos, vol. 22, no. 3-4, 2015, h. 227-234. 100

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi). 101

Y. Xinyu & M. A. Al-Muhsin, “Comparative Study on Myth Between Chinese and

Arabic: Phoenix as An Example”. International Journal of Humanities, Philosophy and

Language, vol. 3, no. 10, 2020, h. 12-17. 102

Paul Connorton, How Does Society Remember, Nazi Biligo (translation),

(Shanghai: People's Publishing House, 2000). 103

John Wickley, Myths and Literature, Pan Guoqing, et al. (translation), (Shanghai:

Shanghai Literature and Art Publishing House, 1995). 104

Bukhari, “Mistisisme Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung”, h. 19-20.

176

simbolik itu bisa dilihat antara lain pada arsitektur bangunan, letak bangsal, ukiran

dan hiasan serta warna gedungnya yang semuanya memiliki nilai mistis.105

Salah satu peninggalan budaya Kesultanan Cirebon dalam bentuk fisik adalah

Kereta Kencana Singa Barong. Kereta kencana ini adalah kendaraan yang biasa

digunakan oleh raja dalam menjalankan tugas kenegaraan atau aktivitas sehari-

harinya. Kereta tersebut hingga saat ini menarik perhatian banyak pihak di samping

karena bernilai sejarah, juga bentuknya yang unik. Singa Barong adalah makhluk

hibriditas,106

yang merupakan hasil akulturasi budaya yang menghiasi

perkembangan kebudayaan dan seni hias di Cirebon. Lain halnya Kereta Kencana

Paksi Naga Liman yang dibuat pada tahun 1428 M oleh Pangeran Cakrabuana dan

Panembahan Losari, Kereta Kencana Singa Barong dibuat pada tahun 1649 M107

sebagai kereta Sunan Gunung Jati yang saat ini tidak lagi dipergunakan, dan hanya

dikeluarkan setiap 1 Syawal untuk dimandikan.

Benda-benda yang sekarang tersimpan di dalam keraton biasanya tidak hanya

memperlihatkan nilai artistik dan fungsional sebagai suatu produk seni-budaya,

tetapi di dalamnya juga mengandung apa yang disebut sebagai nilai-nilai simbolik

religio-magis.108

Munro mengatakan setiap bentuk erat kaitannya dan bahkan tidak

bisa dipisahkan dari konten yang ada di dalamnyamemuat isi material, gagasan,

spirit, makna dan pesan serta aspek psikologis individu atau masyarakat yang

menghasilkan dan memakainya.109

Bentuk dan konten pada akhirnya menjadi ciri

khas atau karakteristik sebuah objek seni, dan yang membedakannya dengan objek

seni lain.

Konon di dalam Singa Barong terdapat tiga makhluk mitologi, yaitu naga,

gajah dan buraqmenyatu dan menjelma menjadi sebuah makhluk. Masing-masing

simbol tersebut mengandung banyak makna. Ornamen yang berasal dari berbagai

kepercayaan, dan negara menunjukkan bahwa Kereta Kencana Singa Barong

merupakan wujud akulturasi budaya dalam bentuk ornamen serta merupakan

105

Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 121. 106

P. A. Hardwick, “Horsing around Melayu: Kuda kepang, Islamic piety, and identity

politics at play in Singapore‟s Malay community”. Journal of the Malaysian Branch of the

Royal Asiatic Society, vol. 87, no. 306, 2014, h. 1-19. 107Dewi Fatimah, Metode Dakwah: Syiar Islam Ala Masyarakat Nusantara Abad 9-15 M, Jurnal

Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 5, No. 1, 2020, h. 97-118.

108

A. Odewale, “An Archaeology of Struggle: Material Remnants of a Double

Consciousness in the American South and Danish Caribbean Communities”. Transforming

Anthropology, vol. 27, no. 2, 2019, h. 114-132.; E. Kurniadi, “Structuralism Approach:

Symbolism of Traditional Batik Pattern of Javanese Traditional Clothes In Surakarta”.

In 3rd International Conference on Creative Media, Design and Technology (REKA 2018),

(Atlantis Press, 2018), h. 75-79.; J. E. Made, “Sacrifice in African Traditional Religion:

Differential Faith Issues in Religions”. Journal of Religion and Human Relations, vol. 8, no.

1, 2016, h. 20-35. 109

T. Munro, Form and Style in the Arts: An Introduction to Aesthetic Morphology,

Cleveland: Press of Case Western Reserve University, 1970), h. v-vii.

177

manifestasi dari toleransi beragama dan wujud persahabatan antar negara.110

Hal

tersebut senada dengan apa yang dikatakan salah seorang pemandu keraton, Iman

Sugiman bahwa Kereta Kencana Singa Barong merupakan lambang persahabatan

Kesultanan Cirebon dengan tiga negara (Mesir, India dan Tiongkok).111

Penulis

melihat bahwa hal tersebut masih dapat diterima, sebab sejak dahulu, Cirebon

menjadi salah satu pelabuhan internasional, sehingga wajar jika masyarakat Cirebon

menjalin hubungan sosial dan perdagangan dengan para pedagang asing.

Gambar 14. Kereta Kencana Singa Barong

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Kereta Kencana Singa Barong di Keraton Kesepuhan merupakan lambang

penyatuan kekuatan yang dilambangkan dengan hewan-hewan (burung adalah

lambang dari dunia Islam Arab, naga adalah lambang keuletan, lincah dari

Tiongkok, gajah atau liman yang berasal dari India, yakni lambang kekuatan). Yani

dalam risetnya mengatakan Kereta Kencana Singa Barong sama maknanya dengan

Kereta Paksi Naga Liman yang berada di Keraton Kanoman yang mengandung

makna simbolik sebelum Islam, Hindu, Buddha. Menganut prinsip Tribuana di

dalam keserasian, yakni keserasian di antara dunia bawah (ular), dunia tengah

(gajah), dunia atas (burung). Jika tiga buana itu dikuasai akan diperoleh kekuasaan,

dan kekuasaan itu untuk dikendalikan dari keadaan yang kurang baik menuju

kepada yang lebih baik.112

Wujud Singa Barong sebagaimana pendapat lain mengatakan adalah konstruksi

kebudayaan Cirebon di masa silam yang terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni

kebudayaan Tionghoa, India dan Mesir. Sementara Sumino mengatakan ukiran

naga, Mega Mendung dan warna merah keemasan pada Kereta Kencana Singa

Barong merupakan ukiran-ukiran gaya Tiongkok, dan menunjukkan peran

masyarakat Tionghoa di Cirebon pada waktu itu, sedangkan belalai gajah yang

melilit senjata Trisula menunjukkan peran penting orang-orang Hindu-India.

Adapun dengan lambang buraq menunjukkan peran penting Islam dari Arab.113

110

W. Suardana & I. Fikriyyati, “Naga Liman Pencana Kencana Train Caruban Nagari's

Multicultural Symbols: Inculturalization of Nusantara Art in Cultural Arts

Education”. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, vol. 24, no. 2, 2020. 111

Wawancara dengan Iman Sugiman (Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon) pada

tanggal 09 Juli 2020. 112

Yani, “Pengaruh Islam Terhada…, h. 181-196. 113

Sumino, “Kereta Singa Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon”. Corak: Jurnal Seni

Kriya, vol. 1, no. 1, 2012, h. 78-90.

178

Dengan demikian, pengaruh Hindu-Buddha, Tiongkok dan Islam menyatu dan

membentuk struktur budaya yang khas dan unik.114

Penulis melihat pengaruh dominan dalam ragam hias Singa Barong adalah seni

hias Tiongkok. Pembentukan ragam motif yang melekat pada Singa Barong sangat

dipengaruhi spirit maupun trend yang kemudian melahirkan motivasi pembentukan

ragam hias dalam periode tertentu. Lain halnya Kereta Kencana Paksi Naga Liman

yang banyak dipengaruhi spirit Hindu-Buddha, karena memang saat itu masa

peralihan dari Hindu-Buddha ke Islam. Meskipun harus diakui juga bahwa pada

masa pembuatan Kereta Kencana Singa Barong, pengaruh seni hias Hindu-Buddha

masih terasa, tetapi pengaruh seni hias Tiongkok meningkat tajam melalui

penerapan warna dan ornamen yang menjadi karakteristik seni hias Tiongkok.

Pengaruh seni hias Tiongkok begitu mendominasi dan mengalahkan seni-seni hias

lainnya termasuk seni hias Hindu-Buddha yang begitu kental mewarnai Kereta

Kencana Paksi Naga Liman. Hal itu disebabkan karena semua masyarakat Cirebon,

mulai dari raja sampai rakyatnya sangat terinspirasi oleh motif-motif unik yang

menempel di kain sutera, keramik dan benda-benda lainnya yang dibawa oleh Putri

Ong Tien.115

Kedatangan Puteri Ong Tien dari Tiongkok dengan barang-barang yang

dibawanya berupa keramik dan sutera yang dihiasi dengan berbagai macam motif

indah khas Tiongkok memberi pengaruh besar pada seni hias benda-benda yang

dihasilkan keraton. Contohnya adalah kereta di Kesultanan Cirebon, yaitu Kereta

Kencana Paksi Naga Liman dan Kereta Kencana Singa Barong.116

Kereta Kencana Singa Barong juga merupakan simbol perjalanan spiritual

manusia sebagaimana diketahui bahwa buraq merupakan kendaraan spiritual yang

dipercaya umat Islam digunakan Rasulullah ketika melakukan Isra Mi‟raj dari

Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian naik ke langit ketujuh (Sidratal

Muntaha) untuk menghadap Allah.117

Naga juga bagi etnis Tionghoa merupakan

simbol Kaisar yang dipercaya sebagai “Putera Langit”.118

Dalam mitologi

Tiongkok, naga merupakan binatang yang nafasnya menyerupai angin karena bisa

bergerak cepat, bahkan dianggap sebagai Dewa Langit. Sementara gajah, bagi orang

Hindu dianggap binatang yang disakralkan. Gajah tidak hanya dianggap sebagai

kendaraan Dewa Indra (Airavata), tetapi juga sebagai simbol kekuatan, kejantanan,

114

M. S. Andawari, S. Prabowo, & I. C. Angge, “Makna Simbolik Ornamen Gandhik

dan Wadidang Keris Saidi”. Jurnal Pendidikan Seni Rupa, vol. 3, no. 1, 2015, h. 113-118.;

G. Hodgson, “Keris Types and Terms”. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic

Society, vol. 29, no. 4. 176, 1965, h. 68-90. 115

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias…, h. 304-324. 116

“Sultanskoets nooit meer als nieuw”, Nieuwsblad van het Noorden, Groningen, 29-

12-1993, h. 3. 117

Himatul Istiqomah dan Muhammad Ihsan Sholeh, “The Concept of Buraq in The

Events of Isra Mi‟raj: Literature and Physics Perspective”. AJIS: Academic Journal of

Islamic Studies, vol. 5, no. 1, 2020, h. 53-67.; Rizal Sapari, “Interaksi Simbolik dalam Tiga

Lukisan Kaca Karya Haryadi Suadi”. Jurnal Itenas Rekarupa, vol. 5, no. 2, 2019, h. 107-

114. 118

Kustedja, “Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur Tradisional

Tionghoa”, h. 526-539.

179

dan kebijaksanaan, serta simbol status sosial dan kesuburan. Gajah dipercaya bisa

mendatangkan hujan, sehingga dianggap sebagai Dewa Kesuburan yang dikenal

dengan sebutan Shri-Gaja.119

Motif Liman atau gajah pada Singa Barong terlihat pada bagian hidung atau

belalai. Motif Liman ini dipengaruhi oleh seni hias Hindu Buddha yang berasal dari

India. Liman adalah representasi dari sosok Ganesha. Dalam tradisi Hindu sosok

Ganesha dipercaya sebagai Dewa Keselamatan, Dewa Penolak Bala, juga Dewa

Penghalau Rintangan. Sosoknya sering dikaitkan dengan sosok pemimpin yang

gagah berani, ulet, dan mampu mematahkan barisan musuh namun berbudi luhur.

Dalam konsep kepemimpinan, motif Liman ini cenderung menekankan pada

kategori sosok pemimpin raja atau punggawa.120

Adapun Trisula yang ada dalam Singa Barong pada prinsipnya banyak

dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu. Dalam tradisi Hindu, Trisula merupakan

senjata Dewa Siwa. Senjata ini mempunyai tiga mata tombak yang berfungsi

sebagai senjata penyerangan, dan untuk pertahanan. Trisula adalah tombak yang

berbilah tiga. Jadi ada tombak yang berbilah tunggal, berbilah dua, berbilah tiga,

berbilah empat dan berbilah lima yang disebut Pancasula. Tombak merupakan salah

satu jenis senjata yang familiar dalam kehidupan manusia dimanapun berada.

Semua suku di Indonesia juga mengenal tombak. Awalnya tombak digunakan

sebagai alat berburu, kemudian digunakan sebagai senjata, sebagai benda upacara

serta menjadi pusaka yang turun temurun. Bentuk tombak juga mengalami

perkembangan dari masa ke masa, dari bentuk awal yang sederhana untuk berburu

kemudian digunakan sebagai senjata dalam berperang selain keris dan pedang.121

Senjata-senjata di atas merepresentasikan tiga sifat Dewa Siwa yaitu sebagai

pencipta, pemelihara dan pelebur. Kalau dikaitkan dalam kepemimpinan ketiga sifat

tersebut bermakna bahwa sosok pemimpin atau sultan harus memiliki cipta, rasa

dan karsa yang tajam. Bentuk Trisula ini juga bermakna bahwa seorang pemimpin

di samping memiliki sifat-sifat dalam kategori raja/punggawa juga harus memiliki

sifat resi.122

Dalam konsep Hindu, Trisula juga mengandung falsafah bahwa

masyarakat hendaknya terus mengolah batin spiritualnya untuk mencapai tajamnya

alam pikiran manusia dengan cara menghidupkan daya cipta, rasa dan karsa.123

Bagian badan dari Singa Barong biasa disebut umat Islam sebagai buraq

binatang sejenis kuda yang bersayap, dan berwajah cantik. Buraq dipercaya oleh

umat Islam sebagai kendaraan Rasulullah SAW ketika Isra Mi‟raj, bahkan ada yang

meyakini bahwa buraq juga yang membawa ruh Husain, cucu Rasulullah ke sisi

Allah setelah terbunuh di Padang Karbala. Di kalangan umat Islam mitologi buraq

selalu dikaitkan dengan pristiwa perjalanan Nabi menuju ke langit ketujuh pada saat

119

Prima Yustana, “Gajah dalam Terakota Majapahit”. Jurnal Dewa Ruci, vol. 7, no. 1,

2011, h. 102-114. 120

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 121

D. R. Indika, “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”, dalam “Pembangunan dengan

Berbasiskan Budaya dan Kearifan (Pengembalian Citra Keraton sebagai Pusat Kebudayaan

dan Ekonomi Cirebon”. ISEI Economic Review, vol. 2, no. 1, 2018, h. 1-7. 122

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 123

Sumino, “Kereta Singa Barong…, h. 78-90.

180

Isra Mi‟raj. Peristiwa ini sulit diterima oleh akal biasa, peristiwa ini hanya bisa

dipahami dengan keimanan, dan rukun iman yang keempat adalah beriman kepada

para Nabi.

Personifikasi kereta Singa Barong dengan buraq-nya mempunyai peran dalam

pembinaan dan pendidikan untuk membangun dan membentuk masyarakat Cirebon

yang religius. Karena buraq dipercaya oleh masyarakat Cirebon sebagai kendaraan

yang digunakan oleh Rasulullah dalam Isra Mi‟raj. Kepercayaan ini dipercaya

secara turun temurun bahkan oleh masyarakat muslim di daerah lainnya.

Kepercayaan ini menurut penulis perlu dilestarikan untuk memotivasi masyarakat

Cirebon agar terus membenahi dirinya agar menjadi manusia-manusia sholeh dan

terus meningkatkan keimanannya agar dapat bertemu dengan Tuhannya.

Perjumpaan antara hamba dan Tuhannya diisyaratkan dalam al-Qur‟an surat Al-

Ankabut [29] ayat 5.

Berjumpa dengan Tuhan tidak harus dipahami secara tekstual bahwa manusia

berjumpa dan bertemu dengan Tuhan. Berjumpa dengan Tuhan adalah suasana batin

seorang hamba yang merasa begitu dekat dengan Tuhannya, sehingga tidak ada lagi

jarak antara dirinya dengan Tuhannya. Dengan kata lain, manusia benar-benar

merasakan kehadiran Tuhannya. Perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya

tidak bisa dibayangkan dalam bentuk fisik, tetapi perjumpaan secara rohani.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “An ta‟budallaha ka annaka tarohu, fa

inlam takun tarohu fainnahu yaroka” (Engkau menyembah Allah seakan-akan

engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya sesungguhnya Dia

melihatmu).124

Wujud perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya sangat

personal, setiap orang punya pengalaman spiritual yang berbeda-beda.

Kalau diperhatikan ornamen yang ada pada sayap Singa Barong adalah sayap

garuda. Garuda dalam keyakinan Hindu-Buddha dianggap sebagai sumber

kehidupan yang utama. Simbol garuda bermakna bahwa seorang pemimpin

hendaknya menjadi sosok yang dapat menerangi rakyat dan mensejahterakan

rakyatnya. Karena pada dasarnya rakyat sangat merindukan sosok pemimpin yang

bijaksana, adil, dan mengerti betul tentang aspirasi rakyatnya. Dalam konteks ini

garuda merupakan simbol keperkasaan dan perlindungan sekaligus juga

kebijaksaaan.125

Penulis melihat, ada beberapa motif asing, termasuk motif khas Tiongkok yang

ikut mewarnai ataupun mempergagah Kereta Kencana Singa Barong, di antaranya:

1. Motif Singa

Singa merupakan salah satu binatang yang banyak kita temui menghiasi

klenteng. Motif singa ini biasanya ditemukan di pintu masuk klenteng karena

dipercaya dapat menjaga, melindungi dan menjauhkan bangunan dan penghuni di

dalamnya dari segala marabahaya dan hal-hal yang buruk. Singa juga merupakan

simbol keagungan, kemuliaan, keberanian, dan kekuatan. Dalam kepercayaan

Tionghoa, singa juga dipercaya sebagai Dewa pelindung anak-anak. Para orang tua

percaya bahwa singa dapat melindungi anak-anak dari roh jahat dan hal-hal buruk

124

Imam Bukhari, Ṣahīḥ Bukhōrī Kitāb Tafsīr al-Qur‟ān Bab Surat Luqman Ayat 34,

vol. 6, (Beirūt: Dār Ibn Tuq al-Najāḥ, 1422 H.), h. 115. 125

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324.

181

lainnya. Mereka juga berharap anak-anak akan tumbuh sekuat singa. Jadi roh singa

dipercaya dapat memberikan perlindungan dari roh-roh jahat. Jika ditemukan ada

singa yang memangsa manusia, mereka percaya manusia yang dimangsa adalah

manusia yang berdosa dan patut dihukum.126

Digunakannya motif singa pada Kereta Kencana Singa Barong merupakan

representasi dari singa yang dikenal dalam masyarakat Tionghoa. Bagi masyarakat

Tionghoa, singa merupakan simbol penolak bala yang pada masa kini menjelma

menjadi seni pertunjukan Barongsai yang biasa dihadirkan pada hari-hari besar etnis

Tionghoa dan dipercaya mampu mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian

dan kebahagiaan.127

Motif singa tersebut memperkuat persepsi adanya pengaruh

gaya seni Tiongkok dalam Kereta Kencana Singa Barong. Pendapat penulis

dilandasi oleh pemikiran bahwa secara historis, sejak kehadiran Puteri Ong Tien,

corak seni hias Tiongkok yang tergambar di hampir semua bangunan Keraton

Kasepuhan, termasuk jenis kain sutera mulai banyak diminati dan ditiru. Di

samping itu, argumentasi lain yang dikemukakan adalah bahwa pada Singa Barong

dilengkapi atribut kalung yang mirip dengan kalung yang dipakai Singa Tiongkok.

Kalung ini menandakan bahwa binatang tersebut dipelihara oleh manusia sehingga

sekalipun buas tetapi dapat dikendalikan. Dalam konteks itu, singa diidentikkan

dengan simbol keberanian, kekuatan, kewibawaan, kekuasaan dan kebangsawanan.

2. Motif Naga

Naga adalah makhluk mitologi yang dihormati dan disakralkan oleh

masyarakat Tionghoa. Sehingga tidak heran gambar naga mereka jadikan sebagai

salah satu simbol kebudayaan, dan sebagai sebuah bentuk penghormatan, mereka

menerapkannya di pakaian, bangunan, properti rumah tanggga, keramik dan

sebagainya. Naga sering digambarkan sebagai binatang mitologi yang memiliki

kepala singa, bergigi runcing seperti serigala dan bertanduk rusa. Tubuhnya

panjang seperti ular bersisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang.128

Naga dalam

pandangan masyarakat Tionghoa dipahami sebagai lambang kesuburan atau

binatang pembawa berkah.129

Masyarakat Tionghoa dimanapun berada sangat

memegang teguh kepercayaan ini, sehingga bisa kita temukan beberapa lokasi atau

wilayah yang sekalipun banjir dan mahal tetap diminati oleh masyarakat Tionghoa

126

Mulyono dan Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing

Bio di Tuban”, h. 1-8. 127

M. Li, “Performing Chineseness: The Lion Dance in Newfoundland”. Asian

Ethnology, vol. 76, no. 2, 2017, h. 289-317.; C. McGuire, “The Rhythm of Combat:

Understanding the Role of Music in Performances of Traditional Chinese Martial Arts and

Lion Dance”. MUSICultures, vol. 42, no. 1, 2015, h. 2-23.; J. R. Chen & T. Y. Li,

“Rhythmic Character Animation: Interactive Chinese Lion Dance”. In SIGGRAPH

Sketches, 2005, h. 72. 128

N. Aubrey, “A Dwelling Place for Dragons: Wild Places in Mythology and

Folklore”. In The Psychology of Religion and Place, (Cham: Palgrave Macmillan, 2019), h.

145-166.; S. Z. Sheikh, “Persian Allegory of Chinoiserie Motifs-Dragon and Phoenix or

Simurgh”. International Journal of Multidisciplinary and Current Research, vol. 5, 2017. 129

Sumino, “Kereta Singa Barong…, h. 78-90.

182

untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat usaha karena diangggap wilayahnya

berlokasi di kepala naga.

Di Keraton Kasepuhan Cirebon, naga memiliki dua versi, yakni bentuk naga

yang memakai mahkotamendapat pengaruh seni hias Hindu. Naga ini sering

disebut dengan naga Jawa, sedangkan naga Liong merupakan pengaruh seni hias

Tiongkok. Naga Tiongkok memiliki moncong seperti buaya dan tidak bermahkota.

Simbol naga Liong merupakan lambang kekuasaan, keagungan, kekuatan,

kegagahan dan keberuntungan. Simbol ini juga membawa pesan bahwa seorang

penguasa harus perduli terhadap rakyatnya dan orang-orang yang berada di

bawahnya. Perupaan naga pada Singa Barong tidak terlalu menunjukkan “sifat

penguasa” karena tidak banyak menggunakan atribut-atribut kekuasaan. Walau dari

segi rupa terlihat menyeramkan, namun pemaknaan penulis atas sosok naga pada

Singa Barong terlihat semacam ada pembauran, bisa jadi pembauran dalam arti

antara seorang raja dengan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan posisi Singa Barong

yang tunduk tengadah seperti hewan peliharaan yang akan jinak kepada

majikannya. Namun, dalam kondisi yang membahayakan, ia bisa menunjukkan

sosok angkara murkanya. Oleh karena itu, naga pada Singa Barong menunjukkan

sosok kategori Rama, yang dipercaya merupakan sosok pemimpin yang lebih

banyak berhubungan atau terlibat langsung dalam melayani dan menangani

masyarakat.130

Jenis naga pada Kereta Kencana Singa Barong sebagaimana disebutkan di atas,

terdiri dari naga kecil dan naga besar. Di bagian penutup atas kereta terdapat empat

naga kecil yang merupakan simbol empat penjuru mata angin, sedangkan dua naga

kecil di bagian depan melambangkan keseimbangan. Sementara naga besar yang

ada di kepala merupakan simbol seorang raja yang bermakna bahwa seorang

pemimpin harus mampu mengendalikan nafsu yang ada dalam raganya. Seorang

pemimpin tidak boleh memperturutkan hawa nafsunya ketika mengambil sebuah

keputusan, hendaknya menggunakan akal dan hati nuraninya dengan tetap

berpegang teguh pada al-Qur‟an dan hadis, sehingga setiap keputusan yang diambil

mendatangkan maslahat buat umat.131

Selain itu, seorang pemimpin juga harus bisa

bersikap adil dalam berbagai aspek kehidupan, tanpa pandang bulu. Hal tersebut

ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ [4] ayat 58.

Selain naga besar pada Kereta Kencana Singa Barong yang melambangkan

sosok seorang raja yang bijaksana, adil serta mampu mengendalikan hawa

nafsunya, juga terdapat empat naga kecil yang mengandung makna bahwa Allah

ada dimana-dimana. Allah pemilik kerajaan Timur dan Barat. Di manapun seorang

130

Pada zaman Kerajaan Sunda dahulu berlaku sistem pemerintahan yang unik, yakni

dikenal dengan sebutan Tri-Tangtu. System pemerintahan ini terdiri dari raja/punggawa,

rama dan resi. Dengan demikian, dalam pemerintahan Sunda Kuno ada tiga lembaga yang

secara bersamaan memegang jabatan namun ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang

berbeda. Lihat W. Widyonugrahanto, N. H. Lubis, D. Mahzuni, K. Sofianto, R. M. Mulyadi,

& U. A. Darsa, “The Politics of the Sundanese Kingdom Administration in Kawali-

Galuh”. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 27, no. 1, 2017, h. 028-033. 131

Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon),

pada tanggal 17 Juli 2020.

183

pemimpin berada, selalu dalam pengawasan Allah. Jadi seorang pemimpin harus

selalu menjaga sikap dan prilaku jangan sampai melakukan tindakan-tindakan yang

dilarang Allah karena kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban

di hadapan Allah.132

Jika setiap pemimpin merasa diawasi Allah, tentu tidak ada

pemimpin yang berani melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam konteks

Indonesia sekarang ini, praktek-praktek tersebut sangat miris dengan banyaknya

pejabat negara yang tertangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena

kasus korupsi. Ini pentingnya iman, Islam dan ihsan harus dipahami dengan benar

dan diperkuat.

Adapun dua Naga kecil di bagian depan menurut Hafidz bermakna

keseimbangan yang juga dapat ditemui dalam Islam. Yusuf Qardhawi menjelaskan

bahwa Islam adalah wasatiyyah, yaitu sikap hidup pertengahan atau sikap seimbang

antara kehidupan material dan spiritual.133

Ini artinya sebagai seorang Muslim harus

dapat menyeimbangkan antara dua kutub kehidupan yaitu kehidupan material yang

bersifat duniawi dan kehidupan spiritual yang bersifat ukhrawi. Hal tersebut

sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al Qashash [28] ayat 77. Ayat ini menjelaskan

bahwa menjaga keseimbangan dalam hidup adalah sebuah kewajiban. Menanggapi

hal tersebut Ya‟qub mengatakan ada golongan yang berwawasan keduniaan belaka

dan menganggap akhirat tidak penting, ini penganut faham materialisme dan

sekulerisme, mereka tidak mau tahu tentang Tuhan dan agama serta tidak percaya

adanya hari pembalasan di hari kiamat.134

Dengan demikian, manusia harus mulai

mengumpulkan bekal sedemikian sebanyak untuk kehidupan di akhirat kelak.

Dalam pandangan masyarakat Cirebon, naga dianggap perwakilan lambang

dari dunia bawah. Naga kerap diidentikan dengan sifat yang rakus. Lewat simbol

naga ini manusia diingatkan untuk menghindari sifat-sifat rakus dan mengendalikan

hawa nafsu. Simbol naga ini bila dikaitkan dengan sosok seorang raja bermakna

bahwa masyarakat merindukan seorang raja yang mampu menahan dirinya dari

sifat-sifat rakus, tamak dan sebagainya. Seorang raja hendaknya menjadi pelindung,

teladan dan penganyom bagi rakyatnya.135

Seorang raja hendaknya selalu

memerhatikan dan mendengarkan keluhan rakyatnya. Seorang pemimpin juga harus

dapat mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang

pemimpin dilarang bersikap otoriter kepada rakyatnya. Jika ada suatu masalah,

hendaknya dimusyarahkan untuk memperoleh kebaikan demi kepentingan bersama .

Nabi Muhammad SAW telah mempraktikkan prinsip musayawarah ini bersama

para sahabatnya setiap mengambil keputusan yang bersifat publik, walau Nabi

selalu dalam kontrol Allah. Bahkan tidak jarang Nabi mengambil keputusan

berdasarkan suara terbanyak, misalnya dalam peristiwa perang Uhud, ketika

menghadapi serbuan kaum musyrikin. Dengan demikian, salah satu kriteria

pemimpin yang baik dalam Islam adalah yang mampu mengakomodir pendapat

132

Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon),

pada tanggal 17 Juli 2020. 133

Yusuf Qordhawi, Karakteristik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 12. 134

Hamzah Ya'qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 62. 135

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324.

184

bawahannya (rakyat) alias tidak otoriter, sekalipun dalam kondisi tertentu seorang

pemimpin harus membuat keputusan secara mandiri136

sebagaimana dalam al-

Qur‟an surat Ali Imran [3] ayat 159.

Dalam Islam, fitrah manusia memiliki tiga komponen pokok yaitu kalbu, akal

dan nafs yang saling berinteraksi dan terwujud dalam bentuk kepribadian. Nafs ini

memiliki beberapa pengertian, yaitu nafs dalam arti luas berarti diri atau individu

dengan segala totalitasnya yang mencakup aspek jasmani dan rohan, sedangkan

dalam arti sempit berarti jiwa. Sementara nafs dalam arti bagian dari aspek

kejiwaan berupa nafsu yaitu keinginan atau kecenderungan dan hawa nafsu.137

Dilihat dari kecenderungannya, ada tiga macam nafs manusia dalam al-Qur‟an,

yaitu nafsu ammarah (QS. Yusuf: 53), nafsu lawwamah (QS. al-Qiyamah: 2) dan

nafsu muthmainnah (QS. ar-Ro‟du: 28).

Di dalam rongga dadanya, manusia memiliki dua hati tetapi yang berfungsi

hanya satu yakni hati nuranihati yang mendapat cahaya dari Allah dan hati

sanubarihawa nafsu yang gelap gulita dan inginnya menyimpang dari ajaran

Allah.138

Hawa nafsu atau nafsu amarah yaitu jiwa yang selalu mendorong

manusia untuk membangkang pada perintah Allah, manusia selalu mengarah

kepada keburukan, senang dan condong kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah,

serta senang mengikuti bujuk rayu setan. Sekalipun manusia memiliki

kecenderungan untuk berbuat keburukan, namun sesungguhnya pada awalnya

manusia berat dalam melaksakannya, karena pada dasarnya, secara fitrah manusia

itu cenderung beriman dan tunduk pada Allah sebagaimana dalam al-Qur‟an surat

Ar-Rum [30] ayat 30.

Sejak lahir manusia itu bersih, suci dan condong kepada hal-hal yang positif.

Kecenderungan manusia kepada hal-hal positif karena memang sejak di alam ruh,

manusia sudah mengakui ke-Esaan Allah dan tunduk kepada-Nya. Sehingga bisa

dikatakan bahwa kecenderungan manusia kepada hal-hal positif merupakan

aktualisasi fitra imannya yang sudah ada sejak lahir.139

Oleh karena pada dasarnya

fitrah manusia itu beriman, maka manusia akan selalu merindukan Tuhan, taat,

khusyu, tawakal dan tidak ingkar terutama jika sedang mengalami kegelisahan,

kesedihan dan kesulitan hidup.

Allah menciptakan manusia terdiri dari dua unsur, yakni unsur jasmani dan

unsur rohani (ruh ilahi). Unsur jasmani dan unsur rohani merupakan dua kutub yang

saling berlawanan. Maksudnya, bahwa unsur jasmani adalah bersifat fisik, statis,

akan mati dan letaknya di bawah, sedangkan unsur ruh ilahi (spirit of God) bersifat

136

Muhammad Harfin Zuhdi, “Konsep Kepemimpinan dalam Islam”. Akademika, vol.

19, no. 1, 2014, h. 35-57. 137

Anwar Sutoyo, Manusia dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2015), h. 120-122. 138

Munawar Rahmat, “Manusia Menurut Alquran”. Ta‟lim, vol. 10, no. 2, 2012, h. 105-

122. 139

G. I. Serour, “Islamic Perspectives in Human Reproduction”. Reproductive

Biomedicine Online, vol. 17, 2008, h. 34-38.

185

metafisik, dinamis, menghidupkan dan letaknya di atas.140

Menurut Shihab unsur

ruh ilahi ini tidak akan ditemukan pada iblis, jin dan hewan.141

Secara implisit

kutub-kutub tersebut menunjukkan bahwa dalam diri manusia ada dua

kemungkinan, yakni di satu sisi manusia dapat meraih derajat setinggi-tingginya

dengan mengarahkan dirinya menuju tingkat ruhani yang tinggi, dan di sisi yang

lain manusia dapat terjerumus pada derajat yang lebih rendah dengan dorongan

nafsu jasmaninya. Menurut penulis ada dua kecenderungan manusia untuk

melakukan perbuatan buruk yakni karena ingin menutupi kesalahannya agar tidak

diketahui orang lain dan manusia yang bersangkutan tidak ingin ada cahaya yang

menerangi perbuatannya.

Quthub mengatakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan

makhluk Allah yang lain adalah ruh, sebab sejak awal keberadaannya, ruh yang

membuat manusia menjadi unggul dibanding makhluk lain. Ruh inilah yang

kemudian dapat menghubungkan dan membuat manusia mampu berkomunikasi

dengan Tuhannya, serta mengangkat manusia dari alam materi yang interaksinya

menggunakan panca indera ke alam materi yang interaksinya menggunakan hati dan

akal. Selain itu, dengan ruh manusia mampu mengetahui rahasia yang tersembunyi

dari sesuatu yang tampak.142

Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna karena ia mempunyai jasad

yang indah dan dilengkapi dengan ruh atau jiwa. Namun, label sebagai makhluk

utama dan ciptaan terbaik Allah itu akan turun derajatnya menjadi hewan, jika

manusia tidak menggunakan akal secara baik dan benar berbagai potensi pemberian

Allah yang sangat tinggi seperti pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta panca indera.

Hal tersebut ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat Al A‟Raaf [7] ayat 179.

Quthub lebih lanjut menjelaskan bahwa fitrah setiap manusia senang dengan

lawan jenis, anak-anak, harta yang banyak (emas, perak, kuda pilihan, binatang

ternak, dan sawah/ladang). Semua merupakan sifat bawaan manusia yang tidak

dapat diingkari dan “dibunuh” karena menjadi bagian kebutuhan vital manusia agar

kehidupan menjadi kokoh, berkembang dan normal. Islam tidak mematikan semua

potensi itu, tetapi mengatur pemenuhannya atau penyalurannya dengan syariat

agama agar lebih terarah dan tidak menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan.143

Motif-motif naga juga bisa ditemukan di bagian depan Kereta Kencana Singa

Barong berjumlah dua ekor dan empat ekor lainnya menjadi penopang singgasana

kereta. Namun naga-naga kecil ini merupakan naga Jawa. Simbol naga-naga kecil

itu bermakna bahwa harus ada sosok yang siap sedia untuk mengawasi dan

mengayomi rakyatnya.144

140

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan

Kepribadiam Muslim, (Bandung: Rosda Karya, 2006), h. 69. 141

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Juz I-

XXX, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 179. 142

Sayyid Quthub, Tafsir fi Zilali Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta:

Gema Insani, 2001), h. 137. 143

Quthub, Tafsir fi Zilali Qur‟an…, h. 41-43. 144

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324.

186

3. Motif Mega Mendung

Di Kereta Kencana Singa Barong juga ada motif Mega Mendungterletak di

bagian belakang maupun samping tempat duduk. Motif Mega Mendung merupakan

hasil adopsi dari seni Tiongkok. Mega Mendung adalah simbol awan dan mendung.

Bagi masyarakat Cirebon motif Mega Mendung bermakna harapan akan datangnya

hujan yang menyimbolkan kesuburan tanah pertanian bagi kehidupan masyarakat.

Datangnya hujan dianggap sebagai nikmat dan berkah tersendiri dari Allah SWT

yang Maha Pengasih kepada semua makhluk-Nya dan Maha Rahim kepada

makhluknya yang bertakwa. Motif Mega Mendung juga mengandung makna

filosofis bahwa seorang pemimpin harus sabar dan tidak cepat tersulut amarahnya

dalam menghadapi masyarakat. Seorang pemimpin hendaknya mampu mengontrol

amarahnya dan tidak gampang murka, juga harus mampu memberikan keteladanan

kepada rakyatnya. Dengan demikian, Mega Mendung secara filosofis bisa bermakna

harapan masyarakat akan hadirnya sosok pemimpin yang loyal, adil, bijaksana dan

mau terjun ke masyarakat untuk melihat dan mendengarkan langsung aspirasi

rakyatnya.145

Motif Mega Mendung juga bermakna bahwa setiap manusia hendaknya tidak

memperturutkan amarahnya dan harus mampu mengendalikan emosinya dalam

situasi dan kondisi apapun. Manusia harus tetap tenang dan damai hatinya sekalipun

dalam keadaan marah. Seperti awan yang muncul saat cuaca mendung, namun tetap

mampu mendinginkan keadaan sekitarnya. Selain itu, motif Mega Mendung juga

memiliki warna yang melambangkan sosok pemimpin. Awan biru merupakan

lambang atau melambangkan seorang pemimpin harus mampu melindungi

komunitas yang dipimpinnya. Di dalam motif asli Mega Mendung memuat tujuh

gradasi warna yang bermakna “langit memiliki tujuh lapisan, bumi tersusun dari

tujuh lapisan tanah, dan jumlah hari dalam seminggu (tujuh hari).146

Ragam hias Mega Mendung juga menggambarkan adanya mega-mega atau

awan-awan yang mengandung air menjelang turunnya hujanmerupakan simbol

dari harapan turunnya rahmat Allah berupa air hujan yang di dalamnya juga ada

tanda-tanda kehebatan Allah yang digambarkan dengan lidah petir atau kilat yang

terjadinya hanya sekejap mata (setralapan). Peristiwa lidah petir ini bermakna

bahwa hidup di dunia hanya sekejap atau sementara saja.147

Oleh karena itu,

manusia jangan terlena dengan keindahan dunia sehingga melupakan akhirat.

Karena kehidupan akhirat itu kekal, sementara kehidupan di dunia sifatnya

sementara.

4. Motif Wadasan

Kereta Kencana Singa Barong jika diperhatikan mengandung motif wadasan

yang mendapat pengaruh dari seni hias Tiongkok. Wadas berarti batu cadas atau

karangmengelilingi bagian belakang Singa Barong. Motif wadasan ini

perwujudannya menyerupai Mega Mendung yang berputar secara vertikal sehingga

145

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 146

M. Nurhidayat & Y. Herlambang, “Visual Analysis of Ornament Kereta Paksi Naga

Liman Cirebon”. Bandung Creative Movement Journal, vol. 4, no. 2, 2018. 147

Yani, “Pengaruh Islam Terhada…, h. 181-196.

187

seperti gunungan wadas. Sekalipun motif wadasan sekilas mirip dengan motif Mega

Mendung, namun sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan. Menurut

pengamatan penulis, Mega Mendung berada di wilayah atas, sedangkan wadasan

berada di wilayah bawah. Di samping itu, pada wadasan biasanya ada tanaman yang

tumbuh menjalar. Wadasan ini bisa dijumpai di Guha Sunyaragi atau Taman Air

Sunyaragi,148

dan kompleks Tamansari Keraton Kasepuhan. Karena keindahannya,

motif wadasan menjadi salah satu ciri khas atau ikon Cirebon. Motif wadasan juga

mencerminkan adanya penempatan eksistensi raja sebagai penguasa jagad kecil dan

sebagai wakil Tuhan di dunia. Karena perannya yang begitu mulia, maka seorang

raja dituntut untuk terus meningkatkan kualitas spiritualnya agar mendapat

keberkahan dan bimbingan yang terus menerus dari Allah dalam memimpin

rakyatnya, sehingga kebijakannya akan selalu sesuai dengan aturan agama yang

ditentukan Tuhan bagi manusia. . Yani mengatakan motif wadasan melambangkan

kristalisasi keimanan seseorang.149

Seorang Muslim harus bertekad untuk terus

menjaga keimanannya agar tetap kuat dan mengamalkannya dalam kehidupan

sehari-hari. Perkara mengerjakan amal kebaikan telah disinggung dalam al-Qur‟an

surat An-Nahl [16] ayat 97. Ayat ini menegaskan bahwa dengan keimanan, seorang

mukmin akan memperoleh kebahagiaan, kenikmatan ketenangan dan kemantapan

hati dan jiwa, baik di dunia maupun akhirat. Dengan keimanan juga seorang

Muslim akan diselamatkan dari azab neraka dan kelak akan berjumpa dan

memandang wajah Allah SWT, dan inilak nikmat yang terbesar. Oleh karena itu,

wajib bagi seorang mukmin untuk memegang teguh keimanan, menjaga dan

merawatnya hingga kematian menjemputnya.

5. Motif Bunga Teratai

Dalam seni hias etnis Tionghoa, teratai melambangkan kesucian dan

kesempurnaan. Teratai tetap tumbuh bersih dan menawan hati walau tumbuh dalam

lumpur atau rawa-rawa. Bagi etnis Tionghoa terutama pengikut Buddha, teratai

memiliki tempat khusus di hati mereka. Selain bermakna kesucian dan keberhasilan,

teratai juga dipercaya merupakan tempat duduk Sang Buddha yang melambangkan

keagungan. Tempat ini digunakan sebagai penyembahan kepada Tuhan. Dengan

cara membakar hio hingga asapnya membumbung tinggi ke langit. Asap tersebut

diharapkan dapat membawa segala doa dan pengharapan yang dipanjatkan.150

Beberapa sumber menyebutkan bahwa motif bunga teratai mendapat pengaruh

dari gaya seni Tiongkok. Bagi masyarakat Tionghoa Cirebon, makna teratai juga

berkaitan dengan prinsip hukum sebab-akibat, atau dengan kata lain, apa yang

dipikirkan dan diperbuat oleh manusia, perkara baik maupun buruk pasti akan

mendapatkan balasannya di masa yang akan datang. Sementara kalau kita lihat

dalam Islam, konsep sebab-akibat terdapat dalam al-Qur‟an surat Al-Zalzalah [99]

ayat 7-8. Pada dasarnya setiap orang akan memetik apa yang ditanamnya.

Sementara dalam bahasa Mandarin, teratai disebut dengan he lian yang bermakna

perdamaian dan keberlanjutan. Teratai adalah bunga yang dapat hidup di air yang

148

D. Lombard, “Jardins à Java”. Arts Asiatiques, vol. 20, 1969, h. 135-183. 149

Yani, “Pengaruh Islam Terhadap…, h. 181-196. 150

Salim, “Memaknai Pengaplikasian Ornamen…, h. 50-65.

188

kotor tetapi bisa melindungi dirinya agar tetap bersih.151

Makna filosofisnya adalah

bahwa siapapun yang terus meningkatkan kualitas spiritualnya, maka akan

mencapai pencerahan spiritual dan tidak mudah terpengaruh pada kondisi

lingkungan yang tidak baik sebagaimana teratai yang tetap bersih dan tidak

terpengaruh dengan keadaan air kotor di sekelilingnya.

Sementara bagi masyarakat Cirebon, motif bunga teratai merupakan lambang

kebesaran dalam ketatanegaraan, juga merupakan lambang ruh atau spiritualitas

yang ada dalam diri manusia yang harus terus dijaga dan dirawat agar hidupnya

terus seimbang sebagaimana bunga teratai tidak akan bisa hidup tanpa adanya air di

bawahnya. Sementara dalam agama Hindu dan Buddha, bunga teratai merupakan

bunga yang dianggap suci dan bermakna religius. Simbol teratai ini bermakna

bahwa manusia harus terus mengembangkan sisi spiritualitasnya dan tidak

terpengaruh pada kesenangan duniawi.152

Singa Barong merupakan representasi dari perilaku sosial manusia yang

selanjutnya akan memengaruhi tatanan sosial berikutnya. Digagasnya Singa Barong

tentu tidak lepas dari jaringan sosial yang dibentuk manusia. Karena dalam

memproduksi objek atau budaya material, manusia tidak hanya bertujuan untuk

memuaskan diri sendiri atau orang lain, akan tetapi juga karena ingin mewujudkan

kebebasan dan kesadaran untuk berkarya dan mencipta sekaligus menunjukkan

bahwa manusia adalah makhluk yang produktif, baik secara individu maupun

kelompok.153

C. Batik Cirebon

Kajian tentang batik utamanya soal makna simbolik dan filosofis yang

terkandung di dalamnya perlu untuk digali lagi sebab rata-rata batik, khususnya di

Indonesia merupakan bagian dari warisan budaya yang tentu mempunyai nilai-nilai

tersendiri. Mengingat dalam konteks sekarang ini, batik telah menjadi bisnis di

kalangan pengusaha, dan karena pengaruh persaingan bisnis dalam industri batik

mereka tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai filosofis batik, kearifan lokal dan

budaya tradisional sebagai esensi utama dari seni batik Indonesia. Sehingga itu,

nilai-nilai filosofis dan unsur budaya lokal dalam batik cenderung menghilang.

Dengan kata lain, batik telah kehilangan jiwanya sebagai warisan budaya Indonesia

yang unik dan bernilai tinggi, bahkan menurut Budiono dan Vincent beberapa

pengusaha batik tulis telah mencampurkan batik mereka menjadi batik printing.

Beberapa produk batik printing yang diproduksi telah dilakukan secara asal-asalan

hanya demi memenuhi permintaan pasar.154

Sejak teknologi pencetakan ditemukan

pada tahun 1970, cetakan batik banyak tersedia di pasaran, namun memiliki harga

yang sangat murah dibandingkan dengan batik tulis.

Penelitian ini sebenarnya bukan membahas bagaimana batik ketika masuk

dalam dunia industri yang kemudian diperdagangkan, tetapi lebih kepada makna

151

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 152

Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 153

Sumino, “Kereta Singa Barong…, h. 78-90. 154

G. Budiono & A. Vincent, “Batik Industry of Indonesia: The Rise, Fall and

Prospects”. Studies in Business & Economics, vol. 5, no. 3, 2010, h. 156-170.

189

simbolik dan folosofis dari batik itu sendiri. Contoh di atas, sengaja penulis

kemukakan di awal untuk menandai bahwa sesunggunya esensi batikkhususnya

makna simbolik dan filosofis di dalamnya, seiring berjalannya waktu mengalami

pergeseran. Sementara dalam konteks Indonesia, motif batik sesungguhnya

merupakan warisan budaya istana kerajaan atau kombinasi seni dan budaya lainnya

yang bernilai tinggi dan kerap menggambarkan makna simbolik dan filosofis

dibalik peristiwa yang terjadi di masa lampau, di samping batik juga sangat

potensial untuk diekspor hingga ke mancanegara.

Dalam konteks Indonesia, batik memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur

budaya yang sejatinya sudah ada sejak dahulu, salah satunya adalah batik di daerah

Sunda, Jawa Barat. Dilihat dari letak geografis, keberadaan batik di daerah Sunda

(yang dimaksud daerah Sunda berdasarkan wilayah administratif, adalah Jawa

Barat) dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni di sebelah utara Jawa Barat seperti

Cirebon, Indramayu, dan Kuningan, kemudian di sebelah selatan Jawa Barat, yakni

Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Garut. Sehingga, batik di daerah Sunda (Jawa

Barat) terdiri dari batik dengan pengaruh batik pesisiran dan batik dengan pengaruh

batik priangan atau pedalaman.155

Batik pesisiran mengandung motif yang banyak

dipengaruhi oleh budaya-budaya asing (Tiongkok, Eropa, India, Persia, dan Arab),

yang memiliki warna-warna yang cerah, seperti motif Mega Mendung dari Cirebon.

Sementara pada batik priangan didominasi warna-warna lembut, gelap, seperti

hitam dan coklat, dengan komposisi warna terdiri dari sogan indigo (biru), hitam,

dan putih.

Batik sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia perlu untuk terus

dilestarikan di tengah globalisasi yang tentu saja bisa memengaruhi eksistensi batik

itu sendiri, terutama di tengah generasi muda yang cenderung senang dengan hal-

hal baru dari luar. Kalau batik ini tidak dilestarikan, maka suatu saat batik bisa

punah atau justru diklaim oleh negara lain. Pada 2 Oktober 2009, UNESCO telah

mengukuhkan bahwa batik adalah Warisan Budaya Dunia Tak Benda yang berasal

dari Indonesia.156

Disebut demikian karena yang diwariskan adalah bukan benda

batiknya, namun prosesnya. Batik merupakan warisan kebudayaan tradisional atau

peninggalan nenek moyang, dan merupakan karya bangsa yang merefleksikan

sebuah produk seni serta memiliki nilai estetika bahkan filosofis yang tinggi.

Pada jaman dahulu para pengrajin batik dalam membatik tidak hanya

menciptakan sesuatu yang indah dipandang mata, tetapi juga mereka memberi arti

atau makna yang erat hubungannya dengan falsafah hidup yang diyakini. Ada

155

A. Joedawinata, “Unsur-unsur Pemandu dan Kontribusinya dalam Peristiwa

Perwujudan Sosok Artefak Tradisional dengan Indikasiindikasi Lokal yang Dikandung dan

Dipancarkannya (Studi dalam Konteks Keilmuan Seni Rupa, Kriya dan Desain dengan

Cirebon dan Artefak Kriya Anyaman Wadah-wadahan Sebagai Kasus)”. ITB, 2005. 156

I. Widiaty, L. S. Riza, & A. G. Abdullah, “A Preliminary Study on Augmented

Reality for Learning Local Wisdom of Indonesian Batik in Cocational Schools”. In 2015

International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education, (Atlantis

Press, 2015), h. 32-35.; A. Rahma, J. Jaenudin & A. Marifatullah, “Living a Multicultural

Lifestyle with Batik: Identity, Representation, Significance”. In International Conference on

Culture and Language in Southeast Asia (ICCLAS 2017), vol. 154, (Atlantis Press, 2017), h.

203-205

190

pesan-pesan dan harapan-harapan yang ingin disampaikan melalui motif-motif batik

yang diciptakan, agar membawa kebaikan dan kebahagiaan, khususnya bagi

pengguna batik. Motif batik yang diciptakan sangat dipengaruhi adat-istiadat,

kebudayaan dan agama.157

Misalnya pengaruh Islam terlihat pada tidak adanya

motif binatang dan lebih banyak motif tumbuh-tumbuhan dan unsur kaligrafi.158

Pengaruh adat terlihat pada batik Irian Jaya dengan ragam hias suku Asmat,159

dan

pengaruh Tionghoa dengan motif Mega Mendung pada batik Cirebon.160

Setiap batik memiliki latarbelakang, arti perlambangan atau makna simbolis

yang menjadi dasar penciptaan atau pembuatan, sehingga tatanan warna, pola

maupun motif pada batik tidak bisa sembarangan diubah, bahkan suatu budaya

diciptakan selalu tidak terlepas dari makna. Umumnya makna budaya tersebut

diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Para sarjana yang banyak

mengkaji semiotika seperti Saussure,161

Kristeva,162

Yakin dan Totu,163

menyatakan

semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan

produksi makna. Tanda tidak hanya berbentuk sebuah benda, misalnya, dalam

kehidupan manusia, tanda selalu menyampaikan suatu informasi sehingga

mempunyai sifat komunikatif. Merujuk teori Pierce sebagaimana dalam karya-karya

157

K. Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”. Jurnal Filsafat, vol. 1, no. 1, 1995, h.

28-35. 158

Salah satu unsur kaligrafi bisa ditemukan dalam Lukisan Kaca Kusdono Cirebon,

yang diberi nama “Kaligrafi Semar” dan menggunakan kaligrafi Arab. Penggunaan Semar

sebagai objek karena Semar dalam wayang dikenal sebagai orang yang selalu berbuat baik,

menjaga kebenaran dan selalu taat pada ajaran Tuhan. Seni lukis “Kaligrafi Semar”

merupakan perpaduan kekuatan moral dan teologis yaitu pencitraan visual dalam bentuk

wayang dan kaligrafi sebagai ekspresi estetika non figuratif. Lukisan kaca Cirebon

“Kaligrafi Semar” disebut kaligrafi figural karena memadukan motif figural dengan elemen

kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Lukisan Kaca Kusdono Cirebon menggunakan

motif Mega Mendung dan wadasan yang dikenal dengan motif batik Cirebon yang warnanya

menggunakan warna pantai karena letak geografis Cirebon yang dekat dengan pantai. Lihat

Y. Rukiah, “Visual Elements of Semar Calligraphy” on Cirebon Glass Painting of

Kusdono‟s Work”. In International and Interdisciplinary Conference on Arts Creation and

Studies, vol. 1, 2019, h. 43-47. 159

M. C. Howard, “Dress and ethnic identity in Irian Jaya”. Journal of Social Issues in

Southeast Asia, 2000, h. 1-29.; A. K. Hermkens, “Gendered Objects: Embodiments of

Colonial Collecting in Dutch New Guinea”. The Journal of Pacific History, vol. 42, no. 1,

2007, h. 1-20. 160

M. T. Riyanti & M. Rouselyn, “The Influence of Art Motif Batik Mega Mendung

Cirebon to Fesyen in Jakarta”. International Journal of Research of Granthaalayah, vol. 6,

no. 3, 2018, h. 107-125.; B. Sudardi, “The Reflection of Socio-Cultural Change in Batik

Motifs”. In 2018 3rd International Conference on Education, Sports, Arts and Management

Engineering (ICESAME 2018), vol. 231, (Atlantis Press, 2018), h. 150-152. 161

F. de Saussure, “Course in General Linguistics”. In Literary Theory, An Anthology,

by J. Rivkin & M. Ryan (eds.), (UK: Blackwell Publishing Ltd., 2004), h. 59-71. 162

J. Kristeva, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, (New

York: Columbia University Press, 1980), h. 31. 163

H. S. M. Yakin & A. Totu, “The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A

Brief Comparative Study”. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 155, 2014, h. 4-8.

191

para sarjana seperti Dewey,164

Zeman,165

dan Houser166

bahwa tanda-tanda dalam

gambar dapat digolongkan ke dalam ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda

yang mirip dengan objek yang diwakilinya, atau tanda yang memiliki ciri-ciri yang

sama dengan apa yang dimaksudkan. Sementara indeks merupakan tanda yang

memilik hubungan sebab-akibat (kausalitas) dengan apa yang diwakilinya atau

disebut juga tanda sebagai bukti. Adapun yang dimaksud dengan simbol adalah

tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama.

Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah

disepakati sebelumnya.

Makna simbolis yang terkandung dalam tiap motif batik di berbagai daerah

biasanya diartikan secara kultural menurut keyakinan, kebiasaan atau tradisi, serta

cara hidup dari masyarakatnya yang sampai sekarang tetap bertahan. Dalam

membuat sebuah motif batik, pengrajin akan menggunakan dasar-dasar yang

diyakini masyarakat untuk dijadikan sebuah makna. Dengan kata lain, masing-

masing motif batik ditafsirkan sesuai dengan makna yang ada di masyarakat.

Pemahaman terhadap simbol dapat diidentifikasi sebagai kata benda, kata kerja dan

kata sifat. Simbol sebagai kata benda dapat berupa barang, obyek, tindakan dan hal-

hal konkrit lain. Simbol sebagai kata kerja dapat berfungsi untuk menggambarkan,

menyelubungi, mengartikan, meperlihatkan atau menunjukan, memanipulasi, dan

menandai. Sementara simbol sebagai kata sifat berarti sesuatu yang lebih besar,

lebih bermakna, lebih bernilai, sebuah kepercayaan, dan prestasi. Adapun fungsi

simbol digunakan untuk menjembatani obyek nyata dengan hal-hal abstrak yang

maknanya melebihi dari makna hal yang tampak. Dalam konteks ini, Smiraglia

berpendapat bahwa simbol adalah kreasi manusia untuk mengejawantahkan

ekspresi dan gejala-gejala alam dengan bentuk-bentuk bermakna.167

Artinya, simbol

dapat dipahami dan disetujui oleh masyarakat tertentu.

Bagi orang Jawa, busana itu memiliki makna yang dalam “ajining diri

gumantung ono ing lati, ajining jiwo gumantung ono ing busano” (harga diri

terletak dari kualitas bicara seseorang demikian juga penampilan dan cara

berbusana akan memberi nilai terhadap kualitas jiwa seseorang). Busana adalah

cermin identitas seseorang, watak, kondisi sosial ekonomi pemakainya, juga

menunjukkan moral dan budaya suatu bangsa.168

Begitu juga bagi masyarakat

Cirebon, mereka memahami busana selain sebagai alat untuk melindungi diri juga

bernilai keindahan dan kesopanan.

Batik Cirebon sampai sekarang masih diproduksi dan dikembangkan oleh para

pengusaha Muslim dan para santri di Desa Trusmi, tidak heran jika masyarakat

164

J. Dewey, “Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning”. The

Journal of Philosophy, vol. 43, no. 4, 1964, h. 85-95. 165

J. Zeman, “Peirce‟s Theory of Signs”. A Perfusion of Signs, 1977, h. 22-39. 166

N. Houser, “Toward a Peircean Semiotic Theory of Learning”. The American

Journal of Semiotics, vol. 5 no. 2, 2008, h. 251-274. 167

R. P. Smiraglia, “Works as Signs, Symbols, and Canons: The Epistemology of the

Work”. Ko Knowledge Organization, vol. 28, no. 4, 2001, h. 192-202. 168

A. Nursalim & H. Sulastianto “Dekonstruksi Motif Batik Keraton Cirebon:

Pengaruh Ragam Hias Keraton pada Motif Batik Cirebon”. Jurnal Penelitian

Pendidikan, vol. 15, no. 1, 2016, h. 27-40.

192

umum lebih mengenal batik Cirebon ini dengan batik Trusmi. Ornamen batik

Cirebon memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan ornamen batik dari

daerah lainnya. Ornamen batik Cirebon dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal yaitu adanya budaya-budaya yang mengelilinganya. Ornamen sangat

berpengaruh pada maju mundurnya batik, artinya ornamen yang bagus dan unik

tentu akan lebih diminati dan dipakai oleh masyarakat.

Ornamen memberi hiasan pada bidang kosong menjadi berisi hiasan.169

Nenek

moyang bangsa Indonesia sejak lama sudah memiliki keahlian membuat ornamen.

Hal ini bisa dibuktikan pada pecahan gerabah dari zaman neolitikum berupa goresan

sederhana berbentuk geometris. Pada masa pra sejarah, ornamen berfungsi sebagai

media untuk melampiaskan hasrat, pengabdian, persembahan, penghormatan dan

kebaktian terhadap nenek moyang atau Dewa yang dihormati. Dengan kata lain,

ornamen memiliki fungsi ganda yaitu fungsi hias dan simbolik.170

Ornamen adalah

hiasan yang dibuat dengan digambarkan, dipahat, maupun dicetak untuk

meningkatkan kualitas dan nilai suatu benda atau karya seni. Ornamen sering

dihubungkan dengan corak dan ragam hias yang ada. Sementara simbol atau

lambang adalah tanda yang menyatakan sesuatu itu mengandung maksud tertentu.171

Di Jawa Barat sebenarnya ada empat tempat sentra batik, yakni daerah

Cirebon, Indramayu, Tasikmalaya, dan Garut. Namun, di antara keempat sentra

batik tersebut, Cirebon tergolong sebagai sentra batik tertua dan banyak

memberikan pengaruh pada perkembangan batik di daerah lain, terutama daerah-

daerah berdekatan di Jawa Barat, dan daerah Jawa pada umumnya. Dalam konteks

ini, Cirebon yang dahulunya sebagai kota pelabuhan merupakan tempat akulturasi

budaya dari berbagai suku dan bangsa. Misalnya, motif wadasan dan Mega

Mendung yang merupakan ikon batik Cirebon merupakan hasil akulturasi dengan

budaya Tiongkok. Gambar awan pada Mega Mendung merupakan pengaruh

oriental yang biasa ada di keramik-keramik asal Tiongkok, begitu pula dengan

warna cerahnya yang membedakannya dari batik Yogya, batik Solo172

dan

sebagainya.

169

S. Hedges, “Interior Decoration to Exterior Surface: The Beleaguered

Relief”. Interiority, vol. 2, no. 1, 2019, h. 79-93.; E. M. Kavaler, “Ornament and Systems of

Ordering in the Sixteenth-Century Netherlands”. Renaissance Quarterly, vol. 72, no. 4,

2019, h. 1269-1325. 170

A. Iliopoulos, “Early body ornamentation as Ego-culture: Tracing the co-evolution

of aesthetic ideals and cultural identity”. Semiotica, no. 232, 2020, h. 187-233.; S. Supatmo,

“The Manifestation of Cultural Tolerance Value of Traditional Ornament: Study on

Ornaments of Sendang Duwur Mosque-Graveyard, Lamongan, East Java”. In 2nd

International Conference on Arts and Culture (ICONARC 2018), vol. 276, (Atlantis Press,

2019), h. 105-109. 171

R. P. G. Tolentino, “Archaeology of Sacred Symbols: The Lost Meaning and

Interpretations”. International Journal of Recent Innovations in Academic Research, vol. 3,

no. 10, 2019, h. 66-71.; A. Foltarz, “Symbols, Signs, Messages in Ergonomics of Social

Space”. Human-Centered Computing: Cognitive, Social, and Ergonomic Aspects, vol. 3,

2019, h. 200. 172

Batik Yogja dan batik Solo sesuai tempat asalnya, Yogya dan Solo memiliki dimensi

fraktal yang mirip dengan batik dari Madura dan Garut, tetapi batik Madura dan batik Garut

193

Motif batik Cirebon yang sangat kaya dan unik di yakini merupakan hasil

desain dari keluarga keraton, yang sebagian terinspirasi dari motif-motif asing,

termasuk Tiongkok, Arab, dan Eropa. Oleh karena hasil desain dari keluarga

keraton, maka motif batik Cirebon banyak menggambarkan lingkungan istana

seperti Kereta Kencana Paksi Naga Liman, Kereta Kencana Singa Barong, Taman

Guha Air Sunyaragi, keramik Tiongkok, Siti Inggil, Patran Kangkung atau bentuk

Kangkungan,173

termasuk bangunan keraton dan sebagainya. Namun, di antara

motif hias batik Cirebon, yang sangat khas adalah bentuk wadasan dan Mega

Mendung. Lombard mengatakan bahwa batik Cirebon itu desainnya figuratif,

seperti pagar wesi, wadasan, dan Taman Arum. Temanya banyak terinspirasi

langsung oleh dekorasi keraton, termasuk Taman Air Guha Sunyaragi.174

Selain itu,

motif batik Cirebon juga banyak berlatar belakang singgasana sultan yang

digambarkan dengan bentuk binatang (ular naga dan gajah) yang memiliki sayap

burung dan bercahaya seperti “halilintar”.175

Binatang ini digunakan sebagai

kendaraan sultan dan dinamakan Kereta Kencana Paksi Naga Liman atau dalam

istilah Lombard disebut dragon-bird-elephant, termasuk juga Kereta Kencana Singa

Barong yang biasa digunakan Sunan Gunung Jati.176

Beberapa motif inilah yang

menjadi ikon batik Cirebon, sekaligus membedakannya dengan motif batik di

daerah lain.

Batik Cirebon memang banyak mendapat pengaruh dari motif-motif khas

budaya asing. Karena sejak awal Cirebon sebagai kota pelabuhan tentu banyak

dikunjungi oleh para pedagang dari luar seperti Persia, India, Arab dan Tiongkok.

Hubungan dagang yang terjalin dengan para pedagang itu juga memengaruhi

perkembangan ornamen Batik Cirebon. Hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa

motif yang sering digunakan yakni motif batik Paksi Naga Liman yang mendapat

pengaruh dari Persia, motif buraq mendapat pengaruh dari Arab, dan motif batik

pangkaan177

soko Tiongkok mendapat pengaruh dari Tiongkok, termasuk pewarnaan

batik yang terang.178

Kalau kita telusuri dalam sejarahnya, batik keraton sebagaimana dijelaskan di

atas awalnya hanya digunakan oleh kalangan keraton dan memiliki makna sakral.

sendiri memiliki dimensi fraktal yang berbeda. Lihat penelitian Y. Hariadi, M. Lukman, &

A. Haldani, “Batik Fractal: From Traditional Art to Modern Complexity”. In Proceeding

Generative Art X Milan Italia, 2007, h. 1-10. 173

Patran Kangkungan memiliki makna persembahan pada Yang Maha Agung. Dalam

arti kata bahwa hidup ini hanya untuk mengabdi kepada Tuhan yang Maha Agung. Biasanya

batik ini dipakai pada upacara ritual. Lihat I. Tambrin, “Batik Cirebon: Tinjauan Ornamen

Batik Trusmi Cirebon”, Jurnal Seni Rupa dan Desain, vol. 2, no. 4. 2002, h. 1-13. 174

D. Lombard, Garden in Java, (Jakarta: EFEO, 2010), h. 71-73. 175

A. Haake, “The Role of Symmetry in Javanese Batik Patterns”. Computers &

Mathematics with Applications, vol. 17, no. 4-6, 1989, h. 815-826. 176

Lombard, Garden in Java, h. 11. 177

Pangkaan (pangka=setangkai daun dan bunga), yang terdiri dari Pangkaan dengan

satu jenis pohon atau bunga, di antaranya Pring Sedapur, Pangkaan Anggrek, Klapa

Setundun, Soko Cino, dan Kembang Suru. Lihat T. Soegiarty, “Ornamen Batik Pesisiran

Daerah Sunda”. Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain, vol. 13, no. 1, 2016, h. 23-38. 178

Tambrin, “Batik Cirebon…, h.1-13.

194

Namun, pada perkembangannya, termasuk di era sekarang ini, motif-motif tersebut

kemudian digunakan oleh kalangan rakyat biasa, atau umumnya disebut batik

pesisiran. Motif ini baru kembali muncul di pasaran atau perbatikan Cirebon pada

tahun 1970-an. Umumnya masyarakat menggunakan motif keraton untuk

menunjukkan kecintaannya pada sultan dan keluarganya. Batik pesisiran yang

dikembangkan masyarakat nampak pada hiasan batik yang dikembangkannya

karena permintaan pasar, dan sudah menjadi barang dagangan dan sumber ekonomi

masyarakat.

Lombard menjelaskan bahwa pekerjaan membatik dan batik itu sendiri sebagai

hasil karya penduduk lokal. Merujuk pada naskah Sunda tertua bertanggal 1440

Saka/1518 M yang ditemukan di Cirebon Selatan, Lombard179

mengatakan kata

“batik” dalam naskah Sunda disebut dengan kata “tulis” yang lazimnya ketika itu

digunakan untuk menyatakan pembubuhan “malam” ke atas kain. Di samping

penjelasan tentang sembilan motif dalam melakukan “tulis” di atas kain.

Berdasarkan konfirmasi Lombard pada sumber Eropa Daghregister di Batavia yang

tertanggal 8 April 1641, bahwa kata “tulis” dalam naskah Sunda merujuk pada

„batik‟ yang sering digunakan dalam Daghregister ketika memberikan pakaian

Sultan Agung (1622). Misalnya, kalimat “…dilukis biru putih menurut cara

negerinya”. Lombard menyimpulkan bahwa melalui pelabuhan-pelabuhan pesisir,

teknik membatik ini dengan cepat masuk ke daerah Mataram, dan memberikan

kekayaan lokal, yang terus berkembang baik di Cirebon dan Pekalongan di satu sisi

dan di Yogya dan Solo di sisi lain.

Batik keraton umumnya bergaya klasik, memiliki patokan ukuran yang baku,

sangat religius dan memiliki nilai simbolik. Motif batik keraton sangat khas

bentuknya, atau yang popular disebut motif wadasan dan motif Mega Mendung,

sedangkan pada batik pesisiran sangat dominan bentuk geometris dan stilasi

tumbuhan berbentuk pankaan/pangkaan.180

Motif batik yang paling populer dan menjadi ikon batik Cirebon adalah motif

wadasan dan Mega Mendung, bahkan hingga mancanegara. Keduanya merupakan

ornamen batik Cirebon yang banyak mengadopsi ornamen-ornamen yang terdapat

pada benda-benda karya seni dari Tiongkok. Ada yang beranggapan bahwa motif-

motif adaptasi ini awalnya merupakan pesanan dari para saudagar asing yang

kemudian diminati juga oleh pihak keraton. Ssebagai bentuk apresiasi, ornamen-

ornamen resapan tersebut kemudian dipakai sebagai bagian dari batik keraton.

Akulturasi budaya ini diperkuat dengan pernikahan Sunan Gunung Jati dengan

Puteri Ong Tien yang berasal dari Tiongkok. Selain motif Mega Mendung dan

wadasan, batik Cirebon juga berkaitan erat dengan simbol-simbil kosmologi,

misalnya, motif Taman Arum Sunyaragi, Wadas Singa, Patran Kangkung, Wadas

179

D. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia, jilid 2, (Jakarta: Gramedia-

EFEO, 2005), h. 193-194. 180

Pankaan adalah jenis motif batik yang yang berpola pada lukisan pohon atau

rangkaian bungan, dan sering dilengkapi dengan burung-burung atau kupu-kupu di

dalamnya. Bentuk pankaan termasuk ke dalam kategori motif Batik Semarangan yaitu

motif Piring Selampad dan Kembang Kantil.

195

Mantingan, Ayam Alas, Supit Udang, dan sebagainya. Pada dasarnya motif batik

Cirebon memiliki makna simbolik dan filosofis yang mengandung pesan moral.181

1. Motif Wadasan Mega Mendung

Gambar 15. Motif Wadasan Mega Mendung

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Wadasan (karang) adalah salah satu materi terkuat di bumi, tidak lekang karena

cuaca dan tahan terhadap abrasi dan erosi. Tidak heran jika wadasan dijadikan

simbol iman, dan diharapkan iman seseorang itu bisa kuat seperti wadas. Gambar

wadasan yang vertikal yang nampak pada batik bermakna bahwa manusia dalam

beribadah dan beramal sholeh harus selalu bersandar pada keridhoan Allah. Dengan

begitu, iman seseorang harus dijaga dengan banyak ibadah dan beramal sholeh.

Motif wadasan terbentuk dari material karang yang kuat dan kokoh bermakna

kekuatan fondasi keimanan. Adapun bentuk karang yang vertikal menunjukkan

hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Makna ini sudah menjadi ajaran

yang secara turun temurun diajarkan dari mulai masa Pangeran Cakrabuana dan

Syarif Hidayatullah. Sementara motif Mega Mendung bentuknya terlihat seperti

gumpalan-gumpalan awan putih yang mengumpul, yang bermakna kehidupan dunia

atas atau bisa juga dimaknai kebebasan. Motif Mega Mendung sering disandingkan

dengan motif wadasan yang menyimbolkan makna kekuatan dan keteguhan.

2. Motif Sulur Mega Mendung

Gambar 16. Motif Sulur Mega Mendung

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

181

Nursalim & Sulastianto, “Dekonstruksi Motif Batik…, h. 27-40.

196

Motif Mega Mendung dijadikan alat ungkapan untuk mengungkapkan jenis

tumbuhan Sulur (tumbuhan yang merambat). Makna simbolik dan filosofis dalam

kaitannya dengan Islam, yakni amal yang berkesinambungan, istiqomah dalam

beribadah, dan menjaga tali silaturahmi.

Amal yang berkesinambungan yang dimaksudkan disini adalah istiqamah

dalam ibadah. Istiqamah berasal dari kata qawama yang berarti tegak lurus. Kata ini

biasa dipahami sebagai suatu sikap teguh dalam pendirian, konsekuen, tidak

condong atau menyeleweng ke kiri atau ke kanan dan tetap berada pada garis lurus

yang sudah diyakini kebenarannya.182

Istiqamah juga sering dipahami sebagai sikap

teguh hati atau konsisten. Istiqomah adalah berusaha tetap pada jalan Allah dengan

tetap menjalankan kebenaran dan menunaikan janji, yang berkaitan dengan ucapan,

perbuatan, sikap dan niat. Dengan kata lain, istiqamah adalah upaya menenpuh

jalan yang lurus dengan tidak menyimpang dari ajaran Allah SWT.

Istiqamah adalah konsistensi, ketabahan, kemenangan, keperwiraan dan

kejayaan di antara ketaatan, hawa nafsu dan keinginan. Sikap istiqamah seseorang

akan terlihat ketika menghadapi perubahan dan godaan dalam kehidupannya. Oleh

karena itu, agama memberi penghormatan kepada mereka yang sudah beristiqamah

sebagaimana183

ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat Al-Fussilat ayat 30.

Istiqamah merupakan sebuah kata yang mudah diucapkan dan diingat, namun

tidak semua orang bisa mengamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Sikap

istiqamah memerlukan kesungguhan yang senantiasa diiringi dengan kejernihan hati

dan keikhlasan. Kejernihan hati dan keikhlasan akan berpengaruh pada keimanan

dan ketakwaan orang agar stabil dan tidak melemah. Keimanan seseorang yang

sudah stabil akan mendorongnya untuk mengamalkan agama secara utuh. Totalitas

dalam beramal sangat diperlukan karena merupakan bagian dari upaya agar amal

atau ibadah tetap istiqamah. Bagi hamba Allah yang sudah istiqamah dalam

beribadah maka balasannya adalah surga yang sudah disiapkan Allah, yang

kenikmatannya belum pernah kita lihat, kita dengar maupun kita rasakan. Intinya

adalah barang siapa yang menginginkan kebahagiaan dan keberuntungan selalu

mengiringi hidupnya, maka jalan yang harus ditempuh adalah bersikap istiqamah

dalam beramal. Karena hanya orang-orang yang terpilih yang mampu

mempertahankan sikap istiqamah dalam hidupnya.184

Silaturrahmi berasal dari kata صلة yang artinya hubungan atau

menghubungkan. Adapun kata الرحين atau الرحن jamaknya االرحام berarti rahim atau

peranakan perempuan atau kerabat. Asal katanya dari ar-rahmah (kasih sayang).

Kata ini digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena dengan adanya

hubungan rahim atau kekerabatan itu, orang-orang berkasih sayang.185

Manusia

sebagai makhluk individu dan makhluk sosial pada dasarnya tidak mampu hidup

182

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1997), h. 284. 183

Muhammad Harfin Zuhdi, “Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim”. Religia,

vol. 14, no. 1, 2011, h. 111-128. 184

Mulyono, “Keistimewaan Istiqomah dalam Perspektif Al-Quran”. Imtiyaz, vol. 4, no.

01, 2020, h. 1-15. 185

M. Habibillah, Raih Berkah Harta dengan Sedekah dan Silaturrahmi, cet. I,

(Jogjakarta: Sabil, 2013), h. 123.

197

sendiri di dalam dunia ini, mereka harus berinteraksi antara satu dengan yang lain,

temasuk masyarakat yang ada di Cirebon. Interaksi sosial merupakan hubungan

sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara

kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok

manusia. Interaksi sosial yang merupakan hubungan sosial dalam suatu masyarakat

mendapat perhatian dalam ajaran Islam. Interaksi sosial tersebut dalam Islam

dikenal dengan istilah silaturrahmi.

Pokok atau inti dari kata silaturrahmi adalah rahmat dan kasih sayang.

Menyambung kasih sayang dan menyambung persaudaraan, bisa juga diartikan

sebagai menyambung tali kekerabatan dan menyambung sanak. Hal tersebut sangat

dianjurkan oleh agama untuk keamanan dan ketentraman dalam pergaulan

kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.186

Dalam konteks Islam, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa

orang yang menyambung bukanlah orang yang membalas kebaikan orang akan

tetapi ia adalah orang yang apabila hubungan kekerabatannya diputuskan maka ia

menyambungnya.187

Ini menandakan bahwa silaturrahmi merupakan interaksi sosial

yang mempunyai banyak manfaat bagi manusia demi untuk mewujudkan

kebahagian di dunia dan di akhirat.

Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya silaturrahmi dan larangan

memutuskannya, sebab, memutuskan hubungan silaturrahmi dapat menimbulkan

masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Rasulullah bersabda: “Tidak ada suatu

dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia oleh Allah kepada

pelakunya di samping (azab) yang disimpan baginya di akhirat daripada zina dan

memutus silaturrahmi”. Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya memutuskan

hubungan silaturrahmi termasu dosa. Karena memutuskan silaturrahmi berarti

membuat kerusakan di muka bumi, bahkan Allah SWT mengutuk orang yang

memutuskan hubungan silaturrahmi sebagaimana dalam al-Qur‟an surat

Muhammad [47] ayat 22-23.

Dalam ajaran Islam, hubungan antar sesama khususnya antar sesama anggota

keluarga harus dijaga dengan baik karena keretakan keluarga bisa berakibat sangat

buruk. Ini juga yang diterapkan dalam Kesultanan Cirebon sebagai kesultanan Islam

sangat menjunjung tinggi tali persaudaraan. Hal itu tergambar dari sosok Sunan

Gunung Jati yang bukan hanya sebagai raja tetapi penyebar agama Islam di Pulau

Jawa. Sunan Gunung Jati sebagai seorang raja adalah contoh bagi keluarganya,

bawahannya dan juga masyarakat Cirebon secara umum. Di samping bertindak

sebagai raja, ia juga adalah Waliyullah yang tentu dengan kapasitasnya mengajak

seluruh keluarga dan masyarakat di Kesultanan Cirebon untuk bagaimana menjaga

silaturrahmi di antara sesama, sebab ini adalah bagian dari perintah agama, yakni

agama Islam. Praktek inilah yang kemudian tersirat dalam banyak peninggalan seni

dan budaya Cirebon, salah satunya adalah dalam seni batik. Batik dengan motif

186

R. Syafe‟i, Al-Hadis: Akidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,

2000), h. 21. 187

Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim al-Mugirah al-Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, juz

I, cet. I, (Beirūt: Dār al-Basyair al-Islamiyah, 1409 H/1989M), h. 37.

198

sulur Mega Mendung dipercaya oleh masyarakat memuat makna simbolik dan

filosofis sebagaimana dijelaskan, untuk tetap dipertahankan dari masa ke masa.

3. Motif Balong Teratai

Gambar 17. Motif Balong Teratai

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Kalau kita perhatikan di dalam motif Balong Teratai terdapat gambar di bagian

kanan dan kiri yang simetris. Arti filosofisnya adalah bahwa orang akan

menemukan kebahagiaan jika sudah ada keseimbangan atau keselarasan dalam

hidup baik keselarasan antara manusia dan alam, maupun spiritual dan material.

Masyarakat Jawa pada umumnya, termasuk masyarakat Cirebon memiliki nilai

filosofis yang tinggi. Nilai filosofisnya selalu diukur dengan keseimbangan dan

keselarasan. Filosofi Jawa terkait erat dengan budi-etika-sosial-alam, yakni budi

terkait dengan rasa, etika terkait dengan pergaulan, sosial terkait dengan

masyarakat, dan alam terkait dengan semesta. Semua komponen ini akan

dipertimbangkan untuk mencapai keseimbangan, semata-mata untuk meraih

keluhuran dan ketentraman hidup. Semua itu tercermin dalam ungkapan eling lan

waspada.188

Nilai filosofis masyarakat Jawa yang mencerminkan kehati-hatian dan

keseimbangan dengan alam, antara lain: “Sura dira Jayaningrat, lebur dening

pangastuti” (segala sifat keras hati, angkara murka hanya bisa dileburkan dengan

sikap lemah lembut dan kesabaran). “Memayu hayuning bawana ambrasta dur

hangkara” (hidup di dunia mengutamakan keselamatan, kebahagian, kesejahteraan

serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak). “Urip iku urup”

(hidup harus dapat memberi manfaat bagi orang lain). Aja gumunan, aja getunan,

aja kagetan, aja aleman (tidak mudah heran, tidak mudah menyesal, tidak mudah

terkejut, dan tidak manja). “Ngluruk tanpabala menang tanpa ngasorake sekti

tanpa aji-aji lan sugih tanpa banda” (berjuang tanpa bala, menang tanpa

merendahkan orang lain, berwibawa tanpa kekuasaan, dan kaya tanpa harta).189

Gambar di bagian kanan dan kiri yang simetris pada Balong Teratai juga

bermakna keseimbangan spiritual dan material. Islam mengajarkan keseimbangan

dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terlalu ke kanan, juga tidak terlalu ke kiri,

atau dengan pemaknaan yang lain, dunia dan akhirat harus seimbang. Manusia tidak

188

M. Suryadi, “Nilai Filosofis Peralatan Tradisional Terhadap Karakter Perempuan

Jawa dalam Pandangan Masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah”. NUSA, vol. 13, no. 4, 2018,

h. 567-578. 189

Suryadi, “Nilai Filosofis Peralatan…, h. 567-578.

199

boleh hanya mengejar dunia saja, juga tidak boleh hanya mengejar akhirat.

Rasulullah bersabda “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup

selamanya dan berbuat untuk akhiratmu seolah-olah akan mati besok”. Hal tersebut

dipertegas lagi oleh Allah dalam al-Qur‟an surat Al-Qashas ayat 77.

Selain dua hal di atas, penulis juga melihat bahwa makna keseimbangan atau

keselarasan juga bisa dikaitkan dengan sifat manusia satu dengan manusia yang

lain. Sebagai contoh pasangan suami istri, terutama yang baru menikah. Biasanya

sifat egoisme dalam hubungan rumah tangga bisa membuat laki-laki dan perempuan

dalam perkawinan tidak bisa bersatu. Oleh karena bertahan pada ego pribadi, maka

masing-masing dari mereka akan menuruti kehendaknya sendiri tanpa

mempertimbangkan sebelah pihak lain. Padahal, pada hakikatnya konsep

perkawinan adalah penyatuan dari dua pribadi yang pada mulanya berbeda. Ketidak

keselarasan ego antara laki-laki dan perempuan dalam pekawinan bisa berujung

pada tidak adanya kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. Akibatnya konflik-

konflik rumah tangga akan senantiasa muncul dan menjadikan keluarga tidak

harmonis.

Dalam tradisi etnis Tionghoa, simbol teratai sendiri dimaknai sebagai lambang

kesucian. Sementara konsep keselarasan bisa ditemukan pada beberapa jenis hewan.

Dalam tradisi Tionghoa, misalnya ketika burung phoenix (Hong) dipasangkan

dengan naga, bisa bermakna keserasian atau keseimbangan Yin Yang.190

Sehingga

pada dasarnya, baik dalam tradisi masyarakat Jawa, bangsa Tiongkok maupun

dalam ajaran Islam, konsep keselarasan dan keseimbangan itu bisa ditemukan,

meskipun dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tetapi, dalam konteks ini penulis

melihat makna filosofi dari gambar simetris pada motif Balong Teratai adalah

bagian dari kerangka pikir manusia secara kritis untuk memperoleh penyelesaian

sebuah persoalan secara imbang. Semua yang dipikirkan berangkat dari prinsip

kebijakan atau kepatutan. Hasil yang diperoleh tidak ada yang dirugikan serta

memiliki nilai dan manfaat yang cukup tinggi. Kemanfaatan yang diperoleh pun

selalu memiliki keselarasan, baik keselarasan antara manusia dengan alam, manusia

satu dengan manusia yang lain, maupun spiritual dan material.

4. Motif Piring Selampad

Gambar 18. Motif Piring Selampad

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

190

M. Herwiratno, “Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan

Kebudayaan Tionghoa di Indonesia”. Lingua Cultura, vol. 1, no. 1, 2007, h. 78-86.

200

Motif batik Piring Selampad termasuk dalam motif batik pesisiran dari

Cirebon. Ide awalnya berasal dari susunan piring porselen Tiongkok yang dipakai

sebagai hiasan dinding Astana Gunung Jati dan Keraton Kasepuhan. Batik pesisiran

mendapat banyak masukkan pengaruh budaya dari luar mengingat pada abad ke-16,

Cirebon merupakan pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari Timur Tengah

dan Tiongkok. Jika dirunut, Piring Selampad telah hadir sejak ratusan tahun lalu,

namun di zaman sekarang, keberadaan batik ini semakin hilang termakan zaman.

Bagi kolektor dan pencinta batik, Agnes Pinnar dalam acara “Metamorfosa

Piring Selampad” di Galeri Alun-Alun Grand Indonesia, mengatakan Piring

Selampad memiliki filosofi yang sangat mendalam, sebagaimana halnya seniman,

pembatik pun dalam setiap karyanya terdapat passion. Pinnar mengatakan Piring

Selampad adalah perjalanan atau ziarah batin, di mana Piring Selampad adalah

sumber kehidupan yang selalu ingin dibagikan kepada teman. Seperti piring yang

menjadi tempat makan, makanan adalah sumber kehidupan. Piring selampad, lanjut

Pinnar, merupakan alas makan untuk meletakkan makanan terbaik di atasnya.191

Karena itu, ketika kaisar-kaisar Tiongkok memberikan piring porselan sebagai

hadiah kepada Sultan Cirebon, itu bukanlah piring sembarangan.

Batik pada zaman dahulu juga dijadikan sebagai penanda peristiwa. Begitu

pula dengan piring selampad. Pinnar mengatakan, ketika kaisar-kaisar Tiongkok

datang ke Kesultanan Cirebon, para pembatik lokal memberikan tanda atau bentuk

khas dari tamu yang datang. Adanya fenomena pedagang dan Kaisar Tiongkok

datang serta membawa hadiah kemudian mereka melukis Piring Selampad dalam

batik, bukan hanya menjadi sebuah pertanda, sebagaimana yang dikatakan Pinnar di

atas bahwa makna filosofi Piring Selampad bukan sekadar penanda peristiwa, tetapi

juga perjalanan atau ziarah batin bagi pembuatnya karena menurut penulis di

dalamnya ada interaksi antara pembatik dengan Piring Selampad.

Ragam hias pada motif batik Piring Selampad yang kemudian dipindahkan ke

media kain telah berlangsung ratusan tahun yang lalu, namun tidak sepopuler motif

Mega Mendung yang kita kenal saat ini. Seperti namanya, Piring Selampad adalah

motif batik yang terinspirasi dari piring-piring porselen yang terpampang di dinding

Astana Gunung Jati, Cirebon. Pada zaman dahulu, ketika banyak pedagang dan

pejabat Tiongkok datang ke tanah Cirebon, mereka memberi hadiah piring-piring

porselen kepada raja di sana, tentu ini bukanlah hal yang biasa sebab benda-benda

tersebut banyak diabadikan di dalam keraton. Di samping desainnya sangat spesial

dan sejarahnya juga cukup dalam, penulis melihat motif batik ini bukan hanya

sekedar motif batik biasa, namun ada sejarah di baliknya. Selain motif dan warna-

warna batik yang memikat, ada unsur lain yang justru membuat motif Piring

Selampad menjadi berbeda dengan motif batik lainnya. Penulis melihat, karena

ceritanya, orang-orang tertarik sebab ada cerita dibalik motif batik, juga tentu

motifnya indah dan cara pembuatan yang unik dan complicated (rumit), tetapi di

luar semua itu, tetap cerita yang membuat batik itu menjadi spesial.

191

Jujuk Ernawati & Adinda Permatasari, “Sejarah Piring Selampad, Motif Batik

Langka dari Cirebon”. Di ambil dari: https://www.viva.co.id/gaya-hidup/gaya/886954-

sejarah-piring-selampad-motif-batik-langka-dari-cirebon. (Diakses pada 24 Februari, 2017).

201

Motif Piring Selampad yang diambil dari susunan tempelan dinding Astana

Gunung Jati terinspirasi dari kegiatan merayakan yang dilakukan oleh masyarakat.

Selampad yang di ambil dari kata lampadan bermakna menyajikan hidangan untuk

merayakan atau kegiatan selamatan yang dilakukan oleh masyarakat. Sederhananya

Piring Selampad berarti piring yang menyajikan satu menu makanan untuk

selamatan. Motif Piring Selampad memiliki pola ceplok-ceplok, sedangkan

karakteristik motif utamanya disusun secara jarang dan kadang berselang-seling

untuk membuat irama. Sementara isinya (isen; Jawa) yang digunakan adalah bentuk

geometris seperti limaran coret, limaran doktoran dan limaran tembokan.192

Motif Piring Selampad di Kesultanan Cirebon diambil dari keramik yang

ditempel di tembok istana. Maknanya sing eling lampat ing badan yang berarti

manusia harus selalu ingat dan waspada atas perbuatannya. Setiap manusia akan

memetik apa yang sudah diperbuatnya, jadi hati-hati setiap mau melangkah.

Pertimbangkan matang-matang akibat yang akan muncul di kemudian hari. Hal ini

juga dapat ditemui dalam al-Qur‟an surat Ar-Rahman [55] ayat 60. Ayat ini

menjelaskan kepada kita bahwa tidak ada pahala bagi orang yang berbuat baik

dengan mentaati Tuhannya, kecuali Allah SWT membalasnya dengan pahala yang

baik. Sebaliknya, dalam surat An-Nisaa‟ [4] ayat 123, Allah menegaskan bahwa

barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan

kejahatan itu pula.

Beberapa ayat di atas sesungguhnya ingin menjelaskan balasan terhadap orang-

orang yang beriman dan bertakwa. Allah SWT akan membalas setiap perbuatan

manusia dengan penuh keadilan. Balasan yang didapat seseorang sesuai dengan apa

yang sudah mereka usahakan. Setiap manusia yang melakukan kejahatan akan

mendapat balasan setimpal, dan masuk neraka. Sebaliknya, mereka akan

mendapatkan kehidupan yang baik jika melakukan perbuatan baik pula, dan pada

akhirnya akan masuk surganya Allah. Dan surga digambarkan di nash sebagai

tempat yang indah. Ada taman-taman, sungai-sungai susu, khamar dan madu yang

mengalir, buah-buahan yang beraneka macam dan tidak pernah berhenti berbuah,

minuman yang tidak memabukkan, bidadari-bidadari, pelayan-pelayan yang setia,

pakaian dari sutera, fasilitas lain yang terbuat dari emas, berlian dan permata.193

192

Aditya A. Putri HK & Desi Wulandari, “Analisis Makna Motif Batik Ciwaringin

Cirebon”. Seminar Nasional Seni dan Desain: Reinvensi Budaya Visual Nusantara, Jurusan

Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri Surabaya, 2019, h. 35-40.; Aditya A.

Putri HK & Zakarias S. Soetejab, “Analysis of the Meaning of Ciwaringin Batik Motifs

Cirebon”. The International Seminar QUOVADIS of Traditional Arts XIII “Diversity in

Culture”, 2017, h. 1-8. 193

Ilyas Daud, “Surga di dalam Hadis”. Farabi: Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang

Filsafat dan Dakwah, vol. 18. no. 2, 2018, h. 1-13.

202

5. Motif Barongsai

Gambar 19. Motif Barongsai

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Barongsai merupakan salah satu kesenian tradisional etnis Tionghoa yang

berasal dari Tiongkok. Seni tersebut masih ada dan berkembang sampai sekarang

ini. Kesenian Barongsai bagi masyarakat Tionghoa adalah berfungsi sebagai media

hiburan, ritual dan politik. Barongsai bagi masyarakat Tionghoa memiliki makna

simbolik dan makna strategi. Barongsai adalah lambang keberuntungan, sehingga

bagi masyarakat Tionghoa khususnya yang ada di Cirebon, dan Jawa pada

umumnya percaya jika memberikan angpao kepada Barongsai kelak akan

mendapatkan limpahan rejeki dan keberuntungan dari dewa. Oleh karena itu, pada

saat Imlek atau Cap Go Meh, masyarakat Tionghoa berebut untuk memasukkan

angpao ke mulut Barongsai. Adapun makna strategis Barongsai adalah sebagai

sarana interaksi sosial antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

Lewat kesenian ini diharapkan mampu mendekatkan dan merekatkan hubungan

antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi sehingga jarak di antara

keduanya bisa diminimalisir.194

Pentingnya pemaknaan di atas sebab kehidupan modern saat ini telah

mengarah pada masalah identitas. Keterasingan tidak hanya terjadi dalam dimensi

individu, tetapi juga mereka merasakan keterasingan dalam hubungannya dengan

alam semesta, dan dengan sesamanya (keterasingan sosial). Penulis melihat jika

dalam artikel yang ditulis Putra bahwa kesenian Barongsai bisa menjadi alat untuk

merekatkan dan membina hubungan harmonis antar sesama, maka Yulianto dalam

karyanya “Tasawuf Transformative…” yang digagas oleh Muhammad Zuhri tidak

hanya aktual, tetapi juga relevan untuk “membebaskan” manusia modern dari

berbagai masalah yang mereka hadapi. Memang semangat tasawuf yang dibawa

oleh Zuhri tampak sarat dengan tindakan sosial dan aspek komunal. Tasawuf

transformatf menurut pemikiran Zuhri lebih pada solusi implementatif atas krisis

yang terjadi pada masyarakat modern. Tasawuf transformatif hadir sebagai

penyeimbang atas ketimpangan antara sisi rasionalitas-materialitas dengan sisi

nativisme-spiritual yang memungkinkan seseorang menjadi asketis (zuhud)

194

Bintang Hanggoro Putra, “Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai bagi Masyarakat

Etnis Cina Semarang”. Harmonia, vol. IX, no. 1, 2009, h. 1-11.

203

sekaligus berdampak sosial.195

Hal tersebut juga telah disinggung Allah dalam al-

Qur‟an surat Al-Hujuraat [49] ayat 13.

Dari ayat di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama berkeadilan dengan

prinsip keadilan Allah yang merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Di hadapan

Allah semua manusia sama, tidak membedakan suku, bangsa, bahasa, warna kulit.

Karena yang membedakan hanya ketakwaannya, sedangkan nilai iman dan

ketakwaan hanya Tuhan yang mengetahui. Keadilan sosial Islam merupakan dasar

penting bagi tegaknya syariat. Keadilan sosial Islam sifatnya mengikat sebagai

sesuatu yang wajib ditaati oleh pemeluknya. Allah memerintahkan dalam banyak

ayat, yang pesan-Nya memotivasi sekaligus mengingatkan supaya tidak

meninggalkan-Nya, terutama dalam hal menetapkan hukum dan menegakkan

keadilan.196

Kemudian, kalau diperhatikan di bawah gambar Barongsai juga ada motif

Mega Mendung yang horisontal, bermakna hablum minan-nas. Manusia dimanapun

berada harus mengembangkan sikap inklusif. Mau bergaul dengan siapa saja dan

dari mana saja, yang penting nilai-nilai Ketuhanan harus selalu dipegang kuat.

Pada dasarnya, riwayat pembentukan bangsa Indonesia, termasuk Cirebon atau

Kesultanan Cirebon ketika itu adalah kisah panjang tentang sebuah komunitas yang

inklusif. Bangsa yang terbuka menerima segala pengaruh apa pun “yang baik” yang

datang dari manapun, tanpa mesti meninggalkan apa yang sudah menjadi miliknya,

ia baik-baik saja menerima dan menyikapi segala pengaruh luar yang menyelinap.

Tidak ada resistensi ketika pengaruh luar itu datang dengan semangat menyebarkan

persaudaraan, tanpa paksaan atau peperangan. Sikap seperti itulah sebenarnya yang

menciptakan tali persatuan pada keberagaman penduduk di wilayah Nusantara ini,

termasuk di Kesultanan Cirebon.

Sejak awal, daerah Cirebon terbuka (inklusif), daerah ini senantiasa menjadi

tuan rumah yang baik, kepada siapa pun well come, dan prasangkanya baik. Dengan

karakteristik yang demikian, bangsa ini secara umum dan Cirebon khususnya, tanpa

disadarinya telah berkembang menjadi sebuah komunitas yang terbentuk lewat

proses hibridisasi yang besar, salah satunya adalah peninggalan budaya Nusantara

atau Indonesia saat ini, yakni batik Cirebon. Maka tidak heran ketika bangsa Eropa

kemudian menyebut wilayah Nusantara sebagai Mooi Indië,197

kepulauan Hindia

yang indah. Tidak hanya itu, inklusivisme penduduk Nusantara juga menjadi

pertimbangan bangsa-bangsa asing untuk datang ke Nusantara, termasuk Cirebon.

D. Guha Sunyaragi

Guha Sunyaragi atau Taman Air Sunyaragi adalah salah satu situs unik yang

terletak di Desa Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Cirebon, dan menempati lahan

195

Rahmad Yulianto, “Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia

Modern dalam Perspektif Pemikiran Tasawuf Muhammad Zuhri”. Teosofi, vol. 4, no. 1,

2014, h. 56-87. 196

Qurratul Ainiyah, “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Pernikahan Islam Sebagai

Bukti Agama Berkeadilan”. Prosiding Seminar Nasional Islam Moderat, 13 Juli 2018, h.

132-145. 197

D. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 43.

204

seluas 15.000 meter persegi.198

Pada awal pembuatannya, Guha Sunyaragi jauh dari

pemukiman masyarakat,199

dan berfungsi sebagai cara atau sekedar mencari

ketenangan pikiran di setiap lorong-lorong gua, sebab suasana di guha itu sepi dan

jauh dari rumah masyarakat. Beberapa literatur menyebut bahwa Guha Sunyaragi

berawal dari danau Segara Amparan Jati yang dikelilingi oleh hutan jati, kemudian

dijadikan sebagai Taman Kelangenan (taman kesenangan), yang fungsi utamanya

adalah untuk ber-khalawatan (menyendiri).200

Ada juga yang menyebut Guha Sunyaragi dengan nama Taman Kaputren

(tempat bermain keluarga sultan), dan tempat penyepi ing ragatempat

bertapa/bersemedi sebagaimana juga dalam kepercayaan agama Hindu.201

Falah

mengatakan bertapa berkaitan dengan kegiatan keagaman, mendekatkan diri pada

Tuhan dan menjauhkan diri dari keramian. Sunyaragi atau kosong jasmani adalah

suatu kondisi yang didapatkan pada saat bertapa atau menyepi.202

Pada intinya,

semuanya mengarah pada maksud yang sama. Adapun yang dimaksud dengan

tempat penyepi ing raga dalam konteks ini adalah tempat keluarga sultan ber-

tawassulialah aktivitas mengambil sarana atau wasilah agar doa atau ibadahnya

dapat diterima oleh Allah. Bagi sultan, tawassul adalah salah satu cara mendekatkan

diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan, beribadah, dan mengikuti

petunjuk rasul-Nya serta mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhai-

Nya.203

Kalau kita lihat dalam beberapa literatur, nama Guha Sunyaragi ditulis dengan

nama Goa Sunyaragi, yang menurut penulis meskipun penulisan nama “Goa” dan

“Guha”, perbedaannya hanya dari segi penulisan saja, tetapi menurut Ajat keduanya

memiliki makna yang berbeda.204

Lebih lanjut ia mengatakan “Guha” berarti Goa

buatan manusia dan sengaja dibangun, sedangkan “Goa” bermakna Goa alam, yang

alami dan hasil bentukan alam sendiri, tanpa bantuan manusia.205

Mengacu pada

198

N. Nurudin & F. Nurfalah, Communication Marketing of Youth and Sport

Department of Culture and Tourism in the Water Park Cave Sunyaragi Cirebon City, West

Java, Indonesia. In International Symposium on Social Sciences, Education, and Humanities

(ISSEH 2018), vol. 306, (Atlantis Press, 2019), h. 31-34. 199

Kondisi di masa itu berbeda dengan di masa sekarang, bangunan Guha Sunyaragi

kini telah berubah fungsinya, dan sudah banyak bangunan rumah di sekitar wilayah Guha

Sunyaragi. 200

Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34. 201

Shirley Firth, “End-of-life: a Hindu view”. The Lancet, vol. 366, no. 9486, 2005, h.

682-686. 202

W. A. Falah, “Tinjauan Konsepsi Seni Bangunan Istana Peninggalan Masa Islam di

Kesultanan Cirebon dalam Konteks Kesinambungan Budaya”. Dalam Susanto Zuhdi (ed.),

Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), h. 68. 203

Abdul Aziz, dkk., “Pengelolaan Taman Wisata Goa Sunyaragi”. Al-Musthofa:

Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 3, no. 1, 2018, h. 134-152. 204

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada

tanggal 16 Juli 2020. 205

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada

tanggal 16 Juli 2020.

205

catatan sejarah yang ditulis Pangeran Sulendraningrat, Guha Sunyaragi dibangun

pada masa Pangeran Aria Cirebon atau Pangeran Adipati Aria Karangrangen sekitar

tahun 1703. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tahun itu adalah masa

perbaikan dan penyempurnaan yang pertama kali di kawasan Guha Sunyaragi. Jadi

Guha itu sebenarnya dibangun pada masa PRA Zaenal Arifin (Pangeran Mas) yang

merupakan Sultan Cirebon pertama. PRA Zaenal Arifin adalah putera Syarif

Hidayatullah dari isteri bernama Nyi Mas Tepasari yang asal dari Demak.

Gambar 20. Guha Sunyaragi (Guha Peteng)

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Guha Sunyaragi dibangun atas prakarsa Pangeran Kertasari untuk mengganti

Taman Kaputren Nur Giri Sapta Arga (Giri Septa Rengga) yang sudah berubah

fungsi sebagai pasarean atau makam, dimana makam Sunan Gunung Jati dan

keluarganya dimakamkan. Pada saat itu, Raden Sepat dari Demak ditunjuk untuk

mengepalai proyek pembangunan Guha Sunyaragi dengan dibantu oleh para arsitek

dari Tionghoa206

yang sudah lama tinggal di Cirebon. Kebenaran berita ini bisa

dibuktikan dengan adanya monumen Tiongkok. Monumen itu sekilas mirip bong

pai (makam), namun sebenarnya adalah prasasti untuk mengenang bahwa

pembangunan Guha Sunyaragi juga dibantu oleh ahli-ahli seni dari Tiongkok yang

sudah lama tinggal di Cirebon. Maka tidak heran, kalau kemudian bangunan Guha

Sunyaragi banyak dipengaruhi oleh unsur budaya Tionghoa, dan salah satunya

adalah Guha Peteng yang ada di area Guha Sunyaragi mirip dengan bangunan yang

ada di Forbidden City. Hal ini juga dipertegas oleh Duta Besar Tiongkok ketika

mengunjungi situs Guha Sunyaragi.

Guha Sunyaragi secara fisik memang banyak dipengaruhi oleh budaya

Tionghoa dan Hindu. Tetapi menurut analisa penulis, selain dipengaruhi oleh

budaya Tionghoa dan Hindu, juga ada pengaruh Islam, sebab Kesultanan Cirebon

adalah kesultanan Islam. Pengaruh Islam yang penulis maksudkan, tidak melekat

pada bentuk fisik daripada bangunan Guha Sunyaragi, termasuk semua Guha-Guha

kecil yang ada didalamnya, tetapi lebih kepada fungsi dan makna filosofis dari

206

Setelah diteliti ternyata 300 meter dari area Guha Sunyaragi ditemukan banyak

makam etnis Tionghoa dengan huruf Kanji yang tidak bisa dipahami oleh orang Tionghoa

generasi sekarang. Dalam sejarah dikatakan bahwa pengawal Ong Tien ada yang ikut pergi

ke Kuningan, tetapi ada juga yang menetap di Cirebon. Sehingga penulis menyimpulkan

bahwa merekaetnis Tionghoa yang menetap di Cirebon, ketika meninggal, semua

dikuburkan di dekat Guha Sunyaragi.

206

bangunan-bangunan tersebut. Hal tersebut sebagaimana juga yang dijelaskan Ajat

bahwa Guha Sunyaragi secara keseluruhan merupakan gambaran perjalanan hidup

manusia.207

Guha Sunyaragi sebagaimana maknanya adalah tempat penghilangan diri atau

raga guna mencapai kesempurnaan spiritual. Di samping itu, Taman Sunyaragi juga

dijadikan sebagai tempat tinggal (istirahat), juga tempat melatih ilmu kanuragan

dan mental para prajurit.208

Pembangunan Guha Sunyaragi pada dasarnya

mengandung nilai-nilai religious yang ada dalam ajaran Islam, khususnya tasawuf.

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa salah satu fungsi Guha Sunyaragi adalah

sebagai tempat berkhalwat para sultan untuk mendapatkan ketenangan batin dan

kesempurnaan spiritual dengan cara berzikir kepada Allah sebagaimana dahulu

Rasulullah SAW melakukan tahannuts di Gua Hiro. Fungsi guha/gua adalah

sebagai tempat berkhalwat sangat bersesuaian dengan salah satu ajaran tasawuf

yang menekankan pendekatan keruhanian melalui khalwat, atau semedi dalam

bahasa Jawa. Penganut tasawuf biasanya melakukan zikir dan bertafakur serta

membersihkan batin dari pikiran tercela dengan cara berkhalwat. Pengertian

tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Allah dalam al-Qur‟an surat Ar Ra‟d

[13] ayat 28, bahwa hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Berdasarkan ayat di atas, sebenarnya banyak cara yang dianjurkan agama

untuk dapat membersihkan hatinya. Salah satunya dengan berdzikir dan salawat

kepada Allah. Dzikir adalah salah satu cara yang ditempuh manusia untuk

merelaksasikan pikiran dan hatinya dari berbagai hal. Hati yang bersih akan

menjadi gerbang bagi kebaikan-kebaikan yang lain, bahkan berdasarkan penelitian

Olivia menemukan bahwa zikir bisa menjadi terapi untuk menenangkan jiwa para

lansia yang mengalami hipertesi.209

Oleh karenanya, zikir juga berpengaruh positif

dalam menurunkan kecemasan pasien gagal ginjal kronis (GGK) yang menjalani

hemodialisasi.210

Semua urutan bagunan yang ada di dalam Guha Sunyaragi sebagaimana yang

disebutkan di atas, memiliki fungsi dan makna yang berbeda-beda, yang

berorientasi pada perjalanan hidup manusia, yaitu: pertama, setelah masuk alun-

alun, ada dua buah kolam teratai yang melambangkan bahwa ketika manusia akan

terlahir ke dunia, didahului darah dan air ketuban.

207

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada

tanggal 16 Juli 2020. 208

Franseno Pujianto, Desain Lansekap Taman Sari: Objek Studi Goa Sunyaragi

Cirebon, (Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas katolik

Parahyangan, 2012), h. 19.; Lihat juga Firda Rasyidian, dkk., “Spatial Principles and

Ornamentsation on Water Garden Relics of Kesultanan Cirebon: Case Student Witana Water

Garden, Pakungwati Water Garden, and Sunyaragi Water Garden”. Jurnal Risa, vol. 03, no.

04, 2019, h. 363-380. 209

Olivia Dwi Kumala, dkk., “Efektifitas Pelatihan Dzikir dalam Meningkatkan

Ketenangan Jiwa pada Lansia Penderita Hipertensi”. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi,

vol. 4, no. 1, Juni 2017, h. 55-66. 210

Iin Patimah, dkk., “Pengaruh Relaksasi Dzikir Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien

Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa”. Jurnal Keperawatan Padjajaran, vol. 3,

no. 1, 2015, h. 18-24.

207

Kedua, Guha Pengawal. Guha adalah tempat istirahat pengawal sultan dan

keluarganya ketika berkunjung ke Guha Sunyaragi. Orang tua biasanya rewel ketika

anak perempuannya hamil. Anaknya disuruh bawa gunting, lidi dan lain-lain

kemanapun pergi untuk jaga-jaga.

Ketiga, Bangsal Jinem. Bangunan berbentuk podium di sepanjang tribun ini

adalah tempat dimana sultan dan keluarganya duduk sambil menyaksikan para

prajurit yang sedang berlatih ilmu kanuragan, juga pada saat menyaksikan

pertunjukan tarian tradisional dalam acara-acara yang dilangsungkan oleh

Kesultanan Cirebon seperti tarian pegas topeng khas Cirebon.211

Kata jinem sendiri

terdiri dari dua kata yaitu ji sama artinya dengan siji (satu), sedangkan nem sama

artinya dengan nenem (enam). Dalam Islam ada rukun iman yang jumlahnya enam,

dan iman sesorang harus selalu dijaga agar tetap kuat. Puncak dari iman adalah

iman kepada Allah yang Esa. Dengan demikian, jika iman setiap orang Muslim

terjaga, maka hidupnya akan senantiasa di jalan Allah.

Keempat, Mande Beling. Secara harfiah Mande Beling dapat diartikan sebagai

tempat yang bening. Karena dahulu tempat ini terbuat dari marmer, bening seperti

kaca. Mande Beling dahulunya difungsikan sebagai tempat sultan memberikan

wejangan, petuah atau nasehat kepada masyarakat atau tamu yang berkunjung ke

Guha Sunyaragi. Makna filosofis dari Mande Beling adalah manusia yang sering

mendengar nasehat agama, hatinya akan tenang dan pikirannya jernih.

Kelima, Kolam Kaputren. Kolam ini adalah merupakan tempat bermain air

para putera dan puteri sultan ketika berada di area Guha Sunyaragi. Dahulu

sekeliling kolam dihiasi ornamen piring dari Tiongkok. Tatapi berdasarkan

pengamatan penulis di lapangan, tempelan ornamen-ornamen Tiongkok tersebut

sudah hilang, sehingga yang tertinggal hanya bekas tempelannya saja. Itulah

sebabnya Nurudin dan Nurfalah menilai kondisi Guha Sunyaragi saat ini sangat

memprihatinkan, karena ada beberapa fasilitas yang tidak terpelihara dengan

baik,212

termasuk tempelan ornamen piring dari Tiongkok, yang sebenarnya benda-

benda tersebut harus dijaga karena merupakan bagian dari peninggalan budaya

masala lalu. Kolam Kaputren bermakna bahwa setiap anak yang baru lahir harus

dialiri air, dimandikan dan dibersihkan. Di samping itu, setiap anak yang lahir

dalam tradisi Kesultanan Cirebon harus diperdengarkan adzan di telinga kanan dan

iqomat di telinga kiri, supaya “padang atinya” yang dilambangkan dengan Guha

Padang Ati.

Kolam Kaputren letaknya persis di belakang Guha Peteng yang mirip dengan

bangunan di Forbidden City, maknanya manusia lahir dalam kegelapan, makanya

harus diadzani dan diiqomati supaya padang atinya. Di atas Guha Peteng ada

cungkup Guha Punyit maknanya manusia ketika kecil senyum-senyum sendiri,

tertawa sendiri sambil diawasi sedulur papat. Kata orang tua manusia bangga ono

sedulur papat, kelima pancer yang ngawasi. Manusia itu lahir ke alam dunia tidak

sendiri. Karena sedulur papat itu di antaranya adalah roh dan darah. Artinya,

sempurnakan dirimu sebagaimana kamu lahir untuk kamu kembali. Setelah dewasa

berada dalam kebimbangan untuk menentukan pilihan yang dilambangkan dengan

211

Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34. 212

Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34.

208

Bale Kambang. Setelah lolos dari kebimbangan, akan menjadi Arga Jumudyaitu

orang yang diambil petuahnya, ilmunya dan dituruti sarannya. Ketika hidup carilah

amal ibadah yang dilambangkan Pelataran Pande Kemasan. Para ahli kemasan itu

bikin cinderamata. Buat apa kemasan (amal ibadah)? Buat bekal kita menuju alam

kelanggengan yang dilambangkan dengan Guha Kelanggengan. Guha

Kelanggengan pintu keluarnya dibelakang kereta gajah . maknanya adalah setelah

dapat bekal banyak, kita tinggal menuju alam kelanggengan ditarik pakai Buraq

menuju Sidratul Muntaha. Itu tujuan amal ibadah umat Islam.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, Guha Sunyaragi termasuk bangunan

guha-guha kecil di dalamnya nampak sempit dan rendah. Arsitektur bangunan yang

seperti itu memiliki makna filosofis tersendiri dalam Kesultanan Cirebon. Ajat

mengatakan, gaya arsitektur dari bangunan Guha Sunyaragi yang sempit dan rendah

semuanya mengandung makna filosofis, yakni manusia sehebat apapun harus

mengamalkan “ilmu padi” (semakin berisi semakin merunduk). Desain arsitektur

dari guha-guha yang rata-rata pendek membuat manusia yang mampu memasukinya

harus merunduk. Ini menandakan juga bahwa menjadi manusia tidak boleh

sombong, sebab dalam sejarah, perilaku sombong adalah yang pertama kali

dilakukan oleh iblis. Iblis merasa dirinya mulia sehingga ketika Allah perintahkan

bersujud kepada Adam, iblis enggan melakukannya. Karena sifat sombongnya,

maka iblis terusir dari surga dengan cara yang amat hina. Allah melarang dan

membenci hamba-hambanya yang sombong karena sifat ini sangat tidak baik dan

akan mendatangkan kemudharatan kepada pelakunya. Kesombongan dapat merusak

hubungan persaudaraan, pertemanan dan dapat menumbuhkan benih-benih

kebencian. Sifat sombong bisa membuat seseorang hilang rasa sayang dan empati

kepada orang lain. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat Luqman

[31] ayat 18.

Ketidaksukaan Allah terhadap sikap sombong ini telah diabadikan dalam

berbagai ayat, termasuk kisah-kisah kesombongan orang-orang terdahulu seperti

Firaun yang menolak seruan Musa untuk beriman kepada Allah, dan kisah Kan‟an

(putera nabi Nuh) yang tidak mau mengikuti ajakan ayahnya untuk menaiki

perahunya. Peristiwa tersebut diabadikan dalam al-Qur‟an surat Hud ayat 40-48.213

Kaitannya dengan konteks penelitian ini adalah bahwa lewat makna bangunan

guha-guha kecil yang ada di Guha Sunyaragi memuat pesan positif, yakni agar

manusia menjauhi sifat sombong, dan agar manusia tidak dihinggapi sifat ini, maka

selalu menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah dengan banyak zikir, sebab

zikir yang dilakukan secara istiqomah akan mampu membersihkan diri dari segala

penyakit hati, termasuk sifat sombong. Adapun dengan ruangan yang sempit

bermakna bahwa kelak di akhirat, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan

amalnya sendiri-sendiri. Kalau manusia bisa lolos dari kesempitan itu, maka di

dalamnya akan terasa legah dan lapang.214

Dengan demikian, pada dasarnya semua

bangunan di dalam Guha Sunyaragi menggambarkan perjalanan hidup manusia.

213

Hasiah, “Mengintip Prilaku Sombong dalam Al-Quran”. Jurnal El-Qanuny, vol. 4,

no. 2, 2018, h. 185-200. 214

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada

tanggal 16 Juli 2020.

209

Gambar 21. Guha Sunyaragi (Bahan Dasar: Batu Karang)

Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Makna lain yang ada didalam bangunan Guha Sunyaragi terletak pada bahan

dasar pembuatan guha itu sendiri, yakni batu karang, yang meskipun sejenis batu

tetapi pada dasarnya masih bisa dengan mudah dihancurkan atau mudah retak. Batu

karang melambangkan bahwa memang kehidupan itu keras, namun di alam aslinya

karang itu seperti rumput, mudah lentur. Sederhananya, keras tidaknya kehidupan

yang dialami dan dijalani oleh manusia, tergantung seberapa besar usaha dan

seberapa mampukah manusia menaklukan kerasnya hidup, termasuk masalah utama

manusia yakni melawan hawa nafsu, sebagaimana Ajat mengatakan bahwa yang

dimaksud masalah disini adalah masalah utama yang dihadapi manusia yakni

melawan hawa nafsu, sebab tidak mudah bagi manusia untuk mampu menundukkan

hawa nafsu.215

Seorang Muslim yang memiliki tingkat keimanan yang baik kepada Allah,

niscaya akan istiqomah untuk tidak meninggalkan prinsip yang dipegang sekalipun

harus berhadapan dengan berbagai resiko maupun tantangan besar dalam hidup.

Lebih jauh, seorang Muslim yang sudah istiqomah dengan keimanannya akan dapat

mengontrol dirinya dan mengendalikan hawa nafsunya dengan baik. Namun yang

perlu diperhatikan adalah bahwa perkara menundukkan hawa nafsu butuh

perjuangan yang sungguh-sungguh, sebab musuh terbesar manusia adalah hawa

nafsunya. Orang sudah konsisten dengan keimanannya akan selalu berpikiran

positif, dan membuatnya dapat menjalani kehidupan ini dengan penuh kedamaian

dan kemudahan.216

Terkait dengan perkara menjaga keimanan, Rasulullah bersabda:

“Dari Hisyam bin „Urwah dari bapaknya, dari Sufyan bin Abdullah al-

Tsaqafi r.a berkata: “aku berkata: “Wahai Rasulullah! Katakanlah satu

perkataan padaku tentang Islam yang aku tidak perlu menanyakannya kepada

orang lain. “Sabda Rasulullah SAW: “Ucapkanlah aku beriman dengan Allah

kemudian beristiqomahlah kamu” (HR. Muslim).

Rasulullah SAW melalui hadis di atas, mengajak umat Islam agar selalu

menjaga keimanannya dan menyuruh beristiqamah untuk tetap berpegang pada

aturan-aturan Allah sehingga pada akhirnya mendapat predikat muttaqin. Kaitannya

dengan penelitian ini, sekalipun dari segi arsitektur pengaruh Hindu dan Tionghoa

215

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada

tanggal 16 Juli 2020. 216

Muhammad Harfin Zuhdi, “Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim”. Religia,

vol. 14, no. 1, 2011, h. 111-128.

210

begitu kental mewarnai Guha Sunyaragi, namun sarat dengan nilai-nilai Islam.

Selain arsitektur dasarnya adalah batu karang, bangunan Guha Sunyaragi juga

dikelilingi air. Maka dari itu, untuk sampai ke Guha Sunyaragi, setiap orang harus

menggunakan getek atau rakit. Pada dasarnya air merupakan sumber kehidupan

makhluk hidup, sehingga itu harus dihormati dan hargai. Air juga berfungsi sebagai

pengaman dan kenyaman sultan dan keluarga serta pendingin dan penyejuk ruangan

Guha Sunyaragi. Di samping, air juga memudahkan orang berwudhu bagi yang

akan melakukan semedi dan ibadah-ibadah lainnya di kompleks Guha Sunyaragi.

Dengan demikian, tidak heran jika semua ruangan guha dialiri air.

Dalam budaya Tiongkok, angin dan air dipercaya merupakan komponen

penting untuk membentuk perilaku dan sifat alam (semua makhluk) di bumi dalam

mengisi peradaban manusia. Penataan dan penempatan energi angin dan air yang

tepat dapat melimpahkan keberuntungan bagi kehidupan. Air juga melambangkan

spiritualitas, kedamaian, mistis, kontemplasi, kesabaran, kepercayaan, stabilitas dan

melankolis.217

Masyarakat Tionghoa sangat mempercayai Feng Shui. Feng Shui

merupakan worldview yang dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai bagian dari

budaya terapan yang terkait dengan kehidupan keseharian. Feng Shui merupakan

media transformasi konsep pemikiran falsafah alam semesta yang rumit dan

beragam lalu digabungkan secara harmonis agar dapat diterapkan pada bentuk yang

terukur dan terjangkau oleh panca indera manusia dalam bentuk bangunan.218

Feng

Shui terdiri dari dua suku kata, yaitu Feng/Hong yang berarti angin dan Shui yang

berarti air. Dalam Feng Shui dipercaya bahwa manusia, surga (astronomi), dan

bumi (geografi) hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki hidup dengan

menerima Qi (energi) positif.219

Guha Sunyaragi adalah bangunan paling unik di ASEAN yang diciptakan oleh

manusia seperti berbentuk laut dan gunung bebatuan. Konstruksi dan komposisi

situs bangunan adalah taman air. Dari sisa-sisa yang ada, terlihat kecanggihan dan

hasil keunikan budaya manusia pada zamannya. Guha Sunyaragi adalah

peninggalan budaya kuno, yang merupakan bagian dari Keraton Kasepuhan.

Meskipun fungsi berubah sesuai dengan kehendak para penguasa pada zamannya,

tetapi garis besar Guha Sunyaragi adalah tempat dimana para pangeran atau prajurit

istana dipenjara karena kekuatan ilmu kanuragan. Guha Sunyaragi sebagai guha

terbesar di Keraton Kasepuhan sekurangnya telah mengalami beberapa kali

direstorasi, baik pada masa Sultan Sepuh IX, di era kolonial dan sekarang. Tercatat

pada saat ini dipulihkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selama

delapan periode (sejak tahun anggaran 1977/1978 hingga tahun anggaran 1984/1985

yang lalu, ditambah dengan perbaikan pagar-pagarnya pada tahun 1989/1990 dan

1990/1991).220

Kemudian, revitalisasi Guha Sunyaragi selanjutnya pada tahun 2014

adalah paket dengan revitalisasi Keraton Kasepuhan.

217

Monica, “Feng Shui dalam Mendesain Logo”. Humaniora, vol. 2, no. 1, 2011, h.

132-138. Lihat juga Sugiri Kustedja, dkk, “Feng-Shui: Elemen Budaya Tionghoa

Tradisional”. Melintas, vol 28, no. 1. 2012, h. 61-89. 218

Kustedja, “Feng-Shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional”, h. 61-89. 219

Monica, “Feng Shui dalam Mendesain Logo”, h. 132-138. 220

Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34.

213

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kontak sosial-budaya etnis Tionghoa dengan masyarakat Cirebon terjadi

melalui tiga gelombang, yaitu dimulai sejak abad ke-15, yang ditandai dengan

kedatangan Cheng Ho dan para pasukannya; Gelombang kedua terjadi pada

akhir abad ke-15, yang ditandai dengan kedatangan Puteri Tiongkok bernama

Ong Tien Nio dengan seluruh barang bawaannya; Gelombang ketiga terjadi di

abad ke-18, ditandai dengan masuknya orang-orang Tionghoa sebagai orang-

orang pelarian dari Batavia.

Kontak sosial-budaya etnis Tionghoa dan Cirebon dalam perkembangannya

turut membuat kedua kebudayaan terakulturasi, dan menemui puncaknya pada

akhir abad ke-15 melalui pernikahan Sunan Gunung Jati dengan seorang puteri

Tionghoa bernama Ong Tien Nio. Seandainya Sultan tidak beristerikan orang

Tionghoa boleh jadi budaya-budaya Tionghoa itu tidak akan mewarnai Keraton

Kasepuhan dan budaya fisik lainnya di Kesultanan Cirebon. Ini menjadi bukti

bahwa Lembaga perkawinan mampu menghasilkan pembauran yang berkulitas

dan alamiah berupa akulturasi. Ornament Tionghoa yang begitu kuat tidak dapat

dilepaskan dari peran etnis Tionghoa yang hadir, utamanya puteri Ong Tien Nio,

yang tidak hanya fisik tapi juga jiwanya. Ong Tien adalah sosok yang sangat

berarti bagi Sunan Gunung jati. Ini juga menjadi bukti betapa berperannya

seorang perempuan dalam ruang dan makna, sehingga turut mewarnai ruangan-

ruangan kesultanan yang begitu private seperti keraton Kasepuhan, Astana

Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong, batik Mega Mendung, Guha

Sunyaragi, dan sebagainya.

Berbagai bukti arkeologis memperlihatkan bahwa di dalam keraton

Kasepuhan dan beberapa wujud budaya fisik lainnya terdapat berbagai budaya

yang ikut mewarnai. Makna filosofisnya adalah bahwa sekalipun Cirebon

merupakan Kesultanan Islam, tapi sangat terbuka terhadap dinamika masyarakat

dan bersikap inklusif terhadap berbagai budaya dan keberagamaan orang lain.

Kesultanan ini ingin berdiri diatas keberagaman budaya dan meletakkan

penghormatan yang tinggi terhadap keyakinan orang lain. Kesultanan Cirebon

sangat menghormati dan menghargai leluhurnya, dengan tetap mengakomodir

unsur-unsur Hindu, yang secara filosofis bermakna penghormatan terhadap yang

lebih tua sebab Hindu sudah lebih dulu ada dibanding Islam. Orang Hindu yang

melihat Gapura Candi Bentar merasakan keterwakilannya, begitupun dengan

etnis Tionghoa melihat ornamen-ornamen Tionghoa yang begitu kental. Dari

berbagai simbol yang ada memperlihatkan bahwa Kesultanan Cirebon sarat

dengan nilai-nilai ketauhidan dan menginginkan adanya kerukunan hidup

beragama dan berbudaya dalam kehidupan bernegara.

214

B. Saran dan Rekomendasi

Secara historis dan geografis, Cirebon merupakan salah satu daerah di Jawa

Barat yang sejak awal menjadi tempat perjumpaan berbagai kalangan mengingat

daerah ini selain menjadi tempat berdirinya kesultanan Islam, juga menjadi pusat

perdagangan di masa lalu karena dilengkapi fasilitas berupa pelabuhan

internasional. Sebagai kota yang sejak awal menjadi tempat perjumpaan orang-

orang dari berbagai manca negara, tentu tidak dapat dipungkiri terjadi sebuah

akulturasi budaya, baik budaya material maupun non material, yang hingga saat

ini masih bisa kita temukan di Kesultanan Cirebon. Sementara penelitian ini

penulis fokuskan atau lebih banyak membahas mengenai budaya material berupa

benda-benda peninggalan, baik budaya Cirebon maupun budaya material yang

mendapat pengaruh dari Tionghoa dimulai sejak etnis ini memasuki daerah

Cirebon. Sehingga itu, tema penelitian ini penulis fokuskan pada akulturasi

budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Tentu masih

banyak yang perlu dikaji mengenai kebudayaan yang ada di Cirebon, yang hal-

hal tersebut luput dari kajian ini. Bagi para akademisi dan peneliti selanjutnya,

penulis menyarankan sekaligus merekomendasikan beberapa hal yang dapat

dijadikan sebagai fokus kajian selanjutnya dalam kaitannya dengan kebudayaan

di Kesultanan Cirebon. Pertama, budaya Cirebon yang mendapat pengaruh dari

luar, selain budaya yang mendapat pengaruh Tionghoa. Kedua, budaya non

material Tionghoa yang terakulturasi dengan budaya Cirebon. Ketiga, perlu

ditelusuri lebih jauh soal benda-benda peninggalan lain, yang luput dari

penelitian ini. Untuk mengkaji hal-hal tersebut, tentu membutuhkan tenaga dan

waktu yang tidak sedikit, utamannya menyangkut pelacakan arsip-arsip yang

sampai sekarang sebagian besar belum ditemukan.

Selain bagi para akademisi dan peneliti, penulis juga merekomendasikan

beberapa hal kepada pemerintah setempat. Pertama, Pemerintah Provinsi Jawa

Barat dan Kota Cirebon diharapkan dapat memberikan perhatian ekstra terhadap

benda-benda bersejarah yang ada di Cirebon, sehingga tetap terpelihara dengan

baik. Kedua, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kota Cirebon serta dinas

terkait dapat bersinergi membuat kebijakan-kebijakan: (1) memasukkan materi

kebudayaan Cirebon dalam Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) di sekolah-

sekolah jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah

Menengah Atas; (2) Mengagendakan kegiatan studi sejarah rutin di tempat-

tempat bersejarah peninggalan Kesultanan Cirebon. Sehingga, para siswa dapat

mengenal sejarah kota Cirebon, termasuk seluruh benda peninggalannya. Ketiga,

Pemerintah Daerah Cirebon dan dinas terkait di kota Cirebon, budayawan, dan

penggiat budaya, serta masyarakat Cirebon hendaknya ikut berperan aktif dalam

pementasan-pementasan budaya, baik di tingkat lokal, nasional maupun

internasional.

215

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman, P. R. Cerbon, (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia dan

Penerbit Sinar Harapan, 1982).

Adeng, dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998).

Afif, A. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,

(Depok: Penerbit Kepik, 2012).

Agus, Bustanuddin. Al-Islam, Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata

Ajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993).

Agustian, A. G. Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ;

Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun

Islam, (Jakarta: Arga Wijaya, 2001).

al-Haddad, Habib Abdullah bin Alwi. Nasehat-nasehat Agama dan Wasiat-wasiat

Keimanan, terj. Zaid H. Al-Hamid, cet. I, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2002).

Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan

Kepribadiam Muslim, (Bandung: Rosda Karya, 2006).

al-Jāwy, Muḥammad Nawawī. Riyāḍ al-Badī‟ah, (Semarang: Pustaka al-‗Alawiyah,

t.th.).

Ambary, H. M. ―Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran

Islam‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996).

Ambary, H. M. Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran

Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997).

Ang, I. ―Trapped in Ambivalence Chinese Indonesians, victimhood and the Debris

of History‖. In Morris, M. & de Bary, B. (eds.), „Race‟ Panic and the Memory

of Migration, (Hong Kong: Hong Kong University Press, 2001).

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Mutiara Hadis, cet. V, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang,

19780).

al-Asqalani, Fatḥul-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.)

al-Asqalani, Hafizh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar. Fatḥul-Bari Syarh Sahih

Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.).

al-Attas, S. M. N. Islam, Secularism and The Philosophy of the Future, (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1985).

al-Attas, S. M. N. The Intuition of Existence, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990).

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986).

Atja, Nagarakretabumi, (Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan

Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1986).

Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972).

Aubrey, N. ―A Dwelling Place for Dragons: Wild Places in Mythology and

Folklore‖. In The Psychology of Religion and Place, (Cham: Palgrave

Macmillan, 2019).

216

Ayatrohaedi. Dialektologi sebuah pengantar (An introduction to dialectology),

(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979).

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII-XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia,

(Bandung: Mizan, 1994).

Azra, Azyumardi. Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad

XVII dan XVIII, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1998).

Badwailan, Ahmad bin Salim. Dahsyatnya Terapi Shalat, terj. Ubaidillah S.

Akhyar, (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007).

Barzilai, G. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities,

(University of Michigan Press, 2003).

Basyarahil, Abdul Aziz Salim. Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1996).

Beirne, P. ―On Gabriel Tarde, Penal Philosophy‖. In Classic Writings in Law and

Society: Contemporary Comments and Criticisms, (London & New York:

Routledge, 2017).

Berger, P. L. dan Luckmann, T. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang

Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).

Blusse, Leonard. Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women, and the

Dutch in VOC Batavia, (Amsterdam: Foris Publication, 1988).

Bochari, M. S. & Kuswiyah, Wiwi. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon,

(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001).

Borshalina, T. ―Development of Entrepreneurship and Sustainable Innovation in

Indonesian Small and Medium Enterprises (Study on Trusmi Batik SMEs in

Cirebon, West Java, Indonesia)‖. The 11th Asian Academy of Management

International Conference 2015, (Universiti Sains Malaysia, APEX, Asian

Academy of Management, Majelis Profesor Negara, Yayasan Pahang, 2015).

Boulger, Demetrius C. The Life of Sir Stamford Raffles, (London: Horace Marshal

& Son, 1897).

Budiman, A. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (The Chinese Muslim

Community in Indonesia), (Semarang: Tanjung Sari, 1979).

Budiman, Amen. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang, Tanjung

Sari, 1979).

al-Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari, juz I,

(Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

al-Bukhari, Imam. Ṣahīḥ Bukhōrī Kitāb Tafsīr al-Qur‘ān Bab Surat Luqman Ayat

34, vol. 6, (Beirūt: Dār Ibn Tuq al-Najāḥ, 1422 H.).

al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim al-Mugirah. Al-Adab al-Mufrad,

juz I, cet. I, (Beirūt: Dār al-Basyair al-Islamiyah, 1409 H/1989 M).

Cator, W. J. The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indies,

(Oxford: 1936).

Chittick, N. Kilwa: An Islamic Trading City on the East African Coast, vol. II,

(Nairobi/London: British Institute of African Studies, 1974).

Clyne, M. & Jupp, J. (ed.), ―Epilogue: A Multicultural Future‖. In Multiculturalism

and Integration: A Harmonious Relationship, (ANU Press, 2011).

217

Connorton, Paul. How Does Society Remember, Nazi Biligo (translation),

(Shanghai: People's Publishing House, 2000).

Coogan, M. D. Eastern Religions: Hinduism, Buddhism, Taoism, Confucianism,

Shinto, (Duncan Baird Publishers, 2005).

Cortesao, A. The Summa Oriental of Tome Pires, (London: Hakluyt Society 1994).

Creswell, J. W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,

(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

Darmayanti, T. E. & Bahauddin, A. ―The Influence of Foreign and Local Cultures

on Traditional Mosques in Indonesia‖. In Islamic Perspectives Relating to

Business, Arts, Culture and Communication, (Singapore: Springer, 2015).

Dartano, Penyebaran Agama Islam di Cirebon dan Sekitarnya antara Tahun 1470-

1570 M, (Universitas Indonesia, 1991).

Dasuki, H. A. (ed.), Sejarah Indramayu, (Indramayu: Pemerintah Kabupaten

Daerah Tingkat II Indramayu,1978).

Dasuki, H. A. Purwaka Caruban Nagari, (Indramayu: Pustaka Nasional, 1978).

de Graaf, H. J. & Pigeaud, Th. G. Th. Chinese Muslim in Java in The 15 th And 16

th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon. Edited by M. C.

Ricklefs, (Melbourne: Monash University, 1984).

de Graaf, H. J. dkk. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas

dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).

de Haan, F. Oud Batavia, (Bandung: 1935).

de Saussure, F. ―Course in General Linguistics‖, In Literary Theory, An Anthology,

by J. Rivkin & M. Ryan (eds.), (UK: Blackwell Publishing Ltd., 2004).

Djaja, Tamar. Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-orang Besar di Tanah Air,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1965).

Djajadiningrat, H. Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-

abad Pertama Berdirinya, (Jakarta: Bhratara, 1973).

Donley-Reid, L. W. ―The power of Swahili Porcelain, Beads and Pottery‖. In S. M.

Nelson, A.B. Kehoe (eds.), Powers of Observation: Alternative Views in

Archaeology, Archaeological Papers of the American Anthropological

Association 2, (Washington: American Anthropological Association, 1990).

Dupoizat, M. F., Wibisono, N. H, & Guillot, C. Catalogue of the Chinese-Style

Ceramics of Majapahit: Tentative Inventory, (Paris & France: Association

Archipel, 2007).

Dwipayana, G. dan Hadimadja, R. K. Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan

Saya, (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989).

Dyah, S. A. & Zein, F. K. ―The Influence of Cultural Acculturation on Architecture

Keraton Kasepuhan Cirebon‖. In Reframing the Vernacular: Politics,

Semiotics, and Representation, (Cham: Springer, 2020).

Ekajati, E. S. (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Jakarta: Girimukti

Pasaka, 1984).

Ekajati, E. S. dkk, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Kerjasama

Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Universitas Padjajaran,

1991).

Ekajati, E. S. Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah sampai Terbentuknya

Kabupaten, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003).

218

Erwantoro, H. Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon, (Bandung: Balai Pelestarian

Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012).

Falah, W. A. ―Tinjauan Konsepsi Seni Bangunan Istana Peninggalan Masa Islam di

Kesultanan Cirebon dalam Konteks Kesinambungan Budaya‖. Dalam Susanto

Zuhdi (ed.), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi

Ilmiah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996).

Fleisher, J. & Laviolette, A. ―The Changing Power of Swahili Houses, Fourteenth

to Nineteenth Centuries AD‖. In R. A. Beck (ed.), The durable house: House

Society Models in Archaeology, Center for Archaeological Investigations

Occasional Paper, no. 35, (Carbondale, Southern Illinois University, 2007).

Gan, C. ―Archaeological Finds and Origins of Chinese Civilization‖. In A Concise

Reader of Chinese Culture, (Singapore: Springer, 2019).

Geertz, C. The Interpretation Cultures, (New York: Basic Books Inc. Publisher,

1973).

Gex, De Jeny. Asian Style Source Book, (Singapura: MQ Publication Ltd., 2000).

Giap, T. S. ―Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia‖. In Chinese

Beliefs and Practices in Southeast Asia, (Petaling Jaya: Pelanduk Publications,

1993).

Gilhuly, K., Ackerman, R., Adams, J. N., Ahl, F., Alvares, J., Anderson, B.,

Anderson, W. S. et al. ―Cultic Prostitution: A Case Study in Cultural

Diffusion‖. In Erotic Geographies in Ancient Greek Literature and Culture,

vol. 51, no. 1/2, (New York: Center for Hellenic Studies, 2018).

Gillin & Gillin, Cultural Sociology: A Revision and of an Introduction to Sociology,

(New York: The Macmillan Company, 1954).

Groeneveldt, W. P. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from

Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960).

Habibillah, M. Raih Berkah Harta dengan Sedekah dan Silaturrahmi, cet. I

(Jogjakarta: Sabil, 2013).

Hall, Stuart. ―Cultural Identity and Diaspora‖, dalam Jonathan Rutherford, (eds.),

Identity: Community, Culture, Difference, (London: Lawrence and Wishartm,

1990).

Harb, T. Rihlah Ibn Battutah al-Musammah Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara‟ib al-Amsar

wa Aja‟ib al-Asfar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002).

Hardesty, D. L. ―The Use of General Ecological Principles in Archaeology‖. In

Advances in Archaeological Method and Theory, vol. 3, (New York:

Academic Press, 1980).

Hardjasaputra, A. S. Cirebon dalam Lima Zaman: Abad Ke-15 hingga Pertengahan

Abad Ke-20, (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Budaya Provinsi

Jawa Barat, 2012).

Hardjasaputra, A. S. dan Haris, T. (ed.). Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15

hingga Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Provinsi Jawa Barat, 2011).

Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1967).

Haviland, W. A. Antropologi, terj. Soekadijo, R. G. (Jakarta: Erlangga, 1988).

Haviland, W. A. Cultural Anthropology, (Wadsworth Publishing Company, 2002).

219

Hawwa, Said. Al-Islam, terj. Badul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press,

2004).

Herkovits, M. J. Acculturation: The Study of Culture Contact, (New York: Peter

Smith, 1958).

Hernawan, W. & Kusdiana, Ading. Biografi Sunan Gunung Djati: Sang Penata

Agama di Tanah Sunda, (LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020).

Hidayat, Raden S. Sejarah Caruban Kawedar, (Cirebon: Badan Komunikasi

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008).

Hidayat, Z. M. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, (Bandung: Tarsito,

1984).

Hoebel, E. A. Man in the Primitive World: An introduction to Anthropology, vol. 1,

(New York: Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1949).

Horton, P. B. & Hunt, C. L. Sociology (New York: McGraw-Hill, 1976).

Huan, Ma. Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores

(1433).Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‘eng Chun, (Cambridge:

The University Press for the Hakluyt Society, 1970).

Huang, J. Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, (Cirebon, 2006).

Huang, Jeremy. Mengungkap Keberadaan dan Budaya Etnis Tionghoa Cirebon,

(Cirebon: Katalog Online Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati, 2006).

Ibn Rajab, Ahmad al-Hambali. Jami‟ul-„Ulum wal Hikam, (Beirut: Darul Ma‘rifah,

1987).

al-‗Id, Ibn Daqiq. Syarah al-Arba‟in Hadisan al-Nawawiyah, (Kairo: Maktabah

Turos al-Islami, t.th.).

Idi, A. & Huda, N. Cina-Melayu di Bangka, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009).

Irianto, H. R. B. dan Sutarahardja, K. T. Sejarah Cirebon: Naskah Keraton

Kacirebonan, (Yogyakarta: Deepublish, 2013).

Ismawati, ―Budaya dan Kepercayaan Jawa Masa Pra-Islam‖, dalam Darori Amin

(ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000).

Jary, David dan Jary, Julia. HarperCollins Dictionary of Sociology, (New York:

HarperPerennial, 1991).

Joe, Liem Tian. Riwayat Semarang 1416-1931, (Semarang: 1933).

Johan, I. M. Penelitian Sejarah Kebudayaan Cirebon dan Sekitamya Antara Abad

XV-XIX: Tinjauan Bibliografi, dalam Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra,

(Jakarta: Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia,

1996).

Joseph, A. D. Komunikasi Antar Manusia, (Jakarta: Professional Books, 1997).

Joyomartono, M. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan,

(Semarang: IKIP Semarang Press, 1991).

K. Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah Cheng Ho,

(Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007).

Kampah, Ki. Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil, (Cirebon: Rumah

Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon, 2013).

Ke, X. ―Person-making and Citizen-Making in Confucianism and their Implications

on Contemporary Moral Education in China‖. Re-envisioning Chinese

Education: The Meaning of Person-making in a New Age, (London: Routledge,

2015).

220

Keesing, F. M. Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological

Sources to 1952, (New York: Stanford University Press, 1953).

Keesing, F. M. Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological

Sources to 1952, no. 1. (New York: Octagon Books, 1973).

Keesing, R. M. & Keesing, F. M. New Perspectives in Cultural Anthropology, (New

York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1971).

Kemenkumham, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

Pengesahan Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat

China Tentang Ekstradisi (Treaty Between The Republic of Indonesia and the

People‟s Republic of China on Extradition), (Jakarta: Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia, 2016).

Kementrian Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Solo: Fatwa, 2016 M/ 1437

H).

Kern, R. A. & Djajadiningrat, H. Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara,

1974).

Kersten, C. ―The Caliphate‖. In Oxford Research Encyclopedia of Religion, 2019.

Kertawibawa, B. B., Pangeran Cakrabuana Sang Perintis Kerajaan Cirebon, vol. 1

(Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2007).

Kite, E. ―Chinese Cultural Identity: Suharto's Wisdom and its Success in Achieving

Complete Integration‖. In ACICIS Field Report, (Malang: Muhammadiyah

University, 2004).

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat,

1977).

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djembatan,

1990).

Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan

Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia,

1958).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Yogyakarta: 1981).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015).

Kong, Yuanzhi. Muslim Tionghoa Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor,

2000).

Kong, Yuanzhi. Sam Po Kong dan Indonesia, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1996).

Kristeva, J. Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, (New

York: Columbia University Press, 1980).

Kyngäs, H. ―Qualitative Research and Content Analysis‖ In The Application of

Content Analysis in Nursing Science Research, (Cham: Springer, 2020).

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an Badan Litbang & Diklat Kementrian Agama

RI dengan LIPI, Air dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains, (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, 2011).

Laksmiwati, D. K. Putri Ong Tien Mengarungi Samudra Asmara Meraih Cinta

Sejati Susuhunan Jati Romantika Caruban Nagarai, cet 2, (Yogyakarta:

Deepublish, 2014).

Lan, Nio Joe. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2013).

221

Lapian, A. B. & Sedyawati, E. ―Kajian Cirebon dalam Kajian Jalur Sutra‖. Cirebon

sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), (Jakarta:

Departemen Pendidikandan Kebudayaan RI, 1997).

Lauer, R. H. Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj., (Jakarta: Rineka Cipta,

1993).

Leimgruber, W. ―Values, Migration, and Environment: An Essay on Driving Forces

Behind Human Decisions and their Consequences‖. In Environmental Change

and its Implications for Population Migration, (Dordrecht: Springer, 2004).

Liliweri, A. ―Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Etnik di Kupang‖.

Dalam A. Liliweri (ed.), Perspektif pembangunan: Dinamika dan tantangan

pembangunan Nusa Tenggara Timur, (Kupang: Penerbit Yayasan Citra Insan

Pembaru, 1994).

Liliweri, A. Meaning of Culture and Intercultural Communication, (Yokyakarta:

LKIS, 2003).

Liu, H. & Zhou, Y. ―New Chinese Capitalism and the ASEAN Economic

Community‖. In The sociology of Chinese capitalism in Southeast Asia,

(Palgrave Macmillan, Singapore, 2019).

Lombard, D. & Salmon, C. ―Islam and Chineseness‖. In A. Gordon (ed.), The

Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, (Kuala Lumpur:

Malaysian Sociological Research Institute, 2001).

Lombard, D. Garden in Java, (Jakarta: EFEO, 2010).

Lombard, D. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia, jilid 2, (Jakarta: Gramedia-

EFEO, 2005).

Lombard, Dennys Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, (Jakarta: 1996).

Lowie, R. H. The History of Ethnological Theory, (New York: Holt, Rinehart &

Winston, 1937).

Lubis, N. H. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, (Bandung: Alqaprint, 2000).

Lukito, Ratno, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia,

(Jakarta: Logos, 2001).

Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016).

Malik, Ridwan. Puasa Ulat: Merenungi Jejak Tuhan, Bercermin pada Nurani,

(Cibubur: PT. Variapop Group, 2006).

Mariam, S. B. Qualitative Research and Case Study Application in Education, (San

Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998).

Masduqi, Z. Cirebon dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial, (Cirebon: Nurjati

Press, 2011).

Masduqi, Z., dkk. Islamisasi, Suksesi Kepemimpinan, dan Awal Munculnya

Kerajaan Islam Cirebon: Kajian dan Penulisan Sejarah Kesultanan Cirebon,

(Jakarta: Puslitbang Lektur & Khazanah Keagamaan Balitbang Diklat

Kementrian Agama RI, 2012).

Menzies, G. 1421: The Year China Discovered America, (New York: Perennial.

2003).

Mikami, Ts. Tôji no michi – tôzai bunmei no setten o tazunete [Jalan Keramik:

Bukti Materiel dari Kontak Budaya Timur dan Barat], (Tokyo: Iwnami Shoten,

1969).

Moleong, L. J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1995).

222

Muhaimin, A. G. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta:

PT. Logos Wacana Ilmu, 2002).

Muljana, S. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam

di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005).

Mulyana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara

Islam di Nusantara, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007).

Munro, T., Form and Style in the Arts: An Introduction to Aesthetic Morphology,

Cleveland: Press of Case Western Reserve University, 1970).

an-Nawawi, Imam. Hadits Arbain al-Nawawiyah, edisi terjemahan, (Surabaya: AW

Publisher, 2005).

an-Nawawi, Imam. Syarah Hadits Arba‟in Imam Nawawi Penjelasan 40 Hadits Inti

Ajaran Islam, terj. Ibn Daqiq al-‗Id, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2013).

Nio, J. L. Tiongkok Sepandjang Abad, (Djakarta: Gunung Agung, 1952).

Noer, N. M. Menusa Cirebon, (Cirebon: Dinas Pemuda dan Pariwisata Kota

Cirebon, 2009).

Nugrahanto, Widyo. Bertahan di Perantauan: Wacana Cina Muslim di Nusantara

Abad ke 15 dan ke 16, (Bandung: Uvula Press, 2007).

Oetama, J. dan Maarif, A. S. Penyerbukan Silang Antar Budaya: Membangun

Manusia Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2015).

Ondawame, J. O. ―West Papua: The Discourse of Cultural Genocide and Conflict

Resolution‖. In Cultural Genocide and Asian State Peripheries, (New York:

Palgrave Macmillan).

Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Cina: Sejarah Etnis Cina Indonesia,

(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).

Parlindungan, M. O. Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror

Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Djakarta:

Tandjung Pengharapan, 1964).

Parlindungan, M. O. Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror

Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Yogyakarta:

LKiS, 2007).

Perry, W. J. The Children of the Sun, (London: Methuen, 1923).

Perry, W. J. Gods and Men. The Attainment of Immortality, (London: G. Howe ltd.,

1927).

Pirazzoli-T‘Serstevens, M. ―La route de la céramique‖, Le grand Atlas de

l‟archéologie, (Paris: Encyclopaedia Universalis, 1985).

Pires, Tome. Suma Oriental, edited & translated by Armando Cortesso, (London:

1944).

Pires, Tome. Summa Oriental, terj. Sri Margana, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2014).

Powell, J. W. Seeing Things Whole: The Essential John Wesley Powell, (Island

Press, 2004).

Pradines, S. Fortifications et Urbanisation en Afrique Orientale, (Oxford:

Archaeopress, 2004).

Pujianto, Franseno. Desain Lansekap Taman Sari: Objek Studi Goa Sunyaragi

Cirebon, (Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Universitas katolik Parahyangan, 2012).

223

Purcel, V. The Chinese in Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Oxford University Press,

1962).

Purwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Puspito, Hendro. Sosiologi Semantik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).

Pusponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1991).

Qardhawi, Yusuf. Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq, (Cairo: Dar al-

Shuruq, 2000).

Qordhawi, Yusuf. Karakteristik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).

Quthub, Sayyid. Tafsir fi Zilali Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta:

Gema Insani, 2001).

al Qurtuby, S. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa

dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta:

Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003).

Raffles, S. Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles,

(New York: Cambridge University Press, 2013).

Rahardjo, Supratikno (ed). Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur

Sutera, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998).

al-Raḥmān, Abd. Durūs al-Fiqhiyyah, (T.tp.: Maktabah Syekh Salim, t.th.).

Ricklefs, M. C. The History of Modern Indonesia Since c. 1200, vol. 3, (Great

Britain: Palgrave Macmillan, 2001).

Rosyidin, D. N. dkk, Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektor Khazanah

Keagamaan Balitbang Kementrian Agama RI, 2013).

Rosyidin, D. N. dan Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon: Survey atas Empat

Entitas Budaya Cirebon, (Cirebon: Elsi Pro, 2016).

Rosyidin, D. N. Ulama Paska Sunan Gunung Jati, Studi atas Sejarah dan Jaringan

Intelektual Cirebon Pada Abad ke 16 Hingga Abad ke 18, (Laporan penelitian,

IAIN Syekh Nurjati, 2014).

Rukmana, A. dan Lembong, E. (ed.). Penyerbukan Sialng Antarbudaya:

Membangun Manusia Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media

Kompatindo, Jakarta, 2015).

Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010)

Saebani, B. A. Pengantar Antropolog, (Bandung: Pustaka Setia, 2012).

Schmader, T., Bergsieker, H. B. & Hall, W. M. ―Cracking the Culture Code‖. In

Applications of Social Psychology by J. Forgas, K. Fiedler & W. Crano (ed.),

(New York: Routledge, 2020).

Schottenhammer, A. ―China‘s Increasing Integration into the Indian Ocean World

Until Song 宋 Times: Sea Routes, Connections, Trades‖. In Early Global

Interconnectivity Across the Indian Ocean World, vol. I, (Cham: Palgrave

Macmillan, 2019).

Sen, T. T. Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast

Asian Studies, 2009).

Sergi, G. L'uomo secondo le origini, l'antichità, le variazioni e la distribuzione

geografica. Sistema naturale di classificazione. Con 212 figure nel testo, 107

224

tavole separate e una carta geografica dei generi umani, (Fratelli Bocca,

1911).

Setijadi, C. Ethnic Chinese in contemporary Indonesia: Changing Identity Politics

and the Paradox of Sinification, (Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute,

2016).

Setiono, B. G. Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Trans Media, 2008).

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1997).

Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. XXX,

(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006).

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mișbah, vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Juz

I-XXX, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Shiraishi, T. An Age in Motion. Popular Radicalism in Java 1912-1926, (Ithaca:

Cornell University Press, 1990).

Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999).

Sirry, M. A., Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti,

1996).

Skinner, W. G. ―Creolized Chinese Societies in Southeast Asia‖. In A. Reid (ed.),

Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese,

(Sydney: Allen and Unwin, 1996).

Smith, G. E. In the Beginning: Origin of Civilisation, (New York: Morrow, 1928).

Smith, G. E. The Influence of Ancient Egyptian Civilization in the East and in

America, (America: The University Press, 1916).

Soekanto, S. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Rajawali Press, 1990).

Soemardjan, S. dan Soemardi, S. Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan

Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964).

Soemardjan, S. Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1991).

Soemardjan, S. Streotip, Asimilasi, Integrasi Sosial, (Bandung: Cita Karya, 1976).

Sudjana, T. D. Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).

Sulendraningrat, P. S. (ed.). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati

Maulana Syarif Hidayatullah, (Cirebon: Sekretariat Sementara Keprabonan,

1984).

Sulendraningrat, P. S. Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon, (1984).

Sulendraningrat, P. S. Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).

Sulistiyono, S. T. ―Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut

Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX‖, dalam S. Zuhdi,

Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan

kebudayaan RI, 1996).

Sulistiyono, S. T. Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut

Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX, (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan kebudayaan RI, 1997).

Sunano, Muslim Tionghoa di Yogyakarta, (Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa,

2017).

225

Sunardjo, U. Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon: Kajian dari Aspek Politik dan

Pemerintahan, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan, t.th.).

Sunardjo, U. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan

Cerbon, 1479-1809, (Bandung: Tarsito, 1983).

Suryadinata, L. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompas,

2010).

Suryadinata, L. Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Indonesia: Pustaka

LP3S, 2002).

Suryadinata, L. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002, (Jakarta: PT. Grafiti

Press, 2005).

Sutirto, T. W. Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, (Pustaka

Cakra, 2000).

Sutoyo, Anwar. Manusia dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015).

Suyono, A. Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985).

Syafe‘i, R. Al-Hadis: Akidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,

2000).

Syamsurizal, dkk., Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Quratul‟ain, (Karawang:

Mahdita, 2009).

Tang, Y. ―On the Dao De Jing (Tao Te Ching)‖. In Confucianism, Buddhism,

Daoism, Christianity and Chinese Culture, (Berlin, Heidelberg: Springer,

2015).

Tanggok, M. I. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan

Islam Indonesia dan Cina, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010).

Tatt, Ong Hean. Chinese Animal Symbolisms, (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk

Publications, 1993).

Tatt, Ong Hean. Simbolisme Hewan Cina, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1996).

Taylor, E. B. Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology,

Philosophy, Religion, Art, and Custom, vol. 2, (London: John Murray,

Albemarle Street, 1871).

Thomas, W. I. & Znaniecki, F. The Polish peasant in Europe and America:

Monograph of an immigrant group, vol. 2, (University of Chicago Press,

1918).

Tian, Z., Ye, S. & Qian, H. ―The Flying Dragon and the Dancing Phoenix: Chinese

Totem Myths‖. In Myths of the Creation of Chinese, (Singapore: Springer,

2020).

Tim Peneliti, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Pemda TK. I, 1991).

Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, 1998).

Tjandasasmita, Uka. Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).

Tjandrasasmita, Uka Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. 2009).

Tjandrasasmita, Uka Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di

Indoneisa, (Kudus: Menara Kudus, 2000).

226

Triandis, H. C. & Bhawuk, D. P. S. ―Culture Theory and the Meaning of

Relatedness‖. In P. C. Earley & M. Erez (eds.), The New Lexington Press

Management and Organization Sciences Series and New Lexington Press

Social and Behavioral Sciences Series. New Perspectives on International

Industrial/Organizational Psychology, (The New Lexington Press/Jossey-Bass

Publishers, 1997).

Turner, B. S. The Cambridge Dictionary of Sociology, (UK: Cambridge University

Press, 2006).

Tylor, E. B. Primitive Culture, (New York: Harper Torch Books, 1871).

Tylor, J. G. ―The Chinese and the Early Centuries of Conversion to Islam in

Indonesia‖. In Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, T.

Lindsey & H. Pausacker (ed.), (Singapore & Australia: ISEAS Publication &

Monash University Press, 2005).

Usman, A. B. dkk. Upacara Sekaten dalam Pendekatan Teologis: Merumuskan

Kembali Interkasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004).

Usman, A. R. Etnis Cina Perantauan di Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2009).

van den Berg, L. W. C. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, (Jakarta: INIS,

1989).

van der Chijs, J. A. Nederlansch-Indisch Plakaatboek 1602-1811. Vijftiende Deel

(1808-1809). (Batavia/'s Hage: Landsdrukkerij/M. Nijhoff, 1896).

Wahid, A. ―Beri Jalan Orang Cina‖, dalam J. Jahja (peny.), Nonpri di Mata

Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991).

Wahid, A. Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999).

Wahyu, A. N. Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah

Kuningan, alih aksara dan bahasa A. N. Wahju, (Bandung: Penerbit Pustaka,

2007).

Wahyu, A. N. Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah

Mertasinga, alih aksara dan bahasa A. N. Wahju, (Bandung: Penerbit Pustaka,

2005).

Weng, H. W. Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiusitas di

Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2019).

Wickley, John. Myths and Literature, Pan Guoqing, et al. (translation), (Shanghai:

Shanghai Literature and Art Publishing House, 1995).

Wiryomartono, B. ―Patrimonial Figure and Historic Sites in Banda Aceh and

Demak‖. In Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia,

(Singapore: Springer, 2020).

Wiryomartono, B. ―Urbanism and Ethnic Minority: Chinese Quarters and Society in

Jakarta-Indonesia 1600 – Present‖. In Traditions and Transformations of

Habitation in Indonesia, (Singapore: Springer, 2020).

Xiaoxiang, L. Origins Chinese People and Customs, (Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2003).

Ya'qub, Hamzah. Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 1992).

Yuanzhi, Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di

Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007).

227

Yuanzhi, Kong. Silang Budaya Tiongkok Indonesia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu

Populer, 2005).

Zuhdi, S. Hubungan Pelabuhan Cirebon dengan Daerah Pedalaman: Suatu Kajian

dalam Kerangka Perbandingan dengan Pelabuhan Cilacap 1880-1940,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997).

Jurnal, Prosiding, dan Makalah

Abadi, M. A. M. ―Cross Marriage (Sebuah Model Pembauran Budaya Antar

Komunitas Cina, Arab, India, Jawa dan Madura di Sumenep Kota)‖. KARSA:

Journal of Social and Islamic Culture, vol. 12, no. 2, 2012, h. 132-148.

Abbink, J. ―Religion and Violence in the Horn of Africa: Trajectories of Mimetic

Rivalry and Escalation between ‗Political Islam‘and the State‖. Politics,

Religion & Ideology, 2020, h. 1-22.

Abidin, Y. Z. ―Keberagamaan dan Dakwah Tionghoa Muslim‖. Ilmu Dakwah:

Academic Journal for Homiletic Studies, vol. 11, no. 2, 2017, h. 357-368.

Abramitzky, R., Boustan, L. & Eriksson, K. ―Do Immigrants Assimilate More

Slowly today than in the past?. American Economic Review: Insights, vol. 2,

no. 1, 2020, h. 125-41.

Afghoni, A. ―Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan

di Makam Gunung Jati Cirebon)‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol.

13, no. 1, 2017, h. 48-64.

Agustina, I. H., Djunaedi, A., Sudaryono, S. & Suryo, D. ―Gerak Ruang Kawasan

Keraton Kasepuhan‖. Jurnal Perencanaan Wilayah dan nKota, vol. 13, no. 1,

2013, h. 8-13.

Agustina, I. H., Djunaedi, A., Sudaryono, S. & Suryo, D., ―The Perspective of

Sustainable in Relation Space at Region of Kasultanan Kasepuhan Cirebon‖,

Makalah dipresentasikan dalam International Conference ICABE di IIUM,

Kuala Lumpur, 7th–8th November, 2013.

Agustina, I. H., Hindersah, H. & Asiyawati, Y. ―Identifikasi Simbol-Simbol

Heritage Keraton Kasepuhan‖. ETHOS: Jurnal Penelitian dan Pengabdian

kepada Masyarakat, vol. 5, no. 2, 2017, h. 167-174.

Ainiyah, Qurratul. ―Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Pernikahan Islam Sebagai

Bukti Agama Berkeadilan‖. Prosiding Seminar Nasional Islam Moderat, 13

Juli 2018, h. 132-145.

al-Aoufi, H., Al-Zyoud, N. & Shahminan, N. ―Islam and the cultural

conceptualisation of disability‖. International Journal of Adolescence and

Youth, vol. 17, no. 4, 2012, h. 205-219.

Alajmi, A. ―‗Ulama and Caliphs New Understanding of the ―God's Caliph‖

term‖. Journal of Islamic Law and Culture, vol. 13, no. 1, 2011, h. 102-112.

Alatas, S. F. ―Notes on various theories regarding the Islamization of the Malay

archipelago‖. Alatas, SF (1985). Notes on Various Theories Regarding the

Islamization of the Malay Archipelago. The Muslim World, vol. 75, 1985, h.

162-175.

228

Alfirdaus, L. K., Hiariej, E. & Adeney-Risakotta, F. ―The Position of Minang-

Chinese Relationship in the History of Inter-ethnic Groups Relations in

Padang, West Sumatra‖. Jurnal Humaniora, vol. 28, no. 1, 2016, h. 79-96.

Ali, M. ―Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia‖. Explorations,

vol. 7, no. 2, 2007, h. 1-22.

Alkatiri, Z., Waworuntu, A. L., Gani, F. & De Archellie, R. ―Medan Chinese and

Their Stigma: Grabbing Power in Multicultural Society. International Review

of Humanities Studies, vol. 4, no. 1, 2019.

Andawari, M. S., Prabowo, S. & Angge, I. C. ―Makna Simbolik Ornamen Gandhik

dan Wadidang Keris Saidi‖. Jurnal Pendidikan Seni Rupa, vol. 3, no. 1, 2015,

h. 113-118.

Anna, D. N. ―Konghucu di Korea Kontemporer dan Sumbangannya Terhadap

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia‖. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, vol.

12, no. 2, 2016, h. 239-254.

Anshori, D. S. ―The Construction of Sundanese Culture in the News Discourse

Published by Local Mass Media of West Java‖. Lingua Cultura, vol. 12, no. 1,

2018, h. 31-38.

Antony, R. ―Emerging Ethnic Minority Sub-cultures: young Tamils in the Post-war

Context in the Tamil-dominated Areas in Sri Lanka‖. Ethnic and Racial

Studies, vol. 43, no. 10, 2020, h. 1909-1928.

Anwar, D. F. ―Indonesia-China Relations: Coming Full Circle?. Southeast Asian

Affairs, no. 1, 2019, h. 145-161.

Anzola, D. & Rodríguez-Cárdenas, D. ―A Model of Cultural Transmission by

Direct Instruction: An Exercise on Replication and Extension‖. Cognitive

Systems Research, vol. 52, 2018, h. 450-465.

Arifani, Anif. ―Model Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal‖, Jurnal

Ilmu Dakwah, vol. 4, no. 15, 2010, h. 849-878.

Arnason, J. P. ―Civilization, Culture and Power: Reflections on Norbert Elias'

Genealogy of the West‖. Thesis Eleven, vol. 24, no. 1, 1989, h. 44-70.

Asfari, A. & Askar, A. ―Understanding Muslim Assimilation in America: An

Exploratory Assessment of First & Second-Generation Muslims Using

Segmented Assimilation Theory‖. Journal of Muslim Minority Affairs, 2020, h.

1-18.

Attias-Donfut, C. ―Family transfers and cultural transmissions between three

generations in France‖. Global Aging and Challenges to Families, 2003, h.

214-252.

Aziz, Abdul, dkk. ―Pengelolaan Taman Wisata Goa Sunyaragi‖. Al-Musthofa:

Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 3, no. 1, 2018, h. 134-152.

Azra, Azyumardi, disampaikan dalam Webinar yang diselenggarakan PPIM Jakarta,

19 Juni 2020.

Azra, Azyumardi. ―The Indies Chinese and the Sarekat Islam: An account of the

Anti-Chinese Riots in Colonial Indonesia‖. Studia lslamika, vol. 1, no. 1, 1994,

h. 25-54.

Babb, L. A. ―Mirrored Warriors: On the Cultural Identity of Rajasthani

Traders‖. International Journal of Hindu Studies, vol. 3, no. 1, 1999, h. 1-25.

229

Bar-Gill, S. & Fershtman, C. ―Integration Policy: Cultural Transmission with

Endogenous Fertility‖. Journal of Population Economics, vol. 29, no. 1, 2016,

h. 105-133.

Barroso, C. S., Springer, A. E., Ledingham, C. M. & Kelder, S. H. ―A Qualitative

Analysis of the Social And Cultural Contexts that Shape Screen Time Use in

Latino Families Living on the US-Mexico Border‖. International Journal of

Qualitative Studies on Health and Well-being, vol. 15, no. 1, 2020, h. 1735766.

Benhabib, J. & Spiegel, M. M. ―Human capital and technology diffusion‖.

In Handbook of Economic Growth, vol. 1, 2015, h. 935-966.

Berray, M. ―A Critical Literary Review of the Melting Pot and Salad Bowl

Assimilation and Integration Theories‖. Journal of Ethnic and Cultural

Studies, vol. 6, no. 1, 2019, h. 142-151.

Berry, J. W. ―Acculturation and Adaptation in a New Society‖. International

Migration, vol. 30, 1992, h. 69-69.

Berry, J. W. ―Acculturation: Living successfully in Two Cultures‖. International

Journal of Intercultural Relations, vol. 29, no. 6, 2005, h. 697-712.

Berry, J. W. ―Achieving a Global Psychology‖. Canadian Psychology, vol. 54, no.

1, 2013, h. 55.

Berry, J. W. ―Cross‐cultural Psychology: A Symbiosis of Cultural and Comparative

Approaches‖. Asian Journal of Social Psychology, vol. 3, no. 3, 2000, h. 197-

205.

Berry, J. W. ―Globalisation and Acculturation‖. International Journal of

Intercultural Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-336.

Berry, J. W. ―Immigration, Acculturation, and Adaption‖. Applied Psychology, An

International Review, vol. 46, 1997, h. 5-68.

Berry, J. W., Kim, U., Power, S., Young, M. & Bujaki, M. ―Acculturation Attitudes

in Plural Societies‖. Applied Psychology, vol. 38, no. 2, 1989, h. 185-206.

Berumen, F. C. ―Resisting Assimilation to the Melting Pot‖. Journal of Culture and

Values in Education, vol. 2, no. 1, 2019, h. 81-95.

Bhawuk, D. P. ―The Role of Culture Theory in Cross-cultural Training: A

Multimethod Study of Culture-specific, Culture-general, and Culture Theory-

based Assimilators‖. Journal of Cross-cultural Psychology, vol. 29, no. 5,

1998, h. 630-655.

Bi, L., Ehrich, J. & Ehrich, L. C. ―Confucius as Transformational Leader: Lessons

for ESL Leadership‖. International Journal of Educational Management, vol

26, no. 4, 2012, 391-402.

Boas, F. ―History and Science in Anthropology: A Reply‖. American

Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 137-141.

Boroch, R. ―A Formal Concept of Culture in the Classification of Alfred L. Kroeber

and Clyde Kluckhohn‖. Analecta, vol. 25, no. 2, 2016.

Brandes, J. L. A. ―Eenige Officiele Stukken met Betrekking tot

Tjirebon‖. TBG, vol. 37, 1894, h. 449-488.

Brons, A., Oosterveer, P., & Wertheim-Heck, S. ―Feeding the Melting Pot:

Inclusive Strategies for the Multi-ethnic City‖. Agriculture and Human Values,

2020, h. 1-14.

230

Brown, L. E. ―Cold War, Culture Wars, War on Terror: the NEA and the art of

public diplomacy‖. Cold War History, 2020, h. 1-19.

Bucholc, M. ―Schengen and the Rosary‖ Historical Social Research/Historische

Sozialforschung, vol. 45, no. 171, 2020, h. 153-181.

Budi, B. S. ―Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon)

1972‖. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, no. 4, 2005,

h.1-8.

Budiono, G. & Vincent, A. ―Batik Industry of Indonesia: The Rise, Fall and

Prospects‖. Studies in Business & Economics, vol. 5, no. 3, 2010, h. 156-170.

Burhanudin, J. ―Converting Belief, Connecting People: The Kingdoms and the

Dynamics of Islamization in Pre-Colonial Archipelago‖. Studia Islamika, vol.

25, no. 2, 2018, h. 247-278.

Busbridge, R., Moffitt, B. & Thorburn, J. ―Cultural Marxism: Far-right Conspiracy

Theory in Australia‘s Culture Wars‖. Social Identities, 2020, h. 1-17.

Buseri, F. B. ―The Role of Chinese Ethnic in Spread of Islam in Indonesia‖.

In Proceeding of The International Seminar and Conference on Global Issues,

vol. 1, no. 1, 2015, h. 48-54.

Busro, B. & Qodim, H. ―Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di

Cirebon, Indonesia‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 14, no. 2, 2018,

h. 127-147.

Carey, P. ―Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central

Java, 1755-1825‖. Indonesia, vol. 37, 1984, h. 1-47.

Chang, Y. ―The Ming Empire: Patron of Islam in China and Southeast-West

Asia‖. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 61,

no. 2, 1988, h. 1-44.

Chen, J. R. & Li, T. Y. ―Rhythmic Character Animation: Interactive Chinese Lion

Dance‖. In SIGGRAPH Sketches, 2005, h. 72.

Cole, N. L. ―What is the Meaning of Acculturation? Understanding Acculturation

and How it Differs from Assimilation‖. 2018.

Cullum, J. & Harton, H. C. ―Cultural evolution: Interpersonal Influence, Issue

Importance, and the Development of Shared Attitudes in College Residence

Halls‖. Personality and Social Psychology Bulletin, vol. 33, no. 10, 2007, h.

1327-1339.

D. Hamdani, ―Cultural System of Cirebonese People: Tradition of Muludan in the

Kanoman Kraton Indonesian‖. Journal of Social Sciences, vol. 4, no. 1, 2012

11-22.

Daniel, C. ―Language Policies, Immigrant Assimilation, and Minority Group

Advancement in the United States‖. In Handbook of the Changing World

Language Map, 2020, h. 2237-2259.

Daoshan, M. ―The Distribution and Feature Checking of Interrogative Sentences in

Tao Te Ching‖. Linguistics, vol. 4, no. 6, 2016, h. 230-236.

Darheni, N. ―The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese

Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of

Chinese with Javanese Culture‖. In The 1st International Seminar on

Language, Literature and Education, KnE Social Sciences, 2018, h. 663-686.

231

Dato-on, M. C. ―Cultural Assimilation and Consumption Behaviors: A

Methodological Investigation‖. Journal of Managerial Issues, 2000, h. 427-

445.

Daud, Ilyas. ―Surga di dalam Hadis‖. Farabi: Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang

Filsafat dan Dakwah, vol. 18. no. 2, 2018, h. 1-13.

Dawis, A. ―Chinese Education in Indonesia: Developments in the Post-1998

Era‖. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, h. 75-96.

Deviani, F. T. ―Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan

Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)‖. Tamaddun,

vol. 4, no. 1, 2016, h. 123-146.

Dewey, J. ―Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning‖. The

Journal of Philosophy, vol. 43, no. 4, 1964, h. 85-95.

Dewi, H. I. dan Anisa, ―Akulturasi Budaya pada Perkembangan Kraton Kasepuhan

Cirebon‖. Proceeding PESAT Universitas Gunadarma Depok, vol. 3, 2009.

Diehl, C. ―Assimilation without groups?. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 13,

2019, h. 2297-2301.

Diprose, R. & Azca, M. N. ―Conflict Management in Indonesia‘s Post-authoritarian

Democracy: Resource Contestation, Power Dynamics and

Brokerage‖. Conflict, Security & Development, vol. 20, no. 1, 2020, h. 191-

221.

Djajadiningrat, P. H. ―Kanttekeningen bij, Het Javaanse rijk Tjerbon in de eerste

eeuwen van zijn bestaan‖. (Nr. 1487). Bijdragen tot de taal-, land-en

volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia,

vol. 113, no. 4, 1957, h. 380-392.

Djakfar, M. ―Corporate Social Responsibilty: Aktualisasi Ajaran Ihsan dalam

Bisnis‖. Ulul Albab, vol 11, no. 1, 2010, h. 111-130.

Dorian, J. P., Wigdortz, B. & Gladney, D. ―Central Asia and Xinjiang, China:

Emerging Energy, Economic and Ethnic Relations‖. Central Asian Survey, vol.

16, no. 4, 1997, h. 461-486.

Emalia, Imas. ―Geliat Ekonomi Kelas Menengah Muslim di Cirebon: Dinamika

Industri Batik Trusmi 1900-1980‖. Al-Turas, vol. XXIII, no. 2, 2017, h. 211-

230.

Erwantoro, H. ―Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon‖. Patanjala, vol. 4, no. 1, 2012,

h. 166-179.

Evans, R. ―Interpreting family struggles in West Africa across Majority-Minority

world Boundaries: Tensions and Possibilities‖. Gender, Place & Culture, vol.

27, no. 5, 2020, h. 717-732.

Fakhruddin, ―Eksistensi Syahadat dan Shalawat dalam Prespektif Tarekat Asy-

Syahadatain‖. Jurnal Yaqzhan: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan,

vol. 4, no. 2, 2018, h. 242-267.

Fang, Tony. ―Yin Yang: A new perspective on culture‖. Management and

organization Review, vol. 8, no. 1, 2012, h. 25-50.

Fauzan, M. ―Selubung Historiografi Syekh Maulana Maghribi, Wonobodro‖. Jurnal

Penelitian, vol. 12, no. 2, 2015, h. 261-281.

Firth, Shirley. ―End-of-life: a Hindu view‖. The Lancet, vol. 366, no. 9486, 2005, h.

682-686.

232

Fitri, R. F. R. ―Simbol Bangunan pada Komplek Gapura, Masjid dan Makam

Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa

Timur‖. Jurnal Penelitian, Universitas Airlangga, 2018, h. 1-10.

Foltarz, A. ―Symbols, Signs, Messages in Ergonomics of Social Space‖. Human-

Centered Computing: Cognitive, Social, and Ergonomic Aspects, vol. 3, 2019,

h. 200.

Fournié, Pierre. ―Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New

Destination for International Pilgrimage‖. International Journal of Religious

Tourism and Pilgrimage, 7, no. 4, 2019, h. 77-86.

Freed, S. A. & Freed, R. S. ―Clark Wissler and the Development of Anthropology

in the United States‖. American Anthropologist, vol. 85, no. 4, 1983, h. 800-

825.

Freedman, A. ―Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in

Indonesia‖. Asian Ethnicity, vol. 4, no. 3, 2003, h. 439-452.

Futaqi, Sauqi. ―Konstruksi Moderasi Islam (Wasathiyyah) dalam Kurikulum

Pendidikan Islam‖. In 2nd Proceedings; Annual Conference for Muslim

Scholars, UIN Sunan Ampel Surabaya, 21-22 April 2018, h. 521-530.

Ghazali, S., Mapjabil, J., Nor, A., Samat, N. & Jaafar, J. ―Difusi Ruangan Budaya

Transeksualisme dan Imaginasi Geografi Pelajar Lelaki Berpenampilan Silang

di Universiti Tempatan Malaysia‖. E-Bangi Journal of Social Science and

Humanities, vol. 7, no. 1, 2012, h. 252-266.

Gong, X. ―The Belt & Road Initiative and China‘s influence in Southeast

Asia‖. The Pacific Review, vol. 32, no. 4, 2019, h. 635-665.

Gottdiener, M. ―Hegemony and Mass Culture: A semiotic approach‖. American

Journal of Sociology, vol. 90, no. 5, 1985, h. 979-1001.

Gu, Chien-Juh. ―Qualitative Interviewing in Ethnic-Chinese Contexts: Reflections

From Researching Taiwanese Immigrants in the United States‖. International

Journal of Qualitative Methods, vol. 19, 2020.

Guoqing, Y. ―History of Taoism‖. Rituals and Practices in World Religions: Cross-

Cultural Scholarship to Inform Research and Clinical Contexts, vol. 5, 2019,

h. 99-112.

Gürpinar, G. ―Foreign Policy as a Contested Front of the Cultural Wars in

Turkey‖. Uluslararası İlişkiler/International Relations, vol. 17, no. 65, 2020,

h. 3-21.

Haake, A. ―The Role of Symmetry in Javanese Batik Patterns‖. Computers &

Mathematics with Applications, vol. 17, no. 4-6, 1989, h. 815-826.

Habibi, H. ―Protecting National Identity Based on the Value of Nation Local

Wisdom‖. International Journal of Malay-Nusantara Studies, vol. 1, no. 2,

2018, h. 24-40.

Hadinoto, ―Lingkungan Pecinan dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa

Kolonial‖, dalam Mahdun, ―Konflik Cina-Pribumi dan Dampaknya Bagi

Pertumbuhan Industri Batik di Trusmi 1948‖. Jurnal Tamaddun, vol. 5, no. 2,

2017, h. 76-93.

Hanapi, Mohd Shukri. ―The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic

Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia‖. In

233

International Journal of Humanities and Social Science, vol. 4, no. 9, 2014, h.

51-62.

Hanggara, A. ―Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia‖. Jurnal Equilibrium, vol.

14, no. 02, 2016, h. 71.

Hannigan, T. P. ―Traits, Attitudes, and Skills that are Related to Intercultural

Effectiveness and their Implications for Cross-cultural Training: A Review of

the Literature‖. International Journal of Intercultural Relations, vol. 14, no. 1,

1990, h. 89-111.

Hao, L. ―Goodness: The Ultimate Integration of Confucianism, Buddhism and

Taoism in China‖. In Proceedings of the XXIII World Congress of Philosophy,

vol. 12, 2018, h. 143-147.

Hardwick, P. A. ―Horsing around Melayu: Kuda kepang, Islamic piety, and identity

politics at play in Singapore‘s Malay community‖. Journal of the Malaysian

Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 87, no. 306, 2014, h. 1-19.

Hariadi, Y., Lukman, M. & Haldani, A. ―Batik Fractal: From Traditional Art to

Modern Complexity‖. In Proceeding Generative Art X Milan Italia, 2007, h. 1-

10.

Hariyanto, O. I. ―The Meaning of Offering Local Wisdom in Ritual Panjang

Jimat‖. International Journal of Scientific & Technology Research, vol. 6, no.

6, 2017.

Hariyati, N. ―Islamic Education in the Prespective of Islamic Nusantara‖.

In International Conference on Language, Education, Economic and Social

Science, vol. 1, no. 1, 2019, h. 125-134.

Hasanah, A., Gustini, N. & Rohaniawati, D. ―Cultivating Character Education

Based on Sundanese Culture Local Wisdom‖. Jurnal Pendidikan Islam, vol. 2,

no. 2, 2016, h. 231-253.

Hasiah, ―Mengintip Prilaku Sombong dalam Al-Quran‖. Jurnal El-Qanuny, vol. 4,

no. 2, 2018, h. 185-200.

Hassan, ―Islamic tourism: The Concept and the Reality‖. Islamic Tourism, vol. 14,

no. 2, 2004, h. 35-45.

Hassan, F. ―A Comparative Approach to Common Ground between Buddhism and

Islam‖. European Journal of Scientific Research, vol. 71, no. 4, 2012, h. 514-

519.

Hattenhauer, D. ―The Rhetoric of Architecture: A Semiotic

Approach‖. Communication Quarterly, vol. 32, no. 1, 1984, h. 71-77.

Hayhoe, R. ―Encountering Chinese Culture Over Changing Times‖. Education

Journal, vol. 47, no. 2, 2019, h. 1-22.

Hedges, S. ―Interior Decoration to Exterior Surface: The Beleaguered

Relief‖. Interiority, vol. 2, no. 1, 2019, h. 79-93.

Heidhues, M. S. ―Studying the Chinese in Indonesia: A long half-

century‖. SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 32, no. 3,

2017, h. 601-633.

Hendro, E. P. ―Perkembangan Morfologi Kota Cirebon dari Masa Kerajaan Hingga

Akhir Masa Kolonial‖. Paramita, vol. 24, no. 1, 2014, h. 17-30.

Hermkens, A. K. ―Gendered Objects: Embodiments of Colonial Collecting in Dutch

New Guinea‖. The Journal of Pacific History, vol. 42, no. 1, 2007, h. 1-20.

234

Herskovits, M. J. ―The Significance of the Study of Acculturation for

Anthropology‖. American Anthropologist, vol. 39, no. 2, 1937, h. 259-264.

Herwiratno, M. ―Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan

Kebudayaan Tionghoa di Indonesia‖. Lingua Cultura, vol. 1, no. 1, 2007, h.

78-86.

Hilmy, Masdar. ―Whither Indonesia‘s Islamic Moderatism? A reexamination on the

moderate vision of Muhammadiyah and NU‖. Journal of Indonesian

Islam, vol. 7, no. 1, 2013, h. 24-48.

Himatul Istiqomah dan Muhammad Ihsan Sholeh, ―The Concept of Buraq in The

Events of Isra Mi‘raj: Literature and Physics Perspective‖. AJIS: Academic

Journal of Islamic Studies, vol. 5, no. 1, 2020, h. 53-67.

HK, Aditya A. Putri & Soetejab, Zakarias S. ―Analysis of the Meaning of

Ciwaringin Batik Motifs Cirebon‖. The International Seminar QUOVADIS of

Traditional Arts XIII “Diversity in Culture”, 2017, h. 1-8.

HK, Aditya A. Putri & Wulandari, Desi. ―Analisis Makna Motif Batik Ciwaringin

Cirebon‖. Seminar Nasional Seni dan Desain: Reinvensi Budaya Visual

Nusantara, Jurusan Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri

Surabaya, 2019, h. 35-40.

Hoadley, M. C. ―Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing

Ethnic Boundaries.‖ The Journal of Asian Studies, vol. 47, no. 3, 1988, h. 503-

517.

Hodgson, G. ―Keris Types and Terms‖. Journal of the Malayan Branch of the Royal

Asiatic Society, vol. 29, no. 4. 176, 1965, h. 68-90.

Hoebel, E. A. ―Anthropology in Education‖. Yearbook of Anthropology, 1955, h.

391-395.

Hoebel, E. A. ―Karl Llewellyn: Anthropological Jurisprude‖. Rutgers Law

Review, vol. 18, 1963, h. 735.

Hoon, C. Y. ―Assimilation, multiculturalism, hybridity: The dilemmas of the ethnic

Chinese in post-Suharto Indonesia‖. Asian Ethnicity, vol. 7, no. 2, 2006, h.

149-166.

Houser, N. ―Toward a Peircean Semiotic Theory of Learning‖. The American

Journal of Semiotics, vol. 5 no. 2, 2008, h. 251-274.

Howard, M. C., ―Dress and ethnic identity in Irian Jaya‖. Journal of Social Issues in

Southeast Asia, 2000, h. 1-29.

Hubley, C., Hayes, J., Harvey, M., & Musto, S. ―To the victors go the existential

spoils: The mental-health benefits of cultural worldview defense for people

who successfully meet cultural standards and valued goals‖. Journal of Social

and Clinical Psychology, vol. 39, no. 4, 2020, h. 276-314.

Humaedi, M. A. ―Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon‖. Humaniora, vol. 25, no. 3,

2013, h. 281-285.

Ibrahim, A. ―Islam in Southeast Asia‖. Ar Raniry: International Journal of Islamic

Studies, vol. 5, no. 1, 2018, h. 40-52.

Iliopoulos, A. ―Early body ornamentation as Ego-culture: Tracing the co-evolution

of aesthetic ideals and cultural identity‖. Semiotica, no. 232, 2020, h. 187-233.

235

Imamuddin, S. M. ―Arab Mariners and Islam in China (Under the Tang Dynasty

618-906 AC)‖. Journal of the Pakistan Historical Society, vol. 32, no. 3, 1984,

h. 155.

Indika, D. R. ―Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin‖, dalam Pembangunan dengan

Berbasiskan Budaya dan Kearifan (Pengembalian Citra Keraton sebagai

Pusat Kebudayaan dan Ekonomi Cirebon, ISEI Economic Review, vol II, no. 1,

2018, h. 1-7.

Iryana, Wahyu. ―Perjuangan Rakyat Cirebon-Indramayu Melawan Imperialisme‖.

At-Tsaqafah, vol. 17, no. 2, 2020, h. 373-381.

Islam, M. ―Data Analysis: Types, Process, Methods, Techniques and Tools‖.

International Journal on Data Science and Technology, vol. 6, no. 10, h. 2020.

Ismail, Ahmad Munawar. ―Aqidah as a Basic Of Social Toleranca: The Malaysian

Experience‖. International Journal of Islamic Thought, vol. 1, 2012, h. 1-7.

Ismail, K. ―Imperialism, Colonialism and their Contribution to the Formation of

Malay and Chinese Ethnicity: An Historical Analysis‖. Intellectual

Discourse, vol. 28, no. 1, 2020, h. 171-193.

Jacobsen, M. ―Islam and Processes of Minorisation among Ethnic Chinese in

Indonesia: Oscillating between Faith and Political Economic Expediency‖.

Asian Ethnicity, vol. 6, no. 2, 2005, h. 71-87.

Jaeger, Stefan. ―A geomedical approach to chinese medicine: the origin of the Yin-

Yang symbol‖. Recent Advances in Theories and Practice of Chinese

Medicine, 2012, h. 29-44.

Jaelani, A. ―Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme and

Creative Economy‖. Journal of Economics and Political Economy (JEPE), vol.

3, no. 2, 2016, h. 264-283.

Jaelani, A., Setyawan, E. dan Nursyamsudin, ―Religi, Budaya Dan Ekonomi

Kreatif: Prospek dan Pengembangan Pariwisata Halal di Cirebon‖. Al-

Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 2, no. 2, 2017, h.

101-122.

Jahangir, J. S., ―Mappila Experience: Assimilation of Cultures and Legacy of Islam

in Kerala‖. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 3, 2020, h. 2540-2547.

Jiang, Xinyan. ―Chinese dialectical thinking—the yin yang model‖. Philosophy

Compass, vol. 8, no. 5, 2013, h. 438-446.

Joedawinata, A. ―Unsur-unsur Pemandu dan Kontribusinya dalam Peristiwa

Perwujudan Sosok Artefak Tradisional dengan Indikasiindikasi Lokal yang

Dikandung dan Dipancarkannya (Studi dalam Konteks Keilmuan Seni Rupa,

Kriya dan Desain dengan Cirebon dan Artefak Kriya Anyaman Wadah-

wadahan Sebagai Kasus)‖. ITB, 2005.

Kaliki, N. ―The Symbol of Traditional Cloths of Kabasaran Dance‖. Linguistic

Journal, vol. 6, no. 1, 2018, h. 30-40.

Kasdi, Abdurrohman. ―The Role of Walisongo in Developing the Islam Nusantara

Civilization‖. Addin, vol. 11, no. 1, 2017, h. 1-26.

Kavaler, E. M. ―Ornament and Systems of Ordering in the Sixteenth-Century

Netherlands‖. Renaissance Quarterly, vol. 72, no. 4, 2019, h. 1269-1325.

236

Khisni, A. & Handayani, I. G. A. K. R. ―The Transformation of Islamic Law Into

the National Legislation‖. Journal of Talent Development and Excellence, vol.

12, no. 2s, 2020, h. 1275-1281.

Kroeber, A. L. & Kluckhohn, C. ―Culture: A Critical Review of Concepts and

Definitions‖. Papers: Peabody Museum of Archaeology & Ethnology, Harvard

University, vol. 47, no. 1, 1952, h. viii.

Kumala, Olivia Dwi, dkk. ―Efektifitas Pelatihan Dzikir dalam Meningkatkan

Ketenangan Jiwa pada Lansia Penderita Hipertensi‖. Psympathic: Jurnal

Ilmiah Psikologi, vol. 4, no. 1, Juni 2017, h. 55-66.

Kuntjara, E. & Hoon, C. Y. ―Reassessing Chinese Indonesian stereotypes: two

decades after Reformasi‖. South East Asia Research, 2020, h. 1-18.

Kuo, H. Y. ―South Seas Chinese in Colonial‖. Framing Asian Studies: Geopolitics

and Institutions, 2018, h. 231.

Kurniadi, E. ―Structuralism Approach: Symbolism of Traditional Batik Pattern of

Javanese Traditional Clothes In Surakarta‖. In 3rd International Conference on

Creative Media, Design and Technology (REKA 2018), (Atlantis Press, 2018).

Kurnianto R. & Lestarini, N. ―Integration of Local Wisdom in Education‖.

In International Seminar on Education, 2020, h. 557-563.

Kurniawan, H. ―Ethnic Chinese during the New Order: Teaching Materials

Development for History Learning based on Multiculturalism‖. Paramita:

Historical Studies Journal, vol. 30, no. 1, 2020, h. 46-54.

Kurniawan, H. ―The Role of Chinese in Coming of Islam to Indonesia: Teaching

Materials Development Based on Multiculturalism‖. Paramita: Historical

Studies Journal, vol. 27, no. 2, 2017, h. 238-248.

Kustedja, Sugiri, dkk. ―Feng-Shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional‖.

Melintas, vol 28, no. 1. 2012, h. 61-89.

Kustedja, Sugiri, dkk. ―Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur

Tradisional Tionghoa‖. Jurnal Sosioteknologi, ed. 30, thn. 12, 2013, h. 526-

539.

Larkin, B., Meyer, B. & Akyeampong, E. K. ―Pentecostalism, Islam &

Culture‖. Themes in West Africa's History, 2006, h. 286-312.

Larsen, T. ―EB Tylor, Religion and Anthropology‖. The British Journal for the

History of Science, 2013, h. 467-485.

Lasmiyati, ―Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya)‖.

Patanjala, vol. 5, no. 1, 2013, h. 131-146.

Laufer, B. ―Post Scriptum‖. In F. C. Cole, Chinese Pottery in the Philippines, Field

Museum of Natural History, Anthropological Series, vol. XII, no. 1, 1912.

Lawrence, R. K., Edwards, M., Chan, G. W., Cox, J. A. & Goodhew, S. C. ―Does

Cultural Background Predict the Spatial Distribution of Attention?. Culture

and Brain, 2019, h. 1-29.

Lee, J. ―Promoting Majority Culture and Excluding External Ethnic Influences:

China‘s Strategy for the UNESCO ‗intangible‘cultural heritage list. Social

Identities, vol. 26, no. 1, 2020, h. 61-76.

Leijten, J. ―Mauro Jambi, the Capital of Srivijaya: According to the writings of I-

Tsing, Chau Ju-kua and Resent‖. Studies and Archaeological Findings, 2017,

h. 1-44.

237

Lestari, S. N. & Wiratama, N. S. ―The dark side of the Lasem maritime industry:

Chinese power in opium business in the XIX century‖. Journal of Maritime

Studies and National Integration, vol. 2, no. 2, 2018, h. 91-100.

Li, M. ―Performing Chineseness: The Lion Dance in Newfoundland‖. Asian

Ethnology, vol. 76, no. 2, 2017, h. 289-317.

Liang, H. ―Jung and Chinese Religions: Buddhism and Taoism‖. Pastoral

Psychology, vol. 61, no. 5-6, 2012, h. 747-758.

Lievander, David., Olivia, dan Chun-I, Kuo. ―Ritual Perayaan Imlek Etnis Tionghoa

Di Kota Toli-toli‖. Century: Journal of Chinese Language, Literature and

Culture, vol. 5, no. 1, 2017, h. 10-17.

Lim, L. Y. ―Southeast Asian Chinese business: Past success, recent crisis and future

evolution‖. Business, Government and Labor: Essays on Economic

Development in Singapore and Southeast Asia, 2017, h. 313.

Linton, R. The Study of Man: An Introduction, (Appleton-Century, 1936).

Lissoni, F. ―International Migration and Innovation Diffusion: An Eclectic

Survey‖. Regional Studies, vol. 52, no. 5, 2018, h. 702-714.

Lizardo, O. ―Simmel‘s Dialectic of Form and Content in Recent Work in Cultural

Sociology‖. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2,

2019, h. 93-100.

Lobja, E., Umaternate, A., Pangalila, T., Karwur, H. & Burdam, Y. ―The

Reconstruction of Cultural Values and Local Wisdom of the Tombulu Sub-

Ethnic of Minahasa Community in the Walian Village of Tomohon City‖.

In International Conference on Social Science 2019 (ICSS 2019), (Atlantis

Press, 2019).

Lombard, D. & Salmon, C. ―Islam and Chineseness‖. Indonesia, no. 57, 1993, h.

115-131.

Lombard, D. ―H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the

15th and 16th Centuries‖. Archipel, vol. 32, no. 1, 1986, h. 186-187.

Lombard, D. ―Jardins à Java‖. Arts Asiatiques, vol. 20, 1969, h. 135-183.

Lone, M. A. ―Towards A Sociology of Assimilation: Concept, Theory, Debate and

Practice in Cultural Anthropology‖. Asian Journal of Research in Social

Sciences and Humanities, vol. 3, no. 12, 2013, h. 131-166.

Lubis, N. H., Sulaeman, A., Munaf, Y. & M. R. Razman, ―Islamization of the

Sunda Kingdom‖. International Information Institute (Tokyo),

Information, vol. 21, no. 4, 2018, h. 1349-1357.

Lubis, S. & Buana, R. ―Stereotypes and Prejudices in Communication between

Chinese Ethnic and Indigenous Moslem in Medan City, North Sumatra

Province–Indonesia‖. Britain International of Humanities and Social Sciences

(BIoHS) Journal, vol. 2, no. 2, 2020, h. 513-522.

Made, J. E. ―Sacrifice in African Traditional Religion: Differential Faith Issues in

Religions‖. Journal of Religion and Human Relations, vol. 8, no. 1, 2016, h.

20-35.

Mahfud, C. ―The Role of Cheng Ho Mosque: The New Silk Road, Indonesia-China

Relations in Islamic Cultural Identity‖. Journal of Indonesian Islam, vol. 8, no.

1, 2014, h. 23-38.

238

Majchrzyk, Z. ―Cultural Identity and Aggression within the Acculturation

Framework of the Global World‖. Sveikatos, vol. 29, no. 1, 2019, h. 56.

Manalu, H. P. ―Adat Batak Ditinjau dari Perspektif Iman Kristen‖. Haggadah,

vol. 1, no. 1, 2020, h. 32-41.

Marett, R. R. ―Presidential Address. The Transvaluation of Culture‖. Folklore, vol.

29, no. 1, 1918, h. 15-33.

Marrison, G. E. ―The coming of Islam to the East Indies‖. Journal of the Malayan

Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 24, no. 1, 1951, h. 28-37.

Masduqi, Z. ―Penggunaan Dinar-Dirham dan Fulus: Upaya Menggali Tradisi yang

Hilang (Studi Kasus di Wilayah Cirebon)‖. Holistik, vol. 13, no. 2, 2012.

Maulana, R. ―Dakwah dan Etnisitas: Negosiasi Identitas pada Majalah Cheng

Hoo‖. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, vol. 19, no. 1, 2013, h. 25-39.

McCole, J. ―Georg Simmel: Decentering the Self and Recovering Authentic

Individuality‖. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no.

2, 2019, h. 151-162.

McGuire, C. ―The Rhythm of Combat: Understanding the Role of Music in

Performances of Traditional Chinese Martial Arts and Lion Dance‖.

MUSICultures, vol. 42, no. 1, 2015, h. 2-23.

Mennell, S. & Rundell, J. ―Introduction: Civilization, Culture and the Human Self-

image‖. In Classical Readings on Culture and Civilization, (Routledge, 2017).

Min, Li. ―The Trans-Pacific Extension of Porcelain Trade in the Early Modern Era:

Cultural Transformations Across Pacific Space‖. In P. K. Cheng (ed.),

Proceeding of the International Symposium: Chinese Export Ceramics in the

16th and 17th Centuries and the Spread of Material Civilisation, (Hong Kong:

The City University, 2012).

Ming-ze, Y. U. A. N. ―A Survey on the Relationship History between Buddhism

and Taoism in Southeast Guangxi‖. Journal of Yulin Normal University, no. 1,

2016, h. 5.

Monica, ―Feng Shui dalam Mendesain Logo‖. Humaniora, vol. 2, no. 1, 2011, h.

132-138.

Muas, T. E. ―Restoring Trusts without Losing Face: An Episode in the History of

China–Indonesia Relationship‖. Tawarikh, vol. 6, no. 2, 2015.

Muchomba, F. M., Jiang, N. & Kaushal, N. ―Culture, labor supply, and fertility

across immigrant generations in the United States‖. Feminist Economics, vol.

26, no. 1, 2020, h. 154-178.

Muffid, Mudhofar, dkk. ―Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung

Sang Cipta Rasa Cirebon‖. Modul , vol. 14, no. 2, 2014, h. 65-70.

Mulyono, ―Keistimewaan Istiqomah dalam Perspektif Al-Quran‖. Imtiyaz, vol. 4,

no. 01, 2020, h. 1-15.

Mulyono, Grace dan Thamrin, Diana. ―Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng

Kwan Sing Bio di Tuban‖. Dimensi Interior, vol. 6, no. 1, 2008, h. 1-8.

Mustajab, Ali. ―Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap China Tionghoa di Indonesia‖.

IN RIGHT, vol. 5, no. 1, 2015, h. 153-193.

Muzakki, A. ―Ethnic Chinese Muslims in Indonesia: An Unfinished Anti-

Discrimination Project‖. Journal of Muslim Minority Affairs, vol. 30, no. 1,

2010, h. 81-96.

239

Muzzaki, A. ―Cheng Hoo Mosque: Assimilating Chinese Culture, Distancing it

from the State‖. London, UK: Crise Working Paper, no. 71, 2010, h. 1-29.

Narawati, T. ―Arts and Design Education for Character Building‖. In International

Conference on Arts and Design Education (ICADE 2018), (Atlantis Press,

2019).

Nawyn, S. J. & Park, J. ―Gendered segmented assimilation: earnings trajectories of

African immigrant women and men‖. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 2,

2019, h. 216-234.

Nettle, D. ―Selection, Adaptation, Inheritance and Design in Human Culture: The

view from the Price Equation‖. Philosophical Transactions of the Royal

Society, vol. 375, no. 1797, 2020, h. 20190358.

Ngafifi, M. ―Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial

Budaya‖. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, vol. 2, no.

1, 2014, h. 33-47.

Nowak, M. ―The Funnel Beaker Culture in Western Lesser Poland: Yesterday and

Today‖. Archaeologia Polona, vol. 57, 2019.

Nurhidayat, M. & Herlambang, Y. ―Visual Analysis of Ornament Kereta Paksi

Naga Liman Cirebon‖. Bandung Creative Movement Journal, vol. 4, no. 2,

2018.

Nursalim, A. & Sulastianto, H. ―Dekonstruksi Motif Batik Keraton Cirebon:

Pengaruh Ragam Hias Keraton pada Motif Batik Cirebon‖. Jurnal Penelitian

Pendidikan, vol. 15, no. 1, 2016, h. 27-40.

Nursalim, A. T., Rohidi, R., Triyanto, T. & Iswidiarti, S. ―Batik Wadasan Motif,

Past and Present‖. In Proceeding of International Conference on Art,

Language, and Culture, 2017. h. 215-225.

Nurudin, N. & Nurfalah, F. Communication Marketing of Youth and Sport

Department of Culture and Tourism in the Water Park Cave Sunyaragi Cirebon

City, West Java, Indonesia. In International Symposium on Social Sciences,

Education, and Humanities (ISSEH 2018), vol. 306, (Atlantis Press, 2019), h.

31-34.

Odewale, A. ―An Archaeology of Struggle: Material Remnants of a Double

Consciousness in the American South and Danish Caribbean

Communities‖. Transforming Anthropology, vol. 27, no. 2, 2019, h. 114-132.

Okoro, N. K. ―Oriental Traditions [Taoism]: A Critical Option for Peace Building

Initiative in the Contemporary Society‖. Journal of Social Research, vol. 1, no.

4. 2017.

Olson, K. E., O‘Brien, M. A., Rogers, W. A. & Charness, N. ―Diffusion of

Technology: Frequency of Use for Younger and Older Adults‖. Ageing

International, vol. 36, no. 1, 2011, h. 123-145.

Pakkanen, J., Brysbaert, A., Turner, D. & Boswinkel, Y. ―Efficient three-

dimensional field documentation methods for labour cost studies: Case studies

from archaeological and heritage contexts‖. Digital Applications in

Archaeology and Cultural Heritage, vol. 17, 2020, h. 1-10.

Parisi, D., Cecconi, F. & Natale, F. ―Cultural Change in Spatial Environments: the

Role of cultural assimilation and internal changes in cultures. Journal of

Conflict Resolution, vol. 47, no. 2, 2003, h. 163-179.

240

Parks, J. ―Defending the American Way of Life: Sport, Culture, and the Cold War

ed. by Toby C. Rider‖. Journal of Arizona History, vol. 60, no. 3, 2019, h. 388-

390.

Parmono, K. ―Simbolisme Batik Tradisional‖. Jurnal Filsafat, vol. 1, no. 1, 1995, h.

28-35.

Pathak, P. & Vadiya, S. ―Role of Employee Assimilation in Controlling Job

Hopping–An Empirical Study‖. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 8,

2020, h. 297-307.

Patimah, Iin, dkk. ―Pengaruh Relaksasi Dzikir Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien

Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa‖. Jurnal Keperawatan

Padjajaran, vol. 3, no. 1, 2015, h. 18-24.

Patria, A. S. ―Dutch Batik Motifs: The Role of The Ruler and The Dutch

Bussinesman‖. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, vol. 16,

no. 2, 2016, h. 125-132.

Pavlyshyn, L., Voronkova, O., Yakutina, M. & Tesleva, E. ―Ethical Problems

Concernig Dialectic Interaction of Culture and Civilization‖. Journal of Social

Studies Education Research, vol. 10, no. 3, 2019, h. 236-248.

Piliang, Y. A. ―Semiotik Teks: Sebuah Pendekatan Analisis Teks‖. Jurnal

Komunikasi, vol. 5, no. 2, 2004, h.189-198.

Pirazzoli-T‘Serstevens, M. ―Une Denrée Recherchée: la Céramique Chinoise

Importée dans le Golfe Arabo-persique, IXe–XIV

e Siècles‖. Mirabilia Asiatica,

vol. 2, 2005, h. 69-88.

Poerwanto, Hari. ―Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional‖. Humaniora, vol.

11, no. 3, 1999, h. 29-37.

Poerwanto, Hari. Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu).

Pope, C. & Allen, D. ―Observational Methods‖. Qualitative Research in Health

Care, 2020, h. 67-81.

Prima Yustana, ―Gajah dalam Terakota Majapahit‖. Jurnal Dewa Ruci, vol. 7, no. 1,

2011, h. 102-114.

Ptak, R. ―China and the Trade in Cloves, circa 960-1435‖. Journal of the American

Oriental Society, 1993, h. 1-13.

Purwati, E. & Rusydiyah, E. F. ―Transformative Islamic Education of Convert

Chinese Muslim‖. Journal of Talent Development and Excellence, vol. 12, no.

1, 2020, h. 164-178.

Putra, Bintang Hanggoro. ―Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai bagi Masyarakat

Etnis Cina Semarang‖. Harmonia, vol. IX, no. 1, 2009, h. 1-11.

Qian, L. & Garner, M. ―A Literature Survey of Conceptions of the Role of Culture

in Foreign Language Education in China (1980–2014)‖. Intercultural

Education, vol. 30, no. 2, 2019, h. 159-179.

Queiroz, J. & Stjernfelt, F. ―Introduction: Peirce‘s Extended Theory and

Classifications of Signs‖. Semiotica, vol. 2019, no. 228, 2019, h. 1-2.

al Qurtuby, S. ―The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in

Pre-Modern Java‖. Studia Islamika, vol. 15, no. 1, 2009, h. 51-78.

al Qurtuby, S. ―Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-

Kolonial Belanda‖. Konfrontasi, vol. 1, no. 2, 2012, h. 69-90.

241

al Qurtuby, S. ―Melaka, Cheng Ho, dan Kesadaran Sejarah Kita‖, Malaysia,

Konferensi Internasional Bertajuk “Zheng He and Afro-Asian World”, 5

Januari 2014.

al Qurtuby, S. ―The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‘s

Past‖. Zheng He and the Afro-Asian World, h. 171-186.

Rachim, A. ―Al Adah Muhakkamah‖. Al-Mawarid Journal of Islamic Law, vol. 4,

1995, h. 8-13.

Rahma, A., Jaenudin, J. & Marifatullah, A. ―Living a Multicultural Lifestyle with

Batik: Identity, Representation, Significance‖. In International Conference on

Culture and Language in Southeast Asia (ICCLAS 2017), vol. 154, (Atlantis

Press, 2017).

Rahmat, Munawar. ―Manusia Menurut Alquran‖. Ta‟lim, vol. 10, no. 2, 2012, h.

105-122.

Rahmawati, R., Yahiji, K., Mahfud, C., Alfin, J. & Koiri, M. ―Chinese Ways of

Being Good Muslim: Fom the Cheng Hoo Mosque to Islamic Education and

Media Literacy‖. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 8, no.

2, 2018, h. 225-252.

Rasyidian, Firda, dkk. ―Spatial Principles and Ornamentsation on Water Garden

Relics of Kesultanan Cirebon: Case Student Witana Water Garden, Pakungwati

Water Garden, and Sunyaragi Water Garden‖. Jurnal Risa, vol. 03, no. 04,

2019, h. 363-380.

Ratnapalan, L. ―EB Tylor and the Problem of Primitive Culture‖. History and

Anthropology, vol. 19, no. 2, 2008, h. 131-142.

Ratnapuri, C. I. ―Chinese Ethnic Perspective on the Confucius Values of Leadership

in West Java Fuqing Organization‖. Pertanika Journal of Social Sciences &

Humanities, vol. 28, 2020.

Ratnawati, R., Syah, I. & Arif, S. ―Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia

tentang Dwikewarganegaraan Etnis Tionghoa pada Masa Demokrasi

Liberal‖. Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, vo. 1, no. 1, 2013, h. 1-8.

Razi, Fahrur. ―NU dan Kontinuitas Dakwah Kultural‖. Jurnal Komunikasi Islam,

vol. 01, no. 02, 2011, h. 161-172.

Redfield, R., Linton, R. & Herskovits, M. J. ―Memorandum for the Study of

Acculturation‖. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 149-152.

Reid, A. ―The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth

Centuries‖. Journal of Southeast Asian Studies, vol. 11, no. 2, 1980, h. 235-

250.

Ritter, W. ―Recreation and tourism in the Islamic countries‖. Ekistics, 1975, h. 56-

59.

Riyanti, M. T. & Rouselyn, M. ―The Influence of Art Motif Batik Mega Mendung

Cirebon to Fesyen in Jakarta‖. International Journal of Research of

Granthaalayah, vol. 6, no. 3, 2018, h. 107-125.

Rizaldi, D. ―Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown

Bandung‖. International Journal Pedagogy of Social Studies, vol. 3, no. 2,

2018, h. 133-141.

Rohman, A. ―Chinese–Indonesian Cultural and Religious Diplomacy‖. Journal of

Integrative International Relations, vol. 4, no. 1, 2019, h. 1-24.

242

Rohmanu, A. ―Acculturation of Javanese and Malay Islam in Wedding Tradition of

Javanese Ethnic Community at Selangor, Malaysia‖. KARSA: Journal of Social

and Islamic Culture, vol. 24, no. 1, 2016, h. 52-66.

Rokhani, U., Salam, A. & Rochani-Adi, I. ―Konstruksi Identitas Tionghoa melalui

Difusi Budaya Gambang Kromong: Studi Kasus Film Dikumenter Anak Naga

Beranak Naga‖. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing

Arts), vol. 16, no. 3, 141-152.

Rokhman, M. N. & Yuliana, L. ―History Learning at Secondary School about

Demak Kingdom‖. Journal of Social Studies (JSS), vol. 14, no. 1, 2018.

Rose, J. & Johnson, C. W. ―Contextualizing Reliability and Validity in Qualitative

Research: Toward More Rigorous and Trustworthy Qualitative Social Science

in Leisure Research‖. Journal of Leisure Research, 2020, h. 1-20.

Rosmalia, Dini. ―Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon‖. Prosiding

Semarnusa IPLBI ITS Surabaya, 2018, h. 074-082.

Rosyidin, D. N. ―Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam

Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18‖. Jurnal Sosiologi Walisongo

(JSW), vol. 1, no. 2, 2017, h. 77-194.

Rudmin, F. W. ―Debate in Science: The Case of Acculturation‖, AnthroGlobe

Journal, 2006, h. 72-73.

Rukiah, Y. ―Visual Elements of Semar Calligraphy‖ on Cirebon Glass Painting of

Kusdono‘s Work‖. In International and Interdisciplinary Conference on Arts

Creation and Studies, vol. 1, 2019, h. 43-47.

Rusyanti, ―Peranan Tan Sam Cai Kong dalam Sejarah Cirebon‖. Purbawidya, vol.

2, no. 1, 2013, h. 105-117.

Rusyanti, The Role of Tan Sam Cai Kong in Cirebon History‖. Purbawidya, vol. 2,

no. 1, 2013, h. 105-117.

Saddhono, K. & Supeni, S. ―The Role of Dutch Colonialism in the Political Life of

Mataram Dynasty: A Case Study of the Manuscript of Babad Tanah

Jawi‖. Asian Social Science, vol. 10, no. 15, 2014, h. 1-7.

Safari, A. O. ―Perta Naskah Cirebon‖, Makalah Disampaikan dalam Forum Diskusi

Bulanan, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB) Jurusan Adab STAIN

Cirebon, 7 Maret 2009.

Saleebey, D. ―Culture, Theory, and Narrative: The Intersection of Meanings in

Practice‖. Social Work, vol. 39, no. 4, 1994, h. 351-359.

Salim, Polniwati. ―Memaknai Pengaplikasian Ornamen pada Atap Bangunan

Klenteng sebagai Ciri Khas Budaya Tionghoa‖. Aksen, vol 1, no. 2, 2016, h.

50-65.

Salisu, T. M. ―‗Urf/‗Adah (Custom): An Ancillary Mechanism in Shari ‗ah‖. Ilorin

Journal of Religious Studies, vol. 3, no. 2, 2013, h. 133-148.

Salmon, Claudine. ―The Chinese Community of Surabaya, from Its Origins to the

1930s Crisis‖. Chinese Southern Diaspora Studies, vol. 3, 2009, h. 23.

Sanusi, B. ―Jum‘atan in the Graveyard: An Anthropological Study of Pilgrims in the

Grave of Sunan Gunung Jati Cirebon, West Java‖. Journal of Indonesian

Islam, vol. 4, no. 2, 2010, h. 317-340.

Sapari, Rizal. ―Interaksi Simbolik dalam Tiga Lukisan Kaca Karya Haryadi Suadi‖.

Jurnal Itenas Rekarupa, vol. 5, no. 2, 2019, h. 107-114.

243

Sartini, Ni Wayan. ―Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa: Analisis

Wacana Ritual Tahun Baru Imlek‖. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, vol.

19, no. 2, 2006, h. 47-62.

Scholze, M. ―Trading Cultures: Berbers and Tuareg as Souvenir Vendors Marko

Scholze and Ingo Bartha‖. In Between Resistance and Expansion: Explorations

of Local Vitality in Africa, vol. 18, 2004, h. 69.

Schwartz, S. J., Unger, J. B., Zamboanga, B. L. & Szapocznik, J. ―Rethinking the

Concept of Acculturation: Implications for Theory and Research‖. American

Psychologist, vol. 65, no. 4, 2010, h. 237-251.

Secter, Mondo. ―The yin-yang system of ancient china: The yijing-book of changes

as a pragmatic metaphor for change theory‖. Journal for Interdisciplinary and

Cross-Cultural Studies, vol. 1, no. 1, 1998, h. 85-106.

Serour, G. I. ―Islamic Perspectives in Human Reproduction‖. Reproductive

Biomedicine Online, vol. 17, 2008, h. 34-38.

Setiani, Riris Eka. ―Pendidikan Seks Bagi Anak : Perspektif Al-Qur‘an”. Yinyang,

vol. 12, no. 1, 2017, h. 57-84.

Shabana, A. ―'Urf and'Adah within the Framework of Al-Shatibi's Legal

Methodology‖. UCLA J. Islamic & Near EL, vol. 6, 2006, h. 87.

Sheikh, S. Z. ―Persian Allegory of Chinoiserie Motifs-Dragon and Phoenix or

Simurgh‖. International Journal of Multidisciplinary and Current

Research, vol. 5, 2017.

Silong, L. ―Threes Types of Confluence among Confucianism, Buddhism and

Taoism‖. Journal of Peking University (Philosophy & Social Sciences), vol. 2,

2011.

Simons, S. E. ―Social Assimilation‖. American Journal of Sociology, vol. 6, no. 6,

1901, h. 790-822.

Sinaga, R., Tanjung, F. & Nasution, Y. ―Local Wisdom and National Integration in

Indonesia: A Case Study of Inter-Religious Harmony amid Social and Political

Upheaval in Bunga Bondar, South Tapanuli‖. Journal of Maritime Studies and

National Integration, vol. 3, no. 1, 2019, h. 30-35.

Smiraglia, R. P. ―Works as Signs, Symbols, and Canons: The Epistemology of the

Work‖. Ko Knowledge Organization, vol. 28, no. 4, 2001, h. 192-202.

Soegiarty, T. ―Ornamen Batik Pesisiran Daerah Sunda‖. Jurnal Dimensi Seni Rupa

dan Desain, vol. 13, no. 1, 2016, h. 23-38.

Soenarto, E. ―From Saints to Superheroes: The Wali Songo Myth in Contemporary

Indonesia's Popular Genres‖. Journal of the Malaysian Branch of the Royal

Asiatic Society, 2005, h. 33-82.

Soete, L. ―International Diffusion of Technology, Industrial Development and

Technological Leapfrogging‖. World Development, vol. 13, no. 3, 1985, h.

409-422.

Sofiyawati, N. ―Kajian Gaya Hias Singa Barong dan Paksi Naga Liman dalam

Estetila Hibriditas Kereta Kesultanan Cirebon‖. Jurnal Sosioteknologi, vol. 16,

no. 3, 2017, h. 304-324.

Sopiah, P. S. ―Inpres No 14 Tahun 1967 dan Implikasinya Terhadap Identitas

Muslim Tionghoa Cirebon‖. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan

Kebudayaan Islam, vol. 5, no. 2, 2017, h. 152-173.

244

Spiller, H. J. ―Basic Gamelan Concepts in the Music of Cirebon‖. In Focus:

Gamelan Music of Indonesia, (Routledge, 2010).

Stenberg, J. ―From the (Tang) General to the (Jakarta) Specific: Xue Rengui across

Time and Space‖. Asian Studies Review, 2020, h. 1-19.

Stuart-Fox, M. ―Southeast Asia and China: The role of history and culture in

shaping future relations‖. Contemporary Southeast Asia: A Journal of

International and Strategic Affairs, vol. 26, no. 1, 2004, h. 116-139.

Su, W. ―Study on the Inheritance and Cultural Creation of Manchu Qipao Culture‖.

In 3rd International Conference on Art Studies: Science, Experience,

Education (ICASSEE 2019), (Atlantis Press, 2019).

Suardana, W. & Fikriyyati, I. ―Naga Liman Pencana Kencana Train Caruban

Nagari's Multicultural Symbols: Inculturalization of Nusantara Art in Cultural

Arts Education‖. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, vol. 24,

no. 2, 2020.

Sudardi, B. ―The Reflection of Socio-Cultural Change in Batik Motifs‖. In 2018 3rd

International Conference on Education, Sports, Arts and Management

Engineering (ICESAME 2018), vol. 231, (Atlantis Press, 2018).

Sudjarwo, S. & Pujiati, P. ―The Shifting Tradition of Ethnic Chinese Weddings at

Pecinan Village Bandar Lampung City‖. Research on Humanities and Social

Sciences, vol. 8, no. 12, 2018, h. 58-65.

Sumino, ―Kereta Singa Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon‖. Corak: Jurnal Seni

Kriya, vol. 1, no. 1, 2012, h. 78-90.

Suneki, S. ―Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah‖. CIVIS, vol.

2, no. 1, 2012, h. 307-32.

Suparman, S., Sulasman, S. & Firdaus, D. ―Political Dynamics in Cirebon from the

17th to 19th Century‖. Tawarikh, vol. 9, no. 1, 2017, h. 49-58.

Supatmo, ―Keragaman Seni Hias Bangunan Bersejarah Masjid Agung Demak‖.

Imajinasi, vol. 10, 2, 2016, h. 107–120.

Supatmo, S. ―The Manifestation of Cultural Tolerance Value of Traditional

Ornament: Study on Ornaments of Sendang Duwur Mosque-Graveyard,

Lamongan, East Java‖. In 2nd International Conference on Arts and Culture

(ICONARC 2018), vol. 276, (Atlantis Press, 2019).

Suprajitno, S. ―Reconstructing Chineseness: Chinese Media and Chinese Identity in

Post-Reform Indonesia‖. Kemanusiaan: The Asian Journal of Humanities, vol.

27, no. 1, 2020.

Suryadi, M. ―Nilai Filosofis Peralatan Tradisional Terhadap Karakter Perempuan

Jawa dalam Pandangan Masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah‖. NUSA, vol.

13, no. 4, 2018, h. 567-578.

Suryadinata, L. ―Chinese Indonesians in Post-Suharto Indonesia: Democratisation

and Ethnic Minorities by Chong Wu-Ling‖. Sojourn: Journal of Social Issues

in Southeast Asia, vol. 35, no. 1, 2020, h. 165-168.

Suryadinata, L. ―Indonesian State Policy Towards Ethnic Chinese: From

Assimilation to Multiculturalism‖. Chinese Indonesians: State Policy,

Monoculture and Multiculture, 2004, h. 1-16.

245

Suryadinata, L. ―Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari

Asimilasi Ke Multikulturalisme ?‖. Antropologi Indonesia, no. 71, 2003, h. 1-

12.

Susanti, Lisa. ―Pengaruh Kolonial Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon

Tahun 1752-1830‖. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, vol. 3, no. 3, 2018, h. 274-288.

Susi, M., Purnama, D. A., Nany, I., Prima, A., & Krasnobaev, R. ―Cultural

Sciences‖. Cultural Sciences, vol. 34, no. 3, 2019.

Susilo, D., ―Chinese Cultural Values and its Influence on Chinese Indonesian

Entrepreneurial Culture‖. Asian People Journal (APJ), vol. 3, no. 1, 2020, h.

201-208.

Sutrisno, E. ―Confucius is Our Prophet: The Discourse of Prophecy and Religious

Agency in Indonesian Confucianism‖. Sojourn: Journal of Social Issues in

Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 669-718.

Syarifah, M. ―Budaya dan Kearifan Dakwah‖. Jurnal al-Balagh, vol. 1, no. 1, 2016,

h. 23-24.

Tadjoeddin, M. Z. ―Inequality and Exclusion in Indonesia‖. Journal of Southeast

Asian Economies, vol. 36, no. 3, 2019, h. 284-303.

Tambrin, I. ―Batik Cirebon: Tinjauan Ornamen Batik Trusmi Cirebon‖, Jurnal Seni

Rupa dan Desain, vol. 2, no. 4. 2002, h. 1-13.

Taneo, M., Ndoen, F. A. & Neolaka, S. Y. ―History of Arrival and Development of

Chinese Ethnic in Kupang‖. International Journal of Multicultural and

Multireligious Understanding, vol. 6, no. 5, 2019, h. 356-369.

Tanggok, M. I. ―The Role of Chinese Communities lo the Spread of Islam in

Indonesia”. Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, vol. 7, no. 3, 2006, h.

249-262.

Tanomi, Erna dan Christiana, Elisa. ―Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa dalam

Pertunjukan Liong Batik dan Wacinwa di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta

tahun 2015‖. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Cultur,

vol. 2, no. 1, 2014, h. 108-122.

Taqiyuddin, Muhammad. ―Panca Indera dalam Epistemologi Islam‖. Tasfiyah:

Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4, no. 1, 2020, h. 113-138.

Tarde, G. & Baldwin, J. M. ―Imitation and Creativity‖. The Creativity Reader,

2019, h. 173.

Tendi, ―Surat Perjanjian 7 Januari 1681: Edisi Diplomatik Naskah‖. Jurnal

Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 8, no. 1, 2020, h. 39-

58.

Tendi, T., Marihandono, D. & Abdurakhman, A. ―Between the Influence of

Customary, Dutch, and Islamic Law: Jaksa Pepitu and Their Place in Cirebon

Sultanate History‖. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, vol. 57, no. 1, 2019,

h. 117-142.

Theo, R. & Leung, M. W. ―China‘s Confucius Institute in Indonesia: Mobility,

Frictions and Local Surprises‖. Sustainability, vol. 10, no. 2, 2018, h. 530.

Thurnwald, R. ―The Psychology of Acculturation‖. American Anthropologist, vol.

34, no. 4, 1932, h. 557-569.

Tingyu, Z. ―Ming shi (History of the Ming Dynasty)‖. Beijing: Zhonghua shuju,

vol. 285, no. 173, 1974.

246

Tjandrasasmita, Uka. ―Laksamana Cheng Ho dan Penyebaran Islam di Asia

Pasifik‖, Seminar Internasional Fakultas Dakwah IAIN Jakarta, 28 Agustus

1993.

Tolentino, R. P. G. ―Archaeology of Sacred Symbols: The Lost Meaning and

Interpretations‖. International Journal of Recent Innovations in Academic

Research, vol. 3, no. 10, 2019, h. 66-71.

Triggs, O. L. ―The Decay of Aboriginal Races (Illustrated)‖. The Open Court, no.

10, 1912.

Trimble, J. E. ―Introduction: Social change and acculturation‖. In Acculturation:

Advances in Theory, Measurement, and Applied Research, vol. 10, 2003, h. 3-

13.

Turner, S. & Allen, P. ―Chinese Indonesians in a rapidly changing nation: Pressures

of ethnicity and identity‖. Asia pacific viewpoint, vol. 48, no. 1, 2007, h. 112-

127.

Turner, V. ―Process, System, and Symbol: A New Anthropological

Synthesis‖. Daedalus, 1977, h. 61-80.

Turner, V. ―Symbolic Studies‖. Annual Review of Anthropology, vol. 4, 1, 1975, h.

145-161.

van den Berghe, P. L. ―Australia, Canada and the United States: Ethnic Melting

Pots or Plural Societies?‖. The Australian and New Zealand Journal of

Sociology, vol. 19, no. 2, 1983, h. 238-252.

Vuong, Q. H., Bui, Q. K., La, V. P., Vuong, T. T., Nguyen, V. H. T. & M. T. Ho,

―Cultural Additivity: Behavioural Insights from the Interaction of

Confucianism, Buddhism and Taoism in Folktales‖. Palgrave

Communications, vol. 4, no. 1, 2018, h. 1-15.

W, Rita Hadi. ―Pengaruh Intervensi Musik Gamelan Terhadap Depresi Pada Lansia

di Panti Wreda Harapan Ibu Semarang‖. Home, vol. 1, no. 2, 2013, h. 135-140.

Wah, S. S. ―Confucianism and Chinese Leadership‖. Chinese Management Studies,

vol. 4, no. 3, 2010, h. 280-285.

Wake, C. H. ―Raffles and the rajas: the founding of Singapore in Malayan and

British colonial history. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic

Society, vol. 48 (227), 1975, h. 47-73.

Waldmueller, J. M. ―Agriculture, Knowledge and the ‗Colonial Matrix of Power‘:

Approaching Sustainabilities from the Global South‖. Journal of Global

Ethics, vol. 11, no. 3, 2015, h. 294-302.

Wang, R. ―Inheritance of Intangible Cultural Heritage of Oroqen Ethnic Group

Based on Computer Network Culture‖. In Journal of Physics: Conference

Series, vol. 1574, no. 1, (IOP Publishing, 2020), h. 012003.

Wang, S. Y., Wong, Y. J. & Yeh, K. H. ―Relationship Harmony, Dialectical

Coping, and Nonattachment: Chinese Indigenous Well-being and Mental

Health‖. The Counseling Psychologist, vol. 44, no. 1, 2016, h. 78-108.

Wasino, W., Putro, S., Aji, A., Kurniawan, E. & Shintasiwi, F. A. ―From

Assimilation to Pluralism and Multiculturalism Policy: State Policy Towards

Ethnic Chinese in Indonesia‖. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 29,

no. 2, 2019, h. 213-223.

247

Wei, C., Dai, S., Xu, H. & Wang, H. ―Cultural worldview and cultural experience in

natural tourism sites. Journal of Hospitality and Tourism Management, vol. 43,

2020, h. 241-249.

al Wekhian, J. ―Acculturation Process of Arab-Muslim Immigrants in the United

States‖. Asian Culture and History, vol. 8, no. 1, 2016, h. 89-99.

Wibowo, P. ―Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis

tentang Posisi dan Identitas‖. In Proceeding of The 4th International

Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity, and Future”, vol. 13,

2012.

Wibowo, Priyanto. ―The 1740 Racial Tragedy and loss off Batavia Sugarcane

Industries‖. Paramita, vol. 23, no. 2, 2013, h. 127-136.

Widiaty, I., Riza, L. S. & Abdullah, A. G. ―A Preliminary Study on Augmented

Reality for Learning Local Wisdom of Indonesian Batik in Cocational

Schools‖. In 2015 International Conference on Innovation in Engineering and

Vocational Education, (Atlantis Press, 2015).

Widodo, J. ―Admiral Zheng He and pre-Colonial Coastal Urban Development in

Southeast Asia‖. Inaugural Lecture organized by Friends of Zheng He Society,

(Singapore: Unpublis, 2003).

Widyanti, A., Susanti, L., Sutalaksana, I. Z. & Muslim, K. ―Ethnic differences in

Indonesian Anthropometry Data: Evidence from Three Different Largest

Ethnics‖. International Journal of Industrial Ergonomics, vol. 47, 2015, h. 72-

78.

Widyonugrahanto, W., Lubis, N. H., Mahzuni, D., Sofianto, K., Mulyadi, R. M. &

Darsa, U. A. ―The Politics of the Sundanese Kingdom Administration in

Kawali-Galuh‖. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 27, no. 1, 2017, h.

028-033.

Wijayanto, E. & Soekarba, S. R. ―The Cultural Evolution of Local Islamic Values

on the Muludan Tradition in Cirebon: A Memetics Perspective‖. International

Review of Humanities Studies, vol. 4, no. 2, 2019.

Wildan, D. Sunan Gunung Jati: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural

dan Kultural (Antara Fiksi dan Fakta), (Bandung, Humaniora Utama Press,

2002), h. 272-273.

Wilson, T. A. ―Culture, Society, Politics, and the Cult of Confucius‖. On Sacred

Grounds: Culture, Society, Politics, and the Formation of the Cult of

Confucius, 2020, h. 7.

Wiyoso, J. ―Pengaruh Difusi dalam Bidang Musik Terhadap Karawitan, Harmonia‖.

Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, vol. 3, no. 2, 2002.

Woo, B. D., Maglalang, D., Ko, S., Park, M., Choi, Y. & Takeuchi, D. T. ―Racial

discrimination, ethnic-racial socialization, and cultural identities among Asian

American youths‖. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 2020.

Xie, Y. & Greenman, E. ―The social context of assimilation: Testing implications of

segmented assimilation theory‖. Social Science Research, vol, 40, no. 3, 2011,

h. 965-984.

Xing, G. ―Conflict and Harmony between Buddhism and Chinese

Culture‖. International Journal of Buddhist Thought and Culture, vol. 25,

2015, h. 83-105.

248

Xing, L., Zhang, J., Klein, H., Mayor, A., Chen, Y., Dai, H.... & Dong, S. ―Dinosaur

Tracks, Myths and Buildings: The Jin Ji (Golden Chicken) Stones from Zizhou

Area, Northern Shaanxi, China‖. Ichnos, vol. 22, no. 3-4, 2015, h. 227-234.

Xinyu, Y. & Al-Muhsin, M. A. ―Comparative Study on Myth Between Chinese and

Arabic: Phoenix as An Example‖. International Journal of Humanities,

Philosophy and Language, vol. 3, no. 10, 2020, h. 12-17.

Yakin, H. S. M. & Totu, A. ―The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A

Brief Comparative Study‖. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 155,

2014, h. 4-8.

Yang, F. ―Taoist wisdom on individualized teaching and learning—Reinterpretation

through the perspective of Tao Te Ching‖. Educational Philosophy and

Theory, vol. 51, no. 1, 2019, h. 117-127.

Yani, A. ―Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton

Cirebon. Holistik, vol. 12, no. 1, 2011, h. 181-196.

Yildirim, C. & Correia, A. P. ―Exploring the dimensions of nomophobia:

Development and validation of a self-reported questionnaire‖. Computers in

Human Behavior, vol. 49, 2015, h. 130-137.

Yildiz, E. P., Çengel, M. & Alkan, A. ―Investigation of Nomophobia Levels of

Vocational School Students According to Demographic Characteristics and

Intelligent Phone Use Habits‖. Higher Education Studies, vol. 10, no. 1, 2020,

h. 132-143.

Yinger, J. M. ―Toward a Theory of Assimilation and Dissimilation‖. Ethnic and

Racial Studies, vol. 4, no. 3, 1981, h. 249-264.

Yu, D. S. & Malik, K. M. A. ―Cultural Islam in Northern Europe‖. Baltic

Region, vol. 11, no. 3, 2019.

Yuhan, X. I. E. & Chen, G. E. ―Confucius‘ Thoughts on Moral Education in

China‖. Cross-Cultural Communication, vol. 9, no. 4, 2013, h. 45-49.

Yulianto, Rahmad. ―Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia

Modern dalam Perspektif Pemikiran Tasawuf Muhammad Zuhri‖. Teosofi, vol.

4, no. 1, 2014, h. 56-87.

Yusli, Utami Dwi dan Rachma, Nurullya. ―Pengaruh Pemberian Terapi Musik

Gamelan Jawa Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia‖. Jurnal Perawat

Indonesia, vol. 3, no 1, 2019, h. 72-78.

Yusuf, M. ―When Culture Meets Religion: The Muludan Tradition in the Kanoman

Sultanate, Cirebon, West Java‖. Al Albab-Borneo Journal of Religious Studies

(BJRS), vol. 2, no. 1, 2013.

Yusuf, S. A. ―Aspects of Architecture Infrastructures Acculturation Function, form

and the Meaning of the Christian Church building Pniel Blimbingsari in

Bali. Arteks: Jurnal Teknik Arsitektur, vol. 1, no. 1, 2016, h. 15-30.

Zarifa, A. P. ―Masjid dan Makam Sendang Duwur: Perwujudan Akulturasi‖. In

Prosiding Seminar Heritage IPLBI, 2017, h. 381-384.

Zayyad, S. B. & Sinclair, B. R. ―Culture, Context+ Environmental Design:

Reconsidering Vernacular in Modern Islamic Urbanism‖. Architectural

Research: Addressing Societal Challenges, vol. 1, 2017, h. 535-542.

Zeman, J. ―Peirce‘s Theory of Signs‖. A Perfusion of Signs, 1977, h. 22-39.

249

Zhang, D. ―Cultural Symbols in Chinese Architecture‖. Architecture and Design

Review, vol. 1, 2018, h. 1-19.

Zhao, B. ―Chinese-style ceramics in East Africa from the 9th to 16th century: A

case of changing value and symbols in the multi-partner global

trade‖. Afriques. Débats, Méthodes et Terrains D‟histoire, no. 06, 2015.

Zhuang, W. ―Photography and Chineseness: Reflections on Chinese Muslims in

Indonesia‖. Inter-Asia Cultural Studies, vol. 20, no. 1, 2019, h. 107-130.

Zuhdi, Muhammad Harfin. ―Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim‖. Religia,

vol. 14, no. 1, 2011, h. 111-128.

Zuhdi, Muhammad Harfin. ―Konsep Kepemimpinan dalam Islam‖. Akademika, vol.

19, no. 1, 2014, h. 35-57.

―Java, Boordevol Cultuur‖, dalam Algemeen Dagblad, Rotterdam, 18-05-1993, h.

25.

―Sultanskoets nooit meer als nieuw‖, Nieuwsblad van het Noorden, Groningen, 29-

12-1993, h. 3.

Tesis dan Disertasi

Bukhari, Zaenuddin. Mistisisme Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung,

(Disertasi IAIN Walisongo, 2012).

Chiou, S. Y. Search of New Social and Spiritual Space: Heritage, Conversion, and

Identity of Chinese-Indonesian Muslims, (Doctoral Dissertation, Utrecht

University, 2012).

Hew, W. W. Negotiating Ethnicity and Religiosity: Chinese Muslim Identities in

Post-new Order Indonesia, (A thesis submitted for the degree of Doctor of

Philosophy Department of Political and Social Change School of International,

Political and Strategic Studies College of Asia and the Pacific of The

Australian National University, 2011).

Muhaimin, A. G. The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among

Javanese Muslims, (Unpublished PhD Thesis, The Australian National

University, Canberra, 1995).

Siddique, S. Relics of the Past: A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon,

West Java, (Ph.D. Dissertation, Bielefeld, 1977).

Sunanto, Musyrifah. Syarif Hidayatullah Seorang Wali Penyebar Islam di Jawa

Barat, (Disertasi PPS. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999).

Tjiptoatmojo, F. A S. Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad XIX sampai

Medio Abad XIX, (Disertasi Doktoral Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM

Yogyakarta, 1983).

Triawan, D. W. Analisis Motif Ragam Hias pada Alat Transportasi Tradisional

Keraton Cirebon, (Tesis S2 Program Studi Pendidikan Seni, Sekolah

Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2017).

Wawancara Pribadi

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada

tanggal 16 Juli 2020.

250

Wawancara dengan Bambang Irianto (Budayawan Cirebon) pada tanggal 08 Juli

2020.

Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon)

pada tanggal 17 Juli 2020.

Wawancara dengan Iman Sugiman (Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon) pada

tanggal 09 Juli 2020.

Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19

Juli 2020.

Wawancara dengan Permadi (Tokoh Mayarakat Tionghoa) pada tanggal 26

September 2019

Sumber Internet

―Hadiah Terbesar Bangsa Cina ke Indonesia adalah Agama Islam‖. Diambil dari:

https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/13/09/27/mtrx43-

habibie-hadiah-terbesar-bangsa-cina-ke-indonesia-adalah-islam. (Diakses pada

17 Agustus, 2020).

Ernawati, Jujuk & Permatasari, Adinda. ―Sejarah Piring Selampad, Motif Batik

Langka dari Cirebon‖. Diambil dari: https://www.viva.co.id/gaya-

hidup/gaya/886954-sejarah-piring-selampad-motif-batik-langka-dari-cirebon.

(Diakses pada 24 Februari, 2017).

Diambil dari: https://www.radarcirebon.com/2018/03/23/cirebon-tionghoa-

perkawinan-budaya-yang-melekat/ . (Diakses pada 30 November, 2020).

Diambil dari: http://www.nabilfoundation.org/artikel/9/istilah-cina-china-dan-

tionghoa . (Diakses pada 30 November, 2020).

Radar Cirebon, ―Sejarah Warga Tionghoa di Cirebon‖. Diambil dari:

http://www.radarcirebon.com/tag/sejarah-warga-tionghoa (Diakses pada 23

Januari, 2019).

249

GLOSARIUM

Adat : Gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-

nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan

dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu

kelompok masyarakat.

Kristen : Kristen adalah agama Abrahamik monoteistik

berasaskan riwayat hidup dan ajaran Yesus

Kristus, yang merupakan inti sari agama.

Akulturasi : Akulturasi adalah suatu proses sosial yang

timbul manakala suatu kelompok manusia

dengan kebudayaan tertentu dihadapkan

dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.

Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan

diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa

menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan

kelompok itu sendiri.

Asimilasi : Asimilasi adalah pembauran satu kebudayaan

yang disertai dengan hilangnya ciri khas

kebudayaan asli sehingga membentuk

kebudayaan baru.

Budaya : Budaya adalah suatu gaya hidup yang

berkembang dalam suatu kelompok atau

masyarakat dan diwariskan secara turun

menurun dari generasi ke generasi.

Buddhisme : Buddhisme adalah ajaran agama yang

mengajarkan agar menjunjung tinggi dan

menghargai hak asasi wanita sekaligus

menghilangkan kasta-kasta. Di samping itu,

ajaran ini juga sangat menjunjung tinggi nilai-

nilai demokrasi.

Chauvinisme : Chauvinisme adalah sikap cinta tanah air yang

berlebihan sehingga menganggap bangsannya

adalah bangsa terbaik dan menganggap bangsa

lain rendah.

Cina Peranakan : Cina Peranakan adalah istilah yang digunakan

oleh para keturunan imigran Tionghoa yang

sejak akhir abad ke-15 dan abad ke-16 telah

berdomisili di kepulauan Nusantara (sekarang

Indonesia), termasuk Malaya Britania

(sekarang Malaysia Barat dan Singapura). Di

beberapa wilayah di Nusantara sebutan lain

juga digunakan untuk menyebut orang

Tionghoa Peranakan, seperti “Tionghoa

Benteng” (khusus Tionghoa-Manchu di

Tangerang) dan “Kiau-Seng” (di era kolonial

Hindia Belanda).

Difusi : Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-

unsur kebudayaan ke seluruh dunia. Salah satu

250

bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur

kebudayaan yang terjadi karena dibawa oleh

kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi

dari satu tempat ke tempat lain di dunia.

Ekspansi : Aktivitas memperbesar atau memperluas usaha

yang ditandai dengan penciptaan pasar baru,

perluasan fasilitas dan sebagainya.

Eksploitasi : Politik pemanfaatan yang dilakukan sewenang-

wenang (berlebihan) terhadap subyek

eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi

semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa

kepatutan, keadilan dan kompensasi

kesejahteraan.

Fasisme : Fasisme adalah paham yang berdasarkan

prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang

mutlak/absolut di mana perintah pemimpin dan

kepatuhan berlaku tanpa pengecualian.

Menjadi sangat penting dalam ideologi fasis,

karena ideologi ini selalu membayangkan

adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer

harus kuat menjaga negara.

Gemeente : Kota Praja

Imigrasi : Imigrasi adalah perpindahan orang dari suatu

negara-bangsa (nation-state) ke negara lain, di

mana ia bukan merupakan warga negara.

Imigrasi merujuk pada perpindahan untuk

menetap permanen yang dilakukan oleh

imigran, sedangkan turis dan pendatang untuk

jangka waktu pendek tidak dianggap imigran.

Irigasi : Usaha penyediaan dan pengaturan air untuk

menunjang pertanian yang meliputi irigasi air

permukaan, air bawah tanah, pompa dan rawa

Islamis : Orang yang memiliki ideologi atau keyakinan

bahwa Islam adalah pedoman bagi segala segi

kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi,

politik, budaya, serta kehidupan pribadi.

Islamisasi : Proses konversi masyarakat menjadi Islam

Komunisme : Komunisme adalah ideologi yang berkenaan

dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi

yang tujuan utamanya terciptanya masyarakat

komunis dengan aturan sosial ekonomi

berdasarkan kepemilikan bersama alat produksi

dan tidak adanya kelas sosial, uang, dan

negara.

Konfusianisme : Konfusianisme adalah inti ajaran filsafat Cina

yang mengajarkan peningkatan moral dan etika

manusia.

Masyarakat Pribumi : Orang/penduduk asli.

Monopoli : Suatu kondisi bisnis di mana ada satu

251

perusahaan yang memiliki layanan yang

dibutuhkan oleh banyak orang.

Mauludan : Muludan adalah salah tradisi masyarakat

Muslim-Sunda terkait dengan hari kelahiran

Nabi Muhammad saw. Sebagian orang Sunda

Muslim menyebutnya Muludan atau Maulidan

merujuk pada Maulid (hari kelahiran) Nabi

Muhammad saw. Kelahiran Muhammad saw.

sediri diyakini tepat pada tanggal 12 Rabi’ul

Awal pada kalender Hijriyah. Namun orang

Sunda-Muslim menyebut bulan ini dengan

sebutan bulan Mulud, karena terkait dengan

kelahiran Nabi.

Nasionalisme : Paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan

negaranya sendiri.

Nativisme : Nativisme adalah pandangan bahwa

keterampilan-keterampilan atau kemampuan-

kemampuan tertentu bersifat alamiah atau

sudah tertanam dalam otak sejak lahir.

Panjang Jimat Panjang Jimat adalah tradisi Maulid Nabi di

Cirebon. Sebagai peringatan hari kelahiran

Nabi Muhammad SAW atau maulid Nabi

kerap di istimewakan. Tujuannya, tidak lain

untuk mengenang dan selalu meneladani nabi

Muhammad SAW.

Pedukuhan : Desa

Rajaban : Rajaban adalah sebutan bagi perayaan hari

Isra' Mi'raj bagi umat Islam yang jatuh pada

bulan Rajab.

Ruwahan : Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa

untuk mendoakan orang yang telah meninggal

dunia, seperti oran tua, kakek, nenek, tokoh

pendiri kampung, wali, dan lainnya.

Saparan : Saparan adalah tradisi Jawa yang dilaksanakan

saat bulan Safar pada kalender Jawa.

Segregasi : Pemisahan kelompok ras atau etnis secara

paksa; Bentuk pelembagaan diskriminasi yang

diterapkan dalam struktur sosial.

Slametan : Selametan adalah sebuah tradisi ritual yang

dilakukan oleh masyarakat Jawa. Selametan

juga dilakukan oleh masyarakat Sunda dan

Madura. Selametan adalah suatu bentuk acara

syukuran dengan mengundang beberapa

kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara

syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan

duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi

tumpeng dengan lauk pauk.

Suroan : Suroan adalah tradisi yang turun temurun yang

masih dilakukan oleh masyarakat jawa sampai

252

sekarang. suroan dilakukan setiap tanggal satu

Suro atau tanggal satu muharam. Tradisi

malam satu Suro menitikberatkan pada

ketentraman batin dan keselamatan.

Karenanya, pada malam satu Suro biasanya

selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa

dari semua umat yang hadir merayakannya.

Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah

dan menangkal datangnya marabahaya.

Syawalan : Syawalan merupakan tradisi di kalangan

masyarakat Jawa setelah berlebaran (hari raya

Idul Fitri).

Taoisme : Taoisme adalah ajaran yang menganjurkan

hidup dalam harmoni dengan tao/dao (alam

semesta).

Vasal : Vasal adalah seseorang yang menjalin

hubungan dengan monarki yang berkuasa—

biasanya dalam bentuk dukungan militer,

perlindungan bersama (mutual protection), atau

pemberian upeti, dan menerima jaminan dan

imbalan tertentu sebagai gantinya.

253

INDEKS

A

Asia Tenggara : 1, 3, 4, 7, 58, 64, 105,

106, 124, 142, 143

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) : 10,

11, 123

Arab : 3, 8, 23, 25, 55, 57, 63, 64, 65,

69, 75, 87, 89, 92, 103, 104, 105,

123, 125, 129, 133, 142, 165, 173,

185, 188, 189

B

Batavia : 57, 81, 91, 109, 135, 190, 207

Belanda : 6, 7, 8, 12, 14, 17, 18, 19, 22,

23, 25, 26, 30, 45, 55, 58, 61, 63,

64, 65, 66, 85, 86, 87, 90, 91, 109,

122, 129, 134, 141, 144, 207, 208

BJ. Habibi : 123

C

Che Li Wen : 12

Cheng Ho : 4, 5, 6, 11, 12, 19, 24, 30,

55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 64,

94, 95, 104, 105, 106, 107, 108,

116, 125, 126, 133, 150, 170, 207

Ciamis : 81, 86, 108, 133

Cirebon : 5, 11, 12, 13, 14, 16, 18, 19,

20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29,

30, 46, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,

68, 69, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 78,

79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87,

88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 97,

98, 99, 100, 101, 102, 104, 106,

107, 108, 109, 110, 111, 112, 113,

114, 115,116, 125, 127, 128, 129,

131, 132, 133, 134, 135, 137, 138,

139, 144, 145, 147, 149, 150, 151,

152, 153, 154, 156, 157, 163, 165,

168, 169, 170, 171, 172, 173, 174,

175, 177, 179, 181, 183, 184, 185,

186, 187, 188, 189, 190, 192, 193,

94, 196, 197, 198, 199, 201, 203,

204, 207, 208, 209, 210

D

Diego Ribeiro : 12

Dinasti Chou : 2

Dinasti Ming : 4, 5, 13, 105, 133, 169

Dinasti Tang : 3

E

Eropa : 2, 6, 7, 25, 40, 43, 55, 65, 89,

113, 114, 135, 142, 165, 185, 188,

190

F

Fa Hian : 2

G

Garut : 60, 99, 107, 108, 133, 185, 188

Gujarat : 55, 73,76, 132, 141

I

Islamisasi : 21, 55, 58, 61, 68, 97, 98,

100, 101

I-Tsing : 2

India : 2, 7, 8, 40, 42, 43, 53, 55, 57,

65, 69, 89, 119, 172, 173, 174, 185,

189

Islam : 1, 5, 6, 7, 11, 13, 17, 18, 19, 21,

22, 23, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 41,

42, 55, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65,

66, 67, 68, 69, 71, 72, 74, 75, 76,

78, 79, 80, 81, 87, 88, 89, 92, 93,

96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 104,

105, 107, 108, 109, 110, 111, 112,

113, 115, 117, 125, 128, 129, 131,

132, 133, 134, 136, 139, 140, 141,

142, 143, 144, 145, 146, 147, 151,

153, 154, 155, 156, 157, 158, 160,

161, 164, 165, 168, 173, 175, 178,

179, 181, 183, 192, 193, 194, 195,

199, 201, 202, 203, 204, 205, 206,

207, 208, 209

J

Jakarta : 49, 58, 63, 64, 65, 125

Jawa Timur : 3, 56, 58, 94, 98, 112,

145

254

Jawa Tengah : 24, 59, 63, 66, 86, 89,

112, 129

J. H. J. Sigal : 90

Jawa Barat : 3, 24, 58, 68, 73, 84, 89,

90, 92, 98, 99, 100, 125, 132, 184,

185, 188, 209, 210

Jawa : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 12, 17, 18, 21,

22, 23, 24, 25, 26, 30, 41, 48, 55,

56, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65,

66, 69, 74, 75, 76, 77, 81, 87, 88,

89, 91, 95, 96, 99, 104, 105, 106,

107, 125, 128, 129, 140, 146, 154,

156, 165, 177, 188, 193, 194, 195,

197, 198, 202

K

Kaisar Mongol : 4

Kaisar Tiongkok : 3, 6, 13, 143, 148,

196, 207

Kaisar Wan Ming : 2

Kaisar Yung-Le : 4

Kalimantan : 2, 7, 105

Kediri : 3, 4, 82

Ken Arok : 4

Kerajaan Borneo : 3

Kerajaan Panjalu : 3, 4

Kerajaan Tarumanegara : 3

Keraton Kacirebonan : 90, 139, 156

Keraton Kanoman : 90, 156, 173

Keraton Kasepuhan : 19, 20, 24, 25, 27,

30, 83, 90, 135, 137, 138, 139,

140,141, 142, 143, 144, 145, 147,

149, 151, 153, 154, 155, 156, 157,

165, 168, 170, 171, 177, 182, 196,

206, 209

Keraton Keprabonan : 90

Keresidenan Cirebon : 86

Kertanegara : 4

Konfusianisme : 7, 116, 117, 119, 208

Kubilai Khan : 4

Kuningan : 71, 81, 86, 98, 99, 100, 102,

133, 185, 201

L

Lie Guan Cang : 13, 207

Lie Guan Hian : 13, 207

M

Ma Huan : 5, 12, 56, 57, 58, 60, 61,

106, 134

Majalengka : 81, 86, 99

Majapahit : 4, 58, 60, 61, 78, 102, 134,

140, 145

Makam Astana Gunung Jati : 19, 26,

137, 165, 170

Malaka : 57, 89, 95, 96

Mekah : 74, 75

N

Nabi Muhmamad SAW : 75, 97, 102,

152, 154, 155, 157, 164, 169, 175,

179

Nusantara : 1, 2, 4, 5, 6, 7, 17, 18, 19,

20, 21, 25, 30, 31, 55, 63, 64, 68,

81, 87, 89, 90, 96, 97, 98, 100, 101,

104, 105, 106, 122, 125, 126, 127,

131, 132, 146, 199

O

Ong Tien Nio : 13, 19, 61, 78, 108,

109, 133, 134, 135, 147, 150, 169,

170, 174, 177, 190, 201, 207

Orde Baru : 8, 9, 10, 17, 18, 45, 67,

118, 122

P

Palembang : 57, 60, 94

Pate Quedir : 13, 89, 94

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia

(PITI) : 11

Persia : 55, 57, 69, 75, 92, 125, 142,

185, 189

Politik Etis : 90

R

Raja Singosari : 4

S

Samudera Pasai : 5

Sarekat Islam (SI) : 66

255

Soeharto : 10, 123

Sriwijaya : 2, 3, 57

Sumanto Al Qurtuby : 4, 24, 26, 55, 56,

58, 59, 63, 64, 125

Sumatera : 7, 58, 62, 69, 101

Sunan Gunung Jati : 13, 19, 59, 60, 61,

68, 72, 76, 77, 78, 79, 89, 90, 94,

98, 99, 100, 101, 102, 107, 108,

109, 112, 128, 130, 131, 133, 134,

135, 139, 145, 153, 154, 157, 166,

168, 169, 172, 189, 190, 193, 201,

207

Surabaya : 5, 56, 57, 58, 69, 88, 92,

104, 106, 125

Susilo Bambang Yudhoyono : 10

Syarif Hidayatullah : 13, 72, 75, 76, 77,

78, 80, 101, 149, 151, 153, 156,

191, 201

T

Tiongkok : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13,

14, 17, 19, 22, 23, 35, 26, 57, 59,

60, 61, 63, 64, 69, 73, 89, 92, 95,

96, 105, 106, 108, 117, 118, 119,

120, 121, 123, 124, 126, 129, 133,

134, 135, 136, 141, 142, 143, 144,

147, 148, 165, 169, 170, 171, 172,

173, 174, 176, 177, 181, 182, 183,

185, 188, 189, 190, 195, 196, 198,

201, 203, 206, 207

Tan Eng Hoat : 60, 107, 108, 133, 207

Taoisme : 7, 24, 116, 117, 119, 136,

208

Tome Pires : 6, 12, 58, 87, 89, 91, 92,

93, 94, 95, 96

V

Vereenigde Oost-Indische Compagnie

(VOC) : 113, 58, 81, 82, 83, 84, 85,

95, 109, 113, 114, 115, 135, 207

Z

Zainal Abidin Bahian Syah : 5