BAB 1 KOSTRUKSI NEGARA KESULTANAN SERDANG, 1723-1946

13
1 BAB SATU PROLOG 1. Latar Belakang Masalah MASA TAHUN 1946 merupakan suatu masa yang cukup kritis dalam awal Pemerintahan Republik, Mr.T.M. Hasan, Gubernur Sumatera, mencoba menampung aspirasi kaum bangsawan melalui kebijaksanaan rekonsialisainya. Sangat dipenulisngkan, kebijakan Pemerintah Republik ternyata tidak berhasil. Para pendukung Republik yang menganut garis keras mengambil jalan pintas untuk mengenyahkan golongan bangsawan dengan sistem feodalnya melalui revoluasi sosial pada bulan Maret 1946. Revolusi sosial ternyata susah dikendalikan dan menyambar siapa saja yang dipandang berbau feodal dan kolonial, termasuk birokrat-birokrat Republik yang hanya memakai “dasa”. Revolusi sosial telah memakan korban berpuluh-puluh aristokrasi Negara KeSultanan Serdang, tetapi semangat untuk tetap menjadi nomor satu di “rumahnya sendiri” tidak pernah surut dari mereka. Lebih jauh revolusi sosial telah membuat Republik mendapat nama buruk dari peristiwa tersebut. Konflik kelas dan etnis merupakan unsur penting dalam proses dekolonisasi di Negara KeSultanan Serdang . Konflik itu tetap menjadi kekuatan destabilisasi hingga periode pasca kolonial. Konflik antar penduduk asli dengan kaum pendatang, antara orang Melayu dengan non Melayu, telah menjadi ciri-ciri khusus yang mewarnai peristiwa politik internal di wilayah Negara KeSultanan Serdang . Konflik itu juga telah mewarnai hubungan politik antara Jakarta dan Negara KeSultanan Serdang. 1 2. Batasan Masalah Buku ini akan merekontruksikan peristiwa-peristiwa seputar runtuhnya Negara KeSultanan Serdang. Pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab adalah : pertama, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya Negara KeSultanan Serdang. Kedua, bagaimanakah proses pelepasan diri dari KeSultanan Deli, hingga menjadi negara Negara KeSultanan Serdang. Ketiga, faktor-faktor apa yang mempercepat dan menghambat runtuhnya Negara KeSultanan Serdang. Pada dasarnya kausalitas peristiwa sejarah tidaklah memiliki suatu batasan yang mutlak, baik dari aspek periodisasi maupun cakupan masyarakat yang diakibatkannya, namun demikian agar suatu studi sejarah dapat dilaksanakan secara lebih mendalam, perlu dibuat batasan-batasan khusus. Dengan demikian dapat ditelusuri langkah-langkah reconaissance (identifikasi masalah) dan feasibility (kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan dalam penelitian). 2 Ruang lingkup geografi sebagai unit analisis buku ini adalah Negara KeSultanan Serdang. 3 Meskipun demikian buku ini akan memperhatikan aspek-aspek supra lokal. Potret sejarah lokal Sumatera Utara justru menjadi bagian yang sangat mempengaruhi potret sejarah nasional. Dalam buku ini akan tampak 1 Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. (New York : Cornell University Press, 1962), hlm. 393-396) 2 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Histografi Indonesia Suatu Alternatif. (Jakarta; Gramedia, 1982), hlm. 89. 3 Kesultanan Serdang yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah daerah bekas Kabupaten Deliserdang, yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Serdang Bedagai.

Transcript of BAB 1 KOSTRUKSI NEGARA KESULTANAN SERDANG, 1723-1946

1

BAB SATU

PROLOG

1. Latar Belakang Masalah MASA TAHUN 1946 merupakan suatu masa yang cukup kritis dalam awal Pemerintahan Republik,

Mr.T.M. Hasan, Gubernur Sumatera, mencoba menampung aspirasi kaum bangsawan melalui

kebijaksanaan rekonsialisainya. Sangat dipenulisngkan, kebijakan Pemerintah Republik ternyata tidak

berhasil. Para pendukung Republik yang menganut garis keras mengambil jalan pintas untuk

mengenyahkan golongan bangsawan dengan sistem feodalnya melalui revoluasi sosial pada bulan Maret

1946.

Revolusi sosial ternyata susah dikendalikan dan menyambar siapa saja yang dipandang berbau feodal

dan kolonial, termasuk birokrat-birokrat Republik yang hanya memakai “dasa”. Revolusi sosial telah

memakan korban berpuluh-puluh aristokrasi Negara KeSultanan Serdang, tetapi semangat untuk tetap

menjadi nomor satu di “rumahnya sendiri” tidak pernah surut dari mereka. Lebih jauh revolusi sosial

telah membuat Republik mendapat nama buruk dari peristiwa tersebut.

Konflik kelas dan etnis merupakan unsur penting dalam proses dekolonisasi di Negara KeSultanan

Serdang . Konflik itu tetap menjadi kekuatan destabilisasi hingga periode pasca kolonial. Konflik antar

penduduk asli dengan kaum pendatang, antara orang Melayu dengan non Melayu, telah menjadi ciri-ciri

khusus yang mewarnai peristiwa politik internal di wilayah Negara KeSultanan Serdang . Konflik itu

juga telah mewarnai hubungan politik antara Jakarta dan Negara KeSultanan Serdang.1

2. Batasan Masalah Buku ini akan merekontruksikan peristiwa-peristiwa seputar runtuhnya Negara KeSultanan Serdang.

Pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab adalah : pertama, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi

munculnya Negara KeSultanan Serdang. Kedua, bagaimanakah proses pelepasan diri dari KeSultanan

Deli, hingga menjadi negara Negara KeSultanan Serdang. Ketiga, faktor-faktor apa yang mempercepat

dan menghambat runtuhnya Negara KeSultanan Serdang.

Pada dasarnya kausalitas peristiwa sejarah tidaklah memiliki suatu batasan yang mutlak, baik dari

aspek periodisasi maupun cakupan masyarakat yang diakibatkannya, namun demikian agar suatu studi

sejarah dapat dilaksanakan secara lebih mendalam, perlu dibuat batasan-batasan khusus. Dengan

demikian dapat ditelusuri langkah-langkah reconaissance (identifikasi masalah) dan feasibility

(kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan dalam penelitian).2

Ruang lingkup geografi sebagai unit analisis buku ini adalah Negara KeSultanan Serdang.3 Meskipun

demikian buku ini akan memperhatikan aspek-aspek supra lokal. Potret sejarah lokal Sumatera Utara

justru menjadi bagian yang sangat mempengaruhi potret sejarah nasional. Dalam buku ini akan tampak

1Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. (New York : Cornell University

Press, 1962), hlm. 393-396) 2Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Histografi Indonesia Suatu Alternatif. (Jakarta;

Gramedia, 1982), hlm. 89. 3Kesultanan Serdang yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah daerah bekas Kabupaten Deliserdang, yang

sekarang menjadi bagian Kabupaten Serdang Bedagai.

2

jelas bahwa terjadi saling pengaruh yang sangat kuat antara peristiwa-peristiwa lokal dan nasional dalam

konteks sejarah Negara KeSultanan Serdang.

Unit analisis studi ini adalah pertumbuhan negara, tetapi mengingat luasnya problematika di seputar

Ketatanegaraan Melayu di Negara KeSultanan Serdang , maka sasaran buku ini akan dibatasi pada

Sumber Hukum Material Daulat–Durhaka, Sistem Demokrasi atau Kedaulatan KeSultanan, Asas

Pembagian Kekuasaan, Hakikat Pemisahan Diri dari KeSultanan Deli, Sejarah Perkembangan

Ketatanegaraan KeSultanan, Bentuk dan Sistem Pemerintahan, Struktur, Sistem dan Susunan

Kelembagaan Negara dalam memperjuangkan, mengembangkan dan mempertahankan Negara

KeSultanan Serdang.

3. Tujuan Penulisan Buku ini memiliki konsekuensi mendebukukan lembaga-lembaga kekuasaan, sumber ekonomi, kultur

dan saluran yang dipakai oleh tokoh-tokoh elite Negara KeSultanan Serdang. Secara tematis buku ini

termasuk studi sejarah politik, maka di dalamnya akan dijelaskan pola-pola distribusi kekuasaan yang

terkait dengan struktur sosial pada masa itu. Pola distribusi kekuasaan merupakan proses politik yang

didalamnya menyangkut kompleksitas hubungan : pemimpin dan pengikut, kekuasaan dan ideologi,

ideologi dan mobilisasi, solidaritas dan loyalitas.4

Rentang waktu yang ditelusuri selama dua ratus delapan belas tahun yakni dari tahun 1728 sampai

tahun 1946. Tahun 1728 diambil sebagai awal studi karena pada tahun inilah Negara KeSultanan

Serdang didirikan di Rantau Panjang. Meskipun demikian akan dibicarakan juga peristiwa-peristiwa

yang terjadi sebelum tahun 1728, yakni merentang sampai tahun 1720. Ini dimaksudkan untuk

menekankan pentingnya kesinambungan sejarah dalam menerangkan munculnya ide-ide pendirian

Negara KeSultanan Serdang.

Perhatian khusus diberikan pada dekade 1946-an sebagai proses runtuhnya Negara KeSultanan

Serdang. Proses itu terjadi dalam bingkai transformasi struktur masyarakat yang masih bersifat feodal

dan kesukuan ke struktur masyarakat demokratis. Dengan kata lain, proses keruntuhan Negara

KeSultanan Serdang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peristiwa Revoluasi Nasional.

4. Kerangka Konseptual dan Pendekatan Untuk menganalisis dinamika Negara KeSultanan Serdang sebagai proses politik, yang berkaitan

dengan pola-pola susunan dan bentuk negara; sumber ketatanegaraan, azas ketatanegaraan, sejarah

ketatanegaraan, bentuk dan sistem pemerintahan; tugas-tugas dan hubungan antar kelembagaan negara

perlu dipergunakan pendekatan dan konsep-konsep ilmu tata negara,5 di luar disiplin sejarah.

Peminjaman konsep-konsep ini diharapkan dapat memperjelas fenomena sejarah yang akan

didebukukan. Salah satu pendekatan yang relevan adalah pendekatan sosio-legal. Melalui pendekatan ini

Negara KeSultanan Serdang akan dipandang sebagai negara yang berdaulat.

Agar pembahasan tidak keluar dari sasaran, maka perlu disepakati beberapa kerangka konseptual.

Konsep negara berangkali perlu mendapat penegasan lebih lanjut. Menurut Soenarko,6 negara adalah

organisasi sosial yang memiliki daerah, warga negara, dan kekuasaan, sedangkan Patrick Dunleavy dan

Bremdan O’Leary memandang negara sebagai lembaga sosial yang yang bertugas menjaga keteraturan

sosial atau stabilitas sosial. Secara organisatoris negara adalah suatu tipe pemerintahan yang ditandai

dengan lima kriteria. Pertama, negara secara jelas memisahkan lembaga atau seperangkat lembaga, juga

dibedakan dari masyarakat lainnya dalam hal menciptakan identifikasi publik dan lingkungan pribadi.

4Sartono Kartodirdjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : Gramedia, 1992), hlm.

46-47. 5Ibid, hlm.120-123 6Soenarko, Susunan Negara Kita Sejak Penyerahan Kedaulatan, (Jakarta : Djambatan, 1951), hlm. 10-13.

3

Kedua, negara adalah penguasa atau kekuasaan tertinggi di wilayahnya, dan hukum publik dibentuk oleh

pejabat negara dan didukung oleh monopoli kekuasaan formal. Ketiga, kedaulatan negara diperluas di

atas semua individu dalam wilayah kekuasaan negara, dan ditetapkan secara sama juga bagi mereka yang

menduduki jabatan formal di pemerintah. Keempat, pegawai negara kebanyakan direkrut dan dilatih

untuk membentuk suatu gaya birokratis. Kelima, negara memiliki kemampuan untuk mengumpulkan

dana dalam rangka membiayai aktivitas negara untuk kepentingan rakyat.7

Jhon Schwarzmantel menyatakan, bahwa negara adalah asosiasi politik utama (central political

association). Negara baik yang kuno maupun modern adalah alat kekuasaan dan alat pemaksa. Aspek

pemaksa yang menjadi ciri utama satu negara ditunjukkan dengan adanya kontrol negara terhadap semua

warga yang secara tipikal melibatkan pemaksaan (coercion). Negara modern muncul sebagai alat

kekuasaan khusus, dan terpisah dari kelompok tertentu yang secara kebetulan menguasai negara pada

saat tertentu. Oleh karena itu negara adalah seperangkat iNegara KeSultanan Serdang itusi yang

merupakan alat kekuasaan khusus.8

Dalam mempelajari sejarah suatu negara, penting sekali untuk dianalisis hubungan antara negara dan

masyarakat. Suatu negara eksis karena adanya hubungan dengan masyarakat. Pieere Rosanvallon

sebagaimana dikutip oleh Schwarzmantal menyebutkan, bahwa ada empat aspek hubungan negara-

masyarakat sipil (civil society). Pertama, menurut idel demokrasi, negara dibentuk sebagai suatu negara

bangsa berfungsi sebagai suatu iNegara KeSultanan Serdang rumen pemersatu. Negara membentuk

bangsa, menciptakan, memperkuat ikatan sosial. Ketiga, negara sebagai welfare state adalah alat untuk

memenuhi kebutuhan rakyat. Keempat, negara sebagai pengatur ekonomi dan pengendali ekonomi. Hal

ini adalah suatu tugas yang mengharuskan adanya campur tangan dalam ekonomi untuk menjamin

tersedianya barang-barang, seperti lapangan kerja yang cukup, stabilitas moneter, dan pertumbuhan

ekonomi.9

Untuk memahami dengan jelas bagaimana sebenarnya bentuk negara Negara KeSultanan Serdang,

perlu dipergunakan perpaduan konsep Negara Kesatuan dan Federal yang penulis interpretasikan sebagai

Uni Serikat10

. Negara kesatuan merupakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat di mana seluruh

negara yang berkuasa hanyalah satu Pemerintah (Pusat) yang mengatur seluruh daerah. Negara kesatuan

dapat pula berbentuk dengan sistem Serdang Asliisasi – segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur

dan diurus Pemerintah Pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya. Negara kesatuan dengan

sistem deSerdang Asliisasi–kepala daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah

tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah swatantra11

. Negara federal digolongkan

dengan apa yang dikenali dengan istilah “prinsip federal”. Prinsip federal adalah cara pembagian

kekuasaan agar tiap pemerintahan umum (pusat) dan regional (daerah) berada dalam suatu lingkungan

yang sederajat. Faktor-faktor yang mendorong kelompok komunitas membentuk sistem pemerintahan

federal adalah (1) untuk mendapat keamanan militer, keuntungan ekonomi dan karena adanya keterikatan

geografis, (2) adanya perbedaan kepentingan ekonomi, perasaan terisolasi karena faktor geografi dan

7Patrick Dunleavy and Bremdan O’Leary, Theories of The State, The Politics of Liberal Democracy,

(London: Macmilan and Education Ltd, 1991), hlm. 1-3. 8Jhon Schwarzmantel, The State in Contemporary Society an Introduction, (New York, London, Toronto,

Sidney, Tokyo, Singapore Harvester Wheatseaf, 1994), hlm. 7-8. 9Ibid, hlm.9 10Negara Uni Serikat merupakan negara yang memiliki kekuasaan untuk mengatur seluruh wilayah satu negara

berada pada beberapa wilayah yang menjadi bagian dari negara. Hubungan kekuasaan (kedaulatan) yang disepakati dalam negara ini adalah pembagian dan kerjasama kekuasaan

menurut tingkatan. Artinya wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari negara ini mempunyai hak dan wewenang untuk mengatur, menentukan dan menyelenggarakan urusan rumah tangganya.

11C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1985), hlm. 4

4

ketidaksamaan lembaga-lembag sosial dan politik.12

Dengan adanya perbedaan itu, sebuah komunitas

sosial tergerak untuk mempertahankan kemerdekaan regional dalam kesatuan. Masih dalam batasan

konsep federal, Kranenburg13

menyatakan, bahwa negara-negara bagian suatu federasi memiliki

wewenang membentuk undang-undang dasar sendiri serta mengatur bentuk organisasi politik sendiri

dalam batas-batas kostitusi federal. Di samping itu pemerintah federal memiliki hak penuh untuk

masalah hubungan luar negeri dan mencetak uang. Sebaliknya negara bagian mempunyai hak untuk

mengurus masalah kebudayaan, kesehatan dan masalah sosial lainnya yang tidak boleh dicampuri oleh

pemerintah federal.14

Selain memakai pendekatan ekonomi politik, buku ini juga menggunakan pendekatan kesukuan.

Pemakaian konsep ini diharapkan dapat mengungkapkan ketegangan etnis dan konflik yang menyertai

proses perkembangan Negara Negara KeSultanan Serdang.

Geertz menyatakan, bahwa kesukuan adalah sebagian dari ikatan primordial, yang bersifat

kekeluargaan akibat adanya ikatan biologis, seperti keluarga besar, garis keturunan dan sebagainya.

Ikatan primordial itu sendiri diartikan sebagai perasaan yang lahir dari dalam kehidupan sosial

berdasarkan hubungan keluarga, keagamaan, bahasa, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Selanjutnya

dijelaskan bahwa adsanya konflik langsung antara ikatan-ikatan primordial dan ikatan-ikatan kebangsaan

mengakibatkan timbulnya gagasan-gagasan kesukuan, kedaerahan, perkauman dan sebagainya.15

Kesukuan akan hadir sebagai dasar menentukan identitas sosial suatu masyarakat mencapai tingkat

kemajekan budaya. Komposisi etnis masyarakat Negara KeSultanan Serdang sebagaiman diperlihatkan

dalam sensun 1930, tidak saja majemuk multietnis dan multiras, tetapi secara mendasar berubah

didominasi kaum pendatang. Tidak berlebihan kiranya apabila Kemala Chandra Kirana16

menyatakan,

bahwa salah satu faktor yang memicu munculnya gerakan Negara Negara KeSultanan Serdang adalah

meluasnya peranan kaum pendatang, terutama dalam penguasaan tanah.

Mengingat banyaknya konflik yang menyertai proses sejarah NEGARA KESULTANAN SERDANG,

perlu dipergunakan teori konflik. Konflik dapat dilihat sebagai interaksi antara dua atau lebih kelompok

kekuatan yang memiliki kepentingan yang berlawanan. Inter aksi akan meningkat menjadi konflik. Jadi

konflik merupakan bentuk paling ekstrem dalam persaingan atau kompetisi.17

Selain itu konflik juga

dapat terjadi karena adanya kepentingan ekonomis, politik dan ideologi. Suatu sistem sosial dikatana

berada dalam keadaan konflik, bila sistem itu mempunyai dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan.

Konflik juga dirumuskan sebagai proses perjuangan mencapai nilai dan tuntutan atas status kekuasaan

dan sumber daya yang bertujuan untuk mengatasi, merusak atau menghancurkan saingannya. Secara

konvensional, konflik dirumuskan sebagai kejadian atau peristiwa, pertarungan dengan atau tanpa

kekerasan. Dengan demikian perlu dicari kausalitasnya baik sebab-sebab situasional maupun sebab-

sebab langsung.18

12A. Arthur Chiller, The Formation of Federal Indonesia, (The Hague/Bandung : W. van Hoeve Ltd, 1995) hlm.

25-26 13Kranenburg, Ilmu Negara Umum, (Jakarta : Pradya Paramita, 1983), hlm. 163-168) 14Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1986) hlm. 163-168 15Cliffford Geertz, “Ikatan-ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-negara Baru”, dalam

Juwono Sudarsono, (ed), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,

1991), hlm. 3-5. 16Kemala Chandra Kirana, “Geertz dan Masalah Kesukuan”, Dalam Prisma No.2 thn. Ke-xviii, (Jakarta : LP3ES,

1989). 17Sebagai rujukan lihat Ralf Dahrendorf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Indunstri : Sebuah

Analisis Kritik, (Jakarta : Rajawali Press, 1986), hlm. 191. Anthony Giddens dan David Held, Pendekatan Klasik

dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik, (Jakarta : Rajawali Press, 1987), hlm. 169, 18 Nel J. Smelser, Theory of Collecive Behavior, (New York, The Free Press, 1971), hlm. 169.

5

Di samping itu, karena periode ini masuk dalam masa revolusi nasional, maka perlu dipakati teori

revolusi integratif. Geertz merumuskan revolusi integratif sebagai berhimpunnya kelompok-kelompok

primordial yang tradisional dan berdiri sendiri, ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar dan

kerangka acuannya bukan lokal, tetapi lingkup bangsa, dalam arti seluruh masyarakat di bawah

perlindungan suatu pemerintahan baru.19

Oleh karen itu revolusi integratif adalah suatu proses yang

memunculkan kelompok-kelompok primordial ini menjadi kesatuan politik yang lebih besar dan

bercabang pengorganisasiannya. Wawasan kelompok primordial ini menjadi lebih luas dari lingkup lokal

ke lingkup negara (nation state) yang supra lokal. Ikatan primordial dalam penjelasan Geertz diperluas

ke tingkat politik nasional. Apa yang sebelumnya merupakan suatu kesatuan politik dengan ukuran kecil,

memiliki otonomi relatif dan bersifat primordial, selanjutnya dianggap terbaur (integrate) ke dalam

kesatuan politik yang tunggal. Ciri-ciri kesatuan yang baru adalah adanya pemisahan antara bidang

kepentingan golongan dengan bidang kepentingan umum berdasarkan kewarganegaraan.

Sementara itu menurut pandangan Liddle20

integrasi nasional memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi

horizontal yaitu masalah yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan suku, rasa, agama, aliran dan

sebagainya. Kedua, adalah dimensi vertikal yaitu masalah yang muncul dan berkembang menjadi

terbentuknya jurang, pemisah antara golongan elit nasional yang lebih kecil jumlahnya dengan massa

rakyat yang besar jumlahnya. Kedua dimensi ini menurut pendapatnya mempengaruhi pembentukan

nation state.

5. Telaah Pustaka Bahan–bahan literatur yang kiranya relevan dengan kajian yang akan penulis teliti adalah karya dari

Anthony Reid; The Blood Of The People Revolution And The End Of Traditional Rule In Northern

Sumatra, yang diterjemahkan oleh Tim PSH (Pustaka Sinar Harapan). Dalam karyanya ini hal–hal yang

dapat penulis ambil adalah mengenai kajian dari susunan daulat raja–raja Melayu; dalam karya ini

digambarkan bagaimana keahlian khas raja–raja Melayu dalam menjalin hubungan dengan penduduk

yang suka merompak dan suku–suku lain yang lebih besar jumlahnya tanpa mengorbankan nilai–nilai

adat kebiasaan dari raja–raja Melayu tersebut. Yang lebih penting dalam karya ini juga menggambarkan

pelopor–pelopor revolusi di Sumatera Timur tersebut. Disamping The Blood Of The People Revolution

And The End Of Traditional Rule In Northern Sumatra yang diterjemahkan ini, Revolusi Nasional

Indonesia juga menjadi kerangka analisa utama penulis dalam penulisan buku ini disamping karya–karya

pendukung lainnya.

Karya selanjutnya yang penulis pakai adalah karya dari Tengku Luckman Sinar dalam Sari Sejarah

Serdang. Pada karya ini, penulis merasa terbantu untuk mengerti akan latarbelakang dan mengenai

daerah–daerah yang masuk kedalam wilayah kerajaan Serdang tersebut. Disamping Sari Sejarah

Serdang; Jati Diri Melayu juga penulis pakai karena dengan adanya karya ini penulis lebih memahami

akan budaya politik Melayu yang kiranya membantu penulis dalam memahami akan Negara KeSultanan

Serdang . Selanjutnya tulisan dalam Denyut Nadi Revolusi yang menguraikan disekitar Sumatera Timur

menjelang proklamasi dan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Izharry Agusjaya Moenzir dalam Tengku Nurdin : Bara Juang Nyala Di Dada; karya ini menguraikan

bagaimana perjalanan hidup seorang bangsawan revolusioner dari kehidupan dalam istana hingga terjun

langsung kekancah pertempuran untuk mendukung revolusi Indonesia di Sumatera Timur tersebut.

19Clifford Geertz, “The Integrative Revolution Primordial Sentiments and Civil Politic on the

NewState”, dalam Cliffor Geertxz (ed), The Interpretation of Cultures, (New York : Basic Books, 1973), hlm. 106.

20R. William Liddle, Ethnicity, Party and National Integration : An Indonesia Case Study. (Yale University

Press, 1970)

6

Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah cetakan ke–2 oleh Sartono Kartodirdjo; alasan

penulis memilih bahan literatur ini oleh karena penulis untuk memahami penulisan buku ini

membutuhkan salah satu pegangan metodologis dalam hal mempertanggungjawabkan secara ilmiah dari

kajian yang penulis teliti. Dalam karya ini banyak hal yang dapat penulis ambil untuk lebih memperkuat

landasan kajian yang penulis teliti seperti untuk konsep dan perspektif sejarah (Teori dan Metodologi

Sejarah) serta pengertian pendekatan–pendakatan yang dilakukan ilmu sejarah terhadap ilmu–ilmu sosial

lainnya.

Selain karya dari Sartono; penulis juga menggunakan bahan–bahan literatur lain untuk metode dari

penulisan sejarah. Karya yang penulis anggap sangat membantu juga adalah karya–karya sejarah yang di

sunting dari beberapa makalah yang digabungkan kedalam satu karya seperti Pemahaman Sejarah

Indonesia : Sebelum dan Sesudah Revolusi oleh William H. Frederick dan Soeri Soeroto. Dalam karya

ini yang dapat penulis ambil sebagai penambah untuk mengarahkan penulis kiranya menuju kearah

kesempurnaan dalam pengkajian dari permasalahan yang penulis teliti; seperti, empat unsur dalam

pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk dapat memahami masa lampau yang umum diakui di

dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Selain unsur pemikiran sejarah hal–hal

yang penulis ambil dalam karya ini adalah landasan utama daripada metode sejarah; bagian ini

menerangkan bagaimanakah seorang historiograf dalam menangani bukti–bukti yang diyakini sebagai

sesuatu dari bukti sejarah kemudian setelah didapat bukti–bukti tersebut bagaimana menghubungkan dari

satu bukti ke bukti yang lainnya.

Abdul Latiff Abu Bakar dalam Melaka dan Arus Gerak Kebangsaan Malaysia dalam karya ini ada

diungkapkan mengenai budaya politik Melayu; untuk memahami akan budaya Melayu maka sangat

tetaptlah kiranya penulis memakai tulisan Abdul Latiff Abu Bakar ini.

Tim Pengumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan DATI I Sumatera

Utara dalam Draf Sejarah Perkembangan Pemerintahan propinsi Sumatera Utara, 1945–1950. Karya ini

menguraikan mengenai hal–hal Sumatera Utara dalam revolusi Indonesia.

Karl J. Pelzer dalam Planter And Peasant, Colonial Policy And The Agrarian Strunggle In East

Sumatera (1863-1947) atau Toen Keboen Dan Petani : Politik Kolonial Dan Perjuangan Agraria Di

Sumatera Timur, 1863–1947 yang diterjemahkan oleh J. Rumbo. Pada karya ini secara luas meguraikan

kehidupan kaum bangsawan setelah kedatangan bangsa asing yang secara tidak langsung

memperkenalkan keberadaan Sumatera timur tersebut.

Selanjutnya tulisan dari Indera dalam Peranan Deli Spoorweg Maatchappij Sebagai Alat Transportasi

Perkebunan Di Sumatera Timur, 1883–1940 dalam Buletin Historisme edisi No. 9 bulan Januari ditahun

1998. Dalam tulisan ini diuraikan bagaimana suatu perusahaan perkebunan dapat membuka kota seperti

kota Medan, Binjai, Tebing Tinggi dan lain–lain. Disamping karya Peranan Deli Spoorweg Maatchappij

Sebagai Alat Transportasi Perkebunan Di Sumatera Timur, 1883–1940 didalam buletin yang sama di

edisi No. 11 pada bulan Januari ditahun 1999 dengan tulisan Perkebunan Tembakau Deli, 1863–1891

menguraikan bahwa dengan ditemukannya tanaman tembakau yang berkualitas sangat membantu

Sumatera Timur dalam pemasukan devisa ke kas dibanyak negara di Sumatera timur.

George Mc Turnan Kahin dalam Nationalism And Revolution In Indonesia, atau Refleksi Pergumulan

Lahirnya Republik : Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia yang diterjemahkan oleh Nin Bakdi

Soemanto. Dalam karya ini digambarkan bagaimana awal–awal dari revolusi Indonesia sampai

pengakuan kedaulatan Belanda atas keberadaan Indonesia.

Panitia Konfrensi Internasional dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Karya ini menguraikan

bagaimana sebenarnya gerakan–gerakan revolusioner yang dilakukan oleh rakyat dalam revolusi

Indonesia yang mewabah diseluruh wilayah Indonesia.

7

Ben Anderson dalam Java In A Time Of Revolution Occuption And resistences, 1944–1946 atau

Revolusi Pemuda : Pendudukan Jepang dan Perlawanan Di Jawa, 1944–1946 yang diterjemahkan oleh

Jiman Rumbo. Dalam karya ini penulis merasa terbantu dalam memahami akan latarbelakang pemuda

menjadi radikal. Karya ini juga menguraikan bagaimana hubungan Tan Malaka melalui persatuan

perjuangannya yang dalam kenyataannya organisasi perjuangan ini dituduh sebagai otak dari tragedi

tahun 1946 di Sumatera.

Biliver Singh dalam Dwifungsi ABRI : The Dual Function Of The Indonesian Armed Forces, atau

Dwifungsi ABRI : Asal–Usul, Aktualisasi dan Implikasinya Bagi Stabilitas dan Pembangunan yang

diterjemahkan oleh Robert Hariono Imam menguraikan bagaimana sebenarnya kelahiran militer dan

peran militer Indonesia dalam politik Indonesia di jaman revolusi, khsususnya kebijakan–kebijakan yang

dibuat oleh angkatan darat.

Ulf Sundhaussen dalam Road To Power : Indonesian Military Politics, 1945–1967 atau Politik Militer

Indonesia : Menuju Dwifungsi ABRI yang diterjemahkan oleh Hasan Basari. Dalam karya ini diuraikan

bagaimana sebenarnya latarbelakang terbentuknya militer Indonesia dan latarbelakang prajurit dan

perwiranya menurut suku, agama, dan latarbelakang didikan militer yang mereka dapatkan tersebut serta

perkembangan militer itu sendiri.

Revolusi yang terjadi di Negara KeSultanan Serdang merupakan gambaran Revolusi yang penuh

dengan konflik. Untuk itu penulis merasa perlu menganalisis peristiwa ini melalui teori konflik. Trio

karya yang dapat menjadi acuan untuk menganalisi permasalahan ini berupa karya dari Ralf Dahrendorf

dalam Class and Class Conflik In Industrial Societiey yang diterjemahkan oleh Ali Mandan dalam

Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri : Sebuah Analisa Kritik. Pada karya ini penulis merasa

terbantu untuk mengerti akan doktrin–doktrin Marxian dilihat dari sudut perubahan historis dan wawasan

sosiologis; strukstur sosial dan perubahan–perubahan sosial, perubahan sosial dan pertentangan kelas,

pertentangan kelas dan revolusi, pemilikan dan kelas sosial; kepentingan kelompok, kelompok–

kelompok yang bertentangan, struktur wewenang negara, peran birokrasi, wewenang politik dan kelas

penguasa. Karya Anthony Giddens dan David Held, Pendekatan Klasik dan Kontemporer Mengenai

Kelompok, Kekuasaan dan Konflik; serta karya dari Nel J. Smelser, Theory of Collecive Behavior.

Konflik dapat dilihat sebagai interaksi antara dua atau lebih kelompok kekuatan yang memiliki

kepentingan yang berlawanan. Inter aksi akan meningkat menjadi konflik. Jadi konflik merupakan

bentuk paling ekstrem dalam persaingan atau kompetisi. Selain itu konflik juga dapat terjadi karena

adanya kepentingan ekonomis, politik dan ideologi. Suatu sistem sosial dikatana berada dalam keadaan

konflik, bila sistem itu mempunyai dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan. Konflik juga

dirumuskan sebagai proses perjuangan mencapai nilai dan tuntutan atas status kekuasaan dan sumber

daya yang bertujuan untuk mengatasi, merusak atau menghancurkan saingannya. Secara konvensional,

konflik dirumuskan sebagai kejadian atau peristiwa, pertarungan dengan atau tanpa kekerasan. Dengan

demikian perlu dicari kausalitasnya baik sebab-sebab situasional maupun sebab-sebab langsung.

S.N Eisenstadt dalam Revolution and The Transformation of Societies, yang diterjemahkan oleh

Chandra Johan dalam Revolusi dan Transformasi Dalam Masyarakat. Pada karya ini penulis merasa

terbantu untuk mengerti akan sebab musabab terjadinya revolusi atau perubahan yang revolusioner

dengan mengemukakan kerangka kerja studi perbandingan peradapan. Karya ini di samping memberikan

pandangan baru tentang kekhususan historis dan budaya revolusi sembari menganalisa proses terjadinya

perubahan di dalam peradapan–peradapan besar. Bertumpu pada ajakan itu, Eisenstadt menarik

kesimpulan bahwa perubahan revolusioner cendrung mengambil tempat pada negara–negara kerajaan

feodal dan feodal kerajaan.

Tan Malaka dalam Dari Penjara Ke Penjara pada Jilid 1, menguraikan bagaimana sebenarnya

kehidupan seorang yang berasal dari bangsawan Minangkabau tertarik akan marxisme. Disamping karya

Dari Penjara Ke Penjara pada Jilid 1, penulis juga memakai karya Tan Malaka yang lain yaitu Madilog.

Dalam Madilog ini diuraikan bagaimana sebenarnya Tan Malaka dalam memahami marxisme dan dia

8

melihat bahwa marxis “internasional” yang kiranya tidak cocok dengan alam Indonesia. Dalam karya ini

Tan Malaka mengatakan bahwa “komunis Indonesia sudah tumbuh dari jaman Indonesia kuno dengan

gotong–royong sebagai ciri khas utamanaya”. Dalam pengertian perjuangan kelas Tan Malaka

menguraikan sebagai berikut : “pergerakan revolusioner Indonesia bertumpu pada kerjasama antara

semua kelompok atau golongan yang mempunyai kepentingan bersama untuk mengalahkan musuh–

musuh dari kelompok penentang”.

Notosoetardjo dalam Dokumen–Dokumen Konfrensi Meja Bundar : Sebelum, Sesudah dan

Pembubarannya. Dalam karya ini dapat dilihat gambaran bagaimana sebenarnya kebijakan yang diambil

untuk politik nasional ditahun 1946–1947 baik itu untuk muatan dalam negeri sendiri maupun untuk

kebijakan luar negeri (perjanjian dengan Belanda).

Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration For Constitutional Government In Indonesia : A

Socio–Legal Study Of The Indonesian Konstituante, 1956-1959, atau Aspirasi Pemerintahan

Konstitusional Di Indonesia : Studi Sosio–Legal Atas Konstituante, 1956-1959 yang diterjemahkan oleh

Sylvia Tiwon. Dalam karya ini yang dapat penulis ambil sebagai bahan pengkajian penulis ialah bahwa

karya ini menguraikan mengenai latarbelakang proses ketatanegaraan Indoensia beserta pelaku–pelaku

sejarah yang sangat berperan dalam menyusun ketatanegraan ini. Dalam karya ini juga diungkapkan

bagaimana militer (angkatan darat) dengan mitra sipilnya menyususun undang–undang dasar yang akan

diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia ini.

Seketariat Negara Republik Indonesia dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka, dalam karya ini yang

kiranya relevan sebagai bahan yang mendukung pengkajian penulis ini ialah mengenai campur tangan

militer (angkatan darat) dalam kebijakan–kebijakan dari politik nasional yang dibuat oleh mitra sipilnya.

Sudijono Sastoadmodjo dalam Perilaku Politik, dalam karya ini yang dapat penulis ambil sebagai

salah satu bahan dari pengkajian ini ialah mengenai budaya politik Indonesia menurut Lucian Pye yang

dikutip dalam karya ini; disamping itu karya ini lebih membantu penulis dalam memahami akan budaya

politik para elit.

Jon Elster dalam An Introductions To Karl Marx atau Marxisme : Analisis Kritis yang diterjemahkan

oleh Sudarmaji. Pada karya ini penulis merasa terbantu untuk memahami apa sebenarnya marxisme itu.

Samakah marxisme yang diterapkan oleh dunia internasional dengan marxisme yang diterapkan oleh

para revolusioner di Indonesia. Ternyata marxisme yang sampai di Indonesia hanyalah dipakai sebagai

wacana penggerak revolusi Indonesia dan bukan sebagai ideologi yang dilaksanakan untuk selamanya.

Fransz Magnis Suseno dalam Etika Jawa : Sebuah Analisa Filsafi Tentang Kebijakan Hidup Jawa,

dalam karya ini yang penulis ambil hanya untuk sebagai studi banding mengenai antara pemahaman

kekuasaan menurut Jawa dengan pandangan kekuasaan menurut paham Melayu dan dalam karya ini juga

ada ditampilkan pemahaman kekuasaan menurut Barat.

Karya dari Muhammad Abduh dan kawan–kawan dalam Pengantar Sosiologi. Dalam karya ini

dijelaskan bagaimana peranan sosiologi dalam menganalisa masyarakat secara umum maupun secara

khusus.

Karya R. William Liddle, Ethnicity, Party and National Integration : An Indonesia Case Study.

Dalam karya ini dijabarkan bagaimana integrasi nasional memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi

horizontal yaitu masalah yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan suku, rasa, agama, aliran dan

sebagainya. Kedua, adalah dimensi vertikal yaitu masalah yang muncul dan berkembang menjadi

terbentuknya jurang, pemisah antara golongan elit nasional yang lebih kecil jumlahnya dengan massa

rakyat yang besar jumlahnya. Kedua dimensi ini menurut pendapatnya mempengaruhi pembentukan

nation state.

Karya Clifford Geertz dalam The Integrative Revolution Primordial Sentiments and Civil Politic on

the NewState. Geertz merumuskan revolusi integratif sebagai berhimpunnya kelompok-kelompok

primordial yang tradisional dan berdiri sendiri, ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar dan

9

kerangka acuannya bukan lokal, tetapi lingkup bangsa, dalam arti seluruh masyarakat di bawah

perlindungan suatu pemerintahan baru.

Yang terahir karya dari Gorys Keraf dalam Komposisi. Pada karya ini, penulis merasa terbantu untuk

mengerti akan cara–cara mengutip, cara membuat catatan kaki, penerapan catatan kaki dan singkatan

serta penyusunan bibliografi.

6. Metodologi Ilmu sejarah seperti ilmu–ilmu lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat untuk mengorganisasi

seluruh tubuh pengetahuannya serta merekontruksi pikiran, yaitu metode sejarah. Kalau metode

berkaitan dengan masalah “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know), metodologi

menyangkut soal “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). Secara implisit

metodologi mengandung unsur teori.21

Dalam metode sejarah terdapat empat unsur pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk

memahami masa lampau; diakui umum di dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan

yaitu waktu, fakta (bisa juga kenyataan), tekanan pada sebab–musabab dan tidak lagi membatasi

wilayah penyelidikan. Ada sebuah pernyataan yang baik memberikan indikasi dalam persoalan ini : “Dalam metode sejarah ini terdapat empat unsur pemikiran sejarah yang merupakan proses untuk

memahami masa lampau; diakui umum di dunia masa kini sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.

Yang paling penting ialah pengertian waktu (barangkali harus mengatakan waktu) sebagai sesuatu yang

langgeng dan berurutan. Para ahli sejarah kontemporer memandang waktu dan berlalunya waktu dengan

kecepatan yang teratur dan yang dapat diukur, sebagai pangkal pemikiran sejarah oleh karena waktu dan

ciri-ciri khasnya itu dapat diuraikan sebagai sesuatu yang mutlak dalam sejarah. Kejadian hanya terjadi

satu kali dan satu atau dua kejadian hanya dapat mempunyai satu kaitan dalam waktu. Apa lagi, waktu

juga merupakan suatu segi masa lampau yang dapat kita ukur secara tepat. Seorang sejarahwan moderen

haruslah dapat mengerti secermat mungkin kapan kejadian itu terjadi dan apa kaitannya dengan kejadian

yang lain dalam waktu yang bersamaan atau berurutan. Dalam ukuran yang lebih besar atau lebih kecil

“kerangka besi” ini membentuk segala segi yang menyangkut tafsiran modern tentang masa lampau. Inilah

perbedaan yang antara pandangan moderen yang pengamatan pra atau non–moderen. Unsur selanjutnya

yang harus dipertimbangkan oleh sejarahwan modren ialah kesadaran akan sifat dasar fakta–fakta; yaitu

kerumitannya. Dalam bahasa umum kata fakta (“fact”) atau bisa juga : kenyataan, mengandung kepastian

yang diterima begitu saja. Tapi ahli sejarah moderen sadar akan “kelicinan” fakta. Yang paling sederhana

sekalipun merupakan “fakta”, umpamanya; bahwa sebatang potlot dilihat dari satu sudut pandangan

tanpak panjang dan tipis. Tapi bilamana kita putar potlot itu sehingga kita lihat dari ujung ke ujung

ternyata bentuknya berlainan sama sekali. Kita pun bisa “tergoda” untuk mengatakan suatu pernyataan

yang mencakup berbagai “fakta”. misalnya orang tua Soekarno adalah guru sekolah yang miskin dengan

penghasilan hanya sekian rupiah sebulan. Fakta–fakta itu dapat digunakan untuk memperoleh kesimpulan

yang menyesatkan bila kita tidak menegaskan bahwa penghasilan yang sekian rupiah itu serta status

pekerjaan seorang guru sekolah, menempatkan keluarga Soekarno dalam golongan masyarakat teratas

yang berjumlah 2–3 persen pada waktu itu. Singkatnya, fakta tidak atau jarang sekali merupakan bahan

keterangan yang abstrak dan mutlak. Fakta itu harus dilihat dari berbagai sudut sebanyak mungkin, serta

diperlakukan dengan berhati–hati sekali. Segi lainnya dari fakta yang seharusnya diperhatikan oleh

sejarahwan secara khusus; bahwa yang disebut “fakta” atau “data” murni harus ditanggapi dengan penuh

perhatian, sama seperti halnya dengan. Unsur ketiga yang merupakan ciri khas pemikiran sejarah

moderen ialah tekanan pada sebab–musabab. Para ahli sejarah masa kini ingin mengetahui sejelas–

jelasnya bukan saja kapan suatu kejadian itu terjadi, apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bagaimana

terjadinya, tetapi juga mengapa. Di sini, masalah yang dihadapi memang tidak sekongkrit masalah waktu

atau fakta. Meskipun demikian pemecahannya tidak dapat dilakukan secara serampangan. Sejarah

21Sartono. Op. Cit. , hal. ix.

10

moderan mempunyai metode untuk membimbing penyelidikan dan mempertimbangkan buktinya.

Penggunaan metode ini dinyatakan dengan dua pendekatan terhadap pernyataan tentang sebab–musabab

dalam sejarah. Pertama : ada perbedaan antara “hubungan” dan “sebab”. Bisa saja ada hubungan

(dalam waktu); tetapi tanpa bukti tambahan, maka penulis tidak dapat mengusulkan bahwa antara kedua

kejadian itu ada kaitan penyebabnya. Kedua : para ahli sejarah masa kini menerima pendapat bahwa

pada umumnya kejadian–kejadian mempunyai banyak penyebab; bukan hanya satu. Penyebab–penyebab

itu dapat disusun sedemikian rupa sehingga terlihat bagaimana sesungguhnya mereka saling

mempengaruhi. Akhirnya; sejarah dewasa ini, tidak lagi membatasi wilayah penyelidikannya. Pada

hakekatnya, setiap topik yang dapat dibayangkan manusia dapat dilihat dari sudut sejarah. Semakin

banyak ahli sejarah mengkhususkan diri dalam bidang yang mungkin kedengarannya sempit dan aneh,

sebagai contoh; kebudayaan popular–termasuk nyanyian–nyanyian rakyat dan film. Untuk selanjutnya

terpulang kepada penulis untuk mewujudkan apa sebenarnya arti dari topik semacam itu”22

Sebagai permasalahan inti dari metodologi dalam ilmu sejarah dapat disebut masalah pendekatan.

Penggambaran kita mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan; ialah dari segi mana

kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan dan lain

sebagainya. Hasil pelukisan akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai. Dalam

menghadapi gejala historis yang serba kompleks, setiap penggambaran atau debuku menuntut adanya

pendekatan yang memungkinkan penyaringan data yang diperlukan. Suatu seleksi akan dipermudah

dengan adanya konsep-konsep yang berfungsi sebagai criteria.23

Secara sederhana untuk merekontruksi peristiwa yang penulis teliti ini dilakukan dalam beberapa

langkah; yaitu : heuristik, kritik, interprestasi dan historiografi.

Pada tahap heruistik; penelusuran dan pengumpulan bahan data penulis lakukan dengan melalui

teknik quota sampling. Dalam teknik ini jumlah populasi tidak penulis perhitungkan, akan tetapi

dilkasifikasikan dalam beberapa kelompok. Sampel diambil dengan memberikan jatah atau quotum

tertentu pada setiap kelompok yang seolah–olah berkedudukan masing–masing sebagai sub populasi.

Pengumpulan data dilakukan langsung pada unit sampling yang penulis temui. Setelah jumlahnya

diperkirakan oleh penulis mencukupi, pengumpulan data dihentikan. Bahan–bahan yang digunakan

adalah bahan–bahan yang berhasil penulis kumpulkan melalui sumber–sumber tertulis; dalam hal

pengumpulan sumber–sumber tertulis ini penulis menekankan pada penggunaan studi pustaka atau

library research sebagai pengumpulan sumber utama sejarah yang penulis kaji ditambah dengan hasil

wawancara dengan beberapa tokoh yang terlibat baik secara langsung maupun tokoh–tokoh yang terlibat

secara tidak langsung pada peristiwa sejarah tersebut.

Adapun tokoh–tokoh yang penulis wawancarai itu adalah sebagai berikut :

1) Almarhum Bapak Tengku Luckman Sinar, SH. merupakan seorang anak dari almarhum Sultan

Serdang. Sekarang pernah berkedudukan sebagai pewaris dari Dewan Negara KeSultanan

Serdang . Bapak ini berumur kira–kira 50 Tahun (sewaktu Penulis Wawancarai di tahun 2001)

dan tinggal di Jalan Abdulla Lubis No. 42/47 Medan;

2) Bapak Tengku Syahrial. Bapak ini juga merupakan salah seorang anak dari almarhum Sultan

Serdang. Pada masa revolusi Indonesia, bapak ini menggabungkan diri kedalam TRI dan juga

sebagai Seketaris dari Jenderal Timur Pane. Bapak ini berumur kira–kira 80 Tahun dan sekarang

beralamat di Jalan Kalimantan III No. 18 B Kompleks Perumahan Pelabuhan, km 20 Belawan;

3) Bapak Tengku Syahrul. Bapak ini merupakan salah seorang bangsawan Melayu Langkat.

Sewaktu revolusi Indonesia terjadi bapak ini masih berumur kira–kira 5 tahun dan masih

mengingat kejadian–kejadian diseputar revolusi Indonesia di Langkat. Bapak ini berumur kira–

kira 61 tahun dan sekarang beralamat di Jalan Fatahila No.12 Selesai;

22Frederick, Soeri Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia : Sebelum dan Sesudah Revolusi (Jakarta :

LP3ES, 1991), hal. 7–13. 23Sartono. Op. Cit., hal.4.

11

4) Bapak Tengku Muhammad Abra. Bapak ini merupakan salah seorang bangsawan Melayu Deli.

Sewaktu revolusi Indonesia terjadi bapak ini masih berumur kira–kira 5 tahun dan masih

mengingat kejadian–kejadian diseputar revolusi Indonesia di Deli; dimana pada waktu revolusi

sosial 1946 istana Maimun diserang oleh kelompok sipil bersenjata yang anti–feodal. Bapak ini

berumur kira–kira 60 tahun dan sekarang beralamat di Jalan Lampu Kompleks Rispa No.15

Medan.

Dari jawaban–jawaban informan atas dasar pengalaman dan pendapat mereka lalu diperiksa berselang

lagi dengan informan lainnya. Misalnya mengenai bagaimanakah sebenarnya Negara KeSultanan

Serdang dalam memahami revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu dari keanekaragaman dan

pertumbuhannya yang dinamis serta subur tersebut dan mengenai seperti apa bentuk/tampilan yang

digunakan Negara KeSultanan Serdang dalam revolusi Indonesia di Sumatera Timur itu. Pada tahap ini

penulis telah melakukan penelitian terhadap bahan-bahan koleksi dari Almarhum bapak Tengku

Lukcman Sinar, SH; buku–buku koleksi dari perpustakaan USU, buku–buku koleksi pribadi dari milik

teman penulis - Mahardi dan buku–buku koleksi penulis pribadi. Tindakan yang akan penulis lakukan ini

sesuai dengan tahapan kedua dari metode sejarah yakni merekonstruksi peristiwa ini dengan mengadakan

kritikan terhadap sumber–sumber data yang telah penulis kumpulkan dan yang kemudian berdasarkan

kebutuhan objek peneltian selanjutnya di seleksi.

Setelah sumber–sumber data yang terseleksi ini; maka tindakan selanjutnya yang penulis lakukan

ialah mengadakan interprestasi terhadap sumber–sumber data tersebut untuk menemukan struktur logis

dengan kebutuhan sumber–sumber data yang mendukung peristiwa ini sehingga mempunyai makna.

Akhirnya dengan kombinasi langkah–langkah yang sebelumnya penulis lakukan; maka barulah

diketengahkan tulisan ini ke khalayak pembaca melalui suatu bentuk laporan penelitian.

7. Pertanggung Jawaban Sistematika

Selanjutnya pembicaraan mengenai buku ini akan dibentangkan dalam enam bab, yang masing-

masing dibagi lagi dalam sub-bab. Bab Satu yang berupa pendahuluan daripada bagian ini berisi

diseputar latar belakang situasi dan kondisi yang menyertai dinamika NEGARA KESULTANAN

SERDANG.

Bab Dua berisi bagaimana proses gambaran umum Negara Kesultanan Serdang dengan melihat dari

segi kondisi geografis negara, titik awal keberadaan Negara, kondisi ekonomi-politik negara dan

bagaimana sebenarnya penduduk yang mendiami Negara Kesultanan Serdang ini. memperkokoh negara

Bab Tiga akan dibahas mengenai bagaimana untuk memperkokoh NEGARA KESULTANAN

SERDANG, mengingat posisi strategis daripada Sumber Hukum Materiil Daulat-Durhaka, Sumber

Hukum Formal serta Asas Pembagian dan Kerjasama Kekuasaan.

Bab Empat akan membahas mengenai perihal Bentuk dan Sistem Negara yang diterapkan oleh Negara

KeSultanan Serdang. Dalam bab ini dijabarkan tentang masalah-masalah diseputar : Ciri-Ciri Negara

Negara KeSultanan Serdang, Sifat-Sifat Negara, Unsur-Unsur Negara, Wilayah, Tujuan dan Fungsi

Negara, Kependudukan, Falsafah Negara Serdang : Adil di Sembah – Zalim di Sanggah dan Dasar

Negara Kesultanan Serdang.

Bab Lima; dalam bagian ini akan membahas mengenai hal Bentuk dan Sistem Pemerintahan.

Penjabaran pada bagian ini akan tertuju diseputar : Kelahiran dan Evolusi Pemerintahan, Bentuk

Pemerintahan, Susunan Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan.

Bab Enam merupakan sebagai bagian penutup akan memberikan simpulan secara umum diseputar

Konstruksi Negara Kesultanan Serdang berdasarkan perjalanan daripada Negara Kesultanan Serdang

tersebut.

12

13