Agama Sebagai Motivator Tindakan Sosial

21
UAGAMA SEBAGAI MOTIVATOR TINDAKAN SOSIAL Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Sosiologi Agama” Dosen Pengampu: Faiz Tajul Millah, MA Disusun Oleh: Masduki Zakariya NIM: 11.01.0026 Nurhayati NIM: 12.01.0027 PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SANGATTA KUTAI TIMUR 2015

Transcript of Agama Sebagai Motivator Tindakan Sosial

UAGAMA SEBAGAI MOTIVATOR TINDAKAN SOSIAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Sosiologi Agama”

Dosen Pengampu: Faiz Tajul Millah, MA

Disusun Oleh:

Masduki Zakariya

NIM: 11.01.0026

Nurhayati

NIM: 12.01.0027

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SANGATTA

KUTAI TIMUR

2015

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah mata

kuliah Pengembangan Kurikulum PAI. Shalawat serta salam, tetap

tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad Saw. yang telah

membawa kita dari jaman jahiliyah menuju jaman Islamiyah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Faiz Tajul Millah,

MA selaku dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi Agama. Karena atas

bimbingan dan segala dukungan yang telah beliau berikan pada penulis,

penulis mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan beliau. Tidak

lupa penulis mengucapkan terima kasih pula kepada teman-teman yang

selalu ikut berpartisipasi memberikan kritik dan saran yang membangun

terhadap karyatulis penulis.

Kutai Timur, April 2015

Penulis

ii

Daftar Isi

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3

A. Pengertian Agama ................................................................................. 3

1. Agama Sebagai Fakta Sosial ............................................................. 3

2. Agama dan Religi .............................................................................. 4

B. Agama Dalam Relasi Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan ............ 7

C. Agama Sebagai Motivator Tindakan Sosial ......................................... 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 16

A. Simpulan ............................................................................................. 16

B. Saran ................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama telah hadir sebagai fakta sosial. Meskipun secara empiris,

memelajari ilmu sosial untuk bidang keagamaan tidak untuk membenarkan

objek kajian itu sendiri. Karena pada dasarnya, agama ada dibutuhkan untuk

mendorong perkembangan umat manusia —pemeluknya— menuju

kebahagiaan, kemuliaan, dan kemudahan. Yang pertamakali adalah aspek

spiritual, atau yang lebih mendekati secara saintifik adalah dorongan psikologis.

Harus diakui, sedikit demi sedikit ada perbedaan perspektif dalam

memandang agama dari awal perkembangan ilmu sosial atau pun psikologi

pada akhir 1800-an hingga awal 1900-an sampai dewasa ini. Kini, agama tidak

semata objek kajian. Akan tetapi telah disadari bahwa aspek nilai yang

dikandungnya bermanfaat dalam pengembangan masyarakat di bagian mana

pun di dunia. Oleh karena itu, mengamati bagaimana agama dapat mendorong

timbulnya tindakan sosial adalah hal yang menarik bagi sosiologi, sosiologi

agama.

Tentunya, fakta yang dihadirkan bukanlah hal yang dipilih untuk

dinyatakan benar menurut agama itu. Karena perbedaan keyakinan,

pemahaman, dan sikap toleransi harus diakui juga di belahan mana pun di bumi

terjadi gesekan satu sama lain bahkan oleh sekte atau aliran di dalam agama itu

sendiri. Hal ini juga sasaran yang patut dikaji dari agama sebagai motivator

tindakan sosial. Namun, sudah menjadi tugas ilmu pengetahuan untuk mengkaji

kemudian mengembangkan kea rah yang lebih baik.

Dalam latar belakangnya, agama —haruslah— menuntun manusia ke

kehidupan yang lebih baik secara kolektif menurut idealisme keyakinannya.

Karena kehidupan manusia tidak dapat hanya dikaitkan dengan kehidupan

individual semata, maka agama merupakan gerakan keyakinan yang sama yang

dianut oleh penganutnya. Tindakan sosial positif dapat dilakukan penganut

2

agama terhadap kalangannya. Namun tindakan sosial lain dapat terjadi terhadap

penganut agama lain yang mengarah pada tindakan negatif bahkan nihilisme.

Oleh karena itu, makalah ini menyajikan susunan asal-muasal tindakan

sosial yang dilatarbelakangi oleh keyakinan beragama. Agama begitu penting

bagi aspek sosial, tapi juga begitu genting jika terdapat kesalahpahaman atau

kekurangtoleransian. Makalah ini disusun dengan judul Agama Sebagai

Motivator Tindakan Sosial.

B. Rumusan Masalah

Guna dapat memberikan alur penjelasan yang baik, maka dibuatlah

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari agama?

2. Bagaimana relasi agama terhadap manusia, masyarakat, dan kebudayaan?

3. Bagaimana peran agama sebagai motivator tindakan sosial?

C. Tujuan Penulisan

Dengan rumusan masalah seperti di atas, maka didapati tujuan penulisan

sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian agama.

2. Mengetahui relasi agama terhadap manusia, masyarakat, dan kebudayaan.

3. Mengetahui peran agama sebagai motivator tindakan sosial.

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama

1. Agama Sebagai Fakta Sosial

Agama dapat ditelusuri hingga ribuan tahun silam. Bahkan, di dalam

agama itu sendiri tak jarang ditemukan ajaran yang menyataka sudah

seberapa lama eksistensi agama itu hadir dunia. Dengan rentang masanya

yang begitu jauh tersebut, maka agama bukanlah hal yang baru dan

merupakan fakta sosial. Lebih jauhnya, fakta sosial menurut para ahli adalah

seperti berikut.

Menurut Dadang Kahmad, fakta sosial berangkat dari asumsi umum

bahwa gejala sosial itu riil dan memengaruhi keadaan individu serta

perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atai

karakteristik individu lainnya. Lebih lagi, karena gejala sosial merupakan

fakta yang riil, gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan metode empiris,

yang memungkinkan satu ilmu tentang masyarakat dapat dikembangkan.

Sebagai suatu gejala sosial, fakta sosial berbeda dengan gejala

individual. Sebagai gejala sosial, ia mempunyai tiga karakteristik utama.

Pertama, fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu. Artinya, fakta

sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang

memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar

kesadaran lindividu. Kedua, fakta sosial itu memaksa individu. Seorang

individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi oleh

pelbagai fakta sosial dalam lingkungan masyarakatnya. Artinya, fakta sosial

mempunyai kekuatan memaksa individu melepaskan kemauannya sendiri

sehingga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta sosial.

Ketiga, fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam

masyarakat. Artinya, fakta sosial itu milik bersama, milik semua individu

yang ada di masyarakat tersebut. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif

4

sehingga pengaruhnya pada individu itu juga merupakan hasil dari

kolektifnya ini.1

Fakta sosial menurut Durkheim, terdiri dari dua macam:

a. Bentuk materiel; yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan

diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah dari dunia

nyata (external world). Contohnya, arsitektur dan norma hukum.

b. Bentuk nonmateriel; yaitu sesuatu yang dianggap nyata. Fakta sosial

jenis ini merupakan fenomena yang bersifat intersubjektif yang hanya

dapat muncul dalam kesadaran manusia. Contohnya, egoisme,

altruisme, dan opini.

Adapun menurut tipenya, fakta sosial —yang menjadi pusat

perhatian sosiologi— terdiri dari struktur sosial dan pranata sosial. Struktur

sosial adalah jaringan hubungan sosial di mana interaksi sosial berproses

dan menjadi terorganisir. Sehingga dapat dibedakan posisi-posisi sosial dari

individu dan subkelompok. Sedangkan pranata sosial adalah antarhubungan

norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktivitas manusia —yang

dalam bahasa Inggris disebut institution— seperti keluarga, pemerintahan,

ekonomi, pendidikan, agama, dan ilmu pengetahuan.2

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, agama termasuk kategori

bentuk nonmateriel dengan tipe pranata sosial. Agama sebagai fakta sosial

sesuai dengan kriteria yang disampaikan oleh Dadang Kahmad di atas.

2. Agama dan Religi

Berdasarkan sudut pandang kebahasaan —bahasa Indonesia pada

umumnya— “agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa

sansekerta yang artinya “tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku

kata, yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”. Hal ini

mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang

1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, Cet. 5,

hlm. 5 2 Ibid., hlm. 6

5

mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya

yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam

bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda —keduanya berasal dari

bahasa Latin, religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat.3

Dilihat dari sudut pandang pemahaman manusia, agama memiliki

dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu sebagai berikut.

a. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjektif atau

kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh

penganut agama. Kondisi inilah yang biasa disebut kondisi agama, yaitu

kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi itu hampir sama

dengan konsep “Religius Emotion” dari Emile Durkheim. Emosi

keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh

setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “makhluk

Tuhan”. Dimensi religiositas merupakan inti dari keberagamaan. Inilah

yang membangkitkan solidaritas seagama, menumbuhkan kesadaran

beragama, dan menjadikan seseorang menjadi orang yang saleh dan

bertakwa.

Segi psiologis ini sangat sulit diukur dan susah diamati karena

merupakan milik pribadi pemeluk agama. Pengungkapan

keberagamaan segi psikologis ini baru bisa dipahami ketika telah

menjadi sesuatu yang diucapkan atau dinyatakan dalam perilaku orang

yang beragama tersebut.

b. Segi objektif (objective state), yaitu segi luar yang disebut juga kejadian

objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama

dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi

teologis, ritual, maupun persekutuan. Segi objektif inilah yang bisa

dipelajari apa adanya dan, dengan demikian, bisa dipelajari dengan

menggunakan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat-

istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan,

3 Ibid, hlm. 13

6

cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut

suatu masyarakat.4

Dari uraian tentang definisi agama di atas, dapat disimpulkan sebagai

berikut.

Pertama, sebagian besar ilmuwan membatasi pengertian agama

dalam bentuk yang hanya bisa diterapkan pada agama-agama Samawi yang

masih otentik saja, yakni agama-agama tauhid yang daidasarkan pada

keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, Maha Mengadakan,

Pemberi bentuk, dan Pemelihara segala sesuatu, serta hanya kepada-Nya

dikembalikan segala urusan. Agama budaya —seperti agama alam yang

hanya berdasar akal ataupun agama-agama yang bertuhankan dunia

binatang, tumbuhan, gejala-gejala alam, atau kekuatan-kekuatan lain di luar

alam— tidak termasuk dalam batasan ini.

Kedua, sebagai kebalikan dari gambaran tentang agama seperti tersebut

di atas, mereka —diantaranya para sosiolog dan arkeolog seperti Emil

Durkheim, pemimpin mazhab ilmu sosial Perancis, dan Solomon Reinach—

menyisihkan ide tentang Tuhan Yang Maha Pencipta. Dalam hal ini mereka

beralasan bahwa setiap agama klasik di Timur —seperti Budha, Jainisme,

dan Kong Hu Cu— semata-mata didasarkan pada etika, tidak memuat unsur

ketuhanan dan ibadah.5

Para ahli sepakat bahwa penguasaan agama hanya didominasi oleh

manusia karena agama merupakan salah satu aspek yang membedakan

manusia dari makhluk lain. Selain itu, hanya manusia yang dianggap

mempunyai dua unsur kehidupan: rohani dan jasmani. Dalam pemenuhan

kebutuhannya, manusia tidak hanya membutuhkan sesuatu yang bersifat

material biologis —seperti makan, minum, kawin, dan bertempat tinggal—

tetapi juga sesuatu yang bersifat rohaniah, seperti rasa bahagia, berbakti,

dan berekreasi.

4 Ibid., hlm. 14 5 Ibid., hlm. 18.

7

Karena agama hanya dimiliki oleh manusia maka dikenal istilah Homo

Religiosus, yaitu tipe manusia yang di suatu alam yang sacral penuh dengan

nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak di alam

semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam

manusia. Pengalaman dan pengahayatan terhadap yang suci selanjutnya

memngaruhi, membentuk, dan menentukan corak serta hidupnya. Selain

Homo Religiosus, dikenal juga Homo Non-Religiosus, yaitu manusia yang

tidak berorientasi kepada agama, atau orang yang hidup di alam yang sudah

didesakralisasikan, sudah alamiah, tanpa sakralitas yang dirasa atau dialami.

Bagi manusia Homo Non-Religiosus, kehidupan dan dunia sekitarnyatidak

dianggap sakral lagi; mereka menganggapnya profan.6

B. Agama Dalam Relasi Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan

Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.

Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan.

Ketiganya ada secara bersama-sama, berimpit untuk menciptakan relasi makna.

Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang lainnya.

Dalam relasi itu, masing-masing mengalami kehilangan dirinya dalam sebuah

momen untuk kemudian bisa muncul kembali dalam momen yang lain.7

Satu sisi manusia menciptakan sejumlah nilai bagi masyarakatnya, pada

sisi lain secara kodrati manusia senantiasa berhadapan dan berada dalam

masyarakatnya, homo socius. Masyarakat telah ada sebelum individu

dilahirkandan masih aka nada setelah individu mati. Lebih dari itu, di dalam

masyarakatlah dan sebagai hasil proses sosial, individu menjadi sebuah pribadi

ia memperoleh dan berpegang pada suatu identitas. Manusia tidak akan eksis

bila terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat (sebagai kumpulan

individu manusia) diciptakan oleh manusia, dan manusia merupakan produk

6 Ibid., hlm. 19 7 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik,

Pluralisme, dan Modernitas), Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, hlm. 17.

8

dari masyarakat. Kedua hal tersebut menggambarkan adanya dialektika inhern

dari fenomena masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan dialektika sosial.8

Agama dalam konteks budaya berada dalam dialektika ini. Ada

seseorang manusia yang melakukan pemaknaan baru terhadap sistem nilai suatu

masyarakat, lalu mengemukakannya dengan meminjam simbol budaya yang

telah tersedia. Perbedaan agama sebagai produk budaya dengan produk lainnya

—konstruksi rumah atau model berpakaian, misalnya— terletak pada

ketrasendenan yang dihasilkan agama.9

Dengan demikian, agama berasal dari proses objektivasi tertentu yang

bernilai transenden. Sebagai proses objektivasi, di dalamnya melibatkan

hubungan antar subjek (yang dalam hal ini adalah manusia, dan biasanya

bersifat kolektif), kebudyaan (sebagai bentuk eksternal), dan artefak (sebagai

objek ciptaan manusia).10

Teori sosial pada awalnya bersifat historis dan komparatif. Objek

analisisnya berupa suatu kasus tertentu. Dalam sudut teori ini, memahami suatu

masyarakat berarti memahami perbedaannya dengan berbagai bentuk

kehidupan pada masa-masa dan tempat yang berbeda.

Dalam kaitannya dengan kehidupan yang lebih modern setelah usai

Perang Dunia II, terjadi perubahan arus utama tradisi intelektual dalam ilmu

sosial, yaitu berkembangnya “teori modernisasi” yang menerapkan analogi

antara evolusi sosial dan organik. Teori ini menyatakan bahwa munculnya

bentuk-bentuk sosial yang lebih kompleks ditentukan oleh dua proses kembar,

yaitu spesialisasi dan diferensiasi struktural, pada satu sisi dan pada sisi lain

ditentukan oleh mekanisme integrasi dan koordinasi sosial. Untuk mengamati

perubahan sosial yang terus bertambah rumit, teori ini mengemukakan

pengkhususan dalam penilikannya, bahwa teori ilmu sosial harus menilik secara

khusus simbol-simbol kebangsaan dan komunitas yang lebih universal.

Perkembangan simbol-simbol yang lebih universal ini pada gilirannya akan

8 Ibid., hlm. 18. 9 Ibid., hlm. 20. 10 Ibid. hlm. 21.

9

melemahkan ikatan-ikatan sempit keluarga, suku, agama; menghilangkan

potensi perpecahan, serta menyediakan suatu konsensus umum bagi kehidupan

politik.

Akhirnya teori modernisasi merosot ketika konsensus ortodoks yang

mendasari program kerjanya dipertanyakan. Kemerosotannya berkaitan dengan

perkembangan yang lebih luas di dalam dan di luar ilmu-ilmu sosial. Di Barat,

misalnya, konflik seputar masalah ras, gaya hidup, agama, dan gender memberi

kesan pada pengamat bahwa masyarakat modern belum mencapai suatu

“konsesnsus kewargaan” yang kuat seperti diduga. Di dunia ketiga, kekacauan

politik, pertentangan etnis, dan pertumbuhan yang tidak merata mngemukakan

fenomena bahwa perubahan modernisasi hanya teoretis walaupun telah

dilakukan proses-proses pembangunan dan sejenisnya.11

Dengan pemaparan di atas, bukanlah tindakan yang arif

mempermasalahkan aspek-aspek sosial yang bukan menjadi masalah sosial.

Tindakan kompulsif dalam menerepkan keinginan akan kemajuan harus

diimbangi dengan pemeliharaan aspek sosialnya seperti perbedaan ras, gaya

hidup, budaya, dan agama yang bukan bagian dari masalah sosial. Demikian

idealnya, kemajuan menyebabkan aspek-aspek di atas juga terpelihara dan

dapat menghapuskan suatu keadaan negatif yang ditimbulkan dari berbagai latar

belakaang tersebut.

C. Agama Sebagai Motivator Tindakan Sosial

Membicarakan agama dalam fungsinya sebagai motivator tindakan

manusia (sosial), berarti mengulas kembali adanya perbedaan pandangan

tentang definisi agama yang disebabkan perbedaan pemahaman dan

penghayatan seseorang.12

Berbicara masalah agama memerlukan suatu sikap ekstra hati-hati,

karena meskipun masalah agama merupakan masalah sosial, tetapi

penghayatannya amat bersifat individual. Apa yang dipahami dan apa yang

11 Ibid., hlm. 29-30. 12 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama… hlm. 164.

10

dihayati sebagai agama oleh seseorang, sangat bergantung pada latar belakang

dan kepribadiannya. Hal ini membuat adanya perbedaan tekanan penghayatan

dari satu orang ke orang lain, dan membuat agama menjadi bagian yang amat

mendalam dari kepribadian atau privacy seseorang. Oleh karena itu, agama

senantiasa bersangkutan dengan kepekaan emosional. Meskipun demikian,

masih terdapat kemungkinan untuk membicarakan agama sebagai suatu yang

umum dan objektif. Dalam daerah pembicaraan itu diharapkan dapat

dikemukakan hal umum yang menjadi titik kesepakatan para penganut agama,

meskipun hal itu merupakan hal sulit.

Ada berbagai definisi agama yang menunjukkan adanya pemahaman

yang berbeda secara individual. Para ilmuwan Barat yang mengajukan

pendapatnya di antaranya sebagai berikut.

1. Wallace yang mengatakan bahwa agama adalah “suatu kepercayaan tentang

makna terakhir alam raya”.

2. E.S.P Haynes yang berpendapat bahwa agama merupakan “suatu teori

tentang hubungan manusia dengan alam raya”.

3. John Morley yang mengartikan agama sebagai “perasaan-perasaan kita

tentang kekuatan-kekuatan tertinggi yang menguasai nasib umat manusia”.

4. James Martineau yang mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan tentang

Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa dan kemauan Ilahi yang mengatur

alam raya dan berpegang pada hubungan-hubungan moral dengan umat

manusia”.

Dengan demikian, peran agama dalam kehidupan manusia —manusia

modern atau manusia primitif sekalipun— hakikatnya tidak terdapat perbedaan,

yaitu memenuhi kecenderungan alamiahnya, yakni kebutuhan akan akspresi

dan rasa kesucian. Perbedaan mungkin muncul bagi masyarakat modern, yang

menganggap kesucian itu lebih merupakan sesuatu yang terletak dalam daerah

kehidupan mental, spiritual, atau rohani. Dalam kehidupan modern, memang

terjadi kecenderungan untuk mencoba merendahkan arti kehidupan materiel,

11

sehingga kadang terjadi pencampuradukan segi kehidupan rohani dan segi

kehidupan materiel.13

Dalam analisis Weber, kenyataan tersebut merupakan fenomena

sosiologis tentang tingkah laku manusia, yang mengiginkan makna hidup

berupa gagasan tentang tindakan rasional dalam memahami dan menafsirkan

tingkah laku manusia yang dikenal dengan konsep Tipe Ideal dalam

Protestianisme-nya.

Menurut Weber, dalam tindakannya, manusia (sosial) terdiri atas empat

jenis tipe ideal sebagai berikut.

1. Tingkah laku zweckra-tional atau rasional tujuan; yaitu tingkah laku

manusia cita-cita rasional. Bentuk orientasi ini mencakup perhitungan yang

tepat dan pengambilan sarana-sarana yang paling efektif untuk tujuan-

tujuan yang dipilih dan dipertimbangkan dengan jelas, atau sasaran.

Pandangan ini merupakan kerangka pikir yang sangat utilitarian atau

instrumentalis. Kerangka pikir ini logis, ilmiah, dan ekonomis.

2. Bagian kedua dari tindakan manusia (sosial) adalah tingkah laku

wertrational atau rasional nilai. Menurut model ini, seorang pelaku terlibat

dalam nilai penting yang mutlak atau nilai kegiatan yang bersangkutan. Dia

lebih mengejar nilai-nilai daripada memperhitungkan sarana-sarana dengan

cara yang evaluative-netral. Manusia yang mengatakan kebenaran apa

adanya, jelas bertindak secara rasional nilai. Juga semua tingkah laku

manusia yang rasional mengandung sebuah unsur rasionalitas-nilai, karena

pencarian tujuan-tujuan secara logis dalam segala bentuk mengandaikan

bahwa tujuan-tujuan itu dinilai oleh si pelaku.

3. Jenis yang ketiga adalah tipe ideal untuk tindakan afektif atau emosional;

yaitu tingkah laku yang berada di bawah dominasi perasaan secara

langsung. Di sini tidak ada rumusan sadar, nilai-nilai, atau kalkulasi rasional

sarana-sarana yang cocok. Tindakan ini sama sekali emosional dan, karena

itu, tidak rasional.

13 Ibid., hlm. 161-162.

12

4. Kategori selanjutnya adalah tindakan manusia yang ia beri nama

tradisionalis. Ketegori ini mencakup tingkah laku yang berdasarkan

kebiasaan yang muncul dari praktik-praktik yang mapan dan menghormati

otoritas yang ada. Jenis tingkah laku ini tidak bisa dianggap cukup sebagai

tingkah laku yang “dimaksudkan” dan sebagai “tindakan sejati”. Weber

juga memperhitungkan intensionalitas sebagai sesuatu yang implisit dan

relatif berada di bawah sadar. Dalam segi ini, tindakan tradisionalis

bukannya tidak sama dengan tindakan afektif.

Keempat jenis tindakan sosial itu merupakan cara-cara individu

memberi makna pada tindakan mereka dan itu merupakan kodrat manusia yang

berusaha memberi arti tertentu kepada hidupnya. Oleh karena itu, manusia

adalah suatu makhluk religius; bahkan kegiatan-kegiatan ekonomisnya

mengandaikan pandangan dunia umum tertentu yang ia pakai untuk membuat

kehidupannya dapat dipahami.14

Ilustrasi lain diungkapkan oleh Nurcholis Madjid dengan mengambil

penyebab terjadinya perang dengan motif agama. Menurutnya, sebelum zaman

industri, perang sering terjadi karena dorongan agama. Setelah zaman industri

tiba, perang seringkali didorong oleh rebutan harta. Ia melanjutkan, “Kita tidak

dapat begitu saja menilai bahwa perang atas nama agama adalah lebih mulia

daripada perang atas nama harta, kecuali jika kita termasuk dan ada dalam pihak

golongan agama yang berperang itu sendiri.

Jika berada dalam agama ketiga, di luar kedua agama yang sedang

berperang, kita akan tersenyum mengejeknya karena memandang peperangan

yang terjadi antara dua agama —yang bukan agama kita— adalah suatu ironi

dan tragedy, karena merupakan usaha saling menghancurkan oleh kedua belah

pihak yang (dalam pandangan kita) sama-sama palsu (karena kedua agama itu

bukan agama kita dan tidak seperti agama kita). Jadi, perang itu adalah suatu

perang atas nama kepalsuan, dan kedua belah pihak tidak masuk akal untuk

berperang.

14 Ibid., hlm. 163-164.

13

Tetapi apabila kita termasuk dan berada di pihak suatu agama yang

berperang dengan agama lain, dengan sendirinya perang itu adalah perjuangan

sebuah kebenaran untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Adakah nilai

hidup yang lebih tinggi daripada perjuangan menegakkan kebenaran melawan

kepalsuan? Kita pun akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang serupa

itu, sehingga mati di dalamnya dianggap kehormatan yang besar debagai syahid

atau martir.15

Untuk itu, agar tidak terjebak pada pemahaman agama yang sempit,

alangkah baiknya jika kita kembali kepada penegasan Nabi Muhammad saw.

yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya agama di sisi Allah adalah al-

hanifiyyat al-samhah; semangat kebenaran yang lapang dan terbuka; agama

yang bersemangta kebenaran dan lapang serta terbuka untuk menolong

manusia. Jika saja semangat yang demikian itu diterapkan pada tataran

kehidupan sehari-hari, agama bisa jadi mendorong semangat bagi setiap

tindakan sosial.16

Menurut Beni Ahmad Saebani, kelompok sosial memiliki tujuan yang

sama. Mereka merasa, bahwa dalam kelompok itulah tujuan dapat dicapai.

Tujuan yang ada diperkuat oleh keyakinan atas ajaran agama, suatu keyakinan

yang berisikan penjelasan dan petunjuk untuk memahami gejala-gejala dan

pengalaman-pengalaman, serta penjelasan yang menghasilkan kehidupan

rasional dan kenyataan hidup yang dialami manusia yang irrasional. Kelompok

beragama menerima berbagai realitas. Kehidupan adalah riil, nyata, dan jelas,

tetapi dalam mengarungi kehidupan tidak semua yang riil dapat dirasionalisasi.

Keyakinan orang beragama, bahwa umur, rezeki, dan jodoh ada di tangan Tuhan

adalah riil, meskipun ketiganya tidak dapat dipastikan oleh manusia.17

Prilaku sosial yang merujuk pada ajaran agama yang ditopang oleh

sistem ritual dan tujuan ideal dalam beragama, sesungguhnya dimanifestasikan

15 Ibid., hlm. 165. 16 Ibid., hlm. 166. 17 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Agama: Kajian tentang Perilaku Institusional dalam

Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hlm.

6.

14

ke dalam bentuk perilaku institusional. Karenanya, sifat dan karakteristik

perilaku ini lebih bergantung pada fakta sosial institusional daripada pada

sumber ajaran agama itu sendiri. Di lain pihak, perilaku institusional dalam

kehidupan sosial keagamaan memasung dinamika intelektual dan dinamika

kultural setiap individu yang merupakan potensi eksternal dalam institusi

bersangkutan. Dalam bahasa lain, perilaku individu akan dipandang

konfrontatif bila dipaksakan memasuki wilayah perilaku kolektif institusional.

Loyalitas dan komitmen yang demikian akan diragukan dan secara interaksional

terjadi keterasingan individual dan deniasi kultural.18

Dalam Islam, bangunan teoretis yang digunakan dalam kerangka

berpikir ini dapat dikonseptualisasikan melalui penjelasan konsep berikut.

1. Institusionalisasi yang dimaksud adalah proses pelestarian perilaku secara

structural dan terorganisasi dengan proses interaksi yang terus-menerus

sehingga menjadikan perilaku bersangkutan mendarah daging

terinternalisasi melalui berbagai simbol-simbol yang dimaknai dan

dipahami secara dialogis praktis oleh pelakunya yang ada dalam wadah atau

organisasi keagamaan yang sama.

2. Perilaku sosial keagamaan adalah tindakan-tindakan yang berkaitan

dengan segala perbuatan yang secara langsung berhubungan atau

dihubungkan dengan nilai-nilai ajaran dan tuntunan agama Islam atau yang

menjadi keputusan institusi.

3. Pemahaman keagamaan yang dimaksud adalah pendekatan yang

digunakan untuk menggali kandungan makna, hukum, maksud-maksud, dan

isyarat yang terdapat dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan

Al-Sunnah atau pendapat ulama yang dipandang sejalan dan sepaham atau

representasi dari seluruh cara pandang umat Islam yang berada dalam tubuh

yang sama.

4. Interaksi umat Islam artinya tindakan yang saling berhubungan di antara

individu atau perilaku yang diintegrasikan secara structural ataupun kultural

18 Ibid., hlm. 8

15

sehingga tindakan tersebut menjadi simbol budaya yang terisntitusikan dan

tidak banyak membutuhkan penafsiran ulang atau secara relatif mutlak

disepakati dan menjadi sandaran perilaku bagi generasi berikutnya di

kalangan anggota organisasi keagamaan tertentu.

5. Ulama, kyai, dan ustadz yang dimaksud adalah tokoh agama yang

dipandang mampu dan professional dalam menyelesaikan berbagai masalah

keagamaan, baik masalah ritual maupun sosial. Ulama, kyai, dan ustadz

hierarkisnya jelas. Ustadz sebagai guru yang mengajar di pesantren tidak

serta merta kyai atau ulama, tetapi ulama dan kyai biasanya sekaligus

sebagai ustadz. Ustadz yang dikategorikan setingkat kyai adalah ulama yang

memiliki kapabilitas keilmuan yang diakui oleh komunitas tertentu.

Sebagaimana seorang pengasuh pondok pesantren atau mubaligh, yang

tingkat jam terbangnya dalam berceramah cukup tinggi dan popularitasnya

meluas akan dipanggil kyai oleh komunitas muslim tertentu karena

dipandang memiliki ilmu yang luas dan tinggi, serta profesional, misalnya

ahli dalam bidang ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu falak, ilmu ushul fiqh, ilmu

Bahasa Arab, ilmu fiqh, dan seorang mujtahid.19

Sedangkan interaksi antarumat beragama diarahkan oleh ajaran-ajaran

agama itu sendiri sehingga kemungkinan diarahkan oleh norma-norma yang

berlaku sangat dominan. Tradisi dan kebudayaan lokal dapat diartikan juga

sebagai salah satu penganut agama dengan label organisasi masyarakat dan

keagamaan tempat pemeluk agama itu beraktivitas. Adaptabilitas dalam

perilaku keagamaan sengaja dibentuk atau terbentuk karena interaksi yang satu

arah. Proses mengarahkan perilaku sehingga menjadi homogeny adalah bagian

dari visi dan misi dalam lembaga keagamaan.20

19 Ibid., hlm. 25. 20 Ibid., hlm. 29.

16

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Sebagaimana yang telah diulas pada bab I dan II, maka didapati rumusan

simpulan sebagai berikut.

1. Agama merupakan gejala sosial yang menjadi fakta sosial. Berdasarkan

sudut pandang kebahasaan —bahasa Indonesia pada umumnya— “agama”

dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya

“tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti

“tidak” dan gama yang berarti “kacau”. Hal ini mengandung pengertian

bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia

agar tidak kacau.

2. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik.

Ketiganya berdampingan dan berimpit saling menciptakan dan meniadakan.

Ketiganya ada secara bersama-sama, berimpit untuk menciptakan relasi

makna. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan dengan yang

lainnya. Dalam relasi itu, masing-masing mengalami kehilangan dirinya

dalam sebuah momen untuk kemudian bisa muncul kembali dalam momen

yang lain.

3. Berbicara masalah agama memerlukan suatu sikap ekstra hati-hati, karena

meskipun masalah agama merupakan masalah sosial, tetapi penghayatannya

amat bersifat individual. Apa yang dipahami dan apa yang dihayati sebagai

agama oleh seseorang, sangat bergantung pada latar belakang dan

kepribadiannya. Hal ini membuat adanya perbedaan tekanan penghayatan

dari satu orang ke orang lain, dan membuat agama menjadi bagian yang

amat mendalam dari kepribadian atau privacy seseorang. Oleh karena itu,

agama senantiasa bersangkutan dengan kepekaan emosional.

17

B. Saran

Penulis menyadari akan keterbatasan makalah yang disusun, baik dari

segi isi maupun relevansinya. Oleh karena itu penulis mengajukan saran

lanjutan sebagai berikut.

1. Dalam hal agama sebagai motivator tindakan sosial, pemahaman harus

dilanjutkan pada tingkat penyampaian kepada khalayak tentang identifikasi

nilai-nilai agama sebagai fator penggerak tindakan sosial.

2. Diperlukan kajian lebih lanjut.

3. Diperlukan tambahan pengetahuan dari ulasan pakar sosiologi agama yang

relevan dengan konteks kekinian, utamanya dalam menghadapi radikalisme

agama yang semakin menggejala.

DAFTAR PUSTAKA

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama (Potret Agama dalam Dinamika Konflik,

Pluralisme, dan Modernitas). Bandung: CV Pustaka Setia. 2011.

————— Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009. Cet. 5.

Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Agama: Kajian tentang Perilaku Institusional

dalam Beragama Anggota Persis dan Nahdlatul Ulama. Bandung: PT

Refika Aditama. 2007.