TUGAS PPKN
-
Upload
mega-redha-putri -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of TUGAS PPKN
TUGAS PPKN
OLEH:
NISRINA RAUDHATI RAMADHAN
X IPA 4
SMA NEGERI 10 PADANG
2013/2014
1.Perkembangan HAM di Dunia 13-20 Masehi
Sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM) di dunia sudah
sangat panjang. Pemikiran mengenai hak-hak asasi manusia di dunia Barat
diperkirakan erat kaitannya pada pemikiran pada abad ke-XVII dan abad ke
XVIII. Konsep mengenai hak suci raja (Dwine rights of kings) yang
memberikan kesewenang-wenangan kepada raja untuk menjalankan
pemerintahan secara absolut, mulai dipertanyakan keabsahannya karena
dengan konsep demikin layak raja melakukan tindakan yang sewenang-
wenang dan menjatuhkan hukuman tanpa adanya proses pengadilan dan
membuat peraturan-peraturan berdasarkan apa yang dianggap baik bagi
seluruh rakyatnya.
Kaum cendikiawan mulai merasakan perlu adanya hubungan yang
lebih rasional antara rakyat dan rajanya, bukan hanya melulu beranggapan
bahwa raja adalah utusan Tuhan dan segala perintahnya tidak boleh
dibantah, karena perintahnya adalah perintah Tuhan juga. Hubungan
rasional itu adalah hubungan yang berupa kontrak antara raja dan
rakyatnya, ini sesuai dengan suasana di Eropa yang pada saat itu dengan
timbulnya perdagangan antar kerajaan , yang mana hubungannya
dilaksanakan dengan adanya kontrak kerjasama.
Banyaknya teori-teori yang lahir sehubungan dengan dipertanyakan
keberadaan hak asasi manusia, ada teori yang menentang dan ada teori
yang mendukung dengan keberadaan hak-hak asasi manusia. Seperti
pendapat dari Aurice Cranston, seorang pengamat hak-hak asasi manusia
mengatakan bahwa absolutisme manusia untuk menuntut hak-hak asasi
manusia , atau hak alam ini justru karena manusia menyangkanya. Tetapi
adapula sangkalan terhadap keberadaan daripada hak asasi manusia ini,
seperti orang-orang konservatif dari Inggris, Edumund Burke dan David
Hume yang bersatu dengan Jeremy Bentham yang beralliran liberal untuk
mengutuk doktrin ini, mereka mengatakan bahwa kekhawatiran publik atas
tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak ilmiah akan menimbulkan pergolakan
sosial dan keprihatinan terhadap adanya bahwa deklarasi dan proklamasi
hak-hak ilmiah akan menggantikan perundang-undangan yang efektif.
David Burke di dalam karyanya “Reflection on the Revolution in France
(1970)” membantah bahwa Rights of Man dapat diturunkan dariNya, dia juga
mengkritik para penyusun “ Declaration of the Rights of Man and Citizen”
karena memproklamasikan fiksi yang menakutkan mengenai persamaan
manusia yang menurutnya hanya berfungsi mengilhami ide-ide yang tidak
benar dan harapan yang sia-sia pada manusia yang telah ditakdirkan untuk
perjalanan kehidupan yang tidak jelas dan susah payah.
Jeremy Bentham salah satu pendiri utilitarianisme dan seorang yang
tidak percaya mengajukan argumennya yang mengatakan bahwa “hak
adalah anak hukum-hukum imajiner, maka hak-hak alammiah itu adalah
omong kosong semata, omong kosong diatas jangkauan dan omong kosong
retorik”. David Hume setuju dengan pendapat Jeremy Bentham yang mana
ia mengatakan bahwa hak-hak alamiah tersebut adalah fenomena metafisik
belaka.
Kemudian seorang idealis Inggris yang bernama F.H Bradley
mengatakan bahwa “hak-hak asasi perorangan dewasa ini tidak perlu
mendapat pertimbangan yang serius kesejahteraan komunitas merupakan
tujuan dan merupakan standar akhir.
Teori di atas sangat menyesatkan, karena teori di atas menggangap
bahwa manusia itu tidak mempunyai arti sama sekali, paham atas teori
inilah yang akan menimbulkan negara totaliter dan negara diktator. Karena
di dalam teori ini memandang manusia sebagai objek dan tidak mempunyai
arti apa-apa.
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran lain yang setuju atas eksisten dari
filsuf-filsuf yang beraliran liberalisme seperti John Locke (1632-1704),
Hobbes (1588-1679), Montesquiue (1689-1755) dan Rosseau (1712-1778).
Walaupun mereka mempunyai perbedaan penafsiran umum secara
mendasar mereka membayangkan bahwa manusia hidup di dalam suatu
keadaan alam (state of nature) dan memiliki hak-hak alam. Oleh karena
perlu adanya suatu lembaga yang dapat menjamin terlaksananya dan
langgengnya hak-hak alam manusia ini maka manusia mengadakan kontrak
dengan suatu institusi atau lembaga yang dalam hal ini disebut sebagai
negara dimana lembaga yang disebut negara diwakili oleh orang-orang yang
menamakan dirinya penguasa dan berdasarkan sosial ini, maka penguasa
tersebut menjalankan pemerintahan yang bertujuan untuk melindungi hak-
hak alam dari manusia tersebut, dengan adanya kontrak antara manusia
dengan penguasa tersebuut, maka manusia memberikan sebagian dari
haknya kepada penguasa tersebut dan penguasa memberikan peraturan-
peraturan yang diikuti oleh manusia-manusia yang dalam hal ini disebut
sebagai masyarakat, agar haknya dapat dilindungi.
John Locke merumuskan dengan lebih jelas hak-hak alam itu yaitu hak
atas hidup, kebebasan dan milik (life liberty and property) serta pemikiran
bahwa penguasa itu mesti memerintah atas persetujuan rakyat (government
by consent) , sedangkan Montesquie lebih menekankan perlu adanya
pembagian kekuasaan sebagai sarana untuk menjamin adanya perlindungan
terhadap hak-hak sipil. Yang teorinya lebih dikenal dengan Trias Politica.
Pada zaman itu (abad ke17 dan 18), perumusan hak-hak tersebut sangatlah
besar terpengaruhi oleh ide ataupun pemikiran tentang hukum alam (natur
law) dan pemikiran yang dicoba oleh John Locke (1632-1741) tersebut dan
Jean Jaques Rousseau (1712-1778) terlihat hanya terbatas pada hak-hak
yang bersifat politis seperti persamaan hak, hak atas kebebasan dan lain-
lain.
Pada saat itu John Locke telah membuat pemisahan kekuasaan yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif
2. Kekuasaan Eksekutif
3. Kekuasaan Federatif
Hal ini bertujuan untuk adanya hak rakyat (hak asasi) rakyat di
pemerintahan serta setiap orang tentu mendapat tempat yang sama dalam
pemerintahan. Demikian juga halnya dengan Rosseau yang berpendapat
bahwa manusia itu dilahirkan bebas dan merdeka, sederajat dan semua
hasilnya adalah ditentukan oleh diri pribadi manusia tersebut seperti
terdapat dalam bukunya “du contract social”.
A.H Robertson dalam bukunya yang berjudul ‘Human Rights in The
World” yang berbunyi:
“ It is at the beginning of ninth that we see the first international texts
relating to what we should now call a human rights problem. This problem
was slavery”. (Pada awal abad ke 19, kita mulai memperhatikan adanya
ketentuan internasional yang berhubungan dengan problem hak-hak asasi
manusia. Problem ini adalah perbudakan).
Sesuai dengan pernyataan di atas bahwa saat itu dunia ditarik
perhatiannya terhadap dunia perbudakan pada abad ke 19 yang sudah jelas
merupakan indikasi sebuah perampasan hak asasi manusia yaitu
kemerdekannya. Realisasi dari adanya anti perbudakan ini telah berhasil
dituangkan dalam penandatanganan undang-undang antiperbudakan dalam
Konferensi yang diadakan di Brussel pada tahun 1890 yang telah diratifikasi
oleh beberapa negara, termasuk oleh Amerika Serikat, Turki dan Zanzibar.
Jalannya sejarah juga semakin diperkaya dengan keluarnya German-Polish
Convention on Upper Silesia pada tanggal 15 Mei 1992, yaitu tentang
Perlindungan Hak-Hak Asasi terhadap Golongan Minoritas. A.H Robertson
kembali dalam bukunya yang sama mengatakan:
“Generally speaking these various arrangements for the protection of the
rights of minorities provided for equality before the law in regard to civiil and
political rights , freedom of religion, the right of members of the minorities to
use their own language and the right to maintain their own religious and
educational establishment”. (Secara umum dapat dikatakan bahwa berbagai
macam usaha-usaha ini untuk perlindungan terhadap hak-hak golongan
minoritas dalam hak-hak sipil dan politik , kebebasan dalam beragama, hak
dari golongan minoritas untuk menggunakan bahasa mereka dan hak untuk
beragama serta pembangunan terhadap pendidikan).Manusia mulai
memikirkan adanya batasan akan beberapa hak-hak lain yang lebih luas
ruang lingkupnya.
Presiden Franklin D.Roossevelt dari Amerika Serikat telah berhasil
merumuskan hak-hak tersebut dengan istilah “The Four Freedom” atau
empat kebebasan yaitu kebebasan unutk berbicara dan menyatakan
pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan dan kebebasan
dari kemelaratan.
Namun demikian permasalahan mengenai hak-hak asasi manusia ini
perlu dibicarakan di tahun-tahun sebelumnya di Inggris dengan
ditandatanganinya Magna Charta tahun 1215, antara Raja John dengan
sejumlah bangsawan yang memberikan jaminan terhadap hak kepada
mereka yang antara lain mencakup hak-hak politik dan sipil yang mendasar,
seperti tidak akan dipenjarakan tanpa pemeriksaan di forum peradilan dan
hanya berlaku bagi para bangsawan.
Pergerakan ini berlanjut di tahun 1628, masih di negara yang sama
yaitu Inggris raja Charles I yang pada saat tiu adalah sebagai Raja Inggris,
menandatangani Petition of Rights. Hasilnya adalah Raja Charles I duduk
bersama utusan-utusan atau para wakil rakyat di parlemen (House of
Common) dalam menjalankan tujuan negara. Petition of Rights merupakan
kewenangan bagi pihak rakyat. Karena diberikan kesempatan untuk turut
serta bersama raja Inggris dalam menjalankan tugas kenegaraan, dan
diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi para rakyat melalui
utusan yang dipilih.
Lahirnya Petition of Rights memacu perkembangan pemikiran
masyarakat di Inggris, bahwa manusia terlahir bebas dan memiliki sejumlah
hak. Pada tahun 1689, lahirlah Bill of Rights. Hal ini timbul, karena pada saat
itu terjadi Revolusi Gemilang (Glorius Revolution) di Inggris.
Timbulnya pandangan (Adagium) bahwa manusia sama di muka
hukum (equality before the law) pada masa revolusi gemilang. Dan hal ini
harus dapat diwujudkan betapapun besar resiko yang dihadapi.
Bill of Rights menundukkan kekuasaan monarki di bawah kekuasaan
parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan raja untuk membekukan
dan memberlakukan sesuai dengan yang diklaim raja adalah ilegal, juga
melarang pemungutan pajak dan pemeliharaan tetap pasukan pada masa
damai oleh raja tanpa persetujuan parlemen.
Perkembangan sejarah HAM ini melahirkan beberapa teori seperti teori
kontrak sosial oleh J.J Rosseau, teori Trias Politica oleh Montesquieu, teori
Hukum Kodrati oleh John Locke, dan hak-hak dasar kebebasan dan
persamaan oleh Thomas Jefferson di Amerika Serikat.
Dua dokumen dasar yang paling penting bagi hak-hak asasi manusia
lahir di dunia Barat. Yang pertama adalah Undang-Undang Hak Virginia
tahun 1776, yang dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Amerika
Serikat pada tahun 1789. Dan yang kedua adalah Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara Perancis tahun 1789.
Kedua dokumen dasar tersebut memuat sederetan hak-hak asasi
manusia dalam arti kebebasan individu. Seperti Undang-Undang Hak Virginia
yang memuat kebebasan antara lain kebebasan pers, kebebasan beribadat,
dan ketentuan yang menjamin tidak dapat dicabutnya kebebasan seseorang
kecuali berdasarkan hukum setempat atau pertimbangan warga sesamanya.
Deklarasi Perancis pada pasal 2 menyatakan bahwa sasaran setiap
asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak
dapat dicabut. Hak-hak ini adalah hak atas kebebasan (liberty), harta
(property), keamanan (safety), dan perlawanan terhadap penindasan
(resistance to oppression). Pasal 4 Deklarasi Perancis menyatakan bahwa
kebebasan berarti dapat melakukan apa saja yang tidak dapat merugikan
orang lain. Jadi, pelaksanaan hak-hak kodrati manusia tidak dibatasi, kecuali
oleh batas-batas yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama bagi
anggota masyarakat lain dan batas-batas ini hanya ditetapkan oleh undang-
undang.
Hak-hak ini banyak didasarkan pada tulisan-tulisan para filsof politik
seperti John Locke, Montesquieu, dan Jean Jacques Rousseau. Setelah
melewati berbagai revolusi dan begitu banyak deklarasi yang dinyatakan
oleh beberapa negara maupun melalui konferensi internasional., maka
kedudukan Hak Asasi Manusia menjadi sangat penting dan menentukan
dalam kehidupan ini. Dapat dilihat bahwa tidak ada satupun manusia yang
ingin dibelenggu maupun berada di bawah kekuasaan seseorang dengan
cara paksa (diperbudak).
Berdasarkan berbagai kejadian di dunia terutama setelah apa yang
dilakukan oleh Nazi, maka negara-negara di dunia yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa merasa bahwa Hak Asasi Manusia adalah
bagian yang terpenting. Dalam pasal 1 (satu) dan 2 (dua) Piagam PBB
memang diakui tentang keberadaan HAM. Namun perlu diadakan
penyempurnaan terhadap apa yang diatur dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan, seperti perlunya menyusun Bill of Rights International
(dikenal dengan istilah Truman) setahun setelah Piagam PBB diberlakukan.
Tugas menyusun Bill of Rights International (pernyataan tertulis yang
memuat hak-hak terpenting warga negara) itu diserahkan kepada komisi
HAM (Commission of Human Rights atau disebut CHR)24. Yaitu komisi yang
bernaung dari ECOSOC atau Economic and Social Council (Dewan Sosial dan
Ekonomi PBB). Komisi ini terdiri atas wakil-wakil negara, dimana diputuskan
bahwa katalog HAM hendaknya berbentuk sebuah Revolusi Majelis Umum
PBB. Inilah sejarah dan latar belakang lahirnya hak-hak asasi manusia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ECOSOC kemudian membentuk Komisi
Hak-Hak Asasi Manusia atau CHR pada tahun 1946. Komisi ini dipimpin oleh
Eleanor Roosevelt dari Amerika Serikat dan berkedudukan di Jenewa.
Sejarah HAM ini kemudian berlanjut pada tanggal 10 Desember 1948,
Majelis Umum PBB yang menyetujui dan mengumumkan Deklarasi Sedunia
tenntang Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan Universal Declaration
of Human Rights di Palais de Chaillot, Paris. Deklarasi sedunia ini sifatnya
hanya mengikat secara moral dan etis seluruh anggota PBB maka secara
yuridis masih diperlukan perjanjian sebagai hasil keputusan PBB
2.Perkembangan HAM di Dunia 20 Masehi - Sekarang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi.. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Belanda disebut dengan Mensenrecht/Menselijk Rechten, dalam bahasa Perancis disebut dengan Les Droits L Homme, dalam bahasa Inggris disebut dengan Human Right. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usahaperolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam makalah ini dibahas tentang perkembangan HAM pada abad 20,21 atau tahun 1900 hingga sekarang.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM SECARA UMUM
Akibat dari tindakan sewenang-wenang dan ketidak adilan, kezaliman, perbudakan dari penjajahan, munculnya inisiatif manusia terhadap harga diri dan martabatnya. Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat
bahwasanya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 yang telah menghilangkan hak absolutisme raja. Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh lahirnya Bill of Right di Inggris pada tahun 1689. Bill of Right melahirkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law). Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan The American Declaration of Independence pada tahun 1776-1789. Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis)
Perjuangan HAM di Prancis di rumuskan dalam suatu Naskah pada awal revolusi Prancis tahun 1789. Naskah tersebut dikenal dengan Deklaration des Droits de L homzae et Du citogen (peringatan mengenai Hak-hak asasi Manusia dan warga negara) yang menyatakan bahwa HAM ialah hak-hak alamiah yang dimliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dengan hakekatnya dan karena itu bersifat suci. Revolusi Prancis itu terkenal sebagai perjuangan penegakan HAM di Eropa dengan semboyan : Liberty, Egality dan Fraiternity (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Tahun 1791, Deklarasi tersebut dimasukkan dalam konstitusi Prancis.
Perkembangan yang lebih signifikan adalah dengan munculnya Atlantic Charta pada tanggal 6 Januari 1941 oleh Presiden Franklin D. Roosevelt yang menyebutkan tentang The Four Freedoms. The Four Freedoms tersebut berisi freedom to speech (kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat), freedom to religion (kebebasan beragama), freedom from want (kebebasan dari kemiskinan), freedom from fear (kebebasan dari ketakutan). Semua hak-hak tersebut di atas dijadikan dasar pemikiran dari rumusan HAM yang bersifat universal yaitu The Declaration of Human Rights PBB tahun 1948. Pengakuan HAM oleh PBB 10 desember 1948, berhasil merumuskan naskah UNIVERSAL DEKLARATION OF HUMAN RIGHTS Yaitu pernyataan sedunia tentang HAM pasal 1 (isi pokok Deklarasi tersebut) sekalian orang di lahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka di karuniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.Dalam perkembangan selanjutnya banyak bermunculan berbagai kovenan atau konvensi yang mengatur tentang HAM, di antaranya Hasil Sidang Majelis Umum PBB tahun 1966 Diakui Covernants of human rights dalam hukum Internasional dan diratifikasi oleh negara anggota PBB. Covernants tersebut dalam http://www.scribd.com/doc/29217262/HAK-A … )diuraikan sebangai berikut: 1) The International on civil and political rights, yaitu tentang hak sipil dan hak politik (konfrensi tentang hak sipil dan hak politik) , 2) The International covenant on economic, social and cultural rights berisi syarat- syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi ekonomi, sosial dan budaya(konvensi tentang hak ekonomi, sosial dan budaya : 1966), dan 3) Optional Protocol, adanya kemungkinan seorang warga negara yang mengadukan pelanggaran HAM kepada The Human Rights Communitee PBB
setelah melakukan upaya pengadilan di negaranya.Selain dari hasil sidang Majelis Umum PBB, juga terdapat beberapa deklarasi tentang HAM yang bertaraf international yaitu, 1) Tahun 1984, Deklaration on the Rights of peoples to peace (deklarasi hak bangsa atas perdamaian) oleh negara dunia ketiga, 2) Tahun 1986, Deklaration on the rights to developments (Deklarasi Hak atas Pemb. ) oleh negara dunia ketiga, 3) Tahun 1981, african Charta on Human and Peoples Rights ( BANJUL CHARTER) oleh negara Afrika yang tergabung dalam persatuan Afrika (OAU), 4) Tahun 1990, Cairo Declaration on Human Rights in islam oleh negara yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konfrensi Islam). Deklarasi Kairo (DK) merupakan sebuah instrumen hukum HAM internasional yang dibuat oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Deklarasi tersebut dibuat sebagai acuan bagi negara anggota OKI dalam rangka pelaksanaan perlindungan terhadap HAM yang berdasarkan hukum Islam. Pembahasan mengenai HAM berdasarkan Islam dalam OKI dimulai pada konferensi tingkat tinggi Islam ke-5 yang berlangsung pada tanggal 26-29 Januari 1987 di Kuwait. Dalam konferensi tersebut telah berhasil dibuat sebuah draft deklarasi HAM Islam yang dibuat oleh komite ahli dan dilaporkan kepada sekretaris jenderal OKI. Namun dalam deklarasi tersebut draft HAM Islam belum disahkan, tetapi harus dipelajari terlebih dahulu oleh konferensi menteri luar negeri Islam. Deklarasi Kairo (DK) 1990 merupakan istrumen pengaturan HAM yang berlandaskan hukum Islam. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengatur mengenai hak dan kebebasan sipil dan politik serta hak dan kebebasan ekonomi, sosial dan budaya, 5) Tahun 1993, Bangkok Deklaration di terima oleh negara Asia, 6) Tahun 1993, Deklarasi Wina yang merupakan Deklarasi universal dari negara yang tergabung dalam PBB. Deklarasi ini menghasilkan The Paris Principles yang isiny sebagai berikut: a)KOMNAS HAM merupakan bagian integral dari suatu masyarakat demokratis, b) KOMNAS HAM harus memberikan laporan kepada parlemen. c) KOMNAS harus bekerjasama dengan eksekutif, lembaga-lembaga peradilan, dan lembaga-lembaga yang dibentuyk oleh lembaga internasional, dll. (Bahar, 2002: 27-37), dan 7) Pada bulan Juli tahun 1996 yaitu Lokakarya yang diikuti oleh empat komisi nasional(India, Indonesia, Australia, New Zeland) yang dilaksanakan di Darwin, Australia disebut The larrakia Declaration bersepakat mengenai pentingnya kerjasama regional dari seluruh pemeduli hak asasi manusia, dan perlunya bantuan danm dukungan baik terhdap komisi nasional yang sudah ada maupun terhadap pemerintah yang sedang mempersiapkan pembentukan komisi nasional yang sesuai dengan The Paris Principles.
3.Penegakan HAM Di Indonesia
(1).Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Pemikiran HAM pada periode melalui organisasi pergerakan pada masa tersebut. Dalam konteks pemikiran HAM, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial dalam tulisan yang dimuat dalam Goeroe Desa. Selain itu, Boedi Oetomo telah pula memperlihatkan kepeduliannya tentang konsep perwakilan rakyat. Langkah tersebut diambil sebagai bentuk kewajiban mempertahankan negeri di bawah pemerintahan kolonial.Selanjutnya, pemikiran HAM pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi tokoh organisasinya seperti Moh. Hatta, Nazir, Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A.A Maramis, dan lain-lain. Pemikiran itu lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination). Selanjutnya, Sarekat Islam merupakan organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis. Konsep HAM yang dikemukakan oleh organisasi ini menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial. Selanjutnya, Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai yang berlandaskan pada Marxisme. Dari segi pemikiran HAM partai ini lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat-alat produksi.
Organisasi yang juga konsen terhadap HAM ada pada Indische Partij yang memiliki konsep pemikiran HAM paling yakni hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, Douwes Dekker menyatakan bahwa kemerdekaan itu harus direbut. Kemudian Partai Nasional Indonesia yang dalam konteks pemikiran HAM mengedepankan hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Moh. Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan dan merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non kooperatif melalui program pendidikan politik, ekonomi dan sosial. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di stau pihak dengan Moh. Hatta dan Moh. Yamin pada pihak lain. Perdebatan HAM yang terjadi dalam berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
(2) Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
(a) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan masih menekankan pada hak untuk merdeka (self detemination), hak kebebasan berserikat, melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
(b) Periode 1950-1959
Pada periode 1950-1959 Indonesia melaksanakan sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami pasang dan menikmati bulan madu nya kebebasan. Indikatornya antara lain; Pertama, semakin banyak tumbuh partai politik dengan beragam idiologinya masing-masing. Kedua, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat dengan melakukan kontrol/pengawasan yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM memperoleh iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya sistem kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.(c) Periode 1959-1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini kekuasaan terpusat pada tangan presiden. Akibatnya Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Dalam perspektif pemikiran HAM, telah terjadi pengekangan hak asasi masyarakat terutama hak sipil dan hak politik. Dengan kata lain telah terjadi restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran (set back) sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.
(d) Periode 1966-1998
Terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, setelah sebelumnya didahului dengan adanya pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September 1966 yang diikuti dengan kerusuhan yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pergantian tampuk pimpinan nasional
ini diikuti oleh suasana pengharapan yang tinggi akan munculnya supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM di Indonesia, sehingga pada masa awal periode ini diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Dalam kenyataannya, harapan itu tidak juga terwujud, malah pada sekitar awal tahun 1970-an sampai dengan akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, tidak dilindungi bahkan tidak ditegakkan karena pemikiran elite penguasa pada masa itu menganggap bahwa HAM merupakan produk Barat dan bersifat individualis, serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia, meskipun begitu bukan berarti usaha untuk menegakkan HAM menjadi stagnan tapi pada periode ini masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademis melakukan berbagai upaya melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya dari masyarakat tersebut mulai memperoleh hasil saat menjelang periode 1990-an karena pemerintah telah mulai menindaklanjuti terhadap penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif dari pemerintah dalam memenuhi tuntutan penegakan HAM yakni dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan KEPRES No. 50 tahun 1993. Komisi nasional Hak Asasi Manisia (Komnas HAM) yaitu suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya manusia Indonesia seutuhnya. Sekalipun pemerintah sudah mendirikan Komnas Ham namun sebagai puncaknya yaitu pada tahun 1998, dengan jatuhnya rezim orde baru yang kemudian mulai ada kritisi serta tuntutan adanya reformasi di segala bidang.
(e) Periode 1998-sekarang
Pergantian rezim pemerintahan membawa dampak yang sangat penting bagi pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada periode ini dilakukan pengkajian ulang terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Demikian pula kajian terhadap instrumen-instrumen internasional HAM ditingkatkan. Hasilnya, banyak norma-norma hukum HAM internasional diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Masa ini tampaknya menandai era diterima konsep universalisme HAM. Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan
kekerasan seusai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Strategi penegakan HAM pada periode ini melalui dua tahap: Pertama, tahap status penentuan (prescriptive status) dimana pemerintah telah menetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, selain itu pemerintah menerima norma-norman internasional, baik melalui ratifikasi maupun institusionalisasi norma-norma HAM internasional ke dalam sistem hukum nasional. Kedua, tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behavior), tahap ini akab ditandai oleh penghormatan dan penegakan HAM secara konsisten, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat.