Tugas Final Farmakoterapi

21
Soal. 1. Ny. Viona (50 tahun, 60 Kg) dirujuk ke RS dengan keluhan ada kekakuan dan nyeri pada lutut, siku, pergelangan tangan, dan kaki disertai eriterima dan bengkak pada daerah tersebut. Dua minggu yang lalu ada keluhan nyeri pada saat buang air kecil. Hasil pemeriksaan Lab. Menunjukkan kadar asam urat serum >10 mg/dl dan leukositosis. Analisa urine + 10 eritrosit. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya batu pada bili-buli. Terapi : Na. diklofenak (retard) 100 mg 1x1 Kolkisin 1 gr Allupurinol 300 mg 1x1 Na. Bikarbonat 2x1 Pertanyaan : a. Jelaskan patofisologi dari penyakit diatas b. Jelaskan kaitan antara gejala yang timbul, data Lab/Radiologi dengan pathogenesis penyakit c. Jelaskan tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat diatas d. Jelaskan mengapa penyakit tersebut diberi terapi ;

Transcript of Tugas Final Farmakoterapi

Page 1: Tugas Final Farmakoterapi

Soal.

1. Ny. Viona (50 tahun, 60 Kg) dirujuk ke RS dengan keluhan ada kekakuan dan

nyeri pada lutut, siku, pergelangan tangan, dan kaki disertai eriterima dan

bengkak pada daerah tersebut. Dua minggu yang lalu ada keluhan nyeri pada

saat buang air kecil. Hasil pemeriksaan Lab. Menunjukkan kadar asam urat

serum >10 mg/dl dan leukositosis. Analisa urine + 10 eritrosit. Pada

pemeriksaan radiologis ditemukan adanya batu pada bili-buli.

Terapi :

Na. diklofenak (retard) 100 mg 1x1

Kolkisin 1 gr

Allupurinol 300 mg 1x1

Na. Bikarbonat 2x1

Pertanyaan :

a. Jelaskan patofisologi dari penyakit diatas

b. Jelaskan kaitan antara gejala yang timbul, data Lab/Radiologi dengan

pathogenesis penyakit

c. Jelaskan tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat

diatas

d. Jelaskan mengapa penyakit tersebut diberi terapi ;

- Na. Diklofenak bentuk retard

- Na. Bikarbonat

2. Jelaskan ;

a. Perbedaan OA dan RA berdasarkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang

tampak (pola sendi, rasa nyeri, kekakuan, dan gambaran ekstraartikular).

b. Faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan OA

c. Aspek perubahan biokimiawi kartilago yang menyebabkan OA

Page 2: Tugas Final Farmakoterapi

3. Ny. Nia (67 tahun, 65 kg) dengan keluhan tidak bisa berjalan, nyeri dan kaku

pada tulang punggung, pinggul, kaki dan tangan. Performance tubuh Nampak

kiposis. Hasil penelitian GMP T-Score (-3,5). Terapinya Kalsitonin 100

IU/hari, (SC) raloxifen 60 mg/hari, risedionat 30 mg/mgg. Riwayat obat 2

tahun yang lalu mendapatkan terapi prednisone 5 mg, preparat kalsium dan

vitamin D serta HRT.

Pertanyaan.

a. Malina T-score (-3,5)

b. Jelaskan kaitan antara gejala yang muncul dan pathogenesis penyakit

c. Jelaskan proses kehilangan massa tulang pada proses penuaan.

d. Apa yang dimaksud dengan “Burn turnover” pada OP, sebutkan marker

“Burn turnover”

e. Jelaskan tujuan pengobatan OP secara umum

f. Jelaskan tujuan pengobatan terapi 2 mekanisme dari masing-masing obat

pada kasus tersebut

g. Apa yang harus diperhatikan untuk pemakaian susu berkalsium tinggi

pada lansia ?

4. Batuk dan Asma

Pak joni (70 tahun, BB 60 kg, TB 167 cm, TD 170/100 mgHg), perokok berat,

menderita glukoma. Karena tidak tahan sakit, dokter mata memberikan obat

tetes beta bloker, + 30 menit setelah itu dia merasa sesak napas. Melalui

anamnesa dokter jaga, Pak Doni memang sebelumnya menderita asma dan

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)

Pertanyaan :

a. Patogenesis asma

b. Penggolongan obat asma

c. Jelaskan obat okuler beta blocer

d. Terapi penanganan kasus tersebut

Page 3: Tugas Final Farmakoterapi

5. GIT

a. Jelaskan pathogenesis penyakit Tukak peptikum, dan reflukgastro

esofageal (GERD)

b. Bagaimana terapi penyakit akibat bakteri Helicobacter pylori

c. Jelaskan patofisiologi infeksi usus

d. Penatalaksanaan terapi infeksi usus

Jawaban

1. A

2. B

3. C

4. D

5. Gastrointerstinal (Saluran Pencernaan) atau GI.

a. Patogenesis tukak peptik

Penyakit tukak peptic (TP) yaitu tukak lambung (TL) dan tukak

duodenum (TD) merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan

dalam klinik terutama kelompok umur diatas 45 tahun.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyebab utama TP/TD adalah

H.pylori sehingga penyakit ini disebut juga sebagai Acid H.pylori disease,

namun demikian peranan faktor-faktor lain dalam kejadiaan TP jelas ada

sehingga TP dapat dikatakan sebagai penyakit multifactor.

Telah disebutkan diatas bahwa etilogi TP/TD yang telah diketahui

sebagai faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa adalah

helicobacter pylory, obat anti inflamasi non steroid (AINS), asam

lambung atau pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta kelainan satu atau

beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada kejadiaan TP.

a. Faktor Agresif

Helicobacter pylory, asam lmbung/pepsin pada kerusakan

mukosa. Helicobacter pylory adalah bakteri gram negatif yang dapat

Page 4: Tugas Final Farmakoterapi

hidup dalam suasana asam dalam lambung/ duodenum (antrum,

korpus, dan bulbus), berbentuk seperti kurva/S-shaped dengan ukuran

panjang sekitar 2 μm dan diameter 0,5 μm, mempunyai satu atau lebih

flagel pada salah satu unjungnya. Bakteri ini ditularkan secara feko-

oral atau oral-oral. Didalam lambung terutama terkonsentrasi dalam

antrum, bakteri ini berada pada lapisan mucus pada permukaan epitel

yang sewaktu-waktu dapat menembus sel-sel epitel/antar epitel.

Bila terjadi infeksi Helicobacter pylory, maka bakteri ini kan

melekat pada permukaan epitel dengan bantuan adhesion sehingga

dapat lebih efektif merusak mukosa dengan melepaskan sejumlah zat

sehingga terjadi gastritis akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis

kronik aktif atau duodenitis kronik aktf. Untuk terjadi kelainan

selanjutnya yang lebih berat yaitu tukak.

Apabila terjadi infeksi Helicobacter pylory, Host akan memberi

respon untuk mengeliminasi/memusnahkan bakteri ini melalui

mobilisasi sel-sel PMN/limfosit yang menginfiltrasi mukosa secara

intensif dengan mengeluarkan bermacam-macam mediator inflamasi

atau sitokinin, seperti interleukin 8, gamma interferon alfa, tumor

nekrosis factor, dan lain-lain. Yang bersama-sama dengan reaksi imun

yang timbul justu akn menyebabkan kerusakan sel-sel epitel

gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi

baktri dan infeksi menjadi kronik.

Seperti dikethui bahwa setelah Helicobacter pylory berkoloni

secara stabil terutama dalam antrum, maka bakteri ini akan

mengeluarkan bermacam-macam sitotoksin yang secara langsung

dapat merusak epitel mukosa gastroduodenal, seperti vacuolating

cytotoxin (Vac A.gen) yang menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel,

cytotoxin associated gen A (CagA gen). disamping itu, Helicobacter

pylory juga melepaskan bermacam-macam enzim yang dapat merusak

Page 5: Tugas Final Farmakoterapi

sel-sel epitel, seperti urease, protease, lipase, dan fosfolipase.

Sitotoksin dan enzim-enzim ini paling bertanggung jawab terhadap

kerusakan sel-sel epitel. CagA gen merupakan pertanda virulensi

Helicobacter pylory dan hamper selalu ditemukan pada tukak peptic.

Urease memecahkan urea dalam lambung menjadi ammonia

yang toksik terhadap sel-sel epitel, sedangkan protease dan fosfolipase

A2 menekan sekresi mucus menyebabkan daya tahan mukosa

menurun, merusak lapisan yang kaya lipid pada apical sel epitel dan

memlaui kerusakan sel-sel ini, asam lambung berdifusi balik

menyebabkan nekrosis yang lebih luas sehingga terbentuk tukak

peptic.

Helicobacter pylory yang terkonsentrasi terutama dalam

antrum menyebabkan antrum predominant gastritis sehingga terjadi

kerusakan pada D sel yang mengeluarkan somastatin, yang fungsinya

mengerem produksi gastrin. Akibat kerusakan sel-sel D, produksi

somatostatin menurun sehingga produksi statin akan meningkat yang

merangsang sel-sel parietal mengeluarkan asam lambung yang

berlebih. Asam lambung yang masuk ke dalam duodenum sehingga

keasaman meningkat menyebabkan duodenitis (kronik aktf) yang

dapat berlanjut menjadi tukak duodenum.

Asam lambung yang tinggi dalam duodenum menimbulkan

gastric metaplasia yang dapat merupakan tempat hidup Helicobacter

pylory dan sekaligus dapat memproduksi asam sehingga lebih

menambah keasaman dalam duodenum. Keasaman yang tinggi akan

menekan produksi mucus dan bikarbonat, menyebabkan daya tahan

mukosa lebih menurun dan mempermudah terbentuknya tukak.

Defek atau inflamasi pada mukosa yang terjadi pada infeksi

Helicobacter pylory atau akibat OAIN akan mempermudah difusi balik

asam/pepsin kedalam mukosa/jaringan sehingga memperberat

Page 6: Tugas Final Farmakoterapi

kerusakan jaringan. Pada pathogenesis TP, maka asam lambung yang

berlebih merupakan faktor utama terjadinya tukak sedangkan faktor

lainnya merupakan faktor pencetus.

b. Obat Antiinflamasi non-steroid (OAINS).

OAINS dan asam asetil salisilat (Acethyl salicylic =ASA)

meruapan salah-satu obat yang paling sering digunakan dalam

berbagai keperluan, seperti antipiretik,antiinflamasi, analgetik,

antitrombolitik, dan kemoprevensi kanker kolorektal. Pemakaina

OAINS/ASA secara kronik dan regular dapat menyebabkan terjadinya

resiko pendarahan gastrointestinal 3 kali lipat disbanding yang bukan

pemakai. Pemakaian OAINS/ASA bukan hanya dapat menyebabkan

kerusakan structural pada gastrodoudenal, tetapi juga pada usus halus

dan usus besar berupa inflamasi,ulserasi atau perforasi.

Pathogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama

gastroduodenal penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek

toksik/iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap OAINS/ASA

yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel dalam berbagai

tingkat, namun yang paling utama adalah efek OAINS/ASA yang

menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam

arikidonat sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin.

Seperti diketahui bahwa, prostaglandin endogen sangat berperan/

berfungsi dalam memelihara keutuhan mukosa dengan mengatur aliran

darah mukosa, poliferase sel-sel epitel, sekresi mucus dan bikarbonat,

mengatur fungsi immunosit mukosa serta sekresi basal asam lambung..

Sampai saat ini dikenal 2 jenis isoenzim siklooksigenase

(COX) yaitu COX-1 dan COX-2.

COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, juga dalam

ginjal, endotelin, otak dan trombosit; berperan penting dalam

pembentukan prostaglandin dari asam arikidonat. COX-1

Page 7: Tugas Final Farmakoterapi

merupakan House-keeping dalam saluran cerna

gastrointestinal.

COX-2 ditemukan dalam otak dan ginjal, yang juga

bertanggung jawab dalam respon inflamasi/injury.

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin

pada penggunaan OAINS/ASA melalui 4 tahap,yaitu : menurunkan

sekresi mucus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan

poliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan

kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerja sama platelet dan

mekanisme koagulasi.

Endote vascular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator

prostaglandin E dan I, yang apabila terjadi gangguan atau hambatan

(COX-1) akan timbul vasokontriksi sehingga aliran darah menurun

yang menyebabkan nekrose epitel.

Hambatan COX-2 menyebabkan peningkatan pelekatan

leukosit PMN pada endotel vascular gastroduodenal dan mesenteric,

dimulai dari pelepasan protease, radikal bebas oksigen sehingga

memperberat kerusakan endotel dan epitel. Perlekatan leukosit PMN

menimbulkan statis aliran mikrovaskular,iskemia, dan berakhir dengan

kerusakan mukosa/tukak peptic

c. Faktor Lingkungan atau penyakit lain

Yang merupakan faktor resiko terjadinya tukak,yaitu :

a).merokok (tembakau, sigaret) meningkatkan kerentanan terhadap

infeksi Helicobacter pylory dengan menurunkan faktor pertahanan

untuk Helicobacter pylory. b). faktor strez, malnutrisi, makanan tinggi

garam, dan c). faktor genetic.

d. Faktor-faktor detensif

Page 8: Tugas Final Farmakoterapi

Apabila terjadi gangguan satu atau beberapa dari faktor

pertahanan mukosa, maka daya tahan mukosa akan menurun sehingga

mudah dirusak oleh faktor agresif yang menyebabkan terjadinya tukak

peptic.

Ada 3 faktor pertahanan yang berfungsi memelihara daya tahan

mukosa,yaitu :

Faktor preepitel

Faktor epitel

Faktor subepitel

b. Pathogenesis penyakit refluks gastroesofageal

Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal refluks

disease/GERD adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks

kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang

timbul akibat keterlibatan esophagus,faring, laring, dan sluran nafas.

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktoral. Esophagitis

dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofagial apabila :1) Terjadi

kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan

mukosa esophagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa

esophagus , walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan

esophagus tidak cukup lama.

Esophagus dang aster dipisahnkan oleh suatu zona tekanan tinggi

(High pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal

sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan

kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat

menelan, atau aliran retrograde yang terjadi pada saat sendawa atau

muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi

apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3

mekanisme : 1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak

Page 9: Tugas Final Farmakoterapi

adekuat, 2). Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES

setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa pathogenesis terjadinya

GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensive dari esophagus

dan faktor efensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensive

esophagus adalah :

Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar GERD ternyata mempunyai

tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks

retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intrabdomen.

Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang

normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES :1). Adanya

hiatus hernia, 2). Panjang LES (makin pendek LES, makin rendah

tonusnya), 3). Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergic,

theofilin, opiate dll, 4) faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan

kadar progesterone dapat menurunkan tonus LES.

Namun dengan berkembangnya tehnik pemeriksaan manometri,

tampak bahwa pada kasus-kasus Gerd dengan tonus LES yang normal

berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES

relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan

berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum

diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu

diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat

(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.

Peranan hiatus hernia pada pathogenesis terjadinya GERD masih

kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopik

ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala

GERD yang signifikan. Hiatus Hernia dapat memperpanjang waktu yang

dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus

LES.

Page 10: Tugas Final Farmakoterapi

Bersihan asam dari lumen esophagus. Faktorfaktor yang berperan

terhadap bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltic, ekresi

air liur dan bikarbonat.

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke

lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses

menelan. Sisamya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh

kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak

antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin

besar kemungkinan terjadinya esophagitis. Pada sebagian besar GERD

ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan

yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi

menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar

mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.

Ketahanan epithelial esophagus. Berbeda dengan lambung dan

duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mucus yang melindungi

mukosa esophagus.

Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

1. Membrane sel

2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ke

jaringan esophagus.

3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrient,oksigen, dan

bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+dan CO2.

4. Sel – sel esophagus mempunyai kemampuan untuk mentranspor ion

H+dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,

sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel

terhadap ion H+. yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi

Page 11: Tugas Final Farmakoterapi

daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya

rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang

dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat

pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun, dari

kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah

asam.

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD

adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis,

antara lain; dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed

gastric emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam pathogenesis GERD

relative kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian

ada hubungan terbalik antara infeksi Helicobacter pylori denga strain

yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esophagitis, Barrett’s

esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi

Helicobacter pylori terhadap GERD merupakan kosekuensi logis dari

gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh

eradikasi infeksi Helicobacter pylori sangat tergantung terhadap

distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh

gejala refluks pra-infeksi Helicobacter pylori dengan predominant antral

gastritis,pengaruh eradikasi Helicobacter pylori dapat menekan

munculnya gejala GERD. Sementara itu, pada pasien-pasien yang tidak

mengeluh gejala refluks pra-infeksi Helicobacter pylori dengan Corpus

predominant gastritis, pengaruh eradikasi Helicobacter pylori dapat

meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD.

Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi Helicobacter pylori

dengan antral predominant gastritis, eradikasi Helicobacter pylori dapat

memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.

Page 12: Tugas Final Farmakoterapi

Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi

Helicobacter pylori dengan Corpus predominant gastritis, eradikasi

Helicobacter pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta

meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang

pada pasien-pasien dengan infeksi Helicobacter pylori dapat

mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta

eradikasi Helicobacter pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum

pengobatan PPI jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa

non-acid reflux turut berperan dalam pathogenesis timbulnya gejala

GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan

refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini,

timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.

c. Terapi Penyakit akibat bakteri Helicobacter pylori.

Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi Helicobacter pylori (Hp) untuk

menetapkan adanya infeksi sebelum memberikan pengobatan atau untuk

penelitian epidemiologi. Selain itu untuk mengamati apakah telah tercapai

eradikasi sesudah pemberian obat antibiotic.

Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter

pylori adalah :

a. Non Invasif :Serologi,IgA anti Hp, urea breath test : 13C,14C

b. Invasif/endoskopi : Tes Urease : CLO,MIU, Histopatologi, Kultur

mikrobiologi, polymerase chain reaction (PCR).

1. Serologi

Pemeriksaan ini banyak digunakan dalam penelitian

epidemiologi karena relative murah dan dapat diterima oleh kelompok

anak-anak yang tidak mau diperiksa dengan cara yang invasive seperti

gastroskopi.

Page 13: Tugas Final Farmakoterapi

Pada umumnya yang diperiksa adalah antibody IgC terhadap

kuman Helicobacter pylori. Cara ini biasa digunakan untuk penelitian

atau epidemiologi sebelum pemberian terapi eradikasi. Tehnik yang

dipakai adalah dengan menggunan EIISA, Westernblot, fiksasi

komplemen, dan imunofluoresen.EIISA paling luas penggunaannya.

2. Urea Bresth Test (UBT)

Pemeriksaan ini untuk mendeteksi infeksi Helicobacter pylori

secara non invasive yang dipelopori pada tahun 1987 oleh Graham dan

Bell, cara kerjanya adalah dengan menyuruh pasien menelan urea yang

mengandung isotope Carbon, baik 13C ataupun 14C. bila ada aktivitas

urease dari kuman Helicobacter pylori akan dihasilkan isotope CO2

yang diserap dan dikeluarkan melalui pernapasanhasilnya dinilai

dengan membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan

dengan nilai dasar. Bila hasinya positif berarti terdapat infeksi kuman

Helicobacter pylori. 13C merupakan isotop nonradioaktif, ditemukan

pada 1,11% CO2 yang keluar melalui udara pernapasan normal..

dianggap positif bila terjadi kenaikan