farmakoterapi nyeri.doc

88
FARMAKOTERAPI NYERI MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Farmakoterapi Terapan KELOMPOK 3: Ni Putu Rasvita Dewi 260112100015 Khaerunnisa 260112100016 Elfandari Dewi L. N. 260112100017 Masripah 260112100018 Sri Nurhayani 260112100026

Transcript of farmakoterapi nyeri.doc

Page 1: farmakoterapi nyeri.doc

FARMAKOTERAPI NYERI

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Farmakoterapi Terapan

KELOMPOK 3:

Ni Putu Rasvita Dewi 260112100015

Khaerunnisa 260112100016

Elfandari Dewi L. N. 260112100017

Masripah 260112100018

Sri Nurhayani 260112100026

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS FARMASI

JATINANGOR

2010

Page 2: farmakoterapi nyeri.doc

FARMAKOTERAPI NYERI

1. Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori

subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan

kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan.

2. Patofisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung

syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara

potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis

reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak

bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan

pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul

juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal

dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor

jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

a. Reseptor A Delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan.

1

Page 3: farmakoterapi nyeri.doc

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan

sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri

yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

2.1 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana

nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai

teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori

gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa

impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang

sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat

sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.

Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol

desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C

melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls

melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-

A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter

penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka

akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat

terlihat saat seorang perawat menggosok punggung pasien dengan lembut. Pesan

2

Page 4: farmakoterapi nyeri.doc

yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang

dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka

pertahanan tersebut dan pasien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls

nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang

memodifikasi nyeri.

Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan

dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator

ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.

tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk

melepaskan endorfin (Potter, 2005).

2.2 Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman pasien terhadap

nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi pasien. Pemahaman dan pemberian arti nyeri

sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga

faktor sosial budaya.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda, antara lain:

a. Bahaya atau merusak

b. Komplikasi seperti infeksi

c. Penyakit yang berulang

d. Penyakit baru

e. Penyakit yang fatal

f. Peningkatan ketidakmampuan

g. Kehilangan mobilitas

h. Menjadi tua

i. Sembuh

j. Perlu untuk penyembuhan

k. Hukuman untuk berdosa

l. Tantangan

m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

n. Sesuatu yang harus ditoleransi

3

Page 5: farmakoterapi nyeri.doc

o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

2.3 Respon Fisiologis terhadap Nyeri

Respon fisiologi terhadap nyeri terdiri atas dua stimulus, yaitu stimulus

simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superficial) dan stimulus parasimpatik (nyeri

berat dan dalam).

1) Stimulasi Simpatik

a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b. Peningkatan heart rate

c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d. Peningkatan nilai gula darah

e. Diaphoresis

f. Peningkatan kekuatan otot

g. Dilatasi pupil

h. Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik

a. Muka pucat

b. Otot mengeras

c. Penurunan HR dan BP

d. Nafas cepat dan irreguler

e. Nausea dan vomitus

f. Kelelahan dan keletihan

2.4 Respon Tingkah Laku terhadap Nyeri

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur)

b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)

c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari

dan tangan)

4

Page 6: farmakoterapi nyeri.doc

d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari percakapan,

menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas

menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi

sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau

menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu

letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri

hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi

mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a. Fase Antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase

ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran

perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi

pada pasien.

b. Fase Sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika pasien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat

subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.

Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang

lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan

mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi

terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri

kecil. Pasien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan

nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah

sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana

orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar

endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit

merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih

besar.

5

Page 7: farmakoterapi nyeri.doc

Pasien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari

ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan pasien

itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang

menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila

pasien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak

mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu

tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu pasien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

c. Fase Akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini pasien

masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,

sehingga dimungkinkan pasien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila

pasien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)

dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam

membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan

kemungkinan nyeri berulang.

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri, antara

lain:

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji

respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika

sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung

memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah

hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit

berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis Kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara

signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex:

tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

6

Page 8: farmakoterapi nyeri.doc

c. Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon

terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa

nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan,

jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

d. Makna Nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan

dan bagaimana mengatasinya.

e. Perhatian

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi

dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided

imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

f. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan

seseorang cemas.

g. Pengalaman Masa Lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat

ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.

Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa

lalu dalam mengatasi nyeri.

h. Pola Koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan

sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang

mengatasi nyeri.

i. Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

7

Page 9: farmakoterapi nyeri.doc

2.6 Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua

orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik

tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak

dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut:

a. Skala Intensitas Nyeri Deskritif

b. Skala Identitas Nyeri Numerik

c. Skala Analog Visual

d. Skala Nyeri Menurut Bourbanis

Keterangan:0 : Tidak nyeri

8

Page 10: farmakoterapi nyeri.doc

1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik

7-9 : Nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri

sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda

bagi perawat dan pasien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk

dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang

tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking

dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.

Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk

memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa

paling tidak menyakitkan.

Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk

mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS)

lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien

menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan

saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila

digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm

(Priharjo, 1993).

Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi.

VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus

9

Page 11: farmakoterapi nyeri.doc

dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien

kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata

atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan

tidak mengkomsumsi banyak waktu saat pasien melengkapinya. Apabila pasien

dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.

Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan

nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi pasien. Perawat dapat

menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai

apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

 

3. Manifestasi Klinik

Secara umum pasien mungkin berada dalam keadaan distress (kesakitan)

akut yang nyata (nyeri trauma) atau tampak tidak menderita keluhan yang berarti

(kronis/menetap).

Terdapat beberapa gejala nyeri:

a. Nyeri dapat digambarkan sebagai: tajam menusuk, pusing, panas seperti

terbakar, menyengat, pedih, nyeri merambat, rasa nyeri yang hilang timbul,

dan berbeda tempat rasa nyeri.

b. Setelah beberapa lama, rangsangan nyeri yang sama dapat memunculkan

gejala yang sama sekali berbeda (contoh : dari nyeri menusuk menjadi pusing,

dari nyeri yang terasa nyata menjadi samar – samar).

c. Gejala yang tidak spesifik meliputi kecemasan, depresi, kelelahan, insomnia

(gangguan pola tidur), rasa marah dan ketakutan.

Manifestasi klinik nyeri dapat dibagi menjadi tiga kategori mayor, yakni

nyeri akut, nyeri kronik, dan nyeri neuropatik.

a. Nyeri Akut

Nyeri akut terjadi akibat luka atau karena pembedahan, bertempat lokal,

dan semakin reda ketika luka tersebut hilang. Nyeri akut yang tidak ditangani

10

Page 12: farmakoterapi nyeri.doc

dapat menyebakan gejala-gelala psikologis seperti tachypnea, tachycardia, dan

meningkatnya aktivitas sistem syaraf simpatik seperti pucat, diaphoresis, dan

dilatasi pupil. Penanganan nyeri akut yang buruk dapat menyebabkan stess

psikologis, yang berpengaruh juga pada sistem imun, dimana tubuh akan

mengeluakan kortikosteroid endogen. Kondisi ini diikuti juga dengan

penurunan kemampuan bergerak dan penurunan kapasitas paru-paru, yang

juga dapat memperlambat penyembuhan luka. Nyeri akut somatik muncul

karena adanya luka di kulit, tulang, persendian, otot, dan jaringan konektif,

yang pada umumnya terlokalisasi di tempat luka. Nyeri viseral termasuk luka

syaraf pada organ internal (seperti hati dan usus) dapat menyebar. Nyeri akut

harus segera ditangani bahkan sebelum ada diagnosis, kecuali pada kondisi

luka di kepala dan usus dimana nyeri dapat membantu dalam diagnosis.

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik berlangsung melebihi batas normal waktu yang diharapkan

dalam proses penyembuhan. Nyeri kronik menyebabkan nosiseptif,

peradangan, dan neuropatik. Nyeri kronik dapat berlangsung pada waktu

tertentu dan dapat berkepanjangan. Respon psikologis yang terjadi pada nyeri

akut jarang muncul pada nyeri kronik. Pasien dengan nyeri kronik dapat

menyebabkan masalah psikologis, ketergantungan, toleransi terhadap

analgesik, gangguan pola tidur, dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan

yang dapat memperparah nyeri.

c. Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik bersifat seperti nyeri kronik nonmalignant, yang

termasuk penyakit dalam sistem syaraf sentral dan periferal. Contoh dari nyeri

neuropatik adalah Post Herpetic Neuralgia (PHN). Periferal atau

polineuropatik berhubungan dengan polineuropati distal pada diabetes, Human

Immunodeficiency Virus (HIV), dan beberapa kemoterapi. Tipe nyeri sentral

yaitu nyeri stroke sentral, trigeminal neuralgia, dan sindrom yang disebut

Complex Regional Pain Syndrome (CRPS). Contoh dari CPRS adalah distofi

simpatik reflek dan kausalgia, dimana keduanya adalah nyeri neuropatik yang

berhubungan dengan fungsi abnormal dari sistem syaraf autonom.

11

Page 13: farmakoterapi nyeri.doc

Gejala nyeri neuropatik yaitu gatal, terasa terbakar, seperti ditusuk-tusuk,

dan seperti disengat listrik. Kondisi lainnya seperti denyut melemah, nyeri

seperti terbakar. Seringkali kerusakan syaraf periferal dapat dijadikan petunjuk

tempat terjadinya kerusakan dari syaraf tersebut.

Penanganan nyeri yang rasional dari nyeri ini harus memperhatikan hasil

evaluasi dari neuropati dan hubungannya dengan kerusakan periferal dan

sentral. Obat-obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri ini adalah opioid

seperti metadon yang merupakan golongan antagonis reseptor N-Metil-D-

Aspartat (NMDA). Penggunaan antikonvulsan juga dapat digunakan untuk

memblok chanel Na+ pada serabut syaraf aferen periferal. Obat-obatan lain

seperti antidepresan trisiklik, bupropion, dan venlafaxine dapat memblok

mekanisme penghambatan pengeluaran target monoamin dorsal horn.

Adapun beberapa tanda dari nyeri, antara lain:

a) Nyeri akut dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, diaforesis, midriatik dan

pallor (pucat), tetapi gejala tersebut tidak memastikan diagnosis nyeri.

b) Nyeri selalu bersifat subyektif ; jadi lebih baik diagnosa didasarkan pada

gambaran dan riwayat penyakit yang diceritakan oleh pasien.

c) Nyeri nosiseptik seringkali akut, terlokalisasi, dapat digambarkan dengan

jelas, dan membaik dengan analgesik konvensional. Nyeri biasanya berupa

nyeri seperti dipukul dan rasa tidak nyaman yang terlokalisasi, tetapi nyeri

viseral rasanya seperti berasal dari struktur lain atau timbul sebagai fenomena

yang terlokalisasi.

d) Nyeri neuropatik seringkali kronis, tidak dapat dijelaskan dengan dengan baik

dan tidak mudah diobati dengan analgesik konvensional. Pasien umumnya

merasakan nyeri yang seperti membakar, pedih, seperti tersengat listrik, atau

menusuk, respon nyeri berlebihan terhadap rangsangan yang membahayakan

(hiperalgesia), atau respon nyeri terhadap rangsangan yang secara normal

tidak membahayakan (allodynia)

e) Pengobatan nyeri yang tidak efektif dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan

oksigen), hypercapnea, hipertensi, aktivitas jantung berlebihan dan gangguan

emosional.

12

Page 14: farmakoterapi nyeri.doc

f) Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 4 subtipe :

1. Nyeri yang menetap lebih dari waktu sembuh normal untuk luka akut

2. Nyeri akibat penyakit kronis

3. Nyeri yang tidak jelas organ penyebabnya, serta

4. Nyeri baik akut maupun kronis yang disebabkan oleh kanker

g) Pasien dengan nyeri kronis mungkin timbul masalah psikologik

ketergantungan dan toleransi terhadap analgesik, gangguan pola tidur, serta

peka terhadap perubahan lingkungan yang justru memperparah nyeri

(Sukandar et al., 2008).

4. Diagnosa

4.1 Nyeri akut

Nyeri akut yaitu suatu keadaan dimana individu mengalami dan

melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak

menyenangkan selama enam bulan atau kurang.

Batasan Karakteristik :

1) Subjektif : Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri

dideskripsikan. Untuk pasien dewasa dan dalam kondisi sadar penuh, rasa

nyeri ini bisa dikaji secara verbal menggunakan skala 0-10 atau 0-5

(tergantung kebijakan RS menggunakan yang mana) (Yenichrist, 2008).

2) Objektif

a. Perilaku sangat berhati-hati

b. Memusatkan diri

c. Fokus perhatian rendah (perubahan persepsi waktu, menarik diri dari

hubungan sosial, gangguan proses berpikir)

d. Perilaku distraksi (mengerang, menangis)

e. Raut wajah kesakitan (wajah kuyu, meringis)

f. Perubahan tonus otot

g. Respon autonom (diaforesis, perubahan tekanan darah dan nadi,

dilatasi pupil, penurunan atau peningkatan frekuensi pernafasan)

13

Page 15: farmakoterapi nyeri.doc

h. rubor (kemerahan jaringan)

i. kalor (kehangatan jaringan)

j. tumor (pembengkakan jaringan)

k. dolor (nyeri jaringan)

l. fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan) (Dharmayana, 2009)

4.2 Nyeri kronis

Nyeri kronis yaitu keadaan dimana seseorang individu mengalami nyeri

yang menetap atau intermiten dan berlangsung lebih dari enam bulan.

Batasan Karakteristik :

1) Mayor (harus terdapat), individu melaporkan bahwa nyeri telah ada lebih

dari 6 bulan

2) Minor (mungkin terdapat)

a. Ketidaknyamanan

b. Marah, frustasi, depresi karena situasi

c. Raut wajah kesakitan

d. Anoreksia, penurunan berat badan

e. Insomnia

f. Gerakan yang sangat berhati-hati

g. Spasme otot

h. Kemerahan, bengkak, panas

i. Perubahan warna pada area terganggu

j. Abnormalitas refleks

4.3 Diagnosa Tambahan

a. Kecemasan yang berhubungan dengan hilangnya kontrol

b. Ketakutan yang berhubungan dengan nyeri

c. Kelemahan yang berhubungan dengan pengobatan pada penyakit

d. Perubahan penampilan peran yang behrubungan dengan perubahan status

kesehatan dan kerusakan koping

14

Page 16: farmakoterapi nyeri.doc

e. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan kesakitan dan nyeri

f. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan

ketidaknyamanan

g. Aktivitas intoleran yang berhubungan dengan nyeri dan/atau depresi

h. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan nyeri

i. Kurang perawatan diri (total atau sebagian) yang berhubungan dengan

nyeri

j. Perubahan pemeliharaan kesehatan yang berhubungan dengan perasaan tak

berdaya (Ramali, 2000)

4.4 Alat Pengukur Nyeri

5. Hasil Terapi yang Diinginkan

Tujuan terapi adalah untuk meminimalkan nyeri, mencegah timbulnya

gangguan tidur, dan memberikan kenyamanan yang memadai pada dosis

analgesik efektif terendah. Selain itu, pada nyeri kronis juga diharapkan meliputi

pemulihan dan menghilangkan terhadap masalah psikososial.

15

Page 17: farmakoterapi nyeri.doc

6. Penanganan

Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan terapi

farmakologi dan terapi nonfarmakologi.

6.1 Terapi farmakologi

Terapi farmakologi adalah terapi menggunakan obat-obatan sintetik,

semisintetik, maupun bahan alam.

Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri

dengan jalan mendepresi Sistem Saraf Pusat pada Thalamus dan Korteks Cerebri.

Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang berat

dibandingkan setelah mengeluh nyeri. Untuk alasan ini maka analgesik dianjurkan

untuk diberikan secara teratur dengan interval, seperti setiap 4 jam (q 4h) setelah

pembedahan (Irman, 2007).

a. Obat Nonopioid

Analgesik yang diberikan harus dimulai dengan analgesik yang paling

efektif dengan efek samping terendah.

Analgesik Nonopioid yang mendapat ijin FDA untuk Orang Dewasa

Golongan dan nama

generik

Rentang dosis lazim

(mg)

Dosis maks (mg

hr)

Salisilat

Asam asetil salisilat

(aspirin)b

325-650 tiap 54 jam 4000

Kolin b 870 tiap 3 – 4 jam 5220

Magnesium b 650 tiap 4 jam atau

1090 Tiga kali sehari

4800

Dalam dosis

terapi

Natrium b 325 – 650 tiap 4 jam 5400

Diflusinal 500 – 1000 pada awal

250 – 500 tiap 8 – 12 jam

1500

Para-Aminofenol

16

Page 18: farmakoterapi nyeri.doc

Parasetamol b 325 – 1000 tiap 4 – 6 jam 4000

Fenamat

Meklofemat 50-100 tiap 4 -6 jam 400

Asam mefenamat Awal 500

250 tiap 6 jam ( Maks 7

hari)

1000c

Asam pianokarboksilat

Etodolak 200 – 400 tiap 6 – 8 jam

Hanya utk pelepasan

segera

1000

Asam Asetat

Kalium diklofenak Pada beberapa pasien,

Awal 100, 50 tiga kali

sehari

150d

Asam Propionat

Ibuprofen b 200 – 400 tiap 4 – 6 jam 3200

1200e

Fenoprofen 200 – 400 tiap 4 – 6 jam 3200

Ketoprofen b 25 – 50 tiap 6 – 8 jam

12,5 – 25 tiap 4 – 6 jamd

300

75e

Naproksen 500 saat awal

500 tiap 12 jam atau

250 tiap 6 – 8 jam

1000c

Natrium Naproksen b Pd beberapa pasien 440

saat awale 220 tiap 8 – 12

jam e

660e

Naproksen, delayed

released

500 tiap 12 jam 1000

17

Page 19: farmakoterapi nyeri.doc

Naproksen, controlled

released

200 – 1000 tiap 24 jam

Asam Pirozolin karboksilat

Ketorolak (parenteral) 30 – 60 mg (dosis im

tunggal saja)

15 – 30 tiap 6 jam (maks 5

hari)

30-60

120

Ketorolak (oral)

(Indikasi hanya untuk

lanjutan/setelah parenteral

saja)

Pada beberapa pasien,

dosis awal 20 – 10 tiap 4 –

6 jam (maks 5 hari,

termasuk dosis parenteral)

40

Penghambat siklooksigenase-2

Selekoksib Awal 400 diikuti dengan

200 pd hari yang sama,

lalu 200 dua kali seharig

400g

Valdekoksib 20 dua kali seharih 40h

a Tidak termasuk obat yang diberi ijin hanya untuk osteoporosis atau

rematoid arthritisb Tersedia sebagai obat bebas maupun dengan resep dokterc Sampai dengan 1250 mg pada hari pertamad Sampai dengan 200 mg pada hari pertamae Obat bebasf Tidak untuk terapi awal nyeri akutg Untuk nyeri akut dismenore primerh Untuk dismenore primer

Obat-obat ini (kecuali parasetamol) menurunkan produksi prostaglandin

melalui mekanisme berantai asam arakidonat, oleh karenanya mengurangi

jumlah rangsangan nyeri yang diterima oleh SSP.

Aspirin yang diberikan bersama dengan anti inflamasi non steroid (AINS)

yang lain lebih berisiko menyebabkan efek samping pada saluran cerna.

18

Page 20: farmakoterapi nyeri.doc

Garam salisilat kurang menyebabkan efek samping dibandingkan dengan

aspirin dan tidak menghambat agregasi platelet.

Senyawa dengan struktur mirip aspirin tidak boleh diberikan kepada anak

atau remaja yang menderita influenza atau chickenpox (cacar air), karena

sindrom reye dapat terjadi.

Parasetamol mempunyai aktivitas analgesik dan antipiretik tetapi hanya

sedikit efek antiinflamasi. Juga bersifat sangat hepatotoksik jika overdosis.

Nama obat KeteranganAspirin (asam asetilsalisilat atau asetosal)

Mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antinflamasi. Efek samping utama : perpanjangan masa perdarahan, hepatotoksik

(dosis besar) dan iritasi lambung. Diindikasikan pada demam, nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri otot dan sendi (artritis rematoid). Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya trombus (bekuan darah) pada pembuluh darah koroner janung dan pembuluh darah otak

Asetaminofen (parasetamol)

Merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Parasetamol mempunyai efek analgesik dan anipiretik, tetapi

kemampuan antinflamasinya sangat lemah. Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus

diberikan dalam 24 jam sejak intake parasetamol.Ibuprofen Mempunyai efek analgesik, anipiretik, dan antinflamasi, namun efek

antinflamasinya memerlukan dosis lebih besar. Efek sampingnya ringan, seperti sakit kepala dan iritasi lambung

ringan.Asam mefenamat Mempunyai efek analgesik dan antinflamasi, tetapi tidak memberikan

efek anipiretik.Diklofenak Diberikan untuk antinflamasi dan bisa diberikan untuk terapi

simtomatik jangka panjang untuk artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa.

Indometasin Mempunyai efek anipiretik, antinflamasi dan analgesik sebanding dengan aspirin, tetapi lebih toksik.

Fenilbutazon Hanya digunakan untuk antinflamasi dan mempunyai efek meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada artritis gout.

Kelompok obat gout

Pada keadaan akut : kolkisin, fenilbutazon, dan indometasin. Mengurangi kadar asam urat : probenesid, allopurinol dan sulfinpirazon

19

Page 21: farmakoterapi nyeri.doc

b. Obat Opioid

Opioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek

seperti morfin. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat

reseptor opioid spesifik pada susunan saraf pusat untuk meghasilkan efek yang

meniru efek neurotransmiter peptida endogen, opiopeptin (misal endorfin dan

enkefalin). Opioid analgesik penggunaan utamanya adalah untuk

menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas yang menyertainya, baik karena

operasi atau sebagai akibat luka atau suatu penyakit misal kanker.

Reseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem saraf pusat yang

dikelompokkan menjdi 3 tipe utama yaitu μ-, κ-, dan σ-reseptor. μ-reseptor

memiliki jumlah yang paling banyak di otak dan merupakan reseptor yang

paling berinteraksi dengan opioid analgesik untuk mengasilkan efek analgesik.

Sedangkan κ- dan σ-reseptor menunjukkan selektivitas terhahap enkefalin dan

dinorfin secara respektif. Aktivasi κ-reseptor juga dapat menghasilkan efek

analgesik, namun berlawanan dengan  μ-agonis, yang dapat menyebabkan

euforia. Beberapa opioid analgesik mengahsilkan efek stimulan dan

psikomotorik dengan beraksi pada σ-reseptor. Aktivasi pada μ- dan σ-reseptor

dapat menyebabkan hiperpolarisasi pada saraf dengan cara mengaktivasi K+

chanel melalui  proses yang melibatkan G-protein. Sedangkan aktivasi κ-

reseptor dapat menghambat membran Ca2+ chanel. Sehingga dapat merintangi

peletuoan neuronal dan pelepasan transmitter (Tusthi, 2007)

Kerja pada pusat Hipnoanalgetika:

a. Menurunkan rasa nyeri dengan cara stimulasi reseptor opiate (kerja

analgetika),

b. Sebaliknya tidak mempengaruhi kualitas indra lain pada dosis terapi,

c. Mengurangi aktivitas kejiwaan (kerja sedasi),

d. Meniadakan rasa takut dan rasa bermasalah (kerja trankuilansia),

e. Menghambat pusat pernafasan dan pusat batuk (kerja depresi pernapasan

dan kerja antitusiva),

20

Page 22: farmakoterapi nyeri.doc

f. Seringkali mula-mula menyebabkan mual dan muntah akibat stimulasi

pusat muntah (kerja emetika), selanjutnya menyebabkan inhibisi pusat

muntah (kerja antiemetika),

g. Menimbulkan miosis (kerja miotika),

h. Meningkatkan pemnbebasan ADH (kerja antidiuretika), dan

i. Pada pemakaian berulang kebanyakan menyebabkan terjadinya toleransi

dan sering juga ketergantungan.

Kerja perifer Opiat:

a. Memperlambat pengosongan lambung dengan mengkonstriksi pylorus,

b. Mengurangi motilitas dan meningkatkan tonus saluran cerna (obtipasi

spastic),

c. Mengkontraksi sfinkter dalam saluran empedu,

d. Meningkatkan tonus otot kandung kemih dan juga otot sfinkter kandung

kemih,

e. Mengurangi tonus pembuluh darah dengan bahaya reaksi ortostatik, dan

f. Menimbulkan pemerahan kulit, urtikaria, rangsang gatal, serta pada

penderita asma suatu bronkhospasmus, akibat pembebasan histamine(1)

(Mutschler, 1991)

Mula kerja analgesik oral biasanya sekitar 45 menit, dan efek puncak umumnya

terlihat dalam 1 sampai 2 jam.

Golongan dan Nama

Generik

Rute Kesetaraan Dosis

Analgesik (mg) Dewasa

Agonis – Mirip Morfin

Morfin Im 10

Po 30

Hidromorfin Im 1,5

Po 7,5

Oksimorfin Im 1

R 5 a

21

Page 23: farmakoterapi nyeri.doc

Triorfanol im (akut) 2

po (akut) 4

im (kronis) 1

po (kronis) 1

Codein Im 15 – 30 b

Po 15 – 30 b

Hidrocodon Po 5 – 10 b

Oksikodon Po 20 – 30 c

Agonis-Mirip Meperidin

Meperidin Im 75

Po 300c, tidak disarankan

Pentanil Im 0,1 – 0,2

Transdermal 25mcg/jamd

Transmukosal hanya untuk nyeri berat

Agonis-Mirip Metadon

Metadon im (akut) bervariasie

po ( akut) bervariasie

im (kronis) bervariasie

po (kronis) bervariasie

Propoksilen Po 65b

Turunan Agonis-Antagonis

Protazosin Im Tidak dianjurkan

Po 50b

Butorfanol Im 2

intranasal 1 b (satu spray)

Nalbufin Im 10

Buprenorfin Im 0,4

Dezosin Im 10

Antagonis

22

Page 24: farmakoterapi nyeri.doc

Nalokson Iv 0,4 – 1,2 f

Analgesik Sentral

Tramadol Po 50 – 100 b

a 50 mg morfin rectal = 5 mg oksimorfin rectalb Dosis awal saja (kesetaraan dosis analgesik tidak ada)c Dosis awal lebih rendah (oksikodon 5 – 10 mg)d Kesetaraan dosis morfin im = 8 – 22 mg / harie Kesetaraan dosis analgesik metadon, jikadibandingkan dengan

opioid lain akan menurun secara progresif sejalan dengan makin

tingginya dosis opioid sebelumnya.f Dosis awal yang digunakan hanya pada keadaan overdosis opioid

Agonis dan antagonis parsial bersaing dengan agonis pada reseptor opiat

dan menimbulkan efek campuran antara agonis dan antagonis. Obat-obat

tersebut mungkin mempunyai selektivitas f<reseptor analgesik dan

menyebabkan efek samping yang lebih sedikit. Pada tahap awal

pengobatan nyeri akut, analgesik harus diberikan secara ‘around the clock’

(sebelum nyeri muncul). Saat kondisi nyeri berkurang, pengobatan

diberikan juka perlu.

Pada penggunaan patient-controlled analgesia (PCA), pasien memberikan

sendiri sejumlah tertentu opioid intravena melalui alat suntik ‘pump’ yang

dihubungkan secara elektronis dengan alat pengatur waktu; sehingga,

pasien dapat menyeimbangkan antara kontrol rasa nyeri dengan efek

sedasi.

Pemberian golongan opioid langsung kedalam SSP (rute epidural dan

intratekal/subarachnoid) makin menonjol untuk mengobati nyeri akut.

Cara ini pernafasan pruritus (gatal), mual, muntah, retensi urin dan

hipotensi. Naloxone digunakan untuk mengatasi depresi saluran nafas,

tetapi mungkin perlu diberikan secara infus berkelanjutan. Efek analgesik

pada dosis tunggal golongan opioid secara epidural tercantum dibawah ini:

1. Morfin, 1-6 mg (mula kerja 30 menit, lama kerja 6-24 jam)

23

Page 25: farmakoterapi nyeri.doc

2. Hidromorfin, 1-2 mg (mula kerja 15 menit, lama kerja 6-16 jam)

3. Fentanil, 0,025-0,1 mg (mula kerja 5 menit, lama kerja 1-4 jam)

Opioid intratekal dan epidural sering diberikan dengan infus berkelanjutan

atau PCA. Cara itu aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan

anestesi local intratekal dan epidural seperti bupivakain. Semua obat yang

diberikan secara langsung ke dalam SSP harus bebas pengawet.

Dosis subarachoid lebih kecil dari pada epidural (misal, morfin 0,1-0,3 mg

fentanil 0,005-0,025 mg).

Morfin dan Struktur Sejenis

Morfin dianggap oleh banyak klinisi sebagai obat pilihan pertama untuk

nyeri sedang sampai berat. Dapat diberikan secara oral, parenteral atau

rektal.

Mual dan muntah lebih sering ditemui pada pasien ‘ambulatory’ (tidak

perlu dirawat di rumah sakit) dan sejak dosis awal.

Depresi pernafasan meningkat secara progresif jika dosis ditingkatkan.

Seringkali muncul sebagai penurunan laju nafas, dan refleks batuk tidak

bekerja/diekan. Pasien dengan penyakit disfungsi paru adalah yang

beresiko karena peningkatan gangguan pernafasan. Depresi pernafasan

dapat diatasi dengan nalokson.

Kombinasi analgesik opioid dengan alkohol atau depresan SSP yang lain

akan menguatkan depresi nafas dan potensial berbahaya dan kemungkinan

bersifat letal (mematikan).

Morfin menyebabakan dilatasi vena dan arteriol, sehingga dapat

menyebabkan hipotensi ortostatik. Pasien hipovolemik lebih mudah

terkena hipotensi akibat morfin. Morfin seringkali dianggap sebagai opioid

pilihan jika menggunakan golongan opioid untuk mengobati nyeri akibat

infark miokard, karena menurunkan kebutuhan oksigen miokardial.

Morfin dapat menyebabkan konstipasi, spasme sphincter Oddi, retensi urin

dan pruritus/gatal (sekunder, akibat pelepasan histamine). Pada pasien

trauma panas yang tidak dapat bernfas dengan baik (not ventilated), defresi

24

Page 26: farmakoterapi nyeri.doc

napas yang dipicu oleh morfin dapat meningkatkan tekanan intracranial

dan mengaburkan hasil pemeriksaan neurologik.

Efek Samping Utama Analgesik Opioid

Efek Manifestasi

Perubahan suasana hati

(mood)

Disforia (tidak merasa senang),

eufhoria (rasa senang berlebihan)

Somnolens Letargia (lemah), mengantuk,

apatis, tidak dapat konsentrasi

Rangsangan chemoreceptor Mual, muntah

Trigger zone

Depresi pernafasan Laju nafas menurun

Gerakan saluran cerna

berkurang

Sembelit

Tonus spinchter meningkat Spasme (kaku) saluran empedu,

retensi urin (bervariasi antara

satu obat dengan obat lain)

Pelepasan Histamin Biduran, kemerahan dan gatal,

jarang terjadi eksaserbasi asam

(bervariasi antara satu obat

dengan obat lain)

Toleransi Dosis harus lebih besar agar

mendapat efek yang sama

Ketergantungan Gejala putus obat, jika obat

dihentikan mendadak

Meperidin dan Struktur Sejenis (Fenilpiperidin)

Meperidin kurang poten dan lebih singkat lama kerjanya dibandingkan

dengan morfin, tidak lebih menguntungkan disbanding morfin.

Pada dosis tinggi atau pada gagal ginjal, metabolitnya normepiridin

menumpuk. Menyebabkan tremor, hentakan otot, dan kemungkinan kejang

(seizures).

25

Page 27: farmakoterapi nyeri.doc

Eperidin dikombinasikan dengan penghambat monoamine oksidase karena

kemungkinan depresi atau eksitasi nafas berat, delirium hiperpiroksia

(tidak sadar akibat panas tinggi), dan konvulsi.

Fentonil adalah opioid sintesis dengan struktur mirip meperidin. Seringkali

digunakan pada anestesi sebagai tambahan bagi anestesi umum. Fentanil

lebih poten dengan lama kerja analgesik lebih singkat dibandingkan

dengan meperidin. Fentanil transdermal dapat digunakan untuk

pengobatan nyeri kronis yang membutuhkan anaalgesik opioid.

Meperidin dan Struktur Sejenis

Struktur dasar meperidine memiliki aktivitas farmakologi yang sebanding

dengan morfin, tetapi aktivitasnya tidak sebaik morfin dan memiliki durasi

analgesik yang lebih singkat. Oleh karena itu untuk menghasilkan efek

terapeutik yang sama diperlukan dosis yang lebih besar dan frekuensi

pemberian yang lebih sering. Meperidin dimetabolisme dalam tubuh menjadi

metabolit yang toksik (normeperidin) yang dapat menyebabkan eksitasi

sistem saraf pusat, seperti tremor, kejang otot dan serangan jantung.

Normeperidin dapat dibuang dari tubuh melalui ginjal sehingga orang resiko

ini lebih berpotensi pada pasien gagal ginjal atau pasien lansia. Kombinasi

MAO inhibitor dengan meperidin tidak boleh digunakan karena dapat

meningkatkan depresi atau eksitasi pernapasan, delirium, hiperpireksia dan

konvulsi (Baumann and Strickland, 2008).

Pentanil adalah senyawa sintetik yang strukturnya mirip dengan

meperidin dan sering digunakan dalam anestesiologi sebagai tambahan dalam

anastesi umum. Senyawa ini lebih poten, lebih lipofilik dan durasi kerja yang

lebih singkat daripada meperidin. Pentanil dapat digunakan secara parenteral,

transmukosa, dan transdermal. Pentanil trasdermal dapat memberikan efek

analgesik sampai 72 jam, tetapi memerlukan waktu 12 sampai 24 jam untuk

mencapai efek terapeutik dan waktu 6 jam untuk mencapai konsentrasi steady

state. Koyo transdermal ini harus dibatasi penggunaannya pada pasien nyeri

kronik dan tidak cocok untuk pasien kronik akut. Sediaan bukal dan tablet

hisap pentanil juga dapat digunakan pada pasien yang menderita kanker.

26

Page 28: farmakoterapi nyeri.doc

Sediaan transdermal kini telah banyak digunakan untuk menjaga kadar

teurapeutik analgesik pada pasien nyeri pasca operasi (Baumann and

Strickland, 2008).

Metadon dan Struktur Sejenis

Metadon efektif per oral, lama kerja panjang, dan kemampuan untuk

menekan gejala putus obat pada ketagihan heroin. Pada dosis berulang, lama

kerja metadon sebagai analgesik diperpanjang, tetapi mungkin juga timbul

sedasi berlebihan. Walaupun efektif untuk nyeri akut, namun umumya

digunakan untuk nyeri kronis.

Turunan Opioid Agonis-Antagonis

Kelas ini dapat meredakan nyeri dan mempunyai efek terbesar (ceiling

effect), depresi napas serta potensial penyalahgunaan yang lebih rendah

daripada morfin. Namun, respon psikotomimetik (misal: halusinasi dan

disforia dengan pentazosin), efek analgesik terbesar dan kecenderungan untuk

putus obat lebih awal pada pasien yang tergantung opioid telah membatasi

penggunaannya.

Antagonis Opioid

Nalokson merupakan antagonis opioid murni yang terikat secara kompetitif ke

reseptor opioid, tetapi tidak menghasilkan respon analgesik. Tetapi digunakan

untuk mengatasi efek toksik dari opioid agonis dan opioid agonis-antagonis.

Analgesik Sentral

Tramadol, analgesik yang bekerja secara sentral untuk nyeri sedang

sampai agak berat. Terikat ke reseptor N opiate dan secara lemah

menghambat ambilan kembali (reuptake) norefineprin dan serotonin.

Walaupun kurang menyebabkan depresi napas dibanding morfin pada

dosis anjuran, tramadol mempunyai profil efek samping serupa dengan

analgesik opioid yang lain. Mungkin juga meningkatkan resiko kejang.

Dapat berguna untuk mengobati nyeri kronis, terutama yang bersifat

27

Page 29: farmakoterapi nyeri.doc

neuropatik, tetapi hanya sedikit bermanfaat disbanding opioid lain untuk

nyeri akut

Pedoman Penentuan Dosis

Nama Obat Dosis

(dinaikkan atau

diturunkan sesuai

respon pasien)

Keterangan

AINS/

Parasetamol/

Aspirin

Dosis sampai

maksimum sebelum

diganti dengan obat

lain

Gunakan pada nyeri ringan sampai

sedang.

Dapat digunakan bersama dengan obat

opioid untuk mengurangi dosis

masing-masing.

Konsumsi alcohol secara teratur dan

parasetamol dosis tinggi dapat

menyebabkan toksisitas pada liver.

Hindari kemungkinan over dosis jika

obat itu digunakan bersama.

Morfin po 5 – 30 mg tiap 3-

4 jama

im 5 – 30 mg tiap 3-

4 jama

iv 1-2,5 mg tiap5

menit jika perlua

Sustained Release

15-30 mg

Rektal 10-20 mg tiap

4 jama

Obat pilihan pertama pada nyeri berat

Kombinasikan produk sustained

release dengan lepas berkala untuk

mengontrol nyeri berat pada pasien

kanker.

Tersedia produk yang dapat tiap 12

jam diberikan tiap 24 jam (ungkin bias

tiap 8 jam pada pasien tertentu).

Hidromorfin po 2 – 4 mg tiap 3-6 Gunakan pada nyeri berat

28

Page 30: farmakoterapi nyeri.doc

jama

im 1 – 4 mg tiap 3-6

jama

iv 0,1 – 0,5 mg tiap

5 menit jika perlua

Rektal 3 mg tiap 6-8

jama

Leih poten disbanding morfin;selain

hal itu tidak ada keuntungan lain

Kombinasikan produk immediate

release dengan lepasberkala untuk

mengonrol nyeri berat pada pasien

kanker

Gunakan hanya bentuk sediaan

Sustained Release pada pasien yang

menunjukan toleransi terhadap opioid.

Tersedia kapsul lepas berkala 12 mg,

16 mg, 24 mgdan 32 mg dan harus

diberikan tiap 24 jam

Oksimorfin im 1 – 1,5 mg tiap 4-

6 jama

iv 0,5 mg pada awal

Rektal 5 mg tiap 4-6

jama

Gunakan pada nyeri berat

Tidak ada kelebihan dibandingkan

morfin

Levorfanol po 2 – 3 mg tiap 6-8

jama

im 1 – 2 mg tiap 6-8

jama

Gunakan pada nyeri berat

Waktu paruh yang diperpanjang dapat

berguna untuk pasien kanker pada

nyeri kronis, tunggu 3 hari sebelum

menyesuaikan dosis.

Kodein po 15 - 60 mg tiap 3-

6 jama

im 15 - 60 mg tiap 3-

6 jama

iv 15 - 60 mg tiap 3-

6 jama

(maks 360 mg per

hari)

Gunakan pada nyeri sedang

Analgesik lemah, gunakan dengan

AINS, atau parasetamol, atau aspirin.

29

Page 31: farmakoterapi nyeri.doc

Hidrokodon (po) po 5 - 10 mg

tiap 3-6 jama

Gunakan pada nyeri sedang/berat.

Paling efektif jika digunakan bersama

dengan AINS atau parasetamol atau

Aspirin.

Oksikodon

(po)

po 5 - 10 mg tiap 3-6

jama

Controlled-release,

10-20 mg tiap 12

jam

Gunakan pada nyeri sedang/berat

Paling efektif jika digunakan bersama

dengan AINS atau parasetamol atau

Aspirin. Kombinasikan poduk

Immediate-release denagan produk

sustained-release untuk mengontrol

nyeri berat pada pasien kanker.

Meperidin im 50 - 150 mg tiap

3-4 jama

iv 5-10 mg tiap5

menit jika perlua

Gunakan pada nyeri berat

Oral tidak dianjurkan.

Jangan diberikan pada gagal ginjal

Dapat menimbulkan tremor,

mioklonus atau seizure (kejang)

Penghambat MAO dapat

menyebabkan dan/atau seizure

(kejang) atau gejala overdosis opioid

Fentanil iv 25-50 mcg / jama

im 0,05-0,1 mcg tiap

1-2 jama

transdermal 25

mcg/jam tiap 72 jam

transmukosal 200

mcg dapat diulang

satu kali, 30 menit

setelah dosis

pertama lalu

dititrasi/disesuaikan

Gunakan pada nyeri berat

Jangan digunakan secara transdermal

pada nyeri akut

Transmukosal untuk kanker

30

Page 32: farmakoterapi nyeri.doc

secara bertahap

Metadon po 2,5 - 10 mg tiap

3-4 jam (akut)a

im 2,5 - 10 mg tiap

3-4 jam (akut)a

po 5 - 20 mg tiap 6-8

jam (kronis)a

Efektif pada nyeri kronis yang berat

Sedasi dapat menjadi masalah utama

Pada beberapa pasien kronis dapat

diberikan tiap 12 jam

Kesetaraan dosis analgesic Metadon

akan menurun secara progresif seiring

makin tingginya dosis opioid yang

digunakan sebelumnya, jika

dibandingkan dengan opioid yang lain.

Profoksifen po 100 mg tiap 4

jama (napsilat)

po 65 mg tiap 4 jama

(HCL)

(maks tiap hari 600

mg napsilat, 390 mg

HCL)

Gunakan pada nyeri sedang

Analesik lemah paling efektif jika

digunakan dengan AINS atau

parasetamol atau Aspirin dapat

menyebabkan kadar karbamazepin

meningkat 100 mg garanm napsilat =

65 mg garam HCL

Pentazosin po 50 - 100 mg tiap

3-4 jama

(maks 600 mg per

hari)

Obat pilihan ketiga untuk nyeri sedang

sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat

pada pasien ketergantungan. Dosis

parenteral tidak dianjurkan.

Butorfanol im 1 - 4 mg tiap 3-4

jama

iv 0,5 - 2 mg tiap 3-4

jama

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang

sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat

pada pasien ketergantungan

31

Page 33: farmakoterapi nyeri.doc

intranasal 1 mg (1

spray) tiap 3-4 jam

jika tidak adekuat,

dapat diulang pada

lubang hidung yang

lain satu kali dalam

30-60 menit Maks 2

semprotan (1

semprot tiap lubang

hidung) tiap 3-4 jam

Nalbufin im/iv 10 mg tiap 3-6

jam

(maks dosis 20 mg,

160 mg/hari)

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang

sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat

pada pasien ketergantungan

Buprenorfin im 0,3 mg tiap 6

jamb

iv lambat 0,3 mg tiap

6 jamb

Dapat diulang satu

kali, 30-60 menit

setelah dosis

pertama

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang

sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat

pada pasien ketergantungan

Nalokson tidak efektif untuk

mengatasi depresi nafas.

Dezosin im 5-20 mg tiap 3-6

jamb

iv 2,5-10 mg tiap 2-

4 jamb

Obat pilihan kedua untuk nyeri sedang

sampai berat

Dapat menimbulkan gejala putus obat

pada pasien ketergantungan

Nalokson iv 0,4-1,2 mg Saat mengatasi efek samping opiate

pada pasien yang mmeerlukan

analgesic, encerkan dan titrasi dosis

(o,2-0,2 mg tiap 2-3 menit) agar efek

32

Page 34: farmakoterapi nyeri.doc

analgesic tidak hilang

Tramadol po 50 – 100 mg tiap

4-6 jama

Jika mula kerja

(onset) obat yang

cepat tidak tercapai,

mulailah dengan 25

mg/hari dan

dititrasi/disesuaikan

dosisnya dalam

waktu beberapa hari

Dosis maksimum 400 mg/24 jam

Turunkan dosis pada penderita

gangguan ginjal dan lanjut usia

a. Dapat dimulai dengan ‘round the clock’ (pencegahan) dan berubah jika perlu/

jika gejala reda atau episodic

b. Dapat mencapai efek analgesic pada batas atas / terbesar (celling effect)

Terapi kombinasi

Kombinasi analgesik oral opioid dan nonopioid sering lebih efektif

dibandingkan dengan monoterapi dan memungkinkan untuk mengurangi dosis

obat masing-masing. AINS ditambah opioid dengan jadwal tertentu seringkali

efektif untuk nyeri kanker tulang metastase.

Anelgesik Regional

Analgesik regional dengan anestesi lokal dapat menghilangkan nyeri akut

maupun kronis. Anestesi dapat diberikan melalui injeksi(misal, pada tulang,

di epidural atau ruang intratekal, sepanjang akar saraf) atau secara topikal.

Kadar plasma yang tinggi dapat menyebabkan eksitasi dan depresi SSP

(pusing, tinnitus, mengantuk, disorientasi, hentakan otot, kejang/seizures,

henti nafas. Efek kardiovaskular meliputi depresi miokardial dan efek lain.

33

Page 35: farmakoterapi nyeri.doc

Diperlukan teknik yang terlatih, pemberian yang sering, dan prosedur

yangdilengkapi dengan tindak lanjut.

(Mutschler, 1991)

Trauma/luka pada sel

Gangguan pada membran sel

Fosfolipid

Dihambat kortikosteroid

Asam arakidonat

Dihambat obat AINS

Hidroperoksid Endoperoksid

PGG2 /PGH

PGE2, PGF2, PGD2 Prostasiklin

Leukotrien Tromboksan A2

Gambar Biosintesis prostaglandin (Wilmana, 2007)

6.2 Terapi nonfarmakologi

Menurut Tamsuri (2007), selain tindakan farmakologis untuk

menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri

terdiri dari beberapa tindakan penanganan berdasarkan:

1. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi:

a. Stimulasi kulit

Pijatan pada kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan

otot. Rangsangan pijatan otot ini dipercaya akan merangsang serabut

34

Enzim fosfolipase

Enzim lipoksigenase Enzim siklooksigenase

Page 36: farmakoterapi nyeri.doc

berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls

nyeri

b. Stimulasi electric (TENS)

Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah

cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa

dilakukan dengan pijat, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan

stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve

stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus

listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.

c. Akupuntur

Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan

untuk mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit,

bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang

dapat memblok transmisi nyeri ke otak.

d. Plasebo

Plasebo dalam bahasa latin berarti menyenangkan merupakan zat tanpa

kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat”

seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.

2. Intervensi perilaku kognitif meliputi:

a.Relaksasi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan

beberapa keuntungan, antara lain:

1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau

stress

2. Menurunkan nyeri otot

3. Menolong individu untuk melupakan nyeri

4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur

5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain

6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri

Beberapa teknik relaksasi menurut Stewart sebagai berikut:

35

Page 37: farmakoterapi nyeri.doc

1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru

2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi kendor

dan rasakan betapa nyaman hal tersebut

3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu

4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-

lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada

klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa ringan

dan hangat.

5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut, punggung

dan kelompok otot-otot lain

6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan.

Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan cepat.

(Irman, 2007)

b. Umpan balik biologis

Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi

tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap

respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren,

dengan cara memasang elektroda pada pelipis.

c. Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

d. Distraksi

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai

sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio

(mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi

intelektual (merangkai puzzle, main catur), nafas lambat, berirama.

e. Guided Imagination (Imajinasi terbimbing)

Meminta pasien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,

tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi

dari pasien. Apabila pasien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan.

Tindakan ini dilakukan pada saat pasien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri

akut.

36

Page 38: farmakoterapi nyeri.doc

7. Evaluasi Hasil Terapi

a. Intensitas nyeri, penyembuhan nyeri, dan efek samping obat harus dikaji

secara teratur. Waktu dan keteraturan pengkajian tergantung kepada jenis

nyeri dan obat yang digunakan.

b. Nyeri pasca bedah dan eksaserbasi akut nyeri kanker mungkin

memerlukan pengkajian setiap jam, sedangkan nyeri kronis bukan

keganasan mungkin hanya perlu dipantau tiap hari (atau lebih lama).

c. Kualitas hidup juga harus dikaji secara teratur pada semua pasien.

d. Penatalaksanaan terbaik dari efek samping opioid berupa konstipasi

(sembelit) adalah pencegahan. Pasien harus dikonseling mengenai asupan

cairan dan serat yang memadai, dan dapat ditambah laksatif jika

diperlukan.

e. Jika nyeri akut tidak berkurang dalam waktu yang telah diramalkan

(biasanya 1-2 minggu), diharuskan memeriksa penyebabnya lebih lanjut

(Sukandar, 2008).

8. Contoh Kasus dan Solusinya

Seorang laki-laki 20 tahun nyeri ulu hati seperti terbakar, keluar keringat

dingin, kepala terasa pusing. Keluhan seperti ini sering terjadi apabila penderita

terlambat makan atau sedang menghadapi ujian. Gejala biasanya mereda setelah

diberi obat maag. Sejak 1 hari gejala tidak mereda walaupun sudah minum obat

maag seperti biasanya tetapi malah disertai dengan nyeri perut hebat dengan kram,

mual, dan muntah. Nyeri perut juga tidak berkurang sesaat atau beberapa saat

sesudah makan. Dari anamnesis diketahui penderita meminum obat sakit gigi

sejak 1 minggu yang dibeli di warung. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan

umum lemah, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 100 x/mnt, isi dan tegangan

cukup, RR: 24 x/mnt, pada palpasi adanya nyeri tekan pada epigastrium, perkusi

didapatkan hipertimpani pada seluruh region abdomen, pada auskultasi terdapat

hiperperistaltik (Alfa, 2010).

Fisiologi Gaster

Lambung berfungsi sebagai

37

Page 39: farmakoterapi nyeri.doc

1. pencernaan dan sekresi; dan

2. motorik (Price dan Wilson, 1995)

Fungsi pencernaan dan sekresi.

1. Pencernaan protein oleh pepsin dan HCl, (sedikit)  pencernaan karbohidrat

dan lemak oleh amilase dan lipase

2. Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi protein makanan, peregangan

antrum, dan rangsangan vagus

3. Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B₁₂ dari usus

halus bagian distal

4. Sekresi mukus sebagai pelindung dinding dan pelumas makanan (lebih

mudah diangkut)

Fungsi Motorik

1. Fungsi reservoir. Menyimpan makanan sampai makanan sedikit demi

sedikit tercerna dan bergerak ke saluran cerna. Menyesuaikan peningkatan

volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos;

dipersarafi ; vagus dan dirangsang gastrin.

2. Fungsi pencampuran. Memecah makanan menjadi partikel kecil dan

mencampur dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang

mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltik diatur oleh irama listrik

intrinsik dasar.

3. Fungsi pengosongan lambung. Diatur oleh spingter pylorus yang

dipengaruhi viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik,keadaan fisik

dan emosi, obat. Pengosongan diatur saraf dan hormonal.

Sekresi Asam

Pengaturan sekresi lambung diatur melalui mekanisme persarafan,

endokrin, parakrin dan autokrin. Sel parietal mensekresi asam ke dalam lumen

lambung yang dihasilkan dari pompa proton (H⁺/K⁺-ATPase yang unik yang

mengkatalisis pertukaran H⁺ intrasel dengan K⁺ ekstrasel. Sekresi asetilkolin

(Ach) dilepaskan dari serabut pascaganglion vagus  lalu diterima reseptor

muskarinik (M₁), dan oleh gastrin yang dilepaskan ke dalam aliran darah dari sel

G di mukosa antrum ketika sel tersebut mendeteksi adanya asam amino dan

38

Page 40: farmakoterapi nyeri.doc

peptida (dari makanan) dalam lambung, dan oleh distensi gaster melalui refleks

lokal dan panjang.

Keduanya mensekresi asam secara tidak langsung melalui pelepasan

histamin dari sel parakrin (dekat dengan sel parietal).  Lalu histamin bekerja

secara lokal pada sel parietal, dimana aktivasi reseptor H₂ histamin meningkatkan

cAMP intrasel dan sekresi asam. Sedangkan sel chief menghasilkan pepsinogen

yang akan diubah HCl menjadi pepsin yang berperan dalam pemecahan peptida

pada protein makanan (Silbernagle, 2007; Neal, 2005).

Faktor Proteksi Mukosa Lambung-Duodenum

Lapisan mukus mirip gel. Dengan tebal 0.1-0.5 mm, disekresi sel epitel

mengandung 95% air dan campuran lipid dengan glikoprotein. Musin (unsur

utama glikoprotein dalam ikatan fosfolipid) membentuk lapisan hidrofobik

dengan asam lemak, dan juga merintangi difusi ion dan molekul seperti pepsin.

Epitel menyekresi ion HCO³⁻. Terletak diatas epitel, tapi juga berdifusi ke mukus

untuk menyangga  H⁺ yang telah masuk ke lumen lambung. Memiliki

kemampuan mempertahankan perbedaan pH 1-2 dalam lumen dengan pH 6-7

dalam sel epitel.  Prostaglandin merupakan rangsangan penting untuk sekresi

HCO³⁻. Selain itu dirangsang oleh Ca²⁺, kolinergik dan keasaman lumen.

Sel epitel mencegah ion H⁺masuk ke epitel atau dapat memindahkan H⁺ yang telah masuk yang diatur oleh Epidermal Growth Factor (EGF) yang terdapat

di saliva dan berikatan pada reseptor epitel.

Aliran darah mukosa. Bekerja secara cepat memindahkan H⁺ dan

menyediakan suplai HCO³⁻ dan substrat untuk metabolisme energi (Silbernagle,

2007;Yenichrist, 2008).

Gastritis

Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan submukosa

lambung, diagnosis sering berdasar gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi.

Tapi inflamasi mukosa gaster tidak berkolerasi dengan keluhan dan gejala klinis

pasien. Sebaliknya keluhan dan gejala kllnis pasien berkolerasi positif dengan

komplikasi gaster. Etiologi oleh infeksi Helicobacter pylori (kebanyakan kasus),

virus (enteric rotavirus dan calicivirus), jamur (candida sp, Histoplasma

39

Page 41: farmakoterapi nyeri.doc

capsulatum, Mukonaceae; hanya pada pasien immunokompromise), OAINS (bisa

menyebabkan nyeri ulu hati sampai tukak peptik dengan komplikasi perdarahan

saluran cerna atas) (Yenichrist, 2008).

Diagnosa gastritis. Kebanyakan gastritis tanpa gejala dan keluhan yang

tidak khas. Keluhan yang sering dihubungkan gastritis berupa nyeri panas dan

pedih di ulu hati disertai mual kadang muntah. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Gambaran endoskopi yang dijumpai

eritema, eksudatif, flat-erosion, raised erosion, perdarahan, edematous rugae.

(Yenichrist, 2008).

Tukak Gaster

Merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan

dasar tukak ditutupi debris. Tukak gaster jinak adalah gambaran

bulat/semibulat/oval, ukuran >5 mm dengan kedalaman submukosa pada mukosa

lambung akibat terputusnya kontinuitas/integritas mukosa lambung (Yenichrist,

2008).

Karena nyeri pasien pada kasus di atas, bisa juga terdapat tukak gaster,

sehingga sangat dianjurkan untuk pemeriksaan melalui endoskopi untuk

mengetahui apakah hanya gastritis atau sudah menjadi tukak gaster/duodenum.

Manifestasi Klinis

Gejala ulkus dapat selama beberapa hari, minggu, atau bulan, dan bahkan

hilang sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi.

Banyak individu mengalami gejala ulkus dan 20-30% mengalami perforasi atau

hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului. Pada pasien kita diatas

mengalami nyeri ulu hati seperti terbakar disertai kram, mual, dan muntah. Nyeri

perut juga tidak berkurang sesaat atau beberapa saat sesudah makan, pada palpasi

juga adanya nyeri tekan pada epigastrium.

Nyeri dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi

terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Nyeri terjadi karena kandungan

asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang

ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan adanya kontak antara lesi

(ulkus) dan asam merangsang mekanisme lokal yang memulai kontraksi otot halus

40

Page 42: farmakoterapi nyeri.doc

disekitarnya. Nyeri bisa hilang setelah makan, karena makanan menetralisir asam

atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung kosong, nyeri kembali

timbul. Aktivitas makan merupakan salah satu cara menentukan letak ulkus (di

lambung atau di duodenum). Apabila setelah makan, nyeri menghilang mungkin

letak ulkus di lambung, jika tidak hilang, dimungkinkan letaknya di duodenum

(tapi cara ini tidak bisa digunakan sebagai patokan).

Pirosis (nyeri ulu hati), merupakan sensasi luka bakar pada oesophagus

dan lambung yang naik ke mulut, kadang disertai eruksitasi (sendawa) asam.

Eruksitasi bisa terjadi saat lambung kosong.

Muntah, meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah

dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan

jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami

inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat/tanpa didahului mual,

biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam

lambung.

Dari anamnesis diketahui penderita meminum obat sakit gigi sejak 1

minggu yang dibeli di warung.

OAINS

Analgesik: menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran; opioida.,

salah satu dari kelompok senyawa yang terikat dengan sejumlah reseptor spesifik

(reseptor opioid) yang berkaitan erat pada SSP untuk memblok persepsi nyeri,

digunakan pada nyeri sedang sampai nyeri hebat, menyebabkan ketergantungan

dalam jangka panjang

Obat ini mempunyai efek analgesik, antipiretik, antiinflamasi (dosis

tinggi). Pasien banyak diberi resep OAINS dan sangat banyak tablet aspirin,

parasetamol, dan ibuprofen tambahan yang dibeli bebas untuk terapi sendiri pada

sakit kepala, nyeri gigi, gangguan muskuloskeletal, dll. OAINS tidak efektif pada

terapi nyeri visceral (mis: IM, kolik renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan

analgesik opioid akan tetapi OAINS sangat efektif pada nyeri hebat tertentu, misal

kanker tulang.

41

Page 43: farmakoterapi nyeri.doc

OAINS mempunyai kemampuan untuk menghambat siklooksigenase

(COX) dan inhibisi sintesis prostaglandin. Dan inhibisi sintesis prostaglandin 

dalam mukosa gaster sering menyebabkan kerusakan GIT (dyspepsia, mual,

gastritis). Efek samping yang paling serius adalah perdarahan GIT dan perforasi.

COX terdapat pada jaringan sebagai suatu isoform konstitusif (COX-1), tetapi

sitokin pada lokasi inflamasi menstimulasi induksi isoform kedua (COX-2).

Inhibisi COX-2 diduga bertanggung jawab untuk efek antiinflamasi OAINS,

sementara inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisistas gastrointestinal.

Efek samping OAINS pada GIT. Dalam lambung, COX-1 menghasilkan

prostaglandin (PGE₂ dan PGI₂) yang menstimulasi mukus, sekresi bikarbonat, dan

menyebabkan vasodilatasi (kesemuanya menjaga mukosa lambung, lihat atas).

OAINS nonselektif menghambat COX-1 sehingga mengurangi efek sitoprotektif

prostaglandin (menyebabkan efek serius pada GIT bagian atas, termasuk

perdarahan dan ulserasi). OAINS COX -2 selektif yang baru (colecoxib)

mempunyai efek toksisitas GIT yang jauh lebih sedikit. Selain itu OAINS

merusak mukosa secara local melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek

obat ini juga terhadap agregasi trombosit akan meningkatkan bahaya perdarahan

ulkus. (Neal, 2005).

Contoh Obat-Obat OAINS:

1. Parasetamol : asetaminofen, Panadol, Tylenol, Tempra, Nipe

Indikasi : nyeri ringan sampai sedang, demam

Peringatan : Berkurangnya fungsi hati dan ginjal (Sukandar, 2008).

Resorpsinya :

di usis cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. Dalam hati, zat ini

diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih

sebagai konjugat-glukuronida dan sulfat (Tjay & Kirana, 2002).

Efek Samping :

Antara lain reaksi hipersensitivitasdan kelainan darah. Pada penggunaan

kronis dari 304 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g

mengakibatkan necrose hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini

disebabkan oleh metabolit-metabolitnya yang pada dosis normal dapat

42

Page 44: farmakoterapi nyeri.doc

ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan –SH) (Tjay & Kirana,

2002).

Intreraksi :

Resin penukan-anion : kolestiramin menurunkan absorpsi

parasetamol.

Antikoagulan : penggunaan parasetamol secara rutin dalam waktu

yang lama mungkin meningkatkan warfarin.

Metoklopramid dan Domperidon : Metoklopramid mempercepat

absorpsi parasetamol (meningkatkan efek) (Sukandar, 2008).

2. Asetosal : Asetosal, Aspirin, Cafenol, Naspro

Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang, demam; antiplatelet.

Kontraindikasi:

Anak di bawah usia 12 tahun dan anak yang sedang disusui (Sindrom Reye

: karena hubungan dengan Sindrom Reye, maka sediaan mengandung

asetosal tidak diberikan pada anak berusia di bawah usia 12 tahun; kecuali

ada indikasi yang spesifik ; misalnya juvenile arthritis – Penyakit Still.

Penting untuk menjelaskan bahwa asetosal adalah obat yang mengganggu

pencernaan; hemofilia; tidak untuk pengobatan gout (Sukandar, 2008).

Resorpsinya :

cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertama duodenum. Namun,

karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung (Tjay &

Kirana, 2002).

Efek Samping :

Yang paling sering terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan resiko

tukak lambung dan pendarahan samar (occult). Penyebabnya adalah sifat

asam dari asetosal, yang dapat dikurangi dengan suatu antasida (MgO,

aluminiumhidroksida, CaCO3). Pada dosis besar, faktor lain memegang

peranan, yakni hilangnya efek pelindung dari prostasiklin (PgI2) terhadap

mukosa lambung, yang sintesanya turut dihalangi akibat blokade siklo-

oksigenase (Tjay & Kirana, 2002).

Peringatan :

43

Page 45: farmakoterapi nyeri.doc

Asma; penyakit alergi; menurunnya fungsi ginjal atau hati (hindarkan bila

hebat); dehidrasi; kehamilan; pasien usia lanjut; defisiensi G6PD.

Interaksi :

Analgesik lain : hindari pemberian bersama dengan AINS lain

(meningkatkan efek samping)

Antasida dan Adsorben : sekresi asetosal dinaikkan pada urin yang

biasa.

Antikoagulan : risiko pendarahan meningkat karena efek

antiplatelet.

Antiepileptika : peningkatan efek fenitoin dan valporat.

Kortikosteroid : risiko pendarahan dan ulserasi saluran cerna

meningkat.

Sitostatika : mengurangi efek sekresi metotraksat (meningkatkan

toksisitas).

Diuretika antagonisme efek diuretik spironolakton; menurunkan

ekskresi asetazolamid (risiko toksisitas).

Metoklopramid dan domperidon : metoklopramid meningkatkan

efek asetosal (meningkatkan laju absorpsi).

Mifepriston : disarankan untuk menghindari asetosal sampai 8-12

hari setelah mifepriston.

Urikosurik : efek probenesid dan sulfinpirazon di kurangi

(Sukandar, 2008).

3. Diklofenak

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang

menyerupai flurbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat

siklooksigenase yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi

bioavailabilitas asam arakidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiinflamasi,

analgesik, dan antipiretik yang biasa (Katzung, 2002).

Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan lengkap.

Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami efek lintas awal

(first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam,

44

Page 46: farmakoterapi nyeri.doc

diklofenak diakumulasi di cairan sinovia yang menjelaskan efek terapi di

sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang

lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti semua

obat AINS, pemakaian obat ini harus berhati-hati pada penderita tukak

lambung (Wilmana, 1995).

Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dan CYP2C9 menjadi

metabolit tidak aktif, jadi disfungsi ginjal tidak mempengaruhi klirens secara

nyata. Klirens empedu bisa mencapai 30% dari klirens total (Katzung, 2002).

Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20% dari

pasien dan meliputi distress gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang

terselubung dan timbulnya ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih

jarang terjadi daripada dengan beberapa AINS lainnya. Sebuah kombinasi

antara diklofenak dengan mesoprostol mengurangi ulkus pada gastrointestinal

bagian atas tetapi bisa mengakibatkan diare. Peningkatan serum

aminotransferase lebih umum bisa terjadi dengan obat ini daripada dengan

AINS lainnya (Katzung, 2002).

4. Ibuprofen

Indikasi :

Demam dan nyeri untuk anak; nyeri dan radang pada penyakit rematik

(termasuk juvenile arthritis) dan gangguan otot skelet lainnya; nyeri

ringan sampai berat termasuk dismenore, analgesik pasca bedah.

Kontraindikasi:

Pasien mengidap tukak lambung aktif; pasien dengan riwayat

hipersensitivitas terhadap asetosal atau AINS lainnya, termasuk mereka

yang kena serangan asma, angiodema, urtikaria atau rinitisnyadipicu oleh

asetosal dan AINS lainnya.

Interaksi :

Analgesik lain : hindari pemberian bersama dua atau lebih AINS;

termasuk asetosal (menambah efek samping).

45

Page 47: farmakoterapi nyeri.doc

Antasid dan adsorben : antasid menurunkan absorpsi diflunisal

Antibakteri : AINS dengan 4-kuinolon mungkin meningkatkan

resiko kejang.

Antikoagulan : meningkatkan resiko pendarahan dengan ketorolak

dan semua antikoagulan (termasuk heparin dosis rendah)

(Sukandar, 2008).

Stress

Reaksi stress diatur oleh HPA axis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal

axis), bagian terbesar dari system neuroendokrin. Selain itu HPA axis juga

mengatur banyak proses tubuh, seperti pencernaaan, sistem imun, perasaan dan

emosi, seks, dan energi penyimpanan.

Elemen-elemen HPA axis adalah PVN (paraventrikular nucleus) dari

hipotalamus, yang mengandung neuroendokrin yang mensistesis dan mensekresi

vasopressin dan CRH (corticotrophin Releasing Hormone). Kedua hormon ini

mengatur:

lobus anterior kelenjar hipofisis. Secara khusus, CRH dan vasopressin

merangsang ACTH (adrenocorticotropic hormon). ACTH pada gilirannya

bekerja pada:

korteks adrenal yang menghasilkan hormon glukokortikoid (terutama

kortisol pada manusia) sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh

ACTH. Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus

dan hipofisis (untuk menekan produksi CRH dan ACTH) dalam siklus

umpan balik negatif.

Stres (pada kasus diatas stress psikogenik) inilah yang kemudian

mengakibatkan ulkus akut. Hal ini mungkin karena gangguan aliran darah yang

melewati mukosa, yang berkaitan dengan tingginya kortisol dalam plasma.

(Silbernagle, 2007)

Sehingga pada kasus diatas penggunaan OAINS sifatnya mencegah sistem

pertahanan terutama prostaglandin dan itu juga kortisol yang bersifat steroid

meningkatkan sekresi asam lambung.

Pemeriksaan Penunjang (Radiologi dan Endoskopi)

46

Page 48: farmakoterapi nyeri.doc

Untuk mengetaui diagnosa pada kasus diatas, perlu pemeriksaan radiologi

barium meal kontras ganda (menegakkan diagnosa tukak peptik), sekarang ahli

gastroenterologi lebih menganjurkan pemeriksaan endoskopi. Di samping itu bisa

dilakukan pemeriksaan histopatologi, sitologi brushing dengan biopsi melalui

endoskopi. Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak minimal 4 sampel untuk

2 kuadran, bila tukak besar diambil sampel 3 kuadran (dasar, pinggir, sekitar

tukak) minimal 6 sampel. Jika ditemukan H. pylori sebagai etiologi tukak peptik

dianjurkan pemeriksaan tes CLO, serologi, dan UBT dengan biopsi melalui

endoskopi.

Sugesti pasien menderita tukak apabila ditemukan (Yenichrist, 2008) :

1. Riwayat tukak pada keluarga,

2. Rasa sakit klasik dengan keluhan spesifik,

3. Faktor predisposisis (OAINS, perokok berat, alkohol),

4. Penyakit kronik (PPOK, sirosis hati),

5. Ditemukan H. pylori dari serologi/IgG anti HP atau UBT

Diagnosis

Berdasar pada (1) pengamatan klinis, dyspepsia (sakit dan discomfort),

kelainan fisik yang dijumpai, sugesti pasien tukak, (2) hasil pemeriksaan

penunjang (radiologi dan endoskopi) (3) hasil biosi untuk pemeriksaan tes CLO,

histopatologi kuman HP (Yenichrist, 2008).

Penatalaksanaan pada Gastritis

Obat yang menyembuhkan ulkus ( penurun sekresi asam dan penguat

mukosa) dan Antasida).

Obat yang menyembuhkan ulkus

Penurun sekresi asam

Inhibitor pompa proton (Omeprazol dan Lansoprazol)

47

Page 49: farmakoterapi nyeri.doc

Tidak aktif pada pH netral, tetapi sangat berguna pada keadaan hipersekresi asam

lambung yang disebabkan oleh sindrom Zollinger-Ellison dan pada pasien dengan

esofagitis refluks dimana ulkus yang berat biasanya resisten terhadap obat lain.

Dalam keadaan asam obat tersebut disusun kembali menjadi dua macam molekul

reaktif, yang bereaksi debgan gugus sulfhidril pada H⁺/K⁺-ATPase yang berperan

untuk mentranspor H⁺ keluar dari sel parietal. Oleh karena enzim dihambat secara

irreversible, maka sekresi asam hanya terjadi setelah sintesis enzim baru.

Antagonis reseptor H₂ histamine (Cimetidin dan Ranitidin)

Bekerja dengan memblok kerja histamin pada sel parietal dan mengurangi sekresi

asam. Obat tersebut mengurangi nyeri akibat ulkus peptikum dan meningkatkan

penyembuhan ulkus. Cepat diabsorbsi secara oral dan efek samping rendah.

Simetidin mempunyai efek antiandrogen, menurunkan metabolisme obat di hati,

namun jarang menyebabkan ginekomastia.

Antibiotik, Eradikasi H. Pylori (Antibiotik)

H. pylori adalah batang gram negatif berbentuk spiral dan dapat bergerak.

Terletak bagian dalam lapisan mukus dan tumbuh optimal pada pH 7. H. pylori

menginvasi permukaan sel epitel sampai kedalaman tertentu lalu toksin dan

ammonia yang dihasilkan oleh aktivitas ureasenya yang kuat bisa merusak sel.

Proses inflamasi tersebut mengaktifkan sitokin yang menyebabkan pelepasan

gastrin meningkat. Efek trofik  hipergastrinemia meningkatkan massa sel parietal

yang meningkatkan sekresi asam berlebih. Dalam duodenum, asam menginduksi

jejas mukosa dan sel-sel metaplasia dari fenotip lambung. Inflamasi kronis ini

menyebabkan ulserasi. Eradikasi H. pylori menurunkan sekresi HCl secara

signifikan dan penyembuhan ulkus lambung-duodenum jangka panjang.

Penelitian menunjukkan, kombinasi inhibisi asam dan antibiotik dapat

mengeradikasi H.pylori pada >90% pasien dalam 1 minggu. Kombinasi obat yang

direkomendasikan: klaritromisin, omeprazol, dan metronidazol (atau amoksisilin).

Jika klaritromisin tidak dapat digunakan, dapat dipakai amoksisilin, metronidazol,

dan omeprazol. Resistensi terhadap metronidazol sering terjadi.

Penguat Mukosa (Sukralfat, Kelasi Bismut, Misoprostol)

48

Page 50: farmakoterapi nyeri.doc

Sukralfat mengalami polomerisasi pada pH <4 untuk menghasilkan gel yang

sangat lengkat dan melekat kuat pada dasar ulkus. Kelasi bismuth bisa bekerja

dengan  cara yang sama seperti sukralfat. Kelasi bismuth mempunyai afinitas kuat

terhadap glikoprotein mukosa (terutama pada jaringan nekrotik dasar ulkus) yang

kemudian dilapisi oleh lapisan pelindung kompleks polimer-glikoprotein. Bismuth

dapat menghitamkan gigi dan tinja. Bismuth dan sukralfat harus diberikan dalam

keadaan lambung kosong atau obat tersebut  akan memnbentuk kompleks dengan

protein makanan. Misoprostol adalah analog prostaglandin (derivate PGE₁) yang

mendukung penyembuhan ulkus dangan menstimulasi mekanisme proteksi pada

mukosa lambung dan menurunkan sekresi asam, indikasi utama pada pasien

dengan riwayat ulkus peptikum yang kebutuhan akan OAINS begitu besar

sehingga analgesik tersebut tidak dapat dihentikan.

Antasida

Antasida meningkatkan pH lumen lambung sehingga mempercepat pengosongan

lambung. Pelepasan gastrin meningkat menstimulasi pelapaan asam, sehingga

dibutuhkan antasida yang lebih banyak (acid rebound). Antasida dosis tinggi

sering diberikan mendukung penyembuhan ulkus, tapi terapi seperti itu jarang

dilakukan.

Natrium bikarbonat, antasida larut air yang bekerja cepat tapi mempunyai efek

sementara dan bikarbonat yang diabsorbsi dalam dosis tinggi bisa menyebabkan

alkalosis sistemik.

Magnesium hidroksida dan magnesium trisilikat tidak larut air yang bekerja cukup

cepat, mempunyai efek laksatif dan menyebabkan diare.

Aluminium hidroksida, bekerja relatif lambat. Ion Al³⁺ membentuk kompleks

dengan obat2 tertentu (mis: tetrasiklin) dan cenderung menyebabkan konstipasi.

Campuran senyawa magnesium dan aluminium bisa digunakan untuk

meminimalkan efek pada motilitas. (Neal, 2005)

Pada pengobatan H. pylori terdapat regimen obat sehingga dengan regimen ini

mampu mengeradikasi H. pylori.

Terapi tripel

PPI + Amoksisilin + Klaritromisin (rejimen terbaik)

49

Page 51: farmakoterapi nyeri.doc

PPI + Metronidazol + Klaritromisin (bila alergi penisilin)

PPI + Metronidazol + Amoksisilin (kombinasi termurah)

PPI + Metronidazol + Tetrasiklin (bila alergi penisilin dan klaritromisin)

Terapi kuadripel (jika gagal terapi tripel)

PPI + Bismut Subsalisilat + MNZ + Tetrasiklin

Sehingga pada kasus diatas, kita sebaiknya meresepkan obat gigi yang efek

farmakokinetiknya tidak mengenai fungsi lambung, tetapi masih kekurangan data

mengenai jenis obat yang dimaksud.

HASIL DISKUSI

1. Pertanyaan : Bagaimana penanganan parameter nyeri tiap orang yang berbeda- beda?Jawaban : Implementasinya pada pemeriksaan ada skala nyeri. Pada saat

pemeriksaan, pasien diminta untuk memberikan skala nyeri yang dirasakannya. Selain pasien, skala nyeri juga dapat didiagnosa oleh perawatdan dokter melalui gejala-gejala fisik dan psikososial yang terlihat dari pasien seperti adanya rubor, kalor, tumor, dolor dan fungsio laesa serta kemampuan berkomunikasi dengan baik.

2. Pertanyaan : Kapankah obat nyeri diberikan? Sebelum atau setelah nyeri?

50

Page 52: farmakoterapi nyeri.doc

Jawaban : Obat nyeri diberikan setelah nyeri sesuai dengan fungsinya sebagai pereda rasa nyeri. Obat nyeri juga bisa diberikan sebelum nyeri apabila nyeri tersebut dapat diprediksi akan terjadi, seperti pada pembedahan dan terapi suatu obat.

3. Pertanyaan : Terdapat kasus pasien yang mengkonsumsi obat sakit jantung Cordarone mengalami sakit kepala yang tidak kunjung sembuh. Pasien kemudian pergi ke dokter dan diberi obat analgesik parasetamol yang dikombinasikan dengan ibuprofen. Setelah mengkonsumsi obat tersebut sakit kepala pasien hilang namun pasien tidak bisa tidur selama dua malam. Apa yang terjadi pada pasien dan bagaimana solusinya?Jawaban : Sakit kepala timbul karena efek samping dari obat sakit

jantung Cordarone. Kombinasi parasetamol dan ibuprofen tidak menyebabkan sulit tidur namun apabila dikombinasikan dengan obat sakit jantung efek samping dapat terjadi.

4. Pertanyaan : Kapan parasetamol, ibuprofen dan asam mefenamat digunakan? Bagaimana pemakaian analgesik pada ibu hamil?Jawaban : Parasetamol bekerja dengan cara memblokade enzim COX-3

yang berada di otak, sehingga parasetamol merupakan pilihan yang baik untuk meringankan nyeri di kepala. Namun penggunaan jangka panjang harus diperhatikan karena parasetamol dapat merusak hati. Parasetamol dapat dikombinasikan dengan NSAID karena memberikan efek yang sinergis. Parasetamol bukan termasuk NSAID karena efek antiinflamasinya lemah. Ibuprofen dan asam mefenamat tidak dispesifikasikan pada keluhan nyeri tertentu. Keduanya dapat digunakan pada berbagai macam nyeri dan atau inflamasi. Untuk ibu hamil sebaiknya mengkonsumsi parasetamol untuk meredakan nyeri karena obat ini tidak berbahaya bagi janin.

5. Pertanyaan : Bagaimana mekanisme kerja obat nyeri pada sediaan topikal. Apabila sediaan tersebut diaplikasikan pada daerah selain nyeri apakah ada efek yang ditimbulkan?Jawaban : Reseptor COX-2 terdapat diseluruh tubuh dan akan

timbul jika terjadi luka. Sediaan topikal melepaskan zat aktif ke dalam kulit dan bekerja secara lokal. Apabila zat aktif mampu berprenetrasi ke dalam kulit, zat aktif dapat

51

Page 53: farmakoterapi nyeri.doc

memberikan efek antikoagulasi karena keping darah juga memiliki reseptor COX-2.

6. Pertanyaaan : Bagaimana batasan kombinasi analgesik?Jawaban : NSAID tidak dapat dikombinasikan dengan NSAID lain

karena dapat meningkatkan resiko efek samping. Namun menurut kami asalkan dosis keduanya masih rasional dan tidak melebihi ambang batas dosis yang menyebabklan efek samping maka kombinasi itu aman. Efek samping yang terjadi juga dapat diatasi dengan pemberian obat tambahan seperti misoprostol. Parasetamol dapat dikombinasikan dengan NSAID. Dosis maksimum untuk obat-obatan NSAID dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Analgesik Nonopioid yang mendapat ijin FDA untuk Orang Dewasa

Golongan dan nama

generik

Rentang dosis lazim

(mg)

Dosis maks (mg

hr)

Salisilat

Asam asetil salisilat

(aspirin)b

325-650 tiap 54 jam 4000

Kolin b 870 tiap 3 – 4 jam 5220

Magnesium b 650 tiap 4 jam atau

1090 Tiga kali sehari

4800

Dalam dosis

terapi

Natrium b 325 – 650 tiap 4 jam 5400

Diflusinal 500 – 1000 pada awal

250 – 500 tiap 8 – 12 jam

1500

Para-Aminofenol

Parasetamol b 325 – 1000 tiap 4 – 6 jam 4000

Fenamat

Meklofemat 50-100 tiap 4 -6 jam 400

52

Page 54: farmakoterapi nyeri.doc

Asam mefenamat Awal 500

250 tiap 6 jam ( Maks 7

hari)

1000c

Asam pianokarboksilat

Etodolak 200 – 400 tiap 6 – 8 jam

Hanya utk pelepasan

segera

1000

Asam Asetat

Kalium diklofenak Pada beberapa pasien,

Awal 100, 50 tiga kali

sehari

150d

Asam Propionat

Ibuprofen b 200 – 400 tiap 4 – 6 jam 3200

1200e

Fenoprofen 200 – 400 tiap 4 – 6 jam 3200

Ketoprofen b 25 – 50 tiap 6 – 8 jam

12,5 – 25 tiap 4 – 6 jamd

300

75e

Naproksen 500 saat awal

500 tiap 12 jam atau

250 tiap 6 – 8 jam

1000c

Natrium Naproksen b Pd beberapa pasien 440

saat awale 220 tiap 8 – 12

jam e

660e

Naproksen, delayed

released

500 tiap 12 jam 1000

Naproksen, controlled

released

200 – 1000 tiap 24 jam

Asam Pirozolin karboksilat

Ketorolak (parenteral) 30 – 60 mg (dosis im

tunggal saja)

30-60

53

Page 55: farmakoterapi nyeri.doc

15 – 30 tiap 6 jam (maks 5

hari)

120

Ketorolak (oral)

(Indikasi hanya untuk

lanjutan/setelah parenteral

saja)

Pada beberapa pasien,

dosis awal 20 – 10 tiap 4 –

6 jam (maks 5 hari,

termasuk dosis parenteral)

40

Penghambat siklooksigenase-2

Selekoksib Awal 400 diikuti dengan

200 pd hari yang sama,

lalu 200 dua kali seharig

400g

Valdekoksib 20 dua kali seharih 40h

DAFTAR PUSTAKA

Alfa. 2010. Nyeri dan Sebah Di Perut. Di akses dari : http://panmedical.wordpress.com/2010/01/14/nyeri-dan-sebah-di-perut-2/ [diakses tanggal 23 September 2010]

Baumann, Terry J. and Jennifer Strickland. 2008. Pain Management. Dalam : L. Michael Posey (editor). Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach. New York : McGraw-Hill Companies, Inc. Hal 989-1001.

Dharmayana, D. 2009. Tata Laksana Nyeri. Available at : http://malutpost.com/berita/index.php?option=com_content&task=view&id=110&Itemid=38 [diakses tanggal 22 September 2010]

Irman. 2007. Konsep Nyeri. Available at : http://irmanthea.blogspot.com/2007_07_15_archive.html [diakses tanggal 22 September 2010]

54

Page 56: farmakoterapi nyeri.doc

Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku Dua Penerjemah : Dr. Dripa Sjabana. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi V. Bandung : ITB.

Neal, M. J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta : Erlangga.

Potter. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.

Price, S. A., dan Wilson, L. M. 1995. Patofisiologi Konsep klinis Proses-Proses penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Priharjo, R. 1993. Perawatan Nyeri, Pemenuhan Aktivitas Istirahat. Jakarta : EGC.

Ramali, A. 2000. Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta: Djambatan.

Silbernagle, S., dan Lang, F. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adyana, I. K., Setiadi, A. A. P., dan Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI.

Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.

Tjay, T. H., dan Kirana, R. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Tusthi, G. N. T. 2007. Penggunaan Opioid Antagonis pada Nyeri. Available at : http://yosefw.wordpress.com/2007/12/29/penggunaan-opioid-analgesik-pada-nyeri/ [diakses tanggal 22 September 2010]

Wilmana, P.F. dan Gan, Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Yenichrist. 2008. Nyeri Akut/Kronis. Available at : http://yenibeth.wordpress.com/2008/06/12/nyeri-akut-kronis/ [diakses tanggal 22 September 2010]

55