Tugas Farmakoterapi i
-
Upload
lailatun-nimah -
Category
Documents
-
view
24 -
download
0
description
Transcript of Tugas Farmakoterapi i
TUGAS FARMAKOTERAPI I
Disusun Oleh :
Lailatun Ni’mah
2443013259
Farmakoterapi kelas A
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lambung adalah perluasan organ berongga besar menyerupai kantung dalam
rongga peritoneum yang terletak diantara esofagus dan usus halus. Dalam keadaan kosong,
lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa.
Lambung terdiri dari antrum kardia (yang menerima esofagus), fundus besar seperti kubah,
badan utama atau korpus dan pylorus (Price & Wilson, 2006)
Gambar 1. Anatomi Lambung manusia (Moore et al, 2010)
Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan faktor eksogen yang
berbahaya. Sebagai contoh faktor endogen adalah asam hidroklorida (HCl),
pepsinogen/pepsin, dan garam empedu, sedangkan contoh substansi eksogen yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa lambung adalah seperti obat, alkohol, dan bakteri. Sistem
biologis yang kompleks dibentuk untuk menyediakan pertahanan dari kerusakan mukosa
dan untuk memperbaiki setiap kerusakan yang dapat terjadi (Kasper, Hauser, Longo,
Braunwald, Fauci, & Jameson Epitelium, 2008)
Sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sawar yang terdiri dari
preepitel, epitel, dan subepitel. Prostaglandin memainkan peran yang penting dalam hal
pertahanan mukosa lambung. Mukosa lambung mengandung banyak jumlah prostaglandin
yang meregulasikan pengeluaran dari mukosa bikarbonat dan mukus, menghambat sekresi
sel parietal, dan sangat penting dalam mengatur aliran darah dan perbaikan dari sel epitel
(Kasper, Hauser, Longo, Braunwald, Fauci, & Jameson Epitelium, 2008).
Penurunan produksi mukus di duodenum dapat terjadi akibat penghambatan
kelenjar penghasil mukus di duodenum, yang disebut kelenjar Brunner. Aktivitas kelenjar
Brunner dihambat oleh stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis meningkat pada keadaan stres
kronis sehingga terdapat hubungan antara stres kronis dan pembentukan ulkus.
Penyebab utama penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi
bakterium H.pylori membuat koloni pada sel-sel penghasil mukus di lambung dan
duodenum, sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi mukus. Sekitar 90%
pasien ulkus duodenum dan 70% ulkus gaster memperlihatkan infeksi H.pylori. Infeksi
H.pylori endemik di beberapa negara berkembang. Infeksi terjadi dengan cara ingesti
mikroorganisme.
Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID),
juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya ulkus. Aspirin menyebabkan
iritasi dinding mukosa, demikian juga dengan NSAID lain dan glukokortikosteroid. Obat -
obat ini menyebabkan ulkus dengan menghambat perlindungan prostaglandin secara
sistemik atau di dinding usus. Sekitar 10% pasien pengguna NSAID mengalami ulkus aktif
dengan persentase yang tinggi untuk mengalami erosi yang kurang serius. Perdarahan
lambung atau usus dapat terjadi akibat
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme sekresi asam lambung akibat adanya stress?
2. Bagaimana pengobatan infeksi bakteri Helicobacter pylori pada lambung?
3. Bagaimana strategi pencegahan risiko penggunaan NSAID terkait komplikasi GI
dan risiko CV?
1.3. Tujuan
1. Memahami mekanisme sekresi asam lambung akibat adanya stress
2. Memahami pengobatan infeksi bakteri Helicobacter pylori pada lambung
3. Memahami strategi pencegahan risiko penggunan NSAID terkait komplikasi GI
dan risiko CV
1.4. Manfaat
Menambah pengetahuan penulis dan pembaca dalam memahami terjadinya mekanisme sekresi asam lambung akibat adanya stress, pengobatan infeksi oleh bakteri Helicobacter pylori dan strategi pencegahan risiko penggunaan NSAID pada komplikasi GI dan CV.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGARUH STRESS TERHADAP PENINGKATAN ASAM LAMBUNG
2.1.1. Mekanisme sekresi asam lambung
Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung, yang
kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lumen turun sampai serendah
2 akibat sekresi HCl. Ion hidorgen (H+) dan ion klorida (Cl¯) secara aktif
ditransportasikan oleh pompa yang berbeda di membran plasma sel parietal. Ion
hydrogen secara aktif dipindahkan melawan gradien konsentrasi yang sangat besar,
dengan konsentrasi H+ di dalam lumen mencapai tiga sampai empat juta kali lebih besar
dari pada konsentrasinya dalam darah. Karena untuk memindahkan H+ melawan gradient
yang sedemikian besar diperlukan banyak energi, sel-sel parietal memiliki banyak
mitokondria, yaitu organel penghasil energi. Klorida juga disekresikan secara aktif, tetapi
melawan gradien konsentrasi yang jauh lebih kecil, yakni hanya sekitar satu setengah kali
(Sherwood, 2010).
Ion H+ yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses-
proses metabolisme di dalam sel parietal. Secara spesifik, ion H+ disekresikan sebagai
hasil pemecahan dari molekul H2O menjadi H+ dan OH-. Di sel parietal H+ disekresikan
ke lumen oleh pompa H+-K+-ATPase yang berada di membran luminal sel parietal.
Transpot aktif primer ini juga memompa K+ masuk ke dalam sel dari lumen. Ion K+
yang telah ditranspotkan, secara pasif balik ke lumen, melalui kanal K+, sehingga jumlah
K+ tidak berubah setelah sekresi H+. Sel-sel parietal memiliki banyak enzim karbonat\
anhidrase (ca). Dengan adanya karbonat anhidrase, H2O mudah berikatan dengan CO2,
yang diproduksi oleh sel parietal melalui proses metabolisme atau berdifusi masuk dari
darah. Kombinasi antara H2O dan CO2 menghasilkan H2CO3 yang secara parsial terurai
menjadi H+ dan HCO3- (Sherwood, 2010).
HCO3- dipindahkan ke plasma oleh antipoter Cl- __ HCO3- pada membran basolateral
dari sel parietal. Kemudian mengangkat Cl- dari plasma ke lumen lambung. Pertukaran
Cl- dan HCO3- mempertahankan netralitas listrik plasma selama sekresi HCl (Sherwood,
2010).
Gambar 2. Mekanisme sekeresi asam lambung (Sherwood, 2010)
Respon mual dan muntah yang dirasakan pada saat individu mengalami stres
menunjukan bahwa stres berefek pada saluran pecernaan. Wolf (1965) dalam Greenberg
(2002) melakukan penelitian mengenai efek stres pada saluran pencernaan antara lain
menurunkan saliva sehingga mulut menjadi kering, menyebabkan kontraksi yang tidak
terkontrol pada otot esophagus sehingga menyebabkan sulit untuk menelan. Peningkatan
asam lambung, kontriksi pembuluh darah di saluran pencernaan dan penurunan produksi
mukus yang melindungi dinding saluran pencernaan sehingga menyebabkan sulit untuk
menelan, peningkatan asam lambung. Kontriksi pembuluh darah di saluran pencernaan
dan penurunan produksi mucus yang melindungi dinding saluran pencernaan sehingga
menyebabkan iritasi luka pada dinding lambung dan perubahan motilitas usus yang dapat
meningkat sehingga menyebabkan konstipasi. Konstipasi biasanya teradi pada individu
yang mengalami depresi sedangkan diare biasanya terjadi pada individu yang berada
pada kondisi panik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa stres memiliki
pengaruh yang negative terhadap saluran pencernaan antara lain dapat menyebkan
individu mengalami luka (ulcer) pada saluran pencernaan termasuk pada lambung yang
disebut dengan peyakit gastritis.
Mekanisme terjadinya ulcer atau luka pada lambung akibat stres adalah melalui
penurunan produksi mukus pada dinding lambung. Mukus yang diproduksi di dindig
lambung merupakan lapisan pelindung dinding lambung dari faktor yang dapat merusak
dinding lambung antara lain asam lambung, 19 pepsin, asam empedu, enzim pankreas,
infeksi helicobacter pylori, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), alkohol, dan radikal
bebas. (Greenberg, 2002 dalam Prio, 2009).
2.2. PENGOBATAN H. PYLORI PADA LAMBUNG
a. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan
infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam
suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3µm dan diameter 0,5µm,
punya ≥ 1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan
epitel antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo
yang dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.
Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan memproduksi toksik yang
menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan fospolipase menekan sekresi mukus
sehingga daya tahan mukosa menurun menyebabkan asam lambung berdifusi balik. Hal ini
menyebabkan nekrosis jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik. Kedua
mekanisme terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukos
sehingga terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini
melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya,
peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung yang masuk
ke duodenum lalu menjadi tukak duodenum.
b. Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah suatu hasil gram-negatif, spiral dengan flagela multipel lebih
menyukai lingkungan mikroaerofilik. Helicobacter pylori tidak menyerang jaringan.
Organisme menghuni dalam gel lendir yang melapisi sel epitelial, dengan bagian kecil dari
Helicobacter pylori melekat langsung pada sel epitelial. Kebanyakan orang yang terinfeksi
Helicobacter pylori mempunyai neutrofil-neutrofil dalam lamina propia dan kelenjar epitel
dan suatu peningkatan dalam sel radang kronik pada lamina propia. Kolonisasi Helicobacter
pylori dalam duodenum terbatas pada daerah metaplasia lambung dan ditemukan dalam
epitelium pasien dengan ulkus duodeni (Mc.Guigan, 2001). Kuman Helicobacter pylori
bersifat mikroaerofilik dan hidup di lingkungan yang unik, di bawah mukus dinding
lambung yang bersuasana asam. Kuman ini mempunyai enzim urease yang dapat memecah
ureum menjadi amonia yang bersifat basa, sehingga tercipta lingkungan memungkinkan
kuman ini bertahan hidup.
Terdapat hubungan timbal balik antara infeksi Helicobacter pylori, gastritis dengan asam
lambung. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan
sekresi asam lambung dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada
antrum akan menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang sel pariental
untuk meningkatkan sekresi asam lambung.
c. Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri epigastrium. Nyeri biasanya
timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri
ini seringkali digambarkan sebagai teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan
eksaserbasi merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen atas yang persisten.
Pola nyeri-makan-hilang ini dapat saja tidak khas pada tukak lambung. Bahkan pada
beberapa penderita tukak lambung makanan dapat memperberat nyeri. Biasanya penderita
tukak lambung akan mengalami penurunan berat badan. Sedangkan penderita tukak
duodenum biasanya memiliki berat badan yang tetap.
Penderita tukak peptik sering mengeluh mual, muntah dan regurgitasi. Timbulnya muntah
terutama pada tukak yang masih aktif, sering dijumpai pada penderita tukak lambung
daripada tukak duodenum, terutama yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai
di pilorus atau duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat instabilitas
neromuskuler dari kolon.
Penderita tukak peptik terutama pada tukak duodenum mungkin dalam mulutnya merasa
dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan saliva tanpa ada rasa. Keluhan ini diketahui
sebagai water brash. Sedang pada lain pihak kemungkinan juga terjadi regurgitasi pada
cairan lambung dengan rasa yang pahit.
Secara umum pasien tukak gaster mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom atau
kumpulan keluhan beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri
ulu hati, sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat merasa kenyang.
d. Diagnosis
Kriteria terpenting pada diagnosis tukak duodenum adalah nyeri khas yang hilang oleh
makanan. Anamnesis tidak begitu informatif seperti pada penderita tukak lambung, sebab
gejala tidak enak pada epigastrum lebih sering timbul. Biasanya tidak mungkin untuk
membedakan antara tukak lambung dan duodenum hanya dari anamnesis saja.
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan barium radiogram. Bila
radiografi barium tidak berhasil membuktikan adanya tukak dalam lambung atau duodenum
tetapi gejala-gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan endoskopi.
Peneraan kadar serum gastrin dapat dilakukan jika diduga ada karsinoma lambung atau
sindrom Zolliger-Ellison (Wilson dan Lindseth, 2005). Diagnosis tukak gaster ditegakkan
berdasarkan pengamatan klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi, tes CLO (Campylobacter Like Organism), dan biakan
kuman Helicobacter pylori. Secara klinis pasien mengeluh nyeri ulu hati kadang-kadang
menjalar ke pinggang disertai mual dan muntah.
Radiologi : Terlihat gambaran niche atau crater.
Endoskopi : Terlihat tukak gaster engan pinggir teratur, mukosa licin, lipatan radiasi keluar
dari pinggir tukak secara teratur.
Hasil Biopsi : Tidak menunjukkan adanya keganasan
Pemeriksaan tes CLO (Compylobacter Like Organism) /PA (Pyloric Antrum) :Untuk
menunjukkan apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam rangka eradikasi kuman.
Pemeriksaan endoskopik saluran makanan memudahkan diagnosis tepat ulkus duodenum.
Endoskopik tidak diperlukan untuk diagnosis ulkus duodeum jika telah dikenali dengan
pemeriksaan radiografik barium. Akan tetapi endoskopi mungkin paling besar nilainya: (1)
dalam mendektesi ulkus duodenum yang dicurigai pada tiadanya ulkus yang dapat
diperlihatkan secara radiografik, (2) pada pasien dengan deformitas radiografik dan
ketidakpastian mengenai aktivitas ulkus, (3) dalam mengenali ulkus yang terlampau kecil
atau terlampau dangkal untuk dikenali dengan sinar–x dan (4) dalam mengenali (atau
meniadakan), ulkus sebagai sumber pendarahan saluran makanan yang aktif. Endoskopi
memungkinkan visualisasi dan dokumentasi fotografik sifat ulkus, ukuran, bentuk dan
lokasinya dan dapat memberikan suatu dasar/ basis referensi untuk penilaian penyembuhan
ulkus.
Dalam perkembangannya jenis tes diagnostik infeksi Helicobacter pylori adalah sebagai
berikut:
a) Non Invasif
1. Serologi : I 9G, I 9A anti Helicobacter pylori
2. Urea breath test : 13C, 14C
b) Invasif / endoskopik
1. Tes urease : CLO (Campylobacter Like Organism), MIU (Motilit Indole Urease)
2. Histopatologi
3. Kultur mikrobiologi
4. Polymerase chain reaction (Rani, 2001).
e. Pengobatan Infeksi H. Pylori
1. Di Amerika Serikat, yang direkomendasikan terapi utama untuk infeksi H. pylori
meliputi: PPI, klaritromisin, dan amoksisilin, ormetronidazole (klaritromisin-triple
terapi) selama 14 hari atau PPI atau H2RA, bismuth, metronidazole, dan tetrasiklin
(bismut terapi quadruple) untuk 10-14 hari.
2. Terapi Sequential terdiri dari PPI dan amoksisilin untuk 5 hari diikuti oleh PPI,
klaritromisin, dan tinidazole untuk tambahan 5 hari dapat memberikan alternatif untuk
terapi quadruple berbasis tiga klaritromisin atau bismuth membutuhkan validasi di
Amerika Serikat sebelum dapat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama.
Regimen Durasi Taraf
pemberantasan
Komentar
Dosis standar tawaran PPI
(esomeprazole adalah qd),
klaritromisin 500 mg bid,
10 -14 70 – 85 % Pertimbangkan dalam pasien
alergi nonpenicillin yang telah
sebelumnya tidak menerima
amoksisilin tawaran 1.000 mg makrolida
Standar dosis PPI tawaran,
klaritromisin 500 mg bid
metronidazol 500 mg bid
10 -14 70 – 85 % Pertimbangkan pada pasien
alergi penisilin yang
telah sebelumnya tidak
menerima makrolida atau
tidak dapat mentoleransi
quadruple bismuth
terapi
Bismuth subsalicylate 525 mg
poqid metronidazole
250 mg poqid, tetrasiklin 500
mg poqid,
ranitidin 150 mg pobid atau
dosis standar
PPI QD untuk menawar
10 -14 75 – 90 % Pertimbangkan pada pasien
alergi penisilin
PPI + amoksisilin 1 g bid
diikuti oleh PPI, tawaran
klaritromisin 500 mg, 500 mg
tinidazole
5 > 90% Membutuhkan validasi di
Amerika Utara
PPI = proton pump inhibitor; PCN = penisilin; po = lisan; qd = sehari-hari; bid = dua kali
sehari; tid = tiga kali sehari; qid = empat kali sehari.
* Dosis standar untuk PPI adalah sebagai berikut:
lansoprazole 30 mg po, omeprazole 20 mg po, pantoprazole 40 mg po, rabeprazole 20 mg po,
esomeprazole 40 mg po
Catatan: perawatan di atas direkomendasikan adalah tidak semua disetujui FDA. FDA
menyetujui rejimen adalah sebagai berikut:
1. Bismuth 525 mg empat kali sehari + metronidazol 250 mg empat kali sehari + tetrasiklin
500 mg qid × 2 minggu + H2RA seperti yang diarahkan x 4 minggu.
2. Lansoprazole 30 mg bid + klaritromisin 500 mg bid + amoksisilin 1 g bid x 10 hari.
3. Omeprazol 20 mg bid + klaritromisin 500 mg bid + amoksisilin 1 g bid x 10 hari.
4. esomeprazole 40 mg qd + klaritromisin 500 mg bid + amoksisilin 1 g bid x 10 hari.
5. Rabeprazole 20 mg + klaritomisin 500 mg bd + amoksisilin 1 g bid x 7 hari
Terapi memungkinkan pemberantasan infeksi H. pylori. Percobaan pengobatan selanjutnya,
terutama jika antibiotik yang sama yang digunakan atau jika pasien sebelumnya telah terkena
antibiotik yang terkandung dalam rejimen pengobatan, cenderung untuk mencapai sukses.
Dengan demikian, penting untuk hanya menggunakan pengobatan rejimen yang ada bukti
efektivitas
Di Amerika Serikat, yang direkomendasikan terapi utama untuk H. pylori infeksi meliputi:
PPI, klaritromisin, dan amoksisilin atau metronidazol (triple berdasarkan klaritromisin-Terapi)
PPI atau H2RA, bismut, metronidazole, tetraycline (bismut terapi quadruple).
Uji acak besar menunjukkan bahwa masuknya amoxicillin atau metronidazole memberikan
hasil yang sama bila dikombinasikan dengan PPI dan klaritromisin. Meskipun pedoman
internasional telah merekomendasikan jangka waktu pengobatan minimal 7 hari, jangka waktu
pengobatan 10-14 hari biasanya telah dipakai di US. Kombinasi rabeprazole, klaritromisin, dan
amoxicillin, menemukan bahwa 7 dan 10 hari terapi menghasilkan tingkat pemberantasan
setara. Tingkat pemberantasan selama 7 hari adalah 77% (95% CI 71-83%) dibandingkan 78%
(95% CI 72-84%) untuk rejimen 10-hari. Penelitian ini juga melaporkan tingkat pemberantasan
27% untuk 3 hari. Sebuah meta-analisis terbaru dari tujuh studi melibatkan lebih dari 900 pasien
menemukan bahwa selama 14 hari dari terapi tiga klaritromisin tersedia pemberantasan
baik. Ada juga kecenderungan ditingkatkan efikasi dengan 10 hari terapi dibandingkan dengan 7
hari terapi, yang tidak bermakna secara statistik. Keunggulan dari 14 hari dibandingkan 7 hari
pengobatan telah dikonfirmasi pada percobaan dari Italia. Sebagai hasil dari tingkat
pemberantasan dengan terapi tiga berbasis klaritromisin, itu adalah penting untuk mengambil
setiap kesempatan untuk mengoptimalkan pengobatan sukses. Mengingat hasil meta-analisis,
tampaknya untuk merekomendasikan 14-hari klaritromisin tiga Terapi, terutama di Amerika
Serikat di mana pemberantasan telah menjadi 80% atau kurang dengan jangka waktu terapi yang
lebih pendek terapi. Jangka waktu pengobatan kurang dari 7 hari terkait dengan tingkat
pemberantasan berkurang. PPI saat ini tersedia bila digunakan dalam regimen ini. Data dari baru-
baru ini meta-analisis dari 13 studi menunjukkan bahwa dosis tawaran PPI di rejimen tiga
berbasis klaritromisin lebih efektif daripada dosis qd. Pretreatment dengan PPI sebelum kursus
dari terapi y H. pylori tidak muncul dampak terhadap hasil pengobatan. Selanjutnya, tampak
bahwa H2RA dapat diganti jika pasien tidak dapat mentoleransi PPI.
Bismuth terapi quadruple telah menganjurkan sebagai terapi utama untuk H. pylori. Bismut
quadruple terapi dari APY menawarkan tingkat pemberantasan yang mirip dengan klaritromisin
Tiga terapi. Terapi quadruple dengan PPI memberikan efikasi yang lebih besarpada pasien
dengan metronidazol yang tahan rantai H. pylori Kritik dari rejimen ini melibatkan kompleks
(empat kali sehari dosis regimen dan jumlah pil yang tinggi) dan ini mendapat frekuensi efek
samping. Penelitian lain baru-baru dilaporkan komparatif tingkat pemberantasan dengan kapsul
antibiotik tiga diberikan tid dan tawaran PPI selama 10 hari. Meskipun efek samping dengan
terapi quadruple berbasis bismuth terjadi umum, frekuensi efek samping sedang atau berat tidak
lebih dari dengan terapi tiga berbasis klaritromisin
Tampaknya masuk akal untuk mempertimbangkan PPI, klaritromisin, dan amoksisilin pada
pasien yang belum pernah menerima clarithromycin dan yang tidak alergi terhadap
penisilin. Untuk pasien alergi terhadap penisilin, metronidazol dapat digantikan
amoksisilin. Terapi quadruple bismut harus disukai pada mereka yang alergi terhadap penisilin
atau pada mereka yang sebelumnya diperlakukan dengan antibiotik macrolide
2.3. STRATEGI PENCEGAHAN RESIKO PENGGUNAAN NSAID TERKAIT
KOMPLIKASI GI DAN RESIKO CV
Menurut jurnal Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug-Induced Gastroduodenal Bleeding:
Risk Factors and Prevention Strategies. NSAID adalah obat yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia. Obat ini digunakan sebagai anti-inflamasi, antipiretik dan analgesik dengan
menghambat cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2), enzim bertanggung jawab untuk produksi
prostaglandin, tromboksan dan prostacyclins. NSAID telah dikaitkan dengan kemampuan
mereka untuk menghambat aktivitas COX-2, sementara efek samping (misalnya, kerusakan
gastrointestinal) diduga dimediasi oleh penghambatan COX-1. NSAID diklasifikasikan dalam
NSAID non-selektif (penghambatan baik COX-1 dan COX-2) dan coxib (Penghambatan selektif
dari isoenzim COX-2). Berbeda dari semua NSAID lainnya, aspirin memiliki keunikan untuk
menghambat enzim COX secara ireversibel. Efek aspirin bervariasi sesuai dengan
dosis. Terutama di dosis rendah (75-325 mg / hari), aspirin merupakan acetylates serin 529 dari
COX-1 yang mengarah ke penghambatan tromboksan platelet turunan A2. Efek anti-trombotik
ini secara rutin digunakan dalam kejadian profilaksis kardiovaskular dan serebrovaskular, dan
sebagian besar dari fakta setelah enghambatan ireversibel COX-1, trombosit tidak dapat
mensintesis COX-1 baru. Oleh karena itu, penghambatan trombosit tetap digunakan untuk siklus
hidup mereka.
Tabel 1 Klasifikasi NSAID sesuai dengan selektivitas untuk enzim COX dan jenis
penghambatan COX (reversibel / ireversibel).
Selektif / inhibisi non-
selektif isoenzim COX
Reversible / ireversibel
Penghambatan isoenzim
COX
NSAIDs Penghambatan non- selektif
dari kedua isoenzim COX
Reversibel
COXibs Penghambatan selektif COX-
2
Reversibel
ASA Penghambatan non-selektif
dari kedua isoenzim COX
Irreversibel
NSAID: obat non-steroid anti-inflamasi tradisional, COXIB: NSAID yang khusus "dirancang"
untuk menghambat COX-2 secara selektif; ASA: aspirin.
Asupan NSAID meningkatkan risiko peningkatan tukak lambung dan komplikasi
(perdarahan,cperforasi atau obstruksi). Resiko perdarahan saluran cerna bagian atas pada
pengguna NSAID telah terbukti 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak memakai
NSAID . Ulkus lambung sekitar empat kali lebih tinggi daripada ulkus duodenum pada pasien
yang memakai NSAID. Risiko komplikasi gastrointestinal bagian atas meningkat juga dengan
asupan rutin aspirin pada dosis rendah. Dalam studi kasus-kontrol risiko rawat inap untuk
perdarahan ulkus peptikum saat ini dengan rejimen aspirin profilaksis adalah 2,3 dengan asupan
75 mg aspirin / hari dan meningkat menjadi 3,2 dan 3,9 dengan asupan 150 mg / hari dan 300 mg
/ hari.
Faktor Risiko NSAID Penyebab Perdarahan Saluran Cerna
Faktor risiko perdarahan saluran cerna pada pasien terapi NSAID adalah usia, ulkus
peptikum dan agen anti-platelet, antikoagulan, glukokortikosteroid dan selektif
serotonin reuptake-(SSRI)
Tabel 2. Faktor Risiko NSAID-terkait pendarahan gastroduodenal.
Faktor Resiko OR (95% CI)
Ulkus peptikum atau ulkus komplikasi 4,76 (4,05 – 5,59)
Usia Lanjut (60 tahun atau lebih) 5,52 (4,63 – 6,60)
Co-obat dengan
- Agen antiplatelet (ASA,
Clopidogrel )
7,4 (3,5 – 15)
- Antikoagulan 9,7 (4,6 – 20,2)
- Glukokortikosteroid 1,83 (1,20 – 2,78)
- SSRI 12,2 (7,1 – 19,5)
Infeksi H.Pylori 6,13 (9,98 – 373)
ASA: aspirin, SSRI: selective serotonin reuptake
Risiko NSAID terkait lambung perdarahan lebih lanjut dapat meningkatkan pada kehadiran lebih
dari satu faktor risiko.
Riwayat ulkus peptikum atau ulkus komplikasi secara konsisten muncul sebagai faktor
risiko penting untuk NSAID terkait pendaraan gastroduodena. Dalam meta-analisis dari 10
kasus-kontrol atau kohort rasio odds (OR) untuk saluran cerna ,pertama perdarahan akibat
pengobatan NSAID adalah 2,39 (95% kepercayaan CI interval 2,16-2,65), sedangkan risiko pada
pasien dengan riwayat (atau tidak ditentukan) dari GI meningkat menjadi 4,76 (95% CI, 4,05-
5,59). Dalam studi kasus-kontrol termasuk 2.105 kasus dan 11.500 kontrol, pasien NSAID
dengan ulkus komplikasi sebelumnya (perdarahan atau perforasi) disajikan risiko absolut
terbesar perdarahan saluran cerna bagian atas dengan tingkat kejadian antara 20 dan 30 per 1.000
orang-tahun. Dalam studi yang sama, resiko peningkatan perdarahan saluran cerna atas
ditemukan pada dosis NSAID (medium dosis harian: RR = 2,4, 95% CI = 1,9-3,1; dosis harian
yang tinggi: RR 4,9, 95% CI = 4,1-5,8) serta pada farmakokinetik NSAID yang digunakan
(plasma paruh kurang dari 12 jam: RR = 3,1, 95% CI = 2,5-3,8; waktu paruh plasma yang lebih
besar dari 12 jam: RR = 4,5, 95% CI = 3,5-5,9).
Usia lanjut juga merupakan faktor risiko yang besar. Resiko secara dramatis meningkatkan,
risiko relatif untuk meningkatkan perdarahan saluran cerna meningkat secara linear pada tingkat
sekitar 4% per tahun dari usia lanjut. Sebuah tinjauan sistematis dari 18 kasus-kontrol dan kohort
studi tentang komplikasi saluran pencernaan yang serius, menunjukkan peningkatan risiko
absolut dari perdarahan saluran cerna atas di antara pasien yang lebih tua dari 75 tahun
menggunakan NSAID, dengan tingkat kejadian mutlak sekitar 20 per 1.000 orang-tahun.
Risiko peningkatan perdarahan saluran cerna karena NSAID berhubungan dengan asupan
lebih dari satu NSAID atau obat dikombinasikan dengan anti-platelet agen, antikoagulan,
glukokortikoid dan selective serotonin reuptake. Studi yang berbeda telah menunjukkan bahwa
co-terapi dengan dosis rendahlanjut aspirin meningkatkan risiko mengembangkan perdarahan
saluran cerna dari 2 sampai 6 kali lipat pada pasien NSAID. Juga co-obat dengan antikoagulan
telah terbukti lebih meningkatkan risiko komplikasi saluran cerna. Dalam studi kasus-kontrol
yang dilakukan di Spanyol OR untuk peningkatan perdarahan saluran cerna adalah setinggi 9,7
(95% CI 4,6-20,2) pada pasien yang menerima NSAID dan antagonis vitamin K.
Dalam sebuah studi berbasis populasi yang dilakukan di Denmark pada 26.005 pasien pada
SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) selama empat tahun, risiko perdarahan saluran
cerna ditemukan 3,6 kali lipat lebih tinggi dari yang diharapkan dan penggunaan seiring SSRI
dan baik NSAID atau aspirin dosis rendah meningkatan risiko untuk 12,2 (95% CI, 7,1-19,5) dan
5,2 (95% CI, 3,2-8,0), masing-masing. Itu merupakan mekanisme SSRI memperparah cedera
saluran cerna NSAI. Dalam hewan model , SSRI paroxetine ™ meningkatkan keparahan
indomethacin yang diinduksi borok antral dengan merusak sistem anti-oksidatif (penurunan
superoksida mukosa lambung dismutase dan glutation konten).
Mono-terapi dengan glukokortikosteroid tidak meningkatkan risiko perdarahan saluran
cerna. Namun meta-analisis dari 16 studi menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi NSAID
dan glukokortikosteroid dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan saluran cerna (OR 1,83
95% CI: 1,20-2,78). Studi pada hewan model menunjukkan bahwa glukokortikosteroid
memperburuk cedera saluran cerna dengan cara menghambat prostaglandin sintetase mukosa,
dengan demikian semakin menurun biosintesis gastro-pelindung prostaglandin. Selanjutnya 24
jam sebelum pengobatan dengan deksametason menghambat aktivitas peroksidase dari enzim
COX oleh 83% pada tikus Wistar yang mengarah ke Peningkatan radikal hidroksil reaktif yang
kemudian merusak mukosa saluran cerna.
Aspirin dosis rendah merupakan terapi standar untuk peristiwa profilaksis sekunder
kardiovaskular. Pedoman saat ini menyarankan penggunaan terapi antiplatelet ganda dengan
aspirin dan clopidogrel pada pasien dengan sindrom koroner akut atau menerima stent arteri
koroner. Namun di studi kasus-kontrol berbasis populasi (1.443 kasus perdarahan gastrointestinal
serius atas selama 2000-2004, 57.720 usia dan jenis kelamin cocok kontrol), pasien yang
menerima terapi kombinasi dengan dosis rendah aspirin dan clopidogrel memiliki OR untuk
mengembangkan perdarahan saluran cerna setinggi 7,4 (95% CI, 3,5-15).
Dengan demikian, data saat ini menunjukkan bahwa pasien pada NSAID dengan ulkus
peptikum atau ulkus komplikasi, usia (> 60 tahun) atau terapi kombinasi dengan agen anti-
platelet, antikoagulan, glukokortikosteroid dan SSRI harus dianggap sebagai pasien pada
peningkatan risiko perdarahan saluran cerna.
Strategi Untuk Mencegah Pendarahan Saluran Cerna pada Pasien NSAIDs
Opsi pertama untuk mengurangi toksisitas GI NSAID adalah menghindari obat-obatan
yang meningkatkan risiko perdarahan saluran cerna oleh NSAID. Oleh karena itu, sedapat
mungkin asupan obat-obatan seperti antikoagulan, glukokortikosteroid dan SSRI harus
dihindari. Selain itu, NSAID tunggal harus diresepkan dengan menggunakan dosis efektif
terendah. Penggunaan pompa proton inhibitor (PPI) telah terbukti mengurangi endoskopi (RR
0,37, 95% CI 0,3-0,5) dan bisul gejala (RR 0,09, 95% CI 0,02-0,47) pada pasien NSAID, dan
karena itu mungkin efektif untuk pencegahan utama pendarahan ulkus karena NSAID. Tidak ada
bukti yang menunjukkan keunggulan PPI daripada yang lain atau untuk dosis tinggi dari PPI
untuk mencegah pendarahan lambung. Oleh karena itu, standar dosis sekali sehari dari yang PPI
harus diresepkan.
Beralih ke COXib merupakan pilihan lain untuk mengurangi risiko perdarahan saluran
cerna pada pasien NSAID. Memang penggunaan coxib termasuk Lumiracoxib ™ terbaru dan
Etoricoxib ™ menurunkan risiko komplikasi gastrointestinal yang serius bila dibandingkan
dengan non- NSAID selektif dengan 8 kasus untuk setiap 1.000 pasien yang diobati dengan
coxib. Namun, 6 bulan kambuh untuk pasien dengan perdarahan saluran cerna sebelumnya masih
tinggi, bahkan jika pasien mengambil NSAID non-selektif ditambah PPI atau COXib.
Dalam acak controlled trial kombinasi keduanya (COXib ditambah PPI) dievaluasi. Pasien,
mengambil NSAID untuk artritis dan dirawat di rumah sakit karena pendarahan saluran cerna
akut, secara acak menerima baik celecoxib ™ 200 mg dua kali / hari dengan esomeprazole ™ 20
mg dua kali / hari atau Celecoxib ™ 200 mg dua kali / hari dengan plasebo. Kombinasi
perlakuan ditemukan lebih efektif daripada Celecoxib ™ saja untuk pencegahan ulkus
perdarahan pada pasien dengan risiko tinggi (13-bulan)
Kombinasi COXib tunggal ditambah PPI tampaknya menjadi pilihan yang paling aman
pada pasien dengan risiko titinggi untuk peningkatan pendarahan saluran cerna. Namun, dalam
sangat pasien yang berisiko tinggi, jika memungkinkan NSAID harus dihindari sama sekali.
NSAID Terapi: Menyeimbangkan Gastrointestinal dan Risiko Kardiovaskular
Penggunaan coxib atau NSAID tradisional, dengan kemungkinan pengecualian dari
naproxen, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular yang
serius. Sebagai konsekuensi, pada bulan April 2005, US Food and Drug Administration (FDA)
mengamanatkan bahwa semua NSAID harus mencakup "blackbox "peringatan untuk menyoroti
potensi kenaikan risiko kejadian trombotik serius pada kardiovaskular, bersama dengan
peringatan tentang perdarahan gastrointestinal berpotensi mengancam nyawa. Ini berarti bahwa
sebelum meresepkan NSAID, banyak faktor gastrointestinal dan kardiovaskular perlu
dipertimbangkan. Dalam baru-baru ini efek gastrointestinal dan kardiovaskular NSAID,
rekomendasi klinis yang dihasilkan oleh panel 19 ahli untuk pengobatan NSAID yang lebih
aman dari pasien dengan berbagai tingkat gastrointestinal dan risiko kardiovaskular. Risiko
gastrointestinal tinggi pada usia ≥70 tahun, riwayat positif dari pencernaan bagian atas (misalnya
perdarahan, ulkus) dan / atau penggunaan seiring aspirin dosis rendah, glukokortikosteroid atau
antikoagulan. Risiko kardiovaskular yang tinggi didefinisikan sebagai penyakit arteri korone,
penyakit kardiovaskular yang diperlukan profilaksis aspirin dosis rendah, atau sekitar 10 tahun
risiko kardiovaskular lebih besar dari 20%. Panel ahli merekomendasikan bahwa pasien dengan
risiko kardiovaskular yang tinggi memerlukan NSAID yang harus diresepkan naproxen,
sedangkan pada pasien berisiko tinggi untuk kedua pencernaan dan kardiovaskular komplikasi,
NSAID harus dihindari (Tabel 3).
Tabel 3. Algoritma untuk resep NSAID berdasarkan faktor resiko gastrointestinal dan
kardiovaskular
Resiko rendah komplikasi GI Resiko Tinggi Komplikasi GI
Beresiko rendah untuk
peristiwa CV
NSAID non-selektif NSAID non-selektif + PPI atau
Coxib + PPI
Beresiko tinggi untuk
peristiwa CV / obat
ASA
Naproxen + PPI Menghindari NSAID
naproxen + PPI
GI: gastrointestinal, CV: kardiovaskular, ASA: aspirin dosis rendah