trauma toraks.docx

32
BAB I PENDAHULUAN Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian besra pasien trauma toraks meninggal saat dating ke rumah sakit, disamping itu, banyak kematian yang dapat dicegah dengan upaya diagnosis dan tatalaksana yang akurat. Kurang dari 10% kasus trauma tumpul toraks dan sekitar 15-30% trauma tembus toraks memerlukan tindakan torakotomi. Sebagian besar pasien trauma toraks dapat ditatalaksana dengan prosedur teknik sesuai kompetensi yang dimiliki oleh dokter. Trauma toraks iatrogenic juga sering dijumpai misalnya hematotoraks atau pneumotoraks dengan central line placement dan trauma esophagus akibat endoskopi. Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis seringkali terjadi akibat kegagalan distribusi oksigen menuju jaringan akibat jipovolemia (perdarahan), ketidakseimbangan ventilasi perfusi pulmonal (missal kontusio, hematoma dan pneumothorax terbuka). Hiperkarbia seringkali terjadi akibat kegagalan ventilasi yang disebabkan oleh perubahan pada tekanan intratorakal dan penurunan derajat kesadaran. Asidosis metabolic juga dapat terjadi akibat hipoperfusi jaringan. Page 1

Transcript of trauma toraks.docx

BAB IPENDAHULUAN

Trauma toraks merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian besra pasien trauma toraks meninggal saat dating ke rumah sakit, disamping itu, banyak kematian yang dapat dicegah dengan upaya diagnosis dan tatalaksana yang akurat. Kurang dari 10% kasus trauma tumpul toraks dan sekitar 15-30% trauma tembus toraks memerlukan tindakan torakotomi. Sebagian besar pasien trauma toraks dapat ditatalaksana dengan prosedur teknik sesuai kompetensi yang dimiliki oleh dokter. Trauma toraks iatrogenic juga sering dijumpai misalnya hematotoraks atau pneumotoraks dengan central line placement dan trauma esophagus akibat endoskopi.Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis seringkali terjadi akibat kegagalan distribusi oksigen menuju jaringan akibat jipovolemia (perdarahan), ketidakseimbangan ventilasi perfusi pulmonal (missal kontusio, hematoma dan pneumothorax terbuka). Hiperkarbia seringkali terjadi akibat kegagalan ventilasi yang disebabkan oleh perubahan pada tekanan intratorakal dan penurunan derajat kesadaran. Asidosis metabolic juga dapat terjadi akibat hipoperfusi jaringan.Penilaian dan tatalaksana awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari primery survey, resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan penanganan definitife. Mengingat hipoksia adalah manifestasi paling serius pada trauma toraks maka intervensi awal ditujukan untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia. Trauma yang dapat mengancam jiwa harus segera ditangani secepat mungkin. Sebagian besar trauma toraks mengancam jiwa ditatalaksana dengan mempertahankan control saluran pernafasan atau memasang chest tube. Secondary survey dilakukan berdasarkan anamnesis trauma dan kecurigaan tinggi akan adanya trauma yang spesifik.

BAB IIPEMBAHASAN

A. PRIMARY SURVEYPrimary survey pada pasien trauma toraks dimulai dari saluran pernafasan. Permasalahan utama harus segera teridentifikasi.

1. Jalan NafasAdanya trauma mayor yang mengenai jalan nafas perlu segera dikenali saat melakukan primary survey. Patensi jalan anfas dan pertukaran udara sebaiknya dinilai dengan mendengarkan pergerakan udara melalui hidung, mulut, lapang paru dari pasien, melakukan inspeksi orofaring untuk menilai adanya obstruksi benda asing dang mengamati adanya retraksi otot intercostalis dan supraklavikular.Trauma laring dapat menyertai trauma toraks, walaupun gambaran klinisnya seringkali tidak jelas, obstruksi saluran napas akut akibat trauma laring ini dapat menjadi trauma yang mengancam jiwa. Trauma pada toraks dapat dinilai dengan adanya defek yang dapat dipalpasi pada region persendian sternoklavikular dengan dislokasi posterior kaput klavikula yang menyebabkan obstruksi saluran nafas atas. Identifikasi trauma ini dapat dilakukan melalui observasi akan adanya obstruksi saluran pernafasan atas (stridor) atau perubahan bermakna kualitas suara (jika pasien mampu berbicara). Penatalaksanaan meliputi reduksi tertutup trauma yang dapat dilakukan dengan meluruskan bahu atau melakukan fiksasi klavikula dengan pointed clamp dan reduksi fraktur secara manual. Setelah reduksi, keadaan stabil dapat tercapai bila pasien berada dalam posisi supinasi.

2. Pernapasan ( Breathing)Dada dan leher pasien harus diperiksa secara menyeluruh untuk menilai pernapasan dan vena leher. Pergerakan dan kualitas respirasi dinilai dengan observasi, palpasi dan pendengaran suara napas.Tanda trauma toraks atau hipoksia yang penting tetapi seringkali tidak terlewatkan ialah peningkatan kecepatan kecepatan pernapasan dan perubahan pola pernapasan, khususnya pernapasan yang makin dangkal. Sianosis adalah tanda lanjut hipoksia pada pasien trauma. Walaupun demikian, tidak adanya sianosis tidak menunjukan bahwa oksigenasi jaringan telah berlangsung secara adekuat atau saluran napas yang adekuat. Trauma toraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali dan ditangani saat primary survey termasuk adanya tension pneumothorakx, open pneumothorax (sucking chst wound), flail chest, kontusio paru dan hemotoraks massif. Tension Pneumothorax

Tension pneumothorax terjadi akibat ebocoran udara one way valve dari paru atau melalui dinding toraks. Udara didorong masuk kedalam rongga toraks tanpa ada celah untuk keluar sehingga memicu paru kolaps. Mediastinum terdorong ke sisi berlawanan. Terjadi penurunan aliran darah balik vena dan penekanan pada paru di sisi berlawanan.

Penyebab utama tension pneumothorax adalah ventilasi mekanik dengan ventilasi tekanan positif pada pasien dengan trauma pleural visceral. Tension pneumothorax juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari simple pneumothorax pasca trauma tumpul atau tembus toraks dimana parenkim paru gagal untuk mengembang atau pasca penyimpangan pemasangan kateter vena subclavia atau jugularis interna. Defek traumatic pada toraks juga dapat memicu tension pneumothorax jika tidak dapat memicu tension pneumothorax jika tidak ditutup dengan benar dan jika defek tersebut memicu terjadinya mekanisme flap-valve. Tension penumothorax juga dapat terjadi akibat penyimpangan letak pasca fraktur tulang belakang belakang torakal.Tension pneumothorax merupakan diagnosis klinis yang mencerminkan kondisi udara dibawah tekanan dalam ruang pleura. Tatalaksana tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi radiologi selesai. Tension pneumothorax ditandai oleh adanya beberapa tanda dan gejala berikut ini : nyeri dada, air hunger, distress napas, takikardia, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara napas pada salah satu sisi atau unilateral, distensi vena leher dan sianosis sebagai manifestasi lanjut. Tanda tension pneumothorax ini bisa dikacaukan dengan tamponade jantung akibat adanya kemiripan. Kedua kasus ini dapat dibedakan dengan adanya hiperesonansi pada perkusi atau suara napas yang menghilang pada hemitoraks yang sakit.Tension pneumothorax memerlukan dekompresi segera dan ditatalaksana awal dengan cepat melalui penusukan jarum caliber besar pada ruang interkostalis kedua pada garis midklavikular dari hemitoraks yang sakit.

Open Pneumothorax ( Sucking Chest Wound)

Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumothorax atau sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera tercapai. Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga dari diameter trakea, udara mengalir melalui defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara cenderung mengalir ke lokasi yang tekanannya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu sehingga memicu terjadinya hipoksia dan hiperkarbia.

Penatalaksanaan awal dari open pneumothorax dapat tercapai dengan menutup defek tersebut dengan occlusive dressing yang steril. Penutup ini harus cukup besar untuk menutupi seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga sisi untuk memberikan feel flutter type valve.Saat pasien inhalasi, penutup ini akan menyumbat luka, mencegah udara masuk dan saat ekspirasi, lubang terbuka dari penutup ini memungkinkan udara keluar dari ruang pleura. Chest tube ini sebaiknya segera dipasang secepat mungkin. Bila semua sisi penutup tadi direkatkan, maka udara akan terakumulasi dalam rongga toraks dan memicu terjadinya tension pneumothorax kecuali chest tube sudah terpasang. Setiap occlusive dressing dapat digunakan sebagai media sementara sehingga penilaian cepat dapat terus dilakukan. Penutupan bedah definitive pada defek seringkali perlu segera dilakukan.

Flail Chest dan Kontusio Paru

Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang sehingga terjadi defek pada toraks cage. Kondisi ini biasanya terjadi akibat trauma terkait fraktur costae multiple yaitu dua atau lebih tulang iga mengalami fraktur pada dua tempat atau lebih. Adanya segmen flail chest menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada yang normal. Jika trauma yang mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi hipoksia. Kesulitan utama flail chest diakibatkan oleh trauma pada paru (kontusio paru). Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan paradoksal dinding dada pada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan hipoksia. Keterbatasan pergerakan dinding dada dapat disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari merupakan penyebab penting hipoksia.

Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya splinting pada dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan foto ronsen toraks akan dijumpai fraktur costae multiple tetapi dapat juga tidak dijumpai pemisahan costochondrial. Analisa gas darah arteri yang menunjukkan kegagalan pernapasan dengan hipoksia juga akan membantu menegakkan diagnosis flail chest. Terapi awal meliputi ventilasi adekuat, pemberian oksigen humidifikasi, dan resusitasi cairan. Bila tidak dijumpai hipotensi sistemik, pemberian cairan kristaloid intravena harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi overdehidrasi.Penatalaksanaan definitive meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian cairan secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Pemberian analgesia dapat dilakukan dengan menggunakan narkotika intravena atau berbagai metode anastesi local yang tidak berpotensi memicu depresi pernapasan seperti pada pemberian narkotika sistemik. Pemilihan anastesia local blok saraf intermiten pada intercostals, intrapleural,ekstrapleural dan anstesia epidural. Bila dilakukan secara tepat, agen anestesi local dapat memberikan analgesia yang sempurna dan menekan perlunya dilakukan intubasi.Pencegahan hipoksia juga merupakan bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan lengkap. Penilaian yang teliti akan kecepatan pernapasan, tekanan oksigen arterial dan kemampuan pernapasan menjadi indikasi waktu pemasangan intubasi dan ventilasi.

3. Circulation

Pada pemeriksaan denyut nadi pasien harus dinilai akan kualitas, kecepatan dan regularitas. Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi radialis dan dorsalis pedis dapat tidak teraba akibat adanya deplesi volume. Tekanan darah dan tekanan nadi diukur dan sirkulasi perifer dinilai dengan mengamati dan melakukan palpasi kulit untuk menilai warna dan suhu. Vena leher juga dinilai akan adanya distensi, mengingat vena leher dapat tidak mengalami distensi pada pasien hipovelemia dan tamponade jantung , tension pneumothorax dan trauma diafragma traumatic.Pengawasan jantung dan oksimeter nadi harus dilakukan pada pasien. Pasien yang mengalami trauma toraks terutama pada area sternum atau akibat trauma deselerasi cepat sangat rentan mengalami trauma miokardium yang dapat memicu terjadinya disritmia. Hipoksia dan asidosis akan meningkatkan kemungkinan ini. Disritmia sebaiknya ditatalaksana sesuai protocol yang berlaku. Pulseless electric activity (PEA) tampak pada pemeriksaan EKG yang menunjukkan sebuah ritme saat pulsasi pasien tidak teraba. PEA dapat dijumpai pada tamponade jantung, tension pneumothorax, hipovolemia dan rupture jantung.Trauma toraks utama yang dapat mempengaruhi sirkulasi, sebaiknya dikenali dan ditatalaksana pada saat primary survey termasuk hemotoraks massif dan tamponade jantung.

Hemotoraks Masif

Hemotoraks massif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah atau satu pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat luka tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks massif juga dapat terjadi akibat trauma tumpul.Perdarahan akan disertai hipoksia. Vena leher dijumpai datar akibat adanya hipovolemia berat atau akan mengalami distensi akibat adanya tension pneumothorax. Kadang kadang, efek mekanik darah intratorakal dapat memicu pergeseran mediastinum yang cukup kuat untuk memicu distensi vena leher. Hematoraks massif dijumpai bila syok yang terjadi berhubungan dengan hilangnya suara napas atau perkusi redup pada salah satu sisi hemitoraks.Hematoraks massif ditatalaksana secara dini dengan restorasi volume darah dan dekompresi kavitas toraks. Jalur intravena dengan caliber besar dan infuse kristaloid tetesan cepat disertai tranfusi darah harus segera diberikan. Darah dari chest tube sebaiknya dikumpulkan dalam suatu wadah untuk autotransfusi. Chest tube tunggal dipasang biasanya pada tingkat papilla mamae disebelah anterior garis mid axilaris dan restorasi cepat volume terus berlangsung seiring dengan dekompresi kavitas toraks. Bila dicurigai hemotoraks massif maka dilakukan persiapan untuk autotransfusi. Jika dievakuasi 1500 ml darah maka sebaiknya dipersiapkan tindakan torakotomi dini. Beberapa pasien yang memiliki output volume kurang dari 1500 ml tetapi mengalami perdarahan terus menerus memerlukan torakotomi. Keputusan ini didasarkan bukan kepada kecepatan perdarahan yang berlangsung (200ml/jam selama 2-4 jam) tetapi juga status fisiologis pasien. Kebutuhan persisten transfuse darah merupakan indikasi torakotomi. Selama resusitasi pasien, volume darah yang pada awalnya di drainase dari tube dan kecepatan perdarahan yang berkelanjutan perlu menjadi pertimbangan dlam memperkirakan jumlah kebutuhan cairan pengganti. Warna darah (menunjukkan sumber arteri atau vena) merupakan indicator lemah perlu tidaknya tindakan torakotomi.Luka tembus dinding anterior disebeblah medial garis yang melewati papilla mamae dan luka posterior di sisi medial scapula harus diwaspadai akan kemungkinan perlunya torakotomi karena kecenderungan kerusakan pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang tinggi serta terkait potensi terjadinya tamponade jantung. Torakotomi harus ada ahli bedah yang berkompetensi dan berpengalaman.

Tamponade Jantung

Tamponade jantung biasanya terjadi akibat luka tembus. Trauma tumpul juga dapat menyebabkan pericardium terisi darah yang berasal dari jantung pembuluh darah besar maupun pembuluh darah pericardial. Sakus pericardium manusia merupakan sebuah struktur yang fibrous, dengan sejumlah darah yang relative kecil diperlukan untuk restriksi aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Tamponade jantung terjadi secara perlahan sehingga memungkinkan evaluasi yang lebih teliti, tetapi tamponade jantung juga dapat terjadi dalam waktu singkat sehingga memerlukan diagnosis dan tatalaksanan cepat. Diagnosis tamponade jantung kadang tidak mudah ditegakkan.Triad Becks ialah diagnostic klasik yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung yang menjauh. Walaupun demikian, suara jantung yang menjauh sulit untuk dinilai saat berada diruang gawat darurat yang ramai, sedangkan distensi vena dapat menghilang akibat hipovolemia. Disamping itu, tension pneumothorax, khususnya pada sisi kiri dapat menyerupai tamponade jantung. Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena pada inspirasi saat bernafas spontan) merupakan gangguan tekan vena paradoksal sejati yang berhubungan dengan tamponade. PEA dapat meningkatkan kecurigaan tamponade jantung tetapi dapat juga disebabkan oleh keadaan lain. Pemasangan dan pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dapat membantu diagnosis tetapi peningkatan CVP juga dapat terjadi pada sejumlah keadaan lain.

Metode diagnostic meliputi ekokardiagram, focused assessment sonogram in trauma (FAST) atau pericardial window. Transthoracic ultrasound (echocardiogram) bermanfaat sebagai metode non invasive yang bermakna dalam menilai pericardium dan meiliki tingkat hasil negative palsu berkisar 5-10%. Pada pasien dengan trauma tumpul yang mengalami gangguan hemodinamik, resusitasi pasien tidak boleh ditunda, pemeriksaan sakus pericardial akan adanya cairan dapat dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan ultrasonografi abdominal yang dilakukan oleh tim bedah yang terlatih dan berpengalaman. FAST merupakan meode cepat dan akurat untuk pencitraan jantung dan pericardium tersebut dilakukan oleh operator yang berpengalaman.Diagnosis tepat dan evakuasi darah pericardial merupakan indikasi pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap resusitasi syok hemoragik atau potensi terjadinya tamponade jantung. Bila ada ahli bedah yang berkompetensi, tindakan bedah dapat dilakukan untuk membebaskan tamponade. Tindakan ini terbaik dalam kamar operasi jika kondisi pasien memungkinkan. Jika intervensi bedah tidak tersedia maka perikardiosentesis dapat memabntu menegakkan diagnosis sekaligus sebagai terapi tetapi bukan merupakan terapi definitive bagi tamponade jantung.Saat tamponade jantung dicurigai kuat telah terjadi, pemberian awal cairan intravena akan meningkatkan tekanan vena dan memperbaiki curah jantung sementara sambil mempersiapkan tindakan bedah. Jika perikardiosentesis subxyphoid dilakukan sebsgai maneuver sementara dengan menggunakan jarum yang terbungkus plastic atau teknik seldinger untuk pemasangan kateter yang flexible, prioritas utama tetap pada upaya melakukan aspirasi darah dari sakus pericardial secara adekuat. Aspirasi darah pericardial sendiri dapat digunakan sebagai panduan pemasangan jarum menuju ruang pericardial secara akurat. Aspirasi darah pericardial sendiri dapat membebaskan gejala secara sementara. Tetapi, semua pasien dengan tamponade akut dan perikardiosentesis tidak dapat menjadi metode diagnostic atau terapeutik bila darah dslam pericardium telah mengalami pembekuan. Persiapan untuk merujuk pasien menuju fasilitas kesehatan yang tepat untuk terapi definitive perlu segera dilakukan. Perikardiotomi via torskotomi hanya boleh dilakukan bila ada ahli bedah yang kompeten.

Torakotomi Resusitatif

Pijat jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA tidak efektif pada pasien dengan hipovolemia. Pasien dengan trauma toraks tembus yang dating tanpa pulsasi, tetapi dengan aktivitas elektrikal miokardial merupakan kandidat untuk mendapat torakotomi resusitatif segera. Seorang ahli bedah yang berkompeten harus ada saat pasien dating dan menilai keperluan dan potensi keberhasilan tindskn torakotomi resusitatif di gawat darurat Restorasi volume intravascular terus dilakukan dan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik juga sangat penting. Pasien yang menderita trauma tembus dan memerlukan CPR pada lingkup pra rumah sakit harus dievaluasi setiap tanda kehidupan yang ada. Jika tanda tersebut tidak ada dan tidak dijumpai aktivitas elektrik jantung maka upaya resusitatif lanjut tidak perlu dilakukan. Pasien yang menderita trauma tumpul dan tidak memberikan pulsasi saat dating tetapi masih memiliki aktivitas elektrik miokardial (PEA) bukan merupakan kandidat torakotomi resusitatif di departemen gawat darurat. Tanda kehidupan seperti pupil reaktif, pergerakan spontan maupun aktivitas EKG yang terorganisir.Manuver terapeutik yang dapat dilakukan secara efektif bersama torakotomi resusitatif meliputi : Evakuasi darah pericardial yang memicu terjadinya tamponade Kontrol langsung exsaguinating perdarahan intartorakal Pijat jantung terbuka Cross-clamping aorta descenden untuk memperlambat perdarahan dibawah diafragma dan meningkatkan perfusi menuju otak dan jantung

Disamping manfaat manuver ini, sejumlah laporan menyatakan bahwa torakotomi di departemen gawat darurat pada pasien trauma tumpul dan henti jantung jarang sekali efektif.

B. SECONDARY SURVEY: Trauma Toraks Berpotensi Mengancam Jiwa

Secondary survey meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan ronsen toraks samping jika kondisi pasien memungkinkan, penilaian analisis gas darah dan pulse oxymetri serta serta pengawasan EKG. Disamping menilai pengembangan paru dan adanya cairan, pada pemeriksaan ronsen toraks, dapat dinilai adanya pelebaran mediastinum, pergeseran midline dan hilangnya gambaran rinci anatomis. Fraktur tulang iga multiple dan fraktur pada costae pertama atau kedua menunjukkan adanya tekanan yang berat menuju toraks dan jaringan dibawahnya.Sedikitnya ada delapan trauma yang mengancam jiwa meliputi : Simple pneumothorax Hematoraks Kontusio paru Trauma tracheobronchial tree Trauma tumpul jantung Ruptur aorta traumatic Ruptur diafragma traumatic Ruptur tumpul esophagus

Tidak seperti kondisi mengancam jiwa yang diidentifikasi saat primary survey, trauma yang tercantum disini biasanya tidak tampak jelas saat dilakukan pemeriksaan fisik. Diagnosis memerlukan kecurigaan tinggi dan studi tambahan yang tepat. Trauma ini seringkali terlewatkan selama periode post traumatic awal; celakanya hal ini dapat menyebabkan kematian pasien.

Simple Pneumothorax

Pneumothorax terjadi akibat adanya udara yang masuk dalam ruang potensial antara pleura viseralis dan parietalis. Baik trauma tembus maupun tidak tembus dapat menyebabkan pneumothorax. Laserasi paru dengan kebocoran udara merupakan penyebab umum pneumothorax akibat trauma tumpul.Torax pada kondisi normal terisi oleh paru hingga ke dinding toraks oleh adanya tegangan permukaan antara permukaan pleura. Udara dalam ruang pleural ini akan merusak tekanan kohesi antara pleura viseralis dan parietalis yang kemudian menyebabkan paru kolaps. Defek ventilasi/ perfusi dapat terjadi akibat darah yang memberikan perfusi pada area non ventilasi tidak mendapat oksigenasi.Bila pneumothorax terjadi, suara napas akan menurun pada sisi yang sakit dan perkusi memberikan hasil hiperresonansi. Foto ronsen toraks akan memberikan gambaran yang mendukung diagnosis.Setiap pneumothorax sebaiknya ditatalaksana dengan pemasangan chest tube yang dipasang pada ruang interkostalis keempat atau kelima, sedikit anterior dari garis mid-aksilaris. Observasi dan aspirasi dari pneumothorax asimptomatis mungkin tindakan yang tepat, tetapi dengan atau tanpa penghisap, pemeriksaan ronsen toraks perlu dilakukan untuk memastikan pengembangan paru kembali. Baik anesthesia maupun ventilasi tekanan positif sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang menderita pneumothorax intraoperatif yang tidak terduga, sampai chest tube tersebut dipasang. Simple pneumothorax dapat berubah menjadi tension pneumothorax yang mengancam jiwa bila tidak dikenali dan ventilasi tekanan positif diaplikasikan. Pasien dengan pneumothorax harus mendapat dekompresi toraks sebelum dirujuk via ambulans.

Hemotoraks

Penyebab utama hemotoraks (