Trauma Inhalasi

54
Trauma Inhalasi: Epidemiologi, Patologi, Strategi Terapi David J Dries1* and Frederick W Endorf2 Abstrak Trauma pada paru-paru yang disebabkan oleh inhalasi asap atau produk-produk kimia kombusio berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Bersama luka bakar kutaneus, trauma inhalasi meningkatkan kebutuhan resusitasi cairan, insidensi komplikasi pulmonal, dan mortalitas trauma thermal secara keseluruhan. Sementara banyak produk dan teknik telah dikembangkan untuk menangani trauma thermal kutaneus, beberapa pilihan terapeutik yang spesifik-diagnosis yang relatif sedikit bagi pasien dengan trauma inhalasi telah diidentifikasi. Beberapa faktor menjelaskan proses penyembuhan yang lebih lambat dalam penanganan pasien dengan trauma inhalasi. Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih kompleks. Jaringan kutaneus yang terbakar dapat dieksisi dan diganti dengan metode skin graft.Jaringan pulmonal yang mengalami trauma harus dilindungi dari trauma sekunder akibat resusitasi, 1

description

referat

Transcript of Trauma Inhalasi

Page 1: Trauma Inhalasi

Trauma Inhalasi: Epidemiologi, Patologi,

Strategi TerapiDavid J Dries1* and Frederick W Endorf2

Abstrak

Trauma pada paru-paru yang disebabkan oleh inhalasi asap atau produk-

produk kimia kombusio berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang

signifikan. Bersama luka bakar kutaneus, trauma inhalasi meningkatkan kebutuhan

resusitasi cairan, insidensi komplikasi pulmonal, dan mortalitas trauma thermal secara

keseluruhan. Sementara banyak produk dan teknik telah dikembangkan untuk

menangani trauma thermal kutaneus, beberapa pilihan terapeutik yang spesifik-

diagnosis yang relatif sedikit bagi pasien dengan trauma inhalasi telah diidentifikasi.

Beberapa faktor menjelaskan proses penyembuhan yang lebih lambat dalam

penanganan pasien dengan trauma inhalasi. Trauma inhalasi merupakan masalah

klinis yang lebih kompleks. Jaringan kutaneus yang terbakar dapat dieksisi dan

diganti dengan metode skin graft.Jaringan pulmonal yang mengalami trauma harus

dilindungi dari trauma sekunder akibat resusitasi, ventilasi mekanik, dan infeksi

ketika mekanisme perbaikan jaringan mendapatkan pertolongan yang sesuai. Banyak

konsekuensi inhalasi asap dihasilkan dari respon inflamatorik yang melibatkan

mediator-mediator inflamasi yang jumlah dan perannya belum dipahami secara

sempurna meskipun terdapat peralatan penunjang klinis yang telah dikembangkan.

Peningkatan angka mortalitas akibat trauma inhalasi umumnya disebabkan oleh

intervensi yang lebih terfokus pada perawatan kritis dibandingkan intervensi terhadap

inhalasi asap itu sendiri. Angka morbiditas akibat trauma inhalasi disebabkan oleh

pajanan terhadap panas dan toksin yang terinhalasi. Penanganan pajanan toksin pada

inhalasi asap masih kontroversial, terutama yang berhubungan dengan karbon

monoksida dan sianida. Terapi oksigen hiperbarik telah dievaluasi dalam beberapa

1

Page 2: Trauma Inhalasi

percobaan untuk menangani sekuele neurologis akibat pajanan karbon monoksida.

Sayangnya, data terkini tidak mendukung aplikasi oksigen hiperbarik pada populasi

ini, di luar konteks percobaan yang dilakukan. Sianida merupakan toksin lain yang

diproduksi oleh kombusio material alami ataupun sintetis. Beberapa strategi antidot

penanganan hipoksia jaringan akibat pajanan sianida telah dievaluasi. Data dari pusat-

pusat kesehatan Eropa mendukung penggunaan antidot-antidot spesifik untuk

menangani toksisitas sianida. Konsistensi internasional dalam mendukung

penggunaan terapi ini masih kurang. Bahkan kriteria diagnostik yang ada tidak

digunakan secara konsisten walaupun bronkoskopi merupakan suatu penunjang

diagnostik dan terapeutik. Strategi-strategi medis untuk terapi spesifik inhalasi asap

yang sedang berada di bawah investigasi termasuk beta-agonist, modifikator aliran

darah pulmonal/ pulmonary blood flow modifiers, antikoagulan, dan antiinflamasi.

Namun demikian, hingga nilai dari pendekatan-pendekatan ini maupun pendekatan

lainnya dikonfirmasi, penanganan klinis trauma inhalasi bersifat suportif.

Kata-kata kunci: Inhalasi asap, Luka bakar, Karbon monoksida, Sianida, Bronkoskopi

Pendahuluan

Trauma respiratorik yang disebabkan oleh inhalasi asap atau produk-produk

kimia kombusio berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang

signifikan. Bahkan dalam kondisi terisolasi,trauma inhalasi dapat menyebabkan

disfungsi pulmonal berkepanjangan[1]. Bersama luka bakar kutaneus, trauma inhalasi

meningkatkan kebutuhan resusitasi cairan, insidensi komplikasi pulmonal, dan

mortalitas trauma thermal secara keseluruhan. Sayangnya, strategi diagnostik yang

konsisten belum tersedia dan terapi yang tersedia umumnya berupa terapi suportif[2-4].

Kami akan membahas patologi, pilihan-pilihan diagnostik, dan strategi pengobatan.

Penelitian klasik yang mendeskripsikan efek-efek trauma inhalasi, dan

komplikasi utamanya, pneumonia, terhadap angka mortalitas pada pasien luka bakar

2

Page 3: Trauma Inhalasi

adalah penelitian oleh Shirani, Pruitt,Mason, dan U.S. Army Institute of Surgical

Researchdi San Antonio, Texas [5]. Suatu penelitian dengan 1,000 pasien telah

dilakukan, di mana data yang digunakan dikumpulkan pada status trauma inhalasi

saat admisi dan terjadinya pneumonia saat dirawat di rumah sakit. Pasien-pasien

dengan risiko trauma inhalasi diinvestigasi dengan bronkoskopi, scan paru-paru

Xenon, atau keduanya.Diagnosis trauma inhalasi ditegakkan pada 373 pasien.

Dengan ukuran luka bakar yang membesar, terdapat peningkatan insidensi trauma

inhalasi yang berhubungan. Diagnosis pneumonia ditegakkan dalam waktu sekitar 10

hari pada pasien yang mengalami komplikasi ini bersama dengan trauma inhalasi.

Tiga plot dimensional disusun untuk menunjukkan peningkatan angka mortalitas

trauma inhalasi dan trauma inhalasi dengan komplikasi pneumonia pada pasien dalam

populasi ini. Angka mortalitas yang diperkirakan meningkat dengan nilai maksimal

20% pada kasus trauma inhalasi dan 60% pada kasus trauma inhalasi disertai

pneumonia. Kontribusi trauma inhalasi dan pneumonia pada angka mortalitas bersifat

independen dan mengalami peningkatan. Angka mortalitas yang diperkirakan pada

pasien dengan luka bakar yang sangat kecil atau sangat besar tidak dipengaruhi oleh

komplikasi pulmonal ini, kecuali pada usia-usia ekstrim (Gambar 1, 2,dan 3).

Dua penelitian lain mendukung observasi Shirani dan kawan-kawan. Suatu

meta-analisis yang terbaru mengenai faktor-faktor prognostik pada trauma luka bakar

dengan inhalasi asap menunjukkan bahwa angka mortalitas keseluruhan meningkat

secara dramatis dengan adanya trauma inhalasi (27.6% versus 13.9%). Luasnya

ukuran luka bakar dan umur dapat memprediksi angka mortalitas.Penelitian lain

meliputi penelitian model prediktif mengenai outcome trauma kutaneus disertai

inhalasi asap. Pada suatu tinjauan akan110 pasien, persentase Total Body Surface

Area (TBSA) trauma kutaneus, umur, dan rasio PaO2/FiO2 merupakan prediktor

mortalitas [6-8].

Sementara banyak produk dan teknik telah dikembangkan untuk menangani

trauma thermal kutaneus, beberapa pilihan terapeutik yang spesifik-diagnosis yang

relatif sedikit bagi pasien dengan trauma inhalasi telah diidentifikasi. Peningkatan

3

Page 4: Trauma Inhalasi

angka mortalitas akibat trauma inhalasi umumnya disebabkan oleh intervensi yang

lebih terfokus pada perawatan kritis dibandingkan intervensi terhadap inhalasi asap

itu sendiri. Nyatanya, satu pernyataan konsensus mengindikasikan bahwa terapi

trauma inhalasi belum setaradengan peningkatan kualitas penanganan luka bakar

kutaneus [9].

Beberapa faktor menjelaskan proses penyembuhan yang lebih lambat dalam

penanganan pasien dengan trauma inhalasi. Jaringan kutaneus yang terbakar dapat

dieksisi dan diganti dengan metode skin graft, tetapi jaringan pulmonal yang

mengalami trauma harus dilindungi dari trauma sekunder. Pasien luka bakar yang

sedang dalam kondisi kritis memiliki berbagai mekanisme di samping mekanisme

oleh inhalasi asap yang dapat menyebabkan trauma pada paru-paru seperti sepsis,

Ventilator-Induced Lung Injury (VILI), atau inflamasi sistemik sebagai respon

terhadap luka bakar. Oleh karena itu, trauma inhalasi memiliki efek yang signifikan

terhadap outcome pasien luka bakar, namun sulit membedakannya dari mekanisme

lain yang juga mempengaruhi paru-paru[2,10,11].

Suatu keterbatasan yang signifikan bagi para klinisi yang mempelajari inhalasi

asap merupakan kekurangan yang menyebabkan belum adanya kriteria diagnosis

trauma inhalasi yang universal, mengukur tingkat keparahannyadan mengidentifikasi

terminologi umum untuk menggambarkan outcome pasien [2,9]. Oleh karena itu,

penelitian-penelitian komparatif sulit untuk dievaluasi.Beberapa praktisi

mendeskripsikan pasien yang membutuhkan intubasi dan ventilasi setelah mengalami

inhalasi asap. Penelitian lain menekankan penggunaan scan pengobatan nuklir dalam

diagnosis metabolik trauma inhalasi. Percobaan-percobaan multisenter memiliki

pengaruh yang membingungkan mengenai definisi-definisi lokal trauma inhalasi yang

berbeda.Kebutuhan akan kriteria diagnostik yang standar dan sistem perhitungan

untuk trauma inhalasi telah diakui dalam literatur mengenai luka bakar selama

bertahun-tahun.

4

Page 5: Trauma Inhalasi

Anatomi dan Fisiologi Trauma Inhalasi

Trauma inhalasi dapat menggambarkan trauma pulmonal yang disebabkan oleh

inhalasi thermal atau iritan kimia. Secara anatomis,trauma dibagi dalam tiga kelas: 1)

trauma panas yang terbatas pada saluran pernafasan atas kecuali pada kasus pajanan

steam jet, 2) iritasi kimia lokal melalui traktus respiratorius, dan 3) toksisitas sistemik

yang dapat muncul akibat inhalasi karbon monoksida atau sianida [3].

Gambar 1. Hubungan antara ukuran luka bakar dan insidensi truma inhalasi menunjukkan

terjadinya peningkatan angka trauma inhalasi dengan adanya peningkatan ukuran luka

bakar[5]

Gambar 2 – Ukuran luka bakar sebagai persentasi total body surface area (TBSA) pada

aksis X, umur pada aksis Y, dan persen peningkatan angka mortalitas akibat

terjadinya trauma inhalasi pada aksis Z. Angka mortalitas, pada kasus trauma inhalasi

sendiri, mengalami peningkatan maksimal sekitar 20%pada pasien dengan tingkat keparahan

sedang seperti diindekskan oleh umur dan ukuran luka bakar [5]

5

Page 6: Trauma Inhalasi

Trauma Panas pada Saluran Pernafasan Atas

Temperatur udara pada ruangan yang terbakar mencapai 1000°F. Karena

kombinasi dari penghilangan panas yang efisien pada saluran pernafasan atas,

kapasitas panas udara yang rendah, dan refleks penutupan laring, udara yang

bertemperatur sangat tinggi tersebut biasanya hanya menyebabkan trauma pada

struktur saluran nafas di atas carina.Trauma pada struktur-struktur saluran nafas ini

dapat menyebabkan edema masif pada lingua, epiglottis, dan plica aryeepiglottic

dengan obstruksi.Edema saluran nafas dapat terjadi dalam beberapa jam saat

resusitasi cairan sedang berjalan. Evaluasi awal bukan merupakan indikator yang baik

akan tingkat keparahan obstruksi yang dapat terjadi kemudian [3,12].

Status respiratorik harus dipantau secara berkelanjutan untuk menilai

kebutuhan pengendalian jalan nafas dan bantuan ventilator. Jika riwayat kejadian dan

pemeriksaan awal mengarahkan pada kecurigaan terjadinya trauma thermal pada

saluran nafas atas, intubasi sebagai proteksi jalan nafas harus dipertimbangkan.

Trauma Kimia pada Saluran Pernafasan Bawah

Sebagian besar substansi yang terbakar akan menghasilkan bahan yang bersifat toksik

bagi traktur respiratorius [2,3,9]. Karet dan plastik yang terbakar menghasilkan sulfur

dioksida, nitrogen dioksida, ammonia,dan klorin dengan asam kuat dan alkali ketika

tercampur dengan air pada jalan nafas dan alveoli. Perkakas berlapis yang

mengandung lem dan panel dinding juga dapat melepaskan gas sianida ketika

terbakar. Kapas atau wool yang terbakar menghasilkan aldehid toksik. Toksin-toksik

yang berhubungan dengan asap merusak sel-sel epitel dan endotel kapiler pada

saluran nafas. Perubahan-perubahan histologik menyerupai tracheobronchitis.

Transpor mukosiliaris hancur dan klirens bakterial berkurang. Kolaps alveolar dan

atelektasis terjadi akibat hilangnya surfaktan. Terjadi penekanan makrofag alveolar

yang menyebabkan munculnya respon inflamatorik oleh kemotaksin. Perubahan-

perubahan inflamatorik awal yang terjadi pada saluran nafas diikuti oleh suatu

periode pembentukan eksudat difus. Edema bronchiolar dapat berkembang menjadi

6

Page 7: Trauma Inhalasi

lebih berat. Kombinasi bronchitis nekrotik, edema bronchial, dan bronchospas

memenyebabkan obstruksi jalan nafas besar dan kecil. Wheezing terjadi akibat

adanya edema bronchial dan stimulasi reseptor iritan. Permeabilitas kapiler yang

meningkat memperberat edema jalan nafas dan pulmonal [13-15].

Gambar 3 – Ukuran luka bakar sebagai persentasi total body surface area (TBSA) pada

aksis X, umur pada aksis Y, dan persen peningkatan angka mortalitas pada aksis Z .

Angka mortalitas mengalami peningkatan maksimal sekitar 60% pada pasien usia

pertengahan ketika trauma inhalasi dan trauma luka bakar muncul bersamaan saat terjadi

trauma inhalasi dan pneumonia [5]

Gagal nafas dapat terjadi 12 hingga 48 jam setelah pajanan asap, ditandai

dengan berkurangnya kompliansi paru-paru, memberatnya ketidaksesuaian perfusi

ventilasi, dan peningkatan ventilasi pada spatium yang telah mati. Trauma dapat

menyebabkan pengelupasan mukosa dan perdarahan intrapulmonal dengan obstruksi

mekanis dan flooding alveoli [16,17]. Akibat nekrosis epitel respiratorik,pasien

cenderung mengalami infeksi sekunder bakteri dan superimposed bakteri pneumonia [5]. Proses penyembuhan membutuhkan waktu beberapa bulan [18].

7

Page 8: Trauma Inhalasi

Pajanan Terhadap Karbon Monoksida dan Sianida

Karbon monoksida merupakan gas tidak berbau, tidak berrasa, dan non-iritan

yang dihasilkan oleh kombusio yang tidak sempurna. Keracunan karbon monoksida

merupakan sumber utama morbiditas awal pada pasien dengan trauma luka bakar

dengan banyak kondisi fatal yang terjadi pada lokasi kebakaran akibat adanya

mekanisme ini. Kadar karboksihemoglobin melebihi 10% pada ruang terbakar yang

tertutup. Trauma yang signifikan akibat pajanan karboksihemoglobin 10% dapat

terjadi dalam waktu singkat [3,19].

Gambar 4 - Hemoglobin dikonversi dengan cepat menjadi karboksihemoglobin

ketika terdapat pejanan terhadap karbon monoksida [3]

Afinitas karbon monoksida pada hemoglobin 200 kali lebih besar

dibandingkan pada oksigen. Karbon monoksida bekerja secara berlawanan dengan

oksigen dalam ikatan hemoglobin yang menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke

kiri dan mengubah bentuknya. Penghantaran oksigen ke jaringan terganggu karena

berkurangnya kapasitas pengangkut oksigen darah dan disosiasi yang kurang efisien

pada tingkat jaringan. Karbon monoksida secara kompetitif menghambat sistem

8

Page 9: Trauma Inhalasi

enzim oksidasi sitokrom intraseluler, terutama sitokrom P-450, menyebabkan

ketidakmampuan sistem seluler untuk memanfaatkan oksigen (Gambar 4 dan5) [20,21].

Sianida hidrogen yang terinhalasi, yang dihasilkan selama kombusio berbagai

material rumah tangga, juga menghambat sistem oksidase sitokrom dan dapat

memiliki efek sinergis dengan karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dan

asidosis serta berkurangnya konsumsi oksigen serebral [3,21].

Gambar 5 – Perubahan yang diinduksi oleh karboksihemoglobin pada disosiasi kurva

oksigen-hemoglobin. Kapasitas pengangkutan oksigen sangat berkurang ketika nilai

karboksihemoglobin mencapai 40% hingga 50%. Selain itu, pergeseran kurva disosiasi

oksigen-hemoglobin ke arah kiri membuat oksigen yang terikat ke hemoglobin untuk

dihantarkan ke jaringan menjadi berkurang [3]

Keracunan karbon monoksida mungkin sulit dideteksi. Spektrum absorben

karboksihemoglobin dan oksihemoglobin sangat mirip dan oksimeter pulsasi tidak

dapat membedakan keduanya dalam hemoglobin. Pengukuran PaO2 dari gas darah

arteri merefleksikan jumlah oksigen yang hancur dalam plasma namun tidak dapat

mengukur saturasi hemoglobin, yang merupakan faktor penentu kapasitas pengangkut

oksigen dalam darah yang. Kadar karboksihemoglobin dapat diukur secara langsung,

9

Page 10: Trauma Inhalasi

namun tes ini sangat jarang tersedia pada lokasi insiden. Akibat waktu penundaan

yang tidak dapat dihindari antara masa pajanan asap dan tes karboksihemoglobin,

kadar yang diukur pada saat pasien tiba di pusat pelayanan kesehatan tidak

menunjukkan luas intoksikasi yang sebenarnya[3,22,23].

Waktu paruh karboksihemoglobin adalah 250 menit pada pasien yang

menghirup udara ruangan.Waktu ini berkurang menjadi 40 hingga 60 –menit dengan

adanya inhalasi oksigen 100% [3,15]. Sementara oksigenasi hiperbarik akan

menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin lebih lanjut, ruang hiperbarik

merupakan lingkungan yang sulit untuk memantau pasien, memberikan resusitasi

cairan, dan melakukan perawatan awal luka bakar.Pasien yang paling membutuhkan

terapi oksigen hiperbarik seringnya adalah yang paling sulit untuk ditangani dalam

lingkungan ini [24].

Diagnosis Trauma Inhalasi

Bagi para dokter, diagnosis trauma inhalasi sedikit banyak bersifat subjektif

yang umumnya didasarkan pada riwayat terpajan asap dalam ruangan tertutup.

Temuan-temuan fisik berupa trauma fasialis, rambut hidung yang terbakar, jelaga

pada jalan nafas bagian proksimal, produksi sputum karbonaseus, dan perubahan

suara yang ditemukan dapat membantu penegakan diagnosis[2,3,9,22]. Temuan-temuan

ini dapat dikonfirmasi dengan penunjang diagnostik seperti fiberoptic bronchoscopy,

biasanya dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit [25].

Riwayat, termasuk mekanisme pajanan seperti api, listrik, trauma ledakan, cairan

yang menguap atau panas, kualitas iritan yang terinhalasi (api rumah atau toksin

industri),dan durasi pajanan dengan berbagai komplikasi yang lebih jauh disebabkan

oleh hilangnya kesadaran atau disabilitas fisik. Pemeriksaan fisik dapat berupa

gambaran klinis, seperti trauma yang tampak pada traktus respiratorius, edema

saluran nafas, atau bukti terjadinya kerusakan dan disfungsi parenkim paru.

Kriteria diagnostik trauma inhalasi dipersulit dengan gambaran klinis yang

heterogen dan berbeda antara pajanan terhadap iritan yang terinhalasi dan trauma

10

Page 11: Trauma Inhalasi

berdasarkan pajanan gas yang panas [9,26]. Gagal nafas yang progresif kemungkinan

tidak bersifat proporsional secara langsung dalam derajat pajanan asap. Perbedaan-

perbedaan seperti itu kemungkinan disebabkan oleh komposisi material yang

diinhalasi dan perbedaan respon tubuh pasien.

Berbagai pusat perawatan luka bakar bahwa pasien-pasien dengan trauma

inhalasi dan luka bakar membutuhkan cairan dengan volume yang lebih banyak

selama masa resusitasi segera jika dibandingkan dengan pasien luka bakar tanpa

trauma inhalasi [4,9,27]. Perubahan-perubahan pada kompliansi paru-paru dan resistensi

saluran nafas juga telah diusulkan sebagai prediktor outcome dan skala keparahan

trauma inhalasi. Sistem skor, berdasarkan evaluasi bronkoskopi, telah digunakan

dalam trauma inhalasi. Berbagai usaha untuk mengidentifikasi hubungan antara data

ini dengan terjadinya ARDS juga telah dilakukan. Endorf dan Gamelli, baru-baru ini,

memeriksa derajat trauma inhalasi, rasio PaO2/FiO2, dan efek-efeknya pada

kebutuhan cairan selama masa resusitasi awal. Tabel 1 menunjukkan kriteria

bronkoskopi tipikal dalam gradingtrauma inhalasi [25].

Para peneliti ini meninjau 80 pasien dari suatu pusat kesehatan dengan trauma

inhalasi yang membutuhkan intubasi, ventilasi mekanik, dan fiberoptic bronchoscopy

selama 24 jam pertama perawatan di rumah sakit. Data detail mengenai trauma luka

bakar dikumpulkan dan pasien dikategorisasikan berdasarkan sistem grading

bronkoskopik. Mekanika pulmonal dan pertukaran gas diperiksa pada interval

reguler, termasuk kompliansi paru dan rasio PaO2/FiO2. Volume cairan total yang

diberikan dicatat pada 48 jam pertama setelah trauma luka bakar [25].

11

Page 12: Trauma Inhalasi

Tabel 1 – Kriteria bronkoskopik yang digunakan dalam sistem grading trauma

inhalasi

Pasien dengan trauma bronkoskopik yang lebih berat pada pemeriksaan

bronkoskopi awal (Grade 2, 3, 4) memiliki angka kehidupan yang jauh lebih rendah

dibandingkan pasien bronkoskopik Grade 0 atau 1 (p = 0.03). Berlawanan dengan

laporan dari peneliti lain, peneliti ini mencatat bahwa temuan bronkoskopik grade

tinggi tidak berhubungan dengan peningkatan kebutuhan cairan. Kompliansi paru-

paru awal juga tidak berhubungan dengan kebutuhan cairan fase akut. Khususnya,

pasien-pasien dengan rasio PaO2/FiO2 <350 secara statistik membutuhkan resusitasi

cairan yang jauh lebih banyak dibandingkan pasien dengan rasio PaO2/FiO2 >350 (p

=0.03) (Tabel 2 dan 3).

Sebagian besar penulis sepakat bahwa konsensus mengenai diagnosis trauma inhalasi

akan didasarkan pada modalitas pemeriksaan yang tersedia secara luas dan tidak

membutuhkan kemampuan spesialis tingkat tinggi. Istilah yang konsisten mengenai

deskripsi trauma dan efek- efek fisiologisnya juga dibutuhkan bersama dengan

deskripsi komposisi dan disposisi iritan terinhalasi yang terpercaya, disertai grading

intensitas pajanan [28].

12

Page 13: Trauma Inhalasi

Tabel 2 – Perbandingan grade bronkoskopik trauma inhalasi

Modalitas terbaik yang saat ini tersedia untuk mendiagnosis trauma inhalasi adalah

gambaran klinis dan temuan pada pemeriksaan bronkoskopik. Kesulitan muncul

dengan adanya usaha-usaha untuk memprediksikan pasien mana yang rentan terhadap

komplikasi resusitasi, disfungsi paru yang memberat, gagal nafas, dan kematian.

Usaha-usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor prognostik bagi pasien dengan

inhalasi asap telah dilakukan. Sulit untuk mengidentifikasi indikator-indikator yang

terpercaya dalam menilai gagal nafas progresif pada pasien yang menginhalasi asap.

Lebih jauh lagi, trauma di bagian proksimal yang diobservasi dengan bronkoskopi

seringnya lebih banyak dibandingkan trauma parenkim paru perifer. Beberapa tim

investigasi menunjukkan kurangnya korelasi antara keparahan temuan bronkoskopik,

kebutuhan resusitasi cairan,terjadinya ARDS, danoutcome klinis lainnya [25,28-31].

Modalitas diagnostik lain, seperti scan 99-technetium dan scan xenon dapat

mengonfirmasi trauma inhalasi, namun karena beberapa alasan logistik, modalitas-

modalitas ini tidak umum digunakan dalam evaluasi awal inhalasi asap [32].

13

Page 14: Trauma Inhalasi

Tabel 3 – Perbandingan berdasarkan rasio P:F

Strategi Terapi

Bronkoskopi

Pada berbagai pusat pelayanan kesehatan, bronkoskopi memiliki peran yang terbatas

dalam mengambil cairan bilas lambung untuk keperluan kultur dan menilai derajat

trauma saluran nafas yang dapat digunakan untuk memprediksi outcome [33]. Trauma

inhalasi berat merupakan bagian proses mekanik yang ditandai dengan edema

pulmonal, edema bronkial, dan sekresi, dapat mengoklusi saluran nafas yang

menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Penggunaan bronkoskopi agresif sangat

efektif dalam membersihkan benda asing dan sekret yang terakumulasi yang

memperberat respon inflamatorik dan dapat mengganggu ventilasi [34,35]. Sementara

kemampuan bronkoskopi dalam meningkatkan kebersihan paru-paru dan outcome

dengan membersihkan sekret serta kelupas epitelial sepertinya bersifat intuitif pada

pasien luka bakar, baru-baru ini pertanyaan ini ditujukan oleh suatu tinjauan

NationalBurn Repository of the American Burn Association [33].

Carr dan rekan-rekannya mempelajari repositori luka bakar nasional /

National Burn Repository sejak tahun 1998 hingga 2007 untuk menentukan

perbedaan outcome pada pasien luka bakar dengan trauma inhalasi dan

pneumoniayang menjalani dan tidak menjalani bronkoskopi [33]. Pasien-pasien dengan

luas luka bakar 30-59% dari TBSA dan pneumonia yang menjalani bronkoskopi

memiliki durasi ventilasi mekanik yang lebih singkat dibandingkan pada pasien-

pasien yang tidak menjalani bronkoskopi. Pasien-pasien dengan trauma yang lebih

luas dan pneumonia tidak mengalami perbaikan outcome dengan bronkoskopi. Ketika

14

Page 15: Trauma Inhalasi

pasien-pasien yang menjalani bronkoskopi minimal sebanyak satu kali dibandingkan

dengan pasien-pasien yang tidak pernah menjalani bronkoskopi, pasien-pasien yang

menjalani pemeriksaan ini memiliki durasi perawatan intensif dan perawatan inap di

rumah sakit yang lebih singkat. Biaya perawatan rumah sakit lebih tinggi pada pasien

yang tidak menjalani bronkoskopi dibandingkan pada pasien yang menjalani prosedur

ini. Ketika dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak menjalani bronkoskopi,

pasien-pasien yang menjalani bronkoskopi sebanyak satu kali atau lebih memiliki

risiko kematian 18% lebih rendah. Namun demikian, ketika terdapat kecenderungan

yang besar, berkurangnya angka mortalitas yang berhubungan dengan pemeriksaan

bronkoskopi dan biaya rumah sakit yang lebih rendah mewakili tren yang tidak

mencapai signifikansi statistikal yang menderita luka bakar dengan total luas

permukaan tubuh 30-59% dan pneumonia yang menjalani bronkhoskopi mengalami

penurunan durasi ventilasi mekanik jika dibandingkan dengan pasien yang tidak

menjalani bronkhoskopi. Pasien dengan luka yang lebih besar dan pneumonia tidak

mengalami perbaikan prognosis dengan bronkoskopi. Jika pasien yang menjalani

setidaknya 1 kali prosedur bronkhoskopi dibandingkan dengan pasien yang tidak

menjalani bronkhoskopi, maka pasien yang menjalani tes tersebut memiliki lama

rawat di ICU dan rumah sakit yang lebih pendek. Biaya rumah sakit lebih tinggi pada

pasien yang tidak menjalani prosedur bronkhoskopi jika dibandingkan dengan yang

menjalani prosedur tersebut. Ketika dibandingkan pasien yang tidak menjalani

bronkhoskopi, pasien yang menjalani 1 atau lebih prosedur bronkhoskopi memiliki

penurunan resiko kematian sebesar 18%. Namun, walaupun ada kecenderungan

positif, keuntungan mortalitas yang dihubungkan dengan bronkhoskopi dan

penurunan biaya rumah sakit merupakan tren yang tidak akan mencapai signifikansi

statistik.

Keracunan Karbon Monoksida

Morbiditas dan mortalitas yang dihubungkan dengan keracunan karbon

monoksida terjadi karena keadaan hipoksik akibat gangguan transport oksigen pada

15

Page 16: Trauma Inhalasi

tingkat selular dan mengganggu transport elektron dalam sel. Mekanisme potesial

lainnya misalnya berikatan dengan myoglobin atau sitokrom hepatik dan perioksidasi

lipid serebral. Keparahan trauma tersebut bergantung pada konsentrasi karbon

monoksida, durasi paparan, dan status kesehatan dasar individu yang terpapar

tersebut.

Morbiditas jangka pendek dan jangka panjang akibat keracunan karbon

monoksida termasuk gangguan neurologis dan vaskular. Sekuele neurologis dibagi

menjadi 2 sindrom : 1) sekuel neurologis persisten dan 2) sekuel neurologis lambat.

Sekuel neurologis persisten merupakan defisit neurologis yang terjadi setelah paparan

karbon monoksida yang dapat membaik seiring waktu. Sekuel neurologis lambat

merupakan relapsnya tanda dan gejala neurologis setelah periode perbaikan.Akan

sulit untuk membedakan kedua keadaan tersebut. Gejala keracunan karbon

monoksida kronik dapat berupa kelelahan, kondisi afektif, gangguan emosi, defisit

memori, kesulitan bekerja, gangguan tidur, vertigo, neuropati, paresthesia, infeksi

rekuren, polisitemia, nyeri abdomen, dan diare.

Sekuel neuropsikologis umum terjadi setelah keracunan karbon monoksida.

Pada beberapa penelitian, 40% pasien yang diterapi dengan oksigen normobarik

mengalami sekuele kognitif ketika dievaluasi 6 minggu setelah paparan terhadap

karbon monoksida, dan jumlah yang sama mengalami sekuel afektif. Akibat potensial

lainnya termasuk gangguan gaya berjalan dan motorik, neuropati perifer, kehilangan

pendengaran dan abnormalitas vestibular, demensia, serta psikosis. Perubahan

tersebut dapat bersifat permanen.

Penatalaksanaan langsung keracunan karbon monoksida adalah pemberian

oksigen monobarik melalui facemask reservoir nonrebreather yang disuplai dengan

oksigen 100% aliran tinggi sebagai jalan nafas artifisial. Pemberian oksigen

normobarik mempercepat eliminasi karbon monoksida, tetapi 1 penelitian tidak

menunjukkan adanya penurunan sekuel kognitif setelah inhalasi oksigen normobarik

jika dibandingkan dengan tanpa suplementasi oksigen. Oksigen normobarik aman,

bisa didapatkan kapan saja dan tidak mahal, namun harus diberikan hingga kadar

16

Page 17: Trauma Inhalasi

karboksihemoglobin kurang dari 5%. Bantuan awal pada pasien yang terpapar harus

ditekankan pada ventilasi dan perfusi yang adekuat, pemeriksaan neurologis, riwayat

paparan dan pengukuran gas darah arteri dengan co-oximetry untuk menilai

pertukaran gas, status metabolik, dan kadar karboksihemoglobin. Kadar

karboksihemoglobin yang lebih dari 3% pada pasien bukan perokok atau lebih dari

10% pada pasien perokok membuktikan adanya paparan terhadap karbon monoksida.

Kadar karbon monoksida tidak berhubungan dengan ada atau tidak adanya gejala

awal atau dengan prognosisnya nanti.

Paparan terhadap karbon monoksida dapat memperberat angina dan

menyebabkan kerusakan pada jantung bahkan pada orang dengan keadaan arteri

koroner yang normal. Oleh karena itu, pasien yang terpapar juga memerlukan

pemeriksaan cardiovaskular seperti EKG dan pengukuran enzim jantung. Jika

terbukti ada kerusakan jantung, harus dipertimbangkan konsultasi ke ahli penyakit

jantung.

Penggunaan oksigen hiperbarik telah dipertimbangkan untuk menangani

paparan karbon monoksida dengan hipotesis bahwa pertukaran karbon monoksida

yang cepat dari hemoglobin pada oksigen 100% dengan menggunakan tekanan

hiperbarik akan mengurangi durasi keadaan hipoksik selular. Penggunaan oksigen

hiperbarik memungkinkan pergantian karbon monoksida yang lebih cepat. Indikasi

absolut dan prognosis oksigen hiperbarik masih kontroversial karena kurangnya

hubungan antara alat diagnostik yang tersedia, kadar karboksihemoglobin, dan derajat

keparahan keadaan klinis serta prognosis awal setelah terapi. Selain itu, tidak ada

standar mengenai durasi atau intensitas terapi oksigen hiperbarik. Oksigen hiperbarik

memiliki potensi komplikasi berupa barotrauma, gangguan membran timpani, kejang,

dan emboli udara.

Diantara penelitian klinis mengenai terapi oksigen hiperbarik yang telah

dipublikasi, beberapa telah memenuhi standar pelaporan pedoman penelitian

termasuk double-blidning, memasukkan semua pasien yang telah memenuhi syarat,

adanya definisi prognosis dan tingkat follow-up yang tinggi. Sebuah penelitian

17

Page 18: Trauma Inhalasi

prospektif dari pusat kesehatan tunggal menunjukkan bahwa insidens sekuele kognitif

lebih rendah pada pasien yang menjalani 3 kali sesi oksigen hiperbarik (sesi awal 150

menit, diikuti dengan 2 sesi selama 120 menit, terpisah dengan interval 6-12 jam)

dalam waktu 24 jam setelah keracunan karbon monoksida akut jika dibandingkan

dengan pasien yang diterapi dengan oksigen normobarik (25% berbanding 46%, p =

0.007 dan p 0.03 setelah penyesuaian disfungsi serebral dan stratifikasi). Penggunaan

oksigen hiperbarik pada penelitian ini mengurangi tingkat sekuele kognitif setelah 12

bulan (18% berbanding 33% dengan oksigen normobarik; p = 0.04). Namun,

penelitian ini tidak mengidentifikasi secara jelas di kelompok pasien mana oksigen

hiperbarik tersebut lebih atau kurang menguntungkan.

Sebuah review Cochrane terhadap 6 penelitian, termasuk 2 penelitian dalam

bentuk abstrak tidak mendukung penggunaan oksigen hiperbarik bagi pasien yang

menderita keracunan karbon monoksida. Review terbaru dari Cochrane juga gagal

menunjukkan keuntungan terapi hiperbarik. Namun, ada sejumlah kekurangan dari

penelitian yang direview. Penggunaan terapi oksigen hiperbarik pada pasien

keracunan karbon monoksida masih diarahkan berdasarkan standar komunitas,

bukannya konsensus ilmiah.

Pasien yang menderita keracunan karbon monoksida harus di follow-up

setelah keluar dari rumah sakit. Keparahan dan tingkat penyembuhan bervariasi dan

penyembuhan mengalami dipersulit oleh sekuele yang dapat bertahan setelah paparan

atau terjadi dalam waktu beberapa minggu setelah keracunan, yang dapat bersifat

permanen.Belum tersedia terapi spesifik untuk sekuele setelah paparan karbon

monoksida. Gejala-gejala pada pasien yang mengalami sekuele harus ditangani

dengan cara rehabilitasi kognitif, psikiatri, vocational, bicara, okupasional, dan fisik.

Data intervensi tersebut pada pasien penderita sekuele karbon monoksida masih

kurang.

Ada sebuah penelitian penting yang menilai prognosis jangka panjang pasien

yang menderita keracunan karbon monoksida akut. Diperiksa lebih dari 1000 pasien

yang diterapi dalam waktu 30 tahun.Pasien yang diteliti diterapi dengan oksigen

18

Page 19: Trauma Inhalasi

hiperbarik dan berhasil selamat dari episode keracunan akut. Mortalitas jangka

panjangnya dibandingkan dengan populasi standar.Pasien yang selamat dari

keracunan karbon monoksida akut memiliki peningkatan mortalitas jika dibandingkan

dengan populasi umum. Peningkatan mortalitas tersebut paling tinggi pada kelompok

yang awalnya diterapi karena keracunan karbon monoksida yang disengaja.Untuk

keseluruhan kelompok tersebut, penyebab utama kematian adalah kelainan mental

dan psikiatri, trauma, dan kekerasan. Penyebab kematian lainnya yang spesifik

misalnya alkoholisme, kecelakaan kendaraan bermotor dengan pejalan kaki,

kecelakaan kendaraan bermotor yang tidak dispesifikkan, keracunan yang tidak

disengaja, serta upaya membahayakan diri sendiri yang disengaja. Konsisten dengan

data yang disebutkan diatas, tidak didapatkan adanya perbedaan survival yang

diketahui melalui pengukuran keparahan keracunan karbon monoksida setelah

melakukan kontrol usia, jenis kelamin, ras, dan penyebab keracunan karbon

monoksida.

Keracunan Sianida

Sianida dihasilkan oleh pembakaran bahan-bahan rumah tangga alami atau

sintesis seperti polimer sintetik, polyacrylonitrile, kertas, poliurethane, melamin,

woll, rambut kuda, dan sutera. Sejumlah kecil sianida dapat dideteksi pada asap

akibat kebakaran dan dalam darah perokok serta korban kebakaran. Menelan produk

sianida akan mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik yang juga didapatkan pada

pasien luka bakar selama resusitasi. Sianida merupakan metabolit normal manusia

yang dapat didetoksifikasi oleh tubuh.Sianida dapat dihasilkan secara in vitro oleh

darah normal manusia dan secara in situ pada organ tertentu setelah kematian. Hal

yang menarik perhatian pada sianida sebagai sebuah toksin yang berhubungan dengan

trauma inhalasi berasal dari ketersediaan antidote sianida.

Barillo baru saja mereview bukti yang berhubungan tes pasien inhalasi asap

sianida. Sayangnya, simple and rapid blood assay untuk menilai sianida masih

kurang dan memiliki keterbatasan penggunaan karena sianida merupakan zat toksin

19

Page 20: Trauma Inhalasi

intraselular.Seperti yang telah dijelaskan diatas, sianida adalah metabolit normal pada

manusia dan dapat dihasilkan serta didegradasi di sampel darah in vitro. Eritrosit

mengubah thiocyanate menjadi sianida secara in vitro dan karena sianida dalam aliran

darah umumnya berikatan ke eritrosit, maka autolisis sel darah merah dapat

meningkatkan kadar sianida dalam darah. Pada orang normal, kadar sianida dalam

darah bervariasi dari 0.3 mg/L pada orang yang tidak merokok hingga 0.5 mg/L pada

perokok. Pemadam kebakaran, walaupun mengalami paparan asap kronik, memiliki

kadar sianida dalam darah yang relatif normal. Sianida meningkat pada korban

kebakaran dan korban selamat. Telah didapatkan adanya orang selamat dengan kadar

sianida dalam darah sebesar 7-9 mg/L setelah menelan atau inhalasi sianida.

Rekomendasi terapi keracunan sianida pada korban kebakaran diambil dari

pengalaman industri yang terbatas atau dari korban bunuh diri dan pembunuhan.

Keracunan sianida yang sangat berat jarang terjadi dan sangat sedikit data yang

tersedia pada manusia.

Alat antidot sianida yang populer menggunakan serangkaian reaksi oksidasi

hemoglobin menjadi methemoglobin yang akan mengikat sianida kemudian

membentuk cyanomethemoglobin. Setelah cyanomethemoglobin terurai, sianida

bebas dikonversi menjadi thiocyanate oleh enzim mitokondria hepar dengan

menggunakan sulfat koloid atau thiosulfat. Thiocyanate kemudian diekskresikan

kedalam urin. Walaupun alat antidot sianida tersebut populer, hanya sedikit

efektifitasnya yang didokumentasikan. Yang harus diperhatikan, dibutuhkan kadar

methemoglobin sebanyak 20-30% agar dapat mengikat sianida secara optimal. Selain

itu, antidot tersebut dikontraindikasikan pada pasien dengan keracunan karbon

moniksida yang terjadi saat ini merupakan konversi dari carboxyhemoglobin menjadi

methemoglobin yang dapat memperberat hipoksia. Strategi penatalaksanaan lainnya

adalah dengan menggunakan natrium tiosulfat sebagai zat untuk mengkonversi

sianida menjadi thiocyanate dan dilaporkan sebagai sebuah antidot yang efektif jika

digunakan dengan atau tanpa nitrat. Penelitian prospektif yang menggunakan strategi

penatalaksanaan tersebut berbeda dari penelitian kasus. Pemberian dalam dosis yang

20

Page 21: Trauma Inhalasi

direkomendasikan tidak memiliki efek samping berat, walaupun telah dilaporkan

terjadinya mual, dan muntah-muntah.

Data dari Eropa menunjukkan bahwa terapi keracunan sianida dengan obat-

obatan chelating seperti edetat dikobalt atau hidroksikobalamin. Edetat dicobalt

dihubungkan dengan anafilaksis, dan dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi,

perubahan ritme, atau keracunan kobalt. Saat ini, edetat dicobalt tidak tersedia di

Amerika Serikat. Edetat dicobalt tersebut telah digunakan di Inggris.

Hidroksikobalamin merupakan antidot sianida yang efektif pada dosis 100 mg/kg.

Sayangnya, di Amerika Serikat, hidroksikobalamin hanya tersedia dalam konsentrasi

1 mg/mL yang membatasi kegunaanya karena dibutuhkan sekitar 10 L agar dapat

menetralisasi keracunan sianida yang mematikan. Pendekatan Eropa untuk keracunan

sianida lebih agresif jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Di Eropa, kadar

sianida dalam darah 1 mg/L dianggap signifikan atau fatal. Di Prancis,

hidroksikobalamin dan edetat dikobalt digunakan secara bersama-sama untuk

menangani paparan sianida.

Baru-baru ini antidot sianida direview oleh Hall dkk. Penelitian terpisah yang

dilakukan oleh dokter di Amerika Serikat dan Prancis masih terus memeriksa

sejumlah obat-obatan yang tersedia untuk penatalaksanaan keadaan tersebut. Tersedia

sejumlah obat-obatan dengan mekanisme kerja yang berbeda. Kebanyakan penelitian

klinis yang berasal dari para pemadam kebakaran di Paris menekankan pada

penggunaan hidroksikobalamin pada korban inlahasi dengan resiko tinggi paparan

terhadap asap. Beberapa antidot yang tersedia untuk sianida memiliki sifat

tolerabiltias dan keamanan yang bervariasi. Misalnya, edetat dikobalt digunakan

secara terbatas karena masalah toksisitas. Antidiot sianida lainnya yang digunakan di

Jerman adalah 4-dimethylaminophenol. Seperti natrium nitrat dan amyl nitrat, 4-

dimethylaminophenol dianggap dapat menetralisasi sianida dengan menginduksi

methemoglobin. Sayangnya, konsentrasi dan toksisitas methemoglobin signifikan

dengan obat tersebut. Penggunaan edetat dikobalt terbatas karena toksisitas kobalt.

Dari obat-obatan yang diteliti, hidroksikobalamin memiliki sifat toksisitas terendah

21

Page 22: Trauma Inhalasi

walaupun adanya reaksi alergi. Karena sifat efek samping yang menguntungkan

tersebut, hidroksikobalamin telah digunakan pada penelitian kecil di prehospital dan

sebagai terapi empirik untuk paparan asap. Hidroksikobalamin memiliki onset kerja

yang cepat dan menetralisasi sianida tanpa mengganggu penggunaan oksigen selular.

Saat ini, beberapa penelitian menyarankan bahwa jika diperlukan, hidroksikobalamin

merupakan antidot pilihan pertama untuk keracunan sianida.

Terapi dengan hidroksikobalamin telah digunakan untuk mencegah keracunan

sianida pada pasien yang mendapatkan nitro-pruside intravena dan untuk menangani

ambliopia toksik serta neuritis optik yang diakibatkan oleh sianida pada pasien

perokok. Pada penggunaan tersebut, hidroksikobalamin umumnya ditoleransi dengan

baik, namun dapat dihububungkan dengan efek samping seperti sakit kepala, reaksi

alergi, perubahan warna kulit dan urin, hipertensi, atau refleks bradikardi.Juga telah

disarankan terapi oksigen hiperbarik untuk keracunan sianida. Hanya ada sedikit data

objektif yang mendukung aplikasi tersebut. Dari sudut pandang pengalaman terbaru

mengenai penggunaan oksigen hiperbarik pada keracunan karbon monoksida, maka

peranan modalitas tersebut untuk paparan sianida masih dipertanyakan.

Singkatnya, kebutuhan antidot spesifik untuk keracunan sianida masih belum

jelas. Terapi pendukung agresif diarahkan untuk mengembalikan fungsi

kardiovaskular dengan menggunaan suplementasi oksigen yang mempercepat

clearance sianida di hepar tanpa antidot spesifik dan harus menjadi terapi lini

pertama. Bahkan pada keracunan sianida berat (kadar dalam darah 5-9 mg/L), setelah

menelan sianida atau inhalasi asap, telah didapatkan survival dengan terapi

pendukung agresif tanpa antidot sianida. Masalah klinis lainnya adalah kurangnya

rapid cyanide assay untuk mendokumentasikan keracunan sebelum dipertimbangkan

pemberian antibiotik. Jika tersedia cyanide assay yang akurat dan cepat, maka

kemudian dapat didesain penelitian prospektif untuk menilai efektifitas beberapa

pilihan terapi.

22

Page 23: Trauma Inhalasi

Ventilasi Mekanis

Tidak ada strategi bantuan respirasi ideal bagi pasien penderita trauma

inhalasi. Konsensus rekomendasi mengenai ventilasi mekanis masih menjadi

pedoman utama yang digunakan. Strategi ventilasi harus mendukung oksigen dan

ventilasi bantuan serta didasarkan pada pengalaman tim yang menangani pasien.

Penting untuk membatasi tekanan, diterimanya permissive hypercapnia, dan strategi

untuk menangani sekresi. Sejumlah besar pasien yang mengalami trauma inhalasi

akan menderita pneumonia yang berhubungan dengan ventilasi mekanis. Strategi

pencegahan rutin termasuk elevasi kepala diatas ranjang, sering mengubah posisi, dan

perawatan kesehatan mulut. Profilaksis antibiotik tidak memiliki keuntungan dan

dapat meningkatkan tingkat infeksi. Extracorporeal membrane oxygenation

merupakan terapi yang paling dramatis dan jelas saat ini belum dapat diaplikasikan

sebagai terapi standar. Strategi sederhana seperti posisi pronasi untuk pasien hipoksia

lebih praktis.

Telah direkomendasikan sejumlah mode ventilasi untuk penggunaan spesifik

bagi pasien yang mengalami luka bakar. High Frequency Oscillatory Ventilation

(HFOV) mendukung paru-paru pada tekanan udara rata-rata diatas dari tekanan yang

digunakan pada ventilasi konvensional. Oscillations dapat menyebabkan perubahan

tekanan yang signifikan pada ETT sedangkan fluktuasi tekanan terjadi pada tingkat

alveolar.Penelitian kecil menunjukkan adanya perbaikan oksigenasi dengan

penggunaan HFOV jika dibandingkan dengan strategi ventilasi konvensional.2

penelitian besar terbaru tidak mendukung penggunaan HFOV secara luas.Airway

Pressure Release Ventilation (APRV) menggunakan tekanan udara positif kontinyu

yang diaplikasikan pada tingkat yang tinggi dengan pelepasan tekanan intermitten.

Pernafasan spontan selama APVR hampir menyerupai distribusi gas selama

pernafasan normal jika dibandingkan dengan pernafasan yang dikontrol secara

mekanis yang memberikan distribusi gas yang kurang fisiologis.APVR telah

digunakan pada berbagai pasien sakit kritis. Masih ada sejumlah permasalahan

fisiologis yang harus ditangani sebelum direkomendasikannya penggunaan APVR

23

Page 24: Trauma Inhalasi

secara luas. Misalnya, APVR dihubungkan dengan peningkatan tekanan jalan nafas

rata-rata yang signifikan sehingga memungkinkan terjadinya kolaps paru antar

episode tekanan positif kontinyu. Pada pasien yang sakit kritis, tidak dapat digunakan

pernafasan spontan melalui sirkuit ventilasi terbuka. Terakhir, tekanan transmural

pulmonal pada APVR tidak terkontrol dan dapat meningkat secara signifikan.

Nampaknya APVR dapat digunakan secara efektif oleh dokter yang familiar dan

berpengalaman terhadap penggunaanya yang rasional. Namun, belum ditunjukkan

adanya keuntungan APVR dibandingkan dengan ventilasi konvensional dan belum

dibuktikan peranan utamanya untuk penatalaksanaan pada pasien dengan kegagalan

respirasi.

Ventilasi Noninvasif

Banyak penelitian yang melaporkan keuntungan ventilasi noninvasif karena

terhindarinya intubasi endotrakheal dan komplikasi terkaitnya. Tanpa ETT, pasien

dapat berkomunikasi dengan lebih efektif, membutuhkan lebih sedikit sedasi dan

lebih nyaman. Selain itu, pasien dapat melanjutkan pengobatan oral standar. Juga

terhindari terjadinya trauma akibat insersi ETT dan sinusitis serta gangguan menelan

setelah ekstubasi. Keuntungan ventilasi noninvasif yang paling sering didiskusikan

pada literatur adalah penurunan insidens, biaya, dan mortalitas akibat pneumonia.

Komponen utama kesuksesan ventilasi noninvasif adalah seleksi kesadaran,

kooperatif, spontanitas pernafasan pasien. Individu harus dapat melindungi jalan

nafas mereka sendiri. Ketidakstabilan hemodinamik atau EKG atau jalan nafas yang

tidak stabil dapat mengganggu penggunaan ventilasi noninvasif. Pasien tidak sadar

dengan trauma fasial yang signifikan tidak dapat menjadi kandidat ventilasi

noninvasif. Kontraindikasi lebih lanjut termasuk batuk berlebih dan kebutuhan

pembersihan sekret yang signifikan. Pengeluaran sekret yang tinggi dan trauma fasial

sering terjadi bersamaan dengan trauma inhalasi. Kontraindikasi relatif termasuk

ketidakmampuan untuk memasang dan menutup mask yang terjadi sekunder karena

trauma atau deformitas fasial termasuk rambut wajah. Pasien yang tidak kooperatif

24

Page 25: Trauma Inhalasi

atau pasien yang tidak dapat menjaga masker tetap pada tempatnya, tidak batuk

ketika diminta atau tidak dapat melepaskan masker pada kasus muntah bukan

merupakan kandidat yang baik untuk mendapatkan ventilasi noninvasif. Jika tekanan

yang digunakan untuk ventilasi pasien dijaga dibawah 30 mmHg, maka tekanan

penutupan spinchter esofagus bawah tidak akan terlampaui dan aerofagia relatif

jarang ditemukan. Terakhir, obesitas merupakan kontraindikasi relatif karena

meningkatnya kebutuhan tekanan ventilasi yang berasal dari kebiasaan tubuh dan

berat dinding dada atau viscera abdomen pada saat pasien di atas tempat tidur.

Waktu yang optimal untuk mempertimbangkan penggunaan ventilasi

noninvasif pada pasien luka bakar masih tidak jelas. Berdasarkan sejarah, kelompok

pasien lainnya telah diterapi dengan ventilasi invasif jika didapatkan tanda-tanda

hipoxemia atau hipercarbia. Tidak seperti kelompok pasien lainnya dimana gangguan

respirasi umumnya bersifat progresif, kesulitan yang dihadapi pada pasien luka bakar

akan sangat berat pada beberapa jam pertama setelah trauma pada saat volume

resusitasi cairan tinggi. Selama jam-jam awal tersebut, resiko edema pada jaringan

yang terbakar dan tidak sangat signifikan. Ventilasi noninvasif dapat

dipertimbangkan sebagai strategi profilaksis selama resusitasi pada pasien resiko

tinggi bahkan sebelum munculnya tanda-tanda insufisiensi respirasi yang jelas.

Komplikasi ventilasi noninvasif yang paling berat adalah kegagalan rekognisi

ketika terapi tersebut tidak dapat memberikan ventilasi, bantuan oksigenasi atau jalan

nafas yang adekuat. Keterlambatan intubasi dapat menyebabkan makin menurunnya

keadaan pasien. Jangan pernah kehilangan pasien (pasien meninggal) karena

kegagalan intubasi.

Ventilasi

Pasien dengan berbagai jenis trauma paru sekarang diterapi dengan strategi

ventilasi termasuk membatasi lama ventilasi melalui penggunaan volume tidal yang

rendah sehingga menyebabkan kecenderungan ke arah hiperkapnia. Walaupun

hiperkapnia pada keadaan trauma paru akut dapat ditangani dengan berbagai cara, ada

25

Page 26: Trauma Inhalasi

pertambahan bukti bahwa acceptance merupakan alternatif yang lebih baik

dibandingkan dengan pengejaran tekanan karbon dioksida normal secara agresif.

Tekanan jalan nafas serendah 30 cmH2O dihubungkan dengan trauma paru

pada hewan coba. Tekanan tersebut sama dengan tekanan inflasi statis normal untuk

kapasitas paru total pada manusia. Oleh karena itu, menjaga agar tekanan puncak <

30 cmH2O merupakan pendekatan yang dapat diterima untuk menjaga area paru

teraerasi dibawah dari volume maksimal normal. Observasi tersebut penting karena

volume tidal vetilasi yang tinggi tidak sensitif terhadap hilangnya volume paru total

yang tersedia untuk pertukaran gas karena adanya efek trauma inhalasi. Gattinoni dkk

menyatakan bahwa setidaknya 20% paru-paru dapat teraerasi pada pasien yang

menderita kegagalan nafas berat. Oleh karena itu, volume tidal klinis dan tekanan

jalan nafas yang normal dapat berbahaya.

Saat ini, masih kurang data untuk menyatakan bahwa hiperkapnia harus

diinduksi secara independen diluar dari konteks strategi ventilasi protektif. Strategi

ventilasi yang melibatkan hiperkapnia dapat diterima pada keadaan hemodinamik

klinis. Telah ditunjukkan bahwa asidosis hiperkapnia meningkatkan output jantung

pada pasien ARDS. Data dari tes apneu dan pasien mati otak menunjukkan adanya

toleransi pH hingga 7.2 dan PCO2> 75 tanpa adanya konsekuensi hemodinamik. Pada

derajat hiperkapnia dan asidosis yang lebih berat, ketidakstabilan hemodinamik dapat

menjadi faktor penghambat.

Oksigenasi

Pemberian tekanan jalan nafas positif ditujukan untuk mengganti atau

mendukung fungsi otot-otot respirasi dan memperbaiki hipoksemia akibat

hipoventilasi alveoli. Reversi hipoksemia yang disebabkan oleh shunt intrapulmonal

membutuhkan intervensi yang membuka unit paru-paru untuk menerima pertukaran

gas. Pada pasien penderita edema paru, atelektasis atau trauma lainnya, Positive End-

Expiratory Pressure (PEEP) dapat meningkatkan oksigenasi arteri dengan jalan

meningkatkan kapasitas residu fungsional, mengurangi venous add mixture,

26

Page 27: Trauma Inhalasi

mengubah volume tidal ke arah kurva volume tekanan yang lebih kompliant, dan

mencegah hilangnya komplians paru selama ventilasi mekanis. Kerja pernafasan juga

dapat menurun.

PEEP juga memiliki kegunaan selain menjaga patensi jalan nafas. Pada pasien

yang menderita penyakit respirasi obstruktif, paru-paru mungkin mengalami

kegagalan untuk berdeflasi ke kapasitas residu fungsional pada saat akhir ekspirasi.

Tekanan alveoli tetap positif pada pasien tersebut hingga ke derajat yang bergantung

pada volume udara yang terperangkap. Fenomena tersebut disebut sebagai “auto-

PEEP atau PEEP ekstrinsik”. Pada keadaaan adanya auto-PEEP, pemberian PEEP

eksternal berguna selama pernafasan spontan karena kerja respirasi berkurang dan

selama ventilasi mode patient-triggered dimana diberikan dukungan inisiasi

pernafasan. Pemberian PEEP eksternal yang optimal pada keadaan adanya auto-

PEEP mengurangi kerja otot inspirasi dan memperbaiki interaksi ventilator pasien.

PEEP juga memiliki efek hemodinamik. Peningkatan tekanan intrathoraks

akan menyebabkan penurunan output jantung karena penurunan venous return. Pada

pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk, pemberian PEEP berfungsi untuk

mengurangi afterload dan memperbaiki performa ventrikel kiri. Beberapa penelitian

juga menunjukkan bahwa menjaga patensi jalan nafas dengan PEEP dapat membantu

pembersihan sekret.

Pendekatan fisiologis umum terhadap hipoksemia pada keadaan tidak adanya

faktor penyerta adalah meningkatkan tekanan jalan nafas rata-rata. Peningkatan PEEP

telah diteliti pada berbagai penelitian multicenter. Selain itu, penggunaan PEEP pada

pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik nampaknya dapat memperbaiki aliran

gas dan menjaga patensi jalan nafas. Pada pneumonitis kimia dan akumulasi sekresi,

yang terjadi bersamaan dengan inhalasi asap, strategi penatalaksanaan tekanan jalan

nafas dapat memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan optimalisasi

oksigenasi; aliran gas dan pergerakan sekresi juga dapat terpengaruhi.

Pada tahun 1980an, perkusi intrapulmonal dengan difusi oksigen melalui

pernafasan subtidal dan convenctive washout karbon dioksida diperkenalkan oleh Dr.

27

Page 28: Trauma Inhalasi

Forrest Bird.Teknologi tersebut saat ini dipasarkan sebagai High Frequency

Percussive Ventilation (HFPV). Sifat perkusi dari pemeriksaan pendukung tersebut

akan meningkatkan clearance sekresi. Selama 2 dekade, Cioffi dkk telah melaporkan

adanya perbaikan prognosis dengan HFPV pada pasien penderita trauma inhalasi.

Seperti yang dipasarkan saat ini, mesin HFPV akan memberikan volume

pernafasan subtidal dengan frekuensi tinggi yang diikuti dengan ekshalasi pasif ke

dasar tekanan jalan nafas positif kontinyu. Respirasinya diatur berdasarkan siklus

waktu dan tekanannya dibatasi dengan frekuensi, amplitudo, rasio waktu inspirasi

terhadap ekspirasi dan gelombangnya didesain untuk memaksimalkan ventilasi dan

perfusi.Pulse frequency volume pernafasan subtidal dapat divariasikan untuk

membantu memberikan oksigenasi yang maksimal. Biasanya digunakan laju awal

500-600, tetapi lajunya dapat ditingkatkan hingga maksimal 700-750 jika perlu.

Amplitudo volume pernafasan subtidal juga dapat disesuaikan agar sesuai dengan

tekanan inspirasi puncak pasien.Interupsi respirasi perkusif menungkinkan eliminasi

CO2 pasif. Laju respirasi mandatorik diciptakan dengan variabel inspirasi jumlah

ekspirasi. Awalnya, digunakan laju ventilasi sekitar ½ hingga 1/3 dari respirasi

konvensional untuk tekanan tersebut.variabel ventilator disesuaikan berdasarkan

respon pasien untuk mengoptimalkan pertukaran gas. Mode ventilasi konvensional

biasanya digunakan untuk weaning dan ekstubasi. Pengalaman terbaru dengan HFPV

berasal dari Hall dkk dari University of Texas Southwestern Medical Center.

Keuntungan mortalitas HFPV didapatkan pada pasien luka bakar dengan TBSA <

40% jika dibandingkan dengan individu yang mendapatkan strategi ventilasi

konvensional.

Pengobatan Tambahan Untuk Terapi Inhalasi Asap

Terapi klinis trauma inhalasi yang ada saat ini masih bersifat supportif. Hanya

ada sedikit perkembangan terapi klinis yang efektif, tetapi banyak terapi

eksperimental yang menjanjikan yang belum digunakan secara luas pada pasien.

Tidak seperti strategi yang diarahkan secara khusus sebagai antidot produk hasil

28

Page 29: Trauma Inhalasi

pembakaran yang telah disebutkan diatas, intervensi berikut akan menangani

perubahan fisiologis yang berhubungan dengan inhalasi asap.

Beta-agonis

Sama dengan bentuk trauma paru-paru akut lainnya, bronkhokonstriksi dapat

makin memperburuk pertukaran gas yang telah terganggu pada alveoli yang

rusak.Penggunaan obat-obatan inhalasi yang menargetkan beta-adrenoreseptor dapat

membantu meringankan bronkhokonstriksi tersebut.Lange et al. meneliti nebulasi

epinefrin pada hewan coba yang mengalami trauma inhalasi. Mereka membagi 15

domba kedalam 3 kelompok : sebuah kelompok sham-injury, dan 2 kelompok dengan

trauma inhalasi nyata, salah satunya diterapi dengan nebulasi salin dan kelompok

lainnya diterapi dengan nebulasi epinefrin yang diberikan tiap 4 jam. Mereka

menemukan bahwa kelompok nebulasi epinefrin, memiliki penurunan tekanan jalan

nafas dan peningkatan rasio PaO2/FiO2. Pada penelitian terhadap hewan coba lainnya

yang dilakukan oleh Palmieri et al., nebulasi albuterol kontinyu diberikan pada

sekelompok domba yang menderita luka bakar dan trauma inhalasi serta

dibandingkan dengan kelompok lainnya yang mendapatkan nebulasi salin.Kohort

albuterol mengalami penurunan tekanan jalan nafas dan perbaikan rasio PaO2/FiO2.

Aliran darah pulmonal

Ada 2 target potensial untuk mengubah aliran darah pulmonal pada trauma

inhalasi. Yang pertama adalah mengurangi aliran darah arteri pada bronkhus sehingga

akan mengurangi aliran mediator inflamasi sistemik ke paru-paru. Hamahata et al.,

masih bekerja dengan menggunakan domba percobaan, melakukan operasi ligasi

arteri bronkhus pada salah satu kelompok domba. Mereka kemudian membuka arteri

bronkhial pada kelompok kedua tetapi membiarkannya tetap intak, tidak melakukan

ligasi. Kemudian mereka memaparkan kedua kelompok tersebut sehingga mengalami

luka bakar dan trauma inhalasi akibat asap. Kombinasi trauma tersebut meningkatkan

29

Page 30: Trauma Inhalasi

aliran darah bronkhial, edema pulmonal, dan disfungsi pulmonal pada kedua

kelompok tersebut, tetapi semua perubahan tersebut lebih ringan pada kelompok yang

telah menjalani ablasi arteri bronkhial. Berdasarkan hasil penemuan awal tersebut,

kelompok yang sama kemudian memaparkan domba tersebut terhadap trauma

inhalasi asap / luka bakar, kemudian menggunakan kateter untuk menginjeksi etanol

70% kedalam arteri bronkhial 1 jam setelah trauma dan membandingkannya dengan

kelompok yang mendapatkan injeksi salin dan kelompok tanpa trauma. Sekali lagi,

kelompok trauma tersebut menunjukkan perburukan analisis gas darah dan

mekanisme pulmonal, tetapi yang menjalani sklerosis arteri bronkhial dengan etanol

mengalami penurunan aliran darah bronkhial dan perubahan gas darah serta

mekanisme pulmonal yang lebih ringan.

Modulator aliran darah pulmonal lainnya yang menjanjikan adalah nitrit

oksida (NO) inhalasi. NO merupakan sebuah vasodilator poten yang ketika dihirup

akan dihantarkan secara selektif ke paru-paru dan mengakibatkan vasodilatasi kapiler

di daerah tersebut. Hal tersebut mengakibatkan penurunan ketidaksesuaian ventilasi /

perfusi, penurunan shunting, dan penurunan hipertensi pulmonal.Enkhbataar et al.

meneliti NO inhalasi pada hewan coba yang dibandingkan dengan kontrol yang tidak

mendapatkan NO.Hewan coba mereka yang menderita trauma inhalasi mengalami

peningkatan cairan paru-paru, peningkatan resistensi mikrovaskular pulmonal, dan

peningkatan tekanan arteri pulmonal. Kelompok NO mengalami perubahan variabel

yang lebih ringan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.Qi et al. meneliti NO

inhalasi pada anjing coba dan menemukan bahwa juga ada penurunan kerusakan pada

myokard anjing yang mendapatkan NO inhalasi jika dibandingkan dengan kelompok

kontrol.Kelompok NO juga mengalami perbaikan metabolisme energi jantung.

Antikoagulan

Obstruksi jalan nafas yang signifikan merupakan salah satu ciri khas trauma

inhalasi. Cast jalan nafas terbentuk oleh kombinasi sloughed sel epitel, mukus, sel

30

Page 31: Trauma Inhalasi

inflamasi, dan fibrin. Secara khusus fibrin menjadi target peneliti untuk mencoba

mencegah pembentukan cast jalan nafas tersebut.

Enkhbataar et al. menggunakan tissue plasminogen activator (TPA) inhalasi

sebagai zat fibrinolotik dalam sebuah percobaan pada domba yang mengalami

kombinasi trauma inhalasi asap / luka bakar. Mereka menemukan bahwa domba yang

diterapi dengan TPA mengalami gangguan pertukaran gas pulmonal yang lebih

ringan, edema pulmonal yang lebih ringan, kurangnya peningkatan tekanan jalan

nafas, dan kurangnya obstruksi jalan nafas jika dibandingkan dengan hewan kontrol.

Kelompok yang sama menggunakan kombinasi heparin aerosol dan rekombinan

antithrombin manusia pada hewan coba lainnya yang mengalami luka bakar dan

trauma inhalasi. Mereka menemukan bahwa kombinasi 2 obat tersebut memberikan

komplians paru yang lebih baik, edema pulmonal yang lebih rendah, dan kurangnya

obstruksi jalan nafas daripada kelompok kontrol. Yang menarik, jika kedua obat-

obatan tersebut digunakan secara terpisah, tidak ada yang memiliki efek yang sama.

Heparin yang dikombinasikan dengan N-acetylcysteine mulai digunakan

secara luas setelah sebuah penelitian oleh Desai et al. menunjukkan adanya

penurunan mortalitas pada pasien pediatrik yang mengalami trauma inhalasi. Namun,

sebuah review retrospektif lainnya oleh Holt et al. terhadap 150 pasien yang

menderita trauma inhalasi menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan prognosis klinis

yang signifikan pada pasien yang diterapi dengan heparin dan acetylcysteine inhalasi.

Selain itu, setidaknya ada 1 laporan kasus koagulopati pada pasien yang mendapatkan

heparin dan acetylcysteine aerosol untuk penanganan trauma inhalasi.

Oleh Tasaki et al., heparin juga dikombinasikan dengan obat anti-inflamasi

lisofylline pada hewan coba. Mereka menggunakan 3 kelompok domba, 1

mendapatkan nebulasi salin saja, 1 mendapatkan nebulasi heparin saja, dan kelompok

ketiga mendapatkan nebulasi heparin dan lisofylline intravena. Kelompok kombinasi

heparin / lisofylline mengalami penurunan shunt dan kurangnya peningkatan gradien

tekanan oksigen alveoli-arteri setelah trauma inhalasi asap. Kelompok heparin saja

31

Page 32: Trauma Inhalasi

tidak mennunjukkan adanya keutnungan yang sama. Efektifitas heparin aerosol pada

populasi pasien dewasa penderita trauma inhalasi dan luka bakar masih tidak jelas.

Obat-Obatan Antiinflamasi

Mengurangi respon inflamasi lokal setelah trauma inhalasi secara teori dapat

mengurangi beban mekanis obstruksi jalan nafas oleh biomaterial, dan juga

mengurangi reaksi fibrosis jangka panjang setelah trauma inhalasi. Ada sejumlah

obat-obatan yang telah digunakan untuk mengurangi inflamasi, utamanya pada hewan

coba.

Thromboxane A2 merupakan mediator inflamasi yang penting pada kerusakan

paru-paru, dan inhibisi sintase thromboxane telah dibuktikan meringankan kerusakan

paru-paru pada anjing dan marmut. Westphal et al. menggunakan OKY-046 (Ozagel,

3-[4-(1H-imidazol-lylmethyl) phenyl]-2E-propanoic acid; Ono Pharmaceutical Co.,

Osaka, Japan) sebagai inhibitor sintase thromboxane pada domba yang mengalami

trauma inhalasi. Pada kelompok 16 domba, 8 domba mendapatkan obat tersebut dan 8

lainnya hanya mendapatkan vehikulum pelarut obat tersebut. Mereka menemukan

bahwa kelompok terapi memiliki penurunan thromboxane pulmonal, dan pada

akhirnya mengalami penurunan resistensi vaskular pulmonal dan kurangnya

penurunan output jantung.

Radikal oksigen bebas juga memicu terjadinya inflamasi selama trauma

inhalasi. Sisa-sisa dari radikal oksigen bebas tersebut dapat membantu mempercepat

respon inflamasi patologis terhadap inhalasi asap. Yamamoto et al. menggunakan

gamma-tocopherol nebulasi (dalam etanol) pada 6 domba dengan luka bakar berat

dan trauma inhalasi serta membandingkannya dengan 5 domba yang mendapatkan

nebulasi etanol saja. Mereka menemukan adanya perbaikan yang signifikan pada

rasio P:F dari kelompok tocopherol, dan juga adanya penurunan shunt pulmonal serta

penurunan tekanan jalan nafas.

Sistem saraf parasimpatis juga berkontribusi terhadap respon fisiologis

terhadap trauma jalan nafas dengan mensekresikan asetilkolin, yang bekerja pada

32

Page 33: Trauma Inhalasi

reseptor muskarinik untuk mengkonstriksikan otot polos pada jalan nafas dan

menstimulasi aktivitas glandula submukosa. Inhibisi reseptor muskarinik tersebut

akan memblok efek tersebut dan juga mengurangi produksi sitokin inflamatorik

selama trauma paru. Jonkam et al. mengetes antagonis muskarinik tiotropium bromid

pada domba yang tidak menderita trauma, dengan trauma inhalasi, dan dengan trauma

inhalasi yang mendapatkan tiotropium bromide. Domba dengan luka bakar dan

trauma inhalasi menunjukkan adanya peningkatan tekanan ventilasi dan obstruksi

jalan nafas atas, dan juga penurunan rasio P:F. Terapi dengan antagonis reseptor

muskarinik menyebabkan derajat perubahan patologis yang lebih ringan pada semua

variabel tersebut.

33