Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

20
BAB I PENDAHULUAN Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur faring yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding posterior yang disertai inflamasi tonsil (1,2) . Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis akut (3,8%) (3) . 1

description

Makalah THT

Transcript of Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Page 1: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

BAB I

PENDAHULUAN

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-

60%), bakteri (5-40%), alergi, taruma, dan toksin, dan lain-lain. Jika dilihat dari struktur faring

yang terletak berdekatan dengan tonsil, maka faringitis dan tonsilitis sering ditemukan

bersamaan. Oleh karena itu pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis,

dan tonsilofaringitis, dimana infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan

nyeri tenggorokan. Tonsilofaringitis adalah radang orofaring yang mengenai dinding posterior

yang disertai inflamasi tonsil(1,2).

Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau ketidakesuaian

pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah struktur pada kripta tonsil,

dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis

kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit

tenggorok berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada

tahun 1994-1996, menunjukkan prevalensi tonsilitis kronis 4,6% tertinggi setelah nasofaringitis

akut (3,8%)(3).

1

Page 2: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI

a. FARING

Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring,

dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak

dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah

faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada orofaring

terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring

merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari

saluran pencernaan bagian atas(4).

Nasofaring

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di

sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital, sebelah

anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah

inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak pada dinding

lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas belakang orifisium

tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius(5). Ruang

nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting:

Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.

Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal

sebagai fossa Rosenmuller.

Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba

eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral

nasofaring di atas perlekatan palatum mole.

Koana posterior rongga hidung.

Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit

nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan

asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.

2

Page 3: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus

inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri

faringeal asenden.

Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan

bagian lateral atap nasofaring.

Ostium dari sinus-sinus sfenoid(4).

Batas-batas nasofaring:

Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas ini

bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh os vomer

Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa

bagian atas

Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior, muara tuba

Eustachii, Fossa Rosenmuller(4).

Orofaring

Merupakan ruang antara palatum molle dan radiks lingua yang memanjang ke bawah

sepanjang hyoid bone. Terdapat tosila palatina dan tosila lingua pada bagian faring ini(6).

Laringofaring

Daerah ini dimulai dari perpaduan dari nasofaring dan orofaring pada daerah setinggi

hyoid bone. Daerah laringofaring menurun ke bagian inferior dan dorsal dari laring dan berakhir

pada cricoid cartilage pada akhir bagian inferior dari laring(6).

3

Page 4: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Gambar 1. Faring

b. TONSIL

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk

cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal

dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui

udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa

kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi

atrofi pada masa pubertas. Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian

terpenting dari cincin waldeyer(4).

4

Page 5: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Gambar 2. Cincin Waldeyer

Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar

limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring

posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s) (4).

Tonsila Palatina

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada

dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan

permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-

lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada

bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral

tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak

berdekatan dengan tonsilla lingualis(4).

5

Gambar 3. Tonsil Palatina

Page 6: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1.      Anterior : arcus palatoglossus

2.      Posterior : arcus palatopharyngeus

3.      Superior : palatum mole

4.      Inferior : 1/3 posterior lidah

5.      Medial : ruang orofaring

6.      Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior(4).

Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.

Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau

disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan

pada akhirnya ke duktus torasikus(4).

2. TONSILITIS KRONIS

a. Definisi

6

Page 7: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila

palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut

yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap

untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut

kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan(3).

b. Etiologi

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang

mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase

resolusi tidak sempurna. Pada pendería tonsilitis kronis jenis kuman yang sering adalah

Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes,

Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes. Penelitian

Abdulrahman AS, Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman patogen

terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, E.coli

dan Klebsiela(3,4).

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan

bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alfa

kemudian diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus

epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella

dan E. coli (3).

c. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu rangsangan

kronis (rokok, makanan), higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu

yang berubah- ubah), alergi (iritasi kronis dari allergen), keadaan umum (kurang gizi, kelelahan

fisik), pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat(1).

d. Patogenesis

7

Page 8: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh

semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi

pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman

dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh

menurun(3).

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan

limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut

yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi

oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan

perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan

pembesaran kelenjar limfa submandibula. Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak

tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas

antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang

rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara

permukaan tonsil dan jaringan tonsil(1,3).

e. Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang

berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),

nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa

kering dan pernafasan berbau(1).

f. Pemeriksaan Fisik

1. Tonsil umumnya membesar, pada serangan akut (eksaserbasi akut), tonsil hiperemi.

2. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil,

3. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai

keju,

4. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, merupakan

tanda penting untuk menegakkan infeksi kronis pada tonsil,

8

Page 9: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Gambar 5. Tonsilitis Kronik

Tanda klinis pada tonsilitis kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,

pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis

tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe

submandibula. Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di

tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin dapat

muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika anterior, pelebaran

kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe jugulodigastrik maka

diagnosa tonsilitis kronis dapat ditegakkan(3).

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara

kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi

pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

T0  : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4  : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring(3).

9

Page 10: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

g. Pemeriksaan penunjang

- Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman patogen

dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen

disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat.

Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien

di India terhadap 40 penderita tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan

kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan

diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri tonsilitis kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.

Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus (3).

h. Penatalaksanaan

1. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada

penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin ( terutama

jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika

bukan disebabkan mononukleosis).

2. Terapi dengan tonsilektomi terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan

serta kecurigaan neoplasma(3).

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan, serta

kecenderungan neoplasma. The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery

Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi tonsilektomi adalah sebagai

berikut :

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah mendapatkan terapi

yang adekuat,

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan

pertumbuhan orofasial,

3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,

sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale,

10

Page 11: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil

hilang dengan pengobatan,

5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan,

6. Tonsiliitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococus β hemolitikus,

7. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan,

8. Otitis media efusi / otitis media supuratif (1).

i. Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa

rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum, abses peritonsil dan

abses parafaring. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat

timbul endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkulosis.

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala

sumbatan serta kecurigaan neoplasma. (1)

3. Faringitis kronik

a. Etiologi

Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya.

Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan terjadinya

obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang bersamaan

dengan sinusitis kronik(7).

b. Gejala

Gejala utama adalah adanya sensasi tenggorokan yang kering dan adanya viscous mucus.

Beberapa pasien juga mengeluhkan batuk kering dan sensasi adanya benda asing di faring(7).

11

Page 12: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

Gambar 5. Faringitis Kronik

c. Diagnosis

Pada pemeriksaan tampak mukosa faring merah dan tidak rata akibat adanya hiperplasia

dari jaringan limfatik pada dinding posterior faring (hipertrofi). Mukosa faring juga bisa tampak

halus, dan mengkilat pada beberapa kasus (atrofi).

Melalui pemeriksaan hidung harus dipastikan tidak adanya obstruksi jalan nafas di

hidung yang dapat menjadi penyebab faringitis kronis, ataupun adanya kelainan-kelainan lain

seperti deviasi septum atau hiperplasi konka(7).

d. Penatalaksanaan

Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi local dengan melakukan kaustik

faring dengan zat kimia larutan nitrat argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan

simtomatis diberikan obat kumur atau tablet hisap. Jika di perlukan dapat diberikan obat batuk

antitusif atau ekspetoran,s edangkan pada faringitis atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis

atrofinya dan untuk faringitis kronik atrofinya dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut (1).

BAB III

12

Page 13: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

PENUTUP

Tonsilitis adalah peradangan dari tonsil palatina yang merupakan bagian dari

cincin waldeyer. Tonsilitis dapat berkembang menjadi kronis karena kegagalan atau

ketidakesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut sehingga merubah

struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan

faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Oleh karena itu, untuk mencegah serangan

yang berulang dan mengurangi infeksi sebaiknyatonsilektomi dilkuakan sesuai indikasi.

Sedangkan faringitis kronik merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan

oleh Adanya paparan dari zat-zat tertentu seperti nikotin, alkohol, gas iritan dan lainnya.

Selain itu, bisa juga terjadi akibat seringya bernafas melalui mulut pada keadaan

terjadinya obstruksi jalan nafas (contohnya pada deviasi septum) atau pada keadaan yang

bersamaan dengan sinusitis kronik.

BAB IV

13

Page 14: Tonsilofaringitis Kronis Eksaserbasi Akut

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono dan Soepardi, EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam

Soepardi, Efiaty Arsyad, et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala & Leher. ed 6. Jakarta. FKUI, 2009: p. 217-225

2. Kurniadi, B. Penatalaksanaan Faringitis Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung,

dan Tenggorok. RSUD Saras Husada, Purworejo. Available at :

http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penatalaksanaan+Faringitis+Kronik

(Accessed : March 28th 2012).

3. Saragih, A.R, Harahap, I.S, Rambe, A.Y. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronik di RSUP

H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Bagian THT FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Medan. USU Digital Library, 2009. Available at :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27640 (Accessed : March 27th 2012).

4. Adams, GL. . Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan

Leher. Dalam Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi

Keenam. Ed 6. Jakarta. EGC, 1997: p. 263-271

5. Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Dalam Ballenger :

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher. Jilid 1. Jakarta. Bina Rupa Aksara, 1997: p.

1020-1039

6. Seeley, Stephen, Tate. Respiratory System. Anatomy and Physiology.Chapter 23.The

McGraw-Hill Companies, 2004: p. 816

7. Probst, R, Grever, G, Iro, H. Diseases of the Nasopharynx. Basic Otorhinolaryngology. New

York. Thieme, 2006: p. 119

14