Tinpus Fdc (1)

download Tinpus Fdc (1)

of 7

description

TB salmonella

Transcript of Tinpus Fdc (1)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1. Alergi

II.1.1 Definisi

Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi. II.1.2 Etiologi

Etiologi terjadinya alergi secara umum antara lain:

Obat

Makanan

Sengatan serangga

Fotosensitizer

Inhalan

Trauma fisik

Infeksi parasit

Genetik

Penyakit sistemik

II.1.3 Patofisiologi

Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.Tabel 1. Mekanisme reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs

Reaksi ImunMekanismeKlinisWaktu Reaksi

Tipe I

(diperantarai IgE)Kompleks IgE-obat berikatan dengan sel mast melepaskan histamin dan mediator lainUrtikaria, angioedema, bronkospasme, muntah, diare, anafilaksisMenit sampai jam setelah paparan

Tipe II

(Sitotoksik)Antibodi IgM atau IgG spesifik terhadap sel hapten-obatAnemia hemolitik, neutropenia, trombositopeniaVariasi

Tipe III

(kompleks imun)Deposit jaringan dari kompleks antibodi obat dengan aktivasi komplemenSerum sickness, demam, ruam, arthralgia, limfadenopati, vaskulitis, urtikaria1-3 minggu setelah paparan

Tipe 1V(lambat, diperantarai oleh selular)Presentasi molekul obat oleh MHC kepada sel T dengan pelepasan sitokinDermatitis kontak alergi2-7 hari setelah paparan

Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :

Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi membentuk antibodi IgE. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil. Pajanan ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan silang pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi perlepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat. Respons awal ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit. Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinophil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.Histamin merupakan mediator primer yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya sekresi mucus. Mediator lain yang juga berperan antara lain adenosin, neutrophil, dan eosinofil. Sedangkan mediator sekunder yang berperan antara lain leukotrien C, leukotrien B, prostaglandin D2, dan sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6).

Penyebab umum terjadinya reaksi ini adalah molekul biologis dan beberapa obat, seperti penisilin dan insulin. Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali antigen obat di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respon terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Contoh reaksi ini adalah anemia hemolitik yang disebabkan oleh metildopa dan penisilin, ataupun trombositopenia yang disebabkan oleh kuinidin. Obat lain yang bekerja melalui mekanisme ini antara lain sefalosporin, sulfonamida dan rifampisin.

Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul, yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi terkadang baru timbul setelah obat dihentikan. Reaksi tersebut dapat pula berupa reaksi setempat yang dikenal sebagai reaksi Arthus. Terdapat pembengkakan dan kemerahan setempat pada tempat antigen berada, misalnya pada vaksinasi. Reaksi setempat ini terjadi oleh karena penderita telah mempunyai kadar antibodi yang tinggi sehingga terjadi presipitasi pada tempat masuk antigen yang terjadi dalam waktu 2 sampai 5 jam setelah pemberian. Manifestasi utama berupa demam, ruam, urtikaria, limfadenopati dan artralgia. Contoh obat tersebut antara lain penisilin, salisilat, sulfonamida, klorpromazin, tiourasil, globulin antilimfositik dan fenitoin.

Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat. Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen, misalnya pada dermatitis kontak. Obat topikal yang secara antigenik biasanya berbentuk hapten, bila berikatan dengan protein jaringan kulit yang bersifat sebagai karier dapat merangsang sel limfosit T yang akan tersensitisasi dan berproliferasi. Pada pajanan berikutnya, sel T yang sudah tersensitisasi akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang menarik sel radang ke tempat antigen berada sehingga terjadi reaksi inflamasi. Contoh obat yang sering menimbulkan reaksi tipe IV antara lain benzil alkohol, derivat merkuri, neomisin, nikel, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, serta beberapa zat aditif yang sering terdapat pada obat topikal seperti parabens atau lanolin.

Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat, namun yang tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan.

Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat sebagai alergen, disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.

Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.

Ikatan obat dengan protein jaringan dapat mengubah struktur dan sifat jaringan sebagai antigen diri menjadi antigen yang tidak dikenal oleh sistem imun tubuh, sehingga dapat terjadi reaksi autoimun. Contoh obatnya antara lain klorpromazin, isoniazid, penisilamin, fenitoin dan sulfasalazin. Bila sel sasaran ini adalah endotel pembuluh darah, maka dapat terjadi vaskulitis akibat aktivasi komplemen oleh kompleks imun pada permukaan sel endotel (misalnya pada serum sickness). Aktivasi komplemen ini mengakibatkan akumulasi sel polimorfonuklear dan pelepasan lisozim sehingga terjadi reaksi inflamasi dan kerusakan dinding pembuluh darah. Obat yang dapat menimbulkan reaksi seperti ini antara lain penisilin, sulfonamid, eritromisin, salisilat, isoniazid, dan lain-lain.

II.1.4 Manifestasi Klinik Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala, dan pada seseorang dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai alergi obat bila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik terhadap obat atau metabolitnya, serta konsisten dengan gambaran reaksi inflamasi imunologik yang sudah dikenal.

Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura, dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis eksfoliatif dan erupsi vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom Lyell.

Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera adalah reaksi anafilaksis karena dapat terjadi syok. Gejala klinis dapat berupa hipotensi, spasme bronkus, edema laring, angioedema, atau urtikaria generalisata.

Tabel 2. Manifestasi klinis alergi obat Anafilaksisedema laring, hipotensi, bronkospasme

Erupsi kuliturtikaria/angioedema, pruritus, ruam makulopapular morbiliform, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis, eritema nodusum, eritema multiform, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitivitas

Kelaianan hematologikanemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia

Kelainan pulmonalpneumonitis interstisialis/alveolar, edema paru, fibrosis paru

Kelainan hepatik

reaksi kolestasis, destruksi hepatoseluler

Kelainan renal

nefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik

Demam obat

Limfadenopati

Demam dapat merupakan gejala tunggal alergi obat, atau bersama gejala klinis lain, yang timbul beberapa jam setelah pemberian obat (tetapi biasanya pada hari ke 7-10), dan menghilang dalam waktu 48 jam setelah penghentian obat atau sampai beberapa hari kemudian. Diduga demam terjadi akibat pelepasan mediator sitokin. Beberapa jenis obat diduga dapat bersifat pirogen langsung, misalnya amfoterisin B, simetidin, dekstran besi, kalsium, dan dimerkaprol. Mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Pada anak, epinefrin dapat menimbulkan demam karena bersifat vasokonstriktor yang menghambat pengeluaran panas tubuh. Demikian juga pemberian atropin (termasuk tetes mata) serta fenotiazin dapat menimbulkan demam dengan menghambat pembentukan keringat. Beberapa jenis obat seperti alopurinol, azatioprin, barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilinamin, penisilin, fenitoin, prokainamid, dan kuinidin, sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.Gejala lain adalah sindrom klinis yang tersebut penyakit serum (serum sickness) berupa demam, artralgia, mialgia, neuritis, efusi sendi, urtikaria, erupsi makulopapular, dan edema yang biasanya timbul 1-3 minggu setelah terpajan. Gejala tersebut menghilang dalam beberapa hari atau minggu.

Gejala sistemik yang sering adalah demam, lupus eritematosus medikamentosa, vaskulitis, dan dapat menjadi lebih berat disertai limfadenopati, sesak nafas, edema angioneurotik, serta terkadang nefritis dan karditis. Komplikasi paling berat dapat berupa sindrom Guillain-Barre. Obat penyebab biasanya sulit diketahui karena masa laten yang cukup panjang. Selain itu dapat ditemukan pula gejala kelainan hematologik, kelainan pada organ setempat (hati, paru, ginjal, jantung), atau kelainan sistemik seperti lupus eritematosus sistemik.