Bab II Tinpus H10fhu-6

21
9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengasapan Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Hasil pembakaran akan terbentuk senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran serta dihasilkan panas. Senyawa tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya menjadi keemasan atau kecokelatan. Pengasapan ikan merupakan cara pengawetan ikan dengan menggunakan asap yang berasal dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya. Menurut Adawyah (2007), pengasapan ikan dilakukan dengan tujuan : a. untuk mengawetkan ikan dengan memanfaatkan bahan-bahan alam b. untuk memberi rasa dan aroma yang khas. 2.2 Prospek Ikan Asap Pengolahan ikan dengan menggunakan asap untuk konsumsi manusia sebenarnya sudah dikenal pada zaman dahulu, tetapi teknik pengolahan ikan asap tidak berubah. Cara pengolahan ikan asap sangat sederhana, mudah dikerjakan dan biaya murah. Dibandingkan dengan ikan asin, ikan asap memiliki rasa yang lebih lezat dan harga jualnya relatif lebih mahal. Kalau ditinjau dari pertimbangan pencukupan gizi masyarakat pun, ikan asap lebih unggul dari pada ikan asin. Alasannya, karena rasa ikan asap jauh lebih tawar sehingga dapat disantap dalam jumlah banyak daripada ikan asin. Meskipun mempunyai beberapa keunggulan, di Indonesia dan negara- negara di Asia lainnya ikan asap masih kalah populer dari pada ikan asin. Ada dua penyebab utama yang membuat ikan asap kurang populer. Penyebab pertama, ikan asap dianggap kurang cocok dimakan dengan nasi yang menjadi makanan pokok orang-orang Asia. Agar cocok dipadukan dengan nasi, ikan asap diolah lagi dengan menambahkan bumbu-bumbu seperti membuat sayur atau sambal. Penyebab kedua adalah adanya anggapan bahwa ikan asap dapat menjadi

description

qw

Transcript of Bab II Tinpus H10fhu-6

Page 1: Bab II Tinpus H10fhu-6

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengasapan

Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan

memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia

alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Hasil pembakaran akan terbentuk

senyawa asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran serta dihasilkan panas.

Senyawa tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air yang ada di

permukaan tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk

dan warnanya menjadi keemasan atau kecokelatan.

Pengasapan ikan merupakan cara pengawetan ikan dengan menggunakan

asap yang berasal dari pembakaran kayu atau bahan organik lainnya. Menurut

Adawyah (2007), pengasapan ikan dilakukan dengan tujuan :

a. untuk mengawetkan ikan dengan memanfaatkan bahan-bahan alam

b. untuk memberi rasa dan aroma yang khas.

2.2 Prospek Ikan Asap

Pengolahan ikan dengan menggunakan asap untuk konsumsi manusia

sebenarnya sudah dikenal pada zaman dahulu, tetapi teknik pengolahan ikan asap

tidak berubah. Cara pengolahan ikan asap sangat sederhana, mudah dikerjakan

dan biaya murah. Dibandingkan dengan ikan asin, ikan asap memiliki rasa yang

lebih lezat dan harga jualnya relatif lebih mahal. Kalau ditinjau dari pertimbangan

pencukupan gizi masyarakat pun, ikan asap lebih unggul dari pada ikan asin.

Alasannya, karena rasa ikan asap jauh lebih tawar sehingga dapat disantap dalam

jumlah banyak daripada ikan asin.

Meskipun mempunyai beberapa keunggulan, di Indonesia dan negara-

negara di Asia lainnya ikan asap masih kalah populer dari pada ikan asin. Ada dua

penyebab utama yang membuat ikan asap kurang populer. Penyebab pertama,

ikan asap dianggap kurang cocok dimakan dengan nasi yang menjadi makanan

pokok orang-orang Asia. Agar cocok dipadukan dengan nasi, ikan asap diolah lagi

dengan menambahkan bumbu-bumbu seperti membuat sayur atau sambal.

Penyebab kedua adalah adanya anggapan bahwa ikan asap dapat menjadi

Page 2: Bab II Tinpus H10fhu-6

10

penyebab timbulnya kanker atau bersifat karsinogenik. Alasan ini mengingat ikan

asap memang mengandung senyawa yang dicurigai menjadi penyebab kanker,

yaitu pilicyclic aromatic hydrocarbon atau PAH.

Semakin meningkatnya pendidikan, tingkat kesejahteraan dan kesadaran

akan hidup sehat, pola konsumsi pun ikut bergeser dan peluang ikan asap untuk

digemari makin terbuka. Di sisi lain, dengan makin berkembangnya motorisasi

dan alat tangkap yang makin efektif, hasil tangkapan pun terus meningkat dan

pemanfaatan hasil tangkapan menjadi ikan asap pun akan makin meningkat pula.

Hal ini menjadikan usaha pengolahan ikan asap semakin menarik untuk

dijalankan.

Senyawa PAH yang ditakuti sebagai penyebab kanker ternyata tidak hanya

ditemukan pada ikan asap, tetapi juga ditemukan pada makanan lain seperti roti,

biskuit, minyak kedele, sate, ikan bakar, ikan kaleng, bahkan pada ikan segar

termasuk pada kepiting, udang dan lobster. Dibandingkan dengan produk olahan

lain, kandungan PAH pada ikan asap masih tergolong rendah.

Sementara itu, ada senyawa lain seperti vitamin A dan antioksidan lain

yang ternyata memiliki kemampuan menghambat daya karsinogenik PAH.

Padahal, agar PAH dapat bersifat karsinogenik diperlukan aktivitas metabolis.

Pada penelitian-penelitian yang dilakukan, ikan asap dan makanan asap lainnya

bukanlah agen karsinogenik yang membahayakan manusia yang

mengkonsumsinya. Oleh karena itu, tampaknya ikan asap tidak lebih karsinogenik

dibandingkan produk olahan lain.

Ikan asap ini umumnya cukup populer dan cukup digemari di beberapa

daerah di Luar Jawa seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Meskipun

begitu, di Jawa pun jumlahnya tidak kecil dan ikan asap mulai mendapat tempat

dimata konsumen. Akhir-akhir ini pengolahan ikan asap di Jawa makin

berkembang.

Page 3: Bab II Tinpus H10fhu-6

11

2.3 Perencanaan Usaha Pengasapan Ikan

2.3.1 Pemilihan Lokasi

Tahap penting untuk memulai suatu usaha pengasapan ikan adalah

pemilihan lokasi tempat usaha pengasapan itu akan didirikan. Sifat bahan baku

yang digunakan (ikan) sangat menentukan pemilihan lokasi pengasapan. Hal ini

karena sifat ikan yang mudah rusak, lokasi pengasapan ikan sebaiknya dekat

dengan sumber bahan baku. Oleh karena itu, ikan dapat cepat ditangani dan diolah

sehingga mutu ikan yang diasap masih tinggi. Selain itu, lokasi yang dekat dengan

bahan baku juga menghemat biaya transportasi, serta mempermudah memperoleh

ikan yang akan diolah.

Pertimbangan lainnya adalah tersedianya bahan bakar sebagai sumber

asap, air bersih dalam jumlah yang cukup dan kontinu serta memenuhi syarat

untuk pengolahan ikan, serta sarana transportasi yang baik sehingga memudahkan

pengangkutan ikan ke tempat pengolahan dan transportasi ikan asap ke konsumen.

Pertimbangan penting lainnya dalam kemudahan memperoleh bahan bantu (garam

dan es), alat bantu, listrik, dan sebagainya. Lahan untuk lokasi hendaknya cukup

untuk membangun bangunan pengolahan dan fasilitas yang diperlukan serta

memungkinkan bagi pengembangan di masa mendatang. Hal lain yang perlu

diperhitungkan dalam memilih lokasi adalah tersedianya tenaga kerja, letak

geografis, harga tanah, lingkungan, kemudahan yang disediakan pemerintah, dan

sebagainya. Lokasi yang dipilih hendaknya juga memungkinkan penampungan,

penanganan, dan pembuangan limbah dengan baik.

2.3.2 Bangunan Pengolahan

Perencanaan selanjutnya adalah membuat rencana bangunan pengolahan

dan tata letak ruang. Kedua hal ini sangat menentukan kelancaran dan

keberhasilan proses. Pada perencanaan tersebut semua tindakan diarahkan untuk

memperlancar aliran proses dan mengurangi risiko kontaminasi terhadap produk

akhir. Ruang untuk proses yang dapat saling mengontaminasi dipisah, cukup

pencahayaan dan ventilasi, dan cukup tersedia sarana pencegah serangga dan

rodensia. Pada perencanaan tersebut juga dipertimbangkan bahwa harus cukup

tersedia ruang untuk peralatan, instalasi, dan fasilitas lain yang diperlukan.

Page 4: Bab II Tinpus H10fhu-6

12

Berdasarkan sifat bahan dan prosesnya, bangunan pengolahan pengasapan

ikan terdiri dari ruang atau tempat untuk proses yang berhubungan langsung

dengan ikan segar, tempat yang berhubungan dengan panas, tempat yang

berhubungan dengan produk akhir, dan gudang serta fasilitas lain.

Untuk memperlancar proses, lebih efisien dan memudahkan pembersihan,

ruang yang berhubungan langsung dengan ikan segar dapat dirancang saling

berhubungan atau bahkan dijadikan satu. Ruang tersebut adalah tempat untuk

penerimaan atau penimbangan, penampungan, penanganan, dan preparasi ikan

segar, serta untuk penyusunan ikan pada rak atau penggantung. Ruang ini menjadi

jalan masuk bakteri yang ikut terbawa masuk bersama ikan. Agar tidak

mengontaminasi produk akhir, ruang ini harus dipisahkan dengan ruang produk

akhir. Selain itu, ruang harus dipisah dari ruang panas untuk pengasapan, ventilasi

dan penerangan harus cukup sehingga ruang terang, sejuk dan segar.

Fasilitas yang berhubungan dengan sumber panas adalah tempat

pengasapan yang perlu dipisahkan dari ruang lain dengan dinding pemisah untuk

menghindari pengaruh suhu tinggi yang merugikan. Pilihan lain, alat pengasap

ditempatkan di tempat terpisah sama sekali. Paling tidak, tungku ditempatkan

diluar bangunan pengolahan untuk menghindari risiko kontaminasi asap, debu dan

kotoran lain ke ikan yang di olah maupun ikan asap yang dihasilkan. Mengingat

proses ini banyak menyebarkan panas dan asap, perlu tersedia cukup ventilasi-

dengan exhaust fan sehingga terjadi pergantian udara dengan baik.

Ruang produk akhir digunakan untuk menangani produk akhir sebelum

dikirimkan ke konsumen yang meliputi ruang untuk pendinginan ikan asap,

pengemasan, penampungan ikan asap sebelum dikirim ke konsumen, dan untuk

pengiriman. Tentunya ruang ini harus terpisah dengan ruang lain, terutama dengan

ruang ikan segar yang menjadi jalan utama masuknya bakteri. Ventilasi,

penerangan, dan pertukaran udara pun harus cukup.

Selain fasilitas diatas, diperlukan ruang untuk gudang penyimpanan

garam, es, bahan pengemas dan peralatan lain, bahan bakar dan gudang untuk

menyimpan peralatan kotor. Gudang sebaiknya saling dipisahkan berdasarkan

sifat bahan yang disimpan dan terpisah dengan ruang pengolahan. Gudang es,

sebaiknya berinsulasi dan ditempatkan dekat ruang ikan segar.

Page 5: Bab II Tinpus H10fhu-6

13

Fasilitas lainnya adalah kantor, pos penjagaan, WC, fasilitas pengolahan

limbah, dan sebagainya. Kantor ditempatkan dekat tempat penerimaan dan

pengiriman bahan dan juga mudah berhubungan dengan ruang pengolahan

sehingga pengawasan terhadap semua aktivitas dengan mudah dapat dilakukan

dari ruang ini. WC yang merupakan tempat kotor dan sumber kontaminan harus

benar-benar terpisah dengan bangunan pengolahan. Fasilitas lain yang diperlukan

adalah tempat penampungan dan pengolahan limbah (pengendapan, penjernihan,

penghilangan bau) sehingga limbah yang dibuang sudah cukup bersih, aman, dan

tidak mencemari lingkungan).

2.3.3 Desain dan Konstruksi Bangunan

Selain membuat desain tata letak dan bangunan pengolahan, perlu

ditentukan pula konstruksinya. Hendaknya digunakan bahan-bahan yang tahan

karat, mudah dibersihkan, dan didesain sedemikian rupa sehingga air, serangga,

dan rodensia tidak dapat masuk ke dalam bangunan. Dinding disemen rata dan

halus, tahan korosi, kuat, mudah dibersihkan, dan berwarna terang. Lantai

disemen rata tetapi tidak licin, misalnya permukaannya dibuat alur-alur kecil

dengan memukulkan sapu lidi. Permukaan lantai dibuat miring ke arah saluran air

sehingga air mudah mengalir ke saluran dan tidak menggenang. Bahan untuk

lantai dan dinding dipilih yang aman, tidak beracun, mudah dibersihkan,

penampilan bagus, dan mudah diperbaiki, tahan garam, air, dan bahan pembersih.

Pada pertemuan antara dinding dan lantai sebaiknya dibuat melengkung (diameter

lengkungan 1-2 cm) sehingga mudah dibersihkan dan air dengan mudah akan

mengalir ke saluran air.

Ruangan dilengkapi dengan saluran yang ditutup kisi-kisi besi.

Kemiringan dasar saluran air harus cukup sehingga air mengalir lancar, tidak ada

genangan, selalu dalam keadaan kering dan mudah dibersikan. Atap bangunan

dapat terbuat dari seng atau pelat besi gelombang. Atap genting atau asbes

gelombang lebih cocok, terutama untuk ruang ikan segar, mengingat bahan ini

tahan lama, lebih dingin, dan tidak mengotori atau mengganggu ruang

dibawahnya. Konstruksi bubungan dibuat lebih tinggi sehingga terbentuk celah

Page 6: Bab II Tinpus H10fhu-6

14

untuk ventilasi dan membantu penerangan yang ditutup kasa agar serangga dan

rodensia tidak masuk.

Ruangan harus cukup ventilasi sehingga pertukaran udara cukup lancar.

Agar rodensia (tikus), lalat, dan serangga lain tidak masuk, ventilasi ditutup kasa.

Penerangan juga harus cukup terang untuk proses pengolahan, pengawasan dan

pemeliharaan, serta untuk kepentingan keamanan. Untuk membantu penerangan,

pada atap dipasang berapa lembar atap tembus cahaya, genting kaca, fiber glass

atau plastik gelombang putih. Jendela cukup lebar dan ditutup kawat kasa. Jendela

ini selain membantu penerangan juga berfungsi sebagai ventilasi. Konstruksi

gudang dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan, cukup penerangan,

cukup ventilasi dan sesuai tuntutan bahan yang disimpan.

2.3.4 Pemasaran

Masalah lain yang tidak dapat ditinggalkan dalam menggeluti suatu usaha

adalah mempelajari pemasarannya. Betapa pun bagusnya perencanaan usaha

tersebut, tetapi jika tidak dilengkapi pengetahuan dan perencanaan tentang

pemasaran yang baik, sulit diharapkan dan berjalan lancar. Karena itu,

pengetahuan tentang aspek pemasaran harus dikuasai dulu.

Hal yang perlu dipelajari dan diketahui tentang pemasaran terutama adalah

daerah pemasaran, permintaan pasar termasuk jumlah dan sifat produk yang

diharapkan, sifat dan kemampuan masing-masing pasar menyerap produk yang

ditawarkan, jumlah pesaing dan volume pasok serta keistimewaannya, jalur

distribusi dan sistem pemasaran, cara pembayaran dan sebagainya. Setelah

memiliki pengetahuan tentang pemasaran, dilakukan perencanaan yang lebih

matang. Misalnya, dapat ditentukan jenis ikan asap yang harus dihasilkan, ukuran

ikan, bentuk olahan, dan daerah pemasaran yang dituju. Tentu saja hal ini akan

mempengaruhi cara pengolahan dan peralatannya, jumlah produksi, bentuk

kemasan, cara transportasi, sistem dan strategi pemasaran yang dipilih, cara

pembayaran dan sebagainya serta dapat ditentukan pula strategi yang diterapkan

untuk menembus pasar yang dituju.

Page 7: Bab II Tinpus H10fhu-6

15

2.4 Teknik Pengasapan Ikan

Ikan yang digunakan untuk pengasapan adalah ikan yang masih segar,

tidak cacat fisik, dan bermutu tinggi. Apabila ikan yang akan diasap tidak segar

dan cacat, maka akan menghasilkan ikan asap yang bermutu rendah. Apalagi ikan

merupakan bahan mentah yang cepat rusak dan busuk.

2.4.1 Kesegaran Ikan

Untuk mengenali kesegaran ikan dengan melihat penampilan fisik, kondisi

mata, insang, adanya lendir; meraba dan menekan struktur dan kondisi daging

ikan; serta mencium bau ikan. Ikan yang masih segar, tampak cemerlang dan

mengkilap sesuai jenisnya. Lendir dipermukaan tubuh tidak ada atau tipis, bening

dan encer. Sisik pun tidak mudah lepas, perut utuh, dan lubang anus tertutup.

Matanya cembung, cerah, putih jernih, pupil hitam atau tidak berdarah dengan

insang merah cerah, tidak atau sedikit berlendir dan dagingnya pejal, lentur, dan

jika ditekan cepat pulih. Ikan pun berbau segar dan sedikit agar amis.

Setelah ditangkap, ikan harus segera disemprot air bersih lalu disortasi

menurut jenis dan ukurannya. Perlakuan-perlakuan yang menyebabkan kerusakan

fisik seperti terinjak, dan tergencet, perlakuan kasar, dan terpaan panas matahari

harus dihindari. Setelah bersih, ikan segera didinginkan dengan cara dies didalam

peti berinsulasi. Untuk penangkapan di laut, ikan dapat dies di dalam palka

berinsulasi atau didinginkan dengan air laut dingin. Penggunaan peti insulasi atau

palka insulasi tampaknya sudah menjadi suatu keharusan untuk tersedia pada

setiap kapal penangkap ikan.

Setelah di darat, peti dibongkar dengan hati-hati dan ikan dikeluarkan.

Alat-alat yang dapat menimbulkan kerusakan fisik seperti sekop, pisau, garpu dan

sebagainya hendaknya tidak dipakai. Ikan dicuci bersih lalu ditempatkan pada

keranjang, ditimbun es secukupnya dan segera diangkut ke tempat pengolahan.

Pengangkutan pada malam hari selagi suhu sangat rendah dianjurkan. Namun, jika

harus diangkut siang hari, terpaan panas matahari hendaknya dihindari dan suhu

ikan harus dipertahankan tetap rendah.

Setelah sampai ditempat pengolahan. Peti dibongkar dan ikan dikeluarkan,

lalu disortasi berdasarkan jenis, mutu, dan ukuran. Ikan yang pecah perut atau

Page 8: Bab II Tinpus H10fhu-6

16

patah dipisahkan. Sambil disortasi ikan disiangi lalu dicuci hinggan bersih. Ikan

pun siap untuk diolah. Namun, jika pengolahan belum sempat dilakukan, ikan pun

disimpan dulu dengan es di dalam peti insulasi untuk penyimpanan jangka pendek

atau dibekukan jika ingin disimpan dalam waktu yang lebih lama.

2.4.2 Persiapan Ikan

a. Pencucian dan penyiangan ikan

Sebelum diasap, ikan harus dicuci dulu untuk menghilangkan kotoran,

sisik-sisik yang lepas dan juga lendir. Kemudian ikan disiangi dengan cara

membelah bagian perut sampai dekat anus. Apabila diperlukan, kepala ikan

dipotong. Kalau ukuran ikan cukup besar dan berdaging tebal, sebaiknya ikan

dibelah membentuk kupu-kupu, diambil dagingnya saja, atau dibentuk sesuai

dengan kebiasaan yang dilakukan untuk mencirikan produk. Apapun yang

dilakukan, ikan hendaknya selalu bersih. Bagian dalam perut dicuci untuk

menghilangkan sisa kotoran, darah, dan lapisan dinding perut yang berwarna

hitam. Kemudian ikan dicuci lagi sampi bersih lalu direndam larutan garam.

b. Penggaraman Ikan

Penggaraman dalam larutan garam atau penggaraman ini sering kali

memang diperlukan karena memiliki banyak manfaat, diantaranya membantu

memudahkan pencucian dan penghilangan lendir, memberikan cita rasa produk

yang lebih lezat, membantu mengawetkan, membantu pengeringan, dan

menyebabkan tekstur daging ikan menjadi lebih kompak. Bahkan penggaraman

juga dianggap membantu mencegah perubahan warna. Hal yang perlu dijaga

adalah kebersihan, kemurnian garam, dan kepekatan larutan yang digunakan.

Penggaraman dapat dilakukan dengan cara penggaraman kering atau

perendaman. Penggaraman kering untuk pengawetan pada pengasapan dingin

dilakukan dengan menambahkan garam 10-15 persen dari berat ikan. Perendaman

dalam larutan dilakukan dengan merendam ikan didalam larutan garam 10-15

persen atau bahkan larutan jenuh 30 persen.

Untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi, sebaiknya digunakan

penggaraman dengan cara perendaman. Larutan garam yang digunakan sebaiknya

tidak jenuh, cukup dengan kejenuhan larutan garam 70-80 persen agar dapat

Page 9: Bab II Tinpus H10fhu-6

17

menghasilkan produk ikan asap yang mengkilat, lezat dan bermutu tinggi. Setelah

digarami, ikan dicuci bersih kembali untuk membersihkan kotoran yang ada dan

mengurangi kandungan air awal. Kalau kelembapan udara cukup rendah, ikan

cukup ditiriskan dengan cara digantungkan diudara terbuka sampai tiris. Namun,

kalau kelembapan cukup tinggi, ikan digantung dalam ruang atau alat pengering .

Pada tahap ini terjadi proses yang menguntungkan. Protein yang terlarut

dalam larutan garam akan menempel pada permukaan ikan ketika ditiriskan dan

akhirnya mengering selama pengasapan. Akibatnya, terbentuk lapisan yang

membuat permukaan ikan mengkilap yang disukai dan dijadikan salah satu tanda

ikan asap permutu tinggi.

2.4.3 Proses Pengasapan

a. Bahan Bakar

Tahap penting lain dalam pengasapan adalah memilih jenis bahan bakar

yang akan digunakan, biasanya menggunakan bahan bakar kayu. Bahan bakar lain

sebagai alternatif adalah serbuk gergaji, serutan kayu, tempurung, sabut kelapa

dan sebagainya. Kayu, serutan dan serbuk gergaji merupakan pilihan yang terbaik

asalkan berasal dari jenis kayu keras yang tidak banyak mengandung resin, getah

dan damar.

Agar asapnya banyak, hendaknya bahan bakar tidak terlalu kering dan

berukuran kecil. Bahan bakar yang berukuran kecil seperti serbuk gergaji cocok

untuk menghasilkan asap yang cukup tebal. Bahan bakar yang tidak terlalu kering

juga menghasilkan cukup banyak asap, sedangkan bahan bakar yang berukuran

besar dan kering menghasilkan panas yang cukup tinggi sehingga cocok untuk

tahap pengeringan. Selain itu, sebaiknya hanya menggunakan kayu yang bersih,

tidak berjamur, tidak terkena bahan pengawet, cat dan sebagainya.

b. Penggantungan dan penyusunan Ikan

Ikan yang sudah ditiris disusun didalam alat pengasap. Cara penyusunan

ikan ini, misalnya mendatar diatas rak akan menentukan ikan asap yang

dihasilkan. Cara ini cocok untuk ikan-ikan kecil atau filet ikan. Namun, dengan

posisi ini kontak antara ikan dan asap tidak merata sehingga perlu dibalik.

Page 10: Bab II Tinpus H10fhu-6

18

Cara penyusunan lain yang lebih baik adalah dengan menggantung ikan

yang akan diasap. Ikan digantung menggunakan kait dengan cara menusukkan

kait kemata ikan atau ke pangkal kepala, bisa juga dengan menggunakan batang-

batang besi kecil dan tali. Cara ini memungkinkan pengasapan ikan dapat merata

keseluruh permukaan tubuh ikan, termasuk bagian dalamnya.

Ikan yang akan disusun lalu dimasukkan ke dalam ruang pengasap. Jarak

antar ikan dan jarak ikan dengan sumber asap perlu diatur sehingga proses

pengasapan berjalan dengan baik. Untuk pengasapan skala besar, susunan ikan

dipasang pada rak-rak beroda lalu rak didorong untuk masuk ruang pengasap.

c. Pengasapan

Pengasapan dapat dilakukan dengan pengasapan panas dan dingin.

Pengasapan dingin dilakukan pada suhu 35-45 ۫C, kadang-kadang suhu 50۫C.

Pengasapan dingin dengan cara pengasapan tidak langsung lebih cocok, yaitu

tungku ditempatkan terpisah dari ruang pengasap sehingga panas yang masuk ke

dalam ruang pengasapan dapat dikurangi.

Cara yang palin lazim dapat dilakukan dengan pengasapan panas, pada

suhu 40-100۫C. Pengasapan panas ini pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan :

1. Tahap pertama, suhu pengasapan diusahakan cukup rendah, 30-35 ۫C dan hanya

untuk menguapkan sebagian air pada permukaan ikan. Asapnya dibuat tebal dan

ventilasi udara masuk 50-75 persen sehingga asap dapat menyebar merata

keseluruh bagian ikan. Karena permukaan ikan masih cukup lembab maka

penempelan asap ke ikan dapat berlangsung efektif dan sekaligus terjadi

penguapan air di permukaan ikan. Pada tahap ini lapisan protein terlarut

dipermukaan ikan dan asap mulai membentuk lapisan mengkilap. Tahap ini

berlangsung, cukup 30-60 menit tergantung jenis ikan, ukuran, kandungan lemak

dan produk yang diinginkan.

2. Tahap kedua, perlahan-lahan suhu dinaikkan menjadi 50 ۫C dan bukaan ventilasi

udara dikurangi sekitar 25 persen. Setelah suhu mencapai 50 ۫C, suhu ini

diusahakan tercapai dalam waktu 30-40 menit, jumlah asap dikurangi sampai

cukup tipis dan mengalir lancar dari ruang pengasap. Ikan perlu dibalik atau

diputar agar asap dan kematangan ikan merata.

Page 11: Bab II Tinpus H10fhu-6

19

3. Tahap ketiga, suhu dinaikkan perlahan sampai sekitar 80۫C dan bukaan

ventilasi dikurangi setelah asap mengalir lancar ke ruang pengasap. Pengasapan

pada suhu tinggi ini dijalankan sampai ikan cukup matang. Lama pengasapan

akan sangat ditentukan oleh jenis ikan,ukuran ikan, kandungan lemak, dan produk

yang diiginkan. Untuk ikan-ikan yang berukuran besar memerlukan waktu 30-60

menit lebih lama dari ikan berukuran kecil.

Dalam praktek, pengasapan dilakukan dengan cara yang bervariasi dan

banyak dipengaruhi oleh kebiasaan setempat, tetapi ketiga tahap itu harus

berlangsung. Tahap pertama sebagai pengeringan awal hendaknya berlangsung

dengan baik karena tahap ini nantinya akan menentukan warna, rasa dan kilap

ikan yang dihasilkan. Tahap kedua hendaknya berlangsung dengan baik karena

selain terjadi proses pematangan juga berlangsung pemantapan kilap, warna dan

aroma ikan asap. Tahap ketiga tentu saja menentukan tingkat kematangan an

kadar air produk.

2.4.4 Pengemasan

Setelah pengasapan, ikan dibiarkan dingin sesuai dengan suhu ruangan.

Sebaiknya tidak menggemas produk selagi masih panas, atau hangat karena akan

mengembun dan ikan cepat rusak ditumbuhi jamur. Ikan dapat dibiarkan

diruangan terbuka atau menggunakan kipas angin. Ikan asap sudah cukup dingin

1-2 jam.

Kalau fasilitas memungkinkan, pendinginan dapat dilakukan sampai suhu

rendah (0˚C) sebelum dikemas. Syaratnya, ikan harus segera didistribusikan.

Kalau ikan asap yang masih hangat langsung dimasukkan ke dalam ruang sejuk

maka ikan menjadi lembab dan mengkilapnya hilang atau berkurang. Apabila ikan

akan dikemas vakum, ikan asap yang sudah dingin menyebabkan terjadinya

pengembunan. Kalau ikan dibekukan sebelum dikemas vakum maka akan

terbentuk kristal es. Oleh karena itu, kalau akan dikemas vakum, sebaiknya suhu

produk dan pengemasan dilakukan pada suhu ruang. Kemasan yang digunakan

sebaiknya kuat, higienis, dan menarik.

Kotak kayu cocok sebagai kemasan. Pada dasar kotak kayu dialasi kertas

yang bersih lalu ikan asap disusun rapi didalamnya. Jika memungkinkan , ikan

Page 12: Bab II Tinpus H10fhu-6

20

asap disusun berselang seling anatara ikan asap dan kertas. Penyimpanan dengan

kotak kayu paling baik dilakukan pada penyimpanan suhu rendah 3-10۫C.

Penggemasan vakum harus dilakukan dengan proses sterilisasi dan penangganan

yang baik. Selain itu, harus diikuti dengan penyimpanan dan distribusi dalam

keadaan beku.

2.4.5 Penyimpanan

Penyimpanan ikan asap sangat berperan penting dalam distribusi dan

pemasarannya. Jika penyimpanan, juga pengemasan tidak baik maka ikan asap

cepat rusak sehingga daya jangkau pasarnya akan rendah. Untuk jangkauan

distribusi yang luas, penggunaan suhu rendah selama penyimpanan paling baik

untuk dilakukan.

Jika ikan asap didistribusikan pada suhu ruang, sebaiknya ikan asap

dihamparkan pada ruang bersuhu rendah sehingga ikan asap cepat turun. Kalau

sudah dingin, ikan dapat disusun kembali dan disimpan dengan baik pada suhu

rendah. Ikan asap dapat disimpan beku (30ºC) dan akan memiliki ketahanan

hingga 6 bulan. Selain itu, kalau penyimpanan lama, produk masih tampak bagus

walaupun rasa kurang lezat. Kalau dikemas vakum, ikan asap dapat lebih tahan

lama lagi, tetapi penggemasan ini berisiko tinggi jika tidak diikuti dengan

penyimpanan beku.

Suhu ideal untuk penyimpanan ikan asap cukup sekitar -2 – 0ºC. Akan

tetapi, jika fasilitas dingin ini juga digunakan untuk ikan basah, suhunya cukup 0-

1ºC sehingga ikan basah tidak membeku. Selama penyimpanan ini suhu harus

dipertahankan stabil rendah sehingga daya awet dan mutu ikan asap tinggi.

2.5 Tempat Pengasapan

Tempat pengasapan hendaknya terletak pada ruangan atau tempat yang

dapat ditutup rapat supaya panas dan pembakaran kayu dapat dimanfaatkan

dengan sebaik-baiknya. Ruang asap berupa sebuah kotak, drum, lemari, atau

kamar. Ikan dapat digantungkan pada palang-palang kayu atau diletakkan pada

rak-rak. Sebaiknya, sumber panasnya dapat dipindah-pindahkan supaya asapnya

dapat langsung masuk ke ruang pengasapan melewati terowongan asap.

Page 13: Bab II Tinpus H10fhu-6

21

Tempat pengasapan yang baik menyerupai sebuah alat pengering buatan

karena sebenarnya pengasapan adalah pengering buatan, hanya saja udaranya

bercampur dengan asap. Bentuk tempat pengasapan paling sederhana terdiri dari

sebuah kotak kayu seperti lemari atau drum yang berlubang di bagian atas untuk

tempat keluarnya asap dan di bawah ruangan ditempatkan tungku atau kayu bakar.

Ikan yang akan diasap digantungkan pada kayu-kayu atau bambu-bambu

melintang sehingga asap akan dapat melewati sela-selanya (Irianto 2007).

2.6 Pengaruh Pengasapan terhadap Ikan Asap

Proses pengasapan ikan akan menimbulkan perubahan pada ikan yang

telah diasap. Menurut Irianto (2007), pengaruh proses pengasapan terhadap ikan

asap yaitu :

a. Daya Simpan dari Asap

Ikan menyerap zat-zat seperti aldehida, fenol dan asam-asam. Zat-zat

pengawet tersebut juga bersifat racun bagi bakteri. Jumlah zat-zat ini dalam asam

sedikit sekali, maka daya pengawetannya pun terbatas. Oleh karena itu, tahap

pengasapan didahului oleh tahap-tahap lainnya.

b. Penampilan Kulit Ikan Mengkilat

Keadaan ini disebabkan oleh timbulnya reaksi kimia dari senyawa-

senyawa dalam asap, yaitu formaldehida dengan fenol yang menghasilkan lapisan

damar tiruan pada permukaan ikan. Supaya terjadi reaksi ini diperlukan suasana

asam yang telah tersedia dalam asap.

c. Perubahana Warna

Pengasapan merubah warna ikan menjadi kuning emas sampai kecokelat-

cokelatan. Warna ini dihasilkan oleh reaksi kimia fenol dengan O2 (zat asam)

dari udara. Proses oksidasi akan berjalan lebih cepat bila lingkungan bersifat

asam. Hal ini pun sudah tersedia pada ikan yang diasap.

d. Rasa Sedap Keasam-asaman

Pengasapan menimbulkan rasa yang khusus. Rasa ini dihasilkan oleh

asam-asam dan fenol serta zat-zat lain sebagai bahan pembantu. Dalam hal ini

ketebalan asap atau banyaknya asap yang terserap oleh ikan akan menentukan

tingkat rasa asap yang perlu disesuaikan dengan selera konsumen untuk itu harus

Page 14: Bab II Tinpus H10fhu-6

22

ada keseimbangan antara rasa enak ikan asap dengan daya simpan (shelf life) dari

ikan asap itu.

e. Penggunaan Asap Air (liquid smoke)

Untuk menghindari pemborosan waktu dan tenaga, orang berusaha

mencari cara lain, yaitu dengan mencelupkannya ikan ke dalam larutan bahan-

bahan asap (smoke concentrate), setelah itu baru dikeringkan.

2.7 Kriteria Mutu Ikan Asap

Cara paling mudah untuk menilai mutu ikan asap, yaitu dengan menilai

mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Penilaian mutu secara secara sensoris

sudah sangat memadai jika dilakukan dengan baik dan benar. Ada lima parameter

sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur.

Kriteria mutu sensoris ikan asap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kriteria Mutu Sensoris Ikan Asap

Parameter Deskripsi Mutu Ikan AsapKenampakan Permukaan ikan asap cerah, cemerlang dan mengkilap. Kalau kusam dan

suram menunjukkan bahwa ikan yang diasap sudah kurang bagus mutunyaatau karena perlakuan dan proses pengasapan tidak dilakukan dengan baik danbenar. Tidak tampak adanya kotoran berupa darah yang mengering, sisa isiperut, abu, atau kotoran lain. Adanya kotoran semacam ini menjadi indikasikalau pengolahan dan pengasapannya tidak baik. Kalau pada permukaan ikanterdapat deposit kristal garam maka hal ini menunjukkan bahwa penggaramanterlalu berat dan tentunya rasanya sangat asin. Pada ikan asap tidak tampaktanda-tanda adanya jamur atau lendir.

Warna Ikan asap berwarna coklat keemasan, coklat kekuningan, atau cokelat agakgelap. Warna ikan asap tersebar merata. Adanya warna kemerahan disekitartulang atau warna gelap di bagian perut menunjukkan bahwa ikan yang diasapsudah bermutu rendah

Bau Bau asap lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa baubusuk, tanpa bau asing, tanpa bau asam, tanpa bau apak.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa asap terasa lembut sampai tajam, tanpa rasa getir ataupahit, tidak terasa tengik.

Tekstur Tekstur kompak, cukup elastis, tidak terlalu keras (kecuali produk tertentuseperti ikan kayu), tidak lembek, tidak rapuh, dan tidak lengket. Hendaknyakulit ikan tidak mudah dikelupas dari dagingnya.

Sumber : Adawyah (2007)

Page 15: Bab II Tinpus H10fhu-6

23

2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengasapan

Pada proses pengasapan ada faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan atau tidaknya suatu proses pengasapan. Faktor yang mempengaruhi

proses pengasapan diantaranya jenis bahan bakar, kepekatan asap, suhu,

kelembapan udara, sirkulasi udara dan lama pengasapan. Adapun penjabaran

keenam faktor tersebut adalah :

1. Jenis bahan bakar

Jenis kayu yang baik untuk digunakan sebagai bahan bakar adalah kayu

keras seperti kayu turi, serbuk gergaji, kayu jati, sabut dan tempurung kelapa.

Jenis kayu keras mengandung senyawa fenol dan asam organik yang cukup tinggi

yang sangat dibutuhkan untuk proses pengasapan.

2. Kepekatan asap

Asap mempunyai efek antibakteri atau bakterisidal sehingga dapat

mengawetkan ikan. Menurut Hudaya et al. (1980) apabila mengandung kadar air

tinggi maka asap akan pekat sedangkan bila berkadar air rendah maka asap akan

tipis.

3. Suhu

Sebaiknya asap tidak dihasilkan dari pembakaran di atas 175-205°C,

karena pada suhu tinggi akan menimbulkan rasa pahit dan zat karsinogenik pada

produk. Pada pengasapan yang dilakukan dengan suhu tinggi juga dapat

menyebabkan hasil produk yang kurang baik, karena permukaan daging akan

mengeras sehingga cairan pada bagian dalam tubuh ikan menjadi terhalang

penguapannya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peristiwa “case hardening”

(bagian luar daging ikan mengering tetapi bagian dalamnya masih basah).

4. Kelembaban udara (RH)

Proses penyerapan asap sangat mempengaruhi kelembaban udara,

sehingga pengontrolan sangat penting. Kelembaban yang tinggi menambah waktu

pengasapan dan memperbanyak konsentrasi asap yang terserap dalam daging ikan

sehingga rasa asap menjadi sangat kuat, tetapi produk tidak kering. Sebaliknya

RH yang terlalu rendah dapat menghambat penyerapan asap. Menurut Chan et al.

(1975) RH 60 persen menyerap lebih banyak asap dan lebih cepat daripada tingkat

RH yang lain.

Page 16: Bab II Tinpus H10fhu-6

24

5. Sirkulasi udara

Sirkulasi udara yang baik dalam ruang pengasapan menjamin mutu ikan

asap yang lebih sempurna, karena suhu dan kelembaban ruang tetap konstan

selama proses pengasapan berlangsung. Aliran asap berjalan dengan lancar dan

kontinu sehingga partikel asap yang melekat menjadi terarah dan merata (Afrianto

dan Liviawaty, 1989).

6. Lama Pengasapan

Hasil penelitian Swastawati (2004) membuktikan bahwa lama pengasapan

dapat mempengaruhi komposisi nutrisi ikan terutama kadar lemaknya. Suhu yang

tinggi selama proses pengasapan ikan dapat menurunkan kadar asam lemak

omega-3 (DHA) ikan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan lama waktu

pengasapan ikan yang benar-benar efektif untuk mempertahankan nilai gizi

sekaligus mengawetkan dan aman bagi konsumen.

2.9 Suhu dan Lama Pengasapan Ikan Asap

Pada penelitian Aqliyanto (2005) terhadap ikan lele dumbo, memerlukan

suhu perlakuan pengasapan 70 ۫C selama 4,5 jam untuk menghasilkan atribut mutu

terbaik. Sedangkan pada penelitian Loekman (1993), kesukaan warna dan tekstur

pada ikan baung menunjukkan lama pengasapan 16 jam yang paling disukai,

tetapi aroma, pengasapan 20 jam lebih disukai. Berbeda dengan ikan tongkol asap,

penelitian Sekarfatma (1979), lama pengasapannya bervariasi dari 30 jam, 35 jam,

40 jam dan 45 jam, dengan suhu 10 ۫C, yang dapat menghasilkan atribut terbaik

pada pengasapan ikan. Penelitian Sanger (1997), ikan cakalang melakukan

pengasapan pada 100 ۫C dengan cara penggemasan vakum memberikan pengaruh

yang paling baik terhadap mutu ikan asap pada semua perlakuan. Sedangkan

menurut penelitian Wahyuni (1999), pada ikan teri lama pengasapan tiga jam

memiliki hasil yang terbaik diantara perlakuan-perlakuan lainnya. Pada hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh suhu dan lama pengasapan

berbeda-beda untuk setiap jenis ikan agar dapat menghasilkan warna,

penampakan, tekstur, aroma dan rasa yang terbaik.

Page 17: Bab II Tinpus H10fhu-6

25

2.10 Tipe Pengasapan Panas Tradisional atau Modern (Cair) pada Ikan Asap

Menurut penelitian Widagdo (1998), berdasarkan uji mutu kimiawi; uji

mikrobiologis; dan uji mutu organoleptik dapat disimpulkan bahwa perlakuan

pengasapan cair menghasilkan ikan nila merah asap dengan mutu yang lebih

rendah daripada pengasapan panas. Sedangkan penelitian Hapsari (1999), pada

ikan mas, pengasapan terbaik adalah metode pengasapan cair dengan perendaman

garam. Penelitian Pitaloka (1998), hasil organoleptik mutu hedonic didapat hasil

bahwa tiap perlakuan jenis pengasapan berpengaruh nyata terhadap rasa dan

penampakan ikan asap. Pada hasil tersebut dapat disimpulkan, bahwa tipe

pengasapan panas tradisional atau modern terhadap dua jenis ikan menghasilkan

hasil penelitian yang berbeda.

2.11 Pengaruh Bahan Bakar terhadap Daya Awet Ikan Asap

Menurut penelitian Tampubolon (1988), kandungan asam asetat dan

terutama kandungan fenol yang lebih tinggi pada ikan asap yang diasap dengan

sabut ternyata berpengaruh terhadap mutu dan daya awetnya, yaitu lebih baik dari

ikan asap yang diasap dengan tempurung dan serbuk kayu. Sedangkan pada hasil

penelitian Wahyuni (1999), terhadap nilai gizi dan mutu ikan teri asap, ternyata

perlakuan pengasapan ikan teri dengan bahan bakar sabut merupakan yang paling

baik. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahan bakar sangat

berpengaruh terhadap daya awet ikan asap.

2.12 Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Pengasapan

Pada hasil penelitian Aqliyanto (2005), Loekman (1993), Sekarfatma

(1979), Sanger (1997) dan Wahyuni (1999) dapat disimpulkan bahwa pengaruh

suhu dan lama pengasapan berbeda-beda untuk setiap jenis ikan agar dapat

menghasilkan warna, penampakan, tekstur, aroma dan rasa yang terbaik.

Sedangkan pada hasil Widagdo (1998) dan Hapsari (1999) dapat disimpulkan,

bahwa tipe pengasapan panas tradisional atau modern (cair) terhadap dua jenis

ikan menghasilkan hasil penelitian yang berbeda. Penelitian Tampubolon (1988)

dan Wahyuni (1999) menunjukkan bahan bakar sangat berpengaruh terhadap daya

awet ikan asap. Sedangkan pada penelitian Rahmawati (1997) menunjukkan

Page 18: Bab II Tinpus H10fhu-6

26

pengaruh tingkat pencucian dan cara pemberian bumbu terhadap daya simpan

ikan.

Oleh karena itu, faktor-faktor yang paling tepat dalam menentukan

keberhasilan pengolahan ikan asap yaitu :

1. Temperatur

2. Lama pengasapan

3. Tipe pengasapan (pengasapaan panas atau pangasapan cair)

4. Bahan bakar yang digunakan, dan

5. Tingkat pencucian serta cara pemberian bumbu

2.13 Penelitian Terdahulu

Penelitian Musarofah pada tahun 2009 menganalisis kelayakan usaha

pengolahan nugget ikan (kasus pada Usaha Nugget Ikan Putra Barokah, Desa

Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat). Analisis

finansial terbagi ke dalam dua skenario usaha yaitu skenario usaha I yang

merupakan jenis pengusahaan yang saat ini sedang dijalankan oleh Putra Barokah

dengan kapasitas produksi sebesar 747 kemasan per hari dan skenario usaha II

yang merupakan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi

menjadi 1.747 kemasan per hari.

Hasil penelitian tersebut pada skenario I menghasilkan nilai NPV sebesar

Rp 128.253.816, Net B/C 5,08, IRR 89 persen, dan payback period 2,15 tahun.

Sedangkan skenario II menghasilkan nila NPV Rp 309.706.718, Net B/C 6,00,

IRR 98 persen, dan payback period 2,53 tahun. Hasil analisis sensitivitas

menunjukkan bahwa kedua skenario tidak layak saat menghadapi penurunan

penjualan sebesar 46 persen, sementara saat menghadapi perubahan berupa

kenaikan harga kemasan sebesar 64,7 persen menunjukkan bahwa skenario I tidak

layak untuk dijalankan sedangkan skenario II masih layak untuk dijalankan.

Analisis switching value menunjukkan bahwa perubahan penurunan penjualan

yang masih dapat diterima agar usaha layak untuk dijalankan pada skenario I

adalah sebesar 13,22709 persen sedangkan pada skenario II adalah sebesar

10,475618439 persen. Perubahan berupa kenaikan harga kemasan yang masih

Page 19: Bab II Tinpus H10fhu-6

27

dapat diterima pada skenario I adalah sebesar 51,034158 persen dan pada skenario

II adalah 66,67150637 persen.

Maulana (2008) melakukan penelitian mengenai analisis kelayakan

pembuatan bandeng isi pada Banisi di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung,

Jawa Barat. Aspek finansial dalam penelitian tersebut dibagi menjadi tiga

skenario yaitu skenario I adalah usaha dengan perolehan bahan baku yang telah

dilaksanakan oleh BANISI tanpa penambahan alat, skenario II adalah ekspansi

usaha dengan perolehan bahan baku dan alat produksi sebesar dua kali lipat dari

kapasitas normal, dan skenario III yaitu usaha dengan perolehan bahan baku

langsung dari produsen ikan bandeng. Hasil dari penelitian tersebut pada skenario

I didapatkan nilai NPV sebesar Rp 13.646.116, nilai Net B/C 1,2994, IRR sebesar

15 persen dan Payback Period selama 2 tahun 1 bulan. Sedangkan dari skenario

III didapatkan nilai NPV sebesar Rp -527.334.772, karena memperoleh nilai NPV

yang negatif maka untuk kriteria lain alam skenario ini dianggap tidak layak.

Hasil analisis finansial dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

pengusahaan pembuatan bandeng isi yang dilakukan oleh BANISI hanya layak

dilakukan dalam skenario I dan II, sedangkan apabila dilakukan dalam skenario

III maka usaha tidak layak untu dijalankan. Hasil analisis sensitivitas dari

penelitian menunjukkan hasil bahwa penurunan harga dan penurunan produksi

adalah hal yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan usaha pada skenario I

dan II. Sedangkan pada skenario III, kenaikan harga jual merupakan faktor yang

paling berpengaruh agar usaha layak untuk dijalankan.

Noeraeni (2009) melakukan penelitian tentang Analisis Usaha dan Prospek

Pengembangan pada UKM Petikan Cita Halus Citayam, Bogor. Analisis data

dilakukan secara deskriptif, kelayakan finansial, non finansial dan SWOT. Selain

analisis kelayakan usaha, digunakan juga analisis rasio keuangan untuk

mengetahui secara cepat kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian

menunjukkan UKM PCH tidak layak secara finansial, dengan nilai NPV negative

(Rp -1.031.409.954), B/C ratio kurang dari satu (0,45), IRR sebesar 0,71 persen

masih dibawah tingkat diskonto yang disyaratkan sebesar 16 persen, dan PP

selama 10,03 tahun. Ratio likuiditas, hutang, dan profitabilitas pada tahun 2007

menunjukkan hasil yang menurun dibandingkan tahun 2006, sedangkan rasio

Page 20: Bab II Tinpus H10fhu-6

28

aktivitas mengalami peningkatan. Hasil lainnya, berbagai alternatif strategi

pengembangan usaha yang dapat diterapkan di UKM PCH.

Penelitian lain yang dilakukan di perusahaan yang sama adalah Analisis

Prioritas Strategi Bauran Pemasaran Aneka Ikan Asap Produksi Petikan Cita

Halus Citayam Bogor oleh Kadri (2009). Kegiatan strategi bauran pemasaran

yang telah dilakukan PCH adalah menggunakan strategi bauran pemasaran

(marketing max) 4P yaitu product, price, place dan promotion.

Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian tentang Strategi

Pengembangan Usaha Abon Ikan di KUB Hurip Mandiri Kecamatan Cisolok,

Kabupaten Sukabumi oleh Amir (2008). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui strategi yang paling cocok digunakan KUB Hurip dalam

mengembangkan usaha abon ikannya.Dalam penelitian tersebut, alat analisis yang

dipakai menggunakan SWOT, EFE, IFE, dan PHA.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan, perbedaan yang

ada dengan penelitian ini adalah secara umum memiliki perbedaan dengan lokasi

dan waktu penelitian. Perbedaan pada penelitian Musarofah (2009) dan Maulana

(2008) adalah pada jenis komoditi dan skenario yang dirancang. Pada penelitian

Musarofah (2009) menggunakan dua skenario yang dibedakan hanya dari

kapasitas produksi saja, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan dua

skenario yang dibedakan dari kapasitas produksi dan perbaikan packaging produk.

Skenario yang dirancang pada penelitian Maulana (2008) dilakukan berdasarkan

cara perolehan bahan bahan baku, sedangkan pada penelitian ini, skenario usaha

dibedakan berdasarkan kapasitas produksi perbaikan packaging produk dengan

pengembangan usaha.

Adapun pada penelitian Noeraeni (2009) dan Kadri (2009) memiliki

kesamaan pada objek penelitian yaitu pada perusahaan Petikan Cita Halus (PCH).

Perbedaan dengan penelitian Noeraeni (2009) adalah penelitian ini menganalisis

kelayakan finansial perusahaan pada tahun 2006-2007, sedangkan peneliti

menganalisis kelayakan finansial perusahaan pada saat ini dan pengembangan

usaha yang akan dilakukan PCH. Perbedaan dengan penelitian Kadri (2009)

adalah dari adalah dari segi topik dan tujuan penelitian. Penelitian Kadri (2009)

bertujuan untuk menganalisis bauran pemasaran yang dilakukan oleh PCH.

Page 21: Bab II Tinpus H10fhu-6

29

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Amir (2008) sangat berbeda

dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dari segi topik dan tujuan

penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang paling cocok

digunakan KUB Hurip dalam mengembangkan usaha abon ikannya.

Tabel 5. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian

Nama Tahun Judul Beda Penelitian TerdahuluMetodeAnalisis

Musarofah 2009 Analisis KelayakanUsaha PengolahanNugget Ikan (Kasuspada Usaha NuggetIkan Putra Barokah,Desa Blanakan,Kecamatan Blanakan,Kabupaten Subang,Jawa Barat)

Dalam penelitian inimenggunakan dua skenarioyang dibedakan hanya darikapasitas produksi.

IRR, NPV,BEP, PBP,NET B/CRatio, AnalisisSwitchingValue

Maulana 2008 Analisis KelayakanPembuatan Bandeng Isipada Banisi diKecamatan Soreang,Kabupaten Bandung,Jawa Barat

Dalam penelitian inimenggunakan tiga skenarioyang dibedakan dari caraperolehan bahan bahan baku.

NPV, IRR,NET B/C,PaybackPeriod

Noeraeni 2009 Analisis Usaha danProspekPengembangan padaUKM Petikan CitaHalus Citayam, Bogor

Dalam penelitian inimenganalisis kelayakanfinansial perusahaan padatahun 2006-2007.

NPV, IRR,NET B/C,PaybackPeriod, RatioLikuiditas,Hutang, danProfitabilitas

Kadri 2009 Analisis PrioritasStrategi BauranPemasaran Aneka IkanAsap Produksi PetikanCita Halus CitayamBogor oleh Kadri

Dalam penelitian inimenganalisis bauranpemasaran.

Bauranpemasaran(marketingmax) 4P yaituproduct, price,place danpromotion.

Amir 2008 Strategi PengembanganUsaha Abon Ikan diKUB Hurip MandiriKecamatan Cisolok,Kabupaten Sukabumi

Dalam penelitian inimenganalisis strategipengembangan usaha.

SWOT, EFE,IFE, dan PHA