Tinpus POLIP HIDUNG.docx
-
Upload
jesika-wulandari -
Category
Documents
-
view
58 -
download
5
Transcript of Tinpus POLIP HIDUNG.docx
POLIP HIDUNG
Definisi
Polip hidung adalah massa patologis yang lunak, licin dan berwarna putih keabu-abuan,
mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa) yang ditemukan pada
selaput lendir rongga hidung dan sinus paranasal. Umumnya terjadi akibat reaksi radang yang
berkepanjangan tanpa disertai rasa nyeri. Polip adalah tumor jinak yang harus diwaspadai
karena bisa berkembang menjadi ganas (kanker).
Etiologi
Penyebab
Polip hidung dengan gambaran klinis seperti daging yang tumbuh pada rongga hidung
yang merupakan pertumbuhan dari selaput lendir yang bersifat jinak ini hingga kini,
penyebab pastinya saat ini belum diketahui. Walaupun penyebabnya tidak di ketahui,
namun diperkirakan bahwa polip hidung terjadi sebagai akibat dari inflamasi atau
peradangan kronik berulang sehingga menimbulkan pembengkakan pada lapisan
selaput lendir rongga hidung dan sinus. Pembengkakan lapisan permukaan mukosa
hidung atau sinus akibat inflamasi ini akan menyebabkan terbentuknya cairan dalam
sel-sel selaput lendir rongga hidung dan sinus. Seiring dengan waku, akan
menyebabkan pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang
kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak
mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak
mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah
Faktor- faktor predisposisi
o Setiap kondisi yang memicu peradangan kronis di saluran hidung atau sinus,
seperti infeksi atau alergi, dapat meningkatkan resiko terkena polip hidung.
o Kondisi sering dikaitkan dengan faktor resiko terbentuknya polip hidung
antara lain:
Asma
Asma merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan
saluran napas secara keseluruhan dan penyempitan
Asma yang dimulai pada saat usia dewasa , dimana sekitar 20-
40% orang dengan polip hidung juga memiliki asma.
Rhinitis alergi
Rhinitis alergi adalah pilek yang disebabkan oleh reaksi alergi
dimana merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah
tersensitasi dengan alergen yang sama.
Tanda dan gejala rinitis alergi sangat beragam mulai dari
hidung, mata bahkan sampai ke telinga dan tenggorokan.
Gejala dan tanda pada hidung seperti hidung mengeluarkan
air/ingus (rinore), hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal pada
hidung, berkurangnya indera penciuman, Gejala dan tanda pada
mata seperti gatal pada mata, mata kemerahan, bengkak dan
berwarna biru kegelapan pada kulit di bawah mata yang disebut
dengan istilah allergic shiners. Gejala dan tanda pada telinga
dan tenggorokan seperti nyeri tenggorokan, suara serak, gatal
pada tenggorokan atau telinga dan bengkak pada telinga
Cystic fibrosis
Cystic fibrosis merupakan suatu kelainan genetik yang
diturunkan secara autosomal resesif yang menyebabkan
produksi dan sekresi dari mukus dan lendir yang abnormal,
lengket, cair dan tebal dari membran mukosa hidung dan sinus.
Produksi mukus yang abnormal ini akan menyebabkan
mudahnya terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga dapat
menimbulkan peradangan atau inflamasi.
Penyakit ini bersifat resesif, sehingga apabila kedua orang tua
merupakan carier (pembawa) gen penyakit ini, maka satu dari
empat anak mereka kemungkinan dapat menderita cystic
fibrosis.
Sekitar 25% orang dengan cystic fibrosis kemungkinan
menderita polip hidung.
Rhinosinusitis Kronis
Rhinosinusitis Kronis merupakan suatu proses peradangan yang
melibatkan satu atau lebih sinus paranasal yang biasanya terjadi
setelah reaksi alergi atau infeksi virus pernapasan atas. Dalam
beberapa kasus, rhinosinusitis dapat terjadi karena adanya
peningkatan produksi bakteri pada permukaan rongga sinus.
Gejala penyakit ini dapat berupa rasa sakit pada wajah terutama
apabila di tekan, demam, sakit kepala, mulut berbau, batuk,
sakit tenggorokan dan dapat komplikasi ke telinga sehingga
dirasakan nyeri dan penuh pada telinga.
Adanya respon alergi, misalnya alergi terhadap obat aspirin atau
penghilang nyeri seperti ibuprofen (Advil, Motrin, lainnya) dan
naproxen (Aleve).
Churg-Strauss syndrome yaitu suatu kondisi langka yang
menyebabkan peradangan pada pembuluh darah
Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang
mempermudah terjadinya polip nasi atau polip hidung.
Rhinitis Nonallergic dengan sindrom eosinofilia (NARES) – polip
nasal ditemukan 20% pada pasien dengan NARES
Riwayat polip pada keluarga juga mungkin memainkan peran. Ada
beberapa bukti bahwa variasi genetik tertentu yang berkaitan dengan
fungsi sistem kekebalan tubuh sehingga memungkinkan terjadinya
polip yang diwariskan dala keluarga.
Sindrom Young
Sindrom Young yang juga dikenal sebagai infeksi
sinopulmonary Azoospermia, Sindrom Sinusitis-infertilitas dan
Sindrom Barry-Perkins-Young adalah suatu kondisi langka
yang mencakup kombinasi dari sindrom seperti bronkiektasis ,
rinosinusitis dan mengurangi kesuburan atau infertilitas.
Intoleranansi alkohol –ditemukan 50% pasien dengan polip hidung
Diskinesia cilia primer
Diskinesia cilia primer merupakan kelainan genetik langka
yang diturunkan secara autosomal resesif, dimana pada
kelainan ini dijumpai ketidaknormalan fungsi silia sehingga
timbul penumpukan lendir yang berlebih yang dapat
mempermudah terjadinya infeksi oleh bakteri sehingga terjadi
reaksi peradangan atau inflamasi.
Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.
Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia yaitu berkurangnya
kemampuan untuk mencium bau atau anosmia yaitu tidak mampu sama sekali
mencium bau.
Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke
hidung (menyumbat sinus paranasal). Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya
lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami
infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis dengan keluhan rinore, sakit kepala dan nyeri
pada muka biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila.
Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh, perubahan
pengecapan, sengau, sakit kepala dan dijumpai lendir yang menetes dari bagian
belakang hidung ke tenggorokan, yang dikenal sebagai post-nasal drip
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di
hidung.
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin tidak
menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin. Pasien
polip dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar
memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang
kronik.
Pasien dengan polip soliter (hanya satu massa) seringkali hanya memperlihatkan
gejala obstruktif hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi.
Walaupun satu atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala
akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat
Patofisiologi
Patogenesis polip hidung belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip dihubungkan
dengan adanya inflamasi kronis, kelainan sistem saraf otonom, dan predisposisi
genetik. Teori-teori yang ada, pada umumnya beranggapan bahwa polip hidung
merupakan hasil akhir inflamasi kronis. Oleh karena itu, kondisi-kondisi dengan
inflamasi kronis dalam rongga hidung dapat memicu terjadinya polip hidung.
Penelitian-penelitian pada umumnya menyatakan bahwa polip sangat berhubungan
erat pada penyakit non-alergi dibandingkan penyakit alergi. Secara statistik, polip
hidung lebih sering ditemukan pada penderita asma non-alergi (13%) dibandingkan
dengan asma alergi (5%), dan hanya 05% dari 3000 individu atopic yang mempunyai
polip hidung.
Beberapa teori telah didalilkan untuk menjelaskan patogenesis polip hidung ,
meskipun tidak semuanya sesuai dengan fakta yang telah diketahui. Beberapa peneliti
percaya bahwa polip merupakan suatu exvaginasi dari mukosa normal sinus atau
hidung yang terisi dengan stroma edematous; sebagian mempercayai bahwa polip
merupakan kesatuan terpisah yang berasal dari mukosa.
Berdasar tinjauan ulang literatur dan studi bioelectric pada polip, Bernstein
meyakinkan teori patogenesis polip hidung, berdasarkan teori lain dan informasi
Tos. Dalam teori Bernstein, dijelaskan bahwa perubahan inflamasi pertama-tama
terjadi pada dinding sinus lateral atau mukosa sinus sebagai hasil interaksi host
bakteri - virus yang menghasilkan turbulent airflow secara sekunder. Pada banyak
kasus, polip berasal dari kontak area pada meatus media, terutama pada cleft sempit
pada regio ethmoid anterior yang menghasilkan turbulent airflow, terutama bila
terjadi penyempitan akibat peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps submukosa
dapat terjadi dengan disertai reepithelialisasi serta pembentukan kelenjar baru. Selama
proses ini berlangsung, dapat terbentuk polip dari mukosa karena adanya proses
radang sel epitelium, sel endotelium vaskuler, dan fibroblas yang dapat
mempengaruhi integritas bioelectric sodium channel pada lumen sel epitel saluran
pernapasan mukosa hidung. Respon ini meningkatkan penyerapan sodium,
menyebabkan retensi air dan terjadinya pembentukan polip .
Teori lain menyatakan bahwa ada keterlibatan dari ketidak-seimbangan vasomotor
atau ruptur epithelial. Teori ketidak-seimbangan vasomotor mendalilkan peningkatan
pemeabilitas vaskuler dan regulasi vaskuler yang lemah dapat menyebabkan
detoksifikasi produk sel mast (misalnya, histamin). Hasil akhir produk-produk dalam
stroma polip yang ditandai dengan edema (terutama pada pedicle polip) diperburuk
dengan adanya obstruksi aliran vena. Teori ini berdasarkan pada cell-poor stroma
polip, yang mempunyai vascularisasi kurang baik dan inervasi vasokonstriktor yang
kurang.
Menurut Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
polip hidung diawali dengan ditemukannya edema mukosa yang kebanyakan terjadi di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang
sembab semakin membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Polip dapat timbul pada hidung yang
tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis,
tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi
hidung dan sinus.
Teori ruptur Epithel lain menyatakan bahwa ruptur epitelium mukosa nasal dapat
disebabkan oleh adanya peningkatan turgor jaringan pada penyakit (misalnya, alergi,
infeksi). Ruptur ini dapat menyebabkan prolaps mukosa lamina propria, sehingga
membentuk polip. Defek tersebut mungkin diperbesar dengan efek gravitasi atau
obstruksi aliran vena, sehingga dapat menyebabkan polip. Teori ini mirip dengan teori
Bernstein's tetapi memberikan penjelasan yang lebih sedikit tentang bagaiman
terjadinya pembesaran polip dibandingkan dengan teori sodium flux yang didukung
dengan data Bernstein. Sebenarnya Tidak ada teori yang sepenuhnya menggambarkan
penyebab radang.
Pasien dengan Cystis Fibrotik mempunyai defek pada chloride conductance channel
kecil, yang diregulasi oleh cyclic adenosine monophosphate (cAMP), yang dapat
menyebabkan transport klorida yang abnormal ke membran sel apikal pada sel
epitelium. Patogenesis polip hidung pada pasien dengan cystis fibrotik mungkin dapat
dihubungkan dengan adanya defek ini.
Gambaran makroskopis dan mikroskopis histopatologi polip hidung
Gambaran makroskopis polip hidung
Secara makroskopik polip merupakan massa dengan permukaan licin, berbentuk bulat
atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular, dapat tunggal atau multipel dan
tidak sensitif (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke polip.
Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi
kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-
kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas hidung,
di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di
tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan
dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian
Stammberger didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus,
konka media dan infundibulum.
Polip pada kedua rongga hidung Tempat tumbuhnya Polip
NASAL POLYPS FROM TWO
DIFFERENT PEOPLENASAL POLYPS FROM TWO
DIFFERENT PEOPLE
Gambaran mikroskopis histopatologik polip hidung
Secara mikroskopik epitel polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel
bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab, membran tipis epitel dasar,
dan beberapa ujung saraf, Stroma polip hidung bersifat edematosus.
Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag, mukosa
mengandung sel-sel goblet. Vascularisasinya dan persarafannya buruk, kecuali pada
dasar polip. Hiperplasia kelenjar dapat menyebabkan dilatasi kistik dan degenerasi
kelenjar yang terdiri dari inspissated mucous.
Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia sel epitel karena sering terkena
aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.
Sel Eosinofil merupakan sel yang paling sering ditemukan yaitu sekitar 80-90% pada
inflamasi polip hidung. Eosinofil, yang ditemukan dalam polip hidung pada pasien
dengan asma bronkial dan alergi, terdiri dari granula dan produk toksin (misalnya,
leukotriena, eosinofilic cationic protein, major basofilic protein, platelet-activating
factor, eosinophilic peroxidases, other vasoactive substances dan chemotactic factors).
Faktor-faktor toksin ini bertanggung jawab atas terjadinya lisis epitel, kerusakan saraf,
dan ciliostasis. Granula Protein spesifik, leukotriena A4, dan platelet-activating factor
mungkin bertanggung jawab atas terjadinya edema mukosa dan hyperresponsiveness
Eosinofil dalam darah perifer dan di dalam mukosa normal hidung biasanya bertahan
3 hari. Pada kultur sel polip hidung, eosinofil dapat bertahan selama 12 hari. Delayed
apoptosis dari eosinofil dimediasi dengan blokade Fas receptors, dibantu oleh enzim
protease yang memulai proses kematian sel. Delayed apoptosis juga dimediasi dengan
peningkatan interleukin 5 (IL-5), IL-3, dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF) yang di sekresi oleh limfosit T, yang membantu
eosinophil bertahan dari kematian.
Sel inflamasi neutrofil ditemukan 7% dari kasus polip hidung. Terjadinya polip jenis
ini berhubungan dengan Cystik Fibrotik, primary ciliary dyskinesia syndrome, atau
Young Sindrom. Polip ini tidak berespon terhadap kortikosteroid akibat kekurangan
kortikosteroid corticosteroid-sensitive eosinophils. Ditemukan degranulasi sel mast.
Terjadinya degranulasi mungkin dimediasi oleh suatu non-imunoglobulin E (IgE)-
mediated. Peningkatan jumlah sel plasma, limfosit, dan myofibroblasts juga
ditemukan.
Diagnosis
Anamnesa:
Manifestasi polip hidung tergantung dari ukurannya. Polip yang ukurannya kecil
mungkin tidak menimbulkan gejala-gejala dan hanya bisa diidentifikasi selama
pemeriksaan fisik. Polip letaknya posterior sering tidak terlihat pada rhinoscopy
anterior dengan menggunakan otoskop, kecuali jika ditemukan adanya gejala
simtomatik. Polip kecil yang terletak pada area di mana polip biasanya muncul
(misalnya meatus media) mungkin menunjukkan gejala-gejala disertai blokade
saluran outflow sinus, dapat juga menyebabkan gejala-gejala sinusitis kronik atau
rekuren.
Pada Polip hidung yang lebih besar, menyebabkan gejala klinik seperti hidung terasa
tersumbat dari yang ringan sampai berat, sehingga sukar bernafas dari hidung, sukar
membuang ingus, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri
pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Gejala sekunder yang dapat timbul
bila sudah disertai kelainan organ di dekatnya ialah sakit kepala, adanya post nasal
drip, nyeri muka, telinga rasa penuh, bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
rhinorrhea, mendengkur dan gangguan tidur yang dapat berakibat pada penurunan
kualitas hidup.
Adanya hyposmia atau anosmia yang menyertai gejala sinusitis kronis dapat menjadi
petunjuk adanya polip hidung. Epistaksis yang timbul bukan dari iritasi septum nasal
anterior (area Kiesselbach) biasanya tidak disertai polip multipel benigna dan lesi
pada kavitas nasal.
Polip masif atau polip single yang besar, (misalnya, polip antral-choanal yang
mengobstruksi rongga hidung dan/atau nasofaring) dapat menyebabkan gejala
obstruksi saat tidur dan pernafasan kronis mulut. Polip masif yang terlihat pada CF
dan AFS jarang mempengaruhi struktur craniofacial dan menyebabkan proptosis,
hypertelorism, dan diplopia. Dalam suatu artikel, dilaporkan bahwa 40% dari anak-
anak dengan AFS menunjukkan adanya kelainan craniofacial, sedangkan pada orang
dewasa dengan AFS adalah 10%. Polip masif jarang memberi tekanan ekstrinsik yang
cukup pada saraf optik sehingga berakibat kurangnya ketajaman penglihatan. Karena
pertumbuhan polip masif pelan, maka biasanya tidak ditemukan adanya gejala
neurologik, sekalipun pada polip yang telah meluas ke rongga intracranial.
Pemeriksaan fisik :
Pada inspeksi hidung luar dapat ditemukan adanya hidung yang tampak mekar oleh
karena pelebaran batang hidung yang disebabkan oleh adanya polip hidung yang
masif.
Pemeriksaan Rinoskopi anterior :
Rinoskopi anterior mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga
hidung. Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat,
polip yang masif seringkali menciptakan kelainan pada hidung bagian luar.
Dilakukan Pemeriksaan Rhinoscopy Anterior. Pada anak kecil, umumnya digunakan
handheld otoskop dan speculum otologic. Otoskop ditempatkan pada rongga hidung
sehingga terlihat turbinasi inferior septum anterior, dan area dalam rongga hidung
septum bagian tengah.
Meatus media sering kali dapat dilihat dengan rhinoscopy pada anak yang kooperatif
dan tanpa adanya ada edema mukosa atau secret pada rongga hidung anterior. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat massa yang berwarna pucat yang berasal
dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Rhinoscopy anterior polip nasi Rhinoscopy anterior polip nasi
Pada polip hidung benigna paling sering dijumpai pada meatus media. Dengan
melihat Meatus media, dapat diperkirakan adanya patologi dan memperkirakan
perlunya scan CT sinus, dibandingkan melakukan prosedur endoscopic yang mungkin
membuat pasien merasa tertekan.
Pemeriksaan Endoskopi :
Endoskopi dilakukan untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari
kompleks osteomeatal. memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip
berukuran kecil di meatus media.
Rigid or flexible endoscopy merupakan metoda terbaik untuk pemeriksaan rongga
hidung dan nasofaring untuk secara penuh dapat menilai anatomi hidung dan
menentukan tingkat dan lokasi polip hidung. Untuk anak kecil flexible
nasopharyngoscope fiberoptic sering digunakan karena lebih sedikit traumatis karena
anak-anak mungkin menggerakkan kepala mereka karena merasa cemas atau tidak
nyaman.
Pada anak-anak dan remaja yang lebih kooperatif, rigid endoscopy dapat digunakan
untuk menilai meatus media dan sphenoethmoid recess. Dilakukan Pemberian
dekongestan dan anesthesia yang cukup pada rongga hidung sebelum melakukan
prosedur endoscopic pada anak yang berusia lebih dari 6 bulan.
Pada anak-anak, mengevaluasi dinding posterior rongga mulut dapat mengindikasikan
gejala-gejala polip hidung (misalnya, postnasal drip yang terjadi bersamaan dengan
sinusitis kronis). Polip yang besar atau adanya lesi pada rongga hidung dapat
memasuki oropharynx posterior lewat nasofaring; dapat juga menjadi lesi di balik
palatum dan uvula, dapat menekan palatum inferior dan anterior. Pemeriksaan
otoscopic polip hidung yang meluas dapat menyebabkan disfungsi tuba eustachian
sehingga dapat menyebabkan cairan dan infeksi dalam ruang telinga bagian tengah.
Pemeriksaan seksama sistem innervasi saraf kranium dan struktur craniofacial dapat
membantu menggambarkan perluasan lesi hidung yang potensial meluas pada struktur
penting sekitarnya.
rigid rhinoscopy pada cavum nasi anterior
kiri.rigid rhinoscopy pada cavum nasi anterior
kiri.
Pemeriksaan penunjang
Untuk membantu menegakkan diagnosa adanya polip hidung pada seseorang, dapat
dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperti:
Laboratorium:
o Berdasarkan Studi Laboratorium langsung, proses patologis dipercaya
bertanggung jawab pada terjadinya polip hidung .
o Anak-anak dengan polip hidung yang berhubungan dengan sinusitis alergi
perlu mendapatkan evaluasi alergi; yaitu test serological radioalergosorben
(RAST) atau test alergi kulit. Mabry dan Marple menunjukkan adanya
penurunan kekambuhan polip hidung pada anak-anak yang telah mendapatkan
imunoterapi antigen sesuai dengan penyebab alerginya, oleh karena itu, test
alergi penting dalam AFS.
o Melakukan test klorida atau test genetik Cystik Fibrosis pada setiap anak
dengan polip hidung multipel benigna.
o Ditemukannya Eosinofil pada hapusan hidung dapat digunakan untuk
membedakan penyakit sinus alergi dan non-alergi serta menandai apakah anak
tersebut memberikan respon terhadap glukokortikoid. Ditemukannya neutrofil
mengindikasikan adanya sinusitis kronis
CT SCAN
o Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk melihat keadaan hidung dan sinus
paranasal secara jelas. Apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks osteomeatal. Pemeriksaan ini terutama diindikasikan
untuk kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah
endoskopi.
o Kriteria standar untuk mengevaluasi lesi di hidung, terutama polip hidung atau
sinusitis, adalah dengan potongan tipis (1-3 mm) CT scan pada daerah
maxillofacial, axis sinus, dan coronal plane. Pengukuran yang benar sehingga
menghasilkan CT yang kompatibel sehingga dapat digunakan sebagai
gambaran pemandu intraoperative. Gambar foto polos radiology tidak
mempunyai nilai penting apabila polip telah terdiagnosa.
Sinus dapat menunjukkan polyps (P) yang berada dalam sinus cavities. Polyp terlihat
menghalangi saluran outflow sinus tract yang merupakan penyebabpotensial infeksi berulang
dan nyeri.
Pemeriksaan MRI
o Diperlukan pemeriksaan MRI pada pasien apabila dicurigai telah terjadi
perluasan intracranial atau perluasan polip hidung benigna.
o CT dan MRI dapat membantu diagnosa polip hidung; menggambarkan lesi
dalam rongga hidung, sinus-sinus, dan membatasi diagnosis diferensial pada
polip atau presentasi klinis yang tidak biasa.
o Cystik Fibrosis mempunyai suatu karakteristik bulging yang simetris pada
sebelah medial dinding lateral hidung.
o Suatu polip antral-choanal dapat menunjukkan opacified sinus maxillary
disertai penonjolan lesi yang berasal dari antrum maxillary ke koana
o Tumor seperti Rhabdomyosarcoma dapat menunjukkan adanya perluasan lesi
disertai dengan invasi mukosa sekitarnya.
o Kista Duktus Nasolakrimaris dapat menunjukkan adanya dilatasi pada Duktus
Nasolakrimaris
o Encephalocele dapat menunjukkan ekspansi pada region nasofrontal (foramen
caecum) disertai herniasi otak atau dura.
o Glioma dapat menunjukkan lesi hidung terisolasi mungkin mempunyai tangkai
berserat pada CNS.
o Pasien dengan AFS memperlihatkan adanya area heterogen pada sinus-sinus
di CT scan dan MRI; area ini terdiri dari polip hidung dan alergic mucin
fungal. Allergic Mucin fungal ini terlihat hitam pada MRI. adanya penyakit
lain dapat mengacaukan hasil dari pemeriksaan ini.
Pemeriksaan Biopsi
Pemeriksaan ini diindikasikan jika ada massa unilateral pada pasien usia lanjut, jika
penampakan makroskopis menyerupai keganasan atau bila pada foto roentgen
terdapat gambaran erosi tulang.
Diagnosa Banding
Konka polipoid
o Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya
sebagai berikut :
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Nyeri bila ditekan dengan pinset
Mudah berdarah
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
o Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip
dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati – hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, meningkatkan tekanan
darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit
jantung lainnya.
Angiofibroma Nasofaring Juvenil
o Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini
mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga
hidung.
o Dari anamnesis diperoleh adanyakeluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis
berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga
timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba
Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.
o Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi.
o Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran
klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
Pterigoideus ke belakang. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan
tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya.
o Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan
kontraindikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring
Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki
Keganasan pada hidung
o Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel,
debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada
laki-laki.
o Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia,
proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit
kepala hebat dan dapat disertai likuorhea.
o Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa tumor.
Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk selsquamous berkeratin
Klasifikasi Polip Hidung
Menurut Subhan Polip hidung terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
o Polip hidung tunggal adalah jumlah polipnya hanya satu, berasal dari sel-sel
permukaan dinding sinus tulang pipi.
o Polip hidung Multiple adalah jumlah polip lebih dari satu berasal dari
permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).
Untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat
dilaporkan dengan standar yang sama, Mackay dan Lund pada tahun 1997 membuat
pembagian stadium polip sebagai berikut:
o Stadium 0 : Tidak ada polip
o Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus medius
o Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung
o Stadium 3 : Polip yang massif.
Terapi
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi berkurang,
mengurangi atau menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai asma,
mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk polip yang masih kecil (belum memenuhi rongga
hidung) yaitu dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dengan dosis tinggi
dalam jangka waktu singkat. Dapat juga berupa kortikosteroid intranasal yang diberikan
selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, maka terapi ini diteruskan sampai polip dan
gejalanya hilang. Apabila tidak ada reaksi yang adekuat dari terapi kortikosteroid intranasal
maka terapi dapat ditambahkan dengan kortikosteroid sistemik, sehingga pengobatan bersifat
kombinasi. Contohnya adalah dengan pemberian Prednison 30 mg per hari selama seminggu
dilanjutkan dengan 15 mg per hari selama seminggu. Pemberian kortikosteroid untuk
menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa.
Pemberian steroid oral dan topikal pada hidung merupakan terapi primer untuk polip
hidung. Antihistamin, dekongestan, dan cromolyn sodium memberikan sedikit
manfaat. Imunoterapi dapat berguna pada rhinitis alergi tetapi bila digunakan
sendirian, tidak selalu dapat menghilangkan polip hidung yang ada. Antibiotik
diberikan apabila ada superinfeksi bakteri.
Kortikosteroid merupakan obat terpilih, baik diberikan secara sistemik maupun
topikal. Injeksi langsung pada polip tidak disetujui oleh Food and Drug
Administration karena adanya laporan kehilangan penglihatan unilateral pada 3 pasien
setelah mendapatkan suntikan steroid intranasal dengan Kenalog. Keamanan
penggunaannya tergantung dari ukuran partikel spesifik obat. Bobot molekular yang
besar seperti Aristocort sifatnya lebih aman dan lebih sedikit ditransfer ke daerah
intracranial. Hindari injeksi langsung dalam pembuluh darah.
Penggunaan steroid oral merupakan terapi medis paling efektive pada polip hidung.
Pada orang dewasa, kebanyakan digunakan prednison (30-60 mg) selama 4-7 hari dan
kemudian dilakukan tappering off selama 1-3 minggu. Dosis bervariasi untuk anak-
anak, tetapi dosis maksimum biasanya adalah 1 mg/kg/bb untuk 5-7 hari, kemudian
dilakukan tappering off selama 1-3 minggu. Respon terhadap kortikosteroid
tergantung pada ada atau tidak adanya eosinofilia. Maka pasien dengan polip hidung
dan rhinitis alergi atau asma seharusnya berespon terhadap pengobatan ini.
Pasien polip hidung tanpa dominasi eosinofilia (misalnya, pasien-pasien dengan
Cystik Fibrosis, primary ciliary dyskinesia syndrome, atau Young syndrome)
mungkin tidak berespon terhadap pengguanaan steroid. Penggunaan steroid oral
jangka panjang tidak dianjurkan karena mempunyai banyak efek potensial yang tak
diinginkan (misalnya, keterlambatan pertumbuhan, diabetes melitus, hipertensi, efek
psikotropik, efek GI, katarak, glaukoma, osteoporosis, dan nekrosis aseptik pada
kaput femoris).
Penggunaan steroid topikal untuk polip hidung banyak dianjurkan, baik sebagai
pengobatan primer atau sekunder pada pemberian steroid Per Oral atau pembedahan.
Steroid hidung (misalnya, fluticasone, beclomethasone, budesonide) efektif untuk
menghilangkan gejala-gejala subjektif dan meningkatkan aliran udara ke hidung
ketika diukur secara obyektif (terutama pada double-blind plasebo- controlled
studies). Beberapa penelitian menyatakan bahwa fluticasone mempunyai onset lebih
cepat daripada beclomethasone.
Pemberian kortikosteroid topikal secara umum menyebabkan lebih sedikit efek tak
diinginkan dibanding penggunaaan kortikosteroid sistemik karena pembentukan
bioavailabilitas yang terbatas. Pada penggunaan jangka panjang, terutama pada dosis
tinggi atau pada kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi, mempunyai resiko supresi
axis hypothalamic-pituitary-adrenal, katarak, keterlambatan pertumbuhan, pendarahan
hidung, dan perforasi septum nasal (jarang).
Seperti halnya pengobatan jangka panjang yang lain, perlu dilakukan monitoring
penggunaan kortisteroid spray. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (lebih dari
5 tahun) dengan pemakaian beclomethasone menunjukkan tidak adanya degradasi
epitelium pada epitel normal pernapasan epitelium skuamosa pada rhinitis atrophic
kronis. Generasi steroid sistemik yang lebih baru (misalnya, fluticasone, Nasonex)
memiliki bioavailibilitas lebih sedikit dibanding steroid hidung sebelumnya, seperti
beclomethasone.
Antibiotika juga harus diberikan apabila didapatkan tanda-tanda infeksi. Pemberian
antibiotik pada kasus polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.
Selain itu, perlu diperhatikan juga pengobatan alergi bila merupakan penyebab
timbulnya polip.
Pembedahan
Untuk kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang
massif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung dari
luasnya penyakit (besarnya polip, dan adanya sinusitis yang menyertai).
Intervensi pembedahan diperlukan pada anak-anak dengan polip hidung múltiple
benigna atau rhinosinusitis kronis yang gagal dengan pemberian terapi medis
maksimum. Polipectomy sederhana secara awal efektif membebaskan gejala-gejala
hidung, terutama untuk polip hidung terisolasi atau polip hidung yang kecil. Pada
polip hidung multipel benigna, polipectomy memiliki angka kekambuhan yang tinggi.
Polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal
dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan
dengan analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk
polip etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila
tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk
polipektomi saja, atau disertai unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan
bula etmoid sampai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional lengkap.
Alat mutakhir saat ini yang digunakan untuk membantu operasi polipektomi
endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat yang dapat
menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat berlangsung
cepat dengan trauma yang minimal.
Endoscopic Sinus Surgery (ESS) merupakan teknik yang lebih baik karena tidak
hanya mengangkat polip tetapi juga membuka celah dalam meatus media, yaitu
daerah yang paling sering membentuk polip, sehingga dapat menurunkan tingkat
kekambuhan. Perlu mengetahui luas daerah yang tepat saat pembedahan sehingga
dapat dilakukan ekstirpasi secara lengkap (Nasalide prosedur) atau aerasi sederhana
pada sinus. Prosedur ekstirpasi lebih efektive daripada aerasi sinus karena komplikasi
yang timbul lebih rendah apabila dilakukan oleh ahli bedah. Penggunaan surgical
microdebrider membuat prosedur ini lebih cepat dan lebih aman, penyediaan gunting
jaringan yang tepat mengurangi hemostasis dengan visualisai yang lebih baik.
Pembedahan langsung jaringan yang terlihat pada CT scan saat dilakukan
pembedahan. Pasien pasien dengan penyakit seperti CF primary ciliary dyskinesia
syndrome, atau Young syndrome dapat langsung memulai pembedahan tanpa perlu
perawatan medis ekstensive, karena biasanya penyakit ini tidak berespon terhadap
pemberian kortikosteroid. Setelah jaringan yang sakit diangkat dari rongga hidung
dan sinus, sistem paru-paru biasanya akan membaik. Penggunaan image-guided
system memandu untuk mengetahui lokasi yang tepat pada intranasal, sinus, orbital,
dan struktur intracranial pada pembedahan atau revisi polip hidung.
Polip hidung terjadi 6-48% pada anak-anak dengan CF. Pembedahan dilakukan
apabila anak-anak tersebut menunjukkan gejala simtomatik. Kekambuhan polip
hidung pada CF hampir besifat universal, sehingga sering diperlukan pembedahan
ulang tiap beberapa tahun, sehingga pasien perlu mendapat konseling preoperative
tentang adanya kemungkinan ini.
Untuk lesi selain polip hidung benigna yang menjadi polip hidung, polip tersebut
harus di biopsi atau diangkat, tergantung dari proses perjalanan penyakit.
Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan
kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan
berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan
trauma dapat dihindari. Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan
endoskop, dan telah terbukti bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat
menurunkan kekambuhan.
Komplikasi
Polip hidung Massive atau polip single yang besar (eg, antral-choanal polip) yang
mengobstructsi Cavum nasi dan/atau nasopharynx dapat menyebabkan gejala
obstructive tidur dan pernafasan mulut chronic. Jarang, polip hidung massive, pada
CF dan pada AFS dapat mempengaruhi structure craniofacial. Hal ini dapat
mengakibatkan proptosis, hypertelorism, dan diplopia
Pada suatu article publikasi, pengarang melaporkan 40% anak-anak (dibandingkan
10% pada dewasa) dengan AFS yang disertai abnormalittas craniofacial. polip osis
Massive jarang menyebabkan kompresi extrinsic yang cukup pada nerve optic
sehingga tajam penglihatan berkurang. Newcomber melaporkan bahwa 3 dari 82
pasien dengan AFS mempunyai perubahan penglihatan akibat compresi nerve optic
pada sinus sphenoid setelah pengangkatan polip hidung. Bagaimanapun, karena polip
s bertumbuh pelan, bisanya tidak menimbulkan gejala neurological, meskipuntelah
meluas ke intracranial cavity.
Prognosis
Rekurensi Polip hidung sering terjadi setelah terapi medis atau therapy bedah jika ada
polip multipel benigna. polip single yang besar (eg, antral-choanal polip) bersifat
kurang rekuren.