Pendahuluan Dan Tinpus
-
Upload
juju-junengsih -
Category
Documents
-
view
177 -
download
9
Transcript of Pendahuluan Dan Tinpus
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan sumber daya perikanan di Indonesia belum optimal dilakukan sampai
dengan memanfaatkan limbah hasil pengolahan, padahal limbah tersebut dapat diolah lebih
lanjut menjadi berbagai produk yang memiliki nilai ekonomis. Limbah yang dihasilkan dari
kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 20-30%. Produksi ikan yang telah
mencapai 6.5 juta ton pertahun. Hal ini berarti sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah
(Gintings, 1992).
Alam memiliki kemampuan untuk mengatasi limbah. Berbagai siklus yang terdapat
di alam mampu mengatasi limbah. Meningkatnya konsentrasi limbah yang terlalu cepat akan
menyebabkan siklus yang ada tidak mampu bekerja secara baik. Pada konsentrasi tertentu,
kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan
manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan
yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah (Sugiharto,
1987).
Usaha pengolahan ikan selalu menghasilkan limbah berupa limbah padat dan limbah
cair yang secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak kurang baik
terhadap lingkungan karena menimbulkan pencemaran. Limbah padat yang berasal dari
industri perikanan cukup besar, pada umumnya berkisar antara 30-50% dari berat awal ikan,
tergantung dari jenis ikan yang diolah. Limbah tersebut terdiri dari kepala, ekor, sirip, tulang,
kulit dan jeroan (Iriawan, 1993).
Uunit usaha fillet ikan tuna/marlin menghasilkan limbah yang sangat banyak
diantaranya tulang dan kulit. Penanganan limbah tulang dan kulit yang umum dilakukan
adalah dengan penguburan atau dijual pada peternak. Padahal tulang ikan mengandung
mineral kalsium yang tinggi sedangkan kulit ikan mengandung protein yang tinggi. Tulang
dan kulit ikan tersebut merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat
dimanfaatkan sebagai tepung untuk pakan ternak maupun ikan. Pemanfaatan limbah tulang
dan kulit ikan tuna/marlin sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan merupakan salah satu
upaya untuk memproduksi tepung ikan yang kaya akan kalsium dan protein.
1
A.Tujuan
1. Tujuan umum pelaksanaan kerja lapangan ini adalah untuk mendapatkan keterampilan
dan pengalaman kerja dalam kegiatan pengolahan tepung ikan dan melihat berbagai
persoalan yang timbul di lapangan.
2. Tujuan khususnya yaitu mempelajari teknik pengolahan limbah tulang dan kulit ikan
tuna/marlin guna memperkaya kalsium dan protein pada tepung ikan yang dilakukan di
KUB Fresh Fish Yogyakarta.
B.Manfaat
Pelaksanaan kerja lapangan di KUB Fresh Fish Yogyakarta,
diharapkan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
mahasiswa mengenai teknik pengolahan limbah tulang dan kulit ikan
tuna/marlin guna memperkaya kalsium dan protein pada tepung ikan.
C.Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Kerja lapangan dilaksanakan :
Waktu : 1 Juli 2013 – 1 Agustus 2013
Lokasi : Kelompok Usaha Bersama Fresh Fish Yogyakarta
Alamat : Jl. Kasihan Bantul Yogyakarta
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Tuna
Ikan tuna termasuk dalam keluarga scombroidae, tubuhnya seperti cerutu.
Mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip
belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip
dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam
dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh
sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar
memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap
(Ditjen Perikanan, 1983)
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Sub kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Scombroidae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus albacores
B. Ikan Marlin
Ikan marlin merupakan ikan yang termasuk kedalam scombroid fish yang terdiri dari
±5 spesies dan hidup di daerah yang bersuhu tropis diseluruh dunia, di kedalaman 400-500
meter dibawah permukaan laut dan mengadakan migrasi untuk bertelur. Badannya berbentuk
cerutu dan memiliki panjang kira-kira 4,5 meter dan beratnya mencapai 540 kg untuk marlin
terbesar yang pernah ditemukan. Ikan ini termasuk ikan perenang cepat, dan termasuk ikan
pemakan daging atau karnivora.
Klasifikasi ikan marlin menurut Anonim (2008) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Asteichthyes
3
Ordo : Perciformes
Famili : Scombroidae
Genus : Xiphias
Spesies : Xiphias sp.
C. Limbah Industri Perikanan
Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu
sumber aktivitas manusia maupun proses alam dan belum mempunyai nilai ekonomis, bahkan
dapat mempunyai nilai ekonomi negatif karena penanganan untuk membuang atau
membersihkan memerlukan biaya yang cukup besar disamping dapat mencemari lingkungan.
Penanganan limbah yang kurang baik merupakan masalah di dalam usaha industri termasuk
industri perikanan yang menghasilkan limbah pada usaha penangkapan, penanganan,
pengangkutan, distribusi, dan pemasaran ( Jenie dan Rahayu, 1993).
Limbah sebagai buangan industri perikanan dikelompokkan menjadi tiga macam
berasarkan wujudnya yaitu :
1. Limbah padat dapat berupa kepala, kulit, tulang ikan, potongan daging ikan, sisik, insang
atau saluran pencernaan (Sugiharto, 1987).
2. Limbah cair dapat bersumber dari air pencuci, air pembersih peralatan, lelehan es dari
ruang produksi dan lain sebagainya. Limbah cair ini mengandung bahan-bahan organik
dan berpotensi untuk menimbulkan efek negatif. Tingkat pencemaran limbah cair industri
pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan
yang diolah. Karakteristik limbah cair yang berasal dari industri sangat bervariasi
tergantung pada jenis dan besar kecilnya industri tersebut. Limbah cair yang dihasilkan
oleh suatu pabrik terutama berasal dari berbagai proses yang berlangsung di dalamnya.
Makin banyak jumlah air yang digunakan, maupun makin banyak bahan-bahan asing yang
masuk ke dalam air buangan akan mengakibatkan semakin sulitnya pengolahan yang harus
ditetapkan untuk memeperbaiki mutu air buangan tersebut (Purnomo, 2005).
3. Limbah gas atau partikel, limbah ini dapat bersumber dari bau tidak sedap yang dihasilkan
oleh masing-masing industri baik industri penangkapan, industri budidaya maupun
industri pengolahan hasil perikanan. Bau yang ditimbulkan disebabkan karena adanya
senyawa amonia, hidrogen sulfida atau keton (Sugiharto, 1987).
Umumnya industri fillet tuna dan marlin menghasilkan limbah yang cukup besar.
Limbah yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan untuk pakan hewan dan juga
digunakan untuk produksi tepung ikan. Perkembangan industri pengolahan tulang dan kulit
4
ikan menjadi tepung ikan memberi beberapa keuntungan, yaitu untuk memanfaatkan bagian
ikan yang tidak dikonsumsi seperti tulang dan kulit yang biasanya merupakan limbah industri
pengolahan yang tidak dimanfaatkan (Maulida, 2005).
D. Tulang Ikan
Tulang ikan merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat
dimanfaatkan sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan dapat
dilakukan dalam bentuk pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi
dalam makanan.
Tulang ikan banyak mengandung garam mineral dari garam fosfat, seperti kalsium
fosfat (Elfauziah, 2003). Tulang mengandung sel-sel hidup dan matrik intraseluler dalam
bentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari kalsium fosfat sebanyak 80% dan
sisanya sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat dan magnesium fosfat. Setiap 100 cm3
tulang kakap mengandung 10.000 mg kalsium. Tulang membantu sebagai penampung
mineral, yang secara konstan diisi atau dikosongkan (Frandson, 1992).
Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan
penempatan mineral ke dalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat
didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblas dalam pembentukan tulang,
osteosit dalam pemeliharaan tulang dan osteoklas dalam penyerapan kembali tulang.
Osteoblas membentuk kolagen tempat mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang
adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah kecil adalah natrium,
magnesium, dan fluor (Winarno, 1997).
Penelitian mengenai kalsium tulang ikan telah banyak dilakukan. Penelitian yang
dilakukan oleh Nabil (2005) memperoleh hasil bahwa kalsium dari ikan tuna sebesar 23,72-
39,24%. Tababaka (2004) kalsium tepung tulang patin sebesar 26%. Iwansyah et al., (2008)
kalsium tepung tulang manyung sebesar 12,8% dan ikan mata besar yaitu 15,2%. Beberapa
penelitian diatas menunjukkan bahwa tepung tulang ikan merupakan sumber kalsium yang
tinggi.
5
E. Kulit Ikan
Kulit ikan terdiri dari daerah punggung, perut dan ekor sesuai dengan bentuk
badannya. Kulit ikan tersusun dari komponen kimia protein, lemak, air, dan mineral. Kulit
ikan merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta serangan mikroba dari
luar tubuh.
Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain
dagingnya. Kulit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun non pangan. Kulit
ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan,
gelatin, kulit olahan, tepung ikan, serta sumber kolagen untuk kosmetik. Kandungan protein
kolagen yang terdapat pada kulit ikan yaitu sebesar 41-84% (Judoamidjojo, 1981).
Kulit ikan, seperti halnya kulit vertebrata yang lain, terdiri dari 3 lapisan, yaitu
epidermis, corium (derma) dan hypodermis (subcutis), yang dikenal sebagai daging atau
tenunan lemak (Judoamidjojo, 1981). Lapisan epidermis adalah lapisan tanduk sebagai
pelindung pada kulit hewan hidup. Lapisan epedermis pada penyamakan kulit harus dibuang
sampai bersih untuk mendapatkan hasil penyamakan kulit yang baik. Corium (derma) adalah
sebagian tenunan kulit yang akan diubah menjadi kulit tersamak. Corium sebagian besar
terdiri dari jaringan serat kolagen yang dibangun oleh tenunan pengikat. Corium memiliki 3
macam tenunan pengikat, yaitu tenunan kolagen, elastin dan reticular (Judoamidjojo, 1981).
F. Tepung Ikan
Menurut SNI 01-2715-1996/Rev. 92 (1996) tepung ikan adalah ikan atau bagian-
bagian ikan yang minyaknya diambil atau tidak, dikeringkan kemudian digiling.
Proses pembuatan tepung ikan terdiri dari beberapa tahap diantaranya yaitu :
1. Pemasakan
Ketika dipanaskan, sebagian besar air dan minyak akan hilang. Pemasakan bertujuan
untuk mengkoagulasikan protein, sehingga memudahkan tahap pengepresan untuk
mengeluarkan air dan lemak (Murtidjo, 2001). Pemanasan biasanya dilakukan pada suhu 95-
100oC dalam waktu 15 sampai 20 menit. Pemasakan merupakan tahap yang paling kritis
dalam pembuatan tepung ikan, karena bila terlalu matang akan menyulitkan pengepresan
yang disebabkan bahan baku terlalu lunak. Perebusan yang kurang matang cairannya sulit
untuk dikeluarkan karena bahan baku masih keras.
6
2. Pengepresan
Pengepresan bertujuan untuk menghilangkan cairan dan lemak sekaligus
menghancurkan padatannya. Hasil pemasakan masuk kedalam mesin pengepres (squeezer)
melalu conveyor screw yang terdapat dalam cooker untuk diperas dengan tekanan ulir. Cairan
dan lemak yang keluar kemudian dimasukkan kedalam tabung konsentrat melalui pipa yang
dihubungkan dengan squeezer. Cairan dan lemak yang keluar diolah menjadi kaldu/silase
ikan. Padatan yang dihasilkan dimasukkan kedalam mesin dryer untuk dikeringkan.
Permasalahan yang sering terjadi adalah saringan pada squeezer sering robek yang
disebabkan adanya tulang yang keras dan masuknya batuan pada saat proses pemasakan.
Saringan yang robek menyebabkan bahan banyak yang keluar dan terbuang dari mesin
pengepres tersebut. Pengepresan yang kurang sempurna akan memperlambat proses
pengeringan dan kandungan lemak masih sangat tinggi sehingga menyebabkan produk
tepung mudah menggumpal dan mudah lengket pada dryer. Kadar lemak yang tinggi akan
mempercepat terjadinya ketengikan pada tepung dan mengurangi mutu tepungnya. Suhu yang
dibutuhkan antara 98˚-100˚C dan kecepatan mesin pengepres antara 32 rpm-34 rpm. Waktu
yang dibutuhkan dalam pengepresan sekitar 5 menit. Semakin tinggi kecepatan yang
digunakan menyebabkan kadar air dalam bahan cukup banyak sehingga proses pengeringan
akan menjadi lebih lama. Menurut Taufik (2001), Pengepresan yang baik dapat menurunkan
kadar air dari 70% menjadi sekitar 50% dan lemak dapat mencapai 5%.
3. Pengeringan
Menurut Hutuely et al., (1988), pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air
sampai batas tertentu, dimana perkembangan mikroorganisme maupun kegiatan enzim-enzim
dapat terhambat atau terhenti. Semakin lama waktu pengeringan, kadar air semakin turun.
Metode konvensional menggunakan alat pengering dryer. Tepung basah yang keluar
dari squeezer masuk kedalam dryer melalui screw berjalan. Panas yang digunakan berasal
dari uap yang dialirkan melalui pipa yang terhubung ke boiler. Alat pengeringan berbentuk
seperti drum atau terowongan yang dipasang horisontal. Suhu pengeringan yang dibutuhkan
antara 98˚-100˚C dan tekanan uap 4-6 bar. Proses pengeringan berlangsung selama 2 jam dari
awal proses produksi. Pengeluaran tepung dari dryer dilakukan secara bertahap. Sebelum
dikeluarkan dari dryer, dilakukan pengecekan terlebih dahulu dengan cara membuka pintu
dryer paling ujung kemudian tepung diambil dan diuji secara sensoris. Ciri-ciri tepung yang
telah dapat dikeluarkan yakni butiran tepung tidak menggumpal dan tekstur tepung lebih
halus.
7
Pengeringan yang kurang sempurna menyebabkan kadar air masih relatif sangat tinggi, hal
tersebut mengakibatkan tepung mudah mengalami proses oksidasi yang dapat menyebabkan
ketengikan dan tumbuhnya kutu pada saat penyimpanan
4. Pengemasan
Tepung ikan dikemas menggunakan plastik atau karung. Tujuannya agak mudah
dalam pendistribusian dan mencegah terjadinya kontaminasi dari luar.
Persyaratan mutu standar tepung ikan meliputi kandungan nutrisi dan kandungan
bahan berbahaya. Persyaratan mutu standar tepung ikan yang harus dipenuhi dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu tepung ikan
Sumber : SNI (1996)
G. Kalsium
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tulang. Lebih dari
95% kalsium ada di dalam tulang yaitu bersama-sama dengan fosfat membentuk kristal tidak
larut yang disebut kalsium hidroksiapatit (Muchtadi et al. 1993).
Hidroksiapatit merupakan suatu struktur kristal yang terdiri atas kalsium fosfat dan
disusun di sekeliling matriks organik berupa protein kolagen untuk memberikan kekakuan
pada tulang. Di samping itu juga terdapat ion-ion lain, seperti fluor, magnesium, seng dan
8
Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III
1. Kimia :
a. Air (%) maksimal
b. Protein kasar (%) minimal
c. Serat kasar (%) maksimal
d. Abu (%) maksimal
e. Lemak (%) maksimal
f. Ca (%)
g. P (%)
h. NaCl (%)
2. Mikrobiologi
Salmonella (pada 25 gram sampel)
3. Organoleptik
Nilai minimum
10
65
1,5
20
8
2,5 - 5,0
1,6 - 3,2
2
Negatif
7
12
55
2,5
25
10
2,5 - 6,0
1,6 - 4,0
3
Negatif
6
12
45
3
30
12
2,5 - 7,0
1,6 - 4,7
4
Negatif
6
natrium. Melalui matriks dan diantara struktur kristal terdapat pembuluh darah dan limpa,
syaraf dan sumsum tulang. Melalui pembuluh darah ini ion-ion mineral berdifusi ke dalam
cairan ekstraseluler, mengelilingi kristal dan memungkinkan pengendapan mineral baru atau
penyerapan kembali mineral dari tulang (Almatsier, 2002).
Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
(Kaup et al.1991) yaitu :
1. Tepung tulang mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya paling tinggi
diantara sumber-sumber kalsium lainnya.
2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium dan bersifat agak
asam), deflourined phosphate (garam kalium fosfat yang masih mengandung fluor yang
bersifat racun bila kadarnya berlebihan) dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan
sumber kalsium yang ketersediaannya sedang.
3. Hay yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut. Sumber ini
memiliki ketersediaan kalsium yang rendah.
H. Protein
Kandungan protein pada ikan terdiri dari tiga tipe, yaitu myofibril (65-75%),
sarkoplasma (20-30%), dan stromata (1-3%). Protein stromata merupakan jaringan ikat yang
terdiri dari komponen kolagen dan elastin (Suzuki, 1981). Protein yang paling dominan pada
kulit ikan yaitu protein kolagen.
Kolagen adalah protein berbentuk serabut (fibril) yang mempunyai fungsi fisiologis
yang unik. Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan pengikat putih
(white connective tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan organ
tubuh vertebrata dan invertebrata (Suzuki, 1981). Kolagen merupakan salah satu protein
terpanjang dengan jumlah paling banyak pada tubuh vertebrata. Kolagen merupakan bahan
baku utama yang banyak terdapat pada kulit, urat, pembuluh darah tulang dan tulang rawan.
Serat kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang saling berhubungan, masing-masing
tersusun dalam jenis khusus heliks berputar. Kolagen merupakan protein yang mengandung
35% glisin dan sekitar 11% alanin serta kandungan prolin yang cukup tinggi (Lehninger,
1990).
Fibril kolagen terdiri dari sub-unit polipeptida berulang yang disebut tropokolagen
yang disusun dalam untaian paralel dari kepala sampai ekor. Tropokolagen terdiri atas tiga
rantai polipeptida yang berpilin erat menjadi tiga untai tambang. Tiap rantai polipeptida
dalam tropokolagen juga merupakan suatu heliks (Lehninger, 1990).
9
III. METODE DAN TATA LAKSANA
A. Metode
Metodologi yang digunakan dalam kerja lapangan ini adalah:
1. Studi pengamatan langsung dan ikut berperan aktif melakukan kerja di KUB Fresh
Fish Yogyakarta.
2. Pengumpulan data sekunder yang diperoleh di KUB Fresh Fish Yogyakarta.
3. Studi pustaka.
B. Tata Laksana
Tata laksana kerja lapangan ini adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan data primer
a. Pengumpulan data primer mengenai proses pembuatan tepung ikan yang berasal
dari limbah tulang dan kulit ikan tuna/marlin di KUB Fresh Fish Yogyakarta.
b. Pengamatan langsung mengenai kondisi dan kegiatan di KUB Fresh Fish
Yogyakarta.
c. Wawancara dengan pekerja dan ketua KUB Fresh Fish Yogyakarta.
2. Pengumpulan data sekunder
a. Keadaan umum KUB Fresh Fish Yogyakarta.
b. Studi pustaka.
C. Rencana Pelaksanaan Kerja Lapangan
Tabel 2. Rencana pelaksanaan kerja lapangan
KegiatanMaret April Mei Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Survei
Perijinan
Proposal
Pelaksanaa
n
Laporan
Ujian
10
IV. RENCANA ISI LAPORAN
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
D. Metode dan Tata Laksana
E. Waktu Pelaksanaan
II. KEADAAN UMUM KUB FRESH FISH
A. Sejarah
B. Lokasi
C. Struktur Organisasi
D. Fasilitas-fasilitas
III. BAHAN BAKU
A. Asal Bahan Baku
B. Ketersediaan Bahan Baku
C. Seleksi Bahan Baku
IV. PROSES PEMBUATAN TEPUNG IKAN
V. PEMBAHASAN
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
A. Akomodasi Kegiatan KUB (Foto)
B. Surat Keterangan Kerja
11
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Kandungan Protein Ikan. <http://www.infofish.com>. Diakses tanggal 7 Juni
2013 pukul 14.45 WIB.
Anonim. 2008, Taksonomi Xiphias gladius. http://www.britannica.com.Diakses tanggal 7
Juni 2013 pukul 14.30 WIB.
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan. 1983. Buku Pedoman Hasil Perikanan Laut (Jenis-Jenis Ikan
Ekonomis Penting). Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologis Ternak. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Elfauziah, R. 2003. Pemisahan Kalsium dari Tulang Kepala Ikan Patin (Pangasius sp.).
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gintings, Perdana. 1992. Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri. Edisi 1.
Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Iriawan, A. 1995. Pengolahan Hasil Perikanan. CV. Aneka Solo. Solo.
Iwansyah, A.C., H. Ainia, dan S. Fitri. 2008. Pengaruh Penambahan Tulang Ikan sebagai
Sumber Kalsium Terhadap Mutu Kimia Kerupuk Ikan. Seminar Nasional Sains dan
Teknologi-II 2008. LIPI. Subang.
Jenie, B. S. L, and Rahayu W. P. 1993. Teknologi Limbah Pangan. Kanisius. Yogyakarta.
Judoamidjojo, R.M., 1981. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Faku1tas Teknologi Hasil
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
12
Kaup, S. M., Greger J. L., and Lee K. 1991. Nutritional Evaluation with Animal Model of
Cottage Cheese Fortified with Calcium and Guar Gum. J. Food Science. 56 (3) : 692-
695.
Lehninger, A.L. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta.
Maulida. 2005. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Madidihang Sebagai Suplemen dalam
Pembuatan Biskuit. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Moeljanto, R. 1979. Pemanfaatan Limbah Perikanan. Lembaga Penelitian Teknologi
Perikanan. Jakarta.
Muchtadi, D., Palupi N. S., and M. Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Murtidjo. B. 2001. Beberapa Metode Pengolahan Tepung Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Nabil, M. 2005. Pemanfaatan Tulang Ikan Tuna sebagai Sumber Kalsium dengan Metode
Hidrolisis Protein. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. IPB. Bogor.
Purnomo, Eddy. 2005. Pemanfaatan Bahan Sisa Sebagai Upaya Meminimalisasi Limbah
Padat (Studi Kasus Industri Pengalengan Ikan PT. Maya Food Industries Pekalongan)
(Tesis). Program Magister Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro. Semarang.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Jilid I dan II. Bina Cipta. Bandung.
Standar Nasional Indonesia. 1996. 01-2715-1996/Rev. 92. Dewan Standarisasi Nasional
Indonesia. Jakarta.
Subangsingse, S. 1996. Innovative and Value Added Tuna Products and Market. Infofish
Internasional.
13
Sugiharto. 1987. Dasar – Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia. Jakarta.
Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science Publisher,
Ltd, London.
Tababaka, R. 2004. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp.) sebagai Bahan
Tambahan Kerupuk. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Taufik. 2001. Pengolahan Tepung Ikan Untuk Bahan Pakan Unggas. Seminar. Fakultas
Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
14