BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson
-
Upload
prisiliya-van-boven -
Category
Documents
-
view
19 -
download
2
description
Transcript of BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1. Dasar Teori
2.1.1. Morbus Hansen
2.1.1.1. Definisi Morbus Hansen
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga
penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit
adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos
yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu
mudah.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ
tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat
infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya
kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang
menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh
tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa
karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka
waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik
dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,
asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat
menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah bilamana ada
bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak kering
dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5),
Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta
basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh
kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5
tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe
seperti ini sangat mudah menular.3
2.1.1.3 Epidemiologi Morbus Hansen
Epidemiologi Secara Global
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di
daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini
bisa menyerang di mana saja. Menurut laporan resmi yang diterima pada 103 negara dan
wilayah, berdasarkan WHO pada pertengahan tahun 2014 terdapat 180.464 kasus, dimana
pada jumlah kasus baru yang terdeteksi pada tahun 2013 sejumlah 215.557 kasus ( meliputi
sejumlah kasus pada bagian eropa).
Hampir sejumlah negara yang sebelumnya mengalami endemik akan penyakit ini
telah mencapai pada tahap eliminasi setingkat nasional. Pada tahun 2007 , Republik
Demokrat Kongo dan mozambik mencapai eliminasi pada tahap nasional, lalu diikuti oleh
Timor-Leste pada akhir tahun 2011. Walaupun begitu, masih terdapat fokus endemik pada
beberapa negara yakni : Angola, Brazil, Republik afrika sentral, India, Madagascar, Nepal.4,5
Epidemiologi Kusta di Indonesia
Sampai saat ini, penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia
terutama di negara berkembang, seperti indonesia. Prevalensi kusta dunia adalah sebesar 0,2
per 10.000 jiwa pada tahun 2006. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 0,91
dari 10 000 penduduk Indonesia menderita kusta pada 2008.
Lalu berdasarkan Data Epidemiologi: jumlah kasus baru pada penyakit kusta Tahun
2012, sebanyak : 17.980 orang, angka ini turun dari 2011 yang 20.023 orang. Sedangkan
prevalensi 2012 : 23.252 orang (0,96/10.000), dengan kriteria eliminasi adalah < 1/ 10.000
penduduk, karena itu indonesia sudah masuk dalam kriteria negara yang eliminasi kusta.
Untuk cacat tingkat 2 ( cacat yang terlihat ) tahun 2012 sebesar : 0,85 / 100.000 penduduk. 5-7
2.1.1.4 Etiologi Morbus Hansen
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf
lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 3-8 Um x 0,5 Um.Basil
ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut
globi. Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular
kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5
tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.4,6 Menurut Marwali Harahap (2000),
Mycobacterium lepraemempunyai 5 sifat, yakni : 1. Mycobacterium leprae merupakan parasit
intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan. 2. Sifat tahan asam
Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin. 3.Mycobacterium leprae merupakan
satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
Mycobacterium lepraeadalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer. Ekstrak terlarut dan preparatMycobacterium leprae
mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji
kulit positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.1,8
2.1.1.5. Patofisiologi Morbus Hansen
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah
dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut
terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,
meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-
rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh
mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan
perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan
afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat
mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer)
dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang
respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis.
Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan
kematian aksonal.
Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan
penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme,
mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri.
Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel
respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag.
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.
Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang
lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang
terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),
tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan
lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,
spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam
bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu,
kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat
keparahan penyakit.
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis
kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel
Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang
dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung
jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf
ditemukan pada orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam
lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel,
sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi
sebagai mediator dari demielinasi pada kusta .
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam
respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel
yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi
sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan
mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta.
Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan
menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10
sekresi.
Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe
I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks
imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ.
Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf,
dan serat saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.
Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.1,8
2.1.1.6. Klasifikasi
Pembagian Kusta atau Morbus Hansen dibagi menjadi dua jenis menurut WHO yaitu tipe
pausibasiler dan multibasiler.
Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO.1
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang
datar, papul yang
meninggi, infiltrate,
plak eritem, nocus)
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
>5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
Hilangnya sensasi yang
jelas
Hanya satu cabang saraf
Hilangnya sensasi
kurang jelas
Banyak cabang saraf
BTA Negatif Positif
Tipe Indeterminate (I),
Tuberkuloid (T),
Borderline tuberkuloid
(BT)
Lepromatosa (LL),
Borderline lepromatous
(BL), Mid borderline
(BB)
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi :1
a. Indeterminate leprosy(I) : makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.
Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan
spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika
imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain (Lewis, 2010).
b. Tuberculoid leprosy(TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem
dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa,
dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi
pada kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi
lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di
pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf
tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe
tuberculoid.Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe
tuberkuloid atau progresif menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy(BB) : tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi
sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi
menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional
(Lewis, 2010).
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak
dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi (Lewis, 2010).
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus
dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.
Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
Tabel 3. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB.1
Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline
Tuberkuloid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi
Bentuk Makula atau
makula dibatasi
infiltrat
Makula dibatasi
infiltrat; infiltrat
saja
Hanya infiltrat
Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau
beberapa satelit beberapa
Distribusi Terlokasi dan
asimetris
asimetris Bervariasi
Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Halus agak
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif
Tabel 4. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB.1
Karakteristik Lepromatosa
(LL)
Borderline
Lepromatosa
(BL)
Mid-borderline
(BB)
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk
difus, papul,
nodus
papul kubah, lesi punched
out
Jumlah Banyak distribusi
luas, praktis tidak
ada kulit sehat
Banyak tapi kulit
sehat masih ada
Beberapa, kulit
sehat (+)
Distribusi Simetris Cenderung
simetris
Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi
kulit
Banyak Banyak Agak banyak
Sekret
hidung
Banyak Biasanya tidak
ada
Tidak ada
Tes
Lepromin
Negatif Negatif Biasanya negatif
2.1.1.7 Gejala klinis
Masa inkubasinya yang terjadi pada kusta sebenarnya sulit diukur dikarenakan
sulitnya alat pengukuran serta faktor imunologi seseorang yang berbeda. Masa inkubasi
minimum terjadi sekitar beberapa minggu sampai 30 tahun, dari beberapa pengamatan pada
beberapa daerah endemik. Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama
kali mengenai system saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren
tanpa terlihat adanya gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat
sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik
yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke
kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya,
sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi
kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitasyang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang
dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung,
daun telinga, dan lutut.8
\ Gejala klinis pada kusta sekarang terdapat tiga tanda kardinal untuk mendiagnosis
secara pasti, yakni sebagai berikut :9
a. Lesi kulit hipopigmentasi dengan anestesia
b. Penebalan saraf tepi, dengan adanya gangguan fungsi pada sensadisi di setiap
persarafan yang terkena.
c. Terdapat Basil Tahan Asam pada sediaan kerokan kulit.
2.1.1.8. Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular
response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis
terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang
memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang
memegang peranan adalah imunitas humoral.3
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction
yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya
reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking
down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular
yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara
imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan
umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang
subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga
disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak
perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi hipersnsitivitas
tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi
lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut
sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,
mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi
dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga
memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe. 3
2.1.1.9. Derajat Cacat Morbus Hansen
a. WHO ( 1995 ) dan djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke
cacatan, yaitu:
Cacat pada tangan dan kaki
tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis
tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
b. Cacat pada mata
tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )
tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat
menghitung jari pada jarak 6m ).1
2.1.1.10 Pemeriksaan Penunjang
2.1.1.10.1 Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan
lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya
didapati banyak M. leprae1.1,
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2.1.1.10.2. Pemeriksaan histopatologi,
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu,
makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi
sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan
SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim
sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.
Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
2.1.1.10.3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi
yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-
Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). 1
2.1.1.10.4. Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1
ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita
bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.
2.1.1.11. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,
mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil
sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah
kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.10
2.1.1.11.1. Regimen Kombinasi Menurut WHO 10
Regimen kombinasi ini merupakan regimen untuk penanganan morbus hansen tipe
pausibasiler selama 6 bulan.
Dapson Rifampisin
Dewasa
50-70 kg
100 mg
Setiap hari
600 mg
Sebulan sekali di bawah
pengawasan
Anak 50 mg 450 mg
10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah
pengawasan
* Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap
hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan
Lalu regimen selanjutnya merupakan regimen untuk pengobatan morbus hansen multibasiler :
Dapsone Rifampisin Clofazimin
Dewasa
50-70 kg
100 mg
Setiap Hari
600 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
50 mg
Setiap hari
DAN 300 mg
Sebulan sekali di
bawah
pengawasan
Anak
10-14 tahun *
50 mg
Setiap hari
450 mg
Sebulan sekali
di bawah
pengawasan
50 mg
Setiap hari
DAN 150 mg
Sebulan sekali di
bawah
pengawasan
*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg sehari,
rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg
diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah
pengawasan
Tipe PB10
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released
from treatment)
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + DDS 1
tab (50mg)
Rifampisin 2caps
(2x300mg) + DDS 1 tab
(100mg)
Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)
*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB
Tipe MB10
Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan
dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) +
Klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab
(50mg)
Rifampisin 2caps
(2x300mg) +
klofazimin 3caps
(3x100) + DDS 1 tab
(100mg)
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg)
+ DDS 1 tab (50mg)
Klofasimin 1cap
(100mg) + DDS 1 tab
(100mg)
* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB
2.1.2. Stigma dan Diskriminasi terhadap Penyakit Kusta
Stigma menurut Erving Goffman (1968) adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial
yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan
seseorang.Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia stigma adalah ciri negatif yang
menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.14
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005, penyakit kusta
menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional. Sedangkan secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit
penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecacatannya juga memberikan gambaran
yang menakutkan menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri
bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita
kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan.
Selain itu menurut penelitian oleh Munir pada tahun 2001, kecacatan yang berlanjut
dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan
ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status sosial
secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman temannya. Disamping itu
masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta.
Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, guna guna,
dosa, makanan ataupun keturunan.
Diera modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih mencerminkan “kelas”
daripada fisik. Salah satu misi Depertemen Kesehatan dalam pemberantasan penyakit kusta
adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang menempel pada pribadi seseorang
karena pengaruh lingkungannya) dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap penyakit
kusta melalui pembelajaran secara intensif tentangpenyakit kusta. Menurunkan stigma dan
mengurangi diskriminasi mendorong perilaku masyarakat dalam menerima penderita kusta.
Hal ini sangat penting untuk meningkatkan percaya diri penderita dan keluarga dalam
kehidupan sehari – hari.
Menurut penelititan dari Universitas Airlangga Surabaya tahun 2013 menunjukkan
masyarakat di desa Sidomukti, Jawa Timur tergolong memiliki derajat pengetahuan yang
rendah tentang penyakit kusta dengan persentase sebesar 51%. Rendahnya derajat
pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta tersebut dapat dilihat dari banyaknya
masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana cara-cara penularan penyakit kusta. Dengan
mengetahui penularan penyakit kusta, masyarakat seharusnya tidak lagi takut dengan
penyakit kusta yang selama ini dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan. Berdasarkan
penelitian yang sama, masyarakat masih menolak kehadiran mantan penderita kusta di
lingkungan mereka yang dibuktikan dengan masih rendahnya penerimaan sosial pada mantan
penderita dengan persentase sebesar 65%. Penolakan dari masyarakat tersebut terlihat karena
sebagian besar masyarakat merasakan dirinya tidak nyaman dengan kehadiran mantan
penderita kusta di lingkungan mereka.17
Diskriminasi pada umumnya terjadi jika ada stigma. Stigma muncul terkait dengan
tingkat pengetahuan. Tidak adanya pengetahuan dasar tentang penyakit kusta menyebabkan
muunculnya beragam tindakan diskriminasi. Beberapa bentuk stigma external dan
diskriminasi terhadap penderita penyakit kusta antara lain :
1. memberikan pembedaan terhadap piring dan gelas yang diberikan terhadap
mantan penderita kusta apabila mantan penderita kusta tersebut hadir dalam acara
atau hajatan di rumah anggota masyarakat. piring dan gelas yang dibedakan
tersebut, pada umumnya akan dibuang agar tidak menularkan penyakit kusta
terhadap dirinya.
2. tidak mengundang mantan penderita kusta dalam acara hajatan.
3. sebagian besar masyarakat tidak mau menghadiri acara hajatan yang dilakukan di
rumah mantan penderita penyakit kusta, jika hadir dalam acara tersebut, pada
umumnya masyarakat tidak akan bersedia makan dan minum suguhan yang
diberikan
4. masyarakat cenderung enggan untuk duduk di dekat mantan penderita penyakit
kusta
5. anggota masyarakat yang tidak mau membantu mantan penderita kusta dalam
acara kerja bakti
6. masyarakat menolak untuk bekerja sama dengan mantan penderita kusta dalamb
pekerjaan yang dilakukannya
7. masyarakat juga tidak menginginkan untuk memiliki pekerja yang merupakan
mantan penderita penyakit kusta17
Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan
pemeriksaan kusta, enggan mengetahui hasil pemeriksaan mereka, dan tidak berusaha untuk
memperoleh perawatan yang semestinya serta cenderung menyembunyikan status
penyakitnya. Hal ini semakin memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya dapat
dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya dan membuat
penyakit ini makin meluas penyebarannya secara terselubung. Diskriminasi yang dialami
penderita kusta baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga
maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas upaya penanggulangan penyakit
kusta.17
2.1.3.Pengetahuan
2.1.3.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh
melalui mata dan telinga.13
Proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka
perilaku tersebut akan bersikap langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari
oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. 13
2.1.3.2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut:14,15
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.Oleh sebab itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar tentang objek yang diketahui,
dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari, misalnya
dapat menjelaskan mengapa harus datang ke Posyandu.
3) Analisis (analysis)
Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,
memisahkan, mengelompokkan.
4) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip.
5) Sintesis (synthesis).
Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap
suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada.
2.1.3.3.Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah: 14,15
1) Umur
Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian
epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pengetahuan.Umur
adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan.Umur
mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah umur akan
semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang
diperoleh semakin banyak.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari
struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural.
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur
(proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan
juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih
mudah menerima ide-ide dan teknologi.Pendidikan meliputi peranan penting dalam
menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh
pengetahuan implikasinya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin
berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang baik
yang menjadikan hidup yang berkualitas.
4) Paparan media massa
Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai informasi
dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media
massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat
pengetahuan yang dimiliki.Remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar, namun remaja
justru kurang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
yang cukup berkaitan dengan kesehatan reproduksi.Media memegang peran penting
dalam penyebar luasan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.
5) Sosial ekonomi (pendapatan)
Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun sekunder keluarga, status ekonomi yang
baik akanlebih mudah tercukupi dibanding orang dengan status ekonomi rendah,
semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang semakin mudah dalam mendapatkan
pengetahuan, sehingga menjadikan hidup lebih berkualitas.
6) Pengalaman
Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman
yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.
Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal biasanya diperoleh dari lingkungan
kehidupan dalam proses pengembangan misalnya sering mengikuti organisasi.
7) Kepatuhan Terhadap Agama
Agama mempunyai peranan dalam membentuk konsep seseorang tentang sehat dan sakit.
Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan tentang peran Tuhan dalam menentukan
nasib seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat dan sakit. Peran agama
dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak berabad-abad yang lalu.
Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para pemimpin agama
mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan penyakit morbus
hansen..
2.1.4. Sikap
2.1.4.1. Definisi Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi
atau objek. Manisfestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsrirkan. Sikap
merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan
pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut
(Koentjaraningrat, 1983). Menurut Sarwono (1997), sikap merupakan kecenderungan
merespons (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek tertentu. Sikap mengandung
suatu penilaian emosional atau afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan
tentang suatu objek), dan konatif (kecenderungan bertindak).
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), sikap merupakan kesiapan atau
ketersediaan untuk bertindak, yang menjadi presdisposisi tindakan suatu perilaku, bukan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Dengan sikap secara minimal, masyarakat memiliki pola berpikir tertentu dan pola
berpikir diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman, pendidikan, dan
pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sarwono (1997) bahwa sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan
informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.15
2.1.4.2. Komponen Pokok Sikap
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003), komponen pokok sikap meliputi
hal-hal berikut: 15
1. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen tersebut, secara bersama-sama membentuk total attitude. Dalam hal
ini, determinan sikap adalah pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi. Menurut Azwa
(1995), sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu kognitif, afektif,
dan konatif. Komponen kognitif berisi kepercayan yang berhubungan dengan persepsi
individu terhadap objek sikap dengan apa yang dilihat, dan diketahui. Komponen afektif
menunjukkan dimensi emosional subjektif individu terhadap objek sikap, baik yang bersifat
positif ataupun negatif. Komponen konatif kecenderungan bertindak terhadap objek sikap
yang dihadapinya.
Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman
dan latihan sepanjang perkembangan individu. Menurut Azwar (1995), pembentukan sikap
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan
faktor emosi dalam diri individu. Sementara itu, menurut Krech dkk. (1962), pembentukan
dan perubahan sikap dapat disebabkan oleh situasi interaksi kelompok dan situasi
komonukasi media. Semua kejadian tersebut mendapatkan pengalaman dan pada akhirnya
akan membentuk keyakinan, perasaan serta kecenderungan berperilaku. Menurut Sarwono
(2000), terdapat beberapa cara untuk membentuk atau mengubah sikap individu:
Adopsi. Suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang berulang
dan terus-menerus sehingga lama-kelamaaan secara bertahap akan diserap oleh individu
Diferensiasi. Terbentuk dan berubahnya sikap karena individu telah memiliki
pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan bertambahnya umur. Hal yang pada awalnya
dipandang sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari jenisnya sehingga
membentuk sikap tersendiri.
Integrasi. Sikap terbentuk secara bertahap. Diawali dari pengetahuan dan pengalaman
terhadap objek sikap tertentu.
Trauma. Pembentukan dan perubahan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-tiba dan
mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam.
Generalisasi. Sikap terbentuk dan berubah karena pengalaman traumatik pada individu
terhadap hal tertentu dapat menimbulkan sikap tertentu (positif atau negatif) terdahap
semua hal.
2.1.5. Perilaku
2.1.5.1. Definisi Perilaku
Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.Perilaku manusia
adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri.Secara operasional, perilaku dapat diartikan suatu
respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut.
Ensiklopedi Amerika mengartikan perilaku sebagai suatu aksi-reaksi organisme
terhadap lingkungannya.Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk
menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan
meghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.16
2.1.5.2. Proses Pembentukan Perilaku
Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham Harold
Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan fisiologis/biologis
yang merupakan kebutuhan pokok utama, (b) kebutuhan rasa aman, (c) kebutuhan mencintai
dan dicintai, (d) kebutuhan harga diri, dan (e) kebutuhan aktualisasi diri. Tingkat dan jenis
kebutuhan tersebut satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan
atau rangkaian walaupun pada hakeketanya kebutuhan fisiologis merupakan faktor yang
dominan untuk kelangsungan hidup manusia. 16
2.1.5.3. Faktor yang memengaruhi Perilaku
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dikelompokkan menjadi: 16
1. Faktor genetik atau faktor endogen
Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan
perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Faktor genetik berasal dari dalam diri individu
(endogen), antara lain jenis ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian, bakat
pembawaan, intelegensi
2. Faktor eksogen atau faktor dari luar individu
Faktor eksogen atau faktor yang berasal dari luar individu yang dapat mempengaruhi
perilaku seseorang diantaranya adalah faktor lingkungan, pendidikan, agama, sosial
ekonomi, dan kebudayaan.
Faktor-faktor lain yang juga turut serta dalam mempengaruhi perilaku seseorang
diantaranya adalah persepsi, merupakan proses diterimanya rangsang melalui pancaindra,
yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang
ada di dalam maupun di luar dirinya; dan emosi, Maramis (1999) menyebutkan bahwa
emosi adalah “manifestasi perasaan atau afek keluar disertai banyak komponen
fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama”. Perilaku individu dapat dipengaruhi
emosi.Aspek psikologis yang memengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan
jasmani.Perilaku individu yang sedang marah, kelihatan mukanya merah.
2.1.5.4. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap rangsangan
yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis besar bentuk
perilaku ada dua macam, yaitu (a) perilaku pasif (respons internal), perilaku yang sifatnya
masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung.Perilaku
ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata, (b) perilaku aktif (respons eksternal),
perilaku yang sifatnya terbuka.Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung,
berupa tindakan yang nyata. 16
2.1.5.5. Pengaruh Sikap dan Kepercayaan
Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku baik sikap positif dan negatif. Contoh: 16
Sikap ibu terhadap pentingnya imunisasi bagi bayi (sikap positif) atau sebaliknya (sikap
negatif)
Sikap seseorang yang benci dan iri terhadap keberhasilan orang lain (sikap negative)
Hal lain yang mempengaruhi perilaku adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang.
Contoh:
Kepercayaan seseorang bahwa perbuatan yang baik akan memperoleh pahala di kemudian
hari (sikap positif).
Kepercayaan pasien terhadap seorang dokter yang merawatnya, akan menimbulkan sikap
yang positif terhadap dokter tersebut, dengan memperhatikan apa nasehatnya atau
sebalikanya.
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Mengenai
Penyakit Kusta
2.2.1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan mengenai Orang dengan Kusta
Pada penelitian di desa Sidomukti, Jawa Timur tahun 2013 mengenai hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta dengan sikap terhadap mantan penderita penyakit
kusta didapatkan bahawa sebagian besar penduduk desa Sidomukti memiliki pengetahuan
yang rendah (51%) mengenai cara penularan penyakit kusta. Berikut adalah factor-faktor
yang mempengaruhi pengetahuan tentang penyakit kusta.17
1. Umur
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Singapura oleh P. Subramaniam pada tahun 2005
menunjukkan adanya perbedaan antara kesadaran tentang penyakit kusta berdasarkan umur.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan dengan meningkatnya umur responden, pengetahuan
mengenai penyakit kusta yang disebabkan oleh bakteri dan gejala klinis juga semakin
meningkat.18
2. Pendidikan
Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2005 mengenai hubungan antara
pengetahuan tentang penyakit kusta pada satu perkampungan di Uttar Pradesh, India, 16.8%
dari responden non-kusta yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah mengatakan
penyakit kusta merupakan kutukan Tuhan, 16.8% tidak mengetahui penyebab kusta, 15.4%
mengatakan kusta disebabkan oleh makanan dan factor herediter, 49.3% mengatakan
penyakit kusta disebabkan oleh guna guna. Hal ini dengan jelas menunjukkan adanya
hubungan antara tingkat pendidikan dan pemahaman tentang penyakit kusta.19
3. Sumber informasi
Menurut penelitian yang dilakukan di Guyana oleh Anita dan Emmeline pada tahun 2003
berjudul Penilaian Pengetahuan dan Sikap Tentang Lepra Pada Petugas Kesehatan
menyatakan bahawa pekerja kesehatan non medis mempunyai pengetahuan yang lebih rendah
mengenai penyakit lepra berbanding dengan pekerja kesehatan medis seperti dokter dan
perawat yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi mengenai penyakit kusta. Penelitian
ini juga turut menyatakan bahawa pekerja kesehatan medis juga mempunyai pemahaman
yang lebih tentang tingkat kesembuhan dari penyakit kusta. 20
Hal yang lebih penting, bagaimana seorang guru mendorong dan menerima otonomi siswa,
investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks),
menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.
Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu proses
yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan dalam
laporan atau kuis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih
diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau
mentransformasi informasi baru.24
Dampak yang ditimbulkan dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yaitu:
Merubah anak untuk menjadi lebih kritis dan kreatif tidak hanya berpegang pada materi
pelajaran yang ada di buku teks; Proses pembelajaran di kelas menjadi hidup; Guru sekarang
tidak harus banyak berbicara tetapi guru hanyalah seorang yang membangkitkan dan
menggali kemampuan siswa; Penggunaan komputer dan internet dapat mengurangi beban
tugas guru dan siswa.25
4. Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian yang dijalankan oleh P. Subramaniam di Singapura pada tahun 2005
menyatakan adanya hubungan statistic yang bermakna diantara jenis kelamin dan
pemahaman dan penerimaan responden terhadap penderita dengan penyakit kusta. Penelitian
tersebut menyatakan lebih banyak responden laki-laki berbanding wanita (P<0.05) yang
mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi mengenai penyakit kusta.18
2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap mengenai Penyakit Kusta.
Menurut penelitian yang dilakukan di Guyana oleh Anita dan Emmeline pada tahun 2003
berjudul Penilaian Pengetahuan dan Sikap Tentang Lepra Pada Petugas Kesehatan
menyatakan bahawa pekerja kesehatan non medis mempunyai pengetahuan yang lebih rendah
mengenai penyakit lepra berbanding dengan pekerja kesehatan medis seperti dokter dan
perawat yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi mengenai penyakit kusta. Penelitian
ini juga turut menyatakan bahawa pekerja kesehatan medis juga mempunyai pemahaman
yang lebih tentang tingkat kesembuhan dari penyakit kusta. 20
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh P. Subramaniam di Singapura pada tahun
2005 menunjukkan adanya pengaruh diantara pengetahuan dengan sikap pada responden
terhadap orang dengan kusta. Hasil dari analisis regresi multiple menunjukkan hubungan
antara sikap terhadap penderita lepra menunjukkan terdapat 4 variabel yang berhubungan
dengan sikap. Sikap berstigma terhadap penderita lepra secara bermakna berhubungan
dengan kepercayaan masyarakat bahawa lepra bias ditularkan dengan cara bersalam tangan,
berbagi barang dengan penderita lepra, pengetahuan menyeluruh tentang lepra dan tingkat
penghasilan responden. Namun, 4 variable ini hanya menjelaskan 13% dari variasi yyang
diperhhatikan , menunjukkan mungkin adanya factor yang tidak diteliti yang mempengaruhii
sikap responden terhadap lepra. 18
Berdasarkan penelitian tersebut tingkat penghasilan responden merupakan satu satunya
variable sosiodemografis yang menunukkan korelasi negative yang bermakna terhadap sikap
responden terhadap lepr. Karena lepra dilaporkan terjadi lebih banyak pada kelompok dengan
socioekonomi rendah, tingkat toleransi dan penerimaan terhadap pasien lepra lebih tinggi
pada responden dengan tingkat socioekonomi rendah yang pernah mempunyai kontak dengan
orang yang menghidapi lepra.
Kepercayaan benar bahawa lepra tidak bias ditransmisi dengan cara berjabat tangan
denagn pasien lepra merupakan factor sikap paling pennting terhadap penderita lepra. Selain
itu, sikap positif yang terdapat pada orang yang percaya bahawa lepra tidak bias ditularkan
dengan cara berbagii barang dengan pasien lepra. Hasil menunjukkan tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi mempunyai korelasi positif terhadap sikap responden terhadap pasien
dengan lepra. Ketdakpedulian terhadap transmisi menyebabkan stigma pada masyarakat
dengan cara menghindari pasien dengan kusta.
Pada pertanyaan langsung, penelitian yang dilakukan oleh P. Subramaniam pada tahun 2005
di Singapura ini juga menemukan bahwa dari 33,8% responden yang mengatakan bahwa
mereka akan menghindari pasien kusta, 88,1% menyatakan keyakinan bahwa mendekati
orang kusta akan menginfeksi mereka. Takut akan kecacatan yang terkait kusta juga dikutip
sebagai alasan lain yang umum (66,7%) untuk menghindari. Sebaliknya, hanya 22,5%
responden yang mengatakan mereka tidak akan menghindari seseorang dengan kusta yang
berpendapat bahwa kusta adalah infektif. Penelitian ini juga mengidentifikasi kemungkinan
perbedaan dalam sikap responden terhadap orang yang tidak dikenal atau teman atau kolega
dari responden atau anggota keluarga responden sendiri yang menderita kusta. Meskipun
65,5% responden bersedia menerima anggota keluarga dengan kusta, hanya 34,3% dan
19,8%, masing-masing dari responden mengatakan bahwa mereka akan menerima teman atau
kolega atau orang yang tidak dikenal sama yang menghidapi penyakit kusta.18
Umur juga dikaitkan dengan sikap penerimaan responden terhadap teman atau kolega
yang terkena kusta. Peningkatan penerimaan ini terlihat dengan meningkatnya usia
responden. Penelitian ini juga menemukan bahwa responden dari ras Cina secara signifikan
kurang bersedia menerima pasien kusta, sementara responden beragama Islam lebih bersedia
untuk menerima orang yang tidak dikenal dengan kusta. Studi yang dilakukan di Nigeria
Utara oleh Awofeso pada tahun 1995 juga menemukan bahwa responden Muslim lebih
toleran terhadap penderita kusta dari responden dari agama lain. Penelitian ini melaporkan
bahwa agama memainkan peran penting dalam menentukan sikap masyarakat terhadap
penyakit kusta dengan sikap negatif menjadi lebih umum dalam masyarakat di mana penyakit
ini dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap keilahian.
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengenai Penyakit kusta
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Caroline et al di Universitas Indonesia pada
tahun 2005 yang berjudul Stigma Towards Leprosy Among Medical Students, didapatkan
bahawa tingkat pengetahuan dikaitkan dengan rasa takut dan kemauan untuk berinteraksi
dengan penderita kusta. Analisis korelatif dari penelitian tersebut menunjukkan adanya
hubungan negatif lemah (r = -0,267 dan p=0,019) antara tingkat pengetahuan dengan hasil
nilai dari Attribute Quesioner Short Form (AQ-SF) yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan, semakin rendah nilai AQ-SF yang mencerminkan sikap, perasaan dan perilaku
yang berhubungan dengan stigma terhadap pasien lepra lebih baik.21 Pada tahun 1976, Feist
menunjukkan bahwa stigma terhadap penderita kusta itu kuat karena masyarakat takut akan
sifat penyakit lepra yang menular. Di Nepal, Salib dan Choudhary menunjukkan bahwa
Program Eliminasi Stigma melalui pendidikan kesehatan di desa-desa bisa menurunkan
diskriminasi terhadap penderita kusta.22
Penelitian lain menunjukkan bahwa pengetahuan tidak selalu menyebabkan perilaku positif
terhadap penderita kusta. Sebuah studi di Guyana menunjukkan bahwa meskipun pemerintah
telah mengadakan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga pasien, pengetahuan
bahwa kulit dan saraf yang terkena kuman dari penyakit kusta yang menyebabkan deformitas
pada peaderita kusta tidak membantu menghilangkan stigma. Bahkan sebagian petugas
kesehatan masih memiliki prasangka dan kesalahpahaman tentang kusta.20
Sebuah studi oleh Raju dan Kopparty menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang tinggi
tidak selalu menghasilkan sikap positif meskipun dilakukan program kesehatan olrh Progam
Pemberantasan Kusta Nasional (NLEP) di India. Ditemukan sikap negative bahkan dengan
tingkat pengetahuan yang tinggi pada 35-50% responden. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan adalah satu-satunya faktor penentu sikap dan perilaku penerimaan masyarakat
terhadap penderita lepra.23
2.3. Kerangka Teori
Jenis kelamin
Usia
Pekerjaan
Bidang/jurusan sekolah
Tingkat pendidikan
Sosial ekonomi
Tokoh panutan
Emosi dalam individu
Kepatuhan beragama
Kepercayaan
Sumber informasi
Budaya
Sikap
Pengetahuan
Perilaku
2.4. Kerangka Konsep
Faktor-faktor yang mempengerauhi:
Jenis kelamin
Usia
Tingkat pendidikan
Sosial Ekonomi
Sumber informasi
Sikap
Pengetahuan
Perilaku