Terjemahan Clinical Effectiveness Protocols for Imaging in the Management of Ureteral Calculous...

24
Protokol Efektivitas Klinis Pemeriksaan Radiologi dalam Manajemen Penyakit Batu Ureter : Penilaian terhadap Teknologi AUA Pat Fox Fulgham,* Dean G. Assimos,* Margaret Sue Pearle dan Glenn M. Preminger Tujuan: Penilaian teknologi ini membahas tentang penggunaan prosedur pencitraan (pemeriksaan radiologi) secara optimal dalam evaluasi dan pengobatan pasien yang diduga atau didokumentasikan (didiagnosis) menderita batu ureter. Bahan dan Metode: Dilakukan pencarian literatur secara komprehensif terhadap teks lengkap dalam artikel bahasa Inggris yang diterbitkan antara Januari 1990 dan Juli 2011, yang ditujukan pada 4 pertanyaan panduan. Pencarian difokuskan pada subtopik utama yang terkait dengan pemeriksaan radiologi batu ureter, dan termasuk modalitas pencitraan tertentu yang digunakan dalam diagnosis dan penatalaksanaan penyakit batu ureter seperti CT scan unenhanced (non-kontras), radiografi (foto polos) konvensional, USG, urografi ekskretoris, magnetic resonance imaging (MRI) dan radiologi kedokteran nuklir. Protokol (dalam bentuk decision tree algorithm ) dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur ini dan dalam beberapa kasus berdasarkan pendapat panel. Empat pertanyaan yang ditujukan adalah 1) 1

description

terjemahan

Transcript of Terjemahan Clinical Effectiveness Protocols for Imaging in the Management of Ureteral Calculous...

Protokol Efektivitas Klinis Pemeriksaan Radiologi dalam Manajemen Penyakit Batu Ureter: Penilaian terhadap Teknologi AUA

Pat Fox Fulgham,* Dean G. Assimos,* Margaret Sue Pearle dan Glenn M. Preminger

Tujuan: Penilaian teknologi ini membahas tentang penggunaan prosedur pencitraan (pemeriksaan radiologi) secara optimal dalam evaluasi dan pengobatan pasien yang diduga atau didokumentasikan (didiagnosis) menderita batu ureter. Bahan dan Metode: Dilakukan pencarian literatur secara komprehensif terhadap teks lengkap dalam artikel bahasa Inggris yang diterbitkan antara Januari 1990 dan Juli 2011, yang ditujukan pada 4 pertanyaan panduan. Pencarian difokuskan pada subtopik utama yang terkait dengan pemeriksaan radiologi batu ureter, dan termasuk modalitas pencitraan tertentu yang digunakan dalam diagnosis dan penatalaksanaan penyakit batu ureter seperti CT scan unenhanced (non-kontras), radiografi (foto polos) konvensional, USG, urografi ekskretoris, magnetic resonance imaging (MRI) dan radiologi kedokteran nuklir. Protokol (dalam bentuk decision tree algorithm) dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur ini dan dalam beberapa kasus berdasarkan pendapat panel. Empat pertanyaan yang ditujukan adalah 1) Pemeriksaan radiologi apa yang harus dilakukan untuk pasien yang diduga (suspect) mengalami penyakit batu ureter? 2) Informasi apa yang harus diperoleh? 3) Setelah diagnosis batu ureter, pencitraan follow-up apa yang harus dilakukan? 4) Setelah pengobatan batu ureter, pemeriksaan radiologi follow-up apa yang harus dilakukan? Hasil: Berdasarkan protokol ini, CT scan nonkontras direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis dalam banyak kasus, dengan protokol berkekuatan rendah dianjurkan jika habitus tubuh menguntungkan. Pemeriksaan radiografi (foto polos) konvensional dan USG didukung untuk memantau kebanyakan bagian batu radiopak serta untuk sebagian besar pasien yang menjalani prosedur pengangkatan batu. Penelitian lain dapat diindikasikan berdasarkan temuan pencitraan, pasien, batu dan faktor klinis. Kesimpulan: Protokol yang dihasilkan ini membantu dokter dalam menegakkan diagnosis penyakit batu ureter, pemantauan bagian batu dan untuk mem-follow-up pasien setelah pengobatan. Protokol ini tidak hanya memperhitungkan efektivitas klinis tetapi juga efektivitas biaya dan risiko/bahaya yang terkait dengan berbagai modalitas pencitraan.

Pencitraan (pemeriksaan radiologi) untuk penyakit batu saluran kemih atau gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit batu ginjal merupakan sebagian besar dari semua pemeriksaan radiologi yang dilakukan oleh ahli urologi. Pasien yang diduga mengalami batu ureter sering menjalani pemeriksaan radiologi berulang sebelum, selama dan setelah pengobatan. Selain itu, karena pasien penderita penyakit batu saluran kemih berada pada risiko tinggi untuk terhadinya kekambuhan, pencitraan ulang umum dilakukan. Pencitraan terhitung sebesar 16% dari total pengeluaran untuk setiap episode perawatan dalam pengelolaan penyakit batu saluran kemih. Pedoman Klinis dari EAU (European Association of Urology)-AUA (American Urological Association) tentang manajemen batu ureter mencakup bukti untuk rekomendasi klinis terhadap pengelolaan penyakit batu saluran kemih. Karakteristik kinerja dokumen dari American College of Radiology Appropriateness Criteria digunakan untuk berbagai studi pencitraan untuk skenario klinis tertentu. Namun, tidak ada dokumen yang membahas pertanyaan-pertanyaan kritis tentang bagaimana teknologi pencitraan seharusnya digunakan untuk memaksimalkan efektivitas dalam pengobatan pasien yang diduga atau didiagnosis menderita batu ureter. Kebutuhan tersebut memberikan dorongan untuk pembuatan dokumen ini. CT scan non-kontras telah terlihat menjadi modalitas yang paling sensitif dan spesifik untuk mendeteksi batu ureter. Oleh karena itu, CT scan sering digunakan dalam diagnosis awal penyakit batu ureter, dan pada tingkat lebih rendah dalam follow-up batu ureter yang diketahui sebelumnya dan setelah pengobatan. Diperlukan protokol yang memandu penggunaan pencitraan dalam manajemen penyakit batu ureter karena efek kumulatifnya berpotensi berbahaya karena paparan radiasi kepada pasien dan peningkatan biaya modalitas pencitraan aksial dengan resolusi tinggi. Ada 4 pertanyaan yang memberikan kerangka kerja untuk pembuatan protokol dalam dokumen ini. 1) Pemeriksaan radiologi apa yang harus dilakukan untuk pasien yang diduga (suspect) mengalami penyakit batu ureter? 2) Informasi apa yang harus diperoleh? 3) Setelah diagnosis batu ureter, pencitraan follow-up apa yang harus dilakukan? 4) Setelah pengobatan batu ureter, pemeriksaan radiologi follow-up apa yang harus dilakukan?Penelitian saat ini gagal untuk memberikan bukti objektif untuk mendukung jawaban atas pertanyaan tentang pencitraan tersebut. Saat bukti obyektif tidak ada, tindakan yang paling efektif adalah salah satu dari hal berikut 1) memiliki probabilitas yang wajar dalam menjawab pertanyaan klinis, 2) mengakibatkan potensi kerugian yang minimal dan 3) biayanya murah.Penilaian Teknis ini dikembangkan untuk melengkapi Pedoman Klinis EAU-AUA tentang manajemen batu ureter. Metodologi yang digunakan mirip dengan yang digunakan dalam pengembangan Pedoman AUA dalam pengembangan penilaian teknis ini. Berbeda dengan Pedoman tersebut, protokol ini didasarkan pada hasil klinis dan pertimbangan potensi bahaya dan efektivitas biaya dari masing-masing pendekatan. Penilaian klinis dari dokter dan preferensi dan harapan pasien terus menjadi faktor penentu utama untuk manajemen yang tepat terhadap batu ureter. Pertimbangan praktis mengenai ketersediaan modalitas pencitraan dalam suatu lingkungan tertentu dapat mempengaruhi pilihan pencitraan. Namun, dengan catatan, pencitraan hanyalah alat untuk mendukung keputusan klinis. Untuk membantu dokter, telah dikembangkan decision tree algorithm untuk memilih pencitraan yang paling efektif untuk skenario klinis tertentu. Skenario dibagi menjadi 1) presentasi awal, 2) follow-up atau pengawasan terhadap batu ureter yang telah diketahui dan 3) follow-up setelah pengobatan atau perjalanan/keadaan batu ureter. Singkatnya, protokol ini dikembangkan secara khusus untuk mendukung dokter dalam pengambilan keputusan untuk kondisi klinis yang umum. Protokol ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas penggunaan pencitraan untuk penyakit batu ureter yang dicurigai atau yang telah terbukti oleh ahli urologi, dokter darurat dan dokter perawatan primer.

METODOLOGI PROTOKOL DAN PENCARIAN LITERATURUntuk membantu dalam pengembangan protokol-protokol efektivitas klinis ini, panel membuat 31 pertanyaan panduan yang diklasifikasikan berdasarkan indeks pasien, modalitas tertentu dan faktor lainnya. Dilakukan pencarian komprehensif terhadap literatur yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan panduan ini untuk teks lengkap dalam artikel bahasa Inggris yang diterbitkan antara Januari 1990 dan Juli 2011, dan ditargetkan terhadap subtopik utama yang berkaitan dengan pencitraan batu ureter. (Lihat Lampiran A tentang teks lengkap penilaian untuk penjelasan lengkap tentang metodologi dan hasil temuan di http://www.auanet.org/ content/media/imaging_assessment.pdf.).

PRESENTASI AWAL Pasien yang diduga menderita batu ureter sering mengalami nyeri berat di regio flank dan kadang-kadang nyeri perut. CT scan non-kontras adalah pemeriksaan radiologi awal yang lebih dipilih untuk pasien ini (Bukti Level A). Pemilihan ini didasarkan pada median sensitivitas dan spesifisitas CT scan non-kontras (NCCT) yang dilaporkan dalam mendeteksi batu ureter masing-masing sebesar 98% dan 97%, jauh lebih unggul dari modalitas pencitraan lainnya. Berdasarkan tinjauan literatur, tampaknya ada konsensus bahwa batas atas untuk CT dosis rendah adalah sebesar 4 mSv. CT dosis rendah lebih dipilih untuk pasien dengan BMI 30 kg/m2 karena modifikasi untuk pencitraan standar CT ini membatasi potensi efek samping ionisasi radiasi jangka panjang dengan sensitivitas dan spesifisitas tetap bertahan sebesar 90% atau lebih. Namun, CT dosis rendah tidak dianjurkan bagi mereka dengan BMI lebih besar dari 30 kg/m2 karena sensitivitas dan spesifisitasnya lebih rendah untuk mendeteksi batu ureter. Ketika batu ureter terlihat pada pemeriksaan CT scan, batu juga dapat diidentifikasi pada CT scout sekitar 50%. Film CT scout dilakukan pada mA rendah dari film standar ginjal, ureter, kandung kemih, sebagian terhitung dapat menurunkan sensitivitas dalam mendeteksi batu. Harus dilakukan KUB standar ketika batu itu tidak terlihat pada CT scout karena batu akan terlihat pada 10% pasien. KUB Follow-up dilakukan pada mereka yang menjadi kandidat untuk dilaukan observasi dan pada pasien yang batunya diidentifikasi pada CT scout atau KUB awal karena berfungsi sebagai indikator progresivitas batu. KUB Follow-up juga harus dipertimbangkan pada pasien yang batunya tidak terlihat pada CT scout atau KUB awal karena letaknya di daerah sacroiliaka, sehingga membatasi visualisasinya. Pemeriksaan Oblique juga dapat dipertimbangkan dalam kasus tersebut, baik pada saat pemeriksaan CT scan asli atau saat follow-up, karena gambaran ini dapat semakin memudahkan visualisasi batu (gbr. 1). Parameter dan temuan tertentu harus dinilai pada pemeriksaan CT scan untuk memfasilitasi keputusan penanganan selanjutnya. Sebagian besar pasien dengan batu ureter akan mengalami beberapa tingkat hidronefrosis, rata-rata 83% berdasarkan tinjauan kami terhadap 48 studi. Namun, adanya hidronefrosis tidak memprediksi kebutuhan intervensi. Adanya atau tingkat hidronefrosis telah terbukti mempengaruhi hasil pada prosedur shock wave lithotripsy terhadap batu ureter, tetapi hal ini kurang memiliki dampak pada pengangkatan batu dengan prosedur ureteroscopic. Modalitas pencitraan alternatif dapat dipertimbangkan untuk kelompok pasien tertentu. Kombinasi pemeriksaan ultrasonografi (USG) ginjal dan KUB adalah pilihan yang layak untuk pasien sebelumnya diketahui telah memiliki batu radiopak. Telah dilaporkan sensitivitas sebesar 58% sampai 100% dan spesifitas sebesar 37,2% sampai 100% untuk kombinasi modalitas ini (Bukti Level C). Ultrasonografi (USG) ginjal, meskipun sensitivitasnya lebih rendah, adalah modalitas pencitraan awal yang lebih dipilih untuk anak-anak karena kekhawatiran terhadap radiasi. CT scan dosis rendah dapat menjadi pertimbangan jika USG ginjal tidak dapat mendiagnostik untuk anak-anak yang dicurigai menderita batu ureter. USG ginjal adalah modalitas pencitraan awal pilihan untuk pasien hamil yang diduga kolik. Jika diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan ini selama trimester pertama, magnetic resonance imaging (MRI) non-kontras harus dipertimbangkan sebagai pencitraan lini kedua karena janin yang paling rentan terhadap potensi radiasi induksi cedera pada trimester pertama. Perempuan pada trimester kedua dan ketiga merupakan kandidat untuk pemeriksaan CT scan dosis rendah jika ultrasonografi (USG) tidak dapat mendiagnosis. Komite dari American College of Obstetricians and Gynecologists tentang praktek kebidanan mendukung penggunaan CT scan dosis rendah ketika ada indikasi klinis dan mencatat bahwa dengan paparaan yang kurang dari 5 rad, ambang batas di atas rata-rata untuk CT scan dosis rendah, tidak terkait dengan pengembangan anomali janin atau kematian janin.

OBSERVASI TERHADAP BATU URETER YANG TELAH DIDIAGNOSISKesempatan pengeluaran spontan dari batu ureter yang telah didiagnosis terutama didasarkan pada ukuran dan lokasi batu. Pemeriksaan yang mungkin terbaik untuk menyelidiki riwayat alam dari batu ureter yang diketahui menunjukkan bahwa 83% dari pasien akan mengeluarkan batu mereka tanpa perlu dilakukan intervensi. Salah satu aspek yang lebih penting dari penelitian ini adalah pengamatan bahwa di antara batu-batu yang keluar secara spontan, 95% keluar dalam waktu 6 minggu masa follow-up. Pedoman EAU-AUA tentang Manajemen batu ureter menunjukkan suatu pilihan bahwa terapi ekspulsif medis harus dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama untuk kebanyakan pasien penderita batu ureter yang gejalanya dapat dikontrol. Sebagai suatu Standar, Pedoman tersebut merekomendasikan bahwa pasien "harus di-follow-up dengan pemeriksaan radiologi berkala untuk memantau posisi batu dan untuk menilai hidronefrosis."Panel berupaya untuk memvalidasi kehandalan hidronefrosis sebagai suatu proxy untuk tingkat obstruksi pada pasien yang diduga menderita batu saluran kemih. Secara khusus, jika hidronefrosis hadir dengan batu ureter diketahui, apa cara terbaik untuk menilai obstruksi atau potensi hilangnya fungsi ginjal? Sebagian besar penelitian ini menggunakan IVP untuk menilai obstruksi/fungsi ginjal (lihat laporan bukti dalam Lampiran B, tersedia di http://www.auanet.org/ content/media/imaging_evidence_report.pdf). terdapat kekurangan yang berbeda dari studi-studi tentang penggunaan renography nuklir untuk menentukan obstruksi dalam keadaan ini. Dengan catatan, perbedaan parameter ambang batas yang digunakan untuk mengklasifikasikan obstruksi dalam studi-studi ini memberikan kontribusi terhadap variabilitas dalam sensitivitas dan spesifisitas yang dilaporkan. Kualitas bukti tentang follow-up terhadap batu ureter terlihat rendah (Bukti Level C). Panel tidak hanya memperhitungkan sensitivitas/spesifisitas dari berbagai modalitas pencitraan dalam menentukan kemampuannya untuk mem-follow-up batu ureter yang terdiagnosis, tetapi juga menilai dampak dari paparan radiasi dan biaya studi pencitraan ketika membuat rekomendasi mereka. Berdasarkan studi-studi ini dan pendapat ahli Panel, ditunjukkan suatu decision tree diagram dan rekomendasi (gbr. 2). Setelah periode MET pada pasien yang diketahui memiliki batu ureter radiopak dengan diameter kurang dari 10 mm dengan hidronefrosis terkait sedikit sampai sedang dan tidak adanya bukti kerusakan ginjal, dengan asumsi gejala terkontrol dengan baik, Panel percaya bahwa ultrasonografi (USG) dikombinasikan dengan foto polos KUB menjadi kombinasi terbaik terhadap sensitivitas/spesifisitas dengan paparan radiasi minimal dan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pemeriksaan CT scan non-kontras. Pada pasien yang terus mengalami gejala tanpa adanya bukti pengeluaran batu, kombinasi ultrasonografi/KUB dapat menilai perkembangan batu serta hidronefrosis yang sedang berlangsung. Namun, jika ultrasonografi dan KUB gagal untuk menunjukkan hidronefrosis atau batu yang persisten, pencitraan lebih lanjut dengan radiografi foto polos atau CT scan non-kontras dosis rendah terbatas pada daerah tertentu dapat dilakukan untuk memastikan secara definitif masih adanya batu. Pada pasien dengan batu radiolusen, CT scan non-kontras dosis rendah dapat menilai perkembangan batu dan tingkat hidronefrosis. Ketajaman pemeriksaan klinis dikombinasikan dengan temuan baru pada studi pencitraan akan membantu dokter dalam menentukan apakah diperlukan observasi kontinu dikombinasikan dengan MET atau intervensi bedah. Mungkin masuk akal untuk mempertimbangkan pencitraan radiografi untuk konfirmasi sebelum dilakukan intervensi bedah.

FOLLOW-UP batu ureter SETELAH PENGOBATAN Setelah intervensi bedah definitif terhadap batu ureter, pencitraan follow-up dilakukan untuk menentukan pengangkatan batu secara lengkap dan/atau tidak adanya obstruksi. Instrumentasi saluran kemih dan terutama fragmentasi batu memerlukan pencitraan pasca operasi untuk mendokumentasikan 1) pembersihan batu/fragmen, 2) resolusi hidronefrosis dan/atau 3) pengembangan obstruksi yang tak terduga seperti yang terjadi akibat striktur ureter. Meskipun tingkat kejadian striktur ureter setelah ureteroscopy rendah (1% sampai 4%), kejadian tersebut tidak sepenuhnya dapat diprediksi. Pembentukan striktur ureter setelah SWL jelas jarang terjadi (0% sampai 2%) dan pada banyak laporan kemungkinan merupakan hasil dari instrumentasi ajuvan (kateterisasi ureter, push-back batu) atau impaksi batu. Namun, setelah SWL harus dikonfirmasi pengeluaran fragmen dan resolusi obstruksi terkait. Meskipun kebutuhan untuk pemeriksaan radiologi (pencitraan) untuk mengkonfirmasi pembersihan batu/fragmen setelah SWL atau ureteroscopy dengan lithotripsy dapat diterima secara luas, kebutuhan untuk pemeriksaan pencitraan follow-up pada pasien yang tanpa gejala untuk menilai obstruksi masih diperdebatkan. Di tengah-tengah kontroversi tersebut adalah kehandalan dengan gejala mana yang memprediksi adanya obstruksi. Weizer dkk meninjau 241 pasien rata-rata 5,4 bulan setelah ureteroscopy menggunakan CT scan non-kontras, USG ginjal, IVP, renography diuretik atau pyelogram retrograde. Dari 188 pasien yang tidak mengalami rasa sakit pada follow-up pasca operasi, 7 pasien (3,7%) tetap mengalami obstruksi pada pencitraan pasca operasi. Bugg dkk juga meninjua 118 pasien yang menjalani 143 prosedur ureteroscopic, dan dievaluasi dengan IVP, USG ginjal atau CT scan rata-rata pada waktu 7 bulan pasca operasi. Di antara 77 pasien dengan follow-up lengkap yang dirawat karena batu ginjal atau batu ureter, 1 dari 25 pasien (4%) tanpa obstrukdi pra operasi yang melaporkan penyembuhan gejala mereka pascaoperasi ditemukan mengalami obstruksi persisten. Karadag dkk mengidentifikasi silent obstruction hanya pada 1 dari 228 pasien yang asimptomatik (0,4%) dalam kajian mereka terhadap 268 pasien yang menjalani ureteroscopy batu yang menjalani pencitraan dengan IVP pada waktu 3 bulan setelah ureteroscopy. Yang terakhir, Karod dkk menemukan tidak adanya kasus silent obstruction di antara 183 pasien yang menjalani ureteroscopy dan dievaluasi secara radiografis pada waktu rata-rata 73 hari pasca operasi. Dari penelitian tersebut, jelas bahwa kejadian obstruksi pasca operasi pada pasien tanpa gejala (asimtomatik) jelas terlihat rendah (Bukti Level C). Menurut Bugg dkk, di antara kelompok pasien yang tanpa nyeri pasca operasi atau obstruksi pra operasi, akan diperlukan 25 pemeriksaan radiografi untuk mendiagnosis 1 kasus obstruksi persisten. Meskipun tampaknya harga kecil yang harus membayar untuk menghindari hilangnya 1 unit ginjal, ini nilai need-to-treat ini hampir tidak dibenarkan dari sudut pandang ekonomi yang ketat. Meskipun demikian, Panel percaya bahwa biaya yang relatif rendah dan kurangnya radiasi ionisasi yang terkait dengan sonografi ginjal membenarkan penggunaannya dalam follow-up rutin pasien yang dirawat dengan batu ureter. Obstruksi dengan atau tanpa gejala yang terkait setelah ureteroscopy umumnya karena menghalangi fragmen batu atau striktur ureter. Dengan insidensi striktur yang rendah (kurang dari 1% pada sebagian besar penelitian), fragmen obstruktif cenderung terdiri dari etiologi yang lebih umum secara keseluruhan dan dapat terdeteksi dengan KUB jika radiopak, sehingga memberikan sarana untuk mengidentifikasi pasien yang memerlukan pencitraan yang lebih fungsional dan/ atau perawatan lebih lanjut. Di masa depan, mungkin dengan analisis subkelompok lanjut, karakteristik pasien atau batu perioperatif dapat diidentifikasi pada pasien tanpa batu persisten yang jelas, yang harus menjalani pemeriksaan pencitraan fungsional atau USG ginjal. Berdasarkan data saat ini dan pendapat panel, kami menunjukkan decision tree diagram untuk follow-up batu ureter setelah pengobatan dengan MET atau intervensi bedah (SWL dan ureteroscopy) (gbr. 3). Untuk pasien yang menjalani MET pada batu ureter yang di antaranya didokumentasikan pengeluaran batu (batu di tangan) dan penyembuhan gejala, tidak diperlukan pencitraan lebih lanjut. Jika pasien tetap bergejala meskipun didokumentasikan pengeluaran batu, evaluasi dengan USG ginjal akan menunjukkan apakah ada obstruksi persisten dan akan menunjukkan perlunya pencitraan lebih lanjut untuk mengidentifikasi adanya batu tambahan, edema sisa atau obstruksi. Untuk pasien yang menjalani SWL, follow-up USG ginjal dengan KUB untuk batu radiopak atau tanpa KUB untuk batu radiolusen akan mendokumentasikan pembersihan batu dan menunjukkan ada atau tidak adanya hidronefrosis (gbr. 3). Jika pasien asimtomatik dan KUB/USG menunjukkan tidak ada batu atau hidronefrosis, tidak diperlukan pencitraan lebih lanjut. Jika KUB / USG menunjukkan hidronefrosis dan/atau sisa fragmen, diindikasikan observasi lebih lanjut dengan pencitraan ulang atau pengobatan sekunder. Pasien dengan batu radiolusen dan tidak adanya hidronefrosis tetapi tetap bergejala dan/atau belum ada fragmen yang keluar harus selanjutnya diamati dengan pencitraan berulang (CT scan non-kontras dosis rendah) atau intervensi seperti yang diindikasikan (gbr. 3). Untuk pasien yang menjalani ureteroscopy, decision tree diagram membedakan pasien yang menjalani pengangkatan batu yang utuh dari pasien yang membutuhkan fragmentasi batu karena berbeda kebutuhan pencitraan untuk mendokumentasikan batu sisa. Untuk pasien yang menjalani pengangkatan batu utuh dan yang gejalanya telah hilang, USG ginjal cukup untuk mendokumentasikan resolusi hidronefrosis (gbr. 4). Untuk pasien yang mengalami gejala atau tanpa hidronefrosis atau pasien asimtomatik dengan adanya hidronefrosis pada pemeriksaan USG ginjal, CT abdomen dan pelvis dengan dan tanpa kontras akan menentukan keberadaan dan/atau tempat obstruksi, di mana pengobatan lebih lanjut ditentukan oleh temuan tersebut. Untuk pasien yang menjalani ureteroscopy dengan fragmentasi batu dan yang tidak menunjukkan gejala, pencitraan follow-up dengan USG (batu radiolusen) atau USG/KUB (batu radiopak) akan mendokumentasikan keberadaan fragmen sisa dan/atau hidronefrosis (gbr. 5). Dengan tidak adanya hidronefrosis dan fragmen sisa, tidak diindikasikan pencitraan lebih lanjut. Namun, pada pasien dengan batu radiopak, jika didokumentasikan fragmen sisa dan/atau hidronefrosis, observasi lebih lanjut atau intervensi ditentukan berdasarkan kebijaksanaan praktisi. Untuk pasien dengan batu non-opak, hidronefrosis pada pemeriksaan USG harus segera dievaluasi lebih lanjut dengan CT scan non-kontras dosis rendah untuk mengidentifikasi fragmen sisa yang mengobstruksi. Pada pasien yang memiliki gejala dengan batu radiopak, USG dan KUB juga cukup sebagai pencitraan awal untuk memandu kebutuhan untuk observasi lebih lanjut, pencitraan interval atau pengobatan sekunder dilakukan seperti yang diindikasikan. Namun, bagi pasien dengan batu radiolusen, CT scan non-kontras dosis rendah akan secara optimal mengidentifikasi fragmen sisa atau obstruksi. Jika tidak ada, observasi lanjutan atau intervensi sekunder ditentukan oleh keparahan gejala dan/atau obstruksi. Pada pasien dengan gejala persisten tanpa hidronefrosis atau fragmen sisa, manajemen selanjutnya diserahkan kepada kebijaksanaan praktisi berdasarkan pada kecurigaan patologi kemih. Peran IVP dalam follow-up pasien dengan batu ureter yang telah diperlakukan pembedahan masih terbatas. Namun, IVP atau renografi diuretik dapat digunakan sebagai pengganti CT scan dengan kontras pada pasien yang menjalani pengangkatan batu utuh secara ureteroscopic dan memiliki gejala persisten atau hidronefrosis pada pemeriksaan USG, atau pada pasien yang memiliki batu ureter tambahan atau sisa yang tidak diduga tetapi ada kekhawatiran untuk terjadinya obstruksi. Yang terakhir, waktu pemeriksaan pencitraan follow-up atau kebutuhan untuk intervensi sekunder diserahkan kepada kebijaksanaan dari dokter yang merawat. Karena tingkat hidronefrosis tidak berkorelasi secara terduga dengan derajat obstruksi, tingkat kepedulian praktisi harus menentukan kebutuhan dan waktu pemeriksaan fungsional lebih lanjut atau intervensi sekunder definitif.

RISIKO DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA BERHUBUNGAN DENGAN PEMERIKSAAN RADIOLOGI ureter Karakteristik kinerja modalitas pencitraan yang digunakan dalam pengelolaan penyakit batu ureter telah didokumentasikan dengan baik. Namun, meskipun konsensus bahwa CT scan non-kontras abdomen dan pelvis memberikan informasi yang paling sensitif dan spesifik tentang ukuran dan lokasi batu ureter, karakteristik kinerja yang luar biasa dari CT scan harus seimbang terhadap potensi kerugian dan biayanya.RISIKO YANG TERKAIT DENGAN PEMERIKSAAN RADIOLOGI ureter Semua bentuk radiografi konvensional dan CT scan tergantung pada radiasi ionisasi untuk membuat suatu gambar. Radiasi ionisasi diketahui berpotensi menyebabkan kerusakan melalui efek deterministik dan stokastik. Efek deterministik (misalnya eritema kulit dan pembentukan katarak) terjadi pada batas tertentu, dan efeknya sebanding dengan dosis. Efek stokastik (misalnya menyebabkan kanker sekunder atau cacat bawaan) dapat terjadi pada dosis apapun. Probabilitas bahwa efek stokastik akan terjadi dengan peningkatan dosis, namun tingkat keparahan efeknya tergantung pada dosis. Efek deterministik jarang ditemui dengan dosis radiasi diagnostik yang terkait dengan pengelolaan penyakit batu ureter. Akan berguna untuk mengukur risiko paparan radiasi kepada pasien dan penyedia layanan kesehatan menggunakan konsep dosis efektif. Dosis efektif (dalam mSv) memperkirakan potensi efek biologis yang merugikan dari jumlah dosis setara dengan radiasi ke organ yang terkena. Oleh karena itu, paparan radiasi dari berbagai jenis pencitraan diagnostik dapat dibandingkan dalam hal resiko biologis relatif. Dosis efektif tidak dapat disamakan dengan dosis yang diserap sebenarnya untuk setiap individu. Dosis yang sebenarnya diserap bagi seorang individu akan tergantung pada protokol pemindaian dan peralatan yang digunakan. Ada bukti kuat dari variabilitas yang luas dalam dosis efektif yang dihasilkan selama pelaksanaan jenis pemeriksaan yang sama (misalnya CT scan pada abdomen dan pelvis) dalam suatu fasilitas pencitraan dengan fasilitas pencitraan lainnya. Dosis aktual dalam praktek klinis mungkin jauh lebih tinggi akibat beberapa faktor. Selain bahaya yang terkait dengan paparan radiasi, pencitraan menggunakan bahan kontras intravena (iodine atau gadolinium) telah dikaitkan beberapa risiko. Efek sampingnya yang telah dilaporkan termasuk reaksi alergi yang parah, gangguan fungsi ginjal, fibrosis sistemik nefrogenik dan kematian.

MEMINIMALKAN RISIKO Semua pemeriksaan pencitraan menggunakan radiasi ionisasi harus tertuju pada prinsip ALARA (As Low As Reasonably Achievable), berusaha untuk mengekspos pasien dengan sedikit radiasi ionisasi yang akan menjawab pertanyaan klinis. Dengan demikian, ketika 2 atau lebih pemeriksaan pencitraan memiliki efektivitas klinis yang sama atau hampir sama, harus dipilih pemeriksaan dengan sedikit radiasi ionisasi. Pemeriksaan non-kontras harus dipilih lebih dari pemeriksaan yang menggunakan kontras ketika kinerjanya terlihat sama-sama efektif. Harus dilakukan optimasi pemeriksaan yang dipilih. Misalnya, sensitivitas USG abdomen atau KUB untuk mendeteksi batu ureter dapat dioptimalkan dengan menahan makanan dan cairan sebelum pemeriksaan untuk mengurangi dampak buruk dari gas usus terhadap sensitivitas dan spesifisitas. Demikian pula, optimalisasi radiografi konvensional yang digunakan untuk mengidentifikasi batu ureter dapat dilakukan dengan langkah-langkah untuk mengurangi gas usus, atau dengan menambahkan gambaran obliq atau CT scan untuk mengurangi kesalahan deteksi dari struktur yang mendasarinya atau di atasnya. Optimasi CT scan meliputi protokol terbatas pemindaian terbatas pada suatu area anatomi yang diinginkan (misalnya CT scan pelvis) untuk evaluasi ureter distal, penyesuaian parameter CT scan untuk ketebalan jaringan dan habitus tubuh dan keterbatasan fase (misalnya non-kontras saja atau gabungan injeksi dan tertunda fase) untuk mengurangi paparan radiasi total. Protokol khusus untuk mengurangi paparan radiasi untuk mendeteksi penyakit batu ureter telah berhasil mengurangi dosis efektif pada CT scan abdomen dan panggul standar dari 10 mSv menjadi 3 mSv. Protokol pemindaian khusus untuk fasilitas pencitraan dapat bervariasi secara signifikan berdasarkan berbagai perkiraan dosis efektif yang ditemukan dalam literatur untuk pemeriksaan tertentu. Dokter perlu memahami protokol pemindaian mana yang digunakan dalam pemeriksaan radiologi pasien mereka.

PEMANFAATAN SUMBER DAYA Suatu pemeriksaan dibenarkan ketika manfaat dari informasi yang diperoleh lebih besar daripada bahaya fisik dan potensi ekonomi pada pasien. Oleh karena itu, juga masuk akal untuk mempertimbangkan biaya pemeriksaan pencitraan untuk masing-masing pasien dan sistem perawatan kesehatan. Sumber perawatan kesehatan masih terbatas. Oleh karena itu, efektivitas biaya menjadi faktor ketiga (bersama dengan karakteristik kinerja dan risiko) dalam mempertimbangkan efektivitas klinis secara keseluruhan dari pemeriksaan radiologi (pencitraan).

BIAYA PEMERIKSAAN RADIOLOGIBiaya pemeriksaan radiologi sangat bervariasi dan tergantung sebagian pada faktor terkait pasar dan siapa yang bertanggung jawab untuk pembayarannya. Satu pengganti untuk biaya relatif adalah biaya maksimum yang dibolehkan untuk studi oleh CMS (Centers for Medicare & Medicaid Services). Biaya aktual oleh penyedia pelayanan radiologi untuk setiap pemeriksaan mungkin jauh lebih tinggi dari biaya yang dibolehkan CMS. Dengan melihat biaya relatif, mungkin untuk memiliki perasaan terhadap biaya tersebut. Misalnya, CT scan non-kontras memiliki biaya yang dua kali lebih tinggi dari pemneriksaan USG, sementara biaya pencitraan MRI tiga kali lipat lebih tinggi dari CT scan. Namun, penting untuk diingat bahwa biaya dapat dibuat dan tidak sesuai secara proporsional untuk biayanya, yang mencerminkan biaya yang sebenarnya dari sumber daya yang diperlukan untuk menyediakan layanan yang diberikan. Bahkan, biaya yang diijinkan untuk CT scan telah secara agresif dipotong oleh CMS dalam upaya untuk membatasi penggunaannya. Walaupun pengambilan keputusan medis tidak boleh dikompromikan oleh biaya, mungkin sering untuk dibuat keputusan medis rasional tanpa pencitraan tambahan atau dengan pilihan biaya yang lebih rendah. Dalam kasus-kasus di mana informasi dapat diperoleh dengan 2 modalitas pencitraan yang sama sensitif atau hampir sama sensitif, harus dipilih pilihan biaya yang lebih rendah. Ketika pertanyaan klinis dapat dijawab secara sama atau hampir sama dengan 2 atau lebih modalitas pencitraan, harus dipilih modalitas dengan kerugian minimal dan penggunaan sumber daya terendah secara keseluruhan.

RINGKASAN Penilaian Teknologi ini telah menghasilkan protokol efektivitas klinis yang mencoba untuk meringkas informasi tentang 1) karakteristik kinerja, 2) risiko dan 3) biaya pemeriksaan radiologi (pencitraan) untuk memberikan pendekatan rasional terhadap pencitraan dalam manajemen penyakit batu ureter.

1