TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

88
TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM A-AḤĀWĪ: TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-AḤĀWIYYAH SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun oleh: Khairul Anwar NIM: 11140331000011 FAKULTAS USHULUDDIN JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

Transcript of TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

Page 1: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:

TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Khairul Anwar

NIM: 11140331000011

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 2: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:

TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Khairul Anwar

NIM: 11140331000011

Di Bawah Bimbingan

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Edwin Syarip, M.Ag.

NIP. 196709181997031001

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 3: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ:

TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal, 15 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Aqidah dan

Falsafah Islam

Jakarta, 15 Juli 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Dra. Tien Rohmatin, MA

NIP. 19680803 199403 2 002

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Banun Binaningrum, M. Pd

NIP. 19680618 199903 2 001

Anggota

Penguji I,

Dr. Kholid Al Walid, MA

NIP. 197009202005011004

Penguji II,

Ḥanafī, S.Ag, MA

NIP. 196912161996031002

Pembimbing,

Dr. Edwin Syarip, M.Ag.

NIP. 19670918 199703 1 001

Page 4: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama : Khairul Anwar

NIM : 11140331000011

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Juli 2021

Khairul Anwar

Page 5: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

i

ABSTRAK

TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ: TINJAUAN KITAB

AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH

Kata Kunci: Tuhan, Manusia, Hari Akhir, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Teologi adalah salah satu hal yang paling penting dalam ranah kehidupan manusia

untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek teologi, yang berorientasi untuk

menganalisa secara mendalam terhadap pemikiran teologi Islam dalam pandangan

Imām aṭ-Ṭaḥāwī yang berkaitan tentang Tuhan, manusia dan hari akhirat.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka

(library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-

penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan

masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang

teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam Kitab Al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī tentang

teologi Islam bercorak kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām

Aṭ-Ṭaḥāwī dapat digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam kelompok

Salafiah dan Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua

paham tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berpendapat bahwa meyakini esensi dan eksistensi Allah

harus sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak akan

punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi.

Mengenai perilaku manusia, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menyatakan bahwa perbuatan

mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal

perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang

mencipta dan menetapkan takdir, sedangkan manusia memiliki kehendak dan

kemauan, serta memiliki perbuatan.

Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai aspek hari akhir, berpendapat bahwa

iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah ditetapkan oleh

al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui kitab-Nya, menegakkan

bukti-bukti atasnya dan membantah orang-orang yang mengingkarinya. Menurut Imām

Aṭ-Ṭaḥāwī surga dan neraka telah diciptakan dan telah ada sekarang.

Page 6: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

ii

KATA PENGANTAR

Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang

berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW

Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan

bantuan baik secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A sebagai Rektor Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam,

dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Aqidah Dan

Filsafat Islam, yang telah sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

studinya. Mohon beribu maaf karena penulis telah banyak merepotkan juga menyita

banyak waktu dan perhatiannya.

4. Dr. Edwin Syarip, M.Ag., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas

semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis.

5. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu (S1) dan para dosen Fakultas

Ushuluddin yang telah memberikan pelajaran-pelajaran terbaik selama penulis

menjalankan studi. Terima kasih pula kepada seluruh Staf dan Karyawan Fakultas

Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan

Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam

mencari referensi terbaik semasa perkuliahan hingga proses penyeleseian skripsi ini.

Page 7: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

iii

6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Raja’ dan Ibunda Sitti Aminah yang telah

memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga

skripsi ini dapat selesai.

7. Seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014.

8. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan

membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda

dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca

umumnya.

Jakarta, 15 Juli 2021

Khairul Anwar

Page 8: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ṭ ṭ ط A a ا

ẓ ẓ ظ B b ب

‘ ‘ ع t t ت

gh gh غ ts th ث

f f ف J j ج

q q ق ḥ ḥ ح

k k ك kh kh خ

l l ل D d د

m m م Dz dh ذ

n n ن R r ر

w w و Z z ز

h h ه S s س

’ ’ ء sy sh ش

y y ي ṣ ṣ ص

h h ة ḍ ḍ ض

Vocal Panjang

Arab Indonesia Inggris

ā ā آ

ī ī إى

ū ū أو

Page 9: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... iv

DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 7

F. Metode Penelitian......................................................................................... 7

BAB II BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ ......................................................... 9

A. Riwayat Hidup ............................................................................................. 9

B. Riwayat Intelektual .................................................................................... 12

C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī .................................................................. 16

D. Peran Dan Pengaruh ................................................................................... 18

BAB III TEOLOGI ISLAM ............................................................................... 20

A. Definisi Teologi ......................................................................................... 20

B. Sejarah Teologi Islam ................................................................................ 24

C. Aliran dalam Teologi Islam ....................................................................... 29

1. Kelompok Syi’ah .................................................................................... 29

2. Kelompok Mu’tazilah ............................................................................. 31

3. Kelompok Asy’ariyah ............................................................................ 33

4. Kelompok Maturidiah ............................................................................ 34

D. Kajian Teologi Islam .................................................................................. 35

BAB IV PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ .............................. 39

A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī ........................................................................... 39

1. Aspek Ketuhanan.................................................................................... 39

2. Aspek Kemanusiaan ............................................................................... 49

3. Aspek Hari Akhir ................................................................................... 60

Page 10: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

vi

B. Corak Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī ................................................................ 68

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 71

A. Kesimpulan ................................................................................................ 71

B. Saran ........................................................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75

Page 11: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teologi adalah ilmu yang membahas tentang keEsaan Allah, asma (nama-

nama), af’āl (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, jaiz, dan sifat wajib,

mustahil, jaiz bagi Rasulnya. Ia merupakan ilmu yang membahas tentang segala

aspek yang berkaitan dengan ketuhanan atau juga disebut ilmu ketuhanan.1 Kajian

teologi dalam ranah Islam memiliki nama terkenal lainnya seperti ilmu kalam dan

ilmu tauhid. Teologi pada dasarnya mencakup di dalamnya ilmu tentang Tuhan

(ma’rifat al-mabda), ilmu tentang utusan Allah (ma’rifat al-wāsiṭah), dan ilmu

tentang hari akhirat (marifat al-ma’ād).2

Seperti yang disebutkan di atas, mengenai teologi kita tidak bisa melepaskan

dari disiplin keilmuan tradisional Islam yaitu ilmu kalam. Ilmu kalam merupakan

salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh menjadi bagian dari

tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya adalah disiplin-disiplin keilmuan

fiqh, tasawuf dan falsafah.3 Ilmu kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-

segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keIslaman. Ilmu Kalam

menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum muslim. Ini

terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai ilmu Aqā‘id,

ilmu Tauḥid, ilmu Uṣūl al-Dīn.4

Sesuai dengan makna harfiahnya, teologi adalah ilmu tentang ketuhanan

(“Theos” berarti Tuhan dan “logos” berarti ilmu), yaitu berbicara tentang Tuhan

dengan segala kemahakuasaan-Nya dan segala sifat-sifatnya sebagai zat yang Maha

Tinggi dan seterusnya. Oleh karena itu, sebagaimana diketahui bahwa teologi

1 Peter Connolly. Approaches to The Study of Religion terj. Imām Khoiri. Aneka Pendekatan

Studi Agama (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 316. 2 Syahrin Harahap. Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 15. 3 Term falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui

usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.

Sayyed Hussein Nasr, Olover Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, Buku

Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461. 4 Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakal Paramadina,

1992), h. 201.

Page 12: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

2

merupakan unsur yang penting dan dasar-dasar atau pondasi yang membentuk

“bangunan” keberagamaan, karena tanpa keyakinan dalam berteologi yang kuat,

maka suatu agama dianggap tidak akan pernah berdiri kokoh. Sebab teologi

merupakan ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin

menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi

yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang

keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang-

ambing oleh peredaran zaman.5 Pembicaraan teologi selalu tersentral pada diri

Tuhan sebagai pusat pembahasan dengan segala sifat-sifatnya.6

Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi

sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi

agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi

dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga

sebagai sejarah teologi.7

Kemunculan istilah teologi dalam Islam, pada awalnya terkait dalam ranah

politik dengan maksud perluasan ekspansi daerah kekuasaan Islam pada awal-awal

perkembangan Islam. Peristiwa yang diawali oleh pertentangan politik menyangkut

peristiwa pembunuhan ‘Utsmān bin ‘Affān (574-656 M) yang berujung pada

penolakan Mu’āwīyah bin Abū Sufyān (602-680 M) atas kekhalifahan ‘Alī bin Abī

Ṭālib (599-661 M). Pertentangan antara Mu’āwīyah bin Abū Sufyān dan ‘Alī bin

Abī Ṭālib berakhir pada peristiwa perang Ṣiffin yang menghasilkan keputusan

taḥkīm (arbitrase).8

Akibat adanya taḥkīm tersebut, muncullah aliran teologi yang pertama

dalam sejarah Islam, yaitu Khawarij. Kelompok Khawarij merupakan kelompok

yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib menganggap bahwa prilaku taḥkīm tidak

terdapat di dalam al-Qur’an. Peristiwa ini menyebabkan permasalahan kalam untuk

5 Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 1972), h. ix 6 Chumadi Syarif Romas. Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2000), cet 1, h. 42. 7 Rumadi. Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia

(Bekasi: PT Gugus Press, 2002), cet ke-1, h. 23. 8 Harun Nasution. Teologi Islam, h. 3.

Page 13: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

3

pertama kali tentang pelaku dosa besar yang dipandang sebagai kafir dan keluar

dari Islam. Selain pasukan yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib, terdapat

pasukan yang mendukung ‘Alī yang dikenal sebagai kelompok Syi’ah.9

Lawan dari aliran Khawarij, muncullah aliran Murjiah yang tidak ingin

terlibat dalam masalah politik dan tidak mau terlibat dalam persoalan teologi.10

Kemudian, pada fase-fase berikutnya seiring berkembangnya Islam, pemahaman

tentang ketuhanan berkembang menjadi beberapa aliran yakni Mu’tazilah,

Qadariah, Jabariah, Salaf, Asy’ariah dan Maturidiah.11

Harun Nasution menyatakan bahwa corak teologi Islam ada tiga yakni

teologi yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang

mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya.

Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwanya teologi

tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam fahamnya lebih dapat

menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Dalam Islam dikenal berbagai aliran teologi

seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah,

Bazdawiyah, Syiah dan lain-lain. Diantara sekian banyak aliran teologi ada yang

masih eksis dalam kehidupan anak manusia dan ada pula yang sudah hilang dan

tinggal nama dalam sejarah.12

Teologi Khawarij, Murjiah, Jabariah, Asyariah, dan Bazdawiyah dapat

dikategorikan sebagai teologi tradisional karena berpegang pada tradisi-tradisi lama

dan kurang memberikan ruang gerak dan penghargaan terhadap potensi akal,

ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir yang

diikat banyak dogma, ketidakpercayaan terhadap sunnatullāh atau kausalitas,

terikat kepada makna harfiah dalam memberi interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dan

hadits serta statis dalam bersikap dan berpikir yang membawa manusia kepada

sikap fatalistis.13

9 W. Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology, terj. Umar Basalim. Pemikiran

Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10. 10 Nasution, Teologi Islam, h. 22-25. 11 Nasution, Teologi Islam, h. 42-43. 12 Nasution, Teologi Islam, h. 43. 13 Nasution, Teologi Islam, h. 44.

Page 14: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

4

Qadariah dan Mu’tazilah dapat dikategorikan sebagai aliran teologi Islam

bercorak liberal karena sangat tinggi memberikan penghargaan terhadap potensi

akal, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir hanya

dibatasi ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali

jumlahnya, percaya kepada sunnatullāh atau kausalitas, mengambil arti

metamorfosis dari teks wahyu dan dinamis dalam bersikap dan berpikir. Sedangkan

Maturidiah dan Syiah dapat dikategorikan sebagai teologi Islam bercorak integral

karena menggAbūngkan sifatnya mengambil jalan tengah, yaitu mengintegrasikan

teologi tradisional dan rasional.14

Teologi Islam yang mengacu pada ajaran ilmu tauhid menjadi suatu

pembahasan menarik yang banyak dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan

para mutakallīmūn terhadap berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang

dapat memperkuat akidah tersebut dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan

Sunnah. Keyakinan yang benar terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat

penting.15 Oleh karena itu, setiap Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi

(tauhid atau akidah) sebagai dasar untuk beriman dan berhubungan dengan Allah.

Selain itu, pemahaman teologi yang benar, akan mempengaruhi hubungan sesama

manusia dan makhluk hidup.

Terkait dengan persoalan ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran

teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī merupakan seorang ulama yang cerdas dan sangat jeli dalam membahas

suatu masalah. Beliau sangat memperhatikan apa yang dipelajari dalam majelis

ilmu, dan kemudian diulangi kembali setelah selesai majlis, mengklasifikasikan

secara rinci riwayat-riwayat yang ia terima dan menyusunnya dalam

mushannafnya. Ia tidak bertaklid pada seorang pun, tidak dalam masalah uṣūl

(pokok), dan tidak dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang

berdasar pada ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj

14 Nasution, Teologi Islam, h. 45. 15 Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh

Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.

Page 15: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

5

ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur yaitu al-Aqīdah Aṭ-

Ṭaḥāwiyah.

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al-

Muzannī, kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’ashub pada salah

seorang Imām pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar

berdasarkan kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imām menyamai

pendapatnya maka disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak

karena taklid.

Dalam masalah teologi, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dekat dengan Ḥanafīah atau

Maturidiyah. Bahkan dalam mukaddimah Kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyah beliau

menerangkan menulis kitab tersebut karena terinspirasi oleh kitab Fiqh al-Akbar

karya Imām An-Nu’mān Abū Ḥanīfah. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa

Ḥanafīah dekat dengan Maturidiyah, dan Syāfi‘īyah dekat dengan Asy’ariyah,

mazhab teologi yang dibangun oleh Imām Abū Ḥasan al-Asy’arī. Baik Asy’ariah

maupun Maturidiyah, mendapatkan kehormatan ijma ulama sebagai Ahlu as-

Sunnah wa al-Jamaah atau yang kita kenal sebagai Mazhab Sunni.16

Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam

mengetahui teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Sebab kajian teologi ini,

dibahas secara komprehensif dan berdasarkan analisis dari hasil ijtihad sendiri.

Sehingga dalam penulisan skripsi ini, mengetahui teologi dalam pandangan Imām

Aṭ-Ṭaḥāwī menjadi sangat penting untuk dijelaskan secara mendalam.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa teologi merupakan bagian dari hal

yang terpenting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan di

dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, masalah yang akan dikaji dalam penelitian

16 Achmad Fathurrohman. Imām Thahawi: Muhaddis dan Teolog Islam Awal (Juli 15, 2019),

https://afkaruna.id/Imām-thahawi-muhaddis-dan-teolog-islam-awal. Diakses pada 03 Oktober

2020, pukul 22.16.

Page 16: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

6

ini dipusatkan pada aspek-aspek teologis, yang bertujuan untuk menganalisa

secara mendalam terhadap pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.

Dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī membahas

mengenai teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah secara umum yang memiliki

manfaat paling urgen di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj

as-Salaf aṣ-Ṣalih yang membuktikan bahwa semua ulama Ahlu al-Sunnah

memiliki akidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam madzhab fiqih.

Ajaran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab tersebut yang sangat perlu penulis

bahas adalah tentang teologi. Karena teologi dalam pandangan Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī dikaji berdasarkan hasil ijtihad sendiri yang dikhususkan pada aqidah

Ahlu al-Sunnah. Oleh karena itu, pada skripsi ini, batasan masalah yang penulis

ambil hanya terpusat pada ajaran teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī:

Tinjauan Kitab Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyah.

2. Rumusan Masalah

Dengan mengetahui batasan masalah yang telah disebutkan sebelumnya,

penulis menetapkan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

Bagaimana teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab Aqīdah aṭ-

Ṭaḥāwiyah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pemaparan tentang rumusan masalah di atas, tujuan

penelitian dapat di tetapkan sebagai berikut:

1. Tujuan ilmiah, yaitu untuk mengetahui dan menambah wawasan

mengenai ajaran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam teologi Ahlu al-Sunnah

wa al-Jama’ah.

2. Tujuan akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang

merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka

menyelesaikan studi tingkat Sarjana program Strata Satu (S1) di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas

Page 17: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

7

Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dengan gelar Sarjana

Agama (S.Ag)

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan fokus permasalahan dan tujuan yang disebutkan di atas,

penelitian ini dapat bermanfaat:

1. Untuk masyarakat

Mengetahui dan memahami pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai teologi

Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.

2. Untuk akademisi

Sebagai tambahan untuk sumber bacaan tentang teologi Islam dan sebagai

sumber rujukan mengenai kajian teologi Islam.

E. Tinjauan Pustaka

Penulis telah melakukan tinjauan pustaka terhadap karya-karya ilmiah

tentang skripsi ini, tetapi penulis tidak menemukan kajian yang secara khusus

membahas tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī baik yang berupa skripsi, tesis,

desertasi, buku, maupun jurnal. Sehingga, jika memang demikian, penelitian yang

dilakukan oleh penulis menjadi penelitian perdana yang mengangkat tema ini.

F. Metode Penelitian

1. Sumber Data Penelitian

Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil

karya Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī yaitu Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah

dan buku karya Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, yaitu Penjelasan Matan

Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan

data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti

Teologi Islam, karya Prof. Dr. Harun Nasution. Pengatar Teologi Islam:

Ilmu Kalam, Aḥmad Ḥanafī, Perkembangan Pemikiran Kalam dalam Islam.

Lalu penulis akan menggunakan sumber yang berkaitan dengan analisis

yang ditulis oleh para sarjana dan cendikiawan yang menggeluti pemikiran

tentang teologi. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, kamus, internet,

koran, jurnal, dan lain-lain, yang relavan dengan kajian skripsi ini sebagai

pendukung terhadap rujukan penulis dalam skripsi ini.

Page 18: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

8

2. Teknik Penelitian

Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di

dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data

terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui

berbagai literatur, baik primer maupun skunder.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis

deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam

tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.

3. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti translitasi yang

digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat

Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

Page 19: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

9

BAB II

BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ

A. Riwayat Hidup

Nama asli beliau adalah Imām al-‘Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin

Muḥammad bin Salāmah bin ‘Abdu al-Mālik al-Azdī al-Ḥajrī al-Miṣrī Aṭ-Ṭaḥāwī1,

nisbat ke Ṭaha, sebuah desa di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi

Minya saat ini. Beliau bukan dari desa Ṭaḥa, akan tetapi dari desa yang dekat

dengan Ṭaḥa bernama Ṭaḥṭuṭ, tetapi beliau tidak suka dipanggil dengan Ṭaḥṭuṭī,

karena bisa disangka beliau menisbatkan diri kepada ḍuraṭ, bunyi kentut, maka

beliau menisbatkan diri ke Ṭaḥa.

Beliau lahir pada tahun 239 H, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn

Yūnus, yang merupakan salah seorang murid beliau. Sumber lain ada yang

mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau tumbuh

dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif dengan

suasana ibadah dan amal shaleh yang mewarnai aktifitas dirumah tersebut. Ayahnya

sendiri adalah ulama dan ahli syair lengkap dengan periwayatannya. Ibunya juga

seorang yang berilmu dari kalangan mazhab Syāfi‘ī, bahkan termasuk murid-murid

Imām Syāfi‘ī yang sangat aktif dalam menghadiri berbagai majelisnya. Sementara

paman dari ibunya adalah al-Muzanī, murid dari Imām asy-Syāfi‘ī yang paling

faqih dan aktif dalam menyebarkan madzhabnya. Lingkungan yang kondusif inilah

yang membantunya untuk berkembang menuntut ilmu agama.

Beliau berasal dari rumah yang berlingkungan ilmiah dan unggul. Sebagian

besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian

lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-

‘Aṣ. Menghafal al-Qur’an dari Syaikhnya, Abū Zakaria Yaḥya bin Muḥammad bin

‘Amrūs, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal

al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya al-

Muzannī, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar

pada ilmu Syāfi‘ī dan makna-makna perkataannya. Dan beliau adalah orang

1 Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh (Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001), cet.

pertama, h. 467.

Page 20: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

10

pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits,

dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syāfi‘ī tahun 252 H.

Beliau juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzannī. Pernah bertamu

dengan Yūnas bin Abdu al-‘A’lā (264 H), Baḥra bin Naṣrin (267 H), ‘Īsā bin

Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn ‘Uyainah dari

kalangan ahlu Ṭabaqat.

Dengan lingkungan keluarga yang bersinar terang dengan ilmu seperti itu,

ditambah lagi dengan kenyataan beliau yang hidup pada masa keemasan kodifikasi

hadits bahkan sezaman dengan Imām ahli hadits yang enam, yaitu: Imām al-

Bukhārī, Imām Muslim, Imām Abū Dāwud, Imām at-Tirmidzī, Imām an-Nasāī dan

Imām Ibnu Mājah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muncul sebagai seorang ulama hebat yang di

dalam dirinya terpadu antara kekuatan ilmu hadits dan kebersihan aqidah.2

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mulai beranjak mendaki ketinggian ilmu dari Masjid Amr

bin al-‘Aṣ. Disana beliau menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Abū

Zakariya Yaḥya bin Muḥammad bin ‘Amrūs. Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berguru

kepada murid-murid Imām Syāfi‘ī dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabi’ ibn Sulaimān

dan al-Muzanī yang tidak lain adalah paman dari ibunya, dan mendengar

Mukhtasharnya yang beliau intisarikan dari ilmu Imām Syāfi‘ī, gurunya. Bahkan

beliau juga menulis (meriwayatkan) hadits dari al-Muzanī, dan juga mendengar

riwayat-riwayat yang diambilnya langsung dari Imām Syāfi‘ī, dan tentu saja sempat

berguru dari ulama-ulama yang segenerasi dengan al-Muzanī.

Namun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muda waktu itu pernah merasa diremehkan oleh

al-Muzanī dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imām Aḥmad bin

Abū ‘Imran, tokoh besar mazhab Ḥanafī di Mesir pada masanya. Imām Aḥmad bin

Abū ‘Imran merupakan murid dari Ibn Bisyr, Ibn Samā’ah dan tokoh-tokoh lain

yang merupakan murid-murid Imām Abū Yusuf dan Imām Muḥammad Ibn Ḥasan

al-Syaybanī. Dua tokoh terakhir langsung mendalami ilmu kepada Imām Abū

Ḥanifah (w. 150 H.) . Adapun Imām Abū Ḥanifah belajar kepada Imām Ḥammad

bin Abū Sulaimān (w. 120 H.) dari Imām Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 95 H .) dari Imām

2 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah: Akidah

Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Jakarta: Darul Haq, 2001), cet. I, h. vi.

Page 21: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

11

al-Aswad Ibn Yazīd (w. 75 H.) dari ‘Umar Ibn al-Khattab ra. Pada umur 30 tahun

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kemudian berpetualang ke wilayah Syam,3 di sana beliau

memperdalam ilmunya, sejak dari kota Baitul Maqdis, Ghaza dan Asqalan. Lalu

beliau mendalami fiqih di kota Damaskus di bawah asuhan gurunya al-Qadī Abū

Ḥāzim al-Baṣri. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih

mazhab Ḥanafi yang dihormati di wilayah Mesir.4

Pada mulanya beliau mengikuti madzhab Imām Syāfi‘ī, akan tetapi beliau

kemudian beralih mengikuti madzhab Imām Abū Ḥanīfah. Tentang beralihnya

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kepada madzhab Ḥanafī, al-Ḥafiẓ aẓ-Ẓahabī menyebutkan

sebagai berikut, Abū Sulaimān bin Zabr berkata, Aṭ-Ṭaḥāwī berkata kepada saya,

“Orang yang paling pertama aku tulis haditsnya ialah al-Muzanī, dan saya juga

mengambil pandangan Imām Syāfi‘ī. Setelah beberapa tahun kemudian, datang

Imām Aḥmad bin Abū Imran sebagai seorang hakim untuk wilayah Mesir, maka

saya menyertainya, dan kemudian mengambil pandangannya.”. Dan ada beberapa

faktor lain yang menyebabkan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī meninggalkan madzhab yang telah

ia geluti sebelumnya, yakni madzhab Syāfi‘ī ke madzhab Ḥanafī dalam

bertafaqquh, disebabkan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :

1. Karena beliau menyaksikan bahwa pamannya banyak menelaah kitab-kitab

Imām Abū Ḥanīfah.

2. Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang banyak disimak para tokoh madzhab

Syāfi‘ī dan madzhab Ḥanafī.

3. Taṣnifāt (karangan-karangan) yang banyak dikarang oleh kedua madzhab itu

yang berisi perdebatan antara kedua madzhab itu dalam beberapa masalah.

Seperti karangan al-Muzannī dengan kitabnya al-mukhtaṣar yang berisi

bantahan-bantahan terhadap Abū Ḥanīfah dalam beberapa masalah.

4. Banyakanya halaqah ilmu yang ada di masjid Amr bin al-‘Aṣ tetangganya

mengkondisikan beliau untuk memanfaatkannya dimana disana banyak

munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para pesertanya.

3 Syamsuddin al-Zhahabi, Tazkirah al-Huffaz (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1390 H),

jilid 3, h. 809. 4 Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan (Ciputat:

Maktabah Darus-Sunnah, 2020), cet. pertama, halaman 2-3.

Page 22: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

12

5. Banyak Syaikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abū Ḥanīfah, baik

dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadil,

seperti al-Qaḍī Bakar bin Qutaibah dan Ibn Abī ‘Imran serta Abū Khazīm.5

Akan tetapi peru diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah

bertujuan untuk mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan,

karena hal ini banyak terjadi dikalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari

satu madzhab ke madzhab yang lainnya tanpa mengingkari madzhab sebelumnya.

Bahkan pengikut Imām Syāfi‘ī yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang

yang bermadzhab Mālikī, dan di antara mereka ada yang menjadi syeikhnya

(gurunya) Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Tidak ada tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah

(fanatisme) atau taklid, tetapi yang dicari adalah dalil, kemantapan dan hujjah yang

lebih mendekati kebenaran.

B. Riwayat Intelektual

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengambil ilmu dari sederetan ulama-ulama besar di

zamannya, dan itulah di antara yang menyebabkan beliau muncul sebagai salah

seorang ulama besar.6 Berikut di antara nama-nama mereka:

1. Al-Imām al-‘Allāmah, Faqīh al-Millāḥ, ‘Alamū al-Zuhād, Ismā’il bin Yaḥya

bin Ismā’il bin ‘Amr bin Muslīm al-Muzannī al-Miṣrī. Salah satu sahabat Imām

Syāfi‘ī yang mendukung madzhabnya, wafat tahun 264 H. Karangannya antara

lain al-Mukhtaṣār, al-Jamī’ al-Kabīr, al-Jamī’ aṣ-Ṣaghīr, al-Mantsūr, al-

Masāil al-Mu’tābarah, Targhīb fīl ‘Ilmi, dan lain-lainnya. Ia adalah orang

pertama yang dinukilkan haditnya oleh Aṭ-Ṭaḥāwī, dan kepadanya belajar di

bawah madzhab Syāfi‘ī, menyimak dari beliau juga kitab Mukhtasharnya serta

kumpulan hadits-hadits Syāfi‘ī.

2. Al-Imām al-‘Allāmah, Syaikhu al-Ḥanafiyah, Abū Ja’far Aḥmad bin Abī

‘Imran Musā bin ‘Īsā al-Baghdādī al-Faqīh al-Muḥaddits al-Ḥafiẓ, wafat tahun

280 H. Beliau disebut sebagai lautan ilmu, disifatkan sangat cerdas dan kuat

5 M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001),

https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul

22.16. 6 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, cet. I,

h. vii.

Page 23: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

13

hafalannya, banyak meriwayatkan hadits dengan hafalannya. Dan beliau

adalah seorang yang paling berpengaruh atas Aṭ-Ṭaḥāwī dalam madzhab Abū

Ḥanīfah. Adalah Aṭ-Ṭaḥāwī sangat membanggakan gurunya ini dan banyak

meriwayatkan hadits-hadits dari beliau.

3. Al-Faqīh al-‘Allāmah Qaḍī al-Qudlat Abū Khazim Abdu al-Ḥamid bin ‘Abdu

al-‘Azīz as-Sakūnī al-Biṣrī kemudian al-Baghdādī al-Ḥanafī, Menjabat Qaḍī di

Syam, Kufah dan Karkh, Baghdad. Dan dipuji selama menjalankan jabatannya.

Aṭ-Ṭaḥāwī belajar kepada beliau ketika menjadi tamu di Syam tahun 268 H.

Beliau menguasai madzhab Ahlul ‘Iraq hingga melampaui guru-gurunya.

Seorang yang tsiqah, patuh pada dien, dan wara’. Seorang yang ‘alim, paling

piawai dalam beramal dan menulis, cendekia disertai watak pemberani, sangat

dewasa dan cerdik, pandai membuat permisalan untuk memudahkan akal.

wafat tahun 292 H.

4. Al-Qaḍī al-Kabīr, al-‘Allāmah al-Muḥaddits Abū Bakrāh Bakkar bin Qutaibah

al-Biṣrī, Qaḍī al-Qudlat di Mesir, wafat tahun 270 H. Seorang yang ‘alim,

faqih, muhaddits, mempunyai kedudukan yang terhormat, dan agung, bila

dalam kebenaran tidak takut celaan orang yang mencela, zuhud, shaleh dan

istiqamah. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bertemu dengan beliau ketika ia masih seorang

pemuda, menyimak dari beliau, banyak pengaruhnya atas dirinya. Banyak

mengambil riwayat dari beliau, dan banyak menimpa dari beliau ilmu Hadits

serta tidak pernah absen dari majlisnya ketika mendiktekan hadits.

5. Al-Qaḍī al-‘Allāmah al-Muḥaddits ats-Tsabīt, Qaḍī al-Qudlat, Abū ‘Ubaid Alī

bin al-Ḥusain bin Ḥarb ‘Īsā al-Baghdādī, salah seorang sahabat Imām Syafi’ī,

wafat tahun 319 H. Sangat piawai dalam Ulumul Qur’an dan hadits, sangat

pendai dalam masalah ikhtilaf dan ma’ani serta qiyas fashih, berakal, lemah

lembut, suka menyatakan kebenaran.7

Berguru pada ulama-ulama hebat, kemudian muncul sebagai seorang ulama

yang hebat dan kemudian juga melahirkan murid-murid hebat. Inilah gambaran

ulama-ulama Ahlus Sunnah, dari zaman ke zaman lainnya, yang di antara mereka

7 Syu’aib Al-Arnauth dan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Syarh Aqidah

Thahawiyah (Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi, 2001), h. 4-9.

Page 24: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

14

ialah Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Di antara murid-murid Imām Aṭ-Ṭaḥāwī yang kemudian

muncul sebagai orang-orang yang terpandang ialah sebagai berikut:

1. Al-Ḥafiẓ Abū al-Faraj Aḥmad bin al-Qāsim bin ‘Ubaidillah bin Maḥdī al-

Baghdādī. Atau yang terkenal dengan nama Ibn Khasyab. Wafat tahun 364 H.

2. Al-Imām al-Faqīh al-Qaḍī Abū Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin Manṣūr al-

Anṣarī ad-Damaghānī.

3. Ismā‘īl bin Aḥmad bin Muḥammad bin Abdu al-‘Azīz, atau yang terkenal

dengan nama Abū Sa’īd al-Jurjānī al-Khalāl al-Warāq. Wafat tahun 364 H.

4. Al-Muhaddits al-Ḥafiẓ al-Jawwāl al-Muṣannif Abū Abdullāh al-Ḥusain bin

Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Abdurrahmān bin Asad bin Sammakh bin

Syammākhī al-Hirawī aṣ-Ṣaffar, pengarang al-Mustakhraj Al-Ṣahih Muslim.

Wafat tahun 371 H.

5. Al-Muhaddits al-Imām Abū ‘Alī al-Ḥusain bin Ibrāhīm bin Jābir bin Abī Az-

zamzām ad-Dimasyqī al-Faraiḍī asy-Syahīd. Wafat tahun 368 H.

6. Al-Imām al-Ḥafiẓ ats-Tsiqah ar-Rahāl al-Jawwāl Muhadditsul Islām ‘Alimal-

Mua’ammarīn Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad bin ‘Ayūb bin Muṭair a-

Lakhmī Asy-Syammī Aṭ-Ṭabrānī, pengarang tiga mu’jam; al-Kabīr, al-Ausath,

Aṣ-Ṣaghīr. Wafat tahun 360 H.

7. Al-Imām al-Hafiẓ an-Naqīd al-Jawal Abū Aḥmad Abūḍlah bin ‘Abdī bin

Abdullah bin Muḥammad bin al-Mubārak bin al-Qaṭṭān al-Jurjānī, pengarang

kitab al-Kāmil. Wafat tahun 365 H.

8. Al-Imām al-Hafiẓ Al-Mutqīn Abū Sa’īd Abdurraḥman bin Aḥmad bin Yūnus

bin Abdil ‘A’lā aṣ-Ṣadafī al-Miṣrī, pengarang kitab Tarikh Ulama’ Miṣra.

Wafat tahun 347 H.

9. Al-Imām al-Hafiẓ Ast Tsiqāh al-Jawwāl Abū Bakar Muḥammad bin Ja’far bin

al-Ḥusain al-Baghdādī al-Warrāq. Wafat tahun 370 H.

10. Asy-Syaikh al-‘Ālim al-Ḥafiẓ Abū Sulaimān Muḥammad bin al-Qaḍī Abdullah

bin Aḥmad bin Rābi’ah bin Zabrīn ar-Raba’ī. Wafat tahun 379 H.

11. Asy-Syaikh al-Ḥafiẓ al-Mujawwīd Muhaddits ‘Iraq Abūl Ḥusein Muḥammad

bin al-Muẓaffār bin Musā bin ‘Īsā bin Muḥammad al- Baghdādī. Wafat tahun

379 H.

Page 25: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

15

12. Al-Muhaddits ar-Raḥḥal Abū al-Qāsim Maslāmah bin al-Qāsim bin Ibrāhīm

al-Andalusī al-Qurṭubī. Wafat tahun 353 H.

13. Muhaddits Aṣbahān al-Imām ar- Raḥḥal al-Ḥafiẓ aṣ-Ṣādiq Abū Bakar

Muḥammad bin Ibrāhīm bin ‘Alī bin ‘Āṣim bin Zādzan al-Aṣbahān, yang

termasyhur dengan sebutan Ibnul Muqri’ al-Mu’jam. Wafat tahun 381 H.

14. ‘Alī bin Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah Abū al-Ḥasan Aṭ-Ṭaḥāwī, anak

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Wafat tahun 381 H.

15. Abū Utsmān Aḥmad bin Ibrāhīm bin Ḥammad bin Zaid al-Azdī, wafat tahun

329 H.8

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang berilmu yang memiliki keutamaan.

Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan hadits, serta cabang-cabang keilmuan

lainnya. Beliau menjadi wakil dari al-Qaḍī Abū Abdillah Muḥammad bin ‘Abdah,

seorang Qaḍī di Mesir.9 Imām Aṭ-Ṭaḥāwī seorang hafiẓ (penjaga dan penghafal)

kitab Allah, yang mengerti hukum-hukumnya dan maknanya, dan terhadap atsar

dari sahabat dan tabi’in terhadap tafsir ayat-ayatnya, aṣbābūn nuzulnya. Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī diberi gelar al-Hafiẓ yang mengindikasikan tingkat perbendaharaan dan

kredibilitasnya dalam hadits dan ilmu hadits, sehingga al-Ẓahabī misalnya melihat

sebagai ulama hadits yang pandangannya dapat dijadikan acuan dalam al-jarḥ wa

al-ta’dīl.10 Mempunyai wawasan yang menakjubkan dengan ilmu qira’ah.

Penghafal hadits, luas jangkauan pengenalannya terhadap ṭuruq (jalan-jalan) hadits,

matan, illah dan aḥwalnya, rijal-rijalnya, banyak menelaah madzhab para sahabat

dan tabi’in serta para Imām yang empat yang diikuti dan para Imām mujtahid yang

lain. Seperti Ibrāhīm an-Nakha’ī, Utsmān al-Baṭṭī, Auza’ī, ats-Tsaurī, Laits bin

Sa’d, Ibn Syubrumah, Ibn Abī Lailā dan al-Ḥasan bin Ḥay. Sangat piawai dalam

ilmu Syurut dan Watsaiq. Seorang yang sangat jeli dalam membahas suatu masalah.

Tidak bertaklid pada seorangpun, tidak dalam masalah ushul (pokok), dan tidak

dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada

8 Syu’aib Al-Arnauth, Syarh Aqidah Thahawiyah, h. 10-12. 9 Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar ‘Aqidah

Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani (Solo: Pustaka At-Tibyan, 1999) cet. Ke-

1, h. 25. 10 Husein al-Zhahabi. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi al-Jarh wa al-Ta’dil (Lahore: al-

Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980), h. 195-196.

Page 26: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

16

ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau

mengarang kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah). Sangat

memperhatikan apa yang beliau dengan dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi

kembali setelah selesai majelis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat

yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya. Sifat inilah yang

mengantarkannya untuk menyusun mushannafat yang banyak menurut babnya.

Dan beliau adalah seorang yang lapang dada, baik akhlaqnya, baik dalam

pergaulan, bertindak tanduk sopan, memberi nasehat para pemimpin dengan penuh

tawadhu’, dekat dengan para qaḍī dan ahli ilmu, menghadiri halaqah ilmu dan

menukil riwayat dari sana. Orang-orang yang berbeda pendapat dan sependapat

dengan beliau mengakui kewara’annya dan kezuhudannya, lemah lembut terhadap

keluarga, jauh dari rasa ragu-ragu. Ketsiqahan ulama pada beliau mencapai

puncaknya ketika Abū ‘Ubaid bin Ḥarbawaih, salah seorang sahabat Imām Syāfi‘ī

mengakui keadilannya dan menerima syafa’atnya.

C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah termasuk diantara sekian orang yang mempunyai

banyak kitab karangan dan mahir dalam menyusun taṣnīfāt. Dikarenakan beberapa

faktor yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yakni cepat hafal, mempunyai

wawasan pengetahuan yang luas, dan mempunyai kesiapan hyang cukup, belau

telah menyusun berbagai macam dan jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir,

hadits, fiqih dan tarikh.11 Berkah hidup beliau terwujud nyata dalam bentuk karya-

karya kitabnya dimana dapat diambil manfaatnya oleh generasi ke generasi.

Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih daari tiga puluh kitab. Di antara yang paling

penting adalah sebagai berikut:

1. Syarḥ Ma’ānī al-Atsār, ini adalah karya tulis beliau yang paling pertama.

2. Syarḥ Musykil al-Atsār, sebuah karya ilmiah monumental yang penuh dengan

makna-makna yang bagus dan sarat dengan faidah.

11 M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001),

https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul

22.47 .

Page 27: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

17

3. Mukhtaṣar Aṭ-Ṭaḥāwī, dalam fiqih Madzhab Ḥanafī, yang tampaknya mirip

dengan karakter tulis Mukhtaṣar al-Muzanī dalam Madzhab asy-Syāfi‘ī.

4. Sunan asy-Syāfi‘ī, dalam kitab ini Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengumpulkan riwayat-

riwayat yang didengarnya langsung dari paman dan gurunya al-Muzanī, dari

Imām asy-Syāfi‘ī.

5. Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, adalah dalah satu kitab yang memiliki manfaat

paling urgent di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj as-Salaf

aṣ-Ṣāliḥ di zaman hidup penulisnya, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Ini dari satu sisi. Dari

sisi lain, kitab ini juga membuktikan bahwa semua ulama Ahlus Sunnah

memiliki aqidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam Madzhab fiqih.12

Banyak kelebihan kitab ini sebagai khazanah warisan ulama Salaf Shalih.

Pertama, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab

aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya-

karya Imām Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, tetapi ajaran aqidah mereka tidak jauh

berbeda, padahal tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka

pernah bertemu. Secara sanad, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘alī) dari pada

Abū Ḥasan al-Asy’arī. Ini dikarenakan beliau langsung dapat dari al-Muzanī,

al-Murādī dan lainnya. Adapun Abū al-Ḥasan al-Asy’arī mendapatkannya dari

generasi murid-murid al-Muzanī, yaitu Zakariya al-Sajī.

Kedua, secara manhaj kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah tidak berbeda dengan

aqidah Abū Ḥasan al- Asy’arī. Dalam hal ini, Imām al-Subkī menilai aqidah

dua Imām tersebut sama secara konten, kecuali beberapa hal kecil.

Ketiga, ajaran yang terkandung dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah

merupakan aqidah yang diwariskan oleh Imām Salaf pendiri madzhab

Ḥanafiyah, yaitu Imām Abū Ḥanīfah (w.150 H) dan kedua muridnya

Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-Syaybanī dan Abū Yūsuf al-Ansarī. Ini yang

membedakannya dengan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī yang diwariskan oleh Imām

Mālik, al-Syāfi’ī dan lebih khusus Aḥmad Ibn Ḥanbal.

12 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,. h. ix.

Page 28: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

18

Keempat, sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran

setelahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ibn Abū al-‘Iz murid Ibn

Qayyim al-Jawziyah mensyarah kitabnya. Ini dilanjutkan oleh Salafi

Kontemporer seperti ‘Abdu al-‘Azīz Ibn Bāz, al-Rājiḥī, Ibn Jibrin, Ibn al-

Utsaymin, Ṣāliḥ al-Fawzān, al-Albānī dan tokoh-tokoh lainnya. Bahkan dari

kalangan Asy’ariyah terdapat ‘Abdullah al-Hararī pendiri gerakan Aḥbāsy

yang sangat ketat dan kritis. Tidak lupa juga terdapat al-Sayyid Ḥasan al-

Saqqāf, seorang ahli hadits yang semi Asy’ariyah-Zaydiyah.

Kelima, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah dapat dijadikan sebagai panduan

untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.

Keenam, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah menunjukkan bahwa aqidah Salaf

Shalih tidak hanya satu manhaj, tetapi mempunyai banyak sistem berpikir

(manahij), tetapi dalam satu lingkaran Ahl al-Sunnah.13

Beliau wafat di Mesir, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 321 H dalam usia

80 tahun lebih. Beliau dimakamkan di daerah Qarafah Bani Asy’ats.

D. Peran Dan Pengaruh

Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al-Muzanī,

kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’aṣub pada salah seorang

Imam pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar berdasarkan

kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imam menyamai pendapatnya maka

disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak karena taklid.

Keadaannya seperti keadaan para ulama semasanya, yang tidak ridla dengan taklid.

Tidak kepada ahli hapal hadits dan tidak pula kepada para ulama fiqih. Berkata Ibnu

Zaulaq: “Aku mendengar Abū Ḥasan ‘Alī bin Abī Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī berkata: Aku

mendengar bapakku berkata dan disebutkan keutamaan Abī ‘Ubaid bin Harbawaih

dan fiqihnya lalu berkata: Ketika itu ia mengingatkan aku dalam satu masalah.

Maka aku jawab masalah itu. Tetapi beliau berkata kepadamu: Bagaimana ini,

kenapa memakai perkataan Abū Ḥanīfah? Maka aku katakan kepadamu: Wahai

13 Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi, h. 3-6.

Page 29: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

19

Qaḍī, apakah setiap perkataan yang diucapkan Abū Ḥanīfah aku katakan juga?

Beliau berkata: Aku tidak mengira engkau kecuali seorang muqallid (suka

mengikuti saja). Aku jawab: Apakah ada orang yang bertaklid kecuali orang yang

berta’ashub (fanatik buta)? Beliau menambahi: Atau orang yang bodoh? Berkata:

Maka menjadilah kalimat ini masyhur di Mesir hingga semacam menjadi pameo

yang dihafal manusia.

Dan tidak ada yang menghalanginya untuk berijtihad karena beliau telah

menguasai ilmu perangkatnya. Beliau adalah seorang hafiẓ. Luas telaahnya, dalam

pemahamannya, luas cakrawala tsaqafahnya, ahli dalam mengenali hadits dan

periwayatannya, piawai dalam mencari illat hadits serta mahir dalam ilmu fiqih dan

bahasa Arab.

Berkata Imām al-Laknawī dalam al-Fawāid al-Bahīyah hal. 31; Bahwa

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mempunyai derajat yang tinggi dan urutan yang mulia. Banyak

menyelisihi shahibul madzhab (pendiri madzhab) dalam masalah ushul maupun

masalah furu’. Barang siapa yang menelaah kitab Syarḥ Ma’ānī al-Atsār dan

karangan-karangannya yang lain maka akan mendapati bahwa beliau banyak

menyelisihi pendapat yang dipilih para pemimpin madzhabnya jika yang mendasari

pendapatnya itu sangat kuat. Yang benar beliau adalah salah seorang mujtahid, akan

tetapi manusia tidak bertaklid kepada beliau. Tidak dalam furu’ maupun dalam

ushul, karena mereka mensifatinya dengan mujtahid. Atau paling tidak beliau

adalah seorang mujtahid dalam madzhab yang mampu untuk mengeluarkan hukum-

hukum dari kaidah-kaidah yang dinyatakan sang Imām madzhab, dan tidak pernah

derajat beliau rendah dari martabat itu selamanya.

Dan berkata Maulānā Abdu al-‘Azīz al-Muhaddits ad-Dahlawī dalam kitab

Bustan al-Muhadditsīn: “Dalam mukhtashar Thahawi menunjukkan bahwa beliau

adalah seorang mujtahid. Dan bukan seorang muqallid (pengekor) terhadap

madzhab Ḥanafī dengan pengekoran total. Karena beliau sering memilih pendapat

yang berbeda dengan madzhab Abū Ḥanafī ketika hal itu berdasarkan dalil-dalil

yang kuat.

Page 30: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

20

BAB III

TEOLOGI ISLAM

A. Definisi Teologi

Islam merupakan sebuah agama yang diturunkan untuk semua umat

manusia yang ada di muka bumi ini. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Islam

terdapat sesuatu yang mendasar yaitu berupa akidah dan syariat, yang mana kedua

ajaran ini adalah ajaran inti yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang

lainnya. Korelasinya tidak hanya dalam bentuk pengalaman, tetapi juga pada dasar-

dasar pemikiran yang berkembang.

Ajaran Islam mengharuskan Muslim mempunyai akidah yang kuat dalam

masalah ketuhanan, sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam

sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, yang menjadi sumber

keagamaan dan moral bagi Islam, mempunyai ajaran-ajaran dasar (basic teachings)

yang bertujuan membentuk masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang

saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki akidah yang benar dan

murni tentang Tuhan dan ajaran tentang syariat. Al-Qur’an juga memberikan

bimbingan pada manusia bagaimana cara berhubungan, antara manusia dan Tuhan,

manusia dan manusia, serta manusia dan alam.

Sejak masa Nabi Muhammad Saw., kegiatan ijtihad telah dilakukan dengan

menjadikan Nabi Muhammad Saw., sebagai rujukan, karena beliau yang

memegang otoritas itu. Pasca wafat Nabi, karena ada persoalan yang semakin

kompleks, kemudian para sahabat berijtihad dengan berpegang kepada kedua

sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sejauh yang mereka

mampu tafsirkan. Permasalahan yang pertama-tama muncul ada pada bidang

politik, namun persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi.1

Term teologi pada dasarnya bukan berasal dari khazanah dan tradisi Islam,

tetapi term ini sering dipakai oleh cendekiawan Muslim kontemporer.2 Secara

etimologis, teologi berasal dari kata theology (Inggris), theologie (Perancis dan

Belanda) atau theologia (Latin dan Yunani Kuno). Pada prinsipnya, setiap kata

1 Kamal Mukhtar, dkk, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), jilid II, h. 153. 2 Djohan Effendi, Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam dalam

Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 52-53.

Page 31: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

21

dalam berbagai bahasa yang terdapat di Eropa dicari akar kata pada bahasa Latin

yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno. Theologia dalam bahasa Yunani terdiri

dari dua suku kata, yaitu theo dan logia. Theo term jamak dari theos, menurut

mitologi Yunani Kuno term tersebut adalah sebutan nama untuk dewata (para

dewa). Namun, dalam bahasa Indonesia, kata theo berarti Tuhan.3 Sedangkan dalam

bahasa Yunani Kuno logia berasal dari kata logos (akal) yang berarti ilmu.4

Teologi merupakan “ilmu tentang Ketuhanan”, yaitu membicarakan zat

Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan manusia dan alam. Teologi

yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau

keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi

biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen

dan juga Teologi Islam (Ilm Kalam).5

Aḥmad Ḥanafī menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki

banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah “the science which

treats of the facts and phenomena of religion, and the relations between God and

man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama

dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan

maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.6

Sedangkan menurut Muhamad Abduh, teologi merupakan sebuah jalan

yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, bukan hanya melalui wahyu tetapi juga

melalui akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh

pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu. Konsep teologi seperti ini bisa

digambarkan bahwa Tuhan berada di puncak alam wujud sedangkan manusia ada

di dasarnya. Manusia yang jauh di dasar alam wujud itu berusaha mengetahui

eksistensi Tuhan dengan cara menurunkan wahyu untuk membantu manusia.7

Adapun menurut Nurcholish Madjid, teologi adalah ilmu yang menetapkan

kepercayaan dan menjelaskan apa yang terdapat pada nurbuat-nurbuat atau cahaya

3 Joesoef Sou’yb, Perkembangan Teologi Modern (Jakarta: Rainbow, 1987), h. 1. 4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 2001), cet. 3, h. 1177. 5 Ahmad Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), cet. 3, h. 8. 6 Ahmad Ḥanafī, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), v-vi. 7 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press,

1987), h. 43.

Page 32: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

22

kenabian yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam. Sebab pada setiap

umat selalu ada orang yang bertanggung jawab atas urusan agama, dan berusaha

untuk memelihara serta menopangnya. Argumentasi tersebut merupakan cara yang

pertama-tama mereka gunakan. Tetapi mereka jarang sekali dalam argumentasi

menempuh melalui jalan pembuktian rasional, dan jarang sekali pula dalam

membangun doktrin-doktrin dan kepercayaan mereka menggunakan apa yang ada

dalam hukum alam atau apa yang terkandung oleh susunan semesta. Melainkan

metode-metode rasional yang mereka gunakan dalam ilmu itu, dan cara-cara

keagamaan yang dipakai untuk mempertahankan dogma-dogma serta

mendekatkannya kepada perasaan-perasaan hati (membuatnya popular) berada

dalam kedua ujung ekstrimitas yang berlawanan. Kebanyakan agama dikemukakan

melalui argumentasi para tokohnya bahwa ia adalah musuh akal, baik dalam resultat

maupun premis-premisnya. Sehingga bagian terpenting dari pada ilmu-ilmu kalam

adalah berupa interpretasi, komentar, ketakjuban kepada mu’jizat-mu’jizat, atau

kesenangan oleh berbagai cerita fantasi.8

Menurut William L. Reese, teologi artinya discourse or reason concerning

God yang berarti diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Artinya bahwa teologi

adalah disiplin ilmu yang membicarakan masalah ketuhanan berkenaan dengan

kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.9 Menurut

Encyclopedia of Religion, kata teologi diberi batasan dengan the discipline which

concerns God and God’s relation to the world, yang berarti disiplin yang berkenaan

dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia.10

Penggunaan term teologi bagi ilmu-ilmu ketuhanan di Indonesia

dipopulerkan oleh Harun Nasution.11 Harun Nasution menghubungkan teologi

Islam dengan ilmu kalam, pada konteks kalam itu sendiri. Kalam adalah kata-kata,

adapun teologi Islam membahas tentang kalam ilahi dan kalam manusia. Dalam hal

ini, persoalan tentang kalam Ilahi muncul ketika adanya perdebatan tentang sifat

qadim al-Qur’an. Kalam manusia didasarkan pada perdebatan yang dilakukan oleh

para teolog Islam menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan

8 Nurcholish Madjid, Khazanah intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 365. 9 William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Books,

1996), h. 766. 10 Virgilius Ferm, Encyclopedia of Religion (USA: Greenword Press Publisher, 1976), h. 782. 11 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 368.

Page 33: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

23

pendirian masing-masing. Oleh karena teologi Islam juga disebut juga ilmu

kalam,12 karena memiliki persamaan dalam pokok baḤasan yang dikaji, yaitu

kepercayaan tentang Tuhan dan kaitan-Nya dengan alam semesta.

Walaupun demikian, pada awalnya penggunaan kata ini ditentang oleh

sebagian ahli kalam, seperti H. M. Rasyidi yang mengatakan bahwa teologi berbeda

dengan ilmu Kalam dan tidak boleh disamakan.13 Namun, untuk selanjutnya istilah

teologi sering digunakan di kalangan akademisi. Menurut Djohan Effendi,

penggunaan kata teologi bukan untuk mengecilkan arti penting istilah-istilah yang

terkait dengan ilmu ketuhanan dalam khazanah Islam dan bukan suatu hal yang

negatif. Istilah tersebut hanya akan memperbanyak khazanah dan sistematis

pemahaman keagamaan.14

Adapun kata ‘Islam’ yang mengikuti kata teologi, berarti ruang lingkup dari

teologi itu sendiri. Term Islam secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu kata

aslama, yuslimu, islāman, dengan asal kata salāma yaitu menyelamatkan, atau

berarti juga al-ṣiḥḥah dan al-‘āfiyah (sehat wal’afiat). Al-Islām diartikan alinqiyād

yaitu kepatuhan.15 Secara istilah, Islam adalah al-khuḍū’ū wa al-inqiyād limā

akhbara bihi al rasūl ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (tunduk dan patuh kepada apapun

yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.).16

Dalam ajaran Islam yang terkait dalam pembaḤasan teologi adalah ajaran

mengenai doktrin (aqidah).17 Oleh karena itu, pembaḤasan teologi adalah segala

12 Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI

Press, 2010), ix. 13 H. M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau Dari

Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 33. 14 Djohan Effendi, “Konsep-Konsep Teologis”, dalam Budhy Munawar Rahman, (ed.),

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52. 15 Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā al-Qazwīnī al-Rāzī, Mu’jam Maqāyīs al-

Lugah (Beirut; Dār al-Fikr, 1991), Jilid III, h. 90. 16 Ali bin Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf al-Jurjānī, Mu’jam al-Ta„rīfāt (Kairo: Dār al-

Fadīlah, t.t.), h. 23. 17 Ulama membagi ajaran Islam menjadi tiga bagian: 1) Doktrin (akidah) atau keyaninan hati

yaitu topik-topik yang harus dimengerti dan diimani, seperti keesaan Allah, sifat-sifat Allah, dan

kenabian yang sifatnya universal dan terbatas. Namun ada perbedaan tertentu dikalangan mazhab

seperti apa saja yang merupakan rukun iman (ushuluddin). 2) Moral (akhlak) adalah berkaitan

dengan perintah dan ajaran yang ada hubungannya dengan karakteristik spiritual dan moral manusia,

seperti adil, takwa, berani, arif, bersih, sabar, setia, jujur, dan menjaga amanah. 3) Hukum (hukm)

yaitu membahas mengenai topik-topik yang berkaitan dengan praktik dan cara yang benar dalam

menjalankan shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dalam ber amar ma’ruf nahi munkar, dalam membeli,

menyewa, menikah, bercerai, dan membagi warisan. Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu

Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah, Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat (Jakarta: Pustaka

Zahra, 2003), h. 196.

Page 34: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

24

pengetahuan yang berkaitan dengan penetapan akidah keagamaan baik secara

langsung (dekat) atau secara tidak langsung (jauh). Sementara aksiologinya atau

nilai dari teologi adalah meningkatkan keyakinan para pengkajinya, membimbing

pengkajinya dengan argumentasi yang kuat sebagai bentuk perlindungan diri,

menjaga kaidah agama dari kerancuan, menjadi dasar ilmu-ilmu syariat, dan

meluruskan niat serta keyakinan para pengkaji.18

Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi

sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi

agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi

dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga

sebagai sejarah teologi.19

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teologi

Islam merupakan ilmu yang membahas tentang eksistensi Allah, sifat-sifat-Nya dan

hubungan dengan manusia dan alam semesta.

B. Sejarah Teologi Islam

Perkembangan teologi Islam telah merambah jauh memasuki berbagai

persoalan ketuhanan yang rumit, mendetail dan filosofis, sehingga menimbulkan

pembaḤasan yang sangat banyak. Berawal dari fenomena ketuhanan yang

merupakan fakta universal, melahirkan berbagai kelompok pemikiran dalam

Islam yang muncul setelah Rasulullah wafat. Situasi dan kondisi pada saat itu

mendorong umat Islam untuk berusaha menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah

dalam berbagai masalah, dengan tujuan agar permasalahan umat Islam yang

semakin banyak dapat terselesaikan dengan baik, sehingga tidak terjerumus pada

hal-hal yang dilarang oleh agama.20

Pada masa hidup Rasulullah, ajaran Islam telah terlaksana dengan baik dan

benar, sehingga semua permasalahan umat Islam dapat ditanyakan langsung

kepadanya dan jawaban terhadap permasalahan tersebut dapat diperoleh

langsung dari Rasulullah. Para sahabat kaum Muslimin percaya sepenuh hati,

18 Maria Ulfa Siregar. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi (Tesis Program

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015), h. 19. 19 Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia

(Bekasi, PT Gugus Press, 2002), h. 23. 20 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam (Bandung: Citapustaka Media,

2013), h. 128.

Page 35: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

25

bahwa segala yang disampaikan Rasulullah Saw., adalah berdasarkan wahyu

Allah Swt. Dengan demikian, tiada keraguan sedikitpun dalam masalah akidah,

tiada perpecahan dan juga pengelompokan. Saat Rasulullah Saw., wafat,

permasalahan bertumpu kepada para sahabat Rasul, dan hal inilah yang memicu

lahirnya permasalahan kalam atau teologi Islam.21

Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang

beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw. wafat peran

sebagai kepala negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut

khulafaur Rasyidin yakni Abū Bakar, Umar bin Khatab, Utsmān bin Affan, dan

Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsmān bin Affan mulai timbul

adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah

yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang

timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari

masalah politik sampai pada masalah teologis.22

Sudah menjadi maklum bahwa kemunculan aliran-aliran kalam klasik

pertama-tama dipicu oleh problem politis yang selanjutnya berubah menjadi

sengketa politis dan meningkat menjadi permasalahan teologis, sehingga

penyelesaian suatu masalah teologis pasti membawa implikasi pada prilaku

masyarakat.

Timbulnya permasalahan-permasalahan di bidang politik terjadi pada masa

khalifah Utsmān bin Affān dan ‘Alī bin Abi Ṭalib. Pada masa khalifah Utsmān

bin Affan, beliau banyak mengangkat pejabat-pejabat di masa khalifahnya dari

keluarga dekatnya. Kebijakan politik Utsmān yang mengangkat sanak keluarga

ini menimbulkan rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Setelah melihat sikap dan

tindakan yang kurang tepat itu, para sahabat yang semula menyokong Utsmān

kini mulai menjauh darinya. Kehadiran para pelaku aksi protes ini akhirnya

berakibat fatal bagi diri Utsmān, ia terbunuh oleh para pemuka aksi protes

tersebut.23 Setelah Utsmān wafat, ‘Alī bin Abī Ṭalib menggantikan beliau

menjadi khalifah berikutnya.

21 ‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far Subhāni, “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah Mauwḍū‟iyyah

Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa, Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis

Mazhab Kalam (Pekalongan: Al-Hadi, 1997), h. 28. 22 Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia. 2007), h. 14. 23 Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta, Pustaka Antara, 1996), h. 2.

Page 36: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

26

Perbedaan pendapat pertama kali terjadi pada masa pemerintahan ‘Alī yang

ditandai dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Ṭalhah dan Zubair di

Makkah dengan mengajak ‘Ᾱisyah untuk bergAbūng dengan mereka dan

berangkat ke Basrah untuk mencari dukungan. Terjadilah peperangan di antara

kedua pihak yang dikenal dengan perang unta (Waq’atul Jamal). Setelah

peperangan berkobar, kelompok Ṭalhah menyadari kekeliruannya dan bertaubat,

serta menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī. Namun, Zubair meninggal

terkena panah Ibnu Jurmūz dan Ṭalhah meninggal karena dibunuh Marwān ibn

Hakām sesudah peperangan usai, sedangkan ‘Ᾱisyah menyadari kekeliruannya,

kemudian menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī.24

Perbedaan pendapat juga terjadi antara Mu’āwīyah dan ‘Alī, sehingga

mengakibatkan terjadinya perang Ṣiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm

(arbitrase). Sejarah menjelaskan bahwa dengan kecerdikan Mu’āwīyah yang

merasa akan kalah ketika perang Ṣiffin, mengangkat Mushaf di atas ujung

lembing dan meminta supaya pertengkaran antara ‘Alī dan Mu’āwīyah diakhiri

dengan suatu keputusan para hakim (para pendamai). Pada mulanya, sebagian

kelompok ‘Alī menganjurkan supaya meneruskan perang, karena memang

hampir memperoleh kemenangan, tetapi ada sebagian kelompok ‘Alī yang

menyetujui anjuran Mu’āwīyah tersebut. Pada akhirnya, yang menyetujuinya

adanya perdamaian menang suara dan ‘Alī pun menerima tahkīm.25

Kelompok Ali mengutus Abū Mūsa al-Asy’ari dan kelompok Mu’āwīyah

mengutus ‘Amr bin Aṣ dalam tahkīm. Peristiwa yang terjadi di pertemuan

mereka, terdapat siasat kelicikan ‘Amr bin Aṣ yang mengalahkan perasaan

takwa Abū Mūsa al-Asy’arī. Sejarah mengatakan bahwa mereka melakukan

pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemimpin yang bertentangan ‘Alī dan

Mu’āwīyah dan memilih khalifah secara musyawarah di antara keduanya, karena

Abū Mūsa lebih tua, ‘Amr bin Aṣ mempersilahkan ia untuk mengumumkan

terlebih dahulu kepada orang ramai keputusan menjatuhkan kedua pemuka yang

bertentangan tersebut. Berlainan dengan yang telah disetujui, ‘Amr bin ‘Aṣ

24 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie

Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 19. 25 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang,

1986), h. 138.

Page 37: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

27

mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Alī yang telah diumumkan Abū

Mūsa, tetapi menolak penjatuhan Mu’āwīyah.26

Ternyata keputusan tahkīm menjadikan Mu’āwīyah sebagai khalifah

menggantikan ‘Alī. Kelompok ‘Alī merasa ditipu oleh utusan Mu’āwīyah, ‘Amr

bin Aṣ, sungguh pun dalam keadaan yang terpaksa dan tidak disetujui oleh

sebagian tentara ‘Alī. Mereka menganggap bahwa kedudukan Mu’āwīyah yang

sebagai gubernur saat itu tidak resmi, karena yang seharusnya menjadi khalifah

yang sah adalah ‘Alī, tidak mengherankan kalau keputusan ini ditolak ‘Alī dan

tidak mau meletakkan jabatannya hingga ia meninggal terbunuh.27

Selanjutnya, kelompok yang mendukung ‘Alī, serta keluarganya muncul

sebagai kelompok yang dikenal dengan Syi’ah. W. Montgomery Watt

menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika berlangsungnya peperangan antara

‘Ali dan Mu’āwīyah yang dikenal dengan perang Ṣiffin. Kemudian muncul dua

kelompok, yakni Khawarij sebagai kelompok yang keluar dan Syi’ah sebagai

kelompok pendukung ‘Alī.28 Peristiwa arbitrase yang menyebabkan umat Islam

terpecah belah, menurut Al-Ṣiddieqy terpecah menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Kelompok Syi’ah yaitu golongan yang memihak kepada ‘Alī dan ahli

baitnya dan berpendapat bahwa ‘Alī dan keturunannya yang berhak

menjadi khalifah.

2. Kelompok Khawarij yaitu golongan yang menentang ‘Alī dan

Mu’āwīyah, yang mengatakan bahwa peristiwa tahkīm itu melanggar

hukum agama Islam.

3. Kelompok Murjiah yaitu kelompok yang menggAbūngkan diri kepada

keduanya dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah

sendiri.29

Terbaginya tiga kelompok tersebut pada awalnya karena tujuan politik yaitu

perebutan kedudukan khalifah. Namun, permasalahan tersebut akhirnya

merambah kepada ranah teologi. Kelompok-kelompok tersebut, membahas

26 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2009), Jilid

II, h. 5. 27 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 5. 28 W. Montgomery Watt, “Islamic Philosophy and Theology”, terj. Umar Basalim,

Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10. 29 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 139.

Page 38: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

28

urusan-urusan yang berkaitan dengan dasar iman dan akidah. Atas dasar

politiklah mereka mendirikan pendapat-pendapat mereka. Harun Nasution

menyatakan bahwa permasalahan kalam pertama kali muncul adalah masalah

yang kafir dan bukan kafir, seperti kelompok Khawarij yang menganggap bahwa

kelompok yang terlibat dan setuju dengan peristiwa tahkīm adalah kafir dan halal

dibunuh, berdasarkan firman Allah pada Al-Qur’an surat al-Mā’idah ayat 44.

Sehubungan dengan itu, permasalahan teologi yang muncul berikutnya adalah

tentang pelaku dosa besar, masihkah pelaku dosa besar seorang mukmin atau

sudah menjadi kafir.30 Terkait dalam masalah tersebut, Harun membagi tiga

aliran teologi yang muncul pertama kali, yaitu:

1. Aliran Khawarij yang mengatakan pelaku tahkīm atau pelaku dosa besar

adalah kafir, yaitu keluar dari Islam (murtad) dan wajib dibunuh.

2. Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar

tetap masih Mukmin dan bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya,

terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.

3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat kedua kelompok di

atas, Menurut paham Mu’tazilah pelaku dosa besar bukan Mukmin bukan

juga kafir, yang dalam bahasa Arab konsep mereka dikenal dengan al-

manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).31

Dengan demikian, sejarah tentang persoalan kalam baru dimulai sejak

Rasulullah Saw. wafat, yang memuncak pada masa khalifah ‘Alī bin Abī Ṭālib,

ditandai dengan perang Ṣiffin yang berakhir dengan tahkīm. Sementara itu, ilmu

kalam dikenal sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri untuk pertama kalinya

dipakai pada masa pemerintahan khalifah Al-Makmun yang memerintah pada

813-833 M. Ilmu kalam dikenalkan oleh kelompok Mu’tazilah dengan

mengadobsi filsafat Yunani dan memadukannya dengan metode ilmu kalam.32

Walaupun demikian, jauh sebelumnya, Ḥasan al-Baṣri telah membuat

sebuah wacana dengan menggunakan istilah kalam yang mengacu kepada

pembaḤasan tentang persoalan kebebasan manusia dan takdir dalam konteks

30 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 6-7. 31 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 8-9. 32 A. Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam, h. 14.

Page 39: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

29

pertentangan pendapat antara kelompok Qadariah dan Jabariah.33 Selanjutnya,

perkembangan masa-masa berikutnya, istilah ilmu kalam yang pada masa itu

digunakan sebagai sebutan untuk ilmu yang mengkaji tentang permasalahan

ketuhanan dalam agama Islam, dikenal dengan beberapa istilah lainnya. Seperti

misalnya ilmu tauhid, ilmu akidah, ilmu usuluddin, dan juga dikenal dengan

teologi Islam.

C. Aliran dalam Teologi Islam

1. Kelompok Syi’ah

Syi’ah secara bahasa memiliki arti pengikut, pendukung, partai atau

kelompok. Sedangkan secara terminologi istilah, Syi’ah dikaitkan dengan

sebagian kaum Muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk

pada keturunan Nabi Muhammad Saw., atau disebut dengan ahl al-bait. Dasar

yang paling penting dalam konsep Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala

petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait.34

Menurut al-Syahrastānī, Syi’ah merupakan sebuah kelompok masyarakat

yang mengikuti ‘Alī bin Abī Ṭālib. Mereka berpandangan bahwa ‘Alī bin Abī

Ṭālib merupakan khalifah dan Imām yang berdasarkan wasiat dari Rasulullah

melalui nas (wahyu), baik secara ekplisit maupun secara implisit. Mereka

berpendapat bahwa imāmah tidak boleh keluar dari jalur atau keturunan ‘Alī

maupun ahl al-bait. Jika seseorang menjadi Imām di luar keturunan ‘Alī atau ahl

al-bait, maka hal itu hanya merupakan kezaliman dan taqiyyah35 dari pihak

keturunan ‘Alī. Mengenai kemunculan Syi’ah para ahli memiliki pendapat yang

berbeda. Menurut Abū Zahrah, golongan Syi’ah muncul pada akhir masa

khalifah ‘Utsmān, kemudian tumbuh dan berkembang pada mada khalifah

‘Alī.36

33 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999), h.

279. 34 John L. Esposito, The Oxpord Encyclopedia of The Modern Islamic World (Oxford: Oxford

University Perss, 1995), jilid IV, h. 55. 35 Taqiyyah adalah menampakkan sesuatu yang berlainan dengan apa yang tersirat di dalam

dada untuk memelihara diri dari kezaliman, baik terhadap jiwa maupun terhadap kehormatan. Lihat

Al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 164. 36 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman

Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 36.

Page 40: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

30

Perbedaan pendapat ini adalah suatu hal yang wajar. Sebab para ahli

berpegang teguh kepada fakta sejarah tentang perpecahan umat Islam yang mulai

mencolok pada masa pemerintahan ‘Utsmān bin Affān dan momentumnya pada

masa pemerintahan ‘Alī bin Abī Ṭālib, tepatnya setelah perang Ṣiffin. Adapun

kaum Syi’ah sendiri, berargumen bahwa perpecahan itu telah dimulai ketika

Nabi Muhammad Saw., wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abū Bakar,

maka setelah itu terbentuklah Syi’ah. Mereka bergAbūng dalam masyarakat,

mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Syi’ah kepada masyarakat.

Syi’ah sebagai satu faksi politik Islam muncul pada masa khalifah ‘Alī bin Abī

Ṭālib dan Syi’ah sebagai doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-

bait, muncul setelah wafatnya Rasul.37

Pemikiran Syi’ah berkembang menjadi mazhab setelah wafatnya ‘Alī,

sebagiannya menyimpang dan sebagiannya lurus. Masa yang paling kondusif

pada perkembangan doktrin Syi’ah adalah pada pemerintahan Bani Umayyah.

Hal ini disebabkan oleh perlakuan kejam yang dilakukan oleh Bani Umayyah,

yakni pada pemerintahan Yazīd bin Mu’āwīyah sampai masa ‘Umar ibn Abdu

al-‘Azīz kepada keluarga dan keturunan ‘Alī bin Abī Ṭālib. Para pendukung ‘Alī

dan ahl al-bait menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh pemerintahan Bani

Umayyah yang menyebabkan sebagian kaum Muslim atau Syi’ah terdorong

untuk memberikan penghargaan yang berlebih kepada orang-orang yang

dianiaya, semakin mendukung dan menaruh simpati kepada ahl al-bait, karena

peristiwa kekejaman yang menimpanya.38

Golongan Syi’ah pada awal perkembanganya hanya terdiri dari dua

golongan saja yakni:

a. Golongan yang menunjukkan kepada kekhalifahan ‘Alī melalui dalil nas-

nas yang nyata. Oleh karena itu, Imāmah dari ‘Alī turun kepada yang dijuluki

‘Alī sendiri. Mereka berpendapat bahwa mengetahui Imām yang ditentukan itu

adalah suatu syarat yang menyempurnakan Imām, maka mereka sangat fanatik

dalam masalah imāmah ini, yang dinamakan mereka dengan kelompok

Imāmiyah.

37 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 114. 38 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman

Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 36-37.

Page 41: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

31

b. Golongan yang berpendapat bahwa tidak ada nas qaṭ’i yang menunjukkan

kepada Imāmah ‘Alī sendiri. Sesungguhnya, hanya ada dalil-dalil yang

menunjukkan tentang sifat-sifat Imām (kepala negara) yang harus diangkat.

Sebagian masyarakat tidak membai’atkan ‘Alī, padahal ‘Alī mempunyai ciri-ciri

sifat itu. Mereka adalah golongan Zaidiyah, pengikut Zaid ibn ‘Alī Zainul

‘Abidīn.39

Selain itu, penganut Syi’ah juga terdapat golongan yang ekstrim yaitu

kelompok al-Gulat yang menyatakan bahwa Imām memiliki kedudukan yang

sama dengan Tuhan. Kelompok al-Gulat menempatkan posisi ‘Alī pada derajat

keTuhanan dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi

dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok ini dipimpin oleh ‘Abdullāh bin Saba’

dan dianggap menyimpang dari pemahaman dasar Syi’ah.40

2. Kelompok Mu’tazilah

Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri.

Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri. Golongan

Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain seperti Ahl al-Adl yang berarti

golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan Ahl al-Tauḥid wa al-Adl

yang berarti golongan yang mempertahankan keEsaan murni dan keadilan

Tuhan.41

Pemberian nama kepada kelompok Mu’tazilah ini, berpusat pada peristiwa

yang terjadi antara Waṣil bin ‘Aṭa’, serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid, dan Ḥasan

al-Baṣrī di Basrah. Pada waktu Waṣil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh

Hassan al-Baṣrī di mesjid Basrah, datang seseorang bertanya mengenai

pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Pada saat Ḥasan al-Baṣrī masih

berpikir, secara tiba-tiba Waṣil mengatakan, “Saya berpandangan bahwa orang

yang telah berbuat dosa besar bukanlah orang Mukmin dan bukan pula orang

kafir, melainkan berada pada posisi di antara keduanya (al-manzilah bain al-

manzilatain), tidak Mukmin dan tidak kafir”. Sesudah itu, Waṣil menjauhkan

diri Ḥasan al-Baṣrī, dan Waṣil menyerukan kembali pendapatnya di depan para

pengikutnya. Adanya peristiwa ini, Ḥasan al-Baṣrī berkata, “Waṣil menjauhkan

39 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 147 40 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 127. 41 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 42

Page 42: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

32

diri dari kita (I’tazala ‘anna)” yang menurut al-Syarastānī, kelompok yang

memisahan diri pada peristiwa tersebut adalah Mu’tazilah.42

Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Mu’tazilah sudah ada lebih dulu

sebelum kisah Waṣil tersebut. Oleh sebab itu, banyak ahl al-bait yang

menempuh pola pikir yang sama dengan Waṣil seperti Zaid ibn ‘Alī yang

merupakan teman dekatnya. Waṣil bin ‘Aṭa’ sendiri adalah seorang penyiar

paham Mu’tazilah yang paling menonjol, sehingga sebagian ulama menganggap

dialah tokoh utamanya.43

Asal-usul nama Mu’tazilah yang secara pasti, sangat sulit untuk diketahui,

disebabkan telah terjadi perbedaan pendapat tentang kemunculannya menurut

para ahli. Artinya, aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang muncul karena

permasalahan teologi dalam sejarah Islam, yang mana Waṣil bin ‘Aṭa’ yang

menjadi ulama utamanya dalam aliran Mu’tazilah.44

Ada lima dasar ajaran Mu’tazilah atau al-Uṣūl al-Khamsah yaitu al-tauḥīd

(pengesaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa al-wa’īd (janji dan

ancaman Tuhan), al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi)

dan al-amr bi al-ma’rūf wa an-nahy ‘an al-munkar (menyeru kepada kebaikan

dan mencegah kemungkaran).45 Mu’tazilah adalah aliran yang banyak

berkontribusi di dalam pengembangan pemikiran kalam. Ciri khas aliran ini

adalah memberi porsi besar terhadap akal di dalam memahami berbagai

persoalan.

Aliran ini mengajarkan bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh melalui

akal. Kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam.

Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, bersyukur atas nikmatnya,

meninggalkan kekafiran, berbuat adil, mengetahui baik buruknya kezaliman dan

permusuhan. Oleh karena itu, manusia wajib mengerjakan yang baik dan

menjauhi yang jahat, sekalipun belum turun wahyu. Menurut Mu’tazillah,

walaupun akal dengan kemampuannya yang demikian penting, bukan berarti

membawa seseorang untuk mengabaikan wahyu. Wahyu tetap sangat

42 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie

Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 41. 43 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 150. 44 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, h. 32-33. 45 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 151.

Page 43: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

33

diperlukan, demikian pula diutusnya Rasul untuk memberikan penjelasan akan

ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Wahyulah yang

menentukan waktu salat dan akal tidak dapat menjangkaunya.46

3. Kelompok Asy’ariyah

Serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muḥaddīṡin semakin gencar

dan serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik dalam

suasana mihnah. Akibatnya, muncul kebencian masyarakat terhadap paham

Mu’tazilah, sehingga berkembang menjadi permusuhan. Serangan dan tekanan

yang dilakukan Mu’tazilah terhadap masyarakat yang tidak sepaham dengan

mereka dalam hal pemikiran, mulai menurun setelah al-Mutawakil berkuasa, ia

menjauhkan pemerintahannya dari pengaruh Mu’tazilah. Sebaliknya, ia

mendekati lawan-lawannya dan membebaskan para ulama dari penjara.47

Pada akhir abad ke 3 H, muncul Abū al-Ḥasan al-Asy’ari yang lahir di

Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 330 H. Ia dikenal sebagai ulama

yang pada akhirnya menentang paham Mu’tazilah. Sebenarnya, Abū al-Ḥasan

al- Asy’arī mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, Abū ‘Alī al-

Jubbā’ī, sebagai seorang murid yang pintar dan mahir, ia selalu mewakili

gurunya dalam berdiskusi. Namun, pada perkembangan selanjutnya, ia

menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah.48

Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.

Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid

Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan

menunjukkan keburukan-keburukannya.49

Dengan kata lain, al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan selanjutnya

membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri yaitu

Asy’ariah. Pada perkembangan selanjutnya, paham yang dibawa oleh Abū al-

Ḥasan al-Asy’arī sering disebut juga dengan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah.50

46 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 146-147. 47 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman

Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 189. 48 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman

Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 190. 49 Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam, h. 92. 50 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 64.

Page 44: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

34

Istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah terdiri dari tiga kata, yaitu alh, as-Sunnah,

dan al-Jamā’ah. Menurut bahasa, ahl adalah keluarga, kerabat, pengikut atau

golongan. As-Sunnah berarti Hadis, atau segala perkataan, perbuatan dan taqrir

Nabi Muhammad Saw., atas suatu perbuatan sahabat. Al-Jamā’ah berarti

kelompok, orang banyak, atau mayoritas. Jadi, secara istilah ahl as-Sunnah wa

al-Jamā’ah adalah sekelompok umat Islam yang menjadikan Hadis Nabi

Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup.51 Pada perkembangan selanjutnya,

istilah ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah berkembang luas di kalangan umat Islam

di penjuru dunia, yang istilah tersebut dikenal juga dengan Sunni.

Sejak saat itu, al-Asy’ari menegakkan pemahaman tentang ahl as-Sunnah

wa al-Jamā’ah, dengan berpedoman dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta

menggAbūngkannya dengan pertimbangan akal dan pikiran. Adapun doktrin

ajaran Asy’ariah adalah Allah memiliki sifat-sifat, manusia mengetahui

perbuatan baik dan buruk karena adanya wahyu, kadimnya Al-Qur’an, Allah

dapat dilihat di akhirat kelak, perbuatan Allah dan manusia, serta mukmin yang

berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik.52

4. Kelompok Maturidiah

Paham Maturidiah, muncul dan berkembang di Samarkand pada

pertengahan abad ke 3 H, yang dibawa oleh Abū Manṣūr al-Maturidī (w. 333

H). Paham al-Maturidiah yang berkembang di Bukhara dibawa oleh al-Bazdawī.

Sama dengan al-Asy’ariah, aliran ini juga menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah

sebagai argumen dalam pemikiran kalam mereka. Aliran Maturidiah

dikelompokkan juga ke dalam golongan ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah.53

Abū Manṣūr al-Maturidi dan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī hidup dalam satu

masa. Keduanya memperjuangkan tujuan yang sama, hanya saja Abū al-Ḥasan

al-Asy’arī lebih dekat dengan lawan, karena ia berdomisili di Bashrah, tempat

domisili pertumbuhan Mu’tazilah. Adapun Abū Manṣūr al-Maturidī berada di

tempat yang jauh dari pusat perselisihan. Walaupun demikian, gaung

51 Muḥammad Abdul Hadī al-Miṣrī, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah Menurut

Pemahaman Ulama Salaf (Jakarta: Gema Insani Press, 1994.), h. 86. 52 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman

Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210. 53 Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:

Erlangga, 2006), h. 36.

Page 45: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

35

perselisihan itu bergema juga di kawasan tempat ia berada, karena kaum

Mu’tazilah yang senantiasa mengumandangkan dan menyebarkan pemikiran-

pemikiran paham Mu’tazilah. Pada dasarnya, persamaan lawan yang dihadapi

al-Maturidī dan al-Asy’arī, maka kesimpulan-kesimpulan pemikiran mereka

hampir berdekatan.54

Demikianlah paham teologis klasik dalam sejarah umat Islam, yang

diwarnai dengan perbedaan-perbedaan. Aliran-aliran tersebut ada yang

menggunakan akal dan wahyu, dan ada yang hanya menggunakan wahyu saja

dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologis. Pada hakikatnya semua

aliran kalam atau paham teologi Islam tetap menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah

sebagai pedoman ajaran Islam. Sesungguhnya, mereka hanya berbeda dalam

memahami Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan permasalahan-

permasalahan kalam, dan hal yang terpenting, mereka tidak melepaskan fungsi

wahyu sebagai sumber ajaran Islam.

D. Kajian Teologi Islam

Penulis hanya mambahas persoalan kalam yang diklasifikasikan menjadi

tiga bagian, yakni tentang Tuhan, manusia, dan hari akhirat. Penulis hanya akan

mengungkapkan beberapa persoalan kalam yang dianggap dan sering

dibicarakan oleh mutakallīmūn.

1. Tuhan

Permasalahan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para teolog

Islam dari berbagai aliran adalah masalah yang berkenaan dengan sifat-sifat

Allah. Masalah tersebut antara lain Allah mempunyai sifat atau tidak, sebab di

dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Allah

mempunyai beberapa nama, tetapi tidak ada satu ayat pun yang secara tegas

bahwa Allah memiliki beberapa sifat.

Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat, Tuhan

tidak memiliki sifat mengetahui, bukan berarti Tuhan tidak mengetahui, tetapi

Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan.

Mereka mengatakan Allah Maha mengetahui dengan zat-Nya, Maha kuasa

54 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman

Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210.

Page 46: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

36

dengan zat-Nya, Maha hidup dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan,

kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah

sesuatu yang di luar zat. Menurut Mu’tazilah, jika sifat berada pada zat yang

Qadim, sedangkan sifat qidam adalah sifat yang lebih khusus, maka akan terjadi

dualisme, yakni zat dan sifat.55

Sementara itu, kelompok yang mengakui adanya sifat Allah adalah

kelompok Asy’ariah, Maturidiah, dan Salafiah. Mazhab Asy’ariah berpendirian

bahwa Tuhan memiliki sifat, yang menurut paham ini ‘ilm, qudrah, iradāh,

ḥayāh dan lainnya adalah sifat Allah, tetapi sifat Allah berbeda dengan sifat

makhluk. Semua sifat yang melekat pada zat Allah itu adalah kadim dan azali.56

Menurut al-Asy’arī, sifat-sifat Allah tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat

dan bukan pula lain dari zat.

Kelompok Maturidiah memang mengakui adanya sifat Tuhan, tetapi

pengertian al-Maturidi tetang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy’arī. Menurut

al-Maturidī, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari

esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) zat-Nya tanpa

terpisah. Menetapkan sifat bagi Allah, tidak harus membawa pada pengertian

antropomorpisme karena sifat tidak berwujud yang tersendiri dari zat-Nya,

sehingga sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim.57

Berbeda dengan kelompok Syi’ah yang menolak bahwa Allah senantiasa

bersifat mengetahui. Mereka menilai bahwa pengetahuan Allah bersifat baru,

tidak kadim. Sebagian dari kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Allah tidak

tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagiannya lagi berpendapat

bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum Ia menghendakinya, sehingga

ketika Ia menghendaki sesuatu, maka Ia pun bersifat tahu, jika Ia tidak

menghendakinya, maka Ia tidak bersifat tahu. Maksud dari Allah berkehendak

menurut pandangan Syi’ah adalah Allah mengeluarkan gerakan (taḥarraka

ḥarkah), maka ketika gerakan itu muncul atau ada ia bersifat tahu terhadap

55 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie

Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 38. 56 Afrizal M., Ibn Rusyd, h. 46. 57 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135.

Page 47: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

37

sesuatu, dan mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap

sesuatu yang tidak ada.58

2. Manusia

Allah Swt., telah menciptakan manusia (khalifah) dalam bentuk fisik yang

paling baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Selain itu, Allah juga

menganugrahkan akal hanya kepada manusia, karena akalnya tersebut manusia

dapat mengungguli makhluk hewani dan menjadikan hidupnya bermakna.

Kemampuan akal yang dimiliki manusia membawa perdebatan di kalangan

teolog Muslim, mereka mempersoalkan kemampuan akal dan fungsi wahyu.

Pada prinsipnya, akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam

menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Sementara itu, dalam kajian

teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan empat persoalan pokok

yakni persoalan mengetahui adanya Tuhan, kewajiban yang mesti dilakukan

kepada Tuhan, mengetahui perbuatan baik dan jahat, kewajiban berbuat baik dan

menjauhi perbuatan jahat.

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan untuk

mengetahui empat pokok persoalan teologi tersebut. Semua pengetahuan dapat

diketahui dengan akal, dan kewajiban manusia dapat diketahui dengan

pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui

Tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya, meninggalkan kekufuran, berbuat adil,

mengetahui buruknya kezaliman dan permusuhan.59 Jadi, Mu’tazilah

berpendapat bahwa sebelum kedatangan wahyu, orang yang tidak mengetahui

Tuhan, kufur nikmat, tidak menjalankan kebaikan dan melakukan keburukan

akan mendapat siksa di neraka.60

Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, paham Asy’ariah berpandangan bahwa

akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui satu persoalan pokok,

yaitu mengetahui Tuhan. Menurut paham ini, kewajiban manusia hanya dapat

diketahui dengan wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan

tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang

buruk itu wajib, kecuali dengan penjelasan Rasul dan wahyu Allah. Posisi wahyu

58 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 211-212. 59 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, Ilmu, h. 271. 60 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.

Page 48: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

38

dalam aliran Asy’ariah sangat penting, manusia mengetahui baik dan buruk dan

kewajiban-kewajibannya karena turunnya wahyu. Wahyu juga berfungsi untuk

menjelaskan yang baik dan yang buruk, karena akal tidak mampu menetapkan

kebaikan dan keburukan.61

3. Akhirat

persoalan alam tidak terlepas dari pedebatan para teolog Islam tentang hari

akhirat. Perdebatan dimulai dari persoalan pelaku dosa besar yang dihukum kafir

dan tidak kafir. Persoalan ini kemudian bercabang menjadi permasalahan iman

dan kufur. Hal ini akan terlihat dalam kerangka berpikir setiap aliran kalam, yang

ternyata memberi warna berbeda dari setiap aliran kalam.

Khawarij yang memiliki ciri khas ekstrim menganggap bahwa semua pelaku

dosa besar (murtakib al-kabāir) adalah kafir dan disiksa di neraka selamanya,

walaupun terdapat iman dalam hatinya.62

Selanjutnya, muncul aliran Mu’tazilah yang tidak menentukan status kafir

atau Mukmin terhadap pelaku dosa besar, tetapi mereka menyebutkan dengan

istilah al-manzilah bain al-manzilatain. Bagi pelaku dosa besar menurut

Mu’tazilah, berada pada posisi tengah-tengah di antara posisi Mukmin (surga)

dan kafir (neraka). Oleh sebab itu, jika pelaku dosa besar meninggal dunia dan

belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk ke dalam neraka selama-lamanya,

namun siksa yang diterimanya lebih ringan dari siksa orang kafir.63

Sementara itu, aliran Asy’ariah dan Maturidiah menyatakan bahwa pelaku

dosa besar masih tetap sebagai Mukmin, karena adanya keimanan dalam dirinya.

Adapun balasan di akhirat kelak yang akan diperoleh bagi pelaku dosa besar,

apabila ketika meninggal belum bertaubat, maka keputusan itu diserahkan

sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt. Pada hakikatnya, jika Allah

menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan dimasukkan ke dalam

neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.64

61 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 101. 62 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 130. 63 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie

Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 26. 64 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 164-165.

Page 49: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

39

BAB IV

PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ

A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Keyakinan setiap umat Muslim tentang ajaran Islam terkait masalah

ketuhanan (akidah) merupakan masalah pokok yang tidak dapat diabaikan. Dasar-

dasar akidah, tentunya terdapat dalam pedoman utama umat Islam, yakni Al-Qur’an

dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam, sering kali

memberikan penjelasan masalah keagamaan dan moral agar terciptanya masyarakat

yang saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi, serta memiliki keyakinan

(akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui

juga memberikan bimbingan kepada umat Islam dalam rangka terciptanya cara

yang baik bagi manusia untuk berhubungan dengan Allah dan juga hubungan

dengan sesama makhluk.

Persoalan akidah, muncul menjadi suatu pembahasan menarik yang banyak

dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan para mutakallīmūn terhadap

berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang dapat memperkuat akidah

tersebut dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keyakinan yang benar

terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat penting.1 Oleh karena itu, setiap

Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi (tauhid/akidah) sebagai dasar untuk

beriman dan berhubungan dengan Allah. Selain itu, pemahaman teologi yang benar,

akan mempengaruhi hubungan sesama manusia dan makhluk hidup.

Terkait dengan masalah ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran teologi

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Aspek pemikiran

teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek Ketuhanan

Persoalan kalam yang membuat munculnya perbedaan pendapat di kalangan

mutakallīmūn dan umat Muslim terjadi dalam persoalan yang berkisar pada

1 Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh

Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.

Page 50: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

40

argumentasi untuk membuktikan wujud Allah. Mereka berusaha membangun

argumen tentang eksistensi wujud Allah, menyucikan-Nya dan menghilangkan

segala hal yang merusak kesucian tersebut. Dengan demikian, permasalahan pokok

teologi yang terkait dengan Tuhan adalah wujud dan sifat Tuhan, Kalam Allah,

yang diuraikan sebagai berikut:

a. Wujud dan Sifat-Sifat Tuhan

Kondisi manusia sebelum masa Nabi Muhammad Saw., sebenarnya telah

mengetahui dan mengakui eksistensi Tuhan (Allah). Para Nabi yang datang

sebelum Nabi Muhammad Saw. telah menyerukan kepada umatnya untuk

mengenal Allah dan menyembah kepada-Nya, sebagaimana difirmankan Allah

dalam Al-Qur’an yang menyatakan:

ن سالت هم من خلق السموت والرض لي قولن الل ه بل اكث رهم ل ي علمون قل المد لل ه ولى

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang

menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”.

Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak

mengetahui”. (QS. Luqmān [31]: 25).2

Nabi Muhammad Saw., juga mengajarkan risalah tentang adanya wujud

Allah yang Maha Sempurna. Wujud Allah Swt, dalam ajaran Islam adalah

kepercayaan yang tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Meyakini wujud

Allah adalah main belief yang paling utama. Oleh karena itu, dalam khazanah

keIslaman, tidak ada yang mempermasalahkan wujud Allah, baik para kaum teolog

maupun seluruh Muslim meyakini keberadaan Allah.3

Persoalan tentang sifat-sifat Tuhan mendapat perhatian utama dalam

pembahasan ilmu kalam. Seperti pada pembahasan sebelumnya, kelompok aliran

teolog, seperti Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat Tuhan, karena sifat Tuhan

dianggap menimbulkan ta’addud al-Qudāmā’ (adanya dua yang kadim) dan asumsi

2 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al-Fatih, 2012), h. 413. 3 Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:

Erlangga, 2006), h. 92.

Page 51: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

41

ini mengarah pada perbuatan syirik. Sebaliknya, kelompok Asy’ariyah,

Maturidiyah dan Salafiyah membenarkan adanya sifat Tuhan.

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī Allah Swt senantiasa menyandang sifat-sifat

kesempurnaan, baik sifat-sifat dzat dan sifat-sifat perbuatan.4 Tidak boleh diyakini

bahwa Allah disifati dengan satu sifat setelah sebelumnya tidak disifati dengannya,

karena sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat kesempurnaan, hilangnya sifat-sifat

tersebut merupakan kekurangan, tidak boleh Allah sempurna setelah sebelumnya

kurang. Hal ini tidak tertolak oleh adanya sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat berkait

dengan kehendak Allah dan lainnya seperti mencipta, membentuk, menghidupkan,

mematikan, menggenggam, membentangkan, melipat, bersemayam, datang, hadir,

turun, marah, ridha, dan lainnya, sekalipun keadaan-keadaan ini terjadi pada satu

waktu, bukan pada seluruhnya, sebab kejadian dengan pertimbangan ini tidak

mustahil, tidak bisa dikatakan ia terjadi setelah sebelumnya tidak terjadi.5

Tidakkah Anda melihat bahwa seseorang yang berbicara hari ini sedangkan

dia kemarin juga berbicara, tidak disebut bahwa berbicara baru terjadi hari ini.

Seandainya dia tidak berbicara karena sesuatu, seperti belum cukup umur atau

karena bisu, kemudian dia bisa berbicara, maka dikatakan, dia bisa berbicara. Orang

yang diam bukan karena cacat adalah orang yang berbicara, maksudnya punya

kemampuan berbicara, artinya kapan dia ingin, dia berbicara, saat dia berbicara dia

disebut pembicara dalam arti yang sebenarnya, demikian juga juru tulis saat dia

menulis, dia adalah juru tulis dalam arti yang sebenarnya, dia tidak keluar dari sifat

sebagai juru tulis dalam keadaan dia tidak menulis.6

Terjadinya hal-hal baru pada Allah yang dinafikan oleh ilmu kalam yang

tercela tidak ada penafian dan penetapannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia

bersifat global. Bila maksudnya adalah bahwa dzat Allah yang suci bukan tempat

4 Sifat dzat adalah sifat-safat Allah yang tidak terpisah dari dzat Allah dan tidak berkaitan

dengan kehendakNya dan kodratNya seperti sifat hidup, ilmu, kodrat, izzah, kemuliaan dan

kerajaan… Adapun sifat-sifat perbuatan, maka itu adalah sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan

kehendak dan kodratNya pada setiap saat dan waktu, satuan dari sifat-sifat ini terjadi kepan Allah

berkehendak. Jenis sifat-sifat ini adalah azali, sementara satunya adalah hadist seperti Allah

berbicara, marah, rida, tertawa, dan lainnya. 5 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah (Jakarta: Darul Haq, 2016), h.

199. 6 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 199.

Page 52: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

42

bagi sesuatu pun dan makhluk-makhluk-Nya yang diciptakan, atau Allah tidak

memiliki sifat baru yang sebelumnya tidak Dia miliki, maka ini adalah penafian

shahih. Tetapi bila maksudnya adalah menafikan sifat-sifat Allah yang berkenaan

dengan kehendak-Nya, bahwa Dia tidak melakukan apa yang Dia ingin, tidak

berbicara kapan Dia ingin dengan apa yang Dia ingin, tidak pula Dia marah dan rela

yang tidak sama dengan makhluk-Nya, tidak disifati dengan sifat yang Dia tetapkan

untuk diri-Nya seperti turun, bersemayam dan datang sesuai dengan keagungan dan

kemuliaannya, maka ini adalah penafian yang batil.7

Syaikh (Imām Aṭ-Ṭaḥāwī) mengisyaratkan dengan ucapannya,

.ا ق لل خلقه ا زال بصفاته قديم م

"Allah tetap dan senantiasa dengan Sifat-sifat-Nya, sebagai yang Qadīm,

sebelum makhluk-Nya,"8

Allah, tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan itu maknanya: bahwasanya

Allah menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan

abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian pula

sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Semua itu adalah yang utama

sebagaimana utamanya Allah swt sehingga Allah bukan Yang Maha Awal yang

mulanya tidak memiliki sifat lalu baru kemudian terjadilah sifat-sifat bagi-Nya

sebagaimana yang dikatakan oleh para pengikut dan penganut kesesatan, yang

mengatakan, “Mulanya Allah tidak memiliki sifat di zaman azali, lalu baru

kemudian adanya sifat-sifat bagi-Nya; agar hal itu tidak berkonsekuensi

berbilangnya tuhan -sebagaimana yang mereka klaim- atau berbilangnya yang

(dahulu), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah dalam keutamaan-Nya.” Kami

jawab, Subhanallah, ini mengharuskan bahwa Allah memiliki sifat kurang –Maha

Tinggi Allah- dalam suatu masa, kemudian baru kemudian terjadinya sifat-sifat

bagi-Nya dan menjadi Maha Sempurna. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka

katakan. Qadīmnya sifat-sifat tidak mengharuskan Qadīmnya para pemilik sifat-

sifat tersebut, karena sifat-sifat bukan sesuatu yang lain dari yang memiliki sifat-

7 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120. 8 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, (Bairut: Dar Ibnu Hazm,

1995), h. 9.

Page 53: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

43

sifat di luar dzatnya, akan tetapi semua sifat adalah makna-makna yang ada karena

adanya yang memiliki sifat-sifat tersebut. Sekali lagi, bukan sesuatu yang berdiri

sendiri dari yang disifati. Jika anda misalnya mengatakan, “Fulan mendengar,

melihat, berilmu, ahli fikih, ahli bahasa dan nahwu”, maka apakah ini artinya bahwa

orang tersebut menjadi beberapa orang? Maka berbilangnya sifat tidak memastikan

berbilangnya yang disifati.9

Maka, sifat-sifat Allah tidak memiliki permulaan sebagaimana Dzat-Nya

tidak memiliki permulaan, sehingga Allah disifati sebagai yang senantiasa mencipta

dan selamanya. Sedangkan perbuatan-perbuatan Allah, maka ia adalah Qadīm

secara jenisnya akan tetapi baru secara sendiri-sendiri.

Maka Allah Maha Berbicara sebelum mengeluarkan Firman-Nya, dan Maha

Mencipta sebelum menciptakan. Adapun bahwa Dia Maha Berbicara dan Maha

Menciptakan, maka ini adalah perbuatan-perbuatan yang berulang, dan demikian

seterusnya.

Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah, Jahmiyah dan

Syi’ah serta yang sepaham dengan mereka, yang berkata bahwa Allah mampu

berbuat dan berbicara setelah sebelumnya tidak mampu, karena perbuatan dan

pembicaraan menjadi mungkin baginya setelah sebelumnya mustahil, bahwa Dia

berubah dari mustahil dzati menjadi mungkin dzati. Bantahan juga terhadap Ibnu

Kullab, al-Asy‘arī dan orang-orang yang sepaham dengan keduanya yang berkata,

Perbuatan bagi Allah menjadi mungkin setelah sebelumnya mustahil dari-Nya.

Adapun sifat kalam menurut mereka, maka ia tidak termasuk ke dalam kehendak

dan kodrat, akan tetapi ia adalah sesuatu yang satu lazim bagi Dzat-Nya.10

Allah adalah Tuhan yang patut disembah, tiada Tuhan selain Allah. Imām

Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan.

9 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah: Akidah

Ahlus Sunnah wal Jamaah (Jakarta: Darul Haq, 2014), cet. VI, h. 57-58. 10 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120

Page 54: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

44

ه ر ي ول إله غ

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia.”11

Inilah Tauhid Ulūhiyah. Lā ilāha, artinya: Tidak ada sesembahan yang hak

selain Dia.

Sedangkan apabila mengatakan, “Tidak ada sesembahan kecuali Dia,” atau

“Tidak ada sesembahan selain-Nya,” maka ini adalah batil; karena sesembahan-

sesembahan selain Allah itu banyak, sehingga jika anda mengatakan bahwa tidak

ada sesembahan kecuali Allah, maka telah menjadikan semua sesembahan adalah

Allah. Ini adalah pandangan penganut sufi Wiḥdah al-Wujūd. Apabila yang

mengatakan kalimat tersebut berdasarkan I’tiqad (keyakinan), maka dia termasuk

pemeluk Wiḥdah al-Wujūd. Sedangkan apabila dia tidak meyakininya, dan hanya

mengatakannya karena taklid (ikut-ikutan) atau karena mendengarnya dari

seseorang, maka orang ini keliru dan wajib dinasihati. Sebagian orang memulai

bacaannya di dalam shalat dengan ini, di mana dia membaca, “Tidak ada

sesembahan selainMu,” sedangkan Allah adalah sesembahan yang hak, dan apa saja

selain-Nya maka sesungguhnya ia adalah sesembahan yang batil. Firman Allah

swt.12

لعلي الكلي ر اللاطل وان الل ه هو ا هو ذلك بان الل ه هو الق وان ما يدعون من دونه

"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-

lah Rabb Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain

Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha

Tinggi lagi Maha Besar." (Al-Hajj: 62).13

Mengenai sifat Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī melanjutkan.

11 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8. 12 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 46. 13 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 339.

Page 55: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

45

.ل ي فنی ول يليد و

"Dia tidak akan fana dan tidak akan punah.”14

Fana dan berakhir adalah satu makna. Allah swt disifati sebagai Maha

Hidup, yang kekal dan abadi. Firman Allah:

وت وكل على الي الذي ل يوت

"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati."

(Al-Furqān: 58).15

Maka Allah tidak akan mungkin bersifat fana. Firman Allah,

كل شيء هالك ال وجهه

"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Allah).” (Al-Qaṣash:

88).16

Dan Allah itu juga berfirman,

وي ل قى وجه ربك ذو اللل والكرام فان كل من علي ها

"Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu

yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Raḥmān: 26-27).17

Maka Allah memiliki sifat Abadi, sedangkan semua makhluk-Nya akan

mati dan akan dibangkitkan kembali, pada mulanya mereka tidak ada kemudian

Allah menciptakan mereka, kemudian mereka akan mati, kemudian Allah akan

membangkitkan mereka kembali. Allah tidak memiliki permulaan dan tidak

memiliki kesudahan.

14 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8. 15 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 365. 16 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 396. 17 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 532.

Page 56: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

46

b. Kalam Allah

Pembahasan kalam Tuhan dalam kajian ilmu kalam merupakan

perkembangan dari perdebatan persoalan sifat-sifat Allah. Persoalan teologis

mengenai kalam Tuhan, merupakan perdebatan yang terjadi pada Dinasti

‘Abbasiah, di bawah pimpinan khalifah al-Ma’mūn, al-Mu’taṣim, dan al-Waṣiq.

mengenai status Al-Qur’an.18 Perdebatan mengenai status Al-Qur’an, perihal Al-

Qur’an diciptakan maka baharu atau tidak diciptakan maka kadim.

الل ن القرآن كلم إ و

“Al-Qur`an adalah Firman Allah (Kalamullah).”19

Setelah beriman kepada Allah, maka beriman kepada Rasulullah Saw., dan

juga wajib beriman bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah (Kalamullah). Karena

inilah yang dibawa oleh Rasulullah dan disebutkan di dalam al-Qur`an. Al-Qur’an

ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril, akan tetapi ia

adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya. Jibril menerima

(mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari Jibril yang kemudian

dari Nabi Saw. diterima oleh umat ini.

Maka al-Qur`an adalah Firman Allah, yang bermula dari-Nya. Jibril tidak

mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, sebagaimana yang dikatakan oleh para

pengikut kesesatan, ia bukan dari perkataan Jibril dan bukan pula perkataan Nabi

Muhammad Al-Qur`an adalah Firman Rabb alam semesta, sedangkan Jibril dan

Nabi Muhammad -semoga rahmat dan salam tercurah kepada mereka berdua-,

keduanya hanya penyampai dari Allah. Sehingga suatu perkataan hanya dikatakan

dan disandarkan kepada yang mengatakannya pertama kali, bukan yang

mengatakannya untuk menyampaikan dan menunaikan.20

Maka barang siapa yang mengatakan, bahwa Jibril mengambilnya dari Lauh

al-Maḥfuẓ, atau mengatakan bahwa Allah menciptakannya pada sesuatu dan Jibril

18 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 138. 19 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12. 20 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 91.

Page 57: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

47

mengambilnya dari sesuatu itu, maka dia kafir kepada Allah dengan kekufuran yang

mengeluarkannya dari Agama; sebagaimana yang dikatakan oleh golongan

Jahmiyah dan Mu’tazilah serta orang-orang yang mengikuti mereka. Al-Qur’an

adalah Kalamullah, baik huruf-hurufnya dan segala maknanya. Allah berbicara

(berfirman) dengannya sebagaimana yang berfirman, dan berfirman adalah di

antara sifat-sifat Fi'liyah yang dikehendaki-Nya. Maka kita wajib menyifati Allah

sebagai Dzat-Nya. Lalu bagaimana cara (atau seperti apa) Allah berfirman? Maka

jawabanya hanya Allah yang mengetahuinya. Maka maknanya sudah diketahui

(semua), sedangkan caranya tidak diketahui oleh siapa pun.21

Seandainya al-Qur’an ini adalah perkataan manusia, niscaya akan banyak

orang yang mampu membuat suatu surat yang mirip dengannya (sebagaimana

tantangan Allah dalam al-Qur`an). Dan tatkala mereka tidak mampu untuk

melakukannya, maka hal tersebut menunjukkan bahwasanya itu adalah

Kalamullah. Allah swt berfirman,

ان الل ه دون من استطعتم من ادعواو مفت ريت قل فأت وا بعشر سور مثله ام ي قولون اف ت رىه

صدقي كنتم

“Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat al-Qur`an

itu.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-

surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang

yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang

yang benar’.” (Hud: 13).22

Dengan tantangan itu Allah (memperlihatkan) bahwa mereka tak mampu,

padahal mereka (yang menjadi alamat tantangan tersebut) adalah orang-orang Arab

yang terkenal fasih berbahasa, dan al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab bahkan

dengan huruf-huruf yang mereka gunakan untuk berbicara. Pada saat bersamaan

mereka sangat bersemangat dalam menentang Rasulullah swt, sehingga seandainya

mereka mampu untuk menandingi al-Qur`an, niscaya tak akan mereka simpan

keluasan waktu dan segala kemampuan mereka untuk menjawab tantangan

21 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 92. 22 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 223.

Page 58: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

48

tersebut. Dan tatkala mereka memang tidak mampu untuk melakukannya, itu

menunjukkan bahwa al-Qur`an memang Kalamullah (Firman Allah) yang tidak

dihinggapi suatu kebatilan pun, baik dari hadapannya dan ataupun dari

belakangnya.23

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah

yang hakiki, tidak secara majas. Sebagaimana ia mengatakan,

قة و أي قنوا أنه كلم الل ت عال بالقي

“Dan mereka meyakini bahwasanya al-Qur’an adalah Firman Allah secara

hakiki.”24

Al-Qur’an merupakan firman Allah secara hakikat bukan secara majazi

(kiasan) sebagaimana yang dikatakan Jahmiyah dan Mu’tazilah, di mana mereka

berpandangan: al-Qur’an adalah Kalamullah, akan tetapi nisbatnya kepada Allah

adalah secara majazi (kiasan); karena Allah adalah yang menciptakannya, sehingga

penyandarannya kepada Allah adalah penyandaran makhluk ciptaan kepada

PenciptaNya.

Hal ini disanggah oleh Imām Aṭ-Ṭaḥāwī; karena penyandaran kepada Allah

ada dua jenis: pertama, penyandaran secara maknawi dan kedua, secara materi.25

Pertama, penyandaran makna-makna kepada Allah, seperti: berfirman.

Maka penyandaran makna-makna kepada Allah adalah penyandaran sifat kepada

yang memiliki sifat tersebut. “Berbicara”, “mendengar”, “melihat”, “kuasa” dan

“berkehendak” adalah penyandaran sifat kepada yang memiliki sifat; karena semua

itu adalah makna-makna yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa

tersandang pada yang disifati dengannya.

Kedua, penyandaran materi-materi, seperti: baitullah (rumah Allah),

naqatullah (unta Allah), ‘abdullah (hamba Allah). Semua ini adalah penyandaran

23 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 93. 24 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12. 25 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.

Page 59: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

49

makhluk kepada Penciptanya, dan faidah penyandaran dalam konotasi ini adalah

untuk memuliakan dan menghormati.

لم البية ك ليس بخلوق ک

“(Al-Qur'an) bukan makhluk sebagaimana perkataan makhluk.”26

Artinya: Firman Allah bukan makhluk. Ini sebagai bantahan terhadap

Jahmiyah dan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa al-Qur’an adalah makhluk;

karena Allah dalam pandangan mereka tidak berbicara, berdasarkan metodologi

mereka dalam menafikan semua sifat-sifat, sebagai tindakan -sebagaimana klaim

mereka- menghindari sikap menyerupakan Allah (at-Tasybih); karena mereka tidak

membedakan antara sifat-sifat Pencipta dan sifat-sifat makhluk yang diciptakan.27

عه ف زعم أنه كلم اللشر، ف قد كفر فمن س

“Barangsiapa yang mendengarnya dan menganggap bahwa itu adalah

ucapan manusia, maka dia telah kafir.”28

Barangsiapa yang mendengar Kalamullah (Firman Allah) dan mengira

bahwa itu adalah perkataan manusia, maka dia telah kafir; karena dia mengingkari

Firman Allah. Apabila Allah tidak memiliki firman yang diturunkan-Nya kepada

hamba-hamba-Nya, maka dengan apa iqāmat al-ḥujjah dapat terlaksana atas

mereka? Maka maksud di balik pandangan mereka (yang batil ini) adalah

meruntuhkan hukum-hukum syariat. Jika di alam semesta ini tidak ada Firman

Allah, tidak di dalam Taurat, tidak di dalam Injil, dan tidak pula di dalam al-Qur`an,

maka makna dari semua itu adalah: hujjah dari Allah tak pernah ditegakkan atas

manusia. Dan ini adalah di antara kekufuran dan kesesatan yang paling besar.29

2. Aspek Kemanusiaan

Manusia merupakan makhluk yang sangat menarik dan memiliki kelebihan

dari makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia dalam berbagai aspek ilmu

26 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12. 27 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95. 28 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12. 29 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.

Page 60: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

50

pengetahuan, sering menjadi perbincangan dan perdebatan, karena manusia dikenal

sebagai makhluk yang paling mulia, baik dilihat dari biologis maupun dari segi

psikologisnya dan memiliki berbagai potensi, serta memperoleh petunjuk

kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.

Hal inilah yang menjadi perdebatan di kalangan mutakallīmūn terkait

dengan persoalan manusia. Permasalahan yang akan dibahas dalam persoalan

kalam yang berhubungan dengan manusia di antaranya adalah Rasul dan wahyu,

perbuatan manusia, posisi pelaku dosa besar, dan konsep iman yang akan diuraikan

di bawah ini.

a. Rasul dan Wahyu

Allah Swt., telah mengutus beberapa Rasul dan Nabi, yang terakhir sekali

adalah Nabi Muhammad Saw., sebagai utusan-Nya yang menyampaikan kepada

manusia isi kitab-kitab Allah, dengan menerangkan segala perintah Allah dan

larangan-Nya, serta menjadi contoh dan panutan utama bagi umat manusia.30 Rasul

dan wahyu menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Wahyu yang

menjadi pedoman bagi manusia dalam keraguan karena tidak ada petunjuk yang

pasti. Wahyu tidak langsung diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia,

melainkan melalui rasul. Oleh sebab itu, tanpa adanya rasul, manusia tidak dapat

memahami wahyu. Mutakallīmūn sepakat bahwa keberadaan rasul sangat penting

dalam penyampaian risalah Tuhan.

Para ulama menyebutkan perbedaan-perbedaan antara nabi dan rasul, dan

yang terbaik adalah siapa yang Allah kabari dengan berita langit, bila Allah

memerintahkannya agar menyampaikannya kepada orang lain, maka dia adalah

nabi sekaligus rasul, bila Allah tidak memerintahkannya agar menyampaikannya

kepada orang lain, maka dia nabi, bukan rasul.31

Rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi

adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian adalah bagian

dari kerasulan, sebab kerasulan mencakup kenabian dan selainnya, berbeda dengan

30 A. Hassan. Ringkasan Tentang Islam (Bangil: al-Muslim, 1980), h. 44. 31 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.

Page 61: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

51

para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan selain mereka, dan yang benar

adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari sisi dirinya.32

Ketahuilah, bahwa di antara yang mengeruhkan perbedaan antara nabi dan

rasul yang pensyarah sebutkan, yaitu bahwa Allah telah mengambil janji dari para

ulama agar mereka menjelaskan kebenaran kepada manusia dan tidak

menyembunyikannya, sebagaimana Allah swt berfirman,

واشت روا ظهورهم وراء ف نلذوه تكتمونه ل و للناس واذ اخذ الل ه ميثاق الذين اوتوا الكتب لتل ي ن نه فلئس ما يشت رون قليلم ثنما به

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah

diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada

manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya’.” (Ali ‘Imran: 187).33

Lalu bagaimana dengan para nabi yang mereka lebih tinggi kedudukannya

dibanding ulama? Yang lebih dekat dalam masalah ini adalah apa yang disebutkan

oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa nabi adalah orang yang Allah beri wahyu

dan dia menyampaikan wahyu tersebut hanya saja dia tidak diutus kepada kaum

kafir untuk mengentas mereka dari kekufuran kepada iman, adapun rasul, maka dia

diutus kepada orang-orang kafir untuk mengajak mereka kepada tauhid, Allah

berfirman,

امنيته القى الشيطن ف اذا تن ارسلنا من ق للك من رسول ول نب ال وما

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak

(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,

setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu.” (Al-

Hajj:52).34

Allah menyebutkan bahwa pengutusan mencakup rasul dan nabi, lalu Allah

mengkhususkan salah satu dari keduanya bahwa dia adalah rasul, inilah rasul

mutlak yang Allah perintahkan agar menyampaikan risalah-Nya kepada kaum yang

menentang perintah Allah dan terjatuh ke dalam kesyirikan, sebagaimana yang

terjadi pada Nabi Nuh , telah diriwayatkan bahwa Nabi Nuh sang adalah rasul

32 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297. 33 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 75. 34 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 338.

Page 62: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

52

pertama yang diutus ke bumi, dan sebelumnya sudah ada nabi-nabi seperti Nabi

Adam, Nabi Syaits, dan Nabi Idris.35

Mengenai penetapan kenabian menurut kalangan penganut ilmu kalam dan

rasionalis terdapat metode yang masyhur yaitu menetapkan kenabian para nabi

dengan mukjizat, dan kebanyakan dari mereka tidak mengenal kenabian para nabi

kecuali melalui mukjizat. Mereka menetapkannya dengan metode-metode yang

simpang siur (tidak jelas). Banyak kalangan dari mereka yang mengingkari

kejadian-kejadian luar biasa pada selain nabi, hingga mereka mengingkari karamah

para wali, sihir, dan lainnya. Tidak diragukan bahwa mukjizat merupakan bukti

yang shahih, tetapi bukti tidak hanya terbatas padanya.36

Kenabian hanya diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling

dusta. Keduanya tidak samar kecuali bagi orang-orang yang paling dungu, karena

indikator kehidupan masing-masing mengungkapnya dan mengenalkannya, dan

membedakan antara yang jujur dan yang dusta memiliki banyak cara terkait dengan

klaim selain kenabian, lalu bagaimana dengan kenabian?37

Tidak ada pendusta besar yang mengklaim sebagai nabi kecuali terlihat

padanya kebodohan, kedustaan, kedurjanaan memiliki akal terendah sekalipun.

Bahkan dua orang sama-sama dan dikuasai oleh setan-setan yang bisa dilihat oleh

orang yang mengklaim sesuatu, yang satu benar dan yang lain pendusta, kebenaran

yang pertama pasti terlihat dan kebohongan yang kedua pasti terlihat, cepat atau

lambat. Hal itu karena kejujuran mengajak kepada kebaikan dan kebohongan

menuntun kepada perbuatan dosa.38

Bila kebenaran dan kebohongan pembawa berita diketahui dengan indikasi

yang mengelilinginya, lalu bagaimana dengan klaim seseorang bahwa dia adalah

utusan Allah? Bagaimana kebenaran dan kebohongan orang ini bisa samar?

Bagaimana orang yang benar dan orang yang bohong tidak bisa dibedakan dengan

satu bukti pun?

35 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 298. 36 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299. 37 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299. 38 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 300

Page 63: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

53

Hari ini, kita dapat mengetahui secara mutawatir tentang keadaan para nabi,

orang-orang yang mengikuti mereka dan musuh-musuh mereka. Kita pun

mengetahui dengan yakin bahwa para nabi itu adalah orang-orang benar di atas

kebenaran dari banyak sisi bukti. Mereka mengabarkan kepada orang-orang bahwa

para pengikut mereka akan mendapatkan kemenangan dan para musuh mereka akan

mendapatkan kekalahan, akibat baik berpihak kepada orang-orang yang mengikuti

mereka.39

Allah swt memenangkan mereka dan membinasakan musuh-musuh mereka,

bila peristiwa diketahui dengan sebenarnya seperti tenggelamnya Fir'aun, kaum

Nabi Nuh as dan keadaan-keadaan mereka yang lainnya,maka diketahui kebenaran

para rasul. Dan terdapat syariat-syariat yang dibawah oleh para rasul dan perincian

kehidupan mereka, niscaya dia mengetahui bahwa para rasul adalah makhluk

tertinggi, dan bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi dari pembual yang jahil.40

b. Perbuatan Manusia

Persoalan ini dalam kapasitas dan intensitasnya, dari awal telah menjadi

persoalan teologis yang cukup rumit dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam.

Kerumitan itu terlihat dalam bentuk diskusi yang dilakukan oleh para pemikir

Islam, khususnya mutakallīmūn. Persoalan tersebut telah menimbulkan perbedaan

paham di kalangan kaum Muslimin tentang hakikat perbuatan manusia (af’al al-

‘ibad). Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan pandangan beberapa kelompok dalam

memahami perbuatan manusia.41

Pertama, Pandangan Golongan Jabariyah dan Jahmiyah, yang mengatakan

bahwa manusia itu terpaksa, tidak memiliki pilihan dalam berbuat. Maka perbuatan

manusia murni merupakan ciptaan Allah swt. Maka shalat yang dilakukannya

misalnya, bukan karena ikhtiarnya, dia hanya terpaksa. Mereka ini sangat ekstrim

dalam menetapkan Kuasa (qudrah) Allah. Pandangan mereka ini adalah kesesatan

yang nyata, dan maknanya adalah bahwasanya Allah menzhalimi mereka dan

mengazab mereka atas sesuatu yang mereka sama sekali tidak memiliki ikhtiar

39 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 332 40 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 333. 41 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 279.

Page 64: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

54

padanya, dan mereka juga tidak memiliki kesanggupan padanya, dan Allah hanya

mengazab seorang hamba karena perbuatan orang lain, dan memberinya pahala atas

sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Pandangan ini adalah pandangan yang

paling busuk.

Kedua, Pandangan Mu’tazilah, yang bertentang secara total dengan

pandangan pertama. Mereka mengatakan, amal perbuatan adalah semata karya dan

kehendak serta kemauan hamba secara mutlak, dan Allah sama sekali tidak punya

sangkut paut di dalamnya. Hambalah yang menciptakan perbuatan dirinya. Mereka

sangat ekstrim dalam menetapkan kuasa hamba.

Pandangan mereka ini mengharuskan munculnya pandangan lain yaitu

bahwasanya Allah lemah, dan bahwasanya Allah disekutui oleh selain-Nya dalam

mencipta dan mengadakan. Ini adalah pandangan orang-orang majusi, dan itu

sebabnya Mu’tazilah dinamakan sebagai kaum Majusi umat ini. Orang-orang

majusi mengatakan, alam ini memiliki dua pencipta: pencipta kebaikan dan

pencipta kejahatan. Mu’tazilah menambahkan pandangan mereka ini dengan

mengatakan, setiap orang menciptakan perbuatan dirinya sendiri, sehingga dengan

demikian Mu’tazilah menetapkan banyak pencipta.42

Pandangan yang moderat adalah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah,

yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka mengatakan, amal perbuatan

manusia adalah perbuatan mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka,

akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah.43

والل ه خلقكم وما ت عملون “Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat.” (Aṣ-Ṣaffat:

96).44

42 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280. 43 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280 44 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 449.

Page 65: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

55

وهو على كل شيء وكيل كل شيء الل ه خالق “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

(Az-Zumar: 62).45

هل من خالق غي ر الل ه ي رزقكم من السماء والرض “Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari

langit dan bumi?” (Faṭir: 3).46

Maka Allah Maha Esa sebagai yang mencipta dan menetapkan takdir, dan

manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta memiliki perbuatan. Pergi ke

masjid adalah dengan ikhtiarnya, dan pergi ke tempat tontonan juga dengan

ikhtiarnya; karena dia memang memiliki kuasa. Dan orang yang tidak Allah berikan

kuasa dan ke sanggupan, Allah memberikannya udzur (alasan untuk meninggalkan

kewajiban), seperti orang yang gila atau orang yang dipaksa. Orang seperti itu tidak

memiliki kehendak dan tidak memiliki maksud. Sedangkan orang yang memiliki

kehendak dan maksud, inilah yang memilih perbuatan untuk dirinya, maka siksa

dan pahala terjadi atas perbuatannya tersebut, bukan atas perbuatan Allah.47

Bila sudah terbukti bahwa hamba adalah pelaku, maka perbuatan hamba

terbagi menjadi dua:48

Pertama, perbuatan yang terjadi darinya tanpa diikuti dengan kehendak dan

keinginannya, maka ia merupakan sifat baginya tetapi bukan perbuatan, seperti

gerakan orang menggigil.

Kedua, perbuatan yang terjadi darinya beriringan dengan kemampuan dan

kehendaknya. Untuk yang ini perbuatan tersebut dianggap sebagai sifat, perbuatan

dan usaha dari seorang hamba, ini seperti gerak-gerik yang dilakukan secara suka

rela. Allah yang menjadikan hamba melakukan secara suka rela. Hanya Dia semata,

tidak ada sekutu bagi-Nya yang sanggup melakukan itu. Karena itu ulama Salaf

mengingkari jabr (doktrin yang menyatakan hamba terpaksa dengan

perbuatannya), karena ia hanya terjadi dari orang yang lemah, sehingga ia tidak

45 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 465. 46 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 434 47 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 281. 48 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 515.

Page 66: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

56

terjadi kecuali dengan tekanan. Karena itu ada perkataan, bapak memiliki hak

perwalian untuk memaksa putrinya yang masih kecil untuk menikah dan dia tidak

punya hak tersebut atas putrinya yang janda yang sudah dewasa. Maksudnya, bapak

bisa menikahkannya sekalipun dia tidak suka. Allah tidak disifati dengan

pemaksaan dari sisi ini, sebab Allah Pencipta kehendak dan keinginan, mampu

menjadikan hamba berkehendak dan berkeinginan, berbeda dengan selain-Nya.

c. Posisi Pelaku Besar

Sebagaimana telah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa permasalahan

teologi yang pertama kali muncul adalah masalah kafir mengkafirkan. Masalah ini

kemudian berlanjut kepada status pelaku dosa besar, hingga kepada status iman

seseorang.49 Dari permasalahan ini, juga timbul untuk pelaku dosa besar apakah

akan masuk neraka dengan kekal atau tidak? Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan,

وأهل الكلائر من أمة ممد ل يلدون، إذا ماتوا وهم موحدون “Para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka,

tapi mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid.”50

Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa selain syirik tetapi di atas dosa-dosa

kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus

ditegakkan hukuman (had) atas (pelaku)nya, atau yang mendapatkan ancaman

murka, atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah anti terhadap orang-orang

yang melakukannya.51 Inilah dosa besar, seperti misalnya sabda beliau,

نا السلح ف ليس منامن .حل علي “Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia

bukan dari kami.”52

Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah

dosa besar, akan tetapi di bawah syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar

dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin yang kurang imannya, atau bisa

49 Rozak dan Anwar, Ilmu, h. 159. 50 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22. 51 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 207. 52 Hr. Al-Bukhari No. 6874 dan Muslim No. 98, 100, dan 101.

Page 67: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

57

juga dinamakan orang fasik. Inilah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah; mereka

tidak mengkafirkan (seorang Muslim) karena dosa-dosa besar, selama itu bukan

syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan pelaku dosa-dosa besar nama

Iman secara mutlak. Mereka memberikan kepadanya Iman yang diberi batasan;

sehingga dikatakan, “Dia Mukmin dengan Imannya, tapi fasik dengan dosa besar

(yang dilakukan)nya.”53

Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam itu adalah seorang Mukmin

dengan keimanan sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Murji’ah.

Tapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam, sebagaimana yang dikatakan

oleh Khawarij dan Mu’tazilah.

Jika demikian, maka ada tiga kelompok manusia berkaitan dengan seorang

Muslim yang melakukan dosa besar:54

Pertama, Khawarij dan Mu’tazilah, yang mengeluarkan pelaku dosa besar

tersebut dari Islam, hanya saja, Khawarij memasukkannya ke dalam golongan

orang-orang kafir, sedangkan Mu’tazilah tidak; mereka mengatakan: pelaku dosa

besar berada pada kedudukan di antara dua kedudukan (Iman dan kufur), akan tetapi

mereka mengeluarkannya dari Islam.

Kedua, Murji’ah, yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah seorang

Mukmin yang beriman sempurna, selama dia meyakini di dalam hatinya, menurut

pendapat mayoritas mereka, dan mengucapkan dengan lisannya, menurut pendapat

sebagian mereka. Yang jelas (dalam pandangan mereka), dia adalah seorang

Mukmin dilakukannya seorang sama sekali tidak mengurangi Imannya, sekalipun

dosa dosa besar. Ini juga suatu kesesatan.

Ketiga, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ialah pandangan yang haq, yang

berpandangan bahwa pelaku dosa besar selain syirik adalah tetap sebagai seorang

Mukmin, bukan kafir, akan tetapi dia adalah Mukmin yang kurang Imannya. Ini

wajib diketahui, dan wajib tertanam mantap di dalam akal anda. Orang-orang

pengikut pandangan jahat dewasa ini, semakin berani menampakkan pandangan

53 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208. 54 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208-209.

Page 68: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

58

Murji'ah untuk mempublikasikannya kepada masyarakat luas, demi menutupi

kesesatan yang ada pada diri mereka.

Para pelaku dosa-dosa besar selain syirik, bukan orang-orang kafir. Dan

bahwasanya mereka ketika nanti bertemu dengan Allah (di Hari Kiamat), dan

mereka belum bertaubat dari dosa-dosa besar tersebut, maka mereka terserah

kepada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Allah dapat mengazab mereka

seimbang dengan dosa-dosa mereka, kemudian mengeluarkan mereka dari neraka

dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan tauhid dan Iman mereka, sehingga

mereka tidak kekal di dalam neraka.55 Dalilnya adalah Firman Allah,

اء يش لمن ذلك دون ما وي غفر ان الل ه ل ي غفر ان يشرك به“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia

mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang

dikehendaki-Nya.” (An-Nisā’: 48).56

Para pelaku maksiat dari orang-orang yang bertauhid akan keluar dari

neraka, boleh jadi dengan karunia Allah, dan boleh jadi dengan syafa’at para

pemberi syafa’at dengan izin Allah tu. Dan syafa’at adalah haq adanya, akan tetapi

tidak akan ada kecuali dengan izin Allah, dan yang diberikan syafa’at tersebut

adalah orang yang bertauhid, bukan orang kafir, bukan orang musyrik dan bukan

orang munafik.57

d. Konsep Iman

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw.,

dan ia adalah agama yang berintikan keimanan dan perbuatan (amal).58 Keimanan

itu merupakan akidah dan pokok, yang di atas syariat Islam. Perbuatan itu

merupakan syariat yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan dan

akidah itu. Keimanan dan perbuatan itu atau dengan kata lain akidah dan syariat,

keduanya saling terkait satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,

55 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 210. 56 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 86. 57 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 212. 58 Hassan. Ringkasan, h. 29.

Page 69: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

59

adanya hubungan yang erat di antara keduanya, maka amal perbuatan selalu

disertakan penyebutannya dengan keimanan.59

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya pada pengakuan dengan lisan

dan pembenaran dengan hati, tetapi juga diamalkan dengan anggota badan. Maka

amal masuk dalam hakikat Iman, dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman.

Barangsiapa yang membatasi definisi Iman hanya pada ucapan dengan lisan dan

pembenaran dengan hati, dan tidak menyertakan amal, maka dia tidak termasuk

dalam ahli Iman yang benar.

Imām bukan satu, dan orang-orang yang beriman tidaklah sama, akan tetapi

Iman saling mengungguli, dapat bertambah dan berkurang. Manusia tidak sama

dalam membenarkan dengan hati. Iman Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq tidak sama dengan

Iman seorang yang fasik dari kaum Muslimin; karena orang yang fasik dari kaum

Muslimin Imannya sangat lemah, sedangkan keimanan Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq

seimbang (bahkan lebih kuat) dari Iman semua umat ini. Maka manusia pada

dasarnya tidak sama (dalam tingkat keimanan). Ini pada dasarnya (dari segi

keimananannya).Demikian juga dari segi amal, manusia saling mengungguli dalam

amal.60 Di antara mereka ada yang sebagaimana difirmankan Allah swt,

نا من علادنا فمن هم ظال لن فسه ث اورث نا الكتب الذين اصطفي “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih

di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada orang-orang yang

menganiaya diri mereka sendiri.” (Faṭir: 32).61

Orang yang maksiat (dalam ayat) ini, yaitu yang kemaksiatannya selain

syirik, dia tentu saja dzalim terhadap dirinya; karena dengan demikian dia telah

membawa dirinya kepada bahaya.62

Maka umat ini tidak sama (dalam hal keimanan), dan paling tidak ada tiga

tingkatan: pertama, orang yang zhalim atas dirinya, kedua, orang yang tengah-

59 Sayid Sabiq, “Al-Aqāid al-Islāmiyyah”, terj. Moh. Abdai Rathomy, Aqidah Islam,

(Bandung: Diponegoro, 1993), h. 15. 60 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 201. 61 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 438. 62 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202.

Page 70: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

60

tengah, dan ketiga, orang yang telah lebih dahulu (segera dan berlomba) berbuat

segala kebaikan. Ini semua menunjukkan bahwa Iman itu berbeda-beda

tingkatannya. 63

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī juga menambahkan mengenai rukun-rukun iman,

يان: هو اليان بالل وملئكته، وكتله، ورسله، والي وم الخر، ه والقدر: خيه وشره، وحلو وال .ومره، من الل ت عالی

“Iman adalah: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kita-

bNya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Qadar yang baik maupun yang

buruk, yang manis maupun yang pahit, (semuanya) adalah dari Allah

swt.”64

Wajib beriman kepada semua ini, dan jika seseorang mengingkari sesuatu

dari rukun-rukun tersebut, maka dia bukanlah seorang Mukmin; karena dia telah

mengurangi salah satu dari rukun-rukun Iman.

3. Aspek Hari Akhir

Percaya kepada hari akhir adalah merupakan satu dari rukun atau sendi dari

berbagai rukun keimanan dan merupakan bagian utama sekali dari beberapa bagian

akidah. Hari akhir adalah percaya bahwa akan datang satu hari yang penghabisan

bagi penghidupan alam ini, di hari itu binasa semua makhluk, lalu Allah bangkitkan

manusia kembali di alam akhirat untuk dibalas segala perbuatan di dunia mulai dari

amal baik dan perbuatan buruk.65

Fenomena kiamat adalah masalah yang gaib. Umat Islam seluruhnya

meyakini bahwa semua manusia akan mengalami hari akhirat. Fenomena surga dan

neraka di akhirat adalah di antara peristiwa hari akhirat yang dibicarakan. Akan

tetapi, pembahasan tentang hari akhir, tidak lepas dari pembahasan tentang

peristiwa kematian dan kebangkitan.66 Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan

perhatian yang sangat istimewa terhadap penetapan keimanan kepada hari akhir,

sebagaimana firman-Nya berikut:

63 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202. 64 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22. 65 Hassan, Ringkasan, h. 45. 66 Di antara contoh fenomena yang terjadi pada hari kiamat adalah azab kubur, kebangkitan,

hisāb, mīzān, ṣirāṭ, surga, neraka dan lain-lain.

Page 71: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

61

والي وم الخر وعمل صالما ن امن بالل ه ان الذين امن وا والذين هادوا والنصرى والصاب ي م م ول خوف عليهم ول هم يزن ون ف لهم اجرهم عند رب

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang

Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-

benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka

akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada

mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. al-Baqarah [2]: 62).67

Ayat di atas menjelaskan tentang adanya alam akhirat dengan ditandai

adanya kebangkitan, surga dan neraka dan pertanggung jawaban manusia atas

amalnya. Hari akhirat itu adalah tujuan manusia yang sebenarnya. Pada hari itulah

manusia akan menerima balasan atas amalnya di dunia.68

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa hari akhir adalah hari

kiamat yang didahului musnahnya alam semesta. Jadi, pada hari itu akan matilah

seluruh makhluk yang masih hidup. Bumi pun akan bertukar, bukan bumi atau

langit yang sekarang ini. Selanjutnya, Allah Swt., menciptakan alam lain yang

disebut alam akhirat. Sesudah itu, seluruh makhluk akan dibangkitkan yakni

dihidupkan kembali setelah mereka mati.69 Oleh karena itu, dalam persoalan ini,

akan diuraikan secara lebih lengkap pada pembahasan berikutnya, yakni

kebangkitan di akhirat dan surga dan neraka.

a. Kebangkitan di Akhirat

Iman kepada Hari Kebangkitan kembali termasuk perkara yang ditetapkan

oleh al-Qur`an, as-Sunnah, akal, dan fitrah. Allah swt mengabarkan tentangnya

dalam kitab-Nya yang mulia, menegakkan bukti-bukti atasnya, membantah orang-

orang yang mengingkarinya dalam banyak surat al-Qur’an. Para nabi sepakat di atas

iman kepada Hari Kiamat. Hal itu karena pengakuan terhadap Tuhan adalah sesuatu

yang umum pada manusia, bersifat fitrah, semua manusia mengakui Rabb, kecuali

siapa yang ngotot (bengal) seperti Fir’aun. Berbeda dengan Iman kepada Hari

Akhir, pengingkarnya banyak, dan karena Nabi Muhammad adalah penutup para

67 Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 10. 68 Hadiyah Salim, Dua macam Kehidupan Yang Berbeda Antara Dunia dan Akhirat

(Bandung: Angkasa, 1995), h. 43. 69 Sayid Sabiq, “Al-Aqāid”, h. 429-430.

Page 72: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

62

nabi, beliau diutus di hadapan Hari Kiamat seperti ini, beliau adalah al-Hasyir dan

al-Muqaffi, maka beliau menjelaskan perincian kehidupan akhirat dengan

penjelasan yang belum ada pada kitab-kitab para nabi sebelum beliau.70

Oleh karena itu, sekelompok orang dari ahli filsafat dan orang-orang yang

seperti mereka menyangka bahwa yang berbicara secara terbuka tentang

kebangkitan badan hanya Nabi Muhammad, lalu mereka menjadikannya sebagai

hujjah bagi mereka bahwa apa yang beliau katakan hanya semacam ilusi dan

pembicaraan kepada orang-orang awam agar mereka memahaminya. Ini dusta,

karena Hari Kiamat sudah dikenal di kalangan nabi-nabi sejak Nabi Adam, Nabi

Nuh hingga Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan seterusnya. Allah telah

mengabarkannya saat menurunkan Nabi Adam as.71 Allah berfirman,

قال في ها تي ون حي ولكم ف الرض مست قر ومتاع ال ل عض عدو قال اهلطوا ب عضكم ل ها ترجون وفي ها توت ون ومن

“Allah berfirman, ‘Turunlah kalian, sebagian kalian menjadi musuh bagi

sebagian yang lain. Dan kamu memiliki tempat kediaman dan kesenangan

(tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah

ditentukan’.” Allah berfirman, ‘Di bumi itu kalian hidup dan di bumi itu

kalian mati, dan dari bumi itu (pula) kalian akan dibangkitkan’.” (Al-

‘A‘raf: 24-25).72

Di antara hujjah-hujjah Al-Qur'an dalam menetapkan kebangkitan kembali

sesuai dengan firman Allah,

رميم وهي العظام يي من قال وضرب لنا مثلم ونسي خلقه“Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada

kejadiannya, dia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang

belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yāsīn: 78),73 hingga akhir surat.

Seandainya manusia paling berilmu, paling fasih dan paling ahli

menjelaskan ingin menghadirkan hujjah yang lebih unggul dari hujjah ini atau

sepadan dengannya dengan kata-kata yang semisal dengannya dari sisi keringkasan,

70 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 379-380. 71 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 380. 72 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 153. 73 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.

Page 73: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

63

keakuratan, dan kebenaran bukti, niscaya tidak akan mampu. Allah membuka

hujjah ini dengan sebuah pertanyaan yang disodorkan oleh orang yang mengingkari

yang menuntut jawaban,74 Firman Allah,

ونسي خلقه"Dan dia lupa kepada kejadiannya." (QS. Yāsīn: 78).75

Hal ini merupakan jawaban yang sangat memadai. Allah menegakkan

hujjah dan mengikis syubhat, sekalipun Allah tidak hendak menegaskan hujjah.

Dan menguatkan penetapannya, Allah berfirman,

اول مرة انشاها قل ييي ها الذي “Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali

yang pertama’,” (QS. Yāsīn: 79).76

Allah swt berhujjah kepada awal penciptaan atas kebangkitan, kepada

kehidupan pertama atas kehidupan lainnya. Setiap orang berakal mengetahui secara

mendasar bahwa siapa yang mampu melakukan yang pertama, maka dia mampu

melakukan yang keduanya, dan seandainya dia tak sanggup melakukan yang kedua,

niscaya dia lebih laik tidak sanggup melakukan yang pertama. Manakala penciptaan

menuntut kodrat Sang Khaliq atas makhluk-Nya dan ilmu-Nya terhadap rincian

makhluk-Nya,77 maka Allah menyusulkan Firman-Nya,

وهو بكل خلق عليم “Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yāsīn: 79).78

Allah Maha Mengetahui perincian penciptaan pertama, bagian-bagiannya,

bahan-bahannya dan bentuknya, demikian juga dengan yang kedua. Bila ilmu Allah

sempurna dan Kuasa-Nya lengkap, bagaimana Dia tidak sanggup menghidupkan

tulang belulang yang sudah lapuk? Kemudian Allah menegaskan urusan dengan

74 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 382. 75 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445. 76 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445. 77 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 383. 78 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.

Page 74: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

64

sebuah hujjah yang telak dan bukti yang nyata, mengandung jawaban terhadap

pertanyaan pengingkar lain yang berkata bahwa bila tulang belulang sudah menjadi

lapuk, maka tabiatnya menjadi dingin kering, padahal bahan kehidupan dan

pembawanya haruslah tabiatnya yang panas lagi basah yang menunjukkan adanya

perkara kebangkitan, ia mengandung dalil dan jawaban sekaligus,79 maka Allah dan

berfirman,

منه ت وقدون ان تم فاذا الذي جعل لكم من الشجر الخضر نارما“Yaitu Tuhan yang menjadikan untuk kalian api dari kayu yang hijau, maka

tiba-tiba kalian nyalakan (api) dari kayu itu.” (QS. Yāsīn: 80).80

Allah swt mengabarkan bahwa Dia mengeluarkan unsur api yang sangat

panas dan kering dari kayu hijau yang sangat dingin dan basah, Allah Yang kuasa

untuk mengeluarkan sesuatu dari lawannya, bahan-bahan dan unsur-unsur makhluk

tunduk kepada-Nya, maka tidak sulit bagi-Nya melakukan apa yang diingkari oleh

pengingkar tersebut dan ditolaknya, yaitu menghidupkan tulang belulang yang

sudah lapuk. 81

Kemudian Allah menegaskan perkara ini dengan menyebutkan sesuatu yang

lebih besar dan lebih agung atas sesuatu yang lebih kecil dan lebih mudah, karena

setiap orang yang berakal mengetahui bahwa siapa yang kuasa (mampu) atas

sesuatu yang besar dan agung, maka dia lebih kuasa dan lebih kuasa atas sesuatu

yang di bawahnya, barangsiapa mampu membawa setumpuk harta, maka dia lebih

mampu membawa satu peser perak.82 Allah swt berfirman,

ى ان يلق مث لهم اوليس الذي خلق السموت والرض بقدر عل “Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu

menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur

itu?” (QS. Yāsīn: 81).83

Allah mengabarkan bahwa Dia yang menciptakan langit dan bumi, padahal

keduanya adalah makhluk yang besar, agung, luas, ajaib, tentu Dia lebih mampu

79 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 383. 80 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445. 81 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 384. 82 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 384. 83 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445.

Page 75: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

65

menghidupkan tulang belulang yang sudah lapuk, lalu Dia mengembalikannya

kepada keadaanya semula.

Kemudian Allah menegaskan hal itu dan menjelaskannya dengan

penjelasan yang lain, yaitu bahwa perbuatan Allah bukan seperti perbuatan selain-

Nya yang bekerja dengan alat dan usaha, lelah dan payah, tidak independen dalam

berbuat, sebaliknya dia memerlukan alat dan pembantu, berbeda dengan Allah yang

cukup dengan kehendak-Nya itu sendiri dalam menciptakan sesuatu yang Dia

hendak ciptakan dan Firman-Nya untuk apa yang Dia ciptakan, “Jadilah”, dan ia

pun jadi sebagaimana yang Allah kehendaki dan inginkan. Kemudian Allah

menutup hujjah dengan mengabarkan bahwa kerajaan atas segala sesuatu adalah di

Tangan-Nya, Allah bertindak terhadapnya dengan Firman dan perbuatan-Nya.84

واليه ت رجعون "Dan kepada-Nya kalian dikembalikan." (QS. Yāsīn: 83).85

Pendapat yang dipegang oleh Salaf dan mayoritas orang-orang berakal

adalah bahwa jasad berubah dari satu keadaan ke keadaan lain, ia berubah menjadi

tanah, kemudian Allah menghidupkannya kembali, sebagaimana jasad berubah

pada penciptaan pertama, ia adalah setetes air, kemudian berubah menjadi

segumpal darah kemudian sepotong daging, kemudian tulang yang terbungkus

daging kemudian terbentuk makhluk yang sempurna. Demikian juga penciptaan

kembali, Allah blamengembalikannya sesudah semuanya fana, kecuali tulang sulbi

(Ajb adz-Dzanab).86 Sebagaimana dalam ash-Shahih dari Nabi Saw. bahwa beliau

bersabda,

نب، منه خلق ابن آدم، ومنه ي ركب كل ابن آدم ي ل لى إل عجب الذ“Semua bagian dari anak Adam fana kecuali tulang sulbi, darinya dia

diciptakan dan padanya dia disusun kembali.”87

84 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 385. 85 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 445. 86 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 386. 87 Hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari, No. 4814; Muslim, no. 2955; Abū Dawun, no. 4743.

Page 76: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

66

Kedua penciptaan adalah dua bentuk di bawah satu jenis, keduanya sama

dan semisal dari satu sisi, dan berbeda dan tidak sama dari sisi lain. Yang

dihidupkan kembali adalah yang pertama itu sendiri, sekalipun di antara

konsekuensi pengembalian dengan konsekuensi penciptaan awal terdapat

perbedaan, hanya tulang sulbi yang tersisa, adapun selainnya, maka ia berubah, lalu

ia dikembalikan dari materi yang ia berubah kepadanya. Sudah dimaklumi bahwa

siapa yang melihat seseorang yang masih kecil, kemudian melihatnya kembali saat

dia sudah tua, maka dia mengetahui bahwa dia adalah dia, padahal dia selalu

berubah dan tidak dalam satu keadaan, demikian juga hewanhewan dan tumbuh-

tumbuhan, siapa yang melihat satu pohon saat ia masih kecil, kemudian dia

melihatnya saat sudah besar, dia akan berkata ini adalah itu.

b. Surga dan Neraka

Perkataan surga dan neraka dalam bahasa Arab dikenal dengan jannah, dan

nār atau jahannam. Jika Allah Swt., akan memberikan balasan kepada orang-orang

yang taat dan berbakti itu dengan kenikmatan (surga), maka kepada orang yang

durhaka dan bersalah tentulah akan diberi balasan pula yaitu berupa siksa (neraka).

Menurut Hassan, pengertian jannah adalah satu negeri atau tempat kesenangan

yang Allah sediakan bagi orang-orang mukmin dan nār adalah satu negeri atau

tempat siksaan yang Allah sediakan bagi orang-orang kafir.88

Setelah mengetahui tujuan keberadaan surga dan neraka, sebagaimana

disebutkan di atas, maka yang menjadi perdebatan di kalangan ulama adalah

keberadaan surga dan neraka telah ada ataukah tidak, ataukah surga dan neraka

adalah kekal. Sebagian dari ulama-ulama Islam dan mutakallīmūn berpendapat

bahwa surga dan neraka sekarang belum Allah ciptakan. Mereka berpendirian

bahwa tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara tegas menerangkan bahwa surga dan

neraka telah ada. Kebanyakan ayat Al-Qur’an menerangkan tentang surga dan

neraka seperti: “telah disediakan surga bagi orang-orang yang berbakti” dan “telah

disediakan neraka bagi orang-orang kafir”. Berdasarkan perkataan telah disediakan

itu, belum berarti bahwa surga dan neraka sudah ada sekarang. Menurut mereka,

88 A. Hassan. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: Diponegoro, 2007),

jilid III, h. 1238.

Page 77: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

67

perkataan telah disediakan bisa berarti sudah ada dan terkadang belum ada.

Demikianlah Aḥmad Hassan menerangkan secara ringkas tentang golongan yang

berpendapat bahwa surga dan neraka belum ada.89

Sementara itu, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menegaskan bahwa,

ا ول تليدان، و ة والن لل خلق النة والنار ق لل اللق، وخلق ن اإ والنار ملوق تان، ل ت فن يان أبدم لما أهلم

“Surga dan neraka adalah makhluk, yang keduanya tidak akan fana dan

tidak akan musnah. Dan bahwasanya Allah swt telah menciptakan surga

dan neraka sebelum menciptakan makhluk lain, dan menciptakan penghuni

bagi keduanya.”90

Ahlus Sunnah sepakat bahwa surga dan neraka telah diciptakan dan telah

ada sekarang. Ahlus Sunnah sepakat di atas itu sebelum lahir sekelompok orang

yang bernama Mu’tazilah dan Qadariyah yang mengingkari hal itu. Mereka berkata,

“Allah swt baru akan menciptakan keduanya pada Hari Kiamat.” Mereka

berpendapat demikian karena didorong oleh prinsip mereka yang rusak, yang

mereka tetapkan sebagai syariat bagi apa yang Allah lakukan, bahwa Allah patut

melakukan ini, tidak patut melakukan ini. Mereka menyamakan Allah dengan

makhluk-Nya dalam perbuatan mereka, mereka adalah orang-orang yang

menyamakan dalam perbuatan, lalu akidah Jahmiyah menyusup kepada mereka,

akibatnya mereka pun menjadi ahlu ta'ṭil yang menolak Sifat-sifat Allah. Mereka

berkata, “Menciptakan surga sebelum saat pembalasan adalah sia-sia, karena ia

nganggur dalam masa yang panjang.” Mereka menolak dalil-dalil yang

bertentangan dengan syariat yang mereka tetapkan untuk Allah, mereka

menyelewengkan dalil-dalil dari tempatnya, menyesatkan dan membid’ahkan siapa

yang menyelisihi syariat mereka.91

Dalil-dalil yang menetapkan bahwa surga dan neraka sudah ada sekarang

Allah swt berfirman tentang surga,

89 A. Hassan, Soal-Jawab, Jilid III, h. 1238. 90 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 26. 91 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 407-408.

Page 78: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

68

اعدت للمتقي “Disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS, Alī ‘Imran: 133).92

Allah juga berfirman tentang neraka,

اعدت للكفرين “Disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (QS. ‘Alī ‘Imran: 131).93

Allah juga berfirman,

وى مأ عندها جنة ٱل منت هى ٱلرة عند سد رى لةم أخ رءاه نز ولقد“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang

asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha324, di dekatnya ada

surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 13-15).94

B. Corak Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Penulis menemukan beberapa keutaman dari ajaran teologi Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī yang terdapat dalam karyanya “Aqidah al- Aṭ-Ṭaḥāwīyah”.95

Pertama, kitab Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab akidah

tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya-karya Imām

Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī, tetapi ajaran akidah mereka tidak jauh berbeda, padahal

tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka pernah bertemu. Secara

sanad, Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘ali) daripada Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī.

Ini dikarenakan ia langsung dapat dari al-Muzanī, al-Murādī, dan lainnya. Adapun

Abū al-Ḥasan al-Asy'arī mendapatkannya dari generasi murid murid al-Muzāni,

yaitu Zakariyā al-Sāji. Begitu juga, dari tahun kelahiran maka Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī

lahir lebih awal, yaitu pada tahun 239 H, sedangkan Abū al-Ḥasan al-Asy'arī

diperkirakan lahir setelah tahun 250-an. Namun, popularitas Abū al-Ḥasan al-

92 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 67. 93 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 66. 94 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 526. 95 Arrazy Hasym. Akidah Salaf Imām Al-Ṭaḥāwī: Ulasan dan Terjemah (Banten: Yayasan

Wakaf Darus-Sunnah, 2020), h. 3-6.

Page 79: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

69

Asy'arī memang lebih kuat daripada Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī. Barangkali popularitas

tersebut dikarenakan Abū Ja'far al-Tahāwi tidak berdomisili di kota metropolitan,

seperti Baghdad. Ini berbeda dengan Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī yang berasal dari

Basrah dan hijrah ke Baghdad. Di samping itu, ada faktor lain seperti keterlibatan

dua tokoh tersebut dalam perdebatan teologis. Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī lebih sering

terlibat dalam perseteruan teologis dibandingkan Abū Ja'far Aṭ-Tähāwi.

Kedua, secara manhaj Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah tidak berbeda dengan akidah

Abū al-Ḥasan alAsy'arī. Dalam hal ini, Imām al-Subki menilai akidah dua Imām

tersebut sama secara konten, kecuali beberapa hal kecil. Ini sebagaimana

dikemukakan dalam kitab Mu’id al-Ni’am wa Mubid al-Niqam. Adapun di dalam

kitab Ṭabaqāt al-Syāfi'iyah al-Kubra, Imām al-Subki junior menyebutkan bahwa

pandangan yang menilai kesamaan tersebut adalah ayahnya sendiri, Imām Taqi al-

Dīn al-Subkī. Setelah itu, ia meneliti sendiri, sehingga mendapatkan sebagaimana

dikatakan oleh ayahnya.

Ketiga, ajaran yang terkandung dalam Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah merupakan

akidah yang diwariskan oleh Imām Salaf pendiri mazhab Ḥanafīyah, yaitu Imām

Abū Ḥanifah (w. 150 H.) dan kedua muridnya Muhammad Ibn al-Ḥasan al-

Syaybānī dan Abū Yusuf al-Anṣārī. Ini yang membedakannya dengan Abū al-

Ḥasan al-Asy'arī yang diwariskan oleh Imām Mālik, al-Syāfi’i, dan lebih khusus

Aḥmad Ibn Ḥanbal.

Keempat, sosok Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran

setelahnya, Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ibn Abū al-‘Izz murid Ibn

Qayyim al-Jawzīyah mensyarah kitabnya. Ini dilanjutkan oleh Salafi kontemporer

seperti ‘Abdu al-‘Azīz Ibn Bāz, al-Rājihi, Ibn Jibrin, Ibn al-‘Utsaymīn, Ṣāliḥ al-

Fawzān, al-Albānī dan tokoh lainnya. Bahkan dari kalangan Asy‘arīyah terdapat

‘Abdulāh al-Ḥarari pendiri gerakan Ahbasy yang sangat ketat dan kritis. Tidak lupa

juga terdapat al-Sayyid Ḥasan al-Saqqāf, seorang ahli Hadis yang semi Asy‘arīyah-

Zaydīyah.

Kelima, kitab akidah Abū Ja'far Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dijadikan sebagai panduan

untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.

Page 80: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

70

Keenam, kitab Abū Ja’far Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī menunjukkan bahwa

akidah Salaf Salih tidak hanya satu manhaj, tetapi mempunyai banyak sistem

berpikir (manāhij), tetapi dalam satu lingkaran Ahl al-Sunnah.

Uraian di atas telah menyimpulkan beberapa pemikiran teologi Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī. Peneliti berpendapat bahwa pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bercorak

kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat

digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam kelompok Salafiah dan

Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua paham

tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.

Page 81: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Imām al-Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah

bin Abdu al-Mālik al-Azdī al-Hajrī al-Miṣri Aṭ-Ṭaḥāwī, nisbat ke Ṭaḥa, sebuah desa

di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi Minya saat ini. Ia lahir pada

tahun 239 H. Sumber lain mengatakan lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau

tumbuh dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif

dengan suasana ibadah dan amal shaleh. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang

berilmu yang memiliki keutamaan. Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan

hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Salah satu karya beliau mengenai

teologi adalah kitab Al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah. Karya tersebut menjadi inti

penelitian ini adalah bagian terpenting dalam pemikiran Islam yang mengantarkan

kepada kemantapan akidah. Berdasarkan perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī tentang

teologi Islam, maka dapat ditemukan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai persoalan ketuhanan, yaitu:

a. Permasalahan teologi tentang wujud dan sifat Tuhan, Imām Imām Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī berpendapat bahwa meyakini esensi dan eksistensi Allah harus

sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak

akan punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi. Allah

menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan

abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian

pula sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Allah adalah Tuhan yang

patut disembah, tiada Tuhan selain Allah.

Page 82: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

72

b. Persoalan teologi mengenai kalam Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menganggap

bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang hakiki, tidak secara majas.

Al-Qur’an ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril,

akan tetapi ia adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya.

Jibril menerima (mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari

Jibril yang kemudian dari Nabi Saw. Menurutnya, al-Qur’an bukan makhluk

sebagaimana perkataan makhluk.

2. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai aspek kemanusiaan, yaitu:

a. Persoalan teologi tentang Rasul dan wahyu, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berpendapat

bahwa rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua

nabi adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian

adalah bagian dari kerasulan, sebab kerasulan mencakup kenabian dan

selainnya, berbeda dengan para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan

selain mereka, dan yang benar adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari

sisi dirinya. Rasul adalah yang Allah perintahkan melalui wahyu agar

menyampaikan risalah-Nya, kepada kaum yang menentang perintah Allah

dan terjatuh ke dalam kesyirikan.

b. Megenai perbuatan manusia Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menyatakan bahwa amal

perbuatan manusia adalah perbuatan mereka berdasarkan kehendak dan

kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah

makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang mencipta dan

menetapkan takdir, dan manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta

memiliki perbuatan.

Page 83: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

73

c. Teologi tentang posisi pelaku dosa besar menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah

para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka, tapi

mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid. Pelaku

dosa-dosa besar tersebut, selama itu bukan syirik, tidak tidak akan

mengeluarkan seseorang dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin

yang kurang imannya, atau bisa juga dinamakan orang fasik.

d. Persoalan tentang konsep iman, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya

pada pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tetapi juga

diamalkan dengan anggota badan. Maka amal masuk dalam hakikat Iman,

dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman. Imām bukan satu, dan orang-orang

yang beriman tidaklah sama, akan tetapi Iman saling mengungguli, dapat

bertambah dan berkurang.

3. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berkaitan dengan aspek hari akhir, yaitu:

a. Persoalan mengenai kebangkitan di akhirat, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengatakan

bahwa iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah

ditetapkan oleh al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui

kitab-Nya, menegakkan bukti-bukti atasnya dan membantah orang-orang

yang mengingkarinya.

b. Persoalan teologi tentang surga dan neraka, menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī surga

dan neraka adalah makhluk, yang keduanya tidak akan fana dan tidak akan

musnah. Dan bahwasanya Allah swt telah menciptakan surga dan neraka

sebelum menciptakan makhluk lain, dan menciptakan penghuni bagi

keduanya.

Page 84: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

74

Uraian di atas telah menyimpukan beberapa pemikiran teologi Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī. Peneliti berpendapat bahwa pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bercorak

kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat

digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam kelompok Salafiah dan

Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua paham

tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.

B. Saran

1. Diharapkan dengan penelitian tentang teologi dalam pandangan Imām Aṭ-

Ṭaḥāwī, tinjauan kitab al-Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyyah, dapat dikembangkan dan

digali lebih lanjut.

2. Diharapkan kepada mahasiswa yang ingin menkaji tologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

secara khusus, tulisan ini hanya sebagai pengantar awal untuk melihat pemikiran

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Namun, untuk melihat sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih dalam

harus ada upaya yang lebih serius.

3. Harapan untuk Fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan Aqidah dan Falsafah

Islam dapat mengembangkan dan melakukan kajian intelektual tentang teologi

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, karena pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī banyak memberikan

kontribusi terhadap khazanah intelektual dalam Islam.

4. Dan penulis mengharapkan penelitian sederhana ini bisa memberikan loncatan

awal terhadap dinamika pemikiran Islam, khususnya untuk kaum akademisi,

serta dapat menjadi bagian amal sholeh yang dicatat oleh Allah SWT.

Page 85: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

75

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam.

Jakarta: Erlangga, 2006.

Al-Arnauth, Syu’aib dan Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki. Syarh Aqidah

Thahawiyah. Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi,

2001.

Connolly, Peter. Approaches to The Study of Religion. Terj. Imām Khoiri. Aneka

Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS, 2009.

Effendi, Djohan. Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam

dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.

Esposito, John L. The Oxpord Encyclopedia of The Modern Islamic World. Oxford:

Oxford University Perss, 1995. Jilid ke-4.

Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan. Penjelasan Matan Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah

Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jakarta: Darul Haq, 2014. Cet. Ke-6.

Ferm, Virgilius. Encyclopedia of Religion. USA: Greenword Press Publisher, 1976.

Glasse, Cyril. The Concise Encyclopedia of Islam. London: Staceny International,

1989.

Al-Ghunaimi, Abdul Akhir Hammad. Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar

‘Aqidah Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani, (Solo:

Pustaka At-Tibyan, 1999.

Ḥanafī, Aḥmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989. Cet.

ke-3.

_____________. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Al-Ḥanafī, Imām Ibnu Abil Izz. Tahzib Syarah Thahawiyah. Jakarta: Darul Haq,

2016.

Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011.

Hassan, A. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Diponegoro,

2007. Jilid ke-3.

_____________. Ringkasan Tentang Islam. Bangil: al-Muslim, 1980.

Hasyim, Arrazy. Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan. Ciputat:

Maktabah Darus-Sunnah, 2020.

Page 86: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

76

Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam. Bandung: Citapustaka

Media, 2013.

Al-Jurjānī, Ali bin Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf. Mu’jam al-Ta„rīfāt. Kairo: Dār

al-Fadīlah, t.t.

Karim, Muhammad Nazir. Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam

Syeikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari. Bandung: Nuansa, 2004.

Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Al-Fatih, 2012.

Madjid, Nurcholish. Khazanah intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

________________. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakal

Paramadina, 1992.

________________. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,

1999.

Mukhtar, Kamal dkk. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995. Jilid ke-2.

Muthahhari, Murtadha. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah,

Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.

Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI

Press, 1987.

_______________. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1996.

_______________. Sejarah Pemikiran dalam Islam. Jakarta, Pustaka Antara, 1996.

_______________. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press,

2009. Jilid ke-2.

_______________. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan.

Jakarta: UI Press, 2010.

Nasr, Sayyed Hussein dan Olover Leaman. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam.

Bandung: Mizan, 2003. Cet. Ke-1.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Cet. Ke-1

Rasyidi, H. M. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau

Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Al-Rāzī, Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā al-Qazwīnī. Mu’jam

Maqāyīs al-Lugah. Beirut; Dār al-Fikr, 1991. Jilid ke-3.

Page 87: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

77

Reese, William L. Dictionary of Philosophy and Religion. New York: Humanity

Books, 1996.

Ridha, Ali dan Aḥmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh. Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001.

Romas, Chumadi Syarif. Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2000..

Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Rumadi. Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi

Indonesia. Bekasi: PT Gugus Press, 2002.

Sabiq, Sayid. “Al-Aqāid al-Islāmiyyah”, terj. Moh. Abdai Rathomy, Aqidah Islam.

Bandung: Diponegoro, 1993.

Salim, Hadiyah. Dua macam Kehidupan Yang Berbeda Antara Dunia dan Akhirat.

Bandung: Angkasa, 1995.

Siregar, Maria Ulfa. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi. Tesis Program

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015.

Sou’yb, Joesoef. Perkembangan Teologi Modern. Jakarta: Rainbow, 1987

Subhāni, ‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far. “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah

Mauwḍū‟iyyah Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa,

Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis Mazhab Kalam. Pekalongan: Al-Hadi,

1997.

Al-Syahrastānī, Muḥammad Bin Abdūl Karīm. “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj.

Asywadie Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal. Surabaya: Bina Ilmu, 2003.

Al-Ṣiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan

Bintang, 1986.

Aṭ-Ṭaḥāwī, Imām Abū Ja’far. Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah. Bairut: Dar Ibnu

Hazm, 1995.

Watt, W. Montgomery. “Islamic Philosophy and Theology”, terj. Umar Basalim,

Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M, 1987.

Zahrah, Imām Muḥammad Abū. “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd.

Rahman Dahlan dan Aḥmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam.

Jakarta: Logos Publishing House, 1996.

Al-Zhahabi, Syamsuddin. Tazkirah al-Huffaz. Kairo: Mushthafa al-Babi al-

Halabi, 1390 H. Jilid ke-3

Page 88: TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬAḤĀWĪ

78

Al-Zhahabi, Husein. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi al-Jarh wa al-Ta’dil. Lahore:

al-Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980.

https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29

September 2020, pukul 22.16.

https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29

September 2020, pukul 22.47.

https://afkaruna.id/Imām-thahawi-muhaddis-dan-teolog-islam-awal. Diakses pada

03 Oktober 2020, pukul 22.16.