Teologi Feminist Reuther

26
Membangun Masa Depan Dunia Suatu Perspektif Teologi Feminisme Suatu Kajian Berdasarkan: Sumber:Radford Reuther, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theologi, Boston: Beacon Press, 1983. 1 Abstraksi Reuther memakai bahan-bahan teologi dogmatik serta penghayatan iman yang terdokumentasi di dalam simbol-simbol, hukum-hukum dan etika komunitas Kristen untuk menguji persoalan mengapa male’s experience telah menjadi suatu sistem yang tidak menghormati keadilan gender. Istilah Godess yang telah tergeser dari agama monoteisme sebagai sumber sistem patriarkhis, baik oleh penulis-penulis kitab suci pada saman kejayaan Kerajaan Israel dan dilanjutkan dalam tradisi penulisan perjanjian Baru serta gereja mula-mula kemudian mempengaruhi seluruh sistem penyebaran keilmuan sekuat sistem penyebaran agama Kristen. Sumber-sumber baik teologi klasik dan filsafat yang cenderung menekankan perspektif ‘Godess’, kurang mendapat tempat sambutan dan mempengaruhi struktur keyakinan beragama sehingga tergeser juga dalam pergaulan struktur kekuasaan perspektif yang dominant. Reuther mengembalikan perspektif ‘Godess’ pada seluruh wilayah kehidupan: teologi, sistem masyarakat, struktur sosial serta dunia ilmu pengetahuan dan bagian- bagian ekspresi kehidupan manusia yang sudah terlanjur masuk dalam perangkap sistem yang tidak adil. Mengembalikan konsep teologi dalam perspektif feminist merupakan akar untuk menjadikan sistem yang ‘dipulihkan’ melampaui sistem patriarkhi. Sistem yang diharapkan ini, bukan sebagai suatu bayangan eskatologis yang sekedar di dominasi oleh perspektif feminis saja, tetapi menjadikan suatu dunia yang harmonis, adil gender dan damai. Keadilan gender merupakan barometer untuk menghargai lingkungan alam sebagai bagian dari sahabat yang harus dipelihara dan bukan sebagai bagian dari objek yang dipakai secara sewenang-wenang. Dari sana perubahan yang 1 Buku-buku sumber lain dari penulis yang lain juga akan dipakai untuk menguatkan atau memberikan perbedaan-perbedaan diskusi dari tema-tema tertentu yang dikembangan oleh Reuther. Cara penulisan laporan buku ini, memakai catatan perut untuk menunjukan halaman dari tubuh buku sumber utama dan catatan kaki jikalau merujuk pada sumber buku dan penulis yang lain. 1

Transcript of Teologi Feminist Reuther

Page 1: Teologi Feminist Reuther

Membangun Masa Depan DuniaSuatu Perspektif Teologi Feminisme

Suatu Kajian Berdasarkan:

Sumber:Radford Reuther, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theologi, Boston: Beacon Press, 1983.1

Abstraksi

Reuther memakai bahan-bahan teologi dogmatik serta penghayatan iman yang terdokumentasi di dalam simbol-simbol, hukum-hukum dan etika komunitas Kristen untuk menguji persoalan mengapa male’s experience telah menjadi suatu sistem yang tidak menghormati keadilan gender. Istilah Godess yang telah tergeser dari agama monoteisme sebagai sumber sistem patriarkhis, baik oleh penulis-penulis kitab suci pada saman kejayaan Kerajaan Israel dan dilanjutkan dalam tradisi penulisan perjanjian Baru serta gereja mula-mula kemudian mempengaruhi seluruh sistem penyebaran keilmuan sekuat sistem penyebaran agama Kristen.

Sumber-sumber baik teologi klasik dan filsafat yang cenderung menekankan perspektif ‘Godess’, kurang mendapat tempat sambutan dan mempengaruhi struktur keyakinan beragama sehingga tergeser juga dalam pergaulan struktur kekuasaan perspektif yang dominant. Reuther mengembalikan perspektif ‘Godess’ pada seluruh wilayah kehidupan: teologi, sistem masyarakat, struktur sosial serta dunia ilmu pengetahuan dan bagian-bagian ekspresi kehidupan manusia yang sudah terlanjur masuk dalam perangkap sistem yang tidak adil. Mengembalikan konsep teologi dalam perspektif feminist merupakan akar untuk menjadikan sistem yang ‘dipulihkan’ melampaui sistem patriarkhi. Sistem yang diharapkan ini, bukan sebagai suatu bayangan eskatologis yang sekedar di dominasi oleh perspektif feminis saja, tetapi menjadikan suatu dunia yang harmonis, adil gender dan damai. Keadilan gender merupakan barometer untuk menghargai lingkungan alam sebagai bagian dari sahabat yang harus dipelihara dan bukan sebagai bagian dari objek yang dipakai secara sewenang-wenang. Dari sana perubahan yang diharapkan oleh feminism bukan perubahan individu tetapi perubahan kolektif, sebagai suatu tanda dari kehadiran Allah dalam komunitas dunia.

1. Pendahuluan.

Ada 3 pokok utama yang dijelaskan oleh Reuther dalam buku ini yakni: metodologi

feminism, sumber-sumber teologi feminist dan norma-norma feminist. Ketiga pokok ini

1 Buku-buku sumber lain dari penulis yang lain juga akan dipakai untuk menguatkan atau memberikan perbedaan-perbedaan diskusi dari tema-tema tertentu yang dikembangan oleh Reuther. Cara penulisan laporan buku ini, memakai catatan perut untuk menunjukan halaman dari tubuh buku sumber utama dan catatan kaki jikalau merujuk pada sumber buku dan penulis yang lain.

1

Page 2: Teologi Feminist Reuther

merupakan suatu alur penguraian yang dipakai oleh Reuther untuk menjelaskan

persoalan:

1. Dari manakah akar kesadaran barat yang telah membuka jalan ketidakadilan sex.

2. Mencari jalan untuk meletakan kemanusiaan penuh, dimana perempuan dihargai

sebagai person yang memiliki the full humanity of women.

Pokok-pokok persoalan ini dibahas oleh Reuther dengan menunjuk alasan tuntutan dari

feminism untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan steriotipe gender pada

wilayah God-language. (p.61) Hilangnya Godess dalam wilayah agama monoteisme

merupakan akar dominasi sex .2

2. Metodologi

Metodologi yang dipakai adalah Lingkaran Hermeneutik (p.12). Lingkaran

Hermenutik pertama sekali dikembangkan oleh Han-George Gadamer3 kemudian dalam

perkembangan selanjutnya oleh ilmu-ilmu sosial. Reuther sebagai seorang feminisme

juga memakai metode ini untuk menguji ‘pengalaman’ (pengalaman dengan yang Ilahi,

pengalaman dengan seseorang, pengalaman komunitas dan dunia) yang telah dibangun

atau pun yang telah mendapat sentuhan perubahan. Kriteria yang dipakai untuk menguji

pengalaman yang disebutkan di atas adalah pengalaman unik perempuan, women’s

experiences, yang secara keseluruhan tidak diperhitungkan dalam membangun refleksi

teologi masa lalu (p.13). Pengalaman perempuan sebagai dasar untuk membangun teologi

feminist.

Pengalaman yang dimaksudkan adalah pengalaman yang telah membuka pemikiran

masa lalu yang tidak memberikan tempat yang setara terhadap perempuan dalam tradisi-

tradisi pemikiran teologi termasuk dengan konsep tentang manusia (anthropos).

Perempuan hanyalah bagian dari manusia (laki-laki) dan tidak dilihat sebagai subjek,

manusia yang utuh. Menggunakan pengalaman perempuan dalam teologi feminist

2 Nawal El Sadawi juga menyebutkan akar dominasi sex yang bersumber dari agama monoteisme. “Mereka tidak menyadari bahwa perempuan telah ada sebelum agama-agama monoteisme diturunkan kepada manusia serta jauh sebelum Adam dan Hawa di turunkan”. Lihat Nawal, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.) (Jogyakarta: Pustaka Plajar, 2001) hal. 1833 Lingkaran Hermeneutik terdiri dari empat tahap: pertama penggambaran tentang pengalaman, menganalisis pengalaman dengan memakai ilmu-ilmu sosial, refleksi teologi dan berakhir pada tindakan, sebagai titik pertemuan dalam kehidupan nyata. Salah satu maksud dari teori ini adalah untuk melakukan suatu perubahan dalam masyarakat dengan menekan bukan sekedar ide tetapi tindakan dari suatu gagasan. Konsep ini bersumber dari metode hermenutik yang dikembangkan oleh Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermenutika, (terj.) (Yogyakarta:Pustaka Peajar:2004).

2

Page 3: Teologi Feminist Reuther

merupakan kekuatan bagi teori kritis untuk menguji teologi tradisional dan tradisi-tradisi

gereja. Jadi ada tiga kriteria pengalaman:

1. Pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman dalam tradisi laki-laki

2. Pengalaman laki-laki yang telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang

mengadopsinya

3. Pengalaman universal, yakni pengalaman penuh laki-laki dan perempuan setara

dalam pengertian human. Manusia bukan hanya diisi dan diukur oleh imaginasi

laki-laki saja tetapi keduanya, baik laki-laki dan perempuan, sama-sama menjadi

subjek dalam menentukan kualitas manusia.

Metodologi yang dipakai oleh Reuther telah menempatkan kekuatannya pada

pendekatan kritis teologi feminis yang terletak pada pengalaman perempuan sebagai

suatu kriteria yang didasarkan atas asumsi bahwa teologi klasik termasuk tradisi-tradisi

yang telah diterima sebagai pengalaman universal hanya diukur dari pengalaman salah

satu jenis sex saja, yakni male experience. Reuther menunjukan bagaimana pengalaman

pewahyuan yang disebarkan oleh penerima wahyu telah membentuk suatu komunitas

yang mempercayainya dan mengatur seluruh relasi-relasi kehidupan secara vertikal pun

horizontal menurut ketetapan dalam kitab suci. Dari uraiannya ini, Reuther kemudian

menunjukan bagaimana male experiences yang telah membentuk komunitas penerima

wahyu itu.

Ketetapan aturan dan tradisi kehidupan suatu komunitas tidak selamanya statis

tetapi juga mengalami suatu perubahan, yang disebut oleh Reuther dengan ‘Crises of

Tradision’. Masa krisis dalam tradisi agama ditandai dengan diterimanya suatu

interpretasi penebusan yang bertetangan dengan pengertian yang telah memberikan suatu

makna tertentu dalam komunitas yang mempercayainya. Reuther menunjukan masa krisis

tradisi teologi gereja pada masa reformasi abad ke 16 sekaligus hendak mengatakan

bahwa gereja juga seharusnya bersiap-siap untuk menerima suatu masa krisis yang

sedang berlangsung dengan munculnya berbagai aliran teologi modern antara lain:

teologi liberal, teologi feminis sejak pertengahan abad 20.

Theologi feminis menekankan prinsip the full humanity of women, sesuatu yang

diabaikan oleh tradisi dan teologi tradisional. Keunikan prinsip feminist, bahwa

perempuan sendirilah yang menuntut prinsip kemanusiaan penuh bagi diri mereka sendiri

3

Page 4: Teologi Feminist Reuther

“Women name themselves as subjects of authentic and full humanity” (p. 19). Akibat

pengabaian dari prinsip ini dan “the naming of males as norms of authentic humanity”

telah menyebabkan perempuan sebagai korban yang dituduhkan sebagai sumber dosa dan

termaginalkan didalam kemanusiaan dan yang layak diampuni. Perempuan dianggap

sebagai penyebab manusia (laki-laki) berdosa dan perempuan sebagai mahluk setengah

manusia (Aristoteles). Menurut Reuther bahwa pemahaman ini bertentangan dengan

imago dei/Christ dalan dalam konteks ini gambar Allah telah menjadi instrument dosa

daripada instrument kemuliaan dan keilahian.

Theologi feminisme membawa suatu jalan keluar dari keterjeratan teologi sexisme.

Perempuan yang berada dalam bahaya kemanusiaan teologi tradisional menawarkan

suatu definisi kemanusiaan yang inklusif: baik gender, kelompok sosial dan rasis yang

inklusif. Penolakan perempuan terhadap androsentrism (yang melihat laki-laki sebagai

norma kemanusiaan) berarti juga penolakan perempuan terhadap semua betuk-bentuk

chauvinisme: di mana orang-orang Barat berkulit putih, kekeristenan dan hak-hak klas-

klas sosial tertentu sebagai standar norma kemanusiaan. Ini berarti bahwa feminisme

seharusnya mengakui semua kepelbagaian kultur dan bentuk-bentuk norma setiap elemen

manusia menurut batas-batas penghayatan kultur dan geografis. Ini berarti juga bahwa

feminism mengabaikan universalisme suatu norma yang turun dari kelas-kelas sosial,

jenis sex yang dominant sebab feminism mengakui partikularisme, yang menghormati

kepelbagaian bukan hanya dari segi fisik dan batas-batas geografis tetapi juga kultur dan

penghayatan agama serta religinya masing-masing4. Ini semua bentuk dari konsekuensi

martabat gender yang setara sebagaimana yang diperjuangkan oleh feminisme.

3. Membangun Teologi Feminism

4 Kesadaran akan penghormatan terhadap kepelbagian, sebagai akibat dari penghancuran pengakuan universalitas normative juga telah menjadi kesadaran para penginjil-penginjil abad 20 setelah berjumpa dengan keberagaman kultur dan agama-agama di Asia dan Amerika Latin. Paul Knitter, telah mengungkapkan pergulatan dan perubahan arah teologi serta memihak kepada teologi agama-agama yang plural sebagai akibat akan kesadaran perjumpaan konteks dan teologi pembebasan di Amerika Latin tahun 1960an. Sayang sekali, pengakuan pluralitas teologi menurut konteks geografi dan kulturnya masing-masing yang merubah arah teologi Knitter, tidak menyentuh pengakuannya terhadap teologi feminist. Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, (terj.) (Jakarta: Kanisius, 2005)

4

Page 5: Teologi Feminist Reuther

Uraian teologi sistematis yang menggunakan antara lain sumber-sumber sosiologi

pengetahuan5 termasuk simbol-simbol, hukum, doktrin-doktrin teologi telah membuka

jalan bagi Reuther untuk mencari jalan bagi upaya peletakan imaginasi feminisme

tentang teologi. Pengalaman perempuan dalam dunia pengajaran dan penghayatan teologi

gereja masa kini, sebagai warisan teologi masa lalu telah membawa Reuther untuk

mencari keduanya, baik akar teologi patriarkhi yang bersumber dari imaginasi laki-laki

tentang ilahi dan sekaligus cara baru menghayati yang ilahi berdasarkan imaginasi

perempuan.

Reuther, membangun teologi feminis, pertama-tama dengan mencari akar

pengalaman perempuan yang termarginalkan dari tradisi gereja dan teologi tradisional

yang dibangun berdasarkan kanon kitab suci. Bagaimana melihat dalam suatu perspektif

baru, bahwa Allah adalah kesatuan antara God and Goddes. “God becomes whole,

uniting male and female side, in the time when the all things become one and God is “all

in all” (p. 58). Untuk sampai pada konsep kesatuan perempuan dan laki-laki dalam Allah,

Reuther melakukan suatu pencarian pemaknaan dari tradisi-tradisi dan tulisan-tulisan

filsuf Philo, yang memaknai konsep “Logos” (Word) sebagai Sophia (Wisdom). Peran-

peran yang menunjuk pemikiran yang rekonsiliatif antara manusia dengan Allah, sebagai

pencipta bumi. Shekinah (kehadiran) Allah didalam bentuk penyatuan antara kehendak

Allah dengan umat Israel adalah suatu bentuk imaginasi famele’s presence. Pengalaman

selama pembuangan - exodus Israel di sejajarkan dengan pengabaian bahasa laki-laki

terhadap seluruh eksistensi perempuan dalam merumuskan teologi tradisional- adalah

bentuk keterasingan manusia dari Allah dan sekaligus jalan bagi penemuan ‘the presence

of God’. Mengembalikan Godess menyatu dalam diri Allah berarti menerima konsep-

konsep alternarif yang ditawarkan oleh feminisme yang akan memperkaya karya-karya

sosial dengan mengupayakan masa depan dunia yang setara, adil dan damai.

Eskatologis feminis bukanlah suatu dunia sesudah mati, (suatu warisan dan konsep

patriarkhi) tetapi suatu realitas kehidupan dunia nyata sebagai bentuk dari kehadiran

Allah dalam ‘langit dan bumi baru’ dan sebagai suatu wujud jawaban dari Allah atas doa

“Datanglah KerjaanMu, jadilah kedendakMu di bumi seperti di dalam surga”.

5 Tentang sosiologi pengetahuan dijelaskan dengan sangat filosofis dan real oleh Peter L. Berger, Brigitte Berger & Hansfried Kellner, Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (Terj.), (Jakarta: Kanisius, 1992).

5

Page 6: Teologi Feminist Reuther

“Thy Kingdom come, Thy will be done on earth. All shall sit under their own vines

and fig trees and none shall be afraid. The lion will lay down with the lamb and the

little childwill lead them.” (p.266).

Kehadiran Allah yang diharapkan oleh feminis adalah: keharmonisan, kedamaian dan

keadilan sex, yang akan mengungkap suatu relasi dengan cara yang baru di antara

manusia laki-laki dan perempuan serta relasi dengan alam.

Gagasan eskatologis feminism bukan sekedar gagasan yang diambil dari konsep

liberalisme tentang kesadaran kelas sosial tanpa memasukan perempuan sebagai bagian

dari komunitas budak. Juga bukan berdasarkan suatu warisan ekstologi Kristen yang

diambil begitu saja dari pemahaman kitab-kitab dan tradisi Ibrani yang digemakan dalam

kitab suci. Namun bahan-bahan yang telah tersedia itu dipakai oleh feminisme sebagai

instrument untuk melihat secara kritis semua kenyataan dan gagasan yang membentuk

kenyataan manusia dan mendapatkan ulang konsep teologi yang dapat menyatakan

perubahan dunia dimana manusia laki-laki dan perempuan dihargai secara utuh dan

setara sebagaimana penghargaan terhadap alam cipataan ilahi. Alat-alat analisis ini

dipakai sebagai sumber untuk mengembangkan dan membangun konsep teologi

feminism dari tema-tema teologi yang diwariskan oleh male experience,yang melahirkan

struktur masyarakat patriarkhis, yang melanggengkan pengabaian eksistensi subjek

perempuan dan alam serta membiarkan ketidakadilan sex . Semua itu dilalui oleh Reuther

sebagai jalan untuk membangun dan mencapai masa depan dimana Kerajaan Allah

datang dalam wujud “langit dan dunia yang baru”.

Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba memberikan lukisan tentang bagaimana

pembuktian-pembuktian yang dilakukan oleh Reuther untuk menemukan secara kritis

kelemahan-kelemahan teologi tradisional dan modern serta menegaskan perspektif

teologi feminism. Kita akan melampaui jenjang-jenjang dalam tulisan berikut ini.

1. Kritik Femimisme terhadap Imaginasi Laki-laki tentang Allah.

6

Page 7: Teologi Feminist Reuther

(Dalam bagian ini, Reuther menggunakan semua bahan-bahan yang sudah

tersedia: baik teologi tradisional, Kitab Suci, kebudayaan bangsa-bangsa kuno

dalam Alkitab, pemahaman para Filsuf, analisis Antropologis serta sumber-

sumber teori sosial modern. Semua bahan-bahan yang sudah tersedia, menjadi

bahan penelitian untuk membangun kembali suatu model imaginasi yang full

humanity bukan hanya bagi perempuan tetapi juga dalam membangun imaginasi

terhadap ‘the divine’.)

a. Imaginasi laki-laki telah membentuk monoteism dan stuktur masyarakat patriarkhis.

Reuther menunjukan bahwa monoteisme yang telah menjadi norma universal,

berakar dari dalam Kekeristenan-Yahudi, kemudian dituangkan dalam kanon Kitab Suci

merupakan male imagination. Keadaaan itu dapat dibenarkan dengan melihat proses

pengakanonan (p. 14-15) serta konteks masyarakat nomaden (bersumber dari panggilan

Abraham), yang kurang memberikan tempat kepada pengalaman perempuan, telah

melahirkan imaginasi tentang Allah sebagai “the Sky-Father” (p. 53). Arah sorotan

analisis Reuther lebih tertuju pada pengaruh agama nomaden sebagai bukti dari

penguraian yang berdasarkan male imagination, sebagaimana yang digambarkan dalam

kitab Perjanjian Lama pun bergema dalam Perjanjian Baru. Agama nomaden telah

melahirkan konsep agama yang ekslusif dan agresif, serta konsep monoteisme yang telah

melahirkan struktur hirarkis masyarakat patriarkhis yang menempatkan peran laki-laki

lebih utama dan terpenting dari pada perempuan. Perempuan dimasukan sebagai bagian

dari kelas budak. Dari sanalah kemudian Reuther menunjukan bahwa agama monoteisme

telah menempatkan kehancuran pasangan God/Goddess sebagaimana yang diakui oleh

suku bangsa Kanaan. Baalisme telah dianggap sebagai penyembah berhala.6 Jelas sekali

hirarki patriarkhis yang berakar dalam Alkitab Kristen-Yahudi telah mempengaruhi

dokumentasi pemikiran Rasul Paulus sebagaimana yang dituangkan dalam 1 Kor

11:13,17: God- Male- Female. Male monotheism juga telah menjadi sumber pemilahan

realita ke dalam dualisme, yang superior terdiri dari spirit, mind sebab ‘logos’ lebih

6 Pengaruh monoteisme juga telah menjadi model bagi sejarah pengkristenan di seluruh dunia. Penaklukan yang dilakukan oleh penginjil-penginjil agama kristen dari negara-negara Barat, juga telah melakukan peminggiran bahkan penghancuran terhadap kultur sebagai bagian dari religi lokal di bagian-bagian dunia yang ditaklukannya. Apa yang telah dilakukan oleh seluruh konsekuensi dari monoteisme telah terprogram sedemikian kuatnya bagi struktur kehidupan dunia sekarang ini.

7

Page 8: Teologi Feminist Reuther

dahulu ada daripada ‘cosmos’. Dari sana subordinasi sex kemudian dapat dimengerti

dengan menempatkan posisi martabat perempuan kurang begitu penting dibandingkan

dengan martabat laki-laki.

“Thus the hierarchy of God-Male-Female does not merely make women

secondary in relation to God, it also give her a negative identity in relation to the

divine. Whereas the male is seen essentially as the image of the male transcendent

ego or God, women is seen as the image of the lower, material nature.” ( p. 54)

Pengertian ini disejajarkan juga dengan pengertian yang biasanya dipahami di

kalangan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana yang diuraikan oleh Gerrit E.G.

Singgih bahwa, ‘Adam’ (laki-laki) lebih utama dan terpenting daripada ‘Eva’ sebab

Adam lebih dahulu diciptakan. Darisana gereja-gereja lokal di Indonesia banyak yang

menganggap remeh bahkan menolak kepemimpinan perempuan dalam gereja.7

b. Pencarian Imaginasi feminism dari dalam Konsep Monoteisme.

Reuther memperlihatkan bagaimana upaya untuk menggeser penghayatan agama local

(Baalism) suku bangsa Kanaan, pada akhirnya tidak sepenuhnya berhasil. Yahweh

dihayati sebagai sumber kesuburan tanah dan dilihat dalam relasinya dengan ‘my

Husband” disamping “my Baal” (Hos. 2:2-3, 7-8, 14-15). Dengan kata lain the Goddess

tidak tereliminasi dari pemikiran komunitas bangsa Israel bahkan keduanya dipahami

sebagai yang memiliki relasi yang baru.

Demikian juga dengan yang terjadi dikalangan kekeristenan. Meskipun

mengadopsi konsep “logos” yang dibangun berdasarkan imaginasi laki-laki. Reuther

menghubungkan figure the Holy Spirit yang diambil dari tradisi Hebraic dari Sophia dan

Hokmah (spirit) yang digambarkan sebagai female. Pembuktian Kitab Suci sebagaimana

yang dihubungkan dengan kitap-kitap apokrif (Gospel of the Hebrews, Acts of Thomas,

Gospel of Phillips) serta tulisan-tulisan Orthodoks, seperti Clement dari Alexandria dan

the Syrac father Aphraates menggunakan imaginasi perempuan untuk menjelaskan

Sophia. Dalam tradisi kekeristenan mula-mula tradisi peminggiran imaginasi perempuan

7 Warisan pengaruh penaklukan kebudayaan lokal oleh kekeristenan yang kemudian mempengaruhi struktur dari kehidupan komunitas gereja yang menjadi bagian dari sistem kehidupan yang memepngaruhi aturan-aturan dan dogma gereja yang sexis. Misalnya, di beberapa gereja lokal, seperti Gereja Toraja sampai tahun 1996, barulah dapat menerima penahbisan perempuan. Ny. Damaris Anggui adalah pendeta wanita pertama yang di urapi oleh gereja Toraja..

8

Page 9: Teologi Feminist Reuther

dilakukan oleh oleh Kekeristenan Greco-Roman. Meski demikian perkembangan

theology Kristen kemudian mengembangkan imaginasi perempuan secara khusus oleh

penulis-penulis mistis (p.60) terutama dengan melanjutkan penulis-penulis text Gnostis

yang melihat Allah, sebagai Father-Mother dan Anak. (Trinitas).

Apa yang hendak dilakukan oleh feminisme adalah suatu pencarian pemecahan

persoalan atas dasar asumsi-asumsi bahwa simbol-simbol kekuasaan ilahi tetap

membekas dan karena itu feminisme mencari suatu bahasa yang melampaui dari sekedar

‘feminine side’ of God (p.61). Pencarian itu dilakukan dengan menunjukan kelemahan-

kelemahan tema-tema teologi dan konsep-konsep feminisme sosial yang yang masih

terjebak dalam penanggungan dan pembenaran pihak pemikiran, harapan dan kenyataan

yang dilihat dari perspektif sepihak saja. Ekslusivisme sebagai bagian dari warisan kultur

berpikir patriarki ditentang secara konsisten dalam uraian-uraian pemikiran Reuther.

Konsep-konsep teologi feminisme

c. Imaginasi Feminsime tentang Allah

1. Istilah Mother- Father God, membuka imaginasi ibu dan ayah dalam

pengertian real dan bukan sekedar suatu bentuk abstrak (Parent). Istilah ini

menggambarkan Allah sebagai pencipta eksisten manusia. Namun istila ini memliki sisi

negative, yakni yang mendorong model relasi anak terhadap orang tua, kepada Allah.

Model relasi yang tidak memberikan kesempatan pertumbuhan terhadap kedewasaan,

yang ditandai dengan kemandirian dan tanggungjawab terhadap kehidupan sendiri. Islitah

ini hanya menunjukan kontrol terhadap peran-peran sex dalam keluarga yang patriarchal

serta spiritualitas yang kekanak-kanakan (p. 69-70). Lebih jauh, Mary Gray menekankan

bahwa model pemahaman memasangkan Allah sebagai Ibu dan Bapa, merupakan suatu

tradisi yang dikembangkan dari sisi interpretasi androgin yang memandang perempuan

sebatas pelengkap dari laki-laki8. Jadi konsep kesatuan yang ‘neutral’ di dalam diri Allah

tidak juga merupakan konsep yang ditawarkan oleh feminism. Konsekuensi relasi bapa-

ibu dalam imaginasi laki-laki merupakan alasan utama penolakan terhadap gagasan ini.

2. Allah sebagai pembebas, yang didasarkan pada God of Exodus, kemudian telah

mengabaikan pasangan ilahi God/Godess sebagai sumber dan dasar keberadaan manusia.

Menurut Reuther, inilah sumber kekeliruan yang mengidentifikasikan basis penciptaan

8 Mary Grey, Introducing Feminist Images of God, (England: Sheffield Academic Press, 2002) p. 31.

9

Page 10: Teologi Feminist Reuther

dengan fondasi sistem sosial patriarkis, sebagai sumber kejahatan dan dosa (70).

Pembebasan yang mempertentangankan alam dan spirit, laki-laki dan perempuan serta

yang menghilangkan otonomi alam, sebagai fundasi keberaadaan manusia serta yang

membelenggu perempuan di luar kebebasan.

Feminisme mengambil istilah God of Exodus dengan mengisinya dalam keadaan

baru, yakni keadaan adanya manusia laki-laki dan perempuan yang tidak dipertentangkan

satu dengan yang lain seperti mempertentangkan alam dan spirit, transendensi. Hal ini

menyaratkan pengangkatan kembali sisi Godess dari keilahian yang telah dibuang dalam

bangunan teologi tradisional. Konsep Godess, sebagai dasar keberadaan manusia, yang

menjadi pusat untuk mengembalikan keharmonisan antara diri dan tubuh, diri dengan

orang lain, diri dan dunia, sebagai wujud eksistensi manusia (p.71) Menyematkan konsep

Godess pada konsep pengharapan terhadap Allah sebagai pembebas merupakan suatu

cara untuk menghapuskan pertentangan antara alam dan yang transenden, laki-laki dan

perempuan. Konsep ini akan mengembalikan rumah yang harmonis bagi keberadaan

perempuan sebagai subjek yang otonom terhadap dirinya sendiri. Konsep ini akan

memberikan relasi yang setara di antara dua jenis sex sertaantara manusia dan alam.

3. Theologi penciptaan: suatu kritik. Sumber devaluasi perempuan didasarkan

pada asumsi kebudayaan bahwa manusia menguasai alam, yang juga bergema dalam

Kitab Kejadian. Masusia yang dipahami dalam konsep kultural ini adalah laki-laki yang

menguasai alam. Dalam kebudayaan di dunia, alam selalu diidentikan dengan

perempuan. Misalnya di Jawa dikenal dengan istilah “ibu pertiwi”. Konsep ini kemudian

membentuk formasi psikologis dalam mengatur relasi serta peran dan fungsi sex. Reuther

memperlihatkan contoh praktis dalam upacara puberitas bagi laki-laki, sebagai yang

mempersiapkan sekaligus mengokohkan sosialisasi peran mereka dalam masyarakat.

Struktur dominasi sex, yang bersumber daripada kultur kekuasaan manusia (laki-laki)

terhadap alam, berdampak pada kehidupan praktis. (p72-74) Penentuan peran-peran

domestik sekaligus menjalankan peran produksi ekonomi serta peran reproduksi. Dengan

demikian, Reuther hendak mengatakan bahwa teologi penciptaan telah melanggengkan

potensi subodrdinasi dan ketidaksetaraan sex dalam komunitas manusia.

Revolusi ilmiah pada abad ke 17, di mana alam di kuasai oleh manusia sebagai

objek keilmuan yang didasarkan pengembangan intelektualitas laki-laki. Teknologi

10

Page 11: Teologi Feminist Reuther

keilmuan yang dikembangkan merupakan bagian dari upaya untuk mengeksploitasi alam.

Kesadaran manusia akibat evolusi liberalisme telah melahirkan kesadaran untuk

mengontrol semua bidang kehidupan manusia termasuk kontrol terhadap alam. Posisi

kerja perempuan dalam teknologi ekonomi industri telah menekan perempuan dan budak

pada yang tereksploitasi sebagaimana eksploitasi yang semakin tak terkontrol terhadap

alam. Perang idiologis antara kapitalisme dan romantisme apa awal abad 19 tidak dapat

membebaskan dari kungkungan paradigma penaklukan atas alam ciptaan ini. Ilmu

Pengetahuan dengan seluruh kemajuan dan kerusakan yang diakibatkannya telah

mengasingkan manusia dari spirit kesatuannya dengan alam.

4. Teologi ekologi feminisme. Reuther memikirkan kekuatan intelegensia yang

telah mengalami pencerahan terhadap bukan melihat alam sebagai sumber kehidupan,

dimana alam yang menyediakan kehidupan manusia dan diatas keinginan untuk

menghabiskan semua energi bumi tanpa bertanggungjawab. Hal yang paling mendasar

bagi Reuther, yakni transformasi kesadaran manusia terhadap alam sebagai dasar

kehidupan yang harus dipelihara bagi kelangsungan kehidupan pada generasi manusia

selanjutnya (human historical development). Manusia dalam pengertian tradisi kultural

harus dibaharui. Perubahan manusia dari tradisi hamusia kultur kepada perubahan

pemikiran yang mengakui “ nature’s logic of ecological harmony” (p.91-92). Diperlukan

suatu sintesis dimana manusia yang adalah percampuran antara yang alami dan nonalami,

alami dan yang transenden, menyatu di dalam diri manusia yang baru. Dari konsep inilah

penjelasan tentang perubahan dominasi manusia terhadap alam tidak mungkin dapat

dilakukan tanpa sekaligus harus melakukan pemulihan konsep manusia secara utuh.

Feminisme kemudian tidak sekedar membaharui teologi penciptaan tetapi menukarnya

dengan konsep teologi ekologi.

5. Teologi tentang Manusia. Kritik utama terhadap konsep kekeristenanan tentang

manusia yang dilihat secara dualisme, mempertentangkan antara esensi dan kenyataan

manusia yang s sesungguhnya. Secara historis, imago dei telah dibawah masuk kedalam

jurang kesalanan dan dosa oleh male’s imagination. Secara authentik imago dei berarti

kesatuan manusia dengan Allah, bahwa keadaan manusia merupakan suatu kenyataan

yang mengekspresikan kehadiran Allah. Feminisme berupaya mengembalikan konsep

manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kristus sebagai imago dei, mengembalikan

11

Page 12: Teologi Feminist Reuther

keadaan manusia yang telah jatuh itu.9 Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama

gambar dan rupa Allah, sebagaimana kristus adalah “imago dei’.(p.99) Kesetaraan laki-

laki dan perempuan kemudian mengisi kehidupan gereja, dimana partisipasi perempuan

dalam gereja berarti perempuan diundang untuk hidup didalam, mengadopsi model-

model kehidupan yang mengampuni dan masuk ke dalam komunitas untuk

mempersiapakan kehidupan di dalam bentuk Kerajaan Sorga. Spiritualitas perempuan

yang mengampuni akan menjadi sumber kekuatan dan spirit untuk mempersiapkan jalan

bagi kenyataan kehidupan sorgawi yang terjelma dalam dunia: “datanglah kerajaanMu,

jadilah kehendakMu di bumi seperti di dalam sorga.”

6. Khristologi. Berangkat dari pembuktian konsep kristologi dari sisi pandang

laki-laki , Reuther memasukan sisi pandang perempuan terhadap Kristus, yang ‘bukan

laki-laki atau perempuan”. Penyempurnaan konsep ini berhubungan dengan pemahaman

terhadap pengampunan. Titik masuk menjelaskan kristologi, bukan berdasarkan sejumlah

doktrin tetapi berdaarkan berita dan praktek Yesus dari Kitab Injil. Yesus dipandang

sebagai yang membaharui visi kenabian yang berbicara atas kepentingan orang-orang

tersingkir dan termarginalkan dalam masyarakat (p.135) Yesus memandang dirinya

bukan sebagai Raja tetapi sebagai hamba, yang memanggil suatu relasi baru antara

manusia dengan Allah. Relasi baru inilah yang membawa manusia dalam persaudaraan

yang dinyatakan dalam realitas sosial, simana manusia baru saling melayani dan

memberdayakan. Yang paling penting bagi Reuther bahwa pembaharuan visi kenabian

Yahwist dan nabi-nabi Yahudi, berarti memberitahukan pemulihan manusia, dimana laki-

laki dan perempuan mengalami kemanusiaan yang penuh. Pemulihan bukan hanya

dilakukan kepada salah satu daripada perempuan atau laki-laki saja tetapi dianugrahkan

kepada keduanya, laki-laki dan perempuan.

7. Eklesiologi sebagai komunitas yang diampuni. Feminsme mengembangkan

ekslesiologi yang didasarkan pada interpretasi yang mengabaikan pandangan theology

sexism yang dibangun di atas kitab Hosea. Kecenderungan mengaitkan Gereja sebagai

“Mother of Christians” yang bersumber dari tradisi Israel sebagai ‘God’s wife’. Relasi

kecintaan Allah terhadap gereja secara mistik yang disimbolkan dari nyanyian Kidung

9 Feminist lainnya seperti Letty M. Russel, juga menekankan ‘The Truly Human” sebagaimana gambaran Allah di dalam Kristus. Letty M. Russel, Human Liberation In Feminist Perspective – A Theology, (Philadelphia: The Westminster Press, 1974).

12

Page 13: Teologi Feminist Reuther

Agung berdasarkan pemikiran pernikahan dalam keluarga patriarkhi (p. 141). Gema

relasi hirakhis yang dikumandangkan oleh Rasul Paulus (Epesus 5) juga membangun

relasi paternalistis dimana suami menjadi symbol Kristus. Baba-bapa gereja kemudian

mempertajam konsep relasi Kristus dan Gereja yang sexis dengan menekankan silibate,

sebagai symbol virginitas ‘pengantin perempuan’. Transformasi otoritas gereja yang

patriarkis dengan tidak memberikan tempat yang leluasa bagi keterlibatan perempuan

merupakan ketidakmampuan gereja keluar dari struktur yang menindas dan yang tidak

membebaskan manusia yang terperangkap di dalam sistem yang menindas. Konsep

Mariologi yang diambil oleh gereja, sesungguhnya hanya merefleksikan “ideology of the

patriarchal feminine.”

Interpretasi feminis terhadap nyanyian Maria (Injil Lukas 1:46-55) jelas-jelas

merupakan suatu nyanyian kegembiraan perempuan yang mengalami pembebasan dari

sistem kehidupan yang memarginalkan dan yang menindas sebagaimana yang terjadi

dalam pengalaman-pengalaman kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta kebudayaan.

Pengampunan komunitas yang menjelaskan suatu relasi yang baru didalam kehidupan

manusia. Kristus memualiakan semua manusia secara sama. Suatu bentuk pembaharuan

dan pembebasan dari sistem kehidupan yang menindas dalam kungkungan patriarkhi.

Partisipasi perempuan terbuka dalam tubuh gereja. Pembaharuan ini sekaligus

menjelaskan suatu bentuk pelayanan gereja yang membaharui dirinya dan dunia

disekitarnya, terbebas dari suatu dunia yang mengeksploitasi sex dan alam

lingkungannya. Gereja sebagai masyarakat mesianis yang bukan melawan sesame ciptaan

tetapi melawan struktur yang dominant (p. 195). Inilah pengertian bahwa pembaharuan

oleh Roh Kudus yang dicurahkan baik kepada laki-laki dan perempuan.

8. Visi Masyarakat Feminism. Feminisme tidak membatasi penjelasan dengan ide-

ide yang utopis tetapi memaknai perkembangan kehidupan ekonomi sosial sebagai bagian

dari visi pembaharuan ‘langit dan bumi yang baru’. Penggeseran perempuan dari wilayah

pemilikan ekonomi merupakan bagian yang termasuk dari gagasan equalitas sex. Dalam

perspektif manusia baru di dalam pembaharuan yang dilakukan oleh Kristus, Kerajaan

Surga direalisasikan pun dalam bidang kehidupan ekonomi.10 Komunitas eskatologis, 10 Kesamaan hak-hak politik, di mana perempuan dilihat sebagai warga negara yang mendapatkan hak-hak yang setara sama dengan warga negara lainnya juga menjadi bagian dari perjuangan perempuan dalam wilayah politik. Demikian yang dilakukan antara lain oleh Nickie, “Feminism, Social Movement and Polical Order” dalam Charles Malcolm J. Todd and Garry Taylor (ed), Democracy and Participation:

13

Page 14: Teologi Feminist Reuther

yang menekankan masyarakat yang egaliter, adil dan damai, menyentuh perubahan

kehidupan sosial ekonomi.

Beragam aliran feminism modern yang menekankan gagasan-gagasan masa depan

bagi dunia berdasarkan penekanan-penekanan tertentu. Reuther menyebutkan Feminisme

Liberal yang menekankan Hak-hak Asasi Manusia dan Feminsime Radikal yang

menekankan otonomi dan hak-hak khusus perempuan terhadap tubuh mereka sendiri.11

Namun bagi Reuther yang paling penting yakni bagaimana membuat ekonomi sosial

liberalisme itu sebagai bagian intrinsik dari pengertian pembaharun spiritualitas. (p. 214)

Tak mungkin akan dapat melakukan perubahan jikalau tidak dimulai dari pembaharuan

spiritualitas kehidupan. Demikian Reuther menekankan: “Such Christians would claim

redemption is a purely spiritual matter and has nothing to do with socioeconomic

change”. (p.215). Perubahan tak mungkin dapat dilakukan hanya berdasarkan perubahan

individu kecuali dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kolektivitas. Dengan

demikian perubahan sosial adalah hal yang paling diutamakan sehingga pembaharuan

sistem structural yang hirarkhis dan dualism itu akan menjadi target bagi pembaharuan

dalam masyarakat.

9. Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh feminism.

Visi kesetaraan perempuan yang berdasarkan imaginasi Allah telah

diinterpretasikan oleh Reuter berdasarkan kekeristenan di dalam Perjanjian Baru.

Persoalan yang dikembangkan oleh Reuther, yakni bagaimana spiritualitas penyelamatan

bukan hanya persoalan individu tetapi mempunyai dampak pada kehidupan komunitas

yang memihak pada kehidupan yang menciptakan keadilan bagi semua mahluk (p.215).

Dari sini Reuther membedakan perjuangan feminism bagi masa depan dunia, bukan

sebatas yang dikembangkan oleh teologi liberalisme yang mengharapkan masyarakat

yang demokratis dalam konsep sosialisme (p. 215), yang justru tidak disentuh oleh

kenyataan akan anugerah keselamatan dalam wilayah ekonomi sosial. Demikian juga

Popular Protest and New Social Movement, (London: The Merlin Press, 2004) pp 248-267. Seyla Benhabib and Drucilla Cornell (ed.), Feminism as Critique On the Politics of Gender, Minneapolis: University of Menneapolis Press, 1987.11 Rosemarie Putnam Tong, membagi aliran-aliran pemikiran feminisme yang terdiri dari: Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxist dan Sosialis, Feminisme Psikoanalis dan Gender, Feminisme Existensialis, Feminisme Psmodern, Feminisme Kultural dan Global serta Ekofeminisme. Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, (terj.) (Bandung: Jalasutra: 2005)

14

Page 15: Teologi Feminist Reuther

dengan perjuangan yang diarahkan oleh Feminisme Radikal, hanya sebatas pada

kepentingan separatis (p. 232), yakni perempuan dan bukan kepentingan baik laki-laki

maupun perem[puans ebagai suatu komunitas manusia.

Dari sana nilai-nilai yang dikembangkan oleh feminisme:

1. nilai partisipasi demokratis, yang dikembangkan dari nilai

kesetaraan bahwa semua individu adalah warga yang setara serta

dilihat sebagai dasar yang sama untuk masuk dan menikmati

pendidikan dan kesempatan berkarya dalam masyarakat. Inilah nilai

dasar yang akan membaharui management jaringan relasi ekonomi

dan politik.

2. Kesempatan mengembangkan pendidikan dan pekerjaan yang

mengintegrasikan persoalan-persoalan pekerjaan dalam rumah

tangga serta mengambil keputusan dalam masyarakat luas terhadap

laki-laki dan perempuan.

3. Mengembangkan masyarakat ekologis yang melihat intergrasi alam

raya sebagai patner kehidupan seluruh mahluk.

10. Cara membangun masyarakat baru itu. Ada dua hal yang dikembangkan oleh

Reuther (p. 233):

1. Komunitas alternative: suatu komunitas kecil yang sudah memmiliki

kesadaran dan nilai-nilai yang terintegrasi di dalam sistem kehidupan

mereka bersama. Bahwa semua nilai-nilai dari beragam visi aliran-

aliran yang eklusif disatukan dalam bentuk cairan yang dapat menyerap

dan menjadi sistem yang menghidupkan kesatuan yang harmoni dari

komunitas alternative itu

2. Metode yang digunakan sangat beragam. Misalnya chil-care unit yang

mengembangkan institusi pendidikan, sistem energi alternative bagi

suatu pembangunan, dan beragam bidang garapan yang dikembangkan

untuk mencairkan nilai-nilai dapat diaplikasikan bagi suatu sistem

masyarakat baru, yang bukan sistem amsyarakat seksis tetapi sistem

masyarakat manusia utuh.

15

Page 16: Teologi Feminist Reuther

Partisipasi manusia untuk melakukan karya Allah bagi pembaharuan dalam dunia

merupakan tugas bersama, laki-laki dan perempuan, sebagai manusia baru bagi

pemulihan keutuhan kehidupan manuia dengan manusia serta manusia dengan alam

lingkungannya.

Literatur

Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat

Hermenutika , (terj.) Yogyakarta:Pustaka Pelajar:2004

Letty M. Russel, Human Liberation In Feminist Perspective – A Theology,

Philadelphia: The Westminster Press, 1974

Mary Grey, Introducing Feminist Images of God, England: Sheffield Academic

Press, 2002..

Nawal El Shadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, (terj.) Jogyakarta:

Pustaka Plajar, 2001.

Nickie, “Feminism, Social Movement and Polical Order” dalam Charles Malcolm

J. Todd and Garry Taylor (ed), Democracy and Participation: Popular Protest and New

Social Movement, London: The Merlin Press, 2004, pp 248-267

Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, (terj.) Jakarta: Kanisius, 2005

Peter L. Berger, Brigitte Berger & Hansfried Kellner, Pikiran Kembara:

Modernisasi dan Kesadaran Manusia, (terj.), Jakarta: Kanisius, 1992.

Rosemarie Putnam Tong, Feminisme Thought: Pengantar Paling Komprehensif

kepada Arus Utama Pemikiran Feminisme, (terj.)(Bandung: Jalasutra: 2005.

Seyla Benhabib and Drucilla Cornell (ed.), Feminism as Critique On the Politics of

Gender, Minneapolis: University of Menneapolis Press, 1987.

16