FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA...
Transcript of FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA...
1
Peran Pastoral Gereja Masehi Injili Di Timor(GMIT) Getsemani Asam Tiga Terhadap
Pengungsi Timor Leste Yang Mengalami Trauma Pasca Referendum 1999
OLEH
ARIF MENDEL DJARA
712011038
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
2
PERAN PASTORAL GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT) GETSEMANI
ASAM TIGATERHADAP PENGUNGSI TIMOR LESTE YANG MENGALAMI
TRAUMA PASCA REFERENDUM 1999
712011038 - ARIF MENDEL DJARA
Abstrak
Tulisan ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa peranan pastoral
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga terhadap pengungsi Timor Leste
yang mengalami trauma pasca referendum 1999. GMIT Getsemani Asam Tiga merupakan salah
satu jemaat yang memiliki kuantitas warga “pengungsi” dari Timor Leste yang cukup tinggi.
Para “pengungsi” dari Timor Leste pasca referendum mengalami gangguan psikologis dan
trauma karena mengalami depresi penolakan, rasa bersalah, dan kegelisahan. Dalam upaya
mencapai tujuan penulisan ini maka metode penelitian yang dipakai ialah metode deskriptif
kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi langsung. Informan
sebagai sumber data dalam penelitian ini yaitu GMIT Asam Tiga yang terdiri dari pelayan
maupun para jemaat yang notabene adalah “pengungsi” dari Timor Leste dan beberapa orang
yang tinggal di pos-pos pengungsi di Naibonat Kupang Nusa Tenggara Timur. Keadaan yang
dialami para “pengungsi” pasca konflik di Timor Leste menjadi salah satu hal yang perlu
diperhatikan oleh berbagai pihak, salah satunya oleh gereja sebagai lembaga keagamaan. Jemaat
GMIT Getsemani Asam Tiga melihat adanya suatu kebutuhan yang perlu dilakukan bagi jemaat
“pengungsi” yaitu melalui perkunjungan pastoral. Peran pastoral dapat menolong para
“pengungsi” yang secara psikis mengalami traumatik bahkan melalui berbagai pelayanan seperti
memberikan sembako (diakonia), serta menunjukan rasa penerimaan terhadap orang-orang
Timor Leste.
Kata Kunci: Peran Pastoral Gereja, Trauma, Timor Leste
3
PERAN PASTORAL GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT)
GETSEMANI ASAM TIGATERHADAP PENGUNGSI TIMOR LESTE
YANG MENGALAMI TRAUMA PASCA REFERENDUM 1999
I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Konflik merupakan pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan, sehingga
konflik didefinisikan sebagai keadaan-keadaan baik emosional maupun subtansi yang
dapat dihasilkan oleh adanya berbagai perbedaan antara pihak-pihak yang karena alasan
apapun berada dalam hubungan yang tegang satu dengan yang lainnya.1 Ralf Dahrendorf
berpendapat bahwa semua perubahan merupakan hasil dari konflik kelas di masyarakat.2
Menurut pandangannya, prinsip dasar teori konflik sosial dan perubahan sosial, selalu
melekat dalam struktur masyarakat. Menurut teori ini, konflik berasal dari pertentangan
kelas masyarakat antara kelompok tertindas dengan kelompok penguasa, sehingga akan
mengarah pada perubahan sosial.
Konflik kelas sosial memberikan dampak perubahan sosial terhadap sisi psikologi
pihak yang menjadi korban, seperti melakukan tindakan kriminal yaitu membunuh
seseorang yang dicurigai, mencuri serta menjarah bahkan membunuh diri dengan cara
membakar diri sendiri dan mengalami gangguan stress pasca trauma atau yang dikenal
Pasca-traumatic stress disorder (PTSD) yang adalah gangguan kecemasan yang
didiagnosis ketika seseorang mengalami, menyaksikan atau berhadapan dengan suatu
peristiwa atau peristiwa yang melibatkan kematian aktual atau terancam atau serius
cedera, atau ancaman bagi integritas fisik diri atau lainnya dan respon orang terlibat
1 J.D. Engel, M.Si, Gereja dan Masalah Sosial,(Salatiga:Tisara Grafika,2007).105
2 Ralf Dahrendrof, Class Conflict In Industrial Society,(California:Stanford University Press,1959).8
4
ketakutan, ketidakberdayaan atau horor.3 Sehingga di dalam konseling pastoral tetap
menggunakan konsep-konsep psikologi konseling atau psikoterapi pada umumnya,
seperti hubungan pertolongan (helping rela-tionship) atau relasi terapeutik. Sepanjang
sejarahnya, konseling pastoral terinspirasi secara variatif oleh berbagai pendekatan
teoretis maupun praktis dalam psikologi, seperti (1) Psikoanalisis Sigmund Freud (yang
menekankan ketidaksadaran; yang menurut sejumlah ahli dapat sejalan dengan
konsepteologis imoralitas), (2) Psikoanalisis Carl Gustav Jung (yang menekankan
pentingnya kenyataan spiritual dalam kepribadian), (3) Psikoterapi interper-sonal (yang
berfokus pada dinamika pengalaman dan kualitas relasi,kelekatan dan kehilangan,
komunikasi dan konflik), (4) Psikologi kognitif (yang menekankan fungsi dan asumsi-
asumsi kognitif).4 Dilihat adanya keterikatan antara konflik, psikologi, dan pastoral oleh
sebab itu menurut, Howard C. Pastoral dapat dan sepantasnya terjadi dalam semua fungsi
pelayanan, termasuk di dalamnya gangguan emosional.5
Orang-orang yang mengalami gangguan emosional sebagai hasil dari berbagai
persoalan di dalam rumah tangga yang terpengaruh dalam tubuh, pikiran, jiwa dan
kehidupan sosial mereka juga terganggu. Mereka membutuhkan dukungan dan
penyembuhan karena psikologis yang kompleks dari gangguan emosional yang sering
ada di dalam diri mereka. Sigmund Freud mengatakan,telah menjadi sebuah anggapan
umum bahwa orang-orang yang menderita dari kemalangan psikologis dapat dibantu
dengan berbicara tentang hal tersebut. Jika akar penyebab dapat disingkapkan dan diakui,
hal tersebut dapat menangani korban dari emosi dan dampak dari masalah-masalah yang
dihadapi termasuk masalah trauma.6
Menurut Harvey, “trauma is a specific term referring to extreme psychological
and psychological reactions to major losses, such as the death of close other”, yang
3 Bilal,Muhammad Sami, Rana Mowadat Hussain, Ullah Khan,Cool Safi,Qayyum Rashid, Eficacy of Eye movement
Desensitization and Reprocessing Beyond Complex Post Traumatic Strees Disorder: A Case Study of EMDR in Pakistan, Professional Medical Journal, 2015, Vol 22 Issue 4,p514-521.8p. 4 Nasib Sembiring dan Yosef Dedy Pradipto, Psikologi Konseling Pastoral,(Yogyakarta: Kanisius,2013), halaman
pengantar editor ahli - V 5 Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), halaman
32 6 Davies, Petronella J.; Dreyer, Yolanda, A pastoral psychological approach to domestic violence
in South Africa, Hervormde Teologiese Studies. 2014, Vol. 70 Issue 3, p1-8. 8p.
5
berarti bahwa “trauma adalah salah satu konsep yang spesifik yang mengarah kepada
suatu kondisi psikologis yang berujung kepada suatu kehilangan kesadaran yang di
akibatkan oleh kematian dan hal-hal lain sebagainya.” 7 Perasaan yang ditimbulkan oleh
pengalaman traumatik tersebut dapat mengakibatkan reaksi yang cukup ekstrim baik pada
fisik maupun psikis seseorang. Ini merupakan tanda bahwa trauma adalah sebuah
kejadian yang tidak biasa yang mungkin bisa terjadi akibat peristiwa kehilangan yang
mendalam, seperti kematian dari keluarga, pasangan atau orang-orang yang mempunyai
hubungan cukup erat dengannya. Saat seseorang mengalami peristiwa yang menyebabkan
trauma, ia akan mengalami berbagai dampak dari pengalaman traumatic tersebut.
Dampaknya seperti perasaan tergoncang, kekacauan dalam hidup, merasa adanya
penolakan, depresi, rasa bersalah, kegelisahan hingga perasaan diserang.
Merupakan hal yang sering terjadi apabila seseorang yang mengalami atau
menyaksikan kejadian mengerikan seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang,
atau kematian seseorang yang dicintai akan mengalami trauma, seperti yang terjadi dan
dialami oleh para pengungsi Timor Leste yang berada di Nusa Tenggara Timur, beberapa
mungkin sudah mengalami kesembuhan dan kembali beraktivitas normal, namun masih
ada dan masih banyak yang mengalami trauma berkelanjutan sehingga mengembangkan
gangguan stress pasca trauma.
Pasca referendum Timor Leste pada tahun 1999, yang mengakibatkan lepasnya
Timor Leste dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan masalah baru yaitu
pengungsi merupakan salah satu masalah yang timbul pasca jajak pendapat 1999. Mereka
adalah para pengungsi yang mengalami gangguan psikologis dan trauma karena
mengalami depresi penolakan, rasa bersalah, dan kegelisahan. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya arus pengungsi Timor Leste yang ke Provensi Nusa Tenggara
Timur pada tahun 1999, sekitar 250.000 orang, sebagian besar dari mereka tinggal di pos
–pos pengungsian yang tersebar di Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah
Selatan dan Kupang, laporan lain mengatakan bahwa para pengungsi kembali ke Timor
Leste dari waktu ke waktu dan berdasarkan pada informasi tahun 2001, terdapat 120.000
pengungsi Timor Leste di NTT. Dari kabupaten Timor Tengah Utara mereka diberitahu
7 John H. Harvey, Perspectives on loss and trauma assaults on the self, (California: Sage Publication, 2002), halaman
23
6
bahwa karena intimidasi tanpa henti, beberapa para pengungsi kembali ke Timor Leste
tanpa memberitahu koordinator perkemahan mereka.8
Di sisi lain, warga Timor Leste prointegrasi pun dengan sadar diungsikan karena
mereka telah memilih berintegrasi dengan Indonesia. Bagi mereka, integrasi adalah jalan
terbaik untuk membangun kehidupan dan masa depan. Mereka ingin tetap bernaung
dalam satu rumah dengan kerabat dan warga sebangsa serta budaya di Timor Barat,
meski harus siap dibenci dan terusir dari kampung halamannya. Bertahan di Timor Leste
dengan kebencian yang membara dari kelompok prokemerdekaan dan kelak dibebani
dendam masa lalu merupakan pilihan yang amat sulit.9 Warga di Nusa Tenggara Timur
di sekitar pos-pos pengungsian harus harus ikhlas berbagi makanan setiap hari,
menyisihkan air untuk mandi, membiarkan ladang dan halaman rumahnya untuk digarap
atau sekedar di jadikan tempat berteduh para pengungsi. Beban sosial dan tekanan
psikologis-emosional pun tidak terbayangkan, di saat ribuan pengungsi itu dilanda
kesedihan dan bahkan stres/depresi akibat tercabut dari keluarga, rumah, harta milik, dan
lingkungan sosial-budayanya.10
Dampak negatif lainnya sebagai dampak kehadiran para pengungsi di kawasan
pengungsian di Nusa Tenggara Timur terlihat dari beberapa aksi premanisme di
perbatasan Atambua. Ketika dendam dan amarah masih melekat dalam hati dan
kebutuhan begitu menghimpit hidup mereka dalam kondisi serba kekurangan, tindakan
kejahatan seperti itu dapat dengan mudah tersulut.11
Pada 6 September 2000, Kantor
Perwakilan UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) di Atambua di
serang sejumlah warga. Diliputi kemarahan luar biasa,mereka mengobrak-abrik kantor
UNHCR,tiga petugas UNHCR, semuanya warga negara asing yang berada di dalam
kantor itu dipukuli hingga tewas. Sebuah mobil milik UNHCR pun ikut hangus dibakar.
Selain itu, seorang petugas asal Brasil juga dipukul hingga terluka parah.12
Oleh karena
hal tersebut mengakibatkan semua LSM international dan PBB termasuk UNHCR harus
8 Eaast Timor and Indonesia Action Network (ETAN: 2002), di akses dari www.etan.org, pada tanggal 10 November
2014 9 Kiki Syahnakri, Timor Timur The Untold Story,(Jakarta:Buku Kompas, 2013), halaman 270
10 Kiki Syahnakri, 2013, halaman 272
11 Kiki Syahnakri, 2013, halaman 282
12 Kiki Syahnakri, 2013, halaman 295
7
menarik diri dari kabupaten Belu dan menghentikan bantuan mereka terhadap para
pengungsi, dan sejak peristiwa tersebut kehidupan para pengungsi semakin sulit.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengangkat judul Tugas Akhir “Peran
Pastoral Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga Terhadap
Pengungsi Timor Leste Yang Mengalami Trauma Pasca Referendum 1999”.
1.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah di uraikan di dalam latar belakang masalah, rumusan
permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
bagaimana peran pastoral Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam
Tiga terhadap pengungsi Timor Leste yang mengalami trauma pasca referendum
1999?
1.2. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :
Mendeskripsikan dan menganalisa peranan pastoral Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) Getsemani Asam Tiga terhadap pengungsi Timor Leste yang mengalam
trauma pasca referendum 1999.
1.3. Manfaat Penelitian
Tugas Gereja yang memperkenalkan Allah kepada manusia. Gereja memanggil
manusia untuk kembali mengenal dirinya, merasa memiliki dirinya, menghormati dirinya
dan memberikan dirinya untuk pelayanan manusia.13
Manfaat secara teoritis ialah peran
pastoral merupakan tindakan pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat kepada
anggota kelompoknya yang sedang mengalami masalah di dalam rumah tangga dan
lingkungan sosisal, mengalami trauma pasca konflik yang berkepanjangan,dan berduka
karena kematian. Pemakaian kata “pastoral” dimaksudkan untuk menjelaskan sifat dan
tujuan tindakan masyarakat ketika terjadi kedukaan di dalam kelompoknya dengan
13
Eben Nuban Timo, Anak Matahari Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, (Maumere:Ledalero,2004) halaman 79
8
melaksanakan pendampingan. Manfaat secara praksis ialah penulisan ini diharapkan
dapat memberikan masukan bagi gereja di dalam pelayanan pastoral agar gereja mampu
memberikan pelayanan pastoral yang tidak terbatas kepada jemaat gereja; tetapi juga
kepada setiap lapisan masyarakat yang mengalami bencana alam, konflik yang
berkepanjangan khususnya pengungsi Timor Leste yang mengalami depresi dan trauma
pasca referendum 1999.
1.4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang di gunakan adalah metode deskriptif dan jenis penelitian
kualitatif. Metode penelitian deskriptif berarti menggambarkan atau melukiskan sesuatu
hal. Menggambarkan atau melukiskan dalam hal ini dapat di dukung dengan memberikan
foto-foto yang di dapati di lapangan atau menjelaskan hasil penelitian dengan gambar-
gambar dan dapat pula menjelaskan dengan kata-kata. Dapat juga di artikan responden
menjadi objek dan subjek penelitian dan kegiatan, kejadian yang di teliti serta konteks
tempat penelitian dilaporkan dengan cara deskriptif.14
Jenis penelitian kualitatif adalah
penelitian yang lebih mengutamakan penghayatan serta berusaha memahami dan
menafsirkan makna dari suatu peristiwa interaksi dan tingkah laku manusia dalam situasi
tertentu menurut perspektif peneliti sendiri sehingga hal ini mengharuskan peneliti terjun
sendiri ke lapangan secara aktif.15
Wawancara berarti teknik perolehan informasi melalui
tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.16
Wawancara dilakukan dengan pelayan dan majelis jemaat di Gereja Masehi Injili
di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga, Klasis Kupang Timur dengan para pengungsi
Timor Leste di daerah-daerah pengungsian. Lokasi yang dipilih adalah daerah-daerah
yang menjadi pos-pos pengungsian di wilayah Timor Barat seperti Naibonat, karena
daerah ini yang memiliki jumlah pengungsi yang tergolong tinggi dan masih tinggal di
dalam depresi, kemiskinan dan ketelantaran. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
penelitian ini adalah selama 2 minggu.
14
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,(Jakarta: Bumi Aksara,2008). Halaman 129 15
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2008, halaman 78. 16
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbra, 2008, halaman 53.
9
1.5. Sistematika Penulisan
Berkaitan dengan penulisan ini, maka akan dibagi dalam beberapa bagian yaitu
pertama, penulis akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Kedua,
penulis akan menguraikan tentang teori Trauma Healing dan Teori Pastoral. Ketiga,
penulis memberikan gambaran umum tentang GMIT Getsemani Asam Tiga, hasil data
lapangan dan penelitian di jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga. Menganalisa tentang
peran Konseling Pastoral dalam kehidupan para pengungsi Timor Leste di Nusa
Tenggara Timur berdasarkan teori trauma healing dan teori pastoral, Keempat penulis
akan memberikan kesimpulan dan saran.
II. TRAUMA DAN PERAN PASTORAL GEREJA
Untuk mendukung penulisan tugas akhir ini, maka perlu dikemukakan teori yang
berkaitan dengan permasalahan dan ruang lingkup pembahasan sebagai landasan dalam
pembuatan tugas akhir ini yaitu teori Trauma Healing dan Peran Konseling Pastoral. Oleh
sebab itu penulis akan memulai dengan pengertian Trauma Healing manfaat Trauma
Healing dan selanjutnya mengenai Teori Konseling Pastoral.
Judith Herman mengatakan bahwa menyembuhkan trauma (trauma healing)
sebagai upaya untuk menggerakan tiga hal yaitu, dari perasaan bahaya pada perasaan
nyaman dan aman, dari perasaan menolak kondisi pada penerimaan kondisi, dan dari
perasaan terisolasi pada kemampuan membangun hubungan sosial.17
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa trauma healing adalah
usaha untuk kembali menyembuhkan seseorang dari trauma untuk kembali menerima
kondisi dan mampu bangkit kembali baik secara kejiwaan atau kehidupan sosial.
Selanjutnya, akan dijelaskan tentang pengertian trauma healing dan pastoral.
17
Judith Herman, Trauma and RecoveryI,(New York: Basic Books,1997) halaman 13
10
2.1 Pengertian Trauma Healing
Secara etimologi, Healing artinya menyembuhkan. Dalam konteks trauma healing
dapat diartikan sebagai usaha menyembuhkan seseorang dari trauma. Trauma healing
berhubungan erat dalam upaya mendamaikan. Hal ini berkaitan membangun atau
memperbaiki hubungan manusia dengan mengurangi perasaan kesepian, memperbaiki
kondisi kejiwaan, mengerti tentang arti kedamaian, mengurangi perasaan terisolasi,
kebencian, dan bahaya yang terjadi dalam hubungan antar pribadi.18
Trauma dalam istilah psikologis untuk menunjukkan kondisi yang shok dan
tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relatif lama pada korban. Beberapa kondisi
yang berpotensi menjadi peristiwa traumatis antara lain bencana, konflik, menjadi korban
kriminal, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan harta benda. Peristiwa traumatis
juga dapat terjadi pada saat bencana atau konflik perang saudara terjadi hingga bencana
atapun konflik yang telah berlalu, dalam kondisi terakhir ini yang disebut post traumatic
stress disorder (PTSD).19
Trauma healing adalah suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan trauma yang dialami. Di sisi lain, trauma healing adalah
suatu tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain yang sedang mengalami
gangguan psikologis yang diakibatkan shok atau trauma.20
Cara pandang seseorang yang mengalami trauma menjadi hal utama yang harus
dibangun. Seseorang harus mampu merubah cara pandang terhadap peristiwa yang
terjadi, dari cara pandang tersebut dapat menumbuhkan keyakinan, harapan untuk masa
depan. Selanjutnya adalah lingkungan sosial bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
dapat hidup sendiri. Dalam konteks trauma healing, lingkungan sosial menjadi salah satu
faktor dalam membantu seseorang dari trauma. Dukungan, dorongan sangat dibutuhkan
dan hal ini dapat terwujud ketika seseorang mampu membangun komunikasi sosial yang
pada akhirnya akan mehilangkan perasaan sepi, terasing, terisolasi dan sebagainya.
Proses pemulihan trauma tergantung pada faktor internal individu sendiri yang berupa
18
William Steele. Caelan Kuban, Winter 2014, Healing Trauma, Building Resilience : SITCAP in Action ,Volume 22 issue 4,p18-20,3p. 19
Amelia Van der Merwe,Leslie Swartz.2015, Living in two narratives: Psychis splitting in South African Surivors of Chronic Trauma, Soth African Journal of Psychology , Vol.45 Issue 3,p361-373.13p 20
Raymond M. Scurfield, Katherine T. Platoni, Healing war Trauma, (New York:Routledge,2013) halaman 289
11
persepsi, keyakinan dan faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar individu dapat berupa
dukungan, aktivitas, dan lain-lain.21
2.2 Manfaat Trauma Healing
Berbagai organisasi yang telah memberikan bantuan kepada korban konflik atau
bencana alam, seperti bantuan makanan, penampungan, baju dan bantuan-bantuan lain
yang terbilang penting. Selain itu, para korban juga membutuhkan bantuan kesehatan
mental karena trauma yang timbul dari konflik yang dialami. Trauma healing menjadi
cara atau metode yang digunakan bagi korban bencana alam, konflik berkepanjangan atau
mengalami trauma dan ketakutan yang berlebihan saat mendengar suara-suara; yang
menyerupai gaung, getaran, atau semacamnya. Trauma healing sendiri diutamakan
kepada anak-anak dan lansia, yang biasanya mengalami trauma paling kuat, baik stres
maupun depresi.22
Trauma healing dapat dilakukan secara teratur agar dapat membangun kembali
mental para korban. Terhadap anak-anak, misalnya program trauma healing dapat
dilakukan dengan membangun kelompok bermain yang diikutkan ke dalam kelas, atau
kegiatan-kegiatan bermain, belajar, membaca buku, kegiatan kesenian seperti tari-tarian,
musik, dan melukis, atau bahkan kegiatan beragama. Trauma healing yang diberikan
pada anak-anak bertujuan agar mereka mampu melupakan kejadian-kejadian yang terjadi
pada masa lalu, sehingga dapat membuat mereka lebih siap apabila konflik datang
kembali. Kegiatan-kegiatan trauma healing yang diberikan pada anak-anak berbeda pada
orang dewasa. Pada orang dewasa, program yang lebih tepat berupa konseling. Selain itu,
yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan kembali wilayah, atau penempatan
korban di wilayah baru. Dengan hal tersebut, ingatan tentang konflik di dalam benak dan
pikiran mereka bisa terhapus, dan kehidupan baru dapat dimulai.23
21
Joshua Pederson, Speak Trauma : Toward a Revised Understanding of Litercary Trauma Theory,Copyright 2014 by The Ohio State University, Narrative, Vol 22 issue 3, p333-353,21p. 22
William Steele. Caelan Kuban, Winter 2014, Healing Trauma, Building Resilience : SITCAP in Action ,Volume 22 issue 4,p18-20,3p. 23
Amra Delic;Mevludin Hasanovic;Esmina Avdibegovic;Alexsandar Dimitrijevic;Camellia Hancheva;Carmen Scher;Tatjana Stefanovic-Stanojevic;Annette Streeck-Fischer; Andreas Hamburger, Academic model of trauma healing in post-war societies,Acta Medica Academica may2014,Vol 43, issue 1, p 76-80.5p
12
2.3 Peran Pastoral Dalam Trauma Healing.
Seward Hiltner berpendapat bahwa pelayanan pastoral haruslah dipandang dari
perspektif penggembalaan yaitu penyembuhan, pemeliharaan dan pembimbingan.
Penyembuhan berarti membalut luka seperti cerita orang Samaria yang baik hati.
Pemeliharaan berarti menghibur, menguatkan atau bersehati dengan orang yang
menderita. Pembimbingan berarti membantu menemukan jalan.24
Fungsi peran pastoral
adalah menyembuhkan (Healing), mendukung (Sustaining), membimbing (Guiding),
memulihkan (Reconciling), dan memelihara atau mengasuh (Nurturing).25
Oleh sebab itu,
tujuan konseling pastoral adalah melaksanakan fungsi-fungsi dari pastoral, yang
diharapkan setiap korban yang mengalami trauma pasca konflik yang berkepanjangan
mendapatkan penyembuhan, pemulihan, pengasuhan,dukungan dan bimbingan.
Menyembuhkan (Healing), adalah fungsi pastoral yang ditujukan untuk
memperbaiki orang menuju keutuhan dan membimbingnya ke arah kemajuan melebihi
kondisi yang sebelumnya.26
Luka yang terjadi dalam hubungan terbuka antara seseorang
dengan orang lain, biasanya akan mendorong orang tersebut untuk menarik diri secara
fisik maupun menarik diri secara emosional. Penarikan diri secara fisik akan terjadi
ketika orang yang terluka pergi meninggalkan ruangan atau sengaja menghindar setiap
kali bertemu dengan pihak lain dengan siapa ia terlibat dalam konflik. Sedangkan
penarikan diri secara emosional terjadi ketika orang yang terluka masuk ke dalam relung
batinnya yang paling dalam untuk membuat penilaian tentang situasi konflik yang ia
hadapi.27
Proses penyembuhan juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun
hubungan yang sehat,tetapi yang memerlukan kemampuan untuk bersama-sama di dalam
proses pastoral mampu berpikir dan merasakan bersama-sama agar bisa masuk kedalam
proses penyembuhan dalam beberapa cara dan juga untuk dapat mengenali berbagai
emosi-emosi. Dengan kata lain, hubungan sehat memerlukan kemampuan untuk
24
Tjard G. Hommes dan E. Gerrit Singgih (editor), Teologi dan Praksis Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), halaman 139. 25
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta : Kanisius,2002), halaman 53-54 26
Howard Clinebell,2002, halaman 53 27
Lee Hayward Butler Jr,1997,African-American pastoral psychology in the twenty-first century will be more than sensual healing, Journal of Religious Thoght, vol 53/54 issue 2/1, p113.p8.1chart
13
memahami masalah dengan serangkaian emosi-emosi.28
Didalam Konseling Pastoral,
fungsi penyembuhan ini penting dalam arti bahwa melalui Konseling Pastoral yang berisi
kasih sayang, rela mendengarkan segala keluhan batin, dan kepedulian yang tinggi akan
membuat jemaat yang dipastoralkan yang sedang menderita mengalami rasa aman dan
kelegaan sebagai pintu masuk kearah penyembuhan yang sebenarnya. Fungsi ini dapat
diterapkan kepada pribadi atau jemaat yang mengalami dukacita dan luka batin akibat
kehilangan atau terbuang, biasanya berakibat kepada penyakit psikosomatis, suatu
penyakit secara langsung atau tidak langsung yang disebbakan oleh tekanan mental yang
paling berat.29
Mendukung (Sustaining) adalah fungsi pastoral yang ditujukan untuk menolong
orang yang sakit (terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi luka yang terjadi pada
waktu lampau. Hal ini berkaitan dengan perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya
tidak mungkin lagi disembuhkan. Dalam situasi yang demikian orang yang sakit (terluka)
tersebut dapat beroleh pengharapan.30 Peran pastoral mendukung dan dapat juga
dilakukan bila orang yang didampingi tidak mungkin kembali ke keadaan semula,
misalnya kematian orang yang dikasihi. Fungsi mendukung dipakai untuk membantu
orang yang didampingi menerima keadaan sekarang sebagaimana adanya, kematian
adalah tetap kematian, untuk dapat bertumbuh secara penuh dan utuh. Kehadiran
pendamping dalam dukacita merupakan dukungan kepada mereka untuk dapat bertahan
dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya.
Peran pastoral mendukung juga adalah fungsi yang paling penting dari gereja kristen
awal, dukungan ini dapat dilihat dalam empat bagian:
1. Pelestarian. Ini adalah tugas pertama memegang garis terhadap ancaman lain atau
kerugian lebih lanjut. Membantu yang berduka untuk melakukan sesuatu
meskipun di dalam keadaan yang mengalami kehilangan. Mendukung orang-
28
Barbara J McClure,2010,The Social Construction of Emotions : A New Direction in the Pastoral work of Healing, pastoral psychology, vol.59 issue 6 , p799-812, 14p 29
Guillaume H. Smith,2015, Patoral Ministry in a missional age: Towards a practical theological understanding of missional pastoral care, Verbum et Ecclesia, vol.36 issue 1,p1-8.8p 30
Howard Clinebell,2002, halaman 53
14
orang yang putus asa menghadapi permasalahan dengan memberikan sentuhan
melalui kata-kata yang menguatkan.
2. Penghiburan. Bertujuan untuk meringankan penderitaan yang dirasakan dan
menawarkan harapan di setiap saat.
3. Konsolidasi. Bertujuan untuk memberdayakan penderita di dalam menyikapi
berbagai macam hambatan dan kerugian. Penderitaan dimasukkan ke dalam
perspektif sebagai penderita yang tidak hanya merasa sendiri di dalam
menghadapi setiap permasalahan tetapi membantu setiap orang yang bermasalah
merekonstruksi hidupnya.
4. Penebusan. Bertujuan membantu seseorang yang mengalami trauma konflik dan
permasalahan dukacita mulai membangun kembali kehidupan yang berkelanjutan.
Tidak terus hidup di dalam tekanan psikis dan itu akan menjadi pelayanan
penyembuhan. Sikap positif terhadap kehidupan yang dialami seperti sesorang
janda dapat menjadi ibu dan ayah bagi anak-anaknya.31
Dukungan ini akan
membantu mengurangi penderitaan mereka melalui perkunjungan pastoral yang
seringkali didapati jemaat yang mengalami perasaan kehilangan,kematian orang-
orang yang dikasihi dan dukacita, yang mengakibatkan pada saat tersebut jemaat
tidak dapat melakukan apa-apa, dalam hal inilah peran pastoral dapat
dilaksanakan melalui kehadiran dan pendampingan, jemaat dibantu untuk
bertahan dalam situasi yang bagaimanapun beratnya. Dukungan berupa kehadiran
dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka, akan mengurangi
penderitaan jemaat.32
Membimbing (Guiding), fungsi pastoral yang ditujukan untuk membantu orang
yang berada di dalam kebimbangan untuk mengambil keputusan di antara berbagai
pikiran dan tindakan pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiawa mereka baik
sekarang dan pada waktu yang akan datang.33
Membimbing berarti memberikan arahan
kepada orang yang didampingi untuk menemukan jalan yang benar.Pendamping
31
Lucie Bardiau Huys,2014,Sustaining Pastoral Minnitry: Denominations must assume their responsibilities,JEPTA: Journal of the European Pentascostal Theological Association, vol 34 issue 1, p61-76,16p 32
Guillaume H. Smith,2015, Patoral Ministry in a missional age: Towards a practical theological understanding of missional pastoral care, Verbum et Ecclesia, vol.36 issue 1,p1-8.8p 33
Howard Clinebell,2002,halaman 54
15
menolong orang yang didampingi untuk memilih/mengambil keputusan secara mandiri
tentang apa yang akan ditempuh atau apayang menjadi masa depannya.Pendamping
juga dapat menolong orang yang didampingi untuk melihat: kekuatan dan
kelemahan (internal) serta kesempatan dan tantangan (eksternal).34
Pemberian nasihat
juga dapat dimasukkan dalam fungsi membimbing. Fungsi bimbingan ini di dalam
proses konseling pastoral sangatlah penting karena jemaat hidup ditengah-tengah dunia di
mana terjadi banyak perubahan-perubahan yang membawa pengaruh atas kehidupan
manusia di dalam berbagai aspek kehidupan, dan untuk menghadapi perubahan-
perubahan ini jemaat di tuntut untuk mencari jalan keluar yang benar, yang sesuai dengan
norma-norma dan dalam hal ini jemaat sering menemui kesulitan. Untuk mengatasi
kesulitan tersebut peran pastoral sangat dibutuhkan untuk menolong, membimbing, setiap
pribadi atau jemaat agar tidak mudah jatuh di tengah-tengah perubahan dunia.35
Memulihkan (Reconciling) adalah fungsi pastoral yang ditujukan untuk
membangun kembali hubungan-hubungan yang rusak di antara manusia dengan sesama
manusia dan di antara manusia dengan Allah.36
Apabila hubungan sosial dengan orang
lain terganggu, maka terjadilah penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional.
Konflik sosial yang berkepanjangan akan berpengaruh terhadap fisik. Pendampingan
berfungsi sebagai perantara untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan
terganggu. Pendamping menjadi mediator/penengah yang netral dan bijaksana.37
Disinilah perananan pastoral menjadi sangat diutamakan, karena gereja diharapkan
mampu memulihkan hubungan yang rusak antara jemaat dengan Allah. Salah satu
kebutuhan manusia adalah adanya hubungan yang baik di antara manusia dengan Allah
dan dengan sesama, oleh sebab itu manusia disebut makhluk sosial. Apabila hubungan
tersebut terganggu maka terjadilah penderitaan yang berepengaruh kepada masalah
emosional, dan terkadang orang tersebut tidak sadar pada posisi mana dia berdiri
34
Jennifer B .Gray,2011, Theory Guding Communication Campaign Raxis : A Qualitative Elicitation Study Comparing Exesice Beliefs of overweight and Healty weight college students, Qualitative Research Reports in Communication 2011, vol 12. Issue 1,p34-42 9p 35
J. L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral (Jakarta:BPK,1967), 107-108 36
Howard Clinebell,2002,halaman 54 37
Rebecca Hutten;Glenys D. Parry; Thomas Ricketts; Jo Cooke, 2015, Squaring the circle: a priority-setting method for evidence-based service development, reconciling research with multiple stakeholder views,BMC Health Services Research, Aug2015,vol15 Issue 1,p1-11p. 1 Diagram, 5 Chats
16
sehingga memerlukan orang ketiga yang melihat secara objektif posisi tersebut.38
Banyak
hal yang dialami oleh jemaat dan melalui pelayanan pastoral dapat menganalisa
hubungan, menganalisa hal yang dapat mengancam suatu hubungan dan pada akhirnya
mencari alternative untuk dapat memperbaiki hubungan tersebut, sehingga kehidupan
jemaat atau pribadi yang mengalami trauma dipulihkan dengan Allah maupun dengan
sesama.39
Memelihara atau mengasuh (Nurturing), fungsi pastoral yang ditujukan unutk
memampukan orang mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada
manusia, disepanjang perjalanan hidup manusia.40
Memelihara atau mengasuh adalah
fungsi pelayanan pastoral yang seringkali dilupakan, hidup berarti bertumbuh dan
berkembang, perkembangan tersebut meliputi aspek emosional, cara berpikir, motivasi
dan kemauan, tingkah laku, kehidupan rohani dan dalam interaksi.41
Melalui pelayanan
pastoral, dapat diperhatikan potensi-potensi apa saja yang dapat menumbuhkan dan
mengembangkan kehidupan jemaat atau korban konflik sebagai kekuatan yang dapat di
andalkan untuk tetap melanjutkan kehidupan, pelayan pastoral harus meonolong jemaat
untuk berkembang,oleh karena itu diperlukan pengasuhan kearah pertumbuhan melalui
proses pelayanan pastoral.42
Manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah pada dirinya
dikaruniakan potensi, dan dengan potensi itu manusia akan dapat bertumbuh baik secara
jasamani maupun rohani, namun karena kelemahan manusia, dosa dan persoalan-
persoalan kehidupan yang dihadapi manusia menyebabkan manusia tidak mampu
mengembangkan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu dibutuhkan peran pastoral agar
manusia dapat mengenali dirinya dengan segala persoalannya, kemudian
mengembangkan potensi yang dimiliki.43
38
Philip Reley,Jun 2013, Attacment theory, teacher motivation dan pastoral care : a challenge for teachers and academics, Pastoral Care Education, vol 31 issue 2, p112-129,18p. 39
Christoffel H. Thesnaar,2014, Seeking feasible reconciliation : A transdiciplineary contextual approach to reconciliation, Hervormde Teologise Studies2014, vol 70 Issue 2,p1-8.8p 40
Howard Clinebell,2002,halaman 54 41
Tony Leach,2009, Maybe I can fly: nurturing personal and collective learning in professionallearning communities,Pastoral car in Education, Dec2009, Vol.27 Issue 4,p313-323,11p.2 Diagrams 42
Richard Shields,2008, Nurturing spirituality and vocation : A Catholic Approach to New Teacher Induction, Catholic Education : A Journal of inquiry and practice.Dec2008, vol 12 issue 3 p 160-175.16p 43
Gary Collins,Growth Conseling, Helping People Growth (California: Vission House,1980) halaman 88
17
III. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN DAN ANALISA
3.1 Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor Jemaat Getsemani Asam Tiga
Pada awalnya sebagian dari warga jemaat Getsemani Asam Tiga berjemaat di
Jemaat Syalom Oeboboa dan Jemaat Efrata Oelamasi, dikarenakan belum adanya tempat
beribadah di wilayah Asam Tiga karena masih berupa hutan. Kemudian pada tahun 1985
atas permintaan dari Bapak Vitalis Djawa (Almarhum), kepala panti SPA ( sekarang
Panti PSBR Naibonat ) kepada Bapak Yorhans Y. Ullu, salah seorang tokoh jemaat di
Syalom Oeboboa agar membangun sebuah tempat beribadah “Kapela” untuk
memudahkan jemat beribadah karena jarak yang terlalu jauh, tiga tahun kemudian yakni
tahun 1988 permintaan tersebut akhirnya terealisasi.
Pada tanggal 1 Juni 1988, terjadi musyawarah antara tokoh-tokoh jemaat
Oeboboa dan Oelamasi untuk mendirikan sebuah gedung gereja darurat (Kapela)
bertempat di Oelamasi-Asam Tiga, dengan kerjasama dan sumbangan dari jemaat
Oeboboa dan Oelamasi-Asam Tiga. Bapak Yorhans Ullu dipilih sebagai ketua
pembangunan. Pekerjaan pembangunan tempat beribadah/kapela tersebut dimulai dari
tanggal 4 Juli 1988 dengan penggalian dan berakhir pada tanggal 10 Agustus 1988
dengan pemasangan atap dan penyelesaian pemasangan dinding.Pembangunan Gedung “
KAPELA “ di atas tanah ukuran 25 M X 200 M atas Hibah Tanah Milik dari Bapak
Abraham Ndaumanu Almarhum. Dari awal pembangunan beberapa jemaat juga sudah
mulai menyumbang bahan-bahan yang diperlukan, dikarenakan keinginan mereka untuk
penyelesaian “Kapela” cepat terlaksana sehingga dapat digunakan.
Setelah penyelesaian pemasangan dinding “Kapela”, maka ketua pembangunan
menjalankan undangan secara lisan kepada tokoh-tokoh jemaat Oeboboa, Oelamasi, dan
Penanggungjawab Jemaat Syalom Oeboboa (Bapak.Benyamin Ndaumanu) untuk
membicarakan rencana kebaktian Natal Perdana di “Kapela” Asam Tiga (Gedung Gereja
Darurat) yang telah selesai dibangun. Pada tanggal 15 Januari 1989 tokoh-tokoh jemaat
berkumpul untuk bermusyawarah bersama untuk menggunakan bangunan Gereja
Darurat/Kapela sebagai Rumah Ibadah. Dan dari musyawarah tersebut, diputuskanlah
bahwa pada tanggal 29 Januari 1989 bangunan Gereja Darurat/Kapela jemaat harus sudah
digunakan sebagai Rumah ibadah sebagaimana mestinya.
18
Karena itu pada tanggal 19 Januari 1989 dibuatlah surat Permohonan Membuka
Tempat Ibadah /Tempat Kebaktian Baru di Asam Tiga, KM 37,-. Pada tanggal 23 Januari
1989, ketua pembangunan bersama jemaat yang membangun Kapela mendapat surat dari
Majelis Jemaat Wilayah Kependetaan Pukdale, dengan perihal “ Panggilan dan Jawaban
Atas Permohonan Membuka Tempat Ibadah/Kebaktian Baru Di Asam Tiga, KM 37,-
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Majelis Jemaat Kependetaan Pukdale tidak
menolak permohonan kelompok aggota jemaat Oeboboa yang berdomisili di Asam
Tiga/Km 37 untuk membuka tempat kebaktian baru pada tanggal 29 Januari 1989,
melainkan menolak penentuan waktu secara sepihak dari kelompok yakni tanggal 29
Januari 1989.
Oleh karena itu untuk merealisasikan maksud baik untuk membuka tempat ibadah
baru di Asam Tiga yang sebenarnya telah tertuang dalam Program Majelis Jem. Wil.
Kependetaan Pukdale. Oleh karena itu pada tanggal 29 Januari 1989, B.P.K mengutus
pendeta Wilayah Kependetaan Pukdale yakni Bpk. Pdt. Ch. Nggadas untuk melihat
kesiapan dari kelompok jemaat Oeboboa yang berdomisili di Asam Tiga. Dan melihat
kesiapan kelompok telah memenuhi persyaratan, maka ketika pertemuan tanggal 29
Januari 1989, disepakatilah tanggal untuk peletakan batu pertama, yaitu tanggal 19
Pebruari 1989. Gedung gereja getsemani Asam Tiga dibangun diatas Tanah seluas 25 M
x 200 M atas dasar Hibah Tanah dari Bapak Abraham Ndaomanu Peletakan batu pertama
dihadiri oleh 200 jiwa, yaitu anak-anak 57 orang dan dewasa 143 orang.
Kebaktian peletakan batu pertama dipimpin oleh B.P.K yakni Pdt. M. Anone, dan
GETSEMANI Asam Tiga adalah nama yang dipilih sebagai nama Jemaat dengan alasan
karena jemaat ini ada setelah pergumulan yang berat. Karena belum ada Majelis yang
terbentuk, maka Hak kebaktian diserahkan kepada Penanggung Jawab Oeboboa yaitu
Bpk. B. Ndaumanu. Namun setelah terjadi perhadapan Majelis antar waktu pada tanggal
16 April 1989, dan pembentukan panitia pembangunan serta kategorial Perempuan GMIT
dan seksi-seksinya, maka dipilihlah Bapak. Th. D. Kilasaduk sebagai PenanggungJawab
yang baru, dari tahun 1989-1999. Dan pdt Ch. Nggadas sebagai pendeta Wilayah dari
tahun 1989 sampai dengan tahun 1991.Ada beberapa kepala keluarga dari Jemat Efrata
dan berapa jemaat dari Betel yang juga bergabung menjadi jemaat Getsemani Asam Tiga
pada waktu itu,awalnya Getesemani Asam Tiga masuk dalam Wilayah Kependetaan
19
Pukdale, namun karena Jemaat Getsemani Asam Tiga berada dalam Wilayah
Kependetaan Naibonat, akhirnya diputuskalah agar Jemaat Getsemani Asam Tiga ada
dalam bagian dari wilayah Kependetaan Naibonat.44
3.2 Peran Pastoral di dalam kehidupan para pengungsi Timor Leste
GMIT Jemaat Asam Tiga di Naibonat Kupang, pada awal kedatangan orang
Timor Leste yang tepatnya ketika pasca referendum 1999, mereka sering menimbulkan
konflik dengan warga asli di Naibonat, akibatnya beberapa kondisi seperti konflik pasca
referendum yang mengharuskan mereka kehilangan orang yang mereka kasihi dan
kehilangan harta benda mereka sehingga menimbulkan trauma.
Menurut Ibu AS seorang warga jemaat yang melihat dan melakukan pelayanan
pastoral “ Ketika pasca referendum 1999 banyak orang Timor Timur yang datang ke sini
mereka datang di malam hari, ketika mereka datang dan tinggal di awal-awal mereka
sering mengalami percekcokan dengan orang-orang di sini, kami dari gereja ingin sekali
membantu tetapi kami terkendala bahasa, dan ternyata ada beberapa orang Timor Timur
yang merupakan warga Gereja Kristen di Timor Timur yang mencari GMIT pada waktu
itu tetapi tidak mengetahui yang mana GMIT karena banyak gereja di NTT khususnya di
Kabupaten Kupang, sekitar beberapa bulan setelah referendum keadaan masih
mencekam tetapi ada beberapa orang Timor Timur yang datang kegereja GMIT
Getsemani Asam Tiga dan menanyakan gereja Induk mereka dari GKTT (Gereja Kristen
di Timor-Timur), karena kami sudah mengetahui ternyata ada juga orang-orang
protestan kami melakukan pelayanan pastoral, kami merangkul mereka dan membantu
mereka di dalam kehidupan mereka seperti memberikan sembako seadanya, sampai saat
ini juga masih kami melakukan perkunjungan pastoral yang umumnya dilakukan karena
kami sudah tidak membedakan pengungsi dan orang asli kupang mereka dianggap
sebagai jemaat yang sama dengan kita”.45
44
Data diperoleh dari sekretariat GMIT Getsemani Asam Tiga Klasis Kupang Timur 45
Wawancara dengan ibu AS (inisial), yang adalah warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga, pada hari Jumat tanggal 23 Oktober 2015 pukul 19.20 wit.
20
Menurut Bapak IA, seorang pengungsi Timor Leste “Gereja sudah sangat
membantu kami semenjak kami keluar dari Timor Leste dan datang ke Atambua disana
sudah ada GMIT yang juga bekerjasama dengan LSM , kami mendapatkan bantuan
secara jasmani seperti makanan minuman pakaian dan tempat istirahat dan juga
pelayanan rohani seperti kebaktian bersama. Kami bersyukur karena ketika kami datang
ada gereja yang menerima kami, meskipun kami di dalam keadaan trauma gereja
membantu kami pulih dan bisa kuat kembali. Sekarang di GMIT Getsemani Asam Tiga
masih memerhatikan jemaat yang ada di pengungsian seperti di ibadah rayon kami juga
bebas untuk menyampaikannya di dalam bahasa Tetun Portu”46
Menurut Bapak LM, seorang pengungsi Timor Leste “ Ketika kami memutuskan
dari Atambua untuk pindah ke Kupang karena tidak ingin di pengaruhi teman-teman
yang ingin kembali ke Timor Leste, kami di Kupang selama satu tahun hidup kami susah
hanya mendapat makanan ketika siang hari saja dan malam harinya kami tidur , sampai
kami mencari gereja yang sama dengan gereja kami dari Timor Leste yaitu gereja yang
seas as dengan GKTT ,Ketika mendapatkan gereja yang seasas, gereja menerima kami,
dan banyak melakukan pelayanan pastoral serta banyak melibatkan kami, seperti saya di
angkat menjadi majelis di dalam pelayanan rayon tenaga saya bisa digunakan untuk
menyampaikan Firman Tuhan di dalam bahasa Tetun Portu atau menjadi penerjemah ke
dalam bahasa Tetun Portu, banyak dari kami juga dilibatkan di dalam pelayanan
Pemuda dan PAR”.47
Dengan pendapat yang hampir sama Bapak Pdt. Saturlino Coreia STh adalah
seorang mantan pendeta GKTT(Gereja Kristen di Timor Timur) yang termasuk di dalam
para pengungsi Timor Timur yang datang ke Kupang juga merasakan pelayanan Pastoral
yang dilakukan oleh GMIT dan juga ikut terlibat di dalam pelayanan Pastoral sampai saat
ini di gereja. Ketika Pasca Referendum 1999 , bapak Saturlino Coreia beserta istri dan
jemaat keluar dari Timor Leste dan datang ke Indonesia “Atambua” karena mendapatkan
berita bahwa Timor Leste akan dibumi-hanguskan seperti Hirosima dan Nagasaki, “
46
Wawancara dengan Bapak IA (Inisial), yang adalah pengungsi Timor Leste dan warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga, pada hari Sabtu 24 Oktober 2015 11.28 wit. 47
Wawancara dengan Bapak LM (inisial), yang adalah pengungsi Timor Leste dan warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga, Sabtu tanggal 24 Oktober pukul 10.43 wit
21
Sebenarnya kami ini tidak ada niat untuk keluar dari sana, tetapi kami ditakut-takuti dari
tentara bahwa Timor Leste akan dibumi-hanguskan seperti Hirosima dan Nagasaki,
Waktu itu saya menjadi Pendeta Jemaat di Kabupaten Ailiu, dan Timor Timur
mengumumkan hasil referendum bahwa otonomi kalah dan pro kemerdekaan menang,
jemaat saya yang ada di desa-desa, kecamatan-kecamatan lari semua masuk di kota
kabupaten di Ailiu, dan ada warga jemaat yang mengatakan kita dengar keputusan dari
pak pendeta saja, kita mau keluar dari Timor Leste, kita keluar ,tidak kita tidak keluar,
dan saya mengatakan tidak kita tetap di Timor Leste tetapi dulu ada juga warga jemaat
saya yang merupakan Dandim TNI orang Batak, beliau mengatakan saya sudah
menyiapkan kendaraan untuk bapa dan jemaat , bapa harus keluar ke Atambua karena
Timor Leste akan di bumi hanguskan, akhirnya kami dengan keadaan panik, kami
mengambil keputusan lagi untuk keluar dari Timor Leste dengan menggunakan truk
jalan darat ada yang dengan kapal Very, tetapi ketika sampai di Atambua keadaan di
Atambua sama mencekam seperti di Dili, karena ternyata yang keluar dari Timor Leste
bukan saja yang pro otonom tetapi yang pro kemerdekaan karena ditakuti isu Timor
Leste akan di bumi hanguskan, sehingga kami melanjutkan perjalanan ke Kupang,
sesampai di Kupang saya dan istri kembali lagi ke atambua karena di atambua sudah
ada Sinode GMIT dan UNKRIS yang telah menyediakan posko untuk membantu para
pengungsi yang merupakan warga jemaat GKTT. Kami dibantu, kami di berikan
makanan, fasilitas dan kendaraan untuk masuk ke Dili menjemput beberapa pengungsi
yang masih tersisa dan sampai saat ini ada yang masih menetap di Indonesia dan ada
juga yang sudah kembali ke Timor Leste dengan berbagai alasan, saat ini ada beberapa
jemaat yang awalnya sebagai anggota jemaat GMIT berpindah ke gereja yang beraliran
Kharismatik dengan alasan gereja kharismatik lebih menjamin kebutuhan kehidupan
ekonomi mereka, sehingga kebutuhan ekonomi juga merupakan kebutuhan dasar jemaat
yang harus diperhatikan oleh Gereja 48
.
Menurut Ibu Pendeta Meliana Radja Tuka, S.Si.Teol sebagai pendeta jemaat di
GMIT Getsemani Asam Tiga periode tahun 2010-2015, pelayanan pastoral yang di
48
Wawancara dnegan Bapak Pdt. Saturlino Coreia STh, yang adalah warga jemaat GMIT Getsemani Asam Tiga dan juga pendeta dari GKTT (Gereja Kristen di Timor Timur) sekarang berganti nama Igreja Protestan de Timor Lorosae hari sabtu tanggal 24 Oktober 2015 pukul 15.00 wit di rumah beliau.
22
lakukan oleh gereja sudah dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan di kalangan
jemaat khususnya kepada para pengungsi Timor Leste. “Sudah ada tiga rayon yang
berada di pondok (tempat yang di tinggal oleh parah pengungsi),dan kami mengangkat
beberapa saudara-saudara dari pondok yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik
menjadi penatua, diaken,dan majelis, kami juga sudah menikahkan masal 5 pasangan
nikah dari para pengungsi dan salah satu pasangan yang baru dipulihkan dari trauma
sehingga mau untuk menikah massal di mana beliau sudah memiliki anak dan cucu tetapi
belum menikah sah secara agama dan dari pasca referendum hingga beberapa minggu
sebelum nikah masal beliau masih hidup di dalam trauma, kami juga bekerjasama
dengan beberapa panti sosial untuk melakukan pelayanan pastoral yang tidak hanya
kepada beberapa anggota jemaat tetapi juga sebagian besar para pengungsi timor leste
yang sekarang mereka sudah tidak ingin di sebut pengungsi karena mereka adalah
bagian dari kami dan saudara-saudara kami.”49
Menurut Penatua Bapak Dominggus De Jesus, pelayanan pastoral sudah di
lakukan oleh pihak gereja seperti baptisan, sidi, nikah, dan juga ketika ada kematian,
kami juga ikut dilibatkan di dalam melakukan pelayanan pastoral dengan saudara-saudara
kami di pondok pengungsian, kami sangat mengharapkan tidak adanya perbedaan di
dalam melakukan pelayanan pastoral serta kami ingin hidup bersama tanpa adanya
batasan-batasan tertentu dan itu yang sekarang sudah dilakukan oleh pihak gereja.
“Awalnya kami seolah-olah didiskriminasi seperti halnya ketika kami menginginkan
pelayanan pastoral kedukaan, karena berbagai tata aturan gereja kami selalu di
sulitkan,saya sangat kewalahan untuk mengatur bagaimana kami mendapatkan
pelayanan pastoral, awalnya seperti itu dengan adanya komitmen saya untuk berani
membuka pemahaman gereja melalui pelayan dan badan harian gereja di dalam
melakukan pelayanan pastoral sekarang sudah tidak ada lagi perbedaan di antara kami
di dalam hal pelayanan.”50
49
Wawancara dengan Ibu Pendeta Meliana Radja Tuka, yang adalah pelayan di GMIT Jemaat Getesemani Asam Tiga, pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2015 pukul 18.30 50
Wawancara dengan Bapak Penatua Dominggus de Jesus yaitu yang dituakan di pondok pengungsian Asam Tiga Naibonat, Minggu 25 Oktober 2015 pukul 12.15 wit
23
Berdasarkan hasil data di atas GMIT sangat berpartisipasih dalam membantu
pengungsi-pengungsi yang berasal dari Timor Timur seperti waktu di Atambua, GMIT
bekerjasama dengan LSM, sehingga pengungsi banyak mendapatkan bantuan secarah
jasmani seperti makanan, minuman, pakaian, tempat beristirahat dan juga pelayanan
rohani seperti kebaktian bersama, hal tersebut yang membuat pengungsi merasa gereja
GMIT dapat menerima mereka,walaupun waktu itu mereka masih dalam keadaan trauma.
Begitupun dengan gereja Getsemani Asam Tiga yang merupakan salah satu gereja
di bawah naungan Sinode GMIT, yang juga memperhatikan jemaat yang berasal dari
Timor Leste. Dengan melakukan pelayanan pastoral, seperti mengadahkan ibadah rayon
dengan memberi kebebasan dalam menggunakan bahasa Tetun Portu, memberikan
kesempatan kepada jemaat yang berasal dari Timor Leste untuk diangkat menjadi
penatua, diaken, majelis maupun melayani dalam bidang kategorial lain seperti kategorial
Pemuda dan PAR, jemaat Getsemani Asam Tiga pun sudah mendapatkan pelayanan
pastoral oleh pihak gereja seperti baptisan, sidi, nikah, dan juga ketika ada kematian,
mereka juga ikut dilibatkan di dalam melakukan pelayanan pastoral dengan saudara-
saudara mereka di pondok pengungsian. Menurut pandangan Seward Hiltner bahwa
pelayanan pastoral haruslah dipandang dari perspektif penggembalaan yaitu
Penyembuhan, Dukungan, Pembimbingan, Memulihkan, dan Pemeliharaan. Bentuk-
bentuk pendampingan pastoral tersebut yang memberikan nilai positif sehingga tidak
adanya lagi perbedaan antara jemaat asli gereja Getsemani Asam Tiga dan jemaat yang
berasal dari Timor Leste, ini menujukan bahwa fungsi-fungsi pastoral di gereja
Getsemani Asam Tiga terealisasikan dengan baik, dan juga pendampingan pastoral
semakin efektik karena sebelumnya sudah ada ikatan gereja seasas yaitu kebanyakan para
pengungsi adalah jemaat Gereja Kristen Timor-Timur yang sekarang sudah berganti
nama menjadi Igreja Protestan De Timor Lorosae, sehingga mereka merasa tidak lagi di
negeri asing tetapi seperti di rumah sendiri.
24
3.3 Peran Pastoral Jemaat Getsemani Asam Tiga terhadap Pengungsi Timor
Leste yang mengalami Trauma
Gereja dilihat sebagai kumpulan atau jemaat pilihan, yaitu mereka yang dipanggil
oleh Allah keluar dari dunia, pergi dari dosa dan masuk kedalam wilayah
anugerah51
,oleh sebab itu gereja sebagai Tubuh Kristus dipanggil ditengah dunia
untuk membawa umat semakin bertumbuh kearah Kristus sebagai kepala gereja.
Gereja bukan merupakan organisasi, tetapi suatu organisme, yaitu gereja terdiri
dari anggota-anggota yang hidup seperti tubuh manusia yang disusun untuk berfungsi
di dalam kesatuan dengan bekerja sama dan saling bergantung di antara anggota yang
satu dengan yang lain, demikian pula halnya dengan Gereja sebagai tubuh yang
memperlihatkan kesatuan dan keragaman.52
Gereja harus membawa jemaatnya
semakin mengalami pertumbuhan iman lewat pelayanan-pelayanan yang dilakukan
dan di sinilah peranan pastoral sangatlah dibutuhkan. Pastoral mencakup pelayanan
yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan
komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka.53
Peran Pastoral Sinode GMIT
melalui Klasis dan Gereja-gereja yang berada di wilayah pengungsian khususnya
GMIT Getsemani Asam Tiga di Naibonat juga dilakukan.
Judith Herman mengatakan bahwa menyembuhkan trauma (trauma healing)
sebagai upaya untuk menggerakan tiga hal yaitu, dari perasaan bahaya pada perasaan
nyaman dan aman, dari perasaan menolak kondisi pada penerimaan kondisi, dan dari
perasaan terisolasi pada kemampuan membangun hubungan sosial.54
Trauma healing
adalah usaha untuk kembali menyembuhkan seseorang dari trauma untuk kembali
menerima kondisi dan mampu bangkit kembali baik secara kejiwaan atau kehidupan
sosial. Trauma dalam istilah psikologis untuk menunjukkan kondisi yang shok dan
tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relatif lama pada korban. Beberapa
51
R.C.Sproul,Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, (Malang : SAAT,2000) halaman 285 52
Tonu Lehtsaar;Maire Ivanova, December 2011, Oppurtunites for church related pastoral counseling in Estonian Evangelical Churches, International Journal of practical Theology, Vol 15 Issue 2, P279-292.14p 53
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisius,2002) hal.32 54
Judith Herman, Trauma and RecoveryI,(New York: Basic Books,1997) halaman 13
25
kondisi yang berpotensi menjadi peristiwa traumatis antara lain bencana, konflik,
menjadi korban kriminal, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan harta benda.55
Cara pandang seseorang yang mengalami trauma menjadi hal utama yang harus
dibangun. Seseorang harus mampu merubah cara pandang terhadap peristiwa yang
terjadi, dari cara pandang tersebut dapat menumbuhkan keyakinan, harapan untuk
masa depan. Selanjutnya adalah lingkungan sosial. Dalam konteks trauma healing,
lingkunga sosial menjadi salah satu faktor dalam membantu seseorang dari trauma.
Dukungan, dorongan sangat dibutuhkan dan hal ini dapat terwujud ketika seseorang
mampu membangun komunikasi sosial.56
Trauma healing dapat dilakukan secara
teratur agar dapat membangun kembali mental para korban, dengan hal tersebut,
ingatan tentang konflik di dalam benak dan pikiran mereka bisa terhapus, dan
kehidupan baru dapat dimulai.57
Konflik berkepanjangan pasca referendum 1999 yang memberikan dampak arus
pengungsian masyarakat Timor Leste masuk ke Indonesia tepatnya di Provensi Nusa
Tenggara Timur dan menciptakan banyak kekacauan, oleh karena depresi,bahkan
trauma terpisah bahkan kehilangan orang-orang terdekat dan harta benda, tetapi
dengan adanya lembaga agama yaitu gereja GMIT Getsemani Asam Tiga di Naibonat
yang bersedia melakukan perkunjungan pelayanan pastoral maupun memberikan
sembako seadanya serta menunjukan rasa penerimaan terhadap orang-orang Timor
Leste dengan tidak membedakan mereka dan jemaat asli kupang sehingga membantu
menyembuhkan trauma bagi orang Timor Leste yang berada di GMIT Jemaat
Getsemani Asam Tiga.
55
Raymond M. Scurfield, Katherine T. Platoni, Healing war Trauma, (New York:Routledge,2013) halaman 289 56
Joshua Pederson, Speak Trauma : Toward a Revised Understanding of Litercary Trauma Theory,Copyright 2014 by The Ohio State University, Narrative, Vol 22 issue 3, p333-353,21p. 57
Amra Delic;Mevludin Hasanovic;Esmina Avdibegovic;Alexsandar Dimitrijevic;Camellia Hancheva;Carmen Scher;Tatjana Stefanovic-Stanojevic;Annette Streeck-Fischer; Andreas Hamburger, Academic model of trauma healing in post-war societies,Acta Medica Academica may2014,Vol 43, issue 1, p 76-80.5p
26
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian yang telah penulis jabarkan,dapat disimpulkan bahwa peran
pastoral gereja menjadi satu hal yang penting yang harus dilakukan dalam membantu
seseorang keluar dari keterpurukan dirinya ketika sedang mengalami berbagai
masalah yang dianggap sudah tidak ada harapan lagi, kesadaran akan pentingnya
Peran Pastoral yang baik membawa seseorang kepada tahap pemahaman Kasih dan
selanjutnya kepada tahap penerapan. Peran Pastoral yang baik tidaklah berguna ketika
hanya berada pada batasan teori, Peran Pastoral yang baik memang sama seperti
iman, yang harus ditindaklanjuti dalam kehidupan nyata.
GMIT Getsemani Asam Tiga memang telah mengetahui dengan baik apa itu
peran pastoral, namun seiring dengan perkembangan pelayanan peran pastoral dalam
gereja, ada banyak pemahaman jemaat mengenai apa itu peran pastoral, siapa yang
dapat melakukannya, bagaimana melakukan peran pastoral, apakah isi peran pastoral,
siapakah yang harus dikunjungi didalam melaksanakan peran pastoral dan masih
banyak lagi pertanyaan yang mengarah kepada pemahaman mengenai peran pastoral.
Peran Pastoral adalah tugas yang permanen dalam kehidupan seseorang,karena Yesus
sendiri sangat menjunjung tinggi tugas pelaksanaan peran pastoral di dalam
penggembalaan, dan GMIT Getsemani Asam Tiga seharusnya memberikan perhatian
yang baik kepada pentingnya peran pastoral. Bukan saja sebatas ketika ada di dalam
program kerja gereja tetapi hal ini juga tidaklah terputus tetapi merupakan satu
kesinambungan.
Peran Pastoral yang hanya dilakukan ketika mengikuti program kerja gereja
tersebut tidaklah dapat membantu secarah penuh kepada jemaat yang mengalami
berbagai kondisi, khususnya sebagian besar jemaat yang merupakan korban konflik
Timor Timur, karena para pengungsi hanya diberikan peran pastoral ketika ada
kegiatan gereja tetapi tidak diperhatikan berkelanjutan,sehingga ada beberapa jemaat
pengungsi Timor Leste yang berpindah ke gereja beraliran lain.Untuk menunjang
keberhasilan peran pastoral, maka setiap komisi dan segala komponen GMIT
Getsemani Asam Tiga harus turut aktif memberlakukan, mendukung, dan memberi
perhatian khusus pada peran pastoral yang dilakukan.
27
Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Getsemani Asam Tiga sebagai
persekutuan “Tubuh Krsitus” , dapat memahami perlunya perkunjungan rutin
kepada setiap anggota jemaat dijalankan, karena perkunjungan pastoral sebagai
salah satu bentuk penggembalaan bagi anggota tubuh Kristus yaitu anggota
jemaat dengan tujuan memelihara dan menumbuhkan iman jemaat di dalam
Krsitus belum berjalan secara optimal, yang dimaksudkan belum berjalan secara
optimal ialah karena peran pastoral hanya dilakukan ketika ada kasus atau
masalah.
Ada beberapa saran sehubungan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
di antaranya :
a) Kepada Sinode GMIT
Sinode dapat mempersiapkan konsep mengenai teori dan praktek peran
pastoral supaya dapat menjadi pedoman atau acuan bagi pendeta dan
majelis jemaat untuk melakukan peran pastoral yang sesuai dengan
konteks masing-masing gereja.
Sinode bila dimungkinkan dapat memberikan informasi kepada setiap
klasis untuk memberikan pemahaman tentang Gereja Kristen Timor-
Timur, sehingga setiap gereja yang ada di bawah naungan sinode dapat
melihat dan memahami hubungan antara Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) dan Gereja Kristen di Timor-Timur (GKTT) sekarang berganti
nama menjadi Igreja Protestan de Timor Lorosae yang merupakan gereja
seasas dan dapat turut terlibat dalam peran pastoral terhadap para
pengungsi Timor Leste yang merupakan bagian dari GMIT.
b) Kepada GMIT Getsemani Asam Tiga
Majelis jemaat dan pendeta, agar dapat menentukan waktu tertentu untuk
mengadakan seminar, ceramah, dan sebagainya, yang ingin dicapai untuk
memperlengkapi jemaat, pengurus rayon, majelis dengan pemahaman
pelaksanaan atau praktek dalam pelayanan pastoral, gereja juga perlu
menyediakan bahan-bahan bacaan atau buku-buku yang berhubungan
28
dengan pastoral sebagai sarana penunjang didalam mengembangkan dan
meningkatkan pelayanan pastoral gereja.
Gereja dapat juga melakukan kegiatan-kegiatan oikumene dengan gereja-
gereja lain sehingga tetap menjalin hubungan pastoral yang tidak hanya
sebatas ruang lingkup gereja, klasis, dan sinode.
29
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abineno,J.L.Ch, 1967, Pelayanan Pastoral, Jakarta: BPK
Bons-Storm, M. 2011.Apakah Penggembalaan Itu ?. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Brownliee, Malcolm. 2004, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Chinebell,Howard, 2002, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Yogyakarta:Kanisius
Clinebell, Howard. 2002. Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. Yogyakarta: Kanisius
Collins Garry, 1980, Helping People Growth,California:Vission House
Dahrendorf, Ralf. 1959. Class Confiict in Industrial Society.California: Stanford University Press
Engel, J.D, 2007, Gereja dan Masalah Sosial. Salatiga: Tisara Grafika
Feist, Jess dan Feist, J,.G.2013, Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika
Harvey, J.H, 2002, “Perspective on Loss and Trauma Assaults on the self”. California : Sage Publication
Herman,Judith,1997, Trauma and Recovery,New York:Basic Books
Hommes,Tjard G dan Singgih,E.G,1994, Teologi dan Praksis Pastoral, Yogyakarta:Kanisius
Scurfield,R.M,Platoni,K.T,2013, Hearing war Trauma,New York:Routledge
Sembiring Nasib, dan Yosef D. Pradipto, 2013, Psikologi Konseling Pastoral, Yogyakarta: Kanisius
Sproul,R.C.,2000, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Malang: SAAT
Syahnakri, Kiki. 2013, Timor Timur Untold Story, Jakarta: Buku Kompas
Timo, E.N, 2004, Anak Matahari Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, Maumere: Ledalero
Usman, Husaini dan Purnomo S. Akbar. 2008, Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
30
JURNAL
Bardiau-Huys, “Sustaining pastoral ministry: Denominations must assume their responsibilities, JEPTA: Journal of
the European Pentecostal Theological Association, 2014 Vol 34 Issue 1, p61-76.16p
Butler Jr,Lee Hayward, “African-American pastoral psychology in the twenty-first century will be more than
sensual healing”, Journal of Religious Thought 1997, Vol 53/54 Issue 2/1, p113.18p
Davies, Petronella J, Dreyer, Yolanda. 2014. “A Pastoral Psychological Approach to Domestic Violence in South
Africa”, Hervormde Teologiese Studies, Vol. 70 Issue 3, p1-8. 8p.
Delic,Amra;Hasanovic,Mevludin;Avdibegovic,Esmina;Dimitrijevic,Alexsander;Hancheva,Camelia;Scher,Carmen;S
tanojevic-Stefanovic,Ttajana;Fischer-Streeck,Annette;Hamburger,Andreas, “Academic model of trauma healing in
post-war societies”,Acta Medica Academica 2014,Vol.43 Issue 1, p76-80.5p
Gray Jennifer B, “Theory Guilding Communication Campaign Raxis : A Qualitative Elicitation Study Comparing
Exercise Beliefs of Overwight and Healty Weight College Student”, Qualititave Research Reperts in
Communication 2011, Vol12. Issue 1, p34-42 9p
Hutten,Rebecca; Parry Glenys; Ricketts,Thomas; Cooke,Jo. “Squaring the circle : A Priority-Setting method for
evidence-base service development, reconciling research with multiple stakeholder views.” BMC Healt Service
Research, Aug 2015, vol.15 Issue 1, p1-11p. 1 Diagram,5 Charts
Leach,Tony. “Maybe I Can Fly : Nurturing personal and collective learning in professional learning communities”
Pastoral Care in Education.´Dec 2009, Vol.27 Issue 4, p313-323,11p.2 Diagrams
Lehtsaar,Tonu; Ivanova,Maire. “Oppurtunites for Church related pastoral counseling in Estonia Evangelical
Churches”.International Journal of practical Theology. Dec2011, Vol.15 Issue 2, p279-292.14p
McClure,Barbara J, “The Social Construction of Emotions : A New Direction in the Pastoral work of healing”,
Pastoral psychology, Dec2010, vol.59 Issue 6, p 799-812,14p
Pederson,Joshua,2014,”Speak Trauma: Toward a Revised Understanding of Litercary Trauma Theory”, Vol.22
Issue 3, p333-353,21p
Reley,Philp, “Attachment theory, teacher motivation and pastoral care : a challenge for teachers and academics”,
Pastoral care education Jun 2013, Vol 31 Issue 2, p112-129,18p
Sami,B.M., Husain,R.M., Khan,Ullah., Safi,Cool.,Rashid,Q (2015). “Efficacy of Eye Movement Desensitazion and
Reprocessing Beyond Complex Post Traumatic Stress Disorder A Case Study of EMDR in Pakistan”, Professional
Medical Journal, Vol. 22. Issue 4, p514-521.8p
31
Shields, Richard. “Nurturing Spirituality and Vocation: A Catholic Approach to New Teacher Induction” Chatolic
Education : A Journal of Inquiry and Practice. Dec 2008, vol.12 Issue 3 p 160-175.16p
Smith,Gullaume H, “Pastoral ministry in a missional age: Towards a practical theological understanding of
missional pastoral care”, Verbum et Ecclesia 2015, Vol.36 Issue 1,p1-8.8p
Steele,William;Kuban,Caelan.Winter2014,”Healing Trauma,Building Resilience:SITCAP in Act,Volume 22 Issue 4,
p18-20,3p
Thesnaar,Christoffel H. “Seeking feasible reconciliation : A transdisciplianary contextual approach to
reconciliation” Hervormde Teologiese Studies. 2014, Vol 70 issue 2,p1-8.8p
Van der merwe,Amelia;Swartz,Leslie. “Living in two narratives:psychic spilitting in south African survivors of
chronic trauma” South African Journal of Psychology. Sep2015, Vol 45 Issue 3,p361-373.13p