Perihal Teologi Pembebasan

22
PERIHAL TEOLOGI PEMBEBASAN Pengantar Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi memang terasa problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung “komunisme” atau dianggap menyebarkan pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis oleh sebagian kalangan. Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan setelah peristiwa G 30 S. Tulisan reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi yang menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan ini saya berusaha menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan bagi pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif, rasional dan fungsional. 2. Teologi Pembebasan, Apa Itu? Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theologydiperkenalkan oleh para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau mentransformasikan dunia. Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:

description

Filsafat

Transcript of Perihal Teologi Pembebasan

Page 1: Perihal Teologi Pembebasan

PERIHAL TEOLOGI PEMBEBASAN

Pengantar

Berbicara tentang teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau tak resmi

memang terasa problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran

kekiri-kirian yang diasosiasikan dengan pendukung “komunisme” atau dianggap menyebarkan

pemikiran subversif. (khususnya pada era Orde Baru lalu). Setelah Orba jatuh dan kebebasan

berpikir mulai terbuka diskusi semacam ini juga dianggap tabu dan dipandang dengan mata sinis

oleh sebagian kalangan.

Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya

kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua,

karena teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di

Amerika Latin, dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam.

Dan ketiga, karena teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari

pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak

termaafkan setelah peristiwa G 30 S.

Tulisan reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi yang

menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan

ini saya berusaha menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi

pembebasan bagi pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif,

rasional dan fungsional.

 

    2. Teologi Pembebasan, Apa Itu?

Pada mulanya istilah “teologi pembebasan” atau liberation theologydiperkenalkan oleh

para teolog Katolik di Amerika Latin pada pertengahan abad lalu. Para teolog ini mau

membedakan antara metode teologi pembebasan dengan teologi tradisional. Teologi tradisional

adalah teologi yang membahas tentang Tuhan semata-mata, sementara teologi pembebasan

adalah cara berteologi yang berasal dari refleksi iman di tengah realitas konkrit yang

menyejarah. Yakni teologi yang memprihatini nasib dan solider kepada mereka yang menderita

ketidakadilan, kalah, miskin, ditindas dan menjadi korban sejarah; teologi yang mau

mentransformasikan dunia. Atau dalam ungkapan Gustavo Gutierrez:

“This is a theology which does not stop with reflecting on the world, but rather tries to

be part of the process through which the world is transformed. It is theology which is

open in the protest against trampled human dignity, in the struggle against the

plunder of the vast majority of humankind, in liberating love, and in the building of a

new, just, and comradely society—to the gift of the Kingdom of God”.

(Ini [teologi pembebasan] adalah sebuah teologi yang tidak hanya merefleksikan

dunia, melainkan juga mencoba melakukan proses transformasi terhadapnya. Ia

Page 2: Perihal Teologi Pembebasan

[teologi pembebasan] adalah teologi yang berupaya untuk melawan pelecehan

terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas, berupaya untuk

membebaskan cinta dan membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh

persaudaraan – untuk meraih rahmat dari Kerajaan Tuhan”).(Alfred T. Hennelly, SJ,

1995: 16)

Ada banyak macam penamaan yang secara subtansial amat dekat dengan gagasan

teologi pembebasan ini, diantaranya: teologi pemerdekaan (Romo Mangun), teologi Kiri (Kiri

Islam ala Hassan Hanafi), teologi kaum mustadh’afin, teologi kaum tertindas, dan lain-lainnya.

Masing-masing penamaan ini hendak mengartikulasikan suatu cara beragama yang otentik,

yang lahir dari situasi, sejarah dan keprihatinan atas penderitaan kaum miskin dan tertindas.

Oleh karena itu dengan pengertian tersebut jelas sekali teologi pembebasan sama sekali

tidak ada sangkut pautnya dengan “bebas semau gue” atau sikap permisif sebagaimana yang

sudah disalahpahami. Anggapan seperti itu tentu saja salah alamat dan menunjukkan

kebodohan saja. Untuk lebih jelas mengenai karakter dan jalan yang ditempuh teologi

pembebasan, mari sejenak melihat teologi pembebasan Amerika Latin.

 

Belajar dari Teologi Pembebasan Amerika Latin

Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan sebuah entitas gerakan sekaligus juga

doktrin. Gerakan ini muncul karena perpaduan dari perubahan-perubahan internal dan eksternal.

Secara internal gerakan ini muncul berbarengan dengan perkembangan aliran-aliran teologis

dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern. Sementara secara eksternal ia

didorong oleh dua situasi: pertama adalah keterbelakangan, ketergantungan, keterpinggiranm

ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh proses industrialisasi sejak tahun 1950-an

di seluruh benua di bawah arahan modal multinasional; dan kedua meningkatnya perjuangan

sosial, gerakan-gerakan gerilya, pergantian pemerintah melalui kudeta militer dan krisis

keabsahan sistem politik, sejak meletusnya revolusi Kuba tahun 1959.

Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para romo,

pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan orang awam, keterlibatan

pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun

diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan

kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka. Dorongan moral dan keagamaan

inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktifis dalam serikat-

serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, dan front-front kerakyatan untuk melawan

penindasan dan kemiskinan.

Adapun doktrin atau ajaran-ajaran penting yang menggerakkan mereka di antaranya

adalah: pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada

kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk dosa

Page 3: Perihal Teologi Pembebasan

struktural. Kedua,penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab musabab

kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan

kelas. Ketiga, pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan

mereka menuntut kebebasan. Keempat,pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat

agama di kalangan orang-orang miskin sebagai suatu bentuk baru keagamaan dan alternatif

terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis. Kelima,suatu penafsiran

baru Kitab Suci yang memberikan perhatian penting pada bagian-bagian yang mengusung

paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam, perlawanan terhadap

permberhalaan sebagai musuh utama agama, yakni berhala-berhala baru: uang, kekayaan,

kekuasaan, keamanan nasional, negara, militerisme, peradaban Barat.Ketujuh, sejarah

pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari Keselamatan. Dan kedelapan, kecaman

terhadap teologi tradisional yang bercorak platonik yang memisahkan antara sejarah

kemanusiaan dan ketuhanan (Michel Lowy, 1999: 25-30).

Dari susunan doktrin teologi pembebasan di atas nampak jelas sekali bahwa gerakan

tersebut tidak semata-mata diilhami oleh spirit moral dan keagamaan, melainkan juga oleh

keterbukaan para pemrakarsa dan aktivisnya terhadap pemikiran-pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu

sosial modern, khususnya Marxisme. Rupanya karena itulah dalam perjalanannya model teologi

pembebasan ini juga banyak menerima kritik bahkan cemoohan dan tentangan dari berbagai

kalangan. Di antara para pengkritik sendiri adalah para agamawan konservatif yang masih

mempertahankan ortodoksi. Mereka pada umumnya berada, berlindung dan mengambil untung

dari kekuasaan yang ada yang justeru lalim dan menindas, dan untuk itu mereka menggunakan

dalil-dalil keagamaan untuk mempertahankan status quo. Para pengkritik lain menganggap

teologi pembebasan cenderung menggunakan jalan kekerasan sebagai alat perlawanan. Hal ini

dipandang berkebalikan dengan nilai agama yang membawa pesan cinta kasih dan perdamaian.

Teologi pembebasan tentu sangat berbeda dengan pandangan teologis kaum konservatif

di atas yang menggunakan agama sebagai instrumen status quo. Kaum konservatif telah

memperlakukan “agama sebagai candu” untuk mencapai kenikmatan sesaat, seraya

mengabaikan panggilan profetik kenabian yang bersolidaritas terhadap kaum miskin dan

tertindas. Di tangan kaum konservatif ini pulalah energi agama yang sesungguhnya menjadi

kekuatan untuk melawan kezaliman, ketidakadilan dan penindasan menjadi susut dan akhirnya

musnah.

Konservatisme biasanya juga selalu berkarakter sempit dalam cara berpikir dan tertutup

dalam wawasan. Mereka menolak keterbukaan karena dianggap mengurangi kadar

keimanannya. Sehingga dalam beberapa kesempatan mereka menolak teologi pembebasan

yang telah memakai analisis kelas yang dikembangkan Marxisme. Bagi mereka konflik kelas

dalam Marxisme telah menyebabkan agama telah kehilangan watak spiritualitasnya sekaligus

menjadi sekadar gerakan sosial yang kerap diperjuangkan dengan cara-cara kekerasan.

Oleh pandangan-pandangan yang sempit inilah, lalu dalam setiap wacana dan

gerakannya teologi pembebasan banyak disalahpahami dan dicibir. Bukannya menjadi sarana

Page 4: Perihal Teologi Pembebasan

belajar dan refleksi kritis atas praksis untuk memperkaya pemahaman keagamaan yang sudah

usang.

Ada beberapa tokoh atau teolog di Amerika Latin yang mulai membangun dan

merumuskan teologi pembebasan. Di antara mereka yang berpengaruh dan sedikit disinggung di

sini adalah Gustavo Gutierrez dan Joan Luis Segundo. Gutierrez dalam bukunya berjudul A

Theology of Liberationmenyatakan:

“If faith is a comitment to God and to human beings, it is not possible to believe in

today’s world without a comitment to the process of liberation”.

(Bila iman adalah suatu komitmen kepada Allah dan umat manusia, maka mustahil

keberimanan kita pada hari ini mengabaikan komitmen kepada proses pembebasan

umat manusia (dari segala kemiskinan dan penindasan) (Alfred T. Hannelly, 1995:

11).

Di sini jelas bagi Gutierrez bahwa pembelaan terhadap kaum miskin dan perlawanan

terhadap para penindas sesungguhnya adalah konsekuensi dari iman seseorang kepada Allah.

Iman seseorang tidak bermakna apapun tanpa keterlibatan dirinya dalam praksis sosial dan

sejarah. Karena bagi Gutieres, makna teologi itu sendiri sebenarnya adalah suatu refleksi kritis

terhadap praksis dalam terang Kitab Suci. Oleh karena itu pula makna spiritualitas selalu terkait

langsung dengan tindakan.

Gutierrez menunjukkan tiga karakteristik teologi pembebasan (Alfred T. Hannelly, 1995:

12). Pertama, teologi pembebasan adalah pemahaman yang progresif dan terus menerus atas

dasar komitmen kemanusiaan dan keberimanan yang selalu hidup. Oleh karena itu teologi

sesungguhnya adalah praksis pembebasan dari belenggu ekonomi, sosial, politik, dan dari

sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan

manusia dengan Allah. Kedua, teologi adalah sebuah refleksi yang lahir dari tindakan. Gutierrez

menulis dalam sebuah paragraf yang cantik:

“Theology is a reflection— that is, a second act, a turning back, a reflecting, that

comes after action. Theology is not first; the commitment is first. Theology is the

understanding of commitment, and the commitment is action. The central action is

charity, which involves commitment, while theology arrives later on”.

(Teologi adalah sebuah refleksi, yakni suatu tindakan kedua, suatu gerak balik,

sebuah perefleksian yang dilakukan setelah bertindak. Jadi bukan teologi, melainkan

komitmenlah yang pertama. Teologi adalah hasil pemahaman dari komitmen, dan

komitmen itu adalah kesediaan untuk bertindak. Inti tindakan adalah kemurahan hati

yang disertai komitmen, setelah itu baru teologi hadir)

Oleh karena itu teologi harus menjadi kritis ketika berhadapan dengan masyarakat maupun

terhadap institusi keagamaan. Ia harus menjadi pembebas bagi kedua institusi sosial itu dari

Page 5: Perihal Teologi Pembebasan

berbagai macam ideologi, keberhalaan dan alienasi. Sehingga teologi itu sendiri pada akhirnya

akan memberikan orientasi dan inspirasi bagi aksi tindakan selanjutnya. Inilah yang disebut

dengan keberimanan dalam praksis sejarah, keberimanan yang transformatif. Dan ketiga, setiap

tindakan kita harus disertai dengan refleksi untuk memberi orientasi masa depan yang diyakini

dan diharapkan dan koherensi agar ia tidak jatuh pada aktivisme.

Meskipun Gutierrez telah memberikan ancangan rumusan metode teologi pembebasan,

baru kemudian Juan Luis Segundo yang berhasil mensistematisasi rumusan metodologi teologi

pembebasan. Sistematisasi inilah yang nantinya menjadi acuan berbagai metode “teologi-teologi

pembebasan” (liberation theologies) lainnya di dunia.

Dalam salah satu tulisannya “Two Theologies of Liberations”, ada pernyataan menarik

dari Segundo yang dikutip oleh Michel Lowy (Michel Lowy, 1999). Ia menyatakan, “Jangan lupa

kita hidup di tanah-tanah yang paling agamis dan di tanah-tanah yang paling tidak

berprikemanusiaan”. Pernyataan ini tampaknya menyembunyikan tapi sekaligus menyingkap

suatu ironi. Bagaimana mungkin penindasan justeru terjadi dalam masyarakat yang mayoritas

beragama yang meyakini bahwa ajaran agamanya melawan ketidakadilan dan penindasan.

Mengapa tidak ada protes atau perlawanan atas kondisi ini dari pihak kaum agamawan? Apakah

kaum agamawan buta atau membutakan diri terhadap situasi yang ada?

Segundo menyadari bahwa ketidakmampuan mengambil sikap yang diperlihatkan para

agamawan itu disebabkan ketidakmampuannya melihat persoalan sosial dan menganalisis

struktur-struktur penindasan yang ada. Bukan hanya itu, berlanjutnya penindasan karena agama

mengalami impotensi karena pemahaman terhadap teologi dan kitab suci didominasi oleh tafsir

yang justeru tidak sensitif terhadap persoalan masyarakat tertindas. Oleh karena itu menurutnya

perlu dilakukan deideologisasi terhadap realitas sosial dan superstruktur serta deideologisasi

terhadap interpretasi kitab suci, agar iman kita bisa merespon situasi konkrit penindasan dan ikut

berjuang bersama-sama kaum tertindas melawan para penindas.

Kebekuan agamawan dalam merespon situasi konkrit ini mendorong Segundo untuk

menawarkan metode berteologi yang bukan hanya sebagai usaha “ortodoksi” tapi juga suatu

“ortopraksis”. Yang dimaksud adalah bahwa berteologi bukan hanya untuk memperteguh dan

memantapkan ajaran, tapi juga menjadikan pengalaman konkrit sebagai basis menerapkan

sebuah rumusan ajaran. Segundo merumuskan hal ini dalam suatu bentuk “lingkaran

hermeneutik”. Apakah yang dimaksud dengan “lingkaran hermeneutik”?

“Hermeneutika” adalah proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci relevan

dengan zamannya, sedangkan “lingkaran” menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik

tolak pada realitas baru yang lalu menuntut kita menginterpretasikan ajaran kitab suci secara

baru pula dalam rangka mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali

kepada usaha menginterpretasikan kembali firman Allah, dan seterusnya. Menurut Segundo,

lingkaran hermeneutik bisa berlangsung dengan dua syarat:pertama, kesangsian-kesangsian

atas situasi nyata sungguh-sungguh dalam memperkaya, dan kedua, interpretasi atas kitab suci

juga bersifat sungguh-sungguh dalam dan memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37).

Page 6: Perihal Teologi Pembebasan

Dalam lingkaran hermeneutik ini sang penafsir dituntut untuk terus menerus melakukan

kritik terhadap realitas yang ada sekaligus mengkritik pula pemahaman teologis terhadap realitas

tersebut, dan lalu menafsirkannya kembali demi perubahan realitas tersebut. Dengan kata lain,

di belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu “mencurigai” suatu

tafsir. Atau mencurigai status iman seseorang kepada siapa dia mengabdikan imannya.

Pengandaiannya adalah bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan

yang menyejarah dan subjektif terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang

harus senantiasa diberi kritik dengan selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru

dengan begitu, makna keberimanan seseorang akan membawa transformasi bagi kehidupan ke

arah yang lebih baik.

Berikut ini model “lingkaran hermeneutika”:

 

 

Cara yang kaya dan dalam mengalami

Cara yang kaya dan dalam menginterpretasikan

Kesangsian eksegesis

Kesangsian Ideologis

Realitas Baru

Realitas Terumuskan

Kitab Suci

Tahap II

Page 7: Perihal Teologi Pembebasan

Tahap I

Tahap IV

Tahap III

Ideologi

Dari model “lingkaran hermeneutika” di atas tampak ada 4 langkah penafsiran yang

diajukan Segundo (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37; Alfred T. Hannelly, 1999: 28). Langkah

itu bisa diuraikan sebagai berikut:

Langkah pertama: cara kita mengalami “realitas yang terumuskan” mendorong kita pada

posisi “kecurigaan ideologis”. Pada tahap ini, dalam pengamatan Segundo, Harvey Cox dalam

bukunya The Secular City (1966)gagal memasuki kesangsian ideologis karena ia bersikap anti

pragmatisme sosial. Cox terlalu sibuk pada langkah pertama yakni cara yang kaya dan

mendalam mengalami realitas, dia hanya menyangsikan cara lama mengalami realitas yang

bertumpu pada kaidah-kaidah nilai kemanusiaan tertinggi, dan mengajukan alternatif cara baru

mengalami realitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai efisiensi teknologis tanpa menelisik

kepentingan ideologis di balik realitas itu.

Langkah kedua: menerapkan “kecurigaan ideologis” pada seluruh superstruktur ideologis

dan khususnya pada teologi. Dalam konteks ini, menurut Segundo, Marx sukses membongkar

ideologi dalam masyarakat, tapi gagal membangun transformasi dalam agama, bahkan tidak

menyentuh sedikitpun.

Marx sukses pada langkah pertama mengalami realitas sejarah sebagai perjuangan

kelas. Ia juga memiliki komitmen mentranformasikan dunia dalam konsepnya tentang

“materialisme sejarah”, yakni sebuah patokan bahwa basis hubungan sosial ekonomi

menentukan superstruktur ideologi, budaya dan agama. Oleh karena itu dalam rangka

menghilangkan cengkeraman penguasa borjuis, hubungan sosial ekonomi itu harus diubah dari

feodalisme ke kapitalisme, dari kapitalisme ke sosialisme yang akhirnya ke komunisme. Letak

kesangsian ideologis Marx adalah keyakinannya bahwa ideologi yang berkuasa selalu

merupakan ideologi dari kelas yang sedang berkuasa. Namun sayangnya komitmen transformasi

masyarakat Marx berhenti, ia tidak melanjutkan logikanya mengubah superstruktur untuk pula

mengubah agama (sebagai salah satu unsur superstruktur).

Langkah ketiga: Dari cara baru mengalami realitas teologis mendorong kita pada

“kecurigaan eksegesis”. Kita mulai mengangsikan interpretasi Kitab Suci yang ada karena tidak

mengikutsertakan data yang penting. Menurut Segundo, Max Weber dalam The Protestant Ethic

Page 8: Perihal Teologi Pembebasan

and the spirit of Capitalism (1904-1905) sukses melihat peranan agama. Weber secara sosio-

psiko-historis berhasil mencari peranan superstruktur (agama, etika protestan) terhadap

hubungan sosial ekonomi (gairah usaha untuk memperoleh untung, kerja keras, berhemat,

menabung dan menumpuk harta—spirit kapitalisme). Tapi sebagai seorang Calvinis ia tidak

memiliki komitmen terhadap transformasi masyarakat.

Langkah keempat: kita mencapai hermeneutika baru dengan menginterpretasikan Kitab

Suci secara baru, lebih kaya dan mendalam. Dengan demikian kita juga mengalami realitas

secara baru pula. Menurut Segundo, James H. Cone adalah seorang teolog asal Arkansas,

negara bagian Amerika Serikat yang dengan komitmennya terhadap transformasi pembebasan

manusia berhasil melalui tahap-tahap penafsiran teologi pembebasan dalam praksis sosial

melalui karyanya A Black Theology of Liberation (1970).

Cone merumuskan teologi pembebasan kulit hitam dalam rangka memberikan acuan

teologis dan praktis untuk pembebasan warga kulit hitam yang miskin, tertindas, dan

terdiskriminasi. Ia bertolak dari praksis iman yang dialaminya yakni pembebasan kelas kulit

hitam di Amerika Utara, yang ditindas oleh kelas kulit putih lengkap dengan ideologi dan teologi

pembenaran status quo-nya yang menindas.

Cone mepresentasikan Black Theology-nya ke dalam 4 langkah. Langkah pertama Cone

mengalami realitas di Amerika Utara sebagai perjuangan pembebasan kelas kulit hitam dan

makna ketuhanannya dihubungkan dengan solidaritas dengan mereka yang dibelenggu

penindasan. Langkah kedua setelah melakukan analisis sosial untuk membongkar sistem-sistem

dominasi, seperti rasisme, seksisme, kolonialisme, kapitalisme dan militerisme, Cone sampai

pada kecurigaan ideologis terhadap pendapat kelas kulit putih bahwa warna kulit jangan

dijadikan titik perbedaan demi kesatuan dan universalitas manusia. Langkah ketiga Cone

mengalami kecurigaan eksegesis terhadap cara berteologi kelas kulit putih yang berpusat pada

universalitas konteks, yang menutup kemungkinan mendekati Kristus yang terikat dengan

kebudayaan tertentu. Dalam hal ini Cone berupaya menafsirkan kembali pesan-pesan Kitab Suci

yang sudah didistorsi dan menjadikan Allah menjadi spirit pemberdayaan masyarakat agar lebih

manusiawi. Terakhir Cone menekankan cara baru yang kaya dan mendalam mengalami Kitab

Suci sebagai wahyu yang relevan bagi perjuangan kelas kulit hitam untuk pembebasan zaman

kita sekarang. Termasuk juga disini kebutuhan terhadap bahasa teologi baru yang hadir di dalam

cerita-cerita, dongeng-dongeng, nyanyian, kotbah, dan ajaran-ajaran yang lebih bernada

membebaskan.

Dari uraian di atas, tampak sekali bahwa Cone benar-benar merumuskan model cara

beragama sekaligus penghayatan iman secara baru. Yakni iman yang diterangi oleh Kitab Suci

yang senantiasa berdialog dengan realitas. Hal ini juga menunjukkan bahwa teologi

pembebasan bukanlah semacam teologi yang sempit, kolot, dan tertutup yang hanya terkesima

oleh warisan masa lalu. Melainkan teologi yang selalu berdialog dengan realitas yang

membuatnya selalu relevan bagi pemeluknya.

Cara berteologi yang demikian itu menyadari betul bahwa iman sendiri sesungguhnya

adalah refleksi individual atau penghayatan terhadap Firman Allah dalam situasi konkrit dan

menyejarah. Dengan demikian, berteologi semacam ini sungguh-sungguh akan mendorong

Page 9: Perihal Teologi Pembebasan

untuk lebih bersikap dewasa dan terbuka kepada realitas dan perkembangan pengetahuan yang

bisa menjadi bahan untuk memperkaya keberagamaan kita, terutama dalam mengambil sikap

terhadap realitas sejarah yang selalu bergerak dinamis.

 4. Teologi Pembebasan Islam, Adakah?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kita perlu mengetahui kenyataan

bahwa gema teologi pembebasan sejak lahirnya pada tahun 50-an dan 60-an abad lalu telah

menjadi inspirasi berharga bagi perkembangan teologi-teologi pembebasan lainnya. Di Amerika

Utara misalnya ada teologi pembebasan feminis yang digerakkan oleh beberapa tokoh

berpengaruh, misalnya: Elizabeth Schussler Fiorenza, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth

Johnson, Jacquelyn Grant, dan lain-lain; lalu teologi kulit hitam dengan tokoh-tokohnya, seperti

James H. Cone, Martin Luther King, Jr, Malcolm X., dan Delores S. Williams; ada teologi

pembebasan Hispanik dengan tokoh-tokohnya Allan Figueroa Deck, dan MujesristaTheology;

ada teologi pembebasan Afrika dengan tokoh-tokohnya Benezit Bujo, Mercy Amba Oduyoye;

dan tak ketinggalan teologi pembebasan Asia dengan beberapa tokohnya Aloysius Pieris,

Raimundo Panikkar, dan Chung Hyun Kyung.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa semangat dan prinsip teologi pembebasan bisa

tumbuh di manapun dan dalam kebudayaan apapun ketika sistem dan struktur sosial dalam

masyarakat berjalan timpang, diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, serta

adegan penindasan kelompok satu atas kelompok lainnya. Munculnya spirit pembebasan ini

didorong oleh dua kecenderungan.

Pertama, dalam diri manusia sebenarnya menyimpan potensi fitrah, yakni kesadaran

akan kemerdekaan diri. Potensi itu akan dirasakan dan tampak manakala manusia

merealisasikan kebebasan dirinya dalam tindakan-tindakan konkrit. Ketika manusia merasakan

dirinya tertekan oleh beban penindasan maka dalam dirinya muncul resistensi dan kehendak

untuk membebaskan diri.

Kedua, dalam sebuah komunitas tertentu kesadaran pembebasan itu sudah ada dan

tumbuh (minimal secara potensial) dalam tradisi budaya atau dalam dunia simbolik yang diyakini

kebenarannya secara kolektif. Misalnya dalam dongeng, cerita sejarah, mitos, atau dalam teks-

teks Kitab Suci. Fakta mengenai tumbuh suburnya ragam gerakan pembebasan di Asia dan

Afrika di atas menunjukkan sekali lagi bahwa ia tidak sekadar dipengaruhi oleh faktor eksternal,

tetapi juga faktor internal dalam budaya itu sendiri.

Oleh karena itu jika teologi pembebasan bisa tumbuh di berbagai kebudayaan, maka

berdasarkan kedua hal tersebut di atas jawaban mengenai ada-tidaknya teologi pembebasan

dalam Islam tampaknya bisa diperoleh pula. Pertama berdasarkan kesadaran internal umat

Islam yang berkehendak mencari pembebasan dan melakukan transformasi sosial, dan kedua

itu dilakukan melalui reinterpretasi terhadap sejarah dan kebudayaan umat Islam atau dengan

melakukan rekonstruksi atas pesan-pesan normatif pembebasan dalam Islam sendiri.

Page 10: Perihal Teologi Pembebasan

Michael Amaladoss membuat penelitian yang sangat menarik mengenai berbagai bentuk

teologi pembebasan, khususnya di Asia. Setelah mengkaji berbagai potensi dan watak

pembebasan dalam agama-agama di Asia yang meliputi: agama Hindu, Buddha, Konghucu,

Kristiani, Islam dan agama-agama Kosmis, Amaladoss menyimpulkan bahwa berbagai teologi

tersebut menunjukkan bahwa semua agama memiliki segi-segi yang membebaskan, dan para

nabi telah berusaha menyoroti unsur-unsur yang membebaskan itu dalam menafsirkan kembali

tradisi agama mereka secara kreatif dan relevan (Michael Amaladoss, 2000: 270).

Adapun untuk mengetahui lebih lanjut secara diskursif wacana pembebasan dalam

Islam, dalam bagian berikutnya kita akan melihat sekilas beberapa sarjana muslim seperti Ali

Syariati, Asghar Ali Engeneer dan tentu saja Hasan Hanafi, yang telah mengangkat elemen-

elemen pembebasan dalam Islam baik melalui pendekatan tekstual maupun pendekatan

rekonstruksi simbolis dalam sejarah Islam.

5. Ali Syariati dan Humanisme Islam

Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang ideolog

revolusi Islam di Iran. Ia melahap habis pemikiran filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, dan

secara cerdik menggunakan hazanah tersebut secara kritis untuk menganalisis kondisi sosial

politik umat Islam. Usaha besar Syariati terletak pada upayanya untuk membeberkan

kekhususan ideologi dan kebudayaan Islam, yang dengan demikian menunjukkan terdapat

beberapa asas pokok pembebasan dalam agama Islam.

Ali Syariati menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat nilai-nilai

humanisme sejati yang bersifat ilahiyah sebagai warisan budaya moral dan keagamaan.

Manusia adalah makhluk yang sadar-diri, dapat membuat pilihan-pilihan dan dapat menciptakan,

sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme

tersebut meski yang didapatinya adalah kegetiran dan petaka saat melawan kekuasaan jahat

dan penindas. Mengenai hal ini Syariati menyajikan tokoh-tokoh simbolik Kain dan Habel untuk

menjelaskan dan menganalisis sejarah kekuasaan.

Menurut Qur’an Kain dan Habel mempersembahkan kurban kepada Allah. Hanyak

kurban Habel yang diterima, sementara Kain, karena iri hati, membunuh Habel. Kain adalah

petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai munculnya monopoli produksi

pertanian dan hak milik pribadi yang menyebabkan munculnya ketidaksamaan ekonomis dan

adanya dominasi kekuasaan. Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir

di tengah sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh

simbolis yang melambangkan kekuasaan, Croesus melambangkan kekayaan, dan Balaam

memerankan kaum rohaniawan dan agamawan yang memonopoli agama sebagai sistem

upacara ritual. Ketiganya tak henti-hentinya berkolaborasi satu sama lain dalam membangun

dan melestarikan kecenderungan sejarah.

Di abad Pertengahan, manusia dikurung oleh Gereja Abad Pertengahan dan sistem

teokrasi yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme manusia

Page 11: Perihal Teologi Pembebasan

dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah teokrasi baru

di tangan kapitalisme. Demikian juga komunisme yang menjanjikan persamaan dan kesetaraan

ternyata menghasilkan fanatisme kekuasaan yang sama mengerikannya dengan Gereja

Pertengahan. Di sisi lain kapitalisme telah menjadi imperialisme dan terus berkembang menjadi

sebuah sistem yang mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga.

Kapitalisme telah menciptakan kebudayaan materialis yang seragam dan dalam proses melucuti

akar-akar kebudayaan dan keagamaan rakyat, melucuti jati diri dan kemanusiaan mereka

sehingga menjadi objek-objek yang mudah dieksploitasi. Dan celakanya dominasi budaya Barat

ini dilestarikan secara sukarela oleh para intelektual setempat tanpa memahami hakikat baru

penjajahan atas negara-negara dunia ketiga ini.

Dalam pandangan Ali Syariati semua ideologi dunia ini telah gagal membebaskan

manusia dan sebaliknya menciptakan bentuk-bentuk ketidakadilan baru dan penindasan baru

pula dalam ungkapan dan sarana yang berbeda. Karenanya untuk mengatasi problem sosial ini

harus dicari jalan baru, sebuah jalan ketiga yang menurut Ali Syariati bisa diperankan oleh Islam.

Dalam konteks ini Ali Syariati nampaknya memimpikan lahirnya nabi-nabi baru. Nabi-

nabi baru yang diperankan oleh para pemimpin spiritual atau intelektual sebagai para “pemikir

bebas” yang telah memperoleh pencerahan. Menurut hemat saya, gagasan Ali Syariati ini sangat

dekat dengan gagasan Gramsci yang memberi arti penting bagi keberadaan “intelektual

organik”. Sebagaimana Gramsci, Ali Syariati menggambarkan nabi-nabi baru atau para “pemikir

bebas” ini sebagai pemimpin spiritual atau intelektual yang mampu berbahasa selaras dengan

bahasa rakyat pada zamannya, juga mampu merumuskan pemecahan-pemecahan masalah

sesuai dengan suara-suara dan nilai-nilai budaya masyarakatnya. Mereka “membimbing” dan

bekerja demi keadilan, serta berjuang demi pembebasan umat manusia dari ketidakadilan,

penindasan, pemiskinan dan penjajahan. Inilah makna kesyahidan menurut Ali Syariati, yang

harus dijalani oleh para Nabi yang dalam tradisi Syiah pernah dihadapi oleh Imam Husayn

(Michael Amaladoss, 2000: 238-240).

Ali Syariati membubuhkan spirit pembebasan Islam dalam sebuah bait doa

dalam Martyrdom berikut ini:

Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas!

Engkau hendak merahmati

Orang-orang yang terampas di dunia ini,

Orang kebanyak yang bernasib tak berdaya

Dan kehilangan hidup,

Orang yang diperbudak sejarah,

Korban-korban penindasan

Dan penjarahan waktu,

Page 12: Perihal Teologi Pembebasan

Orang-orang celaka di atas bumi ini,

Menjadi pemimpin-pemimpin umat manusia

Dan pewaris-pewaris bumi.

Sekarang sudah tiba waktunya

Dan orang-orang terampas di atas bumi ini

Merupakan pengharapan akan janji-Mu

 

6. Asghar Ali Engineer dan Elemen Pembebasan dalam Qur’an

 

Jika Ali Syariati menggali spirit pembebasan melalui pemaknaan atas tokoh-tokoh simbolis

dalam hazanah kebudayaan Islam, maka Asghar Ali Engineer, seorang ahli teologi dan aktivis

HAM ini, cenderung menggunakan pendekatan tekstual untuk menggali elemen-elemen dan

prinsip-prinsip pembebasan dalam Islam yang terangkum dalam penegasannya mengenai

persamaan dan keadilan (Michael Amaladoss, 2000: 240-249).

Namun demikian rupanya keduanya juga memiliki kedekatan konseptual. Sebagaimana Ali

Syariati, Asghar Ali juga menganggap penting peran kenabian, terutama keberadaan Nabi

Muhammad SAW dalam pembaruan sosial. Nabi Muhammad bukan sekadar guru, melainkan

juga seorang pejuang dan aktivis yang diutus untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan

penindasan. Ia membebaskan rakyat Mekkah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi serta

memberikan inspirasi pengikutnya untuk membebaskan dirinya dan masyarakat lain dari

penindasan oleh kerajaan Romawi dan Sassanid.

Lebih jauh secara doktriner, menurut Asghar Ali, ajaran tawhid yang disampaikan Nabi tidak

hanya mengandung makna teologis tentang konsep monoteisme Tuhan, tetapi juga memuat

makna sosiologis sebagai kesatuan sosial. Argumentasi ini didasarkan pada firman Allah

berbunyi:

“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu semua dari seorang laki-laki dan perempuan, dan

telah membuat kamu menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku supaya kamu saling mengenal.

Sesungguhnya orang-orang yang termulia dari antara kamu semua di mata Allah adalah orang

yang paling jujur (dan adil)”

Lebih lanjut kesatuan sosial yang diajukan Qur’an ini bukan hanya bermatra rasial dan etnis,

tetapi juga meliputi penghapusan ketidakadilan akibat dari perbedaan ekonomis. Argumentasi ini

didasarkan pada dua kata yang digunakan dalam Qur’an yang menyatakan keadilan,

yakni ‘adl dan qist. ‘Adlbermakna ganda, bisa berarti keadilan juga bisa berarti menyamakan

atau meratakan. Lawannya adalah zulm yang berarti penindasan. Sedangkan qistbermakna

distribusi yang sama, yang adil, yang wajar, atau pemerataan. Distribusi yang sama ini juga

Page 13: Perihal Teologi Pembebasan

merujuk pada sumber-sumber daya jasmani, yang juga meliputi distribusi kekayaan

sebagaimana dikukuhkan dalam Qur’an.

“Kekayaan tidak boleh hanya beredar di kalangan kamu orang-orang kaya” (Qur’an, 59: 7).

Dari ayat tersebut dimaksudkan bahwa setiap orang tidak boleh menyimpan lebih

banyak dari yang perlu, apalagi ditujukan untuk hidup berlebihan, bermewah-mewah

dan berpamer ria. Karena cara hidup yang demikian itu akan mengantarkan pada

kehancuran.

“Dan bila kami akan menghancurkan sebuah kota, kami mengirimkan perintah kepada

penghuninya yang hidup bermewah-mewah, dan kemudian mereka melakukan hal yang

menjijikkan di dalamnya, dan dengan demikian dunia (terkutuk) terjadi padanya, dan kami

membinasakannya sampai musnah sama sekali.” (Qur’an, 17: 16)

Selain teks-teks di atas, Qur’an juga secara eksplisit menunjukkan pembelaannya

terhadap orang-orang miskin dan tertindas (kaummustadh’afin). Berikut ini petikan

ayat tersebut:

“Mengapa kamu tidak mau berjuang demi kepentingan Allah dan orang-orang lemah di

tengah-tengah rakyat, dan demi kepentingan kaum perempuan dan anak-anak yang

berkata: Tuhan kami, keluarkanlah kami dari kota yang orang-orangnya penindas ini”

(Qur’an, 4: 75)

Juga:

“Dan kami ingin menunjukkan perkenan kepada orang-orang yang tertindas di atas bumi,

dan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris” (Qur’an, 28: 5)

Demikian sentralnya konsep keadilan ini di dalam agama Islam, Qur’an berungkali

menegaskan perintah dan ajakan untuk bersikap adil dalam segala urusan ketika

berhubungan dengan semua orang dengan latar belakang apapun dan dalam situasi

bagaimanapun. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman jadilah saksi-saksi teguh akan Allah dalam keadilan, dan

jangan kamu biarkan kebencian akan orang-orang manapun membujuk kamu sehingga

kamu tidak berbuat adil. Berbuat adillah, itu lebih dekat dengan kesalehan” (Qur’an, 5: 8)

Allah juga memberikan penegasan mengenai larangan berbuat royal dan boros yang

menunjukkan hidup bermewah-mewahan:

“Perhatikan perhiasanmu di setiap tempat ibadah dan makan serta minumlah, tetapi jangan

menjadi orang pemboros (peroyal)” (Qur’an, 7: 31)

Selain berbagai seruan untuk berbuat adil di atas, Islam juga mencontohkan

bagaimana mempraktekkan tindakan yang adil itu dalam kehidupan. Melalui

konsep zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam, setiap individu umat

Page 14: Perihal Teologi Pembebasan

Islam diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaannya kepada kaum miskin yang

tidak bisa terlibat dalam proses-proses produksi. Allah berfirman:

“Dan dalam kekayaan mereka orang-orang yang berkekurangan dan melarat (fakir miskin)

mempunyai bagian semestinya” (Qur’an, 51: 19)

Dalam bagian lain Allah berkata:

“Apakah kamu melihat orang yang mendustakan agama? Dialah yang menyingkirkan yatim

piatu dan tidak mendesak orang-orang lain untuk memberikan makan orang-orang yang

berkekuarangan. Celakalah orang-orang yang menjalankan shalat tapi tidak perduli dengan

shalat mereka: yang pamer kesalehan tetapi tidak memberikan sedekah kepada orang-

orang yang melarat” (Qur’an, 107: 1-7)

Demikianlah prinsip-prinsip dan semangat pembebasan dalam Islam yang dipantulkan melalui

berbagai ayat dalam Kitab Suci Qur’an. Kenyataan itu semakin meneguhkan bahwa dalam

tradisi Islam sendiri sesungguhnya memuat spirit pembebasan yang potensial menjadi suatu

gerakan masif. Yakni suatu gerakan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan

yang membuat rakyat miskin dan terpinggirkan. Bahkan di bawah panji-panji keadilan dan

kesamaan, teologi pembebasan dalam Islam melampaui berbagai ranah, mulai dari bersikap adil

terhadap kaum perempuan sampai penghormatan dan sikap terbuka serta toleran terhadap

agama-agama dan keyakinan lain yang dianut oleh umat manusia.

 

Hassan Hanafi dan “Kiri Islam”

Hassan Hanafi adalah seorang pemikir revolusioner, reformis tradisi intelektual Islam klasik, dan

sekaligus penerus gerakan Al-Afghani. Ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas

Sorbonne, Paris, pada 1966, dan menjadi guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia

menjadi terkenal setelah meluncurkan proyek pemikiran revolusionernya dalam sebuah jurnal Al-

Yasar al-Islami: Kitabat fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esei tentang Kebangkitan

Islam) yang terbit pada 1981 segera setelah kemenangan revolusi Islam di Iran.[1] Sejak saat

itulah pemikiran Hassan Hanafi akrab diidentikkan dengan “Kiri Islam” yang merupakan

manifesto ideologi pembebasan dalam Islam. Seperti apakah konsep Kiri Islam itu?

Dalam sebuah artikel panjang berjudul “Madza ya’ni al-yasar al-islami” (Apakah Kiri Islam itu?)

yang dimuat dalam jurnal Al-Yasar al-Islami, Hassan Hanafi menegaskan bahwa Kiri Islam

adalah nama ilmiah atau istilah akademik yang menunjuk pada gagasan yang berpihak kepada

orang-orang yang dikuasai, kaum tertindas, dan orang miskin. Kiri Islam adalah gerakan

transformasi sosial untuk mengubah “kesadaran individual” menjadi “kesadaran kolektif” dalam

rangka menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat Islam, membela kepentingan seluruh

umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat

orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama dan setara. Salah satu elemen

revolusionernya bisa ditemukan dalam Qur’an berbunyi:

Page 15: Perihal Teologi Pembebasan

“Dan Aku menhendaki kemenangan orang-orang yang tertindas di bumi, dan

menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan pewaris-pewaris” (Qur’an, 28: 5)

(Kazuo Shimogaki, 1993: 85-90).

 

Sebagaimana Ali Syariati, Hassan Hanafi yang memperoleh pendidikan Barat di Paris

memanfaatkan hazanah filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern untuk menganalisis kondisi sejarah

dan realitas umat Islam di Arab dan di bagian dunia lain yang terpuruk dalam kemisikinan dan

penjajahan. Melalui analisisnya yang tajam terhadap imperialisme Barat dan kondisi internal

umat Islam inilah Hassan Hanafi akhirnya sampai pada gagasannya mengenai Kiri Islam.

Hassan Hanafi memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang bisa

menghapus kekayaan budaya bangsa-bangsa serta menciptakan keterbelakangan. Liberalisme

dan kapitalisme yang telah bermetamorfosis menjadi imperialisme budaya (pengetahuan) dan

kapitalisme multinasional ternyata didikte oleh kebudayaan Barat yang berperilaku seperti

kolonial yang hanya melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Sementara di sisi

lain mayoritas rakyat tetap tertindas, miskin dan terpinggirkan dari proses-proses sejarah yang

menentukan ini. Celakanya, menurut Hassan Hanafi, pengaruh eksternal tersebut memperoleh

dukungannya dari kondisi internal umat Islam sendiri. Tendensi keagamaan umat Islam telah

terkooptasi kekuasaan yang hanya meletakkan Islam sebagai ritus dan kepercayaan ukhrawi.

Tekstualisme dalam penafsiran Kitab Suci secara dramatis telah menjauhkan umat Islam dari

kondisi eksistensi realnya, berupa keterbelakangan, kemiskinan dan ketertindasan. Alih-alih bisa

membebaskan dari kondisi-kondisi ini, fenomena ritualisme itu telah menjadi topeng yang

menyembunyikan dominasi Barat dan kapitalisme nepotis.

Selain kedua hal di atas, bahaya lain juga datang dari Marxisme yang berpretensi mewujudkan

keadilan dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan

pengembangan khazanah mereka (yakni khazanah agama-agama) sebagai energi untuk

mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional. Sementara nasionalisme revolusioner sendiri

yang tampak berhasil membuat perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi

ternyata tidak berumur lama. Karena ia berhenti hanya sebatas slogan sehingga tidak mampu

mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat (Kazuo Shimogaki, 1993: 91-92).

Akhirnya berlandaskan analisis sosial politik inilah Hassan Hanafi menganggap penting upaya

untuk memperkuat jati diri umat Islam, yakni dengan memasuki medan percaturan yang paling

mendasar dalam kebudayaan dan kesadaran historis masyarakat. Dan Kiri Islam ditujukan untuk

kepentingan ini. Yakni membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyongsong

kebangkitan rakyat melalui upaya revitalisasi pemikiran keislaman dengan memantapkan posisi

rakyat dalam sejarah (Shimogaki, 1993: 140). Proyek Kiri Islam Hassan Hanafi setidaknya

meliputi dua aspek penting.

Pertama, merevitalisasi dimensi revolusioner dalam khazanah intelektual Islam

klasik. Kedua menantang peradaban Barat yang hegemonik.

Page 16: Perihal Teologi Pembebasan

Pada aspek pertama, Kiri Islam telah menggali paradigma independen pemikiran keagamaan

yang menekankan arti penting gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia.

Dalam hal ini Hassan Hanafi menilai mu’tazilah telah smewariskan tradisi yang berharga

mengenai kebebasan dan tanggung jawab manusia atas perbuataannya, sehingga manusia

menyadari perannya untuk selalu berusaha mewujudkan kebaikan melalui perbuatannya yang

disertai dengan keyakinan iman. Dalam hal ini kepemimpinan umat islam harus berdasarkan

pemilihan demokratis dan amar ma’ruf nahi mungkaradalah kewajiban setiap muslim. Demikian

juga sesuai dengan tanggung jawabnya, manusia dituntut teguh untuk merebut hak-haknya dan

mengembalikan martabatnya yang dirampas. Kiri Islam juga juga memperhitungkan semangat

kaum Syi’ah yang menancapkan harga diri Islam melawan kolonialisme dan westernisme.

Dalam kehidupan sosial dan politik, Kiri Islam menggunakan pendekatan

kemaslahatan serta membela kepentingan rakyat dalam penetapan hukum. Ini

dianut berdasarkan paradigma fiqh dan usul-fiqhMalikiyah yang berasal dari tradisi Abdullah ibn

Mas’ud yang dikembangkan dari Umar ibn Khattab yang membela kemaslahatan umat secara

realistis dan mengetahuinya meskipun belum ada petunjuk wahyu hingga datang wahyu yang

membenarkan pendapatnya.

Oleh karena itulah dalam menafsirkan teks, Kiri Islam senantiasa menggunakan akal

seoptimal mungkin sebagaimana yang dilakukan Hanafiyah dan memadukannya

dengan cermin realitas sebagaimana Syafi’iyah, dengan tanpa meninggalkan

komitmen pada teks itu sendiri sebagaimana dilakukan Hambaliyah. Ini karena bagi

Kiri Islam, teks adalah refleksi atas realitas itu sendiri.

Kiri Islam memperoleh akarnya dari filsafat rasional yang sudah dibangun oleh Al-

Kindi dan Ibnu Rusyd, juga pada ilmu-ilmu rasional murni dalam khazanah klasik.

Kiri Islam berpretensi untuk mengangkat kembali ilmu-ilmu klasik seperti

matematika, fisika, arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi, dan sebagainya

dalam pangkuan Islam. Kiri Islam juga berakar pada ilmu-ilmu kemanusiaan yang

sudah diletakkan dasarnya oleh pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra,

geografi, sejarah, psikologi dan sosiologi. Selain itu Kiri Islam juga memiliki akar

pada ilmu-ilmu normatif tradisional murni(al-ulum al-naqliyah al-khalizhah), yakni

ilmu yang pertama kali berkembang di sekitar wahyu seperti: ilmu-ilmu Qur’an,

Hadist, Tafsir dan Fiqh. Beberapa cabang itu bisa dikembangkan secara

kontemporer. Misalnya asbab al-nuzuli dalam ilmu-ilmu Qur’an dimaksudkan untuk

mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa al-mansukh untuk melihat aspek

gradualisme dalam penerapan syariah, dan lainnya. Semua ini bisa dikembangkan

menjadi ilmu eksperimental, seperti statistik, sosiologi, historiografi, ideologi, sistem

politik dan ekonomi.

Kiri Islam juga mengkaji kembali ajaran tentang ibadah yang selama ini menjadi

seolah-olah tujuan padahal sesungguhnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Menurut Hanafi, orang yang berhenti pada sarana tanpa pernah sampai tujuan maka

Page 17: Perihal Teologi Pembebasan

ia sesungguhnya tak pernah shalat, puasa, haji dan syahadat. Syahadat tidak

semata-mata mengucapkan “Asyhadu an-la Ilaha Illa Allah wa asyhadu anna

Muhammad Rasul Allah”. Melainkan sebuah persaksian yang aktif, yang dimulai

dengan bentuk negatif “la Ilaha” yang bermakna negasi atas kekuatan penindas dan

tuhan-tuhan palsu di sekitar kita, baik dalam bentuk uang maupun kekuasan; lalu

penetapan “Illa Allah” berarti hanya Allah yang Maha Perkasa (Kazuo Shimogaki,

1993: 95-106).

Demikianlah dengan merevitalisasi seluruh khazanah intelektual klasik ini hendak ditunjukkan

bahwa kebangkitan masyarakat Islam akan datang dari dalam, yakni melalui pengembangan

dimensi internal umat Islam sendiri.

Adapun aspek kedua dari proyek Kiri Islam adalah melawan hegemoni kebudayaan Barat.

Dalam konteks ini tugas Kiri Islam adalah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi korporasi

multinasional dan imperialisme kebudayaan yang menggerogoti jati diri dan kemandirian umat.

Tugas Kiri Islam adalah melokalisir Barat, yakni mengembalikan Barat kepada batas-batas

alamiahnya dan menepis mitos bahwa Barat adalah “pusat peradaban dunia” yang berambisi

menjadi “paradigma” kemajuan bagi bangsa-bangsa lain.

Dengan penolakan ini berarti bangsa-bangsa non-Barat berusaha melawan

dominasi dan hegemoni yang telah merenggut kemerdekaan dan kepribadian

bangsa-bangsa lain, sehingga bisa menentukan nasib dan kesejahteraannya sendiri

(Kazuo Shimogaki, 1999: 106-108).

Penutup

Dari paparan di atas, maka setidaknya dapat disimpulkan dalam catatan penutup ini

bahwa teologi pembebasan adalah teori ketuhanan yang berorientasi pada kemanusiaan dan

pembebasan kaum tertindas baik secara kultural maupun secara struktural.

Pertama, teologi pembebasan lahir dari pembacaan yang kaya terhadap khazanah

pemikiran maupun kebudayaan internal masing-masing agama atau tradisi komunitas tertentu.

Dengan menyadari ini kita akan memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya spirit

pembebasan sudah ada dalam pengalaman dalam tiap-tiap agama dan kebudayaan, termasuk

dalam agama Islam. Kedua, semangat pembebasan hanya mungkin manifes jika perumusan

teologi diorientasikan pada solidaritas dan pembebasan terhadap umat manusia yang lemah.

Oleh karena itu dibutuhkan kehendak, kesadaran diri, kebebasan dan tanggung jawab setiap

individu untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih adil,

setara dan manusiawi.

Inilah makna teologi pembebasan dalam masyarakat Islam. Praktek ritual adalah penting

namun ia memerlukan indikator sosial. Indikator material ibadah yang diterima Tuhan adalah

keberhasilannya menegakkan kebenaran dan keadilan (QS. Al Maidah; 8). Sedangkan indikator

Page 18: Perihal Teologi Pembebasan

sosial ibadah yang tidak diterima adalah membiarkan ketidakadilan, kemiskinan, dan

ketertindasan di sekitar kita. (QS. Al Maa’un).

Akhirnya, hadirnya teologi pembebasan dalam agama-agama sesungguhnya adalah

cermin bagi diri umat beragama untuk selalu terbuka terhadap pengetahuan dan realitas alam

yang diwahyukan Tuhan. Karena realitas inilah yang ikut memperkaya wawasan kita tentang

iman dan cara berteologi yang relevan dengan konteks zaman. []

Bahan Bacaan:

Amaladoss, Michael, Teologi Pembebasan Asia, Penerbit Pustaka Pelajar dan Insist,

Yogyakarta, 2000.

Hennelly, Alfred T., Liberation Theologies: the Global Pursuit of Justice, Twenty-Third

Publication, USA, 1995

Lowy, Michel, Teologi Pembebasan, Penerbit Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Mulkhan, Abdul Munir, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadh’afin, Penerbit

Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002

Nitiprawiro, Fr. Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Penerbit

LKIS, Yogyakarta, 2000

Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Pemikiran

Hassan Hanafi, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 1993

Sindhunata, G.P, “Memoria Passionis: Walter Benyamin dan Teologi Politik” dalam Budi

Susanto, SJ (ed.), Teologi dan Praksis Komunitas Postmodern”,Penerbit Kanisius, Yogyakarta,

1994

[1] Dalam tulisannya berjudul Al-din wa al-tsaurah (Agama dan Pembebasan), Hassan Hanafi tidak

saja mengakui bahwa Kiri Islam diilhami oleh momentum kesuksesan Revolusi Islam Iran dan

mengklaim sebagai kelanjutan dari jurnal “Al-“Urwatul Wutsqa”-nya Jamaluddin Al-Afghani yang gigih

melawan imperialisme Barat dan berobsesi mempersatukan umat islam. Kiri Islam juga diinspirasikan

oleh revolusi agama-agama lain. Seperti revolusi yang terjadi dalam sejarah Yudaisme dan Kristiani,

perlawanan Ibnu Uqaibah melawan Romawi, pemberontakan petani di Jerman abad XVI, teologi

pembebasan di Amerika Latin dan revolusi “Gereja Hitam” di Amerika Utara. Selain itu juga revolusi di

luar agama-agama monoteis seperti revolusi Budhis di Vietnam, revolusi Konfusionisme di Cina dan

revolusi agama-agama Afrika melawan penjajah Kulit Putih di Afrika Utara.