Tugas teologi feminis_olahan

15
Memperkenalkan Arus Umum Teologi Feminis dan Implikasinya bagi Pengembangan Teologi Feminis di NTT 1. Sejarah Lahirnya Teologi Feminis Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya bagi masyarakat Amerika Utara. 1 Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20, yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan dilegitimasi di Amerika dalam undang-undang. 2 Lalu mulai ada beberapa penulis wanita mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan feminisme ini ke dalam suatu karya tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'kecendrungan patriarkat yang menurut mereka begitu dominan' ada di dalam Alkitab dan juga dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural, terutama dalam konsep prihal Allah Tritunggal. Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi Feminis antara lain, Elizabeth Schüssler Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins 1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God the Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in a Feminist Perspective A Theology dan Feminist Interpretation of the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and Practice (1985), Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as Female, Michael Amaladoss dalam Life in Freedom: Liberation Theologies From Asia (1997), Choan-Seng Song dalam The Tearts of Laddy Meng: A Parable of Peoples Political Theology (1981), dan lain-lain. 1 P. Mutiara Andalas, Lahir Dari Rahim (Yogyakarta: Kanisius, 2009), pp. 61-62. 2 Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age (Illinois: IVP, 1992), p 225.

Transcript of Tugas teologi feminis_olahan

Memperkenalkan Arus Umum Teologi Feminis dan Implikasinya

bagi Pengembangan Teologi Feminis di NTT

1. Sejarah Lahirnya Teologi Feminis

Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi teologi di Amerika Serikat

mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi Feminis. Teologi

ini dipengaruhi oleh gerakan pembebasan wanita yang mewabah ke seluruh dunia, khususnya

bagi masyarakat Amerika Utara.1 Akar dari aliran Feminisme ini sudah ada sejak awal abad 20,

yaitu pada masa sesudah penghapusan perbudakan dan hak pilih kaum wanita diakui dan

dilegitimasi di Amerika dalam undang-undang. 2 Lalu mulai ada beberapa penulis wanita

mengembangkan dan memperluas pengaruh gerakan feminisme ini ke dalam suatu karya

tulisan/buku. Mereka menyoroti pengaruh 'kecendrungan patriarkat yang menurut mereka begitu

dominan' ada di dalam Alkitab dan juga dalam penafsiran tradisi gereja secara socio-kultural,

terutama dalam konsep prihal Allah Tritunggal.

Tokoh-tokoh utama dalam gerakan teologi Feminis antara lain, Elizabeth Schüssler

Fiorenza dengan karyanya In Memory of Her: A Feminist Reconstruction of Christian Origins

1983, Mary Daly dengan karyanya The Church and the Second Sex (1968) dan Beyond God the

Father (1973), Letty M. Russell dengan karyanya Human Liberation in a Feminist Perspective

A Theology dan Feminist Interpretation of the Bible (1985), Rosemary Radford Ruether dengan

karyanya Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, Women-Church: Theology and

Practice (1985), Virginia Ramey Mollenkott dengan karyanya The Divine Feminine: The

Biblical Imagery of God as Female, Michael Amaladoss dalam Life in Freedom: Liberation

Theologies From Asia (1997), Choan-Seng Song dalam The Tearts of Laddy Meng: A Parable of

Peoples Political Theology (1981), dan lain-lain.

1P. Mutiara Andalas, Lahir Dari Rahim (Yogyakarta: Kanisius, 2009), pp. 61-62. 2 Stanley J. Grenz and Roger E, Olson, 20th Century Theology: God and World in a Transitional Age

(Illinois: IVP, 1992), p 225.

2. Latar Belakang lahirnya Teologi Feminis

Kalau North American Black Theology dan Latin American Liberation Theology dimulai

dengan berlandaskan pada suatu pengalaman penindasan yang sangat mendalam sehingga

'penindasan' ini menuntut mereka untuk mendapatkan pembebasan, maka dalam gerakan Teologi

Feminis landasan mereka adalah situasi penganiayaan dan penindasan terhadap kaum wanita.

Oleh karena itu, tema seputar penindasan terhadap kaum wanita menjadi arah dasar teologi

mereka. Mereka ingin wanita dibebaskan dari penganiayaan dan penindasan (oleh kaum laki-

laki) yang sudah terjadi selama ratusan tahun lalu. 3 Pengalaman penderitaan wanita Amerika

Latin dan Amerika Utara mendorong kaum Feminis untuk mencari sebab kesalahan ini dan

meminta keadilan dalam hidup mereka.

Akhir abad kedua puluh teologi feminis berbagi/memiliki kesamaan tertentu dengan Teologi Hitam Amerika Utara dan teologi pembebasan Amerika Latin. Seperti mereka, teologi feminis dimulai dengan situasi penindasan, serta munculnya refleksi penting berdasarkan

praksis pengalaman orang tertindas untuk membebaskan diri dari denominasi.4

3. Pendekatan Teologi Feminis

Kaum Feminis mengembangkan tiga langkah dalam berteologi (feminis). Pertama,

dimulai dengan kritik terhadap peristiwa masa lampau, terutama terhadap tradisi gereja dan

budaya yang cendrung bernuansa patriarkat. Kritik tersebut dimaksudkan sebagai semacam

penyembuhan atas ingatan akan adanya bahaya penindasan yang dialami kaum wanita pada masa

lampau yang dilakukan oleh kaum laki-laki5.

Kedua, mencari alasan, istilah dan alternatif lain untuk mendukung gerakan yang

disesuaikan dengan keinginan mereka, terutama dari Kitab Suci, dan juga dari luar Alkitab.

Ketiga, mereka mengembangkan metode teologi untuk merevisi doktrin yang tidak sesuai

dengan lingkup dunia wanita.6

Seperti juga American Liberation Theology, Feminisme melihat teologi sebagai refleksi

dari suatu tindakan atau pengalaman yang diterima kaum wanita yang tertindas oleh kaum laki-

laki. Menurut mereka, semua pendekatan teologi Feminis harus didasarkan pada pengalaman

3 Sandra M. Schneiders, "Does the Bible Has a Post Modern Message?" , dalam Post Modern Theology:

Christian Faith in a Pluralist World, Frederic B. Burnham (Ed.), (San Fransisco: Harper and Row, 1989), p. 65. 4 Op.Cit., pp. 225-226. 5 Sandra M. Schneiders, Loc.Cit. 6 Stanley J. Grenz and Roger Olson, Loc.Cit

praksis wanita, bukan bersumber utama kepada Alkitab atau tradisi gereja. Tentang hal ini J.

Grenz mengatakan; “Bukan kebetulan bahwa langkah mendasar ini datang terakhir, teologi

feminis, melihat teologi sebagai refleksi atas proses rekonstruksi kepercayaan Kristen dan

kehidupan berdasarkan pengalaman perempuan.”7

Untuk membenarkan pandangannya, para teolog feminis memberikan kritik terhadap

tradisi Gereja terutama kritik terhadap pandangan para Bapa Gereja. Sebagai conto h, Rosemary

Radford Ruether, mengkritik para Bapa gereja dan ahli filsafat seperti Origenes, Agustinus,

Socrates, Plato, dan lain- lain, yang menurutnya hanya menghargai keberadaan kaum laki- laki

sebagai ‘the Image of God’ sedangkan wanita bukan ‘the Image of God. Sementara Thomas

Aquinas dinilai hanya menghargai wanita sebagai seorang laki- laki yang dilupakan. Sementara

itu, mereka menilai para Bapa reformasi tidak berusaha mengubah status wanita di dalam gereja,

bahkan Karl Barth pun mengatakan wanita di dalam perjanjian dengan Allah menduduki tempat

nomor dua.8 Chrysostom sependapat dengan Agustinus bahwa hanya manusia khususnya laki-

laki yang sesuai dengan ‘image of God’ karena itu laki- laki mempunyai otoritas dan wanita

tidak. Dia mengatakan; "Lalu kenapa 'manusia/pria' dikatakan dalam 'gambar Allah' dan wanita

tidak? ... 'Image/gambaran' memiliki lebih hubungannya dengan otoritas, dan ini hanya milik

pria, sedangkan wanita tidak memilikinya.” Sementara itu, Tertulianus menyebut perempuan

sebagai “gerbang iblis”. Terakhir Agustinus berpendapat bahwa hanya laki- laki sendirilah

merupakan citra Allah, seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya. 9

Pendapat di atas menurut Marie Claire Barth-Frommel cukup hidup dalam masyarakat,

seperti terjadi di Asia. Dia adalah seorang teolog perempuan yang menganalisis dan

mengembangkan wawasannya tentang teologi feminis di Asia. Dia menulis pendapatnya

7 Ibid., p. 227. 8 Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward A Feminist Theology, (Boston: Beacon,

1983), pp. 193-194. 9 Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Terj. Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero,

2002, pp. 19-52.

demikian; ”Dominasi kaum laki- laki atas kaum perempuan pada umumnya dibenarkan oleh

paham kodrat. Menurut paham ini, kodrat laki- laki adalah kuat, pemberani, rasional, produktif,

menghasilkan kekayaan, menciptakan budaya, sanggup membuat perencanaan. Sedangkan

kodrat perempuan adalah lemah lembut, penakut, perasa, reproduktif, suka memelihara apa yang

ada dan meneruskan ketrampilan lama, biasa melayani dan suka dipimpin.10 Jika kita mengamati

dengan seksama dan teliti, ada banyak implikasi yang cukup serius mensubordinasi wanita.

Pertama, Laki- laki dipandang sebagai superior atas perempuan. Laki- laki memiliki peran

penting yang tidak dapat digantikan oleh perempuan karena sifat-sifat perempuan lebih dilihat

sebagai pelengkap. Kedua,perempuan hanya bertugas melanjutkan apa yang telah dirintis oleh

laki- laki karena pada umumnya laki- laki itu kuat dan pemberani. Ketiga, laki- laki bertugas untuk

memimpin suatu masyarakat yang luas, sedangkan perempuan ditugaskan untuk memelihara

rumah tangga dan sekitarnya. Di dalam kalangan atas, seorang perempuan yang menjadi istri

pejabat, harus mampu mengimbangi peran suaminya. Ia harus mendampingi suaminya dan

menampilkan keanggunan sebagai istri yang baik serta pendidik sopan santun untuk anak-anak.

4. Tema-Tema Pertama (Sekular) dalam Teologi Feminis

Pada tahun delapan puluhan, spiritualitas feminis mulai menampakkan diri dengan tema-

tema sebagai berikut:

1) Monisme/New Age Movement : All is one, semua adalah satu. Tema inilah yang pertama kali

muncul dalam kehidupan spiritualitas teologi Feminis yang percaya bahwa segala sesuatu satu

adanya, seperti bagian-bagian kecil menyusun bagian kesatuan yang besar. Menurut mereka,

segala sesuatu saling berhubungan, saling bergantung, dan saling meresapi. 11 Adanya indikasi

monism masuk dalam spiritualitas teologi feminis bisa dibaca dari pandangan Douglas

Groothuis. Dia meneliti bahwa gerakan New Age sudah meresapi gerakan feminism dengan

10 Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), pp. 3-4. 11 Douglas Groothuis, Unmaking the New Age, (Illinois: IVP, 1986), p. 18.

mengatakan; "Pada akhirnya, monisme menegaskan tidak ada perbedaan antara Tuhan,

seseorang, apel, atau batu. Mereka adalah bagian dari sebuah realitas terus menerus yang tidak

memiliki batas dan tidak ada keterpisahan."12

2) Pantheisme, gerakan ini pun sangat dekat dengan lingkup pandangan teolog Feminis.

Pandangan ini melihat; All is God, semua adalah Allah, artinya semua materi atau benda apa pun,

baik binatang, manusia, tanah, tumbuhan, laut, dan lain-lain adalah merupakan bagian dari Allah.

3) Selfisme. Menurut pandangan ini, Self is God Diri manusia adalah Allah. Tentang hal ini

Mary Daly berkata jika Allah itu 'male' maka 'male' itu Allah.

4) Humanitas Baru. Menurut teologi feminis segala sesuatu menuju kepada suatu perjuangan

yang mengarah kepada humanitas baru yang sempurna.

5) Unisex. Di sini teologi feminis mendesak agar menggunakan istilah Allah ke dalam istilah

yang menyatukan seksisme; laki- laki dan perempuan menjadi suatu bentuk yang "netral" atau

"no sex". 13

Tema-tema di atas memperlihatkan kepada kita bahwa spiritualitas feminis tidak dimulai

dengan mendasarkan diri pada doktrin, tetapi lebih pada spiritualitas (gerakan sekular). Namun

sebenarnya ada beberap tesis yang hendak diangkat oleh teologi feminis yang kami paparkan

secara singkat di bagian selanjutnya.

5. Tesis-Tesis Pokok Teologi Feminis

Betty Talbert-Wettler menerangkan bahwa untuk mengerti apakah Feminisme itu sekuler

atau tidak, gereja wajib mengerti dan memahami presposisi mereka. Inilah beberapa preposisi

yang ditulis oleh Betty Talbert-Wettler:

1. Feminis melihat bahwa sistem ajaran inti kekristenan bersifat ‘patriarkhat’ yang

menindas wanita.

2. Simbol ‘maskulin’ untuk Allah menguatkan sistem hirarki secara seksual,

menempatkan kedudukan laki-laki melebihi kedudukan wanita.

3. Simbol, metafor dan gambaran Kristus sebagai laki- laki tidak cocok dengan

kepentingan religi wanita.

12 Ibid. 13 Donald G. Bloesch, Is the Bible Sexist?, (Illinois: Crossway Books, 1982), pp. 17, 21, 103.

4. Wanita harus dilepas-bebaskan dari penindasan kaum laki- laki baik secara teologis

maupun secara sosial. Wanita harus membangun komunitas baru yang berdasarkan

pada nilai-nilai yang berbeda dengan tradisi dan filsafat ‘patriarchi’.14

6. Pendasaran Biblis Teologi Feminis

6.1. Dalam Perjanjian Lama

Pengaturan peranan wanita dalam Perjanjian Lama banyak didasarkan pada kitab

Kejadian pasal satu dan dua. Pada mulanya pandangan umum bangsa Israel terhadap peranan

wanita dan pria adalah sama sederajat. Pengertian manusia (wanita/pria) adalah gambar dan

teladan Allah, merupakan suatu pengertian yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Perubahan itu mulai terjadi saat Allah melalui perjanjian kekalNya menyebut "Abraham sebagai

Bapa segala bangsa". Istilah inilah yang kemudian menjadi suatu alasan dari munculnya

pandangan bahwa yang memegang peranan otoritas tertinggi keluarga ada di tangan "kaum

patriakh/laki- laki". Hal ini terjadi sampai pada jaman Israel dipilih Allah sebagai bangsa yang

kudus, umat perjanjian Allah.

Dalam pandangan lama tersebut, peranan kaum patriakh dalam keluarga sangat menyolok,

seperti Abraham, mencarikan jodoh anaknya, Ishak. Kej 24. Peranan ayah Ribkah, mengambil

keputusan menerima lamaran atau tidak, menunjukkan bahwa adat saat itu tetap melalui jalur

otoritas seorang ayah. Walaupun akhirnya keputusan untuk ikut Eliezer atau tidak, diserahkan

kembali kepada anaknya, Ribkah. Demikian juga kepemimpinan Bapa Abraham boleh dikatakan

tidak dominan lagi, sejak peranan Sarah lebih dominan dalam mengatur seluk beluk keluarga.

Dalam hal perceraian Perjanjian Lama sebenarnya tidak banyak memberikan informasi

tetapi berdasarkan Ul 22:13-29 ada dua hal yang cukup kelihatan. Pertama, suami tidak

diperbolehkan menceraikan istrinya terutma jika ia salah dalam menuduh istrinya perihal

ketidaksucian istrinya tersebut. Kedua, jika ia memaksa istrinya (memperkosa) padahal istrinya

tidak mau melayaninya. Di dalam Perjanjian lama, banyak teks Alkitab yang membahas

bagaimana keluarga harus melindungi kesucian wanita, janda dan anak perempuan (Bdk.Ul 22-

25).

14 Betty Talbert-Wettler, Secular Feminist Religious Metaphor and Christianity , (San Diego: EVSJ, 1995),

pp. 78-79.

Selanjutnya kita juga bisa melihat dalam kitab Bilangan. Menurut Bil. 30:3-16,

kedudukan ayah sangat dominan dalam menentukan kehidupan anaknya (wanita) pada masa

gadisnya. Bahkan setelah menikah pun sang ayah dapat menolong anaknya dengan mener ima dia

kembali saat diceraikan. Seandainya ayahnya sudah meninggal maka kewajiban saudara laki-

lakinya yang melindungi janda ini. Dari sini kita melihat dengan jelas bahwa dalam teks konteks

teks Bilangan tersebut, wanita harus tunduk pada pria, tujuannya bukan untuk menekan wanita

tetapi untuk melindungi hak-hak wanita.

Lebih jauh, dalam Perjanjian Lama kita melihat banyak sekali teks yang menceritakan

peranan wanita. Kalau mau dilihat secara mendalam, peranan wanita dalam PL, khususnya ibu

sangat penting, baik pengaruh negatif maupun positif. Misalnya, kasus Yefta, Samuel, Eli, di

mana kasih seorang ibu tidak pernah mereka dapatkan. Dengan itu, dampaknya sangat luar biasa

parahnya. Sebaliknya peranan ibu yang negatif pun ada, seperti kasus Salomo, anak kesayangan

Betsyeba, Dina anak Yakub, Ribkah, dan lain- lain. Wanita pun mendapatkan hak sebagai

pemimpin bangsa. Baik peranan mereka menjadi hakim, nabi, ratu, dan lain- lain, misalnya,

Deborah, Naomi, Ester, Rahab, Hana, Elizabeth, dan lain-lain.

6.2. Kedudukan Wanita dalam Perjanjian Baru

Untuk pendasaran dari Perjanjian Baru ini, kami ingin memfokuskan diri untuk melihat

kedudukan wanita dalam kehidupan Tuhan Yesus dan kedudukan wanita dalam zaman para

rasul.

6.2.1. Wanita dalam Kehidupan Tuhan Yesus

Secara umum, dapat dikatakan bahwa ada banyak wanita yang menjadi pengikut Yesus.

Prihal pertanyaan, siapakah saudara dan orang tua Yesus?, kita bisa melihat jawaban dalam Mat

12:49-50, "siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di Sorga dialah saudaraku laki- laki,

saudaraku wanita dan ibuku,". Selanjutnya, dalam Injil Yohanes kita melihat wanita pertama

dalam kitab Injil Yohanes yang ditemui Yesus adalah Perempuan Samaria (Bdk. Yoh 4:5-30).

Kemudian wanita dari Kanaan yang menjerit meminta tolong Yesus (Bdk. Yoh 15:22-28).

Wanita jugalah yang mengurapi Tuhan Yesus di rumah Simon, orang Farisi (Bdk. Luk 7:44-50).

Yesus juga bertemu seorang wanita yang menderita bungkuk delapan belas tahun (Bdk. Luk

13:10-17).

Ada masih banyak cerita lain yang melibatkan wanita dalam kehidupan Yesus. Kita bisa

menyebut wanita dalam ceritera parabel Tuhan Yesus; seorang wanita mengaduk tepung dengan

ragi (Bdk. Mat 13:3), gadis yang mencari koin yang hilang (Bdk Luk 15:8-10), sepuluh gadis

pintar dan sepuluh gadis bodoh (Bdk. Mat 25:1-13), perumpamaan tentang janda yang ulet dalam

memohon kepada seorang hakim (Bdk. Luk 18:1-8) dan Janda miskin yang memberikan seluruh

hartanya kepada Tuhan (Bdk. Mat 12:38-44).

Kita juga bisa menyebut beberapa wanita yang menjadi murid Yesus dalam

pengajaranNya, seperti Maria dan Marta (Bdk Luk 10:38-42). Lalu ada Maria Magdalena,

seorang wanita yang disembuhkan Yesus karena kuasa roh jahat. Kemudian dia menerima Yesus

di rumahnya dan mendukung pelayanan Yesus dengan menjual dan memberikan harta miliknya

(Bdk. Luk 8:1-3). Ada juga Salome dan ibu dari Yakobus anak Zebedius (Bdk. Mat 27:55-56)

serta dan tentu saja kita harus menyebut wanita sentral; Maria ibu Yesus.

Penting sekali juga, kita melihat bagaimana pengajaran Yesus tentang perkawinan,

perceraian, dan selibat (Bdk. Mat 19:3-12 dan Mrk 10:11-12). Ajaran Yesus ini jauh melampaui

tradisi atau hukum Yahudi. Pertama, pada prinsipnya menurut Tuhan Yesus, Allah tidak

menghendaki perceraian. Kedua, Yesus mengatakan apabila ada suami yang menceraikan

istrinya kemudian menikah lagi, maka suami itu harus dianggap terlibat praktik perzinahan.

Tentu saja, prinsip kedua ini tidak sama dengan tradisi dan hukum Yahudi yang menekankan

kebebasan suami untuk menikah lagi. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu moral yang

Tuhan Yesus ajarkan jauh melampaui pengajaran rabbi-rabbi Yahudi (Bdk Mat 5-7).

6.2.2. Posisi Wanita pada Zaman Para Rasul

Pada zaman para Rasul kedudukan wanita adalah sebagai teman sekerja dalam

penginjilan. Kita bisa menyebut Priskila dan suaminya Akwila (Kis 18:2). Mereka adalah kawan

sekerja Rasul Paulus. Dalam Rom 16:3-5, kita membaca bagaimana salam dari Paulus

memperlihatkan kedekatan hubungan Paulus dengan mereka. Kita juga patut menyebut beberapa

wanita lain yang sangat mendukung pelayanan penginjilan, seperti Eudia, Sintekhe dan Febe.

Sebagai kesimpulan, kita dapat mengatakan bahwa kalau dilihat dalam banyak hal maka

Alkitab tidak pernah membuang apalagi merendahkan peranan wanita. Oleh karena itu, teologi

feminis perlu melihat peranan wanita secara menyeluruh dan dari semua sisi kehidupan mereka,

bukan hanya sisi ketidakadilannya, tetapi juga terutama bagaimana hebatnya pelayanan mereka

dalam mengembangkan penginjilan yang dilakukan mulai dari zaman Tuhan Yesus sampai

jamannya para Rasul. Peranan wanita ini terus berlangsung dan sangat positif disambut dalam

kehidupan gereja mula-mula.

7. Jenis-Jenis Teologi Feminis

Untuk dapat memberikan penilaian proporsional terhadap teologi feminis, terlebih dahulu

kita perlu mengenal beberapa jenis teologi feminis. Teologi Feminis dibagi menjadi beberapa

golongan menurut jenis teologianya, yaitu kaum feminis pembaharuan, kaum feminis

emansipasi, kaum feminis radikal.15

Pertama, kaum feminis pembaharuan. Mereka berusaha memberi kesempatan baik bagi

kaum pria maupun kaum wanita untuk menggunakan potensinya. Menurut mereka, dalam

masyarakat tradisional pembagian tugas menurut jenis kelamin membatasi kebebasan keduanya,

baik pria maupun wanita. Mereka mendapat kesempatan memainkan peranannya dan hanya

beberapa bagian peranan yang cocok dengan kedudukannya, misalnya sebagai ayah atau ibu.

Mereka berfungsi seperti separuh manusia. Oleh karena itu, menurut kaum feminis pembaruan,

harus ada pembaharuan berkaitan dengan kedudukan pria dan wanita. Pembaharuan ini dapat

dicapai dengan dua cara yaitu pembaharuan secara struktural dan secara individu.16

Kedua, feminis emansipasi. Istilah emansipasi berasal dari bahasa Latin "emancipare"

yang berarti melepaskan. Jadi dalam gerakan feminis emansipasi, peranan wanita itu harus

dilepaskan dan dibebaskan dari 'kuk' tradisi yang ada. Kaum wanita harus lepas dari pengaruh

peranan tradisional ke-bapak-an. Hal ini senada dengan suara dari piagam PBB. Dalam piagam

PBB tersebut, disebutkan setiap penduduk dunia mempunyai hak yang sama tanpa perbedaan ras,

jenis kelamin atau bahasa dan agama. Secara politis semua berhak memilih dalam pemilu. Secara

ekonomis, sosial, profesionalitas dan aneka pekerjaan harus ada keterbukaan bagi mereka.17

Ketiga, feminis radikal. Mereka kelihatannya tidak puas untuk memperbaharui

masyarakat yang ada saja, tetapi ingin menghancurkan sistem patriakhat yang ada. Kaum radikal

15 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat , (Jakarta-Bandung:

Gunung Mulia dan Kanisius, 1992) 110-114. 16 Ibid. 17 Ibid.

ini menganggap bahwa kaum pria sebagai musuh dan mereka mau berjuang melawan

diskriminasi. Mereka memakai dua strategi yaitu pertentangan dan pemisahan.18

8. Pertimbangan Kritis Terhadap Teologi Feminis

8.1. Pengaruh Positif

Menurut kami, apabila feminisme bertujuan agar wanita mempunyai hak yang sama

dengan pria dan mereka diperlakukan sederajat dalam segala hal, maka kita harus menerimanya

dengan catatan bahwa gerakan feminisme tidak ditujukan untuk menginjak- injak kaum laki- laki

sebagai alasan ‘curiga-dendam’ atas hak-hak mereka yang telah ditindas. Fisher Humphreys

mengatakan, “If feminism means that women should have equal rights with men and should be

treated with equal respect, the answer is yes.”19

Terhadap Gereja, kita perlu mengakui bahwa dengan adanya kritik historis yang

dilakukan oleh para tokoh feminisme ini, gereja menemukan kembali pentingnya arti nilai

pelayanan wanita yang memang sering dilupakan dalam sejarah gereja. Memang kalau diamati

secara sepintas dalam perjalanan sejarah gereja, wanita biasanya hanya dianggap sebagai pelayan

"kelas dua" tanpa adanya sumbangsih yang berarti. Oleh karena itu, kritik kaum feminis ini

sangat dibutuhkan oleh gereja untuk mengingat kembali betapa pentingnya nilai sumber daya

wanita dalam pelayanan gereja dan aktivitasnya, walaupun metode dan kesimpulan yang dibuat

teolog feminis ini sangat spekulatif. Stanley J. Grenz mengakui kenyataan buruk ini dengan

mengatakan;

Yang positif dari pendekatan feminis terhadap tradisi Kristen adalah pemulihan dari memori yang hilang dari wanita. Tidak ada orang yang telah melakukan lebih banyak untuk menemukan kembali peran dan kontribusi perempuan dalam tradisi Kristen selain Elizabeth

Schussler Fiorenza. Meskipun metode dan kesimpulan mungkin dianggap spekulatif.20

Sifat mementingkan dan memusatkan laki- laki sebagai pemimpin yang otoriter

menjadikan mereka sebagai penindas perempuan baik di dalam maupun di luar kehidupan gereja.

Kesalahan fatal gereja harus diperbaiki. Untuk itu, Gereja mesti berterima kasih kepada kaum

feminis yang telah bersungguh-sungguh mengungkapkan "dosa besar" ini. Keangkuhan laki- laki,

18 Ibid. 19 Fisher Humphreys, Feminism and the Christian Faith , (New Orleans: The Theological Educator, 1995),

p.15. 20 Stanley J. Grenz and Roger Olson, Op. Cit., p. 229.

otoritas kebapakan dan sifat kebenciannya terhadap perempuan yang telah terpendam beratus-

ratus tahun lalu harus segera diakhiri. Kaum feminis juga menolong Gereja agar lebih terbuka

terhadap kaum perempuan dan tidak ‘eksklusif’ untuk kaum laki-laki saja.

Teologi femin is telah melakukan pelayanan besar bagi komunitas Kristen dengan menunjukkan

kejahatan androsentris patriarki dan misogoni. Para Teo log femin is seringkali membantu gereja untuk

menjadi lebih inklusif dan oleh karena itu memberikan pandangan yang lebih benar berkaitan dengan

gambar Allah sebagai laki-laki dan perempuan serta universalitas Injil.21

Sampai di sini kita melihat bahwa teologi feminis telah sanggup membukakan satu

dimensi dan suatu wawasan baru dalam mengerjakan penafsiran secara horizontal seluruh

penafsiran Alkitab.

8.2. Pengaruh Negatif

Kami melihat bahwa setelah mendapatkan kesempatan dan dukungan dari masyarakat

dan Gereja, kaum feminis yang bersifat ‘radikal’/‘ekstrim’ sering melangkah terlalu jauh bahkan

dengan menggunakan metode spekulatif berani untuk menghakimi Alkitab. Mereka bahkan

menilai Alkitab tidak benar karena disusun dengan menjunjung nilai maskulin dan merendahkan

nilai feminim. Akhirnya mereka menyimpulkan kedudukan antara Allah dan manusia tak ada

bedanya. Donald G. Bloesch, mengutip ucapan Carol Ochs demikian, "We, all together, are part

of the whole, the all in all, God is not father, nor mother, nor even parents, because God is not

other than, distinct from, or opposed to creation.22

Dari data sejarah, kita melihat pada mulanya teolog feminis memang hanya menuntut

haknya tetapi lama-kelamaan beberapa dari mereka menjadi 'radikal'. Tuntutan mereka

melampaui dari yang ditetapkan Alkitab bahkan berani menentang ajaran fundamental ortodoks

tentang Allah Tritunggal dan Kristus. Ada empat hal atau ciri-ciri mengetahui teolog Feminis itu

radikal atau tidak, seperti kesimpulan Fisher Humphreys berikut ini;

Pertama, feminis rad ikal ket ika menyerukan kepada perempuan untuk membenci pria dan ket ika itu

menyerukan agar pria membenci diri mereka sendiri, kedua, femin is radikal menghina pernikahan,

orang tua, dan rumah tangga ... tetap tunggal, tanpa anak, ketiga, feminis rad ikal menegaskan

21 Ibid., p. 235. 22 Donald G. Bloesch, Is the bible Sexist?, (Illinois: Crossway, 1982), p. 63.

homoseksualitas, biseksualitas, atau masyarakat bergender, keempat, feminis radikal berusaha

menafsirkan semua realitas sosial melalui sisi gender.23

Kita juga bisa menyebut banyak kritik lain terhadap teologi feminis, seperti penolakan

mereka terhadap Allah sebagai 'Bapa' dan 'Tuhan' dapat membuka jalan pada kepercayaan

politeisme dewa-dewi. Padahal penyebutan Bapa atau Tuhan itu tidak didasarkan kemauan atau

konsensus dari teolog pria, melainkan dari Wahyu Ilahi yang dibawa oleh Yesus sendiri. Bahwa

dalam kenyataan sebutan-sebutan seperti Tuhan dan Bapa mungkin disalahtafsirkan oleh

beberapa teolog pria, tetapi itu bukanlah alasan yang tepat untuk menolak bahasa Wahyu (Allah)

itu sendiri.

Sebagai implikasi lanjut dari kritik di atas, kita perlu menegaskan bahwa naskah Alkitab

memang seharusnya tidak boleh diubah misalnya hanya untuk mengurangi bau 'patriarkatnya'

dan bahwa naskah tersebut tidak boleh disingkirkan karena dianggap bertentanga n dengan hak

semua wanita dalam segala hal (mis Ef. 5:21-24).24

Yang lebih berbahaya lagi adalah teolog Feminis seperti Mary Daly akhirnya mendukung

gerakan "gay", "lesbian" dan masyarakat "non-sexist". Donald G. Bloesch mengutarakan sebagai

berikut;

Hal ini tidak mengherankan jika feminis radikal cenderung mendukung gerakan Pembebasan Gay,

karena mereka benar-benar memutus seks dari tujuan reproduksi atau generatifnya. Mereka juga

mengusulkan "penghapusan total peran seks", dan ini mencakup toleransi atas lesbian serta hubungan

homoseksual laki-laki. Untuk Mary Daly, homoseksual pada masyarakat nonsexist akan membebaskan

berhubungan bermakna dan otentik satu sama lain.25

9. Implikasi Untuk Pengembangan Teologi Feminis di NTT

Kelompok kami mengangkat dua hal pokok yang terjadi di NTT yang menurut kami

membuat wanita terbelenggu dan perlu dilawan oleh teologi feminis. Dua kenyataan itu adalah

kuatnya budaya patriarkat dan menguatnya adanya fenomena perdagangan perempuan.

Pertama, kuatnya budaya patriarkhat. Masyarakat NTT, jika ditinjau dari sudut sosio

budaya terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat. Setiap suku merupakan ikatan

genealogis beradasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Dengan demikian pada masyarakat

NTT, umumyana kedudukan dan peran kaum pria lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum

23 Fisher Humphreys, Op. Cit., p. 16. 24 A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja IV, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), pp. 365-366. 25 Donald G. Bloesch, Op. Cit., p. 20.

wanita. Pada pundak kaum pria diembankan tugas dan tanggung jawab suku,sedangkan kaum

wanita dilihat sebagai pribadi yang disiapkan untuk suku lain dalam perkawinan eksogami.

Kenyataan ini memperlihatkan suatu keprihatinan akan peran dan fungsi kaum wanita yang

terbelenggu dalam stereotipe lama sebagai the second class.

Dalam urusan perkawinan adat misalnya,wanita diukur dalam bentuk belis seperti gading

di budaya Lamaholot, moko di Alor ataupun barang antik lainnya dengaan ukuran sekian sesuai

dengan tradisi dari masyarakat yang bersangkutan. 26 Pertanyaan yang muncul adalah nilai

apakah yang ada di balis belis itu? Mengapa belisnya dalam bentuk barang-barang antik

bersejarah? Semua pertanyaan di atas menghantar kita untuk mengungkapkan bahwa betapa

tinggi dan luhurnya martabat kaum wanita. Tetapi di pihak lain, pada saat yang sama, karena

belis itu diambil dari barang-barang antik yang sulit untuk didapat maka di sana akan terjadi

proses tawar-menawar antara keluarga pria dengan kelurga wanita. Hal ini berarti eksistensi dan

martabat kaum wanita direduksi ke dalam benda-benda material, seakan-akan kaum wanita

identik dengan seduah barang yang diperdagangkan. Konsekuensi dari kenyataan ini adalah

muncul pemahaman baru bagi profil wanita sebagai pelayan keluarga kaum pria yang telah

membelinya dengan belis. 27

Kedua, menguatnya fenomena perdagangan perempuan. Hal ini disebabkan oleh beragam

alasan, dan salah satu alasan utamanya adalah keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan yang

rendah. NTT merupakan salah satu provinsi pengekspor TKW terbesar di Indonesia. Malangnya,

kebanyakan dari mereka mengalami perlakuan yang tidak pantas di luar negeri, bahkan ada yang

terancam mendapat hukuman mati.

Terhadap dua fenomena besar di atas kelompok kami menganjurkan agar Gereja NTT

perlu secara khusus dan sungguh-sungguh memihak kaum wanita. Oleh karena itu, gerakan

teologi feminis, terutama yang bersifat emansipatoris sungguh-sungguh perlu mengakar di NTT.

Secara lebih konkrit, Gereja NTT perlu membuat pastoral kategorial khusus untuk

26 Noeldy Koten. “Arus Balik Menuju Kemerdekaan Kaum Perempuan”. Sebuah Tin jauan Sosial Buudaya,

dalam Biduk, Teologi Feminis: perempuan Cit ra Allah Yang Terbuang. Ed isi II th. XXXX 2002, Ritapiret : Sy lvia,

2002. P. 42. 27 Ibid.

membela/melakukan advokasi terhadap wanita NTT dari pasungan budaya patriarkat dan juga

fenomena perdagangan perempuan, serta berbagai fenomena sosial, religius, dan budaya lainnya

yang jelas-jelas membelenggu wanita.

Gereja juga perlu mendukung dan memberikan catatan kritis terhadap usaha pemerintah

dan LSM-LSM di bidang kewanitaan. Gereja NTT misalnya perlu menjadi mitra strategis dari

Kementrian pemberdayaan perempuan, di tingkat provinsi dan kabupaten perlu bermitra dengan

Dinas Pemberdayaan Perempuan untuk mendukung dikeluarkannya wanita dari belenggu

keterpasungan yang ada.

Gereja NTT perlu secara konsekuen mendukung dan melaksanakan imbauan Hasil

Sidang Pastoral VI Regio Gerejawi Nusa Tenggara tahun 2013 lalu, yakni: Pertama, institusi-

institusi religious dan gerejawi seyogyanya menjadi teladan dalam menangani ketidakadilan

gender. Kedua, Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara membentuk atau meningkatkan

Jaringan Mitra Perempuan (JMP) di setiap keuskupan di Nusa Tenggara dan menjalin kerja sama

dengan rekannya dan dengan lembaga- lembaga yang memiliki visi dan misi yang sama. Ketiga,

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara mendorong Puspas/Sekpas untuk membuat atau

meningkatkan gerakan penyadaran gender. Keempat, Konferensi Waligereja Regio Nusa

Tenggara mengimbau para pengelola pendidikan calon imam dan calon hidup bakti untuk lebih

memperhatikan pendidikan yang berwawasan gender. Kelima, Konferensi Waligereja Nusa

Tenggara mendorong partisipasi penuh kaum perempuan dalam semua perangkat pastoral yang

terbuka untuk awam dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pastoral.28

28Anita Nudu, “Menyebar Kekuatan profetik Allah Dalam Gerakan Kenabian Perempuan” dalam Emanuel

J. Embu dan Amatus Woi (eds., Berpastoral di Tapal Batas . Pertemuan pastoral VI Konferensi Waligereja Nusa

Tenggara, (Maumere: Ledalero dan Candraditya, 2004), pp. 301-302.