BAB II PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS...
Transcript of BAB II PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS...
11
BAB II
PANDANGAN TEOLOGI KRISTEN TENTANG MESIAS
NIRKEKERASAN
2.1. Pendahuluan
Berbicara tentang Mesias, maka tidaklah cukup melihatnya dari satu sisi saja.
Setidaknya ada dua pandangan yang terlibat dalam pembicaraan tentang Mesias, yaitu
Yahudi dan Kristen. Yahudi memiliki konsep Mesias yang mewarnai kehidupan
beragama mereka. Konsep Mesias Yahudi juga yang dipakai oleh kekristenan, karena
kekristenan berawal dari orang-orang Yahudi. Konsep Mesias muncul dan
berkembang dalam Perjanjian Lama, bahkan sampai pada Perjanjian Baru. Oleh
karenanya dalam bab ini yang membahas tentang Mesias, dua pandangan itu akan
dibahas guna mendapatkan gambaran yang cukup utuh tentang Mesias. Pandangan
Mesias dari kalangan Yahudi dan Kristen diperlukan untuk membangun sebuah
konstruksi Mesias yang nirkekerasan. Penjelasan Mesias akan diawali dengan definisi
Mesias itu sendiri. Setelah mendapat definisi awal Mesias, maka penjelasan akan
dilanjutkan pada kemunculan dan perkembangan konsep Mesias dalam Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru dipaparkan sebagai dasar dalam memahami Mesias Nirkekerasan yang
merupakan konsep Mesias yang dilakoni oleh Yesus.
2.2. Definisi Mesias
Mesias berasal dari kata Ibrani mashiah yang berarti diurapi. Seseorang yang
menjadi Mesias akan diurapi minyak. Seseorang yang diurapi memiliki tugas untuk
dilakukan. Bisa dikatakan inilah arti awal dari mashiah atau Mesias. Ia hanyalah
seseorang yang diurapi dan melakukan tugas tertentu, tidak ada yang spesial darinya.
12
Tugas yang dijalankan Mesias akan berdampak pada banyak orang.1 Ketika Mesias
itu diurapi, maka ia juga menjadi seorang pemimpin.2 Oleh karenanya beberapa teks
dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa setiap orang yang mendapatkan tugas
khusus pasti akan diurapi dan menjadi seorang pemimpin.
Seorang pemimpin berarti ia mempunyai fungsi sosial. Beberapa ahli
mengatakan bahwa seorang pemimpin berarti ia berhubungan dengan politik3, kultus,
bidang militer.4 Tiga wilayah itu yang selalu identik dengan pemimpin, dalam hal ini
seorang Mesias. Politik, kultus dan bidang militer menjadi tiga wilayah ideal yang
harus dikuasai oleh seorang Mesias. Pemahaman ini akhirnya dilekatkan dalam rupa
seorang raja.
Seorang raja perlu piawai dalam bidang politik, kultus dan militer. Kepiawaian
ini diperlukan seorang raja agar kerajaannya dapat kokoh bertahan dan kuat.
Pemahaman ini berkembang karena Israel saat itu merasa bahwa Tuhan Israel kalah
dengan ilah bangsa lain. Israel ingin menjadi bangsa yang hebat lagi dan tetap ingin
menunjukkan bahwa Tuhan Israel tidaklah kalah dari ilah bangsa lain. Keinginan itu
dapat terpenuhi jika Israel dipimpin oleh seorang raja yang diurapi Tuhan dan
memimpin kerajaan yang ilahi.
1 Joseph A. Fitzmayer, “messiah” dalam The HarperCollins Bible Dictionary, ed. Paul J.
Achtemeier (New York: HarperCollins Publishers, 1996), 677.
2 Jacob Neusner dan Alan J. Avery-Peck, The Routledge Dictionary of Judaism (New York:
Routledge, 2004), 86.
3 Politik: (Kej.41:34; Hak. 9:28; 2Raj. 25:19; Yer. 52:25; Est. 2:3); Kultus: (Yer. 29:26; Neh.
11:9, 14, 22; 2Taw. 24:11; 31:13); Milter: (Yos. 10:24; Yes. 1:10; 3:6-7, 22:3; Ams. 6:7, 25:15).
4 S. Talmon, “The Concept of Māšîah and Messianism in Early Judaism” dalam The Messiah:
Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis:
Augsburg Fortress Publishers, 1992), 87-88.
13
Seorang raja yang diurapi Tuhan menunjukkan hubungan yang intim dengan
Tuhan, memiliki aura ilahi dan bahkan diyakini mempunyai kekuatan ilahi.5 Seorang
raja yang diurapi Tuhan akan menjalankan rencana ilahi bagi umat. Oleh karenanya
tidaklah berlebihan jika seorang raja itu memiliki aura ilahi dan memiliki hubungan
yang intim dengan Tuhan karena ia secara tidak langsung adalah representasi ilahi
dalam rupa manusia. Aura ilahi yang dimiliki seorang raja memampukan ia
menjalankan kerajaan yang ilahi bukan kerajaan manusia.6 Aura ilahi menjadi
penentu apakah raja itu dapat menjalankan kerajaan dengan baik atau tidak. Dalam
kisah raja-raja di Israel keilahian seorang raja, dalam hal ini berarti kedekatakan
dirinya dengan Tuhan, berdampak langsung dengan situasi kerajaan. Jika seorang raja
tidak dekat dengan Tuhan, berarti kerajaan itu akan hancur dan penduduk menderita.
Dan begitu pula sebaliknya. Jadi selain memiliki kepiawaian dalam bidang militer,
kultus dan politik, seorang raja juga harus memiliki aura ilahi dalam dirinya.
Pada awalnya Mesias dipahami sebagai seseorang dengan tugas khusus yang
memiliki dimensi sosial. Jika hal itu dipahami dalam kerangka Pra-Pembuangan,
maka Mesias tidaklah tertuju pada satu individu saja. Setiap orang yang menjalani
tugasnya masing-masing dan selama masih berkaitan dengan orang banyak, maka ia
adalah Mesias. Namun Pasca-Pembuangan dalam keinginan membangun Israel, maka
pengertian Mesias menjadi lebih spesifik dan kompleks. Mesias dalam Pasca
Pembuangan tidak hanya diurapi, memiliki tugas khusus, berdimensi sosial tapi yang
paling utama adalah ia adalah seorang pemimpin yang dalam hal ini adalah raja.
5 Sigmund Mowinckel, He That Cometh: The Messiah Concept in The Old Testament and
Later Judaism, terj. G. W. Anderson (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 2005), 5.
6 P. D. Hanson, “Messiah and Messianic Figure in Proto-Apocalypticism” dalam The
Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 68.
14
Perkembangan arti Mesias menunjukkan bahwa arti Mesias tidak dapat dipahami
secara etimologis saja. Mesias juga perlu didefiniskan berdasarkan keadaan sosial di
mana kata Mesias itu berkembang. Mesias memang berarti ‘yang diurapi’ namun
tugas dan keberadaan ‘yang diurapi’ itu sendiri bergantung pada situasi umat,
sehingga akan muncul pemahaman Mesias sesuai dengan kebutuhan dan keadaan
umat.
2.3. Macam-macam Konsep Mesias dalam Kekristenan
2.3.1. Konsep Mesias dalam Perjanjian Lama
Konsep mesias bukan hanya memiliki sisi praktikal namun ia juga memiliki
sisi ilahi. J. J. M. Roberts menegaskannya bahwa kata mashiah awalnya selalu
merujuk kepada Allah.7 Dan hal itu selalu merujuk kepada seorang raja. Ketika
seorang raja dikatakan ‘diurapi Allah’ setidaknya bemakna dua hal yaitu seorang raja
dipilih dan diurapi oleh Allah serta menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara
Allah dengan raja. S. M. Siahaan mengatakan bahwa penggunakan kata mashiah itu
memang awalnya untuk raja yang memerintah, namun lambat laun digunakan untuk
menggambarkan Raja Keselamatan yang akan datang.8 Jadi kata mashiah atau Mesias
itu berkembang menjadi sebuah kata yang bermakna eskatalogis. Pengharapan tentang
Raja Keselamatan itu didasari pada keadaan Israel pada saat itu yang berada dalam
sistem pemerintahan Monarki. Walaupun bersifat Monarki tetapi pemilihan raja tetap
berada dalam kendali Allah. Allah yang berhak menunjuk atau mengurapi seorang
7 J.J. M. Roberts, “The Old Testament’s Contribution to Messianic Expectations” dalam The
Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 39.
8 S. M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2001), 4.
15
raja bagi Israel. Ketika dihubungkan dengan Raja Keselamatan, maka ia adalah orang
yang benar-benar dipilih oleh Allah.
Sebelum berada dalam sistem Monarki, Israel berada dalam masa Hakim-
hakim. Saat itu Israel tidak lagi memiliki pemimpin karena Yosua telah meninggal.
Dan Israel harus memasuki tanah Kanaan dan berhadapan dengan bangsa-bangsa
yang ada di sana. Israel membutuhkan sosok pemimpin yang akan menyatukan
mereka dalam menaklukkan tanah Kanaan. Proses penaklukan tanah Kanaan menjadi
tantangan yang sulit karena kelemahan Israel dalam berperang serta perbuatan jahat
Israel di mata Tuhan. Israel berbalik menjadi penyembah dewa-dewa yang mereka
temui di tanah Kanaan dan kawin campur.9 Allah pun mengangkat seorang Hakim
untuk mengajak Israel menyembah-Nya kembali dan meyakinkan bahwa Israel
mampu menaklukan bangsa-bangsa di tanah Kanaan.10
Hakim pada saat itu hanya
bertindak sebagai pemimpin peperangan namun tidak menjadi seorang imam.
Kalaupun disebutkan bahwa Israel menyembah ilah lain, Hakim hanya
menyampaikan teguran Allah dan tidak memimpin Israel dalam peribadahan.
Kehadiran Hakim menjadi bukti bahwa Allah hadir di tengah Israel dan
menjadi jawaban atas keinginan untuk penaklukan tanah Kanaan. Hakim memang
menjadi pemimpin tertinggi umat saat itu, tapi Hakim tidak lebih dari Allah. Hakim
ditunjuk oleh Allah dan menjalankan apa yang menjadi kehendak Allah. Jadi secara
tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa Allah tetap menjadi pemimpin mereka
(teokrasi) walaupun sudah ada pemimpin di tengah mereka. Kehadiran Hakim juga
9 Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Intrudoction To The Old Testament,
Edisi Ke-2 (Michigan: Zondervan, 2006), 139.
10 John Barton dan John Muddiman, ed., The Oxford Bible Commentary (New York: Oxford
University Press, 2001), 176.
16
merupakan respon atas kenyataan yang dilihat Israel bahwa bangsa-bangsa di tanah
Kanaan telah memiliki seorang raja. Kenyataan bahwa sistem Monarki telah
berkembang saat itu di kalangan bangsa lain, menggiring Israel pada sebuah situasi di
mana mereka juga akan menganut sistem Monarki.
Pemahamaan tentang raja dan kerajaan Israel dipengaruhi oleh setidaknya tiga
bangsa yaitu Mesir, Mesopotamia dan Kanaan. Bangsa Mesir memahami bahwa raja
memiliki sisi ilahi yang terlihat dari kelahirannya atau saat pengangkatannya.11
Bangsa Mesir melihat bahwa raja adalah sosok yang dapat dipuja, contohnya Firaun
yang dianggap sebagai Dewa yang baik. Bangsa Mesopotamia melihat seorang raja
adalah perwakilan umat terhadap Allah.12
Bangsa Mesopotamia juga melihat bahwa
raja adalah sosok ilahi dengan menyebutnya anak ilahi. Seorang raja dipilih oleh
Dewa dan menjadi hambanya.13
Bangsa Kanaan melihat bahwa rajanya dapat terlibat
dalam kultus yang dijalankan.14
Dalam kultus itu raja menjadi pengantara antara
Dewa dengan umat serta sebaliknya.
Israel menggabungkan tiga pemahaman raja bangsa itu menjadi pemahaman
rajanya sendiri. Sistem pemerintahan di Israel diawali dengan teokrasi. Allah menjadi
pemimpin tertinggi bagi Israel. Seorang raja pun diangkat untuk menjadi pemimpin
bagi Israel. Seorang raja Israel tidak hanya menjalankan tugas kenegeraannya tapi ia
juga bertindak menjadi imam besar. Raja Israel juga dianggap sebagai anak Allah.
Raja bukan menjadi anak Allah langsung, tapi Allah menyebut bahwa raja Israel
11
Shirley Lucass, The Concept of The Messiah In The Scriptures of Judaism and Christianity
(New York: T & T Clark International, 2011), 40.
12 Lucass, The Concept of The Messiah, 43.
13 Lucass, The Concept of The Messiah, 44.
14 Lucass, The Concept of The Messiah, 47.
17
adalah anaknya.15
Raja Israel juga bertindak sebagai imam besar. Raja Israel
walaupun menjadi pemimpin tertinggi di dunia, tetapi ia juga tetap menjalankan
perintah Allah. Raja Israel menjadi penghubung antara umat dengan Allah dan
sebaliknya ketika menjalankan ritual sebagai imam besar.
Peran raja Israel yang memerintah sekaligus berperan dalam kultus dimulai
dari masa pemerintahan Daud. Daud menjadi raja kota Suci Israel dan imam tertinggi
yang mengurapi para imam. Oleh karenanya, Daud disebut sebagai raja kota suci
Yerusalem. Daud dan keturunannya mempunyai kekuasaan sebagai raja dan sekaligus
imam.16
Hal tentang kekuasaan sebagai raja dan imam berpengaruh dalam
mengartikan Mesias dalam kehidupan Israel.
Konsep raja dan imam mencuat dengan kuat ketika Israel kembali dari
pembuangan. B. M. Bokser menyebutkan bahwa ingatan peristiwa Keluaran menjadi
alasan mengapa konsep eskalotogis mulai muncul dalam kehidupan Israel.
Pengharapan eskatologis memiliki aspek pembebasan untuk memulai kehidupan
baru.17
Israel memerlukan seorang pemimpin untuk mengembalikan kejayaaannya.
Keinginan mengulang kejayaan yang mendorong para nabi dalam menyuarakan
kemunculan sosok Mesias yang akan merestorasi kehidupan Israel. Konsep Mesias
menjadi sebuah konsep eskatologis yang sangat dinantikan kehadirannya oleh Israel.
Mesias akan datang guna melakukan apa yang dulu dilakukan oleh Daud. Ia akan
kembali membangun Bait Allah, kembali mengurapi imam dan memimpin Israel
menuju kehidupan yang baik.
15
Siahaan, Pengharapan Mesias, 9.
16 Siahaan, Pengharapan Mesias, 10.
17 B. M. Bokser, “Messianism, The Exodus Pattern, and Early Rabbinic Judaism”, dalam The
Messiah: Developments In Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth
(Minneapolis: Augsburg Fortress Publishers, 1992), 257.
18
2.3.2. Konsep Mesias dalam Perjanjian Baru
Mesias dalam Perjanjian Baru merujuk pada gelar Kristus yang disematkan
pada Yesus. Yesus diidentifikasikan sebagai seorang Mesias karena pemberitaan
Yesus tentang Kerajaan Allah. Yesus diyakini akan kembali membangun kejayaan
kerajaan Israel di mana Ia memerintah sebagai rajanya.18
Pengharapan akan
kedatangan seorang raja merasuki pikiran orang Yahudi saat itu yang sedang
menderita. Orang Yahudi di zaman Yesus menantikan penggenapan nubuatan Mesias
atau kedatangan Anak Manusia untuk menyelamatkan mereka dari penindasan bangsa
Romawi.19
Injil Markus mulai dengan menggunakan istilah rahasia mesianis. Penulis Injil
Markus menekankan bahwa identitas Yesus sebagai Mesias tidak boleh diberitahu
kepada siapa pun oleh setiap orang yang merasakan mukjizat Yesus, para murid
bahkan para setan.20
Mesias rahasia dalam Injil Markus menimbulkan beberapa
tafsiran yaitu pertama, tafsiran apologetik. Tafsiran ini mengatakan bahwa Injil
Markus merahasiakan kemesiasan Yesus guna menghindari serangan para musuh
yang membenci Yesus. Tafsiran Mesias rahasia juga menunjukkan situasi bahwa
komunitas pembaca Injil Markus bersifat ‘rahasia’ karena mereka juga dibenci.
Kedua, tafsiran epifanik. Tafsiran ini menekankan tentang penyataan kemuliaan
Yesus. Injil Markus tidaklah menekankan tentang rahasia mesianis, namun lebih
kepada menyatakan kemuliaan Yesus. Ketiga, tafsiran teologi salib. Tafsiran ini
mengatakan bahwa pengenalan terhadap kemesiasan Yesus hanya dapat ditempuh
18
B. L. Mack, “The Christ and Jewish Wisdom” dalam The Messiah: Developments In
Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis: Augsburg Fortress
Publishers, 1992), 192.
19 James E. Will, A Christology of Peace (Lousville: Westminster/John Knox Press, 1989), 32.
20 Samuel Benyamin Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus: Menurut Injil-injil Sinoptik. Cetakan
ke-2 (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 132.
19
melalui jalan penderitaan. Jadi setiap orang harus menderita terlebih dahulu bahwa
bisa memahami bahwa Yesus adalah Mesias. Hal ini juga masih berkaitan dengan
adanya kebencian terhadap komunitas Markus yang membuat mereka menderita.
Keempat, tafsiran historik. Tafsiran ini mengatakan bahwa Yesus sebagai Mesias
tetap rahasia sampai Yesus bangkit. Setelah bangkit rahasia Mesias menjadi terbuka,
tidak lagi tersembunyi. Namun kerahasiaan Mesias tetap tertutup bagi siapa pun yang
belum percaya kepada Yesus.21
Injil Matius menekankan bahwa Yesus adalah penggenapan Mesias dalam
Perjanjian Lama. Matius menekankan Yesus adalah Mesias dengan membuktikan
bahwa Yesus adalah keturunan Daud dalam pembukaan Injilnya (Matius 1:1-17). Injil
Matius juga mengaitkan Yesus dengan Anak Allah (Matius 16:16; 26:63). Injil Matius
bukan hanya mengatakan bahwa Yesus adalah penggenapan Mesias, tapi Yesus juga
adalah Musa yang baru.22
Oleh karenanya beberapa peristiwa Yesus diidentikkan
dengan peristiwa Musa, contohnya ketika Yesus berpuasa selama empat puluh hari di
padang gurun (Matius 4:1-11) sama seperti peristiwa Musa membawa Israel melintasi
padang gurun selama empat puluh tahun. Yesus dianggap akan bertindak seperti Musa
untuk membawa keselamatan dan arah baru. Dan itu merupakan pemahamaan yang
berkembang pada orang Yahudi di abad pertama.23
Injil Lukas memakai gelar Mesias hanya tiga kali, yaitu dalam hubungan
dengan pengakuan Peturs (Luk. 9:20), hubungan antara Mesias dengan Daud (Luk.
20:41) dan pertanyaan imam besar pada waktu Yesus diadili (Lukas 22:67). Injil
21
Samuel Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus, 134-136.
22 Bart D. Ehrman, The New Testament: A Historical Introduction to The Early Christian
Writings. Edisi ke-2 (New York: Oxford University Press, 2000), 88.
23 Bart Ehrman, The New Testament, 89.
110
Lukas menampilkan Mesias dalam dua cara yaitu pertama, kebangkitan dan
penggenapan adalah dua istilah kunci dalam mengenakan gelar Mesias kepada Yesus.
Kedua, dalam pemberitaannya mengenai Yesus sebagai Mesias Injil Lukas terkadang
menambahkan ungkapan yang menyatakan bahwa penderitaan dan kematian Yesus
adalah sesuatu yang perlu sesuai dengan yang dinubuatkan dalam Kitab Suci. Jadi
bagi Injil Lukas, Mesias bukan seorang figur politis, melainkan seorang figur Mesias
yang menderita sesuai dengan janji Kitab Suci untuk memberikan keselamatan kepada
manusia.24
Injil Sinoptik berbeda-beda dalam mengartikan Mesias dalam diri Yesus. Injil
Markus bukan hanya merumuskan rahasia kemesiasan tapi juga sangat menekankan
bahwa Mesias tidak punya banyak waktu atau buru-buru. Hal ini dianggap wajar
bahwa ketika keempat tafsiran atas kerahasiaan Mesias terlihat bahwa ada penderitaan
dan harapan eskatologis dan apokaliptik. Injil Markus begitu sangat ingin
mewujudkan kedatangan Mesias itu karena Ia akan membawa kemuliaan dan
pembebesan bagi umat, khususnya komunitas Markus. Injil Matius menyatakan
bahwa Yesus adalah keturunan Daud dan penggenapan Perjanjian Lama karena Injil
Matius berhadapan dengan komunitasnya yang merupakan orang Kristen Yahudi. Injil
Matius menggunakan bahan-bahan Perjanjian Lama untuk meyakinkan pembacanya
bahwa Yesus adalah benar-benar penggenapan nubuatan Mesias. Injil Lukas
menghindari penggunaan Mesias dalam artian politis karena Injil Lukas ditulis kepada
seorang penguasa Romawi yang bernama Teofilus Yang Agung. Mesias sebagai
tokoh politik tidak akan diberitakan oleh Injil Lukas karena pastinya akan mendapat
penolakan dari bangsa Romawi dan mengesankan agama Kristen akan mengudeta
24
Samuel Hakh, Pemberitaan Tentang Yesus, 141.
111
pemerintahan Romawi. Keberagaman pandangan Mesias dalam Injil Sinoptik
memperlihatkan bahwa Mesias diartikan sesuai dengan konteks komunitas yang ada.
2.3. Mesias Nirkekerasan
2.3.1. Latar Belakang Sosial-Politik Mesias Nirkekerasan
Pandangan Mesias di dalam Perjanjian Baru yang sebelumnya disebutkan
adalah pandangan dari para penulis Injil tentang Yesus. Pandangan itu muncul setelah
kehidupan pelayanan Yesus, bukan pada saat pelayanan Yesus terjadi. Diyakini
bahwa para penulis Injil tidak terlibat langsung dalam aktifitas pelayanan bersama
Yesus. Lalu bagaimanakah sebenarnya keadaan sosial-politik saat Yesus melakukan
pelayanannya, sehingga beberapa orang yang dikatakan mengatakan bahwa Yesus
adalah seorang Mesias?
Dunia di mana hidup Yesus adalah dunia di mana kekaisaran Romawi
mendominasi wilayah Palestina. Herodes Yang Agung menjadi pemimpin yang
bertangan besi yang menggunakan kekerasan dalam mengokohkan kekuasaannya.
Herodes Yang Agung memperlakukan orang Yahudi dengan sombong, menyiksa
orang Farisi bahkan membunuh tiga putranya sendiri.25
Situasi mengerikan ini
menjadi bibit dalam munculnya perlawanan dari pihak Yahudi. Orang Yahudi
melakukan perlawanan di bawah pimpinan tokoh karismatik yang bercirikan Mesias.
Perlawanan besar di bawah tokoh karismatik mendesak kekaisaran Romawi untuk
melakukan perlawanan, salah satunya adalah hukuman mati dengan cara disalib
kepada orang-orang yang dianggap mengancam kekuasaan Romawi.26
25
John Stambaugh – David Balch, terj. Stephen Suleeman, Dunia Sosial Kekristenan Mula-
mula (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 15.
26 Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, terj. Bambang Subandrijo
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 99.
112
Munculnya tokoh karismatik yang bercirikan Mesias merupakan konsekuensi
logis dari situasi yang dihadapi orang Yahudi saat itu. Keadaan penindasan dan
kekerasan oleh kekaisaran Romawi membuat orang Yahudi berada dalam dua situasi.
Situasi pertama adalah orang Yahudi melakukan praktik-praktik agamanya sesuai
dengan keadaan saat itu. Orang Yahudi harus menerima keadaan bahwa beberapa
peraturan keagamaan saat itu dimodifikasi oleh kekaisaran Romawi, contohnya adalah
persembahan korban yang dilakukan setiap hari di Bait Suci dilakukan atas nama
kaisar dan bukan lagi atas nama Tuhan.27
Sebagian orang Yahudi menerima perlakuan
kasar seperti ini, namun ada sekelompok orang Yahudi yang melakukan perlawanan
terhadap kekaisaran Romawi – dan ini adalah situasi kedua. Perlawanan orang Yahudi
tetap dilakukan di bawah kepemimpinan tokoh karismatik yang dicirikan Mesias.
Orang-orang Yahudi yang melakukan perlawanan itu disebut kaum Zelot. Dua
kelompok Yahudi yang bertahan dengan keadaan yang ada dan kelompok Zelot yang
melakukan perlawanan sebenarnya sama-sama menantikan pemulihan ibadah di
Yerusalem.28
Kenapa akhirnya tokoh-tokoh karismatik itu bermunculan dan disebut sebagai
Mesias? Jika kita merujuk kepada pemahaman mesias dalam bagian sebelumnya, jelas
bahwa seorang pemimpin dibutuhkan dalam memenuhi aspek pengharapan mesianik
orang Yahudi. Pengharapan mesias yang dikenakan pada tokoh karismatik membawa
ingatan orang Yahudi kembali pada kejayaan bangsa Israel. Orang Yahudi yang hidup
saat itu ingin bahwa mereka lepas dari kekuasaan Romawi. Orang Yahudi berharap
bahwa ada pemimpin yang akan memulihkan situasi ketertindasan mereka dan
27
John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 17.
28 John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 21.
113
kemurnian ibadah mereka di Yerusalem. Perlawanan oleh tokoh karismatis yang
bercirikan Mesias membuat tentara romawi memperketat pengamanan untuk
mencegah kemungkinan munculnya para Mesias dan para pengikutnya. Bahkan
tentara Romawi juga memeriksa dan menganiaya beberapa orang yang merupakan
keturunan Daud untuk mencegah munculnya keturunan Daud menjadi Mesias.29
2.3.2. Yesus dan Mesias Nirkekerasan
Bagi orang Yahudi di masa pemerintahan Romawi, kehadiran Yesus dianggap
sebagai salah satu tokoh karismatik yang bercirikan Mesias. Yesus dianggap demikian
karena Yesus mengabarkan tentang Kerajaan Allah. Anggapan orang Yahudi saat itu
tentang Kerajaan Allah adalah Yesus telah dipilih oleh Allah untuk menjadi wakil-
Nya dalam dunia ini. Pemahaman ini muncul dari kata Kerajaan Allah itu sendiri yang
berarti ada sebuah wilayah di mana Allah akan memerintah atasnya dan otoritas dari
Allah untuk memerintah.30
Pemahaman Kerajaan Allah dipengaruhi situasi di mana
orang Yahudi sering dihadapkan pada penderitaan yang dilakukan oleh kerajaan dari
bangsa lain. Tercatat bahwa beberapa kerajaan telah menindas dan menaklukan Israel
seperti Babilonia, Asyur, Asiria, Persia dan Roma. Orang Yahudi sudah sangat
merindukan bahwa akan datang waktunya di mana Kerajaan Allah yang akan
memerintah dan menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerinduan terhadap kejayaan
pemerintahan raja Daud juga melatarbelakangi gerakan orang Yahudi untuk percaya
pada Yesus yang akan datang sebagai Mesias, seorang Raja keturunan Daud, yang
akan memerintah di Kerajaan Allah.
29
John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan, 21.
30 Daniel Lywood Smith, Into The World of The New Testament: Greco Roman and Jewish
Texts and Contexts (London: Bloomsbury T&T Clark, 2015), 26.
114
Yesus menghadirkan sebuah cara agar umat tidak terperangkap dalam
lingkaran kekerasan. Yesus hidup dan mengajarkan sebuah jalan nirkekerasan. Jalan
nirkekerasan yang dilakoni Yesus adalah respon atas keinginan orang Yahudi abad
pertama yang memilih untuk menjadi nirkekerasan.31
Josephus mengatakan bahwa
saat itu orang Yahudi melakukan perlawanan nirkekerasan terhadap kekaisaran
Romawi. Josephus mengatakan bahwa perlawanan nirkekerasan itu lebih banyak pada
aspek religius. Salah satu contoh yang diberikan Josephus adalah Kaisar Caligula
yang hendak mendirikan patungnya di Bait Allah di Yerusalem pada tahun 39 M.
Orang Yahudi menolaknya dengan memilih mati daripada hidup untuk menyaksikan
patung Caligula masuk dalam Bait Allah.32
Namun konsep nirkekerasan yang diajarkan Yesus mendapat pertentangan
karena masih bernuansa kekerasan. Hal itu dapat ditemui dalam perumpamaan-
perumpamaan yang cenderung menghakimi dan bersifat destruktif. Perumpamaan itu
menimbulkan ketegangan bagi para pembaca karena diperhadapkan dengan
nirkekerasan Yesus dan kekerasan ilahi (Allah). Ketegangan ini akan membawa orang
untuk melegalkan tindakan kekerasan karena dipercaya tindakannya dilakukan juga
oleh Allah.33
Beberapa perkataan Yesus juga dinilai mengandung unsur kekerasan.
Salah satu perkataan Yesus yang dipakai untuk menolak konsep nirkekerasan adalah
Matius 10:34 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai
di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Kata
pedang memang identik dengan tindak kekerasan, namun perkataan Yesus ini perlu
31
Simon J. Joseph, The Nonviolent Messiah: Jesus, Q and The Enochic Tradition
(Minneapolis: Fortress Press, 2014), 43.
32 Simon Joseph, The Nonviolent Messiah, 43.
33 Leo Lefebure, Penyataan Allah, 109.
115
dilihat dalam konteks di mana perkataan itu dimuat oleh Injil Matius. Pedang yang
dimaksudkan dalam Matius 10:34 adalah pemisahan atau perlawanan. Perkataan
Yesus mengenai pedang bukanlah sebuah ajakan bagi pengikutnya untuk mengangkat
pedang dan melakukan perlawanan. Perkataan tersebut ingin menegaskan bahwa
kesetiaan dalam mengikuti-Nya akan membawa seseorang dalam situasi sulit di mana
keluarga dekatnya akan memberikan penolakan.34
Perumpamaan Yesus mengenai penghakiman akhir dipakai juga untuk
menyanggah konsep mesias nirkekerasan. Perumpamaan mengenai penghakiman
akhir menyuguhkan situasi yang mengerikan di mana tidak diberikannya
pengampunan dan pembuangan orang-orang fasik ke dalam jurang kegelapan.
Gambaran ini tentunya bertentangan dengan konsep nirkekerasan yang penuh dengan
kasih. Adanya kekerasan dalam perumpamaan Yesus setidaknya dapat dipahami
dalam dua hal. Pertama, kekerasan yang ditampilkan dalam perumpamaan
menyimbolkan kekerasan yang dialami oleh umat Kristen saat itu. Penghakiman akhir
itu adalah bentuk penghiburan di mana setiap umat Kristen yang menderita akan
mendapatkan penghiburan yaitu keselamatan dan bukan penghukuman.35
Penghukuman itu akan diberikan pada pihak-pihak yang telah membuat umat Kristen
menderita. Pemahaman ini dapat dikatakan bahwa si korban yaitu umat Kristen tetap
bertindak nirkekerasan walaupun kekerasan mengiringi kehidupan mereka. Di sisi lain
penghukuman terhadap pelaku kekerasan tetap menjadi sorotan karena juga
menyetujui adanya kekerasan. Namun jika pernyataan ini digiring kembali pada
situasi terbentuknya konsep mesias, maka penggambaran penghakiman akhir adalah
34
Simon Joseph, The Nonviolent Messiah, 26.
35 David C. Sim, “The Pacifist Jesus and The Violent Jesus In The Gospel of Matthew,”
Hervormode Teologiese Studies Vol. 67 Issue 1 (2011): 5.
116
sesuatu yang wajar karena Mesias yang datang menghakimi adalah harapan dari
setiap orang yang menderita kekerasan. Guna menghindari keambiguan konsep
mesias nirkekerasan maka perumpamaan yang mengandung kekerasan dalam
dipahami dalam hal yang kedua yaitu perumpamaan tersebut adalah ajakan untuk
melakukan nirkekerasan. Perumpamaan tentang penghakiman akhir adalah hal yang
bersifat eskatologis, sedangkan nirkekerasan lebih bersifat waktu sekarang.
Nirkekerasan justru berusaha untuk mewujudkan agar di waktu kelak akan tercipta
juga situasi nirkekerasan bukan kekerasan seperti yang digambarkan oleh
perumpamaan itu.36
Apabila setiap orang tetap berada dalam lingkaran kekerasan,
maka yang terjadi adalah penghukuman tanpa pengampunan dan pembedaan antara
orang benar dan orang fasik. Hal ini dilihat sebagai sikap individu yang terus
melakukan kekerasan tanpa memikirkan akibatnya bagi korban dan setiap orang akan
melakukan apapun untuk menjadi kuat dan terbebas dari keadaan mencekam. Jadi
perumpamaan tentang penghakiman akhir yang penuh dengan kekerasan itu adalah
situasi yang akan terjadi apabila kekerasan tetap dibiarkan tumbuh sumbur dalam
masyarakat. Setiap orang harus keluar dari lingkaran kekerasan itu untuk menciptakan
hari esok yang penuh harapan di mana setiap orang menjalani sikap nirkekerasan dan
situasi yang penuh kasih dan damai dapat tercipta.
Nirkekerasan Yesus dapat dijelaskan melalui kata Yunani antistenai. Kata
antistenai merupakan bentukan dari dua kata yaitu anti, yang berarti melawan dan
histemi yang berarti pemberontakan yang menggunakan kekerasan. Kata antistenai
sendiri digunakan dalam Septuaginta untuk merujuk pada situasi di mana ada dua
36
Barbara E. Reid, “ Violent Endings In Matthew’s Parables and Christian Nonviolence,”
Catholic Biblical Quaterly Vol. 66 Issue 6 (April 2004): 254.
117
kubu saling berlawanan sampai salah satu kubu kalah.37
Kata antistenai berarti
‘jangan melawan kejahatan’. Walter Wink tidak menyetujui pengartian ‘jangan
melawan kejahatan’ karena terkesan hanyalah sebuah perintah dan menggiring pada
sebuah kepatuhan semu. Walter Wink melihat bahwa antistenai lebih baik diartikan
‘jangan bertindak dengan keras kepada seseorang yang bertindak jahat’. Pengartian
lebih mengarahkan pembacanya kepada sebuah tindakan nyata.38
Beberapa kisah dalam Injil menunjukkan bagaimana seharusnya bertindak
dalam menghadapi kekerasan, salah satunya adalah kisah tentang memberikan pipi
yang di sebelah kanan ketika ada seseorang yang menampar pipi kiri. Pemberian pipi
kanan untuk ditampar bukanlah sebuah tindakan yang pasif, mengalah ataupun
melukai. Ketika seseorang mendaratkan tamparan di pipi kanan seseorang, maka ia
akan menggunakan bagian luar tangannya. Bagian luar tangan kanan seseorang adalah
bagian yang sering dipakai untuk menunjukkan kepatuhan dan sikap tunduk pada
seseorang yang lebih tinggi status sosialnya, seperti para budak yang mencium bagian
luar tangan kanan tuannya.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat direndahkan dengan
cara apapun. Kisah pemberian pipi kanan adalah untuk menciptakan keseteraan di
antara manusia.39
Seseorang yang menampar berarti merendahkan orang yang
ditampar. Ia mengambil peran sebagai yang superior dan si korban menjadi inferior.
Namun ketika si korban membiarkan pipi kanannya ditampar dengan menggunakan
bagian luar tangan si penampar, maka terjadilah pertukaran posisi antara si penampar
(inferior) dan si korban (inferior). Tindakan ini dilakukan bukan untuk bermaksud
37
Walter Wink, Jesus and Nonviolence: A Third Way (Minneapolis: Fortress Press, 2003), 11.
38 Walter Wink, Jesus and Nonviolence, 11.
39 Walter Wink, Jesus and Nonviolence, 16.
118
melukai si korban, tapi untuk menjadikan sebuah situasi agar tidak terulang lagi
lingkaran setan kekerasan. Setiap korban pasti akan cenderung membalas kekerasan
kepada pelakunya. Kalau hal itu terjadi, maka setiap orang akan berusaha untuk
menaklukan lawannya dan menguasai lawannya. Pemberian pipi kanan adalah cara
agar setiap orang tidak lagi berpikir untuk mendominasi orang lain, tapi lebih pada
penyetaraan derajat – tidak ada lagi istilah inferior dan superior. Hal ini juga untuk
melawan kultur Romawi yang keras dan senang mencari kehormatan. 40
Nirkekerasan bukanlah sebuah tindakan yang pasif atau tindakan yang
mengalah. Nirkekerasan adalah sebuah tindakan nyata, ia melakukan sesuatu dalam
melawan kejahatan yaitu tidak bertindak dengan keras. Seseorang yang melakukan
nirkekerasan melakukan satu tindakan tapi bukan tindakan yang mengandung
kekerasan. Ketika Yesus dikatakan sebagai Mesias, berarti Ia akan memimpin
perlawanan melawan Romawi untuk memberi kehidupan baru bagi orang Yahudi
yang menderita kala itu. Yesus sebagai Mesias nirkekerasan membawa perubahan
bagi kehidupan masyarakat saat itu untuk tidak bertindas keras terhadap para
penindasnya (Romawi).
2.3.3. Nirkekerasan dan Gereja
Mesias nirkekerasan telah mengubah makna Mesias itu sendiri. Mesias
nirkekerasan bukan lagi menjadi sebuah konsep eskatologis, tapi ia menjadi konsep
yang bernilai ‘hari ini’. Mesias nirkekerasan bukan lagi menjadi sebuah keyakinan
dogmatis, tetapi ia telah menjadi sebuah tindakan etis. Jalan nirkekerasan yang dipilih
Yesus bukanlah sebuah perubahan sosial tapi adalah sebuah pemahaman diri yang
40
Daniel Smith, Into The World of The New Testament, 35.
119
baru.41
Jalan nirkekerasan Yesus adalah sebuah bentuk konkrit dari penghayatan
spiritural diriNya. Oleh karenanya Yesus mengajak bukan untuk mengubah dunia ini
tapi untuk menunjukkan bahwa tindakan etis, atau dalam hal ini tidak melawan
kekerasan dengan kekerasan, adalah hasil perenungan spiritual bukan hanya norma
atau ketaatan biasa. Perenungan itu menghasilkan hubungan yang antar pribadi yang
saling menghargai dan menghormati.
Mesias nirkekerasan mengandung kasih Allah di dalamnya. Nirkekerasan
menjadi sebuah tindakan Allah bagi manusia. Mesias nirkekerasan menjadi
penghubung antara dunia Allah yaitu kasih dan dunia manusia yaitu dosa. Mesias
nirkekerasan membawa kasih dari Allah dan membawa keberdosaan manusia.
Ketaatan Yesus dalam menjalani perannya sebagai Mesias nirkekerasan, sampai mati
di kayu salib, memampukan kekristenan melakukan nirkekerasan yang di dalamnya
terdapat kasih.42
Jalan nirkekerasan merupakan jalan untuk masuk ke dalam kasih
Allah. Nirkekerasan bukanlah menilai bahwa seseorang punya hak untuk menolak
kekerasan terjadi dalam dirinya. Nirkekerasan adalah cara untuk tetap berada dalam
kasih Allah. Ketika seseorang telah membalas kekerasan dengan kekerasan dia telah
memalingkan diri dari kasih Allah. Jadi nirkekerasan bukanlah sebuah sikap yang
menuntut kepatuhan tapi sebuah kesadaran diri untuk tidak berlaku kekerasan.
Nirkekerasan berada dalam ruang kasih Allah yang tidak menuntut balasan
dari manusia. Kasih Allah selalu diberikan dan ditujukan bagi umat walaupun umat
melakukan kekerasan yang membuat mereka terasing dari kasih Allah. Allah
41
John Howard Yoder, The Politics of Jesus: Vicit Agnus Noster, Edisi ke-2 (Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 6.
42 Alain Epp Weaver, “UNJUST LIES, JUST WARS?: A Christian Pacifist Conversation with
Augustine,” Journal of Religious Ethics Vol. 29 Issue 1 (Maret 2011): 70.
120
menerima kekerasan dari umat namun tidak membalas kekerasan itu dengan hukuman
atau kekerasan. Allah tidak menggunakan pemahaman hirarkis untuk membedakan
dirinya dengan umat, justru Allah mendekatkan dirinya agar terjadi hubungan antar
pribadi. yang erat. Demi terciptanya hubungan pribadi yang erat itu pula, kasih Allah
menjelma dalam tubuh manusia. Oleh karenanya ketika seseorang melakukan
kekerasan terhadap orang lain, ia melakukan penolakan terhadap kasih Allah yang ada
dalam diri setiap individu.
Gereja memberitakan kasih Allah ia bukanlah sebuah bentuk yang tidak nyata
tapi nyata dalam diri Yesus dan lebih nyata lagi dalam diri umat. Gereja menjadi
pemberita kasih Allah dengan sikap nirkekerasan. Gereja mempunyai kesadaran untuk
mengundang semua orang untuk masuk dalam kasih Allah dengan melakukan
nirkekerasan. Gereja perlu membangun sikap untuk tidak membeda-bedakan umat
karena pada dasarnya kasih Allah dan nirkekerasan adalah soal kesamaan derajat dan
memanusiakan manusia.
2.4. Penutup
Nirkekerasan menjadi jalan yang dipilih oleh Yesus dalam situasi masyarakat
saat itu. Situasi saat itu memerlukan adanya perubahan situasi bagi orang Yahudi
dalam masa pemerintahan Romawi. Berbagai perlawanan dilakukan oleh mereka,
namun tidak menemui kemenangan. Perlawanan yang dilakukan justru membuat
mereka semakin dicurigai dan dijadikan sasaran kekerasan. Beberapa orang Yahudi
memutuskan untuk tidak melawan dan hidup sesuai dengan keadaan menghindari
kekerasan.
Yesus disebut-sebut sebagai Mesias yang akan membawa kebebasan dari
penindasan kekaisaran Romawi. Orang Yahudi semakin yakin bahwa Yesus adalah
121
Mesias ketika Ia memberitakan Kerajaan Allah. Mereka percaya dan berharap bahwa
Kerajaan Allah akan memerintah lagi di mana Yesus sebagai rajanya dan akan
menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Yesus memang tidak memberitakan bahwa
Kerajaan Allah akan terbentuk dalam dunia ini. Kerajaan Allah yang diberitakan
Yesus adalah situasi di mana Allah hadir di dalamnya dan menampakkan sifat-sifat
Allah.
Mesias Nirkekerasan menjadi jalan alternatif yang ditempuh Yesus untuk
mendamaikan dua pandangan besar tersebut. Mesias nirkekerasan menjadi pemimpin
dalam bertindak melawan kekerasan. Mesias nirkekerasan menjadi pemimpin untuk
membawa perubahan baru bagi masyarakat saat itu. Perubahan baru itu adalah
bagaimana seseorang tidak lagi berpikir untuk mengalahkan atau mendominasi pihak
lain. Seseorang dipanggil untuk mengubah lingkaran kekerasan itu dengan tidak
mengubah posisi dari korban menjadi pelaku kekerasan, tapi menyadari bahwa
keberadaan dan derajat yang sama sebagai manusia. Mesias nirkekerasan memimpin
untuk menghindari terjadinya kontak fisik dan membawa pemahamawan baru di mana
kekerasan diubah menjadi kasih. Mesias nirkekerasan menjadi jalan baru yang
ditempuh sesuai dengan konteks masyarakat yang ada saat itu.
Jika melihat definisi Mesias dan beberapa Mesias dalam pandangan Kristen,
maka Mesias nirkekerasan adalah seorang pemipin yang mempunyai dampak sosial,
menjadi pemimpin yang membawa perubahan dan mendatangkan keselamatan agar
orang menyadari untuk tidak melakukan kekerasan atau membalas kekerasan dengan
kekerasan.