TB MDR fix

download TB MDR fix

If you can't read please download the document

Transcript of TB MDR fix

I.

PENDAHULUAN Multi-Drug Resistance dalam pengobatan TB menjadi masalah kesehatan

masnyarakat di sejumlah negara dan merupakan hambatan terhadap program pengendalian TB secara global. Kekebalan kuman TB terhadap OAT sebenarnya telah muncul sejak lama. Kekebalan ini dimulai dari yang sederhana yaitu monoresisten, poliresisten, sampai dengan MDR dan extensive drug resistance (XDR). WHO pada tahun 2005 melaporkan di dunia lebih dari 400.000 kasus MDR TB terjadi setiap tahunnya sebagai akibat kurang baiknya penanganan dasar kasu TB dan transmisi strain-strain kuman yang resisten obat anti TB. Penatalaksanaan MDR TB lebih sulit dan membutuhkan biaya lebih banyak dalam penanganannya dibandingkan dengan kasus TB yang bukan MDR. Menurut WHO, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke delapan jumlah kasus MDR TB dari 27 negara. Data awal survey resistensi obat OAT lini pertama yang dilakukan di Jawa Tengah 2006, menunjukkan angka TB MDR pada kasus MDR pada kasu baru yaitu 2,07%, angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya yaitu 16,3%. Beberapa komponen yang harus dipenuhi dalam penatalaksanaan MDR TB adalah tersedianya sarana laboratorium yang tersertifikasi khususnya untuk uji resistensi OAT, obat-obat TB lini ke dua yang lengkap dan sumber daya manusia yang terlatih serta sumber dana yang memadai. II. DEFINISI TB dengan resistensi ganda dimana basil M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya2,9,10,11

. TB resistensi ganda

dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat1,12. Batasan MDR TB-

Mono resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT lini pertama

-

Poly-resistance :kekebalan terhadap lebih dari satu OAT lini pertama, tetapi tidak resisten terhadap INH dan rifampisin secara bersama-sama Multidrug-resistance : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin. Secara singkat MDR TB adalah resistensi terhadap INH dan rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain

-

-

Extensive drug-resistance (XDR) : selain MDR TB, juga terjadi kekebalan terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon sebagai OAT lini kedua, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)

-

Totally drug-resistance (TDR) : resistensi total ini dikenal juga dengan istilah super XDR-TB, yaitu didefinisikan dengan kuman yang sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama dan OAT lini kedua (amikasin, kanamisin, kapreomisin, fluorokuinolon, thionamide, PAS)

III.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESISTENSI OAT Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB resistensi ganda

digambarkan pada gambar 2. Basil mengalami mutasi resisten terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Selanjutnya resistensi sekunder (dapatan) terjadi. Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat yang primer dan sekunder dapat diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer, seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat menyebarkan penyakit resistensi obat di dalam komunitas13.

Koloni M.tuberculosis Mutan 1 Mutasi Alamiah resisten Koloni M.tuberculosis 2 Strain resisten akibat terapi yang tidak adekuat Resistensi obat TB sekunder (multipel) 3a Transmisi secara droplet Resistensi obat TB primer (multipel) 3b transmisi yang lebih jauh Resistensi obat TB primer yang lebih banyak (multipel) (infeksi HIV, control infeksi yang tidak adekuat, diagnostic yang terlambat)

Gambar 2. Tiga tahap perkembangan dan penyebaran MDR TB. Keempat masalah tersebut berasal dari pasien yang resisten primer dan sekunder pindah ke daerah kontrol (dikutip dari 13)

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu2,5: 1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis 2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi. 3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya. 4) Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik

sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. 6) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan. IV. MEKANISME RESISTENSI OAT A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air shingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase12,14. Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase14.

B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler12,14. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12. C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek12. Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat14. Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase14,15.

D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel14. Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus14. E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin14. V. DIAGNOSIS Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2)

Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB12 Diagnosis TB resistensi ganda tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai12. Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resistensi ganda khususnya pada suasana dengan prevalensi TB resistensi ganda yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin15. VI. PENATALAKSANAAN Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut : a. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.b. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi

digunakan kapreomisin,viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative c. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, missal levofloksasin. Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya

d. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon e. Grup kelima,obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut. Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara empiric yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibua berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia. Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut, Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon

Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakn belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4. Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain : 1. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. 2. Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area / negara tersebut 3. Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya 4. Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan5. Obat diberikan sekurnag-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin

etambutol,pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi. 6. Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi 7. Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh 8. Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis pirazinamid bekerja aktif 9. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat OAT lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal. menghasilkan suasana asam dan

Di Indonesia, saat ini panduan standar obat dalam uji program pendahuluan di RSU Dr. Soetomo dan RS Persahabatan yang akan diberikan pada setiap pasien MDR TB adalah sebagai berikut : Fase intensif Km-(E)-Eto-Lfx-Z-Cs Keterangan : Km : Kanamisin E : Ethambutol Eto : Ethionamid Lfx : Lefofloxacin Z : Pirazinamid Cs : Sikloserin Fase intermitten E-Eto-Lfx-Z-Cs

Tabel perhitungan dosis OAT

FASE-FASE PENGOBATAN TB MDR 1. Fase Pengobatan intensif Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk: - Menilai keadaan pasien secara cermat - Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping - Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan: Tidak ditemukan efek samping Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR

Penentuan tempat pengobatan Sebelum pasien memulai rawat jalan, Tim ahli klinis rujukan MDR membuat surat pengantar ke UPK satelit TB MDR yang terdekat dengan tempat tinggal pasien untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya. Pasien juga dapat memilih RS rujukan TB MDR sebagai tempat melanjutkan pengobatan rawat jalan hingga selesai pengobatan b. Fase rawat jalan Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur Pada fase rawat jalan: 1. Pasien mendapat suntikan setiap hari (Senin s/d Jumat) sedangkan obat oral 7 hari per minggu. Penyuntikan obat dan menelan minum obat dilakukan didepan petugas kesehatan 2. Pasien berkonsultasi dan diperiksa oleh dokter UPK satelit-2 setiap 1 minggu 3. Pasien yang memilih pengobatan di UPK satelit akan mengunjungi dokter di RS rujukan MDR setiap 2 minggu (jadwal kedatangan disesuaikan dengan jadwal pemeriksaan sputum atau laboratorium lain) sampai dokter memutuskan kunjungan dikurangi menjadi sebulan sekali 4. Dokter UPK satelit memastikan:

bahwa pasien membawa spesimen sputum yang layak untuk pemeriksaan mikroskopik dan kultur setiap bulannya dan dilakukan pemeriksaan darah atau lainnya jika dibutuhkan.

Anggota Tim Ahli Klinis dan wasor memperoleh informasi klinis yang diperlukan untuk dibicarakan pada pertemuan Tim Ahli Klinis (hasil pemeriksaan sputum dan kultur, efek samping dst)

Mencatat perjalanan penyakit pasien dan bila ada kejadian khusus maka akan melaporkan kepada Tim Ahli Klinis di pusat rujukan

2. Fase pengobatan lanjutan Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan

Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan

Pasien yang berobat di UPK satelit akan mengunjungi RS rujukan TB MDR setiap 1 bulan untuk berkonsultasi dengan dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan dahak dan biakan)

Obat diberikan setiap minggu oleh petugas UPK satelit atau RS Rujukan TB MDR kepada pasien. Pasien minum obat setiap hari dibawah pengawasan PMO

Perpanjangan lama pengobatan hingga 24 bulan diindikasikan pada kasuskasus kronik dengan kerusakan paru yang luas

Dua hal yang sangat penting yang harus diperhatikan adalah : yang pertama, KIE yang bersifat komprehensif terhadap penderita dan keluarganya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan. Yang kedua, selama pengobatan harus dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT). VII. PEMANTAUAN SELAMA PENGOBATAN & HASIL PENGOBATAN Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah, Penilaian klinis termasuk berat badan Penilaian segera bila ada efek samping Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan

Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin) Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid Konversi dahak Definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. Tanggal set pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negative digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan). Penyelesaian pengobatan fase intensif Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur Lama pengobatan Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama pengobatan Hasil pengobatan TB MDR (atau kategori IV) Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturutturut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari

Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR. Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping. Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil pengobatan tidak diketahui PENANGANAN EFEK SAMPING A. Pemantauan efek samping selama pengobatan OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan lebih sering dari pada OAT lini pertama Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan ditangani makin baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari Efek samping sering terkait dosis Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga pasien tidak menjadi takut saat mengalaminya dan drop-out Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus tercatat dalam pencatatan dan pelaporan B. Tempat penatalaksanaan efek samping RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan efek samping tergantung berat ringan gejala. Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan sedang. Tim klinis TB MDR di RS rujukan TB MDR akan mendapat laporannya

Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan transportasi dari Puskesmas

TERAPI PEMBEDAHAN Pada kasus TB dengan adanya kuman persisten pada jaringan nekrotik luas pada paru, sedikitnya vaskularisasi dan keterbatasan penetrasi obat akan menimbulkan terjadinya kegagalan terapi atau kekambuhan kasu TB. Kerusakan jaringan paru dan kavitas paru yang luas kemungkinan juga sebagai tempat terjadinya kekambuhan kuman. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya MDR TB. Terapi pembedahan diindikasikan pada kasu MDR TB dengan kerusakan jaringan paru yang luas dan denga kavitas luas atau kavitas persisten. Pada kasus dengan kegagalna terjadinya konversi sputum setelah terapi OAT selama 4 bulan pada fase intensif dipertimbangkan untuk dilakukan terapi pembedahan. Jenis operasi pembedahan sanga ttergantung dengan luas kerusakan jaringa paru dan fungsi paru sebelum pembedahan, sehingga pemilihan operasi bedah dapat segmentectomy, atau lobectomy. Pengobatan OAT harus diberikan selama 3-4 bulan sebelum tindakan bedah dilakukan pada kasus MDR TB, dengan tujuan untuk menurunkan infeksi bakteri di sekitar jaringan paru. Setelah tindakan bedah dilakukan, terapi OAT tetap diberikan selama 18-24 bulan. Pada beberapa penelitian tindakan bedah pada kasu MDR TB dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. VIII. PENGOBATAN TB MDR PADA KEADAAN KHUSUS A. Pengobatan TB MDR pada wanita usia subur Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan. Pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang akan mendapat pengobatan TB MDR.B. Pengobatan TB MDR pada ibu hamil

Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi sampai saat ini keamanannya belum diketahui Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini

Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester kedua C. Pengobatan TB MDR pada ibu menyusui Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB MDR harus mendapat pengobatan penuh Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan konsentrasi yang lebih kecil Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95D. Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi

hormon Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan rejimen yang tidak mengandung riyfamycin Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat pengobatan dengan rifampycin bisa memilih salah satu metode berikut: gunakan kontrasepsi oral yang mengandung dosis estrogen yang lebih besar (50 g) atau menggunakan kontrasepsi bentuk lain E. Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama pengobatan TB MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan F. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan dengan hati hati

Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal). G. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB MDR jika tidak ada bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu atau pemakaian alkohol berlebihan. Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus lebih diawasi Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic advisory Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut, kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman H. Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi) Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti kejang Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan I.Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan psikiatri Pasien harus dinilai dengan pelatihan psikiatris sebelum pengobatan dimulai Penilaian awal harus merekam kondisi psikiatris apapun sebagai suatu keadaan awal(baseline) untuk perbandingan jika gejala psikiatri baru muncul pada saat pasien sedang dalam pengobatan

Depresi dan kecemasan pada pengobatan TB MDR sering bertalian dengan kronisnya pasienan dan faktor stres sosio-ekonomi yang berkaitan dengan penyakit Pengobatan dengan obat psikiatri, konseling perorangan dan/atau kelompok perlu dilakukan untuk mengendalikan gejala Pemantauan ketat diperlukan jika Cycloserine digunakan pada pasien dengan gangguan psikiatris IX. PENCEGAHAN TERJADINYA RESISTENSI OBAT WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT. Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lin : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terpai sesuai evidence based dan tes kepekaan kuman. STRATEGI DOTS PLUS Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sana dengan strategi DOT , dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan TB MDR Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci : 1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR/XDR. 2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjaminmutunya.

3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT). 4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional. X. PROGNOSIS Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut6. Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu klinisi untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi6.

DAFTAR PUSTAKA 1. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baums Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003. 2. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006. 3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo AW, dkk (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006. 4. Tanjung A. Pengelolaan MDR TB dalam Workshop Pengelolaan Tuberkulosis Paru dengan Penyulit dan Keadaan Khusus.2001. 5. Aditama TY. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya, edisi V. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.2005. 6. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A Menace That Threatens To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261272. 7. Andra. Kupas Tuntas Tuberculosis dalam Simposia Update on Tuberculosis and Respiratory Disorder. Juni 2007. 8. Tanjung A, Keliat EN. Resistensi primer kuman tuberkulosis terhadap beberapa obat yang sering dipakai pada penderita tuberkulosis paru dewasa. Medan. 1994. 9. Blanc AT, et al. Management of Chronic and Multi Drug resistance cases in Treatment of Tuberculosis : Guidelines for national programmes, 3rd ed,.WHO. Geneva.2003. 10. Iseman MD. Mycobacterial Diseases of the Lungs in Hanley M, Welsh CH (eds), Current Diagnosis and Treatment in Pulmonary Medicine. Mc Graw Hill. New York. 2003. 11. Iseman MD. Tuberculosis in Goldman L, Ausiello D (eds), Cecil Textbook Medicine. 12. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006. 13. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and Douglass Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000. 14.Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds), Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004. 15.Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed. www.textbookcom. 2007. 16.Perri GD, Bonora S. Which Agents Should We Use For The Treatment of Multi Drug Resistant Mycobacterium Tuberculosis?. Journal of Antimicrobial chemoteraphy (2004) 54, 593-602. 17.Gerberding JL, et al. Treatment of Tuberculosis. Department of Health and Human services Centers for Disease Control and Prevention. MMWR. Atlanta. 2003. 18. Loddenkemper R, Sagebiel D.,Brendel A. Strategies against multidrug-resistant tuberculosis. Eur Respir J 2002; 20: Suppl. 36, 66s77s. 19.Sharma SK, Mohan A. Multidrug resistant Tuberculosis. Indian J Med Res 120, Oct 2004, 354-76. 20. World Health Organization .Guidelines for the programmatic managementdrug resistant tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008

21. Dep.Kes RI,Buku pedoman pengobatan nasional.Jakarta 2007 22. TBCTA.International Standard for TB care.Geneve 2006