10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TB MDR 2.1.1. Pengertian TB ...

35
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TB MDR 2.1.1. Pengertian TB MDR adalah kasus TB yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis yang telah resisten terhadap INH dan rifampisin secara bersamaan, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lini pertama lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan. 2.1.2. Kategori TB-MDR Terdapat 5 kategori resistensi terhadap obat anti TB, yaitu: a. Monoresistan: resisten terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H) b. Poliresistan: resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE), rifampicin ethambutol (RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES), rifampicin ethambutol dan streptomisin (RES). 10

Transcript of 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TB MDR 2.1.1. Pengertian TB ...

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TB MDR

2.1.1. Pengertian

TB MDR adalah kasus TB yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis yang

telah resisten terhadap INH dan rifampisin secara bersamaan, dengan atau tanpa

resistensi terhadap OAT lini pertama lainnya.

Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :

a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat

pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan

b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada

riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan

OAT minimal 1 bulan.

2.1.2. Kategori TB-MDR

Terdapat 5 kategori resistensi terhadap obat anti TB, yaitu:

a. Monoresistan: resisten terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)

b. Poliresistan: resisten terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid

(H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol (HE),

rifampicin ethambutol (RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin (HES),

rifampicin ethambutol dan streptomisin (RES).

10

11

c. Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan

atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.

d. Ekstensif Drug Resistan (XDR): TB MDR disertai resistensi terhadap salah salah

satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua

(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).

e. Total Drug Resistan (Total DR). Resistensi terhadap semua OAT (lini pertama

dan lini kedua) yang sudah dipakai saat ini.

2.1.3. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Tuberkulosis Resisten Obat

Lima sumber utama penyebab terjadinya TB MDR (“SPIGOTS”) :

a. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal

ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama

b. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan

menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada

pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan

keluarga pasien

c. Pasien dengan TB MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh

dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB MDR sulit diobati serta

memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal

d. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat

pengobatan jangka pendekdengan monoterapi akan menyebabkan bertambah

banyak OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi

mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif

12

e. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB menjadi sakit TB dan akan

memperpanjang periode infeksius.

Berdasarkan Kemenkes RI 2013 faktor utama penyebab terjadinya resistensi

kuman terhadap OAT adalah ulah manusia sebagai akibat tata laksana pengobatan

pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang

tidak adekuat tersebut dapat ditinjau dari sisi :

1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :

a. Diagnosis tidak tepat,

b. Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,

c. Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat

Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten.

Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama

d. Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat

2. Pasien, yaitu karena :

a. Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan

b. Tidak teratur menelan paduan OAT,

c. Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya

d. Gangguan penyerapan obat

3. Program Pengendalian TB, yaitu karena :

a. Persediaan OAT yang kurang

b. Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).

Mekanisme terjadinya resistensi:

13

Seorang pasien TB paru dengan kavitas yang berukuran sedang (diameter: 2,5

cm) biasanya mengandung basil TB >108, yang diantaranya sudah terdapat:

- 1 basil yang resisten terhadap rifampisin (R).

- 100 basil yang resisten terhadap INH (H).

- 100 basil yang resisten terhadap streptomisin (S).

- 100 basil yang resisten terhadap etambutol (E).

- 0 basil yang resisten terhadap H dan R.

- 0 basil yang resisten terhadap H dan R dan E.

Dengan demikian, sebelum mendapatkan/dimulainya pengobatan, populasi

basil dalam tubuh pasien sudah mengandung basil yang resisten.

Bila pasien yang bersangkutan diobati hanya dengan INH saja, maka dalam

beberapa bulan basil TB yang peka terhadap INH mati. Sedangkan basil yang resisten

terus berkembang sehingga terbentuk populasi baru dengan komposisi seperti

dibawah ini:

- 108 basil resisten terhadap INH.

- 1 basil resisten terhadap rifampisin (R).

- 100 basil resisten terhadap streptomisin (S).

- 100 basil resisten terhadap etambutol (E).

Bila selanjutnya pasien tersebut diobati dengan INH dan rifampisin saja, maka

dalam beberapa bulan akan terjadi semua basil TB yang peka terhadap INH dan

Rifampisin akan mati, sedangkan basil TB yang resisten akan terus berkembang.

14

Hasil pemeriksaan mikroskopis dahak akan tetap BTA positif dan menjadi pasien TB

MDR.

Keadaan seperti ini biasa disebut sebagai fenomena “fall and rise”, yang

artinya pada beberapa minggu setelah pengobatan, hasil pemeriksaan mikroskopis

dahak telah berupa menjadi negatif, karena banyak basil TB yang masih peka

terhadap OAT telah mati. Namun beberapa saat kemudian hasil pemeriksaan

mikroskopis dahak akan menjadi positif kembali karena basil yang resiten

berkembang terus dan jumlahnya bertambah banyak.

Menurut Program Nasional, terdapat 9 kriteria pasien yang menjadi suspek

TB-MDR yaitu:

1. Kasus TB kronik;

2. Gagal pengobatan kategori 2;

3. Pasien dengan riwayat OAT baik lini pertama maupun lini kedua

(fluorokuinolon, aminoglikosid misalnya kanamisin);

4. Gagal pengobatan kategori 1;

5. Pasien dengan BTA tetap positif setelah pengobatan sisipan;

6. Pasien kambuh

7. Pasien pengobatan ulang setelah lalai pengobatan (default);

8. Pasien TB dan petugas yang kontak erat dengan pasien TB resistan OAT;

9. Pasien ko-infeksi TB-HIV

15

2.1.4. Strategi Diagnosis TB MDR

Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan

dengan metode standar yang tersedia di Indonesia:

a. Metode konvensional

Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/ LJ) atau media cair(MGIT).

b. Tes Cepat (Rapid Test).

Menggunakan cara Hain atau Gene Xpert.

Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis yang dilaksanakan adalah

pemeriksaan untuk obat lini pertama dan lini kedua.

2.1.5. Prosedur Dasar Diagnostik untuk Suspek TB MDR

a. Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua

bersamaan dengan OAT lini pertama:

Kasus TB kronis

Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS

Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan kasus TBXDR

konfirmasi.

b. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua setelah terbukti

menderita TB MDR :

Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi

Pasien pengobatan kategori 1 yang gagal

Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian

sisipan

16

Pasien kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2

Pasien yang berobat kembali setelah lalai berobat/default, kategori 1 dan

kategori 2

Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR

Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT

c. Pemeriksaan uji kepekaan M.tuberculosis untuk OAT lini kedua atas indikasi

khusus :

Setiap pasien yang hasil biakan tetap positif pada atau setelah bulan ke empat

pengobatan menggunakan paduan obat standar yang digunakan pada

pengobatan TB MDR.

Pasien yang mengalami rekonversi biakan menjadi positif kembali setelah

pengobatan TB MDR bulan ke empat.

Sambil menunggu hasil uji kepekaan M.tuberculosis di laboratorium rujukan

TB MDR, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan

pedoman penanggulangan TB Nasional ditempat asal rujukan, kecuali pada kasus

kronik, pengobatan sementara tidak diberikan. Suspek TB MDR tersebut akan

diberikan penyuluhan tentang pengendalian infeksi.

17

Gambar 2.1. Alur Penegakan Diagnosis TB Resistan Obat

18

Keterangan :

a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 dahak

untuk Gene Xpert (sewaktu pertama) dan 2 dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) ke

Laboratorium rujukan TB MDR untuk dilakukan pemeriksaan sediaan apus

sputum BTA, pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman.

b. Jika didapatkan hasil pemeriksaan biakan dan identifikasi positif Mycobacterium

tuberculosis, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan.

Hasil dari uji kepekaan ini dapat berupa MDR, mono-resisten, poli-resisten

atau sensitif seluruh lini pertama

2.1.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB MDR

Klasifikasi Penyakit TB MDR (berdasarkan lokasi) :

a. Paru

Apabila kelainan ada di dalam parenkhim paru.

b. Ekstra Paru

Apabila kelainan ada di luar parenkhim paru.

Bila dijumpai kelainan di Paru dan juga di luar paru maka pasien akan

diregistrasi sebagai pasien TB MDR dengan klasifikasi TB MDR Paru.

Tipe pasien TB MDR diregistrasi sesuai dengan pengelompokkan riwayat

sebelumnya sebagai berikut :

19

Tabel 2.1. Tipe Pasien TB MDR Diregistrasi Sesuai dengan Pengelompokkan Riwayat Sebelumnya

Tipe Pasien Keterangan

a. Pasien Baru Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau pernah di obati menggunakan OAT kurang dari 1 bulan

b. Pengobatan Ulangan Pasien yang mendapatkan pengobatan ulang karena : • Kasus Kambuh (relaps):

Yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB lini pertama atau lini kedua dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis dan biakan positif.

• Pasien kembali setelah putus berobat (loss to follow up) Yaitu pasien yang kembali berobat setelah putus berobat paling sedikit 2 bulan dengan pengobatan TB lini pertama atau lini kedua serta hasil pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif.

• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 2: Yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada pengobatan dengan OAT lini pertama kategori 2. Hal ini ditunjang dengan rekam medis dan atau riwayat pengobatan TB sebelumnya.

• Kasus Gagal Pengobatan Kategori 1 : Yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada pengobatan dengan OAT lini pertama kategori 1.

c. Transfer in Pasien TB Resistan Obat yang sudah diobati dan sudah diregister di RS Rujukan/Sub Rujukan lain.

d. Lain-lain Pasien TB yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak jelas atau tidak dapat dipastikan

20

Tantangan dalam pengelolaan pasien TB MDR lebih besar dari pada pasien

TB yang bukan MDR. Oleh karena itu semua komponen DOTS harus dilaksanakan

dengan lebih cermat, agar faktor risiko untuk terjadinya TB MDR tidak muncul.

Faktor risiko TB MDR seperti:

1. Riwayat Pengobatan TB sebelumnya yang tidak berhasil:

a. Kambuh

b. Gagal

c. Kronik

2. Kontak erat dengan pasien TB MDR

3. Bertempat tinggal/lahir di tempat dengan prevalensi TB MDR tinggi

4. Gagal konversi pada pengobatan dengan OAT lini pertama,

5. Infeksi HIV

6. Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat.

2.1.7. Strategi Pengobatan Pasien TB MDR

Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi

DOTS.

a. Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses

pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.

b. Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung

OAT lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan

hasil uji kepekaan M.tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK

21

(tim ahli klinis).Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, maka sebelum memulai

pengobatan harus dilakukan persiapan awal. Pada persiapan awal yang dilakukan

adalah melakukan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui data

awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elekrolit. Jenis pemeriksaan

penunjang yang dilakukan adalah sama dengan jenis pemeriksaan untuk

pemantauan efek samping obat.

2.1.8. PMO (Pengawas Menelan Obat)

Pasien TB Resistan Obat memerlukan pemantauan secara ketat dan rutin

untuk melihat reaksi terhadap pengobatan yang telah diberikan dan untuk mengetahui

efek samping dari pengobatan. Oleh karena diperlukan kepatuhan yang tinggi dalam

pengobatan, maka diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk

memantau pengobatan dan mengingatkan pemeriksaan yang perlu dilakukan.

PMO adalah petugas kesehatan yang membantu mengawasi pasien TB

Resistan Obat selama masa pengobatan hingga sembuh. Peran PMO dalam

pengobatan adalah:

1) Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai

sembuh, yaitu:

- Membuat kesepakatan antara PMO dan pasien mengenai lokasi dan waktu

menelan obat .

- PMO dan pasien harus menepati kesepakatan yang sudah dibuat.

- Pasien menelan obat dengan disaksikan oleh PMO.

22

2) Memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan

secara lengkap dan teratur, yaitu:

- Meyakinkan kepada pasien bahwa TB MDR bisa disembuhkan dengan

minum obat secara lengkap dan teratur.

- Memotivasi pasien untuk tetap minum obatnya saat mulai bosan.

- Mendengarkan setiap keluhan pasien, menghiburnya dan menumbuhkan rasa

percaya diri.

- Menjelaskan manfaat bila pasien menyelesaikan pengobatan agar pasien

tidak putus berobat.

3) Mengingatkan pasien TB Resistan Obat datang ke Fasyankes untuk mendapatkan

obat dan periksa ulang dahak sesuai jadwal, yaitu:

- Mengingatkan pasien datang ke Fasyankes untuk mendapatkan obat

berdasarkan jadwal pada kartu identitas pasien (TB.02 MDR).

- Memastikan bahwa pasien sudah mengambil obat.

- Mengingatkan pasien jadwal periksa ulang dahak berdasarkan yang tertera

pada kartu identitas pasien (TB.02 MDR).

- Memastikan bahwa pasien sudah melakukan periksa ulang dahak.

4) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi

Fasyankes

- Menanyakan apakah pasien mengalami keluhan setelah menelan OAT.

- Mendampingi pasien ke Fasyankes bila mengalami efek samping obat.

- Menenangkan pasien bahwa keluhan yang dialami bisa ditangani.

23

5) Memberikan penyuluhan tentang TB MDR kepada keluarga pasien atau orang

yang tinggal serumah, yaitu tentang:

- TB MDR adalah penyakit menular, cara penularan TB MDR, gejala-gejala

TB MDR dan cara pencegahannya,

- TB MDR disebabkan oleh kuman, tidak disebabkan oleh guna-guna atau

kutukan dan bukan penyakit keturunan,

- TB MDR dapat terjadi karena pasien TB tidak minum obat tuberkulosis

secara teratur,

- TB MDR dapat disembuhkan dengan berobat lengkap dan teratur,

- Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, yaitu: tahap awal dan lanjutan, yang

lamanya berkisar19-24 bulan,

- Obat TB MDR harus diminum sekaligus pada waktu yang sama setiap

harinya,

- Tidak ada obat lain untuk mengobati TB MDR,

- Pentingnya pengawasan agar pasien berobat secara lengkap dan teratur,

- Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta

pertolongan ke Fasyankes.

6) Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TB Resisten Obat dan apa

yang harus dilakukan terhadap kontak erat tersebut.

2.1.9. Pencegahan terhadap Terjadinya Resistensi OAT

1. Standarisasi pemberian regimen yang efektif

2. Penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC

24

3. Penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB

4. Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terpai sesuai “evidence

based”.

5. Tes kepekaan bakteri Mycobacterium Tuberculosis

6. Pengelompokkan kasus TB secara tepat

7. Regimen obat yang adekuat untuk semua kategori pasien

8. Identifikasi dini dan pengobatan yang adekuat untuk kasus TB resisten

9. Integrasi program DOTS dengan pengobatan resisten TB akan bekerja sinergis

untuk menghilangkan sumber penularan.

10. Pengendalian infeksi

2.1.10. Manajemen Program TB Resistan Obat

Manajemen program TB resistan Obat (Programmatic Management of Drug

Resistant Tuberculosis) atau MTPTRO (Manajemen Terpadu Pengendalian TB

Resisten Obat) merupakan program yang sistematis, komprehensif dan terpadu sesuai

kerangka kerja DOTS dalam mengendalikan perkembangan TB kebal obat agar tidak

menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kegiatan utama :

a. Pencegahan terjadinya TB resistan obat

b. Penemuan secara dini

c. Tatalaksana kasus TB resistan obat yang bermutu mengacu kepada strategi DOTS

dan ISTC (International Standard for TB Care)

d. Pengurangan risiko penularan dan

e. Pencegahan timbulnya TB resistan obat ekstensif (extensively drugs resistant/XDR)

25

Komponen dalam program Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan

Obat adalah :

1. Komitmen politik yang berkesinambungan

Komitmen politis yang berkesinambungan sangat penting untukmenerapkan dan

mempertahankan komponen DOTS lainnya.Dibutuhkan investasi dan komitmen

yang berkesinambungan untuk menjamin kondisi yang mendukung terintegrasinya

manajemen kasusTB Resistan Obat ke dalam program TB nasional. Kondisi yang

mendukung tersebut diantaranya adalah pengembangan infrastruktur,

pengembangan Sumber Daya Manusia, kerja sama lintas program dan lintas

sektor, dukungan dari kebijakan-kebijakan pengendalian TB untuk pelaksanaan

program secara rasional, termasuk tersedianya OAT lini kedua dan sarana

pendukung lainnya.Selain itu, Program Pengendalian TB Nasional harus diperkuat

untuk mencegah meningkatnya kejadian TB MDR dan timbulnya TB XDR.

2. Strategi penemuan pasien TB Resistan Obat yang rasional melalui pemeriksaan

biakan dan uji kepekaan.

Diagnosis yang akurat dan tepat waktu adalah landasan utama dalam Program

Pengendalian TB Nasional, termasuk mempertimbangkan perkembangan teknologi

yang sudah ada maupun baru. Resistansi obat harus didiagnosis secara tepat

sebelum dapat diobati secara efektif. Proses penegakan diagnosis TB Resistan

Obat adalah pemeriksaan apusan dahak secara mikroskopis, biakan, dan uji

kepekaan yang dilakukan di laboratorium rujukan yang sudah tersertifikasi oleh

laboratorium supra nasional.

26

3. Pengelolaan pasien TB Resistan Obat yang baik menggunakan strategi pengobatan

yang tepat dengan OAT lini kedua.Untuk mengobati pasien TB Resistan Obat,

diperlukan paduan OAT lini kedua dan lini satu yang masih sensitif dan

berkualitas dengan panduan pengobatan yang tepat. OAT lini kedua lebih rumit

dalam pengelolaannya antara lain penentuan paduan obat, dosis, cara pemberian,

lama pemberian, perhitungan kebutuhan, penyimpanan dan sebagainya. Selain itu,

harga OAT lini dua jauh lebih mahal, potensi yang dimiliki lebih rendah, efek

samping lebih banyak dan lebih berat daripada OAT lini pertama. Strategi

pengobatan yang tepat adalah pemakaian OAT secara rasional, pengobatan

didampingi pengawas menelan obat yang terlatih yaitu petugas kesehatan.

Pengobatan didukung oleh pelayanan TB MDR dengan keberpihakan kepada

pasien, serta adanya prosedur tetap untuk mengawasi dan mengatasi kejadian efek

samping obat.

4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua berkualitas yang tidak terputus.

Pengelolaan OAT lini kedua lebih rumit daripada OAT lini pertama. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : waktu kadaluarsa yang lebih singkat,

cara penghitungan kebutuhan pemakaian yang berdasar kebutuhan per individual

pasien, jangka waktu pemberian yang berbeda sesuai respons pengobatan,

beberapa obat memerlukan cara penyimpanan khusus yang tidak memungkinkan

untuk dikemas dalam sistem paket. Kerumitan tersebut memerlukan upaya

tambahan dari petugas farmasi/ petugas kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan

27

OAT lini kedua di setiap jenjang, dimulai dari perhitungan kebutuhan,

penyimpanan, sampai persiapan pemberian OAT kepada pasien.

Untuk menjamin tidak terputusnya pemberian OAT, maka stok OAT harus

tersedia dalam jumlah cukup untuk minimal 6 bulan sebelum obat diperkirakan

habis. OAT lini kedua yang digunakan harus berkualitas dan sesuai standar WHO.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku

Prosedur penegakan diagnosis TB Resistan Obat memerlukan waktu yang

bervariasi (tergantung metode yang dipakai), masa pengobatan yang panjang dan

tidak sama lamanya, banyaknya jumlah OAT yang ditelan, efek samping yang

mungkin ditimbulkan, merupakan hal-hal yang menyebabkan perbedaan antara

pencatatan pelaporan program. Hasil pencatatan dan pelaporan diperlukan untuk

analisis kohort, untuk menghitung indikator antara dan laporan hasil pengobatan.

Sejak tahun 2012 RSUP H.Adam Malik telah menjadi Rumah Sakit rujukan

TB MDR dan telah menemukan suspek sebanyak 556 orang dan 79 penderita TB

MDR. Namun dalam masa pengobatan banyak pasien yang droup out, gagal dan

meninggal. Dan saat ini yang sedang menjalani pengobatan sebanyak 52 orang.

Pasien tersebut berasal dari beberapa kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.

2.2. Perilaku

2.2.1. Konsep Perilaku

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar).Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan

28

dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor.

Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang

timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut

reinforcing stimulation atau dengan adanya stimulasi akan memperkuat respons. Oleh

karena itu untuk membentuk perilaku perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat

memperkuat pembentukan perilaku.

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

(makhluk hidup) yang bersangkutan.Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis

semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan

manusia itu berperilaku, karena mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang

dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas

dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain:

berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan

sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku

(manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati

langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan. Dilihat dari bentuk

respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) :

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

29

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima

stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Respons terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain

(Notoatmodjo, 2003).

2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan

respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat

dibedakan menjadi dua yakni :

a) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan

yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis

kelamin, dan lain-lain.

b) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan

yang mewarnai perilaku seseorang.

Menurut WHO (World Health Organisation) dalam Notoatmodjo (2005),

alasan seseorang berperilaku tertentu adalah karena pengetahuan, persepsi, sikap,

kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek.

2.2.3. Aspek-aspek Perilaku

Aspek-aspek perilaku terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut:

30

a. Pengetahuan, adalah aspek perilaku yang merupakan hasil tahu, dimana ini terjadi

bila seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003),

dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi

perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya

stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

b. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.Sikap ini terdiri dari berbagai

tingkatan seperti menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap sebagai

predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu

berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah

(2003) menyatakan bahwa sikap menentukan keadaan dan kekhasan perilaku

31

seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian

tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu

perbuatan atau tingkah laku.

Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran:

a. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis

Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut

mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap

seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak

(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak

(unfavorable) pada objek tersebut.

b. Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,

Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran

ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek

dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan

yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan

pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

c. Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik

(triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi

komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam

memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif

adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat

32

berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang

positif terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk

persepsi negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut

Kothandapani (dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling

menunjang. Ketiga komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai

komponen kognitif (kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif

(tindakan).

c. Tindakan, adalah sesuatu yang dilakukan. Suatu sikap belum otomatis terwujud

dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi

perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Tindakan ini juga memiliki beberapa

tingkatan yaitu : persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons),

mekanisme (mecanism), adaptasi (adaptation). Pengukuran perilaku dapat

dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-

kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau buan yang lalu (recall).

Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi

tindakan atau kegiatan responden.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti

keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan

sebagainya, namun demikian sulit dibedakan refleksi dan gejala kejiwaan yang mana

seseorang itu berperilaku tertentu. Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan

33

yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana

fisik, sosio masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

2.2.4. Perilaku Kesehatan

Dalam hal perilaku kesehatan, respons atau reaksi manusia yang bersifat

pasif, yaitu meliputi pengetahuan, persepsi dan sikap dan yang bersifat aktif adalah

tindakan yang nyata atau practice. Sedangkan aspek stimulusnya meliputi 4 unsur

pokok, yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan

(Notoatmodjo, 2003).

Becker,(1979) mengklarifikasikan perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan (health related behaviour)sebagai berikut :

- Perilaku kesehatan (health behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan

kesehatannya.

- Perilaku sakit (the sick role behaviour) yaitu segala tindakan atau kegiatan yang

dilakukan seseorang yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan

kesehatannya atau rasa sakit, termasuk kemampuan atau pengetahuan individu

untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah

penyakit tersebut.

Green (1980) mengindentifikasi bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh

tiga faktor sebagai berikut :

- Faktor presdisposisi (Presdisposing factors), yaitu : pengetahuan, sikap, nilai dan

persepsi

34

- Faktor kemungkinan (Enabling factors), yaitu : ketersediaan sumber daya,

keterjangkauan, keterampilan petugas.

- Faktor penguat (Reinforcing factors), yaitu : sikap dan perilaku petugas

kesehatan, dan petugas lain (keluarga), teman sebaya/sejawat, orang tua dan lain-

lain.

Dari teori Green di atas dapat diperkirakan bahwa salah satu cara untuk

merubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi,

yaitu dengan merubah pengetahuan, sikap, nilai dan persepsi terhadap masalah

kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan.

2.3. Faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang Memengaruhi terjadinya TB MDR

Kajian epidemiologi untuk masalah kesehatan memusatkan perhatian dalam

tiga hal yaitu penyakit atau efek suatu kejadian, faktor resiko dan agent penyakit

(Murti,1995). Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan yang memengaruhi

perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan. Istilah memengaruhi disini

adalah menimbulkan resiko lebih besar pada individu untuk terjadi suatu status

kesehatan/penyakit pada masyarakat. Menurut paratiknya (2003) faktor risiko pada

tingkat individu dikenal dua macam, yaitu :

a. Faktor risiko yang berasal dari dalam organisme (faktor risiko intrinsik).

b. Faktor resiko yang berasal dari luar/lingkungan (faktor risiko ekstrinsik)

Skema berikut dapat menjelaskan hubungan faktor risiko dengan organisme

dan efek.

35

Gambar 2.2. Skema Faktor Risiko pada Individu

Faktor risiko intrinsik adalah tingkat kepekaan individu terhadap suatu

penyakit atau kepekaan/respon individu terhadap perubahan perilaku, seperti

perilaku berobat penderita TB dapat mencakup pengetahuan, sikap dan persepsinya

terhadap sakit dan penyakit TB tersebut. Faktor risiko ekstrinsik adalah faktor –

faktor lingkungan yang memudahkan individu terjangkit suatu penyakit atau

perubahan perilaku.

Dari uraian di atas memungkinkan pengelompokkan faktor – faktor yang

dapat menyebabkan seseorang untuk berperilaku tertentu di masyarakat. Begitu juga

halnya dengan faktor yang memengaruhi perilaku penderita TB menjadi resisten

terhadap isoniazid dan rifampicin yaitu :

2.3.1. Faktor Risiko Intrinsik

Beberapa faktor yang diduga dapat memengaruhi kepatuhan penderita

tuberkulosis di dalam menjalani pengobatan bahkan menghentikan pengobatan

sebelum waktunya antara lain:

36

a. Umur

Di Negara berkembang, mayoritas yang terinfeksi TB adalah golongan usia

dibawah 50 tahun, namun dinegara maju prevalensi justru tinggi pada usia yang lebih

tua. Pada usia tua, TB mempunyai gejala dan tanda yang tidak spesifik sehingga sulit

terdiagnosis, sering terjadi reaktivasi fokus dorman, selain itu berkaitan dengan

perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated

immunity seperti pada keganasan, penggunaan obat immunosupresif dan faktor

ketuaan. Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku yang

dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis dari penderita TB paru. Pada usia tua

angka ketidakteraturan berobat lebih tinggi disebabkan karena lupa dan kepasrahan

mereka terhadap sakit yang diderita (Ratnawati, 2000). Akibat dari ketidakteraturan

berobat inilah yang menjadi pemicu terjadinya resistan terhadap obat TB.

b. Jenis Kelamin

Secara epidemiologi dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dalam hal prevalensi infeksi, progresivity penyakit, insidens dan kematian

akibat TB, perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan

perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit yang lebih berat pada saat datang

ke rumah sakit, perempuan lebih sering datang terlambat datang ke pelayanan

kesehatan, hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan

pada perempuan dibanding laki-laki. Selain itu dalam hal pengobatan laki-laki

cenderung teratur berobat dibanding dengan wanita, ini mungkin didasari rasa

tanggung jawab terhadap keluarga sehingga dia dapat menyelesaikan pengobatannya.

37

c. Pendidikan

Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita. Pendidikan rendah

mengakibatkan pengetahuan rendah. Rendahnya pendidikan seorang penderita TB

dapat memengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Masih banyak

penderita TB berhenti berobat karena keluhan sakit sudah hilang, padahal

penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang apa

yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan sehingga mengakibatkan kuman TB

resisten terhadap obat TB. Faktor pendidikan erat kaitannya dengan kepatuhan

penderita TB berobat dan minum obat secara teratur (Wirdani, 2000).

d. Pekerjaan

Jenis pekerjaan tertentu berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat

penderita TB. Hal ini disebabkan oleh kesibukan dan keadaan ekonomi dan lebih

diperparah oleh pekerjaan diluar kota (jauh) sehingga penderita tidak sempat untuk

mengambil OAT ke fasilitan pelayanan kesehatan yang mengakibatkan penderita

tidak teratur menelan OAT sehingga mengakibatkan kuman TB kebal terhadap OAT.

e. Pengetahuan

Akibat dari rendahnya pengetahuan pasien TB yang disebabkan oleh

pendidikan rendah atau bila berpendidikan tinggi mungkin disebabkan oleh

pengetahuan penderita tentang tuberkulosis masih kurang sehingga sering seorang

penderita tuberkulosis menghentikan pengobatannya karena merasa penyakitnya

sudah sembuh karena sudah tidak ada batuk, nafsu makan meningkat serta berat

badan sudah bertambah sehingga penderita menghentikan pengobatannya sebelum

38

sampai waktunya. Pengetahuan masyarakat tentang TB yang masih rendah ini tentu

saja diperlukan upaya promosi dan advokasi yang lebih intens untuk meningkatkan

pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat terhadapat TB (Litbangkes SPTBC

2004).

f. Sikap

Lamanya waktu pengobatan TB dapat menimbulkan perasaan bosan,

kecemasan, depresi, terisolasi, penolakan dan perasaan tidak berguna karena

kehilangan pekerjaan serta tidak dapat aktif lagi secara sosial, merasa dikucilkan hal

ini dapat mengakibatkan penderita TB tidak teratur menelan OAT, tidak mematuhi

anjuran dokter bahkan menghentikan pengobatan secara sepihak hal ini juga dapat

menyebabkan terjadinya TB MDR

g. Efek Samping Obat

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping ringan dan berat.

(Depkes, 2011). Penderita TB yang mengeluhkan efek samping obat dari OAT

cendrung untuk tidak patuh dalam rangkaian pengobatannya yaitu tiga kali lipat bila

dibanding dengan mereka yang tidak mengeluhkan efek samping, (Syaumaryadi,

2000). Akibat efek samping tersebut penderita TB menghentikan pengobatannya

secara sepihak.

39

2.3.2. Faktor Risiko Ekstrinsik

a. Pengawas Menelan Obat ( PMO).

Menurut Depkes RI (2006) agar kesembuhan penderita dapat dicapai dengan

baik, perlu dilakukan pengawasan langsung menelan obat, terutama pada pengobatan

tahap awal (intensif). Untuk melakukan pengawasan tersebut perlu ditunjuk PMO

bagi setiap penderita. Penunjukan PMO ini perlu didiskusikan dengan penderita

dengan penjelasan bahwa PMO itu penting. Penunjukan PMO harus dengan

persetujuan penderita agar pelaksanaan pengawasan menelan obat dapat berjalan

sesuai dengan yang diharapkan. Bagi PMO yang menjalankan perannya dengan baik

akan membuat penderita menjadi teratur dalam pengobatan dan sebaliknya jika PMO

tidak menjalankan perannya dengan baik penderita menjadi tidak teratur dalam

pengobatannya.

Tugas PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat

ke fasilitas pelayanan kesehatan tetapi peran PMO mencakup :

1) Memastikan pasien menelan obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai

sembuh

2) Mendampingi pasien pada saat kunjungan konsultasi ke fasyankes dan

memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani pengobatan

secara lengkap dan teratur

3) Mengingatkan pasien TB datang ke fasyankes untuk mendapatkan obat dan

periksa ulang dahak sesuai jadwal

40

4) Menemukan dan mengenali gejala-gejala efek samping OAT dan menghubungi

fasyankes

5) Memberikan penyuluhan tentang TB kepada keluarga pasien atau orang yang

tinggal serumah

6) Mengidentifikasi adanya kontak erat dengan pasien TB dan apa yang harus

dilakukan terhadap kontak erat tersebut

b. Kualitas OAT

Kualitas dan mutu OAT yang baik akan memperoleh efek yang baik terhadap

hasil pengobatan dibanding dengan mutu yang kurang baik. OAT diberikan dalam

bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlahcukup dan dosis tepat selama 6 –

8 bulan sesuai dengan kategori pengobatan dan hindari penggunaan monoterapi

sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi

kesalahan penulisan resep. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan

tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin ketersediaan obat sampai

pengobatan selesai. WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung

Disease ( IUATLD) merekomendasikan OAT standar dalam strategi DOTS dimana

diharuskan adanya komponen kesinambungan persedian OAT jangka pendek dengan

mutu yang terjamin ( Kemenkes RI,2011).

c. Keterlambatan Diagnosis

Elemen penting dalam program penanggulangan tuberkulosis (TB) adalah

diagnosis dini dan pemberian terapi yang cepat dan tepat. Hal ini terutama penting

pada kasus-kasus dengan basil tahan asam (BTA) positif, karena bila terlambat

41

mendiagnosis dan memberi terapi, dapat menjadi sumber penularan dan

meningkatkan periode penularan dalam masyarakat. Disamping itu, dapat

menyebabkan penyakit lebih berat, komplikasi lebih banyak dan angka kematian

meningkat.Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis juga

akan menyebabkan penyebaran galur resistensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada

pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan

keluarga pasien

d. Perilaku Petugas Kesehatan

Kegiatan petugas kesehatan dalam program TB meliputi mulai penemuanm

penderita, pemeriksaan laboratorium, pengobatan dan pencatatan & pelaporan

(Kemenkes RI, 2011). Apabila perilaku petugas itu dijalankan dengan penuh rasa

tanggung jawab, ramah tamah, penderita segera diobati tanpa menunggu berlama-

lama, diperiksa oleh dokter, penderita merasa dihargai, penderita diberi

penyelasan/penyuluhan pentingnya berobat teratur dan aktif dalam berbagai masalah

yang mungkin timbul dalam masa pengobatan penderita, maka penderita merasa puas

sehingga memungkinkan penderita untuk berobat teratur. Sikab bersahabat petugas

kesehatan akan cenderung membuat pasien merasa nyaman untuk datang kembali

sehingga penderita tetap melanjutkan pengobatan sampai selesai.

e. Jarak ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Jarak rumah penderita yang jauh dengan fasilitas pelayanan kesehatan sering

menjadi masalah kelangsungan keteraturan pengobatan, juga kemampuan orang

untuk berjalan menuju ke tempat pelayanan. Jarak tempat tinggal yang jauh dengan

42

fasilitas pelayanan kesehatan berhubungan dengan biaya yang dikeluarkan untuk

ongkos dan waktu yang digunakan, hal ini akan mempengaruhi ketidak teraturan

berobat penderita, (Armaidi Darmawan, 2002).

f. Pendapatan

Walaupun sarana kesehatan yang disediakan pemerintah biayanya relatih

murah, namun masih banyak diantara penduduk Indonesia terutama yang bermukim

di pedesaan tidak dapat menjangkau biaya tersebut. Biasanya mereka akan pergi ke

rumah sakit atau puskesmas kalau sudah dalam keadaan gawat. Mereka yang berobat

ke rumah sakit ini tidak jarang terjadi ketidaksanggupan menembus obat karena

ketiadaan dana (Gani, 1999).

g. Ketersediaan OAT

Ketersediaan OAT yang bermutu sangat diperlukan untuk menjamin penderita

dapat menyelesaikan pengobatan sampai selesai. “satu paket untuk satu pasien dalam

satu masa pengobatan”. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang berhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan akan menyebabkan terjadinya resistensi

kuman TB.

h. Ketidakteraturan Berobat

Ketidakteraturan berobat merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan,

kekambuhan dan resistensi obat. Untuk memastikan kepatuhan penderita terhadap

paket pengobatan dan untuk menekan risiko efek samping strategi DOTS perlu

dilaksanakan pada semua penderita TB.

43

2.4. Landasan Teori

Berdasarkan kemenkes RI dan Priyanti Z Soepandi faktor yang memengaruhi

terjadinya TB MDR adalah :

Gambar 2.3. Kerangka Teori

44

2.5. Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Variabel Terikat

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Faktor ekstrinsik :

- PMO - Kualitas OAT - Keterlambatan diagnosis - Perilaku Petugas Kesehatan - Jarak ke Fasyankes - Pendapatan - Ketersediaan OAT - Ketidakteraturan berobat

TB MDR

Faktor intrinsik :

- Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan - Sikap - Efek Samping Obat